Jilid 08
Kiauw In masih sangat muda, walaupun demikian tenaga dalamnya berimbang dengan tenaganya cabang atas wanita dari luar lautan itu, maka tak mudah ia berbalik dikekang pula. Ia bertahan untuk tetap menguasai keunggulannya. Maka suara senjata menjadi lebih serius beradu nyaring dan gerakan tubuh mereka berdua makin hebat. Karena mereka mengadu tenaga dalam, tindakan mereka ayal.
Itulah saat-saat yang berbahaya buat kedua pihak sama- sama. Siapa lalai ia bercelaka. Alis lentik Kiauw In bangun berdiri, sepasang matanya yang jeli dibuka lebar. Kedua belah pipinya yang halus pun bersemu merah dadu. Tan Hong, karena murkanya tak lagi tampak senyum genitnya yang menggiurkan hati sebaliknya kedua biji matanya mengeluarkan sinar marong bagaikan api bara ! Aneh ialah ia justru tertawa, tawanya justru bertambah keras...
Kedua nona pun sampai memperdengarkan suara nafas mereka... Tengah mereka bergulat lebih jauh itu dengan memecah meminjam tenaga lawan, dengan sekonyong- konyong saja tahunya Tan Hong melejit tinggi, menyusul mana tangan kirinya yang kosong dipakai menyerang lawannya, ia menggunakan pukulan Udara Kosong dan sasarannya ialah batok kepala lawannya. Kiauw In waspada, matanya tajam gerakannya gesit. Melihat serangan lawan itu ia bertahan menentang tongkat musuh untuk membela diri. Ia memasang kuda-kuda rendah, tangan kirinya diangkat keras ketinggi guna menyambut serangan gencar itu. Ia menggunakan satu jurus dari Hang Liong Hoa Houw Kun silat Menaklukan Naga menundukan harimau ajaran Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian paman gurunya.
Giok Bin Sian Ho cerdik sekali. Barusan dia menghajar Kiauw dengan dua maksud, pertama untuk mengancam supaya tongkatnya dapat dibabatkan, dan kedua sekalian saja kalau- kalau lawan itu dapat dihancurkan batok kepalanya. Tapi ia gagal seluruhnya.
Tidak disangka Nona Cio dapat menentang hajarannya itu ! Ia terkejut sebab selagi menyerang itu, tubuhnya masih belum menginjak tanah, sedangkan tenaganya dipecah dua, ke tangan kanan dan tangan kiri.. satu buat meloloskan tongkatnya, satu lagi buat merebut kemenangan. Tanpa dapat dicegah lagi kedua tangan lantas beradu satu dengan lain.
Dasar dia cerdik. Tan Hong menggunakan kesempatan buat terus menendang. Kiauw In mau menghindarkan diri, terpaksa ia lompat nyamping. Dengan begini berhasillah daya upaya jago dari Hek Kong To itu, tongkatnya lantas lolos dari kekangan pedang.
Bagus untuknya, Nona Cio tidak meneruskan menyusulnya. Melihat orang mundur, Kiauw In lantas kembali pada Pek Cut Siansu, niatnya buat beristirahat dahulu. Biar bagaimana ia merasa letih. Justru Nona Cio mengundurkan diri, justru ada orang berlompat menyusul padanya, saking cepatnya tubuh orang itu tampak seperti bayangan hitam saja.
Di lain pihak satu sinar mengkilat menyambar arah kepalanya nona yang dihampirinya itu. Semua orang tegasnya semua pendeta menjadi terperanjat. Nona Cio lagi dibokong orang ! Serempak beberapa diantaranya maju guna menghadang musuh.
“Aduh !” demikian terdengar satu jeritan dan robohlah penyerang gelap itu sebelum dia berhasil mencapai Nona Cio, itulah akibat berkilauannya dua buah sinar mirip cahaya bintang yang satu menyambar pedang yang lain mengarah pedang yang dipakai si pembokong. Setelah itu maka ternyata tukang membokong itu yaitu Cek Hong Sian cu Ciu Tong yang membokong Nona Cio guna ia melampiaskan kedongkolan hatinya sebab Tan Hong kena dipukul mudur. Pedangnya itu diruntuhkan dua batang Twie Han Piauw, Piauw Mengejar Koh atau Piauw maut dari In Gwa Sian yang membantu Kiauw In berbareng mencegah majunya lawan.
Tatkala itu jam empat kira-kira. Angin gunung bertiup mendatangkan hawa makin dingin. Anginpun membuat rimba menjadi berisik sebab bergerak-gerak dahan dan daunnya.
Hanya pertempuran di muka gerbang Siauw Lim Sie telah reda sendirinya, sebab musuh mundur teratur dan pihak Siauw Lim Sie tidak mengejarnya. Orang pada hendak beristirahat.
Maka sunyilah suasana disekitar tempat itu ! Tetapi justru sang kesunyian baru menguasai sang malam, mendadak orang mendengar suara-suara yang datangnya dari dalam kuil, datangnya saling susul suaranya seperti mengalun ditengah udara. Semua orang terperanjat. Pek Cut mengerti musuh sudah menyelundup kedalam kuil sedikitnya guna mengacau. Maka ia lantas memikir siapa yang dapat dikirim untuk membantai pihaknya yang membelai kuil. Selagi berpikir itu, berulang-ulang ia memuji Sang Buddha !
Sebelum kepala pendeta itu berkata-kata Liauw In sudah bertindak kehadapannya buat memberi hormat seraya berkata
: ”Dari dalam kuil terdengar suara-suara dari timur menyerang ke barat, maksudnya buat mengacau kita supaya kita ribut dan bingung tak karuan. Menurutku tak usah kita mengirim bantuan kesana. Di dalam kuil sudah ada tiga totiang dan Bu Tong Pay, kawanan jahanam itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Kita harus jaga supaya kita tidak kena tertipu mereka. Baiklah aku yang pergi pulang, guna melongok dahulu.”
Pek Cut Taysu setuju. “Baik, kau pergilah, sute ! Asal kau waspada !”
Liauw In mengangguk, segera ia berangkat pergi. Ketika tadi Beng Leng Cinjin dari Bok Kang To menempur In Gwa Sian dan pedangnya kena dikutungkan, pedang mana terus ditimpukkan oleh pendeta kepada Tio Itlo, hatinya panas bukan main. Ia pun malu. Sekian lama ia berdiri diam saja. Dan tatkala Kiauw In dan Tan Hong mengadu kepandaian hingga semua orang asyik menonton, mendadak ia mempunyai serupa pikiran, lantas secara diam-diam ia mengangkat kaki dari situ, lantas menuju kedalam kuil.
Diatas genteng dalam diatas beberapa wuwungan atau ruang samping, ia bersembunyi disebuah payon disitu pojok. Dari sini ia memasang mata ke empat penjuru kuil. Ia mendapati pelbagai pandangan dimana cahaya api terang- terang. Tapi lalu sunyi sekali. Hingga ia menjadi heran, ia menerka-nerka apakah sebabnya kesunyian itu ?
Kemudian mengawasi lebih jauh, ia tertarik dan disebuah loteng atau rongkos disebelah kiri. Rumah bangunan itu besar sekali. Didalam gelap segala apa tak nampak tegas. Di sana tak ada pelita atau lentera. Hanya sejenak, Beng Leng lantas pergi ke rongkos itu. Ia melompati pelbagai ruang atau pendopo sebelumnya tiba diatas pendopo yang terakhir. Untuk sampai di tempat itu, ia harus melewati sebuah jalan yang jalannya terbuat dari batu yang terdiri dari tiga susun, jendelanya sangat-sangat sedikit dan semuanya tertutup rapat
! Terpaksa ia lompat turun ke jalanan untuk menghampiri pintu. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat papan merek dengan tiga hurup Chong Keng Kok tadi, itulah loteng tempat menyimpan kitab-kitab pusaka Siauw Lim Sie.
