BAB 15. TIANG KENG DIHADANG JAGO SIAUW LIM
Di antara jernihnya suasana pagi yang cerah itu, Tiang Keng melihat si nona kabur dengan diapit oleh kedua kawannya. Tak lama mereka memasuki sebuah rimba. Cepat sekali larinya. Sebelum ia mampu mengejar mereka, sekarang ia malah telah terpisah dari mereka kurang lebih sepuluh tombak. Ia menyusul dengan tak menghiraukan lagi pada pemuda berbaju kuning itu. Ia jadi terkejut ketika melihat ketiga nona itu masuk ke dalam rimba. Karena itu berarti bahwa ia bisa kehilangan mereka. Maka itu ia segera mempercepat larinya dan ikut melompat masuk ke dalam rimba.
"Tahan!" tiba-tiba Tiang Keng mendengar sebuah bentakan yang suaranya bagaikan suara guntur dan suara itu disusul oleh berkelebatnya segumpal sinar.
Tiang Keng sedikit terperanjat. Sinar itu menyambar ke arahnya. Dengan terpaksa Tiang Keng menghentikan larinya, bahkan ia harus mundur tiga langkah agar terhindar dari serangan itu. Dengan tangan bajunya, Tiang Keng mengibas. Saat itu samar-samar ia mendengar sebuah seruan tertahan, seruan yang mengagumi kegesitannya....
Begitu ia melihat dengan jelas. Tiang Keng mendapatkan orang yang menahannya seorang pendeta dan tubuhnya tinggi besar. Pendeta itu sedang berdiri di bawah sebuah pohon besar yang lebat daunnya. Pendeta itu memegang sebatang Jie-ie Hong-pian-san, senjata semacam sekop, senjata istimewa bagi para pendeta yang mengerti ilmu silat. Gelang senjata itu berbunyi sendirinya.
Karena heran, anak muda ini mengawasi dengan mata mendelong. Siapa pendeta itu? Kenapa doa dihadang? Ia juga melihat si pendeta yang matanya mendelik karena gusarnya.
Tengah mereka saling pandang, di balik pohon besar itu terlihat dua sosok tubuh manuasia bergerak gesit. Mereka adalah dua pelayan nona cantik itu. Mereka mengawasi ke arah Tiang Keng dan si pendeta sambil tersenyum-senyum puas ...
Akhirnya Tiang Keng jadi mendongkol berbareng merasa geli juga...
Si pendeta tidak hanya mengawasi dengan bengis, ia pun langsung menuding dengan senjatanya yang istimewa. "Eh, bocah, romanmu seperti manusia, tetapi sebenarnya kau ini binatang!" kata si pendeta dengan ketus. "Sekarang kau harus kuajar adat!"
Tiang Keng menggeser tubuhnya sejauh lima langkah. Ia heran karena ia dikatakan sebagai binatang.
"Suhu," kata Tiang Keng, sedikit mendongkol. "Aku tidak kenal pada Suhu, mengapa Suhu mencaciku? Memang aku salah apa? Apakah Suhu masih termasuk golongan ketiga wanita itu?"
"Diam!" bentak si pendeta. "Kau membuatku gusar, binatang! Sekarang aku tanya kau, kenapa di siang hari bolong begini kau mengejar-ngejar perempuan baik-baik? Bukankah itu berarti kau ini binatang?"
Dampratan itu disusul dengan sebuah serangan hong-pian- san ke arah pinggang Tiang Keng. Sabetan itu hebat sekali, anginnya sampai terdengar menderu.
Tiang Keng berkelit dengan cepat. Ia terkejut berbareng juga sangat mendongkol. Sebaliknya nona-nona yang ada di balik pohon tertawa geli, mereka menutupi mulut mereka untuk menahan tawa. Kepala mereka bersembunyi di balik pohon besar itu...
Melihat demikian, Tiang Keng segera bisa menduga bahwa si pendeta pasti seorang pendeta sembrono, sekarang ia sedang dipermainkan oleh kedua nona yang cerdik itu.
"Sunguh celaka kau pendeta sembrono!" pikir Tiang Keng. "Kalau aku ini binatang, apa kau bukan sedang mencelakai orang yang tidak berdosa?"
Maka ia segera melompat, karena ia berniat menyusul nona-nona yang ada di balik pohon itu.
Si pendeta bergerak dengan cepat. Dia lihay sekali. Dengan cepat dia menghadang lagi di depan Tiang Keng. senjatanya dilintangkan. "Pendeta, kau sungguh sangat sembrono!" kata Tiang Keng sambil membentak saking dongkolnya. "Mengapa kau turun tangan sebelum kau tahu jelas masalah kami?"
Tapi si pendeta telah berseru memotong kata-kata Tiang Keng. Dia segera menyerang beberapa kali, karena anak muda ini melayaninya dengan hanya main kelit sambil membela dir. Tak hentinya Tiang Keng melirik ke arah belakang pohon besar. Si pendeta jadi tambah penasaran dan Tiang Keng sendiri khawatir kalau buruannya kabur di luar tahunya.
Si pendeta masih terus menyerang dengan hebat. Selang beberapa puluh jurus. Tiang Keng mengenali kalau pendeta itu salah seorang murid dari perguruan Siauw Lim Sie yang lihay. Saat ini ia sedang bersilat dengan ilmu silat Hang Liong Lo- han-san (Arhal Menaklukkan Naga). Tenaga si pendeta besar luar biasa dan sangat setimpal dengan senjatanya yang berat.
Melihat lawannya lihay, pendeta ini semakin gusar.
Beberapa kali senjatanya berhasil disampok terpental oleh Tiang Keng. Maka dia segera menyerang dengan semakin hebat.
