Jilid 30
SEKALIPUN suaranya amat lirih, tapi dengan tenaga dalam Bwee Su-yok yang begitu sempurna, tentu saja bisikan tersebut tak dapat mengelabuhi dirinya.
“Tidak tahu aturan!” segera makinya dengan muka kaku, “pingin digebuk?”
Sambil menjulurkan lidahnya cepat-cepat Siau kian membungkam.
Hoa In-liong tertawa, katanya pula, “Dayangmu cerdik dan menyenangkan, bicara secara blak-blakan semacam itu justru mencerminkan keakraban hubungan diantara kita, menganggap semua orang sebagai anggota keluarga sendiri adalah kejadian yang sangat baik, kenapa musti kau marahi?”
“Benarkah ucapanmu itu muncul dari hati yang jujur?” tiba- tiba Bwee Su-yok mendesis dingin.
Anak muda itu segera berpikir, “Waah, jangan-jangan ucapanku itu kembali sudah menimbulkan kegusaran hatinya?”
Dengan senyuman yang tidak berubah, ia menyahut, “Memangnya kau anggap aku cuma berpura-pura?” Bwe Su-yok segera mengawasi raut wajahnya dengan serius, ia temui pemuda itu tetap tenang dan sama sekali tak nampak kepura-puraannya, ini membuat dara tersebut menghela napas.
“Ai, sayang aku merupakan ahli waris suhu” demikian pikirnya, “itu berarti sepanjang hidup aku tak bisa melumerkan sikap permusuhanku dengan keluarga Hoa, aa…. aku…. yaa sudahlah!”
Begitu sudah mengambil keputusan, diapun tertawa dan berkata, “Kalau toh engkau sudah berkata demikian, jikalau dayang-dayang itu sampai kurangajar, jangan kau salahkan diriku yang kurang ketat mendidik mereka….”
Ternyata kali ini dara tersebut menyebut dirinya dengan sebutan aku dalam tingkat kedudukan yang sederajat dengan Hoa In-liong dan tidak memakai kata aku dalam tingkatannya sebagai seorang kaucu, tentang hal ini Hoa In-liong dapat mamahaminya.
Tadi kembali pemuda itu dibuat terkesima oleh senyum manis Bwe Su-yok yang memikat hati, kecuali menatap gadis itu dengan pandangan tertegun dia tak tahu apa yang musti dilakukan.
Apalagi dihari-hari biasa, Bwee Su-yok memang tersohor karena dingin dan ketusnya, maka senyuman tersebut ibaratnya gunung salju yang tiba-tiba meleleh, membuat udara jadi hangat dan bunga pun bersemi kembali, sungguh bertolak belakang jika dibandingkan dengan senyuman dinginnya yang mencekat hati.
Sebetulnya Bwee Su-yok memang seorang gadis yang cantik jelita, kecuali Coa Wi-wi, rasanya didunia ini sukar untuk menjumpai gadis secantik dia, ditambah lagi dihari-hari biasa gadis itu jarang tertawa dan selalu bersikap dingin dan ketus, maka senyuman cerah yang menghiasi wajah nya sekarang boleh dibilang suatu kejadian yang langka.
Tak heran kalau sepasang mata Hoa In-liong melotot dengan terbelalalak, seakan akan dia kuatir kalau rejeki itu akan segera lenyap sebelum dinikmatinya, ini membuat cawan arak yang sudah hampir menempel di bibirpun tiba-tiba terhenti ditengah jalan.
Bwe Su-yok sama sekali tak bergerak, seolah-olah memang memberi kesempatan bagi anak muda itu untuk mengamatinya sampai puas, kemudian ujarnya dengan lembut, “Seandainya dalam kaadaan demikian kulancarkan sebuah serangan maut, aku rasa kau pasti akan mampus dan menjidi setan yang kebingungan!”
Hoa In-liong meneguk habis isi cawannya, lalu tertawa. “Tahukah kau, bahwa dihari-hari biasa bagaimana
pandanganku mengenai kematian? Itulah merupakan ciri khas
dari tabiat aku Hoa Yang”
“Eeeh…. bicara baik-baik, kenapa menyinggung lagi soal- soal yang tak menyenangkan hati?” tegur Bwee Su-yok dengan alis berkenyit.
Mendengar itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Beberapa hari yang lalu engkau masih berniat mengambil nyawaku, tapi sekarang malah berkata demikian, sungguh bikin orang merasa tidak habis mengerti”
Maka sambil tersenyum, ia cuma membungkam dalam seribu bahasa. Menyaksikan anak muda itu hanya membungkam, Bwe Su- yok berpikir sebentar lalu ujarnya lagi, “Aaai…. kalian bangsa laki laki sejati, kaum orang-orang gagah, yang diutamakan adalah jiwa yang tinggi dan semangat berkorban yang menyala-nyala, mati dalam pertempuran tentunya merupa kan harapanmu bukan?”
Hoa In-liong tersenyum, “Tidak, gagahnya sih memang gagah kalau gugur dalam pertempuran, namun itu bukan apa yang kuharapkan”
“Kalau begitu, tentunya kau berharap bisa mati dengan tenang diatas pembaringan?” Bwe Su-yok kembali tertawa.
“Ah, tidak! Itu mah terlalu biasa dan umum!” kata anak muda itu sambil menggeleng.
“Ini bukan, itu juga bukan, aku jadi ogah untuk menebak lebih lanjut!” seru Bwe Su-yok sambil cemberut.
Hoa In-liong tertawa tergelak.
Padahal Bwe Su-yok sudah tahu kalau pemuda itu bermaksud bahwa mati ditangannya adalah kematian yang paling diharapkan, cuma ia pura-pura berlagak pilon, seakan- akan tidak mengerti soal itu.
Demikianlah perjamuan dilanjutkan diiringi gelak tertawa serta pembicaraan pembicaraan yang santai, dipandang dari luar ruangan yang laki-laki adalah pemuda yang tampan yang perempuan adalah gadis cantik, pada hakekatnya mereka lebih mirip sepasang kekasih daripada musuh besar yang siapa melangsungkan duel maut.
Kejadian seperti ini lebih-lebih mencengangkan ketiga orang dayang dari Bwe Su-yok, pikir mereka hampir berbareng, “Dihari-hari bisa nona selalu bersikap dingin dan kaku terhadap siapapun juga, ia sebetulnya Hoa In-liong adalah seorang sahabatkah? Yaa, benar! Tampaknya dia adalah sahabat karib nona!”
Minum arak wangi didamping gadis secantik bidadari Hoa In-liong, yaa mabok yaa terpersona hampir saja ia melupakan Coa Wi-wi yang datang bersama dengannya tapi entah bersembunyi dimana
“Oya, adik Wi?” demikian pikirnya kemudian, “ia sembunyi dimana sekarang? Wah, kalau adegan semacam ini sampai terlihat olehnya, udah pasti dia akan tak senang hati!”
Tanpa terasa ia berpaling dan memandang keluar ruangan, tampak malam hari sudah menjelang tiba, kegelapan menyelimuti seluruh angkasa, hanya lentera keraton yang mentereng menyinari ruang tersebut, dalam suasana begini, mungkin sulit bagi mereka untuk menemukan tempat persembunyian Coa Wi-wi yang bersembunyi diluar justru dapat menyaksikan semua adegan tersebut dengan terang.
Melibat pemuda itu celingukan kesana kemari, Bwee Su-yok meletakkan kembali cawannya kemeja lalu tegurnya, “Persoalan apa yang membuat engkau gelisah dan gugup tak karuan?”
“Oh, ada seorang cianpwe berjanji dengan aku untuk bersua tengah malam nanti, tempatnya di kota Kim leng, tapi sekarang masih terlalu pagi, lebih baik kita minum arak dulu!” kata Hoa In-liong berbohong.
“Oooh….”Bwe Su-yok tidak mendesak lebih jauh…. aku dengar ibumu adalah seorang perempuan yang tercantik dalam dunia persilatan….” Tiba-tiba ucapannya berhenti ditengah jalan.
Dengan wajah tertegun Hoa In-liong menengok kearahnya, ia melihat gadis itu sangat sedikit minum arak, sejak perjamuan diselenggarakan sampai kinipun dia baru minum dua-tiga cawan sekalipun tenaga dalamnya sempurna tapi mukanya toh bersemu merah juga, tapi hal ini justru menambah kecantikannya.
Diam-diam Hoa In-liong menggela napas panjang, pikirnya, “Sekarang hubungan kami begini intim tapi sebentar lagi mungkin akan bentrok dan bertarung, ai! Apakah hal ini tidak….”
