Postingan

 
BAB 16. PEDANG PEMUTUS SUKMA, MANUSIA PUTUS USUS

"Bukan," Cu Im seolah tidak mendengar kalau di balik ucapan itu terselip nada sindiran, "Tapi tak ada salahnya kau periksa dulu tangan milikmu, coba periksa apa benar di atas tanganmu telah muncul mulut luka kecil seperti bekas gigitan lebah beracun. Kalau mulut luka itu belum terjadi perubahan, mungkin kau masih tertolong."

"Aku masih tertolong? Siapa yang akan menolongku?" "Asal kau bersedia tetap tinggal di sini, setiap orang tentu

bersedia menolongmu."

Kepercayaan Siau-hong terhadap Yang-kong tampaknya sudah mulai goyah, tak tahan ia membalikkan badan, menghadap ke arah cahaya rembulan yang baru muncul dan menjulurkan tangannya yang pernah digenggam Yang Kong.

Baru saja tubuhnya berputar, tujuh titik cahaya bintang yang amat tajam telah memancar keluar dari tangan kiri Cu Im, cahaya tajam yang bukan dilancarkan oleh kekuatan pergelangan tangan, tapi dilontarkan dari dalam sebuah tabung dengan pegas yang sangat kuat. Biarpun banyak jenis senjata rahasia yang digunakan orang persilatan, namun Toh-beng-jit-seng-ciam (jarum tujuh bintang pencabut nyawa) tetap merupakan jenis yang paling menakutkan.

"Braak...!", begitu pegas dilepas, pedang besi di tangan kanan Cu Im kembali melancarkan sebuah tusukan kilat.

Gerak tangannya sudah tidak selambat tadi lagi, begitu pedangnya ditusukkan ke muka, cahaya pedang yang berkilauan telah mengunci mati seluruh jalan mundur Siau- hong.

Pada saat itulah dia seolah telah berubah menjadi seorang yang lain, dari seorang jago pedang yang berilmu biasa telah berubah menjadi jago pedang yang maha dahsyat.

Seandainya sejak awal dia telah menggunakan ilmu pedang semacam ini, dapat dipastikan Siau-hong tak akan sanggup menghindarkan diri.

Tapi sekarang dia telah mencabik hancur rasa percaya diri Siau-hong.

Siapa pun orangnya, bila mengetahui dirinya telah dikhianati sahabat yang paling dipercaya, perasaannya pasti akan jatuh, sedih dan pedih, apalagi waktu itu Siau-hong sedang memeriksa mulut luka di tangan sendiri.

Bukan satu pekerjaan yang mudah untuk memeriksa sebuah mulut luka selembut ujung jarum di bawah sinar rembulan yang redup.

Dia telah memusatkan seluruh pikirannya ke tangan sendiri, rasa percaya dirinya telah hancur, perasaan dan emosinya telah runtuh penuh kepedihan, bagaimana mungkin serangan pedang itu dapat dihindari? Begitu melancarkan tusukan maut, Cu Im telah memperhitungkan bahwa Siau-hong pasti mampus.

Seandainya Siau-hong benar-benar percaya kepada ucapan Cu Im, benar-benar memeriksa apakah tangannya terdapat mulut luka atau tidak, dapat dipastikan dia tentu mampus.

Tapi dia tidak mati, karena dia menaruh rasa percaya penuh terhadap Yang Kong, rasa percaya seorang terhadap manusia lain.

Karena kepercayaannya terhadap Yang Kong tak mungkin bisa digoyahkan dan dihancurkan hanya dikarenakan beberapa patah kata orang lain, oleh karena itu dia tidak mati.

Terhadap serangan pedangnya itu, Cu Im mempunyai keyakinan untuk berhasil, dia pun yakin benar dengan kemampuan jarum tujuh bintangnya.

Oleh karena itu begitu pedangnya melancarkan tusukan, dia telah menggunakan seluruh tenaga yang dimiliki, hanya teringat untuk "menyerang" tapi lupa untuk "bertahan".

Walaupun tusukan pedang itu sangat ganas dan dahsyat, tapi sayang terdapat titik kelemahan, terdapat bagian serangan yang terbuka. Dia sangka seluruh jalan mundur Siau-hong telah tertutup, tapi sayang dia seolah melupakan sesuatu, lupa kalau Siau-hong masih punya sebuah jalan lagi yang bisa dia lakukan, "menggunakan serangan untuk bertahan", menyerang masuk melalui titik kelemahannya, mengancam jantungnya, menyerang nadi kematiannya dan menerjang pusat pertolongannya.

