Jilid 36
“HAAAHHH….HAAHHH….HAAHHH…. aku lihat ilmu silat yang dimiliki suheng-suhengmu masih terpaut jauh bila dibandingkan ke pandaian nona, nona saja sudah berbelas kasihan kepadaku, apalagi subeng-suhengmu itu….Huuh, memangnya mereka bisa apakan diriku”
“Hei, siapa yang berbelas kasihan kepadamu?” teriak si nona dengan marah, merah jengah selembar pipinya.
“Haaahhh….haaahhh….haaahhh….betul-betul memang bukan berbelas kasihan, tapi nona kan sudah mengalah kepadaku bukan?”
Si nona baju putih itu tertunduk ketus, dia membungkam dalam seribu bahasa.
Diam diam Hoa In-liong coba putar otak serta menganalisa semua keadaan yang dihadapinya, ia merasa peristiwa pembunuhan atas diri Suma Tiang-cing dan asal usul ketua Hian-beng-kauw hanya bisa diketahui dari mulut sinona berbaju putih ini, sudah barang tentu ia tak sudi melepaskan mangsanya dengan begitu saja.
Sekalipun ia pingin cepat-cepat mengetahui keadaan sebenarnya, Hoa In-liong pantang memaksa dengan kekerasan, ia tak tega berbuat begini terhadap seorang nona cantik seperti gadis berbaju putih ini.
Tentu saja diapun sadar bahwa gadis itu terlampau keras kepala, biasanya orarg yang keras kepala pantang diajak bekerja sama, namun Hoa In-liong tidak putus asa, dia adalah seorang pemuda yang cerdik dan cekatan, tiada persoalan di dunia ini yang bisa menyulitkan dirinya.
Hanya sebentar saja dia termenung, sebuah akal bagus telah didapatkan, bibirnya lantas bergetar hendak melaksanakan siasatnya itu.
Namun sebelum rencananya itu terlaksana, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang berteriak keras, “Hei….anak liong!”
Hoa In-liong tertegun, pikirnya, “Heran, siapa yang lagi memanggilku?”
Lantaran keheranan maka diapun berpaling.
Sang surya sudah tenggelam di langit barat, pelangi yang indah menghiasi cakrawala dunia, pemandangan ketika itu sangat indah dan mempesona.
Diantara pantulan sinar kelabu ditengah senja tampaklah beberapa sosok bayangan manusia berlarian datang dari tempat kejauhan. Tenaga dalam yang dimiliki Hoa In-liong sekarang cukup sempurna, meskipun suasana telah berubah menjadi remang- remang, namun cukup dalam sekilas pandangan ia telah melihat bahwa orang-orang tersebut adalah tiga orang gadis berdandan suku Biau.
Ketika itu, si nona baju putih ikut pula menengadah, tapi ia tidak melihat dengan jelas siapa pendatang tersebut.
Tiba-tiba ia menyaksikan Hoa In-liong melonjak kegirangan, kemudian kedengaran pemuda itu bersorak sorai, “Hei Toa kokoh, ji kokoh, sam kokoh kenapa kalian muncul semua di daratan Tionggoan?”
Ketika mendengar teriakan tersebut bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, ketiga orang itu bergerak menghampiri ke arahnya.
Ketika sianak muda itu berdiri membelakangi, diam-diam sinona baju putih berpikir, “Bila kumanfaatkan kesempatan yang baik ini dengan melancarkan serangan maut, aku yakin jurus Teng liong kui ci (naga sakti sembilan menukik) cukup membuat dia koit, hmmm….konon kungfu yang dimiliki Hoa In-liong lihay sekali, aku tak boleh sembarangan bergerak, bisa bisa malah aku sendiri yang kena terhajar….”
Lantaran berpendapat demikian, maka rencana yang telah dipersiapkan segera dibatalkan kembali.
Dalam pada itu, beberapa sosok bayangan manusia tadi sudah makin mendekat, sekarang nona itu dapat menyaksikan dandanan mereka dengan amat jelasnya.
Ternyata pendatang tersebut adalah perempuan- perempuan suku Biau yang cantik jelita, mereka bertubuh setengeah telanjang, kaki dan tangannya yang putih mulus tertera nyata sekali, terutama bagian payudaranya yang setengah menongol keluar bikin hati orang bergairah saja rasaaya….
Sementara si nona masih melamun, Hoa In-liong telah memberi bisikan kepadanya dengan ilmu Coan im mi (Ilmu Menyampaikan Suara).
“Nona, ketahuilah bahwa ketiga orang bibiku berasal dari wilayah Biau, mereka paling mendendam terhadap segala kejahatan dan manusia manusia kaum sesat, bila ia sampai tahu kalau kau adalah anggota Hian-beng-kauw, bisa jadi nyawamu akan direnggut. Maka demi keselamatan jiwamu, bagaimana kalau untuk sementara waktu kau kuakui sebagai putri paman Bong!”
Si nona berbaju putih yang berwatak tinggi hati dan keras kepala, sudah tentu tak sudi menunjukkan kelemahannya didepan orang, ia tertawa dingin dan siap menolak kebaikan orang.
Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Hoa In- liong telah berkata lagi, “Bagaimanapun toh aku tidak menyuruh kau mengakui sendiri, biar aku yang berbicara bagimu!”
00000O00000
37
SESUNGGUHNYA masih banyak perkataan yang hendak diucapkan Hoa In-liong, akan tetapi lantaran ketiga orang nyonya muda dari wilayah Biau itu sudah muncul di depan mata, mau tak mau Hoa In Iiong musti membatalkan niatnya itu. Sambil tertawa dia maju memberi hormat dan menegur, “Toa kokoh, kenapa kalian muncul di daratan Tionggoan? Sesungguhnya kedatangan kalian karena apa7”
Jawab salah satu seorang nyonya berwajah cantik itu sambil tertawa, “Aku dengar kau terkena racun ular keji yang amat jahat, sengaja kami datang kemari untuk menengok mu, baru masuk daratan Tionggoan, kami sempat pula mendengar pergolakan yang telah terjadi dalam dunia persilatan terutama perbuatan gilamu dikota Si ciu yang menantang tiga partai besar untuk beradu tenaga, sebab itu kami menyusul kemari….!”
Nyonya suku Biau yang ada disebelah kiri tiba-tiba menarik nona baju putih itu sekejap, kemudian bertanya, “Long-ji, siapakah dia?”
“Oooh….diakan putrinya paman Boag, bernama Bong Gi pek! Masa kokoh sekalian lupa?” jawab Hoa In-liong cepat- cepat sambil tertawa menyengir kuda.
Lalu sambil menggape kepada sinona itu, katanya lagi, “Adik misanku Gi pek! Marilah kuperkenalkan kalian, tiga orang ini adalah kokohku yang dikenal orang persilatan sebagai Biau nia-sam sian (tiga dewi dari bukit Biau), menurut urutannya mereka adalah Lan hoa Siancu (dewi bunga anggrek), Li hoa Siancu (dewi bunga lily) dan Ci wi Siancu (dewi bunga mawar), kepandaian mereka adalah menggunakan racun tiada tandingannya didunia ini, jangan lewatkan kesempatan ini untuk berkenalan dengan mereka”
“Eammm…. betul juga perkataannya, kenapa aku musti menelan kerugian yang ada didepan mata?” pikir sinona baju putih itu dalam hati kecilnya. Dengan lemah gemulai ia maju ke depan dan memberi hormat, lalu sapanya dengan suara yang lembut, “Siancu cianpwe!”
Diam diam Hoa In-liong menghembuskan napas lega, ia tak mengira kalau akhirnya sinona mau juga meuuiuti perkataannya.
Hakekatnya raut muka nona ini ada enam tujuh bagian mirip dengan wajah Pek Soh gie, isteri Bong Pay, sebab itu Bian nia sam sian tak ada yang menaruh curiga terhadap keasliannya, apalagi melihat kelembutan dan kesopanan sinona, mereka bertambah girang dibuatnya.
Dengan watak terbuka mereka yang tak pernah terikat oleh segala macam adat serta peraturan, langsung saja Lan hoa siancu memeluk nona berbaju putih itu sambil tertawa.
“Waaah…. Kau memang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, persis sekali dengan potongan muka ibumu, eeei….nona manis, berapa usiamu tahun ini?”
“Sudah ketemu jodoh belum?” seru Li hoa siancu pula sambil menarik tangan dan cekikikan.
Ci wi Siancu tak kalah, ujarnya cepat sambil tertawa, “Kalau belum punya jodoh, bagaimana kalau kita bantu untuk mencarikan pasangan yang pantas? Cuma entah pemuda dari mana yang punya rejeki untuk mempersunting gadis seperti kau?”
Begitulah, untuk sementara waktu Biau nia sam sian hanya merubung si nona baju putih sambil cuat cuit berKicau tiada habisnya, ini membuat Hoa In-liong terisolir dan harus berdiri sendian di samping. Betapa jengah dan rikunya nona berbaju putih itu menghadapi peristiwa semacam itu, apa yang mereka bicarakan adalah putri orang lain, bahkan menyinggung pula soa1 mencarikan jodoh, sekalipun serba salah nona itu dibuatnya, tapi justru karena persoalan ini rasa dendam kesumat yang tertanam dalam hatinya berubah menjadi lebih tawar dan menipis.
Ia tertunduk rendah-rendah dan malunya bukan main, bagaimana mungkin ia dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut?
Ketika matanya coba untuk melirik ke samping dan menyaksikan Hoa In-liong berdiri disitu sambil tersenyum- senyum penuh kebanggaan, hatinya menjadi mangkel dan dongkolnya bukan main, kontan saja ia perseni sebuah delikan mata kepadanya.
Hoa In-liong yang masih belum hilang sifat kekanak- kanakannya, menjadi sangat gembira ketika dilihatnya nona tersebut melotot ke arahnya dengan wajah mendongkol, cepat diapun mengerdipkan pula matanya.
Tentu saja Biau nia sam sian tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dia masih mengira muda-mudi itu sedang berlirik-lirikan mata tanda cinta.
Lan hoa Siancu segera berpikir, “Kalau dilihat dari hubungan mereka berdua tampaknya sudah ada kecocokan diantara mereka, “hmmm…. ! Bong Gi pek memang seorang nona yang cantik jelita, bak bidadari dari kahyangan, dia sangat cocok bila dijodohkan anak Liong….’.
Betul, Liong-ji adalah seorang bocah yang romantis dan banyak menyebarkan bibit cinta kemana saja, penyakit jeleknya tentu sedikit banyak akan terobati bila di rumah sudah ada istri!”
Berpikir sampai disitu, timbullah niatnya untuk menjodohkan muda mudi itu.
Orang Biau adalah manusia manusia berjiwa hangat, biasanya apa yang dipikirkan segera dilakukan, begitu pula dengan diri Lan hoa siancu.
Setelah mengambil keputusan, ia lantas mengerling sekejap kearah Li -hoa Siancu dan Ci wi Siancu, lalu sambil lepas tangan katanya, “Kalian berbincang-bincanglah, aku hendak berbicara sebentar dengan Liong ji”
Biau nia sam sian memang mempunyai hubungan batin yang erat, apalagi Li hoa siancu dan Ci wi siancu memang mengandung maksud yang sama setelah bertemu deegan nona berbaju putih itu, maka sambil tersenyum mereka menarik sinona kesamping dan diajak berbincang-bincang.
Untungnya mereka sudah lama dan terbiasa bergaul dengan orang orang Tionggoan, mereka tahu gadis-gadis bangsa Han paling pemalu terutama dalam soal jodoh, hingga maksud hati mereka tak sampai dikemukan secara terus terang.
Waktu itu Lan hoa siancu telah menarik Hou In liong untuk menyingkir dari sana, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, “Anak Liong!”
“Ada urusan apa toa kokoh?” jawab Hoa In-liong sambil tertawa, dia tak tahu permainan setan apa yang sedang dipersiapkan para bibinya yang datang dari wilayah Biau ini. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, cepat dia membatin, “Waduh celaka! Jangan-jangan kedatangan mereka untuk menyampaikan perintah dari nenek atau ayah yang menitahkan aku segera pulang? Kalau sampai begini keadaannya, bisa rusak nama baikku! Sekarang sandiwara baru saja dimulai, tapi kalau sampai terhenti ditengah jalan, semua orang sudah pasti akan mencaci maki diriku habis- habisan!”
Sekalipun rasa kuatir hampir mencekam seluruh perasaannya, toh ia sempat bertanya juga.
“Apakah ada berita dari nenek atau ayah?” Lan hoa Siancu dapat merasakan ketenangan anak muda itu, ia segera tertawa.
“Hei, tampaknya kalau begitu takut terhadap nenek dan ayahmu?”
Dari ucapan tersebut Hoa In-liong dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan bibi-bibinya bukan untuk menyampaikan perintah nenek ataupun ayahnya, kenyataan ini menjadikan hatinya lega sekali.
“Aaaai….kalau Liong-ji sih bukan takut sama nenek dan ayah saja, dengan bibi bertigapun aku juga takut!” sahutnya sambil tertawa.
Kontan saja Lan hoa Siancu tertawa lebar.
“Hmmm….! Dasar bocah binal, dasar telur busuk kecil!” “Toa kokoh, kenapa kau maki diriku?” keluh Hoa In-liong
sambil gelengkan kepalanya dan tertawa. “Oooh….jadi kalau merasa tidak puas?” Lan hoa Siancu mendelik lebar-lebar, “Hmm….!Kau memang sibinal kecil, sitelur busuk kecil! Sedangkan bapakmu adalah sibinal gede, sitelur busuk gede, siapa yang tidak puas dengan julukan ini?”
Yaa, pada hakekatnya hanya orang orang dari wilayah Biau saja yang berani mergucapkan kata-kata semacan itu.
Banyak memang sahabat-sahabat karib Hoa Thian-hong, seakrabnya mereka bergaul toh diantara masing-masing pihak selalu berusaha menjaga gengsi serta martabat masing- masing, lagipula jelek-jelek begitu Hoa Thian-hong adalah seorang tokoh yang mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia persilatan, bersikap agak berayal saja tak berani apalagi mencaci maki dirinya….?
Diantara sekian banyak orang di dunia ini, hanya kawanan murid dari Kiu tok sian ci yang mempunyai pergaulan sangat akrab dengan Hoa Thian-hong, soal goda-menggoda, caci- mencaci dan cemooh mencemooh sudah merupakan kebiasaan diantara mereka, kedua belah pihak sama-sama tak mempunyai pantangan, sebab itu apapun juga tiga orang perempuan suka Biau ini berani mengutarakannya.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Baik, baik, aku takluk!” Aku takluk! Kalau Toa kokoh ada perkataan, katakanlah dengan cepat” katanya.
“Kalau sudah takluk! kenapa masih juga menggelengkan kepala?” seru Lan hoa siancu.
Sebab bila toa kokoh tidak ada persoalan lain koponakan masih harus membereskan persoalan pribadiku!” Agaknya Lan hoa siancu memang rada kewalahan menghadapi keponakannya ini, ia sedikit tobat menghadapi tingkah lakunya yang binal, maka ujar nya kemudian, “Mau menuruti perkataan toa kokoh tidak?”
“Mau! Mau! Tentu saja mau!” jawab Hoa In-liong sambil manggut-manggut cepat.
Lan hoa siancu ikut manggut-manggut. “Bagus sekali kalau kau bersedia….”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi dengan wajah serius, “Maksud toa kokoh, usiamu tahun ini sudah tidak kecil, kalau setiap hari kerjamu hanya seperti kuda liar yang lari kesana lari kemari….”
Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Hoa In-liong telah menebak apa tujuan bibirnya ini, cepat dia goyangkan tangannya berulang kali.
“Usia keponakan masih terlampau muda, lebih baik soal itu dibicarakan beberapa tahun lagi!” tukasnya sambil tertawa, “Eeeh….kurangajar, kau berani membangkang perintahku?
Minta digebuki pantatmu?” teriak Lan hoa Siancu marah- marah.
“Kalau toa kokoh ingin menggebuk pantatku, silahkan saja digebuk, tapi yang pasti keponakan tak dapat menuruti perintahmu”
Lan hoa Siancu memutar biji matanya dan berpikir sebentar, lalu katanya lagi, “Kalau kau berani berterus terang dihadapannya dan berkata kalau kau tidak tertarik kepadanya, tentu saja toa kokoh tidak akan banyak bicara lagi, karena banyak berkatapun tak ada gunanya, sebaliknya kalau tidak berani maka kau harus menuruti perkataanku, bagaimana? Berani tidak….?”
Melihat itu, Hoa In-liong segera berpikir dalam hatinya, “Kalau dilihat dari sikapnya yang begitu kukuh rupanya keinginannya untuk menjadi mak comblang sudah amat berkobar, yaaa….aku musti mencari akal bagus untuk melenyapkan niatnya itu”
Terbayang sampai kesitu, tiba-tiba saja bayangan tubuh dari Coa-Wi-wi melintas kembali dalam benaknya.
Sementara dia masih melamun, Lan hoa Siancu telah berseru sambil mencibirkan bibirnya, “Huuuh….coba libat tak nyana kalau nyalimu sekecil ini, untuk mengakui urusan sekecil inipun tak berani”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir sebentar, lalu setelah mengambil keputusan baru katanya, “Baiklah toa kokoh coba kau sebutkan siapa orangnya?”
“Waaah….kalau kulihat dari kekukuhanmu, rupanya hubungan cinta kalian berdua sudah terikat semenjak dulu- dulu….atau mungkin maksud toa kokoh menjadi mak comblang hanya suatu perbuatan yang berlebihan saja….?” kata Lan hoa Siancu sambil tertawa.
Tentu saja Hoa In-liong tidak mengerti siapa yang dimaksudkan, ia merasa kebingungan dan tidak habis mengerti.
“Tapi yang jelas dia bukan maksudkan adik Wi!” demikian pikirnya. Maka diapun bertanya dengan keheranan, “Hei toa kokoh!
Sebetulnya siapa yang kau maksudkan?”
“Ciiisss….! Tak usah berlagak bodoh, aku percaya dengan kecerdasanmu bisa kau tebak siapa gerangan orang yang kumaksudkan?”
“Toa kokoh artikan….”
“Tentu saja dia yang kumaksudkan!” sambil manggut- manggut Lan-hoa Siancu menuding kearah sinona baju putih yang sedang berdiri bersama-sama kedua orang adik seperguruannya itu.
Hoa In-liong tertegun lalu menyengir kuda, ia benar-benar dibuat menangis tak bisa tertawapun sungkan, pikirnya, “Sialan, kau anggap siapakah nona itu? Dia adalah muridnya Hian-beng-kauw, murid musuh besar keluarga kita! Jangan toh perkenalan baru berlangsung selama dua jam, sampat sekarangpun belum kuketahui siapa namanya, Huuh….! Kalian memang terlalu membayangkan hal-hal yang terlalu muluk”
Begitulah kalau kesalahan paham telah terjadi, Hoa In-liong tahu kalau nona baju putih itu sebagai muridnya ketua Hian- beng-kauw, tentu saja ia pun menyadari bahwa perjodohan diantara mereka tak bakal sampai terjadi….
Sebaliknya Biau nia sam sian mengira nona baju putih itu sebagai putrinya Bong Pay, dari sikap sinona dengan Hoa In- liong mereka menganggapnya sebagai sepasang sejoli yang sudah bergaul intim, maka timbullah riat mereka untuk memperjodohkan kedua orang itu.
“Hei telur busuk kecil” bentak Lan hoa Siancu tiba-tiba, “bagaimana pendapatmu?” Hoa In-liong tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya, “Kalau kubiarkan kau berterus terang kepadanya, dalam gusar dan malunya tentu ia akan mengemukakan asal usulnya yang sebenarnya, haaahh….haaa….haaahh….waktu itulah pasti akan muncul adegan yang menarik hati”
Bibirnya sudah bergetar siap mengemukakan maksud hatinya itu, tiba-tiba ingatan lain melintas dalam benaknya, cepat ia berpikir lebih lanjut, “Tidak, tidak boleh! Kalau dia sampai menyebutkan asal usulnya yang sebetulnya, soal lainnya masih mendingan, kalau sampai ketiga orang bibiku mengumbar watak jeleknya dan mencoba untuk membereskan jiwanya….waah, bisa berabe jadinya”
Timbul kesalahpahaman dihati Lan hoa Siancu setelah menyaksikan pemuda itu mengurungkan niatnya untuk berbicara, ia mengartikan pemuda itu takut malu.
Maka sambil tertawa tergelak serunya, “Haaahh….haaahhh….haaahhh….rupanya kau-pun mengerti malu? Kalau begitu biar toa kokoh yang mengutarakannya mewakilimu, setuju bukan?”
Habis berkata dia lantas putar badan dan menghampiri si nona berbaju putih itu.
“Eeeeh….eeeeehh….tunggu sebentar!” teriak Hoa In-liong sambil narik lengannya, “Ada apa lagi?”
“Untuk menyelamatkan selembar jiwanya, terpaksa aku harus berbuat demikian” pikir Hoa In-liong, Meski geli rasanya, ucapnya juga dengan wajah bersungguh sungguh, “Sayang tindakan dari toa kokoh terlalu lambat”
“Apa maksudmu?” seru Lan hoa Siancu Setelah memperhatikan pemuda itu sekejap, ujarnya lagi.
“Air mukamu segar, sirna sekali tidak mirip orang yang terkena racun ular keji, lagipula sewaktu ayahmu terkena Racun teratai empedu api tempo hari, meski digembar- gemborkan kalau tak bisa beristri dan punya anak, belum pernah kudengar kalau orang yang terkena racun ular keji juga tak dapat beristri dan punya anak”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kalau memang sudah tahu begini, apakah aku harus menerangkan lagi secara terperinci?”
Lan hoa Siancu tertawa lebar, “Haahhh….haaahhh….haaahhh….kalau begitu aku harus
mengucapkan selamat dulu kepadamu.
Selesai berkata ia putar badan dan siap berlalu dari situ. “Eeeeh….tunggu sebentar!” teriak Hoa In-liong gelisah. Dihampirinya Lan hoa Siancu, lalu bisiknya dengan lirih,
“Jelek-jelek kau adalah toa suci nya ibuku, apakah kau tidak takut dengan sifat pemalu dari gadis perawan bangsa Han?”
Lan hoa Siancu berpikir sebentar, lalu tertawa. “Yaaaa….begitulah kalau suatu bangsa terlalu banyak
mempunyai peraturan-peraturan yang aneh padahal apa perlunya mesti malu-malu kucing? Toh akhirnya juga kawin? Baiklah daripada mencari penyakit buat diri sendiri, lebih baik aku tidak akan melakukan pekerjaan ini lagi” Tiba-tiba dari depan sana kedengaran Li hoa Siancu berteriak keras, “Toa suci, sudah selesai belum pembicaraannya?”
“Sudah, dan rupanya kita tak perlu repot-repot lagi” jawab Lan-hoa Siancu sambil berpaling.
Kebetulan Ci wi Siancu sedang bercakap-cakap dengan kepala tertunduk, ketika mendengar perkataan itu ia lantas menengadah dan bertanya dengan keheranan, “Hei, apa maksudmu?”
Si nona berbaju putih itu ikut dibuat kebingungan, dengan wajah tercengang ia menengadah.
Hoa In-liong kuatir Lan hoa siancu tak dapat pegang rahasia hingga salah bicara, cepat cepat timbrungnya, “Ji kokoh, sam kokoh, kalau masih belum jelas maka ingatlah akan ibuku kalian tentu akan mengerti dengan sendirinya”
Mula-mula Li hoa Siancu dan Ci wi Siancu tertegun, tapi menyusul kemudian biji mata mereka berputar putar, tampaknya mereka sudah menjadi paham dengan duduknya persoalan.
Kemudian Hoa In-liong berkata dengan gelisah, “Bukankah kalian tahu bahwa ibuku halus lembut dan kalem?”
Si nona baju putih itu tercengang dan tidak habis mengerti, ia tak tahu kenapa pemuda tersebut berulang kali menyinggung tentang ibunya.
Terdengar Li hoa siancu berkata sambil tertawa, “Yaa….yaa….kami sudah tahu kalau kalian bangsa Han mempunyai pelbagai adat istiadat yang aneh dan tak masuk diakal, kami tak akan berbuat tolol, kau tak asah kuatir” Sudah barang tentu gadis berbaju putih itu makin kebingungan dibuatnya, sebentar ia mengawasi wajah Hoa In- liong, sebentar lagi mengawasi Biau nai sam sian, hakekatnya ia tidak mempunyai dendam secara langsung dengan ketiga orang dewi dari suku Biau itu. Apalagi hakekatnya kemesrahan mereka telah mengharukan hatinya yang sedang kesepian.
Kesemuanya ini membuat sikapnya terhadap Biau nia sam sian cukup ramah, malahan sedikit kelihatan hangat dan mesrah, dia sendiripun tidak ingin membongkar rahasia dengan mengatakan bahwa dia bukan putrinya Bong Pay.
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geii menyaksikan sikap bibi bibinya itu, pikirnya, “Siapa bilang kalian tidak goblok? Justru saking tololnya kalian sudah keblinger….”
Sepanjang hidupnya belum pernah ia lakukan perbuatan selucu hari ini, makin dibayangkan pemuda itu merasa makin geli sehingga hampir saja ia tergelak gelak, meski suara tertawanya berhasil diken-dalikan, toh wajahnya tampak berseri.
Tiba tiba ia mendengar Ci wi Siancu berseru sambil tertawa, “Bong Gi pek, kiong bie yaa untukmu!”
Si nona baju putih itu tertegun, ia melongo dan tak tahu apa yang musti diucapkan.
Mengetahui kalau rencananya nyaris mengalami kegagalan total, Hoa In-liong gelisah sekali, segera teriaknya keras keras, “Sam kokoh….!”
“Aah, kau tak usah kecewa!” tukas Ci wi Siancu. Cepat ia berpaling kearah si nona baju putih itu dan bertanya sambil tertawa, “Beritabu kepadaku, kapan baru diadakan?”
Si nona baju putih itu bukan seorang gadis bodoh, ia terhitung seseorang yang berotak cerdas dengan cepat dapat tertebak olehnya apa gerangan yang sedang terjadi, kontan saja pipinya bersemu merah karena jengah, tiba-tiba ia melengos dan memandang kearah lain.
Betapa leganya Hoa In-liong karena gadis itu tidak marah, pikirnya, “Waahh…. kalau dilihat situasinya sekarang, jelas aku tak bisa mendesaknya untuk menanyakan asal asul Hian- beng-kauwcu serta peristiwa terbunuhnya Suma Siok ya”
Ketika gadis itu melengos kearah lain dan Hoa In-liong memandang wajahnya dari samping, mendadak pemura itu merasa wajahnya seperti pernah ditemuinya dulu, cepat otaknya berputar.
Setelah pikir punya pikir akhirnya pemuda itu baru teringat, rupanya gadis itu bukan lain adalah penunggang kuda yang pernah ditemuinya bersama Thia Siok bi tempo hari sewaktu mereka bersantap dalam sebuah warung makan ditengah hutan.
“Kalau begitu, gurunya Wan Hong giok pasti mempunyai hubungan yang akrab dengan Hian-beng-kauw, soal ini harus kuselidiki sampai jelas” pikirnya kemudian.
Sementara itu si nona baju putih juga sedang berpirir, “Kalau tidak pergi sekarang, sampai kapan baru akan angkat kaki?”
Tiba-tiba ia memberi hormat kepada Biau nia sam sian, katanya, “Cianpwe bertiga….” “Panggil kami Siancu, jangan sebut cianpwe….” teriak Ci wi Siancu dengan cepat.
Nona berbaju putih itu tersenyum. “Siancu cianpwe….”
“Bosan!” omel Li hoa Siancu dengan dahi berkerut, “kenapa kata cianpwe selalu tergantung di ujung bibirmu?” Memangnya kami sudah tua sekali sehingga bertampang cianpwe?”
Nona baju putih itu tertawa geli, pikirnya, “Kalau dilihat dari sikap kalian yang haha hihi melulu, sudah tentu tidak mencerminkan sikap seorang cianpwe”
Tanpa terasa ia berpaling ke arah Biau Nia sam sian dan mengamati wajah mereka dengan seksama, ia merasa ketiga orang perempuan itu masih tampak segar dan cantik lagi, sama sekali tidak menujukkan tanda-tanda ketuaannya.
Kembali Lan hoa Siancu tertawa.
“Tidak kau sangka bukan?” katanya, “sudah hampir tiga puluh tahun lamanya nama kami tersohor dalam dunia persilatan, coba tebak berapa umurku tahun ini?”
“Mana aku tahu? Mau ditebak juga susah rasanya” pikir nona berbaju putih itu.
Karenanya dia lantas menggelengkan kepalanya berulang kali.
Li hoa Siancu menggenggam tangannya erat-erat, lalu katanya sambil tertawa, “Si nenek Lan hoa Siancu sudah berusaha lima puluh tujuh tahun, pingin belajar tidak dasar tenaga dalam suku Biau kami? Kalau mau, segera akan kuajarkan kepadamu, hitung-hitung anggap saja sebagai tanda mata dalam pertemuan kita kali ini”
Selesai berkata ia lantas menutup mulutnya dan tertawa. “Yaa…. cuma sayang Hong-ji keberatan untuk melepaskan
siau-long” tiba-tiba Ci wi Siancu menambahkan.
Nona berbaju putih itu tak tahu apa yang dia maksudkan, sepasang matanya dibelalakkan besar kemudian dialihkan keatas wajah Ci wi Siancu.
“Masa kau tidak tahu? Hong-ji kan ibunya” kata Ci wi Siancu sambil tertawa. “Dan ibunya adalah murid paling buncit dari guruku, dia adalah sumoay kami terkecil. Aaai…. Hong-ji memang berhati lembek, kalau tidak tahu mungkin ibunya anak Liong bisa kawin dengan bapaknya sekarang, dan jika perkawinan itu tidak terlaksana, otomatis didunia ini tak nanti akan bertambah dengan seorang Hun si Mo-ong raja iblis pengacau jagad semacam dia itu”
Seraya berkata ia mengerling sekejap kearah Hoa In-liong dan tertawa lebar.
“Aaai….! Kalian ini memangnya telah menganggap dia sebagai siapa….?” pikir Hoa In-liong.
Tiba-tiba ia merasa bahwa guraunya terlalu berlebihan, andaikata rahasia ini sampai terbongkar mungkin saja Biau nia sam sian tak akan mengampuninya dengan begitu saja.
Si nona berbaju putih itu dibuat setengah mengerti setengah tidak, tapi yang pasti perasaannya waktu itu benar- benar terharu, maka sesudah tertegup sejenak bisiknya dengan nada lirih, “Boanpwe….boanpwe ingin….mohon diri….”
“Apa kau bilang? Mau mohon diri?” seru Lan hoa Siancu tertegun.
Cepat ia berpaling ke arah Hoa In-liong dan memandangnya dengan keheranan.
Keinginan gadis tersebut justru merupakan pucuk dicinta ulam tiba bagi Hoa In-liong, sebab keadaannya pada saat ini sangat tidak menguntungkan, ia tak ingin rahasia gadis itu ketahuan, tentu saja satu-satu jalan untuk menghindari kesemuanya itu adalah berharap agar nona baju putih itu secepatnya meainggalkan tempat tersebut.
“Sekalipun aku sangat membutuhkan kabar berita dari mulutnya, toh tak usah dilakukan pada saat ini juga” demikian pikirnya. Maka dengan suara lantang diapun berseru, “Adik misanku Gi pek, bila kau hendak menyelesaikan urusanmu, pergilah sekarang juga tinggalkan tempat ini”
Biau nia sam sian kembali salah mengertikan ucapan itu, mereka mengira kedua orang itu merasa terganggu karena kehadiran mereka disana, maka dengan mengucapkan kata- kata itu justru sedang menjanjikan tempat pertemuan ditempat lain.
Karenanya mereka cuma bertukar pandangan sekejap dan tidak menahan lebih lanjut, malah sambil tersenyum mereka mengucapkan kata kata perpisahan….
Sampai disitu, Hoa In-liong pun harus berbisik kepada si nona berbaju putih itu dengan ilmu menyampaikan suara, “Kau jangan terlalu bangga, ketahuilah lain kali tidak akan seenak apa yang kau alami sekarang” Nona berbaju putih itu belum cukup sempurna untuk berbicara menggunakan ilmu menyampaikan suara, ia tidak bisa berbuat lain kecuali tertawa dingin tiada hentinya, cepat dia putar badan dan berlalu dari sana.
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya yang ramping semampai sudah lenyap dibalik kegelapan sana.
“Hei, apanya yang menggelikan?” tiba-tiba Lao hoa Siancu menegur dengan suara lantang.
Rupanya setelah bayangan tubuh si nona baju putih itu lenyap dari pandangan mata, Hoa In-liong tak dapat menahan rasa gelinya lagi, kontan saja ia menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebesarnya ia bermaksud membongkar rahasia itu sesuai ter tawanya, tapi ingatan lain dengan cepat melintas dalam benaknya, pikirnya, “Daripada membongkar rahasia, lebih baik kurahasiakan dulu untuk sementara waktu”
Sambil tersenyum dia berkata, “Bibi bertiga, bagaimana kalau kita duduk-duduk dalam penginapan yang keponakan sewa itu?”
“Rumah penginapan toh bukan rumahmu, buat apa kita musti berkunjung kesitu?” tukas Li hoa-Siancu.
Dengan wajah serius Ci wi Siancu berkata pula, “Aku dengar kau sudah terkena racun keji ular sakti, bagaimana perubahannya? Atau mungkin sudah kau punahkan sama sekali?”
“Ooooh….belum, belum sampai punah sama sekali” sahut Hoa In-liong tawar, “seorang cianpwe berhasil mendesak sari racun itu ke dalam jalan darah Liong gan hiat dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang sempurna….!”
Lan hoa Siancu menangkap pergelangan tangan kirinya, lalu meminjam cahaya bintang ia periksa ibu jarinya, benar juga di ujung jari tangan anak muda itu masih kelihatan sebuah benjolan putih sebesar biji beras.
Menyaksikan hal itu, Lan hoa Siancu berkata dengan dahi berkerut, “Kalau begitu, cianpwe yang menolongmu itu cuma sok baik saja, sebab dia menolong orang cuma menolong sampai tengah jalan, coba kalau ia lakukan pengobatan beberapa jam lagi, niscaya seluruh sari racun itu berhasil didesak keluar….ketahuilah nak, menyimpan bibit penyakit tersebut dalam tubuh benar-benar merupakan suatu tindakan yang amat besar resikonya.”
“Li hoa Siancu serta Ci wi Siancu semuanya menguatirkan keselamatan pemuda itu, cepat mereka berkerumun ke muka.
Hoa In-liong kuatir kalau ketiga orang bibinya mengeluarkan kata-kata yang merugikan nama baik Goan cing taysu, karena itu sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, ia telah mendahului sambil tersenyum, “Aku pikir, aku ingin memunahkan sendiri sari racun tersebut, sekalian untuk melatih pula tenaga dalamku”
Seraya berkata ia menarik kembali pergelangan tangannya. “Hmmm….! dasar bocah binal….” keluh Li hoa Siancu.
Hoa In-liong tersenyum.
“Kokoh bertiga, bagaimana keadaan Sian nio orang tua?
Baik-baiklah beliau? Dan bagaimana pula dengan bibi lainnya?” Lan hoa Siancu ikut tertawa.
“Keadaan dia orang tua masih juga seperti sedia kala, cuma berapa macam tugas dalam gua telah diarahkan kepada kami beberapa orang bersaudara….”
Setelah berhenti sebentar, ujarnya lagi sambil tertawa, “Beberapa orang bibimu sebetulnya ingin ikut kami menengok ibumu di perkampungan Liok soat san ceng, oh betapa gemasnya mereka kepadaku setelah aku tidak menyetujui keinginan mereka itu.
“Sekarang bibi sekalian tinggal dimina? Kalau tiada urusan lain, bagaimana kalau tinggal saja beberapa hari di kota Si ciu ini sekalian membantu keponakan untuk meramaikan suasana”
“Hmm….! Kau sudah menyebarkan issu dan kabar bohong di kota Si ciu hingga banyak orang kebingungan dan kelabakan, dan sekarang, kau mau mencoba menyeret kami mencebur kedalam air keruh?” seru Ci-wi Siancu.
“Betul, apalagi kita masih ada urusan lain” sambung Li hoa Siancu, “biarlah kami mohon diri lebih dulu, bebarapa hari lagi pasti akan kami tengok kembali dirimu”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, cepat dia memberi hormat sebagai tanda perpisahan.
Hakekatnya, tujuan terutama dari kedatangan Biau nia sam sian di kota Si ciu adalah memeriksa keadaan Hoa In-liong setelah mereka tahu jika keponakannya terkena racun ular sakti penggigit hati dari pihak Seng sut pay. Tapi setelah mereka tahu bahwa keadaan Hoa In-liong tak ada halangan, tentu saja mereka bermaksud untuk mohon diri, sekalipun yang dimaksudkan urusan oleh mereka tak lehih adalah mencari balas dengan pihak Mo kau serta berkunjung ke bukit Im tiong san uniuk berbincang bincang dengan Chin si hujin dan Hoa Thian-hong.
Begitulah, sepeninggal Biau nia sam sian, Hoa Inliong kembali kerumah penginapan Thian hok, ketika masuk diruang tengah tiba-tiba ia jumpai Kongsun Peng serta beberapa orang pemuda duduk diruang tengah, hal ini membuat hatinya agak tertegun.
Setelah dia masuk kedalam ruangan, para jago segera bangkit seraya memberi hormat, lalu dipimpin oleh Kongsun Peng katanya, “Sesungguhnya tidak pantas kami datang mengganggu ketenangan Hoa kongcu, apalagi dalam suasana yang serba sibuk dan banyak urusan lain”
“Kalian tak perlu sungkan sungkan” jawab Hoa In Hong sambil tersenyum dan balas memberi hormat, “boleh aku tahu, ada urusan apa Kongsun heng datang kemari?”
Matanya pelan pelan menyapu sekejap sekeliling ruangan, ia lihat berikut Kongsun Peng seluruhnya berjumlah empat orang, dua diantaranya menggembol pedang, sedang orang ketiga adalah seorang pemuda berpakaian ringkas warna hitam yang pernah ikut buka suara sewaktu diadakan perjamuan tadi.
Sementara itu Kongsun Peng telah menuding kearah pemuda baju hitam itu sambil memperkenalkan.
“Dia adalah Tan Kiat kan!” Kemudian sambil menuding dua pemuda yang menggembol pedang, katanya kembali, “Sedang mereka adalah Oh Keng bun dua bersaudara!”
Tiga orang pemuda itu bersama-sama memberi hormat sambil berucap, “Selamat berjumpa!”
“Selamat berjumpa!” jawab Hoa In-liong sambil balas memberi hormat.
Dari sikap maupun cara berbicara dua bersaudara Oh yang mantap dan penuh bertenaga, anak muda itu mengerti bahwa tenaga dalam mereka jauh lebih sempurna bila dibandingkan Kongsun Peng maupun Tan Kiat kan.
Terdengar Kongsun Peng berkata lagi, “Kami mengerti kalau ilmu silat yang dimiliki terlampau rendah, tak mungkin bisa menyumbangkan tenaga kami untuk melakukan pekerjaan besar, maklumlah kongcu, adapun kedatangan kami tak lain hanya ingin membantu kongcu dalam soal-soal kecil, rasanya untuk memukul gembrengan menggoncangkan panji sambil berteriak, kami masih mampu untuk melakukannya”
Mendengar itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Kehangatan mereka harus kusambut dengan sewajarnya, sebab bila tawaran mereka sampai kutolak mentah-mentah, niscaya semangat mereka akan merjadi kendor….”
Karena itu dia menjura sambil tertawa, katanya
“Kasih sayang saudara sekalian amat mengharukan hatiku, siaute tahu bila kebaikan saudara kutolak dengan begitu saja, kalian tentu akan menuduh bahwa aku adalah orang yang tak tahu diri….” “Kalau memang begitu kebetulan sekali” seru Kongsun Peng kegirangan, “kami telah menghubungi pula sekawanan jago-jago persilatan, mereka semua bersedia menyauabangkan tenaga bagi Hoa-kongcu. kapan Hoa kongcu ingin berjumpa dengan mereka?”
“Yang dimaksudkan sebagai sahabat-sahabat karibnya tentulah sekawanan orang muda” pikis Hoa In litong.
Sambil tersenyum ia berkata, “Buat siuate tentu saja makin cepat makin baik, entah sobat sobat kalian itu sampai kapan baru ada waktu?”
Kemudian setelah berhenti sebentar katanya lebih jauh; “Tujuan kita adalah menumpas kaum sesat dan kaum iblis
bersama-sama, dalam usaha ini tiada perintah merintah, kedudukan kita semua adalah sama, maka aku minta kata berbakti harap jangan dipergunakan lagi….mengerti?”
Tiba-tiba Oh Keng bun berkata, “Hoa-kongcu, aku Oh Keng bun mempunyai beberapa patah yang rasanya menganjal dalam tenggorokan bila tidak diutarakan keluar, bolehkah aku mengucapkan sesuatu?”
“Katakanlah saudara Oh” sahut Hoa In-liong sambil menjura.
“Menurut pendapatku, pepatah kuno pernah berkata: Ular tanpa kepala tak dapat berjalan, begitu pula dengan kita jago- jago dari golongan putih, aku rasa dalam melaksanakan pembasmian terhadap kaum sesat ini, kita harus mencari seseorang yang pantas untuk kita angkat sebagai pemimpin rombongan, semua orang harus tunduk dibawah perintah orang itu, sebab kalau tidak maka ibaratnya sebaskom pasir, mana mungkin kita bisa bersatu, dan apabila tak dapat bersatu da-rimana mungkin kita bisa melakukan suatu pekerjaan besar, Maka kalau berbicara orang yang berbudi, orang yang berilmu tinggi, orang yang luas pengetahuannya, tak bisa lain kalau orang yang paling cocok adalah Hoa tayhiap, ayah kongcu. Walaupun demikian bila kita tinjau dari kembali tindak tanduk Hoa kongcu selama ini dan ternyata dari pihak Liok soat san ceng tidak memberikan reaksi apa- apa, semua orang bisa mengambil kesimpulan kalau Hoa tayhiap telah mengundur-kan diri dan tak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi!”
Mendengar sampai disitu, diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Sekalipun mereka tidak tahu kalau ayah mempunyai kesulitan sendiri, tapi semua orang memang bisa melihat dan merasakan kalau ayah segan mencampuri urusan dunia persilatan lagi, entah bagaimana dengan hubungan antara ayah dan bibi Ku….”
Sementara dia masih melamun, dirasakan sorot mata keempat orang itu tertuju semua kearahnya dengan perasaan ingin tahu.
Ia tertawa, dengan nada minta maaf katanya, “Maaf saudara semua, sebagai seorang anak, siaute tak berani menduga secara sembarangan atas perbuatan dari ayahku”
Oh Keng-bun manggut-manggut, lanjutnya.
