Bagian 53 (Tamat)
Kemudian terasa ada serangkum angin yang kencang lewat di samping tubuhnya.
Suaranya bergemuruh. Pakaian beberapa orang itu sampai berkibar-kibar.
Diam-diam Tan Ki berpikir di dalam hati: ‘Tenaga dalam pihak lawan ternyata sekuat apa yang kuduga. Kalau yang datang ini salah satu tokoh dari pihak Lam Hay atau Si Yu, benar-benar merupakan hal yang patut dikhawatirkan.’
Dia merasa ilmu silat orang yang bersembunyi di dalam kegelapan itu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Hatinya jadi bertanya-tanya. Justru ketika pikirannya masih melayang-layang, tanpa sadar matanya melirik sekilas ke arah Lok Hong. Tampak wajah orangtua itu merah padam menahan kemarahan hatinya. Keringat bahkan telah membasahi selembar wajah orangtua itu. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak berani menyerang lagi. Cepat-cepat dipejamkannya sepasang matanya lalu berdiam diri mengatur pernafasan. Hal ini membuktikan bahwa dua kali serangannya yang gagal tadi telah menghamburkan cukup banyak hawa murni dalam tubuhnya.
Walaupun kedatangan Tan Ki ke tempat itu karena dipaksa oleh Lok Hong, namun apabila orang yang bersembunyi di dalam celah yang gelap itu benar-benar tokoh sakti dari pihak Lam Hay ataupun Si Yu, terpaksa dia harus menyampingkan kebencian ataupun urusan pribadinya untuk sementara serta bekerja sama menghadapi musuh. Sekarang hatinya sudah mengambil keputusany segera kegagahan-nya terbangkit. Cepat-cepat dia mengerahkan hawa murninya dan menghimpun tenaga dalam secara diam-diam lalu dengan tenang melangkah ke depan.
Mei Hun dan Ciu Hiang melihat langkah kakinya yang mantap dan seakan sudah siap menghadapi musuh. Mereka takut Tan Ki akan gagal. Oleh karena itu, setelah saling lirik sekilas, keduanya segera melesat ke depan dan berhenti di kiri kanannya seakan melindungi.
Setelah berjalan lima enam langkah, tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya. “Tokoh tinggi dari mana saudara ini? Seorang laki-laki sejati berdiri dengan kaki
berpijak di atas tanah, kepala mendongak menghadap langit. Datang ataupun pergi selalu
secara terang-terangan. Harap saudara keluar mengunjukkan diri!”
Baru ucapannya selesai, segera terdengar suara sahutan yang merdu dan bening. “Kalau ingatan Tan Siangkong tidak lemah, tentu tidak lupa dengan suaraku ini bukan?” Mendengar suaranya, hati Tan Ki langsung bergetar.
“Apakah kau si gadis berpakaian putih yang menunggang burung rajawali?”
Tiba-tiba terdengar angin berdesir, kemudian sebuah bayangan melesat dari samping Tan Ki. Rupanya Mei Hun dan Ciu Hiang dapat mengenali suara majikan mereka sehingga tergesa-gesa melesat ke depan kemudian menghilang di dalam celah yang gelap itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara tawa Lok Hong yang mengandung kemarahan. Suara itu begitu panjang sehingga sampai kurang lebih sepeminuman teh baru berhenti.
“Nona masuk ke dalam goa yang terpencil ini dengan maksud mengambil orang.
Meskipun belum tentu lohu dapat menandingimu, tetapi juga tidak akan membiarkan kau membawanya pergi begitu saja.”
Terdengar suara deheman dari mulut gadis berpakaian putih itu. “Mengapa?” “Lohu memerlukan tenaga orang ini untuk membantuku…”
Berkata sampai di sini, tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara teriakan yang tidak henti-hentinya, “Tua bangka keras kepala! Tua bangka keras kepala!”
Tampak sesosok bayangan berkelebat, Cin-Ie menghambur datang dengan tergesa- gesa. Sejenak saja dia sudah sampai di hadapan Lok Hong. Kemungkinan hati gadis ini sedang panik sekali. Dia berlari begitu kencang sampai nafasnya tersengal-sengal. Begitu langkah kakinya berhenti, mulutnya langsung berteriak, “Orangnya sudah hampir mati…!”
Lok Hong terkejut bukan main. “Apa?”
“Nona yang ada di dalam ruangan batu itu sudah hampir putus nafasnya.”
Mendengar ucapannya, hati Lok Hong bagai digelayuti beban yang berat. Jantungnya seperti dihantam seseorang dengan keras. Tetapi sejenak kemudian, pikirannya jernih kembali, dia merasa harus mempertahankan kekuatan hatinya. Oleh karena itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia langsung membalikkan tubuhnya dan pergi dengan tergesa-gesa.
Mendengar berita buruk yang tidak terduga-duga ini, hati Tan Ki juga dilanda kegelisahan yang tidak terkirakan. Dia segera membalikkan tubuhnya dan berniat masuk ke dalam untuk melihat kejadian yang sebenarnya. Tiba-tiba si gadis berpakaian putih muncul dari balik celah yang gelap. Mei Hun dan Ciu Hiang mengiringi dari belakang.
Tampak wajahnya yang sendu menyiratkan kekesalah hatinya. Perlahan-lahan dia berjalan ke arah Tan Ki.
“Hatimu sangat memperhatikan nona itu bukan?”
“Cayhe merasa tidak tenang mengetahui lukanya yang demikian parah…” tiba-tiba dia teringat bahwa gadis cantik di hadapannya memiliki ilmu pengobatan yang tidak terkirakan tingginya. Seandainya dia dapat memohon sebutir pil Penyelamat Nyawa yang pernah dihadiahkan kepadanya tempo hari, walaupun luka yang dialami Lok Ing lebih parah dari sekarang, asal nafasnya masih belum putus, pasti masih bisa tertolong.
Pikiran muncul secara mendadak. Dengan demikian dia tidak mempersiapkan diri sama sekali. Apalagi selama hidupnya Tan Ki terkenal sebagai manusia yang tinggi hati. Gengsi baginya untuk mengajukan permohonan kepada orang lain. Tetapi keadaan yang dihadapinya sekarang justru mengharuskan dia mengajukan permohonan. Akhirnya Tan Ki jadi serba salah. Setelah berpikir bolak-balik, dia masih tidak tahu apa yang harus
diucapkannya sebagai pembuka kata. Tanpa dapat ditahan lagi dia menundukkan kepalanya dalam-dalam dan merenung sekian lama.
Gadis sakti berpakaian putih itu mengerlingkan matanya ke sana ke mari. Tampaknya dia sudah menduga apa yang dipikirkan Tan Ki saat ini. Oleh karena itu, bibirnya langsung mengembangkan seulas senyuman sehingga terlihat lesung pipitnya yang dalam.
“Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan?” tanyanya lembut.
“Cayhe… cayhe…” sampai sekian lama Tan Ki belum sanggup juga mengutarakan keinginannya.
Gadis berpakaian putih itu tersenyum simpul.
“Katakan saja. Andaikata ucapanmu itu tidak sepantasnya, aku juga tidak akan menyalahkan dirimu. Mei Hun maupun Ciu Hiang telah mengikuti aku sejak kecil. Mereka bukan orang luar. Ada apa-apa sebaiknya kau cetuskan secara terang-terangan saja.”
Tan Ki segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya kemudian berkata, “Ada sesuatu hal yang cayhe ingin mohon kepada nona.”
“Kau ingin memohon aku agar membantumu membalas dendam dan membunuh Toa Tocu agar kau dapat menebus dosamu dengan jasa bukan?”
Tan Ki menggelengkan kepalanya, “Bukan.”
“Kalau begitu kau ingin memohon sebutir pil dewa buatan guruku untuk melenyapkan racun dalam tubuhmu?”
“Juga bukan.” sahut Tan Ki.
Sepasang alis gadis berpakaian putih itu langsung menjungkit ke atas. Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berdiri membelakangi Tan Ki. Mimik wajahnya saat itu begitu aneh, terdengar dia berkata dengan nada bimbang, “Kalau begitu aku tidak sanggup menebak apa yang kau inginkan. Apabila ada sesuatu yang ingin kau mohonkan kepada diriku, harap kau katakan saja terus terang.”
“Hal yang cayhe ingin mohonkan kepada nona, sebetulnya…” tiba-tiba serangkum perasaan jengah menyelimuti hatinya. Wajahnya jadi merah padam dan kata-katanya tidak dapat diteruskan lagi.
Gadis berpakaian putih itu menunggu lagi beberapa saat. Melihat Tan Ki belum sanggup juga menyatakan apa yang tersirat dalam hatinya, tanpa dapat menahan diri lagi dia menukas, “Kau katakan saja perlahan-lahan, aku akan sabar menunggu.” nada suaranya seperti mengandung kegembiraan sekaligus ketegangan.
Tetapi entah apa yang dipikirkan oleh Tan Ki. Dia tetap menundukkan kepalanya merenung. Terdengar kembali si gadis berpakaian putih itu berkata, “Sejak kecil aku diasuh oleh suhu di pegunungan Ming San. Selain menurunkan berbagai ilmu kepadaku, sehari-harinya suhu sangat menyayangiku. Apapun yang kusetujui, suhu tidak pernah menolaknya… kau boleh katakan isi hatimu dengan tenang, pokoknya aku akan mengabulkan permintaanmu.”
“Cahye memohon nona menghadiahkan sebutir pil dewa kepadaku.” “Baik, aku akan mengabulkannya.”
Tan Ki membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
“Terima kasih atas kebaikan budi nona yang tidak menyimpan kebencian tempo dulu.
Aku, Tan Ki benar-benar terharu sekali.”
“Jangan sungkan.” sahut si gadis berpakaian putih sambil menolehkan kepalanya.
Wajahnya menyiratkan perasaan seakan menunggu kelanjutan kata-kata Tan Ki. Akhirnya dia tidak dapat menahan dirinya untuk bertanya. “Apa lagi?”
“Tidak ada apa-apa lagi.”
Seluruh tubuh gadis itu langsung bergetar. “Benar-benar tidak ada lagi?”
Mendengar pertanyaannya yang seakan mendesak ini, Tan. Ki malah jadi termangu- mangu.
“Cayhe dapat memohon sebutir pil dewa untuk menolong nyawa temanku, sudah lebih cukup dari segalanya.”
Mendengar ucapannya, gadis berpakaian putih itu seakan mendapat pukulan bathin yang hebat. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali. Wajahnya yang terlihat berseri- seri sebelumnya langsung berubah menjadi pucat pasi. Matanya menyorotkan sinar kebencian juga penyesalan. Untuk sekian lama dia berdiri termangu-mangu.
Entah sejak kapan, di sepasang matanya sudah mengembang air. Tetapi tampaknya dia tidak ingin sampai Tan Ki melihatnya. Cepat-cepat dia menutupi wajahnya kemudian membalikkan tubuh dan menghambur masuk ke dalam celah goa yang gelap tadi.
Tan Ki tidak menyangka perubahan hatinya bisa demikian cepat dan tidak terdugaduga. Tanpa dapat ditahan lagi dia jadi tertegun. Tetapi tanpa sadar mulutnya malah berteriak, “Pil dewa yang nona janjikan…”
Sepasang alis Mei Hun langsung menjungkit ke atas. Terdengar dia menukas dengan nada suara yang bukan main dinginnya, “Apapun yang dijanjikan oleh nonaku, selamanya tidak pernah diingkari, buat apa kau berteriak-teriak seperti orang gila?”
“Entah persoalan apa yang membuatnya tiba-tiba jadi begitu sedih?” kata Tan, Ki dengan tampang bingung.
Mei Hun tertawa dingin.
“Rupanya kau masih mempunyai sedikit perasaan sehingga bisa mengajukan pertanyaan ini. Apakah sampai saat ini kau masih belum mengerti perasaan hati nonaku itu? Ada hal apapun, seharusnya kau yang membuka mulut memohon kepadanya. Tetapi kau justru tidak pernah menyatakan apapun sehingga kau membuat dia seperti mimpi
indah di siang bolong. Padahal dia ingin melupakan apa yang telah terjadi diantara kalian sebelumnya dan saling menukar isi hati bersamamu. Majikanku sudah tahu bahwa kau menyandang tugas yang berat demi menebus dosamu di masa lalu. Apabila kau melakukan tugas ini seorang diri, keadaan dirimu pasti berbahaya sekali. Kalau didengar dari nada bicaranya sehari-hari, tampaknya dia berniat mewariskan beberapa macam ilmu sakti kepada dirimu. Walaupun berhasil atau gagalnya tergantung dirimu sendiri, tetapi perhatiannya yang demikian besar, apakah tidak patut mendapatkan sedikit perhatian darimu?”
Semakin bicara, tampaknya hati Mei Hun semakin kesal. Sepasang tangannya mengepal erat-erat. Hampir saja dia menghentakkan kakinya keras-keras di atas tanah dan memaki- maki Tan Ki sepuasnya. Tetapi biar bagaimana Mei Hun merupakan pelayan pribadi si gadis berpakaian putih yang sehari-harinya mendapat didikan yang keras. Walaupun hatinya merasa marah sekali, tetapi dia masih sanggup mengendalikan perasaannya.
Terdengar dia melanjutkan kembali kata-katanya, “Seandainya otakmu lebih tajam sedikit, tentu tidak sulit bagimu untuk menduga ucapan apa yang diharapkan nonaku keluar dari mulutmu itu. Dengan demikian dia juga tidak perlu begitu sedih sehingga lari pergi tanpa menolehkan kepalanya lagi.”
Wajah Tan Ki semakin lama semakin kelam. Dengan berdiam diri dia mendengarkan ucapan Mei Hun sampai selesai. Kadang-kadang dia mengernyitkan keningnya.
Tepat pada saat itu, terdengar suara langkah kaki mendatangi, sesosok bayangan melesat keluar dari celah goa yang gelap. Kemudian di susul dengan suara panggilan yang lantang, “Tan Siangkong!”
Mendengar suara itu, Tan Ki segera tahu bahwa yang datang itu Cin Ie adanya. Dengan nada suara yang penuh kekesalan hatinya dia membentak, “Ada urusan apa sampai harus berteriak-teriak?”
Perlu diketahui bahwa perasaan hati Tan Ki saat ini sedang gundah bukan main. Dia sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya. Apalagi suara panggilan Cin Ie begitu gugup dan keras. Hatinya terasa semakin sebal dan tertekan. Oleh karena itu, nada sahutannya juga seperti orang yang hendak mengumbar hawa amarah dalam hatinya. Terdengarnya tidak terkandung rasa sungkan sama sekali.
Cin Ie jadi tertegun. Wajahnya jadi muram seketika. Air matanya mengembang di sudut mata.
“Cici meminta aku menyampaikan kepadamu suatu urusan. Kau malah begini kasar menghadapi aku.”
Hati Tan Ki langsung tergetar. Pikirannya jadi jernih seketika. Dia mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang-panjang. Dengan penuh penyesalan dia berkata, “Pikiran Cayhe lagi buntu. Harap Ie-moay sudi memaafkan. Melihat tampangmu yang demikian panik, urusan yang disuruh oleh cicimu untuk disampaikan kepadaku pasti penting sekali.”
Mendengar suara Tan Ki yang kembali lembut, Cin Ie langsung mengembangkan seulas senyuman.
“Lok Kouwnio sudah meninggal.” otaknya sangat polos. Melihat Tan Ki sampai meminta maaf kepadanya, segala rasa duka dalam hatinya pun menjadi sirna seketika. Bahkan wajahnya kembali berseri-seri.
Bagian LVIII
Tan Ki terkejut setengah mati mendengar laporannya. “Betul?” “Sudah tahu betul.”
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dia melihat tubuh Tan Ki berkelebat. Pakaiannya sampai berkibar-kibar ketika dia melesat ke dalam goa.
Begitu pandangan mata Tan Ki dialihkan, hatinya langsung tertekan seperti diganduli beban yang bukan main beratnya.
Di atas balai-balai itu, masih terbaring tubuh Lok Ing yang kurus. Pakaiannya yang hitam sudah penuh dengan bercak darah. Tampangnya kaku, wajahnya putih seperti selembar kertas. Tampaknya kondisi gadis itu memang sudah di ambang kematian…
Seandainya gadis itu sampai mati, siapa sebenarnya yang merasa berduka? Tan Ki tidak herani membayangkannya, dia juga tidak dapat menjawabnya. Karena dia merasa, meskipun dia tidak pernah mencintai Lok Ing, tetapi di antara mereka pernah terjadi berbagai kenangan yang cukup manis.
Tampaknya Lok Ing masih dapat mendengar suara langkah kakinya yang menghampiri. Pikirannya tiba-tiba menjadi jernih. Sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Dia berusaha mendongakkan wajahnya untuk melihat. Setelah berhasil memperhatikan dengan jelas tampang Tan Ki. Cepat-cepat dia memejamkan matanya kembali.
Meskipun hanya sekejap mata, tetapi bibirnya yang sudah putih itu mengembangkan seulas senyuman. Hal ini membuktikan bahwa kedatangan Tan Ki membuat perasannya menjadi gembira.
Tan Ki memanggil dengan suara lirih, “Lok Kouwnio…” dia merasa ada ribuan kata-kata yang memenuhi hatinya tetapi dia tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan menyapa Lok Hong dan Cin Yin. Kemudian berjalan perlahan-lahan ia berjalan menuju balai-balai di mana tubuh Lok Ing terbaring.
“Rasanya dia tidak tertolong lagi.” kata Cin Ying dengan suara lirih.
Tan Ki menganggukkan kepalanya. Wajahnya sungguh mengenaskan. Terus terang dia memang sudah merasa putus asa terhadap luka yang diderita oleh Lok Ing. Antara dirinya dengan Lok Hong sempat terjadi perselisihan. Bila dia sampai mengucapkan sepatah kata yang tidak disukainya, mungkin akan terjadi keributan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, Tan Ki sengaja memperlihatkan gaya seperti orang yang tidak mempunyai kata-kata yang harus diucapkan.
Tampak Cin Ying menarik nafas panjang-panjang.
“Aku sudah membantunya dengan mengerahkan hawa murni serta mendorong urat darahnya agar lancar kembali. Tetapi sampai Lok Locianpwe masuk tadi, nafasnya masih begitu lemah serta tidak menunjukkan perubahan berarti.”
“Apakah dia ada mengucapkan apa-apa?”
“Saat ini keadaannya sudah demikian parah, mana mungkin dia mempunyai tenaga untuk membuka mulut? Tetapi kalau ditilik dari mimik wajahnya, tampak dia mempunyai ganjalan hati yang ingin disampaikan kepadamu. Sayangnya tenaganya demikian lemah. Sehingga tidak ada kekuatan untuk membuka mulut.”
Perlahan-lahan Tan Ki mengernyitkan sepasang alisnya. Diam-diam dia bertanya-tanya dalam hati: ‘Entah apa yang ingin dikatakannya?’ tanpa terasa sinar matanya beralih kepada diri Lok Ing. Tiba-tiba dia melihat mulut gadis itu membuka dan memuntahkan darah segar dalam jumlah yang cukup, banyak.
Tan Ki mengeluarkan suara seruan terkejut. Wajahnya berubah hebat. Untung pandangan mata Cin Ying sangat tajam dan gerakannya cepat pula. Lengannya menjulur ke depan, segera ditotoknya beberapa jalan darah di tubuh Lok Ing.
Lok Hong menghembuskan nafas panjang. Terdengar dia mengguman seorang diri. “Lohu hanya mempunyai seorang cucu perempuan ini. Apabila terjadi sesuatu pada
dirinya, lohu juga tidak sanggup hidup seorang diri lagi.” nada suaranya begitu pilu sehingga terdengar jelas keperihan hatinya yang tidak terkirakan.
Justru pada saat itu, tiba-tiba Lok Ing membuka sepasang matanya dan menatap ke arah Tan Ki. Mulutnya bergerak-gerak dan keluarlah suaranya yang lirih, “Tan Koko, kemarilah.” suaranya begitu kecil seperti dengungan nyamuk. Kalau bukan orang yang mempunyai pendengaran tajam, pasti tidak akan terdengar suaranya.
Tanpa terasa Tan Ki berjalan menghampirinya. “Ada ucapan apa yang ingin nona sampaikan?” “Sebentar lagi aku akan pergi.” kata Lok Ing lirih.
Hati Tan Ki tergetar. Serangkum rasa pilu memenuhi dadanya. “Tan Koko, maukah kau mendengarkan kata-kataku?”
“Pada saat seperti sekarang ini, untuk apa kau mengucapkan kata-kata yang demikian sungkan? Jangan kata sepuluh dua puluh kata, biarpun kau ingin aku terjun ke lautan api, aku pasti tidak akan menolaknya.”
“Kalau begitu, aku merasa tenang sekali.”
“Kalau ada kata-kata yang ingin kau sampaikan, silahkan nona cetuskan saja terus terang.”
“Aku…. aku….”
Berkata sampai di sini, tiba-tiba Lok Ing terbatuk-batuk hebat. Kata-katanya terhenti, nafasnya memburu dan wajahnya menyiratkan penderitaan yang tidak terkirakan.
Hati Tan Ki terasa pilu melihatnya.
“Perlahan-lahan saja kau sampaikan apa yang ingin kau katakan. Aku akan sabar menunggu, ingat kesehatan dirimu sendiri…”
Tanpa sadar pandangan matanya melihat ke arah Lok Hong. Entah sejak kapan, wajah orangtua itu sudah berubah demikian datar dan dingin. Tampangnya laksana dilapisi es yang tipis sehingga tampak menyeramkan. Tan Ki sadar bahwa situasi di depan matanya sangat rumit, baik tindak-tanduk maupun kata-katanya harus dilakukan dengan hati-hati. Apabila terjadi sedikit kesalahan saja, watak Lok Hong yang keras kepala sungguh tidak mudah dihadapi. Dia pasti membebankan segala dosa ini pada dirinya.
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat ditahan lagi seluruh tubuhnya menggigil, ucapannya yang belum selesai tidak jadi diteruskan lagi.
Ternyata Lok Hong hanya mendengus dingin satu kali dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika batuk Lok Ing agak mereda, waktu sepeminuman teh telah berlalu. Tetapi orang-orang yang ada dalam ruangan batu tersebut justru merasa seperti lambat sekali sehingga bagai berabad-abad.
Terdengar Lok Ing berkata lagi dengan suaranya yang lirih:
“Tan Koko, ada suatu hal yang sudah lama tersimpan di dalam hati ini dan ingin kuutarakan sekarang. Apakah kau akan marah bila aku mengatakannya?”
Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku akan mendengarnya dengan sepenuh hati.”
Wajah Lok Ing yang pucat tiba-tiba menyiratkan rona merah jambu sekilas. Dia menggigit bibirnya perlahan. Setelah merenung beberapa saat, kembali dia mengernyitkan keningnya. Seakan ada sesuatu hal yang tidak dapat dipecahkannya sehingga pikirannya menjadi rumit.
Melihat tampangnya itu, hati Lok Hong dan Tan Ki sama-sama merasa tegang. Hanya sekilas kemudian tampak dia menggigit bibirnya sekali lagi, kemudian mengembangkan seulas senyuman yang tipis. Lesung pipitnya terlihat jelas, giginya yang putih berkilauan. Senyumnya demikian memikat.
“Aku akan mengatakannya…”
Setelah mengucapkan sepatah kata, dia malah berhenti lagi. Rona merah jambu di wajahnya semakin lama semakin jelas.
Tan Ki menjadi panik, baru saja dia ingin membuka mulut bertanya, terdengar lagi suara Lok Ing yang seperti menggumam seorang diri.
“Rela berbaris di belakang, asal berdampingan dengan kekasih hati.” selesai berkata, dia memejamkan matanya kembali. Tampangnya begitu mengenaskan, tetapi menyiratkan perasaan jengah di hatinya.
Mendengar ucapannya, Tan Ki malah jadi termangu-mangu. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya: ‘Apa maksud kata-katanya ini? Rela berbaris di belakang, asal berdampingan dengan kekasih hati…’ diam-diam dia terus mengulangi kata-kata itu.
Semakin dipikir, dia malah semakin tidak mengerti.
Tiba-tiba suatu ingatan melintas di benaknya, rasanya dia mulai paham apa yang dimaksudkan oleh Lok Ing. Wajahnya jadi merah padam seketika.
Lok Hong langsung mengeluarkan suara dengusan yang berat.
“Kata-kata yang bagus! Ing-ji, apakah kau benar-benar sudi menikah dengan orang ini?”
“Cinta kasih yang melilit di dalam hati ini sudah terlalu mendalam, apabila bukan orang yang dituju, seumur hidup ini Ing-ji tidak sudi menikah.”
“Bagus, bagus! Kata-kata yang gagah sekali. Kalau begitu, keinginan hatimu, sekarang juga Yaya akan meni…”
Lok Ing menjadi panik mendengar ucapannya.
“Tidak bisa, aku sudah di ambang kematian. Mana boleh aku menambah penderitaan baginya?” berkata sampai di sini, kemungkinan hatinya terasa perih kembali. Air matanya mengalir dengan deras.
Cin Ying juga merasa ada serangkum kepiluan yang melanda hatinya. Tiba-tiba dia memalingkan kepalanya seakan tidak ingin melihat ataupun mendengarkan apa yang berlangsung di hadapannya. Sudah barang tentu pembicaraan antara Lok Hong dan cucunya menimbulkan perasaan tidak enak di hati Cin Ying.
Sekonyong-konyong terdengar suara langkah kaki. Begitu pandangan mata dialihkan, tampak Cin Ie berjalan masuk dengan termangu-mangu. Boleh dibilang pada waktu yang bersamaan, tubuh Lok Ing bergetar hebat.
Bergumpal-gumpal darah yang kental muncrat dari mulut gadis itu. Tampangnya sungguh menyayat hati. Dia berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Kali ini aku benar-benar akan pergi…”
Mendengar kata-katanya, pikiran Tan Ki benar-benar terpukul. Sepasang kepalan tangannya mengepal erat-erat. Dia berteriak seperti orang kalap, “Tidak, kau tidak akan mati!”
Mata Lok Hong membelalak lebar-lebar. Air matanya berkilauan. Dia sadar bahwa pada saat seperti ini, banyak bicara tidak ada gunanya. Oleh karena itu, dia terus membungkam. Tetapi pandangan matanya yang penuh kasih sayang tidak berkedip sekalipun dari wajah Lok Ing, seolah menyadari bahwa kelak dia tidak mempunyai kesempatan melihatnya lagi.
Perasaan Cin Ying sendiri galau tidak terkirakan, tetapi dia juga terpengaruh oleh suasana yang mengharukan itu sehingga dia memalingkan kepalanya kembali. Dia hanya melihat sekilas, setelah itu cepat-cepat dia menoleh lagi ke tempat lain… aih! Perasaan hati seorang wanita memang paling sulit diraba…
Sedangkan saat itu nafas Lok Ing semakin lama semakin memburu, tetapi semakin lama semakin lemah. Dari awal hingga akhir tidak sampai setengah jam, nafasnya sudah putus. Sukmapun melayang meninggalkan dunia yang merumitkan benak manusia ini.
Tidak ada seorangpun yang menangis tersedu-sedu, tetapi suasana seperti ini justru lebih menyayat hati. Kematiannya menimbulkan kepedihan yang menyelinap dalam hati setiap orang yang ada dalam ruangan batu itu.
Mati dan hidup ada nilainya, ada orang yang mati seberat gunung Thai San, ada yang ringan seperti sehelai bulu ayam. Namun ke-matian Lok Ing justru tidak termasuk di antara keduanya. Boleh dibilang nyawanya melayang karena ulah kakeknya sendiri.
Apakah nasib mempermainkan manusia atau karena situasi saat itu yang menentukan demikian?
Tan Ki terus memikirkan pertanyaan ini, akhirnya dia hanya dapat menarik nafas panjang!
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendatangi, Tan Ki menolehkan kepalanya. Gadis berpakaian putih itu berjalan masuk diiringi oleh Mei Hun dan Ciu Hiang. Tan Ki segera mendengus dingin, kemudian memalingkan kepalanya kembali.
Tubuh Mei Hun berkelebat lurus ke arahnya. Wajah gadis itu menyiratkan kegusaran yang tidak terkirakan.
“Apa yang kau denguskan?”
“Apa urusanmu?” nada suaranya begitu tajam seperti sebatang jarum menusuk ke dalam kalbu. Yang seorang merasa tidak senang karena menganggap majikannya dihina, sedangkan yang satu lagi baru kehilangan atas kematian sahabatnya. Mereka seperti ingin mengumbarkan kekesalan hati sehingga begitu mengeluarkan ucapan, nada suara mereka sama-sama terdengar ketus dan dingin.
Mei Hun membusungkan dadanya, seakan siap turun tangan. Tiba-tiba terdengar gadis berpakaian putih itu berkata dengan suara yang sendu, “Jangan berkelahi!”
Tan Ki tertawa dingin.
“Tidak berkelahipun tidak dapat mencairkan kekesalan dalam hatiku ini.” “Mengapa sikapmu selalu tidak tahu aturan seperti ini terhadapku?” “Kalau bisa, aku malah akan lebih jahat lagi!”
Mendengar nada suaranya yang sejak semula demikian tajam menusuk, saking kesalnya wajah gadis berpakaian putih itu sampai pucat pasi. Tubuhnya bergetar,
sekonyong-konyong tangannya memegang keningnya sendiri dan berdiri terhuyung- huyung.
“Mei Hun, cepat papah aku.”
Mei Hun dan Ciu Hiang segera maju ke depan membimbing majikan mereka. Tampak sepasang mata gadis berpakaian putih itu dipejamkan rapat-rapat. Dari sudutnya ada setitik air mata berkilauan. Wajahnya berkerut-kerut seakan menahan penderitaan bathin- nya.
Hati Cin Ying perlahan-lahan tergerak, diam-diam dia menarik tangan Cin Ie dan mengerahkan tenaga dalam. Mereka melindungi Tan Ki dari kedua sisi. Dia sudah dapat melihat bahwa perasaan hati si gadis berpakaian putih saat ini sedang galau sekali, seakan sulit menentukan keputusan yang harus diambilnya antara kasih dan benci.
Lama mereka saling terdiam. Mendadak terlihat si gadis berpakaian putih mengibaskan tangannya. “Mari kita pergi.” katanya kemudian.
Tubuh mereka berkelebat, kepergian mereka begitu cepat. Dalam sekejap mata ketiga orang itu sudah menghilang dari pandangan mata.
Keputusan yang diambil si gadis berpakaian putih tampaknya sudah bulat. Perginya juga begitu cepat. Menjelang kepergiannya, dia juga tidak dapat menahan diri dan menolehkan kepalanya melihat Tan Ki sekilas.
Pandangan mata Cin Ying sangat tajam.
Melihat dia menolehkan kepalanya menatap Tan Ki sekilas, dia sempat memandang wajahnya yang penuh air mata. Untuk sesaat dia seakan menemukan sesuatu. Oleh karena itu dia menarik nafas panjang-panjang.
“Tan siangkong, mengapa kau bersikap demikian terhadapnya?”
“Aku memohon sebutir pil dewa buatannya, kalau dia terang-terangan tidak mau kasih, aku juga tidak akan memaksanya. Tidak tahunya setelah berjanji mengabulkan permintaanku, dia malah menunggu sampai Lok Kouwnio sudah menghembuskan nafas terakhir baru datang kemari. Bukankah itu suatu penghinaan?”
“Kalau menurut pandanganku, gadis berpakaian putih itu bukan orang yang mudah mengingkari janjinya.”
“Maksudmu akulah yang telah salah paham kepadanya?” “Kemungkinan itu memang ada.”
Tan Ki mendengus sekali lagi. “Pandangan kaum perempuan!”
Cin Ying tidak menduga bahwa dia akan mengeluarkan ucapan yang begitu tajam, seperti tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang lain untuk menyatakan pendapatnya. Kali ini dia benar-benar kena batunya. Selembar wajahnya jadi merah
padam, entah mengapa. Meskipun demikian, dalam hatinya tidak timbul sedikitpun perasaan benci kepada Tan Ki.
Tampak Tan Ki menundukkan kepalanya dalam-dalam seakan merenung. Kemudian dia menggerakkan kakinya melangkah keluar dari ruangan batu tersebut.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara bentakan nyaring, “Mau ke mana kau?” disusul dengan sesosok bayangan yang berkelebat kemudian menghadang di depan Tan Ki.
Tampak bayangan tubuhnya yang tinggi besar. Siapa lagi kalau bukan Lok Hong.
Entah apa yang sedang dipikirkan Tan Ki saat ini. Tampangnya sungguh aneh. terhadap bentakan maupun hadangannya, dia seakan tidak memperhatikan sama sekali. Langkah kakinya tidak berhenti. Dia terus berjalan keluar.
Wajah Lok Hong berubah hebat.
“Kau ingin cari mati?” bentaknya sekali lagi sambil menghantamkan tangannya ke depan. Kekuatan tenaganya bagai ombak yang bergulung-gulung, dengan dahsyat melanda ke arah Tan Ki.
Serangannya ini dilancarkan dengan spontan. Kalau diperhatikan sekilas tampaknya biasa-biasa saja, tetapi tenaga dalam orangtua ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Meskipun serangan itu biasa-biasa saja, tetapi setidaknya tenaga yang terkandung di dalamnya mencapai lima ratus kati. Mau tidak mau Tan Ki harus mengelakkan diri apabila tidak ingin celaka. Siapa nyana Tan Ki terus melangkahkan kakinya, dia tidak menghindarkan dirinya sama sekali. Entah apa yang direncanakan hati orang ini.
Lok Hong jadi termangu-mangu. Dengan panik dia menarik kembali serangan yang sudah dilancarkannya. Dalam waktu yang bersamaan, mulutnya membentak, “Selamanya lohu tidak suka membunuh orang yang tidak mau membalas. Sekarang ini ilmu silatmu sudah mencapai taraf yang mengejutkan, mengapa kau tidak mau menghindar?” Tan Ki tertawa datar. “Untuk apa menghindar?” Mendengar kata-katanya, sekali lagi Lok Hong tertegun.
“Di antara kita berdua, sejak dulu memang sudah ada ganjalan. Cepat atau lambat kita memang pasti akan bertarung untuk menentukan siapa yang lebih unggul diantara kita.
Yang jadi masalah sekarang hanya waktunya saja. Meskipun ilmu kepandaian cayhe saat ini sudah termasuk lumayan, tetapi sebelum jenazah nona Lok menjadi dingin, aku tidak akan bertarung denganmu. Kalau kau merasa tidak senang, silahkan saja turun tangan, pokoknya aku tidak akan membalas.”
“Kau kira dengan ucapanmu ini, persoalan akan menjadi beres? Kalau begitu, anggapan-mu itu salah besar.”
“Aku juga malas berdebat panjang lebar denganmu. Terserah saja apa yang kau pikirkan.”
Lok Hong merasa hawa amarah dalam dadanya seperti berkobar-kobar. Dia mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
“Lohu justru ingin lihat kebenaran ucapanmu itu!” dengan posisi menahan di depan dada dia melancarkan sebuah pukulan.
“Cayhe sudah bilang tidak akan membalas, terserah kau mau percaya…” tiba-tiba dia merasa ada serangkum angin yang kuat mendesak kepadanya. Nafasnya sampai sesak, aliran darahnya seakan membalik, tanpa terasa ucapannya jadi terhenti. Dia langsung memejamkan sepasang matanya.
Sekonyong-konyong terasa angin berdesir, serangkum bau harum yang terpancar dari tubuh seorang gadis terendus oleh indera penciuman. Rupanya Cin Ying langsung melesat ke depan dan mengibaskan tangannya dua kali. Dengan demikian serangan Lok Hongjadi sirna seketika.
“Harap Locianpwe sabar sebentar.” Lok Hong melihat tangan gadis itu bergerak, ternyata dengan mudah berhasil menahan serangannya. Diam-diam hatinya jadi tergetar. Usia gadis ini mungkin tidak lebih dari dua puluh tahun, tetapi dia sudah memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Apabila dia sampai bekerja sama dengan Tan Ki menghadapinya, sudah pasti dirinya akan kalang kabut. Berpikir sampai di sini, terpaksa dia menahan kemarahan dalam hatinya.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya.
“Apakah Lok Locianpwe sempat mendengar jelas kata-kata Cici Ing sebelum ajalnya tadi?”
“Setiap kalimat, setiap patah kata, tidak akan terlupakan seumur hidup. Biar bagaimana dia merupakan satu-satunya darah daging lohu yang masih ada. Kata-kata yang diucapkan sebelum menghembuskan nafas terakhir menyangkut kewajiban lohu, bagaimana mungkin lohu tidak mendengarnya dengan jelas?”
“Kata-kata ‘rela berbaris di belakang asal berdampingan dengan kekasih hati’, apakah locianpwe sudah mengerti makna yang terkandung di dalamnya?”
Lok Hong jadi termangu-mangu untuk beberapa saat.
“Ini… ini…” sebetulnya Lok Hong sudah paham maksud Lok Ing, tetapi karena harga dirinya, dia merasa tidak pantas mengatakannya terus terang.
“Kalau masih ada hal yang tidak locianpwe mengerti biar aku yang menjelaskannya.” Lok Hong menggoyang-goyangkan tangannya.
“Tidak perlu. Lohu hanya ingin menahan bocah ini selama beberapa hari, urusan lainnya lohu tidak mau tahu sama sekali.”
“Sayangnya cayhe mempunyai tugas yang berat sehingga tidak dapat menuruti keinginanmu!” tukas Tan Ki.
Lok Hong mendengus berat-berat. Wajahnya menyiratkan kegusaran yang tidak terka- takan. Cin Ying khawatir timbul lagi perselisihan di antara mereka. Pikirannya yang cerdas langsung berputar, cepat-cepat dia maju dan berdiri di antara kedua orang itu. Kemudian terdengar dia berkata dengan suara yang lembut…
“Locianpwe ingin menahan dia beberapa hari untuk menemani jenazah cici Ing yang kesepian, tetapi Tan Ki mempunyai tugas yang berat sehingga mau tidak mau dia harus pergi. Kalau kalian saling berkeras dengan keinginan masing-masing, berdiri sehari semalam juga tidak mungkin menyelesaikan masalah ini. Biar aku saja yang memberi saran agar keinginan kalian sama-sama bisa tercapai, sekaligus juga bermanfaat bagi diriku…” dia sengaja menghentikan kata-katanya dan memperhatikan reaksi kedua orang itu.
Mata Tan Ki maupun Lok Hong langsung bersinar terang. Mereka menatap lekat-lekat.
Mimik wajah mereka aneh sekali, seakan penasaran menunggu keterangan darinya.
Oleh karena itu, perasaan Cin Ying pun menjadi lega. Dia mengembangkan seulas senyuman yang manis.
“Kata-kata yang diucapkan oleh Cici Ing sebelum ajalnya, sudah terang menyatakan bahwa dia telah menyerahkan dirinya kepada Tan siangkong. Kalau dipikir-pikir, seharusnya kalian sudah menjadi mertua dan menantu. Tentunya tidak boleh terjadi pertikaian seperti ini. Tetapi keadaan Tan siangkong sekarang ini justru berada di ambang maut. Biar bagaimana dia merupakan si iblis Cian Bin Mo-ong yang sempat menggemparkan dunia Kangouw. Begitu rahasianya terbongkar, dia diserahi tugas yang berat, yakni menyelidiki markas Toa Tocu dari Lam Hay Bun, bahkan kalau bisa mengambil batok kepalanya sebagai jasa atas dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Biar bagaimanapun, dia tidak bisa berdiam di sini. Apabila locianpwe ingin memaksanya dengan ilmu kepandaian, walaupun bisa menahannya untuk menemani Cici Ing, tetapi tidak dapat membuatnya menjadi tenang atau rela dengan kemauan hatinya sendiri.”
“Lalu bagaimana menurut pendapatmu?”
“Kita harus mencari akal agar perasaannya menjadi tenang. Dengan demikian dia akan tinggal di dalam ruangan batu tanpa perasaan gelisah atau pun risau. Jangan kata delapan atau sepuluh tahun, mungkin seumur hidupun dia tidak ingin meninggalkan ruangan batu itu lagi dan akan menemani jenazah cici Ing seumur hidupnya. Tetapi Locianpwe harus mengulurkan tangan membantunya membunuh Toa Tocu dari Lam Hay itu.”
Mendengar ucapannya, mulut Lok Hong sempat mengeluarkan suara seruan terkejut, kemudian dia menundukkan kepalanya merenung. Diam-diam dia berpikir di dalam hati: ‘Bicara ke sana ke mari, akhirnya kau toh membelanya juga.’
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat ditahan lagi dia melirik Tan Ki sekilas. Dia melihat sepasang mata anak muda itu menatap kosong ke depan seakan ada sesuatu yang sedang menggelayuti pikirannya. Tampaknya dia bahkan tidak mendengar pembicaraan antara Lok Hong dengan Cin Ying. Oleh karena itu Lok Hong cepat-cepat bertanya kepada Cin Ying, “Setelah urusan ini selesai, kau berani menjamin bahwa dia bersedia menemani jenazah Ing-ji untuk selamanya?”
“Kemungkinan kami kakak beradik pun tidak akan meninggalkan ruangan batu itu lagi.” seraya berkata, dia mengembangkan seulas senyuman. Namun senyuman itu begitu sendu sehingga menyayat hati siapapun yang melihatnya. Mimik wajahnya menyiratkan kepedihan hatinya. Hatinya juga merasa bergejolak oleh berbagai perasaan yang aneh, hanya saja dia tidak sanggup mengutarakannya…
“Seandainya tugasnya belum lagi berhasil, tetapi orangnya sudah keburu tamat riwayatnya, bagaimana?”
Wajah Cin Ying langsung berubah mendengar pertanyaannya. Tubuhnya bergetar dan terhuyung-huyung seperti orang yang mendadak kehilangan tenaganya. Sekali lihat saja dapat diketahui bahwa pertanyaan Lok Hong tadi benar-benar mengenai hatinya. Hanya saja dia takut rahasianya terbongkar sehingga cepat-cepat menarik nafas panjang dan berusaha menahan kepiluan di hatinya.
“Kalau peruntungannya tidak baik sehingga mati dalam menjalankan tugas, bukankah malah sebuah kebetulan bagi locianpwe? Locianpwe boleh menutup ruangan batu tersebut agar sukma keduanya beristirahat dengan tenang selamanya.”
“Bagus sekali! Hidup tidak dapat bersama, mati justru dikuburkan dalam satu liang.
Ing-ji pasti merasa bahagia di alam baka!”
Selesai berkata, dia mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Hatinya merasa terhibur sekali. Tetapi dalam sekejap mata, entah apa lagi yang melintas di benaknya, suara tawanya ditarik kembali, wajahnya pun menjadi kelam. Sinar matanya menatap lekat-lekat pada diri Cin Ying. Tampak wajah gadis itu yang menyiratkan kegundahan hatinya, diam-diam diapun ikut merasa tidak tenang.
Terdengar mulut Lok Hong mengguman seorang diri, “Aku mengerti sekarang. Saat ini aku bani mengerti apa yang kau maksudkan. Kalau bocah itu sampai mati, kalian kakak beradik juga rela mengorbankan…”
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya kemudian menarik nafas panjang. Meskipun dia tidak menjelaskan apa maksudnya, tetapi apabila orang lain mendengarnya, tentu tidak sulit menebak pengorbanan apa yang rela dilakukan kakak beradik itu…
****
Angin bertiup semilir, hujan masih turun rintik-rintik. Pegunungan yang menjulang tinggi seakan bertambah cerah setelah diterpa hujan semalaman. Rerumputan mengangguk-anggukkan kepalanya, air embun membasahi seluruh tempat itu. Bahkan dari atas pohon dan ranting-ranting masih terus menetes turun.
Empat sosok bayangan berjalan perlahan-lahan seakan menghitungi setiap langkah yang mereka tempuh. Satu orangtua, satu pemuda dan dua orang gadis.
“Lembah di mana markas sementara para penjahat itu, rasanya tidak jauh lagi bukan?” terdengar suara orangtua itu berkata dengan nada cukup keras.
“Harap Lok Locianpwe hati-hati berbicara. Di sini sudah termasuk kekuasaan pihak Lam Hay. Gegabah sedikit saja, jejak kita pasti akan konangan oleh pihak musuh.”
“Cin Ying, tindakanmu ini sama saja dengan mengkhianati perguruanmu sendiri.
Apakah sampai saat ini kau masih tidak merasa takut?”
Cin Ying hanya tertawa getir tanpa menyahut. Terdengar Lok Hong menarik nafas panjang-panjang.
“Lohu mengerti apa yang terpikir dalam hatimu saat ini, tetapi aku justru tidak berdaya… sejak dahulu kala sampai sekarang, kata-kata ‘cinta kasih’ memang paling rumit dicernakan. Lilitannya begitu kencang sehingga sulit bagi manusia untuk melepaskan diri dari jeratannya. Lohu yang sudah begini tua pun masih tidak dapat terlepas dari perangkapnya.”
Sejak meninggalkan ruangan batu, Cin Ie tidak mengucapkan sepatah katapun.
Bibirnya terus mengembangkan seulas senyuman. Dia berjalan di samping Tan Ki. Seakan hatinya sudah merasa cukup puas asal dapat berdampingan dengan pemuda ini.
Sejak keluar dari ruangan batu, wajah Tan Ki bagai diselimuti es yang tipis. Begitu dingin dan tidak pernah tersenyum sedikitpun. Tampangnya bahkan sungguh tidak enak dilihat.!
Kali ini dia sudah siap bertemu muka lagi dengan Toa Tocu dan mengadu jiwa dengannya. Hidup atau mati, dia sendiri tidak berani memastikan. Tidak ada orang yang dapat dimintakan bantuannya, terpaksa dia mengandalkan kepandaiannya sendiri dan sebatang pedang pendek peninggalan Kiau Hun untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang panjang memecahkan keheningan yang mencekam. Angin berdesir, pakaian berkibar-kibar. Secara berturut-turut tiga sosok bayangan melayang turun. Kedatangan mereka begitu cepat sehingga laksana helaian bulu yang terbang tertiup angin. Dalam sekejap mata mereka sudah berdiri di depan mata.
Ketiga orang ini sama sekali tidak asing. Mereka adalah Hua Pek Cing yang pernah terluka di bawah serangan pedang Tan Ki, Cia Tian Lun dan Tong Ku Lu yang belum pernah berhadapan dengan Tan Ki secara terang-terangan.
Tan Ki mengeluarkan suara tawa yang dingin.
“Gunung tidak berubah, air terus mengalir. Akhirnya kita bertemu lagi!” Wajah Hua Pek Cing hijau membesi.
“Hente justru ingin membalas serangan pedangmu tempo hari!”
Tan Ki sadar, pada saat seperti ini tidak ada gunanya banyak bicara. Dia hanya mengeluarkan suara dengusan yang dingin dan mencabut pedang pendek yang disembunyikan dalam lengan bajunya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak. Lok Hong berjalan keluar dengan langkah lebar. Matanya menatap sekilas kepada Hua Pek Cing, wajahnya mengembangkan senyuman mengejek.
“Apakah kau ini yang disebut tocu muda dari Lam Hay?” “Memang benar.”
“Tahukah kau siapa diri lohu ini?” Hua Pek Cing gusar sekali melihat keangkuhannya. “Aku tidak peduli siapa adanya dirimu itu. Dasar tua bangka tidak tahu mampus!”
Pergelangan tangannya memutar, sepasang pedangnya langsung dihunus. Tampak dua carik cahaya yang berkilauan sehingga orang-orang yang melihatnya terpaksa memejamkan mata sekejap.
Lok Hong bukan tokoh sembarangan, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dianggap enteng. Jaraknya dengan anak muda itu kurang lebih enam langkah, namun hawa pedangnya sudah terasa sampai dekatnya. Udara terasa dingin seketika. Bahkan tubuh pun menjadi agak menggigil.
Tiba-tiba terdengar Hua Pek Cing mengeluarkan suara bentakan keras. Sepasang lengannya bergerak, cahaya merah seperti pelangi melintas di udara, gerakannya begitu cepat menerjang ke arah Lok Hong.
Hua Pek Cing berpikir dalam hati, apabila si tua bangka ini rela menjadikan dirinya sebagai korban pertama, sudah barang tentu dia akan menyempurnakan keinginannya. Setelah itu dia baru mencari Tan Ki untuk membalaskan kekalahannya tempo hari. Apalagi dalam beberapa hari ini, gurunya menurunkan lagi delapan jurus ilmu pedang yang maha dahsyat. Kebetulan dia dapat menjadikan orangtua ini sebagai kelinci percobaan. Begitu pikirannya tergerak, dia langsung mengerahkan ilmu pedangnya yang cepat bagai kilat dan keji tidak terkirakan.
Hati Lok Hong sampai tercekat melihatnya, cepat-cepat dia mengulurkan sepasang lengannya kemudian mengibas ke arah serangan yang dilancarkan oleh pihak lawan.
Tubuh Hua Pek Cing memutar setengah lingkaran, kemudian menggeser ke kanan sejauh dua langkah. Dia tetap menggunakan jurus ilmu pedang yang hebat itu dan menyerang ke arah Lok Hong.
Hua Pek Cing bukan tokoh sembarangan. Begitu sepasang pedangnya digerakkan, segera terasa ada segulung kekuatan dahsyat yang terpancar keluar. Meskipun belum dapat menandingi ilmu pedang Tan Ki yang sudah mencapai taraf tertinggi itu, tetapi dalam jarak dua meter saja, hawa dingin yang terpancar dari pedangnya masih terasa. Untuk sesaat, Lok Hong sampai kalang kabut dibuatnya. Terpaksa kakinya menghentak dan mencelat mundur ke belakang sejauh dua langkah.
Hua Pek Cing justru menggunakan kesempatan itu untuk mengejarnya. Pedang di tangannya bagai seekor ular berbisa yang menerobos dalam ilalang dan meluncur ke jalan darah utama di Bagian dada. Kecepatan maupun waktunya telah dipertimbangkan dengan matang. Dengan demikian lawan tidak mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri lagi. Seandainya Lok Hong dapat menghindarkan diri, dalam waktu yang bersamaan Hua Pek Cing akan menggerakkan pedangnya yang satu lagi. Kemungkinan besar malah jiwa orangtua ini akan melayang seketika.
Kali ini rasa terkejut di hati Lok Hong jangan ditanyakan lagi. Dia tidak menyangka Tocu muda dari Lam Hay ini sudah memiliki kepandaian setinggi ini. Dia sendiri bukan orang sembarangan, otomatis dia dapat melihat bahayanya serangan yang satu ini.
Tampak cahaya pedang berkelebat. Untung saja otak Lok Hong cepat tanggap. Dengan panik dia menggelindingkan tubuhnya di atas tanah. Selama pedang di tangan Hua Pek Cing masih mengincar, dia tidak berani menghentikan gerakan tubuhnya.
Tenaga dalamnya sangat tinggi, perubahan gerakannya pun melebihi orang lain berlipat ganda. Siapa nyana meskipun sudah cepat, dia masih kalah cepat dengan cahaya pedang di tangan Hua Pek Cing. Justru baru saja tubuhnya dijatuhkan di atas tanah dan menggelinding, tiba-tiba dia merasa paha kirinya seperti dihembus angin yang dingin.
Serangkum rasa nyeri langsung terasa olehnya. Keringat di-nginpun membasahi kening. Diam-diam dia mengulurkan tangannya meraba, terlihat darah segar membasahi telapak tangannya. Tidak disangka seorang bocah yang masih ingusan sanggup melukainya hanya dalam tiga jurus saja. Semakin dipikir, hatinya semakin mendongkol. Untuk sesaat dia malah terduduk dengan termangu-mangu di atas tanah.
Dalam tiga jurus, Hua Pek Cing berhasil melukai seorang tokoh kelas tinggi dari daerah Tionggoan. Rasa bangga dalam hatinya jangan ditanyakan lagi. Dia langsung mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
Perlahan-lahan Cin Ying mengernyitkan keningnya. Kemudian tampak dia berjalan mendekati Lok Hong…
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Tong Ku Lu… “Budak cilik, berhenti!”
Mendengar bentakannya, ternyata Cin Ying benar-benar menghentikan langkah kakinya. Dengan hormat dia membungkukkan tubuhnya sedikit.
“Entah petunjuk apa yang hendak diberikan oleh Tong Siok-siok?”
“Kau majulah ke depan tujuh langkah!” Cin Ying agak tertegun. Biasanya perasaan hati seorang wanita jauh lebih peka dari pada laki-laki, tetapi mungkin karena keadaan yang mendesak, walaupun sudah jelas niat Tong Ku Lu tidak baik, dia tetap menuruti perkataan orang itu.
Bagian LIX
Tiba-tiba, tubuh Cin Ie berkelebat dan mengejar ke depan. Gadis ini lugu sekali.
Otaknya pun agak lambat. Meskipun dia dapat merasakan bahwa situasi di depan mata sekarang sangat gawat, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus memperingatkan cicinya. Hatinya menjadi panik dan tanpa berpikir panjang dia langsung mengejar Cin Ying.
Ternyata apa yang diduganya sama sekali tidak salah. Ketika Cin Ying sudah melangkah lebih lima tindak, tiba-tiba Tong Ku Lu mengeluarkan suara tawa yang seram. Tangannya langsung menjulur keluar dan menghantam ke depan.
Wajah Cin Ying berubah hebat. Tersirat rasa terkejut yang tidak terkirakan pada mimik wajahnya itu. Keadaan seperti itu tentu sulit bagi siapapun untuk menghindarkan diri. Dia langsung merasa dirinya sudah diambang kematian. Rasa terkejut dan takut berbaur menjadi satu dalam hatinya. Wajahnya sungguh mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang keras, Cia Tian Lun langsung melesat ke depan. Dia langsung menyambut serangan Tong Ku Lu tadi dengan kekerasan. Tampak debu-debu beterbangan, angin kencang membuat pakaian mereka berkibar-kibar.
Tong Ku Lu jadi tertegun melihat tindakannya. Dengan bingung dia berkata, “Entah apa maksud Cia-heng turun tangan menghalangi hente?”
“Kekuatan yang kau lancarkan dalam seranganmu begitu dahsyat. Kalau sampai mengenai sasaran, mungkin selembar jiwa Ing-ji sulit dipertahankan.”
“Menghadapi pengkhianat, untuk apa harus mempertimbangkan berat tidaknya serangan kita?”
“Sayangnya kau bukan Tocu, jadi tidak dapat mengambil keputusan apakah dia harus dihukum mati atau tidak.”
Tong Ku Lu marah sekali mendengar perkataannya.
“Sebetulnya apa maksud Cia-heng dengan mengeluarkan ucapan seperti ini? Kalau kau memang berniat membantunya, jangan salahkan kalau aku tidak mengingat lagi hubungan kita selama ini!”
Cia Tian Lun tersenyum simpul. “Aku bukannya memantu dia, tetapi melihat keadaan di depan mata sekarang ini, kita tidak boleh mengambil tindakan dengan tergesa-gesa. Kalau Ying-ji memang berkhianat, tidak perlu takut dia akan lari. Setelah kita bekerja sama meringkus anak muda itu, baru kita bawa dia menemui Tocu untuk menanyakan hukuman apa yang harus dijatuhkan pada dirinya. Untuk apa kau tergesa-gesa sekarang juga?”
Sepasang mata Tong Ku Lu mendelik lebar-lebar.
“Hengte maklum kau mempunyai hubungan yang baik dengan ayahnya. Sebelum meninggal, ayahnya pernah berpesan untuk menjaga mereka kakak beradik baik-baik. Ucapan semanis apapun yang kau ucapkan, hatiku tetap tidak akan tergerak!”
Cia Tian Lun tersenyum lembut.
“Tong-heng terlalu mendesak orang, cayhe mengingat…” belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terasa ada serangkum angin yang kencang melanda ke arahnya dan telinganya mendengar dentingan senjata tajam. Entah sejak kapan, rupanya Tan Ki dan Hua Pek Cing sudah mulai bergebrak. Begitu hebatnya tenaga dalam kedua orang itu sehingga angin yang terpancar dari pedang maupun pukulan mereka terasa sampai ke tempat Cia Tian Lun.
Ilmu silat kedua orang ini memang hampir seimbang. Hanya dalam ilmu pedang saja, kedua orang itu masih terpaut sedikit. Keduanya mengerahkan jurus yang keji dan kecepatan kilat, untuk merubuhkan lawannya. Cahaya yang memijar dari senjata mereka semakin lama semakin berkilapan.
Pada saat itu, Lok Hong sudah merangkak bangun dan memborehkan obat pada lukanya. Sepasang matanya terus memperhatikan arena pertarungan. Wajahnya menyiratkan kepanikan yang tidak terkirakan.
Tiba-tiba terdengar suara bentakkan Tong Ku Lu, tubuhnya berkelebat ke depan dan melancarkan serangan yang dahsyat. Dalam sekejap mata dia sudah menjalankan tujuh delapan jurus yang mematikan.
Cia Tian Lun menghadapi lawannya dengan tenang. Secara berturut-turut dia memecahkan serangan Tong Ku Lu yang gencar tadi. Wajahnya tampak berubah. Tangan dan kakinya bergerak serentak, dia langsung menyerang Tong Ku Lu dengan gencar pula.
Kedua orang ini sama-sama merupakan tokoh berilmu tinggi. Baru bergebrak beberapa jurus saja, tampaknya pertarungan mereka sudah sengit bukan main. Angin pukulan menderu-deru, bayangan tinju bergulung-gulung. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Dalam sekejap mata saja empat puluhan gebrakan sudah berlalu.
Suasana semakin lama semakin panas mencekam.
Tiba-tiba sepasang tangan Tong Ku Lu direntangkan pada kedua sisi. Mendadak dia melancarkan dua buah serangan kemudian mencelat mundur ke belakang. Telapak tangan kirinya diangkat ke atas, gayanya seakan siap-siap melancarkan serangan kembali.
Cia Tian Lun cukup lama bergaul dengan orang ini. Kali ini dia sadar bahwa kegusaran hati Tong Ku Lu sudah meluap. Mungkin dia sudah siap mengadu jiwa dengannya. Cepat- cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya dan menyalurkannya pada sepasang lengan.
Sepasang matanya sendiri memperhatikan gerak gerik Tong Ku Lu lekat-lekat dan bersiap- siap menjaga segala kemungkinan.
Tiba-tiba lengan Tong Ku Lu menjulur ke depan. Serangkum tenaga dalam yang dahsyat langsung menerpa ke arah Cia Tian Lun.
Cia Tian Lun sendiri memang sudah bersiap-siap. Dia segera mengambil posisi dengan menahan di depan dada kemudian sepasang lengannya mendorong ke depan dan menyambut serangan Tong Ku Lu dengan kekerasan. Dua rangkum kekuatan langsung membentur. Keduanya sama-sama tergetar dan pundak mereka bergoyang-goyang sebanyak tiga kali.
Terdengar Tong Ku Lu mengeluarkan suara dengusan yang dingin. Ternyata tanpa mengatur pernafasannya lagi dia melancarkan empat buah serangan berturut-turut. Cia Tian Lun juga cukup keji. Dengan keras dia menyambut empat serangan Tong Ku Lu tersebut.
Udara terasa pengap. Angin yang timbul dari pukulan keduanya menderu-deru. Yang seorang melancarkan empat pukulan, sedangkan yang lainnya menyambut empat pukulan. Wajah mereka sama-sama berubah jadi pucat pasi. Nafas Tong Ku Lu tersengal-sengal, sedangkan keringat sudah membasahi seluruh wajah Cia Tian Lun. Mereka berdiri saling menatap tanpa melakukan gerakan apa-apa. Kemungkinan keduanya menggunakan kesempatan itu untuk mengatur pernafasan masing-masing.
Tiba-tiba Cin Ying menghambur datang dan mencekal lengan Cia Tian Lun.
“Siok-siok, jangan berkelahi lagi!” air matanya mengalir dengan deras dan membasahi pipinya.
“Sebelum ajal ayahmu telah menitipkan pesan agar aku menjaga kalian baik-baik seumur hidup ini…”
“Tetapi siok-siok tidak boleh mendapat tuduhan sebagai pengkhianat hanya gara-gara Ying-ji dan Ie-moay.”
“Sudahlah, sudahlah. Toh segalanya sudah dimulai, setidaknya harus ada suatu penyelesaian. Aku sudah berjanji kepada ayahmu. Biar bagaimana aku tidak boleh melihat kalian berdua terjerumus dalam bahaya atau kembali ke lembah mendapat hukuman dari Toa Tocu.” tiba-tiba dia merendahkan nada suaranya dan berkata lagi. “Apakah kau mempunyai kesan yang baik kepada pemuda itu?”
Pertanyaan ini membuat selembar wajah Cin Ying jadi merah padam. Hatinya berdebar- debar dan cepat-cepat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia menghindari pandangan mata Cia Tian Lun yang tajam.
Pada saat itu, hujan sudah berhenti, angin-pun tidak bertiup lagi. Hati Cin Ying malah dilanda perasaan yang tidak menentu. Hampir saja dia lupa bahwa saat itu dia sedang mencegah Cia Tian Lun melanjutkan pertarungan.
Sekonyong-konyong dia merasa ada sebuah tangan yang lembut mengelus-elus rambutnya. Telinganya mendengar nada suara Cia Tian Lun yang berat.
“Cepat kau suruh anak muda itu menghentikan pertarungan.” “Ini…”
“Cepat!”
Mendengar bentakannya, Cin Ying malah tertegun. Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat wajah Cia Tian Lun menyiratkan kepanikan yang tidak terkirakan. Sepasang matanya terus mengerling ke sana ke mari seakan menemukan suatu hal yang serius.
Sementara itu, terdengar suara benturan senjata tajam yang memekakkan telinga. Baik Tan Ki maupun Hua Pek Cing sama-sama mencelat mundur ke belakang. Wajah mereka terlihat begitu kelam, nafas mereka memburu, dada tersengal-sengal dan keringat terus mengucur dari kening keduanya. Rupanya pertarungan ini telah menghamburkan banyak hawa murni di dalam tubuh mereka dan tetap masih belum ketahuan siapa yang lebih unggul.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Lok Hong.
“Celaka!” tubuhnya berkelebat dan melesat ke depan sejauh enam tujuh langkah. Boleh dibilang dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempatnya berdiri tadi tiba-tiba meledak dan menimbulkan suara yang menggelegar, bunga api memercik ke mana-mana. Asap putih langsung bergulung-gulung di udara.
Hati Tan Ki tercekat bukan kepalang. Diam-diam dia berpikir: ‘Celaka! Rupanya di sini terdapat banyak senjata rahasia dari mesiu yang ditanamkan di dalam tanah!’
Begitu pikirannya tergerak, matanya langsung menangkap sesosok bayangan yang tidak asing lagi. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya seakan menggelegak. Kemarahan dalam dadanya seakan meluap-luap serta hampir tidak dapat dibendung.
Orang itu bukan lain dari musuh besarnya yang sempat membuat Tan Ki bersumpah dalam hati untuk membunuhnya dengan tangan sendiri, yakni Oey Kang.
Tampak dia berjalan ke arah mereka dengan menggerak-gerakkan kipas di tangannya. Tampangnya santai sekali. Di belakang tubuhnya mengikuti puluhan laki-laki berpakaian hitam. Wajah mereka masing-masing terlihat kaku dan datar. Tangan mereka menggenggam sebuah tabung, tetapi langkah kaki mereka justru demikian ringan dan lincah.
Tan Ki mengkertakkan giginya erat-erat. Tiba-tiba dia berteriak lantang kemudian menerjang ke depan. Pedang pendek di tangannya langsung meluncur keluar.
Oey Kang tertawa lebar.
“Tamu yang datang tidak boleh tidak disambut. Biar lohu membalas sebuah serangan untukmu!” kipasnya langsung dibuka, tubuhnya juga bergerak dalam waktu yang bersamaan. Perlahan-lahan dia menggetarkan kipasnya dan membalas sebuah serangan.
Tan Ki diangkat kemudian menjulur keluar, dengan mudah dia berhasil memecahkan serangan Oey Kang.
Oey Kang tertawa terbahak-bahak. “Masih ada lagi!” pergelangan tangannya memutar, timbul gelombang angin yang menghempas-hempas. Secara berturut-turut dia melancarkan tiga buah serangan. Tan Ki sampai kalang kabut dibuatnya sehingga terpaksa mencelat mundur sejauh tiga langkah. Tampak Cia Tian Lun menghentakkan kakinya di atas tanah sambil menggerutu, “Sudah terlambat!”
“Apanya yang terlambat?” tanya Cin Ying bingung. “Kalian sudah tidak keburu kabur lagi!”
Hati Cin Ying menjadi tergetar mendengarnya. Pandangan matanya mengedar, dia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Cia Tian Lun.
Rupanya saat itu berpuluh-puluh lelaki kekar yang mengiringi di belakang Oey Kang tadi sudah menudingkan tabung di tangannya ke arah mereka seakan siap menghamburkan isi tabung tersebut. Cin Ying sudah melihat dengan mata kepala sendiri sampai di mana kehebatan Ban Hua Hue-tong tersebut. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya jadi tercekat dan keringat dingin membasahi sepasang telapak tangannya.
Cia Tian Lun menarik nafas panjang-panjang.
“Toa Tocu sudah mendapat berita bahwa anak muda she Tan itu akan melalui tempat ini. Oleh karena itu, sudah dipersiapkan…” tiba-tiba dia melihat setitik sinar yang dingin meluncur ke arahnya. Tanpa terasa mulutnya berteriak. “Celaka!” tubuhnya berkelebat, secepat kilat dia melesat keluar.
Tangan kanannya masih menggenggam tangan Cin Ying erat-erat. Oleh karena itu, ketika dia melesat pergi, otomatis tubuh Cin Ying ikut tertarik.
Terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga. Bunga api dan asap putih bertebaran ke mana-mana. Rerumputan maupun bunga-bungaan yang tumbuh di sekitar
tempat itu semuanya membasah karena terpaan hujan tadi malam, tetapi ketika terkena ledakan tetap saja menimbulkan bau hangus yang menyengatkan indera penciuman. Hati Lok Hong itu tercekat. Wajahnya menunjukkan kegusaran yang tidak terkirakan. “Benar- benar senjata api yang keji.” Senjata rahasia mengandung api yang gencar ini benar-benar tidak dapat dianggap remeh. Ketiga puluh enam jendral langit masing-masing menudingkan tabung di tangan mereka ke arah lawan. Meskipun hati Lok Hong bukan main gusarnya, tetapi tetap saja dia tidak berani sembarangan mengambil tindakan.
Cin Ie masih berdiri di tempatnya dengan termangu-mangu. Kemunculan Oey Kang yang tidak terduga-duga itu seakan menimbulkan kesan ngeri di hatinya. Sepasang matanya terus mengedar ke sana ke mari menandakan hatinya yang gelisah.
Cin Ying tersenyum lembut kepadanya. Dia segera menggenggam tangan gadis itu. “Ada siok-siok di sini, kau tidak usah merasa takut.”
“Si tua bangka yang jahat itu menakutkan. Itu hari ketika dia datang berkunjung ke lembah, matanya terus menatap diri cici lekat-lekat…”
Cin Ying melirik sekilas kepada Tan Ki, dia menggoyang-goyangkan tangannya. “Urusan ini tidak usah diungkit lagi. Saat ini keadaan sedang gawat. Semuanya harus
dilakukan dengan hati-hati. Baik-baik kau berdiri di samping Cici, jangan sembarangan
bergerak. Jangan sampai perhatian cici terpencar apabila menghadapi musuh.”
Terdengar Tong Ku Lu membentak marah, “Budak sudah di ambang kematian, masih belum merasa menyesal juga!” tangannya mendorong ke depan dan melancarkan sebuah pukulan kepada Cin Ying.
Sepasang alis Cin Ying langsung menjung-kit ke atas. Baru saja dia ingin melangkah keluar dan menangkis serangan itu, tiba-tiba tampak Cia Tian Lun berkelebat lewat di sampingnya dan langsung menyambut serangan Tong Ku Lu tadi dengan kekerasan.
Setelah mengatur pernafasan sejenak, hawa murni mereka telah pulih kembali seperti sedia kala. Begitu kedua gulung tenaga dahsyat beradu, tubuh keduanya langsung tergetar hebat dengan diiringi suara yang menggelegar. Setelah terhuyung-huyung beberapa kali, kaki mereka sama-sama tergetar mundur setengah langkah.
Tiba-tiba terdengar bentakan yang keras, hati Cin Ying maupun Cin Ie sama-sama tercekat. Serentak mereka menolehkan kepalanya dan wajah merekapun berubah hebat.
Rupanya Tan Ki tidak dapat menahan kemarahan di hatinya lagi. Melihat Oey Kang melancarkan serangan yang dahsyat kepadanya, tanpa menghindarkan diri dia malah menyambut serangan itu dengan kekerasan.
Oey Kang meraung keras, lengannya digetarkan, tenaga dalam yang terkandung di dalamnya ditambah lagi sebanyak beberapa Bagian kemudian mendesak ke depan. Pada dasarnya tenaga dalam Tan Ki memang kalah sedikit dibandingkan dengannya. Mana mungkin dia sanggup menyambut pukulan yang demikian hebat. Oleh karena itu, segera terdengar dengusan berat dari hidungnya, tubuhnya terhuyung-huyung dan secara berturut-turut dia tergetar mundur beberapa langkah.
Sikap Oey Kang sangat tenang, dia tidak mengejar Tan Ki. Bibirnya malah mengembangkan seulas senyuman. Tiba-tiba dia mengangkat sepasang tangannya. Ketiga puluh enam laki-laki berpakaian hitam langsung berpencaran keluar. Tabung di tangan tetap diarahkan kepada beberapa orang itu.
Sementara itu Cia Tian Lun segera melangkah ke depan menghadang di depan Cin Ying dan Cin Ie. Sementara itu Lok Hong yang hanya berdiam diri sejak dikalahkan oleh Hua Pek Cing juga dapat merasakan gawatnya situasi. Cepat-cepat dia melesat ke depan dan berdiri berdampingan dengan pihak Tan Ki. Di depan mereka kelompok laki-laki berpakaian hitam tersebut terus melangkah maju setindak demi setindak.
Posisi Oey Kang sangat menguntungkan. Dia berdiri di tengah-tengah barisan jendral langit tersebut. Wajahnya menunjukkan mimik aneh. Tetapi entah apa sebabnya ternyata sampai sekian lama dia masih belum mengambil tindakan apa-apa.
Wajah Tan Ki merah padam, bibirnya bergetar. Kemudian terdengar dia berkata dengan tersendat-sendat, “Aku ingin mencabut nyawamu!” mungkin saking marahnya, kata- katanya sampai tidak jelas terdengar.
“Bagus sekali, bagus sekali! Tentu saja aku akan mengiringi kemauanmu.” sahut Oey Kang sambil tertawa terbahak-bahak.
Entah apa yang tersirat dalam hatinya, meskipun mulutnya menyahut perkataan Tan Ki, tetapi sepasang matanya terus memperhatikan Cin Ying lekat-lekat. Wajah Cin Ying sampai merah padam dibuatnya, dengan penuh kebencian dia meludah di atas tanah.
“Apakah Oey Sian-sing sedang menunggu kedatangan seseorang?” mendadak terdengar Hua Pek Cing mengajukan pertanyaan tersebut.
Oey Kang tertawa terbahak-bahak.
“Untuk menghadapi orang-orang seperti ini, sudah ada barisan Jendral Langitku yang hebat. Untuk apa menunggu orang lagi? Hua Sau Tocu juga terlalu memandang remeh lohu.”
“Lalu mengapa kau masih belum memerintahkan mereka untuk turun tangan?” “Tentu saja lohu mempunyai alasan tersendiri.”
Hua Pek Cing melihat mimik wajahnya yang aneh seakan ingin memohon sesuatu dari dirinya. Tetapi mungkin karena menjaga harga dirinya sendiri, Oey Kang tidak menyatakannya secara terus terang. Tanpa dapat ditahan lagi dia mengernyitkan keningnya.
“Apa sebenarnya yang kau pikirkan dalam hatimu? Mengapa tidak kau cetuskan saja terus terang”
“Tampaknya Cin Kouwnio dan Cia Tian Lun sudah mengkhianati perguruan bukan?” “Apa yang Oey Sian-sing katakan memang benar, Sau Tocu ini justru ingin meringkus
para pengkhianat itu!”
“Kalau lohu berhasil meringkus orang yang kau paling benci dalam hati, bolehkah aku mengucapkan sedikit perkataan?”
Diam-diam Hua Pek Cing menggerutu di dalam hati: ‘Mulutmu sungguh manis, tetapi sesungguhnya kau sedang mendesak aku…!’
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi penampilan di luarnya tidak berubah.
Bibirnya malah menyunggingkan seulas senyuman.
“Lohu akan membantumu membalaskan dendam dalam hati, tetapi kau harus menyerahkan nona Cin Ying kepadaku!”
Hua Pek Cing pura-pura merenung sejenak.
“Suhu telah menyerahkan urusan ini kepadaku, berarti aku boleh mengambil keputusan. Baiklah aku akan mengabulkan permintaanmu.”
Mendengar pembicaraan di antara kedua orang, itu, hati Tan Ki marah sekali. Tanpa menunda waktu dia langsung menerjang ke depan dan melancarkan serangan kepada Oey Kang.
Si raja iblis itu mengeluarkan suara tawa yang dingin. Tangannya menepuk tiga kali, kemudian dia mengeluarkan sebuah bendera merah dan mengibarkannya di udara. Para laki-laki berpakaian hitam tadi tampaknya berada di bawah kendali bendera tersebut.
Begitu melihat Oey Kang mengibarkannya, mereka serentak maju dan beberapa di antaranya langsung menghadang Tan Ki.
Pertarungan yang sengit dan tidak seimbangpun terjadi dalam sekejap mata. Tan Ki berkelebat ke sana ke mari dengan pedang pendek di tangannya dan berusaha mencari kesempatan mengincar Oey Kang. Tetapi berkali-kali dia tertahan oleh kelompok laki-laki berpakaian hitam itu. Isi tabung mulai ditekan, bunga api memercik ke mana-mana, asap- pun mengepul memenuhi udara.
Lok Hong maklum isi hati Tan Ki. Dia segera membentak nyaring dan berkelebat ke depan kemudian melancarkan serangan yang gencar ke arah beberapa laki-laki berpakaian hitam yang sedang mengurung Tan Ki. Dalam waktu yang bersamaan, terdengar mulutnya berkata, “Cepat urus musuhmu itu, biar lohu yang menangani mayat hidup ini!”
Tan Ki memandangnya sekilas dengan tatapan terharu, dendam di antara mereka seakan sirna seketika. Tanpa membuang waktu lagi dia langsung menerjang ke arah Oey Kang.
Oey Kang tertawa terbahak-bahak melihatnya. Tiba-tiba tangannya mengibas, tiga batang senjata rahasia dikibaskan keluar. Di samping itu secara diam-diam telapak tangannya yang satu lagi juga sudah menggenggam berbagai senjata rahasia dan siap dilontarkan.
Keahliannya dalam bidang senjata rahasia justru yang membuat namanya terkenal di dunia Kangouw. Tetapi apabila tidak bertemu dengan musuh yang benar-benar tangguh, dia jarang menunjukkan keahliannya itu.
Hati Lok Hong dan Cia Tian Lun tergetar. Mereka maklum sampai di mana kelihaian Oey Kang di bidang yang satu ini. Wajah mereka menyiratkan perasaan khawatir akan keselamatan Tan Ki, tetapi mereka saat ini justru sedang kelabakan diserang oleh laki-laki berpakaian hitam. Oleh karena itu, meskipun ada niat dalam hati untuk membantu, namun mereka tidak mempunyai kesempatan sama sekali.
Tiba-tiba terlihat Tan Ki menjungkir balikkan tubuhnya, tiga batang senjata rahasia melesat lewat di samping telinganya. Belum lagi tubuhnya sempat turun di atas tanah, sekonyong-konyong kembali empat batang senjata rahasia melesat datang kembali.
Tubuh Tan Ki sedang melayang di tengah udara. Meskipun dia berusaha mengerahkan hawa murninya dan menggeser tubuhnya ke samping, tetapi empat batang senjata rahasia itu justru mengincar Bagian tubuh yang berbeda-beda. Keadaannya saat itu benar- benar gawat sekali.
Cin Ie yang melihat keadaan calon suaminya, tanpa berpikir panjang lagi langsung menerjang ke depan. Cin Ying yang berdiri di sebelahnya terkejut sekali, tetapi tidak sempat lagi dia mencegah tindakan Cin Ie itu.
Tubuh Tan Ki masih melayang-layang di tengah udara. Terdengar Oey Kang tertawa terbahak-bahak. Tangannya mengibas sekali lagi. Sembilan batang pisau terbang kembali melesat keluar. Tan Ki sudah pasrah menghadapi nasib yang akan diterimanya.
Justru pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Darah memercik ke mana-mana, sesosok tubuh terhempas jatuh di atas tanah. Orang itu tidak lain adalah Cin Ie.
Di Bagian dadanya sudah tertancap sebatang pisau terbang, inilah yang merenggut nyawanya. Di samping itu pada Bagian pundak dan pinggang juga tertancap beberapa batang senjata rahasia. Wajahnya pucat pasi, darah mengalir dari seluruh panca inderanya. Orangnya sendiri sudah mati, tetapi sudut bibirnya mengembangkan seulas senyuman. Otomatis tindakannya ini telah berhasil menyelamatkan selembar jiwa Tan Ki. Dia merasa bangga dapat mengorbankan diri bagi orang yang dicintainya.
Saat itu Tan Ki sudah melayang turun di atas tanah dan berdiri di sampingnya.
Tubuhnya menggigil, sepasang tangannya mengepal erat-erat. Mimik wajahnya sungguh tidak enak dilihat. Dia berdiri tegak tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia merasa telinga berdengung-dengung. Sampai-sampai tangisan Cin Ying pun tidak terdengar jelas olehnya.
Melihat keadaannya yang seperti orang terkejut itu, diam-diam Oey Kang berpikir dalam hati: Meskipun tadi jiwamu sempat diselamatkan oleh Cin Ie, tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, apabila aku melancarkan serangan lagi, mana mungkin kau sanggup meloloskan diri dari kematian?’
Begitu pikirannya tergerak, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan melancarkan sebuah serangan.
Tiba-tiba terdengar Lok Hong berteriak de-ngan suara keras, “Hati-hati!”
Pikiran Tan Ki tersentak sadar. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya dan mencelat ke belakang. Kembali terdengar Oey Kang tertawa terbahak-bahak…
Justru ketika dia sedang tertawa itulah, pada jarak tiga depaan di sampingnya terdapat sebatang pohon siong yang tinggi. Di atasnya berdiri seorang gadis berpakaian putih, sedangkan di balik batang pohon yang besar berdiri dua orang gadis cilik.
Tampak si gadis cilik berpakaian hijau mendongakkan wajahnya sambil bertanya, “Siocia, apakah kau dapat melihatnya dengan jelas?”
“Hm, untuk sementara ini dia masih sanggup bertahan.” Gadis berpakaian hijau itu menarik nafas panjang-panjang.
“Aih… mengapa hati Siocia masih belum juga dapat dipadamkan?”
Tiba-tiba gadis yang berdiri di sampingnya menukas perkataan gadis yang pertama tadi.
“Cici Mei Hun, kau toh bukannya tidak mengerti perasaan hati Siocia, untuk apa kau bicara yang bukan-bukan sehingga hatinya bertambah bingung?”
Gadis berpakaian hijau yang pertama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tidak mengucapkan apa-apa lagi.
Tiba-tiba terdengar suara desakan dari mulut si gadis berpakaian putih.
“Dua rombongan orang-orang ini mempunyai gerakan langkah kaki yang cepat. Entah pihak mana yang datang. Kalau digabungkan mungkin jumlahnya mencapai ratusan orang.”
****
Bagian LX
Sudut bibir Hua Pek Cing maupun Tong Ku Lu menyunggingkan seulas senyuman yang licik. Mereka memperhatikan pertarungan yang berlangsung antara Tan Ki dan Oey Kang. Tentu saja bagi mereka, siapapun yang mati tidak menjadi persoalan. Mereka tinggal mengambil hasilnya saja.
Tepat pada saat itu… dari Bagian timur tiba-tiba muncul serombongan orang yang mendatangi dengan tergesa-gesa. Sementara itu dari arah utara juga muncul lagi serombongan orang yang jumlahnya mungkin tidak kurang dari lima puluhan orang.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, segulung bau hangus langsung menerpa hidung orang-orang yang ada di tempat itu, disusul dengan beberapa sosok bayangan yang berkelebat. Mereka adalah Mei Ling, Liang Fu Yong, Yan Jen Ping, Ban Jin Bu, Goan Yu Liong, Cu Cia dan Sam Po Hwesio.
Tampak tangan Cu Cia dan Sam Po Hwesio menggenggam puluhan batang bambu berisi bahan peledak dan berlari di Bagian depan.
Goan Yu Liong memperhatikan keadaan di situ sejenak, kemudian terdengar dia menarik nafas panjang.
“Biarpun kita sudah menguras otak membersihkan tempat ini, tetapi kedatangan kita tetap agak terlambat.”
“Tutup mulutmu!” bentak Cu Cia. “Keadaan Tan-heng sekarang sedang gawat- gawatnya. Jangan sampai perhatiannya terpencar karena mengetahui kehadiran kita.”
Tepat pada saat itu, terdengar suara bentakan Tan Ki yang lantang. Tubuhnya mencelat mundur dalam waktu yang bersamaan. Tampak Oey Kang berdiri dengan tangan mendekap dada. Pedang pendek milik Kiau Hun sudah tertancap di dadanya. Darah segar terus mengalir lewat gagang pedang itu.
Perubahan itu terjadi secara tidak terduga-duga. Meskipun pihak Lam Hay terus memperhatikan jalannya pertarungan, tetapi karena gerakan tangan Tan Ki terlalu cepat, mereka sampai tidak sempat melihat bagaimana caranya membunuh Oey Kang. Juga tidak ada orang yang sempat melihat bahwa menjelang kematiannya, Oey Kang masih sempat melukai pundak kanan Tan Ki.
Justru ketika tubuh Oey Kang hampir terjengkang rubuh di atas tanah, terdengar Cin Ying berteriak histeris dan menerjang ke depan sambil mengibaskan pedang di tangannya ke batang leher Oey Kang. Kepala orang itu langsung menggelinding di atas tanah.
Cia Tian Lun memondong mayat Cin Ie dan berjalan menghampirinya. Wajahnya kelam sekali menandakan hatinya yang sedang tertekan. Dia berkata dengan suara lirih, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
Pikiran Cin Ying seperti melayang-layang. Dia menyahut tanpa menolehkan kepalanya sama sekali.
“Betul, kita memang sudah harus pergi.”
Tan Ki terkejut sekali mendengar perkataannya. Dia segera melesat ke depan dan menghadang di depan Cin Ying.
“Ke mana iujuan kalian?”
“Dunia ini sangat luas. Ke manapun kita dapat melangkahkan kaki…”
Tan Ki masih berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba bayangan tubuh berkelebat, baik Cia Tian Lun maupun Cin Ying sudah melesat pergi dengan kecepatan kilat. Dalam sekejap mata mereka sudah menghilang dari pandangan.
Entah apa yang dipikirkan oleh Tan Ki. Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dibatalkan.
Tampak Mei Ling berjalan mendekatinya dan memegang lengannya. “Selamat atas keberhasilan Toako membalas dendam kematian ayah.” “Hatiku tidak merasa senang karena ini.
Adik Ie mengorbankan dirinya demi menyelamatkan selembar nyawaku…” sahut Tan Ki sambil menarik nafas panjang.
“Benar. Toako harus mencari jalan agar arwah cici Ie dapat terhibur di alam baka.”
“Aku sedang berpikir, seandainya kau dapat melahirkan beberapa putra atau putri, bagaimana kalau salah satunya mengikuti marga adik Ie agar hatinya terhibur di alam sana?”
Wajah Mei Ling tersipu-sipu mendengarkan ucapannya.
“Aku mana mempunyai rejeki sebesar itu… tapi cici Liang mungkin bisa…” “Apa?” Tan Ki terkejut sekali mendengar perkataannya.
“Cici Liang sudah hamil…”
Wajah Tan Ki langsung berubah berseri-seri. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu kepada Liang Fu Yong, tiba-tiba telinganya mendengar suara dentingan senjata dan bentakan nyaring. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya. Entah sejak kapan, baik rombongan Cu Cia, si pengemis sakti Cian Cong dan bahkan Yibun Siu San dan Tian Bu Cu sudah muncul di tempat itu dan terlibat dalam pertempuran. Tong Ku Lu menghadapi si pengemis sakti Cian Cong. Kaucu Pek Kut Kau menghadapi Tian Bu Cu, sedangkan Yibun Siu San membantu yang lainnya menggebah laki-laki berpakaian hitam yang masih terus bertarung dengan kalap.
Tan Ki cepat-cepat maju ke depan dan berteriak dengan suara lantang. “Paman Yibun, saudara-saudara sekalian! Para laki-laki berpakaian hitam itu
terpengaruh oleh semacam obat bius buatan Oey Kang. Walaupun kalian membunuh semuanya, juga hanya menambah jatuhnya korban saja!” seraya berkata, dia memungut bendera merah yang terjatuh dari tangan Oey Kang dan mencoba mengibar-ngibarkannya sebanyak tiga kali. Ternyata para laki-laki berpakaian hitam itu langsung menghentikan gerakannya, tetapi tetap berdiri kaku di tempat masing-masing. Yibun Siu San pun mengajak rombongannya menepi ke samping dan melihat perkembangan selanjutnya.
Tan Ki sendiri langsung menghampiri Hua Pek Cing.
“Aku hanya ingin menanyakan suatu hal kepadamu. Kau ingin meneruskan pertikaian ini atau kembali ke daerahmu dan berjanji tidak akan menginjakkan kaki lagi ke wilayah Tionggoan?”
Hua Pek Cing tampak ragu-ragu memberikan jawaban. Belum sempat dia berkata apa- apa, tiba-tiba terdengar suara tawa yang panjang. Tahu-tahu di sampingnya sudah berdiri tocu dari Lam Hay Bun yang misterius.
Hua Pek Cing langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan orang itu. “Suhu…!” Tocu Lam Hay Bun hanya mendengus dingin. Matanya menatap lekat-lekat pada Tan
Ki.
“Pertanyaanmu tadi salah alamat, seharusnya kau tanyakan kepadaku.”
“Kalau melihat tampangmu ini, rasanya tidak perlu kita banyak bicara. Ambisimu mungkin tidak akan sirna sebelum dirimu sendiri terkapar di atas tanah menjadi mayat!” tanpa memberi kesempatan sedikitpun, tangan Tan Ki bergerak, dia langsung melancarkan sebuah serangan kepada Tocu dari Lam Hay Bun itu. Sementara itu, tampak si gadis berpakaian putih keluar dari balik pohon siong dan menghampiri Cu Cia. Dia menyodorkan sebungkus amplop putih ke hadapannya.
“Bagikan obat ini kepada rekan-rekan yang keracunan. Sebentar saja racun tersebut akan hilang dari tubuh mereka.”
Cu Cia menyambutnya dengan termangu-mangu. Untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Baru saja dia ingin mengucapkan terima kasih. Si gadis berpakaiari putih sudah menolehkan kepalanya kepada Mei Hun dan berkata, “Mei Hun, bantu pengemis itu rubuhkan manusia berpakaian hitam tangannya menunjuk kepada Kaucu Pek Kut Kau.
Mei Hun segera mengiakan. Tubuhnya berkelebat ke depan dan pedang di tangannya langsung digerakkan dengan gencar. Baik si pengemis sakti Cian Cong maupun Kaucu Pek Kut Kau sama-sama terkejut karena tidak menyangka gadis cilik itu akan melancarkan serangan secara mendadak. Belum lagi sempat dia memaki, tahu-tahu lengan kanannya sudah tertebas oleh pedang Mei Hun sehingga darah memuncrat ke mana-mana. Tentu saja Cian Cong tidak ingin menggunakan kesempatan untuk menyerang orang yang sudah terluka. Dia segera mencelat ke samping dan menyaksikan bagaimana dalam sekejap mata saja Mei Hun sudah berhasil merubuhkan Kaucu Pek Kut Kau tersebut.
Pertarungan antara Tan Ki dan Tocu Lam Hay Bun semakin lama semakin sengit. Jurus- jurus keji dilancarkan dengan kecepatan yang tidak terkirakan. Mei Ling dan Liang Fu Yong memperhatikannya dengan wajah menyiratkan perasaan khawatir.
Tian Bu Cu menarik nafas panjang melihat ilmu kepandaian Tan Ki yang sudah mencapai taraf setinggi itu. Kepalanya menoleh kepada Mei Ling.
“Kau khawatir dia akan kalah bukan?” Mei Ling menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tahu Tan Koko memang sudah berniat mengorbankan diri, tetapi mengingat bayi
dalam kandungan cici Liang…”
Tian Bu Cu tersenyum lembut.
“Ilmu kepandaiannya saat ini sudah mencapai taraf yang tidak terkirakan tingginya, asal dia tidak memencarkan perhatiannya dan berhati-hati, mungkin dia masih bisa mengalahkan Tocu dari Lam Hay Bun itu.”
“Tetapi… dia sudah menelan obat beracun, walaupun dia dapat mengalahkan tocu itu, tetap saja dirinya tidak akan terlepas dari ke-matian…”
“Siapa bilang dia menelan obat beracun. Pinto hanya ingin menjajal ketulusan hatinya.
Obat yang Pinto berikan kepadanya malah sejenis obat penambah tenaga agar semangatnya tetap terjaga… namun, pinto masih mengkhawatirkan satu hal.”
Wajah Mei Ling dan Liang Fu Yong langsung berseri-seri mendengar keterangannya.
“Apa itu?”
“Tocu Lam Hay Bun itu menguasai semacam ilmu sesat yang mengandung racun keji, kalau dia sampai menggunakannya, kemungkinan anak Ki…”
Tiba-tiba terlihat gadis berpakaian putih itu berjalan ke depan dengan perlahan-lahan.
Dia berhenti di belakang punggung Tan Ki. Saat itu Tan Ki sedang berdiri tegak dan menatap Tocu Lam Hay Bun lekat-lekat. Setelah bergebrak dengan orang itu sebanyak beberapa jurus, Tan Ki sadar tidak mudah menghadapi lawan yang satu ini. Tetapi karena hatinya sudah nekat untuk gugur demi menebus dosanya, dia langsung mengeluarkan suara bentakan yang keras. Tubuhnya mencelat ke udara…
Tiba-tiba gadis berpakaian putih yang ada di belakangnya mengangkat sebuah jari tangannya dan mengirimkan sebuah totokan. Tan Ki merasa punggungnya tergetar. Pikirannya menjadi jernih seketika, Bagian tubuhnya yang biasanya tidak bisa dipakai mengerahkan tenaga dalam atau pun hawa murni jadi lancar seketika.
Sikap Toa Tocu dari Lam Hay Bun semakin lama semakin memperlihatkan ketegangannya. Ilmu sesat yang dipelajarinya banyak menghamburkan hawa murni, apabila menunda waktu terus, lama kelamaan…
Tiba-tiba dia melihat tubuh Tan Ki menerjang datang secepat kilat, tampak pedang pendek di tangannya mengeluarkan cahaya yang berkilauan. Hati Toa Tocu itu tercekat setengah mati. Untuk sesaat dia jadi kalang kabut. Kemudian tampak dia menghantamkan sebuah pukulan ke depan.
Serangan Tan Ki seakan tertahan, bahkan tubuhnya sendiri sempat tergetar oleh angin kencang yang timbul dari serangan Toa Tocu tersebut. Tepat pada saat itu, tampak si gadis berpakaian putih kembali melancarkan beberapa buah totokan pada tubuh Tan Ki.
Semangat Tan Ki jadi terbangkit, tubuhnya terasa nyaman. Tenaga dalamnya tiba-tiba saja bertambah dua kali lipat. Dia mengertakkan giginya erat-erat dan meneruskan serangannya yang tertunda tadi.
Mimpipun Toa Tocu itu tidak menyangka kalau si gadis berpakaian putih bisa bertindak menempuh bahaya yang demikian besar. Rupanya totokan yang dilancarkan dari jarak jauh itu merupakan suatu cara menerobos jalan darah penting tingkat tinggi. Oleh karena itu, tubuh Tan Ki. yang melayang di tengah udara dalam waktu seketika langsung merasakan perubahan pada dirinya. Sedangkan Toa Tocu sendiri begitu terkejutnya sehingga berdiri termangu-mangu.
Justru di saat itulah, pedang pendek Tan Ki sudah menerobos ke dalam jantungnya. Boleh dibilang hampir dalam waktu yang bersamaan, Tong Ku Lu rubuh di tangan Ciu Hiang, Hua Pek Cing terkapar bermandikan darah oleh pedang di tangan Mei Hun.
Toa Tocu dari Lam Hay sendiri langsung terjengkang ke belakang dengan nyawa melayang. Saat itu juga tampak tubuh Tan Ki yang baru mendarat di atas tanah, berdiri dengan terhuyung-huyung kemudian jatuh tidak sadarkan diri.
Mei Ling dan Liang Fu Yong terkejut sekali. Serentak mereka menghambur ke depan sambil berteriak, “Tan Koko…! Adik Ki!”
Wajah keduanya menyiratkan kepanikan yang tidak terkirakan, air mata Mei Ling malah sudah mengucur dengan deras.
Gadis berpakaian putih maju ke depan satu langkah. Dia menatap Tan Ki sekilas kemudian berkata, “Jangan khawatir, dia tidak akan mati…”
Sementara itu, Yibun Siu San, Ceng Lam Hong dan Liu Seng bertiga juga menghampiri dengan tergesa-gesa, “Tetapi luka yang dideritanya…”
“Tidak apa-apa, hanya terkejut karena mendapat totokan pelancar jalan darah di tengah udara tadi. Aku akan memberinya sebungkus obat agar lukanya dapat sembuh seperti sediakala, tetapi kalian tidak boleh mengatakan bahwa obat ini merupakan pemberianku. Hatinya sudah kepalang membenci aku.”
Ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir, air matanya hampir mengalir dengan deras.
Gadis berpakaian putih itu menahan kepedihan hatinya. Dia melirik Lok Hong sekilas, kemudian mengeluarkan dua pucuk surat. Yang satu diberikan kepada Mei Ling, yang satunya lagi disodorkan kepada Ceng Lam Hong.
“Sekarang Lok Locianpwe akan membawanya pergi. Kalian ikutlah dengannya.
Penjelasan yang terperinci bisa kalian ketahui di dalam surat ini.” seraya berkata, matanya menatap Tan Ki dengan perasaan yang berat. Sampai sekian lama baru dia membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu.
Di dalam dunia Bulim, tidak pernah ada seorangpun yang tahu siapa namanya. Ketika datang, dia membantu mereka menyelesaikan suatu masalah yang besar. Ketika pergi, dia justru membawa sekeping hatinya yang luka.
Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak bertemu lagi dengan Tan Ki. Di dalam suratnya dia justru meminta kepada Mei Ling, apabila Mei Ling melahirkan anak lelaki ataupun perempuan, harap satu diantaranya diantarkan ke Ming San untuk diangkatnya sebagai anak ataupun murid. Tentu saja tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana perasaan hati gadis ini yang sebenarnya…
Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tampak segurat cahaya kemerahan di batas cakrawala. Empat sosok bayangan berjalan perlahan-lahan di tengah pegunungan. Dua laki-laki dan dua wanita. Mereka adalah Tan Ki, Lok Hong, Mei Ling dan Liang Fu Yong. Mereka sedang menuju ke goa di mana terdapat ruangan batu tempat Lok Ing bersemayam.
Diam-diam Tan Ki sudah mengambil ke-putusan dalam hati untuk tidak meninggalkan goa itu untuk selama-lamanya. Dia ingin menemani arwah Lok Ing sekaligus mengundurkan diri dari dunia Bulim yang ruwet. Di sana dia akan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dengan seorang istri dan seorang selir…
****
Ketika pertarungan sudah berakhir dan semuanya kembali ke tempat masing-masing, di atas sebuah puncak gunung yang tinggi berdiri seorang pemuda berpakaian putih. Dalam
pelukannya bersandar sesosok mayat seorang gadis yang cantik jelita serta berpakaian merah.
Gadis dalam pelukannya ini mati karena Tan Ki yang juga merupakan orang yang paling dicintai gadis itu di dunia ini. Namun hati pemuda berbaju putih itu tidak membenci Tan Ki sama sekali. Matanya memandang bayangan punggung Tan Ki yang semakin lama semakin menjauh. Terdengar mulutnya menggumam seorang diri, “Tan-heng, aku akan mendoakan dirimu…”
Akhirnya dia menundukkan kepalanya kembali. Di tatapnya gadis cantik dalam pelukannya dan air matapun mengalir dengan deras.
TAMAT