Neraka Hitam Jilid 16

Jilid 16

“Leng jin, kau telah berusaha dengan sepenuh, jika gurumu tak mau menurut, hal ini merupakan suatu kejadian yang apa boleh buat, kau tak usah bersedih hati. Disekitar itu masih banyak jago tersembunyi, kau jangan terlalu jauh meninggalkan tempat ini!”

Selesai berpesan kepada Si Leng jin, dia berpaling kembali dan bersiap sedia untuk menolong mereka yang terkurung dalam lembah, mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, pikirnya kemudian, “Inilah kesempatan yang paling baik untuk menyelidiki soal pembunuhan atas diri suma giok ya, yaa, aku tak boleh lewatkan peluang ini dengan begitu saja”

Berpikir demikian, dengan suata lantang dia lantas berseru. “Jin Hian, Kok See-piau, Seng To cu!”

Sinar matanya dialihkan ke wajah Bwe Su-yok, ketika sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata Bwe Su- yok yang jeli, kedua belah pihak sama-sama merasakan hatinya amat pedih.

Dengan cepat Hoa In-liong menenangkan kembali hatinya, kemudian melanjutkan, “Masih ada Bwe kaucu, mumpung hari ini semua jago dari pelbagai daerah berkumpul semua disini, aku ingin minta bertanggungan jawab kepada kalian semua atas kasus pembunuhan terhadap diri Suma siok ya ku!” Kok See-piau tertawa tergelak sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya, “Hoa Yang, melihat cara kerjamu yang selalu berusaha menyelidiki dan mencari tahu tentang peristiwa pembunuhan tersebut, baiklah pun-sinkun memenuhi harapanmu itu, hari ini akan kuberikan keterangan yang sejelas-jelasnya kepadamu”

Bahwasanya Hoa In-liong sampai dikirim turun gunung, tak lain tujuannya adalah untuk menyelidiki soal pembunuhan atas diri Suma Tiang cing, dan kini meski situasi telah berubah, persoalan itupun sudah tidak penting lagi, namun pemuda itu merasa berkewajiban untuk mencari tahu latar belakang dari duduk persoalan yang sebenarnya.

Tak heran kalau hatinya segera berdebar keras setelah mengetahui bahwa hasil penyelidikannya segera akan diketahui, Seraya menjura dia lantas berseru, “Aku mohon bisa mengetahui keterangan yang sebenarnya!”

Kok Sue piau tertawa dingin, katanya, “Adapun yang menjadi sebab kematian Suma Tiang cing tak lain adalah ia mati sebagai korban ulah keluarga Hoa kalian, tentu saja disamping itu dikarenakan tindak tanduknya yang keji dan tak kenal ampun dimasa lalu, sedangkan kematian Kho Gi hun adalah disebabkan ia berhianat kepada Kiu-im-kau, hal ini menyangkut soal urusan pribadi perkumpulan yang bersangkutan”

Suma Tiang cing dikenal sebagai Kiu mia kiam khek (jago pedang bernyawa sembilan), dia merupakan manusia paling kejam dari kelompok kaum lurus, ilmu silatnya tinggi dan jarang ada yang bisa menandinginya.

Berita tentang kematiannya telah menjadi berita topik dalam dunia persilatan waktu itu, maka ketika latar belakang peristiwa pembunuhan ini segera akan terungkap, semua sobat-sobatnya maupun lawan-lawannya ikut merasa tegang untuk mendengarkan keterangan itu.

Untuk sesaat lamanya, suasana disekitar sana menjadi sepi, hening dan tak kedengaran sedikit suarapun,

Ciu Thian hau adalah sahabat paling akrab dengan Suma Thiang cing, ia tak kuasa mengendalikan emosinya lagi, dengan suara keras teriaknya, “Siapakah otak dari pembunuhan ini?”

“Tentu saja aku, pun sinkun!”‘ jawab Kok See-piau angkuh. “Kho Gi hun adalah penghianat dari perkumpulan kami”

ujar Bwe Su-yok dingin “sedang kami pun hanya bertindak

untuk membersihkan perguruan dari manusia laknat, tindakan kami tidak terhitung suatu pembunuhan, tapi bila ingin mengetahui siapa otaknya, tentu saja orang itu adalah pun kaucu sendiri”

Jin Hian tertawa-tawa, ia berkata pula.

“Perkumpulan kami mempunyai dendam paling mendalam dengan Suma Tiang cing, bila ada yang ingin membalaskan dendam bagi kematiannya, silahkan menuntut langsung kepada lohu”

Seng To cu tertawa tergelak, katanya kemudian, “Ciu lo kui (setan tua ciu), orang yang melaksanakan pembunuhan itu selain Bwe kaucu dan partai kami, Kok See-piau serta Jin Hoa pun terlibat secara langsung, maka jika kau punya kepandaian tak ada salahnya untuk membunuh kami semua untuk membalaskan dendam bagi kematian Suma Tiang cing. Beberapa orang ini semuanya adalah pemimpin-pemimpin dari suatu partai besar, di hari-hari biasa jarang sekali mereka mengatur siasat untuk mencelakai orang, tapi sekarang, dihadapan para enghiong dari seluruh kolong langit, ternyata siapapun tak mau mengalah, masing-masing telah mengakui bertanggung jawab dalam peristiwa itu.

Ciu Thian hau mendengus dingin, sinar tajam memancarkan keluar dari matanya, tapi ia tetap tidak berkutik dari tempat semula.

Dengan alis mata berkenyit, Cu Im Taysu berkata. “Omintohud, putri Suma tayhiap bertekad hendak

membalaskan dendam bagi kematian ayahnya, tapi peristiwa ini menyangkut orang yang terlalu banyak, jika pembunuh yang sebenarnya tak berhasil ditemukan, ini pasti akan menimbulkan kembali suatu badai pembunuhan besar besaran…..:”

“Hmm…”suatu sikap welas kasih yang mengagumkan!” ejek Kok See-piau sinis, “lo siansu, dengan hati Buddhamu itu kau memang tak malu menjadi murid kaum beragama.

Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, “Semua peristiwa yang terjadi selama ini sejak awal sampai akhir boleh dibilang merupakan hasil ciptaan pun-sinkun, jika putri Suma Tiang cing punya kepandaian, silahkan saja membunuh diri lohu, Sebab itu berarti separuh dendam sakit hatinya sudah terbalas”

“Siapa yang turun tangan?” bentak Ciu Thian hau. “Dari pibak kami yang turun tangan adalah Toan bok

thamcu, Beng thamcu serta murid-muridku, siapakah mereka rasanya pun-sinkun tak usah menjelaskan lagi” sahut Kok See- piau hambar.

“Walaupun ia berkata tak akan banyak bicara dalam kenyataan siapapun tak ingin menyembunyikan diri dari pertanggungan jawab ini, meski mereka tahu bahwa pembalasan dendam dari pihak keluarga Hoa sukar ditahan.

Sebab kalau tidak mengaku sekarang, andaikata di kemudian hari diketahui orang, hal mana akan sangat mempengaruhi nama baiknya, sekalipun kau adalah seorang penjahat yang paling keji pun, akan tak punya muka untuk melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan.

Dengan suara nyaring Hoa In-liong lantas berseru, “Jia Hian dari pihak kalian tentunya tak mungkin tiada orang yang terlibat bukan?” Sim Ciu tertawa seram.

“Heeehh…..heeehh… heeehh……bocahkeparat,

pertanyaan mu itu memang tepat bila diajukan kepadaku, sebab Suma tiang cing memang mampus ditangan lohu, haaahh………..haaahh………… ………..haaahh… dalam

kenyataannya Kiu mia kiam khek juga cuma bernyawa selembar!”

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ciu Thian hau seteleh mendengar perkataan itu, dia melotot sekejap ke arah Sim Ciu, kemudian bentaknya keras-keras, “Sungguhkah perkataanmu itu?”

Sim Ciau ikut tertawa seram, sahutnya, “Ciu loji, bagaimanapun juga kalian semua sudah menjadi katak dalam tempurung, tak akan hidup lebih lama lagi didunia ini, jika tidak percaya, silahkan kau bertanya sendiri kepada Suma Thiang cing setibanya di akhirat nanti!” Hoa In-liong menarik napas panjang dan menekan pergolakan emosi dalam hatinya, serunya kemudian.

“Masih ada siapa lagi? Sim Ciu, kaupun terhitung seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, mengapa tidak mengaku saja ber terus terang………?”

Gua Gi hong tertawa dingin, katanya, “Bocah keparat, kau tak usah banyak cerewet, Gui loya mu juga mempunyai andil, mau apa kau?”

Seng Shi sam dari Kiu-im-kau yang berada didasar lembah segera berseru pula dengan gusar.

“Bocah busuk, kau tak usah bertanya terus menerus, Seng kongcu mu terhitung pula punya andil!”

“Sudah semenjak dulu pun-tiamcu merasa tak leluasa menyaksikan tingkah laku Suma Tiang cing, membunuhnya merupakan perbuatan yang paling menggembirakan bagiku” sambung Le Kui it pula sambil tertawa tergelak.

“Sudah tiada orang lain?” teriak Hoa In-liong lantang. Huan Tong agak sangsi sejenak, lalu katanya.

“Pun tongcu juga termasuk ikut andil dalam peristiwa itu”

Lenghou Kiong agak ragu sejenak, ia seperti mau bicara tapi segera membatalkan kembali niatnya, Seng To cu yang melihat sikap tersebut dengan gusar.

“Ngo sute!” Lenghou Kioang merasakan sekujur tubuhnya bergetar keras, akhirnya dia berkata juga “Tak ada salahnya kalau mencatat pula na ma lohu!”

Hoa In-liong segera tertawa terbahak bahak. “Haaahh…..haahh…….haaahh……. kalau cuma kalian

beberapa orang saja yang turun tangan, meski Suma siok ya suami istri bukan tandingan kalian, untuk menerjang keluar dari kepungan masih ada harapan, tak mungkin mereka akan tewas dalam semalam tanpa menimbulkan sedikit suara pun, aku yakin dibalik kesemuanya itu pasti ada sebab-sebab lainnya”

Sim Ciu Heng Liong dan Le Kiu-it sekalian adalah manusia- manusia bengis yang berhati keji, ketika mendengar perkataan itu, ternyata mereka hanya membungkam dalam seribu bahasa.

Jin Huan tertawa dingin, katanya kemudian, “Bagaimanapun juga Suma Tiang cing sudah mampus lama, kalau hendak membalas dendam, hayolah turun tangan sekarang juga, kau orang she Hoa juga tak perlu cerewet lagi”

Hoa In-liong tertawa, katanya kembali.

“Padahal sekalipun tidak dikatakan juga tahu, Yu si tentu merupakan mata-mata yang sengaja diselunduptkan kedalam keluarga Suma, sebagai orang dalam, sudah barang tentu ia lebih mudah untuk turun tangan mencelakai Suma siok ya ku suami istri, apalagi setelah bersekongkol dengan orang luar, tak heran kalau Suma Siok ya ku su ami istri terbunuh dalam semalam. Kemudian rupanya kalian hendak menghilangkan jejak, maka disuruhnya kucing hitam milik Yu si meninggalkan bekas gigitan ditenggorokan mereka dan meninggalkan hiolo kumala hijau untuk memfitnah Hiok teng hujin. Hanya ada satu hal yang masih tidak kupahami, apa sebabnya kalian membiarkan putri Suma tayhiap melepaskan diri dari bencana pembunuhan itu?”

Sim Ciu terkekeh-kekeh dengan seramnya.

“Hmm. Kalau dilihat tampa ngmu sih cerdik, tak tahunya goblok seperti kerbau, sekalipun istrinya Suma setan mampus, dibiarkan hidup juga bukan suatu ancaman buat kami apalagi kalau suruh dia yang mengabarkan berita kematian ini kepada keluarga Hoa, hal ini merupakan suatu tindakan yang tepat, tentu saja kami biarkan ia hidup terus, bocah goblok, sudah mengerti sekarang?”

Ketika berbicara sampai disini, meski seluk beluk selanjutnya belum terungkap, namun Hoa Ngo sudah tak sabar menahan diri lagi, dengan gusar ia membentak, “Toan bok setan tua, rupanya kau salah seorang pembunuh terkutuk itu, hari ini jika aku Hoa Ngo tidak berhasil menjagal dirimu, biar kutulis namaku dengan terbalik”

Dengan girangnya ia menerjang kemuka, kemudian dengan jurus Ku im sin ciang ia hantam musuhnya.

Toan bok See liang mengengos kesamping dan melayang dua depa dari posisi semula, kemudian bentaknya, “Orang she Hoa kau jangan jumawa dulu, pun thamcu akan suruh kau mampus tanpa tempat kubur!”

Begitu Hoa Ngo turun tangan, Ciu Thian hau tak dapat mengendalikan diri lagi, sinar matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu kemudian diiringi suara pekikan nyaring yang membetot suk ma, golok Han si to-nya disertai desingan angin tajam langsung membacok ketubuh Lenghau Kiong dengan kecepatan luar biasa. Melihat sinar mata Ciu Thian hou yang mengkilat penuh napsu membunuh, pun Lenghou Kiong sudah merasa terkejut, apalagi menghadapi tubrukannya yang dahsyat, ia merasa hatinya makin tercekat, sudah barang tentu ia tak berani menyambut dengan kekerasan.

Tanpa memperdulikan nama baiknya lagi, ia putar badan dan segera melarikan diri kebelakang.

Semisalnya dia putar badan untuk melakukan perlawanan, meskipun bukan tandingan Ciu Thian hau pun, jangan harap bisa menangkan dirinya dalam empat lima gebrakan, tapi dengan sikapnya tersebut maka sama artinya dengan ia mencari kematian buat diri sendiri. 

“Anjing bangsat, kau bendak kabur kemana?” bentak Ciu Thian hau dengan suara lantang.

Ditengah bentakan tersebut terdengar Lenghou Kiong menjerit ngeri, darah segar berhamburan ke mana-mana, tubuhnya tahu-tahu sudah terbacok golok Ciu Thian hau sehingga kutung menjadi dua bagian, kematiannya sungguh mengerikan.

Walaupun dalam pertarungan berdarah yang berlanggung tadi, terdapat pula cara kematian seperti ini, tapi tadi tiada orang yang memperhatikan maka tidak sampai terjadi apa-apa berbeda dengan keadaan sekarang, peristiwa tersebut dengan cepat mendatangkan perasaan ngeri dan seram bagi siapapun.

Seng To cu tidak menyangka kalau Lenghou kiong begitu tak becus sehingga sejurus serangan dari Ciu Thian hau pun tak sanggup dilayani, mencorong sinar gusar dari balik matanya setetah me yaksikan peristiwa itu. “Ciu Thian hau!” bentaknya dengan wajah menyeringai, “lohu akan suruh kau mampus dalam keadaan yang serupa!”

Secepat kilat ia meluncur kemuka sambil melancarkan tubrukan.

Ciu Thian hau bertekad untuk membunuh musuhnya dari tingkat ilmu silat yang terendah lebih dulu, begitu selesai membereskan Lenghou Kiong ia lantas memutar badannya menerjang kearah Huan Tong.

Bayangan manusia berkelebat lewat. Un Yong ciau dengan kecepatan luar biasa menerjang kemuka, lalu sebuah pukulan dilancarakan menghantam pergelangan tangan lawan.

Huan Tong tidak ambil diam saja, sambil membentak, kepalanya juga diayunkan ke depan.

Kebetulan Le Kiu-it berada disampingnya, dengan cepat pula ia maju menyerang. “Criiing….!” sebuah totokkan dilancarkan kearah iga kanan Ciu thian hau.

Serangan gabungan dari ketiga orang ini sungguh dahsyat dan mengerikan, melihat itu Ciu Thian hau sadar bahwa ia bukan tandingan lawan, dengan cepat tubuhnya mencelat keudara, berputar membentuk satu lingkaran busur lalu melepaskan diri dari kepungan keempat orang tersebut.

“Ciu lo kui, mau kabur kemana kau?” bentak Seng To cu.

Ditengah bentakan itu, sepasang ujung bajunya dikebaskan ke depan, lalu tubuhnya mencelat ke udara dan menyusul kearah mana perginya Ciu Thian hau.

Terdengar bentakan nyaring menggelegar berulang kali, bayangan manusia saling menyambar, para jago dari kaum lurus maupun sesat yang sebetulnya sudah menghentikan pertarungan, kini mulai terlibat kembali dalam suatu pertarungan yang jauh lebih seru.

Jin Hian yang berada di puncak tebing segera tertawa dingin setelah menyaksikan peristiwa itu, sebab itulah keadaan yang di harapkan olehnya.

“Aku tak boleh menunda lagi……”pikir Hoa In-liong kemudian.

Dengan cepat ia mengulapkan tangannya sambil berseru. “Turunkan tali!”

Tiba-tiba dari atas tebing sebelah timur muncul puluhan sosok bayangan manusia, di antaranya terdapat dua bersaudara dari keluarga Kiong, Cia In sekalian jago-jago perkumpulan Cian li kau, Thian Ik-cu dan murid kepercayaannya Huan Tong, Cia Yu cong serta sekawanan jago persilatan lainnya.

Dari sekelompok manusia tersebut tampak dua orang menggotong segulung tali temali yang beratnya mencapai ratusan kati, begitu tiba di tepi tebing tali-tali tersebut segera diturunkan ke bawah.

Ternyata gerak-gerik mereka tenang dan mantap, tak sedikitpun tampak sikap gugup atan tergopoh-gopoh.

Bila dilihat pula tali yang panjangnya ratusan kaki itu, bisa diketahui juga bahwa persediaan itu sudah disiapkan semenjak semula, itu berarti Ho In liong telah merencanakan segala sesuatunya dengan sempurna sebelum bertindak. Sorak sorai yang gegap gempita segera berkumandang dari dasar lembah itu, kecuali Ciu Thian hau sekalian beberapa orang yang sedang bertarung sengit, yang lain buru-buru kabur ke arah dinding sebelah timur.

Mendadak terdengar Kok See-piau membentak keras. “Semua anggota Hian-beng-kau tetap berdiri ditempat

masing-masing!”

Hian-beng-kau memang terkenal sebagai suatu perkumpulan dengan peraturan yang ketat, sekalipun berada dalam keadaan seperti ini, tak seorangpun berani membangkang perintahnya, maka mendengar bentak an itu serentak mereka berhenti, kemudian dengan sinar mata yang keheranan mereka awasi kaucunya.

Bwe Su-yok merasakan hatinya tergerak, pikirnya kemudian.

“Tebing Ui gou peng merupakan markas besar Hian-beng- kau, sudah barang tentu Kok See-piau jauh lebih mengerti tentang keadaan disini dari pada orang lain”

Karena berpikir demikian, ia lantas menghimpun tenaga dalamnya sambil membentak keras, “Setiap anggota Kiu-im- kau dilarang sembarangan bergerak sebelum mendapat perintah dari pun-kaucu!”

Karena teriakan dari kedua orang pemimpin ini, timbul kecurigaan dalam hati setiap orang, maka serta merta mereka pun ikut berhenti semua.

Coa hujin segera menarik tangan Coa Wi-wi, sedang Bong pay pun mencegah Coa Cong gi, hanya sebagian kecil saja diantara mereka yang melanjutkan gerakannya lari ke depan. Tampak paras muka Jin Hian berubah hebat Kemudiaa sambil tertawa seram serunya, “Bocah muda dari keluarga Hoa, kau terlalu pandang rendah diri lohu.

Setelah berhenti sejenak, bentaknya, “Pasukan pemanah Lui hwe siam (panah api geledek) bersiap sedia, bidik tebing seberang!”

Kiranya diatas kedua puncak tebing tersebut, berdiri puluhan jago yang masing-masing menyandang busur dan anak panah, bentuk panah itu istimewa sekali, ujungnya tidak tajam seperti panah biasa melainkan berbentuk bulat telur seperti terbuat dari besi dan berwarna hitam pekat.

Hoa In-liong memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, walaupun jarak antara tebing timur dengan tebing barat selisih beberapa li, namun ia dapat menyaksikan semua keadaan tersebut dengan jelas, diam-diam hatinya merasa terperanjat.

Kepada Thian Ik-cu bisiknya, “Tootiang harap kau mencarikan akal untuk ledakkan pinggiran telaga disebelah sisi tebing tersebut.”

“Apakah Jia Hian mempergunakan senjata api?” tanya Thian Ik-cu sambil mengerutkan dahinya.”

“Benar!” Hoa In-liong mengangguk, “Ciang siok ya pernah membicarakan soal panah Lui hwe cien itu denganku”

ooooOoooo 56

Luas lembah ini cukup lebar ujar Thian Ik-cu, para jago pun memiliki gerakan tubuh yang enteng dan lincah, ketajaman matanya melebihi orang lain, ditambah pula jumlah Lui hwe ciam tidak banyak, aku rasa tak mungkin bisa meledakkan banyak orang.

Aku pikir Jin Hian pasti ada persiapan! kata Hoa In-liong dengan paras muka serius.

Thian Ik-cu tidak bertanya lagi, dia memandang sekejap ke bawah tebing kemudian memutar badannya dan berlalu dari situ. Terdengar Jin Hian tertawa terbahak-bahak lalu berseru, “Hoa Yang, coba kau lihat kelihayan lohu”

Tangannya lantas diulapkan, dan bentaknya, “Lepaskan panah!”

Kawanan jago pemanah yang menarik gendewa masing- masing itu segera mengarahkan anak panahnya ke arah tebing sebelah timur begitu Jin Hian menurunkan perintah, anak panah bagaikan hujan gerimis segera berhamburan ke mana-mana.

Meskipun jarak antara tebing timur dan barat selisihnya cukup jauh, panah Lui hwe ciam pun tidak mudah mencapai sasaran, namun puluhan orang pemanah tersebut semuanya merupakan kekuatan inti dari Jin Hian, tentu saja kepandaiannya luar biasa dan tenaga bidikannya kuat, dalam waktu singkat seluruh lembah sudah berubah menjadi bulan- bulanan anak panah mereka.

“Blaam……! Blaam…….”suara ledakan menggelegar tiada hentinya, bumi mulai bergetar kembali, perasaan setiap orangpun ikut menjadi tegang dan tercekat.

Diantara kilatan panah berapi yang meledak disana sini, pepohonan bertumbangan, pasir dan batu beterbangan memenuhi angkasa, bah kan menyusul kemudian terjadi kembali ledakan dahsyat yang memekikan telinga, jilatan angin yang kuat memancar hingga mencapai mencapai ketinggian tujuh delapan kaki lebih.

Tak bisa disangkal lagi, dalam hutan tersebut telah ditanam sejumlah bahan peledak yang sangat banyak, ketika terkena panah api geledek itu maka meledaklah obat peledak tersebut.

Kobaran api yang membubung keangkasa sungguh amat dahsyat dan sukar dilukiskan dengan kata-kata, padahal sejak Hoa In-liong memerintahkan untuk menurunkan tali hingga kini hanya beberapa saat saja, baru saja tali itu mencapai ditengah jalan, hutan yang lebat itu sudah berubah menjadi lautan api.

Dengan terjadinya perubahan yang berlangsung secara tiba-tiba ini, mereka yang berlarian menuju ketepi tebing itu tak sempat lagi untuk menyelamatkan diri, ditengah jeritan ngeri yang menyatkan hati, jilatan api dahsyat menggulung tubuh mereka dan seketika itu juga lenyaplan tubuh-tubuh mereka.

Sebenarnya Hoa In-liong berniat mengorbankan beberapa puluh utas talinya untuk meayelamatkau orang itu lebih dahulu, sayang tak sempat, akhirnya dia hanya bisa menghela napas dan menitahkan untuk berhenti menurunkan tali, dari pada benda-benda itu terbakar dengan percuma.

Agaknya Jin Hian belum puas dengan hasil karyanya itu, sekali lagi ia memberi tanda sambil berseru, “Separuh mengarah lapangan batu, separuh mengarah istana!”

Sreet! Sreet! Desingan angin tajam menderu-deru, puluhan batang panah Lui hwe cian tersebut serentak ditujukan kearah kawanan jago yang berada dilapangan serta istana Kiu ci piat kiong. Dari sekian ribu jago persilatan yang berkumpul disitu, ada sembilan puluh persen yang berkumpul ditengah lapangan, tentu saja mereka enggan untuk menyerah dengan begitu saja.

Goan cing taysu dan Cho Thian hua merupakan, tokoh- tokoh persilatan yaag bertenaga dalam paling sempurna, ketika dilihatnya panah api geledek itu tertuju semua kearah mereka, serentak kedua orang itu melompat keudara, kemudian telapak tangan masing-masing melepaskan sebuah pukulan yang maha dahsyat kearah depan, tujuh delapan batang panah Lui hwe ciam yang sedang meluncur tiba segera terguling ke udara dan terjatuh ditengah hutan pohon siong sana.