Siau-hong tidak membunuh mati Cu Im.

Mula-mula dia bacok dulu pergelangan tangan Cu Im yang menggenggam pedang, kemudian menyelinap masuk ke posisi kosong musuh dan menyodok iga lawan dengan sikutnya, bersamaan jari tengah, jari telunjuk dan jari kelingkingnya menyodok ke muka, mencengkeram tenggorokan orang she Cu itu.

Semua bagian yang diserang adalah tempat mematikan, dalam keadaan begini mau tak mau Cu Im harus menghindar untuk menyelamatkan diri.

Tiba-tiba kelima jari tangan kanan Siau-hong berubah jadi cakar elang, dia cakar wajah Cu Im, mencongkel biji matanya sementara telapak tangan kirinya membabat bahu kanan orang itu.

Bila bahu kanan terhantam telak, niscaya pedang besi itu akan terlepas dari genggaman.

Menggunakan kesempatan itu Siau-hong rebut senjata musuh, di antara kilauan cahaya pedang, tahu-tahu ujung senjata itu telah menempel di atas tenggorokan Cu Im.

Akan tetapi dia tidak membunuh lawannya.

"Aku tak membunuhmu karena kau meskipun bukan sahabatku, namun bukan juga musuh besarku," ujar Siau- hong, "Kau ingin membunuhku pun karena suatu masalah, kau anggap hal ini harus dan wajib kau lakukan."

Cu Im yang berada di bawah todongan pedang masih tetap berdiri tenang, tak tahan ia bertanya juga kepada Siau- hong, "Kau benar-benar percaya kalau Yang-kong tak bakal mencelakaimu?"

"Aku percaya!"

"Mengapa kau begitu percaya kepadanya?"

"Karena dia belum pernah membohongi aku," jawaban Siau-hong amat sederhana.

Tiba-tiba Cu Im menghela napas panjang. "Aku sangat kagum kepadamu, kau memang seorang sahabat sejati," puji Cu Im, "Tapi sayang semua sahabatmu belum tentu merupakan sahabat sejati, oleh karena itu kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah pergi dengan membawa pedangku itu."

"Aku tidak menghendaki nyawamu, kenapa harus membawa pergi pedangmu?"

"Karena dalam waktu singkat kau bakal menggunakannya, mungkin bukan untuk membunuh orang."

"Lalu digunakan untuk apa?"

Cu Im menatap wajah Siau-hong, tiba-tiba sinar matanya menunjukkan perubahan yang sangat aneh, lewat lama kemudian baru ujarnya, "Pedang ini seperti pedang lainnya, kecuali bisa dipakai untuk membunuh orang, benda ini pun masih memiliki kegunaan lain."

"Apa kegunaan itu?"

"Untuk bunuh diri," kembali Cu Im menghela napas, "Bagaimana pun bunuh diri paling tidak jauh lebih enak daripada mati di ujung pedang orang lain."

Belum sempat Siau-hong buka suara, tiba-tiba dari balik kegelapan terdengar seseorang berkata dengan suara dingin, "Sekalipun dia akan bunuh diri, tak perlu memakai pedangmu, dia sendiri memiliki pedang, pedangnya jauh lebih tajam daripada pedangmu."

Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya pedang berkelebat dari balik kegelapan, lalu terlihat sebilah pedang melesat, seakan-akan muncul dari luar angkasa, langsung menancap di bawah kaki Siau-hong. Cahaya pedang berhawa dingin dengan di ujung senjata seolah terdapat sebuah mata elang yang buas dan menyeramkan sedang menatap dingin ke arahnya, itulah pedang 'Mata iblis' miliknya.

Selama ini pedang itu disimpan Po Eng dan Siau-hong belum pernah menyinggungnya lagi, dia seakan sudah melupakan kehadiran pedang itu.

Tapi kini pedang miliknya telah kembali, tentu saja bukan datang dari luar angkasa.

Pedang itu meluncur dari tangan seseorang.

