BAB 30. MENCOBA ILMU PEDANG
"Benar," jawab Toa-nian, "Belakangan orang ini berubah jadi orang yang suka kebersihan, tiba-tiba saja dia suka mandi, bahkan setiap hari bisa mandi beberapa kali dengan air dingin."
Mendadak Siau-yan tertawa, tertawanya nampak sedikit misterius.
"Orang lelaki yang suka mandi dengan air dingin belum tentu dikarenakan suka akan kebersihan," katanya.
"Kalau bukan karena suka kebersihan, lalu karena apa?" tanya Toa-nian dengan mata mendelik.
"Ah, kau masih kecil, mana mengerti," tukas Siau-yan cepat, "Lebih baik jangan bertanya urusan orang dewasa." Setelah menggencet ulat di tangannya sampai mati, ia bangkit, menggeliat, kemudian tanyanya lagi kepada Toa- nian secara tiba-tiba, "Menurut kau, belakangan apakah ada yang berbeda dengannya dibandingkan dulu?"
"Rasanya ada sedikit perbedaan," sahut Toa-nian setelah mengedipkan matanya beberapa kali, "Belakangan wataknya berubah sangat temperamen, suka kasar, dan marah, tapi semangatnya justru lebih kendor ketimbang dulu, sepasang matanya selalu memerah, sepertinya tiap malam ia tak bisa tertidur nyenyak."
"Apakah hari ini dia tidak menanyakan aku?"
"Selama satu bulan belakangan, setiap kali bertemu aku, maka perkataan pertama yang diucapkan adalah bertanya apakah aku telah bertemu dengan dirimu," Toa-nian menjelaskan, "Hari ini dia malah bersikeras hendak menjumpaimu, sebab katanya dia mempunyai urusan yang teramat penting untuk dibicarakan denganmu."
Tiba-tiba ia tertawa, terusnya, "Kalau dilihat dari tampangnya, dia seakan bakal segera mampus bila tak bertemu lagi denganmu."
Siau-yan ikut tertawa, suara tawanya misterius dan gembira.
Melihat itu tak tahan Toa-nian bertanya lagi, "Apakah kau tahu, ada urusan apa dia ingin mencarimu?"
"Aku tahu," Siau-yan tersenyum, "Tentu saja aku tahu." "Kalau kau tak ke sana, apakah dia benar-benar akan
mati?"
"Biarpun tidak mati, sudah pasti akan sangat sedih dan tersiksa," suara tawa Siau-yan terdengar semakin gembira, "Aku yakin belakangan ini kehidupannya makin hari semakin tersiksa, makin hari semakin menderita, menderitanya setengah mati."
Tertawanya memang nampak sangat gembira, tapi siapa pun tak tahu mengapa dia begitu gembira, apalagi ketika tertawanya makin riang, parasnya berubah makin memerah.
Biasanya hanya gadis yang tergerak hatinya, parasnya akan berubah jadi merah dadu.
Jika hatinya tak pernah tergerak, mengapa pipinya bisa berubah jadi merah dadu?
Kembali Toa-nian bertanya, "Apakah kau hendak pergi menjumpainya?"
"Aku akan menjumpainya." "Kapan?"
"Hari ini," tiba-tiba warna semu merah di pipinya lenyap dari wajah Siau-yan, "Sekarang juga aku akan ke sana!"
Mendadak dia melompat naik ke atas dahan pohon, dari sebatang dahan ia cabut sebilah pedang.
Menanti tubuhnya melayang kembali ke bawah, parasnya telah berubah jadi putih pucat, seputih kertas, tampangnya saat ini seperti wajah orang-orangan terbuat dari kertas yang biasanya dipakai untuk menutupi muka mayat.
Dengan perasaan terkesiap Toa-nian memandang wajahnya, sebab belum pernah ia jumpai perubahan yang begitu besar pada wajah seseorang, apalagi dalam waktu yang amat singkat.
Selama ini nyalinya terhitung cukup besar, tapi sekarang tanpa sadar tubuhnya mundur beberapa langkah, dia seolah kuatir Lotoanya mendadak mencabut pedang dan dihujamkan ke tenggorokan atau dadanya.
Bukan tanpa alasan dia merasa sangat ketakutan.
Hanya orang yang akan menghabisi nyawa orang lain baru akan memiliki paras seperti tampang Lotoanya sekarang.
Ia tidak berusaha melarikan diri, sebab dia tahu orang yang hendak dibunuh Lotoanya bukan dia, tapi dia pun tak pernah menyangka kalau Lotoanya akan membunuh Siau- hong.
Selama ini dia selalu menyangka mereka adalah sahabat, sahabat yang sangat akrab.
Dengan kencang Siau-yang menggenggam gagang pedangnya, lalu menatap bocah lelaki itu dengan pandangan dingin, mendadak tegurnya, "Mengapa kakimu gemetar?"
"Aku takut," jawab Toa-nian, di hadapan Lotoa mereka, dia tak pernah berani berbohong.
"Apa yang kau takuti?" kembali Siau-yan bertanya, "Takut aku?"
Toa-nian manggut-manggut.
Dia tak berani menyangkal, namun dia pun tak berani mengakuinya.
Tiba-tiba Siau-yan tertawa, di balik senyuman itu seolah terselip juga hawa pembunuhan yang tebal.
"Sejak kapan kau jadi takut terhadapku?" "Tadi!"
"Kenapa?" "Karena..." Toa-nian tergagap, "Karena tadi kau kelihatan sangat menakutkan, seperti ingin membunuh seseorang."
Kembali Siau-yan tertawa.
"Apakah sekarang aku masih bertampang hendak membunuh orang?" tanyanya.
Toa-nian tak berani buka suara lagi, ia terbungkam. Kembali Siau-yan menatapnya sampai lama sekali,
akhirnya sambil menghela napas katanya, "Kau pergilah, lebih baik cepat pergi, pergi semakin jauh semakin baik."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Toa-nian sudah lari meninggalkan tempat itu.
Larinya tidak terhitung cukup cepat, sebab kedua belah kakinya sudah keburu lemas, bahkan celananya pun sudah basah karena tanpa sadar telah terkencing.
Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu perasaan yang aneh dan sangat menakutkan.
Tiba-tiba ia merasa Lotoanya dalam saat yang amat singkat tadi seolah benar-benar akan mencabut pedangnya untuk membunuh dia.
Menanti Toa-nian telah kabur sangat jauh, perlahan- lahan Siau-yan baru melepaskan genggaman pada gagang pedangnya.
Telapak tangan gadis cilik ini pun basah, basah oleh peluh dingin yang jatuh bercucuran.
Sebab dia sendiri pun tahu, dalam waktu yang teramat singkat tadi, peduli siapa pun yang sedang berdiri di hadapannya, kemungkinan besar akan mati terbunuh di ujung pedangnya. Ilmu pedang yang dipelajarinya memang ilmu pedang yang khusus untuk membunuh.
Selama beberapa waktu belakangan, dia selalu merasakan satu dorongan kekuatan yang membuatnya ingin sekali membunuh manusia, terutama pada detik yang sekejap tadi, hawa napsu membunuh dan hawa pembunuhan seakan telah menembusi ujung pedangnya.
Nona itu sadar, ilmu pedangnya telah berhasil dilatih hingga puncak kesempurnaan, tak disangkal ilmu pedang yang dipelajari Siau-hong pun pasti sudah mencapai pula pada puncaknya.
Karena perasaan mereka berdua sama-sama gelisah, sama-sama merasakan satu dorongan yang sangat kuat.
Tengah hari.
Siau-yan tidak pergi mencari Siau-hong.
Pedangnya masih disarungkan, sementara si nona itu telah tiba di puncak sebuah bukit.
Tempat ini merupakan sebuah bukit terjal yang belum pernah didaki manusia, pada hakikatnya tak ada jalan menuju ke puncak bukit.
Di belakang hutan belantara, di dalam sebuah bukit yang tenang terdapat sebuah kolam air bersih, dari tempat inilah mata air yang mengalir di belakang rumah kayu yang ditinggali Siau-hong.
Seringkali Siau-yan berkunjung ke sana.
Hanya tempat inilah menjadi wilayah yang sepenuhnya milik dia pribadi. Hanya di tempat ini dia dapat berpikir secara bebas, bisa berbuat dan melakukan apa pun menurut suara hati sendiri, karena tak bakal ada orang yang datang mengusiknya. Dia yakin, kecuali dirinya seorang, belum pernah ada orang lain yang pernah datang ke situ.
Kini musim gugur telah tiba, meskipun air dalam kolam yang disinari matahari terasa sedikit hangat, namun tidaklah kelewat dingin. Ketika kakinya direndamkan ke dalam air, sekujur badannya akan gemetar karena kedinginan, rasa dingin yang menyusup dari telapak kakinya hingga ke hati, rasanya seperti sang kekasih yang sedang menarik kakinya.
Dia amat menyukai perasaan semacam ini.
Di dalam hutan belukar terdapat batu karang, di bawah batu karang tersimpan sebuah buntalan, dialah yang menyembunyikan buntalan itu di situ, sudah cukup lama tersimpan di sana dan sekarang dia baru mengambilnya keluar.
Isi buntalan itu adalah pakaian miliknya, dari pakaian dalam sampai gaun luar, semuanya tersedia lengkap, bukan saja setiap stel masih baru, bahkan terbuat dari kain sutera yang halus lembut, selembut kulit tubuh seorang perawan.
Persis juga seperti kulit tubuhnya.