Para jago lainnya juga sama-sama bertindak, mereka melompat ke udara seraya melepaskan pukulan-pukulan dahsyat untuk menghantam panah itu dari sana, dengan demikian hanya beberapa batang saja yang terjatuh ditengah lapangan.

Ada pula diantaranya meski berhasil menangkap panah itu, tapi lantaran panah Lui bwe ciam itu sendiri sudah cukup berat, lagipula dibidikkan dari ketinggian ribuan depa, ini membuat bobotnya puluhan kali lipat lebih besar, karena tak tahan, akhirnya mereka ikut terjungkal pula ke atas tanah.

Ledakan-ledakan dahsyat kembali menggelegar diangkasa, diantara percikan bunga api, asap tebal yang disertai cahaya hitam yang beribu-ribu jalur banyaknya memancar ke empat penjuru.

Jeritan ngeri berkumandang dari sana-sini korban api menjilat setiap benda yang dijumpainya, mereka yang berada dipaling depan kontan terlempar dengan tubuh hancur berantakan sedang yang terluka tergeletak sambil merintih kesakitan, pemandangan waktu itu sungguh mengerikan sekali…….

Sementara itu, para jago yang berhasil merangkap panah- panah itupun merasa kuatir untuk memegang terus benda yang mudah meledak itu, tanpa diperintah, masing-masing segera melemparkan benda itu kedalam hutan.

Dengan demikian, secara beruntun terjadi ledakan demi ledakan dalam hutan itu, suara gerumuh yang memekikkan telinga membuat bumi mulai bergoncang kembali, api menjilat kemana-mana.

Pada saat yang bersamaan, istana Kiu ci piat kiong yang indah dan megahpun ikut terjilat si jago api dan mulai terbakar dengan hebatnya.

Dalam waktu singkat, beranda dan bangunan berlotengpun tertelan dibalik lautan api.

Suara peletuk-peletuk yang nyaring menggema dari sekeliling hutan, suara rintihan dan jerit kesakitan menambah seramnya suasana.

Kobaran api yang membara telah menjulang tinggi ke angkasa, asap tebal membuat napas setiap orang terasa sesak, kecuali beberapa orang jago lihay yang berhasil menyelamatkan dirinya, hampir semua orang lain menjadi gugup gelagapan dengan sendirinya.

Kini semua hutan dan bangunan telah terjilat oleh kobaran api, dalam keadaan demikian jika Jin Hian mengarahkan lagi anak buahnya untuk membidik lapangan tengah, maka jangan harap semua jago bisa lolos dari situ dalam keadaan selamat. Hoa In-liong yang berdiri diatas puncak tebing mengerutkan dahinya rapat-rapat, walau pun ia mengambil keputusan untuk meledak kan tepi telaga untuk mengalirkan air telaga guna memadamkan api, tapi besarnya kobaran api dalam lembah tersebut sungguh jauh diluar dugaannya.

Diam-diam ia berpikir, “Tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk meledakkan pinggiran tepi telaga itu, kalau dilihat dari situasi saat ini…….”

Mendadak terdengar Ci wi Siancu berteriak keras, “Liong ji!” Hoa In-liong tertegun, kemudian sahutnya. “Sam kokoh ada urusan apa?”

“Jika kami telah mati nanti, aku rasa Jin Hian pun tak akan lolos dari ujung pedang ayahmu, cuma aku minta kau yang mem binasakan dirinya!”

“Jangan kuatir Sam kokoh” tukas Hoa In-liong, “keponakan pasti akan berhasil untuk menyelamatkan kalian semua”

Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, dengan gusar Ci wi siancu berseru kembali”

“Kau jangan menukas dulu, ingat! Kau harus memenggal batok kepala Jin Hian untuk bersembahyang didepan pusara kami, selain itu kau pun selanjutnya harus membasmi kaum laknat dari muka bumi, jangan seperti ayahmu, haram!

Seandainya pada waktu itu dia bunuh habis semua cucu iblis ini, darimana mungkin bisa terjadi bencana seperti hari ini?” “Yaa, kau harus mewakili kami untuk mencaki maki ayahmu” sambung Li Hoa siancu, “Liong ji, sudah kau dengar belum?”

Sementara itu suara hiruk pikuk hampir menyelimuti seluruh lembah tersebut, walaupun Hoa In-liong telah memusatkan perhatian-nya untuk mendengarkan pembicaraan dari Biau-nia Sam-sian, sedangkan Biau-nia Sam-sian pun telah mengerahkan segenap tenaga nya untuk menindas suaranya hiruk pikuk itu, namun suara mereka yang melengking semakin membuat kacaunya suasana.

Tiba-tiba terdengar seseorang menjerit keras.

“Sobat-sobat semua, tanpa sebab kita sudah terjerumus dalam suasana seperti ini, tahukah kalian kenapa hal ini bisa terjadi?

“Kenapa?” seseorang bertanya dengan suara lantang. “Coba bayangkan sendiri, seandainya Hian-beng-kau tidak

ribut mengadakan upacara peresmian, tak mungkin kita bisa

terjebak dalam suasana seperti ini?”

Begitu ucapan tersebut diutarakan, para jago merasakan api amarah berkobar dalam dadanya, suara teriakan keras dengan cepat berkumandang dari sana sini,

“Benar! Hian-beng-kau adalah biang keladinya semua peristiwa ini…..!”

“Sebelum mati kita harus membunuh semua orang Hian- beng-kau sampai mampus, kita harus membalas dendam atas sakit hati ini” “Kok See-piau manusia laknat, dia harus dicinsang sampai berkeping-keping!”

Oleh karena semua orang tak bisa malampiaskan rasa dendamnya kepada Jin Hian, apalagi kematian sudah berada diambang pintu, maka rasa gusar dan dendam mereka segera dilampiaskan kepada para anggota dari perkumpulan Hian- beng-kau.

Untuk sesaat suasana menjadi gempar, para jago Hian- beng-kau menjadi sasaran kemarahan orang banyak bahkan mereka diserbu dan diserang secara membabi buta.

Diantara para penyerang itu ternyata termasuk juga para jago dari Kiu-im-kau maupun Seng-sut-pay.

Tiga orang jago persilatan yang berilmu biasa, dalam gusarnya ternyata tak tahu diri dan maju menyerang Kok See- piau.

Untung saja para jago kelas satu tidak terlalu menghiraukan masalah itu dan memusatkan perhatian mereka untuk meloloskan diri, maka dengan begitu pihak Hian-beng- kau pun masih dapat memper-tahankan diri dari kemusnahan.

Diam-diam Coa Wi-wi berpikir.”

“Yaa, betul juga, kenapa tidak kugunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk membasmi Hiau beng kau dari muka bumi?”

Dengan cepat ia menggerakkan tubuhnya siap menubruk kearah Kok See-piau.

Tiba-tiba lengannya terasa kencang, ternyata ia sudah dicengkeram oleh ibunya. Dengan alis mata berkenyit dan senyuman paksa tersungging diujung bibirnya, Coa Hujin berkata.

“Anak Wi, kita dari keluarga Coa tak usah melibatkan diri dalam pertarungan masalah seperti ini, coba kau lihat para jago lainnya, siapakah yang ikut dalam pertarungan tersebut?”

“Tidak ibu!” seru Coa Wi-wi dengan gelisah, “jika kesempatan baik ini kita sia-siakan, kemungkinan besar Kok See-piau akan melarikan diri dari sini”

Coa hujin segera tersenyum katanya. “Anak bodoh, kecuali malaikat atau dewa, siapapun jangan harap bisa lolos dari sini, aai…….!Kalau aku yang mati masih mendingan, kau dan anak Gi tidak sepantas nya”

Setelah menghela napas panjang, tiba-tiha ia menutup mulutnya rapat-rapat.

Coa Wi-wi segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya ngotot, “Tidak ibu, aku percaya jiko pasti berhasil menolong kita semua, tapi musuh-musuh itupun pasti akan ikut kabur juga”

Coa hujin tertawa getir.

“Oooh….apakah ia sanggup menolong kita?” keluhnya. “Pasti dapat!” Coa hujin mencoba untuk mengawasi

keadaan disekitar sana, kobaran api telah menjilat seluruh penjuru lembah tersebut, bunyi peletukan yang keras menambah seramnya susana. Jilatan api tersebut telah merambat dengan cepatnya ke depan, tampaknya sejenak kemudian seluruh tanah lapang itu akan tertelan oleh lautan api.