Karena kesal, sekali teguk dia menghabiskan isi cawannya. Buru-buru Siau kian penuh lagi isi cawannya itu, Hoa In-
liong mengangkat cawan kemudian berkata, “Ibu sering berkata, bagi seorang perempuan yang penting adalah budi yang luhur, soal kecantikan tak lebih cuma urusan sampingan tak boleh hal ini terlalu dipersoalkan!”
Bwee Su-yok tertawa ringan.
“Watak ibumu yang begitu tulus dalam cinta, begitu tulus dalam memegang kebenaran sendiri, sudah lama kukagumi!”
Padahal sekalipun tabiat Pek Hujin lembut dan halus pada saat ini, sebelum berkenalan dengan Hoa Thian-hong, dia juga terkenal karena bengis, binal dan sukar diatur, sejak mencintai Hoa Thian-hong lah yang watak itu pelan-pelan berangsur membaik.
Dalam hal ini Hoa In-liong kurang begitu mengetahui, tapi Bwee Su-yok mengetahuinya dengan jelas, meski demikian, dalam keadaan seperti ini tentu saja dia tak akan membantah perkataan dari Hoa In-liong itu.
Maka setelah berhenti sebentar, kembali ujarnya, “Berbicara soal keluhuran budi, adik dari keluarga Coa yang mendampingi dirimu selama ini kan beratus kali lebih baik daripada aku, berbicara soal kecantikan pun dia menang daripada aku!”
Lantaran Siau bi dan Siau kian sudah ikut menimbrung, dan tinggal Siau ping seorang yang membungkam, ia merasa tak bisa tutup mulut terus, tiba-tiba selanya, “Nona adalah gadis yang paling cantik didunia ini, dayang dari keluarga manakah yang bisa menandinginya?”
Pada dasarnya Hoa In-liong memang suka dengan beberapa orang dayang yang lincah dan pintar itu maka dilihatnya Bwe Su-yok bermaksud mengumbar bawa amarahnya, dengan cepa t ia menimbrung, “Eeeh….bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kita semua adalah orang sendiri? Jangan ditegur….”
“Aaai….!” Bwe Su-yok menghela napas, sejak kecil aku sudah hidup menyendiri tiada kawan bercakp, tiada rekan berbicara, hanya beberapa orang dayang itulah yang selalu menemani aku, hingga akhirnya terdidiklah keadaan yang tak tahu aturan seperti sekarang inin aku harap janganlah kau tertawakan keadaanku ini”
Dari perkataan tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa detik itu dia hanya mengganggap Hoa In-liong sebagai sahabat karibnya, sebab kalau tidak, pun wataknya yang angkuh tak mungkin ia bersedia mengucapkan kata-kata seperti itu.
Melihat itu Hoa In lioag lantas berpikir. “Dia menemani aku dengan perasaan hati yang tulus, sebaliknya aku masih berjaga-jaga tiga bagian, ai, kalau dipikirkan kembali, sikapku ini sungguh memalukan….”
Sebenarnya ia hendak menghibur dengan beberapa patah kata, tapi Bwee Su-yok sudah keburu berkata, “Kau tak usah menghibur diriku, sebab sekalipun kau hibur belum tentu kuturuti, dan akupun belum tentu akan menerimanya dengan senang hati!”
Habis berkata ia menghela napas panjang, mukanya tampak amat sedih.
Hoa In-liong tahu, dihibur pun tak ada gunanya maka setelah berpikir sebentar sambil angkat cawan dia berkata sambil tertawa, “Bunga sakura yang tumbuh di lembah justru menyiarkan bau yang harum semerbak, siapa orang yang tak suka dan menyenanginya?”
Beberapa patah kata itu memasuk hingga kesanubari Bwee Su-yok, membuat gadis itu kegirangan, sambil tersenyum segera pujinya, “Engkau memang pandia sekali berbicara!”
Hoa In-liong tertawa.
“Tidak kau maki lagi diriku ini sebagai orang yang pintar mencari muka, memuakkan dan menjemukan?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tengah malam pun sudah lewat.
Hoa-In-lioig yang teringat kembali janjinya dengan Goan cing-taysu, tanpa merasa melongok ke luar ruangan, sebenarnya dia ingin mohon diri, tapi merasa juga bahwa keadaan seperti ini sukar di jumpai lagi dalam kesempatan lain, maka ia jadi sangsi.
Melihat itu, Bwee Su-yok tertunduk dengan wajah sedih. “Aaaai….Sebentar kau akan pergi, bila kita bersua lagi
dikemudian hari, suatu pertarungan sudah pasti tak akan
dihindari lagi!”
Pada dasarnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang romantis, dia ikut merasa sedih juga setelah mendengar perkataan itu, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak separah katapun yang sanggup diutarakan keluar.
Bwe Su-yok berkata lebih jauh, “Waktu itu kau tak usah berbelas kasihan kepadaku dan akupun tak akan melepaskan setiap ke sempatan yang ada untuk membinasakan dirimu, sampai waktunya aku harap kau jangan menyalahkan diriku yang tidak berbelas kasihan lagi”
“Nona!” Siau peng segera menyesal, berbicara baik-baik kenapa kau singgung lagi soal bunuh membunuh yang tak sedap didengar?”
“Yaa….” pikir Hoa In-liong, kalau aku disuruh bersikap kejam kepadanya jelas hal ini tak mampu kulakukan”
Dia bangkit berdiri lalu menjura, katanya, “Aku….”
Ia merasa tak ada perkataan lain yang bisa diutarakan, maka sesudah berhenti sebentar lanjutnya.
“Semoga dalam perjumpaan kita dikemudian hari akan sama seperti malam ini….” “Kau jangan bermimpi disiang hari bolong!” tukas Bwe Su- yok dengan wajah berubah.
Ujung bajunya segera dikebaskan dan bangkit berdiri lalu tan pa berbicara sepatah katapun sambil membawa tongkat kepala setanya, ia putar badan dan menuju ke ruang belakang.
Dalam detik yang amat singkat itulah, Hoa In-liong sempat menyaksikan matanya yang jeli itu berkaca-kaca, dia tahu wataknya yang angkuh menyebabkan gadis itu enggan membiarkan orang lain mengetahuhi kepedihan hatinya, maka ia mengambil keputusan untuk berlalu dari situ.
Padahal, meskipun dia yakin kalau memahami perasaan gadis itu, namun perasaan seorang perempuan lebih dalam dari dasar samudra, toh ia tak berhasil juga untuk mengikuti perubahan hati dari Bwe Su-yok, apalagi sebentar bersikap bersahabat, sebentar lagi bersikap permusuhan, ini membuat pikirannya jadi pusing tujuh keliling.
“Nona!” tiba-tiba Siau bi berteriak, lalu mengejar dari belakangnya.
Dengan mendongkol Siau peng juga meletakan poci araknya keras-keras keatas meja, lalu mendengus.
“Hmm….! Percuma kami layani dirimu selama hampir setengah harian lebih, akhirnya kau juga bikin nona kami jadi marah-marah”
Selesai menggerutu, dia ikut berlalu dari ruangan itu.
Sementara Hoa In-liong tertawa getir, Siau kian yang ada dibelakangnya telah berkata, “Hoa Kongcu, asal kau tetap tinggal di ruangan ini sampai bertemu lagi dengan nona kami, berarti pula tidak sampai perjumpaan dilain waktu, dengan demikian toh kalian juga tak usah saling bermusuhan lagi….?”
“Nona cilik ini lucu amat” pikir Hoa In-liong “meski polos dan lucu, tapi ia memang berniat baik!”
Maka sambii memutar badan ujarnya, “Aku masih ada urusan penting yang musti diselesaikan dahulu, aku tak bisa sepanjang masa tetap bercokol terus disini!”
“Tapi kau toh bisa kembali lagi ke sini seusainya menyelesaikan urusan-urusanmu itu?” seru Siau kian sambil mencibirkan bibirnya.
Hoa In-liong tertawa geli, dibelainya rambut dayang itu dengan halus, kemudian dengan langkah lebar berlalu dari ruangan itu.
Siau kian tertegun, dia seperti mau memburu anak muda itu, tapi niat tersebut kemudian dibatalkan kembali dan diapun berjalan menuju ke ruang belakang menyusul rekan-rekan lainnya.
Sementara itu Hoa In-liong telah berjalan ke luar dari ruang tengah, sepanjang jalan meski dia bertemu kawan jago dari Kiu-im-kauw anehnya ternyata mereka tidak menghalangi jalan perginya ini menyebabkan hatinya tercengang.
“Aaaah….! Masa kau bisa lolos dengan selamat dari perkampungan ini tanpa hadangan?” demikian pikirnya.
