Jilid 10
SERANGAN yang dilancarkan Cu Goan Kek itu sebenarnya adalah suatu serangan kosong, menanti Suma Tiang-cing menggerakkan tubuhnya maka Yan-san It-koay akan segera menyergap kedepan sedang ia sendiri bisa melewati hadangan pemuda Suma itu dan membantu Malaikat berlengan delapan Cm Kiai yang terancam bahaya.
Tapi Setelah melihat sikap yang angkuh dan jumawa dari Suma Tiang-cing, seakan-akan ia tak dipandang sebelah matapun oleh la wannya, hawa arsiran segera berkobar dalam benaknya, dari jurus itupun ia rubah jadi serangan sunguhan dan langsung dihantam kemuka.
Suma Tiang-cing tertawa dingin, ia geserkan badannya kesamping dan berkelit sejauh beberapa depa dari tempat semula.
Cahaya hitam berkelebat lewat, Yan san koay dengan gelang hitamnya yang berada dalam genggaman laksana sambaran petir ditonjokkan ke arah batok kepala lawan. Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis ini jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan tenaga lweekang dari Cu Goan Kek, karenanya walaupun serangan itu dilepaskan jauh lebih lambat namun tiba pada sasaran hampir dalam waktu yang bersamaan.
Gerakan Suma Tiang-cing yang berkelit ke arah samping justru bagaikan perahu yang mendekat ketepian, dengan tepat menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Terdengar Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedang mustikanya dibalik dan langsung membabat pergelangan lawan.
Cara pemuda ini mainkan pedang menyerupai cara menggunakan golok, daya tekanannya berat bertenaga tapi enteng dan lincah sekali membuat musuh sulit untuk menduga sasarannya.
Ia tersohor sebagai jago pedang bernyawa Sembilan yang merupakan manusia paling sadis dikalangan golongan putih, kalau tidak bertempur wataknya baik, tapi setelah turun tangan pasti ada jiwa yang melayang, karena kelihayan dan kekejiannya banyak gembong iblis yang jeli dan mengalah tiga bagian kepadanya.
Sementara itu jurus serangan yang dipergunakan Yan-san It-koay sudah hampir mencapai pada akhir gerakan, melihat seranganan itu jika dilanjutkan niscaya akan kurung ditangan lawan ia jadi terkejut bercampur marah, sumpahnya, “Keparat! anjing sialan!”
Sambil putar badan satu lingkaran, dia buyarkan pukulan itu secara paksa…. “Cuuih!” Suma Tiang-cing meludah dan disemburkan keatas wajah Yan-san It-koay, pedang mustikanya berputar dan langsung membacok tubuh Cu Goan Kek.
Orang kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini rada nafsu untuk menghadapi pemuda tersebut karena itu setelah serangannya mengenai sasaran yang kosong ia segera enjotkan badan dan menyelinap kedepan.
Tiba-tiba desiran angin tajam meluncur dibelakang batok kepalanya, sewaktu ia berpaling belakang tampaklah sambaran pedang Suma Tiang-cing sudah tiba didepan mata, ia amat terperanjat dan tubuhnya buru-buru jatuh bergelinding keatas tanah untuk mencari selamat.
Mulai pertama Suma Tiang-cing menahan serangan dari Yan jan It koay lebih dahulu kemudian menyergap Cu Gom Kek meskipun ia melepaskan dua serangan namun dalam kenyataan hanya satu jurus serangan.
Mimpipun Cu Goan Kek tidak menyangka kalau Yan-san It- koay begitu goblok dan dan tak becusnya sehingga serangan dari Suma Tiang-cing pun tidak mampu dibendung, dalam gugupnya ia berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri dari arcaman.
Cahaya barkelebat lewat pakaian bagian punggung Cu Goan Kek tersambar robek, sebuah jalur sepanjang dua depa, darah mengalir keluar dari mulut luka dan membasai tubuhnya namun Cu Goan Kek masih belum merasakan hal itu.
Yan-san It-koay merasa malu bercampur gusar, ia menyergap maju kedepan sepasang kepalannya disodok kemuka menghajar pinggang Suma Tiang-cing memaksa si anak muda itu harus putar pedangnya untuk menyelamatkan diri. Setelah secara nyaris berhasil lolos dari bacokan lawan, Cu Goan Kek merasa gusar sekali, paras mukanya jadi hijau kepucat-pucatan namun sebagai seorang jago kawakan yang berotak dingin dan berhati licik, ia segera menggigit bibir menelan rasa mendongkolnya itu didalam hati, sang badan masih melanjutkan terjangannya menubruk ke arah Ciong Lian-khek.
Kembali Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedangnya berkelebat menyergap tubuh bagian belakang dari Cu Goan Kek, memaksa jago kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini buru-buru harus berkelit ke arah samping.
Yan-san It-koay adalah seorang jago lihay yang tersohor karena kebengisan dan keganasanya, berada dihadapan umum ia kena dipaksa oleh lawannya hingga selalu berada dibawah angin, hal itu membuat kemarahannya menjadikan ia kalap, sepasang tinju di lontarkan secara berrantai krdepan, ia lepaskan pukulan secara membabi buta.
Serangan berantai yang amat gencar ini telah menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki Yan-san It-koay, kendatipun Suma Tiang-cing gagah perkasa dan pemberani tak urung musti menghadapi dengan sepenuh tenaga juga.
Dengan terjadinya peristiwa ini maka Cu Goan Kek pun berhasil melepaskar diri dari kurungan lawan, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia kirim satu pukulan dahysat menyergap badan Ciong Lian-khek.
“Sreeet,!!” Ciong Lian-khek putar badan melepaskan satu babatan pedang, serunya dengan ketus, “Cia Kim, ini hari adalah saatnya kita berdua untuk menentukan siapa hidup siapa mati apakah engkau hendak andalkan kekuatan orang untuk mewujudkan harapanmu?” Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertegun, ia teringat kembali atasn kata-katanya sebelum terjadi pertarungan itu, ia pernah ber kata bahwa pada saat itu menang kalah di antara mereka hendak dilakukan tanpa campur tangan orang lain.
Dangan wajah menyesal bercampur malu, segera bentaknya dengan keras.
“Ji ko harap segera undurkan diri, setelah rasa akhirat menentukan kematian pada kentongan ketiga, siapakah yang berani mena han dirinya sampai kentongan kelima?”
Cu Goan Kek tertawa seram.
“Heeh…. heehh…. heehh…. Ji ko justru tak percaya dengan segala ketahayulan, akan ku bereskan cecunguk ini sekarang juga”
Ciong Lian-khek tertawa sinis.
“Huuh! baiklah, aku akan suruh engkau percaya dengan segala Ketahayulan!!”
Sreet! sreet! dua serangan berantai di lepaskan dengan gencar menukas perkataan Cu Goan Kek yang belum sempat diselesaikan.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim semakin bertambah malu dan tiba-tiba ia berteriak keras, “Ji ko kalau engkau tak segera mengundurkan diri, siaute akan bunuh diri lebih dulu di hadapanmu!”
Cu Goan Kek merasa amat terperanjat, ia segera urungkan serangannya dan mundur ke belakang dengan hati tercekat. “Cia Kim” teriak Ciong Lian-khek kemudian dengan suara lantang, “engkau memang seorang lelaki perkasa yang hebat, aku Ciong Lian-khek kagum atas kegagahanmu itu!”
Pedangnya dikembangkan dan segera melancarkan satu tusukan.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim mendengus dingin, ia melangkahkan kakinya sambil berputar, sebuah pukulan balasan segera dilepaskan dengan dahsyat.
Cu Goan Kek yang dipaksa mengundurkan diri dari arena pertarungan hanya bisa berdiri melongo disisi gelanggang sambil menyaksiksn dua orang itu melanjutkan kembali pertarungannya, dalam hati ia segera berpikir, “Baiklah aku berdiri disini sambil membayanggi pertarungan yang sedang berlangsung, bila keadaan membahayakan aku baru akan turun tangan untuk menolong jiwanya, dalam keadaan begitu aku rasa Ciong Lian-khek tidak akan….”
Belum babis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, tiba-tiba terdengar Yan-san It-koay berteriak keras, “Hati-hati dengan sergapan dari belakang….!”
Terperanjat hati Cu Goan Kek mendengar teriakan tersebut, ia segera berpaling kebelakang dan tampaklah seorang kakek tua berwajah merah, berbadan pendek dan gemuk, sambil menggoyangkan kipasnya sedang menyelinap kebelakang tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Ketika menyaksikan lawannya berpaling, kakek gemuk pendek berwajah merah padam itu tiba-tiba tertawa, kipasnya diayun kedepan dan mengipasi punggung Cu Goan Kek.
