Jilid 01
TEMPAT ini adalah sebuah kuil kuno.
Kuil itu terletak di suatu tempat yang jauh dari keramaian manus ia dan sudah la ma terbengkalai.
Tapi di mata orang persilatan, kuil bobrok itu de mikian rahasia, demikian misterius, seram dan mengerikannya sehingga mendirikan bulu ro ma setiap orang.
Ternyata setiap tengah mala m tiba, dari dalam kuil itu selalu berkumandang suara nyanyian yang begitu aneh dan mengerikan.
Kalau dibilang nyanyian itu indah, ternyata iramanya begitu aneh me me kikkan telinga.
Mengatakan seram dan me medihkan, nadanya ternyata tak sedap didengar, ibaratnya jeritan setan, atau teriakan kuntilanak, seperti pula lolongan serigala ma la m.
Pokoknya suara nyanyian itu sedemikian anehnya sehingga me mbuat orang tak tahu bait lagu apakah yang sebenarnya sedang dinyanyikan, sehingga dengan demikian, kuil itupun diliputi oleh suasana serba rahasia dan misterius.
Setiap kali orang mendengar ira ma nyanyian itu, segera merasakan suatu kekuatan gaib yang me mbuat orang sukar me lawan, me mbuat orang terbuai dalam la munan, terpesona, terkesima dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Selain itu, suara nyanyian itupun menga mbang di angkasa raya dan mengge ma tak menentu. Ketika tersiar sa mpa i berli-li jauhnya me mbuat orang sukar untuk me mbedakan dari arah manakah suara itu berasal dan di ma nakah sumber dari suara tersebut.
Sekalipun de mikian, suara nyanyian itu tak akan ma mpu untuk menge labuhi kawanan persilatan. Mereka semua tahu bahwa suara ini sudah menggetarkan hati setiap umat persilatan semenja k enam belas tahun berselang. Waktu itu banyak jago dari pelbagai perguruan dikirim untuk menyelidiki te mpat tinggal dari pe mbawa lagu aneh itu, tapi baik dari pihak kaum lurus maupun dari golongan kaum sesat selalu gagal untuk mempero leh hasil dan pulang dengan hasil yang nihil.
Ttba-tlba, pada tiga belas tahun berselang, irama nyanyian itu lenyap tak berbekas. Siapa tahu sepuluh tahun kemudian nyanyian misterius itu menga mbang ke mba li di tempat itu, bahkan dalam waktu singkat tiga tahun sudah lewat. Penduduk di sekitar te mpat itu yang sudah berotak sederhana, menaruh perasaan jeri dan hormat yang amat sangat terhadap nyanyian itu, sebab nyanyian aneh semaca m itu sudah berlangsung ha mpir tiga tahun la manya. Mereka se mua beranggapan: Pastilah tangisan ma laikat dari kahyangan yang turun ke bumi untuk me mperingatkan kepada semua orang, bahwa tak la ma lagi bakal terjadi bencana alam atau bencana peperangan yang akan melanda sekeliling te mpat ini. Itulah sebabnya semua orang merasa tak pernah tenteram.
Menyusul munculnya ke mbali suara nyanyian aneh itu, dunia persilatan yang selama ini berada dalam keadaan tenang, tiba-tiba saja menjadi geger dan tegang. Jago-jago lihai dari sembilan partai besar bersama-sama me ngutus orang-orangnya untuk me lakukan penyelidikan. Maka berbondong-bondong datanglah kawanan jago persilatan ke tempat itu. Penyelidikan dan pengala man yang dilakukan siang ma lam akhirnya mene mukan bahwa suara nyanyian tersebut berasal dari dalam kuil yang bobrok tapi angker itu.
Dua tahun belakangan ini, meski tak sedikit jagoan lihay dari dunia persilatan yang menyerbu ke dalam kuil dan berusaha menangkap pe mbawa lagu itu, tapi ibaratnya menimpuk anjing dengan pakpoa, begitu pergi tak pernah ke mbali lagi. Sejak itu kabar beritanya lenyap tak berbekas dan orangnya tak pernah muncul ke mba li di dalam dunia persilatan.
Tentu saja nasib beberapa orang itu kebanyakan mene mui bencana daripada ke mujuran. Mereka tewas secara misterius. Akibatnya, pandangan orang persilatan terhadap kuil bobrok itu pun segera berubah. Timbul suatu perasaan seram dan takut di hati mereka terhadap kuil itu, dan tak seorangpun yang berani me lakukan penyelidikan lagi atas kuil tersebut.
Maka teka-teki yang penuh rahasia itu, dengan me mbawa rahasia dunia persilatan yang tiada taranya, sampai detik ini belum pernah tersingkap secara jelas.
Malam itu adalah suatu mala m yang sangat gelap. Kabut tebal menyelimuti per mukaan tanah, angin dingin berhe mbus kencang, hanya beberapa titik cahaya bintang di angkasa yang memancar kan sedikit cahaya yang redup.
Kentongan kedua baru lewat, tiba-tiba di depan kuil bobrok yang terpencil, menyeramkan dan mengerikan itu muncul seorang pemuda berusia dua puluh tahunan. Agak la ma sudah ia berdiri di depan kuil angker itu.
Kemudian “Aaaih,” dia menghela napas sedih.
Pemuda itu sangat murung, juga kesepian. Dia seperti me mbawa perasaan murung yang sangat dalam. Setiap mala m tiba dia selalu berdiri mela mun di depan kuil itu. Sudah satu bulan lebih dia berbuat de mikian.
Entah udara sedang cerah atau sedang turun hujan badai dan kilat menyambar, dia selalu hadir di sana dan mendengar kan suara nyanyian yang misterius dan aneh itu. Tapi ia tak pernah berani untuk melangkah masuk ke dalam kuil itu barang satu langkahpun. Mungkin dia pun merasa takut dan kuatir terhadap kesela matan jiwanya.
Waktu itu, dia sedang mendongakkan kepalanya me mandang bintang yang bertaburan di angkasa. Ke mudian me mperdengarkan suaranya helaan napas panjang yang amat berat.
Cahaya bintang yang redup menyoroti wajahnya. Itulah selembar wajah yang me mbuat orang merasa keder, bukan lantaran jelek atau menyeramkan, sebaliknya karena wajah yang tampan itu me mbawa keangkuhan serta sikap dingin yang me nggidikkan hati.
Alis matanya tajam bagaikan pedang, matanya tajam bagaikan sembilu. Ia me miliki bibir yang tipis berbentuk busur, ini me la mbangkan kekerasan hati serta watak kepalanya yang besar, namun sorot matanya yang tajam itu justru me mbawa sinar pembunuhan yang tebal, seakan-akan dia adalah orang yang begitu dingin dan keja m.
Pemuda serba aneh itu ke mbali me mperdengarkan suara helaan napas beratnya yang mengenaskan. Menyusul ke mudian, bagaikan orang mengigau dia berguma m seorang diri:
“Ku See-hong, wahai Ku See-hong, kau memiliki dendam berdarah yang lebih dalam dari sa mudra, tapi... kau demikian tak becus. Sudah belasan tahun la manya kau berkelana dalam dunia persilatan yang penuh dengan tipu muslihat, tapi sedikitpun tanpa hasil.
Kini kau tahu telah bertemu dengan manusia aneh yang tiada taranya ini, mengapa kau malah menjadi ketakutan setengah mati? Sekalipun akibatnya akan merenggut nyawa mu, tapi kaupun harus tunjukkan keberanianmu serta semangat juangmu antara mati dan hidup, bila kau tak berani bertaruh maka kau akan selalu terombang-a mbing dalam dunia persilatan tanpa hasil apa-apa. Akhirnya kau akan mampus dan menjadi seorang manus ia berdosa yang paling tidak berbakti, kepada orang tua di dunia ini....
Mengertikah kau?"
Ketlika selesai berguma m, titik-titik air mata tiba-tiba meleleh keluar dan me mbasahi wajah Ku-See hong, si pe muda aneh itu. Jelas ia terbayang kembali akan semua pengala man pahit yang telah diala minya sewaktu kecil dulu. Ini me mbuat hatinya amat pedih dan me nyesal.
Setelah menghela napas panjang lagi dengan pedih ke mba li pemuda itu berguma m. “Ku See-hong, wahai Ku See-hong. Jangan lupa bahwa kau pernah bersumpah berat kepada langit untuk me mbalas dendam sakit hati ayah ibumu dan mencincang tubuh pembunuh itu menjadi berkeping-keping ”
Ketika berguma m sa mpai di situ, dari balik matanya yang jeli segera me mancar keluar suatu tekad yang besar, bersinar mata dingin keji dan mengerikan. Dia menghe mbuskan napas panjang lalu berdiri me matung dan tidak berbicara lagi....
