Bagian 16
Justru dalam waktu yang sekejap mata dari kejauhan, berkelebat tubuh seseorang. Tampak pakaiannya yang berwarna hijau berkibar-kibar. Tampangnya demikian tenang. Tidak seperti orang yang sedang berlari kencang.
Begitu pandangan mata Tan Ki berhasil melihat orang yang mendatangi itu, hatinya langsung tercekat. Perasaannya yang tidak tenang semakin menebal. Seumur hidup memang dia tidak gentar menghadapi apapun.
Justru orang ini yang paling enggan ditemuinya.
Dalam sekejap mata, sebuah pikiran yang cemerlang segera melintas di otaknya. Tiba- tiba dia memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu. Lok Ing segera tertawa dingin.
Dengan nada marah dia membentak…
“Dari tadi aku sudah mengatakan bahwa kakekku sedang menuju ke mari. Pokoknya kau tidak bisa lari lagi!” kakinya langsung digerakkan untuk mengejar Tan Ki.
Ilmu Tan Ki memang hasil curian dari kuburan leluhur Ti Ciang Pang. Sedangkan Lok Hong merupakan Pangcu Ti Ciang Pang generasi sekarang. Apabila Tan Ki bertemu dengannya, ibarat maling kecil yang bertemu dengan pemilik barang. Bagaimana dia tidak merasa takut?
Tanpa berpikir panjang lagi, Tan Ki lari terbirit-birit. Dia seperti dikejar setan gentayangan. Ilmu silat Lok Ing masih kalah satu tingkat dengan Tan Ki, otomatis jarak di antara mereka semakin lama semakin jauh. Hati gadis itu menjadi panik. Oleh karena itu dia segera berteriak sekeras-kerasnya.
“Yaya, jangan biarkan dia kabur!” Lok Hong tertawa terkekeh-kekeh. “Anak baik, kau tidak perlu khawatir.”
Sambil berkata, dia menghimpun tenaganya. Sepasang lengan bajunya bergerak-gerak.
Orangnya sendiri sudah mencelat ke tengah udara.
Tan Ki sedang dalam keadaan terluka. Lewat pemberian obat si Pendekar Baju Putih Oey Ku Kiong dan penyaluran hawa murni si pengemis sakti Cian Cong, tampaknya sudah hampir pulih seperti sedia kala. Saat ini dia ingin meloloskan diri dari kesulitan. Oleh karena itu, gerakan kakinya pun berlari secepat kilat. Tubuhnya bagai melayang di udara. Siapa nyana, baru berlari kurang lebih dua belas depaan, tiba-tiba dia merasa kerah lehernya mengetat. Tahu-tahu tubuhnya telah ditarik oleh Lok Hong. Kakinya menggapai di atas tanah. Dia tidak bisa bergerak sedikitpun.
Tampak lengan Lok Hong bergerak. Mulutnya mengeluarkan suara bentakan. “Pergilah!” dilemparkannya tubuh Tan Ki jauh-jauh.
Anak muda itu terkejut sekali. Dia tidak berani menggunakan ilmu silatnya untuk berjungkir balik di udara. Begitu dilempar oleh Lok Hong, tubuhnya bagai sebutir bola yang melayang di angkasa. Terdengar suara Blukk! Yang memekakan telinga, tubuh Tan Ki terhempas di atas tanah. Kaki tangannya terasa ngilu. Sepasang matanya terasa berkunang-kunang.
Lok Ing tersenyum senang melihat keadaan itu. Dia berjalan lambat-lambat menghampiri. “Bagaimana? Begitu kakekku datang, meskipun di punggungmu tiba-tiba tumbuh sayap, kau juga tidak bisa lari ke mana-mana. Kata-kataku ini bukan sekedar omong besar bukan?” sindirnya tajam.
Tulang belulang dalam tubuh Tan Ki seperti berpatahan. Tetapi dia memaksakan dirinya untuk bangun.
“Mengandalkan kehebatan orang lain, apa yang patut dibanggakan?” teriaknya marah.
Mula-mula Lok Ing tertegun. Setelah sadar maksud ucapan Tan Ki, wajahnya segera berubah hebat. Biar bagaimanapun, dia memang Seorang gadis yang angkuh, mana mungkin dia sudi menerima caci maki orang lain. Kakinya sampai dihentak-hentakkan di atas tanah.
“Kau bilang aku mengandalkan nama besar kakekku untuk menghina dirimu. Baiklah, kita boleh mengulangi perkelahian kita. Lihat siapa diantara kita yang lebih unggul!” sepasang tangannya segera digerakkan. Dengan kalap dia melancarkan serangan. Yang digunakannya justru Bintang-Bintang Bertaburan yang dikerahkan Tan Ki tadi.
Tadinya dia mengira ilmu silat Tan Ki hampir seimbang dengan dirinya. Serangan yang dilancarkannya kali ini sangat keji, tetapi dia tidak menyangka dapat melukai lawannya.
Matanya melihat Tan Ki tidak mengelak maupun menangkis, seakan memandang ringan serangannya itu. Diam-diam hatinya jadi tergetar.
‘Mungkinkah dia sudah berhasil melatih semacam ilmu yang istimewa dan dapat memba-likkan tenaga seranganku?” tanyanya kepada diri sendiri.
Begitu ingatan itu melintas dalam benaknya, otomatis dia menarik kembali tenaga dalam yang terhimpun di telapak tangannya sebanyak sembilan Bagian, tetapi gerakannya tidak berhenti. Dengan gencar serangannya terus meluncur.
Kejadiannya berlangsung dengan cepat. Terdengar suara Plak! Yang keras. Dengan telak pukulan Lok Ing mendarat di dada lawannya. Tubuh Tan Ki langsung terhuyung- huyung. Kemudian tergetar mundur sejauh dua langkah. Mulutnya terbuka diapun memuntahkan segumpal darah segar. Tampak sepasang alisnya bertaut ketat. Seolah sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Tetapi dia tetap menggertakkan giginya serta memaksakan dirinya untuk berdiri tegak.
Lok Ing jadi termangu-mangu seketika.