Lewat beberapa jurus kemudian, mendadak tubuh Tiang Keng mencelat dan mundur sampai sejauh tujuh kaki dari lawannya. Ia membuat si pendeta heran dan tercengang, ia mengawasi Tiang Keng dengan melongo. Kemudian dia berusaha akan maju, tapi si anak muda menuding seraya berkata sambil tertawa. "Sekarang aku tahu siapa kau! Kau murid Khong Teng Tay-su pemimpin pendopo Tatmo Ih dari Siauw Lim Sie! Benar, bukan?"
Biksu itu melengak.
"Bagaimana kau bisa mengetahui nama Guruku?" tanya si pendeta heran.
Tiang Keng tertawa.
"Tahukah kau siapa aku?" Tiang Keng berbalik bertanya. Biksu itu melengak. Dia tak dapat buka mulut, dia hanya bisa mengawasi Tiang Keng dengan mata berkedip-kedip.
"Jika kau tidak mengenalku, mengapa kau berani menyerangku secara begini?" kata Tiang Keng lagi.
Pendeta itu masih diam. Akan tetapi otaknya terus bekerja. "Siapakah dia? Dia masih begini muda tetapi dia sudah lihay sekali? Mungkin dia seorang ahli silat yang terkenal?"
"Kenalkah kau pada ketiga wanita berbaju merah itu?" kata Tiang Keng sambil tertawa dingin.
Biksu itu mengangkat sebelah tangannya, ia merabah dahinya. Sebelum dia buka mulut, dia mendengar suara si anak muda yang tertawa dingin.
"Sekalipun mereka itu tidak kau kenal!" tegur Tiang Keng. "Tapi kau berani membantu mereka dan menyerangku secara membabi-buta! Tahukah kau bahwa mereka bertiga sebenarnya orang-orang jahat?"
Pendeta itu menghela napas.
"Memang, memang aku tidak kenal mereka..." pikir si pendeta. "Ya, mengapa aku mau mendengar ocehan mereka itu? Anak muda ini tidak mirip seorang yang jahat . . ." Lalu ia mengawasi ke arah si anak muda untuk terus bertanya dengan suara sangsi. "Sebenarnya siapa, kau ini Tuan?
Apakah kata-katamu itu benar?" Tiang Keng tersenyum.
"Lekas kau bantu aku membekuk mereka bertiga!" kata Tiang Keng sambil tertawa dingin. Sengaja ia tak mau segera menjawab pertanyaan pendeta itu. "Kalau tidak... Hm!"
Kata-kata yang terakhir disusul lompatnya tubuh Tiang Keng ke arah pohon besar. Akan tetapi ketika dia balik ke pohon besar itu, orang yang dicari sudah tak tampak! Bukan main mendongkolnya Tiang Keng. Namun ia tak sudi bicara lagi dengan si kepala gundul yang sembrono itu. Dia pun langsung lari dan masuk lebih jauh ke dalam rimba.
Pendeta itu menjeblak sekian lama, matanya mengawasi si anak muda yang lenyap ditelan rimba. Ia menyesali dirinya karena berlaku sembrono, lalu ia caci dirinya sendiri...
Sebenarnya ia seorang pendeta perantauan, ia tiba di tempat itu ia merasa senang pada rimba yang teduh. Dia merebahkan diri dan tidur kepulasan. Baru paginya ia mendusin, mendadak ia melihat tibanya ketiga nona cantik yang datang secara terburu-buru.
Ketiga nona itu langsung melihat pendeta itu, mereka pun sudah melihat hong-pian-san yang besar dan berat. Mereka saling mengawasi, lalu mereka menghampirinya. Nona yang satu mengerutkan alis, ia menjura kepada si pendeta.
"Tay-su, tolong kami " kata si nona memohon. "Di
belakang kami ada yang sedang mengejar kami, dia ingin main gila pada kami.. Lihat, itu dia sedang mendatangi . " nona itu menunjuk ke belakang.
Mendengar keterangan nona itu, pendeta itu melompat bangun tangannya menyambar senjatanya.
"Ada aku di sini, kalian jangan takut!" kata si pendeta.
Ketiga nona itu saling mengawasi, lalu mereka lari ke balik pohon besar. Di situ mereka berusaha untuk menyaksikan aksi si pendeta sembrono itu. Ketika Tiang Keng saling menegur, mereka langsung angkat kaki dari sana. Saat Tiang Keng mengejar lagi maka si pendeta akhirnya ditinggalkan seorang diri. Pendeta itu sangat kesal karena dipermainkan oleh nona- nona cantik itu.
Ia juga heran sebab dia pun tak kenal pada si anak muda yang justru tahu nama gurunya Lalu ia berjalan meninggalkan tempat itu dan tangan kanannya menyeret hong-pian-sannya dan tangan kirinya menekan dahi. Dia pun ngoceh seorang diri. "Heran! Siapa pemuda itu?
Kenapa dia kenal pada guruku tetapi ia tidak mengenal aku?"
Saat ia berjalan dengan lesu. mendadak pendeta ini terperanjat. Dari dalam rimba yang gelap ia mendengar suara tawa nyaring tetapi merdu. Pasti itu suara tawa seorang wanita, la segera berpaling ke arah suara itu dan senjatanya disiapkan. Dengan matanya dia mengawasi ke arah datangnya suara itu. Tak lama dia melihat seorang nona manis mengenakan pakaian serba merah muncul. Nona itu turun dari atas pohon, tangannya masih memegangi sebatang cabang yang meroyot menahan tubuhnya, sedang tangan lainnya dipakai menyingkap rambutnya yang turun ke dahinya dari samping telinganya. Nona itu tersenyum berseri-seri dan terlihat tegas sinar matanya yang jeli.
0oo0