BAB 20. HAWA PEMBUNUHAN DARI EMPAT PENJURU
Pada saat itulah dari balik kegelapan arah yang lain tiba- tiba meluncur keluar sesosok bayangan manusia, melambung sejauh puluhan tombak dan... "Blam", jatuh ke dalam rumah kayu yang tak berdinding.
Seperti orang pertama, batok kepala orang ini pun terkulai lemas di atas tengkuknya.
Dengan satu gulingan cepat Yang-kong melompat bangun dari atas ranjang, tangannya menggenggam tangan Siau-hong erat-erat. Jantung mereka berdua berdebar keras, mencorong sinar terang dari balik matanya.
Dari balik belantara terdengar suara tertawa dingin. "Ternyata datang juga!"
"Saudara, kalau memang sudah datang, mengapa tidak segera tampil untuk bertemu dengan kita?"
Di tengah suara tertawa dingin yang disisipi suara ujung baju tersampuk angin dan suara patahnya ranting serta dedaunan, lamat-lamat terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat.
"Ada di sini!" dari kejauhan terdengar lagi seseorang membentak nyaring.
Baru bergema suara bentakan itu, kembali terlihat tiga sosok bayangan manusia melambung ke tengah udara, lalu menerkam ke arah sana. Detak jantung Yang-kong dan Siau-hong berdebar makin cepat, tentu saja mereka dapat menebak siapa gerangan yang telah datang.
Dari balik kegelapan tampak bayangan manusia melambung berulang kali, hampir semuanya menerjang ke arah sana, di antara sampukan ujung baju dengan angin, bergema bentakan berulang kali.
"Manusia she Po, mau kabur ke mana kau?" "Tinggalkan dulu nyawamu!"
Tak diragukan lagi, yang datang adalah Po Eng.
Dia sengaja memperlihatkan jejaknya agar para jago yang mengepung tempat itu sama-sama mengejarnya, dengan begitu muncul kesempatan baik bagi Siau-hong dan Yang-kong untuk meloloskan diri.
Sekali lagi Yang-kong menatap Siau-hong, dalam persoalan apa pun dia selalu menunggu Siau-hong yang mengambil keputusan.
Siau-hong hanya mengucapkan sepatah kata, "Di mana ia berada, ke sana aku pergi."
Yang-kong sama sekali tidak berbicara lagi, serentak mereka berdua menggerakkan tubuh, ikut menerjang ke arah yang sama.
Sebetulnya mereka pun tahu kalau mara bahaya mengancam setiap jengkal langkah dalam hutan itu, namun mereka tak peduli.
Taburan bintang menghiasi angkasa, sayang cahaya bintang terlalu redup, tak sanggup menembus lebatnya daun dan pepohonan, banyak daun yang meski sudah mengering namun tak sempat rontok dari rantingnya. Mereka belum juga menjumpai seseorang, suara bentakan dan teriakan di kejauhan lambat-laun sudah tak terdengar lagi.
Hutan lebat ini berada di tengah sebuah lembah yang dikelilingi sederet tanah perbukitan, kondisi tanahnya rendah dan melengkung ke bawah mirip sebuah mangkok, bukan saja udara sangat hangat, hembusan angin pun terasa hangat, itulah sebabnya walaupun saat ini telah memasuki permulaan musim dingin, dedaunan belum banyak yang rontok.
Tentu saja tetap ada dedaunan yang berguguran, seperti seseorang, terkadang disebabkan pelbagai alasan harus meninggalkan rumah, daun pun terkadang harus meninggalkan ranting dikarenakan berbagai alasan.
Siau-hong tidak mendengar langkah kaki siapa pun yang sedang berjalan di atas guguran dedaunan, begitu pula Yang-kong.
Mereka hanya mendengar semacam suara yang sangat aneh.
Mereka mendengar seseorang sedang menangis.
Setiap orang pasti pernah menangis, di saat lahir menangis, di saat mati pun akan menangis lagi, dalam tahap antara lahir dan mati kau pun akan sering menangis.
Ada sementara orang hanya menangis di saat sedih, berduka atau mengalami penderitaan, ada pula sementara orang yang menangis di saat sedang gembira, sedang meluap emosinya.
Ada orang berkata, dalam kehidupan seorang, tak mungkin dia bisa menghindari dua jenis suara, pertama adalah suara tertawa, kedua adalah suara isak tangis. Oleh sebab itu suara isak tangis sebetulnya tak bisa terhitung sebagai sejenis suara yang aneh.
