Bab 18. Satu Hari Banyak Kejutan
Orang itu mengenakan baju hijau. Baju itu terlalu panjang untuk ukuran orang biasa, namun untuk orang ini baju itu malah tampak terlalu pendek.
Ia dapat membuat orang merasa takut karena tubuhnya yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan topi panjang yang tampak aneh. Dari jauh ia kelihatan seperti sebatang pohon.
Kemampuannya untuk menghentikan kuda yang sedang berlari, sangat mengerikan. Namun matanya lebih mengerikan lagi. Mata itu seperti bukan mata manusia.
Matanya hijau, dan berkilauan.
Waktu Dian-jitya melihat ke luar, ia segera masuk kembali. Ia kelihatan seperti orang sakit.
Sim-bi bertanya, “Ada seseorang di luar?” Kata Dian-jitya lemah, “In Gok.”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Sayangnya ia sama seperti teman-temanku yang lain. Ia hanya menginginkan kepalaku.”
Wajah Sim-bi terlihat muram. Ia membuka pintu kereta dan menyapa, “Ih-jisiansing.”
Si Setan Hijau memandangnya, lalu berkata dingin, “Apakah engkau Sim-oh Taysu? Atau Sim-bi?” Sim-bi Taysu menjawab, “Pendeta tidak boleh berdusta. Di sini ada juga Tuan Dian-jitya dan Li-tayhiap.”
Kata In Gok, “Bagus. Serahkan saja Li Sun-Hoan dan kalian boleh pergi.”
Sahut Sim-bi, “Bagaimana jika aku tidak setuju?”
Kata In Gok lagi, “Maka aku harus membunuhmu dulu, baru membunuh Li Sun-Hoan!”
Tiba-tiba ia menyorongkan tangannya. Terlihat kilatan warna hijau, dan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) telah maju terarah pada Sim-bi.
Sim-bi membaca mantra Tan Okmpat pendeta muda berjubah abu-abu segera datang. Setelah Sim-bi mengelak dari serangan pertama ini, pendeta-pendeta muda itu mengelilingi In Gok.
Lalu In Gok tertawa.
Selagi tertawa, disambitkannya sebatang panah yang mengeluarkan asap hijau. Sim-bi langsung berteriak, “Tahan nafas!”
Ia memperingatkan murid-muridnya, namun ia sendiri lupa. Ketika diucapkannya kata ‘tahan’, bau yang aneh masuk ke dalam mulutnya.
Ketika para pendeta yang lain melihat perubahan wajahnya, mereka langsung panik. Sim-bi segera melayang beberapa meter ke belakang, duduk bersila dan mulai bermeditasi. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong racun itu keluar.
Para pendeta Siau-lim-si itu langsung membentuk barisan seperti tembok di depannya. Mereka hanya menguatirkan keselamatan Sim-bi. Mereka lupa pada Li Sun-Hoan.
Namun In Gok tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan menuju ke kereta.
Li Sun-Hoan masih di sana, namun Dian-jitya sudah pergi.
In Gok menatap Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah engkau membunuh Ku Tok?”
“Ya.”
Kata In Gok, “Bagus. Menukar nyawamu dengan nyawa Ku Tok bukanlah satu kerugian bagimu.”
Ia mengangkat Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya….
***
A Fei menatap langit-langit. Ia tidak berbicara sudah sangat lama.
Kata Lim Sian-ji, “Apa yang kau pikirkan?”
Jawab A Fei, “Apakah kau pikir ia akan menemui bahaya di tengah jalan?” Lim Sian-ji tersenyum. “Tentu saja tidak. Ada Sim-bi Taysun, Dian-jitya yang mengawalnya. Siapa yang berani menyerangnya?”
Ia membelai rambut A Fei. “Jika kau memperhatikan aku, beristirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku berjanji tidak akan pergi.”
A Fei menatapnya. Matanya sungguh penuh kehangatan. Akhirnya A Fei pergi tidur.
***
In Gok menatap Li Sun-Hoan. “Ada lagi yang ingin kau katakan?”
Li Sun-Hoan memandang Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya. “Satu kalimat saja.”
“Apa?”
Li Sun-Hoan mendesah. “Mengapa datang jauh-jauh hanya untuk mati?”
Tiba-tiba ia memutar tangannya.
Pisau berkilat dan In Gok terjengkang ke belakang. Begitu banyak darah menggenang di atas salju.
Kini In Gok sudah pergi jauh. Ia berteriak, “Li Sun-Hoan, jangan lupa. Aku….” Sampai di situ, ia berhenti.
Angin musim dingin mengiris kulit bagai pisau. Padang salju tiba-tiba hening mencekam.
Tiba-tiba terdengar seseorang bertepuk tangan. Dian- jitya keluar dari balik kereta, tersenyum dan bertepuk tangan. “Bagus. Bagus. Bagus. Pisau Kilat si Li memang tidak pernah luput. Sehebat yang dikatakan orang- orang.”
Li Sun-Hoan terdiam sejenak lalu berkata, “Jika kau bebaskan seluruh Hiat-to (jalan darah)ku, ia tidak akan bisa lolos.”
Dian-jitya tertawa. “Jika kubebaskan semua Hiat-to (jalan darah)mu, maka engkaulah yang lolos. Hanya dengan satu tangan yang bisa bergerak dan satu pisau saja, kau telah berhasil melukai In Gok cukup berat. Aku harus ekstra hati-hati menghadapi orang seperti engkau.”
Saat itu para pendeta itu telah menggotong Sim-bi kembali. Setelah duduk dalam kereta, Sim-bi langsung berkata, “Ayo pergi.”
Setelah beberapa saat ia berkata lagi, “Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) sangat berbahaya.”
Dian-jitya tersenyum. “Tapi tidak lebih berbahaya daripada Pisau Kilat si Li.”
Sim-bi memandang Li Sun-Hoan, “Aku tidak menyangka kau akan menyelamatkan kami.” Li Sun-Hoan terkekeh. “Aku hanya menyelamatkan diriku sendiri. Jangan pikirkan itu. Jangan repot-repot berterima kasih.”
Kata Dian-jitya, “Aku hanya bertanya apakah dia mau pergi dengan kita ke Siau-lim-si atau tinggal dengan In Gok. Lalu kubuka Hiat-to (jalan darah) tangan kanannya dan kuberinya sebilah pisau.”
Lalu ia menyeringai, “Itu saja sudah cukup.”
Kata Sim-bi, “Pisau Kilat si Li yang legendaris…..sangat sangat cepat!”
Walaupun gerak refleksnya kurang baik, namun ia memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Menjelang malam Sim-bi telah berhasil mendorong keluar semua racun dari dalam tubuhnya. Keesokan paginya, ia hampir pulih sepenuhnya.”
Lalu mereka melihat ada sebuah kedai di tepi jalan. Makanan tanpa arak, sama seperti masakan tanpa garam. Kering dan hambar.
Kata Dian-jitya, “Sudah bagus ada makanan. Jangan berharap terlalu muluk.”
Peraturan Siau-lim-si sangat ketat. Para pendeta ini tidak mengeluarkan suara sedikit pun selagi makan. Walaupun hanya sayuran rebus, mereka sudah terbiasa. Lagi pula, setelah perjalaLam-yang-hu cukup jauh, mereka sangat lapar. Jadi mereka pun makan cukup lahap. Hanya Sim-bi, yang baru pulih dari racun itu, tidak makan apa-apa.
Li Sun-Hoan akhirnya menyumpit sepotong tahu. Baru akan dimakannya, diletakkannya kembali. Wajahnya berubah. “Kita tidak bisa makan ini.”
Kata Dian-jitya, “Jika Li-Tamhoa tidak mau makan makanan biasa seperti ini, silakan saja pergi dengan perut kosong.”
Li Sun-Hoan hanya menyahut datar, “Makanan ini beracun.”
Dian-jitya tertawa. “Hanya karena kami tidak mengijinkanmu minum arak, bukan berarti…”
Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Seakan-akan tenggorokannya tersumbat.
Ini karena ia melihat wajah keempat pendeta Siau-lim-si itu menjadi abu-abu. Mereka sendiri tidak menyadarinya dan terus saja makan.
Sim-bi segera berkata, “Semua berhenti makan! Segera bermeditasi dan Lindungi organ-organ penting.”
Para pendeta itu tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka hanya tersenyum. “Apakah Susiok menyuruh kami?”
Sim-bi berkata cepat, “Tentu saja. Tak tahukah kalian bahwa kalian sudah keracunan?” “Siapa yang keracunan?”
Lalu keempat orang ini saling pandang. Semua bersama- sama berkata, “Wajahmu….”
Sebelum kalimat mereka selesai, keempatnya jatuh tergeletak. Dalam sekejap saja tubuh mereka sudah mulai membusuk.
Racun itu bukan hanya tidak berasa dan tidak berbau, juga bisa membuat orang yang keracunan tidak merasa apa-apa. Waktu mereka sadar mereka telah keracunan, mereka sudah tidak tertolong lagi.
Dian-jitya bergidik, “Racun apakah ini? Bagaimana racun ini bisa begitu hebat? Siapakah pelakunya?”
Li Sun-Hoan memandang pada kalajengking di dinding. “Aku tahu ia akan datang, cepat atau lambat.”
Dian-jitya bertanya dengan tak sabar, “Siapa? Kau tahu siapa dia?”
Kata Li Sun-Hoan, “Ada dua jenis racun di dunia ini. Yang satu berasal dari rumput dan tanaman. Yang satu lagi dari ular dan serangga. Banyak orang yang bisa membuat racun dari tanaman, tapi sangat sedikit yang bisa membuat racun dari ular dan serangga. Dan hanya satu orang yang dapat membuat racun yang bisa membunuh orang tanpa disadari korbannya.”
Dian-jitya terbelalak, “Maksudmu Ngo ... Ngo-tok-tongcu dari Kek-lok-tong di daerah Miau (Ngo-tok-tongcu)?” Kata Li Sun-Hoan, “Aku berharap bukan dia.”
“Mengapa ia datang ke sini? Untuk apa ia datang ke sini?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Ia datang mencari aku.”
Ia tahu Li Sun-Hoan pasti tidak mempunyai teman seperti ini. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun diurungkannya. “Tampaknya kau tidak punya banyak teman, tapi punya segudang musuh.”
Kata Li Sun-Hoan, “Aku tidak keberatan punya banyak musuh. Namun seseorang hanya perlu sedikit saja sahabat, karena kadang-kadang sahabat itu lebih mengerikan daripada musuh.”
Sim-bi tiba-tiba memotong dan bertanya, “Bagaimana kau tahu ada racun dalam makanan itu?”
Kata Li Sun-Hoan, “Sama seperti waktu berjudi. Aku hanya bergantung pada perasaanku. Jika seseorang menanyakan sebabnya, aku tidak bisa menjawabnya.”
Sim-bi memandang dia penuh curiga, lalu katanya, “Mulai sekarang, kita hanya makan apa yang dia makan.”
Mereka meninggalkan keempat jenazah pendeta itu di biara setempat dan melanjutkan perjalanan.
Walaupun mereka bisa terus berjalan tanpa makan, kusir kereta tidak mau ikut lapar bersama dengan mereka. Jadi waktu mereka lewat sebuah kedai, ia berhenti dan makan di situ. Ia membeli beberapa buah roti dan makan dalam perjalanan.
Dian-jitya terus memandangnya. Setelah beberapa saat ia bertanya, “Berapa harga roti ini?”
Kusir kereta itu tersenyum. “Murah sekali, dan cukup lezat. Cobalah sedikit.”
Dian-jitya tersenyum. “Roti ini tidak mungkin beracun. Mengapa tak kau coba sedikit, Pendeta?”
Sim-bi berkata, “Makanlah sedikit, Li-tayhiap.”
Li Sun-Hoan terkekeh. “Tak kusangka kalian berdua sungguh penuh kesopanan.”
Ia mengambil satu dengan tangan kirinya, karena hanya tangan kirinya yang bisa bergerak. Lalu dia berkata, “Kita tidak bisa makan ini.”
Kata Dian-jitya, “Namun kusir kereta itu makan, dan tidak terjadi apa-apa.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Dia bisa makan, namun kita tidak.” “Mengapa?”
“Karena ia bukanlah orang yang hendak dibunuh oleh Ngo-tok-tongcu!”
Dian-jitya tertawa dingin, “Apakah kau ingin menipu kami dan membuat kami mati kelaparan?” Sahut Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak percaya, makan saja.”
Dian-jitya menatapnya, lalu menyuruh kusir kereta untuk berhenti. Ia belah roti itu menjadi dua, dan memberikan setengah bagian pada kusir kereta itu. Kusir itu makan dan tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan sama sekali. Dian-jitya berkata dingin, “Kau masih berpikir bahwa kita tidak bisa makan roti itu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak.”
Ia menguap. Lalu seolah-oleh tertidur.
Dian-jitya sungguh kesal, lalu katanya, “Aku akan makan untuk membuktikan bahwa kau salah.”
Walaupun ia berkata begitu, ia tidak makan roti itu. Lalu dilihatnya seekor anjing liar lewat dekat kereta mereka. Kelihatannya anjing itu pun sedang kelaparan.
Dian-jitya memberikan setengah bagian roti yang sisa pada anjing itu. Anjing itu mengendus-endus, makan sedikit lalu pergi. Sepertinya ia tidak suka roti itu.
Namun setelah beberapa langkah, tiba-tiba anjing itu meloLiong nyaring, melompat dan terkapar mati.
Dian-jitya dan Sim-bi sungguh terkejut.
Li Sun-Hoan menghela nafas. “Sudah kubilang. Masih untung, hanya seekor anjing yang mati, bukan kalian.” Sebelumnya, Dian-jitya kelihatan begitu percaya diri. Namun kini wajahnya berubah total. Ia memandang pada kusir itu dan bertanya menyelidik, “Ada apa ini?”
Kusir itu sangat ketakutan. “Aku sungguh tidak tahu. Aku membeli roti itu dari warung tadi.”
Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuh kusir itu. “Lalu mengapa anjing itu mati dan kau masih hidup? Siapa yang menaruh racun pada roti itu kalau bukan engkau?”
Kusir itu hanya gemetar, tak tahu harus menjawab apa.
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak ada gunanya mengancam dia. Dia sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi.”
“Jika dia tidak tahu, siapa yang tahu?” “Aku tahu.”
Dian-jitya berusaha menenangkan dirinya. “Kau tahu? Cepat jelaskan!”
Sahut Li Sun-Hoan, “Roti itu beracun, namun sup yang dimakannya di warung itu mengandung obat penawarnya.”
Dian-jitya berkata dingin, “Kita kan mungkin saja turun juga untuk makan sup itu.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika kita makan sup itu, racunnya tidak akan dimasukkan ke dalam roti. Tipuan Ngo-tok-tongcu memang tidak dapat ditebak. Dalam menghadapi orang seperti itu, kau hanya bisa menutup mulutmu rapat-rapat.”
Sim-bi berkata, “Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah makan saja untuk beberapa hari ini. Ayo lekas jalan lagi.”
Dian-jitya berkata, “Walaupun kita tidak makan, aku kuatir bahaya itu akan tetap ada.”
“Mengapa?”
“Karena kemungkinan ia akan menunggu sampai kita sangat lemah, baru menyerang.”
Sim-bi tidak tahu harus menjawab apa.
Lalu mata Dian-jitya berbinar. “Aku ada ide.” “Apa?”
Dian-jitya berbisik, “Tujuannya kan bukan kita. Maka kalau kita….”
Ia melirik pada Li Sun-Hoan dan berhenti bicara.
Wajah Sim-bi menjadi murung. Aku sudah berjanji akan membawanya ke Siau-lim-si. Aku tidak dapat membiarkannya mati di tengah jalan.”
Dian-jitya tidak berkata apa-apa lagi. Namun setiap kali ia memandang Li Sun-Hoan, matanya menyiratkan niat membunuh. Pendeta bukan hanya harus makan dan tidur, mereka pun harus buang hajat.
Sim-bi menyadari juga akan hal ini. Namun apapun yang sedang dilakukannya, dia tidak mau Li Sun-Hoan berada di luar pengamatannya.
Dian-jitya menjadi sungguh kesal dan tidak sabar, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, mereka melihat sebuah warung menjual roti. Warung itu cukup ramai. Orang mengantri untuk membeli. Waktu mereka mendapatkan roti itu, mereka segera memakannya. Tak seorang pun mati keracunan.
Dian-jitya tidak bisa menahan diri lagi. “Bisakah kita makan ini?”
Kata Li Sun-Hoan, “Mereka boleh memakannya. Namun kita tidak bisa. Walaupun sepuluh ribu orang memakannya dan tidak terjadi apa-apa, jika kita makan, kita pasti keracunan sampai mati!”
Jika Li Sun-Hoan mengatakan ini dua hari yang lalu, Dian-jitya tidak mungkin percaya. Namun sekarang, Dian-jitya harus mempercayainya.
Lalu terdengar seorang anak berteriak, “Ibu! Ibu! Aku mau makan roti.”
Mereka melihat dua orang anak berusia sekitar tujuh tahun sedang berada dekat warung itu. Mereka berteriak-teriak dan melompat-lompat. Seorang wanita keluar dari warung itu dan menampar mereka.
Anak itu menangis. “Kalau aku sudah jadi orang kaya nanti, aku tidak mau lagi makan roti. Aku hanya mau makan mi telur saja.”
Li Sun-Hoan mengeluh. Begitu besar jurang antara yang kaya dengan yang miskin. Dalam bayangan anak-anak ini, bahkan mi telur pun adalah suatu kemewahan.
Jalan itu sempit dan begitu banyak orang di sana. Cukup lama kereta mereka tidak bisa lewat.
Kini terlihat kedua anak itu masing-masing membawa semangkuk bubur. Mata mereka tetap tertuju pada orang-orang yang sedang makan roti.
Tiba-tiba, Dian-jitya turun dari kereta. Ia menaruh beberapa keping uang di meja si penjual roti, dan mengambil beberapa buah roti. Lalu ia menghampiri kedua anak ini dan berkata, “Aku beri kalian roti ini. Kalian beri padaku bubur itu. Bagaimana?”
Mata kedua anak itu langsung bersinar-sinar. Mereka belum pernah bertemu dengan orang sebaik ini.
“Aku beri kalian uang untuk membeli permen juga. Bagaimana?”
Melihat ini, Sim-bi terkekeh. Akhirnya Dian-jitya membawa dua mangkuk bubur itu ke dalam kereta. Sim- bi tersenyum. “Kau cerdik juga rupanya.” Dian-jitya tertawa. “Yah, kita kan perlu tenaga untuk bisa meneruskan perjalanan.”
Ia memberikan semangkuk kepada Sim-bi.
Walaupun bubur ini terasa hambar, mereka memakannya seperti makaLam-yang-hu sedap luar biasa, karena mereka yakin bubur itu tidak beracun.
Dian-jitya memandang Li Sun-Hoan dan terkekeh. “Apakah kau pikir ini bisa dimakan?”
Sebelum menjawab, Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk.
Dian-jitya tersenyum sambil berkata, “Jika Ngo-tok- tongcu sudah tahu sebelumnya bahwa anak-anak itu ingin makan roti, dan sudah tahu bahwa kita akan menggunakan roti itu untuk barter dengan bubur ini, sehingga ia telah menaruh racun dalam bubur ini, maka aku rela mati.”
Setelah mengatakannya, dihabiskannya semangkuk bubur itu dengan sekali telan.
Sim-bi pun merasa bahwa bubur itu tidak mungkin beracun. Karena betapa pun hebatnya dia, Ngo-tok- tongcu tidak mungkin dapat menebak apa yang akan terjadi!