“Justru karena itu menurut pendapat siaute, kursi pimpinan ini paling cocok kalau ditempati Hoa kongcu”
Hoa In-liong tersenyum.
Siaute merasa amat bsrterima kasih atas kebaikan saudara Oh, cuma sayang didunia ini bukan aku seorang yang pandai, beribu-ribu bahkan berjuta-juta orang pintar tersebar disegala pelosok dunia….”
“Yaa, kami memang tahu bahwa orang pintar yang ada didunia ini tak terhitung banyaknya” tukas Oh Keng bun, “hanya kami anggap Hoa kongcu lah orang yang paling cocok untuk menduduki kursi kebesaran tersebut”
Sesudah berhenti sebentar, katanya lagi dengan nada bersungguh sungguh, “Jangan kau anggap kami mengharapkan kedudukan yang mulia dengan usul ini, kami sama sekali tidak mengharapkan kedudukan mulia, kami berbuat demikian atas dasar maksud baik yang sesungguhnya, andaikata ada hal-hal yang dirasakan kurang sopan, tolong Hoa kongcu bersedia memaafkan….”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya sambil berpikir, Tadinya kukira mereka berbuat demikian hanya terdorong oleh luapan emosi, rupanya mereka memang sudah merencanakan dengan bersungguh0sungguh….”
Maka katanya dengan wajah serius, “Terima kasih banyak atas nasehat emas dari saudara Oh, dengan perkataanmu itu, semua kebingungan dan kemurungan yang mencekam perasaanku justru bisa tersapu lenyap. Hanya saja, mengenai persoalan itu lebih baik kita rundingkan kembali secara terperinci”
“Hoa kongcu” tiba tiba Tak Kiat-kan berkata pula sambil tertawa, “aku orang she Tan minta kedudukan membawa bendera memegang payung tersebut, tentunya tak ada orang lain bukan yang akan berebutan dengan diriku….?”
“Siapa bilang tak ada? Aku yang akan ikut berebut” teriak Oh Keng bun dengan cepat. Kembali Hoa In-liong berpikir, “Berhadapan dengan pemuda-pemuda berdarah panas macam mereka, aku memang tak boleh berlagak sok malu sok menolak tentu mereka akan menganggap diriku orang munafik”
Sambil tersenyum ia berkata, “Eeeh….buat apa kalian berebut menjadi pemegang bendera? Kan lebih enak jadi kusir kereta atau penuntun kuda?”
“Haaahhh….haaahh….haaahh….betul! Kau! Kalau begitu siaute pesan dulu kedudukan tersebut!” seru Oh Keng bun sambil terbahak-bahak.
“Eeeh…. bagaimana kau ini? Aku….akukan sudah pesan dulu kedudukan itu….?” seru Tan Kiat-kan.
Maka semua orangpun tertawa berderai-derai karena geli.
Sekalipun tenaga dalam Kongsun Peng, Tan Kiat kat dan dua bersaudara Oh masih ketinggalan bila dibandingkan Hoa In-liong, namun mereka terhitung pula jago-jago muda yang tak lemah tenaga dalamnya, seketika itu juga gelak tertawa mereka menggetarkan seluruh ruangan, membuat pemilik penginapan, para pelayan dan tamu-tamu lainnya harus menutupi telinga masing-masing.
Setelah suara tertawa mereda, Kongsun Peng memanggil pelayan untuk memesan santapan malam, sebab dia tahu Hoa In-liong belum makan karena baru saja pulang.
Hoa In-liong merasa kurang leluasa untuk bersantap ditempat umum, apalagi dia menyewa sebuah halaman tersendiri yang mempunyai ruang tamu dan kamar tidur yang luas, maka dia mengundang keempat orang tamunya untuk bersantap diruangan yang disewanya itu. Tak lama kemudian sayur dan arak yang dipesan telah dihidangkan pelayan, sambil bersantap mereka mulai berunding, semuanya dapat berjalan lancar dan penuh riang gembira karena mereka berdiri dari orang-orang muda yang sejalan dan seperasaan.
Sampai tengah malam, dua bersaudara Oh, Kong sun Peng dan Tan kiat kan baru berpamitan untuk pulang.
Keesokan harinya, ketika Hoa In-liong sedang berjalan- jalan dalam halaman depan, muncul seorang pelayan yang melaporkan atas kedatangan seorang kakek.
Ketika menanyakan potongan badan dan raut wajahnya, Hoa In-liong merasa asing dan tak kenal, cepat-cepat ia munculkan diri untuk menyambut kedatangannya.
Ternyata dia adalah seorang kakek bermuka lebar, bermata besar, berjenggot putih sepanjang dada dan bermata tajam seperti mata elang, jelas tenaga dalam yang dimilikinya amat sempurna.
“Heran rasa rasanya kakek yang keren dan berwibawa ini pernah kutemui, tapi dimana yaa….” pikirnya keheranan.
Sementara ia masih termenung sambil mengamat-amati tamunya, kakek itu sudah berkata sambil tertawa lantang, “Liong sauya, sudah lupa dengan aku Ho Kee sian?”
Kata “Liong sauya” hanya khusus digunakan oleh orang orang dari pihak ibunya, sebagian besar anggota Sin ki pang (Perkumpulan Panji Sakti) adalah kawanan enghiong yang tidak pernah mengenal arti sopan santun, mereka lebih mengutamakan perasaan dan persaudaraan daripada soal cengli atau kebenaran. Oleh sebab Hoa In-liong adalah putranya Pek Kun gie, maka hubungannya dengan bocah ini jauh lebih mesrah dan akrab daripada lain lainnya, sedang terhadap toako dari Hoa In-liong yakni Hoa See atau sam te Hoa Wi, mereka selalu membahasai dengan panggilan toa-kongcu, sam kongcu belaka tanpa embel-embel lain.
Dengan begitu Hoa In-liong dapat segera teringat kembali kalau kakek ini adalah bekas anak buah gwakong nya dulu.
Kakek tersebut merupakan salah satu jago yang paling tangguh dalam perkumpulan Sin ki pang dahulu, dia menjabat sebagai Tongcu ruang Thiao leng tong dengan julukan Boan thian jiu (telapak sakti pembalik langit).
Hoa In-liong lantas mengira kalau kedatangannya karena membawa perintah dari gwakongnya, sambil memburu kedepan serunya.
“Empek Ho….Ho locianpwe….”
Mencorong sinar tajam dari mata Ho Kee siau, tukasnya. “Liong sauya, dahulu apa panggilanmu kepada ku?”
Hoa In-liong tertawa lebar. “Tentu saja empek Ho!”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi sambil tertawa, “Tahukah kau, ketika aku berjumpa denganmu tempo dulu, kalau tak salah waktu itu aku berumur lima tahun, aku dicaci maki oleh ayah karena memanggilmu empek Ho, sebab katanya sewaktu ibuku masih muda dulupun menghormati kau sebagai paman….” Ho Kee sian tertawa terbahak-bahak.
“Haaabhh….haaahhh….haaahhh….Aku merasa bangga sekali dapat berkenalan dan bersahabat dengan ji kohya, yang lain tak usah disinggung, cukup dengan sikap sungkan nona Kun gie, rasanya aku sudah takluk dibuatnya”
Perlu diterangkan disini, orang-orang Sin ki pang masih memanggil Pek si hujin dengan sebutan lamanya, yakni nona Kun gie.
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya, “Tapi kau tak usah gubris teguran mereka, sebab aku merasa sebutan ini jauh lebih mesrah dan hangat, tentu saja jika Liong sauya tidak menganggap diriku sebagai seorang tua bangka yang celaka, sebutan apa saja yang kau gunakan akan kuterima dengan senang hati”
Hoa In-liong tertawa.
“Aku sendiri juga merasa kalau panggilan empek Ho jauh lebih baik, cuma kuatirnya kalau di maki ayah”
Yaa, terhadap bekas anak buah gwakongnya ini, tak pernah Hoa In-liong memandang rendah atau memandang hina, setiap kali bertemu ia tentu memanggil mereka dengan sebutan empek.
Terdengar Ho Kee sian sedang berkata lagi, “Jika ji-kohya menegurmu, katakan suja kalau lohu senang dipanggil empek, aku rasa sebagai orang yang berpikiran luas dan pandai mendalami perasaan orang, tak mungkin ji kohya akan menegur dirimu lagi”
Dari perkataan itu secara lapat-lapat Hoa In-liong dapat menangkap rasa tidak puasnya terhadap ayahnya, dia lantas berpikir, “Mereka selalu beranggapan akibat ulah ayahkulah yang menyebabkan perkumpulan Sin ki pang dibubarkan, merekapun merasa hidup mengasingkan diri hanya akan menyia-nyiakan kepandaian silat mereka serta semangat mereka yang tinggi, tak aneh kalau mereka merasa kurang senang dengan ayahku….”
Berpikir sampai disitu diapun tersenyum.
“Empek Ho sudah bertemu dengan gwakongku?” tanyanya kemudian.
“Haaahhh….haaahhh….haaahhh….akulah yang pertama menerima lencana Hong lui leng yang diturunkan lo pangcu, aaai….! Pangcu sendiri juga sudah tua, ia sudah kehilangan kegagahan nya seperti tempo dulu….”
Sampai akhir perkataan tersebut, ia menghela napas tiada hentinya.
Cepat-cepat Hoa In-liong mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya sambil tertawa, “Selama banyak tahun apa yang dikerjakan empek Ho?”
“Aaai….kerjakan apa?” Ho Kee sian menghela napas, “tentu saja mencari sesuap nasi dengan mengandalkan ilmu silat yang kumiliki”
Nadanya berat dan penuh kekesalan.
Untuk menghilangkan suasana murung yang mencekam sekeliling tempat itu, cepat Hoa In-liong tertawa terbahak- bahak, “Haaahhh….haaahhh….haaahhh….kalau begitu si tangan sakti pembalik langit bukankah sudah berubah menjadi tangan sakti pembalik tanah? Yaa….lumayan memang!” Ho Kee sian ikut tertawa nyaring, tapi sejenak kemudian sudah menghela napas berat.
Hoa In-liong segera berpikir.
“Wajarlah kalau enghiong yang sudah tua akan mengeluh, ibaratnya perempuan tua yang memurungkan kecantikan wajahnya, setiap orang pasti mengalami keadaan seperti ini, aku harus mengobarkan kembali semangatnya….”
Berpikir demikian ia lantas bertanya. “Apa pesan Gwakong?”
“Lo pangcu minta kepadaku untuk membantu Liong sauya, kecuali itu tiada pesan penting lainnya yang barus kusampaikan kepadamu”
“Kecuali empek Ho, masih ada berapa orang lagi yang termasuk jago-jago tempo dulu?”
“Tidak terlalu banyak” jawab Ho Kee sian sambil tertawa, “paling banter cuma lima puluh orang lebib, meski sedikit mereka semua adalah jago-jago tangguh, kini mereka sudah berkumpul disekitar kota Si ciu dan setiap saat siap dikumpulkan”
Lima puluh orang jago tangguh dikatakan tak banyak, kekuasaan Sin ki pang dimasa lalu tentu hebat dan luar biasa, yang dikuatirkan justru kalau mereka sampai mengganggu ketenangan rakyat” pikir Hoa In-liong dengan perasaan cemas.
Maka iapun berkata, “Begitu banyak orang, mereka diam- diam saja?” Sebagai orang yang berpengalaman tentu saja Ho Kee sian tahu apa yang dirisaukan, sambil menggoyangkan tangannya ia tertawa.
“Liong sauya tak usah kuatir, mereka tidak akan menambah kesulitan dan kemurungan bagi Liong sauya” katanya, “bukan saja mereka berpencar diempat penjuru kota, sedapat mungkin asal usulnya juga dirahasiakan, sebab dengan begini selain bisa merahasiakan asal usul sendiri, dapat pula menyelidiki keadaan musuh”
“Aaah….kau memang keterlaluan” pikir Hoa In-liong lagi, “mereka toh jago kawanan yang sudah terlalu banyak makan asam garam, buat apa aku musti meuguatirkan diri mereka?”
Setelah termenung dan berpikir sebentar, katanya kemudian, “Cia Yu cong berjanji akan memberi bantuan, konon ia mempunyai beberapa ratus orang saudara….
“Aah…. kamu anggap Ci Yu cong jagoan macam apa?
Sekalipun banyak anak buahnya juga orang-orang yang tak ada gunanya” kata Ho Kee sian sambil tertawa, “waktu aku masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, dia cuma manusia tak bernama, percayalah orang orangku tak seorangpun mempunyai ilmu silat dibawahnya, buat apa Liong sauya berhubungan dengan manusia-manusia seperti itu?”
Tentu saja Hoa In-liong tahu kalau ucapannya merupakan kenyataan, meski begitu dia cuma tertawa.
“Aaah…. belum tentu orang lain jelek-jelek juga seorang pentolan diwilayah Wi lam, bisa menjadi pentolan sudah tentu harus mempunyai ilmu sejati, apalagi sebagai seorang ternama, terlalu latah tanpa dasar ilmu yang kuat sama artinya dengan mencari penyakit kuat diri sendiri….bukankah begitu? “Benar juga perkataannya, pikir Ho Kee sian, “Liong sauya memang membutuhkan kawanan manusia seperti itu untuk mendukung serta memberi suara kepadanya”
Ia lantas tertawa terbahak-bahak, sahutnya, “Betul! Betul….haaahhh….haaahh….haaahhh…. perkataan Liong sauya memang betul”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kalau toh mereka berpencaran disetiap sudut kota, bagaimana caranya untuk mengumpulkan mereka?”
“Aku telah menyiapkan bom udara dari perkumpulan kami tempo dulu, asal bom udara itu kuledakkan maka dalam setengah perminum teh kemudian sebagian besar jago dapat berkumpul disini”
“Tiba-tiba ia tertawa tergelak dengan nyaring lalu sambil memancarkan sinar tajam dari balik matanya ia berkata lebih jauh, “Liong sauya masih muda dan gagah perkasa, lagipula mempunyai kepandaian daa kecerdasan yang luar biasa, suatu saat pasti akan sukses dengan usahanya dan melanjutkan karier Ji kohya untuk menjagoi kolong langit dan tersohor di mana-mana. Liong sauya! Inilah kesempatan bagimu untuk menjagoi seluruh kolong langit”
Hoa In-liong tidak segera menjawab, pikirnya, “Sekalipun mereka bermaksud baik dan ingin membantu aku untuk menjagoi kolong langit, sayang mereka telah salah mengartikan maksudku, aku memang berharap bala bantuan dari para jago tapi soal ini adalah demi kepentingan umum, bila maksud pribadipun ikut kuserukan, bukankah akhlakku akan lebih rendah dari seekor anjing?” Berpikir sampai disitu, ia merasa bagaimanapun jua, maksud hatinya harus diterangkan lebih dahulu, dengan wajah serius ujarnya;
“Empek Ho, masih ingatkah kau akan keadaan disaat perkumpulan Sin ki pang dibubarkan?”
Ho Kee sian tertegun setelah mendengar perkataan itu.
“Tentu saja masih ingat, hari itu pangcu mengumpulkan semua Tongcu dan Hu hoat dalam ruangan Siang liong teng, lalu secara tiba-tiba mengumumkan akan membubarkan partai serta memunahkan ilmu silat semua orang….”
“Yaa, ketika gwakong menceritakan kejadian ini kepadaku, aku selalu beranggapan bahwa tindakannya ini tidak cepat” tukas Hoa In-liong secara tiba-tiba, “dia orang tua adalah pentolan kalian, karena itu jika ilmu silat semua orang hendak dimusnahkan, pertama tama dia harus musnahkan dulu ilmu silat yang dimilikinya”
Ho Kee sian tertawa lebar.
“Dan aku rasa cuma Liong sauya seorang berani mengucapkan kata-kata seperti itu” sambung nya.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, segera pikirnya, “Tanpa sebab tak mungkin Liong sauya mengucapkan kata-kata tersebut, yaa….dia pasti mempunyai tujuan tertentu”
Bila ditinjau dari kedudukannya sebagai Tongcu ruang Thian- leng tong dalam perkumpulan Siu ki pang tempo dulu, dapat diketahui kalau orang ini memiliki kecerdasan yang melebihi siapapun, hanya sejenak dia berpikir, maka semua isi hati Hoa Im liong berhasil ditebaknya secara jitu. Setelah termenung sebentar, tiba-tiba ia berkata dengan nada mendongkol, “Liong sauya, buat apa kau kerja demi kepentingan orang lain?”
Hoa Inliong tertawa.
“Dalam hal ini tak bisa dikatakan sebagai bekerja demi kepentingan orang lain, aku hanya berjuang demi ketenteramanku sendiri”
Ho Kee sian termenung sebentar, tiba-tiba katanya lagi, “Padahal kepentingan pribadipun tak akan mengganggu kepentingan umum. selain kita basmi kekuatan Hian-beng- kauw, Mo kau dan Kiu im kau bukankah kitapun bisa berjuang untuk menaklukkan semua orang serta menjagoi seluruh kolong langit?”
“Siapa yang mempunyai niat tersebut, dia akan tercelaka oleh niat itu pula, siapa tidak mempertimbangkan untung ruginya sebelum melakukan sesuatu pekerjaan, dia tentu akan mengalami kegagalan total” tukas Hoa In-liong dengan cepat’
“Oooh….! Tak kusangka Liong sauya yang dihari biasa selalu tertawa haha-hihi, ternyata memandang serius persoalan ini”
Hoa In-liong tertawa lebar.
“Siapa suruh empek Ho mengucapkan kata-kata yang tak teratur dan bertolak belakang dengan kenyataan?”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa terbabak-bahak ka tanya lagi, “Empek Ho aku tidak bermaksud memaksa dirimu, bila kau tak sanggup bawa saja orang orangmu tinggalkan tempat ini, gwakong sama biar aku yang atasi….” “Liong sauya, bukankah perkataanmu itu sama artinya dengan memaki diriku habis-habisan?” keluh Ho Kee sian sambil tertawa getir.
Tapi Hoa In-liong pura-pura tidak merasa, katanya lebih lanjut.
“Atau jika kau tak ingin langsung pulang, boleh saja berbepesiar dulu ketempat tempat yang indah, bila dari kota Si ciu menuju ke utara, kau bisa berkunjung ke bukit Thay san, atau bila keselatan akan sampai dibukit Kiu hoa san dan Hong san, atau juga langsung ke samudra luas dengan berpesiar di pulau Bu Tosan, waah….pasti suatu darmawisata yang asyik sekali”
Jangan dilihat ucapan tersebut diutarakan begitu enteng dan sekenanya, padahal Ho Kee sian di bikin menangis tak bisa tertawapun sungkan, sesudah termenung sesaat tiba-tiba ia menengadah dan tertawa nyaring.
“Haaahhh….haahhh….haaahh…. baik, baiklah, kalau toh Liong sauya telah berkata begini, apa yang perlu disayangkan lagi atas sisa bidup aku orang she Ho? Akan kusumbangkan selembar jiwaku ini untuk memerangi kaum sesat didunia, anggap saja sebagai suatu penebus atas dosa-dosa kami orang Sin ki pang dimasa lalu”
“Terima kasih banyak atas kesediaan empek Ho” Hoa In- liong tertawa nyaring, “padahal siapa sih yang tidak mengharapkan nama dan pahala? Siapa tahu kalau dikemudian hari nama itu akan kudapatkan tanpa sengaja? Kalau tanpa saatnya, tentu saja mau ditampikkan juga tak bisa”
Ho Kee sian hanya tertawa getir belaka. Melihat itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Meskipun ia berbicara dengan gagah dan terbuka, sudah pasti hatitya gundah sekali, aku harus menghiburnya dengan beberapa patah kata….”
Baru saja ia hendak menghiburnya dengan beberapa patah kata, tiba-tiba muncul seorang pelayan yang memimpin belasan orang imam berusia setengah umur, rata-rata mereka menggembol pedang dipunggungnya, dan orang yang berada dipaling depan tak lain adalah Bu jian Toojin yang dulunya bergelar Cing lian.
Betapa girangnya Hoa In-liong menyaksikan kehadiran imam tersebut, segera teriaknya dengan lantang, “Hei, Bu jian toojin! Rupanya kau juga datang?”
Berjumpa dengan pemuda itu, cepat-cepat Bu jian Toojin memburu ke depan, katanya sambil memberi hormat, “Oleh karena pinto mendengar bahwa Hoa kongcu hendak melakukan pertarungan terbuka dikota Si ciu, buru-buru kami datang membantu”
Hoa In-liong tertawa lebar, ia memandang sekejap ketiga belas orang imam dibelakangnya, lalu berkata, “Toatiang sekalian….”
“Mereka semua adalah suheng pinto” cepar Bu jian Tootiang menerangkan, “Cuma lantaran sudah terlalu lama hidup mengasingkan diri, mereka kurang begitu gemar bersuara, harap Hoa kongcu bersedia memaafkan”
Sementara itu ketiga belas orang imam tadi sudah memberi hormat kepada Hoa In-liong, cepat-cepat anak muda itu balas memberi hormat. “Bila ditinjau dari sikap dingin dan ketus mereka, rupanya Bu-jian toojin sudah mereka sepakati sebagai juru bicaranya” dia berpikir.
Dalam pada itu, Bu jian toojin telah memberi hormat kepada Ho-Kee sian sambil menyapa, “Ho Lo si cu, terimalah hormat dari siau to (imam yang rendah)!”
Dengan tercengang Ho Kee sian berseru, “Siapakah engkau imam cilik? Kenapa aku tidak kenal denganmu?”
Hoa In-liong merasa kurang begitu senang atas sikap Ho Kee sian yang sok berlagak tua itu, pikirnya, “Orang lain tak mungkin akan melayani sikapmu itu….”
Perlu diterangkan disini, sikap Ho Kee sian terhadap Hoa In-liong boleh dibilang sangat istimewa, ia mau mengalah dan dimana mana berusaha merendahkan diri, tapi berbeda sekali sikapnya dengan orang lain, sebagai seorang jago yang tinggi hati, tak sudi ia tunjukkan kelemahannya dihadapan orang.
Ternyata Bu jian Toojin tidak merasa tersinggung, malah ujarnya, “Masih ingatkah Ho lo sicu dengan Cing lian?”
00000O00000
38
MENDENGAR nama tersebut, Ho Kee sian segera tertawa terbahak-babak.
“Haaahh….haaah….haaahh….rupanya engkau, hei, kemana larinya tua bangka hidung kerbaumu itu? Kenapa sudah banyak tahun tak kelihatan batang hidungnya lagi?” Hawa kegusaran seketika menyelimuti wajah belasan orang imam tersebut, bibir mereka bergetar seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya diurungkan. Melihat itu, Hoa In-liong kembali berpikir, “Anak murid Thian Ik cu menang cukup tangguh dan tak boleh dianggap main- main”
Bu jian toojin sendiri masih tenang seperti sedia kala, ujarnya dengan lembut, “Suhu mengasingkan diri disuatu tempat yang terpencil, beliau telah menitahkan kepada murid- muridnya agar jangan membocorkan tempat pengasingannya, sebab itu maafkanlah siau te bila harus membungkam”
“Anak muridnya saja sehebat itu, aku pikir Thian ki lo to pasti jauh lebih tangguh daripada keadaan tempo dulu”
Ia menyapu sekejap kawanan imam tersebut lalu ujarnya lagi, “Apakah kedatangan kalian untuk membantu Liong sauya kami?”
Gepat cepat Hoa In-liong menimbrung dari samping, “Kedatangan tootiang sekalian tentu ingin melenyapkan kaum iblis dari Mo kau, aku bersedia membantu usaha kalian”
“Kedatangan pinto adalah untuk menerima perintah, lain tidak!” ujar Bu jian Tootiang dengan wajah bersunguh snngguh.
Kontan saja Ho Kee sian menengadah sambil tertawa terbahak bahak.
“Haaahhh….haaahhh…. haaahhh…. itu baru bagus namanya! Apalagi dalam pencarian harta di bukit Kiu ci san tempo dulu, baik Thong-thian-kauw maupun Hong im hwe sudah menerima banyak kebaikan dari Ji-kohya, tapi sewaktu pergi mengucapkan terima kasihpun tidak, tentu saja memang sewajarnya kalau sekarang menjual nyawa buat Liong saunya”
Apa yang dipikirkan, dikatakan semuanya demi kepentingan Hoa sauyanya, otomatis perkataannya juga penuju untuk kepentingan Hoa In-liong seorang, ini membuat si anak muda itu gelengkan kepalanya berulang kali.
“Apakah gurumu tiada bermaksud untuk turun gunung?” tanyanya kemudian sambil tersenyum.
Bu jian toojin tertawa getir.
“Kecuali pinto gugur dalam pertempuran, kemungkinan besar guruku eoggan untuk turun gunung lagi”
Melihat itu Hoa In-liong kembali berpikir, “Tampaknya ia berniat mengorbankan jiwanya untuk memancing kembali kemunculan gurunya, hal ini harus kujaga dan kuhindari….”
Sambil tersenyum ia berkata, Tahukah tootiang, bila akupun mati dalam medan pertempuran, bagaimanapun jua ayahku pasti akan muncul kembali dalam dunia persilatan”
Mula-mula Bu jian Too tiang agak tertegun, kemudian katanya sambil tertawa, “Ji kongcu adalah tubuh emas yang amat tinggi nilainya, mana boleh disamakan dengan pinto?”
“Aaah…. siapa bilang kalau manusia itu mempunyai tingkatan? Apakah tootiang tidak merasa bahwa perkataanmu keliru besar?” kata anak muda itu dengan dahi berkerut.
Bu jin toojin menggetarkan bibirnya seperti mau membantah, tapi Hoa In-liong sebera menggoyangkan tangannya berulang kali. “Jangan berbicara dulu tootiang” katanya, “apakah aku boleh bertanya, menurut anggapan tootiang, keluarga Hoa kami adalah manusia macam apa….?”