Jilid 31
KIU-TOK SIANCI kebetulan bertugas sebagai pelindungnya, ketika dia saksikan sekujur badan pemuda itu gemetar keras dan sepasang matanya melotot besar, cepat serunya dengan suara dalam, “Sian long, aku berada disini!”
Cepat Hoa Thian-hong berpaling, setelah mengetahui orang itu adalah Kiu-tok Sianci, wajahnya berseri karena gembira, seakan-akan ia telah berjumpa dengan ibu sendiri.
“Sian long, sadarkan pikiranmu dan minumlah sedikit air bersih!” kembali Kiu-tok Sianci berbisik.
Hoa Thian-hong berpaling, melihat disampingnya ada air teko, ia mengambilnya dan meneguk habis isi teko tersebut, lalu bertanya, “Sian nio, siapakah yang sedang terlibat dalam pertarungan sengit itu?”
“Pek Siau-thian serta Tang Kwik-siu dengan membawa
jago-jago silatnya sedang mengerubuti Jin Hian serta Thian Ik- cu!”
Sepasang alis mata Hoa Thian-hong kontan berkerut kencang.
“Lantaran harta karun mereka saling membunuh, perbuatan semacam ini tak dapat dibiarkan berlangsung terus. Sang ji harus mencampuri urusan ini.” “Biarkanlah mereka saling bunuh membunuh!” kata Kiu-tok Sianci dengan wajah tercengang, “toh kejadian ini lebih banyak menguntungkan bagi kita dari pada ruginya? Buat apa kau musti mencampuri urusan ini?”
Jin Hian serta Thian Ik-cu sudah terdesak sekali, kekuatan mereka bukan terhitung sebagai suatu ancaman yang dapat mencelakai umat manusia lagi, kita wajib memberi kesempatan hidup mereka, agar mereka dapat bertobat dari perbuatan jahatnya serta banyak melakukan kebajikan! ujar Hoa Thian-hong dengan cemas, sebaliknya Pek Siau-thian serta Tang Kwik-siu adalah dua kekuatan besar yang masih merupakan ancaman besar bagi umat Bu lim, kita tak boleh membiarkan mereka bertindak sewenang-wenang….”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, “Apalagi Seng ji telah menyanggupi permintaan dari empat datuk bukit Huang- san untuk memimpin usaha penggalian harta karun ini secara adil dan bijaksana, oleh sebab itu bagaimanapun juga Pek Siau-thian dan Tang Kwik-siu musti ditundukkan lebih dahulu!”
“Anakku yang baik,” sahut Kiu-tok Sianci, “bagiku, orang baik musti disayang dan orang jahat musti dibunuh, aku sama selali tidak mengerti dengan kata-kata yang telah kau ucapkan itu”
Rupanya ketekadan Hoa Thian-hong sudah bulat, ia berkata lagi dengan lembut, “Siau nio, Seng ji sudah ambil keputusan untuk mencampuri urusan ini!”
“Aaaai….! Dengan kekuatan seorang, berapa orang musuh yang bisa kau hadapi? Dan bagaimana pula caranya engkau mencampuri urusan mereka?”
Dengan gagah Hoa Thian-hong menjawab. “Masalah ini sudah berkembang jadi amat kritis, bagaimanapun juga aku akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengatasi persoalan ini, sambil berjalan kita lihat saja perkembangannya nanti!”
Berbicara sampai disitu, dia lantas bangkit berdiri dan berpekik panjang.
“Anak manis, engkau sudah empat hari empat malam tidak makan, bersantaplah lebih dulu” kata Kiu-tok Sianci.
Tiba-tiba ia temukan Hoa Thian-hong telah meluncur kebawah bukit, meskipun suara pekikan serasa masih berkumandang dari sisi telinganya, namun bayangan tubuh pemuda itu sudah lenyap tak berbekas.
Menyaksikan keadaan tersebut, perempuan Biau ini jadi tertegun lalu buru-buru memburu kebawah.
Sementara itu pertempuran berdarah masih berlangsung dengan serunya, dikala pekikan nyaring yang membelah angkasa tiba-tiba berkumandang memenuhi angkasa, semua orang merasa terperanjat, dalam gugupnya beberapa orang diantara mereka segera kenali suara itu sebagai pekikan dari Hoa Thian-hong.
“Semuanya berhenti!” terdengar Hoa Thian membentak dengan penuh kegusaran.
Bersamaan dengan seruan tersebut, sesosok bayangan manusia dengan kecepatan yang luar biasa meluncur kebawah dan langsung menerkam tubuh Tang Kwik-siu.
Pada Waktu itu Tang Kwik-siu sedang bertempur melawan malaikat kedua Sim kiam beberapa gebrakan kemudian ia menemukan bahwa ilmu silat yang dimiliki musuhnya ini ternyata lebih lihay daripada kepandaian silat dari Jin Hian maupun Thian Ik-cu, setelah mengetahui bahwa ia tak mungkin bisa rebut kemenangan dengan tangan kosong, dia memutuskan untuk melepaskan ikat pinggang emas yang terikat dipinggangnya itu untuk bertempur melawan Sim Kian….
Apa mau dikata baru saja ia bersiap sedia merebut kemenangan tiba-tiba Hoa Thian-hong menerkam dari tengah udara.
Kejadian ini segera menggusarkan hatinya, ikat pinggang naga emasnya segera digerakkan keudara kemudian secepat sambaran kilat mengejar tubuh lawan.
Hoa Thian-hong pada dasarnya mempunyai niat untuk mendemonstrasikan kelihaiannya agar semua orang tunduk dibawah perintahnya, bilamana ia memimpin gerakan pencarian harta nanti, maka dipilihnya Tang kwik Sin sebagai korban percobaan karena bagaimanapun juga ia tak enak hati untuk menyerang Pek Siau-thian menginggat Kho Hong-bwee serta putrinya mempunyai hubungan yang cukup erat dengan dirinya.
Begitu menukik kebawah ia menyergap musuhnya dengan gencar, ketika ia rasakan datangnya ancaman ikat pinggang naga emas yang mengarah dadanya, cepat tangan kanan bergetar keras kemudian dengan suatu gerakan yang luar biasa cepatnya ia tangkap kepala naga pada ujung sabuk tersebut erat-erat.
Betapa terperanjatnya Tang Kwik-siu menghadapi ancaman tersebut seakan-akan baru sadar dari impian ia lantas membentak keras, “Hoa Thian-hong!” Ia sendiripun tak tahu apa arti dari bentakan itu, sementara telapak tangan kirinya dengan suatu gerakan yang sangat cepat melepaskan sebuah totokan kemuka.
Totokan jari yang luar biasa dahsyatnya itu menimbulkan suara getaran yang memekikkan telinga kawanan jago yang kebetulan berada ditempat itu sama-sama merasakan telinganya menjadi sakit.
Hoa Thian-hong sama sekali tidak terpengaruh oleh desingan tajam yang memekikan telinga itu, malahan semakin bertempur ia tampak semakin bersemangat, tangan kanannya dibolak-balikkan beberapa kali melingkarkan ikat pinggang naga emas itu di atas telapak tangannya, kemudian dengan tangan kirinya ia lancarkan sebuah cengkeraman keatas pergelangan tangan Tang Kwik-siu.
Berbicara soal kelincahan menggunakan tangan kiri, dikolong langit dewasa ini boleh dibilang tak seorangpun dapat menandingi kegesitan Hoa Thian-hong.
Baru saja serangan yang dilepaskan Tang Kwik-siu mencapai separuh jalan, serangan yang dilepaskan Hoa Thian- hong tahu-tahu sudah mencapai sasaran lebih dahulu, ketika jari tangannya menyentuh pergelangan tangan Tang Kwik-siu, bagaikan dipagut ular berbisa cepat gembong iblis itu menarik kembali tangannya kebelakang.
Pada saat ini, dalam benak Hoa Thian-hong hanya mempunyai satu ingatan, yakni ia lebih suka mengorbankan selembar jiwanya daripada melepaskan cekatannya pada ikat pinggang berkepala naga emas itu….Ketika telapak tangan kirinya gagal mencengkeram pergelangan tangan Tang Kwik- siu, ia lantas membentak kerat dan menyusulkan dengan sebuah pukulan lagi. Apabila dihari-hari biasa, niscaya Hoa Thian-hong akan menyerang dengan jurus Kun-siu-ci-tauw, akan tetapi saat ini yang terpikir diotaknya adalah soal kecepatan maka gerakan permulaan dari Kun-siu-ci-tauw yang seharusnya melakukan gerakan perputaran setengah lingkaran lebih dahulu didepan dada, telah dibuang dengan begitu saja, secara langsung dia dorong telapak tangannya mengancam dada musuh.