Kentongan ketiga hampir tiba, pemuda aneh Ku See-hong yang me mbungka m itu mendadak mena mpilkan sesuatu tekad yang bulat. Pelan-pelan dia berjalan menuju ke arah kuil kuno itu. Jelas dia telah menga mbil keputusan untuk me mpertaruhkan nyawa dan pergi beradu nasib. Sebab lebih baik mati di dalam kuil daripada harus hidup di dunia bebas tanpa mendapatkan hasil apa-apa.
Mendadak pada saat itulah suara nyanyian yang aneh dan misterius itu berkumandang lagi dalam kuil.
Suara nyanyian yang melengking dan tajam itu berkumandang nyaring di tengah he mbusan angin barat laut yang kencang, begitu menger ikan dan seramnya suara tersebut, membuat bulu kuduk orang pada bangun berdiri.
Irama nyanyian yang aneh itu penuh mengandung tenaga gaib yang ma mpu me mbetot sukma orang, sekalipun seorang jago yang me miliki tenaga dalam amat sempurna, juga susah untuk melawan pengaruh nyanyian tersebut.
Tapi kenyataannya, Ku See-hong sama sekali t idak terpengaruh oleh suara nyanyian itu… bukankah hal ini menunjukkan sesuatu keanehan?
Ku See-hong me mang seorang pe muda yang berbakat bagus. Gemblengan sela ma ha mpir satu bulan di depan kuil itu me mbuat timbulnya sesuatu kebiasaan terhadap pengaruh irama iblis tersebut, sekalipun saat ini diapun terpengaruh juga oleh irama tersebut. Namun dalam lelapnya kesadaran dia mas ih me miliki tenaga yang kuat untuk meronta diri, bahkan otaknya yang cerdas berhasil menghapa lkan nada ira ma nyanyian yang aneh itu.
Semenjak setengah bulan berselang, irama nyanyian yang aneh itu sudah berhasil dihapalkan olehnya, malahan ia bisa me mbawanya sendiri untuk bersenandung, sekalipun bait syairnya masih tidak diketahui olehnya.
Itulah sebabnya, berhubung Ku See-hong sudah hapal dengan irama nyanyian itu, maka ketika itu dia sudah tidak terpengaruh lagi oleh tenaga gaib dari ilmu pe mbetot sukma tersebut.
Angin barat laut yang dingin berhe mbus se makin kencang, suaranya yang me milukan hati.
Dari balik sorot mata Ku See-hong terpancar keluar sinar kebulatan tekadnya yang tebal. Dengan me mbusungkan dada, dan me langkah lebar, dia berjalan mengha mpiri kuil itu. Sinar matahari yang tajam dengan cepat menyapu sekejap sekeliling ruang kuil yang bobrok itu.
Tampak bangunan kuil tersebut sangat besar dan luas. Dinding pekarangan yang mengitari bangunan itupun mencapai ratusan kaki luasnya. Ruang kuil itu menjulang tinggi di angkasa dan saling sambung- me nyambung, tapi berhubung sudah dima kan usia, pintu gerbangnya sudah ambruk dindingnya banyak yang retak dan berlubang, bahkan rumput ilalang tumbuh setinggi lutut. Pemandangannya amat mengerikan sekali. Bila seseorang bernyali kecil, dia tak akan berani, untuk mendatangi te mpat semaca m ini di tengah ma lam buta begini....
Sementara itu, angin barat laut yang kencang mas ih berhe mbus lewat tiada hentinya.
Pohon siong dengan ranting yang gundul dan bayangan batang yang kurus bagaikan setan yang sedang me mentangkan cakarnya. Betul Ku See hong bernyali besar, tapi selama satu bulan terakhir ini sudah terlalu sering ia mendengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati dari kawanan jago silat yang me masuki kuil itu.
Maka tak urung t imbul juga perasaan bergidik dalam hatinya. Semakin dipandang kuil itu, semakin terasa olehnya betapa seram dan menakutkannya pemandangan di sekeliling sana, apalagi ditambah bunyi ranting yang terhembus angin, semakin me na mbah seramnya suasana.
“Ciiit…. Ciiit….”
Serentetan jeritan tajam mendadak berge mas me mecahkan keheningan.
Dengan perasaan terperanjat buru-buru Ku See-hong mundur sejauh tiga langkah ke belakang.
Dengan cepat dia mengalihkan sinar matanya ke dalam ruang kuil yang gelap gulita itu, ternyata ada beberapa ekor kelelawar hitam yang sedang terbang keluar.
Setelah mengetahui suara apakah itu, Ku See-hong segera menghe mbuskan napas panjang, rasa tegang yang semula menyelimuti wajahnya la mbat laun menjadi tenang ke mba li.
Selangkah de mi selangkah kembali dia berjalan masuk ke dala m. Sekarang dia sudah mula i melangkah di atas jalan setapak yang berhiaskan batu hijau.
Mungkin karena sudah terlampau la ma kuil tersebut terbengkalai maka di atas batu-batu hijau itu sudah tumbuh lumut yang a mat tebal, ditambah lagi kegelapan ma lam me ncekam seluruh jagad, seandainya seorang tidak me miliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, mungkin baru selangkah saja berjalan akan terpeleset jatuh ke tanah.
Jalan beralas batu hijau yang menghubungkan pintu gerbang dengan ruangan tengah itu lebih kurang puluhan kaki jauhnya. Ketika baru selesai me lalui jalan berlumut itu, sekujur badan Ku See-hong sudah basah kuyup oleh keringat. Tiba-tiba… ia me ndongakkan kepala me mandang papan na ma di atas ruang tengah kuil itu, ha mpir saja ia menjerit kaget saking terperanjatnya.
Ternyata di atas papan na ma itu tertera beberapa huruf besar yang berwarna merah darah, tulisan itu berbunyi:
“SIAPA MASUK BAKAL MAMPUS”
Di kedua belah sisi papan nama itu masing- masing tergantung dua butir tengkorak manusia. Siapa saja pasti akan merasa terperanjat sekali bila menjumpai benda tersebut untuk perta ma kalinya.
Sinar matanya yang dingin menyeramkan ke mbali dialihkan me mandang sekeliling tempat itu. Kemudian dengan kening berkerut melangkah naik ke atas undak-undakan batu.
Tampak ruangan tengah kuil itu gelap gulita dan menggidikkan hati. Sarang laba-laba berada di mana- mana, debu setebal beberapa inci menghiasi lantai. Dengan langkah tegap Ku See-hong masuk ke dalam ruang tengah itu. Di sana ia saksikan patung arca sudah banyak yang hancur dan rusak, banyak di antaranya yang kutung tangan atau kakinya dan pakaianpun co mpang-ca mping, keadaannya sangat mengenaskan.
Angin dingin yang berhe mbus lewat dalam ruangan se ma kin mendirikan bulu ro ma orang, apalagi me mandang patung-patung arca dalam ruang tengah yang menyeramkan itu. Ini se mua me mbuat suasana sedemikian menggidikkan hati sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata.
“Keeekkk…” terhe mbus angin dingin, tiba-tiba pintu sebelah di depan ruangan itu terhe mbus hingga menutup sebagian. Suara menutupnya pintu yang me manjang dan me mendek itu kedengaran amat menusuk pendengaran.
Walaupun paras muka Ku See-hong sedikitpun tidak me mper lihatkan rasa takut atau ngeri padahal hatinya sudah merasa tidak tenang se menjak tadi. Dengan me mbesarkan nyalinya dan penuh diliputi ketegangan dia berjalan masuk ke dalam kuil yang mir ip rumah setan itu. Di serambi yang gelap dan suatu he mbusan aneh yang mirip jeritan setan akhirnya melintaskan juga setitik perasaan ngeri di atas wajahnya.
“Sreet. Sreet…” mengikuti suara langkah kakinya yang me mbawa bunyi ge merasak, jantungnya terasa berdenyut makin kencang.
“Weeess,” segulung angin dingin berhe mbus lewat.
“Aaahh…!” Ku See-hong me mperdengarkan jeritan kaget. Dengan kaki ge metar dia mundur tujuh-delapan langkah lagi ke belakang.
Kiranya waktu itu dia sudah sampai di depan sebuah bangunan loteng yang sangat lebar. Di atas undak-undakan di sebelah kiri dan kanan masing- mas ing berdiri tegak sesosok tulang belulang manus ia yang masih utuh. Di tengah tengkorak itu me mbawa sebuah benda perak yang bercahaya tajam.
Dalam lir ikan matanya yang sedang menegang itu, anak muda tersebut merasa seakan-akan kedua sosok mayat itu adalah mayat hidup yang sedang melotot ke arahnya dengan sinar mata ke marahan.