Dari dalam buntalan itu dia mengeluarkan pakaiannya satu stel demi satu stel, semua pakaian dibentang di atas sebuah batu yang telah dicuci bersih dengan air kolam, kemudian menindih dengan pedangnya.
Kemudian dia pun melepaskan pakaian yang dikenakan satu per satu, melepas kain yang mengikat kencang di atas payudaranya, kemudian dalam keadaan telanjang bulat dia terjun ke dalam air kolam yang hangat tapi segar itu, dia merasa tubuhnya seakan-akan dipeluk erat oleh kekasih hatinya yang tak berperasaan, tapi terasa romantis baginya. Dalam waktu singkat sepasang payudaranya mulai mengencang dan berdiri, sepasang pahanya ikut mengejang.
Ia senang sekali dengan perasaan semacam ini.
Perlahan gadis itu memejamkan mata, membelai seluruh badan sendiri, hanya dia yang tahu bahwa dirinya telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang matang.
Dari kolam itulah air mengalir ke bawah, mengalir ke belakang rumah kayu yang ditempati Siau-hong.
Tiba-tiba ia teringat saat itu kemungkinan besar Siau- hong pun sedang menggunakan air yang sama untuk mengguyur tubuhnya.
Mendadak satu perasaan yang tak terlukiskan dengan kata muncul dalam hati kecilnya, muncul dari hati langsung turun ke bawah hingga merangsang telapak kaki.
Lewat tengah hari.
Siau-hong dalam keadaan basah kuyup melompat keluar dari dalam air di belakang rumahnya, ia membiarkan hembusan angin musim gugur mengeringkan tubuhnya.
Semasa masih muda dulu, dia sering menggunakan cara seperti ini untuk mengendalikan perasaannya, bahkan seringkali berkhasiat.
Tapi sekarang, hingga tubuhnya telah mengering, hingga hawa dingin merasuk ke dalam tulang, hatinya masih tetap panas.
Apakah hal ini disebabkan ia telah berhasil mempelajari ilmu pedang Tokko Ci, maka dirinya ikut berubah seperti Tokko Ci, setiap saat kalau tidak membunuh orang maka hawa murninya sukar terlampiaskan.
Dia tak pernah berpikir secara cermat akan hal ini. Dia tak berani berpikir ke situ.
Hanya bercelana pendek, sambil menenteng pedangnya dia berlari menuju ke dalam hutan di mana biasa ia berlatih.
Hutan ini pun seperti hutan di depan sana, daunnya telah berubah jadi merah, semerah bara api.
Semerah cucuran darah segar.
Siau-hong melolos pedangnya, pedang Mo-gan seolah sedang melotot ke arahnya, seakan menembus pikiran dan perasaannya, menyaksikan pikiran sesat yang sudah lama terpendam di dasar hatinya dan selama ini dikendalikan sekuat mungkin.
Pikiran sesat semacam ini sesungguhnya memang merupakan dosa paling purba dari setiap manusia, kau dapat mengendalikannya tapi jangan harap dapat memusnahkannya.
Dengan satu tusukan kilat Siau-hong melancarkan sebuah serangan ke depan, yang ditusuk adalah sebatang pohon.
Daun di atas pohon telah berguguran, gugur tanpa meninggalkan selembar daun pun, tapi ujung pedangnya tetap menembus batang pohon itu.
Seandainya pohon itu punya jantung, tak disangkal jantung pohon pasti sudah tertembus oleh tusukannya.
Bila yang ditusuk adalah manusia, tusukan kali ini pasti merupakan sebuah tusukan yang mematikan!
Tangannya masih menggenggam gagang pedang, setiap lembar otot hijau pada punggung tangannya menonjol, seperti ular-ular berbisa.
Apakah di dalam hatinya pun terdapat ular berbisa yang siap menerkam dirinya? Pedangnya belum sempat dicabut ketika ia mendengar ada orang sedang bertepuk tangan, ketika berpaling, terlihat Che Siau-yan telah muncul di tempat itu.
Waktu itu Siau-yan sedang bersandar pada sebatang pohon di belakang tubuhnya,. Sinar sang surya yang menerobos turun dari balik dedaunan persis menyinari raut mukanya yang cantik.
"Kiong-hi, Kiong-hi," seru gadis itu, "Kau telah berhasil mempelajari ilmu pedangmu."
Perlahan-lahan Siau-hong membalikkan badan dan menatapnya.
Wajahnya tampak cantik dan segar, pakaian yang menempel di tubuhnya bagaikan kulit yang menempel di badan, begitu ketat, begitu lekat sehingga payudaranya yang montok kelihatan menonjol nyata, begitu pula dengan pinggangnya yang ramping.
Sebetulnya Siau-hong tak ingin menatapnya dengan cara begitu, tapi sekarang dia telah menyaksikan bagian tubuhnya yang tidak seharusnya terlihat.
