Jilid-03
Tiba-tiba Ting Ling berpaling, sekilas dia memandang ke arah patung pahatan yang dipuja itu, seketika sorot matanya terkesima dan menjublek tak bergerak lagi. Di antara kepulan asap dupa yang bergulung-gulung itu, tampak wajah patung Koan-im Posat yang satu ini sudah berubah. Raut muka yang semula mengulum senyum bahagia, kini serius dan berwibawa, alisnya tegak, sorot matanya beringas memantulkan perasaan marah. Patung pemujaan yang semula tidak bernyawa mendadak berubah menjadi manusia.
"Aku adalah orang yang ingin kau temui, maka kau harus mengawasiku, setiap patah kata yang kuucapkan, harus kau ingat betul-betul."
Terasa oleh Ting Ling sekujur badannya sudah basah berkeringat, tanpa sadar dia manggut, walau dalam hati tidak ingin melihatnya, namun sorot matanya sukar beralih ke arah lain, tatapan tajam mata patung misterius ini seperti mengandung hawa gaib.
"Kau adalah Ting Hun-pin, Yap Kay adalah kekasihmu, suamimu, tapi Siangkwan Siau-sian merebutnya dari tanganmu. Setiap detik setiap saat mereka berpelukan main cinta, kau ditinggal seorang diri hidup merana."
Ting Ling menatapnya kaku, tiba-tiba wajahnya menampilkan derita dan sedih serta pilu yang tak tertahankan.
"Aku tahu akan dirimu dan jelas akan dirinya, sakit hati ini takkan bisa terlupakan karena itu kau harus menuntut balas."
Wajah Ting Ling beringas, gusar dan buas, mulutnya mengguman: "Aku harus menuntut balas.......aku akan menuntut balas. " "Tidak lama lagi Yap Kay hendak membawa perempuan genit dan jahat itu kemari. Kebetulan ada kesempatan bagimu menuntut balas kepadanya."
Ting Ling mendengarkan, sorot matanya yang semula bercahaya, lambat laun berubah menjadi kosong hambar, sebaliknya rasa kebencian di mukanya bertambah tebal dan liar.
"Yap Kay pasti tak menduga kau bakal berada di sini, oleh karena itu munculmu yang mendadak ini pasti akan membuatnya kaget bukan main."
"Dia pasti takkan menaruh prasangka terhadapmu, maka kau harus cari kesempatan untuk merebutnya dari tangan perempuan jahat yang bernama Siangkwan Siau-sian itu, bawa dia kemari, biar kami bantu kau merusak mukanya, supaya dia tidak memelet laki-laki dan menjebloskan kaum Adam ke dalam neraka."
"Bagaimana, kau sudah mengerti maksudku?"
Ting Ling manggut, sahutnya: "Aku sudah mengerti." "Apa kau mau bertindak menurut petunjukku?" "Baik! Aku akan bertindak sesuai petunjukmu."
"Setiap patah kata perintahku, kau percaya sepenuhnya?"
"Baik! Aku percaya sepenuhnya."
"Bagus! Sekarang kau boleh berdiri. Hiat-to mu sudah terbuka, berdirilah pelan-pelan."
Benar juga, Ting Ling ternyata bisa berdiri. Kedua kakinya yang semula kaku lemas, kini punya tenaga. "Baik, di dalam bajumu ada sebatang golok, sekarang aku perintahkan kau membunuh seseorang dengan golokmu itu."
"Membunuh siapa?" "Bunuhlah Nyo Kan."
Ting Ling pelan-pelan membalik badan, kakinya beranjak pergi dari depan Sim Koh dan Thi Koh. Sorot matanya kaku tertuju ke depan nan jauh, tangannya merogoh ke dalam pakaiannya mengeluarkan sebatang golok. Hanya ada satu pikiran yang bergolak dalam benaknya: "Gunakan golok ini, bunuhlah Nyo Kan."
ooo)dw(ooo
Api unggun sudah berkobar dalam ruangan itu, namun hawa masih terasa dingin. Nyo Kan duduk menyanding tungku yang menyala, agaknya hatinya mulai gelisah duduk tidak tenang. Dia sedang menunggu kabar dari Ting Ling. Ternyata Ting Ling tidak kunjung datang, meski waktu yang dijanjikan sudah berselang beberapa lamanya.
Di saat dia gelisah itulah, dilihatnya seseorang mendorong pintu dan melangkah masuk. Itulah perempuan yang cantik molek, rambutnya yang hitam gelap tersanggul rapi dengan model mutakhir, tusuk kundai hijau pupus yang terbuat dari batu giok menghias sanggulnya.
Nyo Kan segera berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum: "Nona ada pesan apa?" agaknya dia kira perempuan ini adalah murid atau pesuruh Lam-hay-nio-cu, maka melirikpun dia tidak memandangnya lagi.
Tapi sejak melangkah masuk, perempuan ini menatapnya nanar, sorot matanya menampilkan mimik yang aneh sekali. Tak tahan Nyo Kan angkat kepala melihatnya sekali lagi, tiba-tiba terasa olehnya wajah orang seperti mirip seseorang.
Gadis itu tetap menatapnya, tanyanya dengan suara tandas: "Kau inikah Nyo Kan?"
Nyo Kan manggut-manggut, tiba-tiba dia berteriak kaget: "Kau adalah Ting Ling!"
"Aku bukan Ting Ling, aku Ting Hung-pin" sahut Ting Ling.
Melotot biji mata Nyo Kan, serunya: "Kau. bagaimana
kau berubah begini rupa?"
"Memang demikianlah keadaanku semula, memangnya aku seorang perempuan?"
Berubah air muka Nyo Kan, katanya: "Apa kau sudah gila?"
"Aku tidak gila, kaulah yang gila, maka kau harus kubunuh!" tiba-tiba dia keluarkan goloknya terus menusuk ke dada Nyo Kan.
Mimpipun Nyo Kan tidak pernah menduga orang akan membunuh dirinya, bahwasanya dia tidak bersiaga, maka untuk berkelitpun tak sempat lagi. Darah menyembur dari lubang dadanya, menyemprot membasahi pakaian Ting Ling. Tidak terunjuk perubahan mimik muka Ting Ling, dengan kaku dia awasi Nyo Kan roboh pelan-pelan, lalu pelan-pelan dia putar badan. Kabut tebal di luar pintu terasa dingin membeku, malam semakin gelap. Pelan-pelan dia beranjak di tengah kabut. Dari tempat gelap berkumandang suara misterius yang merdu: "Bagus! Kau menunaikan tugasmu dengan baik, tapi kau sudah terlalu letih, saking lelah matapun tak kuasa melek lagi."
"Ya, aku memang terlalu penat." sahut Ting Ling. Betul juga kelopak matanya pelan-pelan terpejam.
"Di sini ada ranjang paling baik dan nyaman, sekarang kau boleh tidur sepuasmu, setelah Yap Kay dan perempuan jahat itu datang, kami akan membangunkan kau."
Tanah itu bukan saja kotor juga dingin bertumpuk salju, tapi pelan-pelan Ting Ling sudah merebahkan dirinya, seolah-olah dia di atas ranjang yang benar-benar empuk dan nyaman. Tiba-tiba dia sudah pulas dan kelelap di alam mimpi.
Kabut semakin tebal.
ooo)dw(ooo
Sang adik tetap tidur pulas, sang taci sedang mendengus napas sambil di tahan-tahan kelopak matanya, akhirnya terpejam. Air mukanya menampilkan kelelahan dan senyum manis puas. Ganti berganti Sebun Cap-sha mengawasi kedua kakak beradik kembar ini, tiba-tiba hatinya dirangsang rasa riang dan puas serta bangga, seolah-olah dia berhasil mengalahkan Ting Ling.
"Belum tentu setiap orang selalu menang di bidang tertentu, ternyata aku punya kekuatan yang melebihi keampuhannya." demikian dengan tersenyum dia angkat cangkir arak. Baru saja dia hendak minum, tiba-tiba didengarnya suara ketukan pintu dari luar. Apakah Ting Ling sudah kembali? Kerai jendela sudah tersingkap, namun matanya tidak melihat jelas siapa yang berada di luar.
"Siapa?" tanyanya tanpa mendapat jawaban.
Sejenak Sebun Cap-sha ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri membuka pintu. Tiada seorangpun di luar. Tabir malam menelan segala makhluk di atas bumi ini.
"Barusan siapa mengetuk pintu?" tanyanya sembari mengencangkan pakaiannya. Tetap tidak mendapat jawaban. Kemanakah kusir kereta yang berjaga di luar? Hawa malam ini sungguh terlalu dingin. Sebetulnya dia tidak ingin meninggalkan bilik kereta yang hangat dan nikmat itu, tapi seseorang setelah melakukan sesuatu yang tidak berkenan dalam sanubarinya selalu merasa kurang tentram hatinya. Akhirnya dia kenakan sepatu tinggi, melompat turun ke tanah. Kabut tebal nan gelap pekat, dingin dan sunyi senyap.
Kusir kereta mengenakan pakaian tebal berkulit kapok sedang jongkok di tumpukan jerami di luar gubuk sana, dengan dengkul sebagai bantal, tangan memeluk kaki, agaknya sudah lelap dalam tidurnya.
Lalu siapa yang barusan mengetuk pintu? Apakah dia salah dengar? Jelas tidak. Usianya masih muda, kuping dan matanya masih tajam. Entah darimana Ting Ling mengundang kusir kereta ini, kalau barusan ada orang kemari, tentu dia tahu atau mendengar suara.
Sebun Cap-sha segera menghampiri, baru saja dia hendak dorong dan membangunkan orang, sekonyong-konyong kusir kereta yang jongkok memeluk kaki itu melejit ke atas tumpukan jerami, di tengah udara jumpalitan terus melesat keluar laksana anak panah. Kecepatan gerak badannya memang tidak selincah dan segesit Ting Ling, namun jelas tidak lebih asor dari Sebun Cap-sha sendiri.
Sebun Cap-sha tidak sempat melihat muka orang. Ingin dia mengejar, namun sekilas dia ragu-ragu, bayangan kusir itu sudah menghilang di tempat gelap. Kabut tebal pasti bisa menyesatkan arah, hawa begini dingin setajam golok mengiris kulit. Tiba-tiba dia bergidik kedinginan, akhirnya dia berkeputusan untuk kembali ke bilik kereta sambil menunggu kedatangan Ting Ling saja.
Ternyata pintu kereta sudah tertutup pula. Sebun Cap- sha tidak ingat, dirinyakah yang menutup atau tertutup sendiri ditiup angin lalu. Lentera yang terbuat dari tembaga itu masih menyala, cahaya lentera yang redup menembus jendela menyorot keluar.
Sebun Cap-sha menjadi gegetun dan menyesal, kenapa dia keluar meninggalkan bilik kereta yang hangat itu, maka bergegas dia melangkah balik terus menarik daun pintu. Tapi hatinya yang hangat menyala seketika mendelu dingin seperti batu yang tenggelam ke dasar air. Badannya tegak gemetar di luar kereta, bergerakpun tidak berani.
Ternyata di bilik kereta sudah ketambahan satu orang. Seorang berkepala gundul berhidung elang, laki-laki tua yang berwajah merah segar, bertengger di mana tadi dia duduk. Dia bukan lain adalah Wi-pat-ya.
Kedua kakak beradik kembar itu masih meringkuk di pojok, tidurnya nyenyak sekali.
Bagai tajam golok, sorot mata Wi-pat-ya yang berwibawa menatap muka Sebun Cap-sha, katanya dingin: "Masuklah!" Dengan tunduk kepala Sebun Cap-sha masuk ke dalam kereta, sekilas ujung matanya sempat melirik ke sana, dilihatnya kusir kereta tadi sudah jongkok kembali di tempatnya semula memeluk kedua kaki berjongkok seperti tertidur, seolah-olah dia tidak pernah bergerak dari tempatnya.
Bilik kereta ini terlalu rendah, siapapun tak bisa berdiri tegak di dalam bilik. Tapi Sebun Cap-sha tidak berani duduk, terpaksa dia membungkuk dan menunduk kepala lagi.
Wi-pat-ya tetap menatapnya dingin, tanyanya: "Dimana teman baikmu itu?"
"Sudah masuk sejak tadi." "Kapan dia masuk."
Semakin rendah kepala Sebun Cap-sha, dia tidak mampu menjawab, karena dia lupa diri untuk memperhitungkan waktu. Memangnya tadi dia sudah melupakan segala-galanya. Umpama dunia kiamatpun takkan terasakan olehnya.
"Apa yang kau lakukan setelah dia pergi?" hardik Wi-pat- ya gusar.
Sebun Cap-sha tidak berani menjawab. Apa yang dia lakukan barusan malu untuk diberitahukan meski terhadap gurunya sendiri. Seorang laki-laki main perempuan adalah jamak, namun serong dengan perempuan milik temannya sudah tentu merupakan persoalan lain pula.
Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya nyalimu memang setinggi langit. Memangnya kau tidak takut diketahui oleh Ting Ling?" Merah muka Sebun Cap-sha, katanya gemetar: "Kami.......
kami kan teman baik."
Wi-pat-ya gusar: "Justru kalian teman baik, kenapa kau justru melakukan perbuatan ini, jikalau di luar tahumu dia merebut dan main dengan perempuanmu, bagaimana perasaanmu?"
Sebun Cap-sha tidak berani menjawab.
"Kau kira Ting Ling takkan ambil perduli, setiap laki-laki akan berpeluk tangan jika melihat hal-hal buruk seperti ini?"
Sebun Cap-sha hanya manggut perlahan tak bersuara. "Apa kepintaranmu sekarang, seorang diri dia mampu
menghadapi delapan kau. Setelah tahu akan perbuatan curangmu, jikalau dia ingin menghajarmu, apa pula yang kau bisa lakukan?"
Akhirnya Sebun Cap-sha memberanikan diri, sahutnya: "Kukira dia takkan tahu."
"Kau kira dia tidak tahu? Dengan alasan apa kau berpikir demikian?"
Sebun Cap-sha menyeringai getir: "Aku sendiri tentu tidak bilang kepadanya."
"Kau tidak bilang, tapi perempuan ini?"
"Dia sendiri yang minta, mana berani beritahu kepadanya."
"Kau kira dia jatuh hati kepadamu, maka dia memelet kau?" Sebun Cap-sha tidak berani menyangkal, namun diapun tak berani mengakui.
"Apakah kedua perempuan ini hasil rebutanmu dari Giok- keh-ceng?"
Sebun Cap-sha manggut-manggut.
"Kau kira mereka rela kalian rebut dan di bawa pergi?."
Memang tiada manusia di dunia ini yang rela di tengah malam buta, diculik secara kekerasan lalu dibuat main-main.
Wi-pat-ya tertawa dingin: "Memangnya matamu tidak bisa melihat, lonte ini memang memelet kau, maksudnya untuk menimbulkan rasa sirik dan jelus antara kau dan Ting Ling, baru mereka punya kesempatan untuk membalas."
Agaknya Sebun Cap-sha tidak sependapat, katanya: "Mungkin dia. "
"Kau masih berpendapat dia jatuh hati kepadamu? Dalam hal apa kau lebih kuat dari Ting Ling? Apalagi nona cilik berusia empat belas tahun, umpama dia perempuan jalang yang tebal muka, memangnya tidak malu di hadapan adiknya main sex dengan kau?"
Sebun Cap-sha terdiam.
"Apalagi kalian bermain begitu asyik, dari kejauhan sudah kudengar, adiknya kan bukan babi, kalian bergulat disampingnya, memangnya dia bisa tidur nyenyak?"
Seketika berubah air muka Sebun Cap-sha, tiba-tiba terbayang olehnya, mungkin hal ini memang sudah terencana oleh kedua kakak beradik kembar ini, maka begitu Ting Ling pergi, sang taci lantas bangun, sementara sang adik tetap pura-pura tidur, maksudnya untuk memberi kesempatan bagi mereka. Tiba-tiba otaknya sadar, betapapun jahe yang tua lebih pedas.
Tiba-tiba Wi-pat-ya bertanya lagi: "Apakah kedua lonte ini memang lahir di Giok-keh-ceng?"
"Agaknya bukan, dulu aku pernah ke Giok-keh-ceng, namun belum pernah melihat mereka."
Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya tidak lepas dari dugaanku." Setajam golok sorot matanya menatap ke arah kedua gadis kembar, katanya pelan-pelan: "Nona-nona cantik seperti kedua orang ini, sebetulnya tak tega aku melihat mereka mampus dihadapanku."
Kedua gadis kembar itu masih meringkel di pojok dengan memeluk kepala, pernapasannya masih enteng teratur, sedikitpun tidak menjadi takut atau gelisah, tidurnya seperti nyenyak.
Tiba-tiba Wi-pat-ya berpaling menatap Sebun Cap-sha: "Oleh karena itu di kala kau membunuh mereka, aku pasti akan memejamkan mata."
"Aku?" Sebun Cap-sha tertegun.
"Benar! Kau!", sahut Wi-pat-ya menarik muka.
Terkejut dan kesima Sebun Cap-sha dibuatnya: "Aku......
aku harus membunuh mereka?"
