Jilid 01
TAHUN ITU adalah tahun kedua dari Kerajaan Goan, sementara runtuhnya kerajaan Song sudah genap mencapai enam-puluh tahun.
Di suatu musim semi pada bulan ke tujuh, penduduk kota KangIam waktu.itu sedang menikmati keindahan pohon-pohon bunga yang sedang bersemi.
"Cuaca sudah mulai gelap ketika seorang laki-laki muda perkasa, berusia kira tiga puluh tahun, memakai baju biru dan sepatu rumput, nampak sedang berjalan di jalannya dengan tindakan kaki lebar, di sepanjang kedua tepi jalan raya itu, buah tho yang merah merekah serta bunga-bunga liu yang hijau nampak indah semarak namun laki-laki muda perkasa itu sama sekali tidak memberikan perhatiannya.
Laki-laki muda perkasa itu adalah Lim Tiauw Kie, yang rnemiliki kepandaian ilmu silat sudah mencapai batas kemampuannya, ia sedang melakukan perjalananan mengamalkan ilmu kepandaiannya dan baru saja membinasakan seorang penjahat besar di propinsi Hok-kian, yang mengganas di kalangan rakyat jelata, penjahat itu tidak hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga sangat licin luar biasa sehingga setelah melakukan penyelidikan selama kira-kira dua bulan lamanya, barulah Lim Tiauw Kie berhasil mencari tempat permukiman penjahat itu, Dalam suatu pertempuran yang sangat hebat, ia telah berhasil mengalahkan dan membinasakan penjahat itu, kemudian ia bermaksud kembali ke tempat kediamannya di kota Leng-lam.
Sementara itu jalan yang sedang ditempuhnya ternyata kian lama menjadi semakin berkurang lebarnya, sedangkan di sisi sebelah kanan jalan raya itu kini berdampingan dengan pantai laut. Tiba-tiba ia melihat tanah datar nampak licin mengkilat bagaikan kaca, dan dibagi menjadi petak-petak yang luasnya kira-kira tujuh-delapan tombak persegi.
Sebagai seorang yang telah seringkali melakukan perjalanan di sebelah utara dan selatan Sungai Besar, Lim Tiauw Kie mempunyai banyak pengalaman, namun ia belum pernah melihat tanah yang licin mengkilat dan yang dianggapnya sangat luar biasa. Setelah ia menanya kepada seorang penduduk setempat yang kebenaran berpapasan, maka tahulah dia bahwa petak-petak itu merupakan ladang garam.
Untuk membuat garam, penduduk setempat memasukkan air laut ke dalam petak-petak ladang itu, Setelah dijemur kerinq, mereka mengumpulkan pasir yang mengandung garam dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih sekali.
Perhatian Lim Tiauw Kie menjadi amat tertarik, karena sesungguhnya selama hidupnya ia belum pernah melihat dan mengetahui tentang cara-cara membuat garam.
Konon selagi ia tertegun menyaksikan petak-petak ladang garam itu, mendadak ia melihat ada serombongan orang sebanyak kira-kira dua puluh lebih, sedang memikul barang bawaan dengan menggunakan pikulan. Mereka sedang mendatangi dengan cepat dari jalan kecil sebelah barat, semuanya memakai pakaian yang seragam bentuknya, baju dengan celana pendek warna hijau dan kepala ditutup dengan tudung lebar, sepintas lalu, dapat Lim Tiauw Kte menduga bahwa yang mereka sedang bawa adalah garam hasil buatan mereka.
Lim Tiauw Kie memang mengetahui bahwa pada waktu itu pemerintah penjajah memungut cukai garam terlalu tinggi. Mereka biasanya bertindak kejam terhadap rakyat jelata dan menentukan hukuman yang berat bagi para pedagang garam yang coba-coba tidak memenuhi peraturan membayar pajak, itu sebabnya walaupun rakyat setempat merupakan penghuni dekat pantai laut, namun mereka tak sanggup membeli garam yang harganya menjadi terlalu mahal.
Selama memperhatikan para pemikul garam itu, Lim Tiauw Kie yakin bahwa yang mereka angkut itu merupakan garam gelap dalam artikata tidak membayar pajak, Dan yang lebih menarik perhatiannya adalah pikulan yang digunakan oleh para pemikul garam Itu. Nampaknya pikulan itu bukan dibuat dari bahan kayu ataupun bambu, tetapi dari benda logam yang berat dan berwarna hitam. Beban yang mereka pikul masing- masing tidak kurang dari tiga ratus kati beratnya, namun mereka dapat berjalan dengan cepat bagaikan sedang mengangkut beban ringan, dan dalam waktu yang singkat mereka telah melewati tempat Lim Tiaw Ki berdiri mengawasi.
Jelas mereka semuanya memiliki tenaga besar, bahkan rata-rata mempunyai kepandaian ilmu silat dan ringan tubuh yang mahir. Terbukti dengan cara mereka ber jalan yang cepat luar biasa, tampak ringan meskipun mereka membawa beban pikulan yang berat.
Pada waktu itu di daerah Kanglam memang telah didengar oleh Lim Tiauw Kie, tentang adanya perkumpulan Hay-see pay (Persekutuan Pasir Laut) yang biasa melakukan perdagangan garam gelap. Mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat setempat, sedangkan para anggotanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Namun demikian merupakan kejadian yang luar biasa, apabila rombongan lebih dari dua puluh orang anggauta itu beramai-ramai melakukan perjalanan sambil memikul garam gelap. Jelas merupakan suatu tantangan terhadap para petugas atau tentara penjajah, karena mereka tidak takut akan diperiksa dan di tangkap.
Selama melakukan petualangannya di kalangan rimba persilatan, Lim Tiauw Kie memang terkenal gemar melakukan penyelidikan terhadap kawanan penjahat yang kemudian dibasminya, Akan tetapi oleh karena waktu itu ia sedang tergesa-gesa melakukan perjalanan pulang, maka ia bergegas meneruskan perjalanan dan sengaja dengan cepat ia melombai rombongan pemikul garam itu yang berbalik menjadi heran menyaksikan gerak tubuh Lim Tiauw Kie yang sangat ringan dan pesat sehingga mereka mau tak mau menjadi curiga.
Mendekati waktu magrib Lim Tiauw Kie tiba di sebuah kota kecil yang cukup- ramai, yakni kota Am-tong tin di wilayah Gie- yauw koan. Oari kota kecil itu, setelah menyeberang sungai Cian-tong kwan ia akan tiba di kota Lim-an dengan mengambil arah sebelah barat laut, Sesudah melewati propinsi Kany-say dan Ouw-lam, barulah ia tiba di kota Leng-lam,
Di kota kecil Am-tong tin itu Lim Tiauw Kie memilih tempat bermalam di sebuah rumah penginapan yang cukup ramai . Sesudah makan malam dan selagi Lim Tiauw Kie hendak beristirahat dan tidur, ttba-tiba ia mendengar suara dari beberapa orang yang ingin menyewa kamar, Mendengar lidah Ciat-kang Timur dan suara orang-orang itu yang nyaring luar biasa, maka Lim Tiauw Kie membuka pintu kamarnya dan melihat ke luar. Ternyata orang-orang itu bukan lain dari para pemikul garam siang tadi.
Lim Tiauw Kie menutup lagi pintu kamarnya, dan beristirahat tanpa menghiraukan para tamu tadi yang melakukan pembicaraan dengan suara bising. Tetapi ditengah malam dan selagi suasana sunyi senyap, mendadak ia mendengar suara yang tidak wajar di luar kamar-nya. Menyusul kemudian terdengar suara dari beberapa orang yang melakukan pembicaraan dengan suara perlahan:
"Awas, kita jangan membuat kaget tamu yang di kamar sebelah, sehingga mengakibatkan terjadi banyak urusan."
Pintu kamar di sebelah kemudian terdengar ditutup orang, dan sejumlah orang-orang itu terdengar keluar menuju pekarangan rumah penginapan, Lim Tiauw Kie merasa penasaran dan curiga, lalu mengintai lewat jendela kamarnya, Sempat dilihatnya rombongan pemikul garam itu sedang keluar dengan melompati tembok pekarangan. Anehnya, di tengah malam buta mereka pergi dengan melewati tembok namun tetap membawa-bawa beban yang mereka pikul .
Untuk sesaat Lim Tiauw Kie terdiam mengawasi dengan hati kian bertambah curiga, "Entah perbuatan apa yang hendak mereka lakukan, dan apakah beban yang mereka pikul memang berupa garam?" pikirnya didalam hati.
Karena merasa curiga, maka Lim Tiauw Kie segera membekal senjatanya yang berupa sebuah golok dan tak lupa membawa bekal kantong senjata rahasia, Setelah itu ia keluar lewat jendela kamar, untuk kemudian melompati tembok pekarangan seperti yang di lakukan oleh rombongan penjual garam gelap tadi.
Setelah berada di luar rumah penginapan, Lim Tiauw Kie mendengar suara langkah kaki yang menuju kearah Timur laut. Tanpa ragu-ragu Lim Tiauw Kie lalu bergegas menyusul, dengan mengerahkan ilmu ringan tubuhnya yang telah mencapai batas kemampuannya. Suasana malam nampak hitam kelam, karena tiada bintang bahkan tertutup awan tebal. Lim Tiauw Kie meneruskan pengejarannya sampai kemudian ia melihat rombongan orang-orang itu yang bergerak cepat dan ringan, meskipun mereka tetap memikul beban yang nampak berat.
Mungkinkah mereka benar-benar penjual garam gelap, ataukah mereka merupakan rombongan kawanan penjahat yang bermaksud merampok? Karena rasa curiganya itu, maka Lim Tiauw Kie semakin bertekad hendak mengetahui entah apa yang hendak dilakukan oleh rombongan orang-orang itu.
Hampir setengah jam lamanya mereka melakukan perjalanan tanpa Lim Tiauw Kie mengetahui entah kemana tujuan mereka, sementara orang-orang yang berlari-lari di sebelah depannya, tidak menyadari adanya seseorang yang sedang membayangi perjalanan mereka.
Pada kesempatan berikutnya mereka tiba di sebuah jalan yang berdampingan dengan pantai laut, di mana gelombang terdengar menderu-deru mendampar pantai. Kemudian secara mendadak pemimpin rombongan orang-orang yang bergerak di sebelah depan Lim Tiauw Kie nampak menghentikan langkah kakinya, lalu secara tiba-tiba pula ia bersuara membentak:
"Siapakah itu yang sedang bersembunyi ?"
"Apakah kalian dari Hay-see pay?" balas tanya suara seseorang yang berlindung ditempat gelap.
"Benar! siapakah anda?" sahut pemimpin rombongan yang mengaku dari Hay see pay itu.
"Sebaiknya kalian jangan mencampuri urusan golok Soen- lui to!" kata orang yang berlindung di tempat geIap. Suaranya mengandung nada memperingatkan secara menghina.
(Soen-lui to - Golok haliIintar).
Pemimpin rombongan Hay-see pay itu nampak terkejut, tetapi ia berusaha tenangkan diri dan bertanya lagi: "Apakah anda juga datang untuk urusan golok itu?"
Orang itu tertawa mengejek, ia tidak memberikan jawaban.
Mendengar suara tawa itu, diam-diam Lim Ttauw Kie menjadi sangat terkejut, Suara itu sukar dilukiskan, namun yang jelas sangat menusuk telinga. Tanpa terasa Lim Tiauw Kie semakin maju mendekati, ingin melihat lebih tegas meskipun secara bersembunyi.
Dengan matanya yang terlatih di tempat gelap, maka disaat berikutnya ia melihat bahwa laki-laki yang menghadang itu memiliki potongan tubuh kecil dan kurus. Muka orang itu tak dapat ia lihat karena sedang menghadap ke arah lain, dan laki- Iaki itu dilihatnya memegang sebatang tongkat. pakaiannya terdapat bintik-bintik terang karena agaknya pakaian itu sengaja di hias dengan sulaman dan kancing kancing yang mengkilat.
"Golok Soen-lui to adalah milik partai kami, yang telah hilang dicuri orang," kata lagi si pemimpin Hay-see pay. "OIeh karena itu, adalah wajar kalau kami berusaha untuk mendapatkannya kembali."
Laki-laki kurus itu kembali tertawa secara menghina, dan tetap memegat di tengah jalan.
Salah seorang anggauta rombongan yang berada di sebelah belakang si pemimpin, habis sabar dan membentak dengan suara keras:
"Minggir! Dengan memegat rombongan kami, kau sengaja mencari "
Akan tetapi belum lagi orang itu sempat menyelesaikan perkataannya mendadak ia berteriak secara menyayat dan jatuh terjengkang ke sebelah belakang, Semua kawan- kawannya terkejut, namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu maka laki-laki yang memegat itu dengan pesat telah menghilang dari tempat itu yang gelap.
Para anggauta Hay-see pay menjadi terkejut dan gusar, karena seorang kawannya yang jatuh tadi telah binasa dengan tubuh meringkuk, Beberapa di antaranya segera melepaskan pikuIan mereka untuk mengejar si penyerang tadi, tetapi orang itu dengan gerakannya yang pesat telah menghilang di kegelapan malam.
Lim Tiauw Kie ikut merasa terkejut dan heran, entah senjata rahasia jenis apa yang digunakan oleh si penyerang tadi yang dapat membunuh seseorang dengan tangan maupun tubuh tidak bergerak.
"Aku berada cukup dekat tetapi tak melihat orang itu bergerak, namun mangsanya roboh terjengkang dan binasa!" kata Lim Tiauw Kie didalam hati, ia terus bersembunyi di tempatnya, di balik sebuah batu besar, selagi orang orang Hay-see pay itu sedang marah-marah.
"Untuk sementara waktu biarlah kita tinggalkan saja jenazah Han Sin di sini, sebaiknya kita selesaikan dulu urusan kita yang lebih penting," akhirnya kata si pemimpin rombongan. "Kelak kita kembali ke sini untuk mengurus jenasahnya, dan menyelidiki entah siapa gerangan musuh itu."
Semua kawan-kawannya dengan terpaksa menyetujui usul itu, mereka memindahkan jenasah Han Sin ke tepi jalan lalu mereka meneruskan perjalanan sambil memikul barang bawaan mereka.
Setelah rombongan itu pergi cukup jauh, Lim Tiauw Kie mendekati jenasah Han Sin, Dari tanda-tanda pada tubuhnya, ia memperoleh kesimpulan bahwa Han Sin binasa terkena sejenis racun yang dahsyat. Oleh karena itu selama meneliti, Lim Tiauw Kie tidak berani menyentuh tubuh Han Sin supaya tidak terkena racun.
Untuk sesaat ia terdiam berpikir, setelah itu kembali ia mengejar rombongan orang-orang Hay-see pay,Setelah lewat beberapa li jauhnya, Lim Tiauw Kie berhasil mendekati lagi rombongan itu, namun secara mendadak dilihatnya mereka berpencar selagi mendekati sebuah bangunan yang cukup besar dan yang letaknya di sebelah timur Iaut.
"Apakah golok halilintar yang mereka cari berada di dalam rumah itu?" pikir Lim Tiauw Kie didalam hati.
Diatas wuwungan bangunan rumah itu kelihatan ada cerobong asap, dimana asap hitam nampak mengepul keluar menandakan bahwa di rumah itu pasti ada penghuninya.
Rombnngan orang-orang Hay-see pay itu meletakkan pikulan mereka di tanah, lalu masing-masing mengeluarkan sendok kayu besar yang mereka gunakan untuk menyendok garam dari dalam keranjang bawaan mereka, Garam itu kemudian mereka taburkan di sekeliling bangunan rumah itu, yang dari jauh nampak bagaikan tumpukan salju yang putih warnanya, jelas perbuatan mereka tidak dimengerti oleh Lim Tiauw Kie. Entah apa maksud mereka melaburkan garam seperti itu, bukankah harga garam yang mahal menjadi dibuang sia-sia belaka?
Pada waktu menyebarkan garam, orang-orang Hay-see pay itu nampak sangat berhati-hati. Mereka agaknya seperti khawatir garam itu menyentuh tangan dan tubuh mereka, sehingga sekilas terpikir oleh Lim Tiauw Kie kalau kalau garam itu mengancung racun.
"Kalau benar garam itu mengandung racun, jelas akan membahayakan penghuni rumah itu," pikir Lim Tiauw Kie di dalam hati. Dan naluri hatinya tidak membenarkan perbuatan seseorang yang menggunakan racun, yang dianggapnya sebagai perbuatan kaum pengecut!
Oleh karena berpikir demikian, maka Lim Tiauw Kie merasa perlu untuk memberitahukan penghuni rumah itu, supaya mereka entah siapapun adanya, tidak terperangkap oleh perbuatan orang-orang Hay-see pay yang dianggapnya telah melakukan perbuatan pengecut.
Dengan jalan memutar Lim Tiauw Kie menuju ke belakang bagian rumah, lalu dengan melompati tembok halaman ia memasuki pekarangan yang besar dan iuas, dimana terdapat lima bangunan lain karena ternyata rumah itu memiliki sangat banyak kamar-kamar, namun semuanya nampak gelap dan sunyi, meskipun Lim Tiauw Kie merasa yakin ada penghuninya, mengingat cerobong asap yang tetap kelihatan mengepul mengeluarkan asap hitam.
Secara berhati-hati dan tanpa mengeluarkan suara, Lim Tiauw Kie mendekati bangunan rumah yang terdapat cerobong asap, tetapi ketika ia tiba dibagian belakang pekarangan maka ia menjadi sangat terkejut karena menemukan dua mayat manusia yang menggeletak di tanah.
Dua mayat itu merupakan laki-laki, yang seorang mengenakan pakaian imam, sedangkan yang satunya seperti seorang petani. Usia mereka sudah cukup lanjut, sudah lebih dari setengah abad. Wajah muka mereka kelihatan menyeramkan, seperti mengalami derita sakit yang hebat sebelum mereka menemui ajal, Namun demikian pada tubuh mereka tiada nampak bekas bekas luka.
Tanpa menyentuh kedua mayat itu, Lim Tiauw Kie memasang obor dan mulai memasuki bagian dalam yang gelap gulita, juga kamar-kamar tidak terdapat penerang sama sekali. Di dalam ruangan ini kembali ia menemukan tidak kurang dari dua puluh orang yang telah menjadi mayat.
Dilihat dari pakaian dan senjata-senjata yang berserakan di lantai, jelas bahwa mereka semua terdiri dari orang-orang yang pandai ilmu silat, tetapi pada semua mayat itu tak satu pun yang nampak cedera luka atau terkena sesuatu pukulan tenaga dalam. Besar kemungkinan mereka semua adalah korban keracunan yang ganas. perbuatan siapakah gerangan?
Dengan langkah kaki yang semakin berhati-hati, Lim Tiauw Kie meneruskan lagi penyelidikannya memasuki ruangan lain, sampai tiba-tiba ia merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas.
Di bagian tengah dari ruangan itu ternyata terdapat sebuah tungku atau tempat perapian yang besar, dengan api yang berkobar-kobar menjilat-jilat ke sebelah atas dan menerbitkan suara yang cukup bising. Dekat tungku yang besar itu nampak tiga orang Iaki-laki yang sedang meniup api dengan mengerahkan tenaga dalam (lweekang) sedang diatas tunggu menggeletak sebatang golok yang sedang di panggang. Karena amat panasnya tekanan suhu api, sinarnya
nampak berubah-rubah antara merah dan hijau, sedangkan sinar dari golok itu tetap nampak putih berkilat menyatakan tidak menjadi lumer terkena suhu api yang sedemikian besarnya, dan entah sudah berapa lama di panggang. Asap hitam yang nampak keluar dari cerobong rumah, jelas berasal dari tungku itu!
Ketiga orang yang sedang meniup api yang berkobar-kobar itu, rata-rata berusia kurang lebih enampuluh tahun dan mereka semuanya memakai jubah warna hijau, Muka mereka penuh peluh bercampur debu, dan jubah mereka banyak yang berlubang akibat terkena percikan api, Diatas kepala mereka mengepul uap putih - selagi mereka meniup api sambil mengerahkan tenaga dalam. Api itu menjilat keatas kira-kira lima kaki tingginya dan menggulung golok yang berkilauan itu .
Lim Tiauw Kie menyadari bahwa ke tiga orang itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri di tempat yang cukup jauh terpisah dari tungku itu, ia sudah merasakan hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah di bayangkan panasnya hawa yang menyambar ketiga laki-Iaki tua itu yang berdiri di dekat tungku. Tetapi anehnya biarpun digulung api yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan warnanya tidak berubah sama sekaIi.
Mendadak diatas genteng terdengar suara membentak: "Berhenti! Merusak golok mustika itu adalah merupakan
dosa besar!"
Lim Tiauw Kie menjadi sangat terkejut, karena ia mengenali suara itu adalah suara orang yang tadi memegat rombongan orang-orang Hay-see pay dan yang telah membinasakan salah seorang diantaranya.
Akan tetapi ketiga laki-laki yang sedang meniup api itu tidak menghiraukan, mereka berlaku seperti tidak mendengar apa-apa bahkan mereka meniup api semakin cepat. Kemudian, hampir berbareng dengan terdengarnya suara tertawa, suatu bayangan yang bersinar emas berkelebat dan dilain detik bagaikan jatuhnya sehelai daun kering, laki-laki kurus yang pakaiannya penuh dengan kancing mengkilat telah berdiri ditengah ruangan itu.
Dengan bantuan sinar api, Lim Tiauw Kie dapat melihat dengan nyata wajah muka orang itu, Ternyata ia adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh tahun, bermuka tampan tapi agak pucat, sulaman benang emas di jubahnya yang sangat indah merupakan gambar-gambar singa, harimau dan bunga bunga. Dengan sikapnya yang tenang dan tanpa bersenjata, ia berkata dengan suara dingin:
"Hing-san Sam-kiam, mengapa kalian hendak merusak senjata mustika itu? Apa maksud perbuatan kalian?"
Salah seorang dari ketiga Hing-san Sam-kiam atau tiga jago pedang dari gunung Hing-san, mementang lima jari tangannya menyerang muka pemuda pendatang baru itu, Tetapi pemuda itu berkelit menghindar, dan kian maju untuk mendekati Si kakek yang berada di sebelah timur dengan cepat meraih sebuah palu yang terletak ditepi tungku, yang digunakan untuk menghantam kepala si pemuda.
Tetapi gerakan pemuda itu amat gesit luar biasa, Dengan sekali miringkan badan, kembali ia berhasil menghindar dari serangan kedua. Palu itu menghantam tempat kosong dan jatuh di lantai dengan menghamburkan lelatu anak api. Ternyata batu lantai merupakan batu gunung yang sangat keras.
Orang ketiga dari Hing-san Sam-kiam segera ikut menyerang dengan kedua tangan yang jari-jarinya dipentang seperti cakar ayam, ia menyerang secara nekat dengan pukulan yang membinasakan, membuat Lim Tiauw Kie menjadi heran, menganggap Hing-san Sam Kiam pasti menyimpan dendam membara terhadap pemuda pendatang baru itu, yang mengakibatkan tiga jago pedang dari gunung Hing-san itu bertindak kejam! Tetapi kepandaian pemuda itu ternyata sangat luar biasa, walaupun di serang hebat, ia masih dapat bersenyum dan melayani dengan sikap acuh. setelah bertempur beberapa jurus, si kakek yang bersenjata palu membentak:
"Siapa tuan? Mengapa anda menghendaki golok mustika? Harap beritahukan nama anda!"
Pemuda itu tidak memberikan jawaban, sebaliknya ia tertawa secara menghina, Tubuhnya tiba-tiba berputar dan segera terdengar suara "krak-krek" dan si kakek yang disebelah timur terbang ke atas, menghantam dan menjebolkan atap rumah sedangkan si kakek jatuh di pekarangan luar!
Kakek yang bersenjata palu menyadari lawan mereka sangat tangguh, ia meraih sebuah jepitan api yang tadi digunakan untuk menjepit golok Soen-lui to yang sedang dipanggang, ia menunggu kesempatan untuk menimpuk pemuda itu, yang sedang diserang oleh rekannya.
Akan tetapi gerak pemuda itu sangat gesit, Ketika melihat si kakek mengangkat jepitan api yang ingin di lontarkan, maka dengan suatu lompatan ia berhasil menendang lengan si kakek dan merebut jepitan yang terlepas dari tangan si kakek, Dengan jepitan itu kemudian ia menjepit golok Soen-lui to yang sedang di panggang.
Si kakek menjadi sangat terkejut, secara nekat ia merebut dengan meraih gagang golok yang sangat panas itu.
Begitu tangan si kakek mencekal, uap putih mengepul keatas dan semua orang menciup bau daging terbakar. Tapi kakek itu bagaikan tidak merasakan sakit maupun pedih, dengan sepasang mata membelalak ia tetap memegang gagang golok Soen-lui to yang sangat panas bekas di panggang.
Kemudian dengan suatu gerak yang ringan ia lompat ke sebelah belakang, berusaha kabur meninggalkan ruangan itu dengan membawa golok Soen-lui to! Pemuda yang menjadi lawannya kembali perdengarkan suara tawa menghina, sambil ikut bergerak dengan suatu lompatan hendak meraih punggung si kakek.
Orang tua itu membalik tubuh dan mengangkat golok Soen-lui to, membuat hawa yang sangat panas mendahului menyambar si pemuda yang menjadi sangat terkejut, Tetapi kedua tangannya kemudian mendorong si kakek, membuat tubuh si kakek bagaikan terbang kearah mulut tungku yang apinya masih menyala!
Lim Tiauw Kie yang sejak tadi mengawasi perkelahian mereka, sebenarnya tak ingin mencampuri. Tetapi akhirnya ia tak sampai hati membiarkan si kakek terbakar hidup-hidup didalam tungku, Oleh karena itu dengan suatu lompatan yang indah, yakni dengan menggunakan ilmu "Tee-in ciong" atau lompatan awan tangga, maka ia berhasil meraih rambut si kakek yang kemudian diangkatnya dan hinggap di lantai.
Akan tetapi si kakek yang tetap memegang golok yang panas, mendadak memutar tubuh lalu menyerang Lim Tiauw Kie yang sama sekali tidak menduga. Untuk menolong diri, cepat-cepat Lim Tiauw Kie lompat ke atas, sedangkan si kakek menggunakan kesempatan itu untuk lari ke sebelah belakang, sambil memutar-mutarkan golok Soen-lui to dan berteriak seperti orang gila!
Dua kakek yang lainnya, demikian pula pemuda yang menjadi lawan mereka, tak berani merintangi dengan kekerasan- menyisi membiarkan si kakek yang membawa golok melarikan diri, akan tetapi kemudian mereka mengejar sambil berteriak.
Lim Tiauw Kie ikut mengejar dan ia bahkan berhasil mendahului ketiga orang itu, akan tetapi si kakek yang mengetahui dirinya dikejar, mendadak berteriak secara histeris lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk lompat ke luar dari pintu depan.
Akan tetapi ketika sepasang kakinya menyentuh tanah di halaman luar, maka secara mendadak ia roboh terguling sambil berteriak kesakitan bagaikan menderita luka parah. Dua kakek yang ikut mengejar bersama si pemuda tadi,
ikut lompat ke luar halaman dan mereka pun segera roboh terguling-guling sambil perdengarkan teriak suara kesakitan, Si pemuda yang nampaknya memiliki ilmu lebih tinggi, masih mampu lompat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu, membiarkan ketiga kakek itu masih bergulingan tak mampu bangun lagi.
Menyaksikan kejadian yang sangat luar biasa itu, Lim Tiauw Kie bermaksud memberikan pertolongan Akan tetapi mendadak ia teringat dengan garam mengandung racun yang di sebarkan oleh orang-orang Hay-see pay, dan menyadari racun itu pasti hebat luar biasa. Ia tahu bahwa disekitar gedung itu telah dikurung dengan garam yang mengandung- racun, sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus meIoloskan diri.
Untuk sesaat ia berdiri diam dan berpikir, kemudian ia meIihat adanya dua kursi tinggi di samping pintu. ia memperoleh pikiran untuk menggunakan kedua kursi itu sebagai landasan. Dengan cara itu ia berhasil menjambret punggung si kakek yang memegang golok Soen-lui to, untuk kemudian ia lompat sambil menjinjing si kakek dan melarikan diri secepatnya ke jurusan timur.
(Oo-dwkz-oO) SENJA HARI itu nampak guram dan lembab. Hujan rintik- rintik turun sejak pagi, sementara angin meniup cukup keras kemudian naik turun bagaikan gelombang pasang. Tanah lembab yang tergeliat di depan gunung Boe-tong san sunyi senyap. perkampungan mati tiada bernapas. Penduduk tiada seorang pun yang nampak keluar dari rumah mereka.
Dalam keadaan demikian, nampaklah lima penunggang kuda berlari-Iari menyeberangi sungai berlumpur. Mereka tidak menghiraukan licinnya jalan, dinginnya cuaca maupun hujan yang turun rintik-rintik. Kuda yang berada paling depan membawa seorang kanak-kanak berusia kira-kira sepuIuh tahun. Ia berpakaian serba ringkas, pada pelana kudanya tampak tergantung sebatang pedang pendek.
Yang berada di belakangnya adalah seoranq gadis remaja berusia kira-kira Iimabelas tahun. Mukanya cantik, tubuhnya nampak Iangsing walaupun ia sedang menunggang kuda. Namun demikian wajah yang cantik itu bermuram duka dan kuyu. Jelas sekaIi ia menderita suatu keletihan luar biasa.
Rambutnya kusut setengah terurai, pakaiannya yang di- kenakannya basah kuyup dan bercampur lumpur. Lengan kirinya terbaIut dengan sehelai kain sutera yang ditembusi darah kentaI.
Penunggang kuda yang ke tiga tidak jelas jenis pakaiannya, karena penuh Iumpur melebihi keadaan gadis remaja yang berada di sebelah depannya. Ia merupakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, usianya kira-kira sudah mencapai dua puluh tahun. Pandangan sepasang matanya, memancarkan suatu keberanian tersembunyi.
Terpisah agak jauh di sebelah belakang mereka, berderap dua ekor kuda yang saling susul . Yang pertama ditunggangi oleh seorang wanita setengah baya. Alis matanya melengkung melindungi sepasang matanya yang tajam. Pandang wajahnya muram luar biasa penuh duka yang berlarat. Lehernya terbungkus sehelai kain sutera berwarna kelabu, sementara darah nampak menembusi lipatan pembalutnya yang tebal, jelas bahwa ia baru saja menderita lupa yang agak parah.
Kudanya dijajari oleh seorang laki laki berusia limapuluh tahun lebih. Laki-Iaki ini bertubuh singsat dan cekatan, ia membekal sebilah pedang terhunus dan kerapkali menoleh ke sebelah belakang, seperti khawatir dengan adanya seseorang yang mengejar atau mengikuti perjalanan mereka.
Kadangkala ia melambatkan kudanya sambil menebarkan pengIihatannya. Ia memiliki sedikit jenggot pendek, dan rambutnya yang tidak teratur nampak sudah beruban, walaupun demikian, jika dibanding dengan keempat penunggang kuda yang lainnya, dialah yang nampak gesit dan segar bugar.
Pandang matanya tajam luar biasa, tetapi mengandung air mata yang membasahi kelopak, Kedua belah pipinya tergores empat luka memanjang, dua diantaranya adalah goresan luka baru.
Dari cara mereka berlima melarikan kuda mereka, mudah ditebak bahwa mereka sedang melarikan diri dari suatu peristiwa. Kuda tunggang merekapun nampak letih sekali.
Sementara itu cuaca senjahari itu makin mendekati petang yang muram dan hujan rintik-rintik kian menjadi deras, mereka cepat-cepat menikungi jalan pegunungan, seberang- menyerang jalan itu nampak menghadang jurang yang daIam dan banyak tanaman Iiar.
Laki-laki beruban yang berada di sebelah belakang tiba- tiba menghentak tali kendali sehingga kudanya terkejut berjingkrak, Lallu menyusul kuda wanita setengah baya yang sedikit berada di sebelah depannya ikut menghentikan kudanya.
"Lan-moay. Kalau terus-terusan kita melakukan perjalanan seperti ini, maka kita akan mati kecapaian. Memang tak apa kalau kita mati di tengah perjalanan, tetapi bagaimana dengan ketiga anak-anak kita? Marilah kita beristirahat sebentar!" kata laki-laki itu kepada yang wanita.
"Nanti malam kita melanjutkan perjalanan, dan selanjutnya kita serahkan nasib kita kepada Tuhan. Bagaimana lukamu?"
(Lan-moay = adik Lan).
Sehabis berkata demikian, kedua kelopak mata laki-laki itu basah dengan air mata. ia sangat berduka, hatinya bagaikan tersayat-sayat. Lalu ia menangis terisak, Untung angin meniup kencang, sehingga suara tangisnya terendap dari pengamatan pendengaran.
Lie Lan Hwa, wanita setengah umur yang bermuka muram itu atau istri dari laki-laki yang beruban, berusaha untuk bersenyum, sahutnya lembut:
"Tidak apa-apa, kau tak perlu resah hati, inilah luka ringan yang tiada artinya sama sekali. Kulitku hanya lecet sedikit, Hanya ... yang kucemaskan adalah luka... eh, lengah Siu Lan. Nampaknya ia menderita luka berat. Lengannya seperti terkulai "
Tetapi luka yang diderita oleh Lie Lan Hwa sebenarnya parah. Senjata yang melukai lehernya tidak hanya melecet kulit belaka, tetapi menembus hampir satu senti. Urat nadinya nyaris terancam, seseorang yang menderita luka seperti itu, sebetulnya tidak boleh bergerak terlalu banyak, sebaliknya senjahari itu ia berada di atas kudanya mengarungi badai hujan tiada hentinya.
Thio Siu Lan, anak gadis mereka yang berada di sebelah depan, agaknya mendengar keluh kesah ibunya, ia berpaling, Katanya dengan nada riang:
"Ayah, jangan dengarkan ibu. Lenganku tak kurang suatu apa." ia tersenyum, namun dua tetes air mata jatuh ke pelana kudanya, Jelas, ia bersama ibunya sedang berusaha menghibur dan membesarkan hati laki-laki beruban itu.
"Siu Lan, janganlah kau membohongi ayahmu! Lukamu itu
..." laki-laki beruban itu tak dapat menyelesaikan kata-katanya, karena Siu kan telah berkata lagi:
"Ayah! Benar-benar aku tak kurang suatu apa, Lihatlah ! " ia menunda bicara dan mengertak gigi, kemudian mengangkat lengannya yang tadi nampak terkulai, Katanya nyaring: "Sekarang sama sekali tak terasa sakit."
Akan tetapi begitu tangannya terangkat, suatu rasa nyeri luar biasa menggigit jantungnya. Peluh dingin membasahi jidat dan tengkuk Siu Lan. Cepat-cepat ia membuang mukanya, lalu memacu kudanya sambil menurunkan lengannya dengan hati- hati.
Kedua orang tuanya bermata tajam dan berperasaan halus, dengan sekilas pandang tahulah mereka, bahwa putrinya sedang menanggung suatu derita yang mengancam. Apabila lengan yang terluka itu tidak segera memperoleh perawatan yang baik, Siu Lan bisa cacat seumur hidupnya. Karena sangat berduka, laki-laki beruban itu mendongak ke udara suram, lalu berkata seorang diri:
"Hm. Kata orang, aku Thio Kim San adalah seorang ahli pedang murid ke-tiga Tie Kong Tianglo dari Boe tong pay, selamanya tak pernah aku merasa malu terhadap bumi dan Iangit yang melindungi diriku. Melihat ke kiri aku berbesar hati, melihat ke kanan aku berbangga hati. Memandang ke depan tiada rasa segan, menoleh ke belakang tiada rasa kecewa.
Kenapa kini ... Ya, Tuhan mengapa kini kami sampai menjadi begini ? Kenapa aku harus membuat anak-istriku tersangkut dalam urusan hidupku sehingga mereka harus pula mengikuti kesengsaraanku yang terpaksa merantau dari tempat ke tempat sekian bulan lamanya? Ya, Tuhan. Berilah kami cerahMu..."
Lan Hwa menahan kendali kudanya, mendekati suaminya, Setelah lari berjajar, ia menekap lengan kirinya. Katanya secara lembut:
"Suamiku, janganlah kau terlalu berduka memikirkan kami. Manusia yang suci bersih pasti akan memperoleh berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, Memang keluargamu lagi menjadi korban suatu fitnah, kabut gelap menutupi penglihatannya Akan tetapi sebentar atau lambat laun latar belakang peristiwa ini pasti akan tersingkap, Sabarlah untuk beberapa hari lagi, apabila kita telah bertemu dengan Tay-soehoe, semuanya pasti akan menjadi beres seperti sediakala."
Thio Kim San menggeleng-gelengkan kepalanya, Dengan sedih ia berkata:
"Hari ini genap sudah seratus enampuluh hari kita melintasi air, menerobos rimba dan ladang belukar serta mendaki gunung. Tetapi tetap saja kita dikejar-kejar . Selama seratus enam puluh hari, belum pernah kita beristirahat barang sekejab, Alangkah sakit dan pedihnya hatiku, Lan-moay. Tak usahlah engkau menutupi kenyataan! Segenap lapisan orang- orang gagah di kalangan rimba persilatan ingin membekuk aku, berikut kau dan ketiga anak kita, Hidup ataupun mati. Kalau hal itu sudah terlaksana, barulah mereka mau menyudahi segalanya, walaupun aku memiliki lidah, namun sulit bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mereka."
"San-ko, janganlah kau terlalu bersedih hati. Salah paham ini pasti ada akhirnya, Tuhan Maha Adil, dan masih cukup panjang waktunya, Tak perlu kita tergesa-gesa."
(San-ko = kakak San).
Thio Kim San menatap muka istri-nya, ia melihat kain sutera yang melihat di leher istrinya itu, yang sekarang semua lipatannya telah menjadi merah. Suatu bukti bahwa darah masih saja mengalir keluar, sehingga Thio Kim San menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dia yang terkenal sebagai seorang pendekar pedang, ternyata kini tak mampu melindungi istrinya sendiri!
"Kita telah berlari-lari sepanjang malam sampai sekarang," katanya sambil menarik napas, "Sebaiknya kita beristirahat sebentar, Aku mengharap kita dapat mencapai tujuan besok pagi."
Dengan lemah Lan Hwa manggut dan berkata:
"Benar, Kita perlu memulihkan tenaga. Kurasa nanti malam kita tidak mempunyai kesempatan untuk beristirahat selain itu kita perlu merawat lukanya Siu Lan. Akh, kasihan anak-anak kita yang tidak berdosa dan yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa ini. Mereka ikut menanggung derita."
Bukan main sedihnya Thio Kim San yang diingatkan perkara itu, dengan hati bergetar ia berkata:
"Lan-moay. Kini aku menyadari bahwa aku tak pantas menjadi suami dan ayah dari ketiga anak-anak kita, Aku tak sanggup memberikan perlindungan kepada kalian."
"Jangan kau menyesali diri sendiri, San-ko." bujuk Lan Hwa. "Siapa saja pasti tak akan sanggup menghadapi lawan yang jumlahnya sekian banyaknya. Mereka dapat bertempur secara bergantian, sebaliknya engkau? sebenarnya, akulah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa ini. Aku istrimu yang telah membuka suatu rahasia, karena kebodohan dan kecerobohan, sebetulnya akulah yang harus mati!"
Sekali lagi Thio Kim San mendongak ke udara, dan sekali lagi ia menarik napas panjang, Lalu melepaskan pandang jauh ke sebelah sana, dan tiba-tiba berkata setengah berseru:
"Hey! Bukankah itu sebuah rumah? Mari kita ke sana untuk beristirahat sebentar, Kita perlu berteduh, agar tidak kemasukan angin jahat dan terhindar dari dingin hujan!"
Setelah berkata demikian, Thio Kim San memacu kudanya. ia mendahului dan memimpin rombongannya menuju ke rumah itu. istrinya segera mengikuti dengan memacu kudanya pula, disusul oleh ke tiga anak-anak mereka yang berada di sebelah belakang.
Rumah yang berada di sebelah depan mereka sebenarnya bukan rumah tinggal seseorang, melainkan tempat penyimpanan padi yang kebenaran kosong tiada isinya, Pasti milik seorang berada, biasanya seorang kepala desa atau mungkin pula milik seorang Tuan tanah (okpa).
Ketika telah mendekati rumah itu, hujan terasa kian bertambah deras, Mereka tak menghiraukan derasnya hujan, sebaliknya yang mereka takuti justru adalah angin jahat yang menyusup ke dalam tubuh mereka.
Rumah yang ternyata merupakan tempat penyimpanan padi itu itu, berukuran kecil namun cukup bersih, Dindingnya yang dibuat dari bahan bambu cukup rapat, suatu tanda bahwa pemiliknya masih menggunakan tempat itu.
Thio Kim San segera lompat turun dari kudanya, lalu mendekati istrinya hendak membantu turun, Akan tetapi istrinya malahan melompat turun dari sisi lainnya, sambiI bersenyum dan berkata:
"San-ko, tak usah kau terlalu memperhatikan aku, sebaiknya kau bantu anak kita, Siu Lan."
Akan tetapi pada waktu itu Siu Lan telah melompat turun tanpa bantuan siapapun juga. ia bahkan lari menghampiri ibunya, ketika melihat ayahnya sedang mendekati si bungsu Sin Houw.
Thio Sin Houw belum genap sepuluh tahun umurnya, masih merupakan seorang bocah namun ikut menderita bersama ayah dan ibunya merantau dari satu tempat ke tempat lainnya, Kehidupan demikian membuat dirinya lekas masak dan berkepribadian, penuh, wajahnya tidak nampak sinar berseri, karena kegembiraan masa kanak-kanaknya lenyap sehingga ia lebih mirip dengan seorang pemuda tanggung yang hendak menanjak dewasa.
Sementara itu Siu Lan telah ikut mendekati adiknya, Dengan sabar dan lembut ia berkata:
"Sin Houw, kau sedang memikirkan apa? Lihatlah, hujan kian deras."
Seperti orang yang tersentak, Sin Houw mengawasi kakak perempuannya, lalu ia menerima uluran tangan sang kakak sambil perlihatkan sedikit senyumnya, sahutnya ringan:
"Apa yang kupikirkan? Bukankah ayah hendak beristirahat?"
Siu Lan tertawa sedih. Katanya sekedar penghibur diri: "Benar, Kuda kita sudah lelah, Sehari semalam kita berlari-
lari terus tiada hentinya. Kitapun agaknya perlu beristirahat juga."
Sambil berkata demikian, Siu Lan mengamat-amati adiknya. Adik ini sudah setinggi pundaknya, Dahulu, dia masih perlu didukung secara bergantian Kini sudah mirip seorang pemuda tanggung.
Sementara itu Sin Houw juga sedang menatap wajah kakaknya. Seperti berjanji, iapun sedang menaksir-naksir tinggi badannya, Lalu berkata: "Cici, Satu atau dua tahun lagi, tinggi tubuhku akan melampaui tinggimu."
Siu Lan tertawa tawar. Sahutnya:
"Benar, adikku. Kau akan lebih tinggi dari aku. Setiap matahari terbit di langit, tinggi tubuhmu selalu bertambah dan bertambah, jangan jangan tinggi tubuhmu kelak akan sama seperti Kwan Kong!"
Sin Houw ikut tertawa, sementara kakaknya yang lelaki, Sin Han, ikut mendekati Dia seorang pemuda berusia mendekati duapuluh tahun. Dengan tiba-tiba ia menyambar tali kendali kuda Sin Houw, sambil menyertai tawa ramah ia berkata:
"Hey! Apakah kalian hendak mandi hujan? Beristirahatlah bersama ayah dan ibu, mereka telah berada di dalam sedang menyalakan api."
Siu Lan bersenyum seperti lupa derita, dengan lembut dan penuh perasaan ia berkata:
"Justru kau yang paling lelah kali ini. Kita berdua dapat beristirahat dengan perlahan-lahan."
Sekali lagi Sin Han tertawa perlahan. Memang benar perkataan adiknya yang perempuan itu, diantara anggauta keluarga dialah satu-satunya yang pakaiannya penuh lumpur sehingga warna pakaiannya tak dikenal lagi warnanya. ia tidak dapat membantah perkataan adiknya, dari itu tanpa mengucap apa-apa ia membawa kelima ekor kuda ke ladang rumput yang berada di sebelah selatan.
Dan kuda-kuda itu nampak dengan lahap melalap rumput- rumput itu, sedangkan Sin Han menemani tanpa menghiraukan derasnya curahan air hujan.
Kim San muncul di ambang pintu sambil menggeribiki pakaiannya. Melihat putra sulungnya menunggu kuda-kuda mereka yang sedang makan rumput, ia lantas saja berseru:
"Sin Han! Tinggalkan saja kuda-kuda itu, kau perlu beristirahat!"
"Sebentar, ayah. Lebih baik ayah memeriksa luka Siu Lan dan ibu, aku dapat mengurus diriku sendiri," sahut Sin Han.
Kim San terdiam sejenak dan berpikir, kemudian memutar tubuh sambil menarik napas, Perlahan-lahan ia memasuki tempat penyimpanan padi untuk mendekati istri dan kedua anaknya.
Memang sudah terbiasa, bahwa setiap kali mempunyai kesempatan untuk beristirahat selalu Sin Han yang mengurus kuda-kuda mereka, Karena kuda-kuda itu merupakan kaki dan tuIang-punggung keluarga, untuk dapat meneruskan perjalanan mereka.
Kalau sampai terjadi sesuatu, semuanya akan lumpuh. Dan kelumpuhan berarti suatu ancaman bahaya sendiri. itulah sebabnya, selama menempuh perjalanan tak pernah Sin Han melupakan kewajibannya yang satu itu. Malahan kuda-kuda itu baginya jauh lebih berharga dari pada jiwanya sendiri.
Sementara itu Kim San duduk di sisi istrinya, di atas lantai papan tempat penampung padi. perlahan-lahan ia melepaskan bungkusan yang selalu menggemblok di punggungnya, dan dari dalam bungkusan itu ia mengeluarkan makanan kering berikut bakpao dan lain sebagainya.
"Anak-anak, mari kita makan," katanya. "Kali ini mungkin merupakan perjalanan kita yang terakhir, Karena setelah kita bertemu dengan paman-gurumu Cia Sun Bie, kemudian kakek-gurumu, Tie Kong Tianglo, selanjutnya tiada lagi yang akan mengganggu kita."
Setelah berkata demikian, Kim San membuka juga dua tempat air minum, ia mengangsurkan kepada istrinya, sambil berkata lagi:
"lni merupakan suguhan terakhir bagimu, minumlah!" Perlahan suaranya seperti orang membisik, kemudian
dengan pandang lembut ia menatap muka Siu Lan. Katanya: "Coba. Kuingin melihat lukamu."
"Akh, lukaku tidak parah," sahut Siu Lan cepat. "Lukanya ibu yang perlu ayah periksa."
Lan Hwa tertawa perlahan, dengan penuh kasih sayang ia berkata:
"Lukaku? Apakah arti lukaku ini? Aku sudah berusia tua, umpama kata luka ini tidak memperoleh pengobatan dan akan meninggalkan cacat seumur hidup, tidak akan banyak artinya, sebaliknya kau! Kau masih muda, baru belasan tahun umurmu, kalau lenganmu sampai cacat, kau akan menyesal seumur hidupmu, Akupun ikut menderita pula, kalau sampai terjadi demikian."
"Sudahlah! Kalian jangan saling bertengkar Obat lukaku cukup untuk menyembuhkan dua orang lagi." tukas Kim San.
Setelah berkata demikian ia membuka pembalut luka istrinya di bagian leher, Luka itu masih mengeluarkan darah, hal itu membuat hatinya tercekat, Katanya di dalam hati:
"Hebat sabatan golok Cie-san Liong-ong Kwee Sun. Benar-benar ia merupakan musuh tangguh, sampai ia dapat melukai istriku, untunglah tidak sampai mengenai urat nadi "
dan cepat-cepat ia menaburkan bubuk obat luka yang berwar kelabu.
"Sekarang giliranmu, anakku." katanya kemudian.
Siu Lan membuka pembalut lukanya sendiri. Kemudian mengangsurkan lengannya kepada ayahnya. Luka itu dideritanya tiga hari yang lalu, karena kurang rawatan dan kena air hujan bercampur debu, kini nampak diselipi nanah. Melihat nanah itu, Kim San mengerutkan alis. Katanya sambil menghela napas:
"Siu Lan, kalau terlambat dua hari lagi, pastilah lenganmu akan cacat. Kau... kau "
Kim San tidak meneruskan perkataannya, sebenarnya ia ingin mengatakan supaya Siu Lan merawat lukanya dengan cermat, akan tetapi akhirnya ia menyadari bahwa selama beberapa hari ini, hampir-hampir mereka tidak memperoleh kesempatan untuk beristirahat, apalagi untuk memeriksa dan mengobati luka, Musuh yang datang dari berbagai penjuru, menyerang secara bergelombang dan bergiliran. itulah sebabnya dengan membungkam Kim San menuangkan sisa obat bubuknya lalu membuang pembungkusnya di atas tanah. Kemudian ia berkata setengah berdoa:
"Semoqa inilah perjalanan kita yang terakhir."
Selagi Kim San merenungi ucapannya sendiri dengan wajah muram, tiba-tiba Sin Houw menyelak bicara tanpa diduga-duga. Katanya:
"Ayah, dapatkah aku minta suatu keterangan? Ada sesuatu yang tidak kumengerti."
Kim San merasa terpukau. Segera ia berpaling dan menatap muka anaknya yang bungsu itu, Wajah Sin Houw nampak muram dan setengah bergusar. Melihat kesan itu, ia menarik napas lagi dengan tak dikehendakinya, sahutnya dengan suara perlahan :
"Keterangan apa yang ingin kau tanyakan, anakku? Katakanlah, Sebenarnya, andaikata kau tidak mengerti, akhirnya kau akan mengerti sendiri . Aku sendiri telah memutuskan hendak memberikan penjelasan kepadamu, kukira umurmu kini sudah dapat menangkap suatu keterangan."
Sin Houw juga mengerti, seIama ia belum cukup umur, tidak sewajarnya ia diajak membicarakan masalah orang- orang tua. Akan tetapi ia adalah seorang anak yang dibentuk oleh keadaan, pertumbuhan akalnya lebih cepat dari pada nnak-anak lainnya, Dan setelah mendengar perkataaan ayahnya, maka ia berkata:
"Ayah, seingat aku, eh teringat lah aku pada waktu itu.
Kita semua berlari-larian sepanjang malam, melewati gunung dan melintasi hutan. Aku " "Eh, anakku !" potong ibunya dengan suara mengeIuh, ia
Iantas memeluk lehernya dengan air mata mengalir deras. ia tidak meneruskan bicara sehingga ganti Kim San yang berkata:
"Biarkanlah ia bicara, Lan-moay..." Dan Sin Houw kemudian berkata lagi:
"Waktu itu aku telah melihat banyak gunung, hutan, jurang dan berbagai tempat belukar. Ayah mengajak aku merantaui padang luas, dan teringatlah aku, sering turun hujan deras dan angin meniup sangat gemuruh dan kadang-kadang kita berada ditengah terik matahari, kita lalu mencari mata air untuk meneguk airnya yang bening, tetapi yang mengherankan aku, apa sebab ayah, ibu dan kedua kakak harus bertempur setiap kali bertemu dengan orang-orang yang berjumpa dengan kita? Apakah kita pernah menyalahi mereka? Ataukah mereka memang orang-orang jahat yang memusuhi kita? Buktinya, suatu kali kita pernah melintasi kota dan pendesaan, dan ayah tak perlu menghunus pedang untuk menikam mereka. "
Usia Sin Houw masih sangat muda, akan tetapi pengalamannya ternyata sangat dahsyat. Nalurinya membuat akalnya mulai ingin mengerti semuanya, Ketika mula-mula melihat keluarganya bertarung dengan orang-orang tertentu, ia bersikap acuh tak acuh. Kemudian rasa takut mulai menggerayangi, lalu rasa gusar dan girang apabila keluarganya memperoleh kemenangan.
Setelah itu ia mulai menebak-nebak apa sebab terjadi suatu pertarungan adu jiwa, Dan pada tiga hari yang lalu, untuk yang pertama kalinya salah seorang anggauta keluarganya terluka, Dialah Siu Lan, kakak perempuannya. Dan hal itu membuat akalnya mulai bingung.
SETELAH ITU ibunya kena babatan golok seorang musuh yang menamakan diri Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si raja naga dari gunung Cie-san, Kalau begitu terjadi suatu suatu pertarungan itu, tidak dikehendaki oleh keluarganya sendiri. Terasa sekali, betapa ayah dan ibunya terpaksa melayani lawan untuk suatu pembelaan diri, tetapi mengapa ayah dan ibunya dimusuhi oleh orang begitu banyak? Benar-benar ia tidak mengerti.
Dan dalam tiga hari itu, ingin ia minta penjelasan, Namun rasa lelahnya lebih menguasai dari pada perhatiannya itu, ia tertidur begitu menggeletakkan badan. Kini ia kehujanan. Pakaiannya basah kuyup, inilah yang membuat dirinya tak dapat tertidur dengan cepat, maka itu pulalah kesempatan baginya untuk minta keterangan kepada ayahnya.
"Sin Houw! jangan membuat ayahmu berduka." ibunya yang mendahului bicara.
Mendengar perkataan ibunya, wajah Sin Houw nampak muram luar biasa, ia menjadi bingung, cemas dan sesal, Akhirnya ia ingin menangis dengan perasaan tak menentu. Sejenak kemudian ia mencari kesan wajah ayahnya. Berkata:
"Benarkah ayah jadi berduka karena pertanyaanku tadi? Kalau begitu, patutlah aku ayah hukum."
Kim San menoleh kepada istrinya, dan berkata:
"Lan-moay, mengapa ia kau tegur demikian? Dalam hal ini bukan dia yang bersalah, Sebaliknya, akulah manusia yang tiada gunanya hidup sebagai ayah dan suamimu..." ia berhenti menelan ludah, Kemudian meraih leher Sin Houw dan membelai kepalanya dengan perasaan kasih sayang, Katanya lagi dengan suara agak parau:
"Sin Houw, kau tidak bersalah, Sama sekali tak salah, Mengapa aku harus menghukummu? Selama ini ayahmu telah berusaha mengatasi kesulitan ini, untuk mengkikis suatu salah paham, Akan tetapir ayahmu tidak berdaya sama sekali menghadapi lawan-lawan yang bersikap sangat ganas."
Thio Sin Houw mengangkat kepalanya, mengawasi ayahnya dan berkata seperti merajuk:
"Ayah, dapatkah ayah menjelaskan tentang salah paham itu?"
Kim San manggut seraya tertawa sedih, jawabnya dengan suara tegas:
"Tentu, Tentu saja. Saat ini justru saat kita yang terakhir. Sejak tadi ayah telah berkeputusan untuk menjeIaskan kepadamu, walaupun otakmu mungkin belum dapat mengerti persoalan latar beIakangnya, Kalau ayah tidak menjelaskan sekarang, kapan lagi ayahmu memperoleh kesempatan lagi? Kau duduklah baik-baik. Kemudian dengarkan setiap patah kata ayahmu, Sebab setelah ini, ayahmu tidak akan berkata kata lagi."
Thio Siu Lan yang sejak tadi berdiam diri sambil membalut lukanya, menyambung:
"Ayah, selama banyak tahun kita merantau, baru kaIi ini kau membawa kami melarikan diri, Aku tahu sebenarnya, itulah lantaran aku dan ibu terluka, ibu mahir sekali menggunakan pedang, kakak Sin Han semakin tangguh, akupun merasa memperoleh kemajuan pula, setelah lukaku sembuh, tak perlu lagi ayah membawa kami lari-lari begini. Hanya saja, ada satu hal yang tidak kumengerti. Ayah dilukai musuh, mengapa ayah tak mau membalas sedangkan sebenarnya ayah mampu berbuat begitu?"
Sambil mengajukan pertanyaan itu, Siu Lan mengawasi luka ayahnya yang menggaris kedua belah pipinya. Sin Houw pun demikian pula, Lalu si bungsu berkata untuk menguatkan pertanyaan kakaknya:
"Benar, ayah. Apa sebab ayah membiarkan musuh melukai pipi ayah?"
"Sin Houw, jangan kurang ajar!" bentak ibunya.
"Lan-moay, biarkanlah," kata Kim San setengah membujuk. Akan tetapi wajahnya nampak kian muram, walaupun demikian, pandang matanya tiba-tiba bersinar tajam, Dengan suara bernada menghibur ia berkada kepada kedua anaknya:
"Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi, setelah pernah berbuat suatu kekeliruan sekarang ini ayahmu sudah berusia cukup tua. Kalau hari ini harus mati, hati ayah benar- benar rela, akan tetapi, bagaimana dengan kalian...? Andaikata ayah menggali tanah lebih dalam lagi, kalianlah yang akan memikul akibatnya, Dapatkah dibenarkan apabila seorang ayah meninggalkan suatu warisan penderitaan kepada anak keturunannya? Tidak! Tak dapat aku menanamkan bibit permusuhan yang berlarut tiada akhirnya untuk kalian."
"Akh! Ayah terlalu bermurah hati kepada mereka," ujar Siu Lan. "Sebaliknya mereka tak mau tahu. Mereka mengejar kita terus-menerus tak hentinya, setiap gerakan senjata mereka mengancam maut tak terampunkan. Selama ini entah sudah berapa kali ayah dan ibu menderita luka ringan dan berat. Tetapi kerelaan ayah dan ibu menanggung derita itu, tidak dapat merubah hati mereka. Bahkan mereka bertambah ganas dan kejam, sebaliknya mengapa semangat ayah tiba-tiba menurun?"
Thio Kim San menggelengkan kepalanya sambil menarik napas, katanya perlahan:
"Tidak, anakku, Tidak! Sama sekali tidak! semangatku bukan runtuh, tetapi karena mempertimbangkan keadaan. Tegasnya, ayahmu ini dipaksa oleh keadaan. Memang, merubah sikap mereka kini sudah tiada harapan, Satu-satunya jalan hanyalah membela diri mati-matian. Kita membunuh atau di bunuh. Akan tetapi, anakku, Musuh-musuh kita ini luar biasa banyaknya. Barangkali kau ingat, tatkala mula-mula kita meninggalkan rumah dan melarikan diri ke barat, sampai akhirnya kita tiba disini, di lembah pegunungan Boe-tong. Akan tetapi musuh-musuh kita tetap mengejar Setiap kali memasuki suatu wilayah, musuh-musuh berganti orang. Apakah kau mengetahui, siapakah musuh kita sebenarnya?"
"Justru itu yang hendak kutanya-kan," ujar Thio Siu Lan penuh perhatian.
"Benar, ayah. Agar jelas bagi kita, siapa musuh-musuh kita itu," Sin Houw ikut bicara. Thio Kim San menundukkan kepalanya . Setelah sejenak berpikir, dengan muka berkerut-kerut ia berkata:
"Musuh kita adalah seluruh orang-orang gagah dari segala lapisan, baik golongan hitam maupun putih."
Baik Sin Houw maupun Siu Lan jadi bergidik ketika mendengar keterangan ayah mereka. Siu Lan yang lebih tua umurnya dari adiknya, dapat berpikir dan menimbang- nimbang, Katanya lagi minta penjelasan:
"Seluruh orang-orang gagah di dunia ini? Benarkah begitu, ayah? Apa sebabnya mereka memusuhi ayah? Apakah ayah pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Apakah ayah kenal mereka?"
Kim San menggelengkan kepatanya, jawabnya:
"Aku bahkan tidak mengenal mereka semuanya, hanya sebagian kecil yang kukenal."
"Apa sebab mereka bersatu-padu memusuhi ayah?" tanya Siu Lan heran.
"ltulah karena... karena..." sukar rasanya untuk Kim San memberikan penjelasan ia menimbang-nimbang sebentar, lalu mengalihkan pembicaraan:
"Mereka menuduhku sebagai seorang pencuri besar yang harus dibekuk hidup atau mati. Barangsiapa dapat menangkap ayahmu ini hidup-hidup, akan memperoleh tiga bagian mustika dunia sebaliknya apabila menangkapku mati, hanya memperoleh sebagian, Tetapi sebagian itu saja sudah cukup untuk membuat manusia menjadi kaya raya dan terkenal namanya di seluruh dunia. Karena benda yang mereka cari adalah sebatang golok Halilintar, yang menyimpan rahasia ilmu sakti tertinggi di dunia, Dengan memiliki golok itu, siapa saja pasti akan menjadi sakti ilmunya, dihormati dan dipuja sebagai malaikat!"
"Apakah itu bukan kabar berlebih-lebihan saja?" gerutu Siu Lan, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa ayahnya pernah mencuri benda itu. "Benar. itulah suatu dusta. Namun ayahmu tidak berdaya melawan anggapan demikian," kata ayahnya.
"Jadi, mereka mengejar-ngejar sampai di sini, semata- mata lantaran menginginkan benda itu dari ayah?"
"Walaupun baik ayah maupun mereka tidak pernah saling mengenal?" Siu Lan meneruskan pertanyaannya.
"Benar." jawab ayahnya singkat.
"lnilah suatu kegilaan." Siu Lan menggerutu, "Ya , benar- benar gila."
"Kau boleh berkata demikian, anakku, Tetapi buktinya, keluarga ayahmu menjadi buruan mereka. Cobalah pertimbangkan masak-masak, dapatkah ayahmu melawan demikian banyaknya musuh?" kata Kim San sambil menarik napas lagi. "ltulah sebabnya, tiada jalan lain kecuali melarikan diri, mencari kakek-gurumu dan... kalau Tuhan melindungi, kita akan berlindung kepada kakek gurumu, Tie Kong Tianglo. Ia adalah seorang guru besar yang dihormati dan disegani orang, setidak-tidaknya banyak para pendekar mengenal namanya karena itu, meskipun penderitaan kita berlarut-larut, namun aku yakin bahwa suatu penderitaan akan ada akhirnya. Belum pernah manusia menyaksikan awan hitam menutupi langit cerah sepanjang masa, dan sebaliknya pula matahari yang perkasa terbatas pula kekuasaannya."
Sementara itu Sin Houw berkomat-kamit seorang diri, lalu ia berkata kepada ayahnya:
"Seluruh pendekar memusuhi ayah, semata-mata karena ingin memiliki golok Halilintar. Tetapi apa sebab mereka menganggap golok itu ada pada ayah atau menuduh ayah yang mencurinya?"
Thio Kim Sart tercengang mendengar pertanyaan putranya yang bungsu itu. Terus saja ia membelai kepaIa Sin Houw sambiI berkata perlahan:
"Kau begitu cerdas. Kau tumbuh terlalu cepat..." dan hatinya lantas saja terasa pedih, Lalu ia berpaling kepada istrinya, dan berkata:
"Lan-moay. Meskipun kita kini hampir memasuki wilayah perguruan, namun hidup atau mati belum dapat kita pastikan, Oleh karena itu, kalau kini aku tidak segera memberikan penjelasan kepada anak-anak kita, jangan-jangan aku tidak mempunyai kesempatan Iagi. Bagaimana menurut pendapatmu?"
Lie Lan Hwa menatap wajah suaminya, menjawab dengan sabar:
"Kalau demikian pertimbanganmu, terserahlah."
Segera Thio Kim San menghirup napas segar, ia melepaskan raihannya pada kepala putranya dan mengawasi wajah Sin Houw silih berganti dengan Siu Lan, lalu berkata hati-hati:
"Anakku, inilah soal yang sukar untuk dimengerti dan dipahami."
Pertama sekali karena umurmu belum cukup kuat untuk menanggapi, Terus terang saja, sampai kini ayahmupun tetap berada dalam suatu teka-teki pelik, sebenarnya bagaimana asal mulanya terjadinya suatu fitnah ini, masih kurang jelas bagiku.
Hanya anehnya, mengapa mereka semua tahu tentang diri ayahmu yang difitnah sebagai si pencuri ataupun sebagai orang yang menyimpan golok Halilintar itu. Pastilah ada seseorang yang meniup-niupkan suatu kabar tentang diri ku. Benar dan tidak, bercampur aduk tidak keruan.
Aku hanya mempunyai dugaan, tetapi tak dapat aku membuka mulutku, Akh, seumpama ayahmu tidak terlalu sibuk menghadapi orang-orang yang datang memusuhi tanpa alasan permusuhan, siang-siang ayahmu pasti telah dapat membekuk biang keladi yang menyebar fitnah itu."
Sampai di sini Thio Kim San berhenti bicara, mulutnya membungkam secara mendadak. Giginya terdengar berbunyi berceratukan seakan-akan sedang menggigit sesuatu yang alot luar biasa .
Siu Lan seorang gadis perasa, Terus saja ia berkata: "Ayah sangat bersakit hati. Biar-lah ayah tak meneruskan
saja keterangan tentang peristiwa yang memedihkan ini."
"Tidak, anakku, Ayahmu harus berbicara terus, Hanya saja
..." ia berhenti lagi, sekonyong-konyong berdiri dan berjalan ke luar, ke ambang pintu, Memanggil putera sulungnya:
"Sin Han, kemarilah! Ayahmu hendak berbicara dengan kalian semua!"
Thio Sin Han masih mengawasi kelima ekor kuda mereka, Mendengar seruan ayahnya, segera ia menambatkan tali-tali kendali menjadi seonggok, Kemudian bergegas memasuki tempat penyimpanan padi dan berkata :
"Ayah hendak bicara mengenap apa?"
"Kau duduklah dahulu diantara kedua adikmu!" perintah ayahnya.
Sin Han menggeribiki pakaiannya, kemudian menghampiri kedua adiknya, ia tidak segera duduk, karena pakaiannya yang basah kuyup dengan air hujan.
"Baiklah, kau berdiri saja. Kau panaskan tangan dan badanmu, sambil mendengarkan." kata Kim San. "Cobalah kau terka, apa sebab seluruh orang-orang gagah memusuhi ayahmu sekeluarga ?"
Sin Han menatap muka ayahnya dengan hati tercekat, lalu menjawab perlahan:
"Yang kuketahui, sepak terjang mereka telah membuat ayah sangat mendendam dan penasaran."
"Yang kumaksud, sebab sebabnya!" tukas Kim San.
Sin Han menimbang-nimbang, secara hati-hati kemudian ia menyebut:
"Menurut yang kudengar, ayah di tuduh menyimpan sebatang golok mustika dunia, Atau setidak-tidaknya, ayah tahu rahasianya dan tahu pula di mana goIok mustika itu tersimpan."
"Benar, sebatang golok Halilintar itulah gara-garanya. Tahukah engkau tentang golok yang dianggap benda mustika itu?" sang ayah balik menanya.
Sebelum Thio Sin Han menjawab pertanyaan ayahnya, tiba-tiba Sin Houw memotong dengan pertanyaan pula:
"Koko, kenapa mereka mengira ayah yang menyimpan golok itu?"
(Koko = kakak).
Mendengar pertanyaan itu, Sin Han tercengang, justru hal itu pulalah yang membuat dirinya terus berteka-teki.
"Entahlah " jawabnya. "Aku sendiri kurang jelas."
Setelah memberikan jawaban demikian, Sin Han berpaling kepada ayahnya dan meneruskan bicara:
"Orang-orang yang datang mengejar kita ini, pada suatu hari dipanggil oleh seseorang yang membawa warta tentang golok mustika itu. Mereka di kisiki di manakah golok mustika itu berada. Mereka diberikan penjelasan pula, bahwa golok mustika itu tidaklah hanya menggenggam suatu rahasia ilmu sakti yang sangat tinggi, tetapipun menyimpan sebuah gunung emas dan berlian yang tak ternilai harganya.
Pendek kata, barang siapa dapat memperoleh golok mustika itu, akan dapat memerintah dunia menjadi raja dari segala raja! Benar tidaknya, aku tak tahu. Ayah, benarkah demikian?"
Pandang mata Sin Houw berdua Siu Lan tertuju kepada ayahnya, Tetapi tiba-tiba mereka melihat kedua mata ibunya meneteskan air mata. Mereka jadi terkejut, dan Sin Houw segera meloncat dari duduknya, ia memeluk ibunya dan berkata:
"lbu, kalau keterangan ayah akan menyusahkan ibu, biarlah ayah tidak usah menjawab pertanyaan koko." Mendengar perkataan si bungsu, air mata Lan Hwa kian
deras mengalir ke-Iuar. ia berpaling kepada suaminya kemudian ganti mengawasi kepala anaknya yang bungsu. Katanya perlahan:
"Sesungguhnya, semuanya ini ibu ikut bersalah. Bahkan ibumu lah yang menjadi bibit permusuhan ini "
"Lan-moay, pengakuanmu tidak benar!" potong suaminya setengah membujuk "Aku sendiri belum memperoleh pegangan yang kuat."
"Tidak! Selama ini engkau membungkam demi untukku," ujar Lan Hwa dengan suara pahit. "Sekaranq tak boleh Iagi engkau memendam prasangkamu. Serapat-rapat seseorang membungkus ikan busuk, akhirnya akan tercium juga. Selama ini, jangan lagi engkau. Aku sendiri telah memperoleh tanda- tandanya, dialah "
"Lan-moay!" potong suaminya dengan suara cukup keras, Tetapi berbareng dengan itu ia menghela napas. Dengan menundukkan kepala, ia berkata:
"Baiklah, aku akan berbicara, Tetapi sama sekali bukan menjadi maksudku untuk mencelamu, Bahkan selama ini, aku sangat berbahagia, Aku berhutang budi padamu, Lan-moay. Engkaulah pelita hidupku, mercu hidup anak-anakku yang lahir lewat rahimmu. Kalau malapetaka ini terjadi juga, bukankah sudah seharusnya aku menyadari jauh sebelumnya."
Lie Lan Hwa mengusap air matanya, ia menatap wajah suaminya dengan pandang lembut. Kemudian selembut itu juga ia berkata:
"Katakan saja. Aku adalah bagian dari hidupmu, tiada sesuatu kekuatan yang dapat memisahkan kita. KecuaIi.
maut. Kau katakan saja, suamiku."
Untuk sesaat Thio Kim San menunda bicara, ia menambahkan kayu-kayu pada api yang menyala kemudian mengawasi ke arah pintu. Udara lembab gunung Boe-tong telah menjadi guram. Dingin hawa-nya kian merayapi tubuh. Perlahan-lahan ia mengembarakan pandangannya, lalu
berhenti pada wajah ketiga anaknya. Dan diantara gemericik hujan, mulailah ia berkata:
(Oo-dwkz-oO)
"SEMASA kanak-kanak, aku hidup di wilayah ini, di wilayah Gunung Boe-tong san yang dianggap keramat oleh penduduk di sekitar tempat ini, Aku hidup di pinggang gunung sebelah timur laut, di atas gunung Boe-tong, di puncak Thian-coe hong yang tinggi menjulang ke angkasa, atau tepatnya di kuil Giok- hie kiong, adalah merupakan tempat bersemayannya Tie-kong Tianglo dan merupakan tempat aku belajar ilmu silat bersama empat saudara seperguruanku.
Masing-masing adalah Cia Sun Bie sebagai murid pertama, Lim Tiauw Kie murid kedua, Hoan Siok Hu murid ketiga Tan Bun Kiat murid keempat dan aku sendiri sebagai murid kelima.
Kami lima saudara seperguruan hidup sebagai keluarga sendiri. Saling menolong dan saling membantu, pendek kata saling bahu membahu.
Setelah masing-masing mempunyai keluarga, lantas berpisah, Diantara kami ada dua orang yang belum menikah, mereka adalah pamanmu Cia Sun Bie dan Tan Bun Kiat.
Sebagai Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boe- tong san, kami berlima seringkali merantau dan menjelajah di kalangan rimba persilatan, Kadang-kadang secara berbareng kami melakukan perjalanan untuk menumpas berbagai macam kejahatan ataupun kelaliman, dan kadang-kadang pula kami melakukan perjalanan secara terpisah, artinya sendiri-sendiri.
Demikianlah, pada suatu hari pamanmu yang kedua, Lim Tiauw Kie, melakukan perjalanan ke propinsi Hok-kian, karena di tempat itu sedang mengganas seorang penjahat yang tidak hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga terkenal sangat licin luar biasa. Sampai berbuIan-bulan lamanya Lim Tiauw Kie pergi tanpa memberikan berita, ia bahkan sampai lupa mengunjungi suhu pada hari ulang tahun beliau.
Lim Tiauw Kie pergi dan terus menghilang tanpa meninggalkan jejak, sedangkam kami empat bersaudara seperguruan pernah berkali-kali mencari dan melakukan penyelidikan. Sampai kemudian kami memperoleh kabar angin yang mengatakan bahwa Lim Tiauw Kie telah memperoleh golok Sun Lui To yang direbutnya dari tangan Hing-san sam- kiam atau tiga jago pedang dari gunung Hing-san, setelah itu Lim Tiauw Kie menghilang tak berani pulang ke gunung Boe- tong san karena bermaksud memiliki golok mustika itu untuk dirinya sendiri..."
"Jadi, apakah sampai saat ini Lim susiok tak diketahui jejaknya?" tanya Thio Sin Han selagi ayahnya menunda bicara.
Thio Kim San manggut dan berkata:
"Orang-orang yang paling gigih mencari dan menyimpan dendam, sudah tentu adalah pihak murid-muridnya Hing san Sam-kiam, Tetapi yang lain-lainnya ikut mencari dan sudah tentu ingin merebut golok mustika itu, di antaranya adalah orang-orang Hay-see pay, Kun-lun pay dan lain sebagainya, secara berombongan maupun perorangan."
"Kini dan setelah mereka tidak berhasil menemukan Lim susiok dan golok mustika itu, mengapa justru mereka memfitnah dengan mengatakan golok mustika itu ada pada ayah?" ganti Siu Lan mengajukan pertanyaan.
Sejenak Thio Kim San terdiam menundukkan kepala, lalu dengan suara perlahan ia memberikan jawaban:
"Mungkin mereka mengetahui bahwa aku adalah yang paling akrab berhubungan dengan Lim susiokmu, sehingga mereka menyangka golok mustika itu dititipkan kepadaku "
Tiba-tiba Lie Lan Hwa memutus perkataan suaminya: "Tidak! Sampai di sini sebaiknya aku yang memberikan keterangan kepada anak-anak kita, Aku tahu engkau seorang pendekar yang mengutamakan budi luhur, Demi kebajikan itu, engkau rela hancur lebur tanpa kubur, Akan tetapi, aku tidak! Sebab di sini kupertaruhkan kesucian hati ku, dan karena aku tak rela engkau mengalami malapetaka sebesar ini. itulah karena gara-gara masa mudaku, Engkau khawatir menyinggung perasaanku , karena itu kau coba menutupi tetapi justru demikian, aku jadi tersinggung, Sebab artinya kau mencurigai kesetiaan dan kesucianku."
"Lan-moay, mengapa kau berkata begitu? Demi Tuhan, aku tak pernah berkata yang bukan-bukan terhadapmu," potong Kim San, melarang istrinya terus bicara.
Sin Han bertiga merasa prihatin menyaksikan orang tua mereka bertengkar kata. inilah kejadian yang mereka saksikan untuk pertama kalinya, dan mereka menjadi terpaku membisu.
Sementara itu Lan Hwa meneruskan bicara kepada anak- anaknya:
"Baiklah, anak-anakku. Biarlah aku yang memberikan keterangan kepada kalian, Pada masa mudaku, aku seperti engkau, Siu Lan. Cukup menarik dan cukup menawan perhatian orang, Ayah bundaku mempertunangkan aku dengan seorang pemuda yang belum pernah kukenal, pemuda itu bernama Tan Kok Seng.
Dia seorang yang berpengaruh, dan iimu kepandaiannya sangat tinggi. Menurut kata orang, tiada celanya, Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku jadi berkeputusan untuk membantah kehendak orang-tuaku, inilah jadinya, walaupun ayahmu tadi menyatakan masih bimbang, namun aku mengira bahwa semuanya ini adalah perbuatannya.
Kalian ingatlah baik-baik, namanya Tan Kok Seng. Aku mengharapkan agar dikemudian hari kalian bisa menyelidiki benar tidaknya."
Sederhana keterangan Lan Hwa, akan tetapi cukup merangkum keseluruhannya. Dan mendengar cara sang ibu menekan setiap patah katanya, membuat hati mereka bertiga bercekat.
Mendadak pada saat itu, terdengarlah suara derap kuda di antara gemericik hujan, Wajah Thio Kim San berubah hebat. Serunya setengah mengeluh.
"Akh! Benar-benar mereka tidak membiarkan kita untuk beristirahat sebentar Kalau begitu anak-anakku, tiada jalan lain kecuali kita harus meneruskan perjalanan kita."
Mendengar perkataan suaminya, Lan Hwa mencelat ke ambang pintu dengan pedang siap di tangannya.
"Aku akan mengambil kuda kita!" katanya.
Sin Han mundur selangkah, ia berdiri tegak di depan kedua adiknya dengan memancarkan pandang berapi.
"Sin Han, Siu Lan dan Sin Houw! Dengarkan! Siapa saja di antara kamu bertiga, harus dapat mencapai puncak Thian-coe hong untuk menemui kakek-gurumu, Tie-kong Tianglo, Jika harapan ayahmu ini terkabulkan, itulah sudah cukup, Dialah yang kelak wajib menyambung asal keturunan keluarga kita. Kau dengar?" kata Thio Kim San dengan suara gemetar.
"Ya, ayah!" mereka bertiga memberikan jawaban serentak, walaupun dengan suara tertahan.
"Akan tetapi apabila kita semua gugur sebelum mencapai tempat tujuan, ya sudahlah, itulah di luar kekuatan dan kekuasaan kita, Artinya, Tuhan memang menghendaki demikian, walaupun demikian, sampai detik ini aku masih berdoa, semoga Tuhan memberkahi ayah-ibumu, dan semoga salah seorang diantara kalian bertiga dapat selamat sampai ke tempat tujuan.
Kemudian, apabila Tuhan mengabulkan sehingga salah seorang di antara kalian berhasil bertemu dengan kakek-guru kalian, atau setidaknya paman-guru kalian Cia Sun Bie, maka kalian minta perlindungan...
Thio Kim San menjadi gugup karena ia mendengar suara beradunya senjata, Alangkah cepatnya gerakan musuh itu, pastilah dia bukan sembarangan orang.
"Sin Han! Kau lepaskan panah berapi biru itu! Di sini dekat rumah perguruanku, mungkin salah seorang paman-gurumu melihat api tanda bahaya," kata Thio Kim San tergesa-gesa. Setelah itu ia lompat melesat keluar pintu.
Setelah Thio Kim San hilang di kegelapan malam, Thio Sin Han menyambar lengan Sin Houw dan berkata dengan suara dalam:
"Adikku, kau adalah satu-satunya harapan kita. Aku akan membawamu lari dan melindungimu sampai mencapai jembatan penyeberangan jurang di sana yang curam dan panjang, Aku tahu di mana letak jembatan itu, karena ayah pernah menceritakan, Aku dan kakakmu Siu Lan, ayah dan ibu akan mempertaruhkan harapan kepadamu seorang.
Engkaulah yang kelak harus dapat menyambung asal usul keluarga kita, dan kami mendoakan agar Tuhan mengabulkan permohonan keluargamu serta di kemudian hari engkau bisa mencuci bersih rasa penasaran keluargamu.
Terutama rasa sakit hati ayah-bundamu yang pernah mendukungmu kesana kemari menempuh bahaya dan melindungi dirimu, Adikku, cepatlah kau melompat di atas kudamu dan kaburlah dengan segera. Ke sana!"
Setelah berkata demikian, dengan menghunus pedang Sin Han berjalan ke ambang pintu melindungi kedua adiknya.
Ketika tiba di luar, Siu Lan segera memberi contoh melompat ke atas kudanya dengan gesit sekali. Dan setelah Sin Houw berada pula di atas pelana kudanya, Sin Han menjajari dan menghentak kendalinya.
"Mari!" ajaknya.
Kira-kira lima puluh meter di depannya, ibunya sedang bertempur melawan seorang yang mengenakan pakaian seperti pendeta, Dialah Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si biang naga dari gunung Cie-san, ia bersenjata sepasang golok, gerakannya gesit dan membawa angin bergulungan. Dengan cepat Lan Hwa dapat di kurungnya rapat-rapat.
Melihat ibunya terdesak, Sin Han membatalkan maksudnya mengaburkan kudanya. Teringatlah dia dengan pesan ayahnya, maka cepat-cepat ia menarik anak panah dan dinyalakan lalu dilepaskan ke udara, seketika itu juga terdengarlah suara bersuing di udara tinggi. Kemudian dengan suara ledakan kecil, apinya yang biru pecah berantakan merayapi ke seluruh penjuru, indah sekali pemandangan itu di malam gelap gulita, akan tetapi mereka semua tiada kesempatan untuk menikmati keindahan itu.
Setelah melepaskan anak panah, Sin Han melompat dengan menyambarkan pedangnya. Tangan kirinya menggenggam pula sebilah belati tajam. Begitu memasuki gelanggang, dengan mengerahkan tenaga ia menangkis golok Ciesan liong ong Kwee Sun, berbareng menikamkan belatinya.
Cie-san Liong-ong Kwee Sun kaget sampai mundur dua langkah ke belakang, Dan pada saat itu, mendadak Sin Houw melompat pula dari kudanya sambil menarik keluar pedang pendeknya yang selalu tergantung di pelana kudanya,
"Hey! Kau hendak ke mana?" cegah Siu Lan.
"Cici, jangan rintangi aku!" teriaknya seperti kalap, "Mereka sangat kejam dan sama sekali tak sudi memberi ampun, Mereka selalu mengejar kita seperti barisan iblis, Kalau aku tidak ikut membasmi mereka, sampai kapan kita bisa hidup tenang? Aku harus membasmi mereka! Aku harus membantu ibu!"
"Sin Houw, jangan menuruti perasaanmu sendiri! Kau harus ingat dengan pesan koko. Cepat, pergilah! Lihat musuh semakin banyak! Aku yang akan membantu ayah dan ibu menahan mereka, sementara kau pergi menjauhi!"
Memang benar, pada waktu itu berdatangan belasan orang berkuda yang langsung mengepung Kim San dan Lan Hwa - tetapi nampaknya Kim San sama sekali tidak menjadi gentar. Seperti Sin Han, kedua tangannya menggenggam pedang dan pisau belati yang berkilat-kilat karena tajamnya. Dengan cepat ia mendampingi istrinya yang tak sudi mundur walaupun selangkah, Untuk sejenak mereka tak berdaya menghadapi perlawanan yang rapi itu.
Thio Kim San dan istrinya merupakan sepasang pendekar semenjak memasuki jenjang pernikahan. Di kalangan rimba- persilatan nama mereka terkenal sebagai "Kim-siang yan" atau sepasang burung walet emas yang gagah perkasa, karena mereka bisa bekerja sama dengan sangat baik. sekarang mereka berdua ditambah dengan pengalamannya yang pahit dan berbahaya selama bertahun-tahun - tak mengherankan, pembelaan diri mereka rapi dan rapat. walaupun kena dikepung belasan orang, namun gerak-gerik mereka tidak kacau.
Di lain pihak, Siu Lan menjadi sibuk sendiri. Tak dapat ia membiarkan kedua orang tuanya dikepung oleh sedemikian banyaknya musuh, perlahan lahan ia mengeluarkan pedang lemas yang membelit pinggangnya.
Pedang itu terbuat dari emas murni, sifatnya lemas dan ulat, Begitu ditarik, pedang itu lencang seperti mengandung per. Tepat pada saat itu kilat menyambar, dan sinar kilat itu memantul pada pedang emas itu sehingga menimbulkan sinar berkilau.
Thio Sin Han yang sedang bertempur dengan musuh, menjadi terkejut melihat kilauan sinar itu. Dengan menjejak tanah ia mundur jumpalitan sambil berteriak:
"Moay-moay, kau tak perlu maju! Bawalah Sin Houw menjauh cepat-cepat, kalau tidak kita bakal menggagalkan pesan ayah!"
Thio Siu Lan tertegun, ia menjadi bingung, Dengan muka penuh pertanyaan ia mengawasi kakaknya.
"Kau mau pergi atau tidak?" bentak Sin Han.
Selama hidupnya, belum pernah kakaknya membentak dengan suara demikian. Hatinya yang lembut terhentak kaget, Dengan suara gugup ia minta penjelasan: "Sebenarnya koko mau apa?"
"Aku mau apa?" bentak Sin Han, lalu memberikan penjelasan, "Belum pernah aku berbicara dengan cara begini kepadamu, bukan? Tapi sekarang sekarang lain! Siapa di antara kalian berdua tidak mau mendengarkan perkataanku, tak kuakui sebagai saudaraku lagi, Kalian dengar? Nah, sekarang kalian pergilah, ingatlah pesanku tadi. !"
Dengan air mata mengalir deras keluar, Siu Lan berusaha meyakinkan:
"Koko, kau keliru, Pesan ayah sebenarnya ditujukan kepadamu dan adik Sin Houw, karena kalian berdua adalah anak laki-laki. Ayah mengharapkan keturunamnu untuk menyambung asal-usul keluarga, bukan aku! Aku seorang perempuan. Biarkanlah aku yang maju membantu ayah dan ibu. Ingatlah, koko. aku seorang perempuan, tanggung jawab
untuk melaksanakan pesan ayah tidak mungkin dapat ku Iaksanakan.
Andaikata aku selamat, apakah yang dapat kulakukan ? Dari itu maafkan adikmu ini, biarlah aku yang membantu ayah dan ibu, sebaliknya kau dan adik Sin Houw yang harus memikul tugas berat untuk mencuci bersih nama keluarga kita di kemudian hari."
"Tutup mulutmu!" bentak Sin Han.
"Kau hendak membantu ayah dan ibu apakah kepandaianmu meIebihi aku?"
"Tentu saja kepandaian koko berada di atasku." sahut Siu Lan.
"Jika begitu, kau mengerti maksudku," kata Sin Han. "Belasan musuh yang mengejar kita kali ini, nampaknya bukan sembarang musuh, Mereka tahu, jika terlambat sedikit, ayah dan ibu serta kita semua akan selamat, Karena sudah hampir mencapai tempat perguruan ayah, maka itulah sebabnya mereka mengerahkan jago-jago kelas satu. Walaupun tubuhmu bakal hancur luluh, tiada gunanya sama sekali. Kau tak bisa menolong ayah dan ibu, maka itu cepatlah kau pergi membawa adik Sin Houw mendahului kami. Percayalah, kami akan segera menyusul!"
Keras kata-kata Sin Han sehingga suaranya agak menggeletar, tetapi kedua matanya penuh genangan air mata, jelas bahwa ia berbicara demikian, untuk membesarkan hati kedua adiknya.
Siu Lan adalah seorang gadis yang lembut perasaan dan cerdas, ia dapat menebak maksud kakaknya itu. lantas saja ia menangis sedih. Katanya mencoba:
"Koko, tak dapatkah engkau berangkat bersama kami?" "Tidak!" bentak Sin Han. "Kau mau mendengarkan
perkataanku atau tidak?"
Siu Lan mendengar suara bengis kakaknya, tapipun berbareng melihat kedua mata kakaknya mengalirkan air- mata, Hatinya segera menjadi lemah dan perlahan-lahan ia melibatkan lagi pedangnya pada pinggangnya yang ramping.
"Baiklah, koko ... baiklah..." katanya perlahan di antara suara isak tangisnya.
Thio Sin Han tersenyum lebar, tetapi mengandung rasa sedih yang tidak terhingga, sahutnya senang:
"Nah, begitulah baru seorang adik yang baik, Akh, adikku yang manis, kau lindungilah adikmu itu. Tak usah kau menunggu ayah, ibu dan aku. Kau dengar perkataanku ini? Nah, cepatlah kau larikan kudamu. Tuhan akan melindungi kalian berdua dan akan memberkahi kita semua. Selamat jalan, adikku, Semoga kalian berdua dapat mencapai tempatnya Tay-suhu.."
Bertepatan pada saat itu terdengarlah pekik suara Thio Kim San mengandung kemarahan:
"Akh! Kalian keterlaluan, Mengapa kalian begini ganas? Baiklah, aku Thio Kim San malam ini kau paksa melakukan pembunuhan besar-besaran! Lihat saja!"
Dapat dikatakan belum selesai ia bicara, atau di sana terdengar pekik teriak menyayatkan hati.
Memang, Thio Kim San terkenal sebagai salah seorang dari Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boe-tong pay. Dia sangat mahir dalam ilmu silat pedang yang khas dari golongan Boe-tong pay, tetapi selama memupuk keluarga demi tercapainya hidup tenteram hampir dapat dikatakan jarang sekali ia menggunakan ilmu pedang simpanannya.
Tapi malam itu merupakan malam pertaruhan antara hidup dan mati, Apalagi ia merasa dipaksakan oleh keganasan pihak lawan, Maka tanpa segan-segan ia menerjang dengan ilmu pedang simpanannya itu.
Sebagai akibat, seorang musuh roboh binasa, dan rekan- rekannya yang lain menjadi gusar, Lantas saja kelihatan berbagai senjata berkeredepan dan sambil berteriak-teriak mereka meluruk untuk mengepung Thio Kim San dan istrinya.
"Berangkatlah, moay-moay!" kata Thio Sin Han yang sekilas sempat melihat keadaan ayah dan ibunya.
Thio Siu Lan mengertak gigi menguatkan hati, Rasa penasarannya jatuh kepada kudanya Thio Sin Houw, Mengapa semua ini harus terjadi? Dan dengan sekuat tenaga ia menghantam kuda Thio Sin Houw.
Kuda yang tak mengerti keadaan dan kesalahannya itu, kaget berjingkrak, lantas saja melesat maju dengan berderap, Untung Thio Sin Houw sudah terbiasa naik kuda. Meskipun tubuhnya bergoyang ketika kudanya melompat maju, tetapi beberapa detik kemudian ia sudah dapat menguasai. Tatkala ia menoleh ke sebelah belakang, dilihatnya kakak perempuannya telah berada di dekatnya dengan menghunus pedang emasnya.
Thio Sin Han mengikuti kepergian kedua adiknya dengan pandang matanya. Setelah mereka lenyap dibalik tikungan bukit, ia berputar tubuh lalu berteriak keras: "lbu! silahkan istirahat sebentar, biarlah aku yang maju!"
Hal 50/51 Hilang
dapat mengusir musuh dengan mudah, sebentar lagi mereka akan menyusul kita
Tetapi kata-kata itu hanya di mulutnya saja, sedangkan hatinya khawatir bukan main. ia menyadari, ayah-ibunya telah terluka, juga kakaknya, sedangkan musuh-musuh yang mengepung sangat banyak dan semuanya tangguh.
Thio Sin Han menengadah, mengawasi udara guram gelap, Seorang diri ia berkata:
"Ayah nampaknya mempunyai kesulitannya sendiri, yang tak dapat dikatakan di hadapan kita semua. Tadi ia mau membuka mulut, setelah mendapat idzin dari ibu. Benarkah begitu, cici?"
Setelah berkata demikian, ia mengawasi Siu Lan. ia percaya, kakak perempuannya itu pasti mengetahui persoalan yang sebenarnya.
Siu Lan dapat menebak apa yang tersimpan di hati adiknya, Tetapi cepat-cepat ia mengalihkan perhatian:
"Lihatlah ke depan! Menurut keterangan ayah, dibalik bukit itulah terbentang jembatan penyeberangan yang amat berbahaya karena dibuat dari bahan rotan semacam tali, dan yang sangat panjang namun kecil ukurannya, sedangkan jauh di sebelah bawahnya, terbentang jurang yang amat dalam dan curam serta penuh batu-batu cadas.
Dapat dibayangkan apabila seseorang terjatuh ke dalam jurang itu, pasti tidak ada kesempatan untuk selamat, Tetapi dengan kehendak Tuhan, mudah-mudahan engkau akan selamat tiba di seberangnya. Mari! Mari kita ke sana!"
Selama ia bicara, pandang mata Siu Lan mengawasi ke arah lain supaya tidak bertemu pandang dengan mata adiknya. Karena di dalam hati kecilnya, ia meragukan perkataannya tadi. Benarkah Tuhan akan melindungi, akan memberikan
Hal 54/55 Hilang
Thio Siu Lan mengawasi wajah adiknya, kemudian menjawab dengan suara tegas:
"Ayah adalah seorang yang jujur, ia seorang ksatria sejati. Maka aku percaya dengan segala perkataannya Ya, hanya
karena golok Halilintar! Hanya saja, disamping itu masih ada suatu hal yang menyulitkan ayah, Beliau tadi mencoba membicarakan, akan tetapi tidak jelas. "
Thio Sin Han termenung. Kemudian menengadah ke udara, Teringatlah ia tadi, ibunya selalu mengucurkan airmata apabila ayahnya nampak sulit berbicara, Maka bertanyalah dia dengan suara tegas:
"Cici, bagaimana dengan ibu. ? Maksudku, apakah ibu
yang salah?"
Sejenak Siu Lan nampak bimbang, lalu menjawab:
"Samar-samar pernah kudengar hal itu tetapi aku tak
yakin, Ayah sendiri tadi, juga tidak merasa yakin dalam hal ibu yang membuat bibit permusuhan."
Sin Houw menarik napas, lalu berkata lagi: