Bab 57. Kembang Api
Ia mengenakan jubah biasa berwarna hijau. Waktu ia pertama mengenakannya jubah itu sangat bersih, namun kini jubah itu penuh dengan lumpur dan keringat.
Celananya robek di lutut.
Tubuhnya kotor dan rambutnya berantakan.
Namun walaupun orang itu hanya berdiri di sudut sana, Liong Siau-hun dapat merasakan hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya.
Orang itu sama dengan pedang yang terselip di pinggangnya.
Sebilah pedang tanpa sarung. A Fei!
A Fei berhasil juga datang.
Mungkin hanya A Fei yang mampu menguntit mereka sampai di situ.
Binatang yang paling licik, yang paling mudah lolos, adalah rubah.
Bahkan seekor anjing yang sangat terlatih dan sangat pandai pun mungkin tidak bisa menangkap rubah. Namun A Fei bisa menangkap rubah sejak berusia sebelas tahun.
Bukan pekerjaan mudah menguntit kedua orang ini. Oleh sebab itu sekujur tubuh A Fei sampai kotor begini.
Namun inilah A Fei yang sesungguhnya.
Hanya dengan cara inilah ia dapat memperlihatkan semangatnya, keteguhan hatinya, bahkan kebrutalannya yang menggetarkan hati manusia!
Kebrutalan yang tenang! Sungguh kebrutalan yang luar biasa!
Liong Siau-hun segera menenangkan dirinya. Katanya, “Oh, ternyata Saudara A Fei. Senang berjumpa kembali denganmu.”
A Fei melotot, memandangnya dingin.
Kata Liong Siau-hun lagi, “Aku sungguh kagum kau berhasil tiba di sini.”
A Fei masih melotot padanya. Matanya bercahaya dan tajam. Setelah dua hari menguntit mereka, akhirnya matanya kembali memancarkan sinar tajam seperti dulu lagi.
Ketajaman yang menandingin ketajaman Hing Bu-bing. Liong Siau-hun tersenyum dan berkata lagi, “Walaupun kau adalah penguntit yang hebat, Hing-siansing masih dapat menemukanmu.”
A Fei memandang Hing Bu-bing.
Mata mereka beradu, seperti sebilah pedang dingin beradu dengan batu yang keras.
Tidak ada yang tahu mana yang lebih tajam. Pedang ataukah batu?
Walaupun tidak seorang pun bicara, sepertinya bunga api terpercik dari tatapan mata mereka.
Liong Siau-hun memandang Hing Bu-bing, lalu memandang A Fei. Katanya, “Walaupun Hing-siansing menemukanmu, ia tidak berkata apa-apa? Tahukah kau apa sebabnya?”
A Fei seolah-olah terhipnotis oleh Hing Bu-bing. Kepalanya sama sekali tidak pernah menoleh.
Liong Siau-hun terkekeh. Jawabnya sendiri, “Karena Hing-siansing ingin kau hadir di sini.”
Lalu ia menoleh ke arah Hing Bu-bing dan bertanya, “Benar bukan Hing-siansing?”
Hing Bu-bing pun seperti terhipnotis oleh tatapan mata A Fei. Ia pun tidak bergerak sedikitpun. Setelah cukup lama akhirnya Liong Siau-hun mulai tertawa. Katanya, “Hanya ada satu alasan mengapa Hing-siansing ingin kau hadir di sini. Karena ia ingin membunuhmu!”
Perlahan-lahan tatapan A Fei bergeser ke arah pedang Hing Bu-bing.
Tatapan Hing Bu-bing pun sepertinya bergerak ke arah pedang A Fei.
Mungkin dua pedang inilah yang paling mirip satu sama lain di dunia ini.
Kedua senjata ini bukanlah senjata mustika yang dibuat oleh pembuat senjata yang ternama.
Walaupun kedua pedang ini sangat tajam, keduanya pun sangat tipis dan sangat rapuh. Mudah dipatahkan.
Walaupun kedua pedang ini bagaikan kembar, posisi mereka sangat berlainan.
Pedang A Fei berada di pinggang depan, dengan pegangan mengarah ke kanan.
Pedang Hing Bu-bing ada di sebelah kanan, dengan pegangan mengarah ke kiri.
Di antara kedua pedang ini seolah-olah muncul suatu medan magnet yang luar biasa kuat. Mata kedua orang ini pun tidak pernah lepas menatap pedang lawan. Mereka berjalan maju saling mendekat, namun tatapan mereka tetap pada pedang lawan.
Saat mereka berjarak kurang lebih dua meter, tiba-tiba mereka berhenti!
Lalu tubuh mereka kaku, tidak bergerak seperti patung.
Hing Bu-bing mengenakan jubah sederhana yang pendek dan berwarna kuning. Jubahnya itu hanya sampai ke lutut. Lengan jubahnya sangat ketat. Jari-jarinya kurus dan panjang, dengan tulang-tulang yang menonjol ke luar, menandakan kekuatannya yang besar.
Jubah A Fei lebih pendek lagi. Jari-jarinya pun kurus panjang, dan sangat keras bagai terbuat dari batu.
Mereka tidak peduli penampilan namun kuku-kuku mereka terpotong pendek.
Mereka tidak ingin apapun juga mengurangi kecepatan mereka menghunus pedang.
Betapa serupanya kedua orang ini! Akhirnya mereka berjumpa.
Hanya ketika mereka berdiri berdekatan, dan ketika orang mengamati mereka dengan cermat, baru terlihat bahwa di balik persamaan kulit luar mereka, terlihat pula perbedaan mereka. Wajah Hing Bu-bing terlihat seperti sebuah topeng. Air mukanya kosong dan tidak pernah berubah.
Walaupun wajah A Fei serius dan dingin, selalu ada api dalam pandangan matanya. Api yang begitu membara, yang bahkan dapat membakar jiwa dan raganya.
Keseluruh raga Hing Bu-bing seolah-olah mati.
Mungkin sebelum ia dilahirkan, tubuhnya sudah mati lebih dulu.
A Fei adalah orang yang sangat sabar. Ia bisa menunggu dengan sabar, namun ia tidak pernah bisa sabar menghadapi manusia.
Hing Bu-bing bisa membunuh seseorang hanya karena sepatah kata, mungkin bahkan karena sekilas pandangan. Namun jika perlu, ia dapat sabar menghadapi apapun juga.
Keduanya memang unik. Keduanya sama mengerikan.
Tidak ada yang tahu mengapa Tuhan membuat dua orang macam ini, dan mengapa membiarkan kedua orang ini bertemu.
Ini sudah akhir musim gugur.
Daun-daun sudah mengering semuanya. Angin tidak bertiup kencang, namun daun-daun terus berguguran. Apakah mungkin ini karena hawa pembunuhan yang begitu tebal?
Hawa dingin yang mencekam memenuhi tempat itu.
Walaupun kedua bilah pedang masih berada di pinggang masing-masing, walaupun kedua orang ini belum lagi menggerakkan tangan mereka sedikitpun, nafas Liong Siau-hun dan anaknya sudah kembang kempis seperti kekurangan oksigen.
Tiba-tiba, selarik cahaya berkilat!
Sepuluh kali cahaya itu berkelebat cepat ke arah A Fei! Liong Siau-hun menyerang.
Sudah tentu ia tidak berpikir bahwa sambitan senjata rahasianya akan mengenai A Fei. Namun jika A Fei kerepotan melayani senjata rahasianya, maka pedang Hing Bu-bing pasti akan dapat menembus tenggorokannya!
Pedang berkilat di udara!
Serentetan bunyi ‘Ding, Ding’ terdengar. Sinar-sinar itu jatuh ke tanah.
Pedang Hing Bu-bing sudah keluar. Ujung pedangnya menyambar di sebelah telinga A Fei. Tangan A Fei memegang pedangnya, tapi pedang itu masih tersemat di pinggangnya.
Senjata rahasia Liong Siau-hun dihalau oleh Hing Bu- bing.
Wajah ayah dan anak sama-sama keruh.
Hing Bu-bing dan A Fei saling pandang. Ekspresi keduanya tetap kosong.
Lalu Hing Bu-bing pelan-pelan memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya.
A Fei pun mengendurkan pegangannya pada pedangnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Hing Bu-bing berkata, “Apakah kau tahu bahwa tadi pedangku terarah pada senjata rahasia itu, bukan padamu?”
“Ya, aku tahu.”
Ketika senjata rahasia itu disambitkan, pedang Hing Bu- bing langsung bergerak. A Fei bukannya menghunus pedang, malahan diam saja.
Sebelum A Fei berkata apa-apa lagi, Hing Bu-bing menambahkan, “Namun reaksimu sudah menjadi lambat.”
A Fei berpikir lama. Wajahnya menjadi muram. Sahutnya, “Kau memang benar.” Kata Hing Bu-bing, “Aku bisa membunuhmu.” A Fei tidak perlu lagi berpikir. “Ya.”
Liong Siau-hun dan putranya saling pandang. Keduanya menghela nafas lega.
Tiba-tiba Hing Bu-bing berkata, “Tapi aku tidak akan membunuhmu!”
Wajah dua anak-beranak Liong ini berubah lagi.
A Fei menatap mata Hing Bu-bing yang kelabu dan mati itu lekat-lekat. Setelah sekian lama, ia bertanya, “Kau tidak akan membunuhku?”
“Aku tidak akan membunuhmu karena kau adalah A Fei.”
Matanya memancarkan rasa kepedihan yang begitu dalam. Kini matanya bahkan tampak lebih muram daripada mata A Fei.
Benaknya melayang jauh, memandang seseorang.
Seorang yang merupakan perpaduan seorang dewi dan iblis.
Akhirnya ia berkata lagi, “Jika aku adalah engkau, kau dapat membunuhku hari ini.”
Bahkan A Fei tidak mengerti apa maksudnya. Hanya Hing Bu-bing yang tahu. Siapapun yang hidup selama dua tahun seperti A Fei akan mempunyai kecepatan reaksi yang jauh lebih buruk. Terlebih lagi, ia telah dicekoki obat tidur setiap malam selama dua tahun ini.
Obat-obatan ini pasti akan membuat reaksi orang menjadi lambat.
Alasan Hing Bu-bing tidak membunuh A Fei pasti bukan karena belas kasihan. Namun karena ia mengerti penderitaan A Fei. Karena ia pun merasakan penderitaan yang sama.
Mungkin juga ia membiarkan A Fei hidup supaya ada orang yang sama menderita seperti dirinya.
Ketika seorang yang patah hati mengetahui bahwa ada orang lain yang juga ditinggalkan oleh kekasihnya, penderitaannya akan berkurang. Jika seseorang yang kehilangan uang mengetahui ada orang lain yang kehilangan lebih banyak, ia akan merasa terhibur sedikit.
A Fei hanya berdiri di situ, seakan-akan sedang berusaha mencerna kata-kata Hing Bu-bing.
Kata Hing Bu-bing, “Sekarang, pergilah kau.”
A Fei mengangkat kepalanya dan berkata, “Aku tidak akan pergi.”
Hing Bu-bing jadi bingung. “Kau tidak akan pergi? Kau ingin aku membunuhmu?” “Ya!”
Liong Siau-in tiba-tiba berteriak, “Bagaimana dengan Lim Sian-ji? Apakah kau tega meninggalkannya sendirian?”
Kata-kata ini menusuk hati A Fei bagai sebatang jarum yang tajam. Tubuhnya menjadi lemas.
Hing Bu-bing menoleh ke arah Liong Siau-hun dan berkata pelan-pelan, “Aku suka membunuh orang. Aku suka membunuh mereka dengan tanganku sendiri.
Mengerti?”
Liong Siau-hun memaksakan diri untuk tersenyum. “Aku mengerti.”
Kata Hing Bu-bing, “Sebaiknya kau benar-benar mengerti. Kalau tidak, kaulah yang akan kubunuh.”
Ia mengalihkan pandangan dari Liong Siau-hun dan bertanya, “Di mana Li Sun-Hoan? Antarkan aku menemuinya.”
Liong Siau-hun melirik sekilas pada A Fei. “Bagaimana dengan dia…..”
Sahut Hing Bu-bing dingin, “Aku bisa membunuhnya kapan saja aku mau.”
A Fei merasa perutnya bergolak. Tiba-tiba ia membungkukkan badan dan mulai muntah-muntah. Muntahnya adalah ludah yang terasa pahit. Hanya ludah yang terasa pahit.
Sudah dua hari ini dia tidak makan apa-apa.
“Kau harus berjanji bahwa kau akan kembali. Aku akan menunggumu di sini selamanya…..”
Perkataan ini adalah perkataan wanita yang dikasihinya. Demi perkataan ini, ia tidak bisa mati.
Tapi Li Sun-Hoan…..
Li Sun-Hoan bukan saja sahabatnya, ia adalah pahlawannya. Bagaimana mungkin ia hanya berdiri di situ menonton orang membunuh Li Sun-Hoan?
Ia terus muntah-muntah. Kini ia sudah muntah darah.
***
Li Sun-Hoan tidak tahu di mana ia berada. Ia pun tidak peduli.
Ia tidak tahu apakah ini siang atau malam.
Ia tidak bisa bergerak karena semua Hiat-to (jalan darah) utamanya telah ditutup.
Tidak ada makanan, tidak ada air. Ia sudah berada di situ lebih dari sepuluh hari.
Walaupun Hiat-to (jalan darah)nya tidak ditutup, kelaparan juga akan membuatnya tidak bisa bergerak.
Hing Bu-bing memandangnya. Ia tergolek di sudut ruangan.
Ruangan itu remang-remang. Tidak ada yang tahu seperti apa air muka Li Sun-Hoan. Yang terlihat hanyalah bajunya yang kotor dan sobek-sobek, wajahnya yang kurus dan lemah, matanya yang sedih.
Tiba-tiba Hing Bu-bing berkata, “Jadi inilah Li Sun-Hoan.” Sahut Liong Siau-hun, “Benar.”
Sepertinya Hing Bu-bing kecewa akan apa yang dilihatnya dan tidak percaya pada Liong Siau-hun. Ia bertanya lagi, “Inikah Li-tamhoa yang ternama itu?”
Liong Siau-hun mengeluh. “Aku tidak ingin memperlakukan dia seperti ini. Namun….’Manusia tidak ingin menyakiti harimau, tapi harimau ingin membunuh manusia’. Keadaanlah yang memaksaku berbuat seperti ini.”
Hing Bu-bing terdiam sesaat. Lalu bertanya, “Di mana pisaunya?”
Liong Siau-hun pun berpikir sejenak. “Apakah Hing- siansing ingin melihat pisaunya?” Hing Bu-bing tidak menjawab, karena pertanyaan ini sungguh bodoh.
Akhirnya Liong Siau-hun mengeluarkan sebilah pisau.
Pisau itu ringan, pendek, sangat tipis, seperti selembar daun.
Hing Bu-bing memegang pisau itu erat-erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi.
Liong Siau-hun tersenyum sambil berkata, “Sebenarnya pisau ini tidak istimewa. Juga tidak terlalu tajam.”
Kata Hing Bu-bing, “Tajam? Apakah kau pantas bicara mengenai senjata yang tajam?”
Matanya melotot ke arah Liong Siau-hun. Katanya, “Apakah kau tahu apa artinya senjata yang tajam itu?”
Matanya masih kelabu dan mati seperti biasanya. Namun ada suatu yang menakutkan dalam mata itu, seperti mata iblis dalam mimpi-mimpimu. Sangat mengerikan, sampai-sampai kau tetap merasa takut walaupun sudah terbangun.
Liong Siau-hun merasa ia mulai sesak nafas. Ia memaksakan diri tersenyum dan berkata, “Tolong jelaskan padaku.”
Mata Hing Bu-bing kembali menatap pisau itu. Katanya, “Selama dapat membunuh, maka senjata itu adalah senjata yang tajam. Kalau tidak, betapa mahalnya dan tajamnya senjata itu, jika jatuh ke tangan orang yang tidak berguna seperti engkau, senjata itu adalah sampah.”
Sahut Liong Siau-hun, “Ya, ya. Hing-siansing memang benar. Aku mengerti…..”
Hing Bu-bing tidak menggubrisnya sedikitpun. Ia tiba-tiba memotong, “Tahukah kau ada berapa orang yang sudah mati karena pisau semacam ini?”
“Mungkin….mungkin sudah tidak terhitung.” Kata Hing Bu-bing, “Terhitung!”
Walaupun Kim-ci-pang baru berdiri kira-kira dua tahun, mereka telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap dunia persilatan. Semboyan Siangkoan Kim- hong adalah ‘Setiap detil itu penting. Jangan ada sedikitpun yang terlewatkan’, ‘Sepeser uang, sejumput panen’.
Bukan keberuntungan yang membuat Kim-ci-pang menjadi sangat berpengaruh.
Liong Siau-hun pun mendengar bahwa seberlum partai itu berdiri, Siangkoan Kim-hong telah menyelidiki semua toloh persilatan.
Berapa besar usaha yang diperlukan untuk mendapatkan semuanya itu? Liong Siau-hun sepertinya tidak betul-betul percaya. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Jadi ada berapa?”
“Enam puluh tujuh.”
Lalu ditambahkannya dengan dingin, “Dari Keenampuluh tujuh orang itu, tidak ada yang ilmu silatnya berada di bawahmu.”
Liong Siau-hun hanya dapat pura-pura tersenyum. Pandangannya beralih pada Li Sun-Hoan, seakan-akan ingin Li Sun-Hoan menegaskan perkataan ini.
Namun Li Sun-Hoan tidak punya kekuatan sama sekali untuk melakukan apapun juga.
Liong Siau-in tersenyum dan berkata, “Jika Li Sun-Hoan mati di bawah pisau semacam ini. Hehehe….bukankah itu lucu?”
Sebelum kalimatnya selesai, pisau itu sudah berkilat dan melesat ke arah Li Sun-Hoan.
Liong Siau-in hampir saja melompat kegirangan.
Namun pisau itu tidak mendarat di leher Li Sun-Hoan, tapi di batu yang berada di samping Li Sun-Hoan.
Ternyata Hing Bu-bing pun adalah seorang ahli senjata rahasia.
Tiba-tiba Hing Bu-bing berkata, “Buka Hiat-to (jalan darah)nya.” Liong Siau-hun tergagap, “Tapi…..”
Hing Bu-bing tidak memberikan kesempatan padanya untuk membantah. Ia berkata dingin, “Aku bilang, buka Hiat-to (jalan darah)nya.”
Liong Siau-hun dan putranya saling pandang. Mereka tahu persis apa maksud Hing Bu-bing.
Kata Liong Siau-hun, “Siangkoan-pangcu hanya menginginkan Li Sun-Hoan. Tidak harus dalam keadaan hidup.”
Liong Siau-in menyambung, “Siangkoan-lopek tidak minum arak. Ia pun pasti membenci pemabuk. Hanya pemabuk yang mati yang tidak minum arak dan tidak menyebalkan.”
Liong Siau-hun berkata lagi, “Lagi pula, lebih mudah membawa orang mati daripada orang yang masih hidup.”
Kata Liong Siau-in, “Tentu saja Hing-siansing tidak akan membunuh orang yang tidak dapat membela diri. Jadi….”
Potong Hing Bu-bing tidak sabar, “Kalian terlalu bertele- tele.”
Kata Liong Siau-hun, “Baik, baik. Aku akan buka Hiat-to (jalan darah)nya sekarang.”
Ialah yang menutup Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan. Jadi membukanya pun tidak sulit baginya. Liong Siau-hun menepuk pundak Li Sun-Hoan dan berkata dengan lembut, “Toako, sepertinya Hing-siansing ingin berduel denganmu. Ilmu pedang Hing-siansing sangat ternama di dunia persilatan. Kau harus berhati- hati.”
Di saat seperti ini ia masih punya muka untuk memanggil Li Sun-Hoan ‘Toako’. Bahkan mengucapkannya dengan rasa kasih sayang.
Tidakkah orang ini mengagumkan? Li Sun-Hoan tidak berkata apa-apa.
Tidak ada yang perlu diucapkan. Ia hanya tersenyum lemah dan perlahan-lahan mengambil pisau di sampingnya.
Ia menatap pisau itu. Seolah-olah air mata akan menetes dari matanya.
Ini adalah pisau yang terkenal tidak pernah luput. Kini pisau ini ada di tangannya.
Namun apakah ia masih punya kekuatan untuk menyambitkannya?
Seorang wanita yang kehilangan kecantikannya, seorang pahlawan yang sampai pada ujung jalannya. Keduanya adalah tragedi kehidupan.
Orang hanya dapat merasa kasihan pada mereka. Namun saat ini, tidak ada yang mengasihani Li Sun- Hoan.
Mata Liong Siau-in berbinar. Ia tersenyum sambil berkata, “Pisau Kilat si Li tidak pernah luput. Apakah masih bisa dikatakan seperti itu sekarang?”
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan menatap Liong Siau-in. Lalu ditundukkannya kembali.
Kata Hing Bu-bing, “Waktu aku akan membunuh lawanku, aku selalu memberi kesempatan padanya. Inilah kesempatanmu yang terakhir. Mengerti?”
Li Sun-Hoan tersenyum sedih.
Kata Hing Bu-bing lagi, “Baiklah, kau boleh bangkit sekarang.”
Li Sun-Hoan mulai batuk-batuk.
Liong Siau-in berkata dengan lembut, “Jika Paman Li tidak bisa bangun sendiri, mari aku bantu.”
Ia mengejapkan matanya dan melanjutkan, “Namun kupikir tidak perlulah. Kudengar Paman Li dapat menyambitkan pisau sambil berbaring.”
Li Sun-Hoan mendesah, seperti ingin berbicara.
Namun sebelum ia mengatakan apa-apa, seseorang telah masuk ke dalam ruangan itu. A Fei!
Wajahnya sangat pucat, seperti tidak ada darah. Tapi malah ada sedikit darah di sudut mulutnya.
Saat itu ia tampak sangat tua.
Ia masuk secepat kilat, namun ketika ia sudah berada di dalam, ia diam seperti patung.
Tanya Hing Bu-bing, “Kau masih belum menyerah?”
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya. Kali ini air mata menetes dari sudut matanya.
A Fei hanya meliriknya sekilas, hanya sekejap saja. Lalu ia menoleh pada Hing Bu-bing dan berkata, “Sebelum membunuhnya, kau harus membunuhku!”
Ia mengatakannya dengan tenang, dengan serius. Tidak dengan emosi.
Ini menunjukkan ketetapan hatinya.
Mata Hing Bu-bing kini berubah. “Kau tidak peduli padanya lagi?”
Sahut A Fei, “Walaupun aku mati, ia bisa tetap hidup.”
Ia mengatakannya dengan tenang. Namun di wajahnya terbayang rasa sedih. Nafasnya memburu.
Hing Bu-bing melihatnya. Sepertinya ia merasa puas mendengar perkataan itu. Tanyanya lagi, “Kau tidak peduli jika ia merasa sedih?”
“Jika aku tidak merasa puas dalam hidupku, lebih baik aku mati. Jika aku tidak mati ia akan menjadi lebih sedih lagi.”
“Kau pikir ia adalah wanita seperti itu?” “Tentu saja!”
Dalam pikiran A Fei, Lim Sian-ji bukan saja seorang dewi, ia adalah wanita yang suci bersih.
Sebersit senyum terbayang di bibir Hing Bu-bing.
Tidak ada seorang pun yang pernah melihat dia tersenyum. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu kapan pertama kali ia tersenyum.
Senyumnya sungguh kaku. Seolah-olah otot bibirnya tidak tahu bagaimana caranya tersenyum.
Ia tidak pernah ingin tersenyum, karena senyum hanya akan melunakkan hati manusia.
Namun kali ini senyumnya adalah senyum jenis lain….senyum yang setajam pedang. Hanya saja, pedang melukai tubuh manusia, seyum ini melukai hati manusia yang terdalam.
A Fei sama sekali tidak mengerti arti senyum ini. Katanya dingin, “Kau tidak perlu tersenyum. Walaupun ada 80% kesempatanmu membunuhku, ada 20% kesempatan aku membunuhmu.”
Senyum Hing Bu-bing segera lenyap. Katanya, “Karena aku sudah bilang aku tidak akan membunuhmu, kini aku tidak akan menyayangkan nyawamu lagi.”
“Memang tidak perlu.”
Kata Hing Bu-bing, “Aku ingin kau tetap hidup supaya aku dapat melihat…..”
Sebelum kalimatnya selesai, pedang sudah berbicara.
Cahaya pedang menyambar satu sama lain, bergerak secepat kilat.
Namun ada selarik sinar yang melesat lebih cepat lagi daripada kedua pedang ini. Apakah itu?
Saat berikutnya, tidak tampak cahaya apapun lagi. Seluruh gerak berhenti.