Bab 45. Hampir Saja
Na Kiat-cu tertawa dan berkata, “Buat apa? Kau sudah membayar lunas hutangmu saat kau ulurkan tanganmu begitu saja. Walaupun aku seorang wanita, aku juga tahu moralitas.”
Ling Ling mengejapkan matanya dan menyela, “Namun wanita tidak perlu bersikap moralis. Itu adalah hak kita. Laki-laki secara alami lebih kuat daripada wanita, maka mereka pun harus lebih pengertian sedikit terhadap kita.”
Sentak Na Kiat-cu, “Kata siapa itu?” “Kata Nonaku.”
Tanya Na Kiat-cu, “Kau suka mendengar petunjuknya?”
Jawab Ling Ling, “Tentu saja. Ia selalu berbicara membela kaum wanita.”
Tiba-tiba Na Kiat-cu berjalan ke arahnya dan menampar pipinya sepuluh kali.
Ling Ling terhenyak.
Lalu kata Na Kiat-cu dengan dingin, “Seperti kalian berdua, aku pun bukan orang baik-baik. Tapi aku harus memukulmu, untuk memberimu pelajaran. Kau tahu apa itu?”
Ling Ling mengertakkan giginya dan menyahut, “Karena kau….kau….” Sebelum selesai bicara, ia sudah menangis tersedu-sedu.
Kata Na Kiat-cu, “Karena wanita-wanita macam kalianlah, kaum pria selalu memandang rendah kaum wanita.
Karena mereka memandang rendah padaku, aku selalu ingin membalas mereka. Oleh sebab itulah kulakukan semua yang pernah kulakukan.”
Suaranya menjadi lembut. “Tapi saat itu aku tidak menyadari bahwa dengan berbuat demikian, aku bukan saja menghancurkan orang lain, namun menghancurkan diriku sendiri. Karena itulah hidupku hancur berantakan.”
Li Sun-Hoan berkata dengan penuh perhatian, “Biarkan yang sudah lampau berlalu. Kau masih muda. Kau bisa mulai lagi dari awal.”
Na Kiat-cu mengeluh. “Mungkin kau bisa berpikir demikian. Bagaimana dengan yang lain?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Selama hatimu merasa lega, mengapa kau memikirkan apa pandangan orang terhadap dirimu? Kau harus hidup untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain.”
Na Kiat-cu menatap Li Sun-Hoan dan bertanya perlahan, “Apakah kau hidup untuk dirimu sendiri?”
Li Sun-Hoan tergagap, “A….Aku……”
Na Kiat-cu masih terus menatapnya dan seulas senyum muncul di sudut bibirnya. Katanya, “Tidak ada seorang pun yang menyesal bertemu dengan orang seperti engkau. Sayang sekali kita tidak bertemu sepuluh tahun yang lalu.”
Lalu ia pun berlalu.
Terdengar suaranya yang makin menjauh, “Tinggalkan saja tubuh Ci-cun-po di situ. Aku akan bereskan nanti. Jangan kuatirkan aku. Belum pernah ada yang menguatirkan aku, apapun juga yang kuperbuat.”
Saat kalimatnya selesai ia sudah jauh sekali.
Selama itu Ling Ling menangis terus, tapi kini ia mengangkat wajahnya dan berkata, “Ia yang melakukan kesalahan, namun ia malah menimpakan kekesalannya pada diriku. Ia orang yang jahat, tapi ingin pura-pura bertingkah sok berani dan sok pahlawan. Aku benci orang-orang seperti dia.”
Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, “Ia sama sekali tidak seperti itu.”
Kata Ling Ling, “Kau pikir aku tidak tahu apa yang dia lakukan?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Apapun yang telah dilakukannya, hatinya tetap baik. Selama seseorang memiliki hati yang baik, ia bukan orang jahat.”
Ling Ling menggigit bibirnya dan berkata, “Kau pasti berpikir bahwa aku bukan main jahatnya, bukan?” Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kau masih anak- anak. Anak seusiamu belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Selama ada yang mau mengajarimu dengan baik mulai sekarang, kau akan menjadi orang baik.”
Ling Ling mengejapkan matanya lagi. “Maukah kau mengajariku?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Nanti, kalau masih ada kesempatan….”
Kata Ling Ling, “Nanti? Mengapa tidak sekarang?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tahu bahwa aku harus pergi mencari Kwe ko-yang sekarang. Jika aku bisa kembali dalam keadaan hidup….”
Ling Ling segera memotongnya, “Sesungguhnya, aku tahu bahwa sekali kau pergi dari sini, kau tidak akan pernah kembali. Aku cuma anak-anak. Mengapa orang sepertimu harus peduli terhadap gadis kecil macam aku.”
Ia menyeka matanya dan menlanjutkan, “Lagi pula, sebenarnya kan kita tidak betul-betul kenal. Walaupun aku jadi orang jahat, buat apa kau peduli. Walaupun aku menjadi sepuluh kali lebih jahat daripada Na Kiat-cu, bukan juga urusanmu. Walaupun aku mati telentang di jalan, kau pun tak akan sudi menguburkan aku.”
Suaranya makin lama makin sedih. Seolah-olah, jika ia berubah menjadi orang jahat, yang salah adalah Li Sun- Hoan. Li Sun-Hoan hanya bisa tertawa pahit. Katanya, “Aku berjanji aku akan kembali….”
Ling Ling menutup mata dengan tangannya dan berkata, “Tapi kau begitu sibuk. Waktu kau akhirnya punya waktu untuk datang, aku pasti sudah lama mati.”
Kata Li Sun-Hoan menenangkannya, “Aku pasti kembali tidak lama lagi….”
Sebelum kalimatnya selesai, Ling Ling berhenti menangis dan berkata, “Janji? Kapan? Aku akan menunggumu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika aku masih hidup, aku akan segera kembali setelah aku bertemu dengan Kwe ko- yang.”
Ling Ling melompat bangun dan tersenyum. Katanya, “Kau benar-benar orang baik. Demi engkau, aku akan berusaha menjadi orang baik juga. Apapun keadaannya, kau tidak boleh bohong padaku. Jika kau berbohong, aku akan jadi jahat lagi.”
Beban Li Sun-Hoan yang sudah berat, kini bertambah berat lagi.
Membuat Ling Ling menjadi orang baik ternyata adalah kewajibannya juga. Sekarang ia tidak dapat menolaknya, walaupun ia tidak pasti bagaimana masalah ini bisa tiba- tiba jatuh di pundaknya.
Ia hanya dapat tertawa getir. Ia sudah menghadapi begitu banyak masalah dalam hidup ini.
Namun hanya ada satu hal dalam benaknya saat ini.
Ia hanya dapat berharap bahwa Kwe ko-yang belum bertemu dengan Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing.
Ia hanya dapat berharap bahwa ia tidak terlambat. Ia belum terlalu terlambat.
***
Matahari musim gugur belum lagi terbenam di balik pegunungan. Air sungai berkilauan bagai emas di bawah pancaran sinar matahari.
Selembar daun maple mengapung di atas air keemasan itu, bergerak ke hilir sungai, diikuti dengan daun yang kedua, ketiga….sampai seluruh permukaan sungai tertutup oleh dedaunan.
Tapi ini masih musim gugur. Seharusnya daun maple belum gugur.
Mungkinkah ini akibat tenaga pedang Hing Bu-bing dan Kwe ko-yang?
Hati Li Sun-Hoan tercekat, karena ini berarti pertempuran telah dimulai! Pertempuran ini pastilah suatu pertempuran yang dahsyat dan mencekam.
Kwe ko-yang pasti bertarung mati-matian, sampai daun berguguran terkena arus tenaga pedang yang begitu kuat.
Berapa lama lagi ia dapat bertahan?
Li Sun-Hoan tidak sabar lagi ingin cepat sampai di sana. Dua per tiga dari dedaunan di hutan itu telah gugur.
Hawa pembunuhan begitu tebal, dan daun-daun maple merah yang berhamburan di udara seolah-olah memenuhi angkasa dengan darah.
Apakah pertempuran sudah selesai? Siapa yang menang?
Secuil bayangan pun tidak tampak dalam hutan itu. Seandainya angin musim gugur bisa bicara, ia pun tidak dapat memberi tahu apa yang Li Sun-Hoan sungguh ingin tahu. Hanya air yang mengalir yang berseru-seru, seolah-olah menangisi pihak yang kalah.
Jika Kwe ko-yang kalah, dimanakah mayatnya? Daun-daun terus mengalir mengikuti arus sungai.
Kini sang surya telah bersembunyi di balik gunung. Tiba- tiba terlihat olehnya selarik warna merah pada air sungai itu. Mungkinkah ini adalah darah pihak yang kalah.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya, segera ia berlari ke ujung sungai itu. Ia melihat sebuah mata air yang menyemburkan air dari sisi sebuah gunung.
Dekat mata air itu, tampaklah seseorang.
Walaupun mata air itu menyemprotkan air ke arah orang itu, orang itu tidak bergerak dari tempatnya.
Orang itu mengenakan jubah hitam. Ia berbaring tidak bergerak.
Li Sun-Hoan tercekat, “Kwe ko-yang….. Kwe-heng….”
Ia melesat terbang menghampiri orang itu. Air menyembur ke arah matanya.
Ia segera melompat turun dan meraba meraih tangan orang itu.
Betul. Orang itu memang Kwe ko-yang.
Tubuhnya kini hampir beku karena semprotan air dingin itu, namun tangannya tetap memegang pedangnya, seolah-olah sampai mati pun tak akan dilepaskannya.
Pedang itu adalah pedang yang sangat terkenal, Ko- yang-thi-kiam. Sarungnya telah jatuh ke dalam sungai sedangkan pedangnya masih tertancap di batu gunung.
Mengapa ia melakukan ini? Li Sun-Hoan memindahkan tubuh itu ke tanah yang kering. Terdengar suara orang berteriak dari kejauhan, “Mengapa ia melakukannya?”
Li Sun-Hoan tidak perlu menoleh, ia sudah tahu itu adalah suara Ling Ling. Gadis ini, sungguh luar biasa, telah berhasil membuntutinya.
Ling Ling bertanya, “Mengapa ia menggantung dirinya seperti itu? Apakah ia takut kau tidak dapat menemukan dia? Apakah dia kepingin mandi?”
Li Sun-Hoan mendesah, “Jika seseorang masuk ke dalam dunia dalam keadaan bersih, mengapa ia tidak boleh pergi dalam keadaan bersih juga?”
“Apa maksudmu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ia tidak ingin dikubur atau dibawa pergi.”
Tanya Ling Ling, “Kenapa? Apakah ia menunggumu?” “Tepat sekali.”
Tanya Ling Ling lagi, “Mengapa harus menunggumu? Ia kan sudah mati.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Karena ia ingin memberitahukan sesuatu padaku.”
Ling Ling terkesiap. Kemudian ia berkata, “Kau bilang….. Kau bilang ia ingin mengatakan sesuatu padamu?” “Betul.”
“Apakah kau tahu apa yang ingin ia katakan?” “Ya.”
Ling Ling semaking bingung. “Ia sudah mengatakannya?” “Ya.”
“Ta….Tapi waktu kau sampai, dia kan sudah mati.”