“Mengapa kau tidak menghindar?” tanyanya penasaran.
“Siapa yang sudi dikasihani olehmu!” teriak Tan Ki sambil membalikkan tubuhnya.
Tanpa menoleh sekalipun dia langsung melesat meninggalkan tempat tersebut.
Lok Ing memandangi bayangan punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
Dia hanya merasa ada serangkum rasa pedih yang memenuhi hatinya. Tapi dia tidak, dapat menjelaskan bagaimana rasanya. Dan dia pun tidak turun tangan menghalangi kepergian Tan Ki.
Perlahan-lahan Lok Hong mendekatinya. Dia menepuk-nepuk pundak gadis itu. Bibirnya tersenyum.
“Apa yang kau pikirkan? Mengapa sampai tertegun seperti itu?” nada suaranya mengandung kasih sayang yang dalam.
Tanpa bergerak sedikitpun, Lok Ing berdiri termangu-mangu.
Ditanya sedemikian rupa oleh Lok Hong, tanpa sadar dia menyahut, “Aku sedang memikirkan dia…”
Lok Hong tersenyum simpul. “Apakah dia jahat sekali?”
Lok Ing menganggukkan kepalanya seperti burung pelatuk. Kata-kata yang tercetus dari mulutnya seperti sedang bergumam seorang diri, tetapi seperti juga sedang memberikan jawaban atas pertanyaan kakeknya.
“Betul, dia memang jahat… jahat sekali. Menyebalkan… tetapi, aku kok tidak tahu di mana letak kejahatannya?” di dasar hatinya yang paling dalam, Long Ing seakan sedang menimbun segudang rahasia. Kata-kata ini diucapkan dengan terputus-putus. Nada suaranya juga tidak menentu. Kadang tinggi, kadang pula rendah. Meskipun ilmu silat Lok Hong tinggi sekali, tetap saja ada beberapa patah yang kurang jelas tertangkap oleh telinganya.
Tetapi, biar bagaimanapun dia merupakan seorang pangcu dari sebuah perkumpulan yang sudah terkenal sekali. Pengetahuan maupun pengalamannya sangat luas. Gerak- gerik Lok Ing yang seperti orang kehilangan kesadaran serta terlena dalam lamunan, sekali lihat saja dia sudah mengerti bahwa di dalam lubuk hati gadis itu pasti ada masalah.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya. Pada dasarnya orangtua ini memang bukan orang yang bodoh. Tampak dia menarik nafas panjang kemudian mengalihkan pokok pembicaraan.
“Mari kita berangkat. Pek Hun San Ceng merupakan tempat yang berbahaya. Boleh dibilang sebuah sarang harimau. Kepergian kita kali ini mungkin akan menghadapi ajang pembunuhan yang menyeramkan. Sebaiknya kau lebih berhati-hati dan jangan bertindak gegabah.”
“Aku sudah tahu. Yaya, aku tidak akan menurunkan derajat perkumpulan kita.”
Pada saat berbicara itu, keduanya sudah mengerahkan ilmu ginkangnya dan melesat secepat bidikan anak panah. Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, mereka sudah keluar dari daerah pegunungan. Begitu memandang dari kejauhan, tampak sebuah bangunan yang besar sekali. Sekelilingnya ditumbuhi pepohonan yang merambat dan lebat sehingga temboknya hampir tertutup.
Justru ketika sedang berlari pesat melesat ke depan. Dari balik sebatang pohon yang baru saja mereka lalui, muncul seorang pemuda berwajah tampan. Dia tidak lain dari Cian bin mo-ong Tan Ki.
Tadinya dia berpikir, setelah meninggalkan rombongan Liu Seng, dia akan merias dirinya menjadi orang lain. Dengan demikian, apabila dia ingin menolong orang atau pun membalas dendam, dia dapat bergerak dengan leluasa. Siapa tahu Lok Hong dan cucunya juga datang ke Pek Hun Ceng. Meskipun dia mempunyai nyali sebesar apapun, tetap saja ia tidak berani bertemu lagi dengan Lok Hong. Dia bermaksud menghindarkan diri dari orang ini sejauh-jauhnya. Dengan demikian, hatinya bisa menjadi tenang. Mana sudi dia pergi ke Pek Hun Ceng saat ini?
Tetapi mengingat musuh besar yang membunuh ayahnya juga ada di dalam, kebencian di dalam hatinya semakin menjadi-jadi. Rasanya sulit untuk memadamkan kobaran api kemarahan dalam dadanya.
Pikirannya melayang-layang. Otaknya terus berputar. Untuk sesaat dia merasa mundur salah, maju juga salah. Hatinya gelisah luar biasa. Kakinya melangkah ke depan, tetapi tidak membedakan utara selatan timur maupun barat. Pokoknya dia hanya melangkah terus.
Matahari bersinar terik, angin hangat bertiup sepoi-sepoi. Keadaan ini membuat perasaan orang jadi terlena. Hati Tan Ki sedang gundah. Dengan termenung-menung dia
terus melangkah. Telinga maupun matanya seperti kehilangan kepekaannya. Entah sejak kapan, dari belakangnya terlihat mengikuti seorang gadis. Wajahnya cantik jelita.
Penampilannya agung, langkahnya lemah gemulai. Seperti hembusan angin yang lembut bergerak-gerak. Diantara ketegarannya terselip kelembutan.
Gadis ini seperti selir Ong Sun Ping di masa lampau. Di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota yang bertahtakan batu permata. Cahayanya berkilauan. Dandanan maupun pakaiannya mewah sekali. Sekali lihat saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia bukan dari golongan orang biasa.
Tampaknya dia mempunyai maksud tertentu dengan mengikuti Tan Ki dari belakang. Gerak-geriknya juga berani sekali. Dia tidak menyembunyikan diri atau berjalan dengan mengendap-endap. Jaraknya juga segitu-segi-tu saja. Dia berjalan perlahan-lahan dalam batas lima langkah dengan Tan Ki. Sudah cukup lama juga mereka berjalan.