Keringat telah membasahi sekujur badan Tang Kwik-siu, dalam keadaan terancam bahaya, ia tak sempat berpikir panjang lagi, dalam gugupnya buru-buru ia angkat telapak tangannya dan langsung menebas pergelangan tangan si anak muda itu.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, sekuat tenaga ia tarik ikat pinggang naga emas itu sementara telapak tangan kirinya yang tajam bagaikan golok menebas kebawah.
Posisi Tang Kwik-siu pada saat ini ibaratnya orang yang tertinggal disebuah batu karang ditengah samudra, mau menceburkan diri takut, mau tetap berdiam diri juga tak mungkin, keadaannya serba salah.
Telapak tangan kesannya sudah terasa panas dan kaku, nyaris ikat pinggang naga emasnya terampas lawan.
Ikat pinggang naga emas adalah benda mustika dari perguruan Seng sut pay, benda itu merupakan benda kehormatan dan keagungan dari seorang ciangbunjin, jangankan benda itu tahan dibacok oleh senjata mustika, cukup memandang dari ukirannya yang hiduppun sudah cukup membuat hati orang terkesima.
Pek Kun-gie sendiri pernah mengagumi keindahan sabuk naga emas tersebut dan ingin sekali memperolehnya, tentu saja sebagai ketua Seng sut pay, Tang Kwik-siu lebih rela hancur lebur tubuhnya daripada benda mustika keluarganya kena dirampas orang .
“Breeett!” karena mati-matian mempertahankan sabuk naga emasnya itu ujung baju targan kiri Tang Kwik-siu kena tertebas oleh bacokan telapak tangan Hoa Thian-hong sehingga kutung separuh, bekas kutungannya rata sekali bagaikan disayat dengan pisau.
Sementara itu kawanan jago yang berada ditempat kejahuan telah meluruk datang semua, pertarungan massal telah terhenti dan sebagian besar jago persilatan telah mengerubungi sekeliling gelanggang.
Pek Siau-thian yang berdiri disamping arena melotot besar dengan muka tajam membesi, kesengsaraan yang diderita Tang Kwikk Siu dapat dirasakan pula oleh dia sendiri, sementara kawanan jago lainpun rata- rata dibikin terkejut dan tercengang oleh kejadian yang sama sekali berada diluar dugaan ini, mereka cuma bisa berdiri dengan wajah kebingungan dan tak habis mengerti.
Sampai detik itu, baik Hoa Thian-hong maupun Tang Kwik- siu masih saling mencengkeram ikat pinggang naga emas itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dipergunakan untuk melangsungkan pertarungan.
Bagi Hoa Thian-hong, pertarungan ini sama artinya dengan menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk menyerang kelemahan dari lawan, posisinya tentu saja jauh lebih menguntungkan dirinya, karena posisinya yang baik maka sejurus demi sejurus ia meneter terus musuhnya habis- habisan, jurus pukulan yang dipakaipun makin lama semakin dahsyat dan mematikan. Sekuat tenaga Tang Kwik-siu melakukan perlawanan, makin bertempur hatinya semakin bergidik, makin lama ia merasa dirinya makin terjerumus kedalam lumpur yang tak terkirakan dalamnya dan kini ia betul-betul sudah terperosok kedalamnya.
Hong Liong jadi cemas bercampur kuatir, ia takut nama baik gurunya akan musnah dengan begitu saja ditangan lawan, tak kuasa lagi dia meraung keras, sambil putar sepasang telapak tangannya sekuat tenaga orang itu melepaskan beberapa puluh buah pukulan dahsyat.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak, siapapun tak sempat untuk menghalanginya, terdengarlah serentetan bentakan nyaring bagaikan guntur membelah bumi menggema di angkasa.
Waktu itu tangan Hoa Thian-hong masih mencengkeram sabuk naga, sedangkan tangan kirinya melakukan serangan maut, bila diwaktu lampau si anak muda itu pasti akan kebingungan setengah mati.
Untungnya Hoa Thian-hong yang sekarang adalah Hoa Thian-hong berilmu tirggi sekilas pandangan ia lantas temukan titik kelemahan Hong Liong pada lambung serta dadanya yang terbuka.
Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu, sementara telapak tangannya masih menahan serangan musuh, tiba-tiba tubuhnya miring kesamping dan kaki kanannya melepaskan sebuah tendangan kilat kedepan!
“Enyah kau dari sini!” bentaknya.
Hong Liong menjerit kesakitan sambil memegang lambungnya ia melompat mundur sejauh beberapa kaki kebelakang, ketika terjatuh ketanah ia masih mengerang karena kesakitan.
Para penonton buru-buru menyingkir ke belakang oleh karena semua orang berada dalam keadaan kaget maka meskipun keadaan Hong Liong mengenaskan sekali, tak seorangpun yang mampu bersuara.
Kiu-tok Sianci sendiripun merasa amat terperanjat, serunya kemudian dengan lantang, “Barang siapa berani menyergap lagi secara licik, jangan salahkan kalau kami akan suruh kamu semua rasakan lihaynya racun cuka Biau kami!”
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, sekarang setiap orang sudah mengetahui akan kelihayan Hoa Thian- hong, jangan toh orang lain anak murid Seng sut pay sendiripun tak ada yang berani maju kemuka untuk membantu gurunya.
Tapi justru karena terjadinya peristiwa itu, maka pertarungan antara Thian-hong melawan Tang Kwik-siu juga berubah jadi seimbang, ini disebabkan oleh karena Tang Kwik- siu yang merupakan cikal bakal suatu perguruan besar berhasil memanfaatkan peluang yang sangat baik.
Ketika Hong Liong melancarkan sergapan tadi, Hoa Thian- hong terpaksa harus memecahkan perhatiannya untuk menghadapi ancaman itu, dengan sendirinya gerakan tangannya jadi lebih lambat.
Sekalipun kelambatan tersebut hanya kecil sekali, tapi bagi pandangan mata jago lihay macam Tang Kwik-siu yang telah memiliki tenaga dalam sebesar enam puluh tahun hasil latihan merupakan peluang yang sangat besar. Detik itulah tangan kanannya juga berputar dan melipatkan sabuk naga emasnya hingga melilit pada telapak tangannya dalam keadaan seperti ini kecuali isi perutnya terluka boleh dibilang ia tak usah kuntit kalau senjatanya sampai terlepas lagi dari genggamannya.
Selain itu menggunakan peluang yang sangat baik itu, tangan kirinya telah melancarkan serangan mematikan serta berusaha untuk memperbaiki posisinya yang terdesak, maka setelah bersusah payah berhasil pula ia mengimbangi permainan lawannya.
Dalam sekejap mata, telapak tangan kiri masing-masing pihak telah melepaskan empat puluh buah pukulan berantai sedangkan sabuk naga yang berada ditangan kanannya saling dibetot dan ditarik, untungnya sabuk itu adalah sebuah benda mustika yang luar biasa, berganti barang lain niscaya sejak ta di benda itu sudah putus jadi dua bagian oleh betotan tenaga sakti kedua orang itu.
Pertarungan sengit ini benar-benar merupakan suatu pertarungan seru yang mendebarkan hati, baik dalam menghimpun tenaga, melakukan serangan, menggunakan tipu muslihat, kesemuanya mempengaruhi kesuksessn dari serangan tersebut, kebanyakan penonton yang mengikuti jalannya pertarungan itu jadi tertegun dan bergidik rasanya.
Tiba-tiba terdengar seorang nyonya tua membentak dengan suara lantang, “Minggir!”
Mendengar bentakan itu, Thian Ik-cu segera berpaling, ia saksikan ada tiga orang pria dan dua orang wanita munculkan diri dari arah belakang, perempuan tua itu adalah Tio Sam- koh, sedangkan dua orang kakek tua itu adalah Hoa In dan Harimau pelarian liong Liau, Lau Cu cing, kakek ketiga tak dikenal olehnya, sementara nyonya muda yang bergaun hitam dengan wajah yang agung tak lain adalah Chin Wan-hong, nyonya muda dari perkampungan Liok Soat Sanceng.
Pepatah kuno mengatakan: Posisi seorang istri terpengaruh oleh kedudukan sang suami. Nama besar Hoa Thian-hong pada waktu itu kian hari kian membumbung tinggi, hal ini orang lain memandang tinggi pula terhadap istrinya, maka sewaktu Chin Wan-hong munculkan diri, Thian Ik-cu beserta anak buahnya tanpa sadar bersama-sama menyingkir kesamping jalan
Dengan langkah yang lemah gemulai, Chin Wan-hong berjalan masuk kedalam ruangan, ia menyapu sekejap sekeliling gelanggang pertarungan, kemudian maju menghampiri gurunya.