Begitu Siau-hong berpaling, dia pun melihat orang itu, mata tajam seperti elang, berbaju putih seperti sukma gentayangan dan berdiri tegak bagai sebuah bukit karang.

Orang ini tak lain adalah Po Eng.

Siau-hong segera merasakan hatinya seakan tenggelam.

Ternyata orang terakhir yang akan mengantar kepergiannya adalah Po Eng.

Pedang yang diserahkan Cu Im kepadanya memang bukan dipakai untuk membunuh orang lain, di bawah ujung pedang Po Eng, pada hakikatnya dia sama sekali tak punya peluang.

Sebetulnya mereka berdua sudah merupakan sahabat yang sangat akrab, tapi sekarang mereka telah berubah jadi dua manusia dari dunia yang berbeda.

Tiba-tiba Siau-hong tertawa, selama hidup belum pernah dia tertawa sesedih dan sepedih ini.

"Sungguh tak kusangka kau pun akan datang mengantar kepergianku," kata Siau-hong, "Kalau memang kau berniat mengantar kepergianku, buat apa kau kembalikan pedang itu kepadaku?" "Karena pedang itu sesungguhnya memang milikmu."

Suara Po Eng sama sekali tak berperasaan, "Kau seharusnya masih ingat apa yang pernah kukatakan kepadamu, aku tak pernah mau barang milik orang hidup."

Tentu saja Siau-hong masih ingat. Mungkin pada hakikatnya Po Eng belum pernah menerima benda apa pun darinya. Pedangnya, persahabatannya, tak satu pun yang pernah dia terima.

Kembali Po Eng berkata, "Sekarang kau sudah memiliki pedangmu sendiri, kenapa tidak segera kau kembalikan pedang di tanganmu itu kepada Cu Im?"

Siau-hong mengembalikan pedang itu kepada Cu Im, kain pembalut gagang pedang berwarna hijau telah basah kuyup oleh peluh dingin.

Tiba-tiba Po Eng tertawa dingin lagi.

"Hingga sekarang mengapa kau belum pergi? Apakah ingin melihat aku membunuhnya?"

Perkataan ini ditujukan kepada Cu Im.

Terpaksa Cu Im beranjak pergi, sekalipun tak ingin namun mau tak mau terpaksa dia harus pergi juga.

Tiba-tiba Siau-hong tertawa dingin.

"Mengapa dia harus pergi?" tanyanya kepada Po Eng, "Sewaktu kau membunuh orang, mengapa takut dilihat orang lain?"

Dia tidak menunggu jawaban Po Eng, sebab dia tahu Po Eng tak akan menjawab pertanyaannya itu.

Dia telah mencabut pedangnya.

Sudah banyak tahun pedang ini mengikuti Siau-hong, setiap kali menggenggam gagang pedang itu, selalu timbul perasaan yang aneh, seolah sedang menggenggam tangan seorang sahabat karib saja.

Tapi ketika ia menggenggam pedang itu sekarang, perasaannya seperti sedang menggenggam tangan sesosok mayat, tangan jenazah yang sudah dingin dan kaku, seakan menggenggam tangan sahabat yang telah mati untuk terakhir kalinya.

Itulah perasaan seseorang yang belajar pedang, menggenggam pedang untuk terakhir kalinya.

Seandainya ia bersedia tetap tinggal di sini, seandainya dia bersedia tetap meninggalkan pedang itu di tanah, Po Eng tak bakal turun tangan.

Namun sayang ia tidak bersedia.

Sewaktu ia cabut pedang itu dari tanah, seperti dia telah mengubur diri sendiri ke dalam tanah.

Po Eng masih berdiri di sana bagaikan sukma gentayangan, memandangnya dengan dingin.

Tiada pedang di tangan Po Eng, tanpa menggunakan pedang pun Po Eng tetap bisa membunuh orang.

Dengan mengandalkan tangan kosong dia sanggup menghadapi bacokan golok Wi Thian-bong yang cepat bagaikan kilat, sekarang tentu saja dia pun sanggup menghadapi serangan pedang Siau-hong dengan sepasang tangannya.

Siau-hong telah melancarkan tusukan, serangan itu tertuju ke arah -jantung Po Eng, yaitu jantung Siau-hong sendiri. Karena tusukan yang dia lancarkan sama artinya seperti menusuk diri sendiri.