Tiba-tiba, kedua orang itu melintasi sebuah padang rumput. Pek Hun Ceng sudah mulai tampak di depan mata. Dari belakang tubuh kedua orang itu mendadak berhembus segulungan angin.
Lamunan Tan Ki seperti tersentak. Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya.
Kepalanya didongakkan dan hidungnya pun mengendus-endus. Perempuan itu terkejut sekali. Dia menundukkan kepalanya serta mencium-cium tubuhnya sendiri. Kemudian dia mendengus dingin.
“Tidak perlu mencari lagi. Aku ada di sini!” Tan Ki membalikkan tubuhnya dengan gerakan terperanjat. Begitu matanya memandang, tanpa dapat di tahan lagi dia terkejut sekali karena merasa hal itu di luar dugaannya. “Kau, Kiau Hun?” Kiau Hun tertawa dingin.
“Aku kira kau sudah lama melupakan namaku…”
Ketika pertama kali berkenalan dengan Tan Ki, dia langsung tertarik dengan ketampanan serta kegagahan anak muda itu. Malah tanpa memperdulikan keselamatan nyawanya sendiri, dia menolong pemuda itu sebanyak dua kali. Akhirnya dia malah dikeluarkan dari perguruan oleh Ciu Cang Po yang merasa marah sekali akan tindakannya yang kurang ajar. Kemudian mereka berjanji untuk bertemu kembali di sebelah barat kota Lok Yang. Tidak disangka, bintang jodoh Tan Ki sedang bersinar terang, sekaligus sedang gelap. Dia bertemu dengan kakek Lok Hong serta cucunya Lok Ing. Waktu itu dia berhasil diringkus oleh mereka. Kemudian dia berhasil ditolong Liang Fu Yong, keduanya terlibat berbagai masalah yang bersangkutan dengan hubungan antara pemuda-pemudi. Bersama- sama mereka menuju ke Cui Sian Lau yang mana menyebabkan salah paham di pihak Kiau Hun. Gadis itu meninggalkan dirinya dengan hati yang marah.
Gadis ini mempunyai perasaan hati yang romantis namun selalu sirik dan cemburunya besar sekali. Malah melebihi orang lain. Begitu mengucapkan kata-kata tadi, tampangnya dingin dan datar sekali, namun di dalamnya terselip kepedihan yang disembunyikan.
Tan Ki tersenyum simpul.
“Cen Kouwnio, urusan hari itu sebetulnya hanya sebuah salah paham…”
Kiau Hun tidak menunggu sampai dia menyelesaikan kata-katanya. Dia segera menukas.
“Kalau memang hanya kesalahpahaman, mengapa kau melamarnya?” kembali tertawa dingin, namun hatinya pilu tidak terkira. “Kau hanya manis di bibir dan menganggap aku tidak tahu apa-apa.”
Hati Tan Ki tergetar mendengar ucapannya.
“Tidak ada kejadian seperti itu. Aku menerima budi pertolongan Nona sebanyak dua kali, belum lagi aku sempat membalasnya. Mana mungkin aku mempunyai pikiran jahat? Meskipun Cayhe hanya seorang Bu Beng Siau-cut (Prajurit Tidak Ternama), tetapi tahu mengingat budi. Mendongak tidak memalukan langit, menunduk tidak meludah di atas tanah.”
Mulut Kiau Hun bergerak-gerak. Tadinya dia bermaksud mencaci maki anak muda itu sehingga kekesalan hatinya dapat terlampiaskan. Ucapan sudah sampai di ujung bibir, bergerak-gerak, namun tiba-tiba membungkam seribu bahasa. Ada segulungan kesedihan yang rumit terlihat pada sepasang alisnya yang berkerut.
Tan Ki maklum sekali perasaan gadis ini. Asmaranya bagai kobaran api, keberaniannya tidak perlu diragukan lagi, kalau bukan mengalami urusan yang besar sekali, tampangnya pasti tidak akan demikian sedih dan tidak bersedia mengucapkan sepatah katapun.
Di pihak lain dia juga sadar bahwa kesalahpahaman di antara mereka bukan hal yang dapat dijelaskan dengan satu dua kalimat. Tanpa terasa dia menundukkan kepalanya merenung. Dia berusaha mencari jalan keluar yang baik agar semuanya dapat diselesaikan dengan tuntas.
Di hati mereka masing-masing terdapat berbagai masalah. Untuk sesaat lamanya mereka tidak membuka suara. Meskipun mereka berdiri berhadapan, tetapi suasananya seakan ruwet sekali. Angin yang hangat berhembus, jubah panjang Tan Ki serta gaun Kiau Hun berkibar-kibar.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, Kiau Hun seperti teringat akan sesuatu hal.
Mulutnya mengeluarkan suara keluhan. Dia segera mendongakkan kepalanya menatap langit.
“Hari sudah siang, aku akan pergi sekarang juga…” dia merandek sejenak. Di wajahnya tersirat kepedihan menjelang perpisahan. Dengan lambat dia melanjutkan kata-katanya, “Mengenai urusan kita, aku… tidak berani berharap lagi.” tenggorokannya seperti tercekat. Kata-kata yang belum selesai diucapkan tidak sanggup diteruskannya lagi. Perlahan-lahan dia berjalan ke depan.
Tan Ki menjadi panik. “Kau hendak ke mana?”
Mendengar pertanyaannya, tanpa sadar Kiau Hun menghentikan langkah kakinya. Hatinya ingin sekali kembali dan bercakap-cakap dengan Tan Ki. Tetapi rasanya sulit memuntahkan penderitaannya menjadi kata-kata. Apabila dapat melihat wajah Tan Ki
untuk terakhir kalinya, hati Kiau Hun sudah merasa puas. Tetapi gadis ini mempunyai perasaan rendah diri yang dalam sekali. Meskipun dia ingin berjalan kembali, tetapi hatinya terasa kesal. Dia memaksakan dirinya menahan gejolak asmara dalam hati, perlahanlahan dia meneruskan langkah kakinya.
Perasaan hatinya saat ini sangat gundah. Dia dibimbangkan dua pilihan antara kembali atau tidak. Langkah kakinya pun semakin berat. Jalannya bagai siput merayap.