Tiba-tiba muncul ingatannya yang jahat ia memikir membakar lauwiang itu, supaya habis ludas segala catatan penting mengenai Siauw Lim Sie. Ia pun lantas merogoh sakunya buat mengasi keluar Liauw gosokan serta peluru peledak buatannya sendiri.
“Siapa ?” tiba-tiba ia mendengar suara pertanyaan nyaring di belakang selagi tangannya merogoh saku itu.
Beng Leng kaget sekali. Tak disangka ada orang memergokinya. Barusan ia tidak mendengar suara apa juga. Segera ia menoleh maka ia melihat empat orang pendeta dengan jubah suCinya masing-masing, semua tubuhnya tinggi besar, tampangnya kekar dan keren. Mereka itu berdiri tegak. Merekalah empat pendeta yang ditugaskan menjaga loteng itu. Selagi ia melengak sejenak, Beng Leng sudah menggenggam peluru peledaknya itu. Ingin ia melanjutkan niatnya membakar loteng atau sebatang sianthung sudah menyambutnya. Terpaksa, ia menunda menimpuk. Ia mundur dua tindak, habis itu bara tangannya diteruskan diayunkan, dipakai menimpukkan pelurunya itu.
Pendeta itu menyangka orang menggunakan alat rahasia, dia lompat berkelit maka peluru itu mengenai batu dan kontan meledak mendatangkan api berkobar, apinya menyambar jubahnya ! Dalam kagetnya, petugas melindungi keamanannya Chong Keng Kok itu membuang diri bergulingan buat memadamkan api yang membakar tubuhnya. Walaupun demikian sudah meletup ke mukanya membikin luka itu melepuh dan mendatangkan rasa panas nyeri.
Beng Leng sementara itu tidak berdiam diri saja. Ia berlompat maju untuk menyerang tiga pendeta lainnya. Ia menggunakan hadrim, kebutannya, kebutan yang menjadi senjatanya yang istimewa itu, karena itu ciptaan dan buatannya sendiri, ujungnya dibuat dari emas putih, kuat hingga tak takut terbacok kutung oleh golok atau pedang. Kapan digunakan ujung kebuatan dapat menjadi lunak atau keras mengikuti tenaga yang ia kerahkan.
Melihat datangnya serangan, ketiga pendeta berlompat mundur masing-masing satu tindak, tetapi begitu lekas mereka mundur. begitu lekas juga mereka maju sambil menyerang dengan berbareng. Mereka menggunakan Lohan Thunghan ilmu tongkat Arbar dan menyerang itu ke atas ke tengah dan ke bawah. ! Pendeta yang terbakar itu dapat berlompat bangun, dia tak terluka parah, maka juga lantas dia maju mengepung. Tentu sekali ia gusar bukan main.
Pengepungan itu hebat tetapi Beng Leng jauh lebih kosen daripada mereka dan kebutannya juga sangat lihai karena itu mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan lekas juga mereka sendiri yang kena dibikin kalang kabutan. Segera setelah orang keteter dan terdesak, mendadak Beng Leng Cinjin berseru bengis sambil ia mengabut dengan ilmu kebutan. “Angin dan Mega Berubah Warna” maka serempak tongkatnya para pendeta kena dikebut terpapas dari cekalan, mereka semuanya terpental jauh setombak lebih. “Lekas buka pintu Chong Keng Kok !” Beng Leng berseru dengan begis. “Jika tidak, kalian bakal rebah dengan mandi darah !”
Ke empat pendeta itu kaget bukan main, Tanpa tongkat ditangan mereka, mereka berdiri terpisah setombak lebih daripada penyerbu itu, bukannya mereka mengangkat kaki, mereka justru mengawi. Pendeta yang terbakar itu tapinya sudah lantas memperdengarkan siulan nyaring dan lama, memecah kesunyian malam. Siulan itu berkumandang naik ke udara. Beng Leng berpengalaman, tahulah ia apa artinya siulan itu, suatu pertanda ada ancaman bahaya dan meminta bantuan.
Dia memang telengas, dia menjadi sangat gusar, tidak ampun lagi, dia lompat menyerang. Dia menggunakan jurus silat “Pay Khong Ciang Angin Menolak Udara Kosong” yang dahsyat sekali. Seketika itu juga ke empat pendeta roboh tergulung dan terluka parah ! Ia pun lantas menimpukkan empat buah pelurunya ke loteng hingga peluru meledak dan membakar diempat penjuru, apinya terus berkobar. Menyusul itu ramailah suara genta, karena para pendeta yang melihat terbitnya kebakaran, sudah lantas memberikan tanda bahaya itu. Suara genta mengaung ke tengah udara, ke lembah- lembah.
Belum puas Beng Leng dengan pembakarannya itu terhadap Chong Keng Kok, ingin ia membakar lain-lain bagian dari kuil Siauw Lim Sie, buat membikin Pek Cut Siansu menjadi bingung. Maka juga lantas ia meninggalkan loteng yang terus terbakar itu. Selagi ia berlompat, tiba-tiba datang serangan atas dirinya. Dua buah pedang yang bersinar silau menyerang berbareng bagaikan dua ekor naga berebut mutiara mustika, berbarengpun ia mendengar bentakan nyaring : “Manusia jahat ! Kau cobalah pedang Bu Tong Pay ini !”
Jago dari Bok Keng To itu tidak menjadi kaget atau takut, dengan tabah ia menyambut musuh. Dengan kebutannya, ia menyampok pedang yang menikamnya, dengan tangan kiri ia menyerang pula dengan Pay Khong Ciang. Dengan satu gerakan berbareng itu, ia membalas menyerang kedua musuhnya ! Itulah salah satu kepandaian buat menyelamatkan diri berbareng merobohkan lawan ! Kedua imam itu lihai, dua- duanya dapat menjauhkan diri dari petaka.
Imam yang satu, Leng Hiang Tojin, sudah lantas berkata nyaring :
“Ilmu silat Hek To lihai sekali ! Sukar dicari waktunya buat kami memohon pengajaran, maka itu sekarang ini, maukah kau mencoba-cobanya ?”
Beng Leng melompat balik ke wuwungan semula, matanya segera dibuka lebar-lebar. Ia segera mengenali Leng Hian dan Song Hian, kedua imam dari Bu Tong Pay. Ia tahu mereka itu berdua tersohor lihai, ia terperanjat juga. Ia kuatir nanti kena dikepung.
Tapi ia tabah, ia lantas tertawa nyaring dan berkata : “Ilmu pedang Bu Tong Pay sangat termashur, apakah
biasanya kalian maju mengepung untuk merebut kemenangan
? Haaahhaa.. haaha !”
Leng Hian dapat membaca maksud orang, ia tertawa dan berkata : “Pinto biasa merantau dengan sebatang pedangku, belum pernah pinto berkelahi dengan dua melawan satu ! Kau baiklah bertenang diri menerima nasib nanti !”
“Tutup bacotmu !” bentak Beng Leng gusar. “Apakah kamu sangka aku takut kamu nanti mengepungku berbareng ?”