Pakaian bagian punggung dari Cu Goan Kek itu sudah tersambar robek oleh babatan pedang Suma Tiang-cing tadi tanpa terasakan olehnya, setelah dikipasi oleh kakak gemuk itu, pakaiannya segera tersingkap hingga kelihatan kulitnya yang berdarah.
Cu Goan Kek jadi sangat terperanjat, buru-buru ia loncat keudara dan menyingkir sejauh beberapa tombak dari tempat semula.
Ditengah gelanggang, terdengarlah Ciong Lian-khek membentak keras, Cia Kim mari kita tentukan siapakah yang lebih berhak melanjutkan hidup di kolong langit.
Sambil berseru badannya meluncur keangkasa hingga mencapai ketinggian dua tombak lebih.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertawa angkuh, kakinya melayang kepintu Cu bu dan kepalannya disilangkan didepan dada, kepalanya menengadah keudara sikapnya angkuh sekali.
Ciong Lian-khek mendengus dingin, badannya meluncur kebawah, pedangnya berputar kencang bagaikan roda, cahaya tajam menyelimuti daerah seluas satu tombak lebih, dan mengurung batok kepala Cia Kim.
Terdengar bentakan keras bergeletar di angkasa, dengusan gusar yang seram mengiringinya lalu terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
“Bluum! dengan jurus Lu wang kay hun atau jaring langit membekuk sukma, bacokan pedang dari Ciong Lian-khek berhasil menghajar separuh tubuh bagian atas dari Cia Kim sehingga terluka parah dan darah segar berhamburan di angkasa. Pada saat yang bersamaan pula, sebuah pukulan maut yang dilepaskan malaikat berlengan delapan Cia Kim berhasil pula menghajar telak bahu kiri lawannya, membuat tulang bahu Ciong Lian-khek hancur berantakan, tubuhnya yang ada ditengah udarapun berpusing kencang.
Sejak menyaksikan Cia Kim bermaksud adu jiwa, Cu Goan Kek sudah menyadari bahwa gelagat tidak menguntungkan rekannya, ia hendak maju menolong tapi usahanya selalu ditinggalkan oleh kebebasan kipas dari dewa yang suka pelancongan Cu Thong, hal ini membuat dia panik sekali.
Demikianlah, setelah terjadinya bentrokan yang sama-sama berakibatkan terlukanya kedua orang itu, para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie sama-sama membentak keras dan serentak menyerbu masuk kedalam gelanggang pertarungan.
Terdengar Ciong Lian-khek membentak keras, pedangnya berputar laksana kitiran petir, sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata meluncur kemuka, dengan gerakan Thay san ya teng atau tertindih oleh bukit Thay san, pedangnya membacok kebawah.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan kesunyian, batok kepala Malaikat berlengan delapan Cia Kim terbacok hingga hancur lebur dan terpisah dari tubuhnya.
Dalam pada itu, dewa yang suka pelancongan Cu Thong ketika melihat para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie bagaikan gulungan air bah menyerbu masuk kedalam gelanggang pertarungan, ia segera meayadari bahwa pertempuran massal tak bisa dihindari lagi, kipasnya dengan cepat disimpan dan telapaknya laksana kilat melepaskan satu pukulan maut. Pukulan itu menggunakan gerakan menyerang sampai mati, salah satu serangan ampuh dalam catatan Ci yu ju ciat, tujuan Cu Thong menggunakan iimu maut itu bukan lain adalah hendak membunuh lawannya secepat mungkin.
Dada Cu Goan Kek termakan telak oleh pukulan maut itu, ia menjerit kesakitan, darah segar menyembar keluar dari mulutnya dan binasalah jago nomor dua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini.
Pertempuran itu benar-benar berlangsung amat seru dan mengerikan, belum cepat mayat Cia Kim dan Cu Goan Kek roboh terkapar diatas tanah, pertarungan massal yang amat serupun sudah berlangsung.
Delapan puluh orang jago lihay dari perkumpulan Hong im Hwae bersama-sama terjun kedalam geianggang pertarungan, yang masih tinggal dalam barak hanya Jin Hian yang baru saja kehilangan lengan kiri nya serta nenek buta yang belum sembuh dari luka dalamnya.
Sebaliknya dari pihak pendekar kalangan lurus, mulai dari Hoa Hujin hingga kebawah sebagian besar ikut terjun dalam pertarungan massal itu, kini yang masih berpeluk tangan hanya Siang Tang Lay yang cacad dan menderita luka parah, keempat orang muridnya yang melindungi keselamatan sang guru, Biau-nia Sam-sian setia Chin Wan-hong.
Dilam sekejap mata, jeritan-jeritan ngeri berkumandang silih berganti, meskipun dari pihak kalangan lurus hanya berjumlah dua puluh dua orang tapi sebagian besar merupakan jago-jago lihay yang berhasil lolos dalam pertempuran berdarah dipertemuan Pak beng hwee, lagi pula mereka semua telah bersepakat untuk membunuh pihak lawan dengan serangan kilat, oleh karena itu begitu terjadi pertempuran seru, perkumpulan Hong-im-hwie yang merupakan kelompok paling lemah diantara Tiga maha besar dalam dunia persilatan segera mengalami gempuran hebat yang mengakibatkan rontoknya kekuatan tersebut.
Jin Hian yang menyaksikan anak buahnya banyak yang roboh bergelimpangan diatas tanah jadi tercekat dan sedih sekali, ia segera menjerit kalap, “Thian Ik-cu! Pek Siau-thian! aku orang she Jin….”
Belum habis ia berkata, dari barak sebelah kiri berkumdanglah suara bentakan keras dari Hian Leng cu, “Pek pangcu, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk turun tangan”
Dia ayun pedang mustikanya dan terjun kedalam gelanggang lebih dahulu.
Dalam sekejap mata, hawa pedang membumbung tinggi keangkasa, ratusan orang, anggota perkumpulan Thong-thian- kauw mengikuti dibelakang Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan Cing Leng cu terjun kedalam gelanggang pertarungan massal.
Luka yang diderita Pek Siau-thian paling ringan, luka itu sudah selesai dibalut. Saat itu sambil memegang tanda perintah Hong-lui-leng yang memancarkan cahaya keemasan ia berdiri diatas sebuah meja, matanya yang jeli mengamati situasi dalam gelanggang, namun ia tetap tidak buka suara untuk mengirim kekuatannya.
Terdengar malaikat pertama Sim Kiam d ri Liong-bun Siang-sat membentak dengan suara keras, “Saudara-saudara dari perkumpulan Hong-im-hwie, cepat menghindar kesayap kanan!” “Hmmm! mau menghindar kemanapun tidak mungkin bisa!” sahut Cu Thong dewa yang suka pelancongan dengan suara dingin.
Weeeess….! ia lepaskan pukulan dahsyat ke depan.
Tatkala menyaksikan datangnya pukulan telapak yang merah membara bagaikan baja yang membara, Malaikat pertama Sim Kian merasa amat teperanjat, ujarnya, “Ilmu sesat apakah yang dilatih oleh kakek tua bermuka merah ini? nampaknya mengerikan sekali”
Setelah berhasil lolos dari ancaman musuh, ilmu lay in sin jiau nya segera dikerahkan menembusi angkasa dan menyergap kemuka.
Tiba-tiba terdengar Hoa Hujin membentak dengan suara dalam.
“Giok Liong! Bong Pay! segera belok kesayap kanan dan sambut kedatangan para jago dari perkumpulan Hong-im- hwie!”
Para jago dan perkumpulan Hong-im-hwie pada waktu itu sudah berbelok kesayap kanan, para imam dan sekte agama Thong-thian-kauw bagaikan air bah segera menerjang masuk kegelanggang, ratusan bilah pedang berkilauan di angkasa membuat suasana bertambah mengerikan.
Chin Giok-liong serta Bong Pay sekalian menyadari bahwa kekuatan mereka masih belum mampu untuk membendung serangan tersebut, mendengar perintah dari Hoa Hujin dengan cepat mereka menyingkir kesayap kanan dan menghadapi orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie. Tiba-tiba dengusan dingin bergema diudara, seorang pria berbadan bagaikan beruk melayang masuk kedalam gelanggang, sekilas cahaya hitam kontan meluncur kedepan.
Hian Leng cu mengerutkan dahinya, ia segera membentak, “Yang datang apakah Ciu Thian-hau dari gunung Huan san?”
Pedangnya berkilat, sebuah serangan balasan segera dilepaskan.
“Traaanng….! Traaang….! Traang….! beberapa kali benturan nyaring mengakibatkan percikan bunga api berterbangan di angkasa, begitu bertemu muka kedua orang itu sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang amat seru.