Dari balik kilau cahaya pedang ia telah menyaksikan "kematian". Cahaya pedang yang berkilauan tiba-tiba terhenti, terhenti persis di depan jantung Po Eng, ujung pedang telah menembus pakaian Po Eng yang berwarna putih.

Po Eng sama sekali tidak turun tangan, bahkan bergerak sedikit pun tidak.

Pada saat terakhir itulah Siau-hong baru menarik kembali tusukannya, bahkan dia sendiri pun  tertegun karena kejadian ini.

"Mengapa kau tidak membalas?" tak tahan tanyanya kepada Po Eng.

Di saat dia bertanya kepada Po Eng, Po Eng pun sedang bertanya kepadanya, "Mengapa kau tidak membunuhku?"

Kedua orang itu tak ada yang menjawab pertanyaan lawan, karena mereka sama-sama mengetahui jawabannya.

Persahabatan! Inilah satu-satunya jawaban.

Pada saat bersamaan bukan saja ujung pedang telah berhenti, seluruh pergerakan yang ada di dunia pun seakan- akan ikut terhenti.

Karena mereka telah sadar, peduli urusan orang lain akan berubah seperti apa pun, mereka berdua tetap tidak berubah.

Mereka masih tetap bersahabat.

Sahabat sejati selamanya tak akan berubah jadi musuh. Cahaya lentera di atas tiang kembali bercahaya.

Tiba-tiba Po Eng membalikkan badan, mengawasi cahaya lentera yang mirip kerlipan bintang di kejauhan, lewat lama kemudian perlahan-lahan ia baru berkata, "Pergilah, pergi ke bawah cahaya lentera itu, di sana ada seseorang sedang menantikan kedatanganmu." Siau-hong tidak berkata lagi. Po Eng pun tidak berkata lagi.

Ada sementara persoalan memang tak perlu diutarakan, semua yang terindah di dunia ini memang tak perlu diucapkan dengan kata-kata.

Mimpinya berada di Kang-lam. Kang-lam berada dalam alam impiannya.

Cahaya lentera pun jauh bagaikan di Kang-lam, ada seseorang menunggunya di bawah lentera, sesosok manusia dan dua ekor kuda.

Orang itu adalah Yang-kong, sedang kuda adalah Ci-hu. Baik orangnya maupun kudanya semua adalah sahabat karibnya, sahabat sejati yang selamanya tak pernah akan berubah.

Yang-kong hanya mengucapkan tiga patah kata, "Mari kita pergi!"

Cahaya bintang lebih jauh dari Kang-lam, tapi cahaya bintang dapat terlihat jelas, bagaimana dengan Kang-lam?

Impiannya berada di Kang-lam, impiannya memang dipenuhi kepedihan dan kesedihan seorang perantau yang jauh meninggalkan desa kelahiran.

Dia tak pernah dapat melupakan kepedihan dan kesedihannya ketika dengan berat hati meninggalkan Kang- lam. Kini dia akan segera kembali ke Kang-lam, tapi... mengapa hatinya masih dipenuhi kesedihan dan kepedihan?

Yang-kong selalu berada di sampingnya, tiba-tiba ia bertanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Kang-lam!"

Kang-lam tak lebih hanya susunan dua kata, tapi ketika mendengar dua kata itu, Yang-kong pun segera memperlihatkan mimik muka seperti orang sedang bermimpi, tiba-tiba ia mulai bersenandung, membawakan bait syair dari Liu Tun-thian.

Konon bait syair ini merupakan persembahan Liu Tun- thian kepada Sun-ho Tok-say ketika berada di kolam Che- tong, di mana secara tak sengaja terbaca oleh Wanyen Liang.

Konon gara-gara bait syair itu pula akhirnya tentara Kim di bawah pimpinan Wanyen Liang menyerbu wilayah Kang-lam.

Memang harus diakui, inilah bait lagu yang sangat indah, membuat mabuk yang mendengar, membuat mabuk pula yang mendendangkan.

Lewat lama kemudian Siau-hong baru menghela napas, katanya, "Mereka yang belum pernah datang ke Kang-lam, pasti ingin berkunjung ke sana, tapi bila telah tiba di Kang- lam, kau akan sangat merindukan Lhasa."

"Aku percaya."

"Sekembaliku ke Kang-lam, bila tahu ada orang hendak pergi ke Lhasa, aku pasti akan menitipkan sedikit kue bunga Kui dan gula-gula daun teratai, hidangan kecil dari Kang- lam untukmu," kata Siau-hong sambil tertawa paksa, "Sekalipun kau tak dapat menikmati bunga Kui dan bunga teratai dari Kang-lam, hidangan kecil itu mungkin bisa mengobati rasa rindumu itu."

Yang-kong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba dia ikut tertawa.

"Kau tak perlu menitipkan hidangan itu kepada orang lain," senyumannya mendadak berubah sangat aneh, "Aku bisa pergi membeli sendiri." "Kau akan membeli sendiri?" Siau-hong belum menangkap arti perkataannya, "Mau beli di mana?”

“Tentu saja beli di Kang-lam." Kini Siau-hong baru terperanjat.

"Mau membeli sendiri di Kang-lam? Jadi kau pun akan pergi ke Kang-lam?"

Yang-kong mengangguk perlahan, dari balik pandangan matanya pun seolah muncul impian tentang Kang-lam, bahkan tersisip pula rasa murung karena suatu perpisahan.

Siau-hong menghembuskan napas lega.

"Kau tak bakal ke sana," katanya, "Dapat kulihat kau merasa sangat berat untuk meninggalkan Lhasa, terlebih harus berpisah dengan sahabat-sahabatmu."

"Aku memang merasa berat untuk berpisah dengan mereka," sahut Yang-kong, "Tapi aku harus pergi ke Kang- lam."

"Mengapa?"

"Engkoh Eng minta aku mengantarmu, mintaku mengantarmu sampai Kang-lam," Yang-kong menerangkan dengan sedih, "Seharusnya kau tahu, terlepas tugas apa pun yang dia minta aku kerjakan, aku selalu menuruti semua perkataannya."

Sekali lagi Siau-hong tertawa paksa.

"Mengapa dia minta kau mengantar sejauh itu? Apakah dianggapnya aku sudah lupa jalanan untuk pulang?"

"Aku sendiri pun tak tahu mengapa dia minta aku mengantarmu," jawab Yang-kong, "Tapi karena dia sudah meminta, maka aku pun harus mengantarmu sampai di Kang-lam, biar kau hajar aku dengan pecut pun aku tak bakal pergi dari sampingmu."

Dia pun ikut tertawa walau kelihatan sangat dipaksakan, karena dia pun seperti Siau-hong, memahami maksud Po Eng.

Po Eng memintanya untuk mengantar Siau-hong karena tak lain ingin menjodohkan mereka berdua, setiap orang beranggapan bahwa mereka sudah merupakan sepasang kekasih.

Siau-hong termenung sampai lama sekali, tiba-tiba tanyanya lagi, "Setelah tiba di Kang-lam, apakah kau akan balik lagi?"

"Benar," tanpa berpikir panjang Yang-kong langsung menjawab, "Peduli sampai di mana pun, aku pasti akan kembali lagi."

Mendadak tanyanya lagi, "Tahukah kau manusia macam apakah Po Eng itu?"

"Dia adalah Toakomu."

"Dia adalah Toakoku, tentu saja Toakomu juga,"

Yang-kong menghela napas panjang, "Hanya sayang aku bukanlah adiknya!"

"Kau bukan?" Siau-hong sedikit melengak, "Lantas kau adalah apanya?"

"Aku adalah calon istrinya, kami berdua telah terikat tali perkawinan."

Siau-hong terperangah.

Kembali Yang-kong termenung sampai lama sekali kemudian baru berkata lagi, "Selama ini dia tak pernah membiarkan kau tahu akan persoalan ini, karena dia selalu mengira kau menyukai aku, dia tak ingin kau tertekan batinnya karena persoalan ini."

Siau-hong tertawa getir.

Kembali Yang-kong berkata, "Lagi pula dia selalu menganggap dirinya sudah terlalu tua, merasa tak pantas mengawini aku, selalu berharap aku bisa menemukan pasangan hidup yang jauh lebih baik, oleh karena itu. ”

"Oleh karena itu dia minta kau mengantarku, mengantar sampai ke Kang-lam," Siau-hong mewakilinya menjawab.

"Dia memang manusia semacam ini, selalu berpikir demi kepentingan orang lain, belum pernah memikirkan kepentingan sendiri," Yang-kong tertawa getir, "walaupun penampilannya selalu dingin dan kaku, dingin bagaikan bongkahan es."

Biarpun senyumannya mengandung nada pedih namun terselip pula perasaan bangga, bangga karena Po Eng.

"Demi kau, dia tak segan ribut sendiri dengan rekan- rekannya, bahkan tak segan menjamin dengan nyawanya kalau kau tak bakal membocorkan rahasia mereka," Yang- kong menghela napas panjang, "Tapi persoalan ini sampai mati pun tak nanti akan dia katakan kepadamu, sebab dia tak ingin kau memikul beban di hatimu, tak ingin kau berterima kasih kepadanya."

Siau-hong tidak berkata apa-apa lagi.

Dia kuatir air mata yang sudah mengembeng di kelopak matanya keburu meleleh.

Dia tak akan mengucurkan air mata secara mudah, perasaan terima kasihnya kepada seseorang pun tak pernah diucapkan begitu saja. Kembali lewat lama sekali, Yang-kong baru berkata, "Peduli bagaimana pun dia bersikap kepadaku, sikapku kepadanya tak pernah akan berubah untuk selamanya."

"Oleh sebab itu kemana pun kau pergi, suatu saat pasti akan kembali," sambung Siau-hong.

Yang-kong menatap pemuda itu dan bertanya perlahan, "Jadi kau memahami maksudku?"

"Tentu saja paham."

Yang-kong tertawa, dia benar-benar tertawa, senyumannya kembali secerah dan seterang sinar sang surya.

Kembali dia menggenggam tangan Siau-hong, kali ini dia menggenggam lebih kencang dan erat.

"Aku tahu, kau pasti dapat mengerti," katanya, "Aku pun tahu, dia tak akan salah melihatmu, kau memang merupakan sahabat karibnya."

Di saat mereka sedang tertawa paling cerah, paling gembira itulah tiba-tiba terdengar semacam suara keluhan yang amat menyedihkan.

Bukan rintihan, bukan pula dengusan napas memburu, hanya seseorang yang berada dalam keadaan sangat menderita, sangat tersiksa maka akan memperdengarkan suara semacam ini.

Suara itu sangat rendah, sangat jauh, seandainya bukan berada di tengah malam buta, apalagi di tengah gurun yang sepi, kemungkinan besar mereka tak akan mendengar suara ini.

Tapi sekarang mereka telah mendengarnya.

Tempat itu masih termasuk pinggiran gurun pasir, merupakan sebuah oase yang kini telah mengering. Oase yang mengering, ibarat wanita cantik yang telah memasuki usia senja, tak akan dapat menahan ayunan langkah siapa pun.

Yang-kong mengajak Siau-hong menelusuri jalan itu.

Bukan saja karena amat jarang orang berlalu-lalang di sini, dikarenakan pula orang lain tak akan menyangka orang yang begitu hapal dan menguasai situasi gurun pasir, akan melalui sebuah tanah oase yang tak berair.

Tak berair berarti tak ada kehidupan, para pelancong pasti akan menghindari tempat itu.

Pohon nan hijau sudah mulai layu dan mengering, yang tersisa hanya sebuah gundukan tanah yang tetap kokoh, tetap duduk dengan pandangan dingin, menyaksikan perubahan yang terjadi di alam jagat ini.

Suara yang mereka dengar ternyata berasal dari balik gundukan pasir itu.

Di belakang gundukan pasir terdapat sebatang pohon kering, di atas pohon kering tergantung tubuh seseorang, seseorang yang seharusnya sudah mati sedari dulu.

Siapa pun itu orangnya, tak mungkin bisa hidup hingga sekarang setelah mengalami begitu banyak siksaan dan penderitaan. Mungkin dia bisa hidup hingga kini karena orang itu hanya separoh manusia dan separoh lainnya iblis.

Ternyata orang ini tak lain adalah Thian-mo-giok-li (Iblis langit gadis suci) Liu Hun-hun.

Kalau bukan dikarenakan pakaiannya, nyaris Siau-hong tak dapat mengenalinya sebagai Liu Hun-hun.

Dia telah disiksa hingga tak berbentuk manusia, bahkan suara untuk merintih pun tak sanggup dikumandangkan, yang bisa dilakukan hanya memandang ke arah Siau-hong dengan sorot mata minta belas kasihan, memandang dengan matanya yang merah darah.

Dia tak ingin Siau-hong menolongnya, sebab dia sendiri pun tahu tak mungkin dirinya dapat hidup lebih jauh.

Yang dia inginkan hanya mati secepatnya.

Siau-hong memahami maksudnya, andaikata dia menghadiahkan sebuah tusukan, tindakannya itu justru merupakan sebuah tindakan bajik baginya, tindakan yang sangat berperi kemanusiaan.

Namun dia tidak turun tangan, sebab dia sendiri pun tak tahu bagaimana harus berbuat.

Bagaimana pun juga orang ini belum mati, tak seorang pun punya hak untuk menentukan mati hidupnya.

Yang-kong telah membuang muka, dia tak tega menyaksikan lebih jauh.

"Mari kita pergi!"

Siau-hong enggan beranjak pergi. Sambil menghela napas Yang-kong pun berkata, "Jika kau tak ingin menolongnya, tidak tega pula membunuhnya, mengapa tak mau pergi?"

Siau-hong sendiri pun tak dapat mengemukakan alasannya.

Dalam watak manusia memang terdapat banyak sekali ungkapan perasaan yang sukar dijelaskan, oleh sebab itu hampir setiap orang seringkali melakukan perbuatan yang dia sendiri pun tak dapat menjelaskan alasannya.

Siau-hong hanya ingin melepaskan perempuan itu dari tiang gantungan.

Yang-kong segera menarik tangannya. "Kau tak boleh menyentuhnya!" "Mengapa?"

"Sebab bila kau menyentuhnya, maka orang lain akan tahu kalau kita pernah datang ke sini, tahu kalau jalan inilah yang kita tempuh."

"Orang lain? Siapa pula orang lain itu?" kembali Siau- hong bertanya.

Yang-kong tak menjawab, karena "orang lain" telah mewakilinya menjawab, "Yang dimaksud orang lain adalah aku!"

Suara itu berasal dari belakang tubuh Siau-hong.

Bahkan Siau-hong sama sekali tidak merasakan kehadirannya, tahu-tahu orang itu telah berdiri di belakangnya bagaikan sesosok roh gentayangan.

Belum pernah ada orang tahu kapan dia akan datang, belum pernah juga ada yang tahu kapan dia akan pergi.

Siau-hong mengepal sepasang tinjunya, sampai ujung jari pun ikut terasa dingin membeku.

Tapi dia sama sekali tidak merasa keheranan, sebab sejak awal dia sudah tahu, Pancapanah tak bakal melepaskan dirinya.

Wajah Pancapanah sudah tidak dihiasi senyuman sehangat musim semi, penampilannya tampak begitu keras dan kokoh bagaikan emas, sinar matanya tajam bagai ujung gurdi.

Dalam genggamannya masih terlihat gendawa, di pinggangnya tergantung pula anak panah.

Kembali Yang-kong menghela napas. "Kusangka kau tak akan menduga bahwa aku bakal melalui jalanan ini, tak menyangka kau masih tetap berhasil menemukan kami."

Lalu setelah tertawa getir, terusnya, "Tak heran setiap orang bilang bila Pancapanah sedang mengejar seseorang, maka keadaannya ibarat seekor anjing pemburu sedang mengejar seekor ayam, belum pernah sekali pun mengalami kegagalan."

Pancapanah seolah sama sekali tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan gadis itu, dia masih mengawasi Liu Hun-hun yang tergantung di atas pohon tanpa berkedip. Tiba-tiba tanyanya, "Tahukah kalian siapa yang telah melakukan semua ini terhadap dirinya?"

"Memangnya kau tahu?" tanya Yang-kong, "Siapa?"

Lama sekali Pancapanah termenung sebelum akhirnya menyebut nama seseorang, "Dia adalah Kim-jiu si tangan emas."

"Tangan emas? Siapakah Tangan emas?"

"Kim-jiu bukan nama manusia tapi sebuah organisasi, organisasi yang dibeli Lu-sam dengan bayaran emas murni," Pancapanah menjelaskan, "Kim-jiu merupakan julukan mereka."

"Sebelum ini mengapa aku belum pernah mendengarnya?"

"Aku sendiri pun baru tahu belakangan," kata Pancapanah, "Thiat Gi, Wi Thian-bong, Liu Hun-hun, mereka adalah anggota organisasi ini."

"Kalau Liu Hun-hun adalah anggota organisasi ini, mengapa mereka bersikap begitu keji terhadapnya?" Mungkin saja Yang-kong tidak mengetahui alasannya, tapi Siau-hong tahu.

"Karena dia pernah mengkhianati mereka!"

Sewaktu berada dalam tenda berbulu elang berwarna hitam, dia minta setiap rekannya meninggalkan sebelah tangan.

Sekarang Siau-hong baru paham, apa sebabnya waktu itu Po Eng melepaskan Liu Hun-hun begitu saja.

Rupanya dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa rekan-rekannya pasti akan melakukan balas dendam terhadapnya.

Mata Pancapanah mulai berkerut kencang, tapi sinar matanya bertambah tajam, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa dingin, "Sungguh tak disangka ternyata mereka masih tinggal di sini dan belum pergi."

Kembali Yang-kong bertanya, "Mereka sengaja menggantung tubuh Liu Hun-hun di sini, apakah perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menakut-nakuti kita?"

Tapi dengan cepat ia jawab pertanyaan sendiri, "Sudah pasti begitu, maka dari itu kau harus secepatnya pergi mencari mereka, tunjukkan sedikit kehebatanmu kepada mereka."

Kembali dia menarik tangan Siau-hong, menariknya menuju ke tempat di mana kuda mereka dilepas.

"Kita pun harus segera pergi."

Tapi Pancapanah segera menghalangi jalan pergi mereka, melintangkan gendawa di tengah jalan.

"Kau boleh pergi, tapi dia tetap di sini." "Buat apa dia tetap tinggal di sini?" Yang-kong sengaja berlagak pilon, "Apakah minta dia menemanimu minum arak?”

“Bukan!"

Sebenarnya pertanyaan ini tak perlu dijawab, tapi Pancapanah tetap menjawab, bahkan menjawab dengan nada serius dan sungguh-sungguh.

Kembali Yang-kong menghela napas.

"Aku pun tahu, tentu saja kau tak akan minta dia untuk menemanimu minum arak, kau tak pernah minum arak sewaktu hendak membunuh orang."

Pancapanah mengakuinya, hawa napsu membunuh telah mencorong keluar dari balik matanya.

"Kalau sudah tahu, buat apa kau bertanya lagi?"

"Karena aku berharap kau hanya memintanya menemanimu minum arak," sikap Yang-kong pun berubah jadi serius dan bersungguh-sungguh, "Karena kau tak akan mampu membunuhnya."

Pancapanah tertawa dingin.

"Aku memahami maksudmu," katanya, "Kalian berdua boleh turun tangan bersama, asal dapat membunuhku, kau boleh membawa dia pergi."

Kemudian sepatah demi sepatah tambahnya, "Hanya setelah berhasil membunuhku, kau baru dapat membawanya pergi."

"Kau keliru besar," sekali lagi Yang-kong menghela napas, "Pada dasarnya kau sama sekali tidak memahami maksudku, aku tak pernah berniat membunuhmu, tapi kau pun tak nanti bisa membunuhnya, kalau tidak ” "Kalau tidak kenapa?" tukas Pancapanah, "Ketika dia ingin pergi, tak seorang pun dapat menghalanginya; begitu pula dengan aku, di saat aku hendak membunuh orang, tak seorang pun dapat menghalangiku juga."

Tangan kanannya telah menggenggam gendawa emas, kemudian dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menarik sebatang anak panah.

"Kecuali kali ini dia masih dapat menghindari kelima batang anak panahku!"

Kini gendawa emas telah dipentang, anak panah telah disiapkan, Ngo-hoa-sin-ciam yang selalu tepat sasaran telah siap melepaskan anak panah mautnya.

Mendadak Yang-kong berteriak, "Aku pun tak tahu apakah dia sanggup menghindari anak panahmu atau tidak, tapi aku tahu, jika panah itu kau lepaskan, maka yang mati terpanah bukan hanya dia seorang."

"Kau ingin menemaninya mati?" ejek Pancapanah sambil tertawa dingin.

Ooo)d*w(ooO

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar