Jilid 25 : Oh Ibu..akhirnya bertemu lagi
TAMPAKLAH bambu kecil ditangan-nya bergetar tiada hentinya, dalam waktu singkat ia sudah berada di depan mulut gua.
“Nenek tua!” tiba-tiba Tio Sam-koh membentak keras, “cepat hentikan langkahmu, daripada mencari penyakit buat diri sendiri!”
Agaknya ilmu meringankan tubuh yang di miliki nenek baju abu-abu ini jauh di atas nenek buta, sebelum orang lain menyadari apa yang telah terjadi tahu-tahu ia sudah berada di hadapan lawannya. Nenek buta itu tidak menggubris bentakan orang, sambil bersuit nyaring, ia jejakkan kakinya ke atas tanah dan menerjang masuk ke dalam gua karang itu….
Tio Sam-koh sendiri meskipun buka suara memberi peringatan, akan tetapi tubuhnya tetap berdiri ditepi gua dan sama sekali tidak menghalangi perbuatan orang itu.
Hoa Thian-hong yang berdiri kurang lebih puluhan tombak dari mulut gua itu segera pusatkan perhatian ke arah depan setelah melihat kejadian itu, dia ingin tahu manusia macam apakah yang bersembunyi di dalam gua itu.
Baru saja nenek dewa bermata buta menerjang masuk kemulut gua, mendadak suitan tajamnya itu terhenti sampai di tengah jalan, te lapak kirinya diayun dan mengirim satu pukulan ke arah dalam gua.
Jeritan kesakitan berkumandang memecahkan kesunyian, tiba-tiba bambu kecil yang dipegang di tangan kanannya terlepas dari cekalan, sementara tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh terguling dari atas bukit curam itu.
Peristiwa tersebut benar-benar merupakan suatu kejadian aneh yang sukar dipercayai orang, dengan tenaga lweekang yang dimiliki nenek dewa bermata buta dari peikumpulan Hong-im-hwie ternyata tak sanggup mempertahankan diri terhadap sebuah pukulan dahsyat dari orang lain, dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa jago lihay yang berada di dalam gua merupakan seorang tokoh silat yang maha dahsyat.
Semua orang saling pandang dengan mata terbelalak, sementara nenek buta itu dengan baju yang koyak dan kulit robek tersayat batu tajam, menggelinding terus sampai di bawah bukit, keadaannya mengenaskan sekali dan nenek itu ketika jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong berdiri dipaling depan, sebagai seorang jago Bulim yang berhati mulia, meskipun tahu bahwa nenek buta adalah musuh tadi ia merasa tak tega membiarkan badannya tersayat hancur, buru-buru telapaknya diayun ke depan melancarkan sebuah pukulan angin lunak, dengan demikian tertahanlah tubuh nenek buta itu sehingga tidak sampai terbanting di bawah jurang.
Sreeet….!sreeet….! Cu Goan-khek serta seorang kakek baju hijau bersama-sama loncat maju ke depan, mereka segera membangunkan tubuh nenek buta itu dari atas tanah.
Kakek baju hijau itu memeriksa sebentar denyutan nada si nenek buta, lalu ujarnya, “Jiko, Sian poo terpukul oleh segulung hawa pukulan yang maha dahsyat sehingga napasnya tersumbat….”
Dengan air muka hijau membesi, Cu Goan-khek mengangguk, buru-buru ia gerakkan tangannya menguruti seluruh jalan darah dan nadi penting di tubuh nenek buta itu. Tio Sam-koh yang selama ini hanya berdiri saja di depan gua, tiba-tiba menyambar bambu kecil berwarna hijau milik nenek buta itu, sambil diayun kemuka, bentaknya, “Cu Goan-khek! ayoh cepat enyah dari tempat ini…. kalau sampai menggunakan hati aku si nenek tua….Hmm! akan kuusir kalian kawanan bajingan tengiK dari tempat ini!”
Cu Goan-khek menengadah ke atas dan memandang sekejap ke arah Tio Sam-koh dengan pandangan dingin, sementara dalam hati sumpahnya, “Setan tua…. Hmmm! Sekarang engkau bisa berlagak, suatu hari kalau terjatuh ketanganku…. Heeeh heeeh heeeh…. lihatlah sampai di manakah kelihaian ji-ya mu….”
Walaupun makian itu cukup tajam dan pedas namun tak sampai diutarakan keluar.
Lain halnya dengan Seng Sam Hau yang berwatak berangasan, dengan mata melotot dan wajah penuh hawa pembunuhan teriaknya, “Nenek edan, kau musti tahu bahwa saudara dari Hong-im-hwie bukanlah manusia yang gampang dihina, Hmm…. hati-hati dengan mulutmu itu, kalau sampai nanti salah bicara.
Tio Sam Kau adalah jago tua yang berwatak berangasan pula, ibaratnya jahe, semakin tua semakin pedas, mendengar ucapan itu ia naik pitam, teriaknya pula, “Bajingan tengik kenapa kalau sampai salah bicara?”
Bambu hijau dalam genggaman tangannya langsung dibabat ke arah depan. Bambu kecil itu tersohor sebagai bambu mustika dari negeri Thiam tok (India), dan merupakan senjata andalan dari nenek dewa bermata buta selama berkelana dalam dunia persilatan, walaupun sepintas lalu kelihatannya kecil dan lunak namun dalam kenyataannya kuat dan keras sekali, bambu itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihay.
Babatan yang dilancarkan Tio Sam-koh ini membawa desiran angin tajam yang amat membisingkan pendengaran, bayangan hijau berlapis-lapis dan dengan cepat menyelimuti daerah seluas beberapa depa disekeling tempat itu.
Seng Sam Hau tidak menyangka kalau dirinya bakal diserang secara begitu hebat, menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat ia menjadi keder dan buru-buru melompat mundur ke belakang.
Bluuuk….! dengan telak bambu mustika dari negeri Thiam tok itu bersarang di atas punggUng Seng Sam Hau yang lebar, hwesio gede itu menjerit kesakitan dan segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Untung Thio Sam-koh tidak menguasai sifat-sifat dari bambu mustika itu, sehingga tenaganya tidak sampai dipergunakan tepat pada waktunya, kalau tidak tulang punggung hwesio, gede she Seng ini tentu akan patah jadi beberapa bagian.
Para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie jadi amat gusar menyaksikan peristiwa itu, bentakan keras berkumandang memecahkan kesunyian, masing-masing orang mencabut senjatanya dan terjun ke dalam gelanggang pertarungan,
Dalam sekejap mata lima orang pria telah mengepung Tio Sam-koh rapat-rapat, pertempuran sengitpun dengan cepat berlangsung di atas bukit yang tidak rata itu, deruan angin tajam bentakan nyaring berkumandang silih berganti.
Hoa Thian-hong mengikuti jalannya pertarungan itu, diam-diam merasa kagum, ia tak menyangka kalau Tio Sam-koh begitu ampuh meskipun harus menghadapi kerubutan lima orang jago lihay, pikirnya, “Nenek tua ini benar-benar merupakan seorang panglima angkatan perang yang tangguh, seandainya ilmu silat yang dimiliki dewa pelancongan Cu Tong serta Cu Im taysu sekalian serta beberapa orang sederajat dengan ilmu silatnya, maka pihak kami tak usah jeri untuk menghadapi tiga besar dari dunia persilatan….”
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa timbullah kesan yang baik dan mendalam terhadap nenek baju abu-abu yang pernah menghadiahkan sebuah gaplokan kepadanya itu, kepada Hoa In segera pesannya, “Berjaga-jagalah di samping arena dengan waspada, andaikata nenek tua itu menunjukkan tanda kewalahan, segera terjun ke dalam gelangang dan bantulah dirinya”
“Siau Koan-jin akan pergi kemana?”
“Aku hendak menengok sebentar ke atas” sambil berjalan ia menuju ke arah gua. “Hoa Thian-hong!” tiba-tiba Tio Sam-koh membentak dengan suara keras, “kau sudah bosan hidup?”
Pemuda itu tersenyum.
“Nenek gagah dan tangguh sekali, boanpwee merasa amat kagum!” serunya.
Tio Sam-koh semakin naik pitam, teriaknya, “Siapa suruh kau sanjung diriku? Bila kau berani masuk ke dalam gua itu, maka nenek buta adalah contoh yang paling tepat!”
Rupanya nenek itu gelisah sekali, karena harus pecahkan perhatian untuk berbicara maka seketika itu juga ia terjepit dan menjumpai bahaya
Hoa In sendiripun tahu bahwa dalam goa tersebut bersemayam seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi, sebelum teman atau musuh bisa ditetapkan, ia tak ingin membiarkan Hoa Thian-hong menempuh bahaya, buru-buru serunya, “Tio Lo thay adalah angkatan tua yang harus kita hormati, Siau Koan-jin kau harus turuti perkataannya”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Hati-hatilah berjaga-jaga disitu, tak usah banyak urusi persoalanku….”
Ia loncat kemuka dan melayang turun di luar gua. Walaupun nyalinya besar, tetapi setelah menyaksikan keadaan dari nenek buta yang terlempar keluar dari gua dalam keadaan luka parah sebelum melangkah masuk ke tempat itu, Hoa Thian-hong sadar bahwa orang di dalam goa itu lihay sekali.
Dengan pandangan tajam ditatapnya lebih dahulu suasana dalam gua karang itu.
Mulut gua luasnya hanya enam depa, suasana gelap gulita ibaratnya sumur yang tak nampak dasarnya, lama sekali pemuda itu melongok ke dalam namun tak suatu apapun yang terlihat.
Dalam keadaan begini timbullah rasa ingin tahu dalam hatinya, ia semakin bernafsu untuk menyelidikinya.
“Hoa Thian-hong!” kembali Thio Sam-koh membentak dengan keras, “cepat mundur ke belakang, kalau tidak akan kuberitahukan kepada ibumu kalau engkau tak mau dengarkan nasehat angkatan yang lebih tua…. Hmm! waktu itu sepasang kakimu tentu akan digebuk sampai kutung!”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa geli, pikirnya, “Asal aku bisa bertemu dengan ibu, sekalipun bakal digebuk juga tak menjadi soal”
Berpikir demikian dengan wajah serius ia segera memberi hormat ke arah gua yang gelap gulita itu, serunya dengan lantang, “Cianpwee darimanakah yang berada di dalam gua? Aku yang rendah Hoa Thian-hong mohon bertemu” Ditunggunya beberapa saat tapi suasana dalam gua tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Hoa Thian-hong jadi sangsi, pikirnya, “Kalau dilihat dari keadaan ini, semestinya berarti orang itu tak mau berjumpa dengan aku!”
Kendati ia berpengalaman namun usianya yang masih muda membuat pemuda itu tak terima kalau sudah persoalan itu sampai di situ saja, dengan memberanikan diri ia maju beberapa langkah lagi ke depan, lalu menjura dan berseru, “Cianpwee yang berada dalam gua, maafkanlah diriku bila hamba terpaksa harus masuk sendiri kedalam”
Selesai berkata ia langsung berjalan menuju ke dalam gua.
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh membentak gusar, begitu keras suaranya sampai mengejutkan hati Hoa Thian-hong, ia menghentikan langkahnya dan segera berpaling ke belakang.
Tampaklah Tio Sam-koh sambil meraung gusar, bambu mustika dari negeri Thiam tok itu diputar dan dibabat secara ngawur, serangan yang dilancarkan tanpa memakai aturan ini seketika menggusarkan jago Hong- im-hwie yang berada disekeliling itu, mereka sama-sama mencabut senjata dan segera meluruk ke depan.
Hoa In jadi gelisah menyaksikan permainan bambu dari nenek tua itu bertambah kalut, teriaknya, “Tio Loo thay, tenangkan hatimu dan bertempurlah dengan pikiran yang mantap….”
Simbil tertawa telapaknya segera disodok kemuka melancarkan satu pukulan dahsyat.
“Tua bangka!” tiba-tiba Tio Sam-koh berteriak, “selama aku hidup si nenek tua paling segan bertempur secara tenang, bajingan-bajingan tengik ini kuserahkan semua kepadamu!”
Bambu mustikanya digetarkan kemuka menangkis beberapa buah senjata yang mengancam tubuhnya, kemudian ia enjotkan badan ke angkasa dan meluncur ke arah mulut gua.
Hoa Thian-hong jadi tertegun, pikirnya, “Oooh….!rupanya nenek ini menggunakan akal licik….”
Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, Tio Sam-koh sudah menyambar lewat dari atas kepalanya…. Sreeet! Sebuah babatan bambu mengencam ke arahnya.
Hoa Thian-hong tahu bahwa nenek tua ini tidak pakai aturan, serangan yang dilancarkan pasti berat sekali, buru-buru badannya loncat ke samping dan berkelit dari ancaman tersebut.
Tio Sam-koh segera melayang ke atas tanah dan menghadang dimulut gua, sambil mengawasi tubuh Hoa Thian-hong dengan pandangan tajam, tegurnya cepat, “Telur busuk cilik, siapa yang telah turun tangan melukai dirimu hingga separah ini?”
Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, ia melirik sekejap ke arah balik gua dan segera membungkam kembali.
Hoa Thian-hong ikut melirik ke arah gua, tetapi ketika dilihatnya suasana disitu gelap gulita tak nampak sesuatu apapun, tanpa terasa sambil tertawa nyaring tegurnya, “Hey orang tua, kenapa kalau bicara tersendat-sendat?”
Tio Sam-koh mendelik besar, makinya, “Bocah keparat, kau tak tahu sopan!”
Sambil ayun bambu mustika itu bentaknya keras- keras.
“Ayoh cepat enyah yang jauh dari sini!” “Hiiih…. hiiih…. orang tua, katanya kau hendak
mencari ibuku, apakah sudah ketemu?”
“Hmm, ibumu benci karena kau tidak berbakti, ia sudah mati menggantung diri”
“Hey orang tua, kalau kau berani menyumpahi ibuku, jangan salahkan kalau aku akan kurang adat pula kepadamu!” teriak Hoa Thian-hong pura-pura gusar.
“Heeeh-heeeh-heeeh…. kau mau apa?” jengek Tio Sam-koh sambil tertawa dingin, “akan kugaplok dirimu dua kali lagi, ingin ku lihat kau berani memberontak atau tidak?”
Mendengar ancaman itu Hoa Thian-hong jadi terkesiap, ia takut dirinya benar-benar digaplok orang, buru-buru telapak tangannya disilangkan di depan dada siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tiba-tiba terdengar nenek dewa bermata buta membentak dengan suara berat, “Tio Sam-koh, ayoh cepat menggelinding turun ke bawah, apakah engkau hendak menunggu sampai aku naik ke atas untuk menangkap dirimu?”
Ketika Hoa Thian-hong berpaling ke bawah, terlihatlah Cu Goan-khek dengan tubuh basah kuyup oleh keringat sedang duduk beristirahat disamping, sedangkan nenek dewa bermata buta sudah bangkit berdiri, telinganya dipasang baik-baik dan rupanya sedang mencari letak berdiri dari nenek baju abu-abu itu.
Tio Sam-koh segera mendengus dingin, dia meloncat turun ke bawah sambil serunya, “Nenek buta, Tio Sam- koh berada disini, apa yang hendak kau ucapkan kepadaku?”
Sebetulnya ketika itu Hoa In sedang bertempur sengit, ketika melihat si nenek buta sudah sadar pingsannya, ia segera menghentikan pertarungan dan mengundurkan diri ke samping, sedang Hoa Thian-hong pun batalkan niatnya untuk masuk ke dalam goa. Sungguh lihay pendengaran nenek buta itu, ia segera alihkan pandangannya ke arah Hoa In sambil tegurnya, “Orang ini memiliki ilmu silat yang sangat bagus, jago lihay dari manakah dia?”
“Aku Hoa In dari perkampungan Liok Soat Sanceng!”
Nenek dewa bermata buta agak tertegun, setelah hening beberapa saat lamanya dia mengangguk.
“Oooooooh….! Kiranya Loo koankee dari perkampungan Liok Soat Sanceng!”
Setelah berhenti sebentar, ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong lalu bertanya, “Dan siapakah dia?”
“Aku bernama Hoa Thian-hong!”
Cu Goan-khek maju selangkah ke depan sambil menambahkan, “Dia adalah putra tunggal dari Hoa Goan- siu, merupakan orang penting dalam pergolakan kali ini”
Air muka nenek dewa bermata buta agak berubah lalu mengangguk, tiba-tiba sambil berpaling ke arah gua bentaknya sambl menyeringai seram.
“Tio Sam-koh, sebenarnya jago dari manakah yang ada di dalam gua? Selamanya aku si nenek buta tak akan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dariku, benarkah engkau hendak menanggung hutang ini?”
Tio Sam-koh tertawa dingin. “Oooh…. jadi kau sibuta ingin membatas dendam atas kekalahanmu barusan? Huuh…. terus terang kuberitahukan kepadamu, bahwa orang yang ada dalam gua itu adalah seorang jago yang maha besar, kau tak mungkin bisa menuntut balas terhadap dirinya, lebih baik catat saja hutang hari ini atas namaku!”