Dengan kewaspadaan yang tinggi, ia ambil kipasnya dan berjalan keluar halaman dengan langkah lebar, demikian santainya pemuda itu berlalu lalang seolah-olah sedang berjalan dirumah sendiri saja. Ketika hampir tiba dipintu gerbang, tampaklah Huan Tong kurus jangkung dan Le Kiu it yang botak dengan memimpin belasan jago Kiu-im-kauw sedang berjalan-jalan di sebelah samping pintu, tanpa terasa ia lantas mengguman.
“Hmm…. kalau dilihat dari sikap mereka, tampaknya pertarungan tak bisa kuhindari lagi pada malam ini….”
Sekalipun ia tak takut menghadapi pertarungan tersebut tapi cukup membuat hatinya risau terutama sampaii sekarang Coa Wi-wi belum kelihatan juga batang hidungnya, ini membuat anak muda itu makin tercengang.
Dalam waktu singkat dia sudah tiba kurang lebih tiga kaki dihadapan Le Kiu it sekalian.
Terdengar Le Kiu it berkata, “Hoa Yang, seandainya kaucu kami tidak menurunkan perintah untuk melepaskan dirimu pergi karena kuatir ditertawakan orang karena menganiaya musuh dirumah sendiri. Heeehhh…. heeehh…. heeehhh….malam ini juga pun tiamcu pasti akan bikin kamu bisa datang tak bisa pergi dengan selamat!”
Hoa In-liong tidak lantas emosi, dia berpikir. “Meskipun Bwee Su-yok beralasan, tapi sudah pasti ia
berniat untuk melindungi aku dari ancaman anak buahnya.
Padahal orang Kiu-im-kauw terkenal kritis pikirannya dan cerdik, masa mereka tak bisa menduga sampai ke situ? Kendatipun aku tidak mengharapkan hal ini, tapi maksud baiknya itu perlu kusimpan dihati!”
Entah haruskah merasa terkejut atau gembira untuk sesaat dia malah berdiri tertegun. Terdengar Huan Tong berseru kembali dengan nada mengejek, “Bocah keparat, setelah dikasi peluang untuk hidup, kenapa tidak cepat-cepat enyah dari hadapan kami?”
Meskipun Hoa In-liong tahu bahwa mereka berniat jahat, tapi lantaran ada perintah dari Bwe Su-yok maka diusahakan untuk memanasi dulu hatinya agar kalau sampai terjadi pertarungan nanti tanggung jawabnya bisa dilimpahkan kepundak pemuda itu.
Hoa In-liong bukan orang bodoh, sudah barang tentu ia memahami pula isi hati musuhnya, maka dengan rasa mangkel bercampur marah ejeknya dengan sinis, “Kalau mau berkelai hayo cepat turun tangan buat apa musti banyak cincong?”
Kipasnya dimasukan ke dalam saku, kemudian dengan langkah lebar maju kemuka.
Le Kiu it juga mendongkol ketika melihat sikap angkuh dan sinis darilawannya sambil mendengus dingin telapak tangan kanannya segera diayun ke muka siapa melancarkan serangan, tapi niat itu segera ditahan kembali.
“Bajingan cilik dari keluarga Hoa!” demikian teriaknya, boleh saja kalau ingin berkelahi, tapi kaulah yang musti memikul tanggung jawabnya….!”
“Aaaah…. cerewet betul kamu ini!” bentak Hoa In-liong.
Telapak tangannya tanpa sungkan-sungkan langsung dihantamkan ke arah dada Huan Tong
Sebagai pemuda yang cerdik, dari lirikan mata Huan Tong yang lciik segera diketahui bahwa musuhnya berniat melancarkan sergapan, maka dia memutuskan untuk turun tangan lebih dahulu. Huan Tong dibikin kaget bercampur marah oleh sikap anak muda itu, sambil menyeringai teriaknya, “Bajingan keparat, bagus sekali perbuatanmu!”
Menggunakan jurus Tui san tiam hay (mendorong bukit menguruk samudra) disambutnya serangan itu dengan keras lawan keras.
Jelas dia bermaksud mengadalkan tenaga dalamnya yang mencapai enam puluh tahun hasil latihan itu untuk menghajar musuhnya sampai babak belur, sebab menurut perkiraannya, Hoa In-liong pasti akan sanggup menerima serangan sehebat itu.
Maka ketika dilihatnya Hoi In liong sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit, malahan disongsongnya telapak tangannya dengan keras lawan keras, tak terkiraan rasa senang dalam hatinya.
Siapa tahu dikala sepasang telapak tangan saling beradu, ia segera merasakan tenaga pukulan musuh menekan lalu menghimpit, setelah itu segera kearah lain secara mengherannkan hampir saja tubuhnya ikut terhisap ke samping.
Untunglah tenaga dalamnya cukup sempurna hawa murninya segera ditekan kebawah untuk memperkokoh pertahanannya, dengan susah payah berhasil juga dia untuk melepaskan diri dari pengaruh hisapan itu.
“Bajingan kau cukup hebat!” teriak tak terasa. “Aaah…. kamu ini sok heran!” Menggunakan kesempatan itu sebuah pukulan dengan jurus Kua siu-ci tau (perlawanan akhir dari bintang buas yang terjebak) dilancarkan kedepan serangan itu tajam bagaikan bacokan kampak yang membelah bukit, ibaratnya pula gulungan ombak yang menghantam batu karang ditepi pantai, memaksa Huan Tong mau tak mau musti mundur beberapa langkah untuk mempertahankan diri.
Dalam keadaan begini, kecuali dia hanya bisa mematahkan serangan demi serangan yang tertuju ke arahnya, boleh dibilang sejurus serangan balasan pun tak mampu dilancarkan,
Le Kiu it yang turut menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi kalangan segera berpikir, “Sepintas lalu tampaknya usia bocah itu baru tujuh delapan belas tahunan, tapi tenaga dalamnya sudah sesempurna ini, kalau tidak kugunakan kesempatan pada malam ini untuk menyingkirnya, dilain waktu sudah pasti dia akan merusak bibit bencana yang besar untuk kita semua!”
Terbayang kembali sikap mesra Bwee Su-yok berhadap Hoa In-liong, hawa napsu membunuhnya semakin berkobar, dia merasa berkewajiban untuk membunuh anak muda itu hingga memutuskan niat Bwee Su-yok yang lebih jauh, hingga dengan demikian Kiu-im-kauw jangan sampai hancur ditangan anak muda tersebut.
Baru saja dia siap sedia untuk turun tangan, tiba-tiba Hoa In-liong sudah berteriak, “Le tiamcu, jika kau punya kegembiraan untuk ikut serta, apa salahnya kalau segera menerjunkan diri ke dalam arena?”
Sekalipun Le Kiu it itu licik dan banyak tipu muslihatnya, tapi setelah rahasia hatinya disinggung anak muda itu, tak urung sangsi juga jago tua itu dibuatnya. Sungguh hebat pertarungan yang sedang berlangsung ditengah gelanggang, angin pukulan menderu-deru, membuat kawanan jogo Kiu-im-kauw yang berada disekeliling tempat itu sama-sama membubarkan diri.
Huan Tong sendiri didesak pula hingga mundur delapan sembilan langkah, sekarang ia sudah terdesak keluar dari pintu gerbang.
Pantangan paling besar bagi jago-jago yang sedang bertarung adalah pikiran yang bercabang, begitu Hoa In-liong buka suara, Huan Tong segera menunggangi kesempatan itu sebaik-baiknya.
Ilmu langkah Loan ngo heng mi tiong tua hoat yang dimilikinya memang tersohor karena hebatnya, beruntun ia maju tiga langkah, tahu tahu tubuhnya sudah lolos dari jangkauan angin pukulan Hoa In-liong, kemudian setelah mendengus, dia balas menerkam ke muka dan secara beruntun melancarkan delapan buah pukulan berantai.
Sekolah batu karang Hoa In-liong tegap ditempat semula, tangan kirinya menyerang, tangan kanan nya menangkis, tanpa mundur barang satu langkah pun dia melepaskan sebuah pukulan dengan jurus Pian tong put ki (berubah tidak menetap).
Jurus itu tangguhnya bukan kepalang, dalam kagetnya cepat Huan Tong menghindar dengan menggunakan ilmu langkah Loan ngo heng mi tiong tun hoat, nyaris tubuhnya termakan serangan.
Hoa In-liong sama sekali tidak mengejar lebih jauh, sambil terbahak-bahak katanya, “Aaah….rupanya tongcu bagian propaganda dari Kiu-im-kauw cuma begitu begitu saja, maaf, Hoa loji tak bisa menemani lebih jauh!”
Sekali berkelebat tahu-tahu ia sudah berada ratusan kaki dari tempat kedudukan semula.
Sejak pertarungan berlangsung, dua orang itu selalu menggeserkan badan hingga akhirnya mereka berdua sama- sama berada diluar parkampungan maka tindakan Hoa ln-liong yang mengundurkan diri setelah berhasil meraih kedudukan diatas angin ini sama sekali diluar dugaan siapapun, bahkan Lei Ku it sendiripun tak sempat untuk menghalangi kepergiannya.
Kegusaran Huan Tong sungguh sukar dikedalikan, sambil mengejar dari belakang teriaknya setengah meraung, “Bajingan cilik dari keluarga Hoa kalau punya nyali hayo jangan lari!”
“Huan tongcu!” tiba-tiba serentetan suara teguran yang merdu bagaikan suara keleningan berkumandang memecahkan kesunyian.
Huan Tong terkesiap dan cepat menahan tubuhnya, ketika berpaling maka dilihatnya Bwee Su-yok dengan wajah marah dan memegang tongkat berkepala setengahnya berdiri tegap di depan pintu gerbang.
Dari sikap yang begitu angker, Huan Tong segera merasa bahwa keadaan kurang begitu menguntungkan, cepat dia memberi hormat seraya menyabut, “Hamba disini!”
Diatas raut wajahnya yang cantik bak bidadari tiba-tiba dilapisan sikap yang lebih dingin dari es, kata perempuan she- Bwe itu, “Huan tongcu, meskipun kaucu sudah melimpahkan kekuasaannya kepadaku, aku mengerti bahwa usiaku masih muda dan pengetahuanku masih cetak, ditambah lagi tenaga dalamku lemah, jauh bila di bandingkan dengan kalian semua….”
Tiba-tika ia sengaja berhenti berbicara, dengan sorot mata setajam sambil ditatapnya wajah Huan Tong tanpa berkedip,
Peluh dingin mengucur keluar membasahi sekujur tubuhnya cepat-cepat Huan Tong membungkukkan badannya memberi hormat.
“Hamba tahu dosa, harap kaucu melimpahkan hukuman yang setimpal kepadaku!”
Le Ku it yang melihat keadaan tersebut segera berpikir juga, “Kalau aku menasehatinya secara terus terang, bukan amarahnya yang bisa kupadamkan malah justru ibaratnya minyak bertemu api, kemarahannya pasti makin menjadi ah, mengapa tidak begini saja….”
Sebuah akal yang terasa tetap melintas dalam benaknya, cepat ia memberi hormat kepada Bwee Su-yok seraya berkata, “Kaucu baru saja menempati kursi pemimpin dengan hamba dan Huan Tongcu telah berani melanggar perintah, yaa, kalau tidak dijatuhi hukuman yang setimpal memang kewibawaan tak dapat di tegakkan.”
Begitu ucapan tersebut diutarakan paras muka Bwe Su-yok malahan berubah lebih lembut katanya lagi, “Aku tahu bahwa Le Tiamcu dan Hoan tongcu berbuat demikian demi kepentingan perkumpulan kami….”
Ditatapnya sekejap wajah kedua orang tajam-tajam, ketika melihat mereka berdua tertunduk ketakutan, ia merenung sebentar kemudian berkata lagi, “Tapi kalian tak usah kuatir, aku bukan seorang manusia yang melupakan budi, kalian tak usah membayangkan yang tidak-tidak atas diriku!”
“Perkataan kaucu terlalu berlebihan!” cepat-cepat Le Kiu it dan Huan Tong berseru ketakutan.
“Baiklah, dosa atas pelanggaran perintah ini sementara waktu kukesampingkan lebih dahulu, kalian boleh menebusnya dengan membuat pahala dikemudian hari”
Selesai berkata, sambil mengebaskan ujung bajunya dia masuk kembali kedalam perkampungan.
Le Kiu-it dan Huan Tong cuma bisa saling berpandangan sambil tersenyum getir akhirnya mereka ke dalam perkampungan.
Dalam pada itu, Hoa In-liong telah bergeran menuju ke selatan sepeninggalnya dari perkampungan itu, sementara ia masih berlari dengan cepatnya, tiba-tiba terdengar suara teguran dari Coa Wi-wi berkumandang dari sisi telinganya, “Jiko!”
Baru saja Hoa In-liong terhenti, hembusan angin harum sudah lewat disisinya dan tahu-tahu Coa Wi-wi sudah muncul disana.
“Waktu sudah tidak pagi” bisik gadis itu cepat, kemungkinan besar janji kita dengan kongkong bakal terlambat, mari sambil berjalan kita sambil berbicara!”
“Benar juga perkataan adik Wi!”
Dengan kecepatan seperti terbang mereka lanjutkan kembali perjalanannya menuju ke selatan. Meskipun ia belum lama berada di kota Kim-leng, tapi pemuda itu mengetahui dimanakah letak Yu hoa tay.
Dengan ketat Coa Wi-wi mengikutinya dari samping, sambil berlarian disisinya, ia berkata lagi, “Jiko, oleh karena kulihat kau lagi bergurau dengan gembiranya bersama Bwee Su-yok, maka tidak kukisiki dirimu dengan ilmu menyampaikan suara dimanakah aku berada?”
Dari suara tersebut, Hoa In-liong tidak menangkap kedengkian atau rasa cemburu dibalik nada pembicaraannya, gadis itu berbicara dengan tulus dan lembut, tanpa terasa anak muda itu berpikir, “Begitu tulus dan halus hati adik Wi, bagaimanapun jua, sekalipun harus mati seratus kali, aku tak boleh juga melukai hatinya….”
Berpikir sampai disitu, dia lantas bertanya, “Kau bersembunyi dimana?”
“Dalam semak belukar kurang lebih lima kaki jauhnya diluar ruangan!” jawab Coa Wi-wi.
Kemudian setelah tertawa, ujarnya lagi, “Meskipun Bwe Su- yok mengatakan kecantikan wajahnya kalah dari aku. Hmm…. padahal dalam hati kecilnya tentunya menganggap dia sendirilah gadis paling cantik di dunia ini!”
Ketika didengar dibalik perkataan itu terkandung juga nada membandingkan Hoa In-liong segera tertawa.
“Kenapa kau musti perdulikan dia?”
Coa Wi-wi membungkam sejenak, lalu katanya lagi, “Jiko, bila kalian berjumpa lagi dikemudian hari, apakah kau benar- benar juga akan memandang nya sebagai musuh besarmu?” Hoa In-liong justru sedang serius karena persoalan itu, maka ia pura-pura tertawa setelah mendengar perkatan itu.
“Aku sendiri juga tak tahu bagaimana baiknya!” “Aku rasa, dalam hal ini kau musti cepat-cepat ambil
keputusan mumpung belum kasip!”
Hoa In-liong rasa segan membicarakan persoalan itu lebih lanjut, cepat dia alihkan pembicaraan tersebut ke soal lain, katanya, “Aku mempunyai rencanaku sendiri, tak usah kau cemaskan. Coba lihat! Didepan sana adalah bukit Ki po san, hayo cepat kita mendaki keatas bukit tersebut!”
Betapa sempurnanya ilmu meringankah tubuh yang dimiliki dua orang itu, sekalipun belum digunakan sebatas maksimal, toh kecepatannya sudah ibarat hembusan angin.
Malam sudah semakin gelap, pintu kota sudah terlanjur tutup, hanya disepanjang sungai Chin-hway saja yang tampak masih sibuk dengan para pelancong, perahu dan sampan hilir mudik di sungai, suara nyanyian, bau arak menambah semarak nya suasana yang hening.
Malam itu bulan purnama, baru saja tiba di Yu hoa thay. tampaklah Goan cing taysu duduk bersila diatas puncak.
Menyaksikan betapa agung dan wibawanya padri itu, tanpa terasa Hoa In-liong jatuhkan diri berlutut diatas tanah.
“Kedatangan boanpwe terlambat setindak, harap kongkong sudi memaafkan….” katanya.
Coa Wi-wi juga memburu ke depan sambil berkata, “Kongkong!” Gadis itu langsung menubruk kedalam pelukannya.
Tenaga dalam yang dimiliki Goan cing taysu sudah mencapai tingkatan yang amat sempurna, tentu saja diapun tahu akan kehadiran dua orang tersebut, sambil membuka matanya ia berkata dengan lembut, “Liong-ji, tak usah banyak adat!”
Tiba-tiba ia tampak seperti tertegun, kembali serunya dengan suara dalam, “Hei Liong-ji, kau sudah makan apa? Mengapa wajahmu begitu cerah dan segar, jauh berbeda seperti keadaan pagi tadi?”
Diam-diam Hoa In-liong memuji akan ketajaman mata padri itu, maka dia pun lantas menurunkan semua pengalaman yang telah dialaminya siang tadi.