Tan Ki berdiri membelakangi punggung gadis itu. Dia tidak tahu dalam waktu yang singkat wajah gadis itu sudah berubah berapa kali. Melihat dia berjalan pergi, hatinya menjadi panik.
“Cen Kouwnio, biarkan aku mengucapkan beberapa patah dahulu. Pada saat itu kalau kau tetap ingin pergi, juga belum terlambat. Kalau kesalahpahaman ini tidak dibikin terang, kau malah akan salah tanggap terhadap pribadiku sebagai seorang laki-laki.
Dengan demikian, apakah kelak aku masih mempunyai muka untuk bertemu denganmu?” teriaknya gugup.
Kiau Hun tidak menyahut sepatah katapun. Langkahnya terus dipercepat dan tubuhnya pun melesat ke depan. Dia seakan takut mendengarkan penjelasan dari mulut Tan Ki.
Gerakannya seperti kilat. Dalam sekejap mata, dia sudah melesat sejauh empat puluh de- paan.
Tiba-tiba terasa kibaran pakaian melesat ke depan. Tan Ki merentangkan kedua tangannya dengan kalap. Dia menghadang di depan Kiau Hun. Tubuh gadis itu sedang menerjang secepat kilat, tahu-tahu sudah teringkus olehnya.
Diam-diam Tan Ki merasa terkejut setengah mati.
‘Melihat gerakannya yang ringan dan mantap, rasanya tidak dipaksakan sedikitpun. Meskipun sedang berlari begitu cepat, dia dapat menghentikan gerakannya pada tepat waktunya… mungkinkah ilmu silatnya sudah mendapat kemajuan yang pesat…? Kalau dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, tampaknya lebih hebat sepuluh kali lipat.’ pikirnya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, bibirnya tetap tersenyum simpul. “Apakah kau benar-benar masih merasa marah terhadapku?”
Kiau Hun menghembuskan nafas panjang-panjang.
“Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Tetapi saat ini aku sedang tidak tenang, malas berbicara dengan siapapun.”
“Kalau memang tidak tahu, mengapa kau tidak memperdulikan aku, malah memalingkan kepala dan pergi begitu saja?” tanya Tan Ki kembali.
Mendengar pertanyaannya, Kiau Hun jadi termangu-mangu. Dia merasa di balik ucapan Tan Ki terselip semacam maksud yang aneh. Pada dasarnya, dia memang seorang gadis yang mudah curiga. Begitu pikirannya melintas, wajahnya jadi merah padam. Setelah beberapa lama berlalu, dia tetap tidak dapat memberikan jawaban.
Tan Ki menunggu beberapa saat, tetapi Kiau Hun tetap diam saja. Hatinya menjadi panik. “Mengapa kau tidak berbicara?” Kiau Hun menarik nafas dalam-dalam. “Apa yang harus aku katakan?”
“Apa saja boleh, asal kau yang berbicara, soal apapun aku akan senang mendengarkannya.” Kiau Hun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sayangnya aku tidak mempunyai kegembiraan seperti itu. Maaf, aku tidak dapat menemani lebih lama lagi.” perlahan-lahan dia melangkahkan kakinya dan lewat di samping Tan Ki.
Dari jawabannya yang dingin dan kaku, Tan Ki sadar salah paham yang terjadi di antara mereka sulit sekali diselesaikan. Dia melihat Kiau Hun sama sekali tidak menolehkan kepalanya dan berjalan terus ke depan.
Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
‘Pengalaman yang berlangsung beberapa hari ini, tampaknya semua menyangkut jodoh yang tidak berkelanjutan dengan kaum perempuan. Setiap orangnya mempunyai watak yang berlainan dan sulit dimengerti. Keketusan Lok Ing membuat kepala menjadi pusing dan takut. Kepedihan serta rasa tertekan dalam hati Liang Fu Yong ketika meninggalkan diriku…’
Berpikir sampai di sini, pengalaman yang berbeda-beda selama beberapa hari ini melintas satu per satu di benaknya. Tanpa terasa, kakinya terus melangkah ke depan, diam-diam dia mengikuti di belakang Kiau Hun.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Perhiasan di seluruh tubuh maupun pakaiannya menimbulkan suara gemerincing yang tiada berhenti. Telinga Tan Ki seakan tidak mendengar suara apapun. Dengan termangu-mangu dia terus mengikuti di belakang gadis itu. Langkah kakinya bagai mayat hidup, tampang wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun. Dia benar-benar seperti orang yang telah kehilangan kesadarannya.
Kiau Hun tahu Tan Ki mengikuti di belakangnya. Tetapi dia tidak pernah menolehkan kepalanya sedikitpun. Perasaan hatinya yang gundah, membuat sepasang alisnya mengerut. Bibirnya sering digigit sendiri. Hal ini membuktikan bahwa masalah yang memenuhi hatinya pasti besar sekali.
Begitu mata memandang, kurang lebih sepuluh depaan di depan sana, terdapat sebuah bangunan yang luas sekali. Pintu gerbangnya sangat tinggi, juga lebar. Cukup untuk tiga buah kereta yang keluar masuk sekaligus. Di dalam halaman gedung itu terlihat kamar- kamar yang berderetan. Sebaris demi sebaris dari depan hingga belakang. Ruangannya besar-besar dan dekorasinya indah. Entah berapa luas tanah yang mencakup seluruh bangunan ini. Tetapi kalau diperhatikan dari luar, dapat diketahui bahwa bangunannya sendiri begitu luas sehingga mengejutkan.
Kiau Hun menghentikan langkah kakinya dan menatap, sejenak. Dari hidungnya terdengar suara dengusan yang dingin. Dia membalikkan tubuhnya. Tanpa dapat ditahan lagi, seseorang yang sedang berjalan dengan termangu-mangu di belakangnya langsung berbenturan dengan dirinya.
Perubahan yang mendadak ini benar-benar di luar dugaan keduanya. Meskipun otaknya cerdas dan nyalinya besar sekali, tetapi dari mulutnya terdengar suara aduhan yang keras. Secara refleks dia mengulurkan tangannya dan memeluk orang itu.
Rupanya, meskipun Tan Ki berjalan dengan mata terbuka lebar, tetapi pikirannya melayang-layang. Dia terus melangkah tanpa memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Dengan tidak terduga-duga Kiau Hun menghentikan langkah kakinya lalu membalikkan tubuh, dia masih belum menyadari. Dengan termangu-mangu dia terus melangkah. Sampai Kiau Hun memeluk dirinya, lamunannya baru tersentak, dia langsung mengeluarkan suara aduhan, wajahnya yang tampan menjadi merah padam seketika.
Malunya bukan main. Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepa-lanya dalam-dalam.
Saking kesalnya, Kiau Hun sampai menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali. “Bagaimana sih kau ini? Tempat begini luas tidak memilih jalan yang lain malah
menabrak badan orang!” bentaknya dengan nada jengkel.
Tan Ki tersenyum cengar-cengir.
“Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa pemandangan di depan mata seakan samar-samar. Apapun tidak dapat terlihat dengan jelas. Mungkin karena masalah yang kupikirkan sudah terlampau banyak sehingga…” tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya menatap ke sekeliling. Mulutnya langsung mengeluarkan seruan heran. Jari tangannya menunjuk ke arah bangunan yang besar itu.
“Aneh, mengapa aku bisa kembali lagi ke Pek Hun San Ceng?”
“Benar-benar lucu! Kau sendiri yang mengikuti di belakangku. Setelah menempuh perjalanan sedemikian jauh, apakah kau masih tidak merasa?”
Tan Ki langsung menepuk batok kepalanya sendiri. “Apakah tujuanmu memang bangunan ini?”
“Tidak salah!” sahut Kiau Hun dingin. “Untuk apa?”
“Bukan urusanmu!”
“Aku menanyakanmu tentang hal ini hanya karena bermaksud baik. Sama sekali tidak ter-kandung niat lainnya. Mengapa kau selalu bicara dengan ketus dan nada dingin kepadaku? Pemilik bangunan ini merupakan raja iblis yang paling ditakuti di zaman ini. Di dalam bangunan ini, setiap langkah telah dipasang perangkap. Di mana-mana terdapat bahaya mengintai. Begitu masuk ke dalam, ibarat terjerat jaring maut, hidup tidak mungkin, mati sudah pasti. Meskipun kau sudah mendapat didikan ilmu silat dari Ciu Cang Po, namun tetap saja tidak boleh ceroboh. Dengan tidak berpikir panjang lagi langsung ini masuk ke dalam.” kata Tan Ki menasehati.
Ucapan ini dicetuskan dengan lancar. Maknanya sangat dalam dan keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Nadanya mengandung perasaan khawatir dan penuh perhatian.
Kiau Hun yang mendengarnya sampai terharu. Hatinya terasa pilu, air matanya pun mengalir dengan deras. Tetapi dia masih merasa kesal.
“Kau toh sudah mempunyai perempuan jahat itu, mengapa masih berpura-pura seakan penuh perhatian terhadap diriku?”
Tan Ki menarik nafas panjang.
“Aku sudah mengatakan bahwa semua itu hanya salah paham, kau masih juga tidak percaya. Apalagi yang dapat kulakukan?”
Di saat bicara itulah, tiba-tiba terdengar suara suitan yang panjang. Dibawa oleh hembusan angin bagai kilat yang menyambar sebelum hari hujan. Kumandangnya memecahkan keheningan. Kedua orang itu merasa hatinya tercekat. Jantungpun laksana diganduli beban yang berat. Dalam waktu yang bersamaan, mereka memalingkan wajahnya, tampak sesosok bayangan sedang melesat keluar bagai terbang. Kedua kakinya terus bergerak. Kecepatannya bagai anak panah yang meluncur. Dalam sekejap mata, dia sudah berdiri di atas jembatan yang terdapat di depan bangunan.
Kekuatan sinar mata kedua orang itu tajam sekali. Meskipun jarak mereka masih kira- kira empat puluh lima depaan, tetapi mereka dapat melihat dengan jelas, pakaian, raut wajah maupun senjata yang digunakan orang itu.
Orang itu adalah seorang nenek yang jelek dan sudah tua sekali. Tubuhnya yang kurus berdiri di atas jembatan, seakan-akan bisa terbang melayang bila dihempas oleh angin yang agak kencang. Tangannya menggenggam sebatang tongkat berbentuk aneh yang digunakan sebagai tumpuan.
Hati Tan Ki langsung tergetar.
“Suhumu sudah datang.” katanya dengan suara lirih.
Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas satu kali. Matanya memancarkan hawa pem- bunuhan yang tebal. Dia tertawa dingin.
“Nenek itu sudah mengusir aku dari perguruannya. Hubungan di masa lalu sudah hilang tanpa tersisa sedikitpun. Kalau dia berani menghalangi apapun yang akan kuperbuat, maka aku akan menyuruh dia mencoba barang dua jurus ilmu pukulanku ini.” sahutnya ketus.
Baru saja kata-katanya yang terakhir diucapkan, tiba-tiba dia mengerahkan tenaga dalamnya dan melesat ke depan. Tan Ki mengikuti di belakangnya dengan ketat.
Kecepatan mereka hampir seimbang. Tetapi anak muda itu merasa gerakannya ringan dan cepat sekali. Gaunnya yang berkibar-kibaran menentang angin menimbulkan suara yang berdesir-desir. Di udara bagai ada serangkum kekuatan yang bergerak-gerak mengiringi berkelebat-nya tubuh Tan Ki dan mendesaknya dari dua arah.
Hati Tan Ki terkejut sekali.
‘Baru beberapa hari tidak berjumpa, ternyata ilmu silatnya sudah maju sedemikian pesat,’ katanya kepada diri sendiri.
Tepat pada saat pikirannya tergerak keduanya sudah melesat ke atas jembatan lalu menghentikan langkah kakinya. Tampaknya untuk sesaat Kiau Hun agak bimbang. Dia merasa serba salah. Masuk atau jangan. Tetapi tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat- erat. Dengan wajah mendongak dan dada dibusungkan dia melangkah maju.
Dia membungkam seribu bahasa. Langkah kakinya merapat ke arah Ciu Cang Po.
Meng-hadapi bekas gurunya, ini, perasaan Kiau Hun agak tenang. Tampaknya dia juga tidak berani memandang ringan.
Cuaca yang cerah, udara yang lembut, tiba-tiba diselimuti dengan ketegangan yang luar biasa. Tan Ki melihat kedua bekas guru dan murid itu sebentar lagi akan bergebrak, tanpa terasa seluruh tubuhnya dibasahi keringat dingin. Hatinya bermaksud mendamaikan mereka, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan panik dia berdiri di samping sambil meremas kedua tangannya serta menghentakkan kakinya berulang kali.
Tetapi dia tidak berani maju ke depan.
Tiba-tiba terlihat Ciu Cang Po mengangkat lengannya ke atas. Tongkatnya yang aneh di-rentangkan ke depan menghadang Kiau Hun. Nenek itu sudah dicekoki obat Li Hun Tan
(Pil Pelenyap Sukma) oleh Oey Kang. Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun. Tapi membawa kesan yang angker. Meskipun berdiri di bawah sorotan terik matahari, namun ada semacam perasaan yang menyeramkan yang membuat seluruh tubuh gemetar dan hati menggidik.
Sepasang alis Kiau Hun terjungkit ke atas.
“Apakah kau bermaksud menghadangku?” bentaknya marah. Hawa murninya di himpun. Tiba-tiba, dengan cepat dia maju dua langkah. Dirinya menyongsong ke arah tongkat aneh di tangan Ciu Cang Po.
Ciu Cang Po telah dicekoki pil pelenyap sukma oleh Oey Kang. Pikirannya hilang, tetapi ilmu silatnya tetap seperti biasa. Melihat Kiau Hun menerjang ke arahnya, tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara raungan yang keras, lengannya disurutkan, tongkatnya pun tertarik ke belakang, pergelangan tangannya memutar, timbul beratus-ratus bayangan tongkatnya. Dengan gencar dia menyerang ke arah dada Kiau Hun.
Nenek tua ini pernah bergebrak dengan Cian Cong sebanyak ratusan jurus. Meskipun akhirnya dia dikalahkan oleh jurus Hui Siu-jut lin, tetapi dia menggunakan detik-detik yang membahayakan itu untuk menendang Cian Cong sehingga terluka. Hal ini membuktikan bahwa ilmu silat nenek kurus ini tidak dapat dipandang ringan.
Kali ini, serangan tongkatnya ini mengandung kekuatan yang luar biasa. Angin yang terpancar sangat keras, seiring dengan gerakan tangannya menimbulkan suara seperti siulan. Pengaruh suara itu hebatnya bukan main.
Kiau Hun tertawa ringan, dihimpunnya hawa murni ke Bagian dada, tiba-tiba dia melesat mundur kurang lebih tiga mistar. Dengan tubuh agak membungkuk, tongkat di tangan Ciu Cang Po terus meluncur ke depan. Ketika pergelangan tangannya bergerak, selalu membawa suara seperti siulan, tongkat ini mengincar salah satu urat darah Kiau Hun yang mematikan.
Gadis itu seperti sengaja mengalah. Dia tidak pernah membalas menyerang, dengan gerak tubuh yang lemah gemulai, orangnya sudah sampai di ujung jembatan.
Tadinya dia menganggap Ciu Cang Po adalah manusia yang angkuh. Tiga jurus dilancarkan, Kiau Hun seakan terdesak mundur, dia pasti menggunakan kesempatan itu untuk mendesak terus. Tetapi dugaannya ternyata salah. Ketika dirinya terus mencelat mundur dan sudah sampai di ujung jembatan, ternyata nenek itu tidak menyerang lagi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri ke tempat semula.
Wajahnya yang datar dan tidak menunjukkan perasaan apa-apa masih terlihat. Dia berdiri tegak dengan mencekal tongkat di tangannya erat-erat.
Kiau Hun jadi tertegun. Tiba-tiba dia berteriak dan tubuhnya bergerak menerjang ke depan, dengan jurus Ci Yang Tian Bun (Terus Menerjang Menuju Pintu Langit), tangannya mengambil posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan.
Ciu Cang Po tetap membungkam. Tongkatnya segera terulur ke depan. Dengan jurus ‘Menahan Gulungan Angin’ dikerahkannya tenaga dalam sebanyak sepuluh Bagian seakan hendak mengadu kekerasan dengan Kiau Hun.
Gadis itu memperdengarkan suara tertawa yang dingin, pukulan di tangan kirinya terus menyerang tanpa perubahan apa-apa, pukulan di tangan kanannya segera menyusul di belakang. Tahu-tahu dia mengganti jurus serangannya. Yang dikerahkan sekarang adalah ‘Daun-daun berguguruan di musim semi’.
Ciu Cang Po mendapat tugas menjaga jembatan. Dia tidak boleh membiarkan siapapun masuk ke dalam. Jurus serangan Kiau Hun ini tampaknya merupakan ilmu yang biasa- biasa saja. Tetapi dalam satu jurus dia menggabungkan dua macam gerakan, begitu dilancarkan dapat meraih manfaat yang besar. Tanpa diduga hal itu menambah kekuatan pengaruhnya. Angin pukulan serta bayangan lengan memenuhi atas jembatan tersebut.
Sepasang kaki Ciu Cang Po berdiri tanpa bergerak, Bagian atas tubuhnya bergeser sedikit untuk menghindari serangan Kiau Hun. Tiba-tiba dia membentak dengan suara keras, lengan kanannya menambah kekuatan dan datangnya serangan begitu mendadak serta cepat tidak kepalang tanggung.
Terdengar suara beradunya pukulan yang menggelegar memecahkan keheningan.
Ternyata mereka memang mengadu kekerasan, hasilnya kedua orang itu tergetar mundur satu langkah.
Melihat keadaan itu, hati Tan Ki terkesiap.
‘Dengan tangan kosong, Kiau Hun mengadu kekerasan melawan tongkat Ciu Cang Po.
Nyatanya dia hanya tergetar mundur satu langkah. Entah ilmu perguruan mana yang digunakan olehnya?’ pikirnya diam-diam.
Justru ketika otaknya sedang mereka-reka, dengan keberanian yang luar biasa, Kiau Hun yang baru mundur sudah maju kembali. Sepasang telapak tangannya dirangkapkan. Dengari jurus Dua Gulung Angin Berhembus Di Telinga, dia menerjang ke depan. Pada saat yang hampir bersamaan, kaki kirinya terangkat ke atas serta mengirimkan sebuah tendangan ke arah perut lawan. Begitu bergerak maju, dia langsung melancarkan dua buah serangan yang keji sekaligus.
Meskipun Ciu Cang Po sudah kehilangan kesadarannya karena dicekoki pil pelenyap sukma oleh Oey Kang, namun reaksi refleks yang terdapat di benaknya belum hilang secara keseluruhan. Melihat Kiau Hun begitu berani, justru setelah mereka mengadu kekerasan dan bahkan tidak mengatur pernafasannya lagi, kembali menyerang dengan demikian keji. Hati kecilnya agak tergetar, dia bermaksud menghindarkan diri, tiada kesempatan lagi baginya. Terpaksa dia mengulurkan lengan kanannya, dalam posisi menahan di depan dada, dia melancarkan sebuah pukulan, dan sekali lagi mengadu kekerasan dengan hantaman Kiau Hun.
Paha kanannya juga mengerahkan sebuah tendangan menyambut tendangan kiri gadis itu. Terdengar lagi suara benturan yang keras, tiga pukulan dan dua tendangan bertemu dalam saat yang hampir bersamaan.
Kembali hati Tan Ki tercekat.
‘Cara bertarung yang tidak perduli mati hidup ini, benar-benar merupakan hal yang belum pernah kudengar apalagi menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apabila salah satu pihak tenaga dalamnya lebih tinggi sedikit saja, lawannya pasti akan terpukul mati…’ pikirnya diam-diam.
Terdengar suara tertawa yang dingin dan dengusan hidung yang terpancar dalam waktu bersamaan, kedua orang itu sama-sama tergetar mundur tiga langkah. Mengadu kekerasan secara berturut-turut sebanyak dua kali, membuat hawa murni di dalam mereka agak bergejolak, mereka sama-sama merasakan aliran darah seakan membalik dan membuat sesak nafas.
Begitu kakinya berdiri dengan mantap, Ciu Cang Po segera memejamkan matanya mengatur pernafasan. Sedangkan Kiau Hun seakan sudah bertekad untuk menyelesaikan pertarungan tersebut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia kembali menerjang ke depan. Pergelangan tangannya terulur, jari tangannya membentuk totokan dan langsung dilancarkan ke dada lawan.
Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya dia menerjang kembali, benar-benar di luar dugaan orang. Dalam perasaan Ciu Cang Po, pukulan yang dikerahkan oleh Kiau Hun tidak lebih kuat dari dirinya sendiri. Tetapi setelah mengadu kekerasan sebanyak dua kali, hati kecilnya merasa dirinya tidak kuat bertarung lagi. Oleh karena itu, berdasarkan anggapannya, dia mengira pihak lawannya juga pasti tidak kuat lagi meneruskan pertarungan. Itulah sebabnya dia berani memejamkan mata mengatur pernafasan. Siapa sangka kenyataannya benar-benar lain dari dugaannya. Ketika dia tersadar, telapak tangan Kiau Hun sudah menghantam telak dadanya.
Nenek itu sedang dalam keadaan kehabisan tenaga, ditambah lagi kesadaran pikirannya yang hilang. Tentu saja kegesitan ataupun kecepatan daya tangkapnya tidak dapat dibandingkan dengan biasanya. Yang mana dia mempunyai akal untuk menentukan apa yang harus dilakukannya. Saat ini sepasang matanya baru saja terbuka kembali, tahu- tahu dadanya sudah terkena pukulan Kiau Hun yang dahsyat. Pada saat itu juga, dia seakan merasa dadanya terhimpit oleh beban yang berat. Isi perutnya seperti menjungkir balik di dalam. Sepasang kakinya tidak dapat dipertahankan lagi, mulutnya membuka dan diapun memuntahkan segumpal darah segar, tubuhnya sendiri langsung melayang sejauh tujuh delapan mistar.
Terdengar suara dentangan yang keras, tongkatnya yang aneh terjatuh ke samping jembatan. Sedangkan nenek itu terhempas jatuh dalam posisi duduk di atas tanah.
Tan Ki melihat permukaan jembatan penuh dengan bercak darah. Tiba-tiba hatinya menjadi khawatir, cepat-cepat dia menghambur maju ke tempat itu.
“Cen Kouwnio, meskipun suhumu tempo hari pernah berbuat hal yang menyakitkan hatimu, tetapi diantara kalian pernah terjalin hubungan yang dekat. Tidak seharusnya kau turunkan tangan sekeji ini dan membuatnya terluka sedemikian rupa. Kalau sampai urusan ini tersebar di luaran kelak, orang pasti akan menyalahkan dirimu. Aih! Sayangnya gerakanmu terlalu cepat, membuat orang yang berniat menolongpun tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Seandainya aku keburu…”
Kiau Hun tertawa dingin.
“Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa di antara kami tidak ada hubungan apa- apa lagi. Dia sudah mengusir aku dari pintu perguruan, di dalam hatiku juga tidak menganggapnya sebagai guru lagi. Aku tidak membunuhnya saja, dia sudah harus berterima kasih.”
Sembari berkata, orangnya sendiri sudah berjalan sampai hadapan Ciu Cang Po. Tanpa melirik sedikitpun, dia terus melangkah ke dalam bangunan tersebut. Tampangnya demikian dingin serta angkuh.
Tan Ki menatap Ciu Cang Po sekilas. Tampak wajahnya yang pucat pasi masih juga kaku dan datar. Tidak menunjukkan perasaan apapun. Angin terus bertiup sepoi-sepoi, bahkan menerpa diri nenek itu, tetapi dia seperti tidak merasakannya. Sepasang matanya yang membelalak seperti orang yang termangu-mangu. Dia tidak bergerak ataupun mengeluarkan suara. Dengan terduduk di atas jembatan, dibandingkan dengan orang mati, dia hanya kelebihan satu hal, yakni nafasnya yang tersengal-sengal. Kalau dipikir, biar bagaimanapun dia adalah seorang tokoh Bulim yang lihai sekali. Namanya sudah terkenal. Ilmu silatnya tinggi, tenaga dalamnya hebat, bahkan tidak jauh berbeda dengan si pengemis sakti Cian Cong. Sekarang justru terjatuh dalam keadaan yang demikian mengenaskan. Hati Tan Ki jadi iba. Diam-diam dia menarik nafas panjang. Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian meneruskan langkah kakinya menyusul Kiau Hun.
Begitu mata memandang, jalan setapak yang ditata rapi ternyata sunyi senyap. Tetapi keheningan yang berlebihan itu malah menambah ketegangan yang tidak berwujud.
Jantungnya semakin berdebar-debar. Dari luar tampangnya masih tenang seakan tidak merasakan apa-apa. Tetapi sepasang alisnya terus mengerut menandakan hatinya yang tidak tenang.
Setelah meninggalkan rombongan Bu Ti Sin Kiam Liu Seng, tadinya dia hendak merubah dirinya sebagai Cian bin mo-ong kembali. Dengan merias wajahnya dia akan masuk ke dalam Pek Hun Ceng seorang diri. Tidak disangka-sangka dia malah bertemu lagi dengan Kiau Hun. Terpaksa dia membatalkan rencananya semula. Dia sudah pernah menghadapi barisan Jendral Langit yang dididik langsung oleh Oey Kang. Kalau bukan karena otaknya segera mendapat ide pada saat dirinya terancam bahaya, yang mana kebetulan dia berhasil memecahkan sedikit perubahan Te Sa Jit-sut hampir saja dia tidak dapat menyelamatkan dirinya. Meskipun demikian, hatinya sudah merasa ngeri terperangkap lagi dalam jebakan yang sama. Dia takut tiba-tiba ketiga puluh enam orang
yang membentuk barisan menyerang.
Jendral Langit itu muncul dengan tidak terduga di depan matanya. Tanpa sadar dia me- ngedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dia meningkatkan kewaspadaan dirinya.
Begitu kepalanya menoleh, dia melihat di wajah Kiau Hun tersirat mimik yang aneh.
Bibirnya tersenyum, namun seperti bukan niatnya sendiri untuk mengembangkan senyuman. Dia melangkahkan kakinya dengan mantap. Seakan mempunyai keyakinan tersendiri dalam menghadapi orang-orang di dalam Pek Hun San-ceng. Hati Tan Ki jadi tergerak, tanpa dapat menahan rasa ingin tahu di dalam bathinnya, dia segera bertanya…
“Cen Kouwnio, aku mempunyai suatu masalah yang tidak dimengerti. Bolehkah aku mohon tanya?”
Langkah kaki Kiau Hun tidak berhenti. Dengan gerakan yang sama dia terus berjalan ke depan. Bibirnya tersenyum licik.
“Yang ingin kau tanyakan, bukankah mengenai ilmu silatku yang tiba-tiba maju pesat dari sebelumnya?”
Tan Ki tertawa lebar.
“Cen Kouwnio memang cerdas sekali. Urusan sekecil ini mana mungkin dapat mengelabui dirimu? Tetapi aku memang tidak habis pikir, mengapa ilmu seseorang bisa berlainan? Padahal menurut apa yang kuketahui, biasanya ilmu seseorang itu dipelajari sedikit demi sedikit. Semakin lama latihannya, gerakannya pun semakin lancar, otomatis makin hebat. Meskipun mempunyai bakat yang tinggi, tetap tidak bisa berhasil dalam waktu tiga atau lima hari. Apalagi ilmu silat Cen Kouwnio merupakan hasil didikan Ciu Cang Po. Seandainya kau bisa mengalahkan dia, tetap bukan hal yang akan terwujud dalam tiga atau lima hari. Tetapi dalam tiga gebrakan tadi, kau sudah sanggup melukai Ciu Cang Po. Kalau aku tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku benar-benar tidak percaya bahwa hal ini merupakan kenyataan.”
Kiau Hun tersenyum simpul.
“Seseorang yang menyimpan harapan, tentu tidak dapat terkabul dalam satu hari. Tetapi aku rasa kau sudah dapat menduga, aku memang bertemu dengan jodoh yang langka.”
“Aku juga berpikir demikian. Tetapi entah bagaimana kejadian yang sesungguhnya, hatiku benar-benar penasaran.”
Kiau Hun tersenyum lembut.
“Sebetulnya aku juga ingin menceritakannya. Tetapi keadaan di depan mata tidak me- mungkinkan untuk berbicara panjang lebar. Kelak apabila ada kesempatan, aku akan men- ceritakannya perlahan-lahan.”
Kedua orang itu berjalan berdampingan. Tampaknya kesalahpahaman yang terjadi se- belumnya sudah agak berkurang. Kiau Hun juga tidak sedingin dan seketus sebelumnya.
Tampangnya mulai memperlihatkan perasaannya yang romantis. Bibirnya sedikit-sedikit tersenyum. Seakan banyak ucapan yang ingin disampaikannya kepada Tan Ki, tetapi kesempatan itu memang belum ada.
Ilmu silat kedua orang ini, boleh dibilang sudah termasuk jago kelas satu di dunia Kangouw. Gerakan tubuh mereka melesat bagai sambaran kilat. Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di bawah sebuah gedung yang bertingkat. Belum lagi Tan Ki sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya, telinganya sudah mendengar suara tawa Kiau Hun yang merdu.
“Di sinilah tempatnya.”
Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya dan berdiri tegak. Tan Ki termangu-mangu. Otomatis gerakan kakinya juga terhenti. “Tempat apa ini?” tanyanya heran.
“Gedung tinggi di depan itu merupakan tempat si raja iblis menyambut tamunya.”