Belum berhenti suaranya itu, imam itu sudah lantas menyerang Seng Hian. Ia menggunakan tangan kosong. Imam dari Bu Tong Pay itu tahu lawan ini pandai ilmu Pay Khong Ciang ingin ia mencobanya, maka itu tanpa ragu-ragu ia menyambut serangan jago luar lautan itu. Maka juga bentroklah dengan hebat mereka satu dengan lain. Menyusuli bentrokan itu, Seng Hian mendahului bertindak terus. Ia putar tangannya yang dilancarkan dengan niat mencekal tangan lawan. Kalau saja ia dapat mencabak.
Beng Leng terkejut. Tak ia sangka imam dari Bu Tong Pay itu demikian cepat. Sembari lekas menarik pulang tangan kanan, dengan tangan kiri ia mengebut ke bahu si imam !
Seng Hian Tojin menggunakan ilmu silatnya yang dinamakan “Kim Liong Ciu”, Tangan Menawan Naga. Ia meluncurkan terus tangannya itu. Ketika kebutan tiba dengan lincah ia berkelit ke samping. Tapi justru si imam dari Bok Kang To pun membarengi menghajarnya dengan kepalan, mengarah pinggangnya. Dengan tangan kanannya juga, Seng Hian menangkis kepalan lawannya. Ia membacoknya. Dilain pihak, dengan pedangnya, ia menikam ke tampilingan jago luar lautan itu. Guna menyelamatkan dirinya, Beng Leng berlompat mundur, lebih dahulu kepalanya dikelitkan dengan melengak ke belakang.
Demikian kedua jago bergerak. Baru saja beberapa jurus sudah terlihat kehebatannya mereka masing-masing. Siapa ayal dia celaka. Setiap serangan berarti serangan maut. Seng Hiang menang diatas angin, maka ia tiba-tiba mendesak, pedangnya berkelebat. Anginnya pedang bersiur-siur, ia mengeluarkan ilmu silat Bu Tong Pay yang tersohor itu. Biar bagaimana, Beng Leng terperanjat juga. Sekarang insyaflah ia akan kelihaian jago dari Bu Tong Pay itu. Hawa dingin pedang meresap kedalam tubuhnya. Walaupun dengan rada repot, ia mencoba mempertahankan diri. Setelah menggunakan kebutannya yang lihai itu, ia juga mengeluarkan ilmu tenaga dalamnya yang ia pernah latih dengan susah payah, yaitu “Mo Teng Kee” khiekang yang lunak, yang disalurkan kepada kebutan, hingga setiap helai dari kebutan itu bergerak-gerak hendak melibat pedang.
Mo Teng Kee mengeluarkan hawa lunak dan lembut, tak keras sedikit juga, tetapi tenaga menariknya, menyedotnya kuat sekali, hingga benda apa juga yang kena terlibat, sekalipun pedang, akan terbetot terlepas ! Seng Hian Tojin luas pengalamannya, tahu ia akan ancaman tenaga lunak lembut itu, maka begitu ia merasai sesuatu yang menarik, lantas ia menerka kepada ilmu kepandaian yang luar biasa istimewa itu.
Segera ia berdaya membebaskan diri. ia menggunakan jurus-jurus “Awan Indah Membersihkan Langit” dan “Angin Puyuh Hujan Lebat” pedang berputar melilit bagaikan bianglala, tubuhnya bergerak tak hentinya maju mundur dan berjumpalitan, dilain pihak ujung pedang selalu mengancam jalan darah lawan. Ia berlaku cerdik dan gesit, senantiasa ia menjauhkan pedangnya dari lembaran-lembaran kebutannya lawan.
Selama menjagoi di Hek Keng To dimana dia berhasil menciptakan dan melatih Mo Teng Kee, pernah beberapa kali Beng Leng membetot merampas senjata lawan dengan mengandali ilmunya yang istimewa itu. Kepandaian itu sangat jarang dipakai kecuali sudah sangat terpaksa, sebab penggunaannya sangat menghamburkan tenaga. Hanya asal digunakan dia belum pernah meleset atau gagal.
Beng Leng Cinjin merasa dirinya sudah terlalu hebat maka ia mengandalkan sangat kepandaiannya itu, karenanya berani dia datang menyatroni kuil Siauw Lim Sie untuk mengubrak abrik kuil itu. Di luar dugaannya dia telah bertemu lawan- lawan yang lihai seperti Seng Hian Tojin ini. Bu Tong Pay menjadi salah satu partai terbesar dan ternama, dapat dimengerti jika ilmu pedangnya pun istimewa, ada bagiannya tersendiri yang lihai. Seng Hian tidak kenal Mo Teng Kee tetapi ia pernah dengar tentang ilmu lunak itu, berkat pengalamannya dapat ia melayani dengan baik.
Demikian selekasnya merasa kebutannya Beng Leng menarik secara luar biasa, lekas-lekas ia mengeluarkan ilmu kepandaian pedang serta kelincahan gerak tubuh partainya. Demikian sinar pedang kehijau-hijauan melayani sinar kebutan keputih-putihan, bergeraknya sama cepat dan lincahnya.
Tengah dua orang lihai itu bertarung seru sekali, sekonyong- konyong terdengar ini suara nyaring yang mempengaruhkan :
“Leng Hiang Totiang, mari kita maju bersama ! Biar melayani ini bajingan jahanam, buat apa kita berpantang lagi kepada aturan-aturan rimba persilatan yang mulia yang harus ditaati ? Dia toh datang menyerbu dan mengacau dengan melanggar ajeg-ajeg suci itu ! Mari totiang, mari menyerbu bersama siauw ceng ! Mari kita bereskan dia !” Dan belum berhenti seruan itu, orangnya sudah berlompat maju tongkatnya diajukan menyela diantara sinar-sinar pedang dan kebutan ! Itulah Liauw In yang baru saja tiba.
Berhadapan dengan tetua dari Bu Tong Pay ia tidak menyebut diri dengan aku, lolap si pendeta tua atau pinceng si pendeta melarat, hanya siauw ceng si pendeta kecil. Itulah pertanda bahwa ia berlaku merendah diri. Hanya setelah seruannya itu, ia maju tanpa menanti jawaban lagi. Seorang pendeta harus sabar, lemah lembut dan hormat. Semua sifat itu ada pada Liauw In yang usianya sudah cukup lanjut, kalau toh ia sekarang menjadi bertabiat keras dan tak sabaran itu, itulah karena ia melihat bukti dari kecurangan lawan, sudah datang menyerbu secara diam-diam, tetapi juga telengas, telah main menggunakan api membakar Chong Keng kok, suatu bangunan Siauw Lim Sie yang sangat penting itu.
Waktu melihat api berkobar di loteng itu saja ia sudah kaget bukan main, timbul lantas kekuatirannya bahwa segala kitab pusaka akan termusnah. Syukur banyak pendeta sudah lantas muncul disini, mereka yang mencoba memerangi api, ada juga yang membantu ke empat pendeta petugas yang sudah menjadi korbannya Heng Leng yang ganas itu.
Ia lantas merasa lega hati, maka lantas ia tanya kemana perginya si orang jahat pembakar loteng itu.
“Paman” berkata salah seorang petugas yang terluka itu, “dia lari keras genting dari Lohan Tong” Lohan Tong ialah Ruang Arhat.
Mendengar jawaban itu, tanpa mengatakan sesuatu lagi, Liauw In lari ke arah ruang itu selekasnya ia tiba di ujung payon ia lantas melihat berkelebatannya sinar pedang dan mengenali Seng Hian Tojin yang lagi bertarung dan Leng Hian Tojin tengah berdiri bagaikan menonton pertempuran itu.
Maka musuh, berkobarlah hawa amarahnya hingga menjadi merah ada wajahnya merah padam.
Demikian dalam kegusarannya itu, ia lari menghampiri, lalu menyerukan Leng Hian Tojin dan terus mendahului menyeburkan diri dalam medan pertempuran. Di saat itu juga Beng Leng Cinjin tengah mendongkol dan bergusar sekali, sebabnya ialah sesudah menggunakan Mo Teng Kee sekian lama masih ia belum sanggup merobohkan lawannya. Ia sempat menggertak, gigi dan matanya seperti merah menyala, maka juga munculnya Liauw In membuatnya seperti api yang disiramkan minyak, tidak ayal sedetik juga, ia menyambuti si pendeta, menghajarnya deng Mo Teng Kee digabung dengan Pay Khong Ciang.
Segera juga Liauw In menjadi terkejut, sehingga lupa ia akan hawa amarahnya. Ia lantas merasai adanya tenaga menarik yang menyedot tongkatnya. Sedotan itu tidak keras atau kaget tetapi kuat sekali. Lekas-lekas ia mengempit tongkatnya, untuk menahannya sebab tak dapat secara mendadak ia menariknya lolos. Ketika itu, ia pun terpisah dekat dengan lawan tak ada lima kaki. Justru itu datanglah serang Pay Kong Ciang yang dahsyat itu.
Inilah hebat. Bisa celaka ia kalau ia tidak melepaskan tongkatnya dan lompat mundur atau berkelit ke sisi. Dalam ilmu silat ketangguhanya Liauw In cuma dibawahnya Pek Cut Taysu, kakak seperguruannya yang menjadi hongthio, pendeta kepala dari Siauw Lim Sie. Ia telah berhasil memahirkan ilmu tongkat Lohan Thung dan pukulan tangan kosong Lohan Ciang karenanya mana mau ia dalam satu gebrak saja melepaskan tongkatnya itu, sebab itu dapat memalukan Siauw Lim Sie dan dirinya sendiri.
Karenanya disaat terancam itu berbareng membelai tongkatnya (tongkat panjang semacam toya) mendadak ia berlompat sambil berjingkrak, tangan kanannya menyerang dengan Lohan Ciang menyambut Pay Khong Ciang. Tanpa dapat dicegah pula, beradulah kedua kekuatan dahsyat itu, Pay Kong Ciang kontra Lohan Ciang. Bentrokan itu mempengaruhkan Mo Teng Kee dari Beng Leng Cinjin, yang sedotannya menjadi berkurang sendirinya, Liauw In lantas merasai tongkatnya tertarik kendor itu, ia menggunakan kesempatan dengan segera. Tangan kirinya yang mencekal keras tongkatnya sengaja ditolakan dibikin kena tersedot tetapi hanya sejenak segera ia menariknya pulang dengan kaget. Maka loloslah tongkat itu dari sedotan, menyusul mana ia lompat mundur hingga ia lolos dan bebas seluruhnya.
Sementara itu Seng Hiang telah mematuhi aturan rimba persilatan, ia memegang kekal namanya sebagai jago silat, salah seorang tertua dari Bu Tong Pay. Meskipun ia tahu Beng Leng sudah merusak aturan rimba persilatan, ia toh tidak menyambuti ujaran atau ajakannya Liauw In Hweshio.
Demikian, tengan Beng Leng dan Liauw In berkutat itu ia tidak turun tangan ia justru berdiri diam menyaksika saja. Kalau ia mengepung bersama pastilah Beng Leng celaka atau dia kalah seketika. Ia mundur dua tindak selekasnya Liauw In maju menyerang. Beng Leng juga melompat mundur dua tindak selekasnya tongkat si pendeta lolos.
Untuk sejenak, ia berdiri menelongi, cuma wajahnya yang memperlihatkan tampang bengis dan kejam bagaikan bajingan jahat. Dilain detik dia sudah merogoh sakunya terus mengayun tangannya, melontarkan tiga buah peluru. Liauw Goan Tan yang dapat meledak itu sasarannya ialah Seng Hian, Leng Hiang dan Liauw In bertiga ! Ketika imam dan pendeta itu tahu lihainya peluru musuh itu mereka lantas menghindari diri dengan caranya masing-masing.
Seng Hian memutar pedangnya untuk menempel dan menyampok peluru maut itu, maka Liauw Goan Tan kena terlempar keatas dan meledak ditengah udara, hingga apinya mucrat ke empat penjuru angin ! Leng Hian menyambuti peluru dengan ia mengegos tubuhnya ke sisi dengan tindakan setangan menyala bumi, sebelah tangannya diulur, guna menangkap lunak peluru itu, guna diraup dan digenggam ! Liauw In mempelajari Gwa Kang atau Ngo Kang, ilmu keras, ia tidak dapat menyambut peluru secara lemah lembut, maka juga setibanya peluru musuh ia memapaki dengan penolakan keras Lohan Ciang. Tangan Arhatnya. Maka satu tenaga yang kuat membuat peluru maut itu terpental balik.
Beng Leng kaget sekali. Bisa celaka ia kalau ia lalai dan kurang gesit. Peluru jahatnya itu bisa makan tuan ! Maka buat melindungi diri, lekas-lekas ia menyerang dengan Pay Khang Ciang. Dengan begitu, Liauw Goan Tan kena tertolak mundur oleh Liauw In dan kena tertahan oleh pemiliknya sendiri.
Dimana dua kehebatan saling menggencet, maka meledaklah peluru itu hingga apinya menyambar muncrat kesegala arah, buyar ditengah udara.
Hanya terbengong sejenak, Beng Leng segera lompat turun dari payon. Ia melihat ketiga lawan itu lihai, sangsi ia buat menempurnya lebih jauh. Tapi ia bukannya lari ia hanya menyelundup ke lain bagian dari kuil yang ia hendak memusnahkannya, apa mau mencari lain bagian dari kuil yang ia dapat jadikan sasaran pelurunya, ia lari justru ke perdalamannya.
Tatkala itu fajar lagi mendatangi. Si putra malam sudah turun jauh ke barat. Langit sudah gelap di sana sini. Beng Leng loncat turun justru dilorak dari Lohan Tong, samar-samar ia melihat mereknya ruang itu.
“Baiklah aku mencoba ruang ini” pikirnya. Ia dengan halnya setiap murid Siauw Lim Sie yang mau turun gunung, kepandaiannya harus diuji dahulu di Lohan Tong, siapa tidak sanggup melewatinya ia gagal. Ujian disitu bukan dilakukan oleh penguji manusia hanya oleh Bok Jin dan Bok Ma, orang- orangan dan kuda-kudaan kayu. Demikian dengan perasaan ingin tahu ia memasuki ruang itu.
Ruang gelap petang, maka jago luar lautan ini menyalakan api. Ia bertindak di tangga. Ia mendapati ruang kosong melompong. Tak dapat ia melihat lebih jauh kedalam. Hanya disisi kiri dan kanan ada teratur tempat pemujaan yang teraling dengan tirai sulam warna kuning, hingga tak terlihat patung atau benda apa yang diperankan disitu. Tidak ada meja atau lainnya. Ada juga lankan besi merah yang melindungi di depan sekitarnya. Apinya Beng Leng berkelak kelik tak dapat ia melihat tegas, tetapi dialah bajingan dari luar lautan, nyalinya besar sekali. Dengan tabah ia bertindak masuk.
Tiba-tiba mendadak “Sret !” terdengar satu suara atau ruangan menjadi terang benderang seluruhnya. Itulah cahaya dari api lentera liulie teng yang menyala diempat penjuru dengan berbareng. Saking heran ia menghentikan tindakannya dan lantas menoleh kelilingan.
“Apakah ini ?” katanya kemudian sambil tertawa nyaring. “Inilah gertaknya yang tak akan membuat orang kaget”. Ia memadamkan apinya dan menyimpannya pula kedalam saku, lalu dengan berani ia bertindak terus memasuki ruang.
Berjalan belum lima tindak, mendadak Beng Leng mendengar satu suara nyaring diatasan kepalanya, menyusul mana dari kedua sisi tampak mengepulnya asap kuning meluluhan, disusul pula dengan munculnya dari kuil dan kapan masing-masing sesosok tubuh arhat besi (thie lohan) yang besar dan gerakannya gesit, berbareng keduanya menghadang sambil menyerang ! Yang disebelah kiri yaitu Hong Liong Lohan, mukanya merah brewokan, dadanya lebar terbuka, serangannya dahsyat karena berat dan cepatnya sama dengan gerak geriknya manusia. Yang disebelah kanan yaitu Hok Houw Lohan, mukanya hitam, alisnya hitam tebal, serangannya dengan dua kepalannya mengarah pinggang. Pukulan itu pun cepat dan keras. Itulah serangan yang tidak disangka-sangka Beng Leng.
Serangan itu tidak dapat dilayani dengan totokan kepada jalan darah atau sedotan dengan ilmu Mo Teng Kee. Juga tidak tepat untuk ditangkis. Lebih tak tepat untuk dibarengi diserang, artinya keras lawan keras, dia menghajar, kira membalas menghantam. Maka itu tidak ada jalan lain bagi Beng Leng buat menghindarkan diri. Ia lantas menjauhkan dirinya menyingkir dengan tubuh bergulingan. Kedua penyerang menyerang dari kiri dan kanan dengan sasarannya lolos mestinya mereka beradu satu dengan lain.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Kedua pihak kepalanya berhenti sejenak berjarak dua dim satu dengan lain tak saling membentur, sebaliknya semua tangan tertarik kembali dengan sendirinya. Jadi itulah semacam alat rahasia yang istimewa.
Sambil masih rebah Beng Leng melihat bekerjanya arhat besi itu, tetapi belum sempat ia berdiri serangan sudah datang pula. Kali ini kedua arhat maju sambil menendang dengan masing-masing sebelah kakinya, dengan tendangan “Menyapu Ruang”. Untuk menghindarkan diri ia mencelat bangun, menyingkirkan diri.
Ketika ia menoleh, tampak kedua arhat kembali ketempat asalnya. Jago luar lautan ini menjadi kagum dan sangat tertarik hati, bukannya dia jeri dan mundur, justru ia ingin mencari tahu terlebih jauh. Maka usahalah ia bertindak ke sebelah dalam. Dalam sepuluh tindak ia sudah mendengar suara berkeresek seperti semula tadi. Itulah suara bekerjanya alat rahasia. Tirai kuning lantas tersingkap pula memunculkan Acanda Lohan yang bermuka merah seperti emas dan alisnya gomplot bersama Kanyapa Lohan yang beralis hitam beralis putih. Kedua arhat itu maju dari kiri dan kanan, dari tempat munculnya secara tiba-tiba majunya tak cepat juga tak perlahan, setelah mendekati si iman kira tiga kaki mendadak mereka mendak, terus mereka menendang secara berantai empat kali, disusul dengan hajaran kepalan mereka dari sisi kiri dan ke kanan dan kebawah, semua serangannya dahsyat.
Beng Leng berlaku cerdik. Ia pula tetap tabah. Hendak ia mencoba kekuatan tangan dan kaki arhat besi itu. Ia berkelit dari pelbagai tendangan, ia berlompat maju lalu memapak kaki kedua arhat, hingga terdengar suara nyaring. Menyusul hajaran itu kedua arhat yang gagal menyerang, sebaliknya kena terserang mundur sendirinya ketempat asalnya ke dalam lankan, kebalik tirai kuning. Beng Leng sementara itu merasai tangannya bergemetar dan sesemutan, dia heran. Dia tidak sangka, tubuh arhat itu seperti juga mempunyai hasil latihan sepuluh tahunan saking kuatnya.
Sekarang dia bersangsi maju terus atau mundur teratur.
Kalau dia mundur, dia kuatir nanti ada yang tertawakan. Kalau dia maju terus, dia menguatirkan serangan-serangan lainnya lagi yang terlebih lihai. Selagi jago dari luar lautan ini berpikir guna mengambil keputusan, tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar Lohan Tong.
“Kenapa Beng Leng si bangsar tua dari Hek Keng To itu lancang memasuki Lohan Tong ? “ demikian suara yang satu.
“Bangsat tua itu sudah tiba hari naasnya !” kata yang lain. “Kali ini dia bakal roboh ! Tadi dia dipecundangi Paman guru Liauw In serta Seng Hiang Totiang lantas dia kabur ke Lohan Tong. Rupanya ia sudah luber kejahatan maka dia tak dapat menyingkir dari keadilan dunia !”
Terang dan tegas suara kedua orang itu. Beng Leng menjadi sangat mendongkol. Ia telah dicaci dan dihina. Maka berkatalah ia di dalam hati. : “Tempat macam apakah Lohan Tong ini ? Toh bukan kandang singa dan sarang harimau !
Hayo maju terus ! Akan aku bakar ludas semuanya !” Ia merogoh sakunya buat mengeluarkan peluru apinya, untuk ditimpukkan ke empat penjuru.
Tiba-tiba ia mendengar pula : “Bangsat tua Beng Leng itu tahu ilmu silatnya tidak berarti, maka dia mengandalkan peluru apinya buat main bakar saja ! Lihat saja, kalau dia membakar didalam Lohan Tong, sama juga dia membakar dan menembus dirinya sendiri !”
Kaget Beng Leng mendengar kata-kata itu. “Didalam dunia ini dimana ada orang demikian dungu yang mau membakar dirinya sendiri ?” begitu ia berpikir. “Ya, aku hampir keliru berpikir !..”
Maka itu, menuruti suara hatinya, ia bakal menuju keluar, ia kembali kedalam, memasuki ruang arhat itu ! Hanya kali ini ia berwaspada, senantiasa siap sedia. Setindak demi setindak ia maju, sampai lewat kira sepuluh tombak. Sekarang ia dihalangi langkan atau lorang merah. Kapan ia mengangkat kepalanya, ia melihat tirai kuning yang seperti mengerudungi seluruh ruang itu. Lain dari tirai itu, ruang kosong dari perabotan apa juga. Ia lantas berdiam bersiaga. Ia menerka akan muncul lagi dua arhat besi. Ia celingukan kesekitarnya. Beberapa saat ia berdiam begitu, ia tidak mendengar atau melihat apa-apa. Ia menjadi heran, hingga timbullah curiganya. Karena bercuriga itu yang membuatnya berkuatir. Beng Leng merasa punggungnya dingin. Itulah pertanda dari hati jeri. Lantas ia membesarkan nyali, bahkan sambil berseru ia menyerang dengan Pay Khong Ciang, menghajar tirai kuning itu, ialah hajaran hebat, sebagaimana tadi ia berhasil merobohkan empat petugas Chong Keng Kok. Mereka itu adalah dari angkatan kedua.
Kesudahannya serangan ini menambah herannya jago luar lautan itu. Serangan cuma membuat tirai bergoyang dan berkibar, tersingkap baik, lalu perlahan-lahan turun pula. Tak ada tanda-tandanya bekas terhajar hebat ! Beng Leng heran dan bercuriga, ia menjadi bingung sendirinya. Lantas ia mendapatkan apa yang dinamakan “Pwee King Coa Eng” yaitu perasaan cahaya seperti “melihat bayangan ular dari busur didalam cawan” lurus matanya membayangi bagaikan dia terserang dari pelbagai penjuru hingga lantas ia mendapat ingatan untuk lari kabur dari Lohan tong. Sulit buat maju, dia memikir buat mundur !
Tiba-tiba ada hawa dingin yang meniup dari sebelah kiri, tanpa merasa jago ini menoleh ke arah kiri itu. Kiranya disebelah kiri itu terdapat sebuah gang atau lorong. Tadi sewaktu baru masuk karena silau dengan sinar api, ia tidak melihat lorong itu, yang tampak hitam gelap saja. Ia pula tadi cuma memperhatikan losung serta tirainya. Tanpa ayal lagi, Beng Leng menyalakan sumbunya, buat memakai itu sebagai penerangan guna ia bertindak ke dalam lorong itu. Baru tiga atau empat tindak, tiba-tiba telinganya mendengar suara nyaring tingtong, menyusul mana mendadak padamlah penerangan diruang Lohan Tong itu. Sebaliknya didalam lorong segera tampak sinar buram entah dari mana keluarnya. Ia berjalan terus dengan waspada. Ia melalui belasan tombak. Disisi tampak cahaya terang dari api, berbareng tampak juga sebuah jalan perapatan. Masih ia bingung maka ia tidak memikir lain daripada supaya lekas- lekas menyingkir dari tempat itu ! Tapi masih sempat ia berlaku siap sedia. Selekasnya Beng Leng Cinjin menginjak batu bata bagian tengah dari jalan perapatan itu, mendadak batu itu melesak kedalam tanah, hanya sejenak, batui tu muncul naik pula dan jadi rata seperti semula. ia heran hingga ia berdiri melengak.
Lantas datang hal yang mengagetkan sekali. Tiba-tiba saja dari empat penjuru, yaitu dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan, beruntun datang serangan golok dan tongkat dimulainya dengan bayangannya ! Kirainya batu yang diinjak jago luar lautan adalah batu yang menjadi alat rahasia, karenanya mucullah empat lohan atau arhat yaitu Cu Kong Lohan, To Lan Lohan, Kim Bin Lohan dan Gi Bin Lohan, senjata mereka masing-masing golok kayTo dan tongkat sianthung dan semuanya menyerang menuruti masing-masing tipu siasatnya. Beng Leng sudah lantas mengurung diri dengan tenaga Mo Teng Kee, lalu dengan tabah ia mengebut serangan yang pertama, yaitu tongkatnya To Lan Lohan dan golok kayTo dari Kim Bin Lohan, sedangkan dengan tangan kirinya ia menepuk dada To Lan Lohan. Telak ia mengenai sasarannya, terdengar suat tingtong, lantas arhat besi itu berjalan mundur sendirinya, kembali ke tempat asalnya.
Menyusul itu ia memaju satu tindak, mana sambil berkelit, maka loloslah ia dari bacokan golok dan tongkat dari arah kiri. Aneh adalah To Lan Lohan. Mendadak dia maju pula, dia mendesak hingga Beng Leng mau mundur ke tempatnya semula menaruh kaki. Tapi ini justru membuatnya penasaran. “Mesti aku robohkan dulu ke empat arhat ini !” demikian pikirnya. Tepat itu waktu ke empat lohan berhenti bergerak-gerak, semua berdiri diam dengan mata mengawasi bengis.
Walaupun hatinya panas, menyaksikan para arhat besi itu. Beng Leng heran. Ia balik mengawasi tubuhnya berdiam siap sedia buat suatu penyerangan. Ia menerka-nerka apa maksudnya diamnya ke empat lohan itu. Ia pula bersangsi dapat atau tidak ia roobohkan semua lohan itu dan kalau ia menyerang mereka bakal bergerak menuruti pesawat rahasia lainnya atau tidak. Mengawasi ke empat arhat, jago ini menarik napas dalam-dalam. Di dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari luar tembok.
Ilmu silatnya jagi Hek Kong To yang hendak menjagoi dunia rimba persilatan kiranya cuma sebegini saja ! Ha ha ha
!..”
Suara itu yang bernada ejekan ditimpali suara ini : “Amida Buddha ! Siapa melepas golok jagalnya, asal dia
berpaling dia akan mendapatkan tepian daratan !”, habis itu sunyi pula. Hatinya Beng Leng tergerak mendengar kata-kata yang belakangan itu, kata-kata yang berbau keagamaan (Buddha). Tiba-tiba saja pikirannya terbuka, otaknya menjadi terang. Memangnya setiap manusia ada liangsimnya, hati sanubarinya yang sadar, suci murni. Liangsim itu, suara hati terdapat sekalipun pada orang yang berbathin buruk atau jahat.
Demikian dengan jago luar lautan ini. Dia dapat mempelajari silat hingga menjadi demikian lihai juga disebabkan kesadarannya karena dia mengerti pentingnya ilmu itu, hanya sayang dipakainya secara sesat. Mulanya ialah karena dia bangga dengan kepandaiannya itu, lalu dia menjadi jumawa dan berkepala besar, hingga ia menjadi galak dan kejam. Hingga liangsimnya kena ketutupan. Sekarang tengah terjepit itu tiba-tiba kesadarannya timbul.
Tanpa terasa dia berkata seorang diri. “Aku ini bagaimana ?
Kenapa aku jadi begini ?” Di dalam lorong yang terang benderang itu, Beng Leng melihat seperti ada tak terhitung berapa banyaknya mata yang lagi mengawasi padanya, sedangkan ke empat arhat yang lohan bengis itu nampak tengah menuding ia dengan masing-masing senjatanya.
Mereka itu seperti lagi membeber perbuatan jahatnya. Ia terkejut. Tiba-tiba ia ingat segala perbuatannya sebegitu jauh. Memang itulah kejahatan atau kedosaan. Kawan tunduk padanya, lawan menuding dan dunia meludahinya, ia sudah berbuat bertentangan dengan waktu atau saat ia mulai belajar silat.
Dahulu itu ia berpikir baik lalu sesat sampai sekarang ini. Kesesatan pun yang membujuknya menyerbu Siauw Lim Sie ini. Kejumawaan yang membuatnya menerjang Lohan Tong. Sekarang ternyata ia tak berhasil. Ia bahkan terdesak ke pojok. Maka ia menjadi insyaf dan menyesal. Ia ingat halnya tangannya berlepotan darah dan berbau baCin. Hebat liangsamnya mendapat pukulan, pikirnya menjadi gelap.
Tiba-tiba ia merasai kepalanya pusing, terus tubuhnya limbung, hingga detik lainnya, tanpa merasa ia roboh sendirinya. Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Beng Leng tidak tahu, hanya ia mendusin dengan kaget dan heran waktu telinganya mendengar bunyinya lonceng vihara beberapa kali. Ia segera menggerakkan tubuhnya untuk berduduk dilantai, sedangkan matanya lantas dipentang untuk memandang ke depan, terus ke sekitarnya. Ia heran hingga ia duduk menjublak, terus ia memikirkan, sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan dirinya tadi?. Lama jago luar lautan ini berpikir, masih ia tidak memperoleh jawabnya. Kemudian ia berpaling ke jendela, memandang keluarnya cahaya matahari menjelaskan bahwa sang waktu sudah tengah hari ! Jadi sudah banyak jam ia berada di dalam kuil Siauw Lim Sie itu, ia heran orang telah tidak mengganggunya.
Masih lewat sekian saat waktu Beng Leng mendengar tindakan kaki orang mendatangi dia berhenti di depan pintu kamar, waktu ia berpaling ia melihat munculnya seorang seebie kecil, kacung pendeta. Kacung itu bertindak masuk, di depannya si jago luar lantas, dia memberi hormat.
Kata dia manis : “Oh, totiang sudah mendusin ! Silakan duduk menanti sebentar, siauwceng hendak pergi melaporkan kepada ketua kami ! “ Dan lantas dia memutar tubuh dan bertindak pergi didalam kamar tamu-tamu Siauew Lim Sie.
Maka ia lantas berpikir : “Bukankah aku memusuhkan Siauw Lim Sie ? Bukankah tadi malam aku menyerbu, menyerang dan melepas api melakukan pembakaran hingga aku terkurung di Lohan Tong ? Kenapa aku sekarang diperlakukan begini hormat oleh pihak musuhku ?” Saking heran, Beng Leng berpikir banyak. Lalu ia merasa hatinya tidak tenteram.
“Baiklah aku pergi dengan meloncati jendela !” pikirnya.
Belum lagi itu merupakan putusan, Pek Cut Taysu sudah tampak lagi mendatangi, tindakannya cepat tapi tenang, wajahnya menunjuki kesabaran. Di belakang ketua Siauw Lim Sie itu turut Liauw In dan Ang Sian Siangjin serta dua seebie cilik. Segera setibanya di depan jago luar lautan itu, Pek Cut memperdengarkan puji keagamaannya sambil mengangkat tangannya ke depan dadanya, setelah mana ia kata ramah : “Totiang, harap saudara jangan memandang kami sebagai orang luar ! Peristiwa tadi malam adalah peristiwa yang telah berlalu lewat, harap totiang jangan pikirkan pula. Lolap bersama totiang sama-sama menjadi orang rimba persilatan, maka itu bagaimanakah jika mulai hari ini kita hidup bersahabat ?” Berkata begitu, sebelum menanti jawaban, pendeta kepala ini sudah lantas memberi isyarat kepada kedua kacungnya untuk mereka itu lekas menyuguhkan teh.
Selagi Pek Cut mendatangi, Beng Leng sudah berbangkit bangun, bersiap sedia kalau-kalau orang menerjangnya, tetapi setelah mendengar kata-kata manis itu serta melihat orang berlaku ramah tamah, perlahan-lahan ia berduduk pula, Yang terang yaitu ia jengah. Pek Cut duduk setelah duduk setelah mempersilakan tamu luar biasa itu berduduk. Kedua seebie telah kembali dengan cepat, mereka lantas menyuguhkan teh. Liauw In bersama Ang Siang duduk menemani disebelah bawah, mereka bungkam.
Setelah mereka terdiam sekian lama barulah terdengar suaranya Pek Cut taysu terang dan lantang :
“Totiang ilmu silat dan keceradasan totiang semua itu mengawasi orang lain satu tingkat. Lihatlah disaat bertempur untuk merebut kemenangan, dan diwaktu menghadapi kesulitan pikiran dan kecerdasan totiang telah menerima prayaa kebijaksanaan Sang Buddha hingga totiang masih disadar dan terbuka pikiran. Itulah berkat pemeliharaan diri totiang dahulu hari ! Maka itu totiang hari ini lolap hendak memohon kepadamu suka apalah totiang meletakkan golok jagal agar totiang insyaf dan sudi berbuat kebaikan terhadap dunia rimba persilatan supaya bencana kemusnahan yang tengah mengancam dapat disingkirkan: Dengan sikap menghormat, Beng Leng menghadapi Pek Cut Taysu. Kata ia : “Terima kasih atas budi besar dari taysu yang tadi malam telah membuatku insyaf, budi itu tak dapat pinto membalasnya, karena itu mana berani pinto tak menerima baik nasihat taysu ini ? Telah kupikir buat sejak hari ini dan seterusnya akan mengundurkan diri dari dunia Sungai Telaga, buat hidup menyendiri !”
Imam ini mengangguk terus ia memberi hormat pula pada si pendeta, juga terhadap Ang Sian Siangjin dan Liauw In, kemudian tanpa mengatakan sesuatu lagi, ia pamitan dan bertindak pergi. Pek Cut berbangkit dengan cepat, ia merangkap tangannya.
Ia memuji pula. “Tetapi, totiang” katanya, “buat apa totiang begini tergesa-gesa ? Baiklah kita bersantap dahulu, baru totiang berangkat pergi.”
“Terima kasih, taysu.” kata si imam.
“Aku telah menerima budi kebaikan kalian. Sampai kita jumpa pula !”
Dan lantas dia membuka tindakan lebar, keluar dari kamar tamu-tamu itu. Pek Cut bertiga tak dapat mencegah lagi, maka mereka membiarkan orang berlalu. Sementara itu mari kita kembali pada malam tadi. Habis pertempuran hebat, orang merawat luka-luka dan beristirahat. Penjagaan tidak dilalaikan karena dikuatirkan nanti apa penyerbuan ulangan.
Mendekati jam lima fajar muncul, angin hebat yang keras dan dingin, membuat orang menggigil sebab hawa dingin masuk ke tulang-tulang. Justru suasana demikian itu, tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring, lantas di sana tampak bergeraknya dengan sangat gesit sesosok bayangan hitam. Para petugas terkejut dan heran, namun lantas memasang mata.
Bajingan itu muncul buat terus berdiri diam sambil matanya diarahkan ke empat penjuru. Sama sekali dia tak memperdengarkan suaranya. Semua orang mengawasi terus. Dialah seorang tua dengan jubah panjang menutupi tubuhnya. Dia bermuka putih dan tak berkumis. Kemudian ternyata dialah Thian Cia Lojin, yang dunia Sungai Telaga menyebutnya It Lo Yauw Si Mambang Tua Tunggal. Hanya sebentar jago tua itu berdiri diam, tangannya lantas menggapaikan Tan Hong, Cia Hong, Kan Tie Un dan Kee Liong. Mereka itu menghampiri dengan cepat, semua berdiri dengan hormat di depannya. Dia bicara perlahan dengan empat orang itu, habis itu dia berlompat turun, akan lari ke bawah gunung.
Lewat sesaat, Kee Liong menuding Pek Cut Taysu sambil membentak :
“Eh, keledia gundul dari Siauw Lim Sie, kau dengar ! Malam ini kami mempunyai urusan penting karena itu kami membiarkan kamu semua hidup lebih lama sedikit. Kamu tunggulah nanti kami datang pula guna membuat perhitungan
!”
Kemudian dia berpaling pada kawan-kawannya dan berkata
: “Mari kita pergi !”. Belum berhenti suaranya mendengung, orangnya sudah lompat berlari ke bawah gunung terus diikuti ketiga kawannya itu.
Hanya sebentar bayangan mereka pun sudah tidak tampak. Kiauw In dan Giok Peng segera bergerak diturut oleh Ang Sian Siangjin. Mereka bertiga hendak menghadang kawanan penyerbu itu atau di belakang mereka, mereka mendengar suara nyaring dari Pat Pie Sin Kint In Gwa Sian : “Anak In ! Anak Peng ! Jangan kejar mereka ! Biarkan mereka itu pergi !”. Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng telah berlari-lari dengan menggunakan Te In Ciong ilmu ringan tubuh Lompatan Tangga Mega. Sebentar saja, mereka sudah berhasil menyandak beberapa orang musuh yang terluka.
Ketika itu mereka mendengar suaranya sang paman guru, seketika juga mereka menghentikan pengejarannya itu.
Tetapi Nona Pek mendongkol dan penasaran, ia mengajukan jarum rahasianya, Twie Hun Kim Ciam, maka diantara si penyerbu ada seorang yang menjerit dan terus roboh terguling. Kiranya dialah Tio It In, satu diantara tujuh bajingan dari To Liong To ! Kemudian bersama-sama Ang Sian Siangjin, kedua nona kembali pada paman gurunya itu, sedangkan Pek Cut Taysu sudah memerintahkan murid- muridnya menjaga baik-baik pintu gerbang mereka.
Kemudian sembari memberi hormat pada In Gwa Sian semua, ia berkata :
“Kami menyusahkan saja para sicu semua ! Sekarang marilah kita kembali ke dalam untuk beristirahat !”
Tapi In Gwa Sian berkata : “Mungkin Beng Leng si raja iblis masih berada didalam kuil, mari kita melakukan penggeledahan buat mencari padanya. Kalian setuju ?”
“Tak dapat kami menyusahkan pula pada sicu sekalian.” berkata Pek Cut.
“Untuk melakukan pemeriksaan cukup lolap sendiri bersama sekalian saudara dan murid kami. Sanggup kami melayani bajingan itu ! Silahkan sicu beramai beristirahat nanti besok kami akan mohon petunjuk terlebih jauh !” Semua orang lantas mengikuti pendeta kepala itu masuk kedalam dimana mereka berpisahan untuk masing-masing beristirahat. Kemudian Pek Cut, Ang Sian Siangjin dan lima ketua dari Kam In. Segala apa dipendopo itu tenang dan aman tak ada bekas- bekasnya pertempuran.
“Heran..” pikirnya ketua itu yang lantas memikir menyuruh murid-muridnya pergi mencari tahu atau berbareng dengan dengan itu tampak munculnya Liauw In, yang datang dengan cepat.
“Bagus kau datang, sute !” ia berkata mendahului separuh berseru. “Lolap justru sedang memikir buat mencari tahu kemanakah perginya si bajingan kepala ! Apakah ada yang terluka didalam kuil kita ?”
Liauw In maju terus sampai di depan ketua atau kakak seperguruannya itu, untuk lebih dahulu memberi hormat.
“Beng Leng si imam siluman sudah membakar Chong Keng Kok tetapi dia gagal” kata ia melaporkan. “Dia cuma melukai ke empat murid angkatan kedua yang bertugas menjaga lauwiang kita itu. Setelah itu dia dirintangi oleh kedua totiang Seng Hian dan Leng Hian. Waktu siauwte datang kepada mereka, hampir aku dilukai ilmu lunaknya yang lihai. Dia rupanya merasa tak unggulan melawan terus kepada kami bertiga dia mencoba meloloskan diri tetapi dia kesalahan memasuki Lohan Tong dimana dia kena terlarangkan. Sampai sekarang dia masih belum lolos. Bagaimanakah pikiran ciangbun suheng ?”
Ciangbun suheng berarti ketua yang berbareng menjadi kakak seperguruan. Pek Cut terperanjat juga.
“Bagaimana lukanya mereka berempat ?” tanyanya. Lebih dahulu ia ingat murid-muridnya itu. “Mereka sudah dibawa ke pendopo sisi untuk diobati, mungkin mereka tidak terancam bahaya mau.” sahut Liauw In.
“Bagaimanakah keadaannya Chong Keng Kok setelah dibakar itu ?”
“Api telah keburu dipadamkan. Cuma terbakar bagian pintu saja.”
“Amida Buddha !” Pek Cut memuji seraya merangkapkan tangannya.
“Buddha kita maha mulia maka kita bebas dari bencana besar.”
“Sekarang bagaimana dengan imam siluman itu ?” Liauw In memperingati ketuanya. “Harap ciangbujin suheng lekas mengeluarkan keputusan !”
“Tak kupikir untuk melakukan pembunuhan.” sahut ketua itu yang pengasih penyayang.
“Terhadap orang sebangsa dia itu, ingin lolap menggunakan kitab prayaa. Nanti kita lihat imam itu dapat dipengaruhi atau tidak. Kalau tidak akan kita pikir pula bagaimana baiknya.”
Ang Sian Siangkin tidak akur dengan sikap ketua itu.
Dia campur bicara : “Membinasakan manusia jahat berarti berbuat kebaikan ! “ katanya. “Kenapa ciangbun suheng bermurah hati terhadap manusia jahat itu ? Tidak karuan rasa dia memusuhkan kita, dia datang menyerbu dan telah merusak kita !”
Pek Cut tidak menjawab itu hanya berdiam untuk berpikir. “Para sute dari Kam Ih, silahkan kalian mengundurkan diri
untuk beristirahat.” kemudian katanya kepada adik-adik
seperguruannya kepada siapa ia berpaling.
“Biarkan lolap sendiri bersama kedua sute Liauw In dan Ang Siang yang pergi melongok ke Lohan Tong.” Berkata begitu, bersama-sama Liauw In dan Ang Siang, ketua ini lantas bertindak pergi menuju keruang arhat yang dimaksudkan itu.
Ketua ini hendak menggunakan pengarahan dari ilmu keBuddhaan untuk menghadapi Beng Leng Cinjin supaya imam dari Hek Keng To itu diluar lautan, tak tersesat terlebih jauh hingga dia menampakan keimamannya, agar akhirnya dia sadar dan insyaf dan akan berubah cara hidupnya.
Demikianlah sudah terjadi, Beng Leng telah kena dipengaruhi prayaa, maka ialah kejadian dia insaf akan perbuatannya yang salah dan mau mengundurkan diri, buat hidup menyendiri, karena mana dia tidak diganggu dan dibiarkan pergi mengangkat kaki. Sambil berlari-lari Beng Leng meninggalkan kuil Siauw Lim Sie turun dari puncak Siauw Sit Kong.
Ditengah jalan, ia merasa kesepian. Sampai mendekati maghrib ia belum mendapatkan tempat singgah. Sinar layung dari matahari membuat rimbah bercahaya keemas-emasan indah tampaknya. Ia berjalan terus, sampai ia membelok disebuah tikungan. “Toa suheng !” tiba-tiba ia mendengar suara panggilan. Toa suheng ia berarti kakak seperguruan yang paling tua. Segera ia menghentikan tindakannya dan menoleh ke arah dari mana panggilan itu datang.
Di sana tampak Tan Hong adik seperguruannya yang terus menanya :
“Kakak, kemana saja kakak pergi ? Kami berputaran ke empat penjuru mencari kakak !”
Beng Leng berdiri menjublak mengawasi adik seperguruannya itu. Karenanya ia tidak membuka mulutnya buat menjawab. Tan Hong heran, hingga ia terperanjat.
“Kakak !” tegurnya. “Kakak, kau kenapakah ?” Masih Beng Leng Cinjin berdiri diam. Giok Bin Sian Ho, si Rase bermuka kumala, menghampiri hingga dekat. Ia memegang dan menggoyang lengan orang. “Kakak, kakak !” panggilnya. Baru sekarang imamitu bagaikan terasadar. Dia lantas menghela napas.