“Tak usah banyak adat!” seru Kiu-tok Sianci dengan suara dalam.
Sementara mulutnya berbicara, sepasang mata yang tajam tak pernah beralih dari gelanggang pertarungan.
Chin Wan-hong memandang sekejap ke arah Cu Im Taysu kemudian sapanya dengan lembut, “Lo siansu, para empek dan paman sekalian, apakah semuanya berada dalam keadaan baik-baik?”
“Tak usah banyak adat!” sahut Ciu Thian-hau dengan nada rendah.
Mendengar jawaban tersebut, Chin Wan-hong alihkan kembali sorot matanya ke arah gelanggang pertarungan, ia saksikan pertarungan itu meskipun masih berlangsung dengan seru namun siapa menang siapa kalah masih belum ditentukan, maka dia maju kedapan dan serunya dengan suara lantang, “Harap saudara berdua hentikan dulu pertarungan itu, aku hendak menyampaikan beberapa patah kata lebih dahulu kepada semua jago.
Hoa Thian-hong cukup mengenali tabiat dari istrinya, dalam keadaan seperti ini tak mungkin dia akan tampilkan diri untuk ber bicara seandainya ia tidak mendapat perintah dari ibunya.
Maka setelah mendengar perkataan itu, timbullah niatnya untuk menghentikan pertarungan itu.
Tang Kwik-siu sendiri sedari tadi sudah berniat untuk meng-hentikan pertarungan, maka ketika sorot mata mereka berdua saling terbentur satu sana lainnya serentak serangannya pun dihentikan
Hoa Thian-hong melepaskan cekalannya pada sabuk naga emas itu dan mereka berdua dengan napas tersengkal mengundurkan diri kebelakang.
Chin Wan-hong mendekati suaminya dengan wajah serius ia lantas berkata, “Ibu memerintahkan kepadaku untuk menyampaikan beberapa patah kata kepada khalayak ramai, katanya harta karun yang tersimpan dalam istana Kiu ciu kiong merupakan hasil jerih payah dari leluhur kita semua, sepantasnya kalau benda-benda itu diselesaikan oleh khalayak ramai secara bersama-sama, siapa yang berhak mendapatkan benda itu dia harus diberi benda yang menja-di hak miliknya sedangkan benda yang tak ada pemiliknya akan menjadi milik setiap orang yang ikut dalam pekerjaan penggalian ini. Sudah terlalu lama benda-benda mustika tersebut terkubur didalam perut bumi, terlalu sayang rasanya kalau benda-benda itu dibiarkan terkubur untuk selamanya, maka menjadi kewajiban kitalah untuk bersama-sama menggali tanah dan menemukan kembali istana yang terpendam ini, kami akan berusaha dengan sejujur-jujurnya dan sebijaksana mungkin, bila ada diantara kami yang bertindak tak jujur ataupun mementingkan kebutuhan sendiri, kami bersedia menerima ganjaran dan hukuman dari setiap orang, demikian pula dengan saudara sekalian, bila diantara kalian ada yang tamak dan berusaha mencari keuntungan bagi diri sendiri tak segan-segan kami akan mengambil tindakan tegas untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadanya, harap saudara semua suka mencamkan kata-kata kami ini!”
Fajar baru saja menyingsing diufuk sebelah timur, sinar sang surya yang berwarna keemas-emasan memancar diatas wajahnya yang jeli dan agung.
Beratus-ratus pasang mata ditujukan keatas wajah dara itu, mendengarkan tiap patah kata yang merupakan suara hati dari Hoa Hujin, hampir tiap jago yang ada disana telah memusatkan perhatian serta mendengar kata-katanya dengan bersungguh-sungguh hati.
Tiba-tiba Tio Sam-koh berseru kembali dengan suara lantang, “Sekali lagi aku harap saudara sekalian dengar baik- baik kata-kata kami ini, pertama kami sudah bertekad untuk turut serta dalam usaha penggalian harta ini, bila harta karun itu sudah ditemukan, kami akan mendapatkan benda-benda yang tak dimaui orang lain. Kedua setiap benda yang ada pemiliknya baik orang itu adalah orang baik mau pun orang jahat Sekalipun dia adalah manusia yang jahatnya bukan kepalang atau mempunyai dendam sakit hati dengan kami, benda yang menjadi hak miliknya tetap akan kami serahkan kepadanya!”
Setelah beberapa kata itu diutarakan keluar, para penggali harta yang terdiri dari aneka ragam manusia, diam-diam merasa ke-girangan, bahkan para jago dari golongan Hong- im-hwie serta Thong-thian-kauw juga ikut merasakan jantungnya berdebar keras, mereka merasa ada harapan untuk ikut memperoleh harrta karun itu jika para jago dari golongan lurus yang memimpin usaha penggalian ini, apalagi setelah Hoa Thian-hong menghajar Tang Kwik-siu tadi berarti pula telah selamatkan puluhan lembar jiwa, seketika itu juga semua orang merasa tertarik sekali oleh usul ini….
Tiba-tiba Thian Ik-cu angkat muka dan berkata, “Jika pekerjaan besar ini benar-benar dilaksanakan sesuai dengan dua cara tersebut, kami semua bersedia untuk menunggu perintah!”
Perkataan itu diutarakan tanpa ujung atau pun pangkalnya, apalagi berbicara sambil menghadap langit, orang tak tahu kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada siapa, tapi sementara jago dapat meraba pula kalau kata-kata itu sedang ditujukan kepada Hoa Thian-hong.
Bagi Hoa Thian-hong sendiri, ia lebih mengutamakan suksesnya pekerjaan itu dari pada mencari keuntungan bagi diri sendiri, cepat dia menjura kemudian sahutnya, “Pekerjaan ini adalah pekerjaan besar dari kita umat manusia, kata perintah tak berani kuterima, kalau toh totiang sekalian be sedia turut serta dengan pekerjaan besar ini, hal tersebut tentu saja jauh lebih baik lagi….”
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dengan suara yang amat nyaring dan lantang, “Apabila Hoa kongcu bersedia memimpin pekerjaan besar ini, kami semua bersedia untuk meleksanakan tugas yang dibebankan kepada kami, tak sepatah katapun kami berani membantah”
Hoa Thian-hong berpaling, ia lihat orang yang berbicara adalah seorang laki-laki kekar yang berwajah asing baginya, sebelum ini belum pernah ia temui orang tersebut.
Tio Ceng tang yang berada di sisinya segera memperkenalkan lelaki itu kepada Hoa Thian-hong, “Orang ini she Huan bernama Thong, leluhurnya pukulan sakti Huan Teng adalah orang pertama yang kecurian kitab pusakanya oleh Kiu-ci Sinkun….”
“Oooh rupanya saudara Huan” sapa Hoa Thian-hong sambil menjura, “kitab pusaka Po kia kun boh adalah benda pusaka milik keluarga Huan, bila benda-benda itu dapat ditemukan, sudah pasti akan kami serahkan kepada saudara Huan.”
Berbicara sampai disitu, dengan sinar mata yang luar biasa tajamnya, ia menyapu sekejap wajah Kiu-im Kaucu, Tang Kwik-siu serta Pek Siau-thian, kemudian katanya lagi, “Saudara sekalian, menurut pendapatku, mulai hari ini pekerjaan penggalian lebih baik dibagi jadi dua bagian, yaitu kerja pagi dan kerja malam, tiap bagian dikerjakan oleh dua kelompok manusia secara bergilir, biarlah aku dan saudara Huan Thong sekalian terhitung sebagai satu kelompok dan Jin lo enghiong serta Thian Ik totiang jadi kelompok kedua, kami akan kerjakan pada giliran yang partama ini….”
“Memang bagus sekali cara itu!” seru Kho Hong-bwee dengan lantang, “orang-orang Sin-kie-pang merupakan satu kelompok tersendiri dan akan bekerja pada malam harinya”
Mendengar ucapan itu Hoa Thian-hong sejera berpikir dihati, “Pada saat ini hati orang mulai goyah dan inilah kesempatan yang paling baik untuk mempengaruhi hati orang, setelah bibi memberikan persetujuannya, lebih baik aku tak usah mengurusi bagaimanakah sikap dari Pek Siau-thian lagi….”
Berpikir sampai disini, dia lantas berseru, “Tang Kwik siangbunjin, partaimu bersedia bekerja disiang hari ataukah bekerja di malam hari?” Sejak berakhirnya pertarungan tadi, Tang Kwik-siu merasa hatinya kalut dan uring-uringan, sekarang melihat ada kesempatan untuk mele-paskan diri dari keadaan yang serba kikuk ini, cepat sahutnya, Biarlah kami dan rombongan Sin- kie-pang beristirahat disiang hari, giliran kerja kami malam nanti!”
Hoa Thian-hong berpaling ke arah Kiu-im Kaucu, lalu tanyanya dengan suara dalam, “Kaucu berulangkali mengatakan bahwa kekuatan kalian selalu mendukung setiap usulku, untuk kesediaan tersebut aku merasa amat berterima kasih sekali, dikemadian hari budi kebaikan ini tentu akan kami balas, entah apakah kaucu bersedia kerja?”
Diam-diam Kiu-im Kaucu menghela napas panjang, pikirnya, “Aaai….! Bocah ini bisa tampilkan diri dari sekian banyak jago yang ada, jelas kejadian ini bukan suatu kejadian secara kebetulan saja”
Selama ini ia selalu menggembor-gemborkan bahwa kedatangannya ketempat ini adalah untuk membantu Hoa Thian-hong, setelah ucapan itu diutarakan keluar tentu saja ia tak dapat menarik kembali kata katanya itu, apalagi tiap kelompok kekuatan sudah sanggup melakukan kewajibannya.
Kiu-im Kaucu tahu bila ia menampik pekerjaan tersebut, maka dia akan menjadi sasaran orang banyak, terutama posisi Hoa Thian-hong yang begitu baik disaat itu, asal ia beri komando niscaya setiap orang yang hadir disitu dengan senang hati akan bantu mengerubuti mereka, sebab bagaimana pun punahnya kelompok mereka berarti mengurangi satu saingan untuk mendapatkan harta karun.
Apalagi Hoa Thian-hong adalah pemimpin mereka yang tertinggi, perempuan itu sadar bahwa kepandaian silatnya masih bukan tandingan lawan. Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ia merasa dirinya harus pandai memutar kemudi dalam situasi seperti ini, karena itu sebelum Hoa Thian-hong menyelesaikan kata- katanya, sambil tertawa dia telah menukas, “Jumlah anggota kelompok Kiu-im-kauw sangat banyak, begini saja, biarlah aku berbuat kebaikan sampai pada dasarnya, kami orang-orang dari Kiu-im-kauw akan terbagi jadi dua kelompok yang akan bekerja secara bergilir baik siang maupun malam, bukankah hasilnya akan jauh lebih memuaskan?”
“Banyak bekerja malah mengundang kegagalan, lebih baik aku tak banyak bicara!” pikir Hoa Thian-hong dalam hati.
Ia lantas memberi hormat dan berkata, “Kami siap menerima pernyataan dari kaucu, kalau memang begitu sekarang juga pekerjaan ini akan kita mulai!”
Habis berkata ia memberi tanda kepada kawanan penggali harta yang aneka ragam itu, kemudian dengan langkah lebar menuju ke medan penggalian itu.
Diiringi tempik sorak dan suara teriakan yang gegap gempita, berangkatlah kawanan jago persilatan itu menuju kelokasi penggalian.
Orang-orang dari Hong-im-hwie serta Thong-thian-kauw adalah jago jago yang kalah perang sekalipun mereka dimusuhi oleh kaum lurus maupun dari kalangan rimba hijau, namun kekuatan mereka terhitung cukup lumayan untuk mempertahankan diri.
Justru kelompok aneka ragam manusia inilah merupakan jago-jago dari kalangan paling lemah, untuk menentang Sin- kie-pang atau Kiu-im-kauw jelas bukan tandingan, meskipun mereka hadir disitu, toh yang bi sa dilakukan hanya melotot belaka, sedikit salah bertindak niscaya bencana akan menimpa diri mereka.
Sekarang Hoa Thian-hong telah memimpin mereka untuk bekerja, bisa dibayangkan betapa gembiranya semua orang atas kejadian ini.
Selama beberapa hari terakhir, orang orang orang Sin-kie- pang dan Seng sut pay sudah membuat sebuah liang besar selebar sepuluh kaki lebih menuruti peta biru yang dilukis Tiangsun Pou, liang besar itu lebar di atas dan sempit dibawah, tangga dibuat disana sini, karena besarnya tempat yang harus digarap maka walaupun sudah empat hari bekerja, luas liang itu baru dua kaki.
Tiangsun Pou membagi rombongan pekerja itu menjadi dua bagian, orang-orang dari Hong im bwe dan Thong-thian-kauw bekerja disebelah kiri, sedangkan para jago dari aneka ragam manusia itu bekerja dikanan.
Hoa Thian-hong telah melepaskan jubahnya siap untuk bekerja, tapi ditolak oleh para jago lainnya.
Dengan suara lantang Tio Ceng tang berteriak, Hoa kongcu, engkau adalah pemimpin kita yang memikul tanggung jawab besar ini, tak pantas kalau engkau turun tangan sendiiri.
“Benar!” sambung yang lain, “bagaimana pun juga Hoa kongcu harus simpan tenaga untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan!”
“Waah kalau begitukan kasarannya aku sudah dijadikan tukang pukul oleh mereka” batin Hoa Thian-hong dihati. Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, terdegar seseorang ber seru lagi dengan lantang, “Lebih baik Hoa kongcu kita jadikan mandor saja!”
“Betul!” sambung yang lain, “Hoa kongcu adalah mandor kita!”
Suara hiruk pikuk dan seruan para jago berkumandang dari sana sini mendukung usul tersebut.
Akhirnya setelah didesak pula oleh Tiang sun Pou dan empat datuk dari bukit Huang-san, mau tak mau Hoa Thian- hong menerima juga tawaraanya ini, bahkan memerintahkan Hoa In dan Harimau pelarian Tiong Lian untuk bekerja lebih keras agar menutupi pekerjaan dari bagiannya.
Cu Im taysu, Ciu Thian-hau serta Suma Tiang cing tiga orang telah mengambil keputusan pula untuk tidak mengambil benda mustika apapun juga, karenanya mereka malas untuk bekerja.
Chin Pek-cuan yang sudah tua berhasrat untuk memberi sanjungan kepada menantunya, ia memaksa untuk turun tangan sendiri, ditemani Chin Giok-liong dan Bong pay merekapun ikut terjun ke tempat kaum penggali harta itu.
Sementara semua orang masih ribut-ribut, tiba-tiba Chin Wan-hong memanggil Bong Pay, lalu ujarnya, “Bong toako, siau moay ada beberapa patah kata hendak dibicarakan dengan diri toako, bersediakah engkau untuk mendengar-kan perkataanku ini?”
“Ada arusan apa?” Chin Wan-hong memandang sekejap sekeliling tempat itum ketika dilihatnya sekitar tempat itu banyak orang, bibirnya yang sudah bergerak segera dibatalkan kembali.
Bong pay adalah seorang jago muda yang berjiwa terbuka, menyak-sikan hal tersebut cepat serunya, “Ditempat ini tak ada orang luar, mau bicara katakan saja secara blak-biakan!”
Chin Wan-hong tersenyum.
“Ketika siau moy lewat di wilayah Tian Cu, secara kebetulan telah berjumpa dengan Cu locianpwe!”
“Betul! Kami sedang kebingungan, padahal Cu locianpwe toh sudah berangkat keselatan kenapa sampai sekarang ia belum juga tiba ditempat ini?” sela Hoa Thian-hong.
“Cu locianpwe mengatakan akan pergi ke kota Teng yang untuk mengundang kehadiran seorang sahahat karibnya, katanya orang itu mempunyai sangkut paut yang sangat besar dengan pekerjaan penggalian harta karun ini!”
“Apakah Cu supek ada pesan yang akan disampaikan kepadaku?” tanya Bong Pay.
Sambil tersenyum Chin Wan-hong mengangguk.
“Cu locianpwe berpesan kepadaku katanya usia toako sudah meningkat dewasa sepantasnya kalau dengan usia sedewasa itu toako harus mencari seorang istri untuk menyambung keturunan, katanya nona Pek dari Sin-kie-pang adalah pasangan yang ideal bagimu, maka beliau memerintahkan siau moay untuk menjodohkan kalian berdua!” “Aaah! aku tak mau tahu tentang urusan ini!” seru Bong Pay dengan wajah merah padam, habis berkata ia lantas putar badan dan berlalu dari situ .
“Eeeh…. eeeh…. toako, tunggu sebentar!” seru Chin Wan- hong lagi dengan gelisah.
Terpaksa Bong Pay berhenti katanya dengan gelisah.
Aku tak mau turut campur, bagaimana Cu supek memerintahkan dirimu, lebih baik engkau saja yang mengerjakan perintah itu.
Tiangsun Pou yang berdiri disambing tiba-tiba menyela, “Eeh…. bukannya aku membantu sahabat lamaku untuk berbicara, hakekatnya keponakan perempuanku Soh-gie adalah seorang dara yang cantik jelita dan halus berbudi, dia merupakan calon istri yang paling bagus, siapa bisa memperistri dirinya yang banyak hok ki dan banyak rejeki bakalnya.”
Hoa Thian-hong sendiripun berkata dengan wajah serius. “Enci Soh-gie adalah pilihan yang paling tepat bagi saudara
Bong, enci Hong! Bagaimanapun juga engkau harus mensukseskan perjodohan ini!”
Chin Wan-hong termenung dan berpikir sebentar, kemudian berkata, “Aku cuma menguatirkan tentang satu urusan!”
“Apa yang kau kuatirkan? Bong toako dan enci Soh-gie adalah pasangan yang paling ideal, kedua belah pihak toh sudah menyetujui akan hubungan mereka itu!” “Pek pangcu tidak berputra dan lagi tak pernah menerima murid, seandainya ia minta Bong toako untuk masuk kerumah pihak perempuan setelah menikah nanti, bagaimana jadinya?”
Berbicara sampai disini, sorot matanya lantas dialihkan keatas wajah Bong Pay.
Sekali lagi merah padam selembar wajah Bong Pay lantaran jengah.
“Aku tak mau!” serunya lagi.
Ia putar badan dan berlalu dengan langkah lebar.
Tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benaknya, dia lantas berpikir dihati, “Betul juga perkataannya, andaikata setelah kawin nanti aku di minta untuk masuk kerumah pihak perempuan, apa yang musti kulakukan untuk mengatasi persoalan ini?”
Berpikir sampai disitu, tanpa sadar dia lantas berhenti dan berdiri termangu-mangu….
Betapa susah dan sedihnya Chin Wan-hong karena tidak memperoleh jawaban yang memuaskan hati, ia lantas berpaling ke arah suaminya seraya bertanya, “Engkoh Hong, menurut pendapatmu apa yang harus kita lakukan?”
“Aku juga tak turut campur!” sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa.
Selesai berkata dia lantas berjalan menuju ke arah kaum pekerja yang sudah mulai melakukan penggalian.
“Eeeh…. eeeh…. engkoh Hong tunggu sebentar!” buru-buru Chin Wan-hong berseru. Ia memburu maju kedepan kemudian bisiknya dengan lirih, “Ibu memerintahkan aku untuk menyampaikan beberapa patah kata ke padamu, pada bagian yang terpenting aku belum sampai mengutarakannya dihadapan umum!”
“Apa petunjuk ibu yang lain?” tanya sang pemoda dengan wajah serius.
Dengan suara rendah jawab Chin Wan-hong, “Menurut ibu, bila ilmu silatmu tak bisa menandingi mereka maka berusahalah dengan sepenuh tenaga, asal engkau sudah berusaha dengan semampu mungkin, hal itu sudah lebih dari cukup, sebaliknya kalau ilmu silatmu dapat menangkan orang lain maka engkau musti menaklukan hati orang dengan budi kebaikan serta tindakan yang bijaksana!”
Agak tertegun Hoa Thian-hong setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian, “Belum pernah ibu mengajarkan aku untuk menaklukan hati orang dengan budi kebaikan serta tindakan yang bijaksana!”
“Bila kekuatanmu sudah melampaui orang lain, saat itulah dengan budi kebaikan engkau baru bisa menaklukan hati orang, dulu ibu tidak pernah mengajarkan teori ini kepadamu, hal ini disebabkan ilmu silatmu belum berhasil mencapai pada puncaknya!”
oooooOooooo 88
HOA THIAN-HONG berpikir sebentar lalu bertanya lagi, “Apakah ibu tak akan datang kemari?”
Chin Wan-hong manggut tanda membenarkan. “Pada waktu ini, ibu, Siau Ngo-ji serta Haputule sedang berlatih ilmu silat, bila datang kemari maka latihan mereka akan terganggu, dan lagi mereka kuatir orang muda gampang terpikat oleh harta karun, maka lebih baik sama sekali tidak muncul saja!”
Hoa Thian-hong menghela nafas panjang.
“Aaai….! Pengetahuan serta pengalaman ibu memang jauh lebih luas daripada aku, rupanya dia orang tua sudah tak mau mencampuri urusanku lagi, maka sengaja suruh aku merasakan pahit getirnya manusia.”
“Tapi keadaan situasi pada saat ini toh tidak terlalu jelek!” seru Chin Wan-hong.
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, ia melirik sekejap sekeliling tempat itu, setelah melihat tak seorangpun berada disitu, barulah pemuda itu berkata lagi, “Suasana tenang dan damai yang kau lihat pada saat ini hanya bersifat sementara, akhirnya toh persoalan ini harus diselesaikan diujung senjata, harta karun itu pasti akan dirampok mereka dengan menggunakan ilmu silat!”
“Aku dengar jumlah harta karun yang tersimpan dalam istana ini tak terhingga banyaknya!” bisik Chin wang hong.
Hoa Thian-hong tertawa getir.
“Sampai dimanapun banyaknya benda tersebut, toh tetap tak akan lebih banyak dari kawanan jago yang berkumpul disini, sekalipun setiap orang bisa dibagi dengan satu macam barang, tapi nilai dari benda berharga itu kan tak sama, benda yang benar-benar bagus jumlahnya tentu sedikit sekali.” “Asalkan kita tak ambil satu macam bendapun dan membagi ke semuanya itu buat orang lain toh sama saja artinya!”
Hoa Thian-hong tertawa, “Cara ini tidak akan dapat menyelesaikan persoalan tersebut, misalnya saja ada sebiji buah Cu ko, dimana barang siapa memakannya maka dia akan ewet muda dan panjang usia, kemudian Pek Siau-thian menginginkannya, Tang kwit Siu juga menginginkannya sedang Kiu-im Kaucu juga berharap bisa mendapatkannya, kalau tidak di selesaikan secara bertarung bagaimana persoalan ini bisa diatasi?”
Chin Wan-hong tersenyum
“Asal benda itu bisa dibagi menjadi tiga bagian hingga semua orang dapat merasakannya bukankah urusan akan beres?”
Tersenyum getir Hoa Thian-hong setelah mendengar perkataan itu.
“Aaai! Kamu ini masa dalam keadan seperti inipun, masih punya kegembiraan untuk menggoda aku, andaikata benda itu adalah suatu benda yang tak bisa dibagi lantas bagimana caranya uatuk mengatasi persoalan itu?”
“Pokoknya kita akan berjuang demi kepentingan umum dan berbuat menurut kemampuan yang kita miliki”
Hoa Thian-hong menghela nafas panjang.
Yaa, setelah persoalan ini diurus kita, maka aku harap persoalan ini bisa diselesaikan dengan cara yang sebaik- baiknya, kalau toh masalah ini berakhir dengan bencana, dan keadaan yang kurang memuaskan, bukan saja kita akan sia- sia berjuang, malahan perasaan hati kita jadi sedih dan menyesal untuk selamanya.
Cbin Wan bong mengangguk, dengan wajah serius ia berkata, Kalau begitu biarlah kuikat dulu tali perkawinan antara Bong tosko dengan Pek toa sinciu, asalkan kita sudah punya hubungan famili dengan pihak Sin-kie-pang, maka andaikata terjadi suatu keributan niscaya Pek lo pangcu akan menjual muka kepadamu, bila tindakan ini kurang cukup maka engkau pun boleh mengikuti jejak Bong toako dengan mengikat tali hubungan dengan pihak Sin-kie-pang.
“Huuuss jangan sambarangan bicara” sela Hoa Thian-hong sambil tertawa, “Pemuka dunia persilatan tak mungkin bersedia tundukkan kepala dihadapan Pek Siau-thian, mengenai perkawinan dari Bong Toa ko dan enci Soh-gie lebih baik engkau saja yang menjadi mak comblangnya, tak usah kau menanyakan soal pendapat dari jago-jago lain, dari pada terjadi hal-hal yang tak diinginkan yang akan mengakibatkan gagalnya persoalan ini!”
Chin Wan-hong menganggut seraya mengiakan maka Hoa Thian-hong kembali ke arena penggalian untuk menjadi mandor, sedangkan Chin Wan-hong kembali keatas bukit untuk memberi hormat kepada gurunya dan Cu Im taysu sekalian, setelah itu berbicara pula dengan saudara-saudara seperguruannya.
Dalam kerepotan akhirnya ia berhasil pula menyingkirkan sedikit waktu untuk berkunjung kerumah kayu yang dibuat orang-orang dari perkumpulan Kiu-im-kauw.
Ketika Kiu-im Kaucu melihat kedatangannya, ia segera menyambut kedatangan perempuan itu diluar pintu rumah, sapanya sambil tertawa, “Sau hujin apakah kedatanganmu kemari adalah untuk menengok Ku Ing-ing?” Cepat Chin Wan-hong memberi hormat dan menyahut, “Selain menengok enci Ing ing, kedatanganku juga memberi hormat kepada kaucu!”
“Haahh…. haaahh…. haaahh, sau hujin tak usah sungkan- sungkan!” seru Kiu-im Kaucu sambil tertawa terbabak-bahak, “aku tak berani menerima penghormatanmu itu, maaf!
Tempat ini tak sesuai untuk menerima tamu”
Ia lantas berpaling ke arah Giok Teng Hujin dan melanjutkan, “Sau hujin baru kali ini datang kemari, temanilah dia untuk berjalan-jalan keempat penjuru sembari menikmati keindahan alam.”
“Ing ing terima perintah!” sahut Giok Teng Hujin sambil memberi hormat.
Chin Wan-hong sendiri memang kuatir kalau disitu terlalu banyak orang hingga ia tak leluasa untuk berbicara, mendangar perkataan itu dia lantas mohon diri dan mengajak Giok Teng Hujin berlalu dari sana.
Sejak dulu sampai sekarang antara kedua orang ini boleh dibilang sama sekali tak ada ganjalan hati, sekalipun Giok Teng Hujin mencintai diri Hoa Thian-hong, akan tetapi Chin Wan-hong sama sekali tidak menaruh rasa cemburu, maka setelah berjalan agak jauh, Chin Wan-hong buka suara sambil berkata, “Enci, wajahmu!”
Giok Teng Hujin masih mengenakan kain cadar hitam diatas wajahnya, mendengar perkataan itu dia lantas tertawa.
“Wajahku telah berkeriput dan menjadi tua karena siksaan yang kuderita, apakah Thian-hong belum menceritakan kejadian ini kepadamu?” sahutnya lembut. Chin Wan-hong menggeleng.
“Mungkin karena banyak orang dan lagi Thian-hong sedang sibuk mengurusi soal penggalian harta, maka ia belum menceritakan sesuatu tentang diri enci”
Tiba-tiba dia menghela napas panjang, lanjutnya lebih jauh, “Aku jadi teringat dengan Leng-ci berusia seribu tahun itu, bila benda mustika itu masih berada disakumu maka sekarang cici tak perlu menguatirkan soal keriput diatas wajah lagi”
Mendengar perkataan itu, Giok Teng Hujin tertawa. “Benar, mustika yang berada didunia ini hunya bisa
dinikmati oleh mereka yang punnya rejeki besar, encimu tak lebih cuma seorang perempuan buangan tak berguna, tidak terjerumus kedalam neraka sudah merupakan suatu keberuntungan, sekalipun Leng-ci itu masih ada, belum tentu aku bisa menikmatinya.
“Aaah…. enci pandai bergurau!”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Thian-hong sudah terlalu banyak memerima budi kebaikan dari cici, hutang kami kepadamu sudah tak terhitung jumlahnya, dan lagi kakakku Giok liong juga tertolong jiwanya lantaran Leng-ci mustika itu, boleh dibilang kami keluarga Hoa dan Chin merasa amat berterima kasih sekali atas budi dan pertolongan dari cici itu!”
Giok Teng Hujin tertawa.
Suma tayhiap juga bentrok dengan Kiu-im Kaucu lantaran Leng-ci berusia seribu tahun itu, sungguh tak kusangka demikian banyak orang yang berterima kasih kepadaku karena persoalan itu.
Chin Wan-hong tersenyum, dengan wajah serius ia berkata lagi, “Mertuaku adalah seorang manusia yang luar biasa, dia orang tua sangat memikirkan tentang kehidupan cici, apa lagi setelah baru-baru ini memperbincangkan tentang diri cici, maka setelah dipikir pulang pergi beliau merasa bahwa daripada cici sekalian bercokol di perkumpulan Kiu-im-kauw serta berkeliaran dalam dunia persilatan alangkah baiknya kalau cici datang saja keperkampungan Liok Soat Sanceng dan berdiam disitu bersama kami, tentunya cici bersedia untuk memenuhi harapan kami ini bukan?”
Tertegun Giok Teng Hujin setelah mendengar perkataan itu, lama sekali dia tertegun dan untuk sesaat tak tahu apa yang musti diucapkan.
Ia tahu Chin Wan-hong sebagai seorang yang jujur tidak mungkin akan membohongi dirinya, padahal ucapan dari Hoa Hujin selalu sekokoh batu karang, apa yang telah diutarakan keluar berarti pula persoalan itu telah diputuskan olehnya, tak mungkin masalah itu hanya diutarakan karena basa basi belaka.
Tapi ingatan lain lantas terlintas dalam benaknya, yang di masudkan untuk berdiam di perkampungan Liok soat san ceng berarti pula pengakuan langsung dari Hoa Hujin atas hubungannya dengan Hoa Thian-hong, hal ini berarti pula kalau dia telah menyetujui hubungan perkawinan mereka berdua.
Kejadian semacam ini hampir boleh dikata sama sekali tak terduga, tentu saja untuk sesaat lamanya ia jadi kelabakan sendiri. Namun bagaimanapun juga dia adalah jago silat kawakan yang sudah kenyang makan asam garam, setelah tertegun beberapa saat lamanya diapun menggeleng.
“Budi kebaikan dia orang tua tak akan kulupakan selamanya”, ia berkata dengan suara berat, “tapi aku hanya bisa menerima maksud baiknya itu didalam hati saja tak mungkin bisa kupenuhi harapan dari dia orang tua”
Setelah berhenti sebentar sambungnya lagi, “Hian moay adalah seorang perempuan yang bijaksana, terus terang kukatakan bahwa akan tidak menolak maksud tersebut hanya aku malu dengan diriku sendiri, persoalanku ini jangan kau anggap sebagai suatu tindakan pura-pura, aku telah mengambil keputusan ini dengan bersungguh hati!”
Chin Wan-hong merasa sedih dan serba salah, setelah termenung sebentar iapun berkata, “Kalau toh enci tidak memandang asing diriku, Siau moay juga tak akan menganggap kau sebagai orang luar, biarlah kujelaskan lebih dahulu duduknya persoalan ini sehingga engkau tahu dimanakah letak sumber dari keputusan ini.”
Setelah berpikir sebentar, ia melanjutkan, “Sejak dulu sampai sekarang keluarga Hoa adalah keluarga besar dunia persilatan, nama besar ini bukan direnggut lantaran mengandalkan ilmu silat belaka, ambillah contoh diri mertuaku, dia orang tua boleh dibilang merupakan pendekar besar diantara kaum wanita, perbuatan dan tindakannya lebih mengutamakan keadilan serta kejujuran, ia rela kehilangan rumah dan hidup sengsara daripada melakukan perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan jiwa ksatria nya dan kini enci menaruh budi kebaikan kepada Thian-hong!”
Giok Teng Hujin menggerakkan bibirnya seperti mengucapkan sesuatu tapi sebelum kata-kata tersebut sempat diutarakan keluar, rupanya Chin Wan-hong sudah dapat menebak suara hatinya, cepat ia melanjutkan lebih jauh, “Yang dimaksudkan sebagai budi disini bukanlah budi dari Leng-ci berusia seribu tahun itu, melainkan budi yang diterima Thian-hong sejak berkenalan dengan cici, soal Leng-ci mungkin saja bisa diganti dengan benda yang sama, tapi budi yang diterima karena bantuan dan cinta kasih cici, kalau tidak dibalas dengan cinta kasih pula, masakah bisa diganti dengan benda lain?”
“Tapi cinta kasih yang kuberikan kepada Thian-hong toh muncul karena kemauanku sendiri, aku sama sekali tidak mengharapkan balas jasa dari dirinya!”
“Mengharapkan pembalasan atau tidak adalah urusan cici sendiri” kata Chin Wan-hong dengan serius, “tapi yang pasti orang persilatan memandang soal budi sebagai persoalan yang paling penting, mertuaku tak ingin Thian-hong menjadi orang yang lupa budi, tak mau melihat didunia ini ada kejadian yang tak adil, selain itu aku sendiripun berharap semua kekasih yang ada didunia ini bisa dilanjutkan ke jenjang perkawinan, aku tak ingin melihat didunia ini adalah laki-laki yang putus cinta, ada gadis yang merana…. maka aku harap engkau bersedia menerima tawaran kami ini!”
Giok Teng Hujin tertawa, katanya, “Hatimu terlalu welas kasih dan halus bagaikan Pousat, apakah engkau tidak merasa bahwa perbuatanmu ini sedikit kelewat batas?”
Chin Wan-hong tersenyum.
“Soal itu lebih baik tak usah dibicarakan katanya, marilah kita bicarkan lagi soal tentang keluarga Hoa, sebagaimana engkau tahu meskipun keluarga Hoa adalah keluarga yang dihormati orang banyak…. toh keluarga ini hidup dari ilmu silat, berbeda jauh dengan kalangan keluarga hartawan atau pejabat yang turun temurun karena pangkat, kami menuruti peraturan persilatan yang di bicarakan adalah aoal cengli dan kami tak terikat oleh adat ataupun tata cara lain. Bagi pandangan kami asal hal itu terasa pantas dan tidak jelek maka sekalipun Thian-hong punya dua istri atau tambah lagi dengan tiga empat orang istri juga tak menjadi soal, lagi pula barang siapa yang sudah dinikahi olehnya kami anggap sebagai istri yang sah tak akan kami bedakan apakah dia adalah istri yang sah atau gurdik!”
Giok Teng Hujin tertawa.
“Sudahlah!” ia berseru, “dahulu aku tidak kenal dengan kau tapi belakangan ini sering kudengar watak serta tabiatmu dari mulut Thian-hong dan akupun semakin memahami dirimu, aku dapat mengerti betapa besar jiwamu, coba bayangkan seandainya perempuan yang pertama kali dikawini Thian-hong bukan kau melainkan Pek Kun-gie, mungkin rumah tangganya akan bertambah rumit dan penuh dengan persoalan yang memusingkan kepala, Thian-hong tak akan punya niat untuk berlatih si at lagi apalagi menyelenggarakan usaha penggalian harta karun?”
Chin Wan-hong tersenyum.
“Sejak dilahirkan aku memang memiliki lidah yang kaku, bagaimanapun juga lidah yang kaku ini sudah mati rasa sehingga tak bisa kurasakan bagaimana rasanya orang cemburu atau iri….!”
“Betul, orang lain mungkin saja dapat membagi cinta kasih dari Thian-hong” ujar Giok Teng Hujin sambil tertawa, “tapi siapa pun tak dapat membelah hatinya, sebab dia telah persembahkan hatinya hanya bagimu seorang.”
Chin Wan-hong tertawa. Kalau orang makan buah Tho maka yang dimakan adalah dagingnya, siapa yang suka makan bijinya? Begitu pula dengan kaum perempuan, yang mereka butuhkan hanya cinta kasih, siapa yang memperdulikan hatinya bagaimana? Sejak dilahirkan aku memang punya takaran yang kelewat kecil, kalau makan kebanyakan malahan tak bisa di cernakan”
Setelah berhenti sebentar lanjutnya lebih jauh, Lebih baik kita tak usah banyak membicarakan masalah yang tak berguna, biarlah siau moay bicarakan masalah yang lebih penting saja.
Oooh…. kiranya engkau sedang melaksanakan perintah, anggaplah enci sedih merasakan kelihayanmu hari ini” seru Giok Teng Hujin sambil meleletkan lidahnya.
Chin Wan-hong ikut tersenyum, katanya dengan serius, “Cici, kalau menyuruh Thian-hong memutuskan hubungan dengan engkau, maka kejadian ini kurang begitu bijaksana, tapi kalau membiarkan kalian berhubungan terus, padahal engkau masih keluyuran didepan, sudah pasti Thian-hong akan dicemooh dan ditertawakan orang. Engkau toh tahu betapa ketat dan kerasnya pendidikan mertua ku terhadap putranya? Bukan saja beliau akan dimaki orang karena tak becus, siau moay sendiripun akan diejek orang sebagai nyonya yang suka cemburuan…. waah, kalau sampai semua keluarga kena dicemooh orang, kan urusannya jadi berabe? Makanya hanya ada satu cara untuk mengatasi persoalan ini, yakni memboyong cici pularg kerumah, setelah upacara resmi diadakan, maka kita semua akan hidup dengan penuh kegembiraan.”
Giok Teng Hujin tertawa. “Waah! Engkau memang sangat lihay, berbicara pulang pergi akhirnya toh demi kepentingan dirimu sendiri.”
Setelah berhenti sebentar, dengan serius dia melanjutkan, “Aaaiii! Bila Thian-hong lanjutkan hubungannya dengan aku, lantas bagaimana dirimu? Tentang soal ini aku sudah memikirnya sedari dulu, cuma dahulu kita tak kenal maka tak bisa dikatakan lagi dan sekarang setelah kita berkenalan bagaimanapun Juga aku ikut memikirkan keadaanmu, biarlah maksud baikmu itu akan kubalas dike mudian hari!”
Cepat Chin Wan-hong geleng kepala.
“Cici,” katanya dengan serius, “Thian-hong adalah seorang anak yang amat berbakti, bila ibunda telah melarang Thian- hong untuk berhubungan dengan engkau maka bubungan cici dengan Thian-hong tak akan berlangsung sampai hari ini, dia orang tua bukan seorang manusia yang gampang mengambil keputusan akan tetapi bila ia sudah mengambil keputusan maka yang diharapkan adalah kesuksesan, bila cici bersungguh hati mencintai Thian-hong seharusnya dengan ke dudukanmu sebagai seorang angkatan muda keluarga Hoa engkau taati perkataan dari beliau, apa gunanya engkau melukai perasaan serta hubunganmu dengan dia orang tua?”
Ketika mendengar perkataan itu, Giok Teng Hujin berdiri tertegun sementara air matanya jatuh bercucuran.
“Cici merasa tak punya keberanian antuk melangkah masuk kepintu gerbang keluarga Hoa….”
Chin Wan-hong termenung sebentar, kemudian sambil menggenggam tangannya ia berkata dengan nada dalam, “Cici, sau moay punya rencana bagus untuk mengatasi persoalan ini, tapi kalau cici menampik lagi, itu berarti engkau tak sudi berkelompok dengan siau moay” “Katakanlah apa rencanamu itu!” bisik Giok Teng Hujin dengan sedih.
“Kurang lebih tiga ratus dua puluh li di sebelah timur laut pulau Tiang le to di samudra Tang bay, terdapat sebuab pulau ko song yang bernama In soat to, keluarga Hoa mempunyai sebuah pesanggrahan diatas pulau tersebut, dan sampai sekarang masin ada pelayan keluarga Hoa yang berdiam di situ, setelah urutan harta karun ini selesai, silahkan cici berdiam dipulau It soat to tersebut, urusan selanjutnya siau moay akan aturkan buat cici!”
Berbicara sampai disitu tanpa menunggu jawaban lagi, ia lantas memberi hormat dan berlalu dari situ.
Giok Teng Hujin cuma bisa berdiri termangu dengan air mata bercucuran, ia tak tahu apa yang musti dilakukan pada saat ini.
Dengan lemah gemulai Chin Wan-hong bergerak menuju perkemahan orang orang Sin-kie-pang, waktu itu keluarga Pek Siau-thian yang terdiri dari empat jiwa sedang berkumpul disebuah rumah kayu.
Ketika Kho Hong-bwee dan Pek Soh-gie melihat kedatangan perempuan itu, mereka cepat memburu kedepan dan menyambut kedatangan diluar pintu, sementara Pek Siau- thian pura-pura tidak melihat dan Pek Kun-gie tetap duduk ditempat semula.
Selesai memberi hormat kepada Kho Hong-bwee berdua, Chin Wan-hong masuk kedalam ruangan dan memberi hormat kepada Pek Siau-thian seraya berkata, “Wan hong menghaturkan hormat buat empek Pek!” “Tak usah banyak adat!” sela Pek Siau-thian ketus.
Sau hujin, sHahkaa duduk! cepat Kho Hong-bwee berseru sambil tertawa, Kun gie hidangkan air teh”
Dalam rumah itu tak ada pelayan maka menurut peraturan, orang yang paling mudalah bertindak sebagai pengganti pelayan.
Dengan perasaan apa boleh buat Pek Kun-gie segera bangkit dan menuang secawan air teh, sebab ia anggota termuda maka dialah yang berkewajiban untuk menghilangkan air teh bagi tamunya.
Chin Wan-hong menerima cawan air teh itu dan ditetakkan di meja, tiba-tiba ia tangkap tangan kiri dara itu kemudian menyingsingkan bajunya dan periksa pergelangan tangan tadi….
Melihat itu Kho Hong-bwee lantas berkata sambil tertawa, “Tempo hari ia dipagut kelabang langit yang ganas, tapi setelah Thian-hong memberi pelajaran adat kepada murid tertuanya Tang Kwik-siu, beberapa hari berselang obat pemusnahnya telah ia minum, cuma tak tahu bagaimanakah perkembangan lukanya itu?”
Chin Wan-hong tertawa.
“Walaupun bekas gigitannya masih utuh, warna sembab sudah lenyap, itu tandanya ia sudah bebas dari pengaruh racun. Bibi tak usah kuatir, dengan ilmu tusuk jarum keponakan pernah memunahkan pula racun kelabang yang mengeram ditubuh Lau Cau cing, bila adik Kun gie masih kurang enak badan, tit li bersedia untuk memberikan pertolongan.” Tiba-tiba Pek Kun-gie meronta dan melepaskan diri dari cekalan, kemudian ujarnya dengan ketus, “Hmmm! Sebelum datang kemari, engkau telah berkunjung dulu kepihak Kiu-im- kauw, sekarang dengan mulut manis mencari muka kepada kami, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Kalau ingin mengangkangi sendiri harta karun itu, boleh saja kita rundingkan secara blak blakan!”
Mendengar soal harta karun, tanpa sadar Chin Wan heng teringat kembali akan suaminya, ia lantas tersenyum dan menjawab, “Meskipun harta karun memang suatu hal yang menawan hati, aku tiada bermaksud untuk mengangkanginya, lagipula waktunya belum tiba, sekalipun saatnya sudah sampai engkau belum berhak mendapat bagian!”
Mula-mula Pek Kun-gie agak tertegun, tapi setelah memahami maksud dari kata-kata itu, ia jadi malu bercampur mendongkol.
Akan tetapi sebelum ia sempat mengumbar amarahnya, sambil tersenyum Chin Wan-hong telah menarik Kun pie agar duduk di-sampingnya, kemudian kepada Kho Hong-bwee, ujarnya lagi, “Bibi, tit li mendapat titipan dari dewa yang suka pelancongan Cu locianpwe untuk datang menyambangi, sekalian hendak membicarakan pula tentang satu urusan!”
“Cu tayhiap saat ini ada dimana? Urusan apa yang hendak dibicarakan dengan kami?” tanya Kho Hong-bwee dengan wajah tertarik.
Dengan wajah serius dan nada keren jawab Chin Wan- hong.
“Oleh karena ada urusan penting dikota Teng yang, Cu locianpwe tak dapat datang kemari! Hanya pesannya, mengingat Bong toako adalah seorang pemuda sebatang kara, sedangkan enci Soh-gie cantik dan berhalus budi, maka Cu locianpwe ingin mengikat tali hubungan dengan keluarga bibi dan tit li diperintahkan datang kemari serta ber tindak sebagai mak comblangnya!”
Kho Hong-bwee tertawa lebar, sesudah mendengar perkataan itu katanya dengan tenang, “Bong Pay adalah seorang pendekar sejati, seorang lelaki berhati keras dan lagi punya bakat yang bagus, aku suka sekali dengan bocah lelaki ini!”
Watak paling bagus dari Bong toako adalah sifatnya yang terbuka dan jiwanya yang jantan, pendapat tit li yang bodoh, enci Soh-gie yang polos dan sederhana memang paling pantas kalau didampingi oleh seorang yang kasar seperti dia.
“Aaai….!” Kho Hong-bwee menghela napas panjang, “Soh- gie amat tawar dalam soal pahala dan kedudukan, manusia macam begini hanya akan menderita dan tersiksa bila bertemu dengan orang yang tidak berbudi baik.”
Bicara sampai disini ia lantas berpaling ke arah suaminya dan menambahkan, “Sau that bagaimana pendapatmu?”
Semenjak semula Pek Siau-thian telah merundingkan persoalan ini dengan istrinya, oleh karena putrinya sangat jujur dia memang pantas menjadi istri laki-laki kasar yang berhati keras seperti Bong Pay.
Walaupun begitu, ia mempunyai kesan yang berbeda dengan orang orang dari grupnya Hoa Thian-hong, kalau menurut suara hatinya ingin sekali ia bikin jengkel orang- orang itu, tapi diapun kuatir kalau perbuatanya ini akan melukai perasaan hati putrinya. Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa ia harus menuruti rencana semua, sahutnya dengan sederhana, “Besok suruh dia masuk kepihak perempuan, sekembalinya keatas gunung perkawinan baru diselenggarakan, nama sih boleh tetap dipakai cuma ajarannya musti menuruti perkataanku dan ia dilarang membang-kang semua ajaranku itu!”
Kho Hong-bwee lantas berpaling ke arah Chin Wan-hong, lalu tanyanya dengan lirih, “Hian tit li bagaimana pendapatmu?”
Cepat Chin Wan-hong memberi hormat.
“Semua perkataan empek memang masuk diakal dan sudah umum, lagi pula tak meleset dari dugaan Cu locianpwe, menurut pendapat tit li, Bong toako masih muda dan lagi tiada bimbingan angkatan yang lebih tua, bila sekarang Bong toako bisa memperoleh kasih sayang dari bibi dan enci Soh-gie, memang sepantasnya kalau dia menerima prasyarat tersebut!”
“Kalau toh persoalan ini tidak meleset dari dugaan Cu tayhiap, maka berarti persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan, sekembalinya dari sini boleh kau tanyakan kepada Bong Pay, apakah ia bersedia untuk menerima syarat itu, kalau bersedia maka besok boleh datang ketempat kami.”
Chin Wan-hong mengiakan berulang kali, maka diapun bangkit untuk mohon diri, ketika keluar dari ruangan ia gandeng tangan Pek Kun-gie dan diajaknya keluar bersama.
Sejak Chin Wan-hong menikah, pertama karena ia terpengaruh oleh kedudukan Hoa Hujin dan kedua diapun sudah punya kedudukan dimata masyarakat, tanpa sadar timbullah sikap yang agung dan berwibawa diatas wajahnya. Sebaliknya Giok Teng Hujin serta Pek Kun-gie tidak lebih cuma burung-burung liar yang belum masuk sangkar semakin lama mereka bergaul dengan Chin Wan-hong, mereka merasakan dirinya semakin kecil dan tak ada artinya, tanpa mereka sadari perasaan tersebut segera mencekam seluruh benaknya.
Ketika Pek Kun-gie digandeng keluar oleh Chin Wan-hong, rasa sedih yang timbul dari lubuk hatinya sukar dilukiskan dengan kata kata, ia bermaksud untuk meronta lepas dari cekalannya namun ragu, dibiarkan begitu saja hati terasa tak puas, apalagi diapun tak berani menyalahi orang dihadapannya ini, maka setelah ditarik keluar agak jauh. ia baru berani menegur sambil mencibirkan bibirnya, “Eeeh…. aku kan bukan dayangmu, kau bawa aku pergi kemana?”
Chin Wan-hong tertawa, setelah berhenti sebentar bisiknya, “Dapat kulihat bahwa engkau sedang cek cok dengan Thian- hong, bukankah begitu?”
“Huuh! Hubunganku dengannya sudah buyar, antara kami berdua sudah tiada ikatan apa-apa lagi!” seru Pok Kun gie dengan nada ketus.
Chin Wan-hong tersenyum.
“Ada permulaan tentu ada akhir, apakah engkau tidak takut ditertawakan orang? Ceritakanlah kepadaku persoalan sedih apakah yang telah kau alami selama ini?”
Mendengar pertanyaan itu, merahlah sepasang mata Pek Kun-gie, dengan sedih jawabnya, “Setelah aku terjatuh ketangan Tang Kwik-siu, hidupku tiap hari bagaikan menemani gerombolan harimau dan serigala, tiap detik kuharapkan kedatangannya, tiap menit kuharapkan pertolongannya, tapi ia tetap berada di kota Cho ciu, bahkan sama sekali tak menganggap suatu persoalan atas peristiwa yang menimpa aku, mimpipun aku tak pernah mengira kalau kedudukanku jauh lebih rendah dari pada kedudukan Ing ing”
Sampai akhirnya karena sedihnya bukan kepalang, tak tahan lagi dia melelehkan air mata.
“Apakah Thian-hong tahu juga tentang persoalan ini?” tanya Chin Wan-hong dengan lembut.
“Perduli amat dia tahu atau tidak?” jawab Pek Kun-gie dengan penuh rasa mendongkol.
Chin Wan-hong tertawa, ujarnya lagi, “Ooooh! Rupanya engkau jengkel sendirian, tahukah kau bahwa benaknya cuma dipenuhi oleh masalah besar dunia persilatan? mungkin pikiranya tak pernah sampai memikirkan keadaanmu ini.”
Dengan sehelai sapu tangan, ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya, setelah itu sambungnya lebih jauh, “Barusan akupun pergi menengok enci Ing ing lebih dahulu sebelum datang menengok dirimu, urutan ini musti diatur menurut enteng beratnya, dan bukan dibedakan karena hubungan yang lebih erat, tentang soal ini engkau bisa memahami tidak?”
“Aku ingin tahu, dalam hal apa Ku Ing-ing lebih berat dan Pek Kun-gie lebih enteng”