Sehabis mendengar penuturan tersebut, Goan cing taysu segera memegang nadinya, pejam mata dan melakukan pemeriksaan dengan seksama.
Coa Wi-wi menunggu beberapa saat, tapi ketika dilihatnya Goan-cing taysu belum juga bersuara ia lantas mendorong bahu kongkongnya seraya berseru dengan manja, “Kongkong, bagaimana keadaannya?”
Setajam sembilu sorot mata Goan ceng taysu setelah menghela napas, sahutnya, “Keadaan itu sedikit banyak rada mirip dengan tingkat paling atas dari ilmu Bu khek teng heng sim hoat, sebab aliran lurus bila bersatu dengan aliran yarg terbaik, munculah suatu penggabungan tenaga murni yang maha dahsyat!”
“Horee…. kalau memang bisa begitukan bagus sekali!” sorak Coa Wi-wi kegirangan. Tapi Goan cing taysu kembali gelengkan kepalanya
“Namun, lolap yakin bahwa gejala yang dialami Liong-ji bukan gejala dari tingkat paling atas ilmu Bu khek teng heng sim hoat aaai….!”
Bencanakah atau rejekikah, lolap tidak berani memastikan agaknya aku harus menjumpai ayahmu lebih dulu untuk membincangkan keadaan ini lebih jauh”
Sungguh kecewa Coa Wi-wi setelah mendengar perkataan itu.
Hoa In-liong juga tercengang, ia berseru, “Kongkong, jadi kau telah menjumpai ayahku?”
Goan cing taysu manggut-manggut, setelah termenung sebentar, tiba-tiba ujarnya kepada Coa-Wi-wi, “Anak Wi, berjaga-jagalah disini sambil melindungi kami, aku hendak memeriksa lagi keadaan tubuh Liong ji!”
Coa Wi-wi tahu, Goan cing taysu hendak memeriksa kesehatan Hoa In-liong dengan hawa murni nya, itulah suatu perbuatan yang sangat berbahaya, sekali bertindak kurang hati-hati niscaya dua orang itu akan mengalami keadaan jalan api menuju neraka.
Cepat cepat dia mengiakan, lalu menyingkir dua kaki ke samping dan berjaga-jaga disana.
Goan cing taysu berpaling pula kearah Hoa In-liong, kemudian berkata, “Anak Liong, duduklah bersila menghadap kesana, lalu kerahkan hawa murnimu untuk mengelilingi badan!” Hoa In-liong menyahut lalu duduk bersila dengan membelakangi padri tua itu.
Coa Wi-wi sendiri, meskipun diberi tugas untuk mengawasi keadaan disekeliling tempat itu namun serirgkali ia menyempatkan diri untuk menengok kemari.
Dia lihat Goan cing taysu duduk dibelakang pemuda itu sambil menempelkan telapak tangannya diatas jalan darah Pek hwe hiat dan Mia bun hiat dua buah jalan darah penting ditubuh manusia.
Selang sesaat kemudian, tiba-tiba mimik wajah Hoa In- liong berubah penuh kerutan, seperti lagi menahan rasa sakit yang luar biasa, peluh bercucuran bagaikan hujan deras.
Hampir saja jantung Coa Wi-wi meloncat keluar dari rongga tubuhnya, dia tahu bagi orang yang normal maka dikala menyalurkan hawa murninya, mimik wajah orang itu akan kelihatan tenang dan mantap, itu berarti gejala yang ditunjukkan pemuda itu berarti pula sebagai tanda tanda jalan api menuju neraka.
Mendadak Goan cing taysu berbisik, “Anak Liong, jangan kau lawan dengan tenaga murnimu!”
Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba Goan cing taysu menarik kembali telapak tangannya, peluh yang membasahi tubuh Hoa In-liong juga ikut mereda, lalu sepertanak nasi lagi dia menghembuskan napas panjang sambil membuka mata.
“Bagaimana rasamu sekarang, anak Liong?” tegur Goan cing taysu dengan suara dalam” Sebetulnya Hoa In-liong hendak bangkit berdiri, tapi setelah mendengar pertanyaan itu, ia tetap duduk bersila di tanah.
“Anak Liong tak mampu mengendalikan diri” sahutnya tenang.
“Hei, maukah kau jangan menakut-nakuti orang?” pinta Coa Wi-wi dengan wajah memelas,” tapi tak sampai jalan api menuju neraka bukan….”
Hoa In-liong berpaling kearahnya sambil mengangkat bahu, dia cuma tertawa getir, tidak menjawab.
Goan cing taysu juga merenung sebentar, tiba-tiba ia mengeluaskan sebuah botol porselen dari sakunya, kemudian botol itu diangsurkan ke hadapan anak muda itu.
Setelah Hoa In-liong menerima botol tadi, Goan cing taysu baru berkata lebih jauh, “Telan sebutir, kemudian duduk bersemedi sambil mengatur pernapasan….!”
Hoa In-liong tidak langsung menuruti perintah orang, matanya sempat menangkap tiga huruf kecil diatas botol yang tingginya empat inci itu, tulisan itu berbunyi:
“SIAU YAU TI”
Tentu saja dia tahu kalau isi botol adalah pil Yau ti wan yang tak ternilai harganya itu.
“Kongkong, masa obat ini bisa memunahkan racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhku?” tegurnya.
“Obat itu dibuat dengan campuran Kim jian liong tan kau (rumput ulat emas empedu naga) sejenis obat-obatan yang merupakan penawar dari pelbagai macam racun jahat. Aku pikir racun ular sakti pasti dapat ditawarkan pula!”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Yau ti wan merupakan benda mustika dari keluarga Coa, Cong gi heng saja tak mendapat bagian, masa aku yang tidak termasuk anggota keluarga Coa malah mendapat bagian? Apalagi bukan cuma aku yang terkena racun ular sakti….
Karena berpikir demikian, diapun berkata, “Ketika Liong-ji terkena racun ular sakti, aku pernah sesumbar dengan mengatakan bahwa racun itu akau kupunahkan dengan kekuatan sendiri tanpa bantuan obat-obatan, apalagi dengan mengandalkan racun sin bui si sim {ular sakti menggigit hati) tersebut banyak sudah jago lihay daratan kita yang dikendalikan pihak Mo-kauw, aku merasa berkewajiban untuk mencarikan suatu cara yang tepat untuk menawarkan pengaruh racun itu”
“Jiko, mengapa kau musti terbuat bodoh?” teriak Coa Wi-wi dengan gelisahnya, “obat mustika sudah didepan mata, masa kau hendak menampiknya dengan begitu saja? Apalagi sekalipun banyak orang, terkena racun itu, obatnya kan cuma dua butir doang?”
“Aku tahu obatnya cuma dua, tapi asal dilumerkan dengan air, sekalipun kemujarabannya akan jauh berkurang, toh racun tersebut dapat kita tawarkan!”
“Kalau begitu, simpanlah sebutir untuk dirimu sendiri” pinta Coa Wi-wi lagi.
Dengan cepat Hoa In-liong menggeleng. “Tak usah, aku kuatir sebutir tak cukup!” “Tapi kau sendiri juga terkena racun jahat” teriak gadis itu makin gelisah, “bila orang-orang itu masih mempunyai sedikit liang sim, mereka pasti akan riku untuk menerimanya, sebab bila mereka terima pemberian tersebut, menunjukkan pula kalau mereka tak punya liang sim, hmm! Manusia semacam ini, lebih baik kan mampus sekalian”
“Dalam cemasnya, gadis itu berbicara asal buka suara, dia lupa kalau perkataannya terlalu kasar dan tak pantas.
“Anak Wi, kau tak usah banyak bicara lagi” tiba-tiba Goan cing taysu menukas.
Setelah termenung sebentar, dia berkata lebih jauh, “Bukan lantaran obat itu adalah obat dewa maka kita beri nama Yau ti wan (pil nirwana) adalah karena obat itu dibuat oleh cousu dalam sebuah gua kuno dilembah bukit Siau yau ti, maka pil itu dinamakan pula Yau ti wan, dikala obat itu selesai dibuat, cousu pernah berkata begini….”
Dengan sorot mata yang tajam diamatinya sekejap kedua orang muda mudi itu.
Meskipun Hoa In-liong berdua rada heran karena secara tiba-tiba padri itu menceritakan soal yang sama sekali tak ada sangkut pautnya, tapi mereka tahu bahwa dibalik perkataan itu tentu mengandung maksud-maksud tertentu, maka dengan tenang mereka mendengarkan perkataan kakek itu lebih jauh.
Goan cing taysu menghela napas panjang, lanjutnya setelah berhenti sebentar, “Dia orang tua berkata demikian, obat mustika dibuat untuk menolong masyarakat, dia berharap pada suatu ketika Yau ti wan bisa dipakai untuk menyelamatkan beratus-ratus orang. Aaai…. sungguh memalukan kalau dibicarakan kembali, dalam tiga ratus tahun terakhir ini, diantara delapan butir Yau ti wan yang telah terpakai, ada lima butir diantaranya dipakai demi kepentingan keluarga persilatan Kim-leng pribadi, sedang tiga butir lainnya dibsrikau kepada orang lain yang sedikit banyak masih ada hubungannya juga dengan keluarga persilatan Kim leng”
Mendengar sampai disitu, baik Hoa In-liong maupun Coa Wi-wi dapat menebak maksud hati kongkongnya, bukankah dengan ucapannya itu berarti pula bahwa Goan cing taysu telah menyetujui dengan jalan pikiran Hoa In-liong….?
Apa yang selalu menjadi beban pikiran Coa Wi-wi selama ini adalah keselamatan Hoa In-liong, ia sangat tak setuju dengan keputusan kongkongnya, tapi lantaran Goan cing taysu berbuat demiki an demi kepentingan orang banyak, maka dia tak berani terlalu banyak mendebat.
Hoa In-liong segera bangkit sambil menyerahkan kembali botol itu ke tangan Goan cing taysu tapi dengan cepat paderi itu gelengkan kepalanya berulang kali.
“Lebih baik kau saja yang menyimpan botol itu, siapa tahu kalau dikemudian hari sangat dibutuhkan untuk menolong jiwa orang? Yaa, watak lolap memang dasarnya malas, aku merasa agak segan untuk banyak bergerak lagi….”
Hoa In-liong tidak banyak berbicara lagi, dia masukkan botol itu kedalam saku, tiba-tiba tangannya menyentuh kemala hijau batas buku yang ditemukan di rumah Tabib sosial, hatinya segera bergerak, sambil diangsurkan kehadapan sang paderi itu, ujarnya, “Kongkong, diatas batas buku ini tercantum aneka ragam jurus ilmu pukulan yang kalut, apakah kongkong dapat memberi penjelasan?”
Coa Wi-wi ikut berseru tertahan, dia mengambil keluar juga botol porselen yang berasal dari saku Tan Beng-tat, sambil diberikan kepada paderi tua itu katanya, “Kongkong, silahkan kau periksa juga isi botol ini!”
Goan-cing taysu sekalian menerima botol itu, mula-mula dia periksa dulu batas buku yang diatasnya terukir Kiu ci kiong cong-keng keng-cay” (catatan kitab silat yang terdapat dalam istana Kiu-ci-kiong) sekalipun huruf-hurufnya sangat lembut sebesar kepala lalat, namun dengaa dasar tenaga dalam yang dimilikinya, semua tulisan itu dapat dibaca dengan amat jelas.
Selesai membaca tulisan itu, dengan wajah agak berubah, berkatalah paderi tua itu, “Yaa, Kiu-ci Sinkun memang tak malu disebut manusia paling berbakat dalam dunia persilatan, tak nyana dengan kecerdasan otaknya ia berhasil menciptakan serangkaian ilmu silat yang maha dahsyat semacam ini….sungguh hebat….sungguh hebat.
Batas buku kemala hijau itu diangsurkan kembali ketangan Hoa In-liong, kemudian ujarnya lebih jauh, “Sekalipun catatan ilmu silat itu semrawut dan kacau balau tak karuan, aku percaya dengan kecerdasanmu tak sulit untuk menyusun kembali semua kepandaian itu. Memang, ilmu silat yang ada disitu jauh berbeda dengan aliran ilmu silat keluargamu, tapi percayalah, sumber dari segala ilmu silai adalah satu, sampai dimanapun luasnya kepandaian silat yang ada didunia ini dasarnya selalu sama, tak sulit bagimu untuk mendalami serta memecahkannya”
Hoa In-liong mengiakan berulang kali lalu masukkan benda tersebut kedalam sakunya.
Dalam pada itu, Goan cing taysu telah mencabut penutup botolnya serta membau isi botol tersebut, mendadak paras mukanya berubah hebat, cepat-cepat botol itu ditutup kembali. “Sungguh lihay, sungguh lihay!” gumamnya.
“Kongkong, adakah sesuatu yang tak beres?” tanya Coa Wi-wi kemudian dengan gelisah.
Goan cing taysu menarik napas panjang-panjang, paras mukanya pulih kembali seperti sedia kala sambil menggeleng katanya, “Masih untung aku tak apa apa, aai….! Entah cairan apa yang tersimpan dalam botol itu, hanya membau sebentar saja kepalaku langsung pusing tujuh keliling. Darimana kalian dapatkan benda itu?”
“Waaah….masa kongkong sendiri juga hampir tak tahan?” teriak Coa Wi-wi terperanjat, “untung aku tidak lancang tangan membuka tutup botol itu lebih dulu, coba kalau tidak….bisa jatuh pingsan seketika itu juga”
“Benda itu milik empek Yu!” Hoa In-liong menerangkan. “Aaah….! Masa Yu Siang tek si bocah itu juga menjimpan
benda sejahat ini?” seru Goan cing taysu keheranan, “coba
kau terangkan lebih jelas lagi!”
“Biar aku yang bercerita” sela Coa Wi-wi cepat cepat.
Maka diapun lantas mengisahkan kembali pengalamannya ketika menemukan benda itu serta sekalian mengisahkan juga pertarungan yang berkobar pada malam itu, akhirnya dia menambahkan, “Jika dugaan anak Wi tidak salah, isi botol itu pastilah obat campuran dari Su bok thian go (kehilangan langit empat mata) serta Sam ciok pek cu (laba-laba hijau berkaki tiga) bukankah begitu?”
Dengan tenaga Goan cing taysu mendengarkan kisah itu hingga selesai, lalu sambil menyerahkan botol tadi ketangan Hoa In-liong, ia berkata pula, “Lolap kurang begitu mengerti tentang ilmu obat-obatan, ibumu sebagai ahli waris dari Kiu tok sian ci tentu jauh lebih mengerti daripada aku, lebih baik bawalah botol ini dan serahkan kepada ibumu, biar dia yang membuatkan analisa untukmu.
Yang disebutkan sebagai “ibumu” bukan Pek Kun-gie, ibu kandung Hoa In-liong, melainkan ibu pertamanya yakni Chin Wan hong.
“Aaaai…. entah sampai kapan aku baru pulang….”pikir Hoa In-liong diam-diam.
Berpikir sampai disitu, dia terima juga botol itu sembari berkata, “Boanpwe tidak jadi pergi kebukit Mao san untuk berlatih tenaga dalam lagi”
Goan cing taysu menghela napas panjang. “Aaai….sebetulnya lolap hendak menggunakan manfaat
dari racun ular itu untuk melatih tenaga dalammu hingga mencapai tingkatan yang paling tinggi dalam waktu tiga sampai lima tahun….”
Hoa In-liong segera berpikir, “Semula kukira yang dimaksudkan cianpwe ini sebagai waktu singkat adalah tiga sampai lima bulan, tak tahunya begitu lama, siapa yang sabar menunggu sekian lama? Tapi kalau dipikir kembali dengan jangka waktu enam puluh tahun yang biasanya dibutuhkan orang untuk mencapai tingkatan paling tinggi, tiga lima tahun memang terhitung cukup singkat”
Tiba-tiba ia merasa Goan cing taysu tutup mulut ditengah jalan, ketika ia menengok ke depan, tampak paderi itu sedang berkerut kening, rupanya ada sesuatu persoalan yang sedang ia pikirkan. Coa Wi-wi sangat tercengang serunya tertahan, “Kongkong….”
Cepat Hoa In-liong menarik tangan gadis itu sambil berbisik, “Jangan ribut dulu, tentu kongkong sedang memikirkan suatu persoalan yang penting, dan persoalan itu butuh penyelesaian secepatnya”
Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya dan tidak berbicara lagi.
Setelah hening sejenak, tiba-tiba Goan cing taysu membuka sepasang matanya, setajam cahaya bintang di tengah kegelapan matanya itu, dari sini dapat diketahui bahwa tenaga dalam yang dimilikinya telah mencapai puncak kesempurnaan yang luar biasa, ini membuat sepasang muda mudi itu amat terperanjat.
“Liong-ji” terdengar Goan-cing taysu berkata lagi dengan serius, “lolap mempunyai suatu akal bagus yang kemungkinan besar sangat bemnanfaat bagi usahamu memusnahkan pengaruh racun ular sakti, selain itu mungkin juga akan menambah kesempurnaan tenaga dalammu, cuma saja cara ini sangat berbahaya serta membawa resiko yang besar salah- salah akan mengakibatkan kematian yang mengerikan, entah bagaimana pendapatmu?”