Suhu udara yang panas, asap yang tebal dan napas yang sesak membuat keadaan benar-benar menjadi amat kritis, untung saja semua orang yang berkurung adalah jago-jago silat yang bertubuh tangguh coba kalau tidak begitu, pasti banyak korban yang telah berjatuhan.

Ia mencoba mendongakkan kembali matanya, ia saksikan Hoa In-liong dergan sorot matanya yang tajam seakan-akan sedang memperhatikan pula ke arah mereka, diam-diam ia lantas berpikir, “Kalau dilihat keadaan tersebut, sekalipun Jin Hian tidak manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan, kami semua juga bakal mati terbakar, sekalipun jiko mu ada diatas lembah, apa pula yang dapat ia lakukan?”

Akan tetapi ketika dilihatnya gadis itu menunjukkan rasa percaya dan yakin yang tebal, ia merasa tak tega untuk menghilangkan rasa gembiranya maka sambil tertawa ia bertanya lirih, “Anak wi, apakah kau suka dengan jiko mu?” Paras muka Coa Wi-wi segera berubah menjadi merah jengah, serunya dengan wajah tersipu-sipu, “Ibu… ”

Menyaksikan wajah putrinya yang tersipu-sipu itu Coa hujin kembali berpikir, “Aaaaaai tampaknya putriku telah

dewasa, sifat kekanak-kanakannya tempo hari, kini sudah lenyap tak berbekas”

Dalam hati dia berpikir demikian, dimulut katanya sambil tertawa, “Anak Wi, ketika empek Hoa mu kembali ke gunung, ia menyingguug pula soal dirimu kepada kedua orang hujinnya, bocah kau tebak apa yang ia katakan? Apa pula yang di katakan dua orang hujin dari keluarga Hoa itu kepadaku?” “Apa yang mereka katakan?” tanya Coa Wi-wi sambil membelalakkan matanya lebar-lebar.

Coa hujin sengaja pura-pura berpikir, kemudian jawabnya. “Lebih baik tak usah ibu katakan, sebab setelah diucapkan

nanti kau pasti akan membuat ibu menggodamu lagi” “Ibu, katakanlah!” rengek Coa Wi-wi dengan manja,

“Baik, baik, akan ibu katakan” jawab Hoa hujin kemudian sambil tertawa, “empek Hoa mu tentu saja memuji-muji dirimu, dan kedua orang hujinnya?”

Sengaja ia berhenti sebentar, ketika dilihatnya gadis itu memandang dengan wajah cemas-cemas harap, diapun melanjutkan.

“Kedua orang hujin dari keluarga Hoa itu sambil tertawa lantas menuntut seseorang menantu kecil kepada ibu untuk mereka semua!”

Paras muka Coa Wi-wi kontan saja berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, sambil menyandarkan kepalanya dalam pelukan ibunya, ia membisik manja.

“Ibu nakal, ibu menggoda aku…….ibu nakal, ibu suka amat menggodaku……”

“Sementara itu, kobaran api telah merajalela sampai dimana-mana, jilatan api yang ganas membakar benda apapun yang dijumpainya, suasana digelanggang kacau balau tak karuan, benturan senjata jeritan ngeri menggetarkan hampir seluruh angkasa, tapi ibu dan anak dua orang itu bersikap seakan-akan tidak melihatnya, gelak tertawa dan pembicaraan berlangsung amat santai, seolah-olah hal tersebut berlangsung didalam rumah sendiri saja.

Ketika Kok See-piau menyaksikan semua persiapan yang diaturnya dengan susah payah untuk menjebak segenap enghiong dari kolong langit ternyata terbalik malah digunakan oleh musuh, rasa gusar yang berkobar dalam hatinya sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Namun bagaimanapun juga memang tak malu di sebut sebagai seorang tokoh persilatan yang berbakat, sekalipun menghadapi situasi yang buruk, pikirannya tidak menjadi kalut, dia tahu bila dalam keadaan demikian membunuh musuh maka hal ini akan memancing kemarahan khalayak umum yang akan mengakibatkan suatu keadaan yang fatal.

Maka dergan cepat ia mengebaskan ujung bajunya untuk menotok jalan darah ketiga orang itu kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia berteriak keras-keras, Hoa Yang, apakah kau ingin menolong rekan-rekanmu?”

“Kok See-piau” jawab Hoa In-liong hambar, “apa yang ingin kau katakan, aku orang she Hoa telah menyuruh orang untuk melakukan-nya, lebih baik jangan banyak bicara dari pada memberi peringatan dan mempertingkat kewaspadaan musuh!”

Mendengar perkataan itu, Kok See-piau segera berpikir, “Bocah ini benar-benar amat pintar!”

Kecerdikan orang itu tiba-tiba menimbulkan kobaran rasa iri yang amat besar dalam hati kecilnya, sekuat tenaga ia berusaha me ngendalikan perasaan tersebut, kemudian berkata, “Kau begitu cerdik dan cekatan, ini membuat pun sinkun merasa amat berlega hati, cuma persiapanmu yang terburu-buru tentu kurang begitu cermat, perhatikanlah dibawah ada sebuah batu hijau ditepi sebatang pohon bwe tua”

Walaupun tanya jawab diantara mereka berdua dilakukan dengan penuh teka-teki dan tanda tanya, sehingga tak seberapa orang yang memahaminya namun dalam menghadapi mara bahaya, perasaan mereka memang lebih tajam daripada biasanya, ketika bisa dirasakan bahwa jalan keluar sudah terbentang maka sebagian besar jago yang sedang bertarung segera ikut pula terhenti, Diam-diam Hoa In-liong berpikir.

“Kok See-piau bisa berpikir panjang dengann mempersiapkan bahan peledak ditepi telaga lebih dulu, membuktikan kalau dia memang berotak luar biasa. Siapa tahu sekali salah selangkah, kekalahan yang dihadapinya jadi makin runyam, itulah yang disebut perhitungan manusia tak bisa menangkan perhitungan Thian, asal………! Ingin mencelakai orang, dirinya yang tercelaka lebih dulu, inilah yang dinamakan senjata makan tuan”

Sementara ia masih berpikir, tiba-tiba Cia In menghampirinya sambil berbisik, “Sim Ciu sekalian yang berada ditebing seberang, tiba-tiba lenyap tak berbekas”

Berita ini sangat mengejutkan Hoa In-liong, ketika ia mendongakkan kepalanya tampaklah kecuali Jin Hian yang masih melongok keadaan sambil tiada hentinya memperhatikan gerak geriknya, Sim Ciu, Kiong Hau serta Gui Gi hong tiba-tiba telah lenyap tak berbekas.

Tapi setelah dipikir sejenak, ia lantas tahu apa yang terjadi, betul juga ketika ia mencoba untuk memasang telinga, maka terdengarlah suara bentakan dan bentrokan senjata telah berkumandang dari tujuh delapan li dari situ, tapi berhubung suara dari lembah amat membisingkan telinga maka tanpa tenaga dalam yang sempurna memang sulit untuk menangkap suara itu.

Dalam kejutnya ia tak berani berayal lagi, buru-buru serunya, “Perhatikan musuh baik-baik!” Sekali melompat dengan kecepatan luar biasa ia meluncur ke arah selatan.

Lembab bukit di Ui gou peng ini luasnya mencapai beberapa li, pada sisi timur sampai kebarat, sedangkan dari selatan sampai ke utara panjangnya sampai mencapai belasan li, dimana Hoa In-liong berada sekarang terletak dibagian tengah dari dinding selat yang agak datar permukaannya, luas permukaan itu mencapai puluhan kaki sehingga membentuk sebuah bukit kecil yang menonjol keluar.

Diatas puncak bukit terdapat sebuah telaga kecil, sekalipun tidak terhitung besar, itupun mencapai setengah dari puncak bukit itu, karena letaknya berdekatan dengan lembah maka dinding sebelah situ terhitung paling tipis.

Ditepi telaga merupakan bukit-bukit karang yang terjal dan naik turun tidak rata, sulit bagi orang bisa untuk melalui tempat tersebut, sekalipun bisa melampaui tempat itu, paling tidak satu jam lebih baru akan menyelesaikan perjalanan tersebut.

Namun bagi Hoa In-liong yang memiliki ilmu meringankan tubuh amat sempurna, dalam sekejap mata ia sudah berhasil tiba ditempat tujuan.

Terlihatlah ditepi pantai telaga tersebut, Thian Ik-cu dengan pedang terhumus sedang bertempur sengit melawan Sim Ciu, sedangkan murid-muridnya dengan membentuk barisan pedang Han lei kiam tin sekuat tenaga membendung gempuran-gempuran dari Kiong Hau serta beberapa orang kakek, sedangkan seorang tokoh setengah umur yang berwajah bersih dengan senjata hud tim ditangan kiri dan kaitan ditangan kanan, sekuat tenaga melangsungkan pertarungan seru mela wan Gui Gi hong.

Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong menjadi tertegun, pikirnya.

“Ternyata ia juga sudah datang, kenapa tidak nampak Hong giok?” Jalan tanah perbukitan tersebut menyempit pada bagian situ, jaraknya dengan dinding bukit seberang mencapai beberapa kaki lebar nya waktu itu dinding bukit telah merekah sebagian sehingga air telaga memancur turun kebawah sayang terlalu kecil air yang mengalir turun sehingga tiada gunanya untuk mengatasi semua keadaan disana.

Disekitar dinding tersebut tersebarlah bungkusan- bungkusan yang berisi bubuk yang berwarna hitam, jelas bubuk-bubuk hitam tersebut adalah bahan peledak.

Sim Ciu gembong iblis itu sungguh lihay sekali, ilmu Tay im sim jiau andalannya telah dikerahkan sehingga jari tangannya beberapa inci menjadi lebih panjang besarnya juga satu kali lipat dari keadaan semula, setiap kali serangan dilancarkan maka muncullah li ma gulung hawa putih yang menyelimuti angkasa.

Thian Ik-cu dengan menganyunkan pedangnya sedang memberikan perlawanan deng•n sepenuh tenaga, tapi ia terdesak terus menerus sehingga harus mundur kebelakang. Pertarungan antara Thian Siok-bi melawan Gui Gi hong berlangsung agak seimbang, sebaliknya Bu tim tojin sekalian belasan orang yang sedang bertarung melawan Kiong Hau beserta enam tujuh orang kakek itu berada rada posisi yang amat gawat. Bu tim tojin sekalian sesungguhnya terhitung jago-jago kelas satu dari dunia persilatan, dibawah barisan Kan lei kiam tin yang tangguh, belasan bilah pedang tersebut berkelebat silih berganti memancarkan sinar yang amat menyilaukan mata, cahaya pedang yang tajam, hawa serangan yang dahsyat serta perubahan barisan pedang yang luar biasa membuat Hoa In-liong benar-benar merasakan kejadian tersebut jauh diluar dugaan.

Namun ilmu silat yang dimiliki Kiong Hau sekalian bertujuh pun lebih hebat lagi, di bawah serangan-serangan yang demikian gencar, ternyata mereka sanggup mempertahankan diri tanpa kelihatan kepayahan atau menunjukkan pertanda kalau ngotot.

Ditinjau dari keadaan tersebut, dapatlah diketahui bahwa andaikata Bu tim tootiang tidak tertarung secara berkelompok, maka jika sampai berkobar pertarungan satu lawan satu tak sampai seperminum teh kemudian mereka sudah akan mati semua.

Dalam pertarungan sengit itu, tiba-tiba seorang kakek yang bersenjata toya melancarkan serangan dengan jurus Heng sau cian kun (menyapu rata selaksa prajurit) untuk memaksa mundur dua bilah pedang, kemudian toyanya mencukil kebawah dan sekantong obat mesiu melayang keudara melewati batok kepala semua orang dan….. “Plung!” tercebur kedalam telaga kemudian tenggelam kedasarnya.

Kejadian semacam ini jelas bukan hanya berlangsung satu kali saja, anak murid Thian Ik-cu menjadi amat gelisah sekali menyaksikan peristiwa tersebut, apalagi ketika dilihatnya kantong-kantong berisi mesiu yang hendak digunakan untuk menolong jiwa rekan-rekannya kian lama kian menipis tanpa sanggup untuk mencegahnya, ini semua membuat mereka bertambah panik. Seorang tosu menjadi nekad, sambil mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia maju ke muka dan melancarkan sebuah tusukan kilat ke dada kakek tersebut.

Dengan dilancarkannya serangan yang mematikan ini, meski serangan tersebut amat dahsyat, namun pertahanan pada dada kiri nya menjadi terbuka lebar.

Kakek bersenjata toya baja itu segera mendengus, sambil maju badannya berputar kencang, toyanya diputar menggetarkan pedang lawan, kemudian telapak tangan kanannya diayunkan ke depan sambil membentak, “Pergi kau dari sini!”

Sebuah pukulan dahysat dengan telak bersarang di dada kiri iman tersebut.

Tosu itu meraung keras dan muntah darah segar, tubuh berikut pedangnya mencelat sejauh beberapa kaki dan tewas seketika itu juga.

Baru saja membunuh orang itu dan tubuhnya belum sempat berdiri tegak tiba-tiba beberapa gulung desingan angin dingin menyambar tiba dari belakang punggungnya.

Sambil memutar toyanya dia segera melancarkan pertahanan, “Traaang…..!” bentrokan nyaring berkumandang memecahkan keheni ngan, pedang-pedang lawan yang sedang menyergap tibapun segera terpental kebelakang semua…..

Seorang murid Thian Ik-cu yang mendendam karena saudara seperguruannya terbunuh membentak keras, ia lupa akan keadaan dirinya yang terancam, secara nekad tubuhnya bergerak ke muka menusuk punggung kakek tersebut….. Serangan ini betul bertenaga tangguh, tapi ia lupa bahwa keberhasilan mereka menahan serangan Kiong Hau sekalian adalah berkat keampuhan dari ilmu barisan tersebut, dengan tindakan ini bukan saja barisan menjadi kalut, diapun kehilangan peluang untuk ditolong oleh rekan-rekannya.

Terdengar seorang kakek yang bersenjatakan sepasang gelang Cu bu siang cuan tertawa tergelak, gelangnya tiba-tiba dilemparkan ke depan.

“Traaak!” batok kepala tojin itu segera terhajar hancur sehingga isi benaknya berceceran ditanah, keadaannya betul- betul mengerikan.

Pada gelang tersebut rupanyn diikat pula dengan sebuah rantai perak, sehabis membinasakan musuhnya, kakek itu menarik kembali tangannya dan menyimpan kembali senjata andalannya.

Setelan rekan seperguruannya terbunuh secara berulang kali, Bu tim tojin sekalian segera tercekam dalam perasaan dendam yang meluap, sepasang mata mereka menjadi merah membara, setiap orang mulai berniat untuk beradu jiwa.

Tiba-tiba terdengar Thian Ik-cu berseru, “Cing lian kalian harus tenangkan dulu pikiran dan bertarung secara mantap…”

Baru saja berbicara sampai setengah jalan Sim Ciu telah mendengus dingin, secara beruntun ia lancarkan tiga buah serangan berantai.

Dalam keadaan demikian, mana mungkin buat Thian Ik-cu untuk melanjutkan kata-katanya, terpaksa ia telan kembali ucapan selanjutnya dan memusatkan semua perhatiannya untuk siap menghadapi lawan. Ciong Hau tidak terhitung, ketujuh orang kakek yang tidak diketahui asal usulnya ini sungguh hebat bukan kepalang, sekalipun Bu tim tojin sekalian bertekad untuk melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga, itu pun tak lebih hanya akan menambah melayangnya jiwa secara percuma.

Situasi menjadi amat kritis, agaknya sebentar lagi barisan Kao lei kiam tin tersebut akan menjadi berantakan……

Andaikata barisan Kao lei kiam tin serta Thia Siok-bi, dalam keadaan begitu, kematian orang itu hanya tinggal menunggu waktu belaka…..

Setelah itu asal mereka musnahkan sumbu bahan peledak yang tertanam disepanjang tepian telaga itu, sehingga air telaga tak sampai mengalir kebawah, tak bisa disangkal lagi para jago yang terkurung dibawah lembah pasti akan musnah semuanya.

Tempat dimana Thian Ik-cu beserta anak muridnya dan Thia Siok-bi bertarung melawan Sim Ciu, Kiong Hau sekalian letaknya berada diatas sebuah bukit yang menonjol keluar, Jin Hian yang berada diseberang dapat mengikuti semua jalannya pertarungan itu dengan jelas, sedangkan pemandangan dibawah tebing pun sebagian besar dapat ter lihat dengan nyata, satu-satunya tempat yang tak bisa dilihat olehnya justru adalah tempat dimana orang-orang Cian li kau, dua bersaudara Kiong, Huan Tong dan Hoa In-liong berada.

Tapi jarak antara dasar lembah dengan tebing curam itu kelewat jauh, tanpa tenaga dalam yang sempurna sulit buat mereka untuk melihat jelas jalannya pertarungan itu, walaupun demikian delapan sembilan puluh persen dari kawanan jago itu berusaha juga mengikuti jalannya pertarungan dengan seksama. Bayangan manusia tampak saling berkelebat, sambaran senjata menyilaukan mata, rupanya pertarungan yang sedang berlangsung disana amat sengit……

Betul orang yang sedang terlibat dalam pertarungan tiada hubungannya dengan mereka, tapi semua jago didasar lembab sadar bahwa menang kalahnya pertarungan yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi mati hidup mereka semua.

Cia In dan dua bersaudara Kiong sekalian yang ada ditebing sebelah timur tak dapat mengikuti pula jalannya pertarungan tersebut, dalam keadaan demikian merekapun hanya bisa mengikuti perubahan sikap orang-orang yang berada didasar lembah sambil menduga-duga sendiri keadaan yang sesungguhnya.

Jin Hian yang melihat bahwa semua rencananya hampir berhasil, tak tahan lagi segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, sedang para jago diatas tebing berubah hebat mukanya, para jago didasar lembah sama- sama menjerit kaget, keadaan menjadi bertambah kalut………

Disaat yang kritis itulah, mendadak dari tempat kejauhan sana berkumandang suara pekikan nyaring yang memekikkan telinga, semua orang mengenali pekikan tersebut berasal dari Hoa In-liong.

Dalam waktu singkat, gelak tertawa Jin Hian bagaikan dipotong orang secara paksa, seketika itu juga gelak tertawanya terhenti di tengah jalan…….

Sorak sorai dan tempik sorak segera berkumandang kembali memenuhi seluruh lembah. Kejadian ini sangat mangherankan orang-orang di tebing sebelah timur, tapi mereka tahu, situasi tentu sudah mengalami lagi pe rubahan yang amat besar.

Dengan cemas Kiong Gwat lam bertanya, “Cici, apa yang telah terjadi?”

Kiong Gwat hui ulapkan tangannya sambil tertawa getir, ini pertanda kalau dia sendiripun tak tahu.

Kiong Gwat lan kembali berpaling serunya, “Enci In!”

Cia In sendiripun tak dapat mengendalikan perasaannya yang kalut, sambil tersenyum ia segera mendahului, “Kalau kau bertanya kepadaku, aku musti bertanya kepada siapa?”

Kiong gwat lan menjadi panik sekali, gumamnya kemudian, “Tempat ini betul-betul tempat seperti setan..!”

Dengan perasaan kalut ia berjalan mondar-mandir seorang diri seperti semut dalam kuwali panas.

Semua kejadian yang berlangsung secara beruntun ini memang panjang untuk diceritakan, pada hal sejak Hoa In- liong pergi sampai kini, waktu hanya berlangsung beberapa menit saja.

Hoa In-liong yang menyaksikan semua kejadian tersebut ditebing itu menjadi naik darah, sambil berpekik nyaring ia segera menerjang kedalam arena pertarungan.

Tubuhnya masih berada ditengah udara, pedangnya telah diloloskan dari sarung, kemudian dengan memantulkan sinar putih bagaikan pelangi, dia menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa. Semua orang yang sedang bertempur menjadi amat terperanjat ketika secara tiba-tiba menyambar datang cahaya pedang yang menusuk pandangan serta tenaga serangan yang kuat bagaikan tindihan bukit Taysan, baik musuh maupun teman segera mengangkat senjata masing-masing untuk membendung datangnya serangan itu.

Terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecahkan keheningan. Ketika cahaya pedang sirap kembali, kakek bersenjata toya baja itu sudah tergeletak ditanah dengan bermandikan darah segar.

Seorang pemuda tampan berjubah perlente tahu-tahu sudah berdiri muncul ditengah arena, pedangnya menuding kelangit dengan wajah serius, wibawanya besar sekali bagaikan malaikat yang baru turun dari kahyangan.

Semua orang segera menghentikan pertarungan dengan perasaan bergetar keras, dengan mata terbelalak mereka awasi wajah Hoa In-liong tanpa berkedip.

Setelah suasana hening sejenak, Hoa In-liong baru menatap sekejap wajah semua orang, kemudian ujarnya kepada Tnian Ik-cu.

“Thian Ik cianpwe harap kau bongkar batu hijau ditepi pohon bwe itu, sulutlah sumbuhnya”

Dengan semangat berkobar kembali, Thian Ik-cu memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, benar juga seratus kaki didepan sana tumbuh sebatang pohon bwe, disisinya terdapat sebuah batu hijau yang besar bagaikan baskom dan berkilat. Bagi orang yang berpengalaman dalam sekilas pandangan saja tentu akan tahu kalau sumbu mesiu terebut tentu ditanam dibawah batu ini.

Sim Ciu adalah seorang manusia bengis yang telah terkenal selama tiga jaman, pengalamannya luas pengetahuannya juga cukup ketika mendengar perkataan dari Hoa In-liong tersebut kebengisannya segera berkobar kembali, dia berpikir, “Hoa Goan siupun sudah lohu jagal, masa seorang cucunya musti kutakuti? Kalau cecunguk seperti inipun memecahkan nyaliku, lebih baik aku bunuh diri saja”

Maka ketika dilihatnya Thian Ik-cu mulai bergerak, dengan mata bengis melotot besar teriaknya seram, “Tua bangka hidung kerbau, kau anggap pekerjaan tersebut bisa kau lakukan seenaknya?”

Dengan kelima jari tangannya yang terpentang bagaikan kaitan, ia cengkeram dada Thian Ik-cu.

Melihat datangnya ancaman tersebut, Thian Ik-cu berkerut kening, pedangnya segera diputar untuk menyambut datangnya ancaman tadi.

Tiba-tiba terdengar Hoa In-liong mendengus dingin, Sim Ciu hanya merasakan matanya menjadi pedas karena silau oleh cahaya merah, tahu-tahu bayangan hitam sudah melintas didepan mata.

Dengan perasaan terkesiap ia menarik kembali serangannya sambil melompat kesamping untuk menghindarkan diri.

Ketika ia berdiri tegak kembali, tampaklah Hoa In-liong dengan sikap yang tenang bagaikan tak pernah terjadi apa- apa telah berdiri kembali ditempat semula, seolah-olah serangan tersebut bukan dia yang melancarkan.

Dalam kejut dan malunya, ia menjadi naik pitam, dengan suara keras bentaknya.

“Bocah keparat, aku tidak percaya kalau kau memang berilmu tinggi!….”

Sambil berpekik nyaring,ilmu Tay im sin jiau nya dengan membawa suara pecahan bambu yang memekikkan telinga segera menyambar ke tubuh Hoa In-liong.

Tujuh orang kakek yang lain kebanyakan bersenjatakan senjata aneh, setelah terbunuh seorang, kini tinggal enam orang.

Sesungguhnya merekapun sudah dibikin terkejut oleh kelihayan Hoa In-liong, maka ketika dilihatnya Sim Ciu sudah turun tangan, merekapun tak berani berayal, senjata masing- masing segera disiapkan untuk menyerang anak muda itu.

“Anjing laknat!” bentak Thia Siok-bi dengan marah.

Senjata kaitan kemalanya diputar, ia siap menerjang pula ke depan.

Gui Ci hong dengan cepat mengayunkan telapak tangannya ke depan melepaskan sebuah pukulan hawa dingin yang merasuk tulang, inilah pukulan Sui sim ciang (pukulan penghancur hati) yang diandalkannya selama ini.

Barusan nyaris Thia Siok-bi tewas ditangannya oleh pukulan tersebut, ketika dilihatnya orang itu kembali melancarkan serangan dengan ilmu Sui sim ciang, ia mendengus gusar, sambil berkelit ke samping, senjata hud timnya menggulung ke depan dengan senjatanya mencukil keatas melepaskan serangan balasan.

Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata, sekali mengayunkan pedangnya seketika itu juga Hoa In-liong telah mengu rung Sim Ciu ber-enam ke dalam lapisan hawa pedangnya, ia segera berteriak nyaring, “Tootiang, cepat pergi!”

Setelah menyaksikan kehebatan Hoa In-liong didalam melancarkan serangannya Thian Ik-cu menjadi berlega hati, ia tahu meledakkan tanggul telaga lebih penting dari segala- galanya, maka dengan cepat ia memutar badan dan lari menghampiri pohon bwe tersebut.

Waktu itu hanya Kiong Hau berdua yang belum turun tangan, menyaksikan perkembangan situasi tersebut dia lantas berpikir, “Ilmu silat yang dimiliki bocah keparat ini sungguh lihay sekali, lebih baik lohu jangan keburu-buru menghalanginya, aku musti mencari akal untuk menghancurkan sumbu-sumbu mesiu tersebut”

Sebagai orang yang berakal licik dan banyak tipu muslihatnya, setelah berpikir sejenak, dia lantas membentak, “Thian Ik-cu hidung kerbau, sambut peluru ini!”

Diantara getaran tangannya, sebutir peluru pek lek tan segera disambit.

Dengan ilmu silat yang dimiliki Thian Ik-cu, peluru Pek lek tan dari Kiong Hau tidak akan menyusahkan dirinya, karena itu sewaktu didengarnya senjata rahasia Kiong Hau tersebut tidak menyambar kearahnya, diapun tidak mengambil perduli akan tibanya sambaran Pek lek tan yang nyambar lewat dari samping itu. Namun setelah diketahui Pek lek tan yang dilepaskan tersebut mengarah pada batu hijau dimana sumbu mesiu terdapat, ia menjadi terperanjat sekali, untuk mencegah jelas sudah tak mungkin lagi.

Anak muridnya dan Thia Siok-bi juga tak sanggup berkutik menghadapi kejadian ini, mereka hanya terbelalak dengan hati terkejut.

Jeritan kaget segera berkumandang memecahkan keheningan, sementara para jago di buat terkejut oleh peristiwa itu. Jin Hian dan konco-konconya menjadi bergirang hati.

Dengan gemas Go Tang cuan memaki, “Thian Ik-cu, goblok kamu!”

Dalam pada itu pedang Hoa In-liong sedang berputar mengurung Sim Ciu beserta ke enam orang jago lainnya, namun semua kejadian yang berlangsung seakan-akan tidak terlepas dari pengamatannya, dalam situasi demikian, tiba-tiba ia tertawa seraya berseru, “Kiong Hau, kau memang amat cerdik!”

Telapak tangan kanannya segera diayunkan ke depan, segulung tenaga pukulan angin berpusing dengan cepat membawa serangan dari Sim Ciu sekalian nyelonong kesamping sedangkan tangan kanannya segera diputar mengayunkan pedangnya ke depan.

Sesungguhnya peluru Pek lak tan itu menyambar duluan ke depan, ternyata sebelum benda tadi menghancurkan batu hijau dan melenyapkan harapan para jago untuk meloloskan diri, pedang Hoa In-liong sudah keburu menyambar lebih duluan, cahaya tajam berkelebat lewat, tahu-tahu benda itu sudah tertumbuk sehingga tercebur kedalam telaga. Padahal peluru Pek lek tan adalah semacam benda yang mudah meledak bila tersentuh, tapi entah gerakan apa yang telah digunakan Hoa In-liong, kenyataannya meski tersentuh oleh pedang yang menyambar cepat, benda itu sama sekali tidak sampai meledak.

Ketika pedang itu sudah menumbuk jatuh peluru Pek lek tan, dengan kecapatan tinggi senjata itu segera menyambar ke depan sana dan tampaknya segera akan terjatuh kedalam lembah yang telah be rubah menjadi lautan api.

Siapa tahu, disaat yang terakhir itulah mendadak pedang itu berputar satu lingkaran besar dan meluncur kembali ke tepi tebing.

Sambil tertawa nyaring Hoa In-liong melambung ke udara dan menyambar kembali senjatanya.

Semua kejadian tersebut dapat diikuti oleh setiap orang dengan amat jelasnya, paras muka Jin Hian segera berubah hebat, sedangkan para jago yang berada dalam lembah betempik sorak memuji kehebatan si anak muda itu.

Walaupun begitu, bukan berarti para jago itu bisa mengikuti semua jalannya pertarungan dengan amat jelasnya, diantara sekian banyak orang, boleh dibilang hanya Cho Thian hua dan Goan cing taysu yang dapat mengikuti kejadian ini paling jelas.

Sambaran tangan Hoa In-liong yang berhasil mengesampingkan serangan dari Sim Ciu sekalian itu ternyata tak lain adalah jurus Lui tiong ban wu (menggetarkan selaksa benda) dari ilmu pukulan Su siu hua heng kang yang maha dahsyat itu. Goan cing taysu yang menyaksikan kehebatan dari perubahan jurus itu kontan saja bersorak memuji, meski dia adalah seorang pendeta yang beriman tebal, kenyataannya tak dapat membendung juga luapan emosi dalam hatinya.

“Anak bagus, kau memang tidak menyia-nyiakan harapanku!” demikian gumamnya.

Tiba-tiba paras muka Cho Thian hua berubah hebat, sambil berpaling ia lantas berseru, “Hwesio cilik, apakah bocah muda itu yang kau maksudkan sebagai orang yang sanggup menandingi lohu?”

“Betul!” jawab Goan cing taysu sambil tersenyum, “bagaimana menurut pendapat lo sicu?”

Cho Thian hua segera mendengus dingin.

“Hmmm…..! Ilmu pedangnya memang lumayan, cuma ilmu pukulannya masih ketinggalan jauh”

Goan cing taysu hanya tertawa hambar, ia tahu dari jalannya pertarungan tersebut gembong iblis itu telah berhasil mengetahui kalau ilmu pukulan yang digunakan Hoa In-liong adalah hasil pelajar annya, sebab itu sengaja dia berkata demikian.

Sedikit banyak hati kecilnya merasa kagum juga oleh ketajaman pandangan matanya.

Sementara pembicaraan masih berlangsung, Hoa In-liong telah menyambar kembali pedangnya sambil melayang turun kebawah, katanya dengan suara lantang;

“Saudara sekalian serahkan saja mereka semua kepadaku!” Baru saja Thia Siok-bi hendak msnyerang dengan senjata kaitan kemalanya, tahu-tahu Gui Gi hong telah terkurung oleh hawa pedang Hoa In-liong, yang lebih hebat lagi, ternyata dia yang berada dihadapannya tidak merasa bagaimana caranya pemuda itu bertindak. 

Kiong Hau serta Gui Gi hong lebih lebih kebingungan lagi, mereka hanya merasakan serangan dari Hoa In-liong menyambar datang, tahu-tahu tubuh mereka berdua sudah terkurung oleh lapisan pedang lawan.

Dengan demikian Hoa In-liong seorang diri harus bertempur melawan Sim Ciu sekalian delapan orang jago, kenyataannya ia tak nampak ngotot ataupun tertekan, semua gerak-geriknya bisa dilakukan dengan enteng, gesit dan cekatan.

Ketika harus bertarung melawan Gui Gi hong tadi, Thia Siok-bi telah merasakan tekanan yang luar biasa hebatnya, ia cukup menyadari akan kehebatan musuhnya, maka tak heran kalau dia menjadi terkejut sekali setelah dilihatnya Hoa In- liong harus bertarung melawan delapan orang musuh dengan gerakan yang santai.

Padahal dia tahu, jangankan Sim Ciu serta Kiong Hau yang berilmu dahsyat, keenam orang kakek inipun memiliki kepandaian tidak berada dibawah Gui Gi hong, dari kesemuanya ini terbuktilah sudah sampai dimanakah kelihaiyan Hoa In-liong yang sesungguhnya.

Tak kuasa lagi semua kegagahan dan semangat tempurnya hilang lenyap tak berbekas, pikirnya, “Aaaai… mulai sekarang lebih baik aku Thia Siok-bi tidak membicarakan soal dunia persilatan lagi…..” Dari sekian banyak jago yang terkurung didasar lembah, pihak para pendekarlah yang paling gembira menyaksikan adegan pertarungan itu.

Ciu Thian hau sekalian jago-jago tua merasa berlega hati karena keturunan keluarga Hoa terbukti tangguh sekali, Hoa Ngo berdiri dengan wajah berseri, sedangkan Bong Pay dan Kho Thay saling berpandangan sambil tersenyum, semuanya menyambut kehebatan pemuda itu dengan hati riang……..

“Bocah ini… ”gumam Tiang heng Tokoh.

Tiba-tiba ia merasakan kesedihan yang meluap, titik-titik air mata segera jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Pui Che-giok maju menghampirinya sambil menggunakan saputangan untuk menyeka air matanya, sedang tokoh tersebut hanya berdiri kaku tanpa bermaksud menghalanginya.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar