Bab 05. Pengejaran di Malam Bersalju
Li Sun-Hoan mengambil botol arak dan menghabiskan seluruh arak di dalamnya. Lalu ia terbatuk-batuk dan terus terbatuk-batuk, sampai wajahnya yang pucat menjadi merah darah. Tangannya memegang dadanya dan berkata pada dirinya sendiri, “Siau-hun, Si-im. Aku tak pernah menyalahkan kalian berdua. Apa pun yang dikatakan orang, aku tak akan menyalahkan kalian, sebab kalian memang tidak berbuat salah. Semua kesalahan, akulah yang melakukannya.”
Tiba-tiba pintu kayu itu terpentang lebar.
Seseorang merangkak masuk. Ia terlihat seperti bakso raksasa, penuh lemak di sekujur tubuhnya. Rambut dan kumisnya acak-acakan, seperti tidak pernah mandi bertahun-tahun. Bau busuknya dapat tercium dari lebih dari satu kilometer.
Ia merangkak, karena kedua belah kakinya buntung.
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan berkata, “Jika kau ingin mengemis makanan, kau datang pada saat yang salah.”
Orang ini tidak menghiraukannya. Ia memang cacad, tapi gerakannya sangat gesit. Dengan satu gulingan, ia telah tiba di depan perapian.
Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah kau juga datang untuk Kim- si-kah ?”
Tangan orang ini mendorong badannya ke depan dan sampailah dia pada mayat di dekatnya. Tentu saja rompi itu ada pada mayat itu.
Kata Li Sun-Hoan dingin, “Pisau di tanganku ini sanggup membunuh orang. Jika kau tidak berhenti, aku kuatir jumlah mayat di ruangan ini akan bertambah satu.” Orang itu tetap tidak menghiraukan, dan terus melucuti Kim-si-kah dari mayat itu. Rompi itu hanya serupa rompi biasa yang berwarna keemasan, tanpa aura misterius sama sekali.
Orang itu memegang rompi itu erat-erat, dan tertawa keras-keras, “Waktu kepiting dan kerang bertempur, nelayanlah yang menikmati hasilnya. Aku masih tak dapat percaya, mustika ini akhirnya ada dalam genggamanku.”
Sahut Li Sun-Hoan dingin, “Pisauku masih di sini. Kurasa kata-katamu keluar terlalu dini.”
Orang ini membal dengan tangannya, seperti katak, ke arah Li Sun-Hoan, dan tersenyum sambil memandangnya. Gigi-giginya kuning semua.
Ia terkekeh sambil berkata, “Kalau kau punya pisau, mengapa kau tak membunuhku? Li si pisau terbang tak pernah luput. Kau hanya perlu menggunakan pisaumu, dan tidak mungkin aku, seorang cacad, dapat menghindarinya.”
Li Sun-Hoan jadi tersenyum, katanya, “Kau adalah seorang yang menarik, aku jadi tak tega membunuhmu.”
Orang aneh ini tertawa beberapa saat, dan berkata, “Jika kau tidak mau mengakuinya, biarlah aku yang mengatakannya.”
Lanjutnya sambil terus tertawa, “Semua orang mungkin mengira kau tidak keracunan, tapi aku tahu bahwa kau memang keracunan. Namun kau memang sangat tenang, jadi kau bisa mengelabui orang-orang itu.”
Ekspresi Li Sun-Hoan tidak berubah. “Begitukah sangkamu?”
Orang aneh ini berkata, “Kau takkan mungkin bisa mengelabui aku, karena aku tahu pasti, racun dalam arak itu tidak berasa dan tidak berwarna. Bahkan jika hidungmu bisa mencium lebih baik daripada anjing, kau tidak akan mungkin bisa menciumnya.”
Li Sun-Hoan menatap orang ini lekat-lekat, lalu tersenyum kecil, “Benar-benar yakinkah kau akan hal ini?”
Orang aneh ini terkekeh lagi. “Yakin sekali, karena akulah yang meracuni arak itu. Aku tahu pasti apakah kau keracunan atau tidak. Kau bisa mengelabui semua orang, kecuali aku.”
Ekspresi Li Sun-Hoan tetap tidak berubah, namun otot- otot di sekitar matanya mulai bergerak-gerak. Setelah diam beberapa saat, ia menghela nafas dan berkata, “Belum lagi habis satu hari, namun enam, tujuh peristiwa besar telah terjadi. Kurasa peruntunganku cukup baik.”
Kata orang aneh ini, “Kau tidak ingin tahu, tangan siapakah yang membunuhmu?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Aku baru saja hendak bertanya.” Orang aneh ini menjawab, “Kau berpengetahuan luas, jadi kau pasti tahu bahwa ada 7 orang licik dalam dunia persilatan.”
Dengan terkejut Li Sun-Hoan menjawab, “Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib).”
Orang aneh ini berkata lagi, “Tepat. Ketujuh orang ini sangatlah licik tak terbayangkan. Ilmu silat mereka memang tidak hebat, tapi kalau soal racun, mencuri, menipu, dan bedusta, kelihaian mereka tak ada bandingannya.”
Mata Li Sun-Hoan bersinar, “Apakah kau salah satu dari Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)?”
Orang aneh ini menjawab, “Yang paling licik dari Jit-biau- jin (tujuh manusia ajaib) adalah….”
Jawab Li Sun-Hoan, “Biau-Liong-kun Hoa Hong (Tuan Saktu Lebah madu).”
Kata orang aneh ini, “Hampir betul. Nama lengkapnya adalah ‘Hek-sim-biau-Liong-kun (si perjaka ajaib berhati hitam)’. Kemampuan orang ini sangat terbatas. Ia sangat pengecut, bahkan takut untuk mencuri dan merayu wanita. Namun dalam hal racun, Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun) yang terkenal itupun kadang-kadang harus memanggilnya Kakek.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kelihatannya kau tahu banyak tentang orang ini.” Jawab orang aneh itu, “Tentu saja. Karena akulah dia, dan dialah aku.”
Li Sun-Hoan menghela nafas dan terdiam.
Hoa Hong tertawa, “Apakah kau terkejut bahwa Biau- Liong-kun (si perjaka ajaib) telah berubah menjadi segumpal bakso?”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika kau dapat merayu wanita, wanita itu pastilah buta.”
Hoa Hong menjawab, “Lagi-lagi salah. Mata mereka tidaklah buta, bahkan sangat cantik. Namun jika seseorang telah disekap, dipatahkan kakinya dan dicekoki makanan berlemak setiap hari selama bertahun- tahun, ia akan berubah menjadi bakso.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kutebak ini adalah perbuatan pasangan Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe.”
Hoa Hong berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Ci-bin-ji- Liong Sun Gwe telah bercerita padamu sebelumnya. Aku akan menceritakan padamu kisah yang lain. Kisahku jauh lebih menarik.”
“O ya?”
Hoa Hong melanjutkan, “Tahun itu peruntunganku kurang baik. Pada saat itu, aku tergila-gila wanita dan kurayu istri si Jenggot Besar, Jiang-wi Hujin. Kami bahkan sampai punya anak. Jadi ia harus lari bersamaku.” Li Sun-Hoan terperangah. “Jadi orang yang diceritakannya itu adalah kau? Ialah yang harus membayar akibat kesalahanmu?”
Kata Hoa Hong, “Ia bohong sedikit. Aku tidak mencuri harta bendanya. Walaupun aku mau, aku tidak mungkin bisa. Ia jauh lebih licik daripada aku. Akan tetapi, memang benar, kami dikejar oleh orang-orang suruhan Si Jenggot Besar. Aku memang seorang pengecut, jadi kubujuk dia untuk menemukan seseorang sebagai penggantiku untuk sementara waktu. Mulanya ia ragu- ragu, katanya wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe kurang gagah. Namun akhirnya ia setuju.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jadi kalian berdualah yang merencanakan semua ini.”
Lanjut Hoa Hong, “Jika saat itu aku benar-benar meninggalkannya, semua akan jadi baik-baik saja. Namun aku ingin juga harta bendanya, jadi kukatakan setelah semuanya kembali tenang, kami akan membunuhnya dan kembali bersama. Siapa sangka, ia jatuh cinta pada Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe. Mereka bahkan mematahkan kakiku dan memenjarakan aku seperti ini selama hampir dua puluh tahun.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Mengapa ia tidak membunuhmu?”
Sahut Hoa Hong, “Jika aku mengerti jalan pikiran wanita, aku takkan mungkin jadi seperti ini. Aku pikir aku tahu hati wanita. Itulah sebabnya aku jadi seperti ini. Jikalau seorang laki-laki berpikir ia mengerti tentang wanita, maka ia harus menerima konsekuensinya.”
Kata Li Sun-Hoan, “Benar-benar suatu kisah yang luar biasa.”
“Namun kau belum mendengar bagian yang paling menarik.”
“Apa?”
Kata Hoa Hong, “Setelah kau kena racun, kau takkan bisa menggunakan pisaumu, dan kau pun tak akan bisa hidup lebih dari 6 jam. Maka dari itu, aku takkan membunuhmu sekarang, karena aku ingin kau mengetahui rasanya menunggu datangnya kematianmu.”
Li Sun-Hoan menyahut tenang, “Sebetulnya tidak perlu juga. Sudah beberapa kali aku menunggu datangnya kematianku.”
Hoa Hong tertawa, “Aku berjanji, inilah yang terakhir kali.”
Li Sun-Hoan pun tertawa kecil. “Jika demikian, tak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Hanya saja, di luar sedang turun salju, dan angin pun kencang, bagaimana kau akan pergi?”
Sahut Hoa Hong, “Jangan kuatir. Kakiku memang buntung, tapi aku masih bisa naik kuda.” “Kalau begitu, hati-hatilah di jalan. Maaf, aku tidak bisa mengantar.”
Suara derap langkah kuda pun segera lenyap ditelan hujan salju.
Li Sun-Hoan duduk diam dan mencium arak itu. “Sungguh-sungguh tak berbau dan tak berasa. Ilmu racun yang hebat sekali.”
Diminumnya secawan lagi, lalu dipejamkan matanya. “Namun arak ini sungguh lezat. Aku mati karena minum secawan. Aku pun akan mati kalau minum sebotol penuh. Mengapa tidak kuhabiskan saja?”
Diminumnya arak beracun itu sampai habis.
Lalu ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, “Oh, Li Sun- Hoan. Kau seharusnya sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Apa salahnya mati? Tapi kau tak seharusnya mati di dapur bersama dengan mayat-mayat ini.”
Maka ia bangkit, dan terhuyung-huyung menuju ke pintu.
Tampak jejak-jejak kaki di salju, menuju ke arah tenggara.
Li Sun-Hoan mencari tempat yang agak bersih dan duduk di situ. Dikeluarkan dari sakunya, ukirannya yang belum selesai.
Figur kayu ukiran itu menatap Li Sun-Hoan. Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa keras, katanya, “Mengapa kau masih menatapku? Aku hanya seorang pemalas dan pemabuk. Kau mengambil keputusan yang tepat menikah dengan Siau-hun. Akulah yang salah.”
Dicobanya menyelesaikan ukirannya dengan pisau. Namun ia telah kehabisan tenaga.
Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Tiap kali batuk seakan-akan ia sedang berteriak, “Si-im, Si-im.”
Dapatkah Si-im mendengarnya?
Tak mungkin Si-im dapat mendengarnya. Namun, ada yang mendengar.
Sang kusir segera membopong Li Sun-Hoan, dan berlari kalap melalui hutan.
“Jika kita dapat menemukan orang buntung kaki yang kelihatan seperti bakso dalam waktu dua jam, mungkin aku bisa selamat. Orang yang menaruh racun, pasti punya penawarnya.”
Inilah kalimat terakhir yang sanggup diucapkan Li Sun- Hoan.
Sang kusir mengerahkan seluruh kekuatannya, air matanya membeku, menyambut angin dingin yang menyayat kulit.
Tiba-tiba terdengar suara dari jauh. Sang kusir ragu-ragu sebentar, lalu berlari ke arah suara itu. Mula-mula ditemukannya kuda di tengah jalan. Ia tidak bertemu dengan Hoa Hong. Ia hanya menemukan mayatnya.
Tampak ratusan senjata rahasia tertancap di sekujur tubuhnya. Sang kusir tidak bisa tidak merasa iba. Namun ia teringat masalah yang lebih penting.
Tanyanya cepat, “Inikah orangnya?” Ia sungguh berharap mayat ini bukanlah orang yang mereka cari.
Jawab Li Sun-Hoan, “Betul.”
Sang Kusir menggigit bibirnya. Ia menanggalkannya mantelnya, menghamparkannya di sebatang pohon dan menurunkan Li Sun-Hoan dari punggungnya. “Mungkin obat penawarnya masih ada. Akan kucari.”
Kata Li Sun-Hoan, “Hati-hati. Jangan sampai tergores senjata rahasia.”
Bahkan saat hidupnya sendiri ada di ujung tanduk, ia tetap memikirkan keselamatan orang lain.
Sang Kusir merasa hawa panas naik dari perutnya. Sekuat tenaga, ditahannya air matanya, sambil mencari obat penawar pada mayat itu.
Setelah sekian lama, ia berdiri.
Kata Li Sun-Hoan, “Obat penawarnya tidak ada.” Sang Kusir tak mampu berkata-kata, lidahnya kelu.
Li Sun-Hoan tersenyum, katanya, “Aku seharusnya sudah tahu. Setelah dipenjara bertahun-tahun, tak mungkin ia punya obat penawarnya.”
Sang Kusir mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dipukulnya kepalanya sendiri dan berkata, “Kalau saja aku bisa tahu siapa yang membunuhnya…. Mungkin orang itu mengambil obat penawarnya.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya, wajahnya sungguh kelam. “Mungkin…. Mungkin juga tidak.”
Kata Sang Kusir, “Sayangnya senjata rahasia jenis ini sangat umum. Banyak orang menggunakannya.”
“Ya.”
Lanjut Sang Kusir lagi, “Tapi ada begitu banyak senjata rahasia yang tertancap di badannya. Kemungkinan pembunuhnya lebih dari satu orang.”
“Ya.”
Nafasnya jadi lambat, seperti akan terlelap. Ia begitu kuatir akan keselamatan orang lain, namun tidak dipedulikannya hidupnya sendiri.
Sang Kusir meninju-ninju tangannya sendiri, dan tiba-tiba melompat girang, “Aku tahu! Aku tahu siapa pembunuhnya!” “Ha?”
Sang Kusir segera berlari ke samping Li Sun-Hoan. “Pembunuhnya hanya satu orang. Tapi orang itu sanggup menyambitkan 13 senjata rahasia secara bersamaan.”
“Ha?”
Lanjut Sang Kusir, “Ada 13 macam senjata rahasia yang menancap di tubuhnya. Sebenarnya satu saja pun telah sanggup membunuhnya. Hanya ada satu orang di dunia sang sekejam dan segila ini.”
Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau memang benar. Hanya ada satu. Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan seribu). Akhirnya Hoa Hong mati di tangan seorang wanita.”
Lanjut Sang Kusir, “Selain dia, tidak ada orang lain yang dapat menyambitkan 13 macam senjata rahasia secara bersamaan.”
Tiba-tiba ia berhenti, dan berkata. “Seharusnya kau sudah bisa menebaknya.”
Bibir Li Sun-Hoan menyunggingkan senyum getir, katanya, “Apa bedanya aku tahu atau tidak? Jian-jiu-lo- sat (si hantu perempuan bertangan seribu) datang dan pergi secara misterius. Ia pasti sudah pergi jauh. Tak ada gunanya mengejar.”
Kata Sang Kusir, “Kita harus dapat menemukan dia.” Li Sun-Hoan menggelengkan kepala, katanya, “Tak usahlah. Kalau kau bisa memberiku arak, aku bisa mati dalam keadaan mabuk, aku akan berterima kasih padamu untuk selama-lamanya. Aku sangat, sangat lelah. Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang.”
Sang Kusir berlutut, dan tak bisa lagi membendung air matanya. “Siauya, aku tahu betapa lelahnya engkau. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kau tidak merasa bahagia. Kesedihan dan penderitaan, sungguh membuat seseorang merasa letih.”
Tiba-tiba dirangkumnya wajah Li Sun-Hoan, dan katanya keras-keras, “Namun Siauya, kau tidak boleh mati. Kau harus mengumpulkan tenagamu. Jika kau mati sekarang, semua orang akan berpikir bahwa kau hanyalah seorang pemalas dan pemabuk. Loya (tuan besar) tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di alam baka.”
Li Sun-Hoan memejamkan matanya rapat-rapat, air matanya membeku.
Namun ia tetap tersenyum, sahutnya, “Pemalas, pemabuk, tidak jelek juga kan. Paling tidak lebih baik daripada tuan-tuan palsu itu.”
Wajah Sang Kusir masih bersimbah air mata, katanya, “Tapi… tapi, Siauya, kau sepantasnya mendapatkan reputasi tertinggi di dumia. Kebaikan hatimu tak terkira. Mengapa kau siksa dirimu sendiri? Apakah wanita itu, Lim Si-im, sebegitu berharga?” Seketika, kilat menyambar dari mata Li Sun-Hoan, dengan berang ia menyembur, “Diam. Berani-beraninya kau sebut namanya!”
Sang Kusir menundukkan kepalanya, katanya, “Maaf, Tuan.”
Li Sun-Hoan menatapnya beberapa saat, lalu kembali memejamkan matanya. “Baiklah. Kalau kau ingin pergi mencarinya, mari kita pergi. Dunia ini sungguh luas dan waktu kita terbatas. Ke mana kita pergi?”
Sang kusir segera bangkit. “Langit akan membantu mereka yang pedih hatinya. Kita pasti akan menemukannya.”
Baru saja ia akan membopong Li Sun-Hoan di punggungnya, setetes salju jatuh dari atas pohon ke dahinya. Waktu ia menyekanya, tangannya bernoda darah.
Ada seseorang di atas pohon. Seseorang yang sudah mati. Seorang wanita yang sudah mati.
Ia tergantung di batang pohon itu, tubuhnya telah membeku. Pedang pendek menembus dadanya, memakukan tubuhnya pada batang pohon.
Kedua orang ini sibuk dengan mayat yang tergeletak di tanah, mereka tidak melihat mayat di atas pohon. Sang Kusir, bagaikan seekor elang, melompat membawa turun mayat wanita itu. Wajahnya tertutup es, sehingga sulit ditebak usianya. Namun bisa dipastikan, ia adalah seorang wanita yang cantik sebelum kematiannya.
Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa. “Kurasa memang Langit yang membantu kita menemukannya.”
Sang Kusir kembali mengepalkan tangannya, sergahnya, “Kudengar Jian-jiu-lo-sat (si hantu perempuan bertangan seribu) memang sangat kejam. Tapi mengapa setelah dibunuh, pakaiannya pun dilucuti?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Mungkin pakaiannya indah sekali.”
Mata Sang Kusir berbinar. “Kau benar sekali. Kabarnya, ia memang seorang pesolek. Pakaiannya terbuat dari emas, dan penuh taburan batu permata.”
Li Sun-Hoan tertawa getir. “Jikalau tanduk rusa tidak mahal harganya, dan jika rusa tidak bertanduk, mereka tidak akan dibunuh oleh pemburu.”
“Si pembunuh datang untuk mengambil Kim-si-kah , tapi ia tetap tidak bisa melewatkan pakaian yang nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan rompi itu. Cuma ada satu orang yang rakus seperti ini.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Aku pikir juga cuma ada satu orang.”
Sahut Sang Kusir cepat, “Ia yang mencuri bahkan dari peti mati, ‘Si Yau-sian (Matipun Minta Duit)’.” Li Sun-Hoan berkata, “Coba cabut pedang itu.”
Pedang itu halus buatannya, bahkan dihiasi batu kumala.”
Li Sun-Hoan menambahkan, “Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) menghargai uang bagaikan nyawa. Mana mungkin ia meninggalkan senjata macam ini?”
Sang Kusir berpikir sejenak, lalu berkata, “Tidak banyak senjata yang berharga seperti ini di dunia. Mungkinkan ini perbuatan Pao Siau-an?”
Jawab Li Sun-Hoan, “Ya. Kurasa mereka bekerja sama.”
Kata Sang Kusir, “Yang satu menghargai uang bagai nyawa, yang satu lagi menganggap uang tak ada artinya. Dua orang ini memiliki pandangan yang sangat bertentangan. Bagaimana mereka bisa bekerja sama?”
Li Sun-Hoan tertawa. “Tuan Pao terkenal royal akan segala sesuatu, pakaian, makanan, dalam kehidupan,dalam bepergian. Bagi Si Yau-sian (Matipun Minta Duit), mengikutinya berarti mendapatkan fasilitas yang tak terbatas. Mengapa tidak?”
Wajah Sang Kusir menjadi cerah, dengan bangga ia berkata, “Ini sangat baik. Dalam cuaca buruk seperti ini, Pao Siau-an tidak dapat naik kuda, dan tidak mungkin ia mau berjalan kaki. Ia pasti naik kereta. Kalau ia naik kereta, kita pasti dapat mengejarnya.” Memang benar, terlihat jejak roda kereta di atas salju di jalan. Mereka pasti naik kereta.
Kereta macam ini sangat nyaman, tapi tak bisa lari kencang.
Sang Kusir lari dengan segenap kekuatannya. Bahkan dengan seseorang di punggungnya, ia dapat bergerak dengan cepat dan gesit. Tak bisa dipercaya, seseorang dengan ilmu meringankan tubuh sebaik itu, hanya menjadi seorang kusir. Dan lagi, orang dengan ilmu meringankan tubuh setaraf ini seharusnya cukup terkenal dalam dunia persilatan.
Setelah beberapa saat, jejak roda kereta tidak tampak lagi. Tak adanya jejak di salju menandakan bahwa tidak ada yang lewat di sini paling tidak empat sampai enam jam terakhir.
Lalu dilihatnya ada jalan kecil di samping. Ia tidak terlalu memperhatikan jalan kecil ini sebelumnya. Jalan ini menuju ke kuburan seseorang yang kaya raya.
Ditelusurinya jalan kecil itu. Betul saja, jalan itu buntu.
Tapi tampak ada kereta kuda di depan kuburan. Kudanya tidak ada lagi. Tiga orang, dengan mantel bulu domba tergeletak di tanah. Di dalam kereta tampak seseorang dengan pakaian rapi dan wajah yang gagah. Usianya 40- an, cambangnya tercukur rapi.
Di jarinya terlihat cincin yang luar biasa indah. Pastilah ini Pao Siau-an. Ada dua wanita di samping kanan kirinya. Keduanya mati dengan cara yang sama. Hiat-to (jalan darah) mereka yang utama tertotok seluruhnya.
Perbuatan siapakah ini?
Sang Kusir bertanya, “Mungkinkah ini perbuatan Si Yau- sian (Matipun Minta Duit)?”
Sebelum kalimatnya selesai, satu lagi mayat terlihat. Kepalanya botak, wajahnya menelungkup ke tanah. Hanya kedua tangannya memegang…. sepertinya ia berusaha mempertahankan sesuatu sebelum kematiannya, namun tidak berhasil.”
Ini adalah Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). Ia tidak akan bisa lagi mencuri dari peti mati.
Kata Li Sun-Hoan, “Tidak jadi soal jika seseorang suka berjudi atau pergi ke rumah bordil. Tapi jangan sampai seseorang berkawan dengan orang yang salah. Mereka akan berakhir seperti Pao Siau-an, bahkan tidak tahu siapa pembunuhnya.”
“Tapi…”
Lanjut Li Sun-Hoan, “Selain Pao Siau-an, semua orang terkesima. Mereka tak bisa percaya Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tega berbuat demikian. Terutama kedua wanita itu, yang bahkan mungkin telah menjaLim hubungan dengan Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) sebelum mereka mati. Jadi mereka sungguh-sungguh tidak percaya.” Sang Kusir tiba-tiba berkata, “Kudengar ilmu totok Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) adalah yang terhebat di Provinsi Soasay (Shan Xi). Ia terkenal dengan julukan ‘Si Jari Satu Pengejar Nyawa’. Kelihatannya ini adalah hasil kerjanya, namun….”
Sambung Li Sun-Hoan, “Kemungkinan besar Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) telah bersama-sama dengan Pao Siau-an untuk sekian lama. Kali ini Pao Siau-an menginginkan Kim-si-kah , dan Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) ingin terus menjadi benalu Pao Siau-an, sehingga ia pun ikut serta. Siapa sangka, rompi itu begitu menawan. Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak lagi mempedulikan persahabatan dan membunuh mereka semua.”
“Tapi jangan lupa, dia juga mati.”
Li Sun-Hoan tertawa. “Mungkin waktu dia beraksi, seorang iseng mengintip di sekitar kuburan. Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) memergokinya dan berusaha membunuhnya juga untuk membungkamnya. Tapi sebaliknya, ia tidak dapat membungkan mulut orang itu, malah dia yang terbunuh.”
“Tapi ilmu silat Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tidak rendah. Siapa yang sanggup membunuhnya.”
Ia mendekat ke arah kuburan. Terlihatlah bahwa tidak ada sedikitpun luka di tubuhnya. Hanya ada satu lubang tambahan di tenggorokannya.” Li Sun-Hoan masih ada dalam gendongan Sang Kusir. Kedua orang ini menatap sejenak, dan keduanya menghela nafas. Namun di sudut bibir keduanya, terbayang sebentuk senyuman. Hampir bersamaan mereka berkata, “Ternyata dia.”
Sang Kusir tertawa, “Pedang Fei-siauya (tuan Fei) lebih cepat dari kilat. Tak heran Si Yau-sian (Matipun Minta Duit) tak sempat melawan.”
Li Sun-Hoan menutup matanya sambil tersenyum. “Bagus. Bagus sekali. Rompi itu telah menemukan pemilik yang pantas. Kini Bwe-hoa-cat pasti akan tertangkap.”
Sang Kusir kemudian berkata, “Mari kita cari Fei-siauya (tuan Fei). Ia pasti belum pergi lama.”
Li Sun-Hoan bertanya, “Buat apa?” “Untuk mendapatkan obat penawarnya.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Jika Hoa Hong punya obat penawarnya, dan obat itu telah diambil, maka obat itu pasti ada pada Si Yau-sian (Matipun Minta Duit). A Fei tidak akan pernah mengambil barang orang lain. Ia mengambil Kim-si-kah itu hanya karena menurut pendapatnya, rompi itu adalah milikku.”
Sang Kusir memandangi perhiasan pada tubuh Pao Siau- an dan kedua wanita itu, lalu mengeluh. “Kau benar.
Bahkan jika emas tersebar di seluruh permukaan tanah, Fei-siauya (tuan Fei) tidak akan mengambil satu pun.” “Jadi jika obat penawar itu tidak ada pada Si Yau-sian (Matipun Minta Duit), percuma juga mencari A Fei.”
Sang Kusir mengangkat mayat itu. Ini adalah kesempatan yang terakhir.
Lalu dilihatnya tulisan di dinding kuburan.
“Aku telah membalaskan dendammu, aku mengambil kudamu.”
Li Sun-Hoan terbahak-bahak. “Tadinya aku hanya menebak, sekarang aku yakin ini benar-benar perbuatannya. Hanya A Fei yang tidak membiarkan orang, sekalipun sudah mati, berhutang padanya.”
Dilanjutkannya dengan senyum lebar, “Anak ini sungguh baik. Sayangnya aku….”
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Sang Kusir tahu apa yang hendak dikatakannya. Obat penawar itu memang tidak ada.
Sungguh sayang, ia tidak bisa lagi bertemu dengan anak yang baik ini.
Sang Kusir pun kehabisan tenaga. Ia hampir pingsan.
Namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum. “Jangan kuatir akan diriku. Kematian tidaklah seburuk yang kau bayangkan. Sekarang aku sangat lemah, tapi aku jadi merasa tenang. Aku hanya ingin minum arak.”