Bab 9 : Keluarga bangsawan Iebih dalam dari samudra (tamat)
Pintu ruangan hanya dirapatkan, tiga orang itu langsung berjalan masuk ke dalam ruangan.
Paras muka Ong Ceng Hui nampak sedikit pucat, sepasang mata Jiu Heng Kian juga nampak agak memutih, pucat karena kurang tidur? Atau karena minum arak terlalu banyak? Mereka sendiripun tak tahu.
Hanya paras muka Hoa Suya tidak berubah, perduli dia berada dimana pun, melakukan pekerjaan apapun, orang selalu melihat wajahnya dihiasi senyuman dan keramah tamahan, bahkan ketika berbuat serong dengan bini orang lain, atau sedang merampas harta milik orang sambil menggorok leher tuan rumah pun dia selalu tampil dalam keadaan begitu.
Mereka semua belum pergi, karena harus menunggu kabar, menunggu kabar dari Siau Cing.
Mereka sudah menunggu dengan perasaan gelisah, tapi masih juga menunggu, karena mereka percaya Siau Cing pasti tak akan gagal.
Baru sekarang mereka mengerti, ternyata dugaan itu salah.
Cahaya matahari memancarkan sinarnya ke seluruh permukaan tanah, menerangi halaman yang lebar, menyinari pula bangunan rumah yang bersih, lamat lamat selapis hawa pembunuhan yang tebal seakan menyelimuti sekeIiiing tempat itu.
Hoa Suya adalah orang terakhir yang berjalan masuk.
Begitu masuk ke dalam ruangan, dia segera membalikkan badan sambil menutup kembali pintu kamar, dia tak ingin Ti Cing Ling melihat perubahan mimik wajahnya saat itu. Siapa pun orangnya, paras muka mereka pasti akan berubah amat jelek apabila secara mendadak melihat seseorang yang disangkanya telah mati, ternyata masih duduk dihadapannya dalam keadaan segar bugar.
Untung saja Ti Cing Ling tidak memandang ke arah mereka, apalagi memperhatikan perubahan mimik muka mereka, dia hanya berkata singkat,"Silahkan duduk"
Yang berjalan masuk ada tiga orang, sementara dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah alas duduk saja, hanya cukup menampung satu orang.
Dengan kedudukan serta status sosial mereka, rasanya kurang terhormat bila mereka duduk diatas lantai.
Ong Ceng Hui melirik sekejap ke arah dua orang rekannya, dia tak ingin mendahului duduk diatas satu satunya alas duduk yang tersedia.
Pada saat itulah terdengar Ti Cing-ling berkata,"Hoa Suya silahkan duduk"
Hoa Suya menoleh ke wajah Ong Ceng Hui tapi orang she Ong itu buru buru membuang muka menghadap ke arah dinding, karenanya terpaksa Hoa Suya pelan-pelan duduk diatas alas kasur itu.
"Bukankah kalian sedang keheranan, aku yang seharusnya sudah mampus kenapa masih tetap segar bugar?” ejek Ti Cing Ling kemudian.
Ucapannya tak beda dengan caranya membunuh orang, langsung dan segera membuahkan hasil.
"Apa yang sedang kau katakan? Kami tidak mengerti" seru Jiu Heng Kian sambil berkerut kening.
"Bagus sekali"
"Tidak mengerti kok bagus?"
"Mengerti bagus, tidak mengerti pun bagus, sebab mengerti atau tidak hasilnya sama saja" kata Ti Cing Ling.
Dia segera berpaling ke arah Jiu Heng Kian. lalu tanyanya dingin, "Kau pingin mati dengan cara apa?"
Paras muka Jiu Heng Kian berkerut makin kencang, kulit wajahnya begitu tegang hingga persis seperti senar biola yang sedang dipetik.
"Kenapa aku harus mati?"
"Karena aku menghendaki kau mati" jawaban dari Ti Cing Ling selalu langsung dan singkat. "Hijau langit bagai air, naga terbang di angkasa, kau lupa aku ini siapa?" bentak Jiu Heng Kian
nyaring.
"Aku tidak lupa" jawaban Ti Cing Ling masih datar dan singkat, "kau menginginkan aku mati, aku pun menginginkan kau mati, perduli siapa pun dirimu, semuanya sama saja"
Ucapan seperti itu sesungguhnya seringkali diucapkan banyak jago di dunia persilatan, tapi bobotnya jadi beda sewaktu diucapkan oleh jagoan macam Ti Cing Ling, setiap perkataan yang dia ucapkan seakan akan merupakan sebuah vonis mati yang dijatuhkan seorang hakim yang memegang kekuasaan besar dalam penentuan mati hidup seseorang.
Dengan penuh kegusaran Jiu Heng Kian mengawasi Ti Cing Ling tanpa berkedip, tapi dia tak punya keberanian untuk beradu jiwa, biarpun seluruh otot tubuhnya telah mengejang kencang, namun isi badannya seperti sudah lemah tak bertenaga, sorot mata orang itu seakan seekor ular beracun penghisap darah yang telah menghisap darah daging serta seluruh keberaniannya.