Tapi berada di tempat semacam ini, dalam suasana seperti ini, siapa pun pasti akan merasa keheranan bila mendengar ada orang sedang menangis.
Yang lebih aneh lagi, orang yang sedang menangis adalah seorang yang siapa pun tak akan menyangka kalau dia bakal menangis.
Di saat Siau-hong dan Yang-kong mendengar suara isak tangis, mereka telah melihat orang itu.
Ternyata orang ini tak lain adalah Oh-tayciangkwe.
Sewaktu menjumpai dirinya, ia sedang duduk di bawah sebatang pohon yang tinggi besar, menangis sedih bagaikan seorang bocah.
Seandainya mereka tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa pun tak akan menyangka pemilik Sam- po-tong yang nama besarnya menggetarkan seluruh dunia persilatan, ternyata pada tempat dan saat seperti ini bisa duduk di bawah sebatang pohon sambil menangis tersedu- sedu bagaikan seorang bocah.
Tapi mereka telah menyaksikannya.
Waktu itu Oh-tayciangkwe seolah tidak melihat kehadiran mereka berdua.
Isak tangisnya benar-benar menyedihkan, begitu sedih hingga tak sanggup memperhatikan orang lain, tapi sayangnya Siau-hong berdua tak bisa untuk tidak memperhatikan orang itu.
Mereka pernah bertemu dengannya, kenal dengannya, tahu siapa orang ini. Untung mereka tidak berlagak tidak memperhatikan dia, berlagak tak pernah bertemu dengannya, mereka memutuskan untuk lewat begitu saja dari hadapannya.
Tapi sayang mereka tak sempat lewat.
Tiba-tiba Oh-tayciangkwe melompat bangun dari bawah pohon dan menghadang jalan pergi mereka, meskipun wajahnya masih basah oleh air mata, namun dia sudah tidak menangis lagi, meski matanya masih merah namun sudah memancarkan sinar kelicikan seekor rase.
Tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kalian manusia?"
Siau-hong menatap Yang-kong, begitu pula Yang-kong menatap Siau-hong, lalu sengaja tanyanya, "Bagaimana dengan kau?"
"Aku manusia."
"Begitu pula dengan aku."
Oh-tayciangkwe tertawa dingin.
"Kalau kalian memang manusia, setelah melihat ada orang sedang menangis dengan sedihnya, mengapa masih berlagak tidak melihat." Yang-kong balas tertawa dingin.
"Sekalipun kami telah melihatnya lantas kenapa? Apakah kau minta kami menemanimu, duduk sambil menangis?"
Lalu dengan penuh semangat lanjutnya, "Kau menangis di sini sementara kami lewat di hadapanmu, apa sangkut- pautnya tangisanmu dengan kami?"
"Tentu saja ada sangkut-pautnya," ternyata jawaban Oh- tayciangkwe tak kalah semangatnya, "Justru karena kalian, maka aku menangis."
"Karena kami?" tak tahan Siau-hong bertanya, "Mengapa kau menangis karena kami?" Tampang Oh-tayciangkwe semakin sedih, semakin berduka.
"Sepanjang sejarah hidupku, aku hanya pernah mencintai seorang wanita," katanya, "Sudah lama sekali aku mencarinya, tatkala aku berhasil menemukan dirinya, ternyata dia sudah mati."
"Kenapa dia mati?"
"Mati gantung diri gara-gara kalian!" jerit Oh- tayciangkwe dengan sedihnya, "Kalianlah yang menggantung dirinya di atas pohon, menggantungnya hidup-hidup!"
Kemudian setelah melotot sekejap ke arah Siau-hong dengan benci, terusnya, "Aku tahu kau bermarga Hong, orang menyebutmu Siau-hong yang tak takut mampus, mau menyangkal pun tak ada gunanya."
Siau-hong mulai mengerti.
"Maksudmu perempuan itu adalah Liu Hun-hun?" tanyanya. "Benar."
"Jadi kau sangka akulah yang telah membunuhnya?” “Kalau bukan kau, siapa lagi?" Siau-hong menghela
napas.
"Kalau aku mengatakan bukan diriku, kau pasti tak akan percaya."
Dia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
Sekarang dia sudah melihat Oh-tayciangkwe berniat mencabut nyawanya, siapa pun itu orangnya seharusnya dapat melihat pula akan hal ini.
Hong-hong-tian-ci, burung Hong pentang sayap. Oh-tayciangkwe telah merentang tangannya menunjukkan satu gaya yang sangat aneh dan misterius, siapa pun tak tahu senjata rahasianya akan dilancarkan dengan cara apa, namun setiap orang tahu, asal senjata rahasia itu sudah dilontarkan, maka tak ada orang yang bisa tertawa lagi.
Tiba-tiba Yang-kong tertawa, bukan hanya tertawa bahkan mulai bersenandung.
Yang dia nyanyikan adalah lagu yang didengarnya dari belakang gundukan pasir di oase kering itu.
"Di Yan-pak terdapat Sam-po-tong. Terkenal dan disegani banyak orang. Dalam Sam-po-tong terdapat Sam- po.
Siapa bertemu, siapa tertimpa musibah, air mata jatuh berlinang.
Tiada ayah, tiada ibu.
Siapa bertemu dia tertimpa bencana.
Air mata meleleh bagaikan butiran beras."
Daya ingat gadis ini memang sangat hebat, bukan saja setiap bait syairnya tak salah bahkan bisa dinyanyikan seperti yang dibawakan gadis kecil itu tempo hari.
Belum selesai gadis itu menyanyi, paras Oh-tayciangkwe telah berubah hebat.
"Siapa kau?" "Aku adalah aku."
"Dari mana kau bisa tahu tentang aku?"
"Kenapa aku tak tahu? Kalau aku tak tahu siapa yang bakal tahu?" Yang-kong tertawa manis, "Padahal kau seharusnya tahu juga siapakah aku." "Mana aku bisa tahu?"
"Coba kau perhatikan siapakah aku?" senyumannya mirip dengan senyuman gadis cilik berkepang enam-tujuh belas, hanya bedanya ia tidak membopong anjing Peking yang mungil berbulu putih.
Dengan terperanjat Oh-tayciangkwe menatapnya, kemudian selangkah demi selangkah mulai mundur.
"Kau sangka siapakah si Roh gentayangan?" kembali Yang-kong berkata, "Kau benar-benar menyangka si botol adalah. ”
Belum lagi gadis itu menyelesaikan perkataannya, Siau- hong telah mencabut pedangnya.
Bagian akar pohon besar itu tiba-tiba muncul sebuah pintu.
Tentu saja tak bisa dianggap sebuah pintu sungguhan, lebih tepat dibilang sebuah gua, Yang-kong menyangka lubang itu pintu karena dari dalam lubang itu benar-benar muncul tubuh seseorang.
Walaupun orang ini bukan Po Eng, tapi dia adalah sahabat mereka.
"Pancapanah!" tak tahan Yang-kong berteriak, "Rupanya kau!"
Bertemu dengannya, mereka pun merasa sangat gembira.
Selama ini belum pernah ada yang tahu kapan dia akan muncul, tapi setiap kali kemunculannya selalu membuat orang merasa amat gembira.
"Jadi kau yang turun tangan tadi?"
"Benar, aku," Pancapanah menunjukkan gerakan tangan yang sederhana, memperlihatkan bagaimana cara dia mematahkan tulang tengkuk orang, meski sederhana namun sangat bermanfaat.
"Mana Po Eng?" kembali Yang-kong bertanya.
"Aku tidak melihatnya," Pancapanah menggeleng, "Aku pun sedang mencarinya."
"Tahukah kau dia berada di mana?" "Tidak tahu."
Pancapanah berkata dengan penuh keyakinan. "Tapi aku tahu, dia pasti belum mati."
Alasannya, "Karena orang-orang itu pun sedang mencarinya, hal ini membuktikan mereka pun tahu kalau dia belum mati".
Setelah tersenyum tambahnya, "Peduli siapa pun itu orangnya, bukan pekerjaan yang mudah untuk mencabut nyawa Po Eng."
Yang-kong ikut tertawa.
"Bila ada orang menginginkan nyawamu, mungkin hal ini semakin tak mudah lagi."
Dia pun menaruh keyakinan yang sama terhadap Pancapanah.
Peduli berada di mana pun, kapan pun, dia selalu dapat menemukan sebuah tempat persembunyian bagi diri sendiri.
Sebuah tempat yang tak mungkin bisa ditemukan orang lain.
Berada dalam situasi apa pun, dia selalu akan menyiapkan sebuah jalan mundur bagi diri sendiri. "Mereka sangka kau telah melarikan diri keluar dari hutan ini, siapa sangka ternyata kau bersembunyi di bawah pohon."
Yang-kong menghela napas.
"Tak heran Po Eng sering berkata, bila kau ingin bersembunyi, tak satu manusia pun di kolong langit yang bisa menemukan dirimu," katanya.
Pancapanah tersenyum.
"Aku pun tahu kau masih ingin mengucapkan sesuatu.” “Mengucapkan apa?"
"Mengatakan kalau aku adalah seekor rase tua."
"Kau bukan rase tua," Yang-kong tertawa, "Dua ratus ekor rase tua yang dikumpulkan menjadi satu pun belum tentu bisa menandingi dirimu."
Kalau tadi sudah tak terdengar suara manusia, kini suara itu terdengar kembali. Orang-orang yang telah keluar dari hutan tampaknya saat ini sedang bergerak mendekat.
Tanpa terasa Pancapanah berkerut kening.
"Kalian cepat masuk dan bersembunyi," serunya sambil menunjuk ke arah lubang di bawah pohon. "Gua ini lebih dari cukup untuk menampung kalian berdua."
"Bagaimana dengan kau?"
"Kalian tak usah menguatirkan aku," sahut Pancapanah, "Aku punya cara untuk menghadapi mereka.”
“Aku percaya."
"Tapi kalian baru boleh keluar setelah aku kembali nanti." Ia sudah bersiap untuk pergi, tiba-tiba sambil membalikkan badan katanya lagi, "Aku masih berharap kalian bisa melakukan sesuatu.”
“Apa?"
"Lepaskan pakaian dan sepatu yang kalian kenakan."
Pancapanah tidak menjelaskan mengapa mereka harus berbuat begitu, Yang-kong pun tidak bertanya.
Ia telah membalikkan badan, dengan cepat melepas baju luar serta sepatunya. Andaikata Pancapanah minta dia melepaskan semua bajunya, gadis itu pasti tak akan menolak.
Ia bukan termasuk gadis pemalu.
Dia percaya Pancapanah berbuat begitu pasti ada alasannya. Siau-hong pun telah melepas jubah luarnya. "Cukupkah hanya begini?"
"Cukup," sahut Pancapanah, "Hanya saja kau harus menyerahkan pedangmu itu kepadaku!"
Bagi seorang yang belajar pedang, di dunia ini hanya ada dua macam barang yang tak boleh diserahkan kepada orang lain secara sembarangan.
Pedang dan bininya.
Tapi Siau-hong tanpa ragu sedikit pun telah menyerahkan pedang miliknya itu kepada Pancapanah, karena dia seperti Yang-kong, selalu percaya kepadanya.
Pancapanah segera menepuk bahu Siau-hong, ujarnya, "Kau percaya kepadaku, kau adalah sahabatku."
Baru sekarang dia menganggap Siau-hong sebagai sahabatnya.
"Aku tak akan membuat kau kecewa." Ternyata gua di bawah pohon itu benar-benar cukup untuk memuat dua orang, hanya saja bila kedua orang itu tetap ingin menjaga jarak, tubuh mereka tidak saling bersentuhan, jelas hal semacam ini susah sekali.
Sedapat mungkin Siau-hong menarik badan sendiri ke belakang.
Sekalipun mereka masih berpakaian, namun pakaian yang mereka kenakan sudah teramat tipis.
Seorang gadis muda macam Yang-kong, hanya mengenakan satu stel pakaian yang begitu tipis, sementara jarak mereka berdua begitu dekat, keadaan mereka saat ini mirip "kuning telur ganda" dalam satu butir telur.
Asal seorang masih memiliki daya pikir, dia seharusnya dapat membayangkan bagaimana keadaan mereka berdua sekarang.
Siau-hong hanya bisa sekuat tenaga menarik mundur tubuhnya, sayang sekali tempat baginya untuk mundur sudah tidak terlalu banyak.
Biarpun gua itu basah dan gelap, dengus napas Yang- kong justru harum bagaikan angin di musim semi.
Bagi seorang lelaki yang masih muda dan berdarah panas, situasi semacam ini benar-benar menyiksa hati.
Tiba-tiba Yang-kong tertawa.
Sambil menatap Yang-kong, Siau-hong bertanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku senang tertawa, sering tertawa, tapi rasanya di masa sebelum ini, kau belum pernah bertanya kepadaku apa yang sedang ditertawakan."
"Dulu adalah dulu." "Sekarang mengapa harus bertanya?"
"Karena... karena aku ingin memperingatkan sesuatu kepadamu.”
“Soal apa?"
"Aku adalah seorang lelaki normal," mimik muka Siau- hong amat serius.
"Aku tahu kau adalah seorang lelaki!"
"Lelaki yang ada di dunia ini hampir semua sama." "Aku tahu."
"Oleh karena itu bila kau tersenyum lagi, aku bakal...”
"Kau bakal kenapa?" Yang-kong sengaja bertanya, "Mau pukul pantatku?"
Siau-hong menatapnya lama sekali, tiba-tiba dia tertawa.
Mereka berdua sama-sama tertawa.
Sesuatu hal yang semula sudah tak kuasa ditahan, tiba- tiba semuanya jadi buyar di tengah senyuman mereka.
Tatkala Pancapanah balik lagi ke sana, malam gelap yang panjang telah berlalu, hutan belukar yang lebat pulih kembali dalam kecerahan dan ketenangan seperti semula.
Paras Yang-kong dan Siau-hong pun telah cerah kembali, karena mereka tidak bersalah kepada orang lain, tidak pula pada diri sendiri.
Pancapanah menatap sekejap mereka berdua, tiba-tiba ia menepuk lagi bahu Siau-hong kuat-kuat.
"Ternyata kau memang sahabat karib Po Eng," katanya, "Ternyata Po Eng tidak salah melihatmu"
Tiba-tiba ia tertawa, senyumannya tampak amat misterius, ucapannya pun sangat aneh. Tiba-tiba ujarnya kepada Siau-hong, "Tapi sayang kau sudah mati."
"Aku sudah mati?" tak tahan Siau-hong bertanya, "Kapan aku matinya?"
"Tadi!"
"Bagaimana matinya?"
"Jatuh dari atas tebing tinggi dan mati terbanting di dasar jurang," kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Meski batok kepalamu sudah hancur-lebur bagaikan semangka yang terjatuh, namun orang lain pasti masih dapat mengenalinya."
"Kenapa?"
"Karena tubuhmu masih mengenakan pakaian yang pernah mereka saksikan, dalam genggamanmu pun masih terdapat pedangmu."
Lalu tambahnya, "Bila kau belum mati, tentu saja pedang sebagus ini tak bakal kau serahkan kepada orang lain."
Akhirnya Siau-hong memahami maksudnya, dia telah mencari orang sebagai pengganti dirinya, tewas mengenaskan di dasar jurang.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yang-kong.
"Tentu saja kau pun sudah mati," jelas Pancapanah, "Kalian berdua telah mati."
"Mengapa kami harus mati?"
"Mungkin kalian mati demi Po Eng, mungkin juga kalian terpeleset dan jatuh ke dasar jurang," kata Pancapanah, "Setiap orang mempunyai banyak alasan untuk mati." Setelah tersenyum, terusnya, "Siapa tahu ada orang menduga cinta gelap kalian ketahuan Po Eng sehingga terpaksa mati bunuh diri bersama."
Yang-kong tertawa geli, begitu juga Siau-hong.
Hati kecil mereka tak ada ganjalan, di antara mereka pun tak terjalin cinta terlarang, karena itulah mereka masih dapat tertawa.
Bila seseorang setiap saat dapat tertawa, jelas hal ini bukan sesuatu yang mudah.
Kembali Pancapanah bertanya kepada Siau-hong, "Tahukah kau mengapa aku harus membuat kalian mati?" Siau-hong menggeleng.
Sesungguhnya dia memang bukan termasuk orang yang gemar banyak bicara, apalagi belakangan dia lebih sering termenung dan membungkam. Bila dia tahu orang lain dapat menjawab pertanyaan yang sama, ia lebih suka memilih tutup mulut.
Tentu saja Pancapanah menjawab sendiri pertanyaannya itu.
"Karena aku ingin kalian melakukan satu pekerjaan."
Kemudian ia menjelaskan lagi, "Suatu tugas yang tak boleh diketahui siapa pun, tak boleh orang tahu apa yang sedang kalian laksanakan, hanya orang mati baru tak akan diperhatikan orang lain."
Yang dimaksud 'orang lain' tentu saja musuh mereka. "Tugas apakah itu?" kembali Yang-kong bertanya,
"Tugas apa yang kau ingin kami lakukan?" "Pergi mencari Po Eng." Sekalipun tidak disuruh, mereka tetap akan melaksanakan tugas ini.
"Aku tahu kalian pasti ingin membalas dendam, kemungkinan sekarang juga akan pergi mencari Wi Thian- bong, pergi menyatroni Lu-sam," kata Pancapanah.
Mereka memang mempunyai pikiran begitu.
"Tapi sekarang kita harus bersabar, harus dapat menahan diri," Pancapanah menerangkan, "Peduli apa pun yang ingin kita lakukan, semuanya baru bisa dilakukan setelah Po Eng berhasil ditemukan."
Jagat raya begitu luas, mencari seorang di kolong langit sama susahnya dengan mencari sebatang jarum di dasar samudra.
"Aku pun tahu tugas ini tidak mudah, namun selama kita percaya diri, sesusah apa pun pada akhirnya pasti dapat terlaksana juga."
Tiba-tiba ia membalikkan badan. "Kalian ikutlah diriku."
Dia mengajak mereka mereka menemukan sebuah pohon yang tak diketahui namanya, dari balik laras sepatunya ia mencabut sebilah pisau, dengan pisau itu dia gurat kulit pohon.
Tak lama kemudian dari balik kulit pohon itu meleleh sejenis cairan berwarna putih susu.
Pancapanah minta Siau-hong dan Yang-kong menadah cairan itu dengan kedua belah tangannya, kemudian perlahan menggosokkan cairan tadi ke wajah dan kulit tangan sendiri.
Kulit wajah mereka segera terasa gatal sekali, lalu terjadilah perubahan yang sangat aneh. Tiba-tiba saja kulit muka mereka berubah jadi hitam bahkan berkeriput, dalam waktu singkat penampilan mereka seolah sudah bertambah tua sepuluh tahun.
Kembali Pancapanah berkata kepada Siau-hong, "Suku kami memberi sebuah nama yang istimewa untuk pohon ini."
"Apa namanya?" "Kong-im!"
"Kong-im (Cahaya gelap)?"
"Suku kami menyebut pohon ini sebagai pohon cahaya kegelapan," kata Pancapanah, "Khasiatnya paling tidak bisa bertahan selama satu tahun, dalam setahun mendatang wajah kalian akan tetap terpelihara seperti ini, aku rasa tak akan ada orang yang bisa mengenali wajah asli kalian lagi."
Dia mengatakan "Aku rasa" dan bukan "pasti tak akan". "Oleh karena itu kalian tetap harus waspada, aku akan
membantu kalian mencarikan perlindungan lain."
"Perlindungan apa?" tanya Yang-kong.
"Mulai sekarang kau sudah bukan Yang-kong si Cahaya matahari biru dan kau pun sudah bukan Siau-hong yang tak takut mati."
"Aku tahu," jawab Yang-kong, "sekarang kami berdua sudah mati."
"Oleh karena itu sekarang kalian sudah menjadi dua orang yang lain," kata Pancapanah, "Kalian adalah sepasang suami-istri, pasangan suami-istri yang sangat miskin, harus banting tulang peras keringat untuk mempertahankan hidup." Di dunia ini memang banyak terdapat pasangan suami istri semacam ini, demi mempertahankan hidup, mau tak mau mereka harus banting tulang bekerja keras dari pagi hingga malam.
"Kalian adalah pedagang, khusus mengangkut hasil bumi Tibet dan menjualnya ke Tionggoan, serta mencari sedikit keuntungan."
Kemudian terusnya, "Oleh karena kalian tak punya keturunan, di rumah pun tak ada orang lain, dan dikarenakan hubungan kalian sebagai suami-istri rukun, maka ke mana pun pergi, kalian selalu pergi bersama- sama."
Siau-hong dan Yang-kong mendengarkan dengan seksama.
Kembali Pancapanah berkata, "Tentu saja kalian tak mampu menyewa Piausu untuk mengantar. Demi keselamatan sepanjang jalan, terpaksa kalian pun bergabung dengan rombongan saudagar."
"Rombongan saudagar?" Siau-hong tak habis mengerti. "Rombongan saudagar terdiri dari pedagang kecil
macam kalian yang bergabung jadi satu rombongan besar,"
Pancapanah menerangkan, "Nyaris hampir setiap bulan pasti ada rombongan besar semacam ini yang berangkat memasuki perbatasan."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku telah menyiapkan sebuah rombongan untuk kalian."
Cara kerja Pancapanah memang sangat teliti dan cermat, mau tak mau orang harus mengaguminya.
"Rombongan saudagar ini tidak terlalu besar, kurang lebih terdiri dari tiga-empat puluhan orang," katanya. "Pemimpin rombongan bernama Hoapula, sangat berpengalaman, cekatan dan sangat menguasai medan, konon sewaktu muda dulu dia adalah anggota pasukan perang dan pernah ikut penyerangan hingga ke negeri Turki!"
"Ke mana kita harus pergi menemukan dirinya?"
"Hau-ko-ki," sahut Pancapanah, "Mereka telah menetapkan tempat berkumpul di Hau-ko-ki"
Kemudian dia menambahkan, "Setelah sampai di sana, pertama-tama kalian cari dulu seorang yang bernama si Kantong tembakau, beritahu nama kalian kepadanya, lalu bayar ongkos jalan sebesar dua puluh lima tahil perak, serta- merta dia akan mengajak kalian menjumpai Hoapula."
Sekarang tersisa pertanyaan yang terakhir.
"Aku menggunakan nama apa?' tanya Yang-kong. "Kau adalah orang Tibet, bernama Maya."
Kemudian sambil memandang Siau-hong, terusnya, "Suamimu adalah bangsa Han, jadi dia bernama Biau Jong."
Kemudian sambil meletakkan sepasang tangannya di bahu mereka berdua, terusnya, "Aku berharap dalam setahun kalian sudah dapat menemukan Po Eng."
Dalam anggapan Siau-hong dan Yang-kong, orang yang bernama Hoapula tentunya seorang yang berperawakan tinggi besar, berwajah kereng, dan serius.
Ternyata dugaan mereka salah besar.
Hoapula adalah seorang pendek, sebetulnya tidak terhitung kelewat pendek, tapi oleh karena sepanjang tahun hidupnya berada di atas pelana, hal ini membuat sepasang kakinya berubah bentuk jadi melengkung hingga kelihatan bagaikan lingkaran bulat, apalagi sewaktu berjalan, gayanya lucu sekali.
Oleh karena itu dia selalu duduk di atas sebuah bangku yang amat tinggi, sewaktu memandang orang dengan sepasang mata julingnya, dari sorot matanya selalu tampil kesadisan dan kesan mengejek yang sinis, persis seorang bocah nakal yang sedang menonton kucing yang telah diikatnya, seperti juga seekor kucing sedang mempermainkan tikus hasil tangkapannya.
Untung dia memiliki sepasang tangan yang besar.
Tangannya itu lebar, lebar, kasar dan keras, ketika diletakkan di atas meja, bentuknya seperti dua bilah kapak yang dalam sekali bacokan dapat membelah meja itu jadi dua bagian.
Mungkin lantaran sepasang tangannya itulah membuat orang lain mau tak mau menaruh perasaan segan, jeri dan hormat.
Kelebihannya yang lain adalah dia jarang bicara, selalu si Kantong tembakau yang mewakilinya berbicara.
Tatkala Siau-hong dan Yang-kong berjumpa Hoapula, waktu itu sudah ada sepasang suami-istri yang lain menunggu dalam ruang tamu.
Sepasang suami istri seperti Siau-hong berdua, demi melanjutkan hidup, terpaksa siang malam mereka harus banting tulang dan berjuang.
Usia kedua orang itu termasuk cukup banyak, sang suami paling tidak berusia tiga-empat puluh tahunan, sedang istrinya berusia dua puluh tujuh-delapan tahunan, wajah sang suami banyak dihiasi guratan dan kerutan karena penderitaan, sementara bininya selalu menundukkan kepala, malu bertemu orang. Ketika sang suami menyerahkan ongkos sebesar dua puluh lima tahil perak, sang istri saking tegang jari tangannya pun ikut gemetar, sebab sepanjang hidupnya belum pernah mereka menyerahkan uang sebesar itu.
Dalam pandangan mereka, nilai uang sebesar dua puluh lima tahil mungkin jauh lebih berharga daripada emas murni sebanyak tiga puluh laksa tahil milik Lu-sam.
Baru pada hari kedua Siau-hong mengetahui nama mereka, ternyata sang suami bernama Tio Kun, sedang istrinya dari marga Oh, mereka memanggilnya Tio Oh-si.
Bagi seorang wanita yang sudah menikah, biasanya nama asli mereka akan terhapus dengan sendirinya.
Ooo)d*w(ooO