"Jikalau kau tidak tega bunuh mereka, akupun akan beri kesempatan mereka membunuhmu." Pucat muka Sebun Cap-sha, katanya: "Tapi kalau Ting Ling kembali, jikalau tahu mereka sudah mati, bukankah. "
"Dia tidak akan tahu." tukas Wi-pat-ya. "Kenapa?"
"Orang mati bisa tahu apa?"
Kembali Sebun Cap-sha berjingkrak kaget, serunya: "Ting Ling sudah mati?"
"Kalau dia tidak mampus, kaulah yang harus mampus. "
Lama Sebun Cap-sha mengawasi gurunya, akhirnya dia tahu apa maksudnya. Di waktu dia suruh Ting Ling kemari, tujuannya supaya dia menempuh bahaya dan mungkin jiwanya sudah melayang dalam menjalankan tugas. Bila Ting Ling berhasil menyelidiki keadaan Lam-hay-nio-cu yang sebenarnya, begitu dia kembali, maka dia harus mampus, karena itu maka Wi-pat-ya menyusul kemari, kusir kereta itupun sudah diganti salah seorang muridnya.
Sebun Cap-sha mengawasi muka orang yang kaku dingin dan kejam, hampir dia percaya bahwa orang tua yang disanjung sebagai guru dan bertabiat kasar ini tak berambisi dan pemarah. Namun dalam detik terakhir ini kelihatannya berubah menjadi bentuk orang lain, lebih tabah tenang dan cerdik, lebih lihay dari Ting Ling.
Tiba-tiba disadari oleh Sebun Cap-sha, bila seseorang ingin dirinya menonjol dan angkat nama di kalangan Kang- ouw, maka dia harus mempunyai dua wajah yang berlainan dengan watak dan jiwanya yang asli, hingga orang terdekatpun takkan gampang tahu macam apa sebetulnya muka aslinya.
Sorot mata Wi-pat-ya yang tajam laksana ujung golok masih menatap mukanya, katanya tawar: "Menunggu ajal jauh lebih menderita daripada mampus, jikalau kau kasihan terhadap gadis-gadis ayu ini, lebih baik kau buat mereka mati lebih cepat."
Sebun Cap-sha kertak gigi, mendadak dia turun tangan, jari tengahnya tertekuk menjojoh seperti paruh elang, menotok Hiat-to mematikan di bawah tulang iga sang adik. Sang taci sudah mempersembahkan permainan hebat yang cukup mengesankan hatinya, betapapun dia tidak tega, memangnya dia bukan laki-laki kejam bertangan gapah.
Tak nyana sebelum totokan jarinya mengenai sasaran, kedua kakak beradik yang meringkel nyenyak itu tahu-tahu membalik badan bersama. Entah darimana tahu-tahu kedua tangan mereka mencekal sebatang golok melengkung yang berbentuk aneh dan mengeluarkan sinar hijau.
Biasanya mereka lembut dan jinak seperti burung dara yang kasmaran, tapi sekarang kelihatan mereka jauh lebih jahat dari ular berbisa, buas dan liar daripada serigala. Begitu membalik badan, sang taci menendang perutnya, berbareng golok melengkung di tangannya sudah menusuk ke tenggorokan Wi-pat-ya.
Saking kesakitan air mata dan air liur Sebun Cap-sha bercucuran, begitu kedua tangan memeluk perut dengan badan terbungkuk, golok melengkung sang adik sudah membacok ke lehernya dari sebelah kiri. Wi-pat-ya tidak menunjukkan perubahan perasaannya, agaknya dia sudah menduga akan kejadian ini. Baru saja golok kedua gadis kembar itu terayun, terdengarlah suara 'ting, ting, ting, ting" empat kali, empat golok melengkung itu tahu-tahu sudah putus ujungnya. Entah kapan tangan Wi-pat-ya sudah mencekal sebatang tongkat pendek panjang satu kaki tiga dim. Tongkat pendek warna hitam legam, gelap tak bersinar, tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa pada tongkat pendek ini, tahu-tahu golok melengkung yang tajam berkilau terbuat dari baja asli itu sudah protol ujungnya, hanya dengan sekali ketukan saja.
Saking kaget ke dua gadis kembar itu terkesima mengawasi golok kutung di tangannya, hampir mereka tidak percaya akan kenyataan ini. Kilas lain mereka merasa kedua lengan mereka linu kemeng, sehingga tak kuat lagi menyekal golok melengkungnya yang sudah kutung.
Dengan menyeringai dingin Wi-pat-ya menatap mereka: "Kalian selalu bawa sepasang mestika, kini masih ada satu yang belum dikeluarkan."
Sang taci tiba-tiba menarik napas panjang, katanya tertawa: "Agaknya kau sudah tahu asal usul kami."
"Hm. " Wi-pat-ya hanya mendengus.
"Wanpwe berdua adalah murid Ouyang Shia-cu dari Kwi- cu-to di laut timur, dari dalam Tin-cu-shia (kota mutiara). Kami di utus untuk menghadap kepada Wi-pat-ya." kelihatannya sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut, hanya sikapnya kelihatan hormat terhadap Wi-pat-ya.
"Kalian sengaja hendak menyambangi aku?" tanya Wi Thian-bing. "Sejak lama Ouyang Shia-cu sudah mendengar dan kagum akan nama besar Wi-pat-ya."
"Diakah yang suruh kalian kemari?" "Benar!" sahut sang taci.
"Kalian sembunyi di Giok-keh-ceng, maksudnya hendak menghadap aku?"
"Gedung rumahmu di jaga keras dan ketat, orang-orang seperti kami untuk menemui kau orang tua bukannya soal gampang."
"Oleh karena itu kalian sengaja main mata dengan laki- laki hidung belang ini. Kalian sudah membuat rencana bagus untuk melaksanakan tugas."
Merah muka sang taci, katanya tertawa: "Di hadapan kau orang tua, mana berani kami berdusta, sebetulnya kami tidak menduga di tengah malam mereka bakal mencari kami, walau cara yang digunakan tidak baik, tapi amat manjur."
Wi Thian-bing tiba-tiba tertawa gelak-gelak, serunya: "Sejak lama kudengar murid-murid Ouyang Siau-cu adalah kuntum-kuntum kembang yang mekar, baru hari ini aku saksikan sendiri ternyata benar!" dia tertawa dengan menengadah, seolah-olah sudah lupa bahwa salah satu mestika kedua gadis kembar ini belum digunakan.
Betul juga, kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh kedua gadis kembar ini, terdengar 'cret' dua kali, puluhan bintik-bintik sinar bintang dingin tahu-tahu melesat keluar dari lengan baju mereka, laksana hujan deras menyerang ke dada Wi Thian-bing. Gelak tawa Wi Thian-bing tidak berhenti, Cuma tongkat pendek di lengannya tiba-tiba bergerak melingkar di depan dada, puluhan sinar bintang yang dingin itu ternyata seperti mendadak disedot kekuatan gaib, tahu-tahu meluncur masuk di tengah lingkaran di susul bunyi 'tring, tring' yang ramai, ternyata puluhan titik sinar dingin itu tersedot dan lengket pada tongkat pendeknya, seperti puluhan lalat hijau hinggap di atas sepotong gula-gula panjang. Keruan kedua gadis kembar seketika tertegun melongo.
Berkata Wi-pat-ya dingin: "Aku tahu sebelum kalian keluarkan kedua mestikamu, kalian takkan putus asa."
Sang adik tiba-tiba menghela napas, katanya: "Agaknya kami yang salah menilai dirimu."
"Lho, kenapa salah nilai?" tanya Wi Thian-bing.
"Kami kira kau sudah tua, kami duga kalangan kang-ouw sekarang sudah menjadi dunianya kaum muda. Dari situasi sekarang aku menilai seorang diri, kau bisa menandingi mereka sepuluh orang," kepala tertunduk sorot matanya melirik ke arah Wi Thian-bing, sorot mata kagum dan hormat.
Kelihatan Wi-pat-ya jauh lebih muda dari usianya, katanya tersenyum: "Jahe yang tua lebih pedas, kalian anak- anak muda harus selalu ingat akan kenyataan ini."
"Kita terpaksa turun tangan, kami berdua adalah orang yang harus dikasihani, apa yang orang lain ingin kami lakukan, kami harus melakukan, bukan saja tidak boleh membangkang, kamipun tidak berani melawan." agaknya sang adik pandai mengoceh dengan mengucurkan air mata segala. Terunjuk mimik simpati pada muka Wi-pat-ya, katanya menghela napas: "Aku tak salahkan kalian, bagaimana Ouyang Shia-cu menghukum anak didiknya, setiap insan persilatan di Kang-ouw tahu semua."
Sang taci menambahkan dengan mimik yang harus dikasihani: "Tapi kecuali kau orang tua, siapa pula yang sudi menyelami penderitaan kami?"
Suara Wi-pat-ya menjadi lembut dan iba: "Asal kalian terus terang akan tugas kedatanganmu, aku tidak akan mempersulit kalian."
"Dihadapan kau orang tua, kami tak berani berbohong lagi." sahut sang taci.
"Tentunya kau orang tua juga tahu." demikian sang adik menambahkan, "untuk Yap Kay dan Siangkwan Siau-sian lah kami datang kemari."
"Untuk urusan ini, berapa orang yang datang dari kota mutiara kalian?" tanya Wi Thian-bing.
"Hanya kami berdua saja," jawab sang adik.
Sang taci menambahkan: "Ouyang Shia-cu bukan menginginkan barang-barang itu, kami hanya disuruh melihat saja orang apa sebenarnya Yap Kay itu dan seberapa lihaynya."
"Lekas sekali kalian bisa melihatnya secepatnya dia akan datang." kata Wi Thian-bing.
"Tapi kami. " "Kalian boleh pergi sekarang, kelak, kalau ada kesempatan, boleh sembarang waktu datang menengokku, tidak perlu main sembunyi di Giok-keh-ceng lagi."
Sang taci tertawa: "Kelak kami pasti datang untuk menyambangi kau orang tua."
"Ya, kita pasti datang," sang adik menyambung.
Kakak beradik tertawa manis, putar badan, terus buka pintu kereta. Melompat keluar, laksana sepasang burung walet yang lepas dari kurungan.
Sebun Cap-sha sejak tadi tertunduk lesu, merasa amat di luar dugaan. Dia tidak mengira Wi-pat-ya membiarkan mereka pergi. Namun pada saat itu pula, mendadak di dengarnya dua kali suara aneh, seperti batang bor menghujam daging manusia, disusul dua kali jeritan yang mengerikan.
Tak tertahan lagi dia melongok keluar, maka dilihatnya seorang berpakaian tebal kapas anti dingin berdiri di luar kereta. Dengan saputangan putih laksana salju, sedang membersihkan noda-noda darah. Darah di atas sebatang bor senjata yang dipegang ditangannya ternyata sebatang bor gede yang berkilauan.
Han Tin.
Baru sekarang Sebun Cap-sha tahu, kusir yang antar mereka ke tempat ini ternyata adalah Han Tin. Semula hidung Han Tin mancung tinggi, namun hidung mancungnya itu ringsek oleh pukulan Ting Ling, Tulang hidungnya patah dan sekarang peyot, sehingga raut wajahnya tidak enak dipandang, orang pasti menyangka mimiknya selalu menampilkan senyum sinis.
Wi-pat-ya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, tiba- tiba dia bertanya: "Keduanya sudah mampus?"
Han Tin manggut-manggut.
"Agaknya kau laki-laki culas yang tidak tahu bagaimana harus menaruh belas kasihan terhadap cewek-cewek ayu."
"Memangnya aku bukan."
Terunjuk senyum pada sorot mata Wi-pat-ya, katanya: "Jikalau Ting Ling tahu kau membunuh mereka, hidungmu akan lebih berbahaya lagi."
"Dia tidak akan tahu." sahut Han Tin. "Lho, kenapa?"
"Orang mati masa bisa bicara?"
Wi Thian-bing tertawa lebar mendengar ucapan ini. Dia suka mendengar orang meniru nadanya.
Han Tin berkata pula: "Waktu berangkat dia hanya mengatakan supaya kita menunggunya satu jam saja."
"Tentu dia sudah memperhitungkan waktu dengan persis."
"Segala persoalan sudah selalu diperhitungkan dengan tepat olehnya."
"Memang dia seorang lihay, ciri satunya hanya karena dia terlalu muda."
"Selamanya dia tidak akan pergi." "Kenapa?"
"Orang mati masa bisa pergi?" kata Han Tin. "sekarang satu jam sudah berselang, dia belum kembali."
Bercahaya sorot mata Wi Thian-bing, katanya: "Oleh karena itu mungkin dia tidak akan kembali untuk selamanya, dan hal ini menandakan bahwa Lam-hay-nio-cu memang kenyataan."
Han Tin manggut-manggut, katanya: "Orang yang bisa menahan atau membunuh Ting Ling memang tidak banyak."
Tiba-tiba rona muka Wi Thian-bing berubah kereng dan dingin, katanya pelan-pelan: "Bak Pek dari Ceng-seng-san, Ouyang Shia-cu dari kota mutiara, ditambah Lam-hay-nio- cu....... dalam dunia ini, sebetulnya tiada sesuatu persoalan yang mengusik keinginan mereka, tapi mereka meluruk datang bersama."
"Kalau Yap Kay tahu, tentu dia amat gembira." "Gembira?", Wi Thian-bing menegas.
"Untuk memancing orang-orang itu bukan tugas yang sepele, kecuali dia, memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu memancing orang-orang itu keluar?"
Wi Thian-bing diam saja, agaknya dia mengakui kebenaran ucapan Han Tin. Sudah tentu Sebun Cap-sha lebih tidak berani sembarang buka mulut, tapi dalam hati dia semakin keheranan. Tiba-tiba terasakan olehnya setiap orang menyebut nama Yap Kay selalu mengunjuk mimik muka yang aneh, perduli itu merasa hormat, benci atau dendam serta ketakutan, semua mimik perasaan yang berlainan ini kelihatannya amat menyolok. Seorang anak muda yang masih terlalu asing bagi setiap orang yang mendengar dan mengenal namanya, memangnya dia mempunyai tenaga gaib yang begitu besar daya tariknya? Bukankah hal ini terlalu luar biasa untuk diterima? Diam-diam Sebun Cap-sha bersyukur dalam hati, karena dirinya bukan Yap Kay. Tiba-tiba disadari olehnya menjadi seorang awam malah bisa hidup tentram dan bahagia.
Lama sekali Wi Thian-bing menepekur, akhirnya bersuara pelan-pelan: "Setahun yang lalu, aku belum pernah dengar nama Yap Kay disinggung teman-teman Kang-ouw."
"Setahun yang lalu hakekatnya belum ada orang yang pernah dengar namanya." sahut Han Tin.
"Tapi sekarang mendadak dia menjadi tokoh paling kenamaan di kalangan Kang-ouw."
"Bahwa orang ini muncul dan terus menjagoi dunia persilatan, memangnya tunas muda menimbulkan gelombang badai yang menakjubkan sekali."
"Untuk menimbulkan gelombang menakjubkan seperti itu bukannya suatu pekerjaan gampang."
"Sudah tentu tidak gampang."
"Apa benar dia begitu menakutkan seperti yang tersiar di luar?"
"Dia belum pernah membunuh jiwa seorangpun, malah jarang sekali turun tangan. Tiada tokoh Kang-ouw yang jelas sampai dimana tingkat kepandaian silatnya." "Mungkin disitulah letak yang paling menakutkan daripadanya."
"Tapi yang paling menakutkan tetap adalah pisaunya." "Pisau apa?"
"Pisau terbang!." sahut Han Tin. Kembali raut mukanya menampilkan mimik yang aneh, katanya lebih tandas: "Khabarnya begitu pisau terbang keluar, selamanya belum pernah luput."
Seketika berubah rona muka Wi Thian-bing, tiba-tiba teringat olehnya sepatah kata pameo "Siau-li si pisau terbang, selamanya tidak disambitkan sia-sia" pameo inilah yang merupakan daya tekanan bagi batin setiap insan persilatan yang tersedot oleh tenaga gaib.
Selama puluhan tahu, tiada seorang tokoh silat manapun di kang-ouw yang meragukan pameo ini. Tiada orang berani coba-coba. Demikian pula empat pendeta besar Siau-lim-si yang paling diagungkan dunia persilatanpun tak berani menantangnya.
Dua puluh tahun yang lalu, Siau-li Tham-ha seorang diri meluruk ke Siau-lim-si yang biasanya tak berani sembarangan dijajah kaum persilatan dari cabang manapun, seperti berjalan di tempat datar yang tidak berpenghuni saja layaknya, ratusan Hwesio dalam Siau-lim-si tiada satupun yang berani merintangi kedatangannya.
Apakah Yap Kay mempunyai wibawa begitu besar? Watak gagah yang tinggi pula? Umpama benar dia membekal semua itu, sepak terjang orang-orang kota mutiara dan Lam-hay- nio-cu, jelas tidak sebanding bila dijajarkan dengan kaum Hwesio di Siong-san Siau-lim-si.
"Kota mutiara berada jauh di ujung dunia, betapa tinggi dan anehnya ilmu silat kakak beradik Ouyang yang menduduki kota mutiara itu, maka Pek Siau-seng yang dulu membuat daftar senjatapun sