Jilid 08
Le Bun berkata penuh perasaan: "Beberapa malam ini kau tekun dan rajin mempelajari ilmu pedang, aku yakin kau pasti dapat terkenal sebagai Kiam-hiap nomor satu diseluruh jagat seperti Ki-kiam-wi-liong cianpwe dulu."
Liok Kiam-ping tertawa, katanya: "Betapa banyak tokoh kosen orang aneh dalam Bulim yang berkepandaian tinggi, mana berani aku mengagulkan diri sebagai Kiamhiap nomor satu”
"Pertama kali kau masuk ke Te-sat-kok Lwekangmu belum tandinganku, tapi beberapa hari kemudian, kau sudah memperoleh kemajuan berlipat ganda, sekarang justru telah Hoan-bu-kui-cin, taraf tertinggi bagi pesilat yang meyakinkan Lwekang murni, kemajuan yang kau capai, dalam setahun ini jelas tidak ada orang yang dapat menandingimu.'
Mendengar dorongan Le Bun, Liok Kiamping berpikir: "Aku harus mengejar cita-cita yang diinginkan, aku bersumpah takkan mengecewakan harapannya." maka dengan tertawa dia berkata: "Marilah sekarang kita tengok Ti Thian-bin diruang perjamuan-” pedang dia pindah ketangan kiri serta mengempitnya dibawah ketiak. bersama Le Bun mereka berjalan keluar.
Kui-hun-ceng boleh dikata tiada perobahan besar, cuma tidak sedikit perubahan telah dibangun, maka perkampungan ini dihiasi lamplon yang beraneka ragam warnanya, cahaya reflek yang memantul dari salju putih menambah semarak dan pesona suasana yang ramai dalam perkampungan yang riang gembira.
Dengan langkah tegap mereka terus maju perlahan, sepanjang jalan tidak sedikit rnereka berpapasan dengan lelaki yang berseragam ketat, namun tiada seorangpun yang berani maju mengusik mereka, hanya beberapa kejap melirik sudah lekas melengos karena jeri melihat perbawa Liok Kiam-ping. Le Bun mengulum senyum, katanya: 'Dulu apa kerjamu dalam perkampungan ini.'
"Setiap musim dingin kami berdiam dalam rumah memanaskan badan dipinggir api unggun atau bermain-main ditumpukan salju hanya untuk memenuhi selera belaka, sejak kecil pernah aku berkeinginan tidur di dalam timbunan salju, pada hal salju mirip sekali dengan gumpalan mega di angkasa." "Kurasa binatang kecil ini tidak sabar lagi didalam kantong, bergerak saja tidak sabar, apakah perlu dilepaskan ?"
”Ngo-tok-koay-mo mengatakan kucing ini pandai melacak sesuatu yang kita kehendaki, kurasa hidungnya memang begitu panjang pasti mahir untuk mencari pusaka simpanan lebih baik kau pelihara saja"
Le Bun buka ikatan kantong serta mengeluarkan kucing pelacak dipeluknya serta di elus-elus dengan kasih sayang, katanya tertawa: "Aku sih tidak ingin mencari pusaka segala, aku hanya suka dan sayang kepadanya,"
Sembari bicara lekas sekali mereka sudah tiba diruang besar. Gelak tawa ramai berkumandang didalam ruangan. di sana sini terdengar suara ribut kasak kusuk dan pembicaraan yang mengasyikkan.
Beriring jalan Le Bun dan Liok Kiam-ping melangkah masuk- tampak mepet dinding di depan tengah sana terpasang meja panjang, diatas meja panjang ini tertumpuk barang sumbangan atau kado yang tidak terhitung banyaknya, perabot pajangan tampak antik dan mewah, setiap tiga langkah diatas dingin terpasang lentera yang memancarkan cahayanya hingga aula besar itu terang benderang seperti siang hari.
Dalam aula penuh sesak mereka duduk berkelompok yang terbagi beberapa meja besar. sambil makan minum mereka bicara dan berkelakar. Sekali pandang Liok Kiam-ping lantas menemukan Ki-ling sin Siang Wi juga duduk diantara kelompok tamu ditengah ruangan sana, memangnya parawakannya tinggi besar maka kelihatan saperti bangau berdiri diantara rombongan ayam, orang seorang menyengir tawa kebodoh-bodohan. Kiam-ping berkata: "Kau lihat, itulah Ki-ling-sin bocah gede yang linglung itu." "Aduh. begitu mengejutkan gede badannya," ujar Le Bun melelet lidah, ”Belum pernah aku melihat manusia segede itu, memang mirip raksasa penjaga kelenteng."
Suara Le Bun lembut dan merdu, namun bergema dalam aula besar seperti suara guntur, sehingga menarik perhatian hadirin, pandangan mereka tertuju kearah sepasang muda mudi ganteng dan jelita ini. Mereka yang kemaruk paras ayu memandang Le Bun terpesona, yang berjiwa ksatria sama menatap tajam Liok Kiam-ping. Begitu besar perhatian mereka terhadap muda mudi ini hingga suara keributan menjadi sirap.
Liok Kiam-ping menyapu pandang dari satu wajah kewajah lain, selepas matanya memandang, tetap tidak menemukan bayangan Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin. Walau dia tidak menemukan orang yang ingin dicari, tapi kehadirannya telah menarik perhatian Ki-ling-sin, kontan dia menjerit girang: "Hai bocah cilik, kaupun datang” segera dia dorong orang-orang yang duduk dan berdiri disekelilingnya berteriak menyapa Liok Kiam-ping.
"Bocah gede," kata Liok Kiam-ping, 'tidak pulang ke Lo-hu, kenapa kau berada di sini"
Siang Wi tertawa besar, katanya: "Ditengah jalan aku bersua dengan murid Tok-sin Hwi-hung-cu, dia ajak aku mampir kemari, katanya di sini ada pesta banyak makanan enak,"
Belum habis dia bicara seorang tinggi kurus seperti gala berjubah biru menghampirinya serta menepuk pundaknya, meski kurus tinggi dibanding bocah gede juga masih kalah besar dan tinggi. Siang Wi berpaling, katanya: "O, kiranya kau Giheng.' lalu dia menuding Liok Kiam-ping dan berkata: "inilah bocah cilik." lalu dia balas tuding orang kurus dan memperkenalkan kepada Liok Kiam-ping: "Inilah Hwi-hong-cu Gi heng." seperti membanyol saja, hadirin tertawa geli, Hwi- hong-cu menjura, katanya: "Siaute, Gi Kim-hiap, tolong tanya siapa nama besar saudara ?" Setelah tahu orang ini murid Tok-sin, seketika Kiam-ping menarik muka, katanya tawar: "Tidak berani, cayhe kaum kroco yang tidak punya nama, kalau kukatakan hanya mengotori kuping saja."
Berubah roman muka Gi Kim-hiap. matanya berputar dua kali, senyum sinis menghias wajah katanya: "Kalau kau bukan kaum persilatan, kedatanganmu ini apakah karena diundang Ti-heng sebagai penonton keramaian?"
Dingin nada suara Kiam-ping: "Ti Thian-bin mau kawin- sepantasnya aku hadir ikut perjamuan ini tolong tanya di mana sekarang dia berada ?"
Hwi-hong-cu cukup cerdik dan cermat, diperhatikan sorot mata pemuda sekolahan ini redup, tak ubahnya seperti orang biasa karena, itu meski sikap Liok Kiam-ping kasar dan tidak bersahabat, sedikitpun dia tidak jeri dan ambil dihati. Katanya kalem dengan tertawa: "Agaknya saudara orang tahu sebagai pemilik perkampungan ini Ti-heng memperoleh dukungan dan dihormati oleh jago-jago silat golongan hitam maupun aliran putih diseluruh Kang-lam, tidak sepantasnya kau... " waktu pandangannya berputar, mendadak dia melihat kucing pelacak dalam pelukan Le Bun, seketika dia melongo.
Sebagai murid Tok-sin, setidaknya dia juga tahu berbagai jenis binatang aneh serta ciri-cirinya, demikian pula dengan bulu panjang subur dari kucing pelacak ini, seperti bulu tupai dengan ekornya yang rimbun pula, maka dia lantas teringat binatang aneh yang punya penciuman luar biasa dapat melacak pusaka yang tersimpan di dasar bumi, maka dia maju selangkah dan bertanya:
"Tolong tanya nona, apakan yang kau peluk itu Kucing pelacak ?"
Wajah Hwi-hong-cu tampak sadis, senyumannya cabul sorot matanya jalang, maka Le Bun tahu bahwa laki laki kurus seperti palu ini pasti bukan manusia baik, dengan dingin dia mengangguk dan menjawab: "Betul, memang ini Kucing pelacak."
Gi Kim-hiap kegirangan katanya: "Apa kah nona mau menjualnya kepadaku ? Aku mau membayar selaksa tahil emas... "
Hadirin banyak yang terkejut mendengar percakapan ini.
Pada saat itulah seorang pemuda berwajah agak kurus berpakaian rangkap tebal dengan corak pakaian yang mewah berjalan memasuki aula. orang yang melihatnya segera berteriak: "Nah itu cengcu datang."
Dibelakang Ti Thian-bin masuk pula seorang lelaki tegap bercambang bawuk menggendong pedang, dibelakangnya lagi adalah dua orang Hwesio. Begitu berada dalam ruangan dia lantas menjura kekanan kiri, katanya: "Pertama-tama Siaute haturkan banyak terima kasih akan kehadiran saudara-saudara sekalian, sekarang biar kuperkenalkan beberapa cianpwe kepada hadirin yang ku muliakan'
Menuding laki-laki cambang bauk dia berseru lantang: ”Inilah murid Khong-tong pay bergelar Pi-san-khek The Hong, pendekar besar yang sudah lama terkenal dibarat daya, sekarang adalah Ji-suhengku.' lalu menuding Hwesio yang bertubuh gemuk. inilah Hoat-goan Taysu kepala Lo-han-tong Siaulim-si.” maju dua langkah lalu memperkenalkan Hwesio yang bertubuh kurus lebih tua, ”inilah Ham-hun Lo-siansu dari Go-bi-pay.” merandek sejenak mendadak dia melihat Siang Wi, sesaat dia melenggong tanyanya: 'Orang besar dari mana engkau ?'
Hwi-hong-cu memapak maju, katanya dingin: 'Aku yang mengajaknya kemari, Ki-ling-sin Siang Wi-heng, murid kesayangan Lo-hu-sin-kun Locianpwe."
Ti Thian-bin menjura, katanya: "Kiranya Siang-heng, maaf bila Siaute tidak menyambut semestinya." sekilas dia melihat ke hadiran Le Bun yang membopong kucing pelacak, sesaat dia melengak. sorot matanya seperti tersedot oleh keayuan Le bun, cepat wajahnya sudah dihiasi senyum lebar, katanya sambil menjura: "Nona selembut ini sudi berkunjung ke perkampunganku, sungguh menambah semarak perjamuan besar ini, tempat seramai ini rasanya tidak cocok bagi nona, bagaimana kalau silakan istirahat di bagian dalam... ”
Le Bun mendengus, katanya tertawa "Kau kira siapa aku?' ”Jejak nona menapak ribuan li, setiap insan persilatan siapa
tidak kenal nona adalah putri kesayangan Lo-hu-sin-kun Giok- bin-koan-im Po Yo-lan... ”
Le Bun tetap tertawa dingin, alisnya mulai berdiri, dia sudah siap memberi hajaran kepada Ti Thian-bin tak nyana di sebelah sana Siang wi sudah membuka suaranya yang keras: "Siapa bilang dia itu Siau sumoayku ? Dia malah lebih cantik dari Siau-sumoayku."
Le Bun berkata: "Apa yang dikatakan orang gede memang betul, aku bukan Glok bin-koan-im, aku adalah Leng-bin-koan- im."
Sama-sama berjuluk Koan-im, tapi yang satu berwajah putih kumala, yang lain bermuka dingin kaku.
"Leng-bin-koan-im ? Hahaha, julukan yang aneh menyenangkan-.. ' belum habis Ti Thian-bin bicara, sebatang seruling bergetar laksana ribuan batang menutup belasan Hiat-to besar Ti Thian-bin, serangan cepat lagi ganas.
Ti Thian-bin lagi melengak, tiba-tiba pandangannya kabur angin dingin meringis muka, jalan darah didepan dada terancam tutukan seruling karuan kagetnya bukan main, lekas dia tarik napas mendekuk dada, berbareng kedua sikut menutup dada sementara kaki menggeser kedudukan-
Tangan dan sikut Le Bun mengendap secepat kilat mendadak menyontek keatas, daya gerak seruling pualam itu secepat kilat pula mengetuk Ki-ti-hiat dilengan orang. Karena kesakitan lekas Ti Thian-bin merasa tubuhpun kesemutan, tampak jalur-jalur bayangan seruling telah menyodok lehernya pula, sambil mendehem sekali, menjengak tubuh sambil melayangkan kaki menendang lambung lawan-
Berbareng dengan tendangan kakinya, dari belakangnya seorang menghardik keras, selarik sinar pedang sedang menusuk maju dari sela-sela ketiaknya menyongsong tutukan seruling Le Bun, ternyata gerakan pedang inipun tidak kalah lihay dan cepatnya.
Menekuk badan mengenjot kaki Le Bun melompat mundur, namun tangan kiri membelah miring kebawah, seruling ditangan kanan mengembangkan jurus pertama dari cenghun- cap-ji-siau yang bernama Hu-gua-kiauhun (berbaring melihat mega bergolak), di tengah lengking aneh seruling itu menggaris bundar terus mengiris ketangan lawan yang memegang senjata.
"Ting, ting, ting." beruntun ujung serulingnya berlompatan diatas tajam pedang lawan dan terakhir mengetuk tepat dibatas gagang dan batang pedang. orang itu menggerung sekali, dimana larik pedangnya menggaris, secara aneh pedangnya menyerang dengan tipu keji menusuk leher Le Bun.
Bahwa jurus tunggal Le Bun berhasil dipatahkan dan terpental balik oleh tangkisan pedang lawan, tenaga besar yang menggetar dibatang pedang lawan membuat pergelangan tangannya kesemutan, tapi telapak tangan kirinya yang menabas turun, kebetulan pula menangkis tendangan kaki Ti Thian-bin. Kini dilihatnya cahaya pedang berkelebat pula, dengan jelas dia saksikan pedang yang menusuk datang itu tajam pedang-nya berpencar menjadi dua jalur seperti garpu saja masing-masing menusuk ciang-tai, Yu- bun, King bun don Ki-bun empat Hiat-to besar.
Lekas Le Bun mengendap badan, serulingnya berobah menggunakan jurus Pek-hun-yu-yu, dengan lincah pedangnya menggaris pergi. "Ting, ting, ting" kembali berdenting tiga kali, beruntun tiga serangan serulingnya tertangkis lawan, serulingnya kebetulan mengetuk diujung pedang garpu lawan- Tapi begitu pedang lawan dipelintir secara menakjubkan, serulingnya terkunci.
Beberapa jurus ini dilakukan dalam sekejap. begitu Hun- bin-kiam-khek Te Thian-bin terpental jatuh beberapa kaki, hadirin sama gempar, seseorang berteriak: "Haya, Pi-san-khek The Hong turun gelanggang..."
Pi-san-khek (tamu pembelah gunung ) The Hong beruntun melancarkan dua jurus aneh ajaran perguruannya, tapi kedua jurus serangan lihay tertangkis oleh lawan, kini begitu dia merobah permainan berhasil menekan senjata lawan dan terkunci oleh pedangnya. Lekas dia menurunkan sikut menyalurkan tenaga beberapa kali lebih keras, maksudnya hendak menyendal lepas senjata lawan-
Tak nyana serangkum angin halus yang dikibarkan dari lengan baju putih mendadak menggulung dirinya dan kebetulan membelit pedangnya. Setelah mendengar jengekan dingin: "Enyahlah." batang pedangnya mengendap. mendadak segulung tenaga dahsyat menerjang lewat lengan baju yang menggubat pedang terus merembes menerjang dirinya.
Pi-san-khek The Hong menggeram sekali, lengan tangannya seketika seperti dipalu godam, tubuhnya pun tergentak mundur beberapa kaki baru berdiri tegak pula. Wajahnya berobah makin buruk. tatapan matanya menampilkan rasa heran kearah pemuda jubah putih dihadapannya, sungguh dia tidak habis percaya bahwa yang turun tangan barusan adalah pemuda sekolahan ini.
Padahal lengannya masih linu dan lemas, pedangpun menjuntai kebawah tak kuasa digerakkan lagi, katanya: "Tuan siapa ?" Liok Kiam-ping tidak hiraukan pertanyaan orang, katanya berpaling: "Le Bun, kau tidak apa apa?"
Le Bun menggeleng, katanya: "Pi-san-khek ini adalah murid kedua Khong-tong-koay-kiam, tapi hanya memiliki sekedar tenaga besar dan permainan cakar kucing belaka, bahwasanya kau tidak perlu ikut turun ke arena."
Liok Kiam-ping membatin: 'ilmu serulingnya meski lihay, tapi kau sudah didahului oleh tipu paya lawan, jelas takkan mampu membebaskan diri dari serangan susulan pedang lawan, sekarang masih takabur, dasar nona keras kepala."
Kiam-ping hanya tertawa tanpa berbicara.
Merah muka The Hong, serunya murka "Kau bocah ini datang dari mana ?"
Siang Wi mengerut alis. serunya: "He. he, kenapa kau ribut
? Baiklah kuberitahu, pedang pusakanya amat galak dan buas, pedang mestika ditangan Beng Hing juga tertabas kutung olehnya, aku hanya melihat sinar pedang berkelebat, tahu- tahu sebelah kupingnya sudah protol"
"Apa?" pekik The Hong dengan mata membulat, "orang gede, katamu suteku protol kupingnya oleh pedang dia ? Di mana ?”
Siang Wi gelak tawa bangga, katanya: 'Didalam Te-sat-kok digunung Bu-tong, hari itu kami..."
"Goblok.” seru Hwi-hong-cu dengan bengis, "katakan bagaimana dengan Ngo-tok-koay-mo Suhengku itu”
"Kau panggil apa padaku?” Siang Wi beringas, matanya melotot, ”memangnya suaraku tidak sekeras bacotmu ?Jangan membakar amarahku, awas bila kukemplang pecah kepalamu.”
Pekak kuping Hwi-hong-cu karena bentakan Siang Wi, teriaknya gusar: "Gede goblok, memangnya kau ingin mampus ? Tidak kau jelaskan bagaimana keadaan Suhengku. awas kusikat kau dengan racun”
Sebuah suara dingin sadis tiba tiba berkata: "Akulah yang membunuhnya, jikalau kau mau main racun, kaupun akan mengalami nasib yang sama."
Perhatian seluruh hadirin tertuju kepada orang yang berbicara ini, ternyata pemuda baju putih.
Hoat-goan Taysu dari Siau-lim mengerut kening, katanya: "Bocah ini terlalu takabur mana boleh kau bersikap kasar terhadap murid Tok-sin ?"
Ham-hun Siansu dari Go-bi juga menarik alis, katanya: "Lolap kira anak ini pintar, tapi meski mengandal Kungfunya tinggi, betapa pun jangan mencari perkara dengan murid Tok- sin.'
Hoat-goan Taysu berkata pula: "Taysu, bukankah tadi kau melihat gerakannya seperti Liu-hun-hwi-siu yang sudah lama putus turunan, kelihatannya gerak permainannya memang lihay. entah murid tokoh aneh mana yang telah lama mengasingkan diri dipegunungan- '
Sementara itu Hwi-hong-cu menjadi tertegun malah dan ciut nyalinya oleh pernyataan gamblang Liok Kiam-ping, sesaat dia menggigit bibir tidak tahu bagaimana baiknya. tapi tatapan mata hadirin seperti menyiksa hatinya, maklum pandangan itu lebih menyorotkan rasa hina dan memandang remeh dirinya. Untung lekas sekali sikapnya sudah tenang dari kembali wajar, memberanikan diri maju dua langkah, desisnya: 'Hm, bocah tak bernama juga berani bermulut besar, kurasa kau sudah bosan hidup,"
Liok Kiam-ping mengangguk. katanya: "Mungkin aku memang sudah bosan hidup, tahukah kau kucing pelacak itu adalah milik Suhengmu yang diperoleh dari Tiang-pek-san ? Kenyataan sekarang berada ditanganku.” Karena kalah cepat bertindak Hun-bin kiam-khek terdesak dua jurus oleh Le Bun, hingga hiat-tonya terkebas linu, kini setelah dia salurkan tenaga dalamnya baru Hiat-to tertutuk itu terbuka dan berjalan lancar pula, katanya naik pitam: "Bocah, berani kau datang ke Kui-hun-ceng mencari onar, jangan harap kau bisa pergi dari sini." Akhir katanya mendadak dia menatap Liok Kiam-ping lekat-lekat sorot matanya menampilkan rasa heran, sesaat baru bibirnya bergerak: "Kau... siapa kau?"
Liok Kiam-ping tahu setelah sekian tahun kesan- Ti Thian- bin terhadap dirinya sudah pudar, maka sesaat dia belum ingat, dia tersenyum, katanya: "Waktu aku dibesarkan di Kui hun-ceng, entah dimana kau menjadi gelandangan, sekarang aku kembali ketempatku, apa tidak boleh ?"
Ti Thian-bin melengak, sesaat melacak bayangan pemuda yang cakap. ganteng ini, akhirnya terbayang olehnya akan bocah sebatangkara yang sering dihajar dan disiksanya dulu, sorot matanya yang melotot penuh dendam dulu betapapun tak mudah dilupakan begitul saja, tersirap darahnya, serunya: "Kau ini Ping-ji.?”
Liok Kiam-ping terloroh-loroh bentaknya bengis: "Betul aku memang Ping-ji yang dulu itu. Tapi sekarang adalah Pat-pi- kim- liong Liok kiam-ping... '
"Ho, Pat-pi-kim liong, Haya dari Hong- lui- bun.' berbagai kejutan terdengar dari berbagai penjuru hadirin, kecuali Ki-ling sin Siang Wi semua merasa kaget bahwa Pat-pi-kim- liong mendadak muncul di Kui- hun-ceng.
Siang Wi bergerak tawa, katanya menggumam: "Memang sudah kutahu bahwa bocah cilik-ini bernama apa naga emas yang punya delapan lengan, sengaja tidak kuberitahu pada kalian” seperti habis melakukan sesuatu yang menggembirakan, dia garuk-garuk kepala dengan tertawa bodoh. Saking kejut berobah air muka Ti Thian-bin, tiba-tiba dia menjebir bibir, suitannya berkumandang sampai luar aula. Maka terdengar suara tiupan trumpet dari berbagai penjuru, cepat sekali puluhan orang berseragam hitam memburu masuk kedalam aula, setiap tangan mereka membawa hiu-cu- lian- hoan-hu (panah beranting sembilan) ciptaan cukat Bu-ho pada jaman Sam kek dulu.'
Tengah hadirin menoleh kepintu besas, jendela disekeliling aula yang semula tertutup mendadak gedobrakan, kembali puluhan lelaki yang bersenjata sama muncul di jendela,
Liok Kiam-ping tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa besar- 'Apa sih yang sedang kau lakukan ? Memangnya kau siap mengganyang seluruh hadirin ?"
Semula keadaan cukup ramai dalam aula besar ini, tapi sejak kawanan seragam hitam muncul dengan senjata lengkap keadaan menjadi sepi, perkataan Liok Kiam-ping bagai guntur dipinggir telinga mereka, sorot mata mereka tertuju kearah Ti Thian-bin.
Ti Thian-bin berkata: ”Tak usah kau mengobarkan permusuhan mereka terhadapku. Hm, tak nyana setelah berpisah sekian tahuh kau telah memperoleh kemajuan sebagus ini, tapi, sayang sekali, sebentar lagi kau bakal mampus dibawah kakinya, kau tetap tidak akan bisa bertemu nona Hong."
Membesi dingin muka Liok Kiam-ping, katanya: "Pernah kunyatakan suatu ketika aku pasti akan kembali kemari, sekarang akan kucabut nyawamu... " lalu dia tarik suara berseru lantang: "Hadirin yang kami muliakan harap dengar, siapa yang merasa kurang senang dan ingin cari perkara dengan cayhe boleh tetap ditempatnya, bagi yang tidak ingin terlibat urusan ini kuharap lekas pergi saja."
Ti Thian-bin tertawa besar, katanya: "Hadirin diharap tenang, kujamin keselamatan kalian, sebentar lagi Liok Kiam-ping ini akan manjadi landak. setelah itu sudilah kalian tetap mengikuti perjamuan kemenangan-"
Kenyataan tiada seorang hadirin yang mau pergi, Ti Thian- bin membusung dada katanya: "Liok Kiam-ping, masih ada pesan apa kau...?"
Kiam-ping menyapu pandang dari kiri kekanan, sorot matanya makin mencorong, hawa dingin diwajahnya juga makin tebal, karena dia dapati wajah setiap hadirin ternyata bersikap tak acuh dan ingin melihat keramaian belaka, dalam hati dia membatin: "Orang-orang ini juga patut disikat."
Pada saat itulah Siang Wi sudah menghampiri dan menepuk pundaknya, katanya"
"Bocah cilik, mereka tiada yang membantu kau, biar aku yang membelamu, aku tidak takut dipanah.'
Wajah beku Liok Kiam-ping menampilkan secercah senyuman bersahabat, batinnya: "Bila orang-orang meninggalkan dirimu orang yang tetap berdiri disampingmu adalah temanmu yang sejati." mendadak tangan kanannya terayun keatas, maka terdengarlah suara ledakan keras dilangit-langit aula.
"Ha haha .. " gelak tawa latah mendadak berkumandang diluar pintu, tampak bayangan berkelebat turun disusul jeritan beberapa orang para lelaki berseragam hitam berbadan tegap itu satu persatu terjungkir roboh dengan muntah darah, tidak sedikit pula yang dipukul terbang masuk kedalam aula.
Kini hadirin melihat dua orang tua muka merah dengan rambut dan jenggot putih tengah mengamuk di dalam rombongan orang-orang seragam hitam, tinju menjotos kaki menendang diselingi jerit dan pekik suara seperti kerasukan setan, dalam sekejap semua lelaki seragam hitam telah disikatnya habis. Darah menyembur berceceran, setiap korban diberi tanda mata entah dipunggung, didada dan di mana badan mereka terpukul oleh cap tangan kuning emas atau putih perak. "Kim- gin-hu-hoat." Ham-hun Taysu menjerit kaget.
”Hoooyaa," seorang lelaki seragam hitam yang bersiaga dijendela tiba-tiba mencelat kedalam ruangan, begitu menyentuh lantai lantas tak bangun lagi. sebilah belati menancap dipunggungnya. Kejadian yang satu disatu disusul kejadian berikutnya, cepat sekali pemanah yang siaga dijendela itupun telah disikat habis.
Tanpa mengeluarkan suara dari luar jendela melompat masuk delapan belas laki-laki berpakaian biru dengan ikat kepala merah, sementara wajah mereka dibungkus kain hitam, gerak gerik mereka tampak enteng gesit dan tidak berisik melayang kedalam aula. Kim-ji-tay-beng melangkah maju, serunya menjura: "Mohon ciangbun memberi perintah.'
"Kecuali bocah gede ini, seluruhnya sikat.' desis Liok Kiam- ping, suaranya tegas dan pendek. "Sret" selarik sinar kemilau menggaris, Liat-jit-kiam yang terlolos menuding Ti Thian-bin 'Sudah saatnya kita membuat perhitungan lama, keluarkan senjatamu.'
Tak terpikir oleh Hun-bin-kiam-khek bawah lawan bertindak secepat dan sehebat ini, pada hal para pemanah yang diharapkan itu merupakan tumpuan harapannya, namun belum sempat satupun yang membidikkan panahnya, semua sudah terbunuh mati, saking takut dan ngerinya dia kehilangan akal dan harga dirinya. Tapi manusia culas semacam dirinya meski menghadapi saat-saat kritis, otaknya tetap berhasil memperoleh akal juga.
Dengan enteng kakinya menggeser kedudukan sementara pedangpun telah dicabutnya dengan nanar dia tatap Liok Kiam-ping, pelan-pelan badannya mendekati Pi-san-khek The Hong, maka terdengarlah suara ramai gemerincingnya senjata dikeluarkan, ternyata mengisyafi jiwa sendiri juga mungkin terancam, para hadirin juga keluarkan Senjata untuk membela diri.
Melihat situasi tegang dan keributan sudah didepan mata, lekas Hoan-goan Taysu dari Siau-lim tampil kemuka, setelah menjura kepada Liok Kiam-ping dia berkata: "Apakah kedatangan Sicu kemari hanya untuk membunuh kaum Bu-lim
?"
Liok kiam-ping menjengek: "Kenapa tidak sejak tadi Hwesio tua macammu ini buka suara ?" berbareng dengan habis ucapannya mendadak dia menggerung perlahan badanpun melesat kencang. Selarik sinar pedang tampak menggaris lurus dengan suaranva yang melengking menusuk kedada Gi Kim-hiap.
Ternyata mumpung Liok Kiam-ping bicara dan tidak siaga diam-diam Hwi-hong-cu siap menggunakan racun perguruannya, tak nyana baru tangannya merogoh kantong, gerak geriknya sudah konangan Liok Kiam-ping, selarik cahaya yang benderang menyilaukan mata tahu-tahu sudah melanda tiba.
Ginkangnya termasuk yang paling unggul diantara sesama perguruan, melihat serangan ini cepat dan ganas, cerat dia melayang pergi, Badannya seringan daon yang melayang ditiup angin kencang. namun sinar pedang itupun seperti garis-garis putih diatas daun itu, betapapun dia merobah gerakan, tetap takkan bisa meninggalkannya. Keringat diatas kepalanya sudah berjatuhan, tenaga dalamnya juga sudah tak mampu di kendalikan lagi, pada saat kritis ini selarik sinar pedang melesat datang dari samping menahan serangan pedang lawan yang membadai.
"Trang" Liat-jit-kiam Liok Kiam-ping kebetulan memotong dua sebatang pedang aneh bentuk ular yang menyelonong maju kaki melangkah tubuh mendesak jurus Liat-jit-yam-yam pun dilontarkan- Dalam pada itu tangan Gi Kim-hiap baru saja keluar dari kantong, jari-jarinya sudah menggenggam dua botol hitam, tapi di saat dia hendak menghamburkan air racun yang terisi dalam botol. matanya sudah dibuat silau oleh bola besar bercahaya yang terbit didalam. Begitu terang nyala bola bundar itu sehingga pandangannya menjadi pekat dan tak kuasa lagi melihat benda-benda didepan matanya, kecuali pancaran sinar benderang itu, jangan kata teman jejak lawanpun menghilang.
Rasa takut seketika menghantui pikirannya, sambil menjerit ngeri botol ditangannya dia lemparkan, bau amis seketika membuat sesak napas orang, sementara Hwi-hong-cu sudah melompat mundur.
Begitu sedang bergerak. Liok Kiam-ping saksikan mimik Gi Kim-hiap yang panik ketakutan, tapi dia tidak duga lawan mampu memberi reaksi secepat itu, dua botol ditangannya telah dibuang. Begini bau amis merangsang hidung, seketika kepalanya pening.
Dalam Te-sat-kok sekaligus dia terserang dua jenis racun jahat, untung dua tenaga raksasa yang terserap ketubuhnya telah berhasil mendesak kadar racun itu himpas dari badannya. Tapi pengalaman pahit itu betapa pun telah terukir dalam benaknya, kini melihat lawan membuang cairan beracun pula, maka dia sudah siaga.
Padahal hanya sedikit hawa racun yang tercium ternyata kepala sudah pening, lekas dia tutup napas serta menyalurkan hawa murni, seketika jubah bajunya melembung seperti berisi penuh angin. Sedikit menjejak kaki tubuhnya melambung dua tombak terus meluncur miring kedepan, pedangnya bergerak dengan jurus Sik-yang-say-loh (matahari sore doyong kebarat) orang dan pedang melesat bersama.
Sekuatnya Gi Kim hiap sudah melompat mundur dua tombak. kini dia sudah dekat jendela. diam-diam hatinya senang, dimana tangan kirinya membelah, segulung tenaga angin menerjang, sementara tangan kanan menaburkan segenggam duri-duri beracun. badannya langsung mencelat keluar jendela.
Tak nyana tiba-tiba bayangan merah berkelebat, beberapa batang pisau terbang dengan kecepatan luar biasa menyerbu dirinya. Badannya sedang terapung, sementara angin tajam juga mengejar dari belakang, hawa pedang yang dingin telah membuat badannya merinding. kembali dia mengayun tangan kanan menyerang dengan Ngo-tok-kui-goan dari ilmu pukulan perguruannya, angin-badai yang timbul dari pukulan tangannya ini merontokkan serangan pisau terbang itu. Hebat memang kepandaiannya, begitu kaki menyentuh bumi selicin belut dia sudah menyelinap sembari membalik kedua tangan, meminjam daya putar tubuhnya, dia kerahkan seluruh kekuatannya menggempur.
Tak nyana baru saja badannya berputar kemari cahaya merah sudah menghadang di depan mata. celaka adalah sinar merah itu bagai sebatang pedang yang tajam menusuk kedalam matanya. Begitu mata terasa sakit panas seperti dibakar, seketika dia merintih kesakitan-
Pada saat itulah, Liok Kiam-ping menghardik keras, sinar pedang tampak berputar bolak balik, darah muncrat keempat penjuru. tubuh yang sudah terbabat kutung- kutung itu mencelat jauh menjadi enam potong oleh tabasan Liat-jit-kiam Liok Kiam-ping segera memperingatkan: "Jangan sentuh cairan hitam dilantai, itu air racun jahat."
Sementara itu Gin-ji tay-beng sedang melabrak Hoat-goan Taysu, keduanya berkelahi dengan mengadu kekuatan tinju, gerak gerik mereka cukup gesit, puluhanjurus sudah terjadi serang menyerang.
Kungfu Siau-lim-pay bermodal tenaga kekuatan Lwekang mereka cukup disegani di Bulim, tapi setelah sama adu kekuatan beberapa jurus dengan Gin-ji tay-beng, Hoat-goan Taysu harus mengakui kekuatan lawanya juga amat tangguh, disamping takjub diapun agak keder, maklum Gin-sa-ciang yang dilawannya ini ternyata masih sedikit unggul dibanding Tay-lik-kim kong-ciang siau-lim mereka.
Hoat-goan sudah kerahkan setaker tenaganya, tapi beruntun beberapa jurus dia selalu tergempur mundur, tangan terasa linu pegal lagi, maka dia mengembangkan ketangkasan gerak badannya, dia berharap dapat memperbaiki strategi perang ini dengan lunak menundukkan kekerasan, sekaligus menyimpan tenaga demi ketahanan selanjutnya.
Gin-sa-ciang yang diyakinkan Gin-ji tay beng merupakan ilmu tunggal dari negeri Se-ek. bukan saja kekuatan pukulannya amat dahsyat, gerak gerik tubuh dan langkah kaki ternyata juga amat diperhatikan- Dahulu dengan Gin-sa-ciang dia pernah memberantas enam belas komplotan begal sindikat gelap dan kumpulan Pang atau Hwe disepanjang perbatasan utara dibilangan Ho-toh waktu itu dia sudah mengembangkan Ginkangnya yang khusus, gerakan tangan yang menakjubkan seperti bisa menangkap benda terbang, gerak serangannya menimbulkan angin badai sehingga mirip beberapa ekor burung raksasa sekaligus pentang sayap. karena itulah dia mendapat julukan Gin-ji tay-beng (Elang raksasa sayap perak).
Kini mereka harus mengadu ketangkasan, menghadapi lawan setingkat, maka dengan bekal Lwekangnya yang tangguh dan Ginkangnya yang tinggi terus gempur menggempur dengan sengit, sergap menyergap tubruk dan menerkam, selincah kelinci seenteng burung walet, secara gencar mereka mengadu belasan kali pukulan.
Liok Kiam-ping menerawang keadaan, suasana sudah kacau, ternyata delapan belas pahlawan berani matinya gagah berani, seorang diri mereka berani terjun kedalam gerombolan jago-jago silat serta melabrak dengan sengit, mereka menggunakan gaman yang berbeda dengan permainan yang lihay pula, cepat sekali jeritan demi jeritan, darah muncrat dan berceceran, korban berjatuhan satu demi satu.
Kim ji-tay-beng melawan Ham-hun Siansu dari Go-bi, Kim- sa-ciang yang dahsyat dikembangkan laksana seekor elang raksasa tubuhnya berlompatan diudara sambil memekik- mekik, deru angin pukulannya sedahsyat gugur gunung, Ham- hun Siansu dirabu serangan ketat.
Ham-hun Taysu tidak mau kalah angin, lengan bajunya beterbangan, gerak tubuhnya berputar sekencang gangsingan, pukulan telapak tangan yang dimainkan ternyata berbeda pula gaya maupun variasinya, selama puluhan jurus berhantam dengan Kim-ji-tay-beng, karena Lwekang kedua pihak terpaut cukupjauh, maka kedudukan atau posisinya makin terdesak dibawah angin-
Ketiak kiri Liok Kiam-ping mengempit cui-le-kiam, sementara tangan kanan memegang Lian-jit-kiam, dengan sikap gagah bertolak pinggang pandangannya penuh gairah dan dendam masih membara semakin memuncak dalam benaknya, ujung mulutnya mengulum senyum sadis.
Tampak Pi-san-khek The Hong dilabrak Le Bun dengan seruling pualam putih, keadaannya sudah berada dibawah angin dan terus didesak mundur, sekuat tenaga dia tetap bertahan dengan permainan pukulan tangan, untuk bertahan atau membela diri memang masih cukup tangguh, namun jelas tidak mampu balas menyerang lagi.
Kini sorot matanya menatap ketubuh Ti Thian-bin musuh besarnya. Mendadak berobah air mukanya, sambil menghardik dia terus menerjang. Ternyata dengan bersenjata pedang Ti Thian-bin sedang melabrak Biau jiu-sip-coan, permainan pedangnya memang ganas dan keji setiap jurus serangannya bukan saja ditempat mematikan juga titik kelemahan lawan, hingga Biau-jiu-sip-coan dihujani serangan menggebu yang mengancam jiwanya. Biau-jiu-sip-coan, dibekali Ginkang tinggi dengan permainan tangan yang cepat dan tangkas mengandal kegesitan gerak geriknya itu dia terus bertahan sambil berlompatan kian kemari, menggenjot juga mencakar, meraba dan merogoh. mendadak menjerit kaget karena hampir termakan pedang lawan, tapi juga hanya bisa bergerak dalam lingkungan tertentu, tak mampu berinisiatip balas menyerang.
Tatkala itu Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin sedang melancarkan jurus Giok-tay-wi-yau, tapi baru setengah jurus mendadak pedangnya dirobah dengan jurus Leng-coa-kiam- hoat (ilmu pedang ular sakti) yaitu tipu pedang Kim-coa-loan- bu (ular emas menari gila-gilaan), sinar pedangnya menari seperti berjoget dengan pancaran sinarnya yang kemilau, hingga berobah menjadi belasan batang pedang sekaligus mencecar Hiat-to mematikan-
Melihat serangan pedang kali ini cukup ganas dan benar- benar mengancam jiwa, lekas Biau-jiu-sip-coan menjatuhkan diri berkelit dengan gerakan Keledai malas berguling ditanah, sekuatnya dia menggelundung jauh.
Pada saat itulah, Liok Kiam-ping yang menonton dari samping menyaksikan Biau-jiu-sip-coan sedang menggelundung untuk menyelamatkan jiwa tanpa memikirkan bahwa dirinya akan menggelundung kecairan racun yang dilempar dari botol Hwi-bong-cu tadi, maka tanpa ayal dia menjejak kaki meluncurkan tubuh, selarik cahaya putih tiba- tiba telah anjlok disamping Biau-jiu-sip-coan yang masih menggelundung. sekali ulur tangan Kiamping cengkram baju dibelakang kuduk Biau-jiu-sip-coan terus dibawanya melompat pergi,
Pada hal Biau-jiu-sip-coan sedang kegirangan karena usahanya menyelamatkan diri berhasil. mendadak dirasakan tubuhnya tercengkram terus dijinjing pergi, karuan kagetnya serasa arwah copot dari raganya, tanpa perduli sikut kirinya tertekuk terus menyodok kebelakang, berbareng kaki kiri mendepak kebelakang.
Tak nyana baru saja serangan dilancarkan tiba-tiba tubuhnya sudah mumbul keudara, ditengah udara bersalto sekali, karuan dia menjerit panik, mengira jiwanya pasti melayang seketika.
Tak nyana sebuah suara yang sudah dikenalnya tiba-tiba berkata dengan tertawa dibelakangnya:" Inilah aku."
Lega sekali hati Biau-jiu-sip-coan, katanya: "o, kiranya ciangbunjin. Lepaskan peganganmu.'
Liok Kiam-ping, segera menurunkan Biau jiu-sip-coan, katanya: "Hampir saja kau keracunan dan jiwamu pun amblas. o, ya, ingin aku tanya, bagaimana keadaan nona Siau Hong”
"Hamba sudah menyembunyikan dia," sahut Biau-jiu-sip- coan, ”kabarnya Liong-ong-ya Tio Tin-thian dari ci-tong-kang membawa orang-orangnya sedang menuju ke Kui-hun-ceng ini, ternyata Ti Thian-bin telah mengangkatnya sebagai ayah angkat."
Liok Kiam-ping melenggong, tak kira bahwa Ti Thian-bin ternyata mahir menjilat dan mengumpak sehingga dia memperoleh tulang punggung yang kuat dan tangguh. Batinnya: "Perduli dia murid atau anak siapa aku tetap akan membunuhnya." sorot matanya setajam lampu senter menatap Ti Thian-bin, sehingga orang yang dipandang menjadi risi dan tak berani bertindak gegabah.
Setelah cui-le-kiam dia selipkan diikat pinggang, perlahan dia maju beberapa langkah, lalu berhenti lima kaki didepan Ti Thian-bin. Segagah dan sekokoh gunung angker, segera tenangkan pikiran dan hati, ujung mulutnya kembali mengulum senyum sadis. Senyum yang dingin pula sehingga Ti Thian-bin gemetar dan berobah rona mukanya. Tapi dasar jiwanya sempit wataknya picik, banyak muslihat lagi, lekas dia menyadarkan diri sendiri, dalam situasi seperti sekarang tidak menguntungkan bila dirinya menampilkan rasajeri atau panik, maka wajahnya segera mengulum senyum-senyum yang lebih jelek dari orang mewek.
Liok Kiam-ping berkata: "Ilmu pedangmu belakangan ini maju pesat, boleh terhitung jago kelas satu dikolong langit, kenapa tidak kau gunakan pedang mu. "
Ti Thian-bin tertawa, katanya: "Dahulu tidak pernah terpikir dalam benakku bahwa sekarang kau bakal menjadi ciangbunjin Hong-lui-bun, kalau tidak... "
Liok Kiam-ping maju selangkah. Ti Thian-bin menyurut dua langkah, badannya gemetar makin keras.
"To-toacengcu," nada perkataannya penuh ejekan, "memangnya kau terserang malaria ? kenapa badanmu gemetar begitu rupa "
Tiba-tiba berobah suara Ti Thian-bin, katanya bernada memelas: "Kau ingin mengambil Siau Hong bukan ? Kau boleh membawanya pergi. Selama beberapa tahun ini aku belum pernah menyentuhnya... ya, aku bersumpah... "
Kiam-ping tidak pernah duga bahwa Ti Than-bin bisa bersikap begitu takut dan memelas, namun dia menjengek hidung, bentaknya bengis: "Dulu waktu kau menutuk hiat- toku, waktu kau menendang dan menyiksaku, apa pernah kaupikirkan akibatnya seperti hari ini ?'
Gemetar bibir Ti Thian-bin, ratapnya:
"Waktu... waktu itu... mungkin aku terlalu emosi... terlalu sirik... "
Pads saat itulah terdengar pula sebuah jeritan dari samping, sebuah badan besar mencelat keudara dan "Bluk" terbanting jatuh didepan Ti Thian-bin, darah segar menyemprot mengotori kepala dan mukanya. Waktu dia menunduk didapatinya mayat orang itu adalah Ji-suhengnya Pi-san-khek, diatas mayatnya tidak kelihatan ada luka-luka tapi tepat diatas Thay-yang-hiat dipelipisnya mengecap tanda bundaran warna hijau, jelas jiwanya melayang karena tertutuk seruling pualam Giok-bin-koan-im.
Semakin pucat dan ngeri wajahnya, dia tahu hari ini jiwanya pasti tak bisa ditolong lagi. maka sedapat mungkin dia tenangkan pikiran menabahkan hati pedang dilintang di depan dada, mengumpulkan tenaga menghimpun semangat, kakinya memasang kuda-kuda siap melangkah dengan gerakan Su-bu- pou-hoat, kedua matanya menatap lawan, pikiran melarikan diri sudah dibuangnya jauh-jauh, agaknya dia sudah siap untuk mempertaruhkan jiwa raganya dalam adu kekuatan dibabak terakhir.
Liok Kiam-ping sebaliknya mengulum senyuman menghina, pedang terangkat mengacung miring keatas, Liat-jit-kiam-hoat siap dilancarkan.
Ti Thian-bin diam tidak bersuara, pedang bergerak langkah bertindak, dengan jurus Leng-coa-jut-tong (ular sakti keluar lob hang) pedangnya menusuk lurus kedada Liok Kiam-ping. Liok Kiam-ping diam menunggu, matanya menatap ujung pedang lawan yang menusuk tiba, sikapnya tenang dan wajar, tabah pula seteguh pohon raksasa yang siap ditimpa hujan badai.
Setengah jurus serangan telah dilancarkan Ti Thian-bin melihat lawan tetap diam tidak memberi reaksi, karuan hatinya mencelos, kiranya dia mahir menggunakan Hu-mo- kiam-boat ajaran Khong-tong-pay yang mengutamakan tenang laksana kaca, lincah seperti kelinci lepas kurungan, setiap titik kelemahan musuh diincar dan balas menyerang secara telak. itulah ajaran aliran Lwekeh yang utama.
Karena itu menyaksikan lawan tidak bergeming, namun pertahanannya seperti tiada titik kelemahannya, hatinya makin kaget dan heran, lekas dia menggeser langkah, gerakan pedang diganti pula dengan jurus Sing-ling-pat- kak dari Hu- mo-kiam-hoat. Sinar pedang berkembang mengeluarkan suara keras menusuk ke Ki-bun-hiat lawan-
Ti Thian-bin melebarkan kedua matanya mendadak dia menghardik sekali pedang yang teracung terayun Liatjit-kiam menggaris lurus diudara, secara telak pedangnya mengiris turun kedalam jala cahaya pedang lawan, desir, angin tajam menyobek udara, itulah jurus Liat-jit-yam-yam.
Baru saja gaya pedangnya mulai dilancarkan, Ti Thian-bin lantas merasakan gerakannya seperti terkendali dan tertahan, celakanya hawa pedang telah melebar dalam jarak yang terjangkau bila elmaut mengancam jiwanya..
Belum sempat otaknya bekerja menemukan cara mengatasi bahaya didepan mata, bola besar cahaya terang bak matahari terbit ditengah udara, panasnya sinar matahari menyilaukan mata hingga tak mampu dia membuka matanya pula, yang kelihatan dalam bayangan matanya adalah tabir cahaya benderang berwarna merah kemuning. Kuning seperti surya merah laksana darah.
Tanpa mengeluarkan suara Liat-jit-kiam telah membuat pedangnya kutung, disusul selarik cahaya benderang melesat diudara, maka protol pulalah sebuah lengan tangan, mencelat jauh kesana, darah menyemprot seperti air leding, lengan kanan Ti Thian-bin telah buntung. Sambil menjerit kalap dia menerjang maju, kelima jarinya terkembang bagai ganco seolah-olah hendak mencabik dada dan merogoh jantung Liok Kiam-ping.
Pada saat kritis itulah dari luar berlari masuk seorang laki- laki berteriak: "Liong ong-ya, Tio loyacu telah tiba..." tapi melihat darah berceceran, mayat bergelimpangan sementara pertempuran masih berjalan sengit didalam aula, seketika kuncup suaranya, sekejap dia melenggong, tiba-tiba putar badan terus lari sipat kuping. Tapi hanya tiga langkah dia lari, seorang raksasa gede tubuh telah menghadang jalannya, pentung ditangannya ternyata lebih besar dari pahanya yang kurus.
Siang Wi membentak: "Bocah keparat, lari kemana kau," sekali pentungannya menyodok "Duk" lalu berputar pula, kepala cengting itu disodoknya pecah, sekali sapu pula tubuhnya mencelat terbang beberapa tombak. Tanpa hiraukan korbannya dia berlari masuk pula hendak membantu bocah cilik alias Kiam-ping. Sayang dia berlari terburu nafsu sambil menenteng pentungnya melintang, sudah tentu panjang pentung yang melintang itu membentur pintu yang lebih sempit, beberapa kali dia mendorong dengan perutnya, pentung tetap tidak terdorong masuk, memangnya sedang jengkel, sekali dia benar-benar terbakar amarahnya, sambil menggerung pentung diputar terus menggempur dinding. "Blam" dinding tembok yang tebal itu jebol dan runtuh berhamburan hingga bolong besar.
Setelah meraba hidung dengan keras dia menggerung, katanya: "coba buktikan kau yang kukuh atau aku yang kuat," dari lobang besar itu dia menerobos masuk ke aula, kebetulan dilihatnya Liok Kiam-ping berdiri tegak memegang pedang, sementara Ti Thian-bin pentang kelima jarinya sedang menerkam dengan beringas
Kebetulan Liok Kiam-ping berdiri membelakangi pintu, jadi bocah gede ini datang dari belakang maka dia tidak melihat cahaya benderang yang dipancarkan dari pedang ditangan Kiam-ping, disangkanya bocah cilik ini sudah ketakutan hingga lupa bergerak.
Maka dia menggerung: "Bocah cilik jangan takut, aku sigede telah datang," sambil mengayun pentung dia memburu maju, yang dilancarkan adalah jurus menyapu ribuan tentara, dua lelaki kekar yang menghadang didepannya disapunya terbang dua tombak. Setiap langkahnya ternyata mencapai jarak delapan kaki, maka hanya beberapa kali melangbah dia sudah memburu disamping Liok Kiam-ping, Tak nyana baru langkahnya tiba disamping orang, mendadak dilihatnya cahaya merah berkelebat, darah pun menyembur laksana seutas rantai, Ti Thian-bin yang menerkam dari atas udara ternyata sudah terobek-robek menjadi beberapa potong oleh Liat-jit-kiam, tubuhnya tercerai berai tidak keruan diatas lantai.
Si gede melenggong, sesaat dia takjub, begitu Liok Kiam- ping berpaling segera dia acungkan jempolnya sambil memuji: "Bocah cilik, kau sungguh hebat." tapi melihat bocah cilik ini mengucurkan air mata, seketika dia melenggong, tanyanya sambil garuk kepala: "Bocah cilik, apa kau senang menangis?'
Setelah melancarkan Liatjit-yam-yam maka Ti Thian-bin pun terbunuh dengan mengerikan, sekilas ini diapun terkenang kepada Ji-cengcu. Sejak kecil Ji-cengcu menemukan dirinya, merawat, mengasuh serta mendidik dirinya, jiwa kecilnya tulus dan bajik, tapi sejak kedatangan Ti Thian-bin, hidupnya berobah, jiwa nyapun tersudut, hingga dirinya harus menjadi gelandangan, hidup terlunta-lunta, dihina dan dicaci, ibunya harus mati secara mengenaskan dalam pangkuan dan pelukannya pula, sementara dirinya tak kuasa menolongnya, dari berbagai peristiwa, jiwanya dipaksa untuk berobah lebih kejam, telengas dan keras diluar lemah didalam.
Bahwa dia berhasil membunuh musuh membalas sakit hati sendiri, hatinya menjadi tidak tega malah, apalagi melihat nasib mayatnya yang tercerai berai, jiwanya terasa kosong. Terbayang betapa Ji-cengcu mengajarkan kasih sayang dan mendidik dirinya harus bersikap jujur dapat dipercaya dan bajik terhadap sesama manusia, betapa dia tega membunuh murid Lo Bing-hong alias Ji-cengcu yang dulu memungutnya...
Berbagai persoalan membikin lahir batinnya serba kontras, maka timbul lebih nyata pula lembaran hatinya yang bijaksana dan bajik sehingga dia mencucurkan air mata. Mendengar pertanyaan Siang Wi lekas dia mengusap air mata, katanya: "Bocah gede, selanjutnya bagaimana kalau kau ikut aku saja ?"
Terbuka lebar mulut si gede Siang Wi, katanya: "Guruku pernah bilang: "He si gede, kau ini terlalu bodoh, selalu tidak memikirkan apa yang kau kerjakan, sekarang aku sudah tua, bila aku sudah mati kepada siapa kau harus menurut ? Lalu siapa pula yang akan memberi engkau makan ? lalu dia membuka lebar tawanya, katanya: "Yang benar, aku memang takut lapar, aku paling takut sebetulnya kerja baik apa yang harus kulakukan kecuali itu apapun aku tidak takut, jika kau ingin aku ikut kau, apa kau bisa memberi aku makan ? Mau memberi petunjuk kepadaku?"
Liok Kiam-ping tertawa geli oleh rentetan pertanyaan bodoh si gede, katanya mengangguk: "Bocah gede, aku pasti bisa memberi kau makan, makan apa boleh sesuka hatimu akan kubimbing kau dan memberi petunjuk apa yang harus kau lakukan, maka jangan kau kuatir."
Tapi Siang Wi masih sangsi, tanyanya:
"Kau tahu berapa banyak makanku setiap hari ? Biar kujelaskan, aku menghabiskan dua ekor ayam, tiga kilo daging sapi segar, ditambah dua puluh mangkok nasi, tiga ekor ikan dan sayur mayur lainnya, semua itu harus... " .
”Jangan kuatir." tukas Liok Kiam-ping "berapapun banyak makananmu pasti kuberikan sampai kenyang."
Siang Wi keplok kegirangan, serunya:
"Kalau begitu selanjutnya aku tidak usah memakai peneng muka setan Suhuku untuk mencari makan lagi, selanjutnya Suhu juga tidak akan berkata: "Wi-ji, kenapa selalu kau menggunakan Lo-hou-ling untuk menipu makanan orang, sungguh memalukan" lalu dengan sikap sungguh-sungguh dia menambahkan, "Tahukah kau bocah cilik ? Sejak itu.. akupun mengukir sebuah Lo-hou-ling lain yang bermuka setan dengan taringnya yang menakutkan, tapi mata setan yang kuukir hanya dua saja . " Sampai di sini bicara mendadak dia angkat pentung penyanggah langit yang gede itu terus disapukan seraya membentak: "Gundul cilik kemana kau."
Ternyata Hoat-goan Taysu yang melawan Gin-ji tay-beng semakin kewalahan setelah lawan menggunakan Gin sa-ciang, meski dia sudah mengerahkan segala kemampuannya, seluruh Kungfu Siau-lim-pay yang paling saktipun yang pernah dia pelajari juga tetap tak mampu menandingi ilmu pukulan pasir perak lawan yang dahsyat. Empat puluh jurus kemudian, tenaganya sudah terkuras hingga kaki tangan sudah lemas, sambil bertahan dia terdesak mundur, suatu ketika dia memperoleh kesempatan balas menyerang dua jurus pukulan tangan dan tiga tendangan, namun lawanjuga hanya didesaknya mundur dua tindak. Mumpung lawan mundur inilah, lekas dia mengebas lengan bajunya terus menjejak kaki, tubuhnya melesat terbang lari keluar pintu.
Siapa nyana Siang Wi si gede badan yang berotak minus ini perawakan yang delapan kaki itu memang mirip raksasa, kalau orang lari menyelinap dari bawah kakinya mungkin dia tidak memperhatikan, celaka adalah Hoat-goan Taysu melarikan diri dengan mengapungkan tubuh ditengah udara, seperti sengaja meluncur didepan matanya. Kontan dia ayun pentungnya terus mengepruk sekuatnya.
Tubuh terapung diudara, mendadak kuping Hoat-goan Taysu pekak oleh sebuah bentakan sekeras guntur, sehingga hatinya tersirap. di kala dia melongo itulah pentung sebesar paha telah menyapu tiba. saking kaget lekas dia kerahkan Jian-kui-tui sehingga tubuhnya seperti merandek sekejap lalu anjlok kebawah.
Siang Wi membentak: "Gundul cilik, masih mau lari ke mana kau ?" diudara pentung besarnya juga berputar satu lingkar, permainan pentung besar itu ternyata tangkas dan enteng, pinggang Hoat-goan Taysu menjadi sasaran berikutnya. Baru kaki menginjak bumi, sementara pentung raksasa itu sudah menyabet tiba, lekas dia menarik napas, tenaga setaker dikerahkan ketangan kanan terus melontarkan pukulan Sin-liong-tiau-bwe (naga sakti mengabit ekor), telapak tangannya menepuk kebelakang.
Pada hal betapa hebat kekuatan Siang wi ? Karena otaknya yang agak minus, maka sukar dia mempelajari ilmu, disesuaikan kondisinya maka sang guru Lo-hu-sin-kun hanya mengajar No-kang-cam-liok-gun (enam belas gelombang sungai), permainan pentung aneh yang di perolehnya dari propinsi Inlam.
Ilmu pentung ini adalah ciptaan ciangbun Tiam-jong pay, inspirasinya diperoleh setelah melihat sendiri amukan gelombang sungai No-kang yang deras dan berbahaya, maka permainannya juga mirip orang mengamuk dengan kekuatan raksasa lagi.
Setelah Siang Wi berhasil menghapalkan ilmu pentung yang satu ini, tapi juga memerlukan beberapa tahun, mengingat tenaganya yang raksasa dan kasar maka Lo-hu-sin-kun kuatir bila dia menghadapi tokoh Lwekeh yang benar-benar ahli supaya jiwanya tidak terancam bahaya, maka dia memeras keringat dan berjerih payah selama beberapa tahun pula mengajarkan Lia-bun-hwi-bu, ilmu pentung lain yang bergerak lebih santai enteng dan lincah.
Beruntung Siang wi memiliki dua jenis ilmu pentung yang berbeda, satu keras yang lain lunak. dalam praktek lama kelamaan dia berhasil membaurkan pula kedua ilmu pentung lunak dan keras itu sehingga sedemikian mahirnya, ilmu lain diajarkan juga percuma karena otaknya takkan bisa menangkap.
Sekarang dia melancarkan jurus Liu-hun-ho-khong (mega mengalir rebah diudara) salah satu jurus dari Liu-hun-hwi-bu menyapu pinggang belakang lawan yang berusaha lari begitu cepat samberan pentungnya itu. Begitu Hoat-goan menepuk kebelakang, kebetulan kena menepuk pentung besar Siang Wi, tenaga dalam yang dikerahkan di telapak tangannya berhasil menahan pentung orang serta menekannya turun beberapa senti. Begitu merasa pentung tertindih menjadi berat Siang Wi mengerang sekali, cepat sekali pentung raksasa itu sudah berobah gerakan dengan jurus Ki-li-koh-tiau (arus cepat saling berlomba) menyontek keatas.
Betapa cepat variasi, gerakan pentung seberat itu sungguh menakjubkan, baru saja Hoat-goan Taysu mumbul dua kaki meminjam tenaga tolakan pentung, tapi ujung pentung Siang Wi sudah menyusul tiba dan telak menyapu belakang pinggang Hoat-goan Taysu.
"Ngek." kontan Hoat-goan Taysu membuka mulut menyemburkan darah, "pletak" tulang punggungnya tersapu remuk. tanpa mengeluarkan suara badannya terlempar jatuh setombak lebih, jiwa sudah melayang sebelum tububnya menyentuh lantai.
Tatkala itu pula terdengar Kim-ji-tay-beng tertawa gelak- gelak, maka terdengarpupa suara "plak, plok," beruntun tepukan dua telapak tangan, Hwesio tua dari Gobi itu tampak terjengkang mundur dengan melelehkan darah diujung mulutnya, beberapa kali kemudian dia terjungkal roboh bergulingan-
Kiam-ping menoleh, kebetulan dilihatnya Ham-hun Siansu dari Go bi terjungkal roboh, pundaknya tampak terkena pukulan, pakaian pecah pundakpun berwarna kuning dengan tulang remuk keadaannya juga parah. celakanya dia menggelundung ke sana, seketika dia melolong sekerasnya sambil bergulingan, makin bergerak makin keras dan sakitnya mungkinjuga bertambah dari punggungnya tampak menguapkan asap. bau busuk dari kulit badan yang hangus menerjang hidung. Kedua matanya tampak melotot seperti bola merah darah, alis putihnya tampak menjuntai turun basah oleh keringat. Agaknya dia mengalami rasa sakit yang luar biasa, kedua tangan yang masih bisa bergerak telah melupakan rasa sakit dipundaknya terus menggaruk dan mencomot ke belakang, hingga kulit dagingnya membusuk makin dedel dowel, erangan kesakitan menjadikan bunyi suaranya mirip binatang buas yang kelaparan, tidak mirip lagi suara manusia.
Pertempuran besar dalam aula berhenti dengan sendirinya, semua menyaksikan adegan yang mengerikan ini tiada seorang pun yang tidak bergidik merinding.
Le Bun pernah membunuh orang, kapan dia pernah saksikan keadaan yang mengerikan seperti ini, saking seram dan ngeri mukanya pucat pasi dan menubruk dalam pelukan Liok Kiam-ping.
"Jangan takut," hibur Kiam-ping, "dia terkena racun."
Belum habis dia bicara, didengarnya Ham-hun Siansu mendadak meronta bangun mencelat lima kaki, waktu badan terbanting jatuh lagi jiwapun melayang. cepat sekali badannya yang membusuk bartambah besar dan berobah menjadi cairan hitam.
Liok Kiam-ping menghela napas, katanya: "Biarlah mereka pergi, keadaan sudah cukup mengerikan-'
Seperti berlomba saja yang masih hidup segera angkat langkah seribu, tidak sedikit diantaranya yang terluka, namun yang terluka parah dan masih tinggal juga ada belasan orang.
Menyapu pandang sekeliling ruangan, Kiam-ping berkata: "Sejak kini Hong lui-bun mendirikan pangkalannya di sini, mulai membuka perguruan, menerima murid mengembang biakkan kebesaran Hong-lui-bun."
Belum habis dia bicara derap lari kuda yang ramai berkumandang diluar. seorang membentak dengan suara keras, mendengung seperti lonceng: 'siapa berani membunuh anak pungutku ? Liong-ongya ada disini." “Liong-ong-ya ?" Le bun menegas heran-
"Liong-ong-ya ?" Siang Wi juga ikut berseru kaget. cepat sekali muncul seorang kakek diambang pintu, alis tebal mata harimau dengan batok kepala besar hampir sebesar kepalannya sendiri. Kontan Siang wi naik pitam, dampratnya: "Kentut makmu delapan belas kali, kau tua-tua kecil ini juga berani menamakan diri apa Liong-ong-ya (raja naga) Bukankah kau inijuga manusia ?"
Baru saja kaki melangkah masuk, orang itu sudah terkejut oleh bentakan Siang wi yang menggeledek. tampak seorang lelaki raksasa tinggi besar dengan kulit badan hitam berdiri bertolak pinggang, seketika dia tertawa, serunya: "Hahaha, kiranya kau bocah gede ini, hayolah kemari, rasakan Pat-po- tong-jin Liong-ong-ya punya." Perawakannya juga tinggi gemuk. tapi gerak geriknya ternyata lincah juga, sekali lompat setombak lebih dicapainya, tahu-tahu sudah berdiri di depan Siang Wi.
Melihat mayat bergelimpangan, tak sedikit anggota badan yang protol dan tercacah tercerai berai, hatinya juga kaget dan ngeri, bentaknya: "Bocah gede bagaimana kalau kita saling hantam tiga kali." sembari bicara manusia tembaga kaki satu ditangannya sudah mengepruk dari atas kebawah, kepala Siang Wi dipukul.
Siang Wi percaya akan tenaga raksasanya, yakin selamanya tiada orang yang berani adu kekuatan dengan dirinya, kenyataan kakek tua ini menantang adu tenaga, maka dia tertawa besar, serunya: "Kakek cilik, kau memang menyenangkan-" King-thian-pang (pentung penyanggah langit) terangkat sekali ayun dia pun kerahkan tenaga memapak pukulan gada lawan-
"Prang." begitu keras sampai pekak genderang telinga orang, keduanya tampak tergentak mundur selangkah, tiada yang kalah atau menang. Siang Wi berteriak: "Kakek cilik, nah giliranmu merasakan pentungku." kali ini pentungnya menyamber miring, deru anginnya seperti bunyi knalpot truk disel yang terlalu berat membawa muatan ditanjakan, dari pentungnya timbul pusaran angin yang bergulung-gulung sehingga orang-orang yang menonton diluar gelanggang disampuk mundur.
Ternyata Liong-ong-ya juga mengayun Pat-po-tong-jin, tak mau mengalah kembali dia menangkis. "Prang" suara lebih keras, badan mereka tampak limbung, tanpa kuasa keduanya menyurut dua tindak. lantai marmer dalam ruang besar ini sampai terinjak pecah.
Ki-ling-sin (malaikat sakti raksasa) melotot matanya, sambil meraung segera dia menerkam bersama pentungnya, dimana samberan bayangan kelabu melesat diudara, cepat dan dahsyat laju kekuatannya.
Liong-ong-ya juga menggerakkan pula Pat-po-tong-jin ditangannya, badan sedikit jongkok, seluruh tenaga dalam dikerahkan, otot hijau di jidatnya sudah merongkol keluar, bibir juga terkatup kencang, wajahnya mengkilap berminyak oleh keringat. Bagai ular hijau keluar lobang, secepat dan aneh balas menyerang.
"Prang" benturan keras ketiga kalinya membuat pergelangan tangannya tergetar dua kali, keringat dijidatnya rontok berhamburan, kedua kakinya amblas kedalam lantai empat dim.
Pentung besar Siang Wi mencelat mumbul keatas seperti terayun setengah lingkar lalu dia tarik turun dan dikempit dibawah ketiaknya, gelak tawa pecah dari mulutnya yang terpentang lebar. Teriaknya: "Puas sungguh puas. Kakek cilik, sungguh hebat kau."
Lengan Liong-ongya kesemutan pegal, tapi dia tertawa getir, katanya: "Bocah gede, kau ini Ki-ling-sin atau Lat-pak- kiuking ?" Perlu diketahui Liong-ongya sejak dilahirkan juga memiliki tenaga raksasa, jadi kekuatannya sudah pembawaan sejak kecil, waktu mudanya dengan senjata gada tembaganya itu, dia pernah malang melintang di daerah ciat-kang dan sekitarnya, tiada orang yang mampu menahan tiga kali pukulannya, apa lagi dia mahir berenang, sehari semalam menyelam dalam air juga tidak bakal mati, maka di daerah ci- tong-kang dia mendirikan pangkalan dan mengangkat dirinya menjadi cecu.
---ooo0dw0ooo---
Selama puluhan tahun pengaruh kekuasaannya melebar sampai Thay-ouw, ketenarannya makin luas kesegala pelosok dunia, namun kebiasaan mengajak orang bertanding tiga jurus tidak pernah padam, terutama bila bertemu lelaki kekar, dia pasti menantangnya. Tapi hari ini dia ketemu Siang Wi, tiga jurus serangan dahsyatnya betul-betul ketemu tandingan setimpal, karena heran dan kagum maka dia mengajukan pertanyaan.
"Apa ?Jadi masih ada keparat bernama Lat-pak-kiu-king ? dimana dia ? siang Wi akan mencarinya dan menantangnya adu kekuatan-"
Mendadak mimik muka Tio Tin-thian kelihatan murung dan rawan aneh perobahan mimik mukanya ini, katanya menghela napas: "Betapapun aku sudah tua " tapi baru beberapa patah mendadak dia tampar mulut sendiri seraya memaki: "Keparat, baru berusia lima puluh tahun sudah mengeluh tua, manusia hidup tujuh puluh tahun baru mulai tua." selesai dia berkata diluar terdengarlah pekik sorak dan jerit kesakitan-
Tio Tin-thian kaget, bentaknya menggelegar: "Ada apa anak-anak? Hayolah masuk semua."
"Kakek cilik, kentut makmu busuk" damprat siang Wi gusar, "kau memanggilku anak-anak. cuh, rasakan pentungku." dengan langkah lebar dia memburu seraya mengayun pentung menyerang dengan jurus pertama Liu-sa-loh-kim dari ilmu pentung enam belas gelombang sungai mengamuk.
Tio Tin-thian menggerung gusar pula, pergelangan tangan diturunkan, secara lincah tembaga kaki tunggal ditangannya menyelinap dari samping balas menyerang, yang di incar adalah Ki-bun-hiat dan Yo-kin-hiat di dada dan ketiak lawan, serangan secepat kilat juga.
Melihat lawan berani mengadu kekerasan, Siang Wi membentak gusar: "Neneknya. kau tua bangka kerdil sangka aku ini orang bodoh ? Mau menutuk Hiat-to ya ? Ketahuilah, aku tidak takut ditutuk." ujung pentung diketuk kebawah, badannya mencelat keatas beruntun dia merobah dua langkah, maka kelincahan dari Liu-hen-hwi-bu segera dia kembangkan, jurus Bu-bong-ling-thay (halimun tebal diatas panggung) dikembangkan mengaburkan pandangan orang, satu pentung berobah menjadi belasan batang serempak menyodok kedada lawan-
Pada saat itulah diluar terdengar gelak tawa dan sorak sorai yang riuh rendah, bayangan merah tampak berkelebatan melompat masuk. Gelak tawa orang banyak berpadu didalam aula begitu kerasnya sehingga genteng seperti bergetar, jendela juga gemeratak seperti diguncang gempa.
Maka berdirilah seorang tua berambut panjang terurai dipundak dengan gelang emas tipis melingkar dikepalanya, jubah merah menyala, mulut terpentang lebar menunjukkan barisan giginya yang rata putih sedang bergelak tawa.
Melihat orang tua rambut panjang jubah merah ini, urat syaraf Liok Kiam-ping seketika mengencang, kedua matanya lekat menatap orang tua yang tertawa latah ini. Kim-ji-tay- beng melongo, serunya: "Hwe hun-cun-cia."
Tersirap perasaan Liok Kiam-ping, sungguh tak nyana musuh pembunuh ayah dan pemenggal buntung lengan ibunya ternyata muncul di sini, sekejap ini tak kuasa dia mengendalikan emosi, tubuhnya gemetar, bola matanya merah menyala. Kakinya melangkah setapak seorang terasa menarik bajunya, bisiknya: "ciangbun jangan terlalu emosi dan tegang, kendalikan ketenanganmu.'
Mencelos hati Kiam-ping, seketika dia sadar, lekas dia menarik napas panjang, pelan-pelan dia melolos cui-le-kiam yang terselip dipinggang diserahkan kepada Gin-ji tay-beng, lalu membuka jubah luar, maka tampak dia mengenakan pakaian ringkas. Maju dua langkah dia berkata: "Yang datang apakah Hwe-hun-cun-cia ciangbunjin Hwe hun-bun ?'
Menyapu mayat-mayat yang tumpang tindih dilantai, Hwe- hun-cun-cia bergelak tawa katanya . "Anak muda, apakah kau Hun-bin kiam-khek ?'
Kiam-ping tidak layani pertanyaannya, maju lagi dua langkah baru berkata: "Apa kau masih ingat seorang yang bernama Liok Hoat- liong ?'
Hwe-hun-cun-cia geleng kepala, katanya: 'Selama hidup betapa banyak jiwa berkorban ditangan Lohu, mana bisa kuingat satu persatu nama setiap korban? Untuk apa kau tanya soal ini anak muda?”
Liok Kiam-ping menjengek, katanya:
”Liok Hoat-liong gugur ditanganmu, isterinya juga kautabas buntung lengannya, apa kau sudah melupakannya ?”
Berkerut alis Hwe-hun-cun-cia, katanya:
”Setan gentayangan dibawah tanganku tak terhitung banyaknya, mana bisa kuingat Liok Hoat-liong ? Anak muda, sekarang giliranku bertanya. Soalnya beberapa waktu yang lalu di Se-lam aku bertemu dengan Khong-tongkoay-kiam, katanya dia telah menemukan tunas muda ajaib yang jarang ditemukan selama ratusan tahun di Bulim, tunas muda yang jenius itu akan kuambil, secara bergiliran kita tua-tua bangkotan ini akan menggembleng menjadikan dia mempunyai tulang baja otot kawat, yakin kelak dia akan dapat menandingi Pat-pi-kim-liong ..."
Liok Kiam-ping terloroh-loroh, katanya: ”Tua bangka, tahukah kau siapa Pat-pi- kim-liong ? Ketahuilah, aku adalah putera Liok Hoat-liong, ini rasakan pukulanku." menghadapi musuh pembunuh ayah dan melukai ibunya ini, sungguh Kiam-ping sukar menahan emosi, baru beberapa patah dia sudah menerjang maju.
Tangan tunggal bergerak badanpun berkisar, jurus Llong- kiap-sin-gan dilontarkan, bayangan telapak tangan bertaburan menimbulkan pusaran angin kencang pula, sederas gugur gunung melanda kedepan.
Hwe-hun-cun-cia tidak menduga bahwa kehadirannya disambut oleh sejurus serangan aneh dan lihay ini, sekilas melenggong, secepat kilat dia menyurut setengah tapak sambil mengebut lengan baju, bayangan merah laksana segumpal mega membungkus tubuhnya seluas setombak menerjang kedepan pula.
"Pyaaar," terasa oleh Liok Kiam-ping jalur-jalur tenaga sebanyak ribuan menyusup tiba dari setiap lobang yang mungkin ditembus menerjang dirinya, pukulan yang dilancarkan ternyata tidak mampu membendung kekuatan lawan, sebaliknya dia merasakan tenaga pukulannya membentur dinding karang dingin yang besar, telapak tangannya tergetar sakit dan kemeng, tak kuasa dia menahan tegak tubuhnya terpaksa mundur selangkah.
Semula Hwe-hun-cun-cia hanya mengerahkan enam bagian tenaganya, tak nyana begitu bentrokan terjadi, hatinya tersirap kaget karena tidak menyangka pemuda berusia belum genap duapuluh ini ternyata membekal tenaga pukulan puluhan tahun. Lekas dia himpun kekuatan dalamnya menambah tenaga hingga delapan bagian, baru berhasil menahan serangan lawan- begitu merasakan pusaran tenaga lawan yang hebat itu, seketika
halaman 17 s/d 24 Hilang
sambil menahan napas Kim-gin-hu-hoat sudah bergebrak tiga puluhan jurus dengan Hwe-hun-cun-cia, keadaan mereka sudah mulai terdesak, untung Liok Kiam-ping lekas datang dengan girang mereka berkata:
"Ciangbun masih segar bugar. baiklah kami akan keluar, asap disini terlalu tebal menyesakkan napas."
Gin-ji-tay-beng juga berkata: "ciangbun desak dia keluar untuk berhantam diluar, di sini terlalu panas " hanya beberapa patah dia sudah batuk-batuk. matapun pedas mencucurkan air mata. lekas dia melompat terbang keluar.
Melihat sesosok bayangan menerjang datang dari tengah asap tebal, Hwe-hun-cun-cia sudah menduga pasti Liok Kiam- ping yang datang, terkejut juga hatinya akan semangat juang anak muda ini yang tidak kenal takut. Disaat hati kaget itulah otaknyapun teringat akan Liatjit-kiam, karuan hatinya tersirap. segulung tenaga dahsyat kontan menembus bolong asap tebal menggempur kearah bola api bundar yang menyala itu.
Liok Kiam-ping merasakan pukulan dahsyat lawan menimbulkan goncangan dahsyat dibatang pedangnya, lekas dia membentak seluruh hawa murninya dikerahkan di mana pergelangan tangan berputar, serangan dia robah menjadi Liat-jit-yam-yam.
Hwe bun-cun-cia memicing mata, namun pancaran cahaya pedang lawan memang terlalu benderang sehingga matanya seperti di tusuk jarum tak kuasa melek lagi Begitu memejam mata badannyapun meleset mundur beberapa kaki, kedua tangan bergerak menimbulkan hawa pertahanan melindungi badan denganJun-jan-ji-pok ilmu aliran sesat.
Desir hawa pedang menyambar dipinggir telinganya. walau dia sudah menyurut beberapa kaki, namun pedang panjang Liok Kiam-ping bagai bayangan mengikuti gerak gerik bentuknya, tetap mengudak kemana dia berpindah, sebelum dia mengegos pula, hawa pedang yang dingin tiba-tiba berkelebat, tangan kirinya terasa perih, tiga jarinya tertabas kutung, sementara kilat pedang masih menyerang beruntun pula melukai dadanya.
Begitu merasa sakit Hwe- bun-cun-cia lantas insyaf dirinya telah terluka, saking murka dan penasaran, kaki kiri ditarik, seluruh kekuatannya dia lontarkan, tubuhnyapun mencelat pergi beberapa tombak. sekali melejit lagi bayangannya sudah menghilang di luar rumah.
Begitu berada diluar rumah, mengawasi gedung yang sudah terjilat api, lekas dia rogoh kantong mengeluarkan sebuah benda bundar hitam terus ditimpuk kedalam.
"Glegar." sebuah ledakan seperti bom menggetar gedung terbakar itu hingga runtuh lebih cepat, bumi seperti digoncang hebat, debu asap dan reruntuhan menyamber ke udara.
Ki-ling-sin yang sejak tadi sudah berada di luar mendadak menjerit kaget: "Hei, Lui-hwe-pi-lik. Itulah Lui-hwe-pi-lik (granat guntur api)."
"Hoahahaha... " Hwe-hun-cun-cia tertawa besar sambil tolak pinggang mengawasi gedung yang terjilat jago merah, serunya:
"Musnah, musnah semua. Mega api (Hwe-hun) menyala semarak. bintang rembulanpun menjadi guram, biar seluruhnya terbakar musnah... " wajahnya yang beringas sadis tampak lebih menyeramkan lagi dibawah pancaran cahaya api yang berkobar makin besar, segalanya menjadi serba merah, jubah merah, darah merah, jago merah demikian gumpalan asap merah, seluruhnya merah...
Diam-diam Le Bun berdoa dalam hati:
"Kiam-ping... ” ingin dia menerjang masuk ke dalam kobaran api, tapi Kim-ji-tay-beng keburu menangkap lengannya.
"Nona, ciangbun tidak akan mengalami bahaya, dia bukan manusia yang berusia pendek, sekarang mungkin sudah lolos dari arah lain-..
Le Bun juga yakin apa yang dikatakannya memang benar, lekas dia berputar lari kearah jendela lain yang belum terjilat api, Bahwa bujukannya berhasil menahan dan menyadarkan Le Bun, Kim-ji-tay-beng, katanya: "Mari kita labrak tua bangka itu, umpama jiwa kita harus berkorban juga biar adu jiwa dengan dia." kembali mereka saling memegang pundak, tenaga murni terjalin Kim-gin-sa-ciangpun dilancarkan, ditengah gemuruhnya lengking suara disertai dua gelombang pukulan dahsyat seperti gugur gunung melanda.
Hwe-hun-cun-cia terkial-kial. bentaknya: "Keparat yang tak habis dibunuh. Serahkan jiwa kalian-" sekali lengan baju mengebas,Jik-yam-ciang yang bersuhu panas tinggi menerjang kedepan. "Plok" tubuhnya tergeliat, tapi kedua kakinya amblas sedalam tiga dim didalam tanah.
Tangan Kimji-tay-beng mendorong lalu menyanggah, dia salurkan tenaga pukulan lawan yang terlontar kearahnya kepada Gin-ji tay-beng, kebetulan Gin-ji tay-beng juga berbuat serupa, begitu kedua tenaga dahsyat itu saling bentur lantas sirna tidak berbekas.
Karena yakin Liok Kiam-ping sudah mati oleh am-gi lawan yang ganas, maka kali ini mereka melabrak musuh mengajaknya gugur bersama. Selama tiga puluh tahun belakangan ini kedua orang yang meyakinkan bersama sejenis ilmu tunggal yang harus dilancarkan dua orang berbareng dan dinamakan Ho-hap-ut-ki (gotong royong saling bantu) dilandasi tenaga Thian-te-ci-kio pula, sehingga kedua orang ini seia sekata, kekuatan dua orang terbaur, menyerang bersama sehingga gerakanpun serasi dan merata.
Meski taraf kemampuan mereka masih lebih asor dibanding Hwe-hun-cun-cia, tapi karena tenaga murni lawan juga terkuras tidak sedikit, maka sekarang mereka berada diatas angin-
Semangat Kimji-tay-beng makin menyala, tangan kanannya beruntun menyerang dengan Kim-sa-ciang, dimana sinar emas gemerdep beruntun dia melancarkan delapan pukulan, demikian pula Gin-ji-tay-beng memukul delapan kali. Sesama tenaga murni menimbulkan kekebalan, bolak balik sama membantu, damparan angin seperti amukan gelombang samudra, bergulung-gulung dengan angin ribut, Hwe-hun-cun- cia terdesak mundur tiga tindak.
Hwe-hun-cun-cia sudah terluka tiga jari dan dadanya oleh Liat-jit-kiam Liok Kiam-ping, darah segar masih terus bercucuran, belum sempat memberi obat dan membalut luka- luka, sudah dikerubut oleh kedua orang ini, karuan dia kelabakan- Dasar wataknya memang buas dan liar, selama puluhan tahun sejak taraf kepandaiannya meningkat belum pernah dia ketemu tandingan, kini terdesak oleh keroyokan Kim-gin-hu-hoat, maka sifat liarnya menjadi kumat, rambut kepalanya kaku berdiri, sorot matanya buas, seperti banteng ketaton- sekuat tenaga dia gerakkan kedua tangannya, setelah terjadi ledakan keras, angin ribut melanda ke berbagai penjuru membawa hawa panas yang mengejutkan-
Begitu bentrok pandang dengan mata orang, tak sadar Kim-ji-tay-beng bergidik seram, lekas Kim-sa-ciang dilontarkan pula, namun tetap tak kuasa menahan terjangan tenaga lawan yang ampuh, lekas dia membentak keras: 'Khing-te. Dia sudah gila, hati-hati.' karena memusatkan perhatian- semangat dan tenaga mereka terjalin cukup tangguh dan gerak gerik kedua orangpun terkontrol dengan rapi, tekad menuntut balas bagi kematian ciangbun mereka menjadikan serangan mereka semakin tangguh.
Maka berulang terjadilah bentrokan yang menimbulkan ledakan keras, bumi bergetar debu membumbung, pohon disekitar rumah rontok daunnya.
Dengan badan yang terluka Hwe-hun-cuncia bertempur mati-matian seperti binatang yang terluka mengamuk dalam kepungan, di bawah amarah yang menggila, setiap pukulannya dilandasi setaker tenaganya. Walau Kim-gin-hu- hoat sudah menjalin kekuatan dengan Thian-te-ci-kio, karena lawan mengamuk seperti orang gila. kini berbalik mereka yang terdesak malah, sekejap lagi jelas mereka takkan kuat menahan serbuan gencar ini, mereka terus terdesak mundur ke arah gedung yang lagi menyala panas.
Sementara itu Le bun berputar kesebelah gedung sana, mulut berteriak-teriak:
"Kiamping, Kiam-ping... "
Bocah gede Siang Wi ternyata menangis sedih, katanya dengan cucaran air mata:
"Dia sudah hancur oleh ledakan granat api paman Hwe- hun-cun-cia. Huuaaa, bocah cilik kenapa jiwamu sependek ini... "begitu dia membuka mulut menangis gerung-gerung sungguh tak terbendung pula cucuran air matanya.
Sudah tentu Le Bun ikut bersedih, katanya penuh kebencian: "Hayo kita tuntut balas kematiannya . "
Siang Wi angkat pentungan terus mendahului lari balik. teriaknya: 'Hwe-hun-cuncia tua bangka keparat, serahkan jiwamu.'
Seperti disayat-sayat hati Le Bun, secepat kilat dia mendahului melesat terbang, berarti dia lari mengitari gedung besar ini satu lingkar, didapati Kui-Hun-ceng ternyata sepi lengang, bayangan seorangpun sudah tidak kelihatan lagi. Hanya suara nyala api saja yang memusnahkan gedung, asap tebal membumbung keangkasa. Ternyata Angkin-cap-pwe-ki juga tidak kelihatan batang hidungnya, demikian pula Biau-jiu- sip-coan tidak kelihatan bayangannya. Dengan perasaan kebat kebit dia baru berjalan setengah lingkaran. pandangannya seperti dibungkus kain hitam saja. kecuali sinar api, tiada benda lain yang terlihat.
Mendadak sebuah lengking tawa berkumandang dibelakangnya, dengan tersirap Le Bun membalik, secara reflek serulingnya bertaburan, cahaya putih telah membungkus badannya, sekali putar pula seperti kitiran saja dia sudah membalik badan sambil menyurut mundur.
Waktu pandangannya tertuju ketanah, bola matanya terbelalak. rasa seram dan ngeri seketika menghantui hatinya, dihadapannya bertumpuk belasan mayat orang yang masih melelehkan darah segar. cepat dia melompat maju mendekat, mayat-mayat ini bukan lain adalah anak buah Liok Kiam-ping, siapa lagi kalau bukan Ang-kin-cap-pwe-ki, dihitung memang genap semua ada delapan belas mayat. Tanpa merasa dia menjerit tertahan sambil mendekap mulut, ditengah jeritannya itu tiba-tiba didengarnya sebuah jengek tawa kaku dibelakangnya, sedingin es suara itu sehingga jantungnya ikut merasa dingin.
Begitu dia menoleh dilihatnya bayangan seseorang hitam gelap terbungkus dalam asap tebal, serunya terkejut. "Siapa kau ?"
Bayangan itu seperti setan yang tidak berbentuk saja, tubuhnya seperti ikut melambai ditiup angin lalu, Kebetulan angin menghembus hingga asap agak mernbumbung ke atas, dibawah cahaya api dia melihat jelas wajah orang itu, seketika rasa merinding timbul dalam benaknya, kapan dia pernah melihat seraut wajah seburuk ini. Wajah itu tidak mirip muka manusia karena dia hanya memiliki sebuah mata hidung ya bengkok bolong separoh, bibirnya merekah hingga giginya yang putih kelihatan merongos dengan gusi yang merah menjijikan, rambutnya kusut masai menutupi muka, sehingga separo kepalanya tertutup rapat.Jubah kembang dasar warna hitam tampak sempit membungkus tubuhnya yang kurus tinggi laksana galah, lengan bajujusteru longgar dan panjang tampak melambai tertiup angin sehingga tubuhnya kelihatan melegot, selintas pandang orang pasti sangka dia ini dedemit. Le Bun bertanya pula: "Siapa kau "
"Hehehe, genduk ayu, siapa aku.?" suara nan dingin seperti gerujug air es dari lembah yang paling rendah, hawapun terasa seperti membeku.
Le Bun menarik napas menambahkan hati, seruling melintang didepan dada, tanyanya pula dengan suara bengis: 'Siapa kau sebetulnya ?"
Orang itu terkekeh, separti melayang saja dia melejit maju, katarnya dingin: 'Aku adalah Kiong bing.
"Apa Tok-sin-kiong-bing ?' pekik Le Bun tersirap. Kiong- bing tertawa dingin, ujarnya:
"Ban-tok-ci-ong, ong-tiong-ci-sin-' artinya raja selaksana racun, raja diantara malaikat. Lalu perlahan dia mengeluarkan telapak tangan dari balik lengan bajunya. aku datang dari Ko- siok-Kiong, ternyata dua muridku sudah mati, genduk. apa kau yang membunuh mereka ?"
Tidak menjawab Le Bun bertanya malah: "Apakah kau yang membunuh mereka?"
"Mereka terkena racun tanpa bayanganku, semua sudah mampus, jikalau kau tidak mau menerangkan, kaupun akan mampus seperti mereka." Telapak tangan orang tampak mengkilap biru, dalam gelap dibawah cahaya jago merah kelihatan begitu mengerikan, namun Le Bun cukup tabah, katanya: "Darimana kau tahu bahwa muridmu sudah mati ?"
Tok - sin - Kiong - bing berkata: "Sukma mereka sudah putus, sudah tentu aku tahu mereka sudah mati..." melihat kucing pelacak dalam pelukan Le Bun, sorot matanya semakin menyala, katanya: "Muridku itu pergi ke ouw-lan, kenapa kucing pelacak miliknya bisa berada ditanganmu ?”
Mendadak dia menghardik: "Serahkan jiwamu," segera dia menerkam sambil membuka kelima jari tangannya, belum tiba tapi bau bacin dan amis telah merangsang hidung Le Bun.
"Hait " Le Bun membentak nyaring, serulingnya menggaris lurus. Suitan pendek memetakan setabir cahaya putih membungkus tubuhnya.
Gerak gerik Kiong-bing betul-betul mirip setan gentayangan, begitu kelima jarinya menyentuh tabir sinar putih lawan, sebat sekali orangnya sudah melayang pergi, ditengah udara dapat membelok arah dan berada dibelakang Le Bun.
Kembali Le Bun taburkan bayangan serulingnya, namun kembali dia kehilangan jejak Kiong- bing, serulingnya dituntun setengah lingkar, jurus ceng-hun to-to dari permainan dua belas jurus seruling mega hijau menciptakan sinar berderai selaksa banyaknya.
Kiong- bing menyeringai, katanya: "Ternyata kau murid Tokko cu nenek peot yang galak itu" segera dia tambah dua bagian tenaga dan mengencangkan gerakan tangan, beruntun dia menjotos sepuluh kali menendang delapan kali. disamping lincah diapun lancarkan serangan ganas dan keji, Le bun telah didesaknya hingga tak mampu mengembangkan permainan seruling tunggal ajaran gurunya. Sambil terkekeh Kiong bing mengebut tangan kiri hingga menerbitkan segulung angin kencang menahan gerakan seruling panjang, sementara kelima jari tangan kanan menjentik, lima jalur angin panas segera mendesis keluar dari kuku jarinya.
Karena seruling panjang terbendung oleh tenaga lawan, tangan kiri sudah siap melolos cui-le-loam yang diserahkan Kiam-ping kepadanya, mendadak bau pedas yang menyengak hidung telah menyebabkan otaknya seperti linglung. lekas dia menahan napas.
Sekuatnya dia gerakkan serulingnya dengan Jan-hun-pia- pia, tangan kiripun telah mencabut cui-le-kiam. Tak nyana baru setengah jalan, mendadak jantung seperti tersumbat, mata gelap badanpun roboh terjungkal.
Cui-le-po-kiam yang telah terlolos itu tertindih badannya hingga amblas seluruhnya kedalam tanah tinggal gagangnya saja, "Bluk" Le Bun terguling kepinggir, kucing pelacak melompat kaget, tapi lekas sekali menyusup kedalam tanah.
Melihat kucing pelacak itu hendak melarikan diri, lekas Tok- sin pentang kelima cakarnya, begini cepat gerakannya mencengkram, namun yang berhasil dipegang hanyalah secomot bulu putih. binatang aneh itupun telah lenyap tak karuan parannya. Dia tahu bila binatang aneh sejenis ini terlepas, untuk menangkapnya pula perlu membuang banyak tenaga, sekarang dia tidak membawa jala atau peralatan lain, terpaksa biarkan saja dia lenyap.
Sekali raih dia mengempit Le Bun terus melompat kebelakang rumah sambil tertawa dingin, hakikatnya dia tidak perhatikan pedang yang terbungkus kain dan seruling putih milik Le Bun.
Kobaran api memang amat besar, lekas gedung besar itu telah terbakar habis, kini tinggal menunggu padamnya saja, angin malam yang dingin mulai mengembus datang pula sehingga terasa malam di musim dingin ini betul-betul terasa sepi,
Ditanah lapang diluar gedung yang terbakar menjadi puing, Kim-gin-hu-huat dibantu Ki-ling-sin Siang wi masih berhantam seru melabrak Hwe-hun-cun-cia. Enam belas jurus amukan gelombang sungai Siang wi dilancarkan dengan mahir, tenaga kuat pentung berat, maka dari samberan pentung itu sungguh amat berbahaya, apalagi Siang wi cukup cerdik mengincar tempat berbahaya ditubuh lawan- Kim-gin-hu-hoat tetap menggunakan keahlian masing-masing terus menggempur gencar dari arah berlawanan dengan Siang Wi, keadaan tetap sama kuat dan serang menyerang terus berlangsung.
Syaraf Hwe-hun-cun cia memang mendekati gila, ada kalanya beruntun dia melancarkan jurus-jurus aneh dan lihay, tapi adakalanya gerak geriknya tampak lugu dan hanya berkelit melulu mengandal ketangkasan gerak tubuhnya, namun puluhan jurus kemudian napasnya mulai tersengal.
Diantara keempat orang saling labrak ini, Siang wi beradat paling berangasan-keinginan menuntut balas bagi kematian Liok Kiam-ping adalah sedemikian mendesak maka dia benar- benar telah tumplek seluruh tenaga dan kemampuannya. serangannya seperti nekad dan tanpa perhitungan lagi.
Melihat Siang wi menyerang segencar itu, Kim-gin-hu-hoat ikut terbakar amarahnya, merekapun tidak mau kalah tenaga, jadi seperti berlomba saja mereka berusaha merobohkan lawan lebih dulu, kedua lengan bergandeng laksana jembatan itu terus pegang memegang makin kencang, tenagapun dimanfaatkan sesuai kebutuhan sehingga satu sama lain saling isi tanpa kuatir kehabisan bensin, sementara tangan kanan kiri mereka melancarkan pukulan andalan mereka dengan lebih hebat pula.