Tiba tiba Ong Ceng Hui tertawa dingin, katanya:"Mati adalah mati, jika kau tetap menginginkan kematiannya, biarkan saja dia mati sekehendak hatinya, buat app mesti banyak tanya lagi?" "Betul, mati adalah mati, tak ada hal lain yang bisa menggantikan" dari wajah Ti Cing Ling yang pucat pasi terselip sinar keseriusan yang mencekam, terusnya, "langit diatas bumi dibawah, tak ada urusan lain lagi yang lebih nyata daripada kematianmu"
Kembali dia menghela napas panjang, tambahnya,"Betul sekali perkataanmu, kau memang tidak seharusnya menyalahkan dirinya lagi"
Sambil menghela napas, pelan pelan dia bangkit berdiri, berjalan ke hadapan Jiu Heng Kian kemudian dengan nada suara yang jauh lebih damai ketimbang tadi, katanya lagi. "Kau tak pantas disebut seorang lelaki sejati, biar keras tampangmu, hati kecilmu justru lemah dan lembek, padahal selama ini aku seIalu menyukai dirimu"
Tiba tiba dia gerakkan kedua lengannya, seperti sedang memeluk kekasih hatinya, dia rangkul dan peluk tubuh Jiu Heng Kian.
Temyata Jiu Heng Kian tidak menampik rangkulan ini, sebab dia seperti tak ingin menampik kebaikan orang.
Pelukan Ti Cing Ling bukan saja halus dan hangat bahkan penuh dengan perasaan, persis seperti nada ucapannya.
"Sekarang kau boleh pergi" katanya, "maaf, aku tak bisa menghantarmu lebih jauh lagi"
Selesai bicara dia pun lepaskan tangannya, ketika dia lepaskan rangkulan, Jiu Heng Kian masih menatapnya tanpa berkedip, menggunakan sorot matanya yang kosong, bingung, girang dan menderita mengawasinya termangu-mangu.
Dia dapat merasakan halus dan hangatnya pelukan itu, tapi bersamaan waktunya dia pun merasakan juga rasa sakit yang luar biasa.
Rasa sakit itu merasuk jauh ke dalam tulang sumsumnya, tembus hingga jantung dan urat nadinya.
Sampai tubuhnya roboh terkapar di tanah, dia masih belum tahu kalau jantungnya sudah tertembus sebilah golok yang ditusukkan dari belakang punggungnya ketika dirangkul tadi.
Sebilah golok yang amat tipis, lebih tipis daripada kertas. Senyuman ramah masih menghiasi wajah Hoa Suya yang bulat gemuk, dia hanya menghela napas panjang.
"Aku kagum padamu, Siau Houya, sekarang aku baru betul-betul merasa kagum kepadamu" katanya.
“Oya?”
"Aku pernah melihat orang lain membunuh, aku sendiripun pernah membunuh, tapi ternyata ada orang yang bisa membunuh seseorang dengan cara yang begitu lembut, halus dan hangat, bukan saja aku tak pernah menjumpainya, bahkan mimpi pun tak pemah kubayangkan"
Otot hijau sudah menonjol keluar diatas jidat, wajah serta lengan Ong Ceng Hui, teriaknya: "Dia bisa membunuh orang dengan cara seperti itu, karena dia memang bukan manusia"
Ti Cing Ling telah duduk kembali, duduk diatas alas duduk. "Kau keliru" katanya, "aku sengaja membunuhnya dengan cara itu karena aku kelewat suka dengannya"
Nada suaranya masih tetap datar dan penuh kedamaian, lanjutnya,"Terhadap kau tentu saja beda sekali, aku tak akan menggunakan cara seperti itu untuk membunuhmu"
Dengan sempoyongan Ong Ceng Hui mundur beberapa langkah, hardiknyra,"Kau berani menggangguku? Kau tahu siapa aku? Kau tak kuatir Lotoa dari Cing Liong Pang akan mencincangmu jadi daging cacah?"
Ti Cing Ling segera tertawa, tertawanya pun halus, lembut dan penuh kehangatan.
"Siapa kau? Apa kedudukanmu? Kau tak lebih hanya seekor babi yang berlagak sok pintar" katanya. Orang ini ternyata sanggup mengumpat orang lain dengan memakai nada suara yang begitu lembut, halus, penuh sopan santun dan hangat, kejadian semacam ini sungguh diluar bayangan siapa pun.
"Sebenarnya aku tak perlu membunuhmu, sepantasnya kalau kuserahkan kau kepada Nyo Cing" kata Ti Cing Ling lagi, “kaupun tak usah menguatirkan keselamatanku, dalam pendangan bos kalian, kau paling banter hanya seekor babi, dia tak akan menjadi marah hanya lantaran aku telah membantai seekor babinya"
Ong Ceng-hui tertawa keras, suara tertawanya mirip sekali dengan jeritan seekor babi yang siap diterkam serigala lapar, malah lebih mirip lagi dengan teriakan babi yang sedang disembelih.
Hanya bedanya. babi tidak bergolok, sedang dia punya senjata.
Golok emasnya yang selalu tersembunyi dibalik baju segera dicabut keluar, dia memang selalu sembunyikan senjata itu, bukan lantaran golok tersebut berlapiskan emas, tapi karena senjata itu adalah sebilah golok lng Ci To (Golok Sayap Manyar).
Senjata inilah baru senjata pembunuh yang sesungguhnya, senjata tajam yang digunakan bila dia ingin membunuh seseorang.
"Hoa Suya" teriak Ong Ceng hui dengan suara lantang, "kenapa kau masih duduk disitu?
Memangnya kau benar benar mau duduk menunggu kematian?"
Hoa Suya tidak bersuara, pun tidak bergerak, karena sejak awal dia sudah tahu bahwa selama berada di hadapan Ti Cing Ling, lebih baik dia tidak banyak bergerak.
Tenth saja dia berbuat begini karena dia punya alasan yang kuat.
Sebagai orang ternama, punya kekuasaan, punya kekuatan bahkan memiliki harta kekayaan yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia macam dia, bila sudah memutuskan untuk melakukan satu tindakan, tentu keputusan itu diambil karena didasari alasan yang sangat baik.
Sejak menyaksikan jasad tubuh Ban Kun Bu tempo hari, dia sudah tahu bahwa Ti Cing Ling adalah seorang manusia yang sangat menakutkan, sepuluh kali lipat lebih menakutkan daripada gabungan Jiu Heng Kian serta Ong Ceng Hui.
Tatkala dia saksikan Ti Cing Ling sama sekali tidak terbunuh di tangan Siau Cing, dia semakin membuktikan akan hal ini.
Satu hal yang paling penting adalah dia percaya Ti Cing Ling tak akan mengganggu dirinya Ini disebabkan sikap maupun cara Ti Cing Ling menghadapi orang lain sama sekali berbeda
dengan kebiasaan orang banyak, kalau tidak, mengapa dia secara khusus memintanya duduk disitu?
Hoa Suya berpikir terlalu jauh, bahkan bayangannya jauh dari kenyataan, berada dalam keadaan seperti ini, mengapa dia belum juga mau bergerak?
Ong Ceng Hui sudah mulai bergerak.
Dia tahu Ti Cing Ling adalah seorang jagoan yang amat sulit dihadapi, namun dia sendiripun bukan seorang jagoan kelas rendah yang gampang dihadapi.
Serangan goloknya ringan, ringan bahkan cepat.
Banyak orang persilatan selama ini berpendapat, andaikata senjata yang digunakan bukan sebilah golok emas, tapi sebilah golok tipis maka serangan yang dilancarkan pasti jauh lebih cepat daripada gerakan si Golok Emas murid kesayangan Ban Kun Bu.
Golok emas memang khusus diperlihatkan untuk semua orang, sementara golok andalannya tidak boleh dilihat siapa pun.
Ketika goloknya mulai menyerang, tatkala musuh dapat melihat golok andalan yang sesungguhnya, mungkin dia sudah mampus termakan bacokan senjata itu. Sekarang dia sudah mencabut goloknya, Ti Cing Ling juga telah melihat bentuk goloknya, tampak cahaya golok berkelebat lewat, tahu tahu dia sudah ancam tenggorokan Iowan.
Ti Cing Ling masih berada dalam posisi terduduk, duduk diatas alas duduknya, Ong Ceng Hui memang tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk melancarkan serangan balasan.
Jika ingin membunuh seseorang, jangan memberi kesempatan kepada musuhmu biar sedikitpun.
Ong Ceng Hui tahu tentang teori ini, bahkan dia telah melakukannya dengan tuntas.
Serangan goloknya sekarang mungkin merupakan serangan goloknya yang tercepat sepanjang hidup, karena dia sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya termasuk tenaga simpanan dalam tubuhnya.
Seseorang hanya bisa mengeluarkan tenaga simpanannya apabila keselamatan jiwanya sedang terancam bahaya dan posisinya amat kritis.
Kini, dia sudah terancam jiwanya, posisinya sudah amat kntis, jika Ti Cing Ling tidak mampus, maka dialah yang akan mati.
Ong Ceng Hui tidak mati, Ti Cing Ling jugs tidak mati.
Ketika cahaya golok berkilauan sambil membabat ke depan, tiba tiba Ong Ceng Hui merasa salah satu bagian tubuhnya seperti tertusuk oleh sebatang jarum.
Suatu tempat yang sangat istimewa, bahkan dia sendiripun tidak tahu dimana letaknya? Tiba tiba saja dia merasa sekujur badannya linu dan kesemutan, selain linu, kesemutan juga teramat sakit, begitu linu rasanya membuat air matanya seperti meleleh keluar.
Ketika rasa linu dan sakit itu sudah berlalu, dia mendapatkan dirinya masih berdiri di posisi semula dalam keadaan utuh, seakan tak pemah terjadi apapun, tak ada bedanya sama sekali dengan keadaannya tadi sewaktu berdiri untuk pertama kalinya.
Satu satunya yang berbeda adalah goloknya sudah tidak berada dalam genggaman. Golok miliknya saat itu sudah berada ditangan Ti Cing Ling.
Mengunakan ke dua jari tangannya Ti Cing Ling menjepit ujung golok itu, lalu sambil sodorkan kembali gagang golok ke hadapannya, dia berkata hambar:"Serangan golokmu tidak cukup cepat, kau mesti lebih cepat lagi, kenapa tidak dicoba sekali lagi?"
Mengapa Ti Cing Ling tidak membunuhnya? Mengapa dia memberi kesempatan sekali lagi?
Ong Ceng Hui tidak percaya karena dia sendiri tak pemah memberi kesempatan macam begini kepada lawannya, biar satu kali pun tidak pemah.
Tapi sekarang mau tak mau dia harus percaya, karena golok andalannya sudah kembali didalam genggamannya.
Tentu saja dia harus mencoba sekali lagi.
Serangan pertamanya gagal karena waktu itu dia kelewat tegang, tegang dapat membuat otot badannya kejang.
Kali ini dia harus bertindak ekstra hati hati, cara yang digunakan pun pasti jauh berbeda dengan cara pertama kali lagi.
Tiba tiba tubuhnya mulai bergerak, seperti ikan yang berenang di air, dia mengitari tubuh Ti Cing-ling tiada hentinya, agar lawannya sama sekali tak dapat melihat dari arah manakah serangan goloknya bakal dilancarkan.
Jurus serangan ini merupakan jurus gubahannya sendiri yang dikembangkan dari ilmu pukulan Pat Kwa Yu Sin Ciang (Pukulan Gerak Tubuh Delapan Penjuru), bacokan goloknya seakan dilepaskan ke posisi "Kan", tapi secara tiba tiba berubah arah dan berbalik menyerang dari posisi "Li". Bukan saja bacokan itu dilakukan sangat cepat, perubahan jurus pun teramat cepat, sayang hasilnya tak berbeda dengan serangan pertamanya tadi, sama sekali tidak membuahkan hasil.
Tahu tahu senjata goloknya kembali berpindah tangan.
Untuk kedua kalinya kembali Ti Cing-ling sodorkan golok tersebut ke hadapannya sembari berkata:"Kau masih boleh mencoba sekali lagi.”
Lagi lagi Ong Ceng hui ulurkan tangannya, lagi lagi menggenggam goloknya, menggenggamnya kuat kuat.
Kali ini dia tak boleh gagal lagi, walaupun dia tahu kesempatan ini bukan kesempatannya yang terakhir, bisa jadi Ti Cing Ling masih tiada hentinya akan memberi kesempatan kepadanya.
Tapi dia tak ingin menerima kesempatan yang lain.
Karena dia tahu, kesempatan semacam ini sudah bukan merupakan kesempatan lagi, melainkan satu penghinaan.
Tiba tiba saja dia merasa keadaannya sekarang ibarat seekor tikus yang sedang dipermainkan dibawah cakar si kucing.
Dia berjanji dalam hati kecilnya, serangannya kali ini tak boleh gagal lagi, dia berjanji kepada diri sendiri, serangannya ini tak boleh gagal lagi.
Bacokan golok itu merupakari bacokannya yang terakhir, setelah diayunkan ke depan, mata golok harus dinodai dengan darah segar.
Penghinaan yang telah diterimanya hanya bisa dicuci bersih dengan menggunakan darah.
Benar saja, serangannya kali ini sama sekali tidak meleset, begitu bacokan dilepaskan, mata golok itu segera terpercik darah segar.
Darah itu bukan darah dari Ti Cing Ling, melainkan darah yang berasal dari tubuhnya sendiri. Darahnya memang tak jauh berbeda dengan merahnya darah Ti Cing Ling.
0-0-0
Nyo Cing mulai melepaskan kain pembungkus senjata kait perpisahannya satu per satu, lalu dengan menggunakan ke dua tangannya dia sodorkan senjata kait itu ke hadapan kakek pengasah pisau.
Dia memohon kepada si kakek untuk membuatkan sebuah ramalan nasib atas senjata kaitan itu.
Cahaya matahari memancarkan sinar indahnya ke seluruh jagad, kakek itu menggenggam senjata kaitan dengan menggunakan ke dua belah tangannya, ujung kaitan menghadap ke langit dan membiarkan mata senjata terselubung dibawah cahaya sang surya.
Kaitan itu tidak bergerak, kakek itupun tidak bergerak.
Kecuali sepasang matanya, hampir seluruh badannya seperti telah berubah menjadi sebuah patung arca.
Petinya, semangatnya, hawa murninya, sukmanya, seolah olah sudah terhimpun jadi satu dan tertuju pada senjata kaitan yang digenggamnya itu.
Sinar matanya terang bagai bintang merah di langit utara.
Dia tatap senjata kaitan itu tanpa berkedip, lewat lama kemudian Dia baru buka suara, mengucapkan sesuatu persoalan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan senjata kaitan itu.
"Kau tentu sudah lama, lama sekali tak pernah makan enak, karena wajahmu nampak sangat kelaparan"
Nyo Cing tidak bicara, dia pun tidak bertanya mengapa secara tiba tiba dia mengucapkan perkataan itu.
"Senjata tajam hasil tempaan seorang empu kenamaan persis seperti manusia, bukan saja punya wajah juga punya darah, bila lama sekali tidak menghirup darah manusia maka senjata itu akan memperlihatkan rasa lapamya" ujar si kakek kemudian, "belakangan, senjata kaitan ini tentu sudah kenyang minum darah manusia, bahkan darah yang berasal dari seorang manusia luar biasa"
"Kenapa pasti berasal dan darah manusia luar biasa?"
"Perbedaan itu sangat kentara, ibarat seseorang yang baru saja kenyang makan sebuah santapan yang lezat dan mewah, paras mukanya tentu berbeda bukan dibandingkan orang yang baru saja makan makanan kasar yang murah dan sederhana?"
Perumpamaan semacam ini tidak terhitung tepat, namun Nyo Cing telah memahami apa yang dia maksudkan.
Mau tak mau dia mesti akui bahwa kakek ini memang memiliki kemampuan melihat yang luar biasa.
Kakek itu pejamkan matanya sambit termenung, sesaat kemudian kembali dia bertanya,"Siapa yang telah kau lukai?"
"Lan It Ceng, Lan Toa Sianseng"
"Aaah, kehendak langit, pasti kehendak langit" seru kakek itu tak tahan.
Dia membuka Iebar matanya, menengadah memandang angkasa, lalu dengan sorot mata memancarkan rasa hormat yang mendalam katanya:
"Tanpa disengaja Cau taysu telah menciptakan senjata kaitan itu, tapi gara gara kesalahannya dia harus menebus dengan kematian sendiri, mati ditangan Lan It Ceng. Sekarang Lan It Ceng terluka juga oleh senjata kaitan itu, bukankah kejadian ini merupakan kehendak langit?"
Berubah paras muka Nyo Cing.
Tapi sebelum dia sempat berkata, kakek itu telah berkata lebih jauh:"Sebenarnya senjata kaitan inipun merupakan senjata pembawa petaka, bagaikan seorang manusia yang dilahirkan tak genap, sejak lahir sudah membawa hawa sial, karena itulah begitu keluar dari tempaan, si pembuat seketika tewas karena senjata tersebut. Biarpun ayahmu sudah malang melintang di kolong langit, tapi sejarah kehidupannya juga dipenuhi kesedihan, petaka dan penderitaan yang tak terhingga"
Nyo Cing menunduk sedih, sementara sorot mata si kakek kembali terpancar sinar kegirangan. "Tapi sekarang hawa kesialannya telah punah, punah karena terkena darah dan Lan It Ceng"
ujar kakek itu lebih jauh, "ini dikarenakan Lan It Ceng sesungguhnya adalah pemilik senjata itu, tapi dia telah membuangnya; Sekalipun dia tidak membunuh Cau taysu, tapi Cau taysu mati lantaran dia, dia telah memasukkan hawa benci, hawa sakit hati dan hawa kesialan ke dalam senjata kaitan itu, hanya dengan menggunakan darahnya semua hawa kesialan tersebut baru bisa dipunahkan"
Penjelasan semacam in mengandung makna filosofi yang sangat dalam, namun dibalik kesemuanya itu didasari juga dengan alasan serta pemikiran yang jelas dan nyata, membuat orang mau tak mau harus mempercayainya.
Sambil pejamkan matanya, kembali kakek itu menghela papas panjang, katanya: "Semuanya memang kehendak langit, bila kehendak langit memang ingin memenuhi semua
keinginanmu, kau pun boleh berlega hati"
Dia serahkan kembali senjata kaitan itu ke tangan Nyo Cing, kemudian tambahnya, "Pergilah, apa pun yang hendak kau lakukan, jagoan hebat macam apapun yang hendak kau
hadapi, senjata itu tak akan membiarkan kau menderita kegagalan"
Nada suaranya seakan membawa kekuatan misteri yang amat kuat, bukan saja dia telah mendoakan keselamatan bagi Nyo Cing, dia pun menyumpahi musuh musuh anak muda itu.
Ti Cing Ling yang ketika itu berada ratusan li dari situ, tiba tiba seperti merasakan juga suatu perasaan yang tak enak, seperti nasib apes segera akan menimpa dirinya.
0-0-0 Ti Cing-ling tak pernah percaya tahayul, seiama hidup dia hanya percaya diri sendiri.
Ketika ujung pedangnya menembusi jantung Ing Bu Ok tempo hari, dia sudah berpendapat, tak ada seorang manusia pun di dunia ini yang mampu mengalahkan kemampuannya.
Tak heran kalau dalam waktu singkat dia sudah dapat memulihkan ketenangan serta sikapnya yang dingin, apalagi ketika memandangi wajah Hoa Suya, sikapnya seolah malaikat langit yang sedang memandang dingin seorang siaujin yang berdosa.
Hoa Suya sudah dibuat ketakutan setengah mati, biarpun masih duduk disitu, namun dia seolah sudah takluk dibawah kakinya.
"Tahukah kau, mengapa aku tidak membunuhmu?" tiba tiba Ti Cing Ling bertanya. "Karena aku masih berguna bagi Siau Houya" sahut Hoa Suya sambil tertawa paksa. "Aku
masih dapat melakukan banyak pekerjaan bagimu"
"Kau keliru" tukas Ti Cing Ling dingin, "aku tidak membunuhmu karena kau masih belum pantas memaksaku untuk turun tangan, kau selalu membuatku muak, sebal dan pingin tumpah"
Sambil berkata, tangannya dijulurkan ke bawah, memencet sebuah tombol rahasia yang berada ditepi alas tempat duduknya.
Tiba tiba alas duduk Hoa Suya mulai berputar kencang, berikut alas duduk itu permukaan lantai dibawahnya mulai bergeser ke samping.
Tahu tahu diatas permukaan Iantai telah terbuka sebuah lubang yang sangat gelap dan dalam.
Tubuh Hoa Suya segera terperosok jatuh ke dalam Iubang itu diiringi jeritan ngeri yang menyayatkan hati, jeritan tersebut jauh lebih menakutkan ketimbang kematiannya sendiri.
Karena sewaktu tubuhnya terperosok jatuh ke dalam gua itu, dia sempat melihat jelas keadaan di dasar gua
Apa yang terlihat oIehnya jauh lebih menakutkan daripada kematiannya sendiri.
Bunga seruni di kebun belakang gedung bangsawan nampak mekar dan indah, terutama di musim gugur yang kelabu seperti saat ini.
Ti Cing Ling seorang diri berjalan menuju ke atas sebuah gardu kecil, lalu kepada pelayan yang mengikuti di belakangnya dia berkata:"Hari ini aku hanya ingin bertemu satu orang, kecuali dia.. semuanya ditolak. Orang itu dari marga Nyo bernama Nyo Cing"
0-0-0
Anak tangga diluar pintu gerbang keluarga Ti yang dicat merah darah nampak panjang dan lebar, semuanya nampak bersih berkilau bagaikan sebuah cermin, bahkan Nyo Cing dapat melihat wajah sendiri diatas ubinnya yang putih.
Paras mukanya nampak kumal dan kuyu, sangat tak sedap dipandang.
Walaupun dari kantor kejaksaan di kota keresidenan ia berhasil mendapat sedikit ongkos jalan, namun jumlahnya begitu minim sehingga selama beberapa hari menempuh perjalanan jauh, boleh dibilang ia tak pernah makan kenyang.
Sudah hampir setengah jam dia duduk diatas undak-undakan sebeIum akhimya berjalan masuk melalui pintu disamping.
Kepada penjaga sombong yang tadi membukakan pintu, ia bertanya: "Tadi kau bilang Siau Houya berada di kebun belakang?"
"Ehm"
"Kau bilang sudah mengutus orang untuk memberi laporan, kenapa hingga sekarang belum ada kabamya?" tak tahan Nyo Cing bertanya.
Penjaga pintu itu memandang hina kearahnya, lalu dengan senyum tak senyum ia mendengus dingin, sahutnya ketus:"Kau tahu, butuh berapa lama untuk berjalan bolak balik dari sini hingga ke kebun belakang?' Nyo Cing menggeleng.
Sebenarnya dia ingin sekali menjotos hidung orang itu hingga berdarah, namun dia berhasil menahan diri.
"Kalau kau tidak tahu, biar aku beritahu kepadamu, dari sini sampai ke kebun belakang dibutuhkan waktu setengah jam" kata penjaga itu sambil tertawa dingin, "tempat ini adalah gedung mewah milik seorang bangsawan kerajaan, aku percaya seorang pegawai negeri rendahan macam kau belum pemah menjamahnya"
Terpaksa Nyo Cing menunggu lebih jauh.
Dari tempat tersebut boleh dibilang sama sekali tak dapat melihat situasi di dalam gedung, sebuah dinding tembok yang sangat tinggi dengan ukiran sembilan ekor Kilin telah menghalangi arah pandangan matanya, suasana dibalik tembok amat sepi, sama sekali tak kedengaran sedikit suarapun.
Kembali dia harus menunggu lama sekali, akhirnya dari balik gedung muncul seorang bocah berbaju sutera dan langsung mengaitkan jari tangan memberi kode ke arahnya.
"Siau Houya sudah setuju untuk bertemu denganmu, mari ikuti aku!"
Dibalik dinding tembok yang tinggi itu merupakan sebuah halaman yang sangat besar, tak ada pepohonan disana, juga tak ada kolam ikan.
Ditengah halaman yang luas hanya terdapat sebuah hiolo baja yang antik dan berbentuk sangat besar, membuat halaman itu nampak jauh lebih lebar, lengang dan Iuas.
Pintu gerbang dari gedung besar dihadapannya dalam keadaan tertutup rapat hingga sulit untuk melihat keadaan disitu, yang terlihat hanya sebatang pipa air yang besarnya dua pelukan manusia dewasa tergantung diatas wuwungan rumah.
Setelah menyaksikan tempat semacam ini, seseorang baru benar benar bisa memahami apa arti dari kekuasaan, kekayaan dan kekuatan, membuat siapa saja yang melihatnya merasa terkagum kagum.
Tapi Nyo Cing seperti tidak melihat apa apa, seperti tidak merasakan apa apa. Karena dihati kecilnya dia hanya memikirkan seseorang dan satu persoalan.
Lu Siok Bun masih menantinya di dalam rumah gubuk penderitaan yang sepi dan terpencil itu, maka dia harus bisa kembali dalam keadaan hidup.
0-0-0
Ruangan yang putih bagai salju masih kelihatan bersih dan kering, seakan-akan belum pemah ternoda oleh anyirnya darah.
Ti Cing-ling masih duduk bersila diatas alas duduknya, sambil menuding alas duduk dihadapannya dia berkata"Silahkan duduk"
Nyoo Cing pun duduk.
Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau duduk diatas alas itu tak ubahnva seperti duduk diatas mulut seekor hewan buas, hewan ganas yang setiap saat dapat menelan seluruh tubuhnya berikut daging dan tulang, bahkan setitik ampas pun tak tersisa.
Dengan sorot mata yang sangat aneh Ti Cing Ling mengawasinya, dia seperti menaruh rasa tertarik yang luar biasa terhadap orang ini.
"Sebenarnya tempat ini merupakan tempat yang biasa kugunakan untuk berlatih pedang, jarang ada tamu yang berkunjung kemari, karena itu jangan heran kalau akupun tak punya apa apa untuk menjamu mu" ujar Siau-hou-ya dengan suara hambar, "aku rasa, kau pun mungkin tak sudi menerima jamuanku"
"Betul" nada suara Nyo Cing sama dingin dan hambamya, "aku memang bukan tamu mu" Dia awasi terus wajah Ti Cing Ling tanpa berkedip, lanjutnya,"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, benarkah Si Si sudah mati? Betulkah kau yang membunuhnya? Benarkah uang kawalan telah dirampok dan ditukar Ong Ceng Hui? Benarkah dia telah datang kemari?"
Ti Cing Ling tersenyum, tersenyum sambil menghela napas panjang.
"Tahukah kau siapa aku? Tahukah kau tempat apakah ini? Mengapa kau begitu berani bicara Iancang dihadapanku?"
"Ini disebabkan aku tahu dengan jelas manusia macam apakah dirimu itu, maka aku baru berani bicara begitu"
"Kau adalah seorang manusia luar biasa, semua orang menanggap kau luar biasa, dan kau sendiri tentu berpendapat begitu. Dalam sepanjang sejarah hidupmu, kau selalu berada jauh diatas sana. Justru karena kau adalah manusia begitu, maka akupun baru berani bertanya dengan cara begitu"
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, kau tak bakal menyangkal atau herbohong dihadapanku, karena hakekatnya kau tak pernah pandang sebelah matapun terhadapku"
Tujuan orang berbohong adalah kalau bukan demi mencari simpatik dari lawan, tentulah demi melindungi keselamatan sendiri.
Bila kau sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap seseorang, maka tak ada alasan bagimu untuk berbohong, lalu kenapa mesti bohong?
Paras muka Ti Cing Ling sama sekali tidak berubah, dia malah balik bertanya:"Bila apa pun tak akan kukatakan?"
Nyo Cing termenung sambil berpikir sejenak, lewat berapa saat kemudian dia baru menjawab:"Jika kau tak mau menjawab, terpaksa aku harus pergi"
"Kenapa harus pergi,
"Karena aku tak punya bukti, bukan saja tak ada saksi juga tak ada barang bukti" kata Nyo Cing, "sesungguhnya aku memang tak mampu membuktikan bahwa kaulah yang telah melakukan semua perbuatan itu, juga tak akan ada orang yang bisa menjatuhi hukuman atas dosa dosamu itu lantaran tuduhan yang kuberikan"
"Oleh sebab itu kau memang tak bisa berbuat apa apa terhadapku?" "Benar?'
"Lalu kenapa kau datang kemari?"
"Semula aku mengira dengan datang kemari maka aku dapat menemukan bukti, paling tidak bisa mencari sebuah cara untuk menghadapimu, tapi setibanya di tempat ini, aku segera sadar bahwa aku salah"
"Dimana letak kesalahannya?"
"Salah karena walaupun aku tak pernah pandang enteng dirimu, tapi aku menilai dirimu kelewat rendah" kata Nyo Cing, "kau kelewat "besar", sedemikian besarnya sampai semua bukti telah berhasil kau kubur, sedemikian besarnya sehingga semua masalah yang mendatangkan ketidak beruntungan bagiku berhasil kau singkirkan"
Setelah berhenti sejenak, terusnya,“Sekarang aku sudah sadar, memang sulit bagiku untuk menghadapi manusia macam kau, ternyata di kolong langit benar benar terdapat manusia yang tak mungkin bisa diusik dan persoalan yang sama sekali tak bisa disinggung.”
Ti Cing Ling hanya mendengarkan semua perkataan itu dengan mulut membungkam, paras mukanya tak nampak perubahan, bahkan sedikit reaksi pun tak ada.
Nyo Cing sendiri juga masih duduk mematung disitu, setelah duduk setengah harian lamanya dia baru bangkit berdiri kemudian dengan langkah lebar tiba tiba berjalan keluar dari situ. Ti Cing Ling mengawasinya terus, ketika tiba di pintu ruangan dia baru berteriak keras: "Tunggu dulul"
Nyo Cing memperlambat langkahnya, pelan pelan dia maju beberapa langkah lagi sebelum berhenti, kemudian membalikkan badan menghadap ke arah lawannya.
Ti Cing Ling masih mengawasinya, mendadak sekulum senyuman sadis tersungging diujung bibirnya, namun dengan suara yang tetap mendatar dia berkata:"Aku bisa saja membiarkan kau pergi, agar orang lain yang menghadapimu, menghadapi kau sebagai seorang pencoleng, perampok dan koruptor, biar mereka yang menuduhmu telah menggelapkan uang kawalan. Aku yakin sekalipun kau membantah dan berkilah sampai mulut berbusa pun tak bakal ada orang yang percaya dengan perkataanmu. pada akhimya kau tetap akan mampus"
"Benar, kejadian mungkin akan berkembang jadi begitu, karena memang banyak kejadian berakhir seperti itu"
"Jika aku tidak perkenankan kau pergi, maka kini di kolong langit sudah tak ada manusia seperti kau lagi" Ti Cing Ling menambahkan.
Dia segera membuktikan kalau perkataannya bukan gertak sambal belaka, karena tangannya kembali memencet tombol rahasia dibawah alas duduknya, alas duduk dihadapannya segera bergeser dan dari atas permukaan tanah segera muncul lubang hitam yang amat gelap.
Nyo Cing tak tahan untuk tidak menengok dasar gua itu, tapi begitu dilihat, nyaris dia muntah karena mendadak perutnya terasa sangat mual.
Apa yang telah dilihatnya?
Walaupun apa yang dia lihat tak akan terlupakan untuk selamanya, namun dia pun selamanya tak akan menceritakannya keluar.
Alas tempat duduk telah bergeser kembali ke posisi semula, segala sesuatunya telah pulih seperti sedia kala, saat itulah Ti Cing Ling baru berkata:"Tahukah kau mengapa aku tidak berbuat begitu terhadapmu?"
Nyo Cing menggeleng, berusaha keras menahan diri, agar tumpahannya tak sampai muncrat keluar.
"Karena kau adalah seorang yang cerdik, walaupun jauh lebih cerdik dari apa yang semula kubayangkan, namun kecerdikanmu tidak kelewat batas" kata Ti Cing ling, "setiap ucapanmu sangat beralasan dan masuk akal, semua perbuatan dan tindak tandukmu adil, oleh karena itu aku harus menggunakan cara yang paling adil juga untuk menghadapi dirimu"
Senyuman yang lebih dingin, lebih sadis tersungging diujung bibimya, ia berkata lebih jauh:"Betul, Si Si memang mati ditanganku, uang kawalan yang dirampok memang berada ditempat ini, asal kau dapat mengalahkan aku dengan menggunakan senjata yang berada ditanganmu, semua uang begalan itu akan menjadi milikmu, selembar nyawa ku juga menjadi milikmu, kau boleh membawa pergi semuanya"
Nyo Cing memandangnya, mengawasinya sampai lama sekali, kemudian dengan menggunakan nada suara yang tak kalah dingin dan sadisnya dia menjawab,"Sudah kuduga, kau pasti akan berbuat begitu, karena kau kelewat congkak, kau tak pernah pandang sebelah mata pun terhadap orang lain"
0-0-0
Ti Cing Ling memang seorang lelaki yang amat sombong, tapi dia punya alasan yang kuat untuk sombong, untuk tinggi hati dan tak pandang sebelah mata terhadap orang lain.
Ilmu silay yang dia miliki sangat tinggi, hebat dan sempuma, kepandaian Nyo Cing masih bukan tandingannya. Dia tidak menggunakan pedangnya untuk menghadapi Nyo Cing, yang dia gunakan adalah golok tipis yang sangat pendek.
Sama seperti senjata Kait Perpisahan yang berada ditangan Nyo Cing, pisau tipis itupun hasil tempaan seorang empu yang sama, bahkan berasal dari bahan yang sama juga hanya gara gara si pembuat senjata salah membuat sebilah pedang mestika, akhirnya muncullah sebilah senjata kait dan sebilah pisau tipis.
Bedanya, Ti Cing Ling telah menguasahi semua tehnik dalam penggunaan pisau itu, ilmunya sudah mencapai puncak kesempurnaan, dimana dia bisa menyerang maupun bertahan sesuai dengan kehendak hati sendiri.
Kemampuannya mengendalikan golok itu persis seperti orang lain mengendalikan jaian pikiran sendiri, mau ke mana senjata itu akan bergerak ke mana, bila dia ingin menusuk jantung seseorang, maka sasarannya tak akan meleset walau setengah inci pun.
Tampak cahaya golok berkelebat, mata golok langsung menusuk ke jalan darah Ci-ti-hiat dibawah iga Nyo Cing, memang sasaran itu yang hendak ditusuk Ti Cing Ling.
Dia tak ingin NyoCing mati kelewat cepat.
Baginya, Nyo Cing adalah seorang yang sangat menarik, tidak terlalu sering dia dapat menikmati kesenangan yang kejam dan sadis semacam ini.
Dia pun tahu, jika jalan darah Ci Ti Hiat di iga seseorang sampai tertusuk maka separuh badannya segera akan jadi kaku dan kesemutan, dia akan kehilangan sama sekali kekuatan tubuhnya untuk melakukan perlawanan.
Jalan pemikiran itu sebenarnya benar dan sangat tepat, sayang dia tak pernah mengira kalau Nyo Cing memang khusus mempersiapkan senjata Kait perpisahan itu untuk menghadapi dirinya.
Cahaya tajam yang terpancar keluar dari Kait perpisahan sangat menyilaukan mata.
Nyo Cing sama sekali tidak berusaha menghindar, dia tidak berkelit dan membiarkan golok yang amat tajam itu menusuk ke atas jalan darah Ci Ti Hiat nya dan membabat lengan kirinya..
Lengan itu seketika berpisah dengan badannya.
Berpisah memang untuk berkumpul, asal dapat berkumpul, berapa besar pun penderitaan yang harus dialami selama berpisah, tetap harus diterima dengan hati lapang.
Ditengah penderitaan yang hebat dan mendalam, sambil menahan rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang sumsumnya karena kehilangan lengan sebelah kirinya, Nyo Cing menggigit bibir sambii mengayunkan senjata kait perpisahannya ke atas, langsung menyambar tenggorokan Ti Cing-ling yang sedang gembira.
Ti Cing Ling sangat terkejut, dia berusaha menghindar, tapi sayang keadaan sudah terlambat.
Tak ampun, nyawa Ti Cing Ling pun segera melayang meninggalkan raganya seperti juga kepalanya terpisah dari raganya. Siapa yang sombong pasti kalah.
Perkataan ini memang sangat benar dan tepat, siapa pun anda, camkan baik baik perkataan itu didalam hati dan jangan pernah melupakannya.
TAMAT