Tapi setelah mengetahui kalau tengkorak itu sudah lama mati, dia m-dia m Ku See-hong baru menghe mbuskan napas panjang, meski jantungnya masih berdenyut dengan kerasnya sebab kuil ini dalam kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada berita yang tersiar di luaran.
Setelah menenangkan sebentar hatinya, pemuda itu baru menengo k ke arah papan na ma di atas pintu gerbang itu. Di sana tercantum e mpat huruf merah darah yang berbunyi:
“PEK KUT YU HUN” (Tulang tengkorak sukma gentayangan). Di kedua belah sisi papan na ma tadi, mas ing- masing tergantung sebuah kepala tengkorak. Ku See-hong segera berguma m seorang diri,
“Pek-kut-yu-hua,… Pek-kut-hun…. Apakah yang dimaksudkan adalah tumpukan tulang-belulang manusia yang mati dalam kuil ini…?”
Berguma m sa mpai di situ, dia lantas melir ik sekejap ke dala m. Sayang suasana di dalam ruang itu gelap-gulita, susah dilihat jelas. Maka dengan cepat dia menga mbil keputusan di dalam hati dan me langkah naik ke atas undak-undakan batu itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi desingan lir ih, ke mudian terlihatlah benda berwarna perak di tangan tengkorak yang berada di sebelah kiri itu mengayun ke bawah dengan me mbawa suara desingan angin yang amat tajam.
Sreet, cahaya perak itu langsung menusuk ke ulu hati Ku See- hong.
Bukan saja serangan ini dilancarkan dengan kekuatan yang amat besar, jurus serangannya juga garang dan keji, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Mimpin pun Ku See-hong tidak menyangka kalau tengkorak tersebut bakal menyergap secara tiba-tiba. Dalam terperanjatnya cepat dia merendahkan badan sambil berputar arah secara lihay dan manis, ia menghindarkan diri dari sergapan maut tersebut.
Siapa tahu baru saja ia menghe mbus kan nafas lega. “Kraaak,” lagi-lagi terdengar suara desingan keras.
Kali ini, tengkorak yang berdiri kaku di sebelah kanannya mulai bergerak. Cahaya di tangannya itu secepat sambaran kilat menghanta m ke arah ja lan darah Ciok-sun-hiat di belakang batok kepala Ku See-hong.
Saking terkesiapnya, paras muka si anak muda itu berubah hebat. Keinginannya untuk hidup me mbuat badannya tanpa sadar miring ke samping ke mudian tangan kanannya memba lik sambil me le mpar ke belakang. Cahaya perak yang menganca m tiba itu segera menyambar ke arah t iang.
Siapa tahu belum sampa i jurus serangan dari Ku See-hong itu digunakan sa mpai matang, cahaya perak tadi tiba-tiba menyusup ke belakang, kemudian dari sisi kiri dengan me mbawa berpuluh-puluh titik cahaya tajam menya mbar lagi menganca m dua belas jalan darah penting di tubuh anak muda tersebut.
Perubahan jurus serangan, melancarkan pukulan, semuanya dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, sama sekali tidak terpaut jauh bila dibandingkan dengan jago no mor satu dari dunia persilatan.
Dalam terkesiapnya Ku See-hong segera jongkok dan menggulingkan diri ke bawah undak-unda kan batu. Setelah itu dengan cepat dia melompat bangun lagi, dengan napas terengah dan keringat bercucuran dia berdiri me mucat di situ.
Anehnya, begitu Ku See-hong sudah melo mpat turun dari undak- undakan batu tadi, tengkorak yang ada di sebelah kiri dan kanan itupun segera balik ke mba li pada posisinya semula.
Ku See-hong yang keras kepala tak mau menyerah kalah dengan begitu saja. Sekali lagi dia melo mpat naik ke atas undak-undakan batu itu. Tapi seperti yang pertama tadi, kembali dia me ngalami serangan demi serangan yang a mat gencar.
Tak sa mpai sepertanak nasi la manya, ia gagal untuk mene mbusi tempat tersebut. Kesemuanya ini dengan cepat me mbuat hatinya menjadi kecut dan sedih sekali.
Tapi pe muda itu me mang cukup cerdas. Setelah gagal dengan tujuh kali percobaannya pikirannya pun segera terbuka. Rupanya kedua sosok tengkorak itu me mang sudah mendapat latihan yang khusus untuk menyergap musuh- musuh yang datang dari luar.
Apabila kakinya tidak me langkah di atas undak-undakan batu itu, secara otomatis kedua sosok tengkorak itu juga tak akan bergerak, dan dengan sendirinya tak akan menyerang pula dirinya. Berpikir sa mpai di situ, Ku See-hong siap-s iap mengerahkan ilmu mer ingankan tubuhnya untuk menyeberangi ruangan tersebut, ketika ia mendonga kkan kepalanya, tiba-tiba dijumpa i pada beberapa kaki di atas pintu gerbang itu terlihat berjajar tiga buah rantai tipis yang menjulur ke bawah. Jarak antara rantai yang pertama dengan rantai lainnya adalah tiga jengkal lebih.
Tentu saja, dengan kecerdasan otak yang dimiliki Ku See-hong, tidak sulit baginya untuk menduga bahwa benda tersebut adalah semaca m senjata rahasia pembunuh yang berbahaya sekali. Maka rencananya untuk menyeberang dengan mengerahkan ilmu mer ingankan tubuh pun segera mengala mi kegagalan total.
Untuk sesaat lamanya anak muda itu berdiri tertegun dengan perasaan kecewa dan putus asa. Semua harapan di dalam hatinya juga turut musnah tak berbekas.
Sampa i la ma sekali, sekilas rasa girang baru me lintas di atas wajah anak muda itu, ia berhasil mene mukan suatu akal yang sangat bagus.
Sambil berpekik nyaring, secepat sambaran kilat, Ku See-hong me lo mpat naik ke atas undak-unda kan batu itu.
“Srrreeet…” tengkorak yang berada di sebelah kanan itu segera me mutar senjata peraknya sedemikian rupa sehingga menciptakan serangkaian bianglala berwarna perak, kemudian langsung menusuk ke iga kiri anak muda itu, serangannya garang sekali.
Sedari tadi Ku See-hong telah me mperhitungkan sa mpa i ke situ, di kala kakinya sedang menginjak di atas ubin batu itu, badannya segera menjatuhkan diri ke tanah dan berguling cepat menyusup ke arah dalam ruangan.
Detik terakhir menje lang tubuh Ku See-hong tiba di depan pintu ruangan itulah, mendadak dari atas pintu menyambar datang sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata, tahu-tahu sebuah pintu berpisau yang tajam telah meluncur ke bawah dan siap mencabik- cabik tubuh pe muda tersebut. Tak terlukiskan rasa kaget Ku See-hong menghadapi kenyataan itu. Hampir saja ia merasa kehilangan sukma lantaran terperanjatnya. Entah dari mana datangnya kekuatan, sekuat tenaga dia melejit ke sa mping.
“Blaaa m…!” diiringi suara yang sangat keras, pintu berpedang yang terdiri dari belasan buah pedang tajam itu langsung menancap di atas lantai yang mengakibatkan timbulnya percikan bunga api.
Ku See-hong mendengus tertahan… kaki kirinya yang terlambat menghindar segera ter makan tusukan sebilah pedang.
Sebuah mulut luka yang besar muncul di atas badannya, darah segar bercucuran me mbasahi seluruh badannya. Coba sedikit ia terlambat menghindar, niscaya tubuhnya sudah tertembus oleh tusukan pedang-pedang itu.
Dengan cepat Ku See-hong me lo mpat bangun la lu me mandang pintu pedang itu dengan termangu- mangu. Lama, lama sekali ia baru menghela napas panjang, pekiknya di hati:
“Ha mpir saja aku ma mpus di ujung pedang-pedang itu. Coba kalau ma mpus, dendam berdarahku tak akan terbalas untuk selamanya.”
Teringat tentang dendam berdarah itu, kobaran api kebencian yang kuat segera muncul dalam hatinya dan me mbakar badannya. Sekulum senyuman dingin yang kejam tersungging di ujung bibirnya, sinar mata yang me mancar pun merupa kan sinar merah berapi-api yang penuh dengan rasa benci dan dendam yang dala m.
Tapi setelah Ku See-hong dapat melihat jelas suasana dalam ruang dalam, sekali lagi ia bergidik, bahkan bersin beberapa kali. Kobaran api dendam dan rasa benci yang me mbara dalam dadanya itu seakan-akan terguyur oleh sebaskom air dingin, kontan lenyap tak berbekas.
Ternyata di dalam ruangan itu penuh berserakan tulang tengkorak manusia. Ada yang sedang berduduk, ada yang berbaring, ada pula yang berdiri, bentuknya aneh sekali. Dita mbah lagi ra mbutnya yang hitam dengan gigi putih yang menyeringa i keluar, me mbuat wajah mereka kelihatan begitu menakutkan dan seramnya hingga menggidikkan hati siapapun.
Ku See-hong merasakan dirinya seakan-akan berada di dalam neraka. Hatinya tercekat, bergidik dan ketakutan.
“Ciiit… ciiit…” serentetan bunyi aneh yang meme kikkan telinga berkumandang datang dari arah belakang.
Dengan cekatan Ku See-hong berpaling ke belakang, tapi dengan cepat ia menjerit kaget:
“Aaaah….”
Dengan ketakutan ia mundur beberapa langkah ke belakang.
Ternyata lebih kurang satu kaki dari Ku See-hong terdapat sebuah peti mati. Waktu itu penutup peti mati tersebut sedang pelan-pelan me mbuka sendiri….
Menyusul ke mudian, dari balik peti mati itu pelan-pelan muncul sebuah tangan aneh yang tinggal tulangnya melulu. Tangan aneh tadi mencakar kesana-ke mari dengan serawutan.
Jantung Ku See-hong kemba li berdebar keras. Dengan pancaran sinar mata yang aneh dan takut dia awasi peti mati itu tak berkedip, terasa kakinya menggigil keras dan le mas sekali. Kalau bisa dia ingin menjatuhkan diri untuk duduk di lantai.
“Blaaa m…!” t iba-tiba suatu benturan keras ke mbali terjadi.
Pintu di mana Ku See-hong lewat ketika me langkah masuk ke dalam ruangan tadi mendadak menutup dengan sendirinya, bahkan menutup rapat-rapat sehingga setitik cahayapun tak Na mpak.
Suasana di tempat itu menjadi gelap gulita hingga kelima jari tangan sendiripun susah dilihat. Udara menjadi sesak dan la mat- la mat Ku See-hong mengendus bau busuknya bangkai yang a mat menusuk hidung. Untung Ku See-hong me miliki ketaja man mata yang mela mpaui orang lain, walau berada di tengah kegelapan, ia mas ih dapat me lihat peti mati itu dengan jelas.
“Kreeek… kreeek…. Serentetan suara aneh yang menusuk pendengaran ke mbali mengge ma dalam ruangan itu.
Penutup peti mati tersebut kini sudah terangkat tinggi-tinggi ke udara, kemudian….
“Blaaa m!” diiringi suara keras penutup peti mati itu sudah terlempar jatuh ke tanah.
Bersama dengan me mbukanya penutup peti mati itu, sesosok tengkorak hidup pelan-pelan bangkit berdiri dari balik peti mati. Tengkorak itu jauh berbeda dengan tengkorak-tengkorak la innya. Dia me mpunyai rambut yang sangat panjang dan mata yang cekung ke dala m, tapi anehnya ternyata mata itu me mancarkan cahaya hijau yang berkilauan.
Dalam takutnya Ku See-hong merasa sangat ngeri. Ia tidak percaya kalau di dunia ini terdapat tengkorak hidup, tapi kenyataan telah berada di depan mata, tidak percayapun tak mungkin.
Dalam pada itu, tengkorak hidup itu sudah bangkit dari peti matinya dan me langkah keluar, ke mudian selangkah de mi selangkah la mban tapi tetap mengha mpiri Ku See-hong.
Pada saat itulah, ruangan yang gelap gulita dan sebenarnya tiada hembusan angin itu mulai dipenuhi oleh deruan angin yang sangat keras dan tajam.
Munculnya angin inipun sangat aneh seolah-olah berhembus keluar dari balik dinding di sekitar ruangan itu. Makin la ma angin itu berhembus se makin kencang. Suara deruan angin pun makin keras dan me mekikkan telinga.
Sekarang tengkorak hidup itu sudah berada lebih kurang e mpat jengkal dari Ku See-hong. Sepasang lengan panjangnya yang tinggal tulang itu sudah diluruskan ke depan mencengkera m tubuh pemuda itu. Segulung bau amis yang amat menusuk hidung segera menerpa tiba.
Ku See-hong yang berdiri begitu dekat dengan tengkorak itu dapat melihat dengan jelas bagaimana bagian dada dari tengkorak itu cuma terdiri dari tulang-tulang iga yang berjajar lurus, sementara di dalamnya kosong me lo mpong tak berisi apa-apa. Ini me mbuktikan kalau tengkorak itu benar adalah sesosok tengkorak hidup.
Bagaimanapun besarnya nyali pe muda itu tak urung dia menjer it kaget juga. Selangkah de mi selangkah dia mundur terus ke belakang.
Anehnya, ternyata mayat hidup itupun me mpercepat langkahnya mengejar ke manapun dia pergi.
Tiba-tiba, kaki Ku See-hong terkait oleh seonggok tulang belulang. Sambil menjerit kaget tubuhnya segera terpelanting dan terlempar sejauh beberapa kaki dari tempat semula.
Rupanya tempat di mana ia terjatuh barusan adalah sebuah peti mati juga. Ketika itu, penutup peti mati itu sedang terangkat ke atas, sesosok tengkorak lain sedang menjulurkan tangannya yang aneh untuk mencengkera m tubuh anak muda itu.
Ku See-hong ketika itu benar-benar ketakutan setengah mati sehingga sukma pun terasa bagaikan mau terbang meninggalkan raganya. Ia memperdenarkan suara auman yang agak gemetar. Suara itu seperti jeritan kaget, seperti juga teriakan ngeri, namun sepasang matanya masih mengawasi kedua sosok tengkorak hidup itu tanpa berkedip.
Dalam pada itu gerak pengejaran yang dilakukan kedua sosok tengkorak hidup itu makin la ma semakin cepat… dalam waktu singkat mereka sudah berada empat jengkal di hadapan Ku See- hong.
Dengan ketakutan pe muda itu ke mbali mundur ke belakang. Tiba-tiba… kaki Ku See-hong tergaet ke mba li oleh sesuatu benda. Rupanya membentur lagi pada sebuah peti mati. Dengan cepat dia berpaling, tapi sesosok tengkorak hidup tahu-tahu sudah muncul ke mbali di hadapan matanya.
Pemuda itu benar-benar ketakutan setengah mati. Matanya sampai terbelalak lebar sedang tubuhnya berdiri kaku seperti mayat.
Tengkorak-tengkorak hidup itu sama sekali tidak berlaku sungkan kepadanya. Lengan bertulang putihnya itu secara lurus disodok ke muka, menusuk dada pe muda itu, tapi gerakannya la mbat sekali.
Segulung bau a mis yang menusuk hidung segera berhembus lewat.
Mendadak Ku See-hong tersadar kembali dari lamunannya. Ia menyaksikan kuku tengkorak hidup yang tajam itu sudah mene mpe l di atas pakaian bagian dadanya.
Ku See-hong menjerit keras, secepatnya dia me mbuang diri ke belakang dan mundur cepat-cepat.
Belum lagi kakinya berdiri tegak, kembali segulung bau a mis ke mbali datang, dan dua sosok tengkorak hidup la innya dengan yang satu di kiri dan yang lainnya di kanan sedang me mutar kuku- kukunya yang panjang dan tajam mencengkeram ke atas bahunya.
Hampir pecah nyali Ku See-hong menghadapi anca man tersebut, buru-buru dia melo mpat lagi beberapa kaki ke belakang dengan badan gemetar. Kali ini saking paniknya ia sa mpai tak ma mpu menguasai diri dan terjatuh ke tanah, dadanya terengah-engah. Meski dalam kegelapan sukar untuk mengetahui paras mukanya, tapi bisa diduga muka itu tentu sudah berubah menjadi pucat pias seperti mayat.
Yang berada di hadapan Ku See-hong sekarang bukan hanya tiga sosok tengkorak hidup saja tapi tengkorak-tengkorak yang semula tiduran atau duduk itu sekarang telah berlompatan bangun sambil menarik sepasang lengannya, pelan-pelan mereka mendesak ke depan. Api setan menari-nari di udara, warna hijau menyeramkan yang mencorong dari balik lekukan mata tengkorak-tengkorak yang kosong itu mena mbah sera mnya suasana.
Tapi waktu itu he mbusan angin yang maha aneh tersebut telah menjadi tenang kembali, menyusul suara jeritan dan teriakan aneh yang menyeramkan berge ma a mat me me kikkan telinga.
Rasa putus asa me menuhi seluruh benak Ku See-hong. Ia me mbenci segala-galanya, ia me mbenci kepada Thian yang tidak me mber i keadilan kepadanya, membenci karena dendam sakit hati ayah-ibunya belum terbalas. Tapia pa gunanya me mbenci bila elmaut sudah berada di a mbang pintu?
Sesosok tengkorak hidup telah mendesak ke hadapan Ku See- hong. Sreeet… diiringi desingan tajam sepasang lengan tengkorak itu menya mbar ke bawah bersama-sa ma. Hanya kali ini gerak serangan tersebut dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Harapannya untuk hidup yang semula masih berkobar di dada Ku See-hong, kini sudah lenyap tak berbekas. Tanpa berpikir panjang lagi dia menjatuhkan diri berguling ke sa mping untuk menyela matkan diri, setelah itu dengan cepat dia melo mpat bangun.
Tiba-tiba, di tengah ruangan yang sunyi senyap itu berkumandang suara gelak tertawa setan yang dingin dan me me kakkan telinga.
“Heeehhh… heeehhh… heeehhh…. Heeehhh… heeehhh… heeehhh….”
Suara tertawa itu lamban, berat dan dalam meski amat pelan tapi saling susul menyusul hingga me mbuat seluruh ruangan bergetar dengan kerasnya.
Ku See-hong hanya merasakan seluruh tubuhnya seperti tersayat-sayat oleh pisau tajam mengikuti gelak tertawa yang mengge ma barusan itu. Sekujur tulang badannya seakan-akan tergetar lepas dan hancur berantakan hingga tak ada wujudnya lagi. Bagaikan orang gila Ku See-hong berteriak keras, tubuhnya secepat kilat menubruk ke depan dan malahan mengha mpiri salah satu di antara tengkorak-tengkorak hidup itu.
Bila seseorang dihadapkan pada ancaman maut, ada kalanya mereka tidak mela kukan perlawanan dan pasrah pada takdir yang telah mengaturnya, tapi lebih banyak orang yang berjuang sampai titik darah penghabisan me lawan ma laikat elmaut.
Dalam keadaan terancam oleh bahaya ini, Ku See-hong bukannya pasrah sebaliknya justru timbul suatu kekuatan untuk me mberontak yang kuat sekali. Dia ingin mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk me loloskan diri dari neraka yang menyeramkan itu.
Sekalipun harapan tersebut nampa knya sangat tipis, toh bukan berarti tak dapat dicoba, sebab bagaimanapun juga lebih baik berusaha daripada pasrah kepada nasib.
Entah dari mana datangnya kekuatan, sepasang lengan Ku See- hong dengan me mbawa segulung kekuatan yang dahsyat, bagaikan ambruknya bukit karang, langsung disodokkan ke tubuh sesosok tengkorak hidup yang sedang menubruk datang itu.
“Blaaammm…! ” ketika tengkorak hidup itu terma kan oleh serangan tersebut, tubuhnya hanya bergetar sedikit, kemudian sambil tertawa seram selangkah demi selangkah maju ke mbali untuk mengejar korbannya.
Keadaan Ku See-hong pada waktu itu sudah mirip orang gila, telapak tangan kirinya me mbaco k ke belakang, telapak tangan kanannya mendorong. Maka angin puyuh menderu-deru di sekeliling tubuhnya.
Kembali sesosok tengkorak hidup terhajar telak oleh pukulan beruntun tangan kiri kanannya, namun sa ma sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa.
Gelak tertawa aneh yang mengerikan mengge ma se makin keras, api setan yang berwarna hijau berkedip-kedip di balik kegelapan, seramnya bukang kepalang. Ku See berteriak keras, sepasang lengannya diputar sekenanya, bahkan kadangkala sepasang kakinya ikut me lancarkan tendangan berantai, pokoknya setiap kali ada bayangan hitam mendekatinya, serangan segera dilancarkan secara ngawur.
Akhirnya ia mendapat kese mpatan untuk melepaskan diri dari kurungan tengkorak-tengkorak hidup itu. Tanpa berpikir panjang dia lantas putar badan dan melar ikan diri secepatnya.
Dalam ruangan gelap gulita sukar me lihat kelima jari tangan sendiri ini, dia sendiri tak tahu ke mana akan pergi, pe muda itu cuma tahu lari dan lari terus secara me mbabi buta.
Mendadak Ku See-hong merasa ada segulung angin dingin berhembus datang dari arah belakang yang me mbuat tubuhnya terpelanting dan jatuh berjumpalitan di udara, menyusul ke mudian ia merasakan badannya seakan-akan sedang meluncur jatuh ke bawah dengan kecepatan luar biasa.
“Habis sudah r iwayatku kali ini!” pekiknya dia m-dia m.
Dia sadar bahwa tubuhnya yang besar itu sedang terjerumus ke dalam sebuah liang yang tak diketahui berapa dala mnya.
Ku See-hong menggerakkan tangannya kesana kemari secara ngawur dengan maksud me ncari pegangan, tapi usahanya selalu gagal, maka akhirnya ia me mperdengarkan jeritan anehnya yang me me kakkan telinga. Inilah jeritan atau rontaan terakhir dari seseorang menjelang datangnya elmaut.
Daya luncur tubuhnya serta deruan angin yang terpancar keluar me mbuat kesadaran pe muda itu la mbat laun menjadi ma kin kabur. Tapi jeritan kesakitan yang keras itu masih berkumandang keluar dari mulutnya.
“Blaaamm…!” satu benturan nyaring mengge ma di udara.
Ku See-hong merasakan tubuhnya terjatuh di atas sebuah benda yang lunak sekali. Dalam sekejap mata tubuhnya seakan-akan dikurung oleh banyak sekali benang yang tipis tapi kuat. Dia bagaikan seekor ikan besar yang terjebak di dalam jala, mau berkutik pun tak ada gunanya.
Rasa kaget yang luar biasa tadi sesungguhnya me mbuat kesadarannya hampir punah. Tapi sekarang, setelah dia tidak mendengar lagi suaranya deruan angin yang tajam itu, ma ka matanya pelan-pelan dipentangkan ke mbali.
Pemandangan pertama yang masuk dalam pandangannya adalah tubuh sendiri yang terkurung di dalam jaring raksasa itu.
Hampir saja dia tidak percaya kalau dirinya mas ih hidup, tapi ketika rasa girang itu me luap dalam hati, rasa sakit dan sedih menyelimuti pula benaknya. Betul dia berhasil lolos dari cengkeraman tengkorak-tengkorak hidup itu, tapi ia toh akan mati kelaparan juga dalam jaring ini?
Dengan sorot matanya yang tajam Ku See-hong mencoba untuk mengawasi ruang bawah tanah yang aneh itu. Butiran permata kelihatan berha mburan di atas dinding batu di sekeliling te mpat itu, cahaya tajam yang berkilauan itu me mbuat benda dalam ruang bawah tanah itu dapat terlihat je las.
Dia m-dia m ia menghe la napas panjang sehabis melihat kesemuanya itu, dia tak menyangka kalau di dunia ini masih terdapat banyak sekali keanehan yang mencengangkan hati.
Kiranya ruang bawah tanah di ma na ia berada sekarang me mpunyai kedala man kira-kira lima-ena mpuluh kaki sehingga bentuknya persis seperti sebuah sumur kuno yang sangat besar. Jaring yang menjaring tubuhnya sekarang tergantung pada ketinggian kurang lebih sepuluh kaki dari per mukaan tanah.
Sedangkan jala raksasa itu sendiri tergantung pada tiga batang tiang besi yang mas ing- masing lima kaki t ingginya. Tiang tersebut dibuatnya sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk menge mbang- ke mpis kan ja la di bawahnya. Pada dasar ruang bawah tanah itu terdapat sebuah sumur kuno berwarna hitam yang satu kaki luasnya. Letak sumur itu persis di bawah jala raksasa itu. Ketika Ku See-hong me ngawasi bagian yang lain, maka tanpa sadar dia menjer it kaget.
Apa yang sesungguhnya dia saksikan? Di sudut lain dari ruang bawah tanah itu tergeletak tulang tengkorak manusia yang berserakan di mana- mana.
Dengan suara pedih ia lantas berguma m seorang diri:
“Aaaii…. Lewat beberapa hari lagi tentu aku pun akan berubah menjadi sesosok tengkorak seperti itu.”
Teringat akan ke matian, tanpa terasa beberapa titik air mata jatuh bercucuran me mbasahi pipinya. Ia bukan takut mati, tapi merasa sedih karena setelah mati, sudah pasti dendam berdarah ayah-ibunya tak akan terbalas lagi. Tapi berada dalam keadaan demikian, apa pula yang bisa dia lakukan?
Menjerit kepada langit, langit tidak menjawab berteriak ke bumi, bumi tiada berpintu, terpaksa dia harus berdiam diri untuk menunggu datangnya maut yang akan merenggut nyawanya.
Suasana keheningan dan kesepian menceka m seluruh ruangan bawah tanah. Dalam keadaan sunyi senyap begini, dia merasakan kesedihan, ketakutan dan kengerian.
Kini Ku See-hong mulai merasa agak mendenda m terhadap manus ia aneh yang berada dalam kuil itu, ia me nganggap manus ia aneh tersebut terlalu keji, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Tapi berpikir lebih jauh, tanpa terasa dia harus menegur pula kepada diri sendiri:
“Se mua kejadian ini toh berlangsung karena kesalahanku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan cianpwe yang berada dalam kuil ini?
Dia kan berse medi dan mengasingkan diri di dalam kuilnya, tak pernah me lakukan kepada orang luar, sedangkan di depan kuil pun sudah tertera tulisan – Siapa berani masuk bakal ma mpus? Aku sudah tahu barang siapa masuk ke dalam kuil ini pasti akan mati, tapi nyatanya aku nekad masuk juga. Lantas kalau bukan diri sendiri yang disalahkan, apakah orang la in yang musti disalahkan?”
Setelah berhenti sejenak, guma mnya lebih jauh:
“Aaaaii, yang lebih mengge maskan adalah ketidak-becusanku sendiri, mana tak punya ilmu silat yang lihay, dendam berdarah sedalam lautan tak bisa dibalas lagi.”
Ku See-hong yang sedang berguma m dan menyesal kepada diri sendiri itu sama sekali t idak menyangka kalau waktu itu ada sepasang mata yang cekung lagi mengawasi gerak-geriknya dari balik kegelapan sana.
Terdengar Ku See-hong sekali lagi menghela napas pedih, guma mnya lebih jauh:
“Menurut pendapatku locianpwe yang tinggal dalam kuil ini bisa berwatak begitu aneh dan dingin tak berperasaan pasti disebabkan ia me mpunyai pengala man lagi yang demikian me medihkan hatinya sehingga dia merasa putus harapan. Aaaii, apalagi kalau kudengar suara nyanyiannya yang begitu me medihkan hati, meski aku masih belum me maha mi bait lagunya, tapi aku tahu bait tersebut pasti merupakan suatu nyanyian yang sangat meremukkan perasaan.”
Setelah berhenti sebentar, mencorong sinar aneh dari balik mata Ku See-hong, katanya lebih jauh, “Mungkin cianpwe ini seperti pula aku, me mpunyai dendam kesumat yang lebih dalam dari sa mudra.”
Sesudah mengerutkan dahinya, sekali lagi dia menghela napas panjang.
“Aaaai… andaikata ia dapat menyelamatkan jiwaku dan mengajarkan ilmu silat kepadaku. Thian di atas dan hati sanubariku sebagai saksi, aku Ku See-hong pasti akan menyelesaikan keinginan hatinya….”
Berguma m sa mpai di situ, Ku See-hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali. “Tidak, tidak. Sudah pasti persoalannya tidak me nyangkut masalah dendam sakit hati,” katanya kembali, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, siapakah yang sanggup melawan kehebatan dari locianpwe ini? Seandainya ia me mpunyai musuh, sudah pasti musuh- musuhnya itu sudah habis se mua terbunuh olehnya….”
Sewaktu Ku See-hong berguma m sa mpa i di situ, sepasang sorot mata bercahaya hijau yang berada di balik kegelapan itu ke mbali menatapnya tajam-tajam, sedangkan dalam hati kecilnya dia berpikir:
“Dugaan bocah itu tepat sekali, siapakah manusia di dalam dunia persilatan dewasa ini yang berani mengganggu seujung ra mbut lohu? Aaaaii, tapi….”
Manusia di balik kegelapan itu ke mba li melenyapkan diri tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Sementara itu Ku See-hong masih duduk ter mangu- mangu seperti orang bodoh, lalu sekali lagi menghe la napas sedih. Akhirnya dia duduk bersila di dalam jala dan mengatur pernapasan.
Rasa ketakutan yang menterornya semala man me mbuat pemuda itu merasa sedemikian penatnya sehingga tanpa disadari dia telah terlelap tidur.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ku See-hong dibangunkan dari tidurnya oleh serentetan suara gemuruh yang aneh sekali.
Dalam kejut dan terkesiapnya, buru-buru Ku See-hong bangun berduduk, kemudian mengawasi sekeliling tempat itu dengan sorot mata taja m. Akan tetapi tiada sesuatu keanehan yang berhasil dijumpainya.
Tapi suara gemuruh tersebut kian la ma kian bertambah besar, suara pantulan yang dihasilkan dari dalam ruang bawah tanah itupun seakan-akan terjadi pergolakan keras yang mengakibatkan timbulnya suara deruan angin yang mirip suara guntur. Anehnya, ternyata dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak terasa adanya hembusan angin.
Tiba-tiba Ku See-hong menjerit kaget. Ternyata ia telah mene mukan bahwa suara keras yang terdengar tadi berasal dari dalam sebuah sumur kecil di dasar ruang bawah tanah itu.
Dengan wajah terkejut bercampur tercekat Ku See-hong mengawasi sumur kecil itu tanpa berkedip.
Dalam pada itu suara ge muruh tersebut ma kin la ma se ma kin cepat dan gencar. Ibaratnya semburan lahar di kepundan gunung berapi, menyusul ke mudian terjadinya gempa hebat dalam ruangan yang me mbuat segala sesuatunya bergoncang keras.
Sedemikian besarnya kekuatan itu seakan-akan seluruh jagad akan menjadi musnah, begitu menggetarkan perasaan orang me mbuat sukma serasa tero mbang-a mbing di tengah sa mudra.
“Bluuup. Bluuup. Bluuup!” letupan de mi letupan yang beruntun terjadi di udara.
“Aaaah… suara ini adalah suara api!” pekik Ku See-hong dengan suara tertahan. “Inilah api gas dari dalam perut bumi. Aduuuh, celaka! Habis sudah riwayatku, kali ini aku pasti akan ma mpus dengan tubuh tak berwujud lagi.”
Di tengah suara letupan demi letupan yang menggelepar di udara itulah, bagaikan sebuah gunung berapi kecil, dari balik sumur kecil itu menye mbur keluar kobaran api yang menjilat-jilat setinggi ena m- tujuh kaki tingginya, bahkan mengikuti suara letusan-letusan yang beruntun itu, kobaran api kian la ma kian berta mbah dahsyat.
Ku See-hong yang berada di dalam jala ibaratnya seekor anak kijang yang dipanggang. Dia dipanggang hidup-hidup dari bawah secara keji.
Sekalipun jilatan api besar itu tidak sampai me mba kar tubuh Ku See-hong, namun hawa panas yang luar biasa besarnya itu cukup me mber ikan penderitaan dan siksaan yang hebat baginya. Berada dalam jala, Ku See-hong bergelindingan kesana ke mari seperti monyet ma kan terasi, bahkan tiada hentinya me mperdengarkan suara rint ihan kesakitan yang hebat.
Dengan sekuat tenaga Ku See-hong meronta dan me nggetarkan jala itu keras-keras dengan harapan bisa merobek jala itu dan terjun ke dalam kobaran api, sehingga dapat mati dengan cepat.
Siapa tahu jala raksasa itu justru terbuat dari serat ulat sutera yang dipintal bersa ma e mas. Meski lunak dan e mpuk, tapi kuatnya bukan kepalang. Sudah barang tentu harapannya tak bisa terpenuhi.
Ku See-hong yang masih muda belia ini terpaksa harus menerima siksaan berat yang tak akan pernah dialami orang lain. Jilatan api yang membara menyerang dan menyengat badannya terus menerus tanpa hentinya.
Tapi anehnya, kobaran api yang menye mbur keluar itu de mikian kerasnya sehingga sama sekali tidak mengandung asap. Kalau tidak, mungkin sedari tadi si anak muda itu sudah mati sesak oleh asap yang tebal.
Kulit badan di sekujur tubuh Ku See-hong telah terpanggang sehingga berubah warnanya menjadi merah me mbara. Panas, perih dan sakitnya luar biasa, tapi ra mbut dan bajunya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hangus atau ikut terbakar. Kenyataan ini me mang sedikit agak aneh.
Napas Ku See-hong mulai terengah-engah, aliran darah di sekujur badannya mengalir sema kin keras dan mendidih hebat. Dia bergulingan kesana ke mari berusaha mengurangi penderitaannya. Tapi usaha tersebut hanya sia-sia belaka, sebab sengatan hawa panas yang menyerang badannya kian la ma kian berta mbah dahsyat.
Kobaran api yang tak berperasaan, makin la ma me mbara semakin dahsyat. Suhu udara makin meninggi dan hawa panas menyesakkan napas. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk merasakan penderitaan yang sedemikian hebatnya itu. Akibatnya setelah memperdengarkan jeritan ngeri yang me milukan hati se maca m jeritan menje lang ke matian, sekujur badannya bergulingan kesana ke mari dengan sekarat.
Ku See-hong merasa darah dalam tubuhnya seakan-akan telah monger ing. Sekujur tulang belulangnya seperti mau retak dan hancur berkeping- keping karena kepanasan, di sana-sini sudah mulai bermunculan bagian tubuh yang hangus dan menyiarkan bau busuk. La ma kela maan….
Sekarang hidung Ku See-hong dengan tajam dapat mengendus bau daging yang hangus. Baunya bukan kepalang lagi, sekuat tenaga, dia bergulingan lagi kesana ke mari berusaha meronta dan me lepaskan diri dari siksaan, tapi la mbat laun rontaannya itu makin la mban… makin la mban dan akhirnya berhenti sa ma sekali.
Siapa tahu pada saat itulah, di kala jiwanya sudah kritis dan berada di ujung tanduk, mendadak dari sumur kecil itu me ledakkan segumpa l kobaran api yang maha besar, menyusul kemudian diir ingi serangkaian suara ge merutukan, jilatan api panas itu lenyap tak berbekas dan suasana pun pulih ke mbali dalam keheningan.
Hawa panas dalam ruang bawah tanah itupun dengan cepat me mbuyar ke mana- mana, dalam waktu singkat suasana seram ke mbali menyelimuti sekeliling te mpat itu.
Dada Ku See-hong naik turun tiada hentinya. Sepasang matanya menjadi merah me mbara, mulutnya me mperdengarkan suara rintihan kesakitan, sedang kesadaran otaknya sudah ma kin kabur.
Dalam keadaan antara sadar dan tak sadar ini, Ku See-hong hanya bisa berpikir di hati:
“Oooh, Thian, mengapa Kau tidak cepat-cepat biarkan aku mati saja? Mengapa Kau harus menggunakan cara sekeji ini untuk menyiksa diriku? Apakah nyawaku benar-benar sedemikian tidak berharganya…?” Tiba-tiba telinga Ku See-hong mendengar suara menga lirnya air. Dengan cekatan dia meronta dan bangun berduduk. Dengan sorot mata ngeri diawasinya sumur kecil itu tak berkedip.
Pada waktu inilah, jala raksasa yang mengurung Ku See-hong itu seakan-akan dikendalikan oleh seseorang. Pelan-pelan meluncur ke bawah, langsung masuk ke dalam sumur kecil itu. Ku See-hong segera tahu bahwa siksaan yang lebih keji telah berada di ambang pintu, tapi saat itu jangankan melawan, tenaga untuk meronta sudah tidak dimilikinya lagi, apalagi ia masih terkurung di dalam jala tersebut. Terpaksa dia hanya bisa pasrah, membiar kan nasib buruk maca m apapun menimpa dirinya.
Titik-titik air mata ke mbali me leleh keluar me mbasahi wajah pemuda itu. Kejadian mengenaskan yang pernah dialaminya di masa kecil dulu sekarang terbayang kemba li dalam benaknya. Ia merasa seakan-akan menyaksikan seorang le laki dan seorang perempuan yang bermandi darah sedang meratap, meronta di dalam neraka.
“Aduuuhh…. Dingin sekali!”
Ku See-hong me njerit dengan mengenaskan, sekujur badannya gemetar keras karena kesakitan.
Waktu itu, jala tersebut telah diceburkan ke dalam sumur kuno yang amat dalam itu. Ternyata air dalam sumur adalah air yang dinginnya bagaikan es.
Padahal kulit badan di sekujur tubuh Ku See-hong sedang merasa kesakitan hebat lantaran digarang dengan api, begitu direndam di dalam air yang dinginnya bagaikan es ini, kontan saja penderitaan yang dialaminya itu me mbuat dia tak sanggup menahan diri.
Tragisnya jala yang tak berperasaan itu justru menyusut semakin kecil pada waktu itu. Menyusut sedemikian rupa sehingga luasnya hanya cukup bagi pemuda itu untuk berdiri kaku. Maka dari itu sekalipun Ku See-hong tak kuat menahan siksaan air dingin yang menyayat badan, ia sama sekali tak berdaya untuk mero nta. Lambat laun darah yang menga lir di dalam tubuh Ku See-hong makin me mbeku. Sekujur tubuhnya tegak kaku dan mengeras seperti batu, napasnya semakin lirih sedangkan sorot matanya mula i kabur dan ter mangu- mangu seperti orang bodoh.
Dia ha mpir mati kedinginan, untuk sesaat tubuhnya sama sekali tak ma mpu berkutik lagi.
Di kala kesadaran Ku See-hong sudah ha mpir mulai punah, pelan-pelan jala raksasa dikerek naik lagi ke atas dan meninggalkan permukaan ruang bawah tanah itu setinggi sepuluh kaki.
Sungguh kasihan Ku See-hong, sepasang matanya terpejam rapat-rapat, sekujur badannya kaku karena kedinginan, tubuhnya berdiri kaku tak ma mpu berkutik, mukanya pucat pias sama sekali tak berdarah. Keadaannya waktu itu tak jauh berbeda dengan sesosok mayat.
Suasana dalam ruang bawah tanah itu pulih kembali dalam keheningan yang luar biasa, suasana seram dan menggidikkan hati mulai menyelimut i sekeliling tempat itu.
Mendadak dari atas langit-langit ruang bawah tanah itu berkumandang ke mbali suara pekikan aneh yang menyeramkan. Suara itu bagaikan tangisan setan atau lolongan serigala, pokoknya begitu seramnya suara itu sehingga sukar dilukiskan dengan kata- kata.
Suara pekikan itu menggetarkan seluruh ruangan bawah tanah seperti ada berpuluh r ibu ekor kuda yang lari bersama saja, me mbuat perasaan orang tercekam dalam keadaan yang luar biasa.
Menyusul pekikan nyaring itu, dari langit-langit ruang bawah tanah yang tingginya lima enam puluh kaki itu melayang turun sesosok bayangan manusia. Tubuhnya begitu enteng seperti bulu. Dengan ringannya, bagaikan sukma gentayangan dia melayang turun ke atas tiang di ma na jala itu tergantung. Manusia aneh bagaikan sukma gentayangan ini me mpunyai rambut yang terurai awut-awutan, mukanya putih seperti mayat. Keadaannya sangat menyeramkan.
Mata kirinya cacad sebelah dan tinggal sebuah lubang yang kosong, lengan kanannya kutung, sedangkan sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah sudah membusuk dan tak karuan keadaannya, sehingga kelihatan tulang tengkoraknya yang berwarna putih. Keadaan tersebut sangat mengerikan, me mbuat orang menjadi tak tega untuk me mandang lebih jauh.
Manusia aneh itu menghe mbus kan napas panjang, lalu menge luarkan tangan kirinya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu untuk menghantam pelan ke ujung tiang di ujung sebelah depan.
“Pluuuk…!” benturan nyaring terjadi.
Mendadak jala itu menyebar dan me mbentang lebar sehingga tubuuh Ku See-hong yang kaku itu terjatuh dan roboh terkapar di atas jala. Ia mas ih belum bisa berkutik sa ma sekali.
Tidak Na mpak gerakan apa yang digunakan tahu-tahu manus ia aneh itu sudah berada di sisi Ku See-hong. Gerakan tubuhnya ibarat sukma gentayangan, membuat ia kelihatan se makin menger ikan. Pada hakekatnya belum pernah ada jago silat dalam dunia persilatan yang me miliki ilmu sakti sedahsyat itu.
Dengan sebuah matanya yang hijau bercahaya, manusia aneh itu mengawasi sekejap sekujur badan Ku See-hong. Sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya yang menyeringai aneh itu. Mungkin senyuman tersebut baru pertama kali ini diperlihatkannya setelah lenyap selama berpuluh tahun la manya.
Tiba-tiba senyuman manusia aneh itu lenyap kembali, wajahnya berubah ke mbali menjadi dingin menyera mkan, me mbuat orang merasakan hatinya bergidik bila berjumpa dengannya. Kemudian manus ia aneh itu merentangkan kelima jari tangannya lebar-lebar. Dengan gerakan aneh secara beruntung dia totok dalam nadi penting Jin dan Tok- meh di tubuh anak muda itu.
Kemudian didudukkannya Ku See-hong di atas jala. Lengan kirinya pelan-pelan diangkat dan dengan lima jari yang terbentang lebar dia ancam jalan darah Sing Cong, Leng-siu, Sin-hong, Poh- long, dan Yu-bun. Lima buah jalan darah penting di badan pe muda itu.
“Sreeet… sreeet…!”
Lima gulung cahaya putih me mancar keluar dari ujung jari manus ia aneh itu dan menyambar secara telak ke setiap jalan darah tadi. Begitu jalan darahnya terserang secara telak, sekujur badan Ku See-hong ge metar keras, tapi dengan cepat menjadi kaku ke mbali.
Kelima jari tangan manus ia aneh itu ke mbali beralih ke arah lima jalan darah Tong-kok, Sang-si, Im-tok, Bong-gi, Tiong-cu, lima buah jalan darah penting di bagian tubuh yang lain.
“Ceeesss,” lima gulung cahaya putih kembali me mancar keluar dari kelima jari tangannya dan menyambar kelima buah jalan darah tersebut secara telak. Seperti keadaannya tadi, Ku See-hong gemetar lagi beberapa kali ke mudian kaku ke mbali seperti semula.
Begitu secara beruntun manus ia aneh itu melancar kan beberapa kali serangan cahaya putih dan menghajar semua jalan darah penting di sekujur badan pe muda itu.
Beberapa waktu kemudian, manusia aneh itu baru bangkit berdiri, menghe mbus kan napas panjang dan dari dalam sakunya menge luarkan sebutir pil berwarna merah yang dicekokkan ke dalam mulut Ku See-hong.
Di kala se mua pekerjaannya telah selesai, kembali manus ia aneh itu berpekik nyaring, lengan kirinya berputar me mbentuk sebuah gerak lingkaran, lalu seperti bulu ayam badannya dengan enteng me layang ke mbali naik ke atas langit-langit. Pada saat tubuh manusia aneh itu me layang keluar dari ruang bawah tanah, jala raksasa tadi pelan-pelan mengecil ke mbali sebagaimana keadaan tadi. Tubuh Ku See-hong disekap ke mbali tegak lurus hingga sa ma sekali tak sanggup berkutik lagi.
“Blaaamm…!” dari atas dinding ruangan yang licin, tiba-tiba me luncur sebatang toya besar berwarna hitam, ke mudian…. “Blaaa m…!” me nghajar keras-keras di atas tubuh pemuda itu.
“Weesss,” dari arah lain kembali muncul sebatang toya yang secara cepat dan keras menghantam pula punggung pe muda itu keras-keras.
“Blaaa m!” Benturan keras ke mba li terjadi.
Namun ketika itu Ku See-hong mas ih belum sadar dari pingsannya, sekalipun sepasang toya itu menghajar punggungnya keras-keras, ia tidak merasakan sakit sedikitpun juga, ma lah sebaliknya jala raksasa yang tergantung di tengah udara itu berputar setengah lingkaran.
Rupanya alat rahasia penggerak toya itu sudah dija lankan. Seperti titiran air hujan, pukulan demi pukulan berha mburan ke atas badan Ku See-hong dan menimbulkan serangkaian ira ma yang nyaring.
Anehnya, kedua toya itu tidak menghajar di satu tempat saja, me lainkan atas bawah tak menentu. Daya pukulan dari setiap pukulan toya itu kerasnya bukan kepalang, ini bisa dilihat dari desingan angin yang dibawa dalam setiap ayunan toya tersebut.
Andaikata orang biasa yang ter makan pukulan itu, jangan heran kalau orang itu tak akan sanggup untuk bangun lagi sela ma- la manya.
“Aduuuhh…!” pekikan kesakitan berge ma me mecahkan keheningan dalam ruangan itu.
Saking sakitnya oleh pukulan toya itu, Ku See-hong sampai tersadar dari pingsannya. Padahal daging badannya yang terbakar oleh api, kemudian terendam dalam air tadi, masih sakitnya bukan kepalang. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya bila dihajar ke mbali oleh ayunan toya yang demikian kerasnya itu.
Siksaan se maca m itu betul-betul kejam dan tak berperike manusiaan. Jangankan tubuh Ku See-hong yang hanya terdiri dari darah daging, sekalipun terbuat dari baja pun lama- kela maan tak akan tahan juga. Tak heran kalau ia menjerit-jerit kesakitan seperti babi yang mau dise mbelih.
Tapi sekujur tubuh Ku See-hong sudah terbelenggu dalam pengepresan jala raksasa itu hingga sa ma sekali tak berkutik, sa ma sekali tak bisa meronta. Dia hanya pasrah dan membiar kan hujan toya yang tidak berperasaan itu menghajar tubuhnya habis-habisan.
Jerit kesakitan dan suara pukulan toya bercampur aduk menjadi satu membentuk serangkaian ira ma yang aneh. Ku See-hong betul- betul tidak tahan lagi, dia mula i menjerit-jerit seperti tangisan setan di tengah ma lam buta. Dalam suasana hening se maca m ini, teriakan-teriakan itu kedengaran mengerikan dan mendir ikan bulu roma siapapun.
Hampir se mua kulit badannya sudah pecah dan terluka. Darah kental me mbasahi seluruh badan anak muda itu, kulit wajahnya mengejang keras menahan penderitaan yang luar biasa, rambutnya awut-awutan seperti setan, keadaan seperti itu tak ubahnya seperti sukam gentayangan yang baru disiksa dalam neraka.
Ku See-hong me nggigit bibirnya menahan se mua siksaan dan penderitaan yang telah dilimpahkan Thian kepadanya itu.
Lebih kurang sepe minum teh ke mudian, agaknya sepasang toya itu sudah merasa puas dengan pukulan-pukulannya. Mendadak gerak serangan itu terhenti dengan sendirinya. Begitu pukulan berhenti, jala raksasa itu pun me mbentang lebar.
Sesudah menga la mi siksaan serta hajaran setiap waktu, Ku See- hong sungguh merasakan tubuhnya lelah tak bertenaga lagi. Dengan le mas dia berbaring di atas jala sambil terengah-engah. Selang sejenak ke mudian, dengan air mata bercucuran dia baru termenung sa mbil mela mun. Entah dosa besar apa yang kulakukan dalam kehidupanku di alam dunia masa lalu? Mengapa Thian telah melimpahkan siksaan ala neraka ini kepadaku?
Berpikir sampa i di situ ia merasa matanya berat sehingga tanpa disadarinya, dia tertidur ke mba li.
Tapi… siapa pula yang menyangka kalau Ku See-hong ketika itu sesungguhnya sedang melatih semaca m ilmu silat yang tiada keduanya di kolong langit?
Untuk menjadi seorang yang sukses, bukan kecil perjuangan yang dibutuhkannya. Betul Ku See-hong mengala mi siksaan dan penderitaan yang berat saat ini, … tapi hasil yang berhasil diraihnya di kemudian hari me mbuat ia akan merasa bahwa pengorbanannya saat itu sangat berharga sekali.
Satu hari lewat tanpa terasa, di kala Ku See-hong mas ih terlelap dalam t idurnya, tiba-tiba kembali berkumandang suara gemuruh yang sanggat me me mekikkan telinga. Dengan perasaan kaget dia tersadar kembali dari tidurnya.
Sesudah ada pengalaman satu kali, dia tahu bahwa tubuhnya ke mbali akan mener ima siksaan dari se mburan api dari bawah ruangan sana. Dengan dahi berkerut tapi sinar mata me mancar kan kebulatan tekadnya, sambil menggertak gigi keras dia siap menerima siksaan tersebut.
Semburan api kembali me mancar keluar dari dalam sumur. Kobaran api yang tak berperasaan mulai me manggang anak muda itu tanpa ampun. Tapi kali ini dia tidak menjerit-jerit lagi. Bukan berarti badannya tidak merasa sakit lagi, sebaliknya justru siksaan yang dialaminya kali ini seratus kali lipat jauh lebih dahsyat. Sebab dia tahu kalau nasibnya sudah ditetapkan de mikian, ke mudian pada akhirnya tak akan lolos dari ke matian, jeritan-jeritan menje lang saat ke matiannya hanya akan me mperlihatkan kele mahan sendiri, ma ka dia hanya menahan penderitaan itu dengan mulut me mbungka m.
Tak la ma ke mudian se mburan api telah pada m, menyusul air sumur yang dingin merenda m sekujur badannya. Bagaimanapun kerasnya watak Ku See-hong, setiap kali setelah menerima siksaaan air dingin, dia pasti jatuh tak sadarkan diri dan kedinginan sa mpa i me mbe ku badannya.
Lalu hujan pukulan toya pun menghajar seluruh badannya sampai penuh dengan luka dan darah kental bercucuran dari mana- mana.
Semburan api, renda man air dan pukulan toya, tiga maca m siksaan dahsyat itu hampir sela ma hari lamanya menyiksa tubuh Ku See-hong. Setiap hari pe muda itu tentu akan merasakan satu kali kenikmatan tersebut.
Ketika tujuh hari sudah lewat, keadaan Ku See-hong sudah tidak mirip dengan manusia lagi. Napasnya sangat lemah, sinar matanya pudar, sekujur badannya le mas dan tak bertenaga, dia sudah tak ma mpu menggunakan tenaganya lagi. Menerima siksaan api, air dan pukulan, tiga maca m siksaan ala neraka ini, dia boleh dibilang hampir saja selalu tak sadarkan, bahkan nyaris tak akan bisa bangun lagi untuk sela ma- la manya.
-oodwoo-