Sinar aneh tiba-tiba saja memancar dari balik matanya, bahkan dengus napas pun terdengar mulai kasar dan memburu, lewat lama kemudian ia baru bertanya, "Bagaimana dengan kau? Apakah ilmu pedang yang kau pelajari pun telah sukses kau kuasai?"
Siau-yan tidak mencoba menghindari tatapan matanya, dia pun tidak berusaha berkelit dari pertanyaan itu.
"Benar," jawabnya, "Ilmu pedang yang kupelajari pun telah berhasil kukuasai, karena kau sudah tak bisa mengajarkan apa-apa lagi untukku." Jawabannya bukan saja langsung dan blak-blakan, bahkan sangat tegas dan mengena.
Siau-hong berusaha keras untuk tidak memandang bagian tubuh kaum wanita yang tidak seharusnya terlihat oleh kaum lelaki.
"Aku memahami maksudmu," katanya kemudian.
"Kau memahami?" tanya si nona, "Lalu apa yang kumaksud?"
"Kini aku sudah tak punya ilmu yang bisa kuajarkan lagi kepadamu, sebaliknya kau pun tak memiliki kepandaian yang bisa diajarkan kepadaku, oleh karenanya perjanjian barter di antara kita berdua telah berakhir."
Dengan berakhirnya perjanjian barter, berarti kehidupan semacam ini pun telah berakhir, hubungan kerja di antara mereka berdua pun terputus sampai di sini saja.
Siau-hong berusaha keras mengendalikan diri.
"Aku minta kau datang kemari karena ingin memberitahukan kepadamu bahwa aku sudah siap pergi dari sini."
"Kau tak boleh pergi," tukas Siau-yan cepat, "Paling tidak sekarang kau belum boleh pergi."
"Kenapa?"
"Karena kita masih harus pergi mencari Tokko Ci."
Tiada Tokko Ci pada hakikatnya tak mungkin ada perjanjian barter, kini perjanjian di antara mereka telah berakhir, tapi hutang piutang mereka dengan Tokko Ci belum diperhitungkan.
"Oleh karena itu paling tidak ada seorang di antara kita yang harus pergi mencarinya," kata Siau-yan sambil menatap tajam wajah Siau-hong, "Dan hanya boleh ada satu orang yang pergi mencarinya."
"Kenapa?"
"Karena aku adalah aku dan kau adalah kau, alasan kita pergi mencarinya sama sekali berbeda," cahaya matahari yang menyinari wajah Siau-yan telah bergeser ke tempat lain, kini parasnya tampak pucat-pias, suaranya juga dingin bagaikan bongkahan es.
Dengan nada dingin, kembali lanjutnya, "Sesungguhnya di antara kita berdua sama sekali tak terikat hubungan apa pun, urusanku tentu saja harus kuselesaikan sendiri, kau tak dapat mewakili aku dan aku pun tak dapat mewakili dirimu."
"Jadi kau yang pergi atau aku yang pergi?" "Siapa yang hidup, dia yang pergi."
"Tapi rasanya hingga saat ini kita berdua masih hidup semua."
"Sayangnya seorang di antara kita berdua yang tak bakal berumur panjang," Siau-yan menarik matanya hingga nampak menyeramkan, "Aku lihat salah satu di antara kita berdua yang sebentar lagi bakal tergeletak mati di sini."
"Siapa yang bakal mati?"
"Siapa yang kalah, dialah yang mati," gadis cilik itu menatap sekejap tangan Siau-hong yang menggenggam pedang, "Kau punya pedang, begitu pula dengan aku. Kau telah berhasil mempelajari ilmu pedangku, aku pun telah berhasil mempelajari ilmu pedangmu."
"Jadi sekarang telah tiba saatnya untuk menentukan siapa kuat siapa lemah di antara kita berdua?"
"Benar." "Siapa yang kalah, dia harus mati?"
"Benar," Siau-yan membenarkan, "Yang tangguh yang hidup, yang lemah harus mampus. Bukankah hal ini sangat adil?"
"Benar, cara ini memang sangat adil," sahut Siau-hong dengan tegas dan tandas.
Terlihat cahaya pedang berkilat, dua bilah pedang sama- sama telah dicabut.
Biarpun ilmu pedang yang mereka pelajari sama, namun jenis kelamin mereka berbeda, kondisi badan mereka berbeda, kecerdasan serta jalan pikiran mereka pun tidak sama.
Sekalipun jurus serangan yang mereka gunakan persis satu dengan lainnya, namun sesaat setelah turun tangan, perubahan dan reaksi yang timbul pun sama sekali beda.
Mati hidup menang kalah di antara mereka berdua pun ditentukan dalam waktu yang teramat singkat.
Mendadak Siau-yan bertanya lagi, "Apakah kau ada pesan terakhir yang hendak dititipkan kepadaku?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Siau-hong balik bertanya.
"Aku tak ada pesan terakhir," Siau-yan tertawa lebar, "Karena aku tak bakal mati."
"Kau yakin?"
"Tentu saja," kembali Siau-yan tersenyum, "Kalau tidak, buat apa aku datang kemari?"
Sebetulnya Siau-hong ingin tertawa, namun dia tak sanggup tertawa, karena secara pribadi dia sama sekali tak punya keyakinan untuk memenangkan pertarungan ini. Sebaliknya gadis cilik itu, lawan tangguhnya, justru begitu yakin dan percaya diri.
Sesaat menjelang berlangsungnya pertarungan yang menentukan mati hidup, rasa percaya diri jelas merupakan salah satu penyebab yang menentukan menang kalah seseorang.
Kembali Siau-yan bertanya, "Tahukah kau, mengapa kau pasti bakal kalah?"
"Tidak!"
"Karena kau adalah seorang lelaki," jawaban Siau-yan terdengar aneh sekali.
Siau-hong tidak mengerti, maka tak tahan tanyanya, "Oleh karena aku lelaki, maka aku pasti kalah?"
"Benar, memang begitulah keadaannya.” “Kenapa?"
"Karena kau telah mempelajari ilmu pedang milik Tokko Ci," jawab Siau-yan, "Pernah kukatakan, ilmu pedangnya selain tangguh, sesatnya bukan kepalang, setiap waktu harus mencari pelampiasan untuk menghilangkan gejolak napsu birahi dalam tubuh, tanpa pelampiasan mustahil pikiranmu bisa tenang dan stabil."
Gadis itu sengaja menghela napas sambil melanjutkan, "Tapi kau selama ini tak ada tempat untuk melampiaskan napsu birahimu, karena itulah belakangan sifatmu makin lama semakin berubah, berubah jadi panik dan tak tenang, biar sehari mandi sepuluh kali dengan air dingin pun sama sekali tak ada gunanya."
Kembali gadis itu tertawa lebar.
"Jika mengendalikan perasaan sendiri pun tak sanggup, bagaimana mungkin dia bisa menghadapi seorang lawan tangguh yang menakutkan?" dengan nada mengejek Siau- yan tertawa, "Bagaimana mungkin kau tidak kalah!"
Kembali otot hijau menonjol keluar di tangan Siau-hong yang menggenggam pedang, keringat dingin telah membasahi telapak tangannya.
Dia sendiri pun telah menyadari akan hal ini.
Walaupun dia pun tahu gadis cilik itu sengaja berkata demikian karena ingin menggoyahkan keyakinan serta rasa percaya dirinya, apa mau dikata ia tak mampu melakukan bantahan.
Jika keyakinan dan rasa percaya diri seseorang telah goyah, bagaimana mungkin dia sanggup mengalahkan lawannya dalam menghadapi pertarungan mati hidup ini?
Siau-yan menatapnya tanpa berkedip.
"Oleh karena itulah aku bertanya kepadamu, apakah ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan? Apakah kau masih ada persoalan yang ingin kau sampaikan kepadaku?"
"Hanya ada satu perkataan," sahut Siau-hong setelah berpikir sejenak, "Sekalipun kau dapat mengalahkan aku, pada akhirnya pasti akan mati juga di ujung pedang Tokko Ci."
"Kenapa?"
Jawaban Siau-hong sama anehnya seperti apa yang dikatakan gadis cilik itu tadi.
"Karena kau adalah seorang wanita!" katanya, "Justru karena kau seorang wanita, maka selama hidup tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengalahkan dirinya."
Siau-yan tidak habis mengerti, tak tahan tanyanya, "Kenapa?" "Karena ilmu pedangnya memang ampuh dan amat sesat, setelah lewat lima bulan, aku merasa ada segumpal hawa murni yang membeku dalam tubuhku!"
Ia mengawasi tangan si nona yang menggenggam pedang.
"Tapi kau tidak memilikinya," lanjut Siau-hong "Karena kau adalah wanita, pada hakikatnya kau tak pernah bisa memiliki kekuatan inti yang terbaur dalam ilmu pedangnya, gumpalan hawa murni yang terbentuk dari cairan mani lelaki."
Tangan Siau-yan sebetulnya lembut, putih, dan halus, tapi sekarang otot hijau menonjol pada tangannya yang menggenggam pedang, senyum di wajahnya ikut lenyap.
"Bagaimana pun juga, aku tetap harus mencobanya!” dia menggetarkan ujung pedangnya, "Oleh sebab itu, sekarang juga aku akan menggunakan kau sebagai sasaran percobaanku!"
Waktu itu langit mulai berangsur jadi gelap, di tengah kegelapan itulah tiba-tiba tampak sekilas cahaya pedang melesat.
Bersamaan dengan mendesingnya hawa pedang, daun ranting berguguran ke tanah, hawa pedang sungguh menyesakkan dada.
Pertarungan antara jago tangguh biasanya paling menarik. Di tengah pertarungan, berbagai perubahan yang mengguncang sukma serta perubahan jurus yang di luar dugaan seringkali bisa membuat orang terpana, terpesona seperti orang mabuk.
Seperti juga pertarungan antara Sebun Jui-soat melawan Pek-hun-shiacu Yap Koh-seng di kota terlarang pada hari Tiong-yang tempo hari, sejak tiga bulan berselang berita itu sudah tersebar luas di seantero jagat.
Bukan satu pekerjaan yang mudah untuk ikut menyaksikan jalannya pertarungan akbar itu, sebagian besar orang sulit memperoleh kesempatan bagus itu.
Perubahan dalam permainan jurus, kehebatan dalam setiap perubahan yang terjadi, pada hakikatnya tak dapat dilukiskan dengan perkataan maupun tulisan. Kecuali hadir sendiri di tempat kejadian, berusaha menelaah sendiri keadaan yang berkembang kalau tidak, sulit untuk memahami dan meresapi setiap rangsangan dan setiap perubahan yang terjadi.
Oleh karena itu bagi kebanyakan orang, yang benar- benar menyedot perhatian bukanlah jalannya pertarungan itu, melainkan akhir dari pertarungan.
Tak ada orang yang ikut menyaksikan jalannya pertarungan antara Siau-hong melawan Siau-yan, juga tak ada yang ikut merasakan rangsangan dan perubahan tiap gerakan yang terjadi dalam pertarungan itu, tentu saja tak ada orang yang bisa menggambarkan situasi saat itu.
Tapi tak disangkal, akhir dari pertarungan ini merupakan masalah yang paling diperhatikan setiap orang.
Siapa yang bakal memenangkan pertarungan ini?
Andaikata Siau-hong kalah, benarkah dia segera akan mati di tempat itu?
Sebaliknya kalau Siau-hong yang menang, mungkinkah dia akan membunuh lawannya di ujung pedang sendiri?
Gejolak perasaan Siau-hong sangat labil, tentu saja serangan yang dilancarkan tak mungkin stabil dan mantap. Bukan saja perubahan jurus serangan sukar diduga, peredaran hawa murni pun sukar dikendalikan.
Tapi dalam pertarungan ini dialah yang keluar sebagai pemenang.
Sebab pengalaman bertarungnya jauh di atas pengalaman gadis itu, dia pun lebih sabar dan bertenaga.
Andaikata pertarungan ini bisa menentukan menang kalah hanya dalam belasan gebrakan, tak disangkal pemenangnya pasti Che Siau-yan.
Tapi sayang selisih kekuatan dan kemampuan mereka berdua tidaklah kelewat besar, siapa pun tak dapat merobohkan lawan hanya dalam beberapa puluh jurus.
Oleh karena itu begitu waktu semakin berkepanjangan, tatkala pertarungan sudah mencapai seratus lima puluh gebrakan, Siau-hong tahu, dialah yang bakal keluar sebagai pemenang.
Seratus lima puluh gebrakan kemudian, Siau-yan sendiri pun tahu dirinya bakal kalah.
Lambat-laun aliran hawa muminya makin tak lancar, perubahan jurus serangan pun seringkali tak sesuai dengan kehendak hati.
Yang lebih penting lagi adalah munculnya bayang- bayang gelap dalam hati gadis itu.
Sekalipun kau dapat mengalahkan aku, kau pasti akan tewas di ujung pedang Tokko Ci.
Mau tak mau dia harus mengakui kenyataan ini.
Orang yang benar-benar akan dia kalahkan bukanlah Siau-hong, melainkan Tokko Ci, oleh karena itu terhadap menang kalahnya pertarungan ini, dia sudah tidak menaruh harapan yang terlalu besar. Yang lebih penting lagi adalah di bawah tekanan bayang- bayang kegelapan itu, dia seolah sudah lupa kalau kekalahannya merupakan saat kematiannya!
Karena itulah dia kalah.
"Trang!", sepasang pedang saling beradu.
Percikan bunga pedang bertebaran ke empat penjuru, pedang yang semula berada dalam genggaman Siau-yan kini sudah terbang, lepas dari tangannya, sementara ujung pedang Siau-hong sudah menempel di atas tenggorokan gadis cilik itu.
Menanti hawa pedang yang dingin dan menggidikkan mulai menusuk permukaan kulit lehernya, nona itu baru teringat akan perjanjian yang telah mereka tetapkan sebelumnya.
Siapa kalah, dia harus mati!
Dalam waktu yang singkat itulah rasa ngeri dan menyeramkan dari kematian seakan sebuah tangan setan sedang mencekik lehernya, mencengkeram tubuhnya, meremas sendi tulangnya, menggagahi tubuh dan sukmanya.
Dia masih muda, selama ini belum pernah merasa takut akan datangnya kematian.
Hingga detik ini, dia baru mengerti betapa menakutkan kematian.
Rasa ngeri umat manusia menghadapi kematian sesungguhnya merupakan salah satu rasa ngeri terbesar yang dimiliki umat manusia selama ini.
Karena "mati" merupakan berakhirnya segalanya, merupakan saat kehilangan segala sesuatunya. Perasaan ngeri dan takut yang mencekam perasaannya membuat seluruh sel kehidupan Che Siau-yan mengalami perubahan yang sangat aneh.
Lidah, bibir dan tenggorokannya mendadak berubah jadi sangat kering. Seluruh otot tubuh, seluruh sendi tulang berubah jadi kesemutan, kaku dan mati rasa.
Pupil matanya berkerut, bulu kuduknya bangkit, seluruh syaraf tubuhnya seakan kehilangan kendali, kehilangan kemampuan untuk menguasai diri.
Bahkan detak jantung serta dengus napasnya seakan bertambah cepat satu kali lipat.
Yang lebih aneh lagi adalah di saat terjadinya perubahan itu, mendadak dia merasakan pula satu dorongan emosi yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Napsu birahinya mendadak berkobar dan menyala bagai jilatan api, menyala karena gesekan otot tubuhnya yang tiba-tiba berkerut.
Pakaian yang dia kenakan saat ini tak lebih hanya pakaian yang sangat tipis, sedemikian tipisnya sampai tubuhnya yang sedang gemetar pun kelihatan sangat jelas.
Dia ingin sekali bertanya kepada Siau-hong, "Mengapa kau masih belum membunuhku?"
Tapi gadis itu tak bertanya, karena dia tak mampu mengendalikan otot leher dan lidahnya.
Dia tidak bertanya karena secara tiba-tiba ia saksikan terjadinya perubahan yang aneh dan menakutkan pada tubuh Siau-hong.
Perubahan ini membuat detak jantungnya berdebar semakin cepat. Gadis itu memejamkan mata, tak berani memandang sewaktu matanya terpejam, dengus napasnya ikut berubah jadi rintihan, wajah yang pucat-pasi ikut berubah pula semerah bunga Tho.
Saat ini dia sudah tahu Siau-hong tak bakal membunuhnya, dia pun tahu apa yang diinginkan anak muda itu.
Kini dia sudah dapat merasakan hawa panas serta dengus napas Siau-hong, dia pun merasakan tindihan tubuh lawan di atas tubuh sendiri.
Gadis itu tak dapat menampik, dia pun tak ingin menampik.
Tentu saja dia tak berusaha menampik, karena sejak awal dia telah menduga semua itu akan berakhir dengan kejadian seperti ini.
Tiba-tiba saja gadis itu mengendorkan tubuhnya, mengendorkan seluruh ketegangan otot tubuhnya, mengendorkan segala sesuatunya.
Sebab dia tahu, hanya dengan cara inilah baru akan memperoleh pembebasan, semacam pembebasan yang nyaris mirip "kematian".
Hari ini adalah bulan delapan tanggal lima belas, ulang tahun Che Siau-yan.
Dia dilahirkan pada malam Tiong-ciu, tapi hingga dia memperoleh pembebasan dan membuka matanya kembali, gadis itu baru teringat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, dia baru teringat kalau hari ini adalah hari Tiong- ciu.
Sebab begitu dia membuka mata, terlihatlah bulan purnama tergantung di atas langit, rembulan yang begitu bulat, begitu terang benderang, jauh lebih terang daripada bulan yang dilihatnya semalam.
Setelah itu dia baru melihat Siau-hong.
Waktu itu Siau-hong berdiri di bawah sinar rembulan. Sinar rembulan tampak begitu bening, bersih dan tenang,
begitu pula dengan pemuda itu.
Kini pemuda itu sudah pulih kembali dalam ketenangan, telah mengendorkan seluruh otot tubuhnya, dia seolah telah membaur dan menyatu dengan alam semesta.
Alam semesta itu abadi dan selamanya tak pernah berubah, sementara orang itu pun seolah mendekati keabadian, mendekati ketenangan, kedamaian yang abadi dan tak pernah berubah.
Siau-yan ingin sekali memberitahu kepadanya, "Sekarang ilmu pedangmu sudah benar-benar sempurna."
Tapi gadis itu tidak mengucapkannya, karena secara tiba- tiba ia merasa air mata telah menggenang dalam kelopak matanya dan nyaris meleleh membasahi pipinya.
Walaupun dia kalah, dia tahu dirinya selama hidup tak pernah dapat mengalahkan Tokko Ci, selama hidup tak bakal mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu pedang....
Tapi dia telah membantu seorang lelaki melewati batasan itu, membantunya mencapai puncak kesempurnaan.
Bahkan di dalam tubuhnya telah mengalir nyawa lelaki itu, nyawa mereka berdua telah menyatu, telah membaur menjadi satu.
Kemenangannya berarti kemenangan dirinya pula. Langit lambat-laun jadi terang, cahaya rembulan pun makin lama semakin tawar.
Entah berapa lama telah lewat, gadis itu baru berbisik lirih kepada Siau-hong, "Sekarang kau sudah dapat pergi mencari Tokko Ci."
Siau-hong sama sekali tidak memberikan reaksi.
Gadis itu pun tak tahu apakah Siau-hong mendengar kata-katanya, tapi yang pasti dia telah mendengar suara ayam berkokok.
Seperti tempo hari, begitu mendengar suara ayam berkokok, tiba-tiba gadis itu melompat bangun, seperti setan perempuan yang takut bertemu cahaya matahari, begitu mendengar suara ayam berkokok, dia langsung melarikan diri secara tiba-tiba dan lenyap di balik lapisan kabut yang tebal.
Kali ini Siau-hong tidak membiarkan gadis itu melarikan diri, dengan cepat dia melakukan pengejaran.
Rupanya di saat ayam berkokok, saat itulah Tokko Ci bangun dari tidurnya.
Setiap makhluk yang disebut manusia memang tak boleh kurang tidur, dia pun manusia, meski sedang tertidur lelap pun, setiap saat dia harus menjaga kesadarannya.
Tempatnya berbaring adalah sebuah pembaringan yang terbuat dari batu, sempit, kecil, dingin dan keras, yang dimakan pun hidangan yang sederhana dan murah.
Dia tak pernah mengizinkan tubuhnya hidup berkecukupan dan menikmati kenyamanan.
Beginilah kehidupan seorang jago pedang sejati, jauh lebih pahit, jauh lebih menderita daripada kehidupan seorang pendeta yang hidup mengasingkan diri, kebiasaan yang telah terjalin sangat lama membuat dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
Dia selalu berpendapat, bila kau ingin mendapatkan semacam kehormatan dan kehebatan, maka kau harus membayar dengan penderitaan, harus tiada hentinya mencambuk diri.
Belum pernah ada orang tahu dengan cara apa dia mempelajari ilmu pedangnya, dia sendiri pun enggan menyinggung persoalan ini.
Tak dapat disangkal pengalamannya yang penuh derita dan siksaan mengandung begitu banyak keringat, air mata, dan darah.
Sebab dia bukan murid perguruan kenamaan, dia pun tak memiliki latar belakang keluarga persilatan, untuk mencapai tingkatan yang luar biasa, dia harus membayar dengan keringat, air mata dan darah.
Kini dia berhasil menguasai ilmu pedang. Dengan mengandalkan sebilah pedang dia telah malang melintang di wilayah utara maupun selatan dan selama ini belum pernah bertemu tandingan.
Hingga akhirnya dia bersua Po Eng. Po Eng, di mana kau sekarang?
Dengan tubuh telanjang bulat dia bangun terduduk di atas ranjang, seperti sesosok mayat hidup yang tiba-tiba bangkit dari dalam peti mati.
Parasnya pucat-pasi tanpa perubahan mimik, selama ini kecuali dalam genggamannya terdapat pedang, orang ini tak ubahnya sesosok mayat hidup, mayat sungguhan.
Inilah hasil dari puasanya selama banyak tahun, tak pernah ada seorang pun yang lebih memahami bahwa kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang amat menyiksa, belum pernah ada manusia lain yang lebih paham bahwa seseorang harus mengeluarkan tenaga yang amat besar agar dapat mengendalikan gejolak perasaan serta napsunya.
Suasana di luar jendela masih dicekam kegelapan, kebanyakan umat manusia masih terlelap dalam tidurnya.
Tapi dia tahu, di saat ia berjalan keluar dari ruang kamarnya, Siau-cong si ulat kecil pasti telah menunggunya di depan pintu, siap melayani semua kebutuhannya.
Setiap pagi, dia selalu meminta si ulat kecil untuk mencuci bersih seluruh bagian tubuhnya, membantu dia mengenakan pakaian. Karena dia tahu, harapan terbesar bocah ini adalah membunuh dia di ujung pedangnya! Dia tak akan membiarkan peristiwa semacam ini terjadi.
Tapi dia pun membutuhkan kehadiran bocah ini untuk mencambuknya, untuk merangsangnya, dia selalu berpendapat, bila ingin menjadi yang tercepat maka dia baru bisa berlari kencang bila ada sebuah cambuk.
Bocah ini adalah cambuknya!
Karena itu dia menahan bocah ini, tiada hentinya menyiksa dia, mempermalukan dia, agar dia tak pernah dapat mengangkat kepala di hadapannya, selama hidup tak mampu mendongakkan kepala.
Ooo)d*w(ooO