Jilid 12
"Hai, orang tua! Lagakmu saja seperti seorang lo- cianpwee. Melihat hebatnya kepandaian saudara Sin Houw, terus saja kau mencari alasan mundur, Bukankah begitu?"
Giok Cu sengaja mengejeknya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Kecuali itu, ingin pula ia menyaksikan Kam Song si bertempur melawan Thio Sin Houw, Didalam hati ia percaya, bahwa ilmu kepandaian Sin Houw lebih tinggi dari pada situa itu.
Kam Song si jadi serba salah, dadanya panas, serasa hendak meledak. Namun masih bisa ia menguasai diri, berkata kepada Sin Houw:
"Saudara Sin Houw! Meskipun usiamu masih muda, akan tetapi kau mengenal arti kata suatu persahabatan. itulah sebabnya aku memanggil saudara kepadamu, Mari! Mari kita bermain segebrak dua gebrak saja, biar anak setan yang tak tahu diri itu tidak mengira bahwa aku tidak mempunyai keberanian."
Thio Sin Houw sebenarnya tak senang hati pula mendengar mulut jail Giok Cu, mendengar ucapan Kam Song Si maka ia menyahut.
"Susiok! Mengapa kau mendengarkan ocehan seorang anak kecil? Aku kira dia hanya melepaskan kata-kata sejadi- jadinya saja."
"Kau tak usah khawatir, saudara Sin Houw! Akupun tidak akan berkelahi dengan sungguh-sungguh." ujar Kam Song Si mendesak.
Dan pada saat itu, Giok Cu berkata lagi dengan suara tajam:
"Mulutmu memang bilang tidak takut, tetapi hatimu sebenarnya berdegupan, Sekiranya tidak begitu, tanganmu yang ganas masakan tinggal diam saja? Idiiih! Masih bisa kau bicara tentang persahabatan segala? Tetapi memang, memang lebih baik jangan bertempur saja! Tetapi demi Tuhan, sampai seusia ini belum pernah aku menyaksikan kelicikan seorang ketua gerombolan perampok seperti dirimu, Maka dari itu lebih baik kau jangan bertempur saja."
Meluap hawa amarah Kam Song si . Diluar kehendaknya sendirif tiba tiba tangannya bergerak menampar wajah sin Houw, Akan tetapi belum sampai pada sasarannya, cepat ia menarik tangannya kembali. Lantas berkata:
"Saudara Sin Houw, mari. Aku ingin belajar kenal dengan ilmu kepandaianmu!"
Didesak demikian rupa, Sin Houw tak dapat mundur 1agi. segera ia lompat ketengah gelanggang, dan berkata dengan suara hormat:
"Baiklah, Hanya saja, sudilah susiok menaruh iba kepadaku."
"Kau baik sekali, sahabat Sin Houw, silahkan!" sahut Kam Song si dengan suara menantang.
Thio Sin Houw tertegun sejenak.
Meskipun ia baru untuk pertama kalinya merantau seorang diri, tetapi sejak belum bisa beringus sudah kenyang mengenal lagak-lagu seorang pendekar.
Maka tahulah dia, apabila tetap membawa sikapnya yang merendahkan diri terus-menerus, berarti pula merendahkan orang tua itu. segera ia mengayunkan pukulan jurus Hok-houw ciang yang pertama, sasaran yang dibidiknya adalah dada lawan.
Kam Song Si tercengang, Juga kedua rekannya. Tadinya mereka bertiga mengira, pemuda itu berkepandaian sangat tinggi. Sama sekali tak terduga, bahwa pukulannya begitu sederhana saja, seperti diketahui jurus-jurus ilmu Hok-houw ciang memang sangat sederhana. Pukulan-pukulannya mirip pukulan-pukulan ajaran pengantar ilmu silat.
Sama sekali tiada tipu-tipu muslihat atau keistimewaannya, seorang pendekar rendahan pun bisa memunahkan tiap serangannya dengan mudah. Malahan seorang tukang pukul biasapun, akan sanggup melawan dengan baik asal saja memiliki tenaga jasmani yang kuat, itulah sebabnya, Giok Cu pun yang sudah merasa diri terlanjur membuka mulut besar, kecewa bukan main sampai dahinya pucat!
Sebaliknya Kam Song Si girang bukan kepalang, Dengan hati mantap dia mulai menyerang, setiap pukulannya di sertai himpunan tenaga sakti, sehingga terdengar angin menderu- deru. ia yakin dapat merobohkan Sin Houw dalam tiga jurus saja. Sekiranya tidak demikian, paling tidak akan bisa membuat pemuda itu kelabakan. Diluar dugaan, gerakan-gerakan pemuda itu yang nampaknya sederhana saja, ternyata gesit dan licin luar biasa, Betapa dia menghujani pukulan-pukulan deras dengan berbagai tipu-tipu muslihat tinggi, tetap saja tak mampu menyentuh tubuh Sin Houw, Keruan saja ia jadi terkejut dan terheran-heran, Dirasakannya suatu keanehan yang sangat tak dapat dimengerti.
Mengapa pukulan-pukulan dan gerakan-gerakannya yang sederhana itu, tak dapat terkejar oleh pukulan Tangan Besi yang termashur kecepatannya sejak puluhan tahun yang lalu? Sama sekali ia tak pernah mimpi, bahwa diatas puncak gunung Hoa-san, seorang petapa sakti bernama Bok Jin Ceng, telah berhasil meniupkan nyawa baru ke dalam jurus- jurus Hok-houw ciang yang sederhana. Dan pemuda itu telah mewarisinya dengan sangat sempurna, ia pun tak pernah mengira pula, bahwa seorang pendekar besar lainnya bernama Bok-siang Tojin, telah mewariskan ilmu kepandaian "Mengejar Angin" kepada pemuda itu, Maka ditangan pemuda itu.
Hok-houw Ciang mendadak saja berubah kemujijatannya. Tubuhnya berkelebatan tak ubah bayangan saja!
Keruan saja Kam Song Si makin lama makin menjadi sibuk. Bagaimana ia berusaha, tetap saja tak dapat mendekati tubuh Sin Houw, ia malah merasa diri kena libat terus- menerus. Akhirnya ia berpikir didalam hati:
"Teranglah sudah, bahwa ia tidak bermaksud jahat terhadapku agar aku tak usah menanggung malu, Meskipun demikian kalau kesudahannya aku tak dapat berbuat sesuatu, bocah setan itu akan memperolok aku juga, Lantas bagaimana baiknya?"
Dirumun pikirannya sendiri , kesibukannya berubah menjadi rasa cemas.
Dengan serta-merta ia menghimpun seluruh kepandaiannya, lalu melancarkan serangan dengan sungguh- sungguh dan cermat. Gerakannya dipercepat, sedang tiap pukulannya membawa ancaman maut, Meskipun demikian, tetap saja nihil, seakan-akan tiada bedanya dengan pukulannya yang pertama.
Pada saat itu Sin Houw berpikir didalam hati: Sesungguhnya tidak mudah orang memiliki ilmu Tangan
Besi setinggi dia, aku harus berani mengalah, agar dia tak
usah menanggung malu menghadapi si mulut jail Giok Cu..."
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia sengaja menggelincirkan sebelah kakinya, seketika itu juga geraknya menjadi lambat.
Kam Song si girang melihat adanya suatu lowongan. Tetapi didalam hati tiada niatnya hendak mencelakai pemuda itu, ia hanya ingin merobek kain bajunya saja, artinya ia sudah memperoleh kemenangan. Demikianlah, dengan cepat diterkamnya pundak Sin Houw, Bidikannya tepat, tetapi kesudahannya ia heran bukan kepalang, Jelas sekali terkamannya sudah berhasil mencekeram daging, tetapi tiba- tiba daging yang dicengkeramnya itu menjadi keras dan licin. ia kaget dan cengkeramannya itu menjadi luput seperti seorang menangkap belut yang tiba-tiba lolos dari tangannya. jelas ia tidak mengetahui bahwa hal itu terjadi, berkat baju mustika Bok-siang Tojin yang dihadiahkan kepada pemuda itu beberapa tahun yang lalu.
Sin Houw tahu diri, ia lantas lompat mundur sambil berkata:
"Aku menyerah!"
"Akh! Kau sengaja mengalah!" sahut Kam Song Si setengah mengeluh tetapi dengan rela hati ia tersenyum sambil membungkuk hormat.
Justru pada saat itu, si mulut jail menimbrung:
"Memang dia mengalah, kau tahu atau tidak? syukur, apabila kau tahu!"
Merah padam wajah Kam Song Si disemprot Giok Cu. sebagai seorang pemimpin suatu perserikatan, tersinggunglah kehormatannya, segera ia hendak membuka mulutnya untuk mempertahankan kehormatannya, mendadak terjadilah suatu peristiwa lain. Diseberang sungai beberapa puluh orang datang berbondong-bondong dengan membawa obor menyala. Mereka berteriak-teriak:
"Mana anak itu? Bawa kemari! Kami ingin mengiris dagingnya demi menenteramkan arwah Jie Cu Pang!"
Giok Cu menoleh. Melihat datang puluhan orang hendak menuntut balas kepadanya, mau tak mau hatinya menjadi kuncup, segera ia memepetkan tubuh kepada Sin Houw.
"Kam Cay Sim! Bawalah seseorang kemari !" perintah Kam Song Si.
Dengan cepat, sampai lah rombongan itu ditepi sungai. Akan tetapi perahu A siong berada agak jauh dari tepi.
Dua orang lantas terjun kedalam air, mereka berenang timbul-tenggelam seakan akan dua ekor ikan terbang. Dalam sekejap saja sudah meloncat keatas geladak.
"Bungkusan emas sudah di lemparkan anak setan itu ke dalam air, panggil teman-temanmu dan cari bungkusan emas itu" teriak Wong Bun Cit sambil menuding kearah terlemparnya bungkusan emas. Dan menerima perintah ketuanya mereka berdua lantas saja terjun ke sungai lagi.
Ciok Cu yang memepetkan badannya pada Sin Houw, menarik lengan pemuda itu dan berkata dengan suara memohon:
"Mereka hendak membunuh aku tolonglah aku!"
Thio Sin Houw menoleh, ia melihat wajah Giok Cu yang sedih mengibakan hati. Lantas saja ia memanggut.
"Kalau begitu, kau tariklah jangkarnya selagi mereka sibuk mencari bungkusan emas itu!" bisik Giok Cu yang merasa bersyukur.
Gerak-gerik Giok Cu sudah barang tentu tak lepas dari perhatian Kam Song Si, segera ia bertindak, Akan tetapi ia kalah sebat. Tiba-tiba saja Giok Cu menyambar sebuah bangku tempat bergadang, yang terletak ditepi perahu lalu dilemparkannya kearah ketiga musuhnya.
Inilah kejadian diluar dugaan. Su Eng Nio dan Wong Bun Cit yang tidak menduga sama sekali bakal diserang secara mendadak, tak sempat lagi mengelakkan diri, Mereka berdua tercebur ke dalam air.
Kie Song Si masih sempat menangkis sambaran bangku itu, Dengan tangannya yang kuat bagaikan besi, ia menangkap kaki bangku itu, Lalu dengan sekali remas kaki bangku itu patah berantakan. Berbareng dengan itu, ia melompat ketepi perahu. ia bebas dari serangan Giok Cu, akan tetapi bingung melihat kedua rekannya tercebur ke dalam sungai.
Itulah sebabnya, lantaran ia tahu kedua rekannya itu tak pandai berenang. sedangkan Kam Cay Sim dan kawannya pada waktu itu sudah menyelam kedasar sungai, dan jaraknya agak jauh, Tetapi ia seorang yang berpengalaman, segera ia menjangkau sebuah bangku yang berada di tangannya, sambil menggenggam sebelah kaki bangku itu erat-erat, Maksudnya, agar mereka berdua dapat menyambar ujung kaki bangku masing-masing sebelah. Kemudian segera akan dihentakkan keatas,
Tiba-tiba saja hatinya menjadi panas ketika teringat kepada Giok Cu.
Menuruti kata hatinya, tak sudi ia membiarkan anak itu tak berbalas, Maka ia lemparkan bangku itu ke sungai sambil berseru:
"Apungkan diri kalian dengan memegang bangku itu sebagai alat pengapung! Anak itu biarlah kuhajarnya mampus dahulu!"
Berbareng dengan seruannya, ia menyambar penggayuh salah seorang anak buah A siong. Giok Cu pun berbuat demikian pula dengan membolang- balingkan penggayuh itu sebagai penggada, Giok Cu melindungi mukanya rapat-rapat.
"Kau tariklah jangkarnya, cepat!" serunya kepada Sin Houw.
Dengan sebat sekali Thio Sin Houw menyambar tali jangkar, kemudian dihentakkan. Dan jangkar itu terangkat naik dari gili-gili dan melayang keperahu, Hebat perbawa jangkar yang sedang melayang itu, Nampaknya seperti wajar saja akan jatuh diatas geladak, Tetapi sebelum itu, mendadak saja bisa menyelonong menyambar dada Kam Song Si.
Keruan saja orang tua itu kaget.
Cepat-cepat ia melompat menyingkir Giok Cu pun berbuat demikian pula.
Dengan demikian mereka jadi berpisah. Dan pada saat itu, perahu bergerak mengikuti arus sungai. sedang Sin Houw menyambar jangkar yang akan jatuh di atas geladak dengan tenang-tenang saja.
Kam Song Si kagum menyaksikan tenaga Sin Houw, yang dapat menyambut datangnya jangkar. selagi demikian, hatinya tercekat pula melihat bergeraknya perahu makin lama makin cepat. Kalau sampai terpisah dari kawan-kawan nya, bakal celaka. Maka dengan sekali menjejakkan kakinya, ia melesat ke tebing sungai.
Tetapi, perahu sudah terlanjur bergerak menjauhi tebing sungai jaraknya melebihi limabelas meter.
Dengan sekali melihat, tahulah Sin Houw bahwa orang tua itu tak akan mampu mencapai tebing. Cepat-cepat ia mengangkat jembatan perahu dan dilemparkan keatas air. Waktu itu Kam Song Si sudah mengeluh. Tak dapat dielakkan lagi, bahwa ia bakal tercebur di dalam air. selagi demikian, ia melihat kelebatnya selembar papan di depannya.
Betapa girang rasa hatinya, tak ter-katakan lagi. Terus saja ia mendarat pada papan itu, kemudian dengan menjejakkan kakinya, ia melompat ke darat.
Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih kepada pemuda itu, berbareng mengaguminya.
"Hai!" seru Giok Cu mendongkol, "Untuk kesekian kalinya kau berbaik hati terhadap orang tua itu, Heh, sebenarnya kau hendak membantu aku apa dia? Biarkan dia tercebur ke dalam sungai, bukankah dia tidak bakal mati?"
Thio Sin Houw tahu bahwa tabiat pemuda itu aneh, karenanya tak mau ia melayani. Terus saja ia masuk ke dalam gubuk dan merebahkan diri. Giok Cu jadi kian mendongkol, ingin ia mendampratnya tetapi Sin Houw bersikap membungkam mulut. Maka terpaksalah dia merangkaki gubuknya pula dengan muka bersungut.
(Oo-dwkz-oO)
KEESOKAN HARINYA tatkala matahari hampir condong ke barat, sampailah perahu A siong di Sin-bun. Thio Sin Houw- menghaturkan terima kasih kepada Lim Tek Lin, kemudian memberikan bayaran kepada A siong. Tetapi Lim Tek Lin mencegah. Katanya:
"Jangan! Biarkan aku yang membayar."
Saudagar itu merasa berhutang budi terhadap pemuda itu. seumpama tak ada dia, barang-barangnya bakal diludaskan oleh perampok tadi malam.
Thio Sin Houw tak mau mengecewakan kehendak Lim Tek Lin yang ingin membalas jasa, setelah menghaturkan terima kasih, segera ia berpamit, Di luar dugaan, Giok Cu pun hendak mendarat pula, Kata pemuda itu kepada Lim Tek Lin:
"Aku juga tahu, bahwa kau tak akan mengijinkan aku pula untuk membayar sewa perahu. Tetapi aku tak sudi kau perlakukan demikian, Aku seorang penumpang, dan aku akan tetap membayar." dan setelah berkata demikian, ia meraup segenggam uang emas dan ditariknya diatas meja.
"A Siong, inilah beaya perjalananku, Kau ambillah!" A siong sebenarnya adalah seorang mata duitan, tetapi setelah mengenal perangai dan tabiat penumpangnya yang muda itu, tak berani ia menerima pembayaran itu lantaran takut kena salah. Maka dengan lagak berpura-pura bodoh, ia menyahut:
"Eh, siauw-ya, Aku tidak mempunyai uang pengembalian
..."
"Siapa yang kesudian menerima uang kembalian. itu
untukmu semua!"
A siong tercengang, Mulutnya sebenarnya sudah mengilar, tetapi ia tak berani buru-buru menerima rezeki itu, ia jadi nampak berbimbang, sahutnya dengan suara gemetar:
"Tak usah sebanyak itu "
"Akh! Kau juga termasuk bangsa cerewet!" bentak Giok Cu. "Kalau kau tak mau menerima, aku akan membocorkan perahumu!"
Diancam demikian, A siong kaget seperti disambar petir, gugup ia menyahut:
"Oh, kalau begitu terima kasih."
Giok Cu kemudian membuka bungkusannya. Begitu terbuka, sinar gemerlapan memantul keluar oleh cahaya matahari. Dengan serta merta ia meletakkan di atas alas meja, lalu dihitungnya, semuanya berjumlah tiga ratus potong emas, ia membagi menjadi dua bagian, yang sebagian segera dimasukkannya ke dalam bungkusan pakaiannya dengan cekatan. Dan sebagian lagi disorongkan ke depan Sin Houw.
"lni bagianmu!" katanya. "Apa?" Sin Houw tercengang.
Giok Cu tertawa puas, dan wajahnya mendadak saja
kelihatan manis. Katanya:
"Apakah kau mengira aku benar-benar telah membuang emas rampasan ini ke dalam sungai? Huh! Masakan aku sebodoh itu. Mereka boleh menggerayangi seluruh dasar sungai. Sekiranya berhasil, mereka akan menemukan sebungkusan batu saja " setelah berkata begitu, lantas saja
ia tertawa geli.
Thio Sin Houw menghela napas. Giok Cu lebih muda dari pada dirinya, tetapi umur semuda itu sudah bisa mengelabui Kam Song Si, seorang pemimpin gerombolan perampok yang sudah banyak makan garam, Benar-benar mengagumkan!
"Saudara Giok Cu, aku tak membutuhkan uang emas itu, Kau ambillah untukmu sendiri- Kalau tadi aku membantumu bukan lantaran uang emasmu " kata Sin Houw.
"Tetapi ini pemberianku kepadamu" kata Giok Cu cepat, "Uang emas ini, bukannya kau yang merampas. Jadi bagimu, merupakan uang emas halal! Kenapa kau berlagak sebagai seorang pendekar berhati palsu?"
Thio Sin Houw tetap menggelengkan kepala, ia tak mau menerima uang emas pemberian Giok Cu.
Lim Tek Lin adalah seorang saudagar besar. Dalam tata hidup persoalan harta benda, bukan merupakan hal asing baginya, Dengan sendirinya, ia mengenal baik manusia dan perangainya. Akan tetapi melihat kedua pemuda itu, ia heran sekali.
Yang seorang tak dapat menghargai arti uang emas, dan yang lainnya menganggapnya masalah ringan. Yang seorang mendesak hendak memberi, dan yang lain menolak dengan keras. selama hidup melampaui setengah abad, belum pernah ia melihat peristiwa demikian !
"Tak perduli kau mau apa tidak, aku harus memberikannya kepadamu!" kata Giok Cu dengan suara nyaring, Tiba-tiba ia melompat ke darat.
Thio Sin Houw tertegun, tetapi segera tersadar, iapun melompat memburu. Akan tetapi Giok Cu dapat berlari cepat, Sayang, ia ketemu batunya, Dengan sekejapan saja Sin Houw dapat melombainya. "Tunggu!" kata Sin Houw sambil memegat larinya, "Kau bawa sajalah emasmu ini!"
Giok Cu berusaha menerobos melalui samping kiri dan kanan, namun sia-sia belaka, Tanpa mampu ia melintasi Sin Houw, Dengan sengitnya, tiba-tiba ia menyerang muka Sin Houw.
Thio Sin Houw menangis serangan-nya, dengan tangan kiri ia menolak, sebenarnya ia tidak menggunakan tenaga dalamnya, akan tetapi Giok Cu kena di dorong mundur tiga langkah.
Merasa diri tak akan sanggup lolos dari pegatan Sin Houw, mendadak saja Giok Cu menjatuhkan diri dan duduk bersimpuh diatas tanah. Dengan tiba tiba pula ia menangis tersedu.
"Apakah aku menyakitimu?" tanya Sin Houw dengan hati cemas. ia mengira tangkisannya tadi, membuat Giok Cu kesakitan lengannya.
"Siapa bilang aku kesakitan?" seru Giok Cu sambil melompat bangun. Dengan tiba-tiba saja ia melesat tinggi melampaui Sin Houw yang sedang berjongkok.
Thio Sin Houw jadi tercengang-cengang, Dengan mata tak berkedip, ia mengawasi kepergian Giok Cu yang tak lama kemudian lenyap dari penglihatan.
"Benar-benar aneh tabiatnya " Sin Houw bergumam
seorang diri, ia kagum akan kecerdikan pemuda itu. Tetapi ia heran pula terhadap tabiatnya yang aneh, Dengan hati geli, terpaksalah ia membawa bungkusan emas yang diperuntuk kan baginya. pikirnya sambil berjalan memasuki kota:
"Tak enak hatiku, sebelum dapat mengembalikan emas ini kepadanya. Aku membantunya semata-mata bukan karena uangnya. Kalau aku menerima emasnya seolah-olah menerima bagianku,Dikemudian hari, bukankah aku bisa dituduh orang bersekutu dengan dia?"
PADA MALAM HARINYA Thio Sin Houw menginap di sebuah rumah penginapan. Di dalam kamarnya, berbagai pertimbangan memenuhi pikirannya. Tujuannya memasuki wilayah perbatasan hendak mencari gurunya. Tak terduga ditengah jalan ia menemukan suatu peristiwa yang mengikat.
Bagaimana kelak ia harus mempertanggung jawabkan emas yang dibawanya itu kepada gurunya. Rasanya sukar ia memberikan pertanggungan jawab, Maka makin kuatlah ketetapannya hendak mencari Giok Cu sampai ketemu, kemudian emas itu harus diserahkan kembali. Apabila ia menolak, akan ditinggalkannya saja.
Kalau tak salah, pernah ia menyebut-nyebut nama dusun Kie-lok cun, dan keluarganya disebut-sebut orang keluarga Thio dari Cio-liang pay. Mengapa tidak kususul saja? pikirnya didalam hati.
Keesokan harinya, ia segera berangkat mencari jalan menuju ke dusun Kie-lok cun, Ternyata dusun itu berada disebelah barat gunung Leng-san. Untuk mencapai dusun itu, setidak-tidaknya membutuhkan waktu dua hari.
Dalam usahanya mencari keluarga Thio, didusun itu Sin Houw bertanya kepada seorang petani perempuan:
"Subo, bolehkah aku minta petunjukmu?" tanyanya.
Petani perempuan itu menatap wajahnya, dengan ramah ia menyahut:
"Tentu, Tetapi aku ini orang dusun , nak. petunjuk apa yang akan kau minta?"
"Tahukah subo, dimanakah keluarga Thio dari Cio-liang pay bertempat tinggal ?"
Mendadak saja wajah perempuan itu berubah, keramahannya tadi lenyap. Lalu menyahut kasar:
"Aku tak tahu, cari saja sendiri !" setelah menyahut
demikian ia melanjutkan pekerjaannya.
Thio Sin Houw heran, apa sebab perempuan itu berubah sikapnya? sambil berjalan, ia mencoba menebak-nebak teka teki itu, Ditengah jalan ia bertemu dengan seorang pedagang keliling, "Nah, mungkin dia bisa memberi petunjuk." pi-kirnya. Lantas saja ia mendekati sambil bertanya:
"Heng-tiang, bolehkah aku numpang bertanya? Dimanakah tempat tinggalnya keluarga Thio dari Cio-liang pay?"
Pedagang keliling itu berhenti, ia memperhatikan pemuda yang menanya, kemudian menegas:
"Apa perlunya saudara menanyakan tempat tinggalnya keluarga itu?"
"Aku hendak mengembalikan bungkusan titipannya." "Kalau begitu, anda sahabatnya, bukan? sebaiknya anda
cari saja sendiri, apa perlunya bertanya kepadaku?"
Untuk kedua kalinya, Sin Houw menjadi heran. selain itu, ada perasaan malu menyelomot lubuk hatinya. Mengapa orang itu tiba-tiba jadi kasar. Apakah penduduk sekitar gunung Leng-san memang manusia-manusia kasar?
Kemudian ia mencari seorang kanak kanak yang berusia kurang dari sepuluh tahun untuk menanyakan keterangan. seorang kanak-kanak dibawah umur sepuluh tahun, masih bersih tabiatnya, setelah menyelipkan dua cie uang didalam tangannya, ia bertanya ramah:
"Adik, tahukah kau tempat tinggal keluarga Thio dari Cio- liang pay?"
Anak itu sudah menggenggam mata uang pemberiannya, tetapi tiba-tiba saja mengembalikannya sambil menuding:
"Kau mencari rumahnya? ItuI istana yang besar itu!" dan setelah berkata demikian, bocah itu lari menjauhi.
Kembali Thio Sin Houw heran, Tetapi dia sesungguhnya bukan pemuda yang tak pandai berpikir. Sejak ia bertemu dan melihat perubahan sikap petani perempuan, segera dapat menebak delapan bagian. Kalau saja ia minta keterangan lagi kepada seorang pedagang keliling dan seorang bocah, semata-mata lantaran ingin memperoleh keyakinan. Bukankah orang yang memperkenalkan namanya Thio Kun Cu dahulu itu, sepak-terjangnya bengis dan kejam, Terhadap saudaranya sendiri, sampai hati ia membunuhnya demi memperoleh kitab sakti warisan Gin coa Long-lun, juga Giok Cu, adalah seorang pemuda yang kejam dan aneh tabiatnya.
Bagi orang dusun yang berwatak dan hidup sederhana, tabiat Giok Cu yang aneh itu pastilah dibencinya.
Rumah yang disebut sebagai istana oleh sibocah cilik tadi, sebenarnya bukanlah sebuah istana dalam arti kata yang sebenamya, Rumah itu hanya besar dan berhalaman luas, kesannya mentereng dan angker. letaknya disebuah bukit yang terlindung oleh gerombol pepohonan lebat.
Dari dalam halaman yang luas, Sin Houw mendengar suara riuh orang. Kemudian muncullah duapuluh ampat orang petani dengan membawa pacul dan kapak. Para petani itu berkerumun dan merundingkan sesuatu diluar pagar batu. Kemudian masuk halaman lagi sambil berteriak-teriak:
"Hei! Kalian dari Cio-liang pay! Kalian telah membunuh tiga orang teman kami! jangan enak-enak berpeluk lutut! Apakah kalian boleh berbuat seenaknya? Hayo, ganti jiwa ketiga teman kami itu ! "
Diantara mereka, terdapat delapan orang perempuan yang membiarkan rambutnya kusut masai dan terurai. Mereka menangis menggerung-gerung sambil memaki. Melihat hal itu, tergeraklah hati Sin Houw, ia jadi teringat pada pengalamannya sendiri, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh hidup, Maka ia mendekati, kemudian bertanya:
"Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?" Seseorang menoleh kepadanya. Menjawab:
"Saudara agaknya seorang pendatang, pastilah tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Keluarga Thio dari Cio- liang pay merupakan tataran tinggi diantara penduduk sini, sejak dahulu keluarga itulah yang memegang kendali penghidupan. Mereka semua pandai berkelahi, sehingga menjagoi wilayah sini,"
Seorang lain lagi, menambahkan keterangan itu:
"Mereka keluarga tuan tanah yang bengis, kekayaan mereka adalah himpunan darah kami, Kemarin mereka mendatangi nenek Jung Cin, menagih uang sewa tanah - nenek Jung Gin minta waktu pelunasan pembayaran sewa tanah dalam beberapa hari saja, Mereka menjadi gusar, nenek yang sudah keropos tulang belulangnya itu, didorongnya dengan kasar.
Tentu saja kena dorong mereka, ia mundur sempoyongan dan jatuh terbalik. Kepalanya membentur batu, dan ia mati pada saat itu juga, Anak dan keponakan nenek Jung Cin menuntut balas, mereka melabrak dengan nekad tetapi kena dihajar roboh sehingga luka-luka berat. Apakah tindakan mereka itu tidak kejam?"
Selagi orang itu memberi keterangan kepada Thio Sin Houw, seorang petani lain sedang menumbuk-numbukkan bajaknya pada pintu depan yang tertutup rapat, Dan pemuda- pemuda lainnya melempari batu.
Sekonyong-konyong terbukalah pintu depan, dan sesosok bayangan melesat keluar, sebelum orang-orang melihat tegas bayangan itu, tujuh orang temannya telah roboh terpelanting, kepala mereka bermandikan darah!
"Dia keji sekali!" pikir Sin Houw yang lantas menajamkan matanya, agar memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi.
Bayangan itu berperawakan jangkung kurus, kulit mukanya bersemu kuning, Dengan sepasang alisnya yang berdiri tegak, siapa saja akan segera memperoleh kesan bahwa dia seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
"Kalian benar-benar sekumpulan anjing dan babi!" bentaknya dengan garang . "Mengapa kalian merusak rumah kami? Apakah kalian tak mengenal aturan ?"
Biasanya, orang memaki untuk memperoleh jawaban. Tetapi sebelum para petani sempat membuka mulutnya, dia bergerak lagi dengan gesit. Tujuh orang terlempar jatuh menungkurup ditanah.
"Hebat tenaga orang ini," pikir Sin Houw, "seperti potongan jerami saja ia melemparkan orangi pastilah dia adalah salah seorang keluarganya Giok Cu, Kalau dia dahulu menyertai Giok Cu tak perlulah aku membantunya. Kegesitan dan kekuatannya, bisa menandingi Kam Song Si dengan leluasa sekali "
Pada waktu itu, seorang petani berusia kurang lebih empat puluh tahun, memajukan diri, ia diikuti oleh dua orang pemuda yang berdiri di sampingnya kata orang itu:
"Kalian telah membunuh orang. Apakah kami hanya berhak menabuh kentongan saja? Benar, kami ini sekumpulan manusia-manusia miskin, tetapi kami bukan sekumpulan anjing atau babi seperti katamu itu, jiwa kamipun sama harganya dengan jiwa kalian!Hidung sama-sama satu, dan telinga sama-sama dua "
Orang jangkung kurus itu tertawa mendengus. sahutnya: "Jika belum aku bunuh beberapa orang lagi, rasa-rasanya
kalian anjing-anjing ini masih saja menyalak terus."
Sekali berkelebat, ia menangkap petani yang membuka mulutnya itu, Tiba-tiba tubuhnya kena dijunjung tinggi. Kemudian dilemparkan keluar pagar batu.
"Enyah!" bentaknya nyaring.
Kedua orang pemuda yang menyertai petani itu, menjadi gusar, Berbareng mereka menyerang dengan paculnya, Yang diserang menangkis dengan tangan kirinya, dan kedua pacul mereka kena dihentakkan tinggi diudara lalu jatuh di atas tanah, selagi mereka berdiri terkejut, orang jangkung kurus itu sudah berhasil menangkap tengkuknya masing-masing, Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi dan dilemparkan kearah sebuah batu besar, Jelas sekali maksud orang jangkung kurus itu, dia hendak menghancurkan kepala mereka pada batu, Keruan saja gerombolan petani-petani lainnya menjerit kaget. Thio Sin Houw mengambil keputusan hendak melihat gelagat dahulu, meskipun hatinya ikut menjadi panas menyaksikan kelakuan orang jangkung kurus itu, pikirnya:
"Aku ingin bertemu dengan Giok Cu, kalau belum-belum aku menerbitkan perkara, bukankah bakal menghadapi kesukaran?"
Tetapi pada waktu itu, dia melihat melayangnya tubuh kedua pemuda itu hendak terbentur pada batu, Kalau dibiarkan saja, kepala mereka berdua bakal pecah berantakan. Meremanglah bulu tengkuknya, Mendadak ia lupa kepada segala pertimbangannya.
Terus saja ia melesat dengan menggunakan ilmu mengejar angin ajaran Bok-siang Tojin, lantaran kesempatannya yang sempit. Dengan kedua tangannya, ia menangkap tubuh mereka berdua dan diturunkan perlahan-lahan diatas tanah.
Orang jangkung kurus itu terkejut, pikirnya didalam hati: "Anjing-anjing dan babi-babi itu berani memasuki
pekaranganku, tak tahunya mereka mempunyai jago andalan..." memperoleh pikiran demikian, ia membentak sengit:
"Hei, sahabat! Apakah kau jago undangan mereka untuk mempersulit kami."
Thio Sin Houw memutar tubuh, membungkuk hormat sambil menjawab:
"Maafkan kelancanganku, sebenarnya tiada sangkut- pautku dengan mereka. Kalau aku mengulurkan tangan, semata-mata karena melihat adanya ancaman jiwa, saudara mempunyai kepandaian begini tinggi, kenapa adatmu tiada beda dengan orang-orang dusun itu?"
Menyaksikan sikap hormat Sin Houw, orang jangkung kurus itu heran. ia pun mendengar tutur-kata Sin Houw yang diucapkan dengan halus. ia memuji pula kepandaiannya. Rasa curiga dan marahnya lantas saja lenyap sebagian. Tanyanya: "Sebenamya siapakah kau, sahabat? Apa sebab kau ikut- ikutan pula mengunjungi rumah kami?"
"Namaku Sin Houw, salah satu sahabatku mungkin tinggal disini..."
"Siapakah sahabatmu itu? Akupun merupakan salah seorang anggauta keluarga Thio dari Cio-lang pay."
"Sahabatku itu bernama Giok Cu, usianya kurang lebih delapan atau sembilan belas tahun. Parasnya cakap sekali, dan mengenakan pakaian seorang pelajar."
orang jangkung kurus itu lantas manggut memaklumi, kemudian berputar menghadapi gerombolan petani yang belum bubar juga, Dengan sikap bengis ia menantang:
"Apakah kalian hendak mencari mati ? Mengapa masih saja berkumpul disini."
Melihat Sin Houw berbicara dengan si orang jangkung kurus itu seperti sahabat lama, gerombolan petani jadi bimbang hatinya, Mereka melihat, Sin Houw berkepandaian tinggi pula, Maka seorang demi seorang lantas memutar tubuh dan pergi. sebentar saja, mereka telah bubar seperti sekawanan burung sawah kena halau.
"Sahabat, mari masuk!" undang si jangkung kurus.
Thio Sin Houw menerima baik undangan itu. segera ia mengikutinya dari belakang, memasuki halaman rumah yang luas, Rumah itu sendiri, memang seperti istana, Berpendopo luas dan bertiang sentausa, Di dinding tengah, terbacalah sederet tulisan yang berbunyi: Thio Kan Thong, lahir dan mati seorang diri!
Alangkah sombong bunyi tulisan itu, akan tetapi penuh keyakinan akan kekuatan diri sendiri. Thio Sin Houw segera menyiratkan pandang kepada perabotan rumah yang serba mentereng. Diam-diam ia heran. pikirnya:
"Perabotan ini terdiri dari barang barang mahal, sedang rumah ini berada di dusun. perlengkapan demikian kalau bukan karena besarnya pengaruh, pastilah lantaran kekejamannya memaksa penduduk untuk mencari alat mengangkutnya. Seumpama kedua-duanya tidak, tentunya keluarga ini kaya raya sehingga mampu membeli dan mendatangkan perabot rumah yang mahal-mahal dari jauh."
Thio Sin Houw menyadari bahwa hati tuan rumah masih merasa tak senang terhadapnya, walaupun nampaknya ia ramah, itulah sebabnya., ia bersikap merendahkan hati dan berhati-hati.
"Aku harap saudara mau memanggil sahabatku Giok Cu, agar aku bisa menyerahkan barangnya." katanya mencoba.
"Giok Cu adalah adikku," sahut orang itu, "aku sendiri bernama Kun Jie, Adikku sedang bepergian, kau tunggulah sebentar!"
Sebenarnya Thio Sin Houw tak sudi berada didalam rumah keluarga itu lama-lama, tetapi ia harus mengembalikan bungkusan emas itu kepada Giok Cu, maka terpaksalah ia menyabarkan diri, Namun sampai siang hari, Giok Cu tak muncul-muncul juga, ia menjadi gelisah.
Apakah bungkusan emas itu diserahkan saja kepada Kun Jie? Akh, rasanya kurang kena, ia berpikir pulang-balik.
Dalam pada itu Kun Jie memanggil para pembantu rumah tangganya, menghidangkan makan siang, Lezat laukpauknya, terdiri dari masakan daging babi dan ayam. Benar-benar keluarga itu memiliki harta bertimbun, Sin Houw menggurumiti hidangan makan siang itu dengan berdiam diri. Dalam hati, ia mencoba menjauhkan kesan-kesannya yang buruk. Namun, ia tetap seorang pemuda jujur, Makin ia berusaha menjauhi, makin merumunlah kesan kesan buruknya.
Sampai matahari condong ke barat, Giok Cu belum juga muncul. Habislah sudah kesabarannya, Lantas ia meletakkan bungkusannya diatas meja, Sekarang, ia memutuskan hendak menyerahkan barang itu kepada Kun Jie saja, Bukankah dia salah seorang anggauta keluarganya? Dan yang penting didalam hal ini, yalah jangan sampai dirinya membawa-bawa emas yang tidak syah. Maka katanya:
"Saudara Kun Jie! inilah bungkusan milik adikmu, Tolong, sampaikan kepadanya, sekarang idzinkan aku "
Belum selesai ucapannya, ia mendengar suara orang tertawa riuh datang dari luar rumah. Diantaranya terdengar suara tertawa seorang perempuan, ia merasa kenal bunyi tertawa itu, lantas saja ia menoleh. Bukankah itu suara tawa Giok Cu? Dan benarlah dugaannya. Di antara mereka, nampak Giok Cu berjalan bergandengan.
"Ha, itulah! Adikku sudah pulang!" kata Kun Jie. ia bangun dari kursinya dan keluar pendopo hendak menyambut kedatangan mereka, Sin Houw pun akan ikut serta, akan tetapi Kun Jie buru-buru mencegahnya. Katanya dengan suara memerintah:
"Saudara Sin Houw, duduk sajalah ditempatmu!"
Thio Sin Houw heran. Akan tetapi ia tak dapat membangkang kehendak tuan rumah. setelah menunggu sekian lamanya, tetap saja Giok Cu tak muncul dihadapannya, sebaliknya yang menemuinya lagi adalah Kun Jie. sewaktu hendak minta penjelasan, Kun Jie berkata ramah:
"Adikku sedang ganti pakaian. sebentar lagi ia akan keluar menemui saudara."
Pemuda itu ternyata masih harus menunggu sampai sekian lamanya, sampai kemudian Giok Cu muncul dengan wajah nampak berseri-seri, Katanya setengah berseru:
"Saudara Sin Houw! Aku sangat girang, kau sudi mengunjungi rumahku."
"Kau lupa membawa bungkusanmu " sahut Sin Houw
sambil menuding kepada bungkusan yang tadi diletakkan di atas meja.
Melihat bungkusan itu, wajah Giok Cu berubah. Tegurnya: "Ternyata kau benar-benar tidak menghargai aku." "Bukan begitu." sahut Sin Houw cepat, "Nah, sekarang idzinkan aku pergi." segera ia bangkit dari kursinya dan membungkuk hormat untuk berpamitan. Tetapi Giok Cu menolak pemberian hormatnya , ia menekap pergelangan tangan Sin Houw, Berkata:
"jangan! Kularang kau pergi!"
Sin Houw kaget berbareng heran. ia merasakan tangan Giok Cu sangat lunak.
"Ada satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu, saudara Sin Houw, Maka kuharap kau sudi bermalam disini!"
"A... aku mempunyai urusan penting, tak dapat aku bermalam disini... kelak, kalau urusanku sudah selesai aku akan singgah dan bermalam disini." Sin Houw menolak dengan suara gugup.
"Tidak! Kau harus bermalam disini !" Giok Cu memaksa.
Tiba-tiba Kun Jie yang selama itu duduk diantara mereka, menimbrung:
"Kalau saudara Sin Houw memang mempunyai urusan penting, tak dapat kita memaksanya. janganlah kita menghambat perjalanannya."
Giok Cu bersungut, wajahnya muram setelah menyenak
napas, ia berkata mengalah:
"Baiklah, kalau kau hendak segera berlalu. Tetapi bawalah bungkusan ini serta, saudara Sin Houw, Rumahku memang tak pantas, dari itu kau tak sudi bermalam disini. Artinya kau tidak menghargai aku, Baiklah silahkan!"
Sin Houw jadi berbimbang-bimbang, Hatinya merasa tak enak membuat kecewa kenalannya itu yang bermaksud baik, Tetapi ia harus cepat-cepat berangkat mencari gurunya, setelah berdiri menimbang beberapa saat lamanya, akhirnya ia memutuskan:
"Saudara Giok Cu, kau sangat baik kepadaku, Baiklah, biarlah malam ini aku menginap disini." Mendengar keputusan Sin Houw, maka Giok Cu menjadi girang bukan kepalang, wajahnya berubah berseri-seri dan terus saja ia berteriak memanggil para pembantu rumah tangganya, memberi perintah:
"Kau sediakan makanan dan minuman hangat!"
Kun Jie nampak tak senang hati mendengar keputusan Sin Houw, Meskipun demikian, ia tak meninggalkan tempat itu, Masih saja ia duduk menemani mereka. Hanya saja, ia bersikap membungkam. Giok Cu sangat gembira. ia berbicara tentang senandung, tentang dongeng rakyat, kepercayaan penduduk, ilmu silat dan lain sebagainya.
Sebab pada waktu itu pikirannya sedang risau hendak menyusul gurunya yang berada dimedan perang secepatnya maka terhadap seni budaya dan segala yang diceritakan oleh Giok Cu, ia merasa kurang tertarik. pikirnya:
"Giok Cu ini luas pengetahuannya, akan tetapi tabiatnya aneh "
Sebaliknya perhatian Kun Jie berbeda dengan adiknya, nampaknya ia paham benar akan ilmu silat, Akan tetapi mengenai seni budaya, ia buta sama sekali jelas sekali, ia
menjadi muak mendengarkan obrolan Giok Cu tentang seni budaya dan lain sebagainya. Namun tetap saja ia duduk diatas kursinya.
Lambat laun, Sin Houw menjadi perasa, setiap kali ada kesempatan, ia mengalihkan pembicaraan kepada ilmu silat. Kun Jie lantas merasa memperoleh tempat, Dengan penuh semangat, ia lantas menyambung. Akan tetapi baru saja setengah jalan, Giok Cu memotongnya dan kembali lagi Giok Cu membicarakan seni budaya atau ilmu perang.
Mau tak mau Sin Houw merasa diri seakan-akan dipaksa untuk mengenal tabiat dan perangai mereka berdua. Giok Cu seorang pemuda periang hati, ia berbicara dengan perasaannya. Sebaliknya Kun Jie, dia pendiam dan angkuh, walaupun katanya kakak Giok Cu, namun nampak nya ia segan terhadap adiknya itu. Terasa sekali ia selalu menghindar bentrokan-bentrokan. Malahan manakala Giok Cu menegurnya, tak berani ia membantah.
Tak terasa sore hari datang diam-diam, hidangan sore segera di antarkan para pelayan. Masakannya, minuman dan lain sebagainya lebih lengkap dan hebat dari pada siang hari tadi, semua serba istimewa.
setelah makan, Giok Cu yang berada dalam keadaan gembira, segera hendak melanjutkan pembicaraan. ia ingin berbicara sebanyak-banyaknya. Tentu saja menurut seleranya sendiri. Sin Houw sebenarnya bersedia melayani. sebagai seorang tamu, kedudukannya berada dibawah tuan rumah. Tetapi melihat Kun Jie yang nampak tersiksa, ia jadi tak enak hati. Maka cepat-cepat ia berkata:
"Saudara Giok Cu, aku lelah. Perkenankan aku beristirahat terlebih dahulu."
Giok Cu nampak kecewa, tetapi segera ia sadar. Menyahut:
"Saudara Sin Houw, sejak kanak-kanak, aku hidup di dusun. jarang sekali dirumahku ada tamu seperti kau. Malahan untuk yang pertama kali inilah, aku mempunyai tamu sendiri. Begitu gembira dan terima kasih hatiku, sampai ingin mereguk dan menikmati semua perasaanku sekaligus. Maafkan perangaiku yang tak tahu diri ini. sebenarnya, aku ingin menyalakan lampu sebesar besarnya untuk mengajakmu berbicara, Tetapi ternyata kau lelah. Baiklah, esok hari saja kita ngobrol lagi."
"Saudara Sin Houw! Mari kau tidur dikamarku saja." tiba- tiba Kun Jie mengajak.
"Apa?" Giok Cu melotot, "Dalam kamarmu, mana ada tempat untuk tetamu ? Biarlah dia tidur dikamarku!"
Wajah Kun Jie berubah.
"Apa?" menegas, seolah-olah tak percaya kepada pendengarannya sendiri. "Ya, Kenapa?" sahut Giok Cu. "Aku sendiri, biarlah tidur bersama ibu."
Kun Jie bungkam. Tetapi ia tidak senang mendengar ketetapan itu, Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan ruang tamu, Dan kembali lagi Sin Houw menjadi tak enak hati.
"Maafkan dia, orang dusun memang kerap kali kasar." Giok Cu mengomel.
"Akupun orang desa. Tak perlu kau memikirkan diriku berlebih-lebihan..." kata Sin Houw mencegah.
Giok Cu tersenyum. sahutnya tak perduli: "Kau ikutlah aku."
Dengan membawa lentera ditangan ia mendahului
berjalan. Sin Houw mengikuti dari belakang, ia dibawa berjalan melintasi dua pekarangan dalam. sampai di ruangan ketiga, Giok Cu membelok kearah utara melalui lorong rumah yang agak panjang, Dan setelah melintasi dinding batas pagar halaman, sampailah ia pada sebuah kamar yang pintunya segera dibukanya, Eh, benar-benar seperti istana raja-raja, bentuk rumah keluarga Thio dari Cio-liang pay ini, pikir Sin Houw didalam hati.
Dan begitu pintu terbuka, mata pemuda itu silau. Bau harum menusuk hidungnya.
Kamar itu terang-benderang oleh nyala limabelas lampu antik.Masing-masing terbuat dari bahan perak. Api menyala terang, Pada tembok sebelah kiri, tergantung sebuah lukisan pemandangan alam yang indah. Dan tempat tidurnya, merupakan perabot yang mahal harganya.
Didepan ranjang terdapat sebuah meja kecil model kerajaan Song, kemudian sebuah jairibangan dengan bunga yang harum semerbak. Didekatnya berdiri sebuah kurungan persegi panjang dengan dua ekor burung nuri yang selalu bergerak gerak.
Sejak kanak-kanak Sin Houw tak pernah mempunyai kesempatan melihat tata indah, setelah hidup sebagai yatim piatu, ia berada diatas gunung. Tak mengherankan, melihat keindahan itu ia menjadi kagum dan benar-benar merasa seperti berada dalam sebuah istana.
"inilah kamarku," kata Giok Cu. "Malam ini kau tidur saja disini." setelah berkata demikian, ia keluar kamar tanpa menunggu ucapan tamunya.
Thio Sin Houw lantas memeriksa seluruh ruangan kamar dengan cermat, ia merasa biasa hidup dikejar-kejar lawan. Dan seringkali pula melihat tata muslihat orang. Maka terhadap sesuatu yang baru dan asing, ia selalu menaruh curiga.
Apabila tiada kesan-kesan yang mencurigakan, segera ia menutup pintunya, Kemudian perlahan-lahan ia membaringkan diri, Mendadak ia mendengar daun pintu diketuk hati-hati dari luar.
"Siapa?" ia bangkit.
Pintu terbuka perlahan-lahan. Kemudian muncul seorang pelayan cantik berusia enam belas tahun. wajahnya sedap dan nampak cerdik. ia datang dengan membawa sebuah nampan.
"Thio sianseng, sebelum tidur silahkan makan bubur halus lebih dulu, Kami juga membawa seguci arak." kata pelayan itu dengan suara halus. Dan ia meletakkan guci arak diatas meja.
Selamanya, belum pernah Sin Houw bergaul atau berbicara ramah dengan seorang gadis cantik. Gadis cantik yang pernah dilihatnya dulu hanyalah kekasih paman gurunya, sedang yang pernah bergaul rapat dengannya, Lie Hong Kiauw -seorang gadis dusun yang kebenaran berparas biasa saja.
Keruan saja melihat seorang gadis rupawan memasuki kamarnya - ia menjadi likat, ia membalas tersenyum dengan muka bersemu merah.
"Namaku Ong Wu Lan, panggil saja namaku Wu Lan." gadis itu memperkenalkan diri sambil tertawa manis. "Aku diperintahkan majikan untuk melayani siangkong, Apabila siangkong memerlukan sesuatu, jangan segan-segan memanggil.
"Aku ... eh ... aku untuk sementara tak memerlukan sesuatu." sahut Sin Houw kaku, Memang tiada acara lain pada malam itu, kecuali hendak tidur.
"Baik, Kalau begitu perkenankan aku mengundurkan diri." kata Ong Wu Lan, ia membalikkan tubuh hendak berlalu. Tiba- tiba ia berputar menghadap lagi, sambil berkata: "Oh, ya. Yang membuat ?bubur halus itu, majikan sendiri. siangkong silahkan makan, pasti istimewa..."
Thio Sin Houw tercengang, ia seperti merasa ada sesuatu yang meraba kedua belah pipinya, sehingga ia tak mengerti apa yang harus dikatakan. Ong Wu Lan waktu itu telah menjauhi sambil tertawa perlahan, kemudian menutup pintu dengan hati-hati sebelum tubuhnya hilang dari penglihatan.
Sin Houw menghela napas yang terasa menjadi sesak. Tanpa mengacuhkan semangkok bubur itu, ia melompat diatas tempat tidur, segera berselimut Dan begitu berlimut, bau harum menusuk hidungnya.
"Apakah pemuda diseluruh dunia ini, selain aku menaburi wewangian di atas tempat tidurnya?" pikirnya didalam hati, Dan karena pikiran itu, ia jadi malu sendiri merasa diri jorok, Dan selagi pikirannya dirumun persoalan itu, ia telah tertidur pulas dengan tak setahunya sendiri.
THIO SIN HOUW kini adalah seorang pemuda yang berilmu kepandaian tinggi.
Meskipun sedang tidur lelap, panca inderanya perasa sekali.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba ia tergugah oleh kepekaannya sendiri. ia seperti mendengar suara, lantas saja dilemparkannya pandangnya pada jendela yang berada didepannya. "Tuk - tuk - tuk!" Daun jendela terketuk perlahan tiga kali, Kemudian terdengar seseorang tertawa lembut. setelah itu terdengar bisiknya:
"Saudara Sin Houw! Apakah kau masih berkelana dalam alam mimpimu? Lihatlah, bulan menerangi bumi, Malam begini, sungguh sayang kalau dilalui -tanpa bergadang terlebih dahulu. Keluarlah, alam sangat indahnya "
Segera Sin Houw mengenali suara Giok Cu. ia menajamkan penglihatannya, Diluar jendela, cahaya bulan nampak cerah. Terus saja ia melompat bangun. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia menyahut:
"Baik, Tunggu sebentar!"
Sejak memasuki rumah keluarga Thio, diam-diam perhatiannya tergerak, sekarang ia menyaksikan untuk ke sekian kalinya, lagak lagu tuan rumah yang aneh, Terdorong oleh rasa ingin tahu, terus saja ia membuka daun jendela.
Kemudian melompat keluar. Ternyata di depan kamar itu adalah sebuah taman bunga yang sedang bermekaran.
"Mari!" ajak Giok Cu yang berada tujuh langkah didepan, Sambil membawa guci arak, ia berjalan mendahului. Sin Houw lantas mengikuti tanpa membuka mulut, sambil menebarkan matanya.
Cekatan Giok Cu membawa Sin Houw keluar taman, setelah berada di luar taman, ia berlari-lari cepat menuju ke sebuah bukit yang berada disebelah barat daya. Pagar batu diloncatinya, dan sepak terjangnya seakan-akan tidak menghiraukan segalanya.
Thio Sin Houw terus mengikuti dengan tetap berdiam diri, iapun meloncati pagar dinding itu, Giok Cu sendiri tidak pernah menoleh. setelah sampai di puncak bukit, ia menikung dua kali, Dan tibalah pada suatu tempat yang berpemandangan luas. Dingin halus meraba tubuh, dan kebun bunga mawar yang sedang bermekaran menebarkan keharumannya, jenisnya merah merekah dan putih bersih bercampur-baur seperti tersulam. Di tengah bulan cemerlang, alangkah jadi indah bersemarak.
"indah benar tempat ini, Mirip sebuah pertapaan!" seru sin Houw kagum didalam hati, Lalu berkata:
"Saudara Giok Cu, apakah aku sedang bermimpi?" "Tidak!" sahut Giok Cu sambil tertawa manis. "Bunga-
bunga ini, aku sendiri yang menanamnya. Kecuali ibu, para pelayan perempuan, aku larang memasuki petamanan ini."
"Kenapa?" Sin Houw heran.
"Laki-laki terlalu kasar bersin-tuhan dengan bunga."
"Akh!" Sin Houw terkejut, "Kalau begitu, tak berani aku "
"Aku yang membawamu kemari. siapapun tak dapat melarangnya." potong Giok Cu cepat sambil tertawa, ia melanjutkan perjalanan menyeberangi petamanan bunga.
Setelah mendaki gundukan pendek, nampaklah sebuah rumah kecil muncul di antara gerombolan bunga sedap malam. Di rumah kecil itulah tujuan Giok Cu terakhir ia mempersilahkan Sin Houw duduk diserambi depan.
"Apakah kau pernah merasakan arak simpanan yang sudah puluhan tahun?"
Sin Houw menggelengkan kepalanya, bersenyum.
"Kau cicipilah barang dua mangkok, nanti kau bakal ketagihan."
Thio Sin Houw tertawa, ia melayangkan pandangnya ke bawah. suatu keindahan meresap didalam dirinya, Tidak hanya itu, dirasakannya suatu kehangatan yang manis sekali. Entah apa sebab-nya. Dan untuk beberapa saat lamanya, ia berdiri terpaku.
"Sekarang aku akan meniup seruling, kau boleh mencicipi arakku." kata Giok Cu sambil memperlihatkan sebatang seruling ditangan kanannya, Katanya lagi : "Apakah kau bisa memetik khim?" Tak terasa Sin Houw manggut.
"Bagus!" seru Giok Cu girang, terus saja ia lari memasuki ruangan dalam dan keluar lagi sudah menjinjing sebuah alat musik petik yang disebutnya khim.
Melihat alat tabuhan itu, teringatlah Sin Houw kepada gurunya, Bok-siang Tojin, Hampir dua tahun lamanya, ia dipaksa mengiringi kehendak gurunya yang bertabiat aneh itu, Tetapi justru demikian, ia kini jadi bisa memetik tabuhan itu, Namun didepan Giok Cu, berkata merendah:
"Aku belajar memetik Khim tanpa guru, kebiasaanku hanya mengiringi senandung orang, sama sekali aku tak mengenal sebuah lagupun."
"Akh! Kau terlalu merendahkan diri." Giok Cu tak percaya. Kemudian secara acuh tak acuh ia mengangkat serulingnya kedepan mulut. Pada saat itu juga Giok Cu meniup lagu kegemarannya. Mula-mula perlahan seperti berbisik kemudian mengalun tinggi dan melengking menembus kesunyian malam.
Mendengar tiupan seruling itu Sin Houw tertegun sampai lupa memetik alat Khim-nya. ia merasa dirinya terbawa mengapung diantara awan yang bergerak. Aneh! selama hidupnya, belum pernah ia memperoleh perasaan demikian. Padahal seringkali ia mendengar gurunya meniup seruling, Dan apabila Giok Cu meletakkan serulingnya diatas pangkuannya kembali, ia menghela napas karena kagum - katanya:
"Saudara Giok Cu! Tak pernah kusangka, kau seorang pemuda serba bisa, Mengapa kau begini cerdas?"
"Akh, jangan memperolok aku! Mengapa kau tak memetik khim-mu? Apakah tiupanku tadi, tak dapat kau iringi? Coba katakan kepadaku, lagu apa yang kau sukai?"
"Saudara Giok Cu, aku berkata sebenarnya bahwa kecerdasan dan pengetahuanmu jauh berada diatasanku, Bagaimana aku bisa memilih sebuah lagu yang indah, sedangkan rasa keindahan itu sendiri belum aku mengarti sebaik baiknya?" kata Sin Houw sungguh-sungguh.
Mau tak mau Giok Cu tertawa senang, Didunia ini, siapakah yang tidak senang memperoleh pujian setulus hati demikian? sahutnya:
"Benarkah begitu? Kalau benar begitu, biarlah aku yang memilih lagunya dan cobalah kau memetik "khim,"
Tanpa menunggu jawaban, Giok Cu lantas meniup serulingnya kembali. Sin Houw menunggu sebentar, kemudian mulailah ia memetik alat tabuhannya. Dan begitu kedua alat tabuhan itu berpadu, malam sunyi dan bulan yang cemerlang terasa menjadi agung.
Dua orang pemuda itu terpekur sejenak, setelah lagu yang dibawakan telah selesai. Keindahannya yang halus -meresap didalam perbendaharaan hati. Sin Houw sebenarnya sering mengiringi Bok-siang Tojin bermain Khim.
Gurunya yang lain, Bok Jin Ceng pandai meniup seruling pula, Akan tetapi, tiupan Giok cu mempunyai bentuk keindahannya sendiri. Dan keindahan itu membawa suatu perasaan yang aneh, sampai detik itu, belum juga ia menemukan sebab-sebabnya.
"Bagaimana? Dapatkah kau menikmati keindahannya?" tanya Giok Cu.
"Sungguh! selama hidupku, baru malam ini aku seperti mengarti tentang keindahan hidup." sahut Sin Houw sejadi jadinya, "Dahulu, aku mengira hidup ini penuh siksa dan derita, Mimpipun tak pernah, bahwa pada suatu kali aku diberi kesempatan mereguk keindahannya yang sejati walaupun hanya sesaat saja, Akh, apakah begini kenikmatan sorga yang di janjikan kepada umat manusia?"
Giok Cu tertawa geli, Kata-kata Sin Houw terlalu berlebihan, namun ia segan mengusiknya. Bahkan ia duduk beringsut mendekati. Dan begitu berdekatan - Sin Houw mencium bau harum yang meremangkan bulu romanya. ini bukan bau harum bunga yang bertebaran didepannya, tetapi bau harum tak berani Sin Houw menyelesaikan dugaannya.
"Sebenarnya, kau senang atau tidak aku meniup seruling?" tiba-tiba tanya Giok Cu.
"TentuI Kenapa kau tanyakan? Begitu mendengar tiupan serulingku, ingatanku terbawa pada masa-masa lalu tatkala masih berada diatas puncak gunung Hoa-san." sahut Sin Houw.
Giok Cu menoleh dan menatap wajahnya. Mulutnya bergerak-gerak hendak mengucap kata-kata, tetapi batal sendiri. sebagai ganti, ia meniup serulingnya lagi, Dan Sin Houw seakan-akan mempunyai kewajiban untuk segera mengiringkan dengan petikan khim.
Selagi nada lagu memasuki kata-kata pertengahan, tiba- tiba Giok Cu berhenti dengan mendadak. seruling yang berada dimulut diletakkan kebawah, Ke-mudian dipatahkan menjadi dua!
"Hei, kenapa?" Sin Houw kaget berbareng heran. "Serulingmu sangat bagus, kaupun pandai meniupnya, Mengapa kau ?"
Giok Cu menundukkan kepala, Kata-nya perlahan:
"Belum pernah selama hidupku, aku meniup seruling untuk seseorang, Mereka semua hanya gemar membicarakan tentang senjata tajam dan berkelahi, serta uang dan cita-cita, Hmm!"
"Tetapi aku senang sekali melihat dan mendengar kau meniup seruling. Tak percayakah kau pernyataanku ini?" ujar Sin Houw dengan suara tinggi.
"Seumpama benar demikian, kaupun esok pagi akan pergi jauh, Dan begitu kau pergi, kesunyian hidup kembali lagi, apakah perlunya aku meniup seruling malam ini?" sahut Giok Cu dengan suara agak gemetar.
Thio Sin Houw tercengang, Dan oleh rasanya itu, ia berpaling menatap wajah Giok Cu yang putih bersih. "Memang, tabiatku sangat buruk, hal itu aku telah
menyadari," kata Giok Cu lagi, "Entah apa sebabnya, aku seakan-akan tak dapat menguasai suatu rangsang yang datang dengan tiba-tiba. Aku tahu, kau benci aku. walaupun kau sangat baik kepadaku, akan tetapi hatimu tersiksa karena sifat burukku, Bukankah begitu?"
Thio Sin Houw terdiam, mulutnya seakan-akan terkunci rapat.
"Benar begitu, bukan?" Giok Cu mengulang kata sambil menghela napas pendek. "ltulah sebabnya, mulai esok hari kau tak bakal sudi melihatku lagi, Malahan, seumpama aku tidak menahanmu, malam ini juga kau ingin sekali meninggalkan rumahku."
Mendengar perkataan Giok Cu, mendadak saja Sin Houw merasa menjadi bingung, itulah disebabkan semua perkataan Giok Cu benar belaka, sulit ia mencoba berkata:
"Saudara Giok Cu, Dalam hidupku, inilah yang untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa merantau. Kau bilang aku benci melihat perangaimu. Memang, aku harus membenarkan perkataanmu itu. Tadinya memang aku benci terhadapmu tetapi kini, tidak!"
"Tidak? Kenapa?" Giok Cu menegas dengan suara perlahan. ia mengawasi Sin Houw dengan hati yang cemas dan penuh selidik.
"Sekarang aku tahu, apa sebab kau bertabiat aneh. sekarang akupun mengerti, apa sebab kau merasa tak dapat menguasai suatu rangsangan yang datang dengan tiba-tiba, Aku yakin, hal itu terjadi lantaran hatimu selalu diliputi perasaan duka-cita. Entah duka cita apa - aku tak tahu, Tetapi pasgi begitu..." kata Sin Houw dengan suara yakin.
Kemudian meneruskan dengan hati-hati:
"Maukah kau menceritakan kedukaan hatimu kepadaku?" Wajah muka Giok Cu berubah. Tiba-tiba saja matanya berlinangan, Cepat ia menundukkan kepala dan membuang pandang - sampai sekian lamanya ia terpekur dan mencoba menguasai diri, setelah menegakkan kepalanya kembali, ia menatap muka Sin Houw sambil berkata perlahan:
"Benar, Kau seperti dewa peramal, Pandang matamu seperti kuasa menembus kabut rahasia hidup. Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu segala penderitaan batinku. Tetapi tetapi jangan-jangan kau lantas memandang rendah