Ciu Thian-hau dari gunung Huan San mendengus dingin, golok tipisnya yang berkilauan tajam secara beruntun melepaskan belasan jurus serangan berantai, namun kesemuanya berhasil dipunahkan oleh Hian Leng cu, dari pihak golongan pendekar, ilmu silat yang dimiliki Ciu Thian- hau hanya sedikit dibawah Hoa Hujin, sebaliknya Hian Leng-cu adalah jago yang berilmu paling tinggi dari pihak lawan, karena iti meskipun orang she Ciu itu sudah menyerang dengan segala kemampuannya namun tetap gagal untuk merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Dalam pada itu, It sim hweesio Ti Kiam Hui telah memutar senjata sian cang nya untuk bergebrak melawan Pia Leng-cu, sedangkan Hoa Hujin menghadapi Ceng Leng cu, enam orang terbagi dalam tiga kelompok bertempur dengan serunya.
Karena keenam orang itu merupakan jago-jago yang berkepandaian paling lihay, maka sekalipun terjadi pertempuran massal namun tak seorang manusiapun yang mampu terjun dalam pertarungan diantara enam orang tadi, Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan Cing Leng cu dari pihak Thong-thian-kauw telah membendung kekuatan dan pihak pendekar yang berilmu paling tinggi, dengan terjadinya pertarungan tersebut maka daya tekanan terhadap pihak perkumpulan Hong-im-hwie pun jauh berkurang.
Pada waktu itu, malaikat pertama Sim Kian dari Liong-bun Siang-sat bettempur seru melawan dewa yang suka pelancongan Cu Thong, malaikat kedua Sim Ciu melawan Cu Im taysu, Yan-san It-koay bertempur melawan jago pedang bernyawa sembilan Suma Tiang-cing, sedangkan Thian Seng cu dan Cing Si cu dari perkumpulau Thong-thian-kauw bertempur melawan Tio Sam-koh, sisanya terlibat dalam pertempuran massal.
Bentakan keras bergeletar bagaikan guntur, kedua belah pihak saling bertempur dengan serunya, tapi disebabkan jumlah anak murid dari perkumpulan Thong-thian-kauw sangat banyak, dari pihak Hong-im-hwie masih terdapat belasan orang jago, ditambah pula tiga puluh orang pengawal pribadi golok emas, maka kendatipun dalam pertempu ran seru itu pihak pendekar berhasil membunuh banyak musuh, namun keadaan mereka kemungkinan terancam maut.
Sepanjang pertarungan itu berlangsung, kelompok makhluk aneh yang menyerupai sukma-sukma gentayangan itu masih tetap duduk tenang dalam barak, kehadiran mereka mendatangkan firasat yang jelek bagi setiap orang disana.
Siang Tang Lay yang selama ini mengikuti terus jalannya pertarungan itu, mendadak berbisik kepada seorang muridnya yang bera da disamping.
“Kalian berputarlah ke arah tenggara dan serbu kedalam gelang-gang, sergap jalan mundur pihak Hong-im-hwie dan usahakan untuk membasmi mereka semua dan muka bumi!” Keenam orang pemuda itu menunjukkan sikap keberatan, mereka segera memberi hormat s?ambil berseru, “Suhu….!”
Siapa yans berani membangkang perintah ku? bintaik Siang Tang Lay dengan mata melotot.
Enam orang pemuda iiu tak berani banyak bicara lagi, mereka segera memberi hormat dan terjun kedalam gelanggang.
Meskipun usia beberapa orang itu masih muda namun ilmu silat mereka sudah mendapat warisan langsung dari Siang Tang Lay, tenaga dalam yang mereka milikipun sudah mencapai kesempurnaan, karena itu setelah mereka berenam terjun kegelanggang lewat arah tenggara dan menyergap jalan mundur dari tiga puluh orang pengawal pribadi golok emas, dalam waktu singkat para jago dari perkumpulan Hong- im-hwie sudah keteler hebat dan mendekati ambang kehancuran.
Pengawal pribadi golek emas mempunyai keahlian dalam bertempur secara bersamaan sebaliknya keenam orang murid dari Siang Tang Lay ini paham dengan ilmu barisan Lak liong si thian kian tin, begitu terjadi bentrokan langsung, dalam sekejap mata ada delapan sembi lan orang pengawal pribadi golok emas roboh binasa ditangan mereka.
Jin Hian yang menyaksikan jalannya pertarungan itu dari dalam barak jadi panik sekali, ia tahu jika pertarungan ini dilanjutkan lebih jauh, massa pihak pendekar pasti akan berhasil merebut posisi yang menguntungkan, sedang perkumpulan Hong-im-hwie akan hancur berantakan dan tergeser namanya dari dunia persilatan. Ia jadi marah bercampur dendam, tiba-tiba sorot matanya dialihkan ke arah Pek Siau-thian yang berada dalam barak diseberang, dengan suara menguntur teriaknya, “Tua bangka she Pek, lihatlah apakah ini?”
“Apa?” bentak Pek Siau-thian sambil berpaling.
Jin Hian angkat tangannya, sebilah pedang kecil yang memancarkan cahaya keemasan segera muncul didepan mata.
Pek Siau-thian merasakan jantungnya bergentar keras, teriaknya tanpa Sadar, “Aaaah! pedang emas”
“Heehh…. heeh…. heehh…. sedikitpun tidak salah, inilah pedang emas,” jawab Jin Hian sambil tertawa dingin.
Ia sambit pedang itu kedepan, sekilas cahaya emas berkelebat ketengah udara, setelah membentuk satu lingkaran busur, pedang emas itu langsung ketengah gelanggang dimana pertempuran massal sedang berlangsung.
“Haahhh…. haahhh…. haahhh…. bagus sekali tua bangka she Jin rupanya engkau sengaja menciptakan berita yang mengatakan pedang emas itu dicuri orang, rupanya engkaui sedang berbohong!”
Tampaklah pedang emas yang berbentuk kecil itu berputar diudara lalu rontok kebawah dan tepat berada dialas kepala Cu Im taysu.
Siang Tang Lay yang berada dibawah barak buru-buru membentak keras, “Taysu, cepat rampas pedang emas itu!”
Cu Im taysu tersenyum, pikirnya, “Dalam keadaan situasi semacam ini, apa gunanya benda yang tak berfaedah itu?” Ssmentata ia masih sangsi, tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat menembusi angKasa dan menyambar pedang emas itu.
Cu Im taysu dapat melihat bahwa orang yang menyambar pedang emas itu bukan lain adalah Thian Sengcu dari perkumpulan Thong-thian-kauw, senjata sekop peraknya segera ditusuk ke arah tubuhnya.
Thian Sengcu tertawa tergelak, badannya melentak dan bergeser dua depa ke arah samping, setelah lolos dan tusukan sekop lawan, pedangnya segera diayun kemuka menotok ujung senjata sekop, sementara tangan kirinya melanjutkan gerakan untuk merampas pedang emas itu.
Malaikat kedua Sim Ciu yang sedang bertempur melawan Cu Im taysu ketika menyaksikan senjata sekop lawan berputar menyerang Thian Seng cu, ia tak mau membuang kesempatan yang sangat baik itu dengan begitu saa tetapi sebelum serangan dilepaskan tiba-tiba dilihatnya pedang emas itu sudah hampir didapatkan oleh Thian Seng cu.
Sebagai seorang yang tamak akan harta, dengan cepat dia urungkan serangannya untuk menghajar Cu Im taysu, diam- diam ilmu Tay in tin jiau nya dikerahkan dan menghantam lambung Thian Seng cu secara diam-diam.
Thian Seng cu yang menutulkan pedangnya pada ujung sekop Cu Im taysu sebenarnya berhasil meminjam tenaga pantulan itu untuk merebut pedang emas dan melayang keluar dari gelanggang, siapa tahu baru saja ujung pedangnya berhasil menutul diujung sekop mendadak lambungnya terasa sakit bagaikan tertusuk, hawa murninya buyar dan tubuhnya toboh keatas tanah. Sekalipun begitu, imam tua tadi bukanlah seorang manusia tolol setelah menyadari bahwa ia terbokong lawan, pedangnya segera diayunkan menghantam pedang emas tadi sambil berseru.
“Susiok, sambutlah pedang itu!”
Cu Im taysu hanya pusatkan perhatiannya untuk membunuh musuh, ia sama sekali tak pikirkan pedang emas itu didalam hati, karena kuatir malaikat kedua Sim Ciu menyergap dirinya, dengan cepat sekop peraknya di babat keatas tubuh Thian Seng cu yang baru saja rontok dari udara.
Serangan sekop perak itu dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, dahsyatnya luar biasa.
“Ploook….!” dengan telak bacokan itu bersarang diatas pinggang Thian Seng cu membuat imam tua itu menjerit ngeri, mutah d rah segar dan binasa seketika itu juga.
Malaikat kedua Sim cu yang menyaksikan usahanya sia-sia belaka jadi gusar melihat mayat dari Thian Sang cu meluncur dihadapan mukanya, ia segera lancarkan satu tendangan kilat yang membuat mayat tadi mencelat kembali ke arah Cu Im taysu, bersamaan itu pula badannya maju kedepan meneruskan sergapannya.
Pedang emas yang dipukul oleh Thian seng cu dengan pertaruhan nyawa itu segera mencelat kembali diudara dan meluncur ke arah Cing Leng cu.
Pada waktu itu Cing Leng cu yang sedang bertempur melawan Hoa Hujin sedang kebat kebit hatinya karena kejut bercampur keder, dalam keadaan begitu tak sempat baginya untuk pecahkan perhatian mengurusi soal pedang emas tersebut. Ketika dilihatnya pedang emas itu meluncur datang, ia putar badan sambil bergeser kesamping kemudian melayang ke arah depan meneruskan pertarungan lebih jauh.
Hoa Hujin, Ciu Thian-hau, It Sim hweesio, Hiang Leng cu sekalian berada disekitar tempat itu, Hoa Hujin sekalian yang berniat untuk membalas dendam sama sekali tak mau pecahkan perhatian karena soal pedang emas itu.
Hian Leng cu dan Pia Leng-cu sendiri juga merupakan siluman-siluman tua yang berpengala-man, mereka tahu bahwa soal pedang emas masih merupakan suatu tanda tanya yang belum terjawab, merebutnya dalam keadaan dan saat seperti ini sama sekali tak ada gunanya, bahkan malahan akan mendatangkan pembunuhan bagi diri mereka, karena itulah meskipun pedang emas tadi menyambar lewat dari sisi beberapa orang berkepandaian tinggi itu, namun tak ada seorang manusiapun yang mau mempedulikan, mereka tetap mengerahkan kepandaian masing-masing untuk bertempur sengit melawan musuhnya.
Pedang emas itu setelah meluncur sejauh beberapa tombak, daya luncurnya makin lemah dan akhirnya roboh keatas tanah, Chin Pek-cuan yang kebetulan berada disampingnya dengan cepat menyambar senjata tadi dan dicekalnya dalam tangan.
Dari Ciu Thian-hau ia sempat mempelajari suatu ilmu langkah yang luar biasa sekali hebatnya dalam sekali bergerak tahu-tahu tubuhnya sudah terlepas dan kurungan senjata lawan dan berhasil merampas pedang emas itu.
Suara hentikan nyaring berkumandaog dari empat penjuru, ber puluh-puluh orang musuh serentak menyerang ke arahnya. Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata, Pek Siau-thian yang berdiri diatas meja ketika menyaksikan pedang emas itu sudah terjatuh ketansan Chin Pek-cuan, ia segera membisikan sesuatu kesisi telinga Cukat racun Yau sut, panji Hong lui kie dikibarkan dan bentaknya, “Pelindung hukum panji kuning mengikuti Kunsu untuk turun menuju kegelanggang!!”
Cukat racun Yau Sut menyingkap badannya dan cabut keluar sebilah pedang pendek, eriaknya, “Pelindung hukum panji kuning, ikutilah aku!”
Suara sahutan bersema gegap gempita, seratus orang pelindung hukum panji kuring dengan mengikuti dibelakang Yau Sut, bagaikan gulungan air bah segera terjun kedalam gelanggang.
Dengan dipimpin oleh Cukat racun Yau Sut, sepasukan jago lihay itu bergerak menuju ke arah tenggara, kelompok pelindung hukum panji kuning ini merupakan jago pilihan yang berkepandian silat amat tangguh, terjangan mereka kedalam gelanggarg kali ini benar-benar dahsyat dan mengerikan sekali.
Malaikat pertama Sim Kian selain bertempur melawan dewa yang suka pelancongan Cu Thong, itupun bertugas mengatur anak buahnya serta memberi petunjuk kepada anggota perkumpulan Hong-im-hwie untuk melakukan perbuatan, ketika menyaksikan para anggota perkumpulan Sin-kie-pang menyerang lewat arah belakang, ia jadi gusar sekali se-hingga hampir saja hendak mrunkan perintah untuk beradu kekuatan dingan pihak perkumpulan Sin-kie-pang.
Tapi ia tahu Hao Goan Siu mati ditangan mereka berdua, perselishan dan dendam kesumat yang terjadi antara pihak Hong-im-hwie dengan kaum pendekar sudah terlalu dalam hingga sukar diselesaikan maka sambil menahan rasa dongkol dihati ia membentak keras, “Saudara-saudara dari perkumpulan Hong-im-hwie semuanya bergeser kesamping kiri!”
Mendapat perintah tersebut, semua jago dari perkumpulan Hong-im-hwie siap bergeser kesamping kiri dan memberikan musuh yang ada disayap kanan kepada pihak perkumpulan Sin-kie-pang.
Siapa tahu dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang sudah mempunyai rencana sendiri, mereka bermaksud menggunakan kesempatan hari ini untuk melenyapkan kekuatan dari perkumpulan Hong-im-hwie.
Tampaklah Cukat racun Yau Sut kembali ulapkan tangannya, ratusan orang jago dari kelompok panji kuning tiba-tiba menyebarkan diri dan menerobos kebelakang barisan pihak Hong-im-hwie, hal ini membuat pasukan dan pihak Hong-im-hwie segera terjepit ditengah kepungan, meskipun mereka ayun senjata sambil berteriak keras namun tak seorangpun diantara mereka yang secara langsung kontak senjata dengan pihak pendekar.
Diantara perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie dan Thong-thian-kauw bila membicarakan tentang soal ilmu silat maka ilmu silat Hian Leng ki, Pia Leng-cu serta Cing Leng cu dari perkumpulan Thong-thian-kauw lah yang paling tinggi, berbicara tentang banyaknya anggota dan pergalamannya panglima perang maka perkumpulan Sin-kie-pang yang nomor satu.
Dalam pertempuran yang terjadi pada saat ini, tiga orang imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw telah berhadapan dengan para pendekar berilmu tinggi sedangkan Hong-im-hwie bertanggung jawab dalam serbuan pertama maka bila dibicarakan sesungguhnya, maka posisi pihak Sin- kie-pang lah yang paling menguntungkan.
Jin Hian yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan cepat memahami siasat keji dari Pek Siau-thian, ia jadi mendendam dan bencinya luar biasa namun jago tersebut hanya bisa menggertak gigi belaka tanpa mampu berbuat apa-apa lagi, sebab seluruh kekuatan perkumpulan Hong-im-hwie telah terjun sedalam arena dan ia tidak memiliki kekuatan lagi
Ketika ia berpaling ke arah pihak perkumpulan Sin-kie- pang, tampaklah para Tong cu nya, para Hiangcu, serta pelindung hukum yang berjumlah hampir melebihi tiga ratus orang masih utuh berkumpul dibelakang Pek Siau-thian, kekuatan sebesar itu masih mencerminkan suatu kekuatan yang maha besar.
Tiba-tiba Bong Pay membentak keras, sepasang telapaknya didorong kemuka secara berbareng, Seng Sam Hau itu hweesio yang gemar makan daging dan minum arak dari perkumpulan Hong-im-hwie segera terhajar telak dadanya oleh pukulan itu, ia muntah darah segar dan mundur kebelakang dengan sempoyongan, akhirnya sepasang kakinya jadi lemas dan roboh tercengang keatas tanah.
Dalam perkumpulan Hong-im-hwie, Seng Sam Hau menduduki kursi nomor lima, dia adalah seorang hweesio yang gemar minum arak, main perempuan dan suka membunuh orang, hal ini Bong Pay sebagai seorang pemuda yang masih cetek pengalamannya ternyata mampu membinasakan hweesio tadi.
Hal ini mencerminkan bahwa para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie rata-rata sudah pecah nyali dan patah semangat. Terdengar dua kali bentakan gusar berkumandang datang, dua orang pengawal pribadi golok emas menyerbu kedepan menggunakan kesempatan tersebut, Bong Pay yang baru saja melepaskan serangan belum sempat berdiri tegak ketika bacokan golok dari pria yang ada disamping kiri telah menyambar tiba.
Tak bisa dihindari lagi, bahu kiri Bong Pay termakan oleh bacokan itu sehingga darah segar memancarkan keluar dengan deras nya, hampir saja badannya roboh keatas tanah.
Chin Giok-liong yang kebutalan berada disekitar sana, dengan cepat menerjang maju, pedangnya dibacok kemuka berulang kali memaksa dua orang pengawal pribadi golok emas itu buru-buru mengundurkan diri.
Terdengar dewa yang suka pelancongan Cu Thong berteriak keras, “Anak Pay dan Giok Liong segera mundur kekiri dan mendekat dengan paman Yap!”
Dari ayahnya Chin Giok-liong berhasil mempelajari pula ilmu langkah Lian Ngo heng mi sian poh hoat atau ilmu langkah dewa pemabok yang diperoleh dari Ciu Thian-hau, dalam pertempuran massal tersebut ternyata ilmu langkah itu mendatangkan faedah yang amat besar bagi dirinya, ia bisa berkelebat kekanan atau menerobos kekiri dengan leluasa.
Ketika mendengar perintah dari Cu Thong, ia segera putar pedang mendesak mundur musuh yang ada didepan mata serta melindungi Bong Pay bergeser kekiri. Tiba-tiba terdengar Hoa Hujin berseru dengan suara berat, “Tiong Liau, bertempurlah dengan mantap dan sabar, jangan terlalu rakus dengan pahala. Sementara itu suasana dalam gelanggang pertempuran kalut sekali, suara betrokan senjata dan bentakan gusar amat memekikan telinga, namun seruan dari Hoa Hujin yang disertai dengan tenaga dalam amat sempurna itu ternyata berhasil didengar oleh setiap orang dengan amat nyaring, hal ini mengakibatkan semua orang terperanjat dan kesadaran otak merekapun pulih kembali.
Tiga harimau dari keluarga Tiong sejak mendapat pelajaran dari Hoa Thian-hong, mereka bertiga selalu melatih dasar tenaga dalam aliran perkampungan Liok Soat Sanceng, ilmu telapak yang mereka pelajari adalah ilmu pukulan Kun-siu-ci- tauw dari Ciu It-bong, kemudian atas warisan dari Lun tok sian ci merekapun berhasil mempelajari barisan Sam seng bu kek tin, ilmu kerja sama yang luar biasa ini sangat hapal sekali mereka gunakan.
Pada saat ini suami istri dan anak tiga orang yang harus bekerja sama menghadapi serbuan para jago dari perkumpulan Thong-thian-kauw segera menarik keuntungan yang sangat besar, hanya sayang watak mereka bertiga amat benci pada kejahatan dan tidak takut mati, setelah terjadi pertarungan pasti ada diantara mereka yang berusaha merncari pahala dengan pertaruhan jiwa, karena itu seringkali mereka harus menghadapi banyak mara bahaya yang mengancam keselamatan mereka.
Dan kini kembali Tiong Liau berusaha hendak menerjang maju seorang diri, ketika mendengar teguran dari Hoa Hujin buru-buru ia mundur kembali kebelakang.
Pertarungan massal yang berlangsung kali ini merupakan suatu pertarungan massal paling besar yang terjadi dalam dunia persilatan setelah diadakannya pertemuan Pak beng hwee, dan merupakan satu-satunya pertarungan sengit yang pernah terjadi setelah dunia persilatan menjadi tenang selama belasan tahun.
Para jago yang terlibat dalam pertmpuran itu, baik dari pihak Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw serta golongan pen dekar mencapai jumlah hampir tiga ratus orang banyaknya meskipun keempat belah pihak sama-sama mempunyai pemimpin, tapi berhubung ilmu silat yang jauh berbeda maka, tak lama setelah terjadi pertempuran itu sua sana berubah jadi sangat kalut, orang yang memiiki ilmu silat agak rendah semuanya terdesak dalam keadaan yang sangat berbabaya dan setiap saat jiwa mereka terancam
Pasukan perkumpulan Sin-kie-pang dibawah pimpinan Cukat racun Yau sut yang bertahan dilingkaran luar selalu melancarkan serangan bila ada kesempatan, meski pun tidak memperlihatkan kekuatan sepenuhnya namun dibawah perlawanan pihak Hong-im-hwie yang semakin kalap dan makin nekad karena posisi mereka makin terjepit, pihak pendekar merasakan daya tekanan yang menekan mereka kian lama kian bertambah besar hingga hampir saja tak mampu mempertahankan diri.
Hoa Hujin yang diam-diam memperhatikan situasi dalam gelanggang mulai merasa amat gelisah, ia menyadari bahwa kekuatan pihaknya amat sedikit sedang jumlah musuh besar sekali, jika pertarungan dengan sistim prajurit lawan prajurit, panglima lawan panglima semacam ini dibiarkan berlangsung lebih lanjut maka akhirnya seluruh pasukan akan musnah ditempat itu.
Perempuan itupun tahu, untuk menolong keadaan seperti ini, maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menggunakan kekuaatan yang paling hebat dipihaknya untuk menyerang kekuatan menengah pihak lawan dengan kekuatan menengah pihaknya menyerang kekuatan paling bawah pihak musuh, meskipun akhirnya kedua belah pihak akan sama- sama musnah namun jumlah musuh yang bisa mereka lenyapkan akan jauh lebih banyak.
Setelah berpikir sampai disitu, ia segera menggertak gigi dan memperketat serangannya menghajar Cing Leng cu.
Setelah Hoa Hujin ambil keputusan untuk membinasakan musuhnya, Cing Leng cu tak mampu mempertahankan diri lagi, dalam waktu singkat pedang mustikanya berputar dengan kencang dan menghindar terus tiada hentinya, sementara mulutnya membentak penuh kemarahan, keadaan dari imam tua tersebut bagaikan seekor binatang yang masuk perangkap.
Hian Leng cu yang menyaksikan peristiwa itu jadi amat terperanjat, dengan cepat ia lancarkan beberapa buah serangan berantai kemudian berusaha untuk menerjang ke arah Leng cu.
Terdengar Ciu Thian-hau membentak keras, golok tipisnya melancarkan serangan ampuh secara bertubi-tubi dengan jurus yu hun hoan im atau sukma gentayangan irama pembetot, kiu ci coan lay atau sembilan irama menusuk hati serta Cu thian kui im atau malaikat langit bayangan setan ia gencet Hian Leng cu untuk tetap bertahan diposisi semula.
Angin pukulan berhawa dingin yang menusuk tulang, segulung demi segulung memancar keluar mengikuti putiran telapak kirinya.
Ciu Thian-hau segera memutar pula telapak kirinya untuk memunahkan pukulan-pukulan beracun dari lawannya. Tapi berhubung tenaga dalamnya masih rendah, hawa dingin itu sempat pula menerobos masuk kedalam tubuhnya membuat ia kedinginan dan sukar bertahan.
Terdengar Siang Tang Lay berteriak keras, “Hoa Hujin, jangan terlalu terburu nafsu!”
Baru saja perkataan itu diutarakan, nafsu membunuh telah menyelimuti seluruh wajah Hoa Hujin, ia maju kedepan sambil melepaskan satu pukulan yang maha dahsyat ke arah tubuh Cing Leng cu.
Pukulan yang dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran kitat ini tak sempatditangkis oleh Cing Leng cu dengan pedang nya, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa imam tua itu ayun pula telapak kirinya untuk menerima datangnya arcaman tersebut dengan keras lawan keras.
“Blaaamm….!” suatu bentrokan yang memekikan telinga terjadi ditengah gelanggang, tubuh Cing Leng cu mencelat kebelakang dan roboh terkapar keatas tanah, darah segar memancar keluar dari mulutnya setinggi empat lima depa, sebelum tubuhnya mencium tanah selembar jiwanya telah melayang tinggalkan raganya.
Paras muka Hoa Hujin berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, dengan tubuh sempoyongan ia menerjang ke arah Hian Leng cu.
Melihat datangnya terjangan itu, Hian Leng cu jadi amat terperanjat, pedang mustikanya diputar kencang melindungi seluruh badan, sementara kakinya selangkah demi selangkah tanpa sadar mundur ke arah belakang,
“Ciu heng!” bentak Hoa Hujin dengan suara keras,” serahkan imam tua ini kepadaku!” Ciu Thong Haud ari gunung Huansan menyadari bahwa dia masih bukan tandingan dari Hian Leng cu, mendengar seruan tersebut sambil mengepos tenaga ia segera tekan hawa racun dalam tubuhnya keluar tubuh, sementara tubuhnya berputar kesamping dan menyerbu ke arah kiri.
00000000000
56
MESKIPUN Ciu Thian-hau bukan tandingan dari Hian Ling cu, namun jika dibandingkan dengan jago-jago lainnya maka keadaan jago tersebut ibaratnya harimau di tengah kawanan kambing, di mana golok tipisnya berkelebat jeritan ngeri bergema memecahkan kesunyian, dalam sekejap mata Siang Kiat dari perkumpulan Hong-im-hwie serta lima orang pengawal golok emas telah menemui ajalnya diujung golok jago ini.
Tiba-tiba terdengar Pia Leng-cu membentak keras, pedangnya diangkat keatas dan menusuk ke arah dada It sim hweesio.
Menghadapi tusukan tersebut, buru-buru It sim hweesio mengundurkan diri kebelakang dan berusaha melepaskan diri dari kejaran senjata lawan….
Kendatipun begitu pedang lawan masih sempat bersarang diatas dadanya sedalam empat cun dan melukai paru-parunya meskipun tidak sempat mencabut selembar jiwanya namun cukup memberikan luka yang berarti.
Pada saat yang bersamaan sekelompok para pendekar kembali ada seorang mati ditangan musuh, Chin Giok-liong yang termakan oleh babatan pedang Ngo Ing toojin dari perkumpulan Thong-thian-kauw hampir saja mengorbankan lengan kanannya.
Pertarungan yang sedang berlangsung pada saat ini benar- benar suatu penarungan yang sengit dan mendebarkan hati, seluruh bumi bergoncang dan mayat bergelimpangan dimana- mana.
Sekelompok makhluk aneh dalam barak yang selama ini membungkam terus hingga detik itu belum menunjukkan sikap apapun, Thian Ik-cu dari perkumpulan Thong-thian- kauw yang baru saja kehilangan kakinya kendatipun seandainya pertarungan itu mendapat kemenangan total iapun tak akan bisa bergembira.
Jin Hian paling sedih diantara beberapa orang itu, ia saksikan anggota perkumpulannya yang bertempur kian lama kian sedikit banyak diantaranya sudah terluka dan menemui ajalnya hal ini membuat ia ja di putus asa dan semangat tempurnya lenyap tak berbekas, ia hanya bisa menyaksikan pertarungan berakhir dengan kematihan bagi pihak perkumpulannya.
Diantara kelompok-kelompok besar, Pek Siau-thian lah yang paling bangga memiliki kekuatan yang paling besar, rencana yang paling sempurna serta tata susunan ketentaraan paling terbaik hingga saat itu meskipun pelbagai pihak sudah banyak yang mampus dan terluka parah, hanya perkumpulan Sin-kie-pang yang belum menderita kerugian barang sedikitpun, secara diam-diam ia sudah dapat merasakan jika selesai berperang maka kemungkinan besar seluruh kolong langit akan jatuh ketangan perkumpulan Sin-kie-pang.
Dalam barak para pendekar yang masih ketinggalan hanya Siang Tang Lay, Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong, lima orang berhubung ilmu silat yang dimiliki Chin Wan-hong terlalu cetek, Hoa Hujin tidak memperkenankan gadis itu turun serta dalam pertempuran itu sedangkan Kiu-tok Sianci dengan umat persilatan didataran Tionggoan belum pernah terikat perselisihan apapun apa bila keadaannya tidak terlalu memaksa, Hoa Hujin merasa segan untuk menarik Biau-nia Sam-sian terjun dalam kancah pertempuran itu, maka untuk sementara waktu ia perintahkan tiga dewi dari wilayah Biau itu untuk tetap tinggal dibarak.
Siang Tang Lay ada maksud untuk terjun kedalam gelanggang tapi sayang keadaan tidak mengijinkan dia untuk berbuat demikian.
Chin Wan-hong yang berotak cerdik dan seksama menghadapi setiap masalah sewaktu menyaksikan Hoa Hujin berhasil membinasakan musuh namun Siang Tang Lay bukan saja tidak menunjukkan watak gembira sebaliknya malah murung dan sedih, diam-diam dalam hati kecilnya timbul kecurigaan, setelah bersabar beberapa saat akhirnya ia bertanya, “Siang loocianpwee ilmu pukulan yang dimiliki Hoa Hujin begitu lihay dan hebatnya mengapa ia tak mau melukai beberapa orang musuh lagi?”
Siang Tang Lay menghela napas panjang.
“Aaai….! ilmu pukulan yang dilatih hujin adalah sejenis ilmu pukulan Thian lui ciang yang keras dengan sejenis ilmu pukulan Hek sat ciang yang sangat beracun, dua jenis ilmu pukulan itu jika digabungkan menj di satu maka keadaannya menyerupai air dalam guci, bila digunakan setetes berarti akan berkurang setetes, jika seluruh tenaganya habis dipergunakan maka keadaannya bagaikan lentera kehabisan minyak dan akbatnya jiwa sendiripun tak dapat dipertahankan”
Mendengar penjelasan itu Chin Wan-hong merasa amat terperanjat kembali ia bertanya lebih jauh. “Berapa lama tenaga pukuian itu baru akan habis digunakan?”
“Tentang soal ini sulit untuk dikatakan, tapi tenaga pukulannya sebesar apa yang telah digunakan untuk menghadapi Cing Leng imam busuk itu mungkin tinggal sekali dua kali lagi, setelah itu tenaga dalamnya akan musnah sama sekali”
Baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian yang mendengar keterangan itu sama-sama merasa amat terperanjat.
Setelah duduk termangu-mangu untuk beberapa waktu lamanya, tiba-tiba Chin Wan-hong berpaling ke arah Lan-hoa Siancu sambil berkata, “Toa Suci, jangan biarkan tenaga dalamnya punah sama sekali”
“Aku sendiripun ingin mewakili hujin untuk menghadapi lawan-lawannya” sahut Lin hoa siancu dengan dahi berkerut, “tapi ilmu si lat yang dimiliki dua orang imam tua itu terlalu tinggi, kami tak mampu untuk mendekati tubuhnya”
Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak, dengan penuh kegusaran, begitu keras suaranya sehingga memotong percakapan mereka.
Dengan cepat mereka alihkan sorot mata nya ketengah gelanggang, ternyata secara tiba-tiba Cukat racun Yau Sut telah terjun pula kedalam gelanggang pertarungan dan menghadang jalan pergi Chin Pek-cuan.
Dalam pertarungan itu tentu saja Chin Pek-cuan bukan tandingannya, ditambah pula anak murid perkumpulan Thong- thian-kauw menyerang dari empat penjuru, hal ini membuat ia jadi kalang kabut dan terjerumus dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Cbin Wan Hong amat menguatirkan keselamatan ayahnya, melihat kejadian itu dengan gelisah ia berteriak, “Oooh….! toa suci….”
Lan hoi siancu ulapkan tangannya, kemudian berseru, “Li hoa, Ci wi, ikutilah aku!”
Tubuhnya dengan cepat bergerak menuju ketengah gelanggang.
Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu membuntuti dari belakang, ketiga orang itu langsung menyerbu ke arah garis belakang perkumpulan Sin-kie-pang.
Meskipur tiga dewi dari wilayah Biau seringkali berkelana dalam dunia persilatan namun mereka belum pernah menjumpai pertarungan sehebat ini menghadapi medan pertempuran yang luas sedikit banyak hati mereka merasa gugup juga dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Terdengar Pek Siau-thian berteriak dari kejauhan, “Hati-hati perempuan suku Biau itu melepaskan racun!!”
“Ehmm! benar juga perkataannya itu” pikir Lan-hoa Siancu dalam hati, ia segera membentak nyaring, “Yang takut mati harap menyingkir, yang berani silahkan maju kedepan!”
Sepasang telapaknya diayun berulang kali, selapis senjata rahasia bubuk pemabok yang tak berwujud dan berbau segera tersebar ke luar.
Sejak menyaksikan munculnya tiga orang gadis suku Biau itu, para jago dari perkumpulan Sio Kie pang sudah menunjukkan perasaan waspada, buru-buru mereka tutup pernafasan dan melancarkan pukulan kedepan.
Angin pukulan yang maha dahsyat bergabung jadi satu menyambut datangnya sarangan dari Biau-nia Sam-sian hal ini memaksa ketiga orang gadis itu terpaksa harus mengundurkan diri dari arena.
Chin Pek-cuan yang menghadapi serangan dan empat penjuru mala tak kuat mempertahankan diri, hatinya amat gusar, dengan cepat pedang emas itu disambitkan ke arah Ngo ing Cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw sambil membentak keras, “Nih!! kuhadiahkan kepadamu!!”
Cukat racun Yau Sut tersenyum, ia jangkau lengannya mencengkeram pedang emas itu.
Dengan gerakan tubuhnya yang cekatan dan lincah, dalam sekali berkelebat gagang pedang itu berhasil ditangkap olehnya.
Ngo ing Cinjin yang menyaksikan pedang emas yang sedang melayang ke arahnya tiba-tiba dirampas oleh Cukat racun Yau Sut ditengah jalan, hawa amarahnya segera berkobar, pedang berbentuk aneh dalam genggamannya segera disapu keluar membacok tubuh pedang emas itu.
Cukat racun Yau Sut mendengus dingin, pikirnya didalam hati.
“Hmm kalau aku tidak memberi sedikit pelajaran kepada kamu semua, kalian hidung kerbau sialan pasti tak akan tahu sampai dimanakah kelihayan dari Yau ya mu ini….”
Ingatan tersebut dengan cepat berkelebat dalam benaknya, menanti pedang berbentuk aneh dari Ngo ing Cinjin sudah hampir membacok diatas padang emas tersebut, kelima jarinya baru berputar kencang dan menyongsong datangnya bacokan tadi dengan ujung pedang emas yang tajam.
Criiiing….! ditengah benturan nyaring senjata berbentuk aneh dari Ngo ing toojin yang membentuk pedang emas itu seketika kutung jadi dua bagian.
Ngo in toojin bertambah marah, dengan putungan pedangnya ia menerjang maju makin kedepan diiringi dengusan nyaring ia lancarkan sebuah tusukan kedepan.
“Bangsat! rupanya sudah bosan hidup!” bentak Cu kat racun Yau Sut dengan gusar.
Pedang emas diputar kebawah….
Criiing! kutungan pedang berbentuk aneh dari Ngo ing toojin itu kembali tersayat hingga tinggal lima enam cun saja panjangnya….
Kegusaran Ngo ing toojin mendekati kalap, ia sambit kutungan pedang itu ke arah wajah Yau Sut sementara tubuhnya ikut menerjang kedepan pukulan berantai dilepaskan sicara bertubi-tubi mengurung seluruh tubuh lawan.
Para anggota perkumpulan Thong-thian-kauw yang berada disekitar tempat itu ketika menyaksikan Ngo ing toojin bertempur melawan Yau Sut merekapun ikut-ikutan berganti haluan dan arahkan serangan gencar mereka ke arah pasukan dari perkumpulan Sin-kie-pang.
Cukat racun Yau Sut tertawa dingin, badannya berputar kencang, dengan jurus hang sau cian kim atau menyapu rata selaksa prajurit, pedang emasnya diayun kemuka menyambut datangnya serbuan tersebut, “Triiing! triiing!” benturan-benturan nyaring berkumandang memenuhi angkasa, senjata-senjata yang dimiliki para anggota perkumpulan Thong-thian-kauw sama-sama tertebas kutung jadi beberapa bagian oleh ketajiman pedanj e-mas itu.
Sementara dalam hati kecilnya, Cukat beracun ini berpikir, “Meskipun pedang kecil ini sangat tajam namun tak lebih hanya merupakan sebilah senjata mustika, kalau dipergunakan tetap terasa ngotot dan menggunakan banyak tenaga, sedikitpun tak mirip apa yang tersiar dalam dunia persilatan apalagi cahaya yang terpancar keluar sama sekali tidak menyolok, aneh benar! kenapa bisa begitu?”
Tiba-tiba terasa desiran angin tajam yang memekikan telinga, diiringi daya tekanan yang maha berat menyergap datang dari belakang tubuhnya.
Ketika ia berpaling kebelakang, tampaklah Chin Pek-cuan tanpa menimbulkan sedikit suarapun telah menyusup kebelakang tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan dahsyat.
Jelas anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw tidak ada menghalangi usaha Cing Pek Cuan untuk melancarkan serangan maut kea rah Cukat racun Yau Sut.
Diam-diam orang she Yau ini menyumpah dalam hati kecilnya, “Tua bangka sialan? engkau benar-benar tak tahu diri….”
Pedang emasnya dikebas ke arah depan, dan diapun segera melancarkan sebuah serangan balasan.
Diantara sekelompok mmusia yana sedang bertarung ini, ilmu silat yang dimiliki Cukat racun Yau Sut jauh lebih tinggi daripada yang lain, sekarang sambil putar pedang emasnya untuk menghadapi serangan gencar dan pihak lawan, secara diam-diam iapun mengawasi keadaan disekeliling tempat itu.
Mendadak ia temukan kurang lebih satu tombak disebelah kanannya, terlihatlah seorang kakek tua baju hitam sedang bertempur sengit melawan orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie, senjata yang dipergunakan adalah sebilah pedang mustika.
Terhadap pedang emas yang berada dalam cekatannya ini ia sudah timbul perasaan curiga, dalam benaknya segera timbul ingatan untuk mencoba ketajaman senjata tersebut, maka ia menggeserkan tubuhnya mendekati kakek tua baju hitam itu.
“Traang! tiba-tiba terdengar bentrokan nyaring ditengah arena senjata sian ciang dari It sim hweesio saling membentur dengan senjata pusaka dari Pia Leng-cu sehingga kutung jadi dua bagian.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, Pia Leng- cu menerjang lebih kedepan, pedang mustikanya membentuk berjuta-juta ti tik bintang dan secara beruntun menyerang tubuh It sim hweesio.
Dalam sekejap mati padri itu terkena lima tusukan kilat mengakibatkan darah segar mengucur keluar dari mulut-mulut lukanya.
Ditengah kancah pertempuran massal ini, semua orang bertempur dengan saling berdesakan, tiada banyak tempat ruang yang dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri, setelah menderita luka parah dan senjatanya kutung, maka It sim hweesio sudah tiada kekuatan untuk melepaskan serangan balasan lagi, kelihatannya ia bakal mampus diujung pedang Pia Leng-cu.
Chin Thian Hau dari gunung Hang San yang kebetulan berada didekatnya, ketika menyaksikan kejadian itu segera membentak keras, sebuah pukulan dahsyat dilepaskan menghantam tubuh seorang imam berusia penengahan yang berada dihadapannya, isi perut imam tersebut kontan terpukul hancur dan mayatnya mencelat ke arah tubuh Pia Leng-cu.
Tangan kiri Pia Leng-cu sepera ditebas kemuka menyingkirkan mayat imam berusia pertengahan yang menerjang ke arahnya itu, kemudian pedangnya disapu kedepan membabat pinggang It sim hweesio.
“Lihat golok” bentak Ciu Thian-hau.
Cahaya tajam berkilauan di angkasa, sambaran goiok itu dengan cepatnya telah meluncur tiba.
Buru-buru Pia Leng-cu putar pedang menangkis datangnya ancaman tersebut, It sim hweesio segera merebut pedang seorang imam dan ikut menyerang dari arah samping, dengan begitu Pia Leng-cu harus menghadapi serangan gabungan dari Ciu Chian Hau serta It sim hweesio.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang diiringi suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan kesunyian.
Rupanya Suara Tiang Cing yang selama ini tak mampu merebut kemenangan lama kelamaan jadi mendongkol juga, hingga menimbulkan sifat kejinya sebagai seorang pendekar pedang berjiwa sembilan, pedangnya segera diputar bagaikan hembusan angin puyuh, telapak kirinya melepaskan pukulan- pukulan maut yang memaksa Yan-san It-koay terpaksa harus menyambut setiap pukulan dengan pukulan dan sedang bacokan pedang dengan tangkisan gelang.
Setelah melakukan bentrokan-bentrokan kekerasan sebanyak dua puluh jurusan, sekujur tubuh dari dua orang itu sudah berubah jadi lemas dan kehabisan tenaga, napasnya terengah-engah bagaikan kerbau, namun Suma Tiang-cing sama sekali tak ada minat untuk hentikan pertarungan. babatan pedang ditangan kanan, pukulan dahsyat ditangan kiri masih saja dilepaskan terus tanpa berhenti.
Yan-san It-koay yang tak mampu menyelesaikan pertarungan itu terpaksa harus memutar tangan kirinya untuk menyambut tusukan pedang dengan gelang hitam, sementara lengan kanannya melepasken satu pukulan ke arah dada Suma Tiang-cing.
Maksudnya jika Scma Tiang Cing memunahkan pukulannya itu, maka ia bisa menggunakan kesempatan tersebut untnk ganti jurus dan melepaskan diri dari kurungan manusia ganas ini, siapa tahu pertarungan dengan cara beradu jiwa ini justru sangat penuju dengan maksud hati Suma Tiang-cing bahkan boleh dibilang ibaratnya Pucuk dicinta ulam tiba.
Gelang dan pedang saling beradu keras, tubuh kedua orang ini sama-sama bergetar seras sehingga melejit samping, gerakan pukulan yang dilepaskan tiba-tiba makin cepat meluncur kedepan dan Blaaam! pukulan dari Suma Tiang-cing dengan telak bersarang di atas dada Yan-san It-koay, sebaliknya pukulan yang dilepaskan Yan-san It-koay bersarang dibawah ketiak Suma Tiang-cing.
Isi perut kedua orang itu sama-sama menderita luka parah, mereka memuntahkan darah segar dan roboh terjengkang kebelakang, Suma Tiang-cing yang terkena pukulan persis dibawah ketiaknya mengakibatkan lima batang tulang rusuknya patah, jika dibandingkan luka yang dia derita jauh lebih berat dan parah.
Yan-san It-koay yang roboh kebalakang hampir saja menumbuk diatas tubuh dewa yang suka pelancongan Cu Thong, namun kakek gemuk pendek itu tidak ambil perduli, sepasang kakinya berputar dan tubuhnya segera berkelebat kesampmg menyongsong kedatangan malaikat pertama Sim Kian.
Ilmu silat yang dimiliki Malaikat pertama Sim Kian seimbang dengan kepandaian dari Cu Thong, dua orang itu telah bertempur sebanyak tiga ratus jurus lebih tanpa seorangpun berhasil merebut kemenangan.
Sewaktu malaikat pertama Sim Kian melihat tubuh Yan-san It-koay tiba-tiba roboh terjengkang kebelakang, tanpa berpikir panjang lagi ujung bajunya segera dikebas kedepan dan menanan punggungnya sehingga rekannya itu tidak sampai mencium tanah.
Cu Thong yang melihat kejadian itu tak mau sia-siakan kesempatan bagus itu dengan begitu saja, pukulun gencar dan serangan jari bagaikan hembusan angin puyuh dilepaskan secara berantai.
Dalam pada itu, Suma Tiang-cing yang terjengkang kebelakang segera menumbuk tubuh seorang pengawal golok emas sehingga membuat orang itu ikut roboh dan persis jatuh dikaki seorang murid dari Siang Tang Lay.
Murid dari Siang Tang Lay itu membentak keras, pedangnya berkelebat secepat kilat, percikan darah segar berhamburan di angkaka dan batok kepala pengawal golok emas yang naas itu segera berpisah dengan tubuhnya. Setelah sempoyongan mundur dua langkah kebelakang, Suma Tiang-cing berhasil mempertahankan tubuhnya, ia merasakan bawah kakinya sakit sekali hingga tak tahan ia muntah darah kembali.
Tapi dengan wataknya ysng keras kepala dan berangasan, ia tak sudi menyudahi pertarungan tersebut sampai disitu saja, setelah mengatur napas sebentar, ia seseri membentak keras dan sekali lagi menerjang ke arah Yan-san It-koay.
Meskipun luka dalam yang diderita Yan-san It-koay lebih ringan, namun ia sudah patah semangat, ketika menyaksikan datangnya terjang maut dari Sama Tiang Cing yang berwajah menyeringai seram, hatinya bergidik dan pecah nyali, terbirit- birit ia menyingkir kesamping.
“Bajingan keparat, engkau akan kabur ke mana?” bentak Sama Tiang Cing dengan gusar.
Pedang mustikanya dikebas kedepan, selapis cahaya tajam yang amat menyilaukan mata dengan cepatnya mengurung seluruh batok kepalanya.
Terdengarlah jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memenuhi angkasa, ketika Suma ang Cing mengebaskan pedang mustikanya ke arah depan, terbanglah semangat Yan-san It-koay untuk menghada pinya hingga paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, tak ampun lagi lengan kirinya sebatas sebatas sikut terputus hilang, darah dan hancuran daging bercampur jadi satu membuat keadaan betul-betul mengerikan sekali.
Sepasang mata Suma Tiang-cing telah berubah jadi merah darah, tiba-tiba ia membentak keras dengan suara yang dahsyat bagaikan guntur, pedang mustikanya kembali berkelebat kedepan membacok batok kepalanya. Sskujur badan Yan-san It-koay bergetar keras ketika mendengar suara bentakan yang kerad bagaikan guntur membelah bumi itu, kesadaran otaknya berangsur menurun, terasa cahaya tajam berkelebat lewat dan tahu-tahu batok kepalanya sudah terbelah jadi dua.
Pertempuran itu benar-benar merupakan suatu pertempuran berdarah yang sangat mendebarkan hati, seluruh orang yang berada di sekitar tempat jtu merasakan hatinya bergetar keras, sisa laskar perkumpulan Thong-thian-kauw dan Hong-im-hwie yang menyaksikan kejadian itu merasakan nyalinya pecah dan bulu kuduknya bangun berdiri, mereka mulai mengamati keadaan disekelilingnya dan berusaha menjauhi Suma Tiang-cing yang dianggapnya sebagai malaikat elmaut.
Dengan semakin menipisnya kekuatan dari pihak Thong- thian-kauw dan Hong-im-hwie, kekuatan dan daya pengaruh pihak Sin-kie-pang kelihatan semakin besar dan mengerikan.
Tatkala para pendekar saling bentrok deng an laskar perkumpulan Sin-kie-pang, mereka merasakan daya tekanan yang menggempur mereka begitu besarnya hingga sukar ditahan, dari dua puluh dua orang laskar kaum pendekar yang terjun kedalam gelanggang ada empat orang diantaranya telah menemui ajalnya dan lima orang menderita luka pa rah.
Pada waktu itu Hoa Hujin berduel melawan Hian leng cu, Ciu Thian-hong dan It sim hweesio yang menderita luka bersama-sama menghadapi Pia Leng-cu, Cu Thong bertempur sengit melawan malaikat kedua Sim Ciu sedangkan sisanya bertempur melawan sisa laskar dari golongan Thong-thian- kauw serta Hong-im-hwie. Keadaan mereka semua nampak sangat berbahaya dan gawat sekali, seandainya keenam orang murid Siang Tang Lay tidak memberikan pertolongan yang besar, mungkin sedari tadi mereka semua sudah musnah di tangan musuh.
Biau-nia Sam-sian masih tetap bertahan di luar garis pertahanan oleh pukulan gabungan para jago lihay dari perkumpulan Sin-kie-pang, kendatipun mereka telah berusaha dengan sepenuh tenaga tapi usaha itu selalu mengalami kegagalan.
Barisan pelindung hukum panji kuning dari perkumpulan Sin-kie-pang ini bukan saja berjumlah sangat banyak, berilmu tinggi dan sangat teratur bahkan mereka mempunyai sistim bertahan dan menyerang yang disiplin, serbuan mereka dikala pasukan pendekar telah lelah dan kehabisan tenaga ini ibaratnya gulungan ombak ditengah samudra yang menghempit sampan kecil.
Pek Siau-thian yang selama ini berdiam diatas meja sambil mengawasi medan pertempuran sudah mengetahui bahwa waktunya sudah tiba, dalam hati segera pikirnya, “Sekarang kekuatan laskar perkumpulan Hong-im-hwie sudah mengalami kehancuran dan kemusnahan, pihak Thong-thian-kauw bukan merupakan suatu ancaman yang serius lagi sedangkan sekelompok manusia setan itu kendatipun mencurigakan sekali rasanya kehebatan mereka juga tak akan berkelebihan, dunia persilatan sejak kini akan menjadi daerah kekuasaan perkumpulanku….
Berpikir sampai disini, paras mukanya segera berubah dan dihiasi senyuman penuh ke-banggaan dan kesadisan, ia melirik sekejap sekeliling tempat itu kemudian angkat tinggi tanda perintah Hong Im leng tersebut. Delapan orang pria baju hitam yang berada dikedua belah sisinya segera membunyikan teronpet secara berbareng.
Begitu bunyi terompet berkumandang di angkasa, ditengah gelanggang segera berkumandanglah suara bentakan yang gegap gempita, ratusan orang pasukan panji kuning dari perkumpilan Sin-kie-pang bagaikan kesurupan serentak menyerbu kedalam gelanggang dan menyapu setiap orang yang dihadapinya.
Dipihak lain, Poan thian jiu atau Tangan sakti pembalik langit Ho Ke Sian beserta keenam orang Tongcu lainnya dengan memimpin masing-masing laskar menyumbat seluruh mulut lembah sehingga siapapun jangan harap bisa keluar masuk dengan leluasa, rupanya sebelum mendapat persetujuan dari Pek Siau-thian, setiap orang tak mungkin dapat meninggalkan lembah Cu-bu-kok.
Dalam pada itu, pertempuran yang berlangsung dalam gelanggang berlangsung makin sengit, rupanya laskar kaum pendekar terancam kemusnahan dalam serbuan tersebut.
Lan-hoa Siancu merasa panik dan gelisah sekali, pikirnya dihati, “Meskipun kami datang kemari untuk melindungi keselamatan sumoay, tapi setelah berada disini sudah sepantasnya kalau memberi bantuan kepada mereka semua, toh kami tak dapat menyaksikan semua orang menemui ajalnya tanpa ditolong….”
Berpikir sampai disitu, ia segera membentak keras, “Li hoa, Ci Wi, ikutilah aku!”
Sepasang kakinya menjejak tanah dan membungbung tinggi keangkasa, kemudian meluncur ke arah tengah gelanggang. Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu yang menyaksikan tindakan kakak seperguruan mereka dengan cepar enjotkan badan pula menerobos ketengah gelanggang dengan melewati atas kepala musuh-musuhnya.