Jilid 05
Setelah menyaksikan sendiri keadaan kesem-bilan orang itu sekarang, kedua muda-mudi itu baru betul-betul merasa terharu, hakikatnya bentuk me-reka tidak mirip manusia lagi, siapakah yang men-duga bahwa manusia macam tengkorak hidup itu bukan lain adalah para ketua kesembilan perguru-an besar? “Ai, penderitaan yang kalian alami benar-be-nar mengenaskan sekali……” desis Ji-sia dengan sedih.
Pek-hui Siansu menghela napas panjang, kata-nya, “Di dunia fana ini, manusia selalu diliputi penyesalan, air selalu mengalir, jarang ada urusan yang selalu berkenan di kati?”
Tong Yong-ling merasa pedih mendengar per-kataan itu……
Ji-sia pun seperti tersentuh lubuk hatinya, ia pun bergumam, “Ya, manusia memang selalu me-ninggalkan penyesalan dan air selalu mengalir, ai….”
Air mata mereka berderai bagaikan hujan. Kesembilan orang Ciangbunjin ikut menitikkan air mata, untuk sesaat suasana ruangan itu penuh diliputi sedih dan haru.
Tidak lama kemudian, Pek-hui Siansu berkata lagi dengan menghela napas, “Bok-sicu, kami bersembilan segera akan memutuskan urat nadi untuk bunuh diri, tapi sebelum meninggal, kuminta agar Sicu bersedia memutuskan rantai pada tubuh kami ini agar setelah mati sukma kami dapat memper-oleh kebebasan.”
Bok Ji-sia tidak banyak berbicara, cahaya emas segera berkelebat dan ular kecil emas pun menyambar ke depan……..
“Cring! Cring!” serentetan bunyi nyaring meng-gema, dengan beberapa kali getaran saja dua puluh tujuh rantai baja yang membelenggu tubuh ke-sembilan orang itu telah dipatahkan oleh ruyung mestika, dalam sekejap itu pula kesembilan orang itu terbebas dari belenggu.
Dengan nada sedih Pek-hui Siansu berkata, “Budi yang kau berikan kepada kami hanya bisa kami balas pada penitisan yang akan datang, tempat ini berbau busuk dan sangat me-muakkan, silakan kalian segera berangkat mening-galkan tempat ini!”
“Jalan keluar ruang bawah tanah ini terletak di celah kecil dinding sebelah kiri ruangan ini, mes-kipun kami belum pernah keluar lewat sana, tapi seringkali ada angin dingin yang berhembus masuk lewat celah itu, aku yakin di sana pasti ada jalan keluar. Nah, pergilah kalian!”
Setelah Pek-hui Siansu selasai berkata, seren-tak kesembilan orang aneh itu duduk bersila di atas tanah, berkumandanglah keluh kesakitan ber-ulang kali……..
Menyusul suara itu, Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling segera mencium bau anyirnya darah yang amat menusuk hidung. Kesembilan orang Ciangbunjin dari sembilan perguruan besar telah berangkat meninggalkan du-nia yang fana dan melepaskan diri dari segala sik-sa derita. Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling memandang mereka dan berdoa bagi kesembilan orang jago tua itu.
“Ai……..!” dua kali suara helaan napas meme-cah keheningan.
Akhirnya dengan membawa hati yang pedih Ji-sia dan Yong-ling berangkat meninggalkan ruang bawah tanah itu.
oooo—oOoOoOooOo—oooo
Tempat ini adalah kompleks pekuburan yang luas sekali Di mana-mana tampak gundukan tanah pusara, batu nisan berserakan di sana sini. Kompleks pekuburan ini letaknya hanya beberapa ratus kaki di sebelah kanan benteng Thian- seng-po, begitu luas tanah ini hingga mencapai pu-luhan hektar, sejauh mata memandang yang tampak hanya kuburan tua yang terbengkalai.
Pada sudut tanah kuburan itu tumbuh beberapa batang pohon Siong dan Pek, malam yang sepi mencekam, angin berhembus semilir, di antara daun yang gemersik terkadang terdengar pekik burung hantu yang menambah seramnya suasana.
Di sebelah kiri tanah pekuburan itu berdiri se-buah bangunan. Pada samping kiri bangunan penuh dengan gundukan tanah hijau, sementara agak ke depan terdapat sebuah kolam yang tidak terlalu besar, cahaya bintang memantul di permukaan air, jelas bangunan itu bukan tempat tinggal manusia.
Bentuk bangunan itu pun aneh sekali, tembok-nya terbuat dari bata merah, seperti kuil tapi bu-kan kuil, sehingga tampak angker dan menimbulkan perasaan seram. Mungkin tempat ini adalah tempat tinggal ba-dan halus, mungkin tanah pekuburan kaum harta-wan yang kaya raya.
Ketika itu kentongan pertama baru lewat, ge-lap malam menambah seram tanah pekuburan itu. Tentunya tanah pekuburan ini jarang sekali dikunjungi orang pada siang hari, apalagi pada ke-gelapan malam begini. Tapi aneh sekali, di tengah tanah pekuburan yang sepi itu tiba-tiba terdengar suara bicara ma-nusia. Suara itu berasal dari gedung setan tersebut, dari dalam sebuah kuburan, tanpa batu nisan.
Hah, mungkinkah setan yang sedang bercakap-cakap? Kalau tidak, mengapa tidak nampak ba-yangan manusia? Suara yang muncul dari tanah pekuburan sa-ngat menyeramkan, andaikan kebetulan ada orang di situ maka dia pasti akan lari terbirit-birit.
Tapi jelas suara itu bukan suara setan melain-kan suara manusia, terdengar seorang berkata dengan suara yang merdu, “Bok-siangkong, sungguh panjang sekali lorong yang mengerikan ini!”
“Ah, sudah sampai! Nona Tong, akhirnya ki-ta lolos juga!”
Baru saja seru kegirangan laki-laki itu lenyap, dari dalam liang kuburan tanpa nisan itu mendadak muncul sepasang muda-mudi yang tampan dan jelita….
Begitu keluar dari liang kubur, mereka mene-ngadah memandang bintang-bintang di langit, lalu menghirup udara segar, sekulum senyum menghiasi wajah mereka. Akan tetapi, ketika pandangan mereka mene-mukan kompleks pekuburan yang terbentang luas ini, serentak mereka berpaling ke arah liang kubur di mana barusan mereka muncul, tanpa terasa me-reka menarik napas dingin dan mundur beberapa langkah.
“Bok-siangkong,” kata Tong Yong-ling sambil menghela napas sedih, “sebetulnya kita berada di alam baka ataukah dalam mimpi?”
Bok Ji-sia menghela napas, sahutnya, “Nona Tong, kita tetap sadar dan kita masih hidup di du-nia, tapi apa yang kita alami ini memang suatu impian, impian yaag buruk, dan tempat yang kita kunjungi adalah neraka…neraka dunia!”
Tong Yong-ling menempelkan tubuhnya di sisi bahu Bok Ji- sia, lalu katanya lagi dengan lembut, “Bok-siangkong, apakah kau hendak meninggalkan diriku?”
Ketika Ji-sia melihat sorot mata si nona yang penuh pancaran rasa cinta itu, sekali lagi dia meng-hela napas sedih, “Nona Tong, sudah beberapa hari kita tidak makan, lebih baik kita tinggalkan tempat ini secepatnya!”
Sambil berkata sekali lagi dia memperhatikan bangunan yang penuh hawa setan itu, mendadak timbul perasaan aneh dalam hatinya, tapi karena perutnya lapar membuat ia tak berminat untuk berpikir lebih lanjut, maka berangkatlah kedua orang meninggalkan bangunan seram ini. Mereka berjalan terus melewati tanah pekubur-an yang amat luas itu, menyusuri rumput ilalang yang lebat dan batu nisan yang berserakan, timbul lagi perasaan sedih dalam hati Ji-sia.
“Ai, kehidupan manusia di dunia singkat se-kali,” pikirnya, “sekalipun selama hidup gagah per-kasa dan banyak melakukan pekerjaan besar, tapi setelah mati, tak lebih mereka akan terpendam di dalam liang lahat yang sepi, lalu apa artinya se-gala perjuangan untuk memperebutkan nama dan kedudukan?”
Berpikir demikian, semangatnya menjadi ken-dor dan iapun menghela napas panjang….. “Bok-siangkong, kenapa menghela napas?” Tong Yong-ling segera menegur.
“Aku sedang berpikir bahwa kehidupan ma-nusia susungguhnya hanya impian belaka, ketika kita sadar dari impian itu, maka kita akan berpi-sah untuk selamanya dengan dunia ini.”
Tong Yong-ling seperti merasakan sesuatu, de-ngan penuh rasa cinta ujarnya, “Bok-sUngkong, bi-la kau tidak keberatan, aku………”
Tentu saja Bok Ji-sia tahu apa yaug hendak dikatakannya, dengan dingin tukasnya, “Nona Tong, kau salah mengartikan maksudku, sekarang aku orang she Bok justru ingin berpisah denganmu.”
“Apa? Kau….kau….” Suara Tong Yong-ling agak gemetar, dengan air mata berlinang ia awasi pemuda itu.
Ji-sia menghela napas, katanya, “Nona Tong, terus terang kuberitahukan padamu, perkenalan kita bila diperdalam lebih jauh, pada akhirnya hanya akan mendatangkan kesedihan belaka, karena itu mumpung jembatan persahabatan kita belum ter-lalu kukuh, lebih baik kita berpisah saja.”
Tak terlukiskan rasa sedih Tong Yong-ling oleh perkataan itu, diam-diam iapun sangat marah, se-bagai seorang gadis yang keras hati, belum pernah ada orang yang menolaknya dengan begitu saja.
Air mata segera jatuh bercucuran, sambil me-nahan perasaan katanya, “Bok-siangkoag, begitu keraskah hatimu? Ataukah kau sudah mempunyai pilihan lain……?”
Ji-sia berpikir, “Selama pergaulanku beberapa hari ini, terbukti dia memang gadis yang lembut, hanya wataknya saja yang terlalu keras. Aii, se-sungguhnya akupun seorang yang mudah jatuh, ha-ti. Kalau pergaulanku berlangsung lebih lama, akhir-nya pasti akan terjalin cinta kasih, daripada seng-sara dikemudian hari, lebih baik aku bersikap dingin saja kepadanya agar dia dapat memutuskan semi cintanya mulai sekarang… ”
Berpikir demikian, dengan wajah lebih di-ngin dan kaku katanya, “Nona Tong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang lelaki yang sudah mem-punyai istri… ”
Ucapan itu ibaratnya guntur membelah bumi pada siang hari bolong, air muka Tong Yong-ling berubah hebat, teriaknya keras, “Kalau begitu ke-napa……..kenapa kau mempermainkan aku? Jadi kau adalah lelaki yang gemar mempermainkan pe-rempuan.
Dalam gusarnya tiba-tiba dia mengayunkan ta-ngannya dan……..”Plok! Plok!” ia persen beberapa tempelengan keras pada muka pemuda itu. Ji-sia berdiri tenang di tempat, ia tidak melawan dengan tenaga dalamnya, kedua pipinya se-gera merah bengkak.
“Aneh, ia mengatakan aku mempermainkan dia, kapan aku pernah berbuat demikian?” pikirnya dengan tertegun.
Sikap dingin yang diperlihatkan anak muda itu semakin membuat Tong Yong-ling merasa malu, akhirnya ia menutup wajah sendiri dan menangis tersedu-sedu. Sambil menghela napas panjang Bok Ji-sia pu-tar badan dan meninggalkan tempat itu.
Menurut perkiraan Tong Yong-ling, anak mu-da itu tentu akan menghiburnya dengan kata-kata lembut, ia tak menyangka Ji-sia akan pergi dengan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pukulan batin ini seketika membuat si nona yang keras hati tak mampu mempertahankan rasa sakit hatinya, ia menjatuhkan diri di tanah kubur-an dan manangis tergerung-gerung.
Pergaulan selama dua hari yang singkat ini mes-ki tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi Bok Ji-sia, tapi justeru mendatangkan kenangan bagi Tong Yong-ling, ia telah menanam bibit cintanya pada diri pemuda itu, dan bibit cinta itu ternyata tumbuh dengan cepatnya, hanya dalam dua hari telah berubah menjadi pohon cinta yang berakar kuat, sekalipun dia hendak mencabutnya juga tak dapat lagi.
Tiba-tiba ia berteriak dengan sedih, “O… , untuk apa aku
hidup? Buat apa aku hidup?”
Kalau rembulan kadangkala bulat, dan ada kalanya lonjong, terkadang guram dan lebih sering terang benderang, maka manusiapun ada kesedih-an, kegembiraan, pertemuan dan perpisahan. Cuaca pun seringkah berubah, apalagi kehidup-an manusia yang terdiri dari aneka peristiwa, setiap manusia selalu mengejar harapan, dan harapan ini-lah yang menunjang semangat orang untuk hidup lebih jauh.
Suara Tong Yong-ling bagaikan lolong monyet di hutan sunyi, terbawa angin tersiar sampai jauh. Ji-sia dapat mendengar isak tangis dan keluhannya, ia merasa terlalu banyak melukai hati si no-na, beberapa kali ia bermaksud kembali ke samping-nya dan menghiburnya, akan tetapi bila teringat pada dendamnya yang belum terlampiaskan serta banyak pekerjaan yang belum terselesaikan, terpak-sa dia harus menguatkan imannya dan membuang jauh-jauh pikiran tersebut.
Pelbagai persoalan serasa berkecamuk dalam benaknya. Yang dicinta ternyata menolak orang yang memberi cinta, sebaliknya yang jatuh cinta malah bertekad sekeras baja, soal ini amat merisau-kan pikirannya…..
Mendadak, mata Ji-sia yang tajam menangkap sesosok bayangan manusia yang kurus tinggi sedang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan, “Siapa situ? Berhenti!”
Ji-sia terkejut, buru-buru ia melompat ke belakang gundukan tanah pekuburan dan bersembunyi. Tampak bayangan tadi secepat kilat, bergerak menuju ke arahnya……. Mendadak, dari atas sebatang pohon Pek me-lompat turun dua sosok bayangan lain dan meng-hadang jalan bayangan pertama tadi. Diam-diam Ji-sia heran, dia tidak mengira da-lam tanah pekuburan yang sepi ini bisa muncul jago dunia persilatan, bahkan kalau ditinjau dari cara kedua orang itu bersembunyi, jelas sudah lama me-reka mengawasi keadaan di sekitar sini, untuk apa mereka berbuat demikian?
Bayangan jangkung tadi segera tertawa dingin, mendadak ia melompat ke samping lalu menerjang ke depan, telapak tangannya berputar, pukulannya memburu ke depan. Serangannya cepat sekali, ganas mengancam.
Walaupun kedua sosok bayangan yang melom-pat turun dari atas pohon itu mempunyai dasar il-mu silat yang kuat toh kelabakan juga dibuatnya, serentak mereka membentak lalu terpencar ke samping. Tapi bayangan tinggi kurus itu lantas melejit ke udara, bayangan pukulan dan tendangan mem-buru pula.
Perubahan tiba-tiba serta jurus serangan yang mematikan sungguh menggetarkan hati orang. Dua kali jeritan ngeri segera berkumandang, kedua orang itu masing-masing terkena tendangan kilat pada ja lan darahnya dan tewas seketika. Manusia jangkung itu segera seret kedua sosok mayat itu dan melompat ke balik semak-semak.
Ji-sia betul-betul terpesona, kejadian tersebut membuatnya tidak habis mengerti, dia tak tahu apa maksud orang-orang itu mendatangi tanah pekuburan ini. Mendadak terdengar bentakan nyaring berkumandang tak jauh dari belakang, dengan cepat Ji-sia berpaling.
Apa yang terlihat membuatnya terperanjat, ter-nyata manusia jangkung itu sudah berada tiga-empat tombak di belakangnya, melihat gelagatnya orang hendak melakukan sergapan, tapi untung di hadang oleh Tong Yong-ling. Dengan garang Tong Yong-ling menerjang maju, dalam sekejap ia melancarkan tiga serangan be-rantai. Sungguh cepat ketiga jurus serangannya, tapi kungfu si jangkung itu pun bukan sembarangan, sambil berputar beruntun ia lancarkan pula tiga kali serangan kilat.
Tong Yong-ling membentak nyaring, bukan mundur dia malah maju, suatu pukulan dilancar-kan sambil menerobos lewat pada posisi yang aneh. Di antara hembusan angin pukulannya tercium bau harum bunga yang dingin, itulah, pukulan maut Bwe-sat-ciang.
Tiba-tiba Ji-sia membentak, “Nona Tong, ce-pat buyarkan tenaga pukulan Bwc-sat-ciangmu!”
Sambil membentak, Ji-sia melancarkan pula pu-kulan dari jauh yang langsung menahan ancaman Tong Yong-ling itu. Rupanya pengalaman manusia jangkung itupun sangat luas, begitu mendengar “Bwe-sat-ciang”, ha-tinya terkesiap, cepat- cepat ia himpun tenaga dalam-nya dan melejit ke udara.
Dengan begitu, maka pukulan Bwe-sat-ciang yang dilancarkan Tong Yong-ling tertolak ke sam-ping oleh tenaga pukulan Bok Ji-sia.
“Hei, kenapa kau malah membantu orang lain?” Yong-ling segera menegur dengan tertawa dingin.
Tiba-tiba bayangan jangkung itupun berseru kaget, “Hai, Cing-hok, rupanya kau! Kukira kau telah mengalami sesuatu yang tak di inginkan?”
Ternyata orang itu bukan lain adalah Siau-yau-sian-hong- khek Ku Thian-gak.
“Kakak kurus, kita adalah orang sendiri, jangan bertarung lagi!” seru Ji-sia dengan gembira.
Tong Yong-ling masih mendongkol dan belum sempat melampiaskan, maka sambil mendengus ia putar badan dan berlalu……. Buru-buru Ji-sia menyusulnya sambil berseru, “Nona Tong, jangan pergi dahulu!”
“Hmm! Siapa ingin kau urus?” jengek gadis itu dengan gemas.
Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak tertawa terbahak- bahak, katanya, “Nona, boleh kunumpang tanya, apakah kau ini Bwe-hoa-sian-kiam Tong-lihiap yang telah menggetarkan dunia persilatan? Hahaha, nama besarmu betul-betul tidak bernama kosong, kungfumu sungguh hebat, nyaris diriku terma-kan oleh pukulan Bwe-sat-ciangmu tadi.”
Sesungguhnya Tong Yong-ling memang tidak bermaksud meninggalkan Bok Ji-sia, malah kalau bisa dia ingin selalu mendampingi anak muda itu, tapi sebagai seorang gadis yang keras hati, ia se-ngaja berbuat demikian untuk membikin gelisah pe-muda itu, ketika Ji-sia menahannya tadi ia sudah sangat gembira, maka sesudah mendengar pujian Ku Thian- gak, iapun memutar badan.
“Bolehkah kutahu nama besar Anda?” katanya sambil tertawa.
“Siu-heng (kakak kurus),” sela Ji-sia, “sudah lama kutahu kau adalah seorang tokoh sakti dunia persilatan, tapi tidak kusangka kungfumu selihai ini.”
Ku Thian-gak tertawa, katanya, “Hei, Bok-lote, jangan terlalu memuji dan membuat aku malu. Ku-lihat kungfumu juga sudah mendapat kemajuan yang amat pesat?”
“Ai, andaikan tiada bantuanmu tempo hari, mana bisa kuperoleh kemajuan seperti hari ini?” kata Ji-sia sambil menghela napas.
Tong Yong-ling yang pertanyaannya belum memperoleh jawaban, dengan jengkel lantas berte-riak, “He, kenapa kau tidak menjawab pertanya-anku?” Ku Thian-gak tertawa, “Tempat ini berbahaya sekali dan bukan tempat bicara yang baik. Ma ri kita cari tempat lain untuk bercakap-cakap dan sekalian menonton keramaian.”
“Masa di tanah pekuburan ini ada keramaian?” tanya Yong- ling heran. “Memangnya ada setan yang hendak berkelahi?”
“Tepat sekali dugaan nona Tong,” Ku Thian-gak tersenyum, “di sini memang bakal berlangsung pertarungan antar setan, bahkan mereka adalah ma-nusia setan yang buas.”
Mendengar itu Tong Yong-ling tertawa ceki-kikan, serunya, “Wah, itu baru tontonon sedap na-manya. Ayo kita berangkat!”
“Nona Tong,” kita Ji-sia tiba-tiba, “sudah dua hari kita tidak bersantap, mana ada semangat un-tuk melihat setan berkelahi!”
“Jangan kuatir Bok-lote,” seru Ku Thian-gak tertawa, “tempat itu adalah suatu tempat yang ba-gus, kita dapat pula menyikat hidangan yang te-lah dipersiapkan setan-setan itu.”
“Apa? Di mana ada pertemuan besar ka-wanan setan?” seru Yong-ling.
“Masakah kalian tidak tahu di tanah pekuburan ini bakal berlangsung suatu peristiwa yang akan menggemparkan dunia persilatan?”
“Kami baru saja lolos dari jebakan alat raha-sia Thian-seng- po, tentu saja tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar.”
‘“Pada tanah pekuburan ini timbul suatu raha-sia yang membuat orang persilatan jadi gila, pel-bagai jagoan dari empat penjuru dunia saling be-rebut datang kemari, mungkin dalam dua hari ini bakal berlangsung suatu badai pembunuhan berda-rah di tempat ini. Soal ini lebih baik kuceritakan nanti saja dengan lebih terperinci, ayo sekarang kita mencari suatu tempat lebih dulu untuk bersembunyi.” Sehabis berkata, Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak segera berangkat lebih dulu memimpin jalan, gerakan tubuhnya secepat kilat, ia langsung menuju ke sebelah kiri tanah pekuburan itu. Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling segera menyusul di belakang jago tersebut.
Di tengah jalan, Ji-sia berbisik kepada Yong-ling, “Nona Tong, sesungguhnya banyak persoalan sedih yang menyelimuti diriku, kuharap kau bisa menyelami perasaanku!”
Gadis itu menghela napas, katanya, “Kau ada-lah lelaki yang telah beristeri, apa yang bisa ku-lakukan kecuali menyesali nasib sendiri yang buruk? Tapi kau jangan kuatir, aku tidak akan mengganggu keharmonisan keluarga orang!”
Tergetar juga perasaan Ji-sia oleh kebesaran cinta si nona, sebenarnya pemuda itu hendak me-nerangkan bahwa sesungguhnya ia belum beristri, tapi terbayang kembali hal-hal yang lain, maka ia menghela napas panjang,.
“Dikemudian hari kau akan memahami sen-diri perasaanku yang sebenarnya!” demikian ia ber-bisik.
Tiba-tiba Ku Thian-gak yang bergerak di de-pan menghentikan langkahnya, lalu sambil ber-paling katanya, “Kita sudah sampai di tempat tuju-an! Harap kalian lebih berhati-hati, jangan sampai jejak kita ketahuan sehingga mendatangkan ke-sulitan.”
“Kalau takut mencari kesulitan, apa gunanya kita kemari?” kata Tong Yong-ling sambil tertawa.
Agaknya ucapan ini membangkitkan kegembi-raan di hati Ku Thian-gak, sambil tertawa katanya: “Betul juga perkataan nona, kalau begitu mari kita bergerak maju lebih ke depan!”
Dengan kecepatan yang luar biasa, ketiga orang itu melanjutkan perjalanan sejauh puluhan tombak dari tempat semula. Dengan matanya yang celi, Tong Yong-ling memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, tapi apa yang dilihat hanya batu nisan yang roboh serta gundukan tanah hijau, suasana hening mengerikan, sama sekali tidak nampak tanda-tanda akan dise-lenggarakannya pertemuan para setan.
Maka dengan perasaan heran ia tanya, “Kenapa tak nampak bayangan apapun di sini? Apakah….”
“Pesta setan diselenggarakan dalam gardu bo-brok di depan sana,” tukas Ku Thian-gak sambil menuding bawah bukit sebelah kiri, “kini para se-tan belum datang semua, tapi kurasa ada orang yang diutus kemari untuk memeriksa keadaan.”
Ternyata di bawah lereng sana terdapat sebuah tanah pekuburan yang datar, di depan sebuah ku-buran yang besar berdiri sebuah gardu bobrok, da-lam gardu terdapat sebuah meja batu dan pada em-pat sudut masing-masing terdapat sebuah bangku batu panjang, suasana di sekeliling hening, dan tak terdengar sesuatu suara, hanya beberapa batang po- hon Pek-yang di sekeliling gardu saja yang menim-bulkan suara gemerisik sewaktu terhhembus angin.
Bok Ji-sia kembali menggerutu, “Perut lapar masa disuruh makan angin di sini? Kalau nanti be-tul-betul muncul setan di sini, kita akan kehabisan tenaga untuk bertarung. Siu-heng, tadi kau bilang di sini ada perjamuan para setan, kenapa tidak ke-lihatan bayangannya?”
Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak mene-ngadah memandang cuaca sejenak, kemudian sahut-nya, “Sekarang baru kentongan kedua, mungkin se-bentar lagi meja perjamuan akan disiapkan. Bok-lote, harap bersabarlah sebentar! Orang-orang yang akan datang menghadiri perjamuan dalam gardu bobrok ini adalah sekawanan jago lihai, juga ter-dapat manusia macam kita yang mengikuti jalan-nya pertemuan secara diam-diam.” “Siapakah pemimpin mereka?”
“Musuh bebuyutan Thian-seng-po yang dika-takan orang sebagai Bu-lim-te-it-toa-ceng (perkam-pungan nomor satu dalam dunia persilatan), dia adalah Siaucengcu dari Kiam- hong-ceng, Huan-in-kiam (pedang awan) Lamkiong Giok, orang ini bu-kan cuma cerdas otaknya, pula kejam dan banyak tipu muslihatnya, boleh dibilang dia adalah seorang lawan yang sangat tangguh. Tapi, kita tak usah bentrok secara langsung dengan dia, sebab sudah ada beberapa orang gembong iblis yang akan meng-hadapinya.”
Tong Yong-ling dan Bok Ji-sia tidak puas mendengar orang memuji kehebatan Lamkiong Giok, segera Yong-ling bertanya, “Sebenarnya jago lihay macam apa yang akan berdatangan kemari?”
“Menurut apa yang kuketahui, orang-orang yang berdatangan untuk menghadiri pertemuan rahasia ini ada jago dari Kiam-hong-ceng, jago go-longan hitam terkemuka, tokoh Bu-lim-su-toa-to (empat pulau terbesar dalam dunia persilatan) serta kawanan jago persilatan yang berdiri sendiri, jika ditambah pula dengan orang Thian-seng-po, per-temuan ini betul-betul akan meriah sekali.”
“Siu-heng,” seru Ji-sia tiba-tiba, “kita sudah bercakap-cakap cukup lama, tapi masih belum kau perkenalkan nama besarmu dan apakah rahasia ta-nah perkuburan ini?”
“Oo..mengenai diriku, orang persilatan menye-butku sebagai Siau-yau-sian-hong-khek….”
“Ah, jadi kaulah pendekar besar yang disebut orang sebagai Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak?” teriak Tong Yong-ling terkejut. “Bagus ‘’se-kali! Kebetulan kami memang hendak mencarimu!”
“Ada urusan apa kalian mencariku?” tanya Ku Thian-gak heran. Bok Ji-sia tak mengira laki-laki kurus yang sama sekali tak punya “bobot” ini ternyata se-orang pendekar besar dunia persilatan yang disegani dan misterius itu.
Dengan gegetun katanya, “Ku-cianpwe, aku betul-betul lamur, sudah berbulan-bulan kita ting-gal bersama, tapi tak pernah kusadari bahwa, eng-kau adalah pendekar besar yang termasyhur itu, sungguh kebetulan sekali pertemuan kita malam ini, sebab aku dapat menyelesaikan suatu tugas psnting.”
Maka Ji-sia lantas menceritakan soal titipan ketua kesembilan perguruan besar yang meminta kepadanya agar menyerahkan ilmu silat mereka ke-pada Ku Thian-gak, dalam kisah tersebut ia senga-ja merahasiakan soal Jian-kim-si-hun- pian serta ha-diah peta dari para ketua itu.
Mengetahui musibah yang telah menimpa para ketua serta siksaan hidup yang mereka alami, me-ngucurlah air mata Ku Thian-gak, katanya dengan suara penuh emosi, “Oh Kay-thian, wahai Oh Kay-thian! Dendamku sedalam lautan denganmu! O, adik angkatku! Aku pasti akan membalaskan sa-kit hatimu ini……”
Ji-sia ikut merasa sedih, katanya dengan pe-nuh kebencian, “Aku orang she Bok mempunyai dendam sedalam lautan pula dengan Oh Kay-thian, aku hendak membalaskan sakit hati guruku….”
Tiba-tiba air muka Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak berubah menjadi amat serius, ujar-nya, “Bok-lote, bukan sengaja kupuji kekuatan la-wan dan merendahkan kemampuan sendiri, ber-bicara kepandaian yang kita miliki sekarang, rasa-nya sulit untuk meraih kemenangan bila ingin meng-hadapi Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, apalagi ke-licikan serta kecerdasan orang ini sukar ada ban-dingannya. Kalau tidak demikian, tak nanti jago lihai macam Oh Kay-gak pun kena dicelakai oleh-nya.” “Suhu bukan mati di tangannya, ia meninggal demi kepentinganku, ia wafat karena cintanya yang memilukan hati…….”
Berbicara sampai di sini, air mata Bok Ji-sia bercucuran bagaikan hujan, Oh Kay-gak telah ber-korban baginya, budi kebaikan ini membuatnya su-kar mengendalikan perasaan setiap kali teringat akan kematian guru yang mengenaskan itu.
Ku Thian-gak menghela napas, katanya, “Se-waktu Thian- kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak mengurusi benteng Thian-seng-po, rasa setia kawannya, kebijaksanaannya serta kegagahannya selalu dikagumi dan dihormati oleh setiap orang per-silatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih sama-sama hormat dan segan kepada Thian-seng-po, tapi delapan belas tahun kemudian, Seng-gwat-kiam Oh Kay- thian telah menguasai benteng itu, kendatipun ia kejam dan banyak melakukan kejahatan, tapi caranya yang berhasil mengelabuhi khalayak membuat orang masih juga menaruh hor-mat kepadanya, malah tak kalah dengan nama be-sar Oh Kay-gak, ai……”
“Sungguh kasihan beribu-ribu umat persilatan, ternyata tak seorang pun yang mengetahui keada-an Thian-seng-po yang sesungguhnya, sejak kesem-bilan orang Ciangbunjin perguruan besar lenyap tak berbekas, sedikit banyak aku telah berhasil me-nyingkap latar belakang benteng Thian-seng-po, cu-ma sayangnya dalam dunia persilatan hanya aku seorang yang memusuhinya, dengan kekuatan se-minim ini mana mungkin tujuan kita dapat terca-pai……”
Ji-sia segera menjawab, “Walaupun banyak liku-liku dalam dunia persilatan, tapi kebenaran dan keadilan selalu berdiri tegak, pada akhirnya siapa yang melakukan kejahatan pasti akan keta-huan perbuatannya, aku orang she Bok bersumpah hendak membongkar latar belakang kekejaman orang Thian- seng-po, utang darah harus bayar da-rah, masakah mereka bisa lolos dari tuntutan ke-adilan?”
Ku Thian-gak berpaling ke arah pemuda itu, katanya, “Bok- lote, bukan kuanggap pengetahuan-mu masih cetek, tapi kau perlu tahu bahwa umat persilatan di dunia ini sangat berbahaya dan jahat, semua orang hanya memikirkan kepentingan sen-diri, siapakah yang bersedia memusuhi Thian-seng-po tanpa sebab musabab tertentu?”
“Ku-cianpwe, bukankah kau mengatakan bah-wa pihak Kiam-hong-ceng adalah musuh bebuyu-tan pihak Thian-seng- pot?”
Ku Thian-gak kembali menghela napas, ujar-nya, “Berbicara soal perkampungan Kiam-hong-ceng, sesungguhnya mereka juga bukan orang gagah dari golongan baik dalam dunia persilatan, tapi jika kita hendak menaklukkan Thian-seng-po, bantuan Kiam-hong-cengcu Bu-lim-sin-kun Lamkiong Hian memang sangat dibutuhkan, tapi hubungan buruknya dengan Thian-seng-po dikarenakan persengketaannya dengan Pocu yang lain, yaitu Oh Kay-gak, jadi dengan Oh Kay-thian pribadi ia malah tiada permusuhan apa-apa.”
Keterangan ini amat menggetarkan hati Bok Ji-sia, pikirnya, “Konon ilmu silat yang paling tinggi dalam dunia persilatan tempo dulu adalah Oh Kay-gak, Kiu-thian-mo-li serta Bu-lim- sinkun Lam-kiong Hian, sekalipun mereka saling desak, tapi kungfunya seimbang. Kini guruku sudah tiada, itu berarti Lamkiong Hian terhitung paling hebat kung-funya, apa mau dikata orang inipun jahat sekali, mungkinkah dunia persilatan yang sekarang akan menjadi dunianya orang jahat?”
Berpikir sampai di sini, ia lantas berkata lagi, “Ku-cianpwe, tahukah kau persoalan apa yang me-nyebabkan Suhuku berselisih paham dengan Lam-kiong Hian?”
“Pada jaman itu, Oh Kay-gak, Lamkiong Hian serta Kiu- thian-mo-li boleh dibilang merupa-kan manusia yang paling misterius dalam dunia persilatan, persoalan antar mereka kurang begitu kupahami, cuma kutahu bahwa perselisihan itu ter-jadi karena sebuah benda mestika dunia persilatan….”
Semakin terperanjat Ji-sia oleh keterangan itu, pikirnya, “Kalau begitu, perselisihan mereka dika-renakan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian…”
Tong Yong-ling meski tahu kekasihnya mem-bawa ruyung mestika tersebut, tapi iapua tahu ruyung itu mempunyai pengaruh yang amat besar, maka rahasia ini tak pernah diungkapkan olehnya, selama ini dia hanya diam-diam memperhatikan pembicaraan mereka, dari sini dapat diketahui be-tapa sayangnya gadis ini terhadap Bok Ji-sia.
Sementara itu Ji-sia bertanya lagi, “Ku-ciapwe, tahukah kau mestika apa yang mereka ributkan?”
Ku Thian-gak menatap wajah anak muda itu sekejap, sahutnya, “Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang mereka perebutkan, tapi ber-hubung aku adalah sahabat karib Ban-pian-sin-kun Auyang Seng, maka sedikit banyak kutahu juga. Konon benda itu adalah ruyung mestika Jian-kim-si-hun- pian, cuma perselisihan mereka bertiga jelas bukan lantaran ruyung mestika itu belaka, aku yakin latar belakangnya pasti ruwet sekali, kalau tidak tak nanti Oh Kay-gak mati ngenas.”
Terbayang kembali kematian Oh Kay-gak yang mengenaskan itu, dengan penuh emosi Ji-sia berkata, “Ya, betul! Sebab utamanya pasti lantaran ruyung mestika Jian- kim-si-hun-pian, kemudian menyangkut pula….”
Menyangkut soal apa? Ia sendiripun tidak ta-hu, sebab ketika Oh Kay-gak menemui ajalnya, Bok Ji-sia tak lebih hanya berhasil meraba latar belakang peristiwa itu dari mimik wajahnya serta nada ucap-annya.
Ia menghela napas sedih, kemudian katanya lebih lanjut, “Aku harus menyelidiki sebab-sebab perselisihannya, kutahu persoalannya memang ruwet sekali. “Bok-lote,” tiba-tiba Ku Thian-gak berseru, “selamanya aku enggan menanyakan rahasia orang lain, tapi kutahu persoalan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali dengan keamanan dunia persilatan, karena itu mau-tak-mau aku harus tanya juga apakah kau telah mendapatkan……”
Ji-sia tahu bahwa Ku Thian-gak hendak tanya soal ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian, dengan wajah merah sahutnya dengan tergagap, “Ya, Wan-pwe telah mendapatkan ruyung mestika itu, harap Cianpwe bersedia merahasiakan hal ini.”
“Soal terjatuhnya ruyung mestika itu ke tangan Oh Kay- gak, dalam dunia persilatan dewasa ini kecuali orang yang terlibat langsung dalam peristiwa ini dan para saudara Oh Kay-gak, Bu-lim-jit-coat serta kesembilan ketua perguruan besar yang telah tiada, akupun mengetahui kejadian ini dari Ban-pian-sinkun Auyang Seng, jadi tak nanti rahasia ini akan kubocorkan kepada orang lain, hanya saja ada satu hal yang terpaksa harus kuutarakan dulu ke-padamu……”
“Ruyung mestika ini menyangkut beberapa peristiwa berdarah, apabila kemunculannya sampai diketahui oleh orang-orang yang tersangkut dalam peristiwa berdarah itu, maka mereka pasti akan me-lakukan pengejaran dan peristiwa tak diinginkan pan pasti akan terjadi.”
“Kini hanya Oh Ku-gwat dan Oh Kay-thian berdua saja yang mengetahui bahwa ruyung mes-tika ini berada di tanganmu, maka lebih baik ber-hati-hatilah kau terhadap segala tipu muslihat dan sergapan ke dua orang bersaudara itu, apalagi ka-lian sudah mengetahui begitu banyak rahasia Thian-seng- po, tak nanti mereka akan melepaskan kalian dengan begitu saja.”
“Kalau mereka ingin mati, itu lebih baik lagi,” seru Ji-sia dengan sinar mata berkilat, “jadi akupun tak usah repot-repot pergi mencari mereka berdua!” “Ai, kelicikan dan bahaya dunia persilatan amat mengerikan kalau dibicarakan, sekalipun seorang yang berilmu silat tinggi kadangkala tak mampu menggunakan sama sekali kepandaiannya itu, maka dalam perjalananmu mengarungi dunia persilatan, harus waspada sekali, jangan terjebak oleh siasat bu-suk orang.”
“Sebagai seorang laki-laki sejati, kita tak boleh bersembunyi macam kura-kura, mati hidup berada di tangan Tuhan, lagipula segala kejahatan dan tipu muslihat dunia persilatan terlalu banyak, sekalipun kau ingin menghindarinya belum tentu mereka mau sudahi dengan begitu saja.”
Tong Yong-ling yang sejak tadi diam saja ikut bicara, “Ilmu silat Bok-siangkong tinggi sekali, bila kita membantunya pula mungkin segala yang tak diinginkan, dapat dicegah.”
Mendengar perkataan ini, Ku Thian-gak ber-pikir, “Benarkah ilmu silat anak muda ini sanggup mengalahkan Bwe- hoa-sian-kiam dan diriku?”
Baru saja ia bertemu kembali dengan Ji-sia, sudah tentu ia tak tahu sampai di manakah kemaju-an yang telah dicapai pemuda itu, padahal kalau dibicarakan, jangankan orang lain, sekalipun kawan-an jago lihay seperti Thian-kang-kiam Oh Ku- gwat pun belum tentu sanggup melukainya.
Sambil manggut-manggut Ku Thian-gak lantas berkata, “Ya, dengan tenaga gabungan kita bertiga rasanya memang bisa mengatasi segala yang tak di-inginkan!”
“Ku-cianpwe!” tiba-tiba Ji-sia bertanya, “kata guruku, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian ini selain menyangkut peristiwa berdarah, sesungguhnya mengandung pula suatu rahasia mestika yang meng-gemparkan dunia persilatan, tahukah kau tcntang rahasia ini?” Sebelum Ku Thian-gak sempat menjawab, men-dadak dari balik keheningan yang mencekam tanah pekuburan itu berkumandang suara siulan nyaring aneh.
“Ah, mereka sudah datang! Mereka sudah da-tang! Kawanan setan itu telah bermunculan!” buru-buru Ku Thian- gak berbisik.
“Semoga kawanan setan itu membawa serta hi-dangan yang lezat,” sela Tong Yong-ling sambil tertawa, “kalau tidak, kami berdua bisa mati ke-laparan.”
Suitan aneh itu setelah berkumandang sejenak, lalu berhenti, lalu berkumandang pula.
“Rupanya mereka sedang memanggil kedua re-kannya yang telah kubunuh tadi, mungkin juga me-reka sudah menemukan rekannya yang mengalami nasib sial itu,” bisik Ku Thian-gak.
“Andaikan orang-orang Kiam-hong-ceng be-gitu tak berguna semacam kedua orang tadi, ke-napa kita mesti takut kepadanya?” bisik Ji-sia pula.
“Bok-lote, kau tahu mereka hanya pelayan kelas empat dalam perkampungan Kiam-hong-ceng, dan orang yang berdatangan sekarang mungkin lebih lihai kungfunya, tapi kedudukan merekapun cuma pelayan, paling-paling kelas dua.”
Sementara pembicaraan berlangsung, tiba-tiba dari tanah pekuburan di bawah bukit sana berke-lebat datang empat sosok bayangan manusia, me-reka berpakaian ringkas warna hitam dan berpe-dang, pada tangan masing-masing membawa sebuah keranjang bambu, mungkin isinya adalah arak dan makanan.
“Hei, lihat mereka benar-benar membawa santapan dan arak! Wah, kebetulan sekali,” bisik Ji-sia kegirangan. Empat orang laki-laki berbaju hitam itu lang-sung masuk ke dalam gardu bobrok, dari dalam keranjang mereka keluarkan cawan, sumpit dan lain sebagainya, setelah memberi alas kain putih pada meja batu itu, hidanganpun diatur di atas meja.
“Ayo cepat turun tangan!” bisik Tong Yong-ling tak sabar, “Kalau para setan besar sama ber-datangan, sulitlah untuk mencuri makanan.”
Tiba-tiba Ji-sia berseru tertahan, “Jarak dari sini hingga gardu tersebut amat jauh, sulit buat kita menyadap pembicaraan rahasia mereka, lebih baik kita menyusup ke atap gardu saja…”
“Akal ini memang bagus sekali!” Tong Yong-ling segera menanggapi.
Ku Thian-gak termenung sebentar, lalu kata-nya, “Tapi dengan begitu bukankah berarti secara terang-terangan kita akan bermusuhan dengan merekat?”
“Kalau ingin berbuat, maka lakukanlah, apa yang mesti ditakuti?”
Kedua orang ini betul-betul ibaratnya banteng kecil yang tidak kenal apa artinya takut, apa yang terpikir segera ingin dilaksanakannya.
“Baiklah!” kata Ku Thian-gak kemudian, “le-tak rahasia mestika dalam tanah pekuburan itu ha-nya diketahui oleh Siaucengcu dari Kiam-hong-ceng, Huan-in-kiam Lamkiong Giok seorang, bila kita memang berniat merampas mestika tersebut, terpaksa harus menempuh bahaya ini.”
“Sebenarnya rahasia apakah itu? Mestika apa yang begitu menarik perhatian umat persilatan se-hingga dari tempat jauh mereka berdatangan kemari untuk menyerempet bahaya?”
“Mestika apa, sebentar kalian akan tahu sen-diri. Sekarang kita tak boleh bertindak lambat lagi, kalau tidak, bisa ketinggalan kereta. Nah, kalian berdua menyusuplah ke bawah, sedang aku akan ber-teriak dari sini untuk memancing pencarian keempat orang itu.”
Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling tidak berbicara lagi, diam- diam mereka turun ke bawah bukit….
Pada saat lain mendadak dari atas bukit ber-kumandang suara kucing mengeong, kedengaran me-ngerikan dalam tanah pekuburan yang memang se-ram dan penuh hawa setan itu. Keempat laki-laki berbaju ringkas yang berada dalam gardu saling tukar pandang, dua di antara-nya mencabut pedang dan naik ke atas bukit untuk melakukan pemeriksaan.
Dengan bersembunyi di balik gundukan tanah pekuburan, Ji-sia serta Yong-ling menyusup ke arah gardu setelah kedua orang laki-laki tadi ber-jalan lewat. Sebagaimana diketahui, ilmu silat kedua muda-mudi ini sudah terhitung jago kelas satu dalam du-nia persilatan, ilmu meringankan tubuh mereka amat sempurna, langkahnya sama sekali tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Mendadak dari atas bukit berkumandang dua kali suara dengusan tertahan…..
Mendengar suara itu, kedua orang laki-laki yang berada dalam gardu segera memutar tubuh. Akan tetapi, baru saja mereka barpaling, dua sosok bayangan manusia dengan kecepatan luar bi-asa telah melayang tiba di belakang mereka, me-nyusul terdengar pula dua kali dengusan tertahan, kedua orang itu kena ditutuk jalan darahnya oleh Ji-sia berdua sehingga jatuh tak sadarkan diri.
Sebelum mereka roboh, Ji-sia telah menyam-bar tubuh kedua orang itu dan membawanya ke atas bukit, lalu dibaringkan jadi satu dengan kedua rekannya, kemudian bersama Ku Thian gak baru kembali ke gardu itu. Dalam pada itu, dari dalam keranjang bambu Tong Yong ling telah mengeluarkan beberapa puluh biji bakpao serta makanan lain.
Ketika Ku Thian-gak muncul, sambil tertawa Tong Yong-ling segera berkata, “Ku-cianpwe, ka-mi benar-benar lapar sekali!”
Ku Thian-gak tersenyum, “Hati-hati kalau majikan setan muncul di sini, melihat kita mencuri makanan mereka, bisa jadi perut kita akan di-cengkeram sampai robek.”
“Apa salahnya? Mereka pasti akan mengira keempat orang itu yang mencuri makan.”
“Ayo kita cepat naik ke atap gardu uutuk bersembunyi,” seru Ku Thian-gak.
Dengan ilmu meringankan tubuh, mereka me-lompat ke atap gardu. Ternyata atap gardu itu berbentuk segi empat dengan bagian ujungnya melengkung ke atas, tem-pat semacam itu justeru sangat baik untuk tempat sembunyi, lagipula ada sementara atap yang pecah, dari celah-celah itu justeru mereka dapat melihat jelas sekeliling ruang gardu itu, siapa pun tak me-nyangka ada orang yang berani mengintip mereka dari atas.
Tong Yong-ling dan Bok Ji-sia saling pandang dengan tertawa, tanpa sungkan-sungkan, lagi mereka menyikat hidangan tersebut dengan lahapnya. Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara aneh yang tinggi melengking dan memanjang membelah kesunyian tanah pekuburan. Makin lama suara itu makin memanjang dan memekak telinga, suaranya membumbung tinggi ke angkasa dan mendengung tiada hentinya……
Belum lenyap pekikan itu menggema, dari ba-lik tanah perkuburan yang sepi muncul empat orang Ya-heng-jin (orang yang berjalan malam) meluncur ke arah gardu dengan cepat sekali. Ditinjau dari kecepatan beberapa orang itu dapat diketahui bahwa keempat orang itu adalah kawanan gembong iblis dalam dunia persilatan.
Dalam waktu singkat keempat orang itu sudah tiba di depan gardu, dengan sinar matanya yang ta-jam orang-orang itu menyapu pandang sekejap se-keliling tanah pekuburan, kemudian salah seorang di antaranya, seorang laki-laki setengah umur yang berwajah pucat berkata dengan suara menyeramkan, “Kenapa orang Kiam-hong-ceng belum datang?”
Seorang kakek kurus berambut putih tertawa dingin, sahutnya, “Saudara Tu, apakah kau tidak melihat bahwa meja perjamuan telah disiapkan di sini?”
Seorang manusia aneh lain yang berbaju hitam, bertangan panjang sampai lutut dan bertelapak ta-ngan lebar seperti kipas tertawa terkekeh-kekeh se-ram, katanya, “Mari kita masuk saja, kalau me-mang Lamkiong Giok mengundang kita makan mi-num, apa salahnya kalau kita makan sekenyangnya lebih dahulu?”
Masuklah keempat orang itu ke dalam gardu bobrok.
Mendadak seorang laki-laki setengah umur yang berikat kepala, berkumis panjang dan berma-ta tikus dengan wajah yang licik lagi tertawa ngakak.
“Hahaha, saudara bertiga,” ucapnya, “Jangan sampai kita terjebak oleh siasat Lamkiong Giok, coba kau lihat perjamuan yang dipersiapkan ini ma-sa sesosok bayangan setan pun tak nampak? Se-akan-akan kita diundang untuk memasuki neraka saja, lebih baik kita jangan rakus lebih dulu.”
Ucapan itu sangat mengejutkan Bok Ji-sia dan Tong Yong- ling, pikir mereka, “Benar juga, kalau makanan itu dicampuri racun, bukankah kami ber-dua akan mampus?”
Berpikir demikian, kedua orang itu segera sa-ling pandang dengan menyengir. Sementara itu perasaan Siau-yau-sian- hong-khek Ku Thian-gak berubah menjadi berat sekali setelah menyaksikan keempat orang itu, ia sudah seringkali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, ter-hadap jago tangguh golongan putih dan golongan hitam sudah banyak diketahuinya.
Ternyata keempat orang ini adalah Bengcu da-ri golongan hitam di wilayah Holam, Shoatang Oupak dan Anhwei, orang menyebut mereka sebagai Hek-to-su-koay (empat manusia aneh dari golongan hitam). Laki-laki setengah umur yang berwajah pucat itu bernama Kui-tau-kou (kaitan kepala setan) Tu Leng-mong, si kakek kurus bernama Sat-hong-tok-ciang (tangan beracua angin jahat) Ki Thi-hou, manusia aneh berlengan panjang bernama Eng Jiau-jiu (si Cakar elang) Hau Wi-kang, dan akhirnya laki-laki setengah umur bermuka licik dan bermata ti-kus itu bernama Tok-sim Siu-su (sastrawan berhati keji) Bu Yan-hong yang banyak tipu muslihatnya.
Keempat orang aneh dari golongan hitam ini memiliki kungfu yang sangat lihai, terutama se-bagai Bengcu dari wilayah Holam, Shoatang, Oupak dan Anhwei, kekuasaannya dalam golongan hitam amat besar.
“Bu-heng,” terdengar Kui-tau-kau Tu Leng-mong berkata, “kenapa kau banyak curiga? Kalau sampai didengar Lamkiong Giok, pasti dikira ki-ta tidak bersahabat, apalagi dia toh membutuhkan bantuan kita, masakah jiwa kita akan dicelakainya?”
Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong tertawa dingin, sahutnya, “Saudara Tu, memang betul juga per-kataanmu, cuma kan lebih baik kita lebih berhati-hati.”
Dari percakapan keempat orang itu Bok Ji-sia menaruh kesan yang kurang baik, dia enggan mem-perhatikan orang- orang itu dan lebih baik melalap makanan yang tersedia. Bwe-hoa sian-kiam Tong Yong-ling adalah ib-lis perempuan yang cukup membuat tokoh kalang-an hitam pusing kepala, tentu saja ia kenal orang-orang itu, diam-diam iapun tercengang melihat ke-munculan manusia-manusia aneh tersebut, sebab keempat orang itu tak pernah bersatu, biasanya saling menjagoi wilayah sendiri.
Ia tak menyangka keempat manusia buas ter-sebut dapat diundang orang dan berkumpul di sini. Bila di dengar dari perkataannya tadi, jelas me-reka menaruh hormat terhadap Huan-in-kiam Lam-kiong Giok dan ini berarti Lamkiong Giok dapat mengendalikan Hek-to-su-koay, sungguh seorang yang luar biasa.
Terdengar Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang tertawa terkekeh, lalu berkata, “Sekarang kita berempat membantu Lamkiong Giok, tapi setelah mestika itu didapatkan, bagaimana pula caranya membagi rejeki secara rata?”
“Menurut pendapatku, lebih baik kita jangan mau diperalat oleh Lamkiong Giok,” ujar Sat-hong- tok-ciang Ki Thi-hou dengan dingin, “sebab, seka-lipun mestika berhasil didapatkan, yang rugi tetap kita sendiri.”
“Perkataan saudara Ki memang betul,” Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong tertawa licik, “menurut pendapatku, lebih baik kita berempat bersatu untuk melawan kawanan jago dari aliran lain, kupikir de-ngan kekuatan kita berempat, rasanya tidak banyak yang berani mencabut kumis harimau.”
Bok Ji-sia tak puas mendengar ucapan itu, pi-kirnya, “Hmm, kalau aku marah, kalian berempat pasti akan kuhajar menjadi empat setan. Huh, ka-mi berada di atas kepala kalian saja tidak diketa-hui, masih berani sesumbar semacam itu, sungguh tidak tahu malu!”
Dalam pada itu, Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang berkata pula, “Tanpa petunjuk Lamkiong Giok, mana mungkin kita bisa temukan mestika itu dari tanah pekuburan yang demikian luas ini? Memang-nya kita mesti membongkar setiap kuburan yang ada di sini?” Terkesiap hati Ji-sia mendengar itu, pikirnya: “Mereka berkata bahwa mestika tersebut ada di da-lam kuburan di sekitar sini, padahal berdasar peta mestika Hian-ki-hian-cing yang diserahkan kesem-bilan ketua kepadaku, katanya Ji-khi- kun-goan-sin-wan berada di dalam sebuah kuburan kuno di se-kitar benteng Thian-seng-po. Jangan-jangan mestika yang sedang dicari kawanan jago persilatan adalah mestika tersebut……”
Berpikir sampai di situ ia lantas melirik ke arah Tong Yong- ling, rupanya gadis itu pun mempunyai pikiran sama, matanya melirik pula ke arah anak muda itu, tiba-tiba nona itu mengangguk.
Ji-sia sangat girang, kembali ia berpikir, “Ya, pasti mestika itulah yang dimaksudkan, kalau tidak tak nanti begini banyak jago persilatan berbondong-bondong datang kemari. Ha ha ha, kalian tak perlu bersusah payah lagi, mestika itu adalah milikku…..”
Dari wajah Bok Ji-sia yaug berseri-seri, Siau-yau-sian-hong- khek Ku Thian-gak dapat menebak pikirannya, sebagai saudara angkat dari ketua Ciong-lam-pay yang ikut mendapat bagian peta rahasia kitab Hian-ki-hian-cing-pit-lok dan pil mestika Ji- khi-kun-goan-sin-wan, sejak anak muda itu bercerita bahwa ia telah bertemu dengan ketua kesembilan perguruan besar, diam-diam ia sudah menduga peta rahasia tersebut tentu sudah dihadiahkan kepada anak muda ini.
Sebagai seorang laki-laki yang berjiwa besar, karena Bok Ji- sia tidak menyinggung, Ku Thian-gak pun tidak bertanya agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
Diam-diam ia ikut bersyukur atas kemujuran enak muda itu, sebab barang siapa yang belajar silat dapat makan dua pil Ji-khi-kun-goan-sin-wan, maka tenaga dalamnya akan bertambah dua kali enam puluh tahun latihan, jika anak muda itu sam-pai berhasil mendapatkan pil itu, niscaya sulit un-tuk menemukan tandingannya di kolong langit. Sementara dia termenung, Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong telah tertawa licik sambil berkata, “Mak-sud saudara Hau telah kupikirkan masak-masak, itulah sebabnya kita hadiri undangan Lamkiong Giok malam ini, kita harus memancingnya untuk me-ngatakan di mana letak mestika tersebut, kalau tidak, buat apa kudatang ke sini?”
Kui-tau-kau Tu Leng-mong tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, kecerdikan saudara Bu memang mengagumkan, seandainya Lamkiong Giok tidak menyebutkan di mana letak mestika tersebut, lantas apa pula yang hendak kita lakukan?”
Padahal Hek-to-su-koay adalah manusia licik yang banyak berpengalaman, sesungguhnya masing-masing berniat mengangkangi sendiri mestika itu. Selama hidup Bok Ji-sia paling benci pada manusia licik macam begitu, timbul perasaan tidak puasnya terhadap kelakuan orang-orang itu.
“Siaute mempunyai suatu akal bagus,” kata Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong sambil tersenyum licik, “tanggung peta mestika itu akan kita dapatkan.” “Maksudmu kita akan merampas mestika itu setelah berada di tangannya?” tanya Sat-hong-tok- ciang Ki Thi-hou sambil tertawa dingin.
“He he he, saudara Ki memang orang pintar, Siaute memang bermaksud demikian, cuma persoal-annya pada kita berempat…..”
“Apakah kita berempat bisa bekerja sama atau tidak, begitu bukan?” sambung Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang cepat.
“Tepat! Tepat sekali…..”
Pekik nyaring yang berkumandang dari kejauh-an tiba-tiba menggema memecah keheningan.
Sambil tertawa “Kui-tau-kou Tu Leng-mong se-gera berkata, “Lamkiong Giok telah datang, kita harus bertindak menurut keadaan!” “Betul, kita sudah sepakat,” sambung Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong dengan senyum dingin.
Sementara itu tampak delapan sosok bayangan manusia dengan kecepatan tinggi muncul dari balik kegelapan dan bergerak mendekat. Dalam waktu singkat mereka telah tiba di luar gardu bobrok itu, ternyata mereka adalah delapan orang laki-laki berpakaian ringkas warna hitam dan menyandang pedang.
Terkejut juga Bok Ji-sia menyaksikan gerak tubuh kedelapan orang laki-laki ini, ia merasa orang Kiam-hong-ceng rata-rata berilmu tinggi, bahkan yang satu lebih hebat daripada yang lain, ini ter-bukti dari kungfu kedelapan orang ini, jelas jauh di atas keempat laki-laki tadi.
Salah seorang di antaranya segera berseru lan-tang, “Tuan berempat tentu sudah menunggu lama, sebentar Siaucengcu kami akaa tiba di sini.”
Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong tertawa dingin, sin-dirnya, “Kalian orang Kiam-hong-ceng benar-benar tak mengerti sopan santun, kenapa tidak mengirim orang lebih dulu untuk menyambut kedatangan kami?”
Mendengar ucapan tersebut, air muka laki-laki itu berubah, ditatapnya sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya dengan lantang, “Sejak tadi pihak kami telah mengutus enam orang datang ke-mari khusus meladeni Tuan berempat, jangan-jangan telah terjadi sesuatu di luar dugaan?”
Tiba-tiba berkumandang lagi pekikan nyaring yang menggema. Dari balik tanah pekuburan yang seram kembali muncul dua belas orang laki-laki ber-baju ringkas dan berpedang, ilmu silat rombongan ini jelas jauh di atas rombongan kedua tadi.
Salah seorang diantaranya segera berseru lan-tang, “Siaucengcu kami sudah hampir tiba!” “Hmm„ besar amat lagaknya!” gerutu Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling di dalam hati.
“Siaucengcu tiba…..” seruan nyaring berku-mandang lagi dari kejauhan sana.
Suara itu bergema di angkasa dan mendengung tiada hentinya, berbareng itu muncul empat sosok bayangan orang dan melayang datang dengan kecepatan luar biasa, mereka adalah empat lelaki yang juga berpakaian ringkas warna hitam.
Menyusul di belakang keempat orang itu, ada lagi dua sosok bayangan yang meluncur masuk ke dalam gardu bobrok itu tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun. Gerak tubuh mereka amat cepat, hanya sekilas berkelebat tahu-tahu sudah berada dalam gardu, itulah sebabnya Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling yang bersembunyi di atas gardu rak sempat melihat wajah mereka.
Dari gerak tubuhnya yang begitu cepat, bisa ditebak tenaga dalam dan kedudukan kedua orang itu tentu tinggi. Di antara kedua orang itu, tampak salah se-orang di antaranya adalah seorang sastrawan setengah umur yang bermuka putih dan berjubah war-na biru.
Agak terkesiap Sian-hong-khek Ku Thian-gak melihat kehadiran orang ini, ia tak mengira Bu-sian Gisu (pertapa yang tak suka menganggur) Kwanliong Ciong-leng yang dihormati baik oleh golongan hitam maupun oleh golongan putih juga melibatkan diri dalam perebutan mestika ini.
Perlu diketahui bahwa Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng adalah seorang tokoh persilatan yang ber-hubungan baik dengan kalangan hitam maupun pu-tih, oleh karena ia cerdik dan pintar bersilat lidah, banyak tipu muslihatnya, maka semua persoalan da-lam dunia persilatan pasti melibatkan dia, setiap orang persilatan sama merasa segan padanya. Tentang kehebatan ilmu silatnya tiada orang yang tahu karena selama ini ia tidak pernah ber-kelahi dengan orang.
Ketika Hek-to-su-koay melihat Bu-sian Gisu berada bersama Lamkiong Giok, ia terkejut.
Mereka bangkit berdiri menyambut kedatang-an kedua orang itu, lalu sambil tertawa Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong berkata, “Sungguh tak kusang-ka saudara Kwanliong ikut datang ke tanah pekuburan yang terpencil ini?”
Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-ling bergelak tertawa, sambil balas memberi hormat sahutnya, “Mana, mana! Orang persilatan memberi julukan Bu-sian Gisu kepadaku, mana boleh kutinggalkan keramaian yang bakal melanda dunia persilatan de-ngan begitu saja?”
“Benar!” tukas Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong de-ngan tersenyum, “kejadian semacam ini memang aneh bila tidak dihadiri saudara Kwanliong.”
Seorang laki-laki berbaju hitam yang ada di luar gardu tiba- tiba masuk dan memberi hormat kepada seorang Pemuda berjubah hitam sambil ber-kata, “Lapor Siaucengcu, saudara- saudara kita yang datang duluan telah lenyap tak berbekas, mungkin mereka mengalami sesuatu di luar dugaan.”
Pemuda berbaju hitam Huan-in-kiam Lamkiong Giok menyapu pandang sekejap ke arah Hek-to-su-koay dengan sorot mata tajam, lalu kepada laki-laki di belakangnya ia berkata. “Bawa empat saudara kita dan mencari mereka, sisanya mengambil posisi pada jarak sepuluh tombak di sekitar gardu!”
“Terima perintah!” dua puluh empat orang laki-laki berbaju hitam itu serentak mengiakan.
Setelah memberi hormat dan mengundurkan diri, ke-24 orang itu menyebarkan diri pada posisi masing-masing, seakan-akan sedang menghadapi musuh. Ji-sia berkerut kening menyaksikan kejadian itu, diam-diam diamatinya pemuda berbaju hitam atau Siaucengcu dari Kiam- hong-ceng, Huan-in-kiam Lamkiong Giok, ia merasa pemuda ini sangat tampan dengan dandanan yang perlente, senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya, kecuali sinar matanya yang tajam, sama sekali tidak nampak menyolok, rupanya tenaga dalamnya telah mencapai tingkatan yang luar biasa.
Diam-diam Ji-sia merasa terkejut, pikirnya, “Tadinya kukira dia adalah manusia berkepala tiga bertangan enam, ternyata dia berusia sebaya denganku, agaknya kungfunya juga sangat hebat.”
Waktu itu, Huan-in-kiam Lamkiong Giok se-dang menjura kepada Hek-to-su-koay, katanya, “Si-lakan saudara sekalian duduk, maaf bila kedatang-anku agak terlambat, sebab ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan lebih dulu.”
“Siaucengcu biasanya berdiam dalam perkam-pungan saja, tapi namamu sudah jauh termashur sampai di mana-mana, pertemuan malam ini sung-guh sangat menyenangkan,” Kui- tau-kou Tu Leng-mong menanggapi sambil tertawa.
Lamkiong Giok tersenyum, katanya, “Saudara terlalu memuji, aku tak berani menerimanya. Ku-kira saudara sekalian pasti sudah tahu maksud un- danganku malam itu?”
Ji-sia mengagumi gaya orang, pikirnya, “Orang ini memang hebat, caranya bicara pun mantap…..”
“Mana, mana!” kata Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong sambil tertawa licik, “harap Siaucengcu suka menjelaskan maksud yang sebenarnya.”
Dalam pada itu keenam orang telah mengam-bil tempat duduknya masing-masing, Lamkiong Giok dan Kwanliong Ciong-leng duduk menghadap ke timur, sedangkan keempat manusia aneh masing-masing duduk di sebelah selatan dan utara, tinggal tempat di bagian barat yang masih kosong. “Berbicara sesungguhnya, kedatangan Siaute yang sangat terburu-buru ini memang mengandung maksud tertentu,” Lamkiong Giok membuka pembicaraan sambil tersenyum, “selain persoalan yang telah kalian ketahui, masih ada suatu masalah pen-ting lain yang hendak dibicarakan. Selama ini per-kampungan Kiam-hong-ceng kami mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan sahabat-sa-habat dari Holam, Shoatang, Oupak dan Anhwe, karena itu kami ingin memohon bantuan dari sau-dara berempat untuk……”
“Siaucengcu, beberkan saja maksudmu agar kami dapat membahasnya bersama,” tukas Tok- sim-siausu Bu Yan-hong, “asal kami sanggup mem-bantunya, sudah barang tentu akan kami bantu se-kuat tenaga.”
Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng tertawa, katanya, “Saudara Bu terlalu sungkan, maksud Lamkiong-lote adalah ingin menggunakan kekuatan saudara berempat serta kekuatan Kiam-hong-ceng sendiri untuk bersama-sama mensukseskan suatu persoalan besar dengan masing-masing pihak mem-peroleh keuntungan yang sama.”
“Kwanliong-heng, rupanya kaupun ikut ambil satu bagian?” sindir Eng-jiau-jiu Hou Wi-kang.
“Tidak berani! Tidak berani! Siaute cuma suka campur urusan orang, adapun kedatanganku ber-sama saudara Lamkiong tak lebih hanya ingin men-jadi saksi dalam kerja sama antara saudara berempat dengan pihak Kiam-hong- ceng.”
“Bagaimanakah watak sandara Kwanliong, aku-pikir saudara berempat pasti lebih mengerti dari pada-ku sendiri,” sambung Lamkiong Giok dengan cepat, “Maka sengaja kuundang kehadirannya malam ini berhubung kukuatir saudara berempat tidak per-caya padaku…” “Ah, mana, mana,” Bu Yan-hong tertawa di-ngin, “seandainya kami berempat telah menyang-gupi untuk bekerja sama, tak nanti berani mem-punyai pikiran lain.”
“Sesama kawan persilatan harus berhubungan secara jujur, berhenti sejenak, Lamkiong Giok berka-ta pula, “Keberangkatanku ditugaskan oleh ayahku, tapi tak kusangka persoalan ini bisa tersiar dengan begini cepat ke seluruh dunia persilatan, persoalan ini seharusnya dapat kuselesaikan sendiri, ki-ni malah menjadi berat, jago-jago kenamaan dari golongan hitam maupun putih sama berdatangan untuk turut serta dalam urusan ini.
“Siaute tahu di sekitar tempat ini telah ber-munculan orang-orang Bu-lim-su-toa-to (empat pu-lau besar dunia persilatan), kalau tujuannya cuma peta mestika Hian-ki-hian- cing adalah soal kecil, ta-pi situasi dunia persilatan telah mengalami perubah-an, hal ini menyangkut pula sengketa dengan ayah-ku pada 18 tahun dulu, orang yang tak pernah mun-cul kini telah berkumpul di sekitar tempat ini, kuyakin jika persoalan ini sampai menjalar maka ka-wanan iblis seangkatan ayahku pun akan sama ber-munculan……”
Perkataannya menyangkut rahasia besar yang penting artinya, kecuali Bu-sian Gisu seorang, se-muanya hampir dibikin tertegun. Ku Thian-gak, Bok Ji-sia dan Tong Yong-ling yang berada di atas gardu pun dapat meresapi pula arti ucapan Lamkiong Giok, mereka tahu perkata-an itu bukan isapan jempol belaka.
“Yang dimaksudkan Lamkiong Giok bukankah masalah Jian- kim-si-hun-pian serta perselisihannya dengan Oh Kay-gak di masa lalu?” demikian pi-kirnya, “dunia persilatan saat ini memang bergolak, itu berarti ucapannya tidak omong kosong……”
Sementara itu Lamkiong Giok telah berkata lagi setelah berhenti sebentar, “Agaknya suatu badai besar akan berlangsung di sekitar Thian-seng-po, lagipula masalah ini menyangkut kepentingan se-luruh umat persilatan, dalam kekacauan tersebut bila kita tidak bersatu padu, pasti kita akan disikat orang……”
“Siaucengcu,” tiba-tiba Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong menukas sambil tertawa licik, “apakah kau bisa bicara lebih jelas lagi?”
Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng tertawa, “Hahaha, saudara Bu, apakah kau kira saudara Lamkiong mengibul?”
“O, tidak, tidak berani! Siaute hanya ingin tahu, persoalan apakah yang bisa membuat dunia persi-latan menjadi kacau dan bergolak?”
“Kau pernah mendengar tentang Jian-kim-si-hun-pian yang merupakan mestika dunia persilatan?”
Begitu mendengar tentang ruyung mestika ian-kim-si-hun- pian, kontan saja keempat manusia aneh itu terbelalak matanya, sambil manggut-manggut. Bu Yan-hong berkata, “Aku dengar ruyung ini menyangkut serangkaian pembunuhan berdarah da-lam dunia persilatan, bila muncul kembali pasti akan menimbulkan kekacauan hebat. Cuma sudah puluhan tahun ruyung itu lenyap dari peredaran, kenapa secara tiba- tiba bisa muncul kembali?”
“Siaute telah menjelaskan seriusnya masalah ini kepada kalian, kupikir kalian tentu sudah mengerti bukan?” kata Lamkiong Giok nyaring, “sewaktu berangkat, lantaran tergesa- gesa maka Siaute tak membawa pembantu yang banyak, tapi bila ditin-jau dari keadaan sekarang, tak mungkin kita bisa merampas kitab Hian-ki-hian-ceng-pit-liok dan ke-dua pil Ji- khi-kun-goan-sin-wan hanya dengan mengandalkan kekuatan sekecil ini terutama yang paling merisaukan adalah kekuatan Thian seng-po. Mereka berada di dekat kuburan, kuyakin tempat pusaka sudah kuketahui. Karenanya kita mesti bersatu, pokoknya jika mestika itu berhasil kita dapat-kan, pasti tak akan kulupakan kalian berempat, tapi kalau kalian keberatan, kami pun segera akan mo-hon diri.”
Pertanyaan langsung yang membutuhkan jawab-an tegas ini menyulitkan keempat orang aneh itu.
Sat-hong-tok-ciang Ki Thi-hou tertawa seram, katanya, “Apakah Siaucengcu telah mengetahui le-tak kuburan tempat penyimpanan mestika itu?”
Lamkiong Giok tertawa bangga, sahutnya, “Kalau mencari jarum dalam samudra, tak nanti Siaute berani mengundang kedatangan saudara semua, se-baliknya jika kalian sudah setuju, besok malam ken- tongan ketiga kita boleh turun tangan.”
Ji-sia merasa sangsi oleh perkataan itu, pikir-nya, “Benarkah dia memiliki peta Hian-ki hian-cing-po-toh? Bukankah peta itu sudah diperoleh para ketua kesembilan perguruan? Jangan-jangan tidak cuma sembilan ketua saja yang memperoleh peta semacam itu….”
Sementara itu, Tok-sim-siucu Bu Yan-hong te-lah berkata lagi sambil tertawa licik, “Siaucengcu, bila mestika itu sudah kita dapatkan, lalu bagaima-na pula caranya membagi mestika tersebut?”
“Saudara Bu,” cepat Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng menanggapi sambil tertawa, “bila pem-bagian mestika didasarkan pada rahasia yang di ketahui setiap orang, maka adalah pantas kalau Kiam hong-ceng memperoleh prioritas pertama.”
“Jadi maksud saudara Kwanliong?” tanya Eng-jiau-jiu Hou Wi-kang sambil tertawa seram, “Lamkiong-siaucengcu mengetahui tempat pe-nyimpanan mestika itu, maka sepantasnya sembilan bagian diberikan padanya?”
“Kalau begitu kenapa Kiam-hong-ceng tidak turun tangan sendiri saja?” tukas Tok-simn-siusu Bu Yan-hong. Lamkiong Giok tertawa lantang, selanya, “Siau-te tak ingin kehilangan bantuan saudara berempat hanya lantaran soal pembagian mestika, sekarang aku mempunyai dua usul, entah kalian bisa mene-rima atau tidak?”
“Coba katakanlah, akan kami pertimbangkan dengan serius,” Ki-tau-kou Tu Leng-mong berkata.
“Saudara Kwanliong, harap sampaikan kedua usulku itu kepada mereka,” kata Lamkiong Giok kemudian sambil tertawa.
Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng tertawa, se-runya, ”Saudara Lamkiong, engkau menghormati diriku, sudah sewajarnya aku menjadi seorang saksi yang baik. Usul pertama adalah, setelah mestika itu didapatkan, maka pihak Kiam-hong-ceng akan mendapatkan kedua butir Ji-khi-kun- goan-sin-wan, sedangkan saudara berempat memperoleh bagian Hian-ki-hian-cing-pit-lik, entah bagaimana pendapat kalian berempat?”
Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong tertawa licik, bu-kas menjawab dia malah bertanya, “Saudara Kwanliong, apa benar seorang yang makan Ji-khi-kun-goan-sin-wan akan memperoleh tambahan tenaga da-lam sebesar dua kali enam puluh tahun?”
Tentu saja Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng tahu di balik ucapan ini masih ada maksud lain, diam-diam sumpahnya, “Sialan kau Tok-sim Siu-su, jangan kau main gila, sampai waktunya nanti be-tapa liciknya kalian akhirnya pasti akan terjebak juga….”
Tapi pikiran itu tak sampai diperlihatkan pada wajahnya, dengan sikap yang wajar jawabnya, “Bu-kan kami enggan memberikan kedua pil itu kepada kalian, soalnya kalian berempat dan pil itu cuma dua sehingga sukar dibagi, maka kami putuskan untuk menyerahkan kitab pusaka itu kepada kalian, sebagaimana diketahui, kitab itu merupakan hasil karya seorang jago paling lihay pada seratus tahun yang lalu, asal kalian bisa mempelajarinya, tanggung kepandaian kalian berempat akan tiada tandingan-nya lagi di dunia ini”
“Tapi bagaimana soal waktunya?” kata Eng-jiau-jiu Hou Wi- kang, “dalam jangka waktu ini masa tak ada orang lain yang akan coba meram-pasnya?”
Lamkiong Giok tersenyum, “Sekalipun orang lain yang mendapatkan kitab itu, kitapun akan mengincarnya, soal rebut berebut dan bunuh mem-bunuh tak bisa lagi dihindari, justeru untuk me-nanggulangi persoalan ini, maka malam ini kuundang kalian untuk bekerja sama.”
“Ucapan Siaucengcu memang benar, tapi ba-gaimana pula dengan usul yang kedua?”
Lamkiong Giok termenung sebentar, kemudian jawabnya, “Usul pertama kelihatannya tidak adil, kukira kalian belum tentu mau menyetujuinya, maka usul yang kedua ini jelas sangat adil….”
“Maksudmu, kita berusaha merampas mestika itu dengan mengandalkan kepandaian masing-masing?” tanya Sat-hong- tok-ciang Ki Thi-hou de-ngan tertawa seram.
“Betul, memang begitulah maksudku, setelah mestika didapat, kita segera menyerahkannya kepada saudara Kwanliong, kemudian kita berlima saling beradu kepandaian masing-masing,” tutur Lamkiong Giok.
“Apakah si penonton takkan menjadi nelayan yang mujur malah?” sindir Tok-sim Siusu.
Ia maksudkan dalam keadaan sama terluka parah nanti, bisa jadi Kwanliong Ciong-leng akan tampil sebagai nelayan yang mujur. Bok Ji-sia mencuri dengar dari atas gardu, di-am- diam ia tertawa geli, mereka saling curiga, apa-kah mestika itu bisa didapatkan? “Mencurigai orang tak ada gunanya, meng-gunakan orang janganlah curiga,” Kwanliong Ciong-leng berseru dengan tertawa.
Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong terbahak-bahak penuh kelicikan, “Hahaha, saudara Kwanliong sa-lah paham, siapa yang tidak tahu Bu-sian Gisu adalah seorang jujur dan adil?”
“Terima kasih atas pujian saudara Bu!” sahut Kwanliong Ciong-leng.
Sat-hong-tok-ciang Ki Thi-hou tertawa mengerikan, kemudian berkata, “Membagi harta dengan mengandalkan kepandaian, hal ini sudah tentu me-rupakan cara yang paling adil, tapi bagaimana ca-ranya melakukan pertandingan nanti?”
“Tentu juga adil, oleh karena itu telah kupi-kirkan pula caranya agar semua pihak merasa pu-as,” kata Lamkiong Giok.
“Bagaimanakah caramu itu saudara Lamkiong?” tanya Kui- tau-kou Tu- Leng-mong.
“Mula-mula kita berlima mengambil undian untuk menentukan seorang pemenang lebih dulu, empat orang lainnya dibagi menjadi dua kelompok yang harus saling berhadapan untuk mengadu ke-pandaian masing-masing, kita memberi batas seratus gebrakan saja, dengan begitu pertarungan tak akan sampai mengakibatkan keadaan yang fatal sehingga menguntungkan pihak lain.”
“Dua orang pemenang itu dapat beristirahat sebentar sementara pemenang pertama yang tanpa bertanding tadi harus bertempur dengan salah seorang dari dua orang yang kalah itu hingga bisa diketahui tiga orang pemenang. Setelah itu kita me-ngambil undian lagi untuk melakukan pertarungan secara bergilir dengan seorang pemenang pada akhirnya pemenang itulah yang berhak mendapat-kan pil mestika dan kitab pusaka itu. Entah bagai-mana pendapat kalian dengan usul ini?”
Senyuman licik kembali menghiasi wajah Tok-sim Siu-su.Bu Yan-hong, “Menentukan menang kalah dengan mengandalkan kepandaian memang cara yang paling adil, lantas bagaimana pula bantuan yang mesti kami berikan kepadamu?”
“Bila mestika itu didapatkan, kita harus beker-ja sama untuk melawan musuh luar yang berusaha merampas, sebelum mestika didapatkan kita harus bekerja sima untuk melenyapkan musuh-musuh di sekitar tempat ini, bila kalian setuju, maka besok petang tatkala matahari terbenam, kita berkumpul lagi di sini.”
Mendadak ia tutup mulut, sambil tertawa dingin tangannya diayun ke depan, tiga titik cahaya putih dengan kecepatan luar biasa meluncur ke balik sebuah kuburan di luar gardu, menyusul iapun melayang ke sana.
Perubahan itu terjadi amat mendadak, hal ini membuat Bok Ji-sia, Tong Yong-ling dan Ku Thian-gak yang berada di atas gardu merasa terkejut, mereka mengira tempat sembunyinya diketahui. Kungfu Lamkiong Giok memang hebat, ge-rak tubuhnya sangat cepat, sekali lompat tahu-tahu sudah beberapa tombak jauhnya. Ketiga titik sinar yang menyambar ke depan kuburan itu telah ber-putar dan melayang balik ke tangannya. Sambil men-dengus ia melayang balik lagi ke dalam gardu.
Kurang lebih belasan tombak di depan gardu sana lantas terdengar seorang tertawa dingin, “Su-dah lama kudengar Lamkiong Hian mempunyai se-orang putra bagaikan naga, tampaknya berita itu memang bukan omong kosong belaka, cuma ilmu Hui-sian-hui-kiam (pedang terbang memutar) itu masih belum bisa mengapa-apakan diriku, hehe…..Sungguh menggelikan, kalian menganggap diri sendiri sebagai jago paling lihai dan bicara soal me-rampas kitab pusaka, padahal ada orang yang nong-krong di atas kepala kalian tidak diketahui, masa kalian masih sok jagoan? Hehehe………”
Gelak tertawa seram itu makin lama makin menjauh dan akhirnya lenyap. Bok Ji-sia, Tong Yong-ling dan Ku Thian- gak terperanjat sekali demi mendengar perkataan itu, mereka tahu tempat sembunyinya telah ketahuan musuh, maka lebih baik unjuk diri saja.
Benarlah beberapa orang yang berada dalam gardu itu segera mendongak ke atas dengan pera-saan sangsi.
“Ser! Serr! Serr!”, tiga sosok bayangan dengan cepat melayang turun.
Hal ini sungguh mengejutkan keenam gembong iblis itu, bayangan berkelebat, keenam orang itu serentak melompat keluar gardu. Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak dan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling adalah jago-ja-go kenamaan yang menggetarkan dunia Kangouw, tentu saja keenam iblis itu mengenalnya, ini tam-bah mengejutkan mereka.
Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng tertawa ter-bahak- bahak, sapanya, “Saudara Ku, baikkah selama ini? Rupanya kalian pun telah mendapat ka-bar dan ikut kemari, hahaha!………”
Keenam orang itu adalah gembong iblis yang memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, kini kena dipecundangi orang di luar tahu mereka, hal itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan, tapi ketika sorot mata Lamkiong Giok menyapu wajah Tong Yong-ling, wajah dingin yang penuh diliputi hawa napsu membunuh itu segera berhias senyum-an, serunya kaget, “He, kukira siapa! Rupanya Bwe- hoa-sian-kiam Tong-lihiap yang tersohor itu!”
Ketika Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng me-lihat Lamkiong Giok memberi muka kepada mu-suh, iapun berkata sambil tertawa nyaring, “Mari, mari! Kita adalah kenalan lama, ayo masuk ka gar-du dan minum secawan arak dulu.”
Sikap mereka yang pura-pura ramah ini boleh dibilang tindakan cerdik, pertama gengsi semua orang bisa diselamatkan, kedua dapat pula meng-hilangkan pertarungan yang tak perlu. Merekapun tahu bahwa Ku Thian-gak dan Tong Yong-ling adalah jago kosen yang memusingkan ke-pala umat persilatan, walaupun mungkin saja me-reka bisa membunuh ketiga orang itu, tapi harus berlangsung dulu suatu pertarungan yang sengit.
Sambil tertawa dingin Tong Yong-ling berkata, “O, rupanya kau yang bernama Huan-in-kiam Lam-kiong Giok, Siaucengcu perkampungan Kiam-hong-ceng! Baru saja kukira kau ini manusia yang ber-kepala dan berlengan aneh macam siluman?”
Suaranya merdu, gerak-geriknya menja mem-buat orang sama sekali tidak merasakan sindiran tersebut.
Lamkiong Giok tertawa dan menjawab, “Dalam perjalanan Kwan-liok tempo hari kukira dalam du-nia persilatan, telah muncul seorang gadis binal, se-telah kuselidiki akhirnya baru kuketahui gadis na-kal itu adalah murid Han-bwe-kokcu Bwe- hiang-sian-ki yang bernama Bwe-hoa-sian-kiam. Hahaha, sungguh berjodoh kita dapat bertemu lagi pada malam ini.”
Ji-sia tak pernah berkelana dalam dunia persilatan, tak seorang pun kenal padanya, uutuk se-saat ia tak digubris orang. Pada kesempatan ter-sebut ia menyapu pandang sekejap sekeliling situ, dilihatnya kawanan laki-laki berpakaian hitam itu berdiri di sekeliling sana, kenyataan ini sangat mengejutkan hatinya.
Teringat orang tadi, ia jadi heran, entah dari manakah orang itu menyusup masuk, betapa cepat perginya juga luar biasa sekali, sungguh sangat me-ngejutkan. Selain itu, iapun merasa kagum dengan ke-pandaian senjata rahasia Lamkiong Giok, ia mera-sa kungfu pemuda itu tak boleh dianggap enteng.
Dalam pada itu Tong Yong-leng tampak kurang senang, katanya ketus, “Apakah kita harus melangsungkan pertarungan lagi untuk menentukan kalah menang?”
Diam-diam Lamkiong Giok menyumpah dalam hati, “Sialan budak setan ini, bila aku tidak me-ngalah tempo hari, kau sudah mampus sejak dulu…”
Tapi lahirnya dengan tersenyum dan menjawab, “Nona Tong, pukulan Bwe-sat-ciangmu cukup me-matikan, kita tiada permusuhan, kenapa mesti ber-tempur secara mati-matian?”
Tong Yong-ling mendengus, “Hmm, kalau be-gitu kami tak akan berdiam lagi lebih lama di sini!”
Sinar mata Bu-sian Gisu Kwanliong Ciong-leng yang tajam sudah mulai menelusuri sekujur badan Bok Ji-sia, senyuman licik yang sukar diduga mak-sudnya mulai tersungging pada ujung bibirnya.
Ku Thian-gak terperanjat menyaksikan senyum-an licik Kwanliong Ciong-leng itu, pikirnya, “Orang ini hendak melakukan niat jahat terhadap Bok Ji-sia, jangan-jangan…..”
Sementara itu Tok-sim Siu-su Bu Yan-hong se-dang tertawa terbahak-bahak ketika mendengar Tong Yong-ling akan pergi, katanya, “Nona Tong, kau datang tergesa-gesa, pergi pun terburu-buru, apakah kau tidak merasa tindakanmu ini kurang sopan?”
“Harap saudara sekalian sudi memberi maaf,” Ku Thian-gak segera menjura sambil tertawa, “se-sungguhnya kami bertiga tidak bermaksud menya-dap pembicaraan kalian, bila hari ini ada kesalahan, biarlah lain hari aku orang she Ku membalas ke-baikan saudara.”
Pada saat itulah tiba-tiba muncul empat laki-laki kekar masuk ke dalam sambil mengempit em-pat sosok tubuh, setelah memberi hormat kepada Lamkiong Giok, kata mereka, “Lapor Siaucengcu, keempat orang saudara kita ini tertutuk jalan da-rahnya dan dilemparkan ke tempat gelap.”
Dengan pandangan tajam Lamkiong Giok me-lirik sekejap ke arah Ku Thian-gak, kemudian me-nyindir, “Hehehe, Ku- tayhiap, katanya kau datang kemari tanpa maksud apa-apa. Hm!…….”
Sambil mendengus, ia membungkuk badan dan menutuk beberapa kali pada tubuh keempat laki-laki itu. Tiga orang di antaranya se#gera bersuara terta-han dan bangun berduduk dengan wajah masih me-ngantuk, seakan-akan baru saja mendusin dari im-pian, tapi salah seorang di antaranya ternyata be-lum bebas juga tutukannya, Lamkiong Giok telah mencoba dengan pelbagai cara tapi tiada hasilnya, hal ini membuatnya tertegun.
Ku Thian-gak dan Tong Yong-ling terkesiap juga, tiba-tiba sorot mata nona itu beralih ke wajah Bok Ji-sia. Ternyata jalan darah orang itu ditutuk oleh Bok Ji-sia, sebagaimaaa diketahui, ilmu silatnya ber-asal dari kitab Jiat-im-siang-gi-pit-keng, caranya menutuk jalan darah pun merupakan suatu kepandaian is-timewa, tanpa pertolongannya orang lain sulit mem-bebaskan pengaruh tutukan tersebut.
Dengan penasaran Lamkiong Giok mencoba lagi beberapa kali, tapi hasilnya tetap nihilf akhirnya dengan hati terkejut tapi tetap tersenyum ia berkata kepada Tong Yong-ling, “Ilmu silat Tong-lihiap memang luar biasa sekali, cukup melihat cara-mu menutuk jalan darah saja sudah membuatku takluk sekali, tolong bantulah membebaskan tutuk-an orang ini”
Menurut pemikiran Lamkiong Giok, kungfu yang paling tinggi di antara ketiga orang itu ada-lah Tong Yong-ling, sebab dia adalah murid Bwe-hiang-sian-ki, maka iapun mengira nona itu yang menutuk jalan darah anak buahnya. Merah jengah wajah Tong Yong-ling, ia lantas berpaling ke arah Bok Ji-sia dan berkata sambil tertawa, “Bok-siangkong, tolong bebaskan jalan da-rah orang itu!”
Pelahan Ji-sia maju ke samping laki-laki itu, sekali tendang, tubuh orang itu mencelat sejauh beberapa kaki………
Terdengar orang itu mendengus tertahan, lalu merangkak bangun.
Betapa gusar Lamkiong Giok melihat tindakan Bok Ji-sia, sambil tertawa dingin ia bertanya, “Nona Tong, apa boleh kutahu jago lihai darimanakah dia itu?”
“Maaf, aku sendiri tak tahu julukannya.” jawab si nona. Lamkiong Giok tertegun, lalu tertawa dingin tiada hentinya,
sinar matanya yang tajam tiba-tiba melirik sekejap keempat orang yang berdiri termangu di sisi gelanggang itu, kemudian tegurnya dingin “Siapa yang merobohkan kalian?”
Dengan ketakutan keempat orang itu berlutut lalu jawabnya, “Ilmu silat hamba terlalu rendah se-hingga melalaikan perintah Siaucengcu, hamba ber-sedia menerima hukuman.”
“Aku hanya tanya kepada kalian, siapa yang merobohkan kalian berempat!” hardik Lamkiong Giok.