Dari keseriusan dan sikap berat yang ditunjukkan Goan cing taysu, Hoa In-liong tahu bahwa persoalan itu luar biasa sekali, tapi bukankah Goan cing taysu sendiripun tidak begitu yakin dengan caranya? Sebagai pemuda yang gagah perkasa, Hoa In-liong bukan type manusia yang serakah akan sesuatu yaag kecil dengan mengorbankan ma salah besar, sebetulnya tawaran tersebut hendak ditolak.
Tapi secara tiba-tiba hatinya agak bergerak, segera pikirnya, “Aah, tidak benar! Cianpwe ini bukan manusia sembarangan, kalau toh tujuannya adalah untuk menyempurnakan kepandaian seorang boanpwe tak mungkin dia akan mencarikan suatu cara yang semena-mena atau dengan perkataan dibalik rencananya itu tentu mengandung suatu keyakinan besar cuma saja ia tidak mengutarakan sebab kuatir akan mengacau pikiran orang belaka”
Dalam waktu singkat, pelbagai pikiran sudah berkecamuk dalam benaknya, tiba-tiba dia angkat kepala dan menyahut dengan serius, “Boanpwe sudah mengambil keputusan….”
“Anak Liong, harapan untuk mencapai kesuksesan teramat kecil, aku harap pikirkan kembali persoalan ini semasak- masaknya” tukas Goan cing taysu lagi.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menjatuhkan diri kedalam pelukan Hoa In-liong, lalu bisiknya pula dengan lembut, “Jiko, kalau toh kongkong sudah berkata demikian, lebih baik urungkan niatmu untuk menempuh mara bahaya sebesar ini”
“Adik Wi” Hoa In-liong membelai rambutnya yang halus dengan penuh kasih sayang, “masa kau tidak percaya dengan keputusan ini?”
Coa Wi-wi mengangguk.
“Nah, kalau percaya itu lebih baik” kata Hoa In-liong sambil tersenyum, kemudian kepada Goan cing taysu tambahnya, “Kongkong, tolong bantulah anak Liong untuk menyempurnakan diriku”
Dalam hati Goan cing taysu menghela napas, pikirnya, “Bocah ini memang betul-betul cerdas, ternyata isi hatiku berhasil ia tebak beberapa bagian” Maka sambil manggut manggut katanya, “Sekalipun tindakan ini sangat bahaya, tapi lolap yakin delapan puluh persen pekerjaan akan berhasil, kau tak usah kuatir sebab pikiran dan perasaan yang tawar justru merupakan saat yang paling baik untuk melakukan tindakan ini”
Hoa In-liong tertawa.
“Kongkong tak perlu cemas, anak Liong percaya masih sanggup menghadapi segala keadaan dengan perasaan yang tenang”
Goan cing taysu manggut-manggut, ia periksa sekejap keadaan disekitar sana, lalu berkata.
“Tempat ini terbuka sama sekali tidak terlindung dari pandangan orang, tidak cocok untuk melakukan rencana kita, mari kita cari sebuah gua saja”
Sebetulnya Coa Wi-wi hendak menghalangi niatnya itu, tapi ia berpikir lebih jauh, “Yaa, bagaimanapun juga bila ia ketimpa musibah, aku juga tak pingin hidup, daripada percuma menasehati dirinya, akan lebih baik aku membungkam dalam seribu bahasa saja”
Karena berpendapat demikian, perasaannya jadi lebih lega dan santai, tanpa disadari bibit cinta yang tertanam dihati kecilnya ikut pula bertambah tebal.
Mendengar perkataan itu, dia lantas berkata, “Dulu Wi-ji sering kemari mencari batu-batu indah, aku sudah hapal dengan keadaan disekitar sini. Tak jauh dari tempat ini terdapat sebuah gua batu yang dalamnya lima enam kaki, tempatnya kering dan bersih, bisa kita pakai sebagai tempat berteduh?” Goan cing taysu manggut-manggut.
“Sekalipun radaan kecil sedikit, tapi tak apalah, hayo kita kesitu!” Seraya berkata ia lantas bangkit berdiri, “Biar anak Wi membawa jalan!” seru gadis itu sambil turun dari puncak itu lebih dulu.
Gua yang dimaksudkan letaknya dilereng bukit bersebelahan dengan sebuah tebing yang curam, di muka gua merupakan sebuah tanah datar yang luasnya sepuluh kaki persegi, hutan bambu amat subur, meski gua itu tidak terlalu dalam, tapi cakup lebar dan datar.
Keadaan semacam ini semestinya amat cocok sekali dengan selera ketiga orang itu.
Setelah masuk ke dalam gua, Goan cing taysu memerintahkan Coa Wi-wi berjaga-jaga didepan gua, lalu menitahkan Hoa In-liong duduk bersila, sementara dia sendiri duduk dibelakang Hoa In-liong.
Coa Wi-wi berdiri diluar gua, sekalipun demikian, sepasang matanya yang jeli menatap kedua orang itu tak berkedip.
Gua itu cukup gelap, namun tidak sampai menghalangi daya penglihatannya.
Waktu itu Goan cing taysu bersila sambil menyalurkan hawa murninya, tiba-tiba secepat sambaran kilat dia lancarkan totokan untuk menotok jalan darah Kek gi, kan gi serta Pit gi sementara telapak tangannya ditempelkan diatas jalan darah Thian cu hiat.
Beberapa jalan darah itu termasuk urat-urat penting yang menghubungkan syaraf kaki, pusat dan pantat semuanya termasuk jalan darah yang teramat penting ditubuh manusia. Coa Wi-wi bukannya tak tabu kalau Goan cing taysu sedang berusaha membantu Hoa In-liong untuk memunahkan pengaruh racun jahat, tapi terbayang kembali pen deritaan yang telah ia saksikan ketika masih ada di Yu-hoa-tay, bergidik juga hatinya sampai-sampai badan ikut gemetar keras.
“Hu-yan Kiong manusia bedebah!” umpatnya dalam hati, kau memang manusia terkutuk yang patut diberi hajaran.
Tunggu saja tanggal mainnya suatu ketika nonamu pasti akan suruh kau merasakan betapa menderitanya bila disiksa mati tak bisa hiduppun susah”
Sementara dia masih melamun Goan cing taysu sudah menarik kembali telapak tangannya sambil mundur setengah langkah, gadis itu tahu kongkongnya kembali akan mengeluarkan ilmu simpanan
Baru saja dia akan menengok lebih lanjut tiba-tiba dari luar gua berkumandang suara ujung baju tersampok angin, kalau didengar dari suara tersebut jelas ada seorang jago lihay yang sedang menuju ke arah gua dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Cepat-cepat dia berpaling, diantara cahaya rembulan tampak sesosok bayangan manusia sedang berkelebat mendekat dengan kecepatan luar biasa, da am waktu singkat jarak orang itu tinggal lima kaki saja dari depan gua,
“Berhenti!” bentaknya dengan suara lantang. Tapi begitu suara bentakan meluncur keluar dari mulutnya, gadis itu merasa menyesal sekali ia menyesal karena terlalu memburu napas, belum melihat jelas arah tujuan bayangan abu-abu itu, dia sudah membentak lebih dahulu, padahal orang itu cuma numpang lewat belaka. Dengan perbuatan, nya ini bukankah sama artinya dengan ia memberitahukan letak persembunyiannya kepada orang lain Betul juga, begitu mendengar suara bentakan itu, serentak orang tadi berhenti lalu berkelebat menuju kedepan gua, dengan sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu dia awasi balik gua yang gelap tajam-tajam.
Setelah bayangan abu-abu itu berhenti di depan gua, Coa Wi-wi baru dapat kenali orang itu sebagai seorang To koh berusia setengah baya yang memakai jubah kependetaan warna abu-abu, membawa sebuah hud tim dan berparas muka bersih. Gadis itu tahu, gua sekecil ini tak akan mengelabuhi jagoan selihay orang itu, apalagi setelah ia bersuara.
Dalam keadaan demikian, buru-buru ia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong, tampak Goan cing taysu masih duduk bersila ditanah, telapak tangan kanannya menempel di atas jalan darah Leng tay hiat diatas punggungnya.
Gadis itu tidak membuang wakta lagi, sekali loncat ia sudah menerobos keluar dari dalam gua.
Sejak mendengar suara bentakan yang nyaring dan merdu, To koh berbaju abu-abu itu sudah tahu kalau orang itu adalah seorang nona, tapi rupanya dia tak menduga kalau kecantikan wajahnya begitu merawan. Dibawah cahaya rembulan, tampak Coa Wi-wi ibaratnya dewi Siang go yang baru turun dari kahyangan.
Ia berseru tertahan, lalu setelah berpikir sebentar, bisiknya didalam hati.
“Aaah…. jangan-jangan dia?!”
Maka sambil menuding dengan senjata Hud timnya, dia bertanya, “Apakab engkau she Coa?” Sebetulnya Coa Wi-wi hendak minta maaf lalu berusaha menggiring To koh itu agar meninggalkan tempat tersebut, tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba To koh berbaju abu-abu itu sudah menyebut namanya lebih dahulu, ini membuat nona tersebut jadi kaget.
“Sian-koh, dari mana kau bisa tahu?” serunya keheranan.
Mengetahui bahwasanya apa yang diduga tak salah, To koh berbaju abu-abu itu kembali berpikir, “Aaah….! Budak ini memang benar-benar memiliki kecantikan wajah yang luar biasa, setelah ternoda Giok-ji memang tak punya harapan lagi, apalagi dengan kehadiran dirinya, sudah terang hal itu tak mungkin terjadi….!”
Berpikir demikian, dia lantas tertawa seraya berkata, “Hoa Yang si bocah kunyuk itu kenapa tidak ikut datang?”
Dari nada suara Coa Wi-wi sudah tahu kalau orang bermaksud jelek, timbul rasa was-was dalam hati kecilnya.
“Dia tak ada disini!”jawabnya cepat-cepat.
Padahal sejak kecil gadis itu tak pernah berbohong, maka setelah ucapan tersebut diutarakan keluar, warna semu merah karena jengah dengan cepat menjalar diatas pipinya yang putih.
Tokoh berbaju abu-abu itu bukan orang bodoh, dalam sekilas pandangan saja dia sudah mengerti apa gerangan yang sedang terjadi. Dengan suara dingin kembali ia menegur, “Apakah Hoa In-liong sedang berlatih ilmu?”
Coa Wi-wi merasa terkesiap. “Sungguh lihay To koh itu!” demikian batinya.
Lama sekali setelah berdiri tertegun, nona itu menegur lagi, “Siapa kau?”
To koh berbaju abu-abu itu menengadah dan tertawa terbahak-bahak dia tidak menjawab mendadak dengan senjata Hud timnya dia sapu batok kepala gadis itu. Berbareng dengan sapuan tadi beratus-ratus bulu kudanya yang lembut membuyar hebat dan serentak mengancam jalan darah penting diseluruh tubuh Coa Wi-wi.
Kiranya To koh berbaju abu-abu itu merasa bahwa wajah Coa Wi-wi makin dilihat tampak semakin cantik ini membuat napsu membunuh yang berkorban dalam dadanya sukar dikendalikan lagi malah makin ditekan napsunya makin berkorban akhirnya dia tak tahan dan seranganpun dilancarkan.
Coa Wi-wi tidak menyangka kalau dirinya bakal diserang, kejut dan marah gadis tersebut menghadapi keadaan tersebut.
“ Hei, apa-apaan kau?” tegurnya dengan marah Langkahnya mundur dengan sempoyongan ibarat angin
yang berhembus lewat, begitu mundur tubuhnya maju kembali
kemuka sambil melancarkan sebuah pukulan, dia kuatir Tokoh berjubah abu-abu itu mendapatkan peluang yang ada untuk menerobos masuk ke dalam gua.
Meski agak terkejut dalam hatinya, To koh berjubah abu- abu itu tak sampai memperlihatkan perasaannya itu diluaran, dia tertawa dingin, tiba-tiba senjata Hud-timnya diputar dan…. “Sreeet!” tahu-tahu bulu kuda yang lembut itu sudah menggulung pergelangan tangan lawan, menyusul kemudian ujung baju sebelah kirinya dikebaskan kedepan, dengan membawa hawa pukulan yang cukup kuat menyergap dada Coa Wi-wi.
“Hebat juga To koh ini!” pikir Gadis Coa dalam hatinya, “baik waktu menyerang maupun dikala berganti jurus, semuanya dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa, tak malu kalau disebut seorang tokoh nomor satu dalam dunia persilatan, mungkinkah dia adalah anggota Hian-beng-kauw?”
Dihati dia berpikir, telapak tangan kirinya sama sekali tidak menganggur, dengan suatu pukulan yang kuat ia dobrak ancaman musuh, sementara jari tangan kanannya diperkencang hingga seperti tombak untuk menyodok jalan darah Ciang tay hiat di tubuh sang To koh.
Mendongkol To koh berbaju abu-abu itu karena dirinya diserang secara bertubi-tubi tanpa diberi kesempatan untuk bertukar napas.
“Budak sialan!” sumpahnya dihati, “kau tak usah sok, hati- hati dengan pembalasanku!”
Tentu saja dia tak tahu kalau Hoa In-liong ketika itu sedang bersemedi dan mencapai keadaan yang paling berbahaya, lantaran kuatir mengganggu konsentrasi kekasihnya, maka ia bertindak nekad.
Dengan suatu lompatan cepat To koh berbaju abu-abu itu mundur dua kaki ke belakang.
0000000O0000000
32 LEGA HATI Coa Wi-wi setelah musuhnya mundur, seperti bayangan dia menyusul kemuka dan secara beruntun melancarkan tujuh buah serangan berantai.
“Budak ingusan, kau berani kurangajar kepadaku?” teriak To koh berbaju abu-abu itu naik darah.
Badannya mengegos kesamping menghindarkan diri dari serangan itu, kemudian senjata Hud tim-nya direntangkan untuk menghalau gerak maju lawan, sementara gagang hud tim dipakai untuk menyodok jalan darah Ciang bun hiat.
Mereka bertempur dengan gerakan yang sama-sama cepatnya, dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah lewat.
To koh berjubah abu-abu itu memang tangguh, semua jurus serangan yang dipakai merupakan jurus-jurus aneh yang sakti, diapun berusaha menghindari bentrokan-bentrokan secara kekerasan. Setiap ada kesempatan, yang diancam adalah jalan darah jalan darah kematian yang ditubuh lawan dimana cukup tertonjok satu kali sajar kalau tidak mampus sang korban hikal terluka parah.
Coa Wi-wi kuatir pertarungan yang berlangsung akan mengganggu komentrasi Hoa In Hong, maka selama pertarungan berlangsung, ia selalu membungkam dalam seribu bahasa. Karenanya kecuali angin pukulan yang menderu-deru, hampir boleh dibilang tak ada suara lain.
Tapi dengan demikian, maka makin bertarung mereka semakin jauh meninggalkan mulut gua, waktu itu jaraknya sudah mencapai sepuluh kaki lebih….
Lama-kelamaan Coa Wi-wi mulai hilang sabarnya, dia berpikir lagi, Tenaga dalam yang dimiliki To koh ini luar biasa hebatnya kalau pertarungan harus dilangsungkan terus dengan cara begini, entah sampai kapan habisnya, apalagi sudah terlalu jauh ketinggalan gua, tindakan ini kurang menguntungkan”
Berpikir demikian, sepasang telapak tangannya segera melancarkan serangan bersama, tangan kiri menyerang dengan jurus Jit gwat siang-tui (matahari dan rembulan saling mendorong), sementara tangan kapannya menyerang dengan jurus Tuo yau siu jit (Kotak Angin Berhembus-hembus),
Terkesiap To koh berbaju abu-abu menghadapi ancaman sedahsyat itu, pikirnya dengan jantung berdebar, “Hebat benar perempuan ini, belum pernah ku jumpai ilmu pukulan seaneh ini dalam dunia persilatan!”
Sepintas lalu, dua buah serangan itu tampaknya memang sederhana dan tiada sesuatu yang aneh, padahal cukup dengan berputar sambil menekan kedepan, maka dibalik hembusan angin pukulan yang amat tajam, terselip gerakan pat kay dan Tay khek yang sukar dipecahkan.
Karena tak berani menyambutnya dengan kekerasan, ia melejit kesamping lalu menyusup beberapa kaki disamping Coa Wi-wi.
Tercengang juga gadis Wi-wi karena serangan nya meleset, dia berpikir pula, “Cepat dan jitu sekali gerakan tubuh To koh itu, aku rasa dua tingkat lebih hebat dari ilmu Gi heng huan wi (bergesar tubuh berganti tempat) malah tidak berada dibawah kepandaian Loan ngo heng sian tun hoat dari Kiu-im-kauw”
Sementara itu To koh berbaju abu-abu tadi sudah berseru kembali dengan suara dingin, “Ilmu pukulan bagus! Tenaga dalam sempurna! Cuma sayang pinto ingin minta petunjukmu lebih jauh”