“Oooh…. kiranya dia sendiripun tak tahu siapakah jago yang berada di dalam gua itu,” pikir Hoa Thian-hong dengan hati tercengang, “orang itupun aneh sekali, kepandaian silatnya begitu lihay tapi apa sebab-nya ia tak mau unjukkan diri untuk bertemu dengan orang?”
Dalam pada itu, secara diam-diam Cu Goan-khek telah menilai situasi yang sedang dihadapinya waktu itu, dia merasa ilmu silat yang dimiliki nenek buta seimbang dengan ilmu silat dari Tio Sam-koh, sedang kekuatan Hoa Thian-hong berdua tidak berada di bawah kepandaian para jago-jagonya, andaikata terjadi pertarungan maka kedua belah pihak tentu akan sama- sama menderita kerugian.
Berpikir sampai disana, tanpa terasa alisnya berkerut kencang, pikirnya lebih jauh, “Bangsat cilik she Hoa itu terluka dan keadaannya payah, sebetulnya suatu kesempatan yang bagus bagi kami untuk menghajar harimau sakit itu…. sayang di dalam gua masih ada penyakit lain, lagipula Hoa In kalau sampai nekad tentu sukar dihadapi….”
Sebagai orang yang licik, setelah mengetahui bahwa tiada keuntungan bagi pihaknya segera timbullah niat untuk mengundurkan diri dari tempat itu. Dalam pada itu, nenek dewa bermata buta sudah berpekik keras, tubuhnya laksana kilat menerjang ke arah Tio Sam-koh.
Rupanya nenek baju abu-abu itu sudah mengenali watak nenek buta yang selamanya menyerang tanpa memberi tahu lebih dahulu itu, bambu mustikanya digetarkan lalu menyongsong ditangnya terjangan itu, sambil tertawa terbahak-bahak, serunya, “Hey nenek buta, asal engkau bersedia angkat sumpah berat dan berjanji mulai hari ini tak akan melakukan pembunuhan lagi memandang di atas wajah itu aku suka mengembalikan bambu ini kepadamu”
Dalam waktu singkat kedua belah pihak telah melangsungkan pertarungan sebanyak dua puluh jurus lebih, dalam keadaan nekad nenek buta itu menyerang sekenanya, baik serangan telapak, serangan jari, rendangan maupun kepalan dipergunakan semua secara kombinasi, nekad bagaikan harimau gila yang sudah teluka hal ini membuat keadaannya benar-benar mengerikan sekali.
Tio Sam-koh sendiri berhubungan harus menggunakan senjata milik musuh yang enteng dan lunak, di mana senjata itu tidak sesuai dengan gerak ilmu silatnya, baru bertarung dua puluh jurus ia sudah keteter hebat dan beberapa kali terancam jiwanya….
Pertarungan tersebut benar-benar suatu pertarungan yang mencengangkan hati, para hadirin cuma bisa saling berpandangan sambil berdiri melongo. Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya melihat keadaan itu, diam-diam pikirnya.
“Kenapa sih sifat kekanak-kanakan pada nenek tua itu belum juga hilang….? Urusan menyangkut tentang mati hidupnya, kenapa dia malahan memandangnya sebagai permainan anak-anak?”
Seringkali dia merasa bahwa akhir dari pertemuan besar Pok beng Tay hwee merupakan pelajaran berdarah yang ditinggalkan generasi yang lalu kepada mereka semua, ia merasa seandainya suatu saat antara golongan hitam dan golongan putih terjadi kembali pertarungan yang menentukan, maka bila golongan putih menderita kekalahan total maka semua jago dalam dunia persilatan akan musnah dengan begitu saja.
Maka dari itu dia mempunyai suatu perasaan sayang terhadap setiap umat Bulim yang berpihak kepadanya, ketika menyaksikan Tio Sam-koh memandang keselamatan jiwanya seperti barang mainan, timbul rasa gelisah dan kuatir dalam hati pemuda itu.
Sedikitpun tidak salah, belum sampai empat puluh jurus, tiba-tiba nenek buta itu mengumbar hawa amarahnya, ia berpekik nyaring tangan kirinya menggaet menyambar bambu mustika di tangan Tio Sam-koh sedang tangan kanannya mendadak kirim satu pukulan dahsyat ke depan.
Keadaan nenek buta itu benar-benar mengerikan sekali, wajahnya menyeringai seram sedang giginya terkatup kencang, pukulan yang dilancarkan itu benar- benar mengerikan sekali.
Melihat keadaan tidak menguntungkan bagi dirinya, Tio Sam-koh segera melepaskan bambu mustika itu dan buru-buru loncat mundur ke belakang.
Setelah berhasil merampas kembali senjatanya, keadaan nenek buta itu bagaikan harimau tumbuh sayap, ia tertawa seram dan berseru, “Tio Sam-koh, saat kematianmu sudah tiba, “
Bambu mustika dari negeri Thiam tok itu menyerang bagaikan kitiran hujan badai, sekujur badan Thio Sam- koh terbungkus dalam kepungan musuh.
Satu kali salah bertindak, posisi baik kena direbut orang dan nenek baju abu-abu itupun terdesak di bawah angin, hal ini membuat ia jadi gelagapan dan tak berdaya mempertahankan diri.
Dalam Waktu singkat, selapis bayangan cahaya warna hijau mendesak Tio Sam-koh ha us mundur ke belakang berulang kali, gelak tertawa nyaring, raung gusar serta teriakan keras bercampur aduk menjadi satu.
Para kerabat dari kedua belah pihak sama-sama gerakkan tubuhnya mendekat ke depan, Cu Goan-khek yang menyaksikan kemenangan berada dipihaknya jadi girang sekali, semangatnya berkobar-kobar kembali dan wajahnya berseri-seri. Sebaliknya Hoa Thian-hong serta Hoa In jadi gelisah bercampur gelagapan, melihat jiwa Tio Sam-koh terancam, mereka ingin maju membantu, tetapi kedua orang itu merasa sungkan untuk main kerubut berhubung ke dua belah pihak yang bertempur sama- sama udah tua.
Walaupun sepasang mata nenek buta itu tak bisa melihat apa-apa, namun perasaannya tajam sekali, baru saja mendekati gua itu seketika ia sudah merasa, Sambil menggertak gigi dan menyeringai seram, bentaknya, “Tio Sam-koh, kalau bukan engkau tentulah aku yang mati!”
Tubuhnya menerjang ke angkasa, bambu mustika menciptakan selapis bayangan hijau seluas beberapa tombak, diiringi suara desiran tajam memekikkan telinga langsung menerjang kemuka.
Jurus awan hitam menutupi sang surya ini merupakan salah satu jurus membunuh yang diandalkan nenek buta, Tio Sam-koh yang sudah memahami keadaan lawannya bukan cuma sehari saja itu segera mengetahui akan bahaya, melihat datangnya tekanan bayangan hijau dari atas kepala, buru-buru ia tekuk pinggangnya dan menyusup ke samping.
Siapa tahu baru saja Tio Sam-koh menekuk pinggangnya sampai separuh jalan, nenek buta itu sudah merasakan akan gerakan tersebut, ia mendengus dingin, bambu mustikanya menyapu keluar dan tibatiba membabat ke arah punggungnya. Tio Sam-koh terkesiap dalam bahaya, ia buang tubuhnya sekeras- kerasnya ke samping ketika ujung bambu hampir mengenai tubuhnya ia sudah keburu berguling ke tanah dan melarikan diri ke samping.
Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata, setelah bergelinding ke samping Tio Sam-koh segera loncat bangun dan tanpa mengucapkan sepatah katapun mendadak menyusup masuk ke dalam gua.
Nenek dewa bermata buta pasang telinga lalu siapkan tubrukan, tetapi setelah teringat akan kelihayan orang yang berada dalam gua itu, dengan cepat dia urungkan kembali niatnya itu.
Pertarungan sengit yang berlangsung selama ini mendebarkan jantung setiap jago yang mengikuti jalannya pertarungan itu, se telah pertempuran mereda merekapun diam-diam hembuskan napas panjang.
Setelah menenangkan diri, Cu Goan-khek segera berkata, “Sian poo, musuh yang kabur tak usah di kejar…. mari kita beristirahat ditepi seberang sana!”
Nenek dewa bermata buta tertegun, tiba-tiba teriaknya dengan gusar.
“Tio Sam-koh, benarkah engkau tak berani munculkan diri serta menjadi kura-kura yang ketakutan?”
Baru saja perkataan itu selesai diteriakan tiba-tiba Tio Sam-koh munculkan diri kembali dari balik gua yang gelap itu sambil membawa sebuah toya berkepala naga. Dari ketukan tongkat di atas tanah nenek buta itu tahu kalau Tio Sam-koh telah munculkan diri, ia mendengus lalu tarik napas dan mundur beberapa tombak ke belakang.
Setelah keluar dari gua, Tio Sam-koh tancapkan toyanya ke atas tanah, sambil menatap wajah nenek buta itu tegurnya dingin, “Nenek buta, akupun akan gunakan senjata! Kau adalah seorang perempuan yang cacad, kalau kau merasa aku mencari untung dari kecacadanmu itu, lebih baik pertarungan ini tak jadi dilanjutkan”
Nenek buta paling benci kalau ada orang menyinggung tentang cacadnya itu, meledaklah hawa amarah dalam dadanya sesudah mendengar ejekan tersebut, giginya saling beradu hingga menimbulkan gemertakan nyaring.
Lama sekali…. ia baru bicara dengan suara dingin, “Anjing tua, ada keuntungan boleh kau cicipi sendiri, bila aku gagal menghancur lumatkan tubuh bangkotanmu itu, biarlah dalam penitisan yang akan datang aku tetap hidup sebagai orang cacad”
“Hmmmm! Kalau begitu cicipi1ah bagaimana rasanya kemplangan toya bajaku ini.”
Weeessss….! dengan penuh kegusaran Tio Sam-koh mengirim satu sapuan tajam ke depan. Nenek buta tertawa dingin, ia menyingkir ke samping untuk lepaskan diri dari ancaman, bambu mustika digetarkan dan langsung membabat pergelangan musuh.
Dalam sekejap mata pertempuran sengit berkobar kembali di tengah gelanggang, kedua belah pihak saling menyerang dengan kerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Pertempuran yang berlangsung pada saat ini jauh berbeda dengan keadaan semula, setelah menderita kekalahan rasa gusar dan mendongkol dalam dada Tio Sam-koh belum reda, saat itu toyanya diputar sedemikan rupa melancarkan serangan berantai dengan ilmu toya Ciat cing ci ang hoatnya.
Jurus bertemu jurus gerakan bertemu gerakan, satu gebrakan demi gebrakan berlangsung dengan teratur dan pakai aturan, kedua belah pihak sama-sama menyerang sambil bertahan, siapapun tak mau kasih peluang bagi musuhnya untuk rebut posisi baik.
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba Tio Sam-koh berteriak dengan nada dingin, “Nenek buta, tiga jurus lama akan kuperkenalkan kembali padamu, aku harap engkau suka memberi petunjuk”
Toya bajanya diputar kencang, diiringi suara dengungan nyaring segera mengirim serangan tajam ke arah depan.
Mendengar desiran tajam yang menderu-deru itu, nenek dewa bermata buta merasa hatinya tercekat, pikirnya, “Ilmu toya yang dimiliki anjing tua ini benar- benar jauh berbeda dari keadaan dulu, rupanya waktu selama sepuluh tahun tidak dibuang dengan percuma….”
Bambu mustika Thiam toknya segera diputar dan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Toya baja berat dan bambu mustika enteng, seharusnya benda itu tak bisa digunakan untuk menangkis secara keras lawan keras, tetapi dibalik jurus serangan yang digunakan pada senjata bambu itu mengandung inti sari dari ilmu toya, ilmu pedang serta ilmu Golok, seandainya toya baja Tio Sam-koh benar- benar sampai terbentur dengan senjatanya, itu berarti nenek baju abu-abu mencari penyakit bagi diri sendiri, asal bambu itu disayat ke bawah maka jika Tio Sam-koh tidak lepas tangan, telapaknya pasti tersayat robek.
“Bagus!” bentak Tio Sam-koh,
Dikala toya bajanya hampir membentur dengan bambu lawan, mendadak ujung toya berputar membentuk gerakan setengah lingkar busur lalu diiringi desiran angin tajam tiba-tiba menyapu ke arah pinggang musuh.
Nenek buta mengerutkan dahinya, tidak sempat lagi baginya untuk putar badan melakukan tangkisan, pada saat yang sangat kritis ia keluarkan simpanan tenaganya yang dilatih selama puluhan tahun lamanya tanpa menggerakkan anggota badan tiba-tiba tubuhnya mundur dua depa ke belakang. Serangan dari Tio Sam-koh itu justru bertujuan untuk memaksa mundur musuhnya ke belakang, melihat nenek buta mundur, ia segera menerjang kemuka sambil membentak, “Kena!”
Ujung toyanya tiba-tiba meluncur ke depan dan membacok batok kepala lawannya.
Tiga jurus ilmu toya berantai itu merupakan suatu serangan yang maha dahsyat pada saat pihak musuh memperlihatkan titik kelemahan karena desakan dua jurus yang pertama itulah, jurus ketiga air Huang-ho turun dari langit segera meluncur kemuka.
Bagi Tio Sam-koh, gerakan tersebut merupakan suatu gerakan lanjutan yang enak dan leluasa sekali, sebaliknya bagi musuh hal itu merupakan suatu ledakan yang diluar dugaan, sekalipun musuh lihay di bawah ancaman serangan berantai ini niscaya akan roboh atau terluka.
Nenek dewa bermata buta yang diteter terus secara hebat, baru saja berhasil meloloskan diri dari serangan kedua musuhnya, tiba-tiba ia merasa munculnya segulung desiran angin tajam menghajar batok kepalanya, hal ini membuat ia jadi terperanjat, buru-buru kakinya menjejak tanah loncat mundur ke belakang, sedang senjatanya sebisa mungkin melancarkan satu pukulan untuk membendung datangnya ancaman tersebut.
Keadaannya ketika itu sangat berbahaya, toya baja dari Tio Som koh bagaikan kilatan petir segera meluncur ke depan mendesak disisi tubuh nenek buta, asal miring beberapa dim lagi kesebelah kiri niscaya nenek tersebut akan menemui ajalnya atau paling sedikit terluka parah oleh hantaman toya lawan.
Air muka para hadirin yang mengikuti jalannya pertempuran itu dari sisi arena berubah hebat, kemudian meledaklah tempik sorak yang gegap gempita memenuhi seluruh angkasa….
Tapi kesemuanya itu hanya berlangsung sebentar saja, sebab suasana tiba-tiba berubah sunyi kembali….
Rupanya Tio Sam-koh sendiripun tak mengira kalau nenek buta sanggup meloloskan diri dari serangan mautnya, dalam kejut dan gusarnya tiba-tiba ia melihat bambu pusaka lawan bagaikan ular berbisa sedang menyerang lambungnya.
Dari gusar ia jadi gembira, toya bajanya digetarkan lalu menyapu ke atas senjata lawan.
“Aduuuuh….!”
Di tengah dengusan berat, bambu mustika tergesek oleh toya bambu itu sehingga membuat pergelangan sang nenek buta jadi tergetar keras, senjatanya hampir saja terlepas dari cekalan.
Dalam gugup dan gelagapanya buru-buru ia perkencang cekatannya, sementara sang badan termakan oleh tenaga dorongan lawan seketika terpelanting dan roboh terjengkang ke atas tanah. Tio Sam-koh cepat memburu ke depan, tapi para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie keburu bertindak, di tengah bentakan keras masing-masing orang mendorong telapaknya ke depan melancarkan satu pukulan dahsyat.
Pada dasarnya tenaga dalam yang dimiliki Cu Coan Kek cukup ampuh, ditambah pula bantuan dari jago-jago lainnya, angin pukulan yang maha dahsyat segera menyapu ke depan menerbangkan batu dan pasir.
Tio Sam-koh tak berani pandang enteng kelihayan lawannya, buru-buru ia loncat ke belakang dan mundur sejauh beberapa tombak dari tempat semula….
Menggunakan kesempatan itu nenek buta segera meloncat bangun, kepada Tio Sam-koh serunya ketus, “Ayo maju! Kita tak usah menunggu pertemuan Kian ciau tay hwee lagi…. ini hari juga harus kita tentukan siapa yang lebih tangguh diantara kita berdua, kalau bukan kau yang mati akulah yang modar!”
Tio Sam-koh tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. sungguh beruntung sekali, ini hari aku harus kalah dalam keadaan keledai malas berguling, dan kau pun harus menelan kekalahan dalam keadaan anjing rakus menyikat kotoran, keadaan kita setali tiga uang…. rupanya kita memang berdua punya jodoh!” Toyanya diputar dan sekali lagi menerjang ke depan, tapi…. mendadak ia hentikan gerakan tubuhnya dan berpaling ke arah seberang.
Melihat kejadian itu semua orang ikut berpaling, terlihatlah belasan sosok bayangan manusia dengan cepatnya sedang bergerak menuju ke tempat kejadian.
Nenek buta tak tahu duduk perkara yang sebenarnya, melihat musuhnya tidak jadi menyerang, dengan gusar ia berteriak, “Nenek she Tio, kalau engkau segan untuk mulai, akulah yang akan turun tangan lebih dahulu!”
“Sian poo tunggu sebentar” terdengar Cu Goan-khek berteriak dengan nada kegirangan. “Cong-Tang-kee kita telah datang”
Dalam pada itu belasan sosok bayangan manusia tadi telah loncat naik di atas jembatan batu dan meluncur datang.
Hoa Thian-hong sekalian segera dapat melihat bahwa orang yang berjalan dipaling depan bukan lain adalah Jin Hian ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie, dibelakangnya mengikuti Co Ban Kui serta sepuluh orang pengawal golok emas.
Sungguh cepat gerakan tubuh Jin Hian, setelah tiba digelanggang ia sapu sekejap sekeliling tempat itu dengan pandangan tajam lalu setelah melirik pula ke arah gua karang, ujarnya kepada nenek dewa bermata buta sambil tertawa, “Sian poo, sejak kapan engkau datang? terimalah salam dari aku orang she Jin!” Nenek buta membalas hormat dan menjawab, “Pagi tadi aku baru tiba, sudah lama pertarungan berlangsung namun tiada hasil apa pun…. aaai! hanya merusak pamor Hong-im-hwie saja”
“Haaah…. haaah…. haaah….” Jin Hian tertawa nyaring, “Tio Lo thay terkenal sebagai jago lihay dalam dunia peralatan yang sudah tersohor sejak enam pulun tahun berselang, bila Sian poo ingin rebut kemenangan tentu saja harus bertempur tiga sampai lima ratus jurus banyaknya”
Tio Sam-koh mendengar perkataan itu, dengan alis berkerut segera menyindir, “Haah…. haah…. haaah….Jin Hian, aku lihat engkau baru termasuk manusia tak berguna, sungguh tak nyana seorang ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie pandainya cuma jilat pantat orang belaka…. Huuuuh! rupanya aku sudah salah melihat”
Air muka Jin Hian berubah hebat, tapi sebentar kemudian telah pulih seperti sedia kala, katanya sambil tertawa hambar, “Tio Lo thay, engkau terlalu tinggi memandang diriku”
“Siapa yang memandang tinggi dirimu? Hmm! engkau berkata bahwa namaku sudah tersohor di kolong langit sejak enam puluh tahun berselang, bukankah itu berarti bahwa kau sedang menjilat pantatku? Kemudian kau mengatakan kepada nenek buta itu bahwa untuk mengalahkan aku maka paling sedikit harus bergebrak tiga sampai lima ratus jurus, lalu bagaimana kalau tujuh sampai sembilan ratus jurus? Cukup bukan? Haaah…. haaah…. bukankah engkau sedang menjilat pantatnya si nenek buta?”
Jin Hian sama sekali tidak memberi komentar, dengan tenang ia dengarkan perkataan orang hingga selesai, kemudian sambil tersenyum memberi hormat kepada Hoa Thian-hong sambil tegurnya, “Hoa Loo te, kau terluka di tangan siapa?”
Hoa Thian-hong balas memberi hormat dan menjawab, “Oooob…. aku terluka di tangan iman tua dari Thong-thian-kauw, hanya luka luar saja dan kau tak usah kuatir”
Jin Hian tertawa, setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu ujarnya, “Loo-ji, di tempat ini kecuali hadir beberapa orang sahabat, apakah masih ada orang lain?”
“Tuuh…. dalam gua masih ada seorang jago lihay” jawab Cu Goan-khek sambil menuding ke arah gua karang di atas bukit, “siapakah jago lihay itu, siaute sendiripun kurang tahu”
Jin Hian mengerutkan dahinya, dengan sorot mata yang tajam bagaikan pisau belati ia tatap wajah Hoa Thian-hong, lalu tegurnya dengan suara berat, “Hoa loo tee, ada satu pertanyaan hendak kuajukan kepadamu, apakah putri Pek Siau-thian yaitu Pek Soh-gie bersembunyi di dalam gua karang itu….?”
Hoa Thian-hong tertegun, pikirnya, “Pek Soh-gie terperangkap dalam istananya Thong-thian-kauw, aku harus tutup rahasia ini ataukah menyiarkannya secara luas?”
Sebelum dia sempat menjawab, dengan nada dingin Jin Hian telah berkata kembali, Hoa loo tee, putraku Jin Bong mati secara mengenaskan di tangan Pek Soh-gie, budak terkutuk itu, orang lain tak tahu, engkau toh menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”
“Jien Tang-kee, jangan berkata begitu!” teriak sang pemuda dengan alis berkerut, meskipun aku saksikan dengan mata kepala sendiri, tetapi setelah aku berjumpa dengan Pek Soh-gie maka terasalah olehku, bahwa raut wajah mereka meskipun mirip akan tetapi sifatnya jauh berbeda, kita tak boleh mencampur baurkan antara soal yang satu dengan soal yang lain”
Jin Hian tertawa dingin.
“Hmmm…. rupanya Hoa loote memang membela Pek Soh-gie mati matian tidak aneh kalau loote begitu tega menggunakan cara yang keji untuk menghukum mati beberapa orang saudara kami”
“Aku bukan seorang manusia yang suka pipi licin, semua perkataan dan perbuatan berani dibuka secara umum, sedang mengenai ketiga orang saudara itu….”
Ia berhenti sebentar lalu menghela napas panjang, sambungnya, “Mereka memang musnah di tanganku, bila Cong Tang-kee tak rela aku pun tak dapat berbuat apa- apa” “Hmm!” Jin Hian tertawa dingin, “bagaimanapun Hoa loote toh pernah bergaul selama beberapa hari dengan para saudara dari Hong-im-hwie, sekalipun tidak memandang muka Buddha seharumnya kalau Loo te memberi muka kepadaku”
Hoa In jadi jengkel ketika dilihatnya orang itu menegur majikan mudanya terus menerus, dengan hati gusar selanya, “Bertempur digelanggang tak bisa dihindari terluka atau mati….”
Buru-buru Hoa Thian-hong ulapkan tangannya mencegah Hoa In bicara lebih jauh, katanya sambil tertawa, “Cong Tang-kee, engkau tahu bukan bahwa aku bukan seorang manusia yang suka membunuh, tetapi bila anak panah sudah di atas busur, bagaimanapun juga terpaksa harus dilepaskan, karena itu harap Tang-kee suka memakluminya!”
“Hmmm….Pek Soh-gie saat ini berada dimana?
Apakah Hoa loote suka memberitahukan kepadaku?” oooooOooooo
35
PEK SOH-GIE hanya seorang gadis mada yang tak tahu urusan, sedang Tang-kee bermaksud jelek terhadapnya, kalau kuberitahukan jejaknya kepadamu bukankah kawan Bulim akan mentertawakan diriku?”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya dengan lantang, “Cuma aku berani menegaskan bahwa pembunuh putramu bukanlah Pek Soh-gie, karena itu aku setuju untuk mempertemukan cong Tang-kee dengan gadis itu”
Tertegun hati Jin Hian mendengar perkataan itu, serunya, “Aku orang she Jin merasa kagum dengan pendapatmu yang tinggi, tolong tanya sekarang Pek Soh- gie ada dimana?”
“Pek Soh-gie telah ditawan Thian Ik-cu dan sekarang dikurung dalam istana Yang sim tian, bila Cong Tang-kee ingin menjumpai dirinya aku rasa lebih baik rundingkan saja dengan Thian Ik-cu”
“Hoa loote, aku tidak percaya dengan perkataanmu itu!” seru Jin Hian sambil menggeleng.
“Semua perkataanku diucapkan sejujurnya kalau Cong Tang-kee tidak percaya akupun tak bisa berbuat apa- apa”
Jin Hian tertawa seram.
“Hoa loote, sewaktu pihak Hong-im-hwie hendak menangkap Pek Soh-gie kau selalu menghalangi bahkan membunuh orang, sebaliknya waktu Thong-thian-kauw menangkap gadis itu, mengapa kau lepas tangan?”
Pertanyaan ini seketika membungkam Hoa Thian- hong, matanya terbelalak dan mulutnya melongo, untuk beberapa saat lamanya ia tak tahu apa yang musti dijawab. Melihat majikan mudanya malu, Hoa In tidak terima, dengan gusar serunya, “Kami memang suka mencampuri urusan orang, kalau siapa merasa tidak puas boleh cari aku orang she Hoa untuk bikin perhitungan”
Jin Hian mendengus dingin, ia tidak perduli ucapan orang, sorot matanya yang tajam tetap menatap wajah Hoa Thian-hong tanpa berkedip.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong tertawa nyaring, ujarnya, “Ketua Jin, engkau tak usah terlalu mendesak orang, sewaktu Thian Ik-cu menangkap Pek Soh Gi, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya, sayang kepandaian silatku tak becus sehingga aku sendiripun malah kena tangkap”
Sebagai orang yang jujur, ia tak Ingin membohongi musuhnya, dan untuk memberikan keterangan yang sebenarnya, kejadian yang memalukan tentang diripun diucapkan keluar.
Sorot mata Jin Hian berkilat, ia melirik sekejap luka pada dada dan kakinya, lalu berpikir, “Ditinjau dari badannya yang berpelepotan darah serta mukanya yang lesu, jelas baru saja ia langsungkan pertarungan berdarah rupanya apa yang dia katakan bukan kata-kata yang bohong….!”
Ia jadi setengah percaya setengah tidak, dengan nada dingin ujarnya kembali, “Kalau benar Hoa lote ditangkap bersama-sama Pek Soh-gie, dan sekarang Loote berhasil lolos dari bahaya sedang Pek Soh-gie masih berada di dalam sarang harimau, apakah engkau tidak merasa kuatir?”
“Kami toh berkenalan hanya secara tidak disengaja dan menolong karena kebetulan kutemui kejadian tersebut, sekarang dalam ke nyataan kau tak mampu memberi penolongan kalau tidak ditinggal masa disuruh urus terus, perduli amat aku kuatir atau tidak”
Jin Hian tertawa hambar, tiba-tiba sambil melirik ke arah goa karang ujarnya kembali, “Loote menurut anggapanmu mungkinkah Pek Soh-gie mendapat pertolongan dari seseorang seperti halnya dengan loote dan kemudian disembunyikan di dalam gua karang ini?”
Mula mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian pikirnya lebih jauh, “Tua bangka ini memang banyak menaruh curiga….!”
Berpikir demikian lantas tertawa, jawabnya, “Akupun mempunyai kecurigaan tersebut, sayang tak mampu memasuki gua tersebut untuk melakukan pemeriksaan”
“Hmmm! bangsat cilik…. terdengar Tio Sam-koh memaki dengan nada ketus”
Jin Hian angkat kepala dan laksana kilat memandang sekejap ke arahnya, kemudian berjalan menuju ke mulut gua.
Melihat ketuanya mendekati mulut gua tersebut, dengan cepat Cu Goan-khek loncat maju ke depan menghalangi jalan perginya, peristiwa pingsannya nenek bermata buta terhantam oleh pukulan dari gua pun segera di laporkan kepada ketuanya.
Air muka Jin Hian berubah hebat setelah mendengar laporan itu, serunya, “Oooh…. ternyata disini ada seorang jago lihay sedang bersembunyi…. kita tak boleh bertindak kurangajar!”
Biji matanya berputar menyapu sekejap para jago yang hadir di tempat itu, kemudian kepada Co Bun Kui yang berada disampingnya ia berkata, Engkau pergilah kesana dan mohonlah bertamu, coba kita lihat jago lihay dari manakah yang berdiam disini, kalau dia adalah seorang Bu Iim cianpwee maka katakanlah nenek dewa bermata buta serta Jin Him dari perkumpulan Hong-im- hwie mohon bertemu.
Co Bun Kui memberi hormat, setelah memberi tanda kepada pengawal pribadi, golok emas yang berada disisnya, dua orang segera tampil ke depan, mereka bertigapun segera berjalan mendekati gua karang tersebut,
Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba Tio Sam-koh menghadang di depan mulut gua tongkat disiapkan di tangan sedang mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Sepasang alis Ca Bun Kui langsung berkerut, sambil memberi hormat, tegurnya, “Tio lo thay, mohon tanya engkau ada petunjuk apa?” “Gua ini jauh lebih seram dari pada sarang naga harimau, apakah engkan tidak takut mati?” teguf Tio Sam-koh dengan dingin.
“Terima kasih atas petunjukmu, atas perintah atasanku, aku disuruh datang kemari untuk mohon bertemu dengan cianpwee dalam gua, sekalipun badan harus hancur aku tak akan ambil perduli….!”
Habis berkata segera ia melanjutkan, kembali langkahnya menuju ke depan.
“Kembali! tiba-tiba Tio Sam-koh membentak keras sambi1 ayunkan telapak tangannya.
Segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera memancar keluar diiringi deruan angin yang tajam dan dahsyat.
Co Bun Kui serta dua orang pengawal pribadi golok emas yang berada di belakang segera mundur sejauh tujuh delapan depa dari tempat semula, senjata tajam segera diloloskan keluar dan untuk kedua kalinya mereka menerjang maju ke depan.
“Hey, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?
Bentak Tio Sam-koh dengan gusar.
Co Bun Kui tertegun dan segera menghentikan langkahnya kurang lebih empat lima depa dihadapan perempuan itu, ia menjawab, “Aku mendapat perintah dari atasanku untuk mohon bertemu dengan pemilik gua itu, jika Tio lo thay tidak menyingkir lagi, jangan salahkan kalau aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi”
Tio Sam-koh melotot besar, sambil anggurkan tangannya ia berseru, “Kalau memang kalian bendak berkunjung secara hormat, bawa kemari kartu nama kalian!”
Co Bun Kui tahu bahwa ia hanya mempersulit dirinya, tapi diapun tabu bahwa nenek itu tidak mudah dilayani, maka sambil tetap menyabarkan diri jawabnya, “Karena di dalam melakukan perjalanan maka kami tidak membawa serta kartu nama setelah bertemu dengan pemilik gua ini, aku pasti mohon maaf….”
Haaah…. haaahh…. itu sih tak perlu aku, si nenek tua adalah pemilik gua ini, ada urusan apa engkau mencari aku?”
Diam-diam Co Bun Kui merasa amat gusar, sumpahnya di dalam hati, “Nenek busuk…. modarlah secepatnya, berani benar engkau permainkan diriku!”
Pergelangan digetarkan, dari punggung golok segera memancar keluar suara dentingan yang amat nyaring,
Inilah kode rahasia dari para pengawa1 pribadi golok emas, perbedaan suaranya amat banyak dan masing- masing mengandung maksud yang saling berbeda, orang lain tidak merasa tapi para pengawal pribadi golok emas hapal diluar kepala, maju mundurnya semua mengikuti tanda tersebut. Tampaklah dua orang pengawal yang berada di belakang segera maju ke depan dan berdiri sejajar dengan Co Bun Kui, tiga golok besar bersama-sama digetarkan dan membacok kemuka.
Angin desiran tajam menderu deru, dalam waktu singkat tubuh mereka dilindungi oleh cahaya golok langsung menerjang masuk ke dalam gua.
Tio Sam-koh sebagai seorang jago yang sangat lihay, tentu saja tidak pandang sebelah matapun terhadap ketiga orang itu, menanti golok emas sudah hampir mendekati tubuhnya dia baru mendengus dingin, toyanya diputar dan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Traaaaaang….!traaaang….!di tengah dentingan nyaring, ketiga bacokan golok emas itu bersarang di atas toya baja semua, begitu kerasnya bentrokan tersebut membuat lengan Co Buo Kui bertiga jadi sakit, linu dan kaku sekali, himpir saja goloknya terlepas dari tangan.
Dengan tak bisa dibendung lagi, dua orang pengawal itu tergetar mundur beberapa langkah ke belakang, sedangkan Co Bun Kui yang tenaga dalamnya jauh lebih sempurna dari dua orang anak buahnya hanya merasakan tubuhnya bergetar keras, di atas permukaan tanah di mana ia terpijak muncullah sebuah telapak kaki yang tajam dan nyata sekali.
Co Bun Km adalah pemimpin dari empat puluh pengawal pribadi golok emas, sebagai seorang jago yang berpengalaman dan bertanggung jawab atas keselamatan segenap anak buahnya tentu saja bukan manusia sembarangan, setelah berhasil menegakkan tubuhnya sambil putar golok, ia menerjang kembali ke arah depan.
Dentingan nyaring menggema di angkasa, delapan orang pengawal pribadi golok emas yang selama ini berdiri di belakang Jin Hian mendadak menerjang ke arah Tio Sam-koh dengan gencarnya.
Tio Sam-koh teramat gusar, sebenarnya ia tak sudi bertempur melawan beberapa orang itu, tetapi setelah dilihatnya empat bilah golok besar dengan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata menerjang datang terpaksa dia angkat toyanya untuk menangkis.
Sreeet….! Sreeet….! Sreet….! empat bilah golok memisahkan diri, dua orang loncat ke samping kiri dua lainnya ke kanan, sementara empat orang yang menerjang datang dari belakang dengan cepat mengisi kekosongan tersebut, cahaya golok berkilauan dan mereka menyerang pinggang perempuan tersebut.
Kegusaran Tio Sam ko memuncak, toya bajanya ditekan ke bawah lalu menyapu ke belakang.
Kawanan pengawal pribadi golok emas adalah jago- jago yang terlatih, bukan saja ilmu golok mereka amat sempurna, kepandaian dalam bekerja samapun amat tinggi.
Baru saja Tio Sam-koh putar toyanya menyapu ke belakang, empat orang yang menyerang dari belakang telah mengundurkan diri kembali ke arah belakang, sementara empat orang dikiri kanannya bersama-sama membentak keras, cahaya golok memancar keempat penjuru dan laksana Kilat mereka menerjang kembali ke depan.
Kali ini tempat yang diarah keempat bilah golok emas itu berbeda satu sama lainnya, andaikata Tio Sam-koh tidak berusaha mundur ke belakang maka satu-satunya jalan adalah maju ke depan sambil balas melancarkan serangan atau dengan keras lawan keras ia tangkis semua serangan tadi.
Tio Sam-koh adalah seorang jago kawakan, ibaratnya jauh makin tua makin pedas, berada di depan mata prajurit-prajurit tak bernama tentu saja ia tak sudi mengundurkan diri ke dalam gua, ia mendengus dingin. Toya bajanya bagaikan amukan ombak dahsyat segera berputar kencang.
Dalam sekejap mata tujuh delapan jurus sudah lewat, kedelapan orang pengawal pribadi golok emas itu maju mundur melancarkan serangan secara bergilir, sedang Tio Sam-koh dengan gagah beraninya memutar toya kesana kemari disertai deruan angin yang tajam, tanpa sadar ia semakin jauh tinggalkan mulut gua dan terjerumus ke dalam kepungan delapan orang jago.
Walaupun Tio Sam-koh adalah salah seorang jago lihay dalam dunia persilatan, tetapi kawanan pengawal pribadi golok emas itupun merupakan jago-jago lihay apalagi kerja sama mereka boleh dibilang luar biasa sekali, jika dia ingin menumpas mereka dalam tiga empat jurus tentu saja merupakan suatu hal yang sulit. Dengan tenang Co Bun Kui berdiri di samping arena, menanti Tio Sam-koh sudah jauh tinggalkan gua dan tak mungkin balik lagi dalam waktu singkat, ia segera memanggil dua orang anak buahnya dan bersama-sama masuk ke dalam gua karang.
Walaupun Tio Sam-koh tak mampu menangkan musuh-musuhnya, tapi ia masih punya sisa tenaga untuk memperhatikan situasi di sekeliling tempat itu, tatkala dilihatnya Co Bun Kui akan masuk ke dalam gua, dengan penuh kegusaran ia segera membentak, “Budak cilik, jaga mulut gua itu baik-baik!”
“Dia sedang panggil aku?” pikir Hoa Thian-hong tertegun, tanpa pikir panjang segera ia menghadang dimulut gua.
Co Bun Kui jadi amat gusar, bentaknya, “Hoa kongcu, apakah engkau sudah ambil keputusan untuk bentrok dengan perkumpulan Hong-im-hwie kami?”
Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Tio Sam-koh telah berteriak kembali dengan suara lantang.
“Budak cilik kalau mereka sampai berhasil masuk ke dalam gua, lebih baik engkau gorok leher bunuh diri di depan mulut gua”
Hoa Thian-hong tak perrah menyangka kalau urusan begitu serius, tetapi setelah teringat bahwa orang yang memberi perintah adalah angkatan yang lebih tua dari pada dirinya, ia tak berani menampik. Dalam pada itu terdengar Co Bun Kui sambil tertawa telah berkata lagi, “Hoa kongcu, bagaimana keputusanmu? Mau menyingkirkan dari sini atau tidak….?”
“Antara aku dengan ketua kalian pernah terjalin hubungan sahabat, pernah terjadi pula suatu kesalahan pahaman, mau bentrok atau tidak terserah pada penilaihan ketua Jin sendiri, bila Bo heng masih teringat dengan hubungan kita maka aku harap kau tak usah masuk ke dalam gua ini lagi”
“Perintah atasan tak dapat dibantah, terpaksa aku harus nenyalahi dirimu….” seru Co Bun Kui kemudian, goloknya diputar dan segera membacok ke depan.
Saat ini Hoa Thian-hong hanya memakai pakaian dalam, dadanya sudah dibalut oleh kain, darah yang merah dan racun yang hitam ditambah keringat yang kuning menodai seluruh badan, air mukanya pucat karena kehabisan darah dan kehabisan tenaga, rambutnya kusut hingga keadaannya nampak mengenaskan sekali.
Meskipun Co Bun Kui tahu bahwa Hoa Thian-hong sangat lihay, tetapi setelah menyaksikan keadaannya yang begitu mengenaskan dan kegagahannya tempo hari sudah tak terlihat lagi, timbullah perasaan pandang rendah musuhnya.
Begitu turun tangan, goloknya segera diputar melancarkan serangan berantai yang bertubi-tubi, hawa pembunuhan menyelimuti seluruh angkasa, sedang dua orang rekannya pun segera mengikuti jejak pemimpinnya dan menyerang pula dengan sepenuh tenaga.
Menyaksikan datangnya serangan yang begitu dahsyat, diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, buru-buru ia mengeigos ke-samping dan mundur setengah langkah ke dalam gua, tangan kirinya diputar melancarkan sebuah serangan dahsyat ke depan.
serangan ini ditujukan ke arah jago yang ada disebelah kanan, maksudnya adalah untuk melindungi diri di samping menghalangi musuhnya menerjang masuk ke dalam gua, tapi sayang tenaga dalamnya sudah lemah dan serangan Kun-siu-ci-tauw tersebut tak dapat mewujudkan kehebatan seperti dahulu lagi,
Co Bun Kui yang melihat keadaannya, jadi sangat girang, dia menerjang maju ke depan goloknya dipatahkan di tengah jalan dan segera berganti jurus, secara tiba-tiba ia menyerang kembali ke depan.
“Hati-hati dibelakang, tiba-tiba Jin Hian membentak keras.
Belum habis ia berkata, Hoa In bagaikan sukma gentayangan telah menerjang ke depan, tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang telapaknya diputar berbareng menyerang Co Bun Kui serta orang yang berada disebelah kiri itu.
Sejak Hoa Thian-hong menderita luka parah, Hoa In selalu uring-uringan dan merasa tak senang hati, ketika melihat Co Bun Kui berniat membinasakan majikan mudanya, nafsu membunuh dalam hati Hoa In pun ikut bergelora, serangan yang kemudian dilancarkan bukan saja cepat bahkan dahsyat sekali, boleh dibilang baru pertama kali ini dia melancarkan serangan dengan nafsu membunuh yang amat hebat”
Pada saat yang bersamaan Jin Hian siap memberi pertolongan, tapi nenek dewa bermata buta sudah meluncur ke depan sambil membentak gusar, Serahkan orang ini kepadaku!”
Semua peristiwa itu berlangsung pada saat yang bersamaan, hanya saja Hoa In bertindak lebih dahulu, sedang nenek buta berhadang jalan perginya oleh Tio Sam-koh sekalian, maka ketika ia tiba digelanggang keadaan sudah terlambat.
Dengan serangan dahsyat yang dilancarkan Hoa In dalam keadaan gusar bisa dibayangkan sampai dimanakah kehebatannya, apalagi yang diserang adalah manusia sebangsa Co Bun Kui sekalian….
Dengusan berat bergema memecahkan kesunyian, Co Bun Kui serta orang yang ada di sebelah kiri segera terpukul mental sejauh beberapa tombak dari tempat semula, ketika jatuh ke tanah mereka tak berkutik lagi.
Pria yang ada disebelah kanan jadi bergidik hatinya ketika merasa datangnya desiran tajam dari arah belakang, karena terperanjat gerakan serangan yang dilancarkan pun agak terlambat. Dengan jitu sekali pukulan telapak kiri dari Hoa Thian-hong segera bersarang di atas bahunya membuat ia jatuh terjengkang di atas tanah.
Menunggu suasana disini telah tenang kembali, nenek dewa mata buta baru tiba di tempat tujuan, bambu mustikanya langsung berkelebat memancarkan bayangan hijau dan langsung mengurung tubuh Hoa In.
“Siau Koan-jin mundur….!” seru Hoa In dengan gelisah.
Setelah mendesak mundur Hoa Thian-hong ke dalam gua, pelayan tua itu baru mendorong telapaknya ke depan mengirim sebuah pukulan dengan ilmu Sau yang ceng ki.
Blaaam….! ledakan dahsyat bergeletar di angkasa, ketika bawa pukulan Sau yang ceng ki bentrok dengan hawa pukulan yang dipan carkan lewat bambu mustika nenek buta, tubuh Hoa In segera terdorong mundur ke belakang dengan badan tergoncang keras, sedangkan nenek buta itu sendiripun terhajar rontok ke atas tanah.
Suasana hening untuk beberapa saat lama nya, tiba- tiba nenek buta menengadah ke atas dan tertawa terbahak-bahak, suaranya melengking bagaikan jeritan kuntilanak, teriaknya, “Oooh…. hoohooh…. rupanya Sau yang ceng ki! Kepandaian andalan dari Hoa Goan-siu pun masih tertinggal di kolong langit….”
“Kalau engkau kenal Sau yang ceng ki, tentu tahu bukan sampai dimanakah kelihayan dari toa-yamu!” “Hmmm! Kepandaian silat dari Hoa Goan-siu segera akan lenyap dari atas permukaan bumi!”
Sambil putar bambu pusaka dari negeri Thian tok-nya, ia menerjang kembali ke depan.
Hoa In menjengek sinis, sepasang telapaknya berputar menyongsong kedatangan lawan dalam waktu singkat suatu pertarungan sengitpun segera berlangsung.
Tio Sam-koh yang melihat rekannya sudah terlibat dalam pertarungan yang amat sengit, tanpa terasa semangat tempurnya berkobar, daya tekanan yang dipancarkan dari toya baja pun berlipat ganda, memaksa delapan orang pengawal pribadi golok emas yang mengepung dirinya jadi kacau balau dan terdesak hebat.
Diam-diam Jin Hian meninjau sebentar pertarungan yang berlangsung didua sektor, mendadak ia membisikan sesuatu kepada Cu Goan-khek disusul orang she Cu itu dengan membawa belasan orang segera berjaga-jaga diluar kepungan terhadap Tio Sam-koh, sementara Jin Hian sendiri melayang kesisi gua dan dari situ dia membayangi nenek buta yang sedang bertempur.
Hoa In berdiri gagah di depan gua, sepasang telapaknya menarik kesana kemari melayani serangan serangan gencar dari bambu mustika milik nenek buta, ketika dilihatnya Jin Hian membayangi disana, penjagaan semakin ketat dan ia sama sekali tak bergeser dari tempat semula. Tindakannya membuat mulut gua ini benar-benar hebat sekali akibatnya, bukan saja nenek buta tak mampu mendesak mundur dirinya, Jin Hian tak dapat turut campur bahwa Hoa Thian-hong pun tak mampu keluar dari gua itu.
Beberapa saat kemudian pertarungan yang berlangsung dikedua sektor itu berubah makin sengit dan bahaya. Tio Sam-koh bertambah gusar ketika dilihatnya ada serombongan musuh membayangi pula dirinya dari luar kepungan, serangan yang dilancarkan semakin gencar dan ancaman ancamanpun makin berbahaya….Hoa Thin Hong yang menonton jalannya pertarungan itu dari dalam gua, diam-diam merasakan pula situasi yang makin berbahaya, pikirnya, “Pihak lawan berjumlah banyak sedang pihak kami hanya ada dua orang yang mampu melangsungkan pertarungan, jika pertempuran ini dilanjutkan lebih jauh maka keadaan tidak menguntungkan pasti akan terjatuh pada pihakku, jika Hoa In sampai kalah maka Jin Hian pasti akan menerjang masuk ke dalam gua ini…. bukankah dalam gua ada jago lihay? Kenapa ia tak mau unjukkan diri sebaliknya malah takut ada musuh masuk ke dalam gua? Sungguh aneh….”
Ingin sekali pemuda itu masuk ke dalam gua untuk melakukan penyelidikan, tapi dia takut Hoa In tak mampu mempertahankan diri, untuk beberapa saat lamanya ia jadi bingung dan tak tahu apa yang musti dilakukan olehnya….
Hoa In adalah seorang jago kawakan yang banyak pengalaman, ia tahu situasi tidak menguntungkan bagi pihaknya, setelah berpikir sebentar ujarnya dengan nada serius, “Siau Koan-jin, masuklah ke dalam dan lihatlah keadaan dalam gua itu, tapi kau harus berhati-hati dan jangan terlalu memaksa diri”
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, ia merasa bahwa pertarungan ini jelas tidak menguntungkan bagi pihaknya, kalau tidak melihat lihat dalam gua memang tiada jalan lain, maka ia segera ambil keputusan dan putar badan masuk ke dalam gua.
Suasana dalam gua itu gelap sekali, Hoa Thian-hong yang sedang bingung sama sekali tidak berniat memikirkan persoalan ini, dengan mata melotot besar ia masuk kedalam.
Beberapa saat kemudian ia merasa suasana gelap menyelimuti tempat itu bertambah tebal sehingga lima jari sendiripun tak dapat dilihat, bahkan secara lapat- lapat hidungnya mencium bau belerang dan gas yang amat menusuk penciuman.
Pada saat itulah, mendadak dari dalam ruangan gua berkumandang datang suara pembicaraan dari seorang perempuan.
“Seng ji, majulah empat lima langkah lagi kemudian loncatlah ke depan, tapi kau harus melompat sejauh dua tombak….”
Seng ji adalah nama kecil Hoa Thian-hong, hanya ibunya yang manggil dia dengan sebutan tersebut, maka setelah mendengar panggilan itu dia berdiri tertegun, saat itulah bau gas yang tebal menyerang ke dalam hidung membuat dadanya sesak dan hampir saja ia jatuh tak sadarkan diri.
Buru-buru ia tutup semua pernapasan dan menenangkan hatinya lalu maju lima langkah ke depan, ia merasa jalan yang dilalui semakin menjorok ke bawah, maka sambil menutup mulut luka didadanya dengan tangan ia melompat ke arah depan.
Menanti ia menginjak kembali di atas permukaan tanah, terasa olehnya suasana di tempat itu meskipin masih gelap tapi jauh lebih terang dari keadaan semula, menanti ia menengok ke belakang maka tampaklah segumpal asap hitam mengepul dari atas tanah dan membubung kelangit langit gua, suara pertarungan diluar gua masih kedengaran jelas, pemuda itu pusatkan semua perhatian-nya dan meneruskan perjalanan ke depan.
Kurang lebih dua puluh tombak kemudian, terlihatlah seseorang sedang duduk bersila disebelah depan.
Ia berdiri terbelalak dengan mulut melongo sekuat tenaga ia berusaha memandang kedalam, tapi karena suasana yang gelap maka tak ada yang terlihat olehnya.
Sesaat kemudian ia maju kembali ke depan tegurnya, “Siapakah engkau? Apakah engkau masih duduk bersemedi?”
Orang itu tetap duduk bersila di atas tanah tanpa bergerak barang sedikit pun, juga tidak menjawab pertanyaannya. Hoa Thian-hong berjalan maju makin ke depan, tiba- tiba dia merasa potongan badan orang itu seperti dikenal olehnya, ketika diperhatikan lebih seksama mendadak hatinya bergetar keras dan hampir saja jatuhnya terlepas dari tempatnya.
“Siapakah Kau? Apakah ibu?”
Orang itu tetap duduk tak berkutik, di tempat semula, mulutnya tetap membungkam dan keadaannya tidak jauh berbeda dengan patung arca.
Pemuda itu membelalakkan matanya dan memperhatikan orang itu dengan lebih seksama lagi, ia melihat orang itu mempunyai rambut yang panjang dan digulung menjadi sanggul, mukanya persegi dan raut wajahnya mirip sekali dengan muka ibunya.
Tiba-tiba perempuan itu membuka matanya dan memandang ke arah pemuda itu dengan mata melotot, kemudian berkata, “Aku adalah ibumu, aku tak bisa banyak bicara dan jangan ribut!”
Hoa Thian-hong seketika merasakan darah panah dalam dadanya bergolak keras, dengan gelagapan ia berseru.
“Ibu, apa yang sedang kan lakukan? Sedang melatih ilmu? Kenapa suaramu berubah….?”
Kiranya perempuan ini adalah ibu kandung Hoa Thian- hong, isteri dari Hoa Goan-siu yang tersohor sebagai Hoa Hujien, sekarang ia sedang duduk bersila di atas tanah dengan tubuh sama sekali tak berkutik, Setelah membuka matanya tadi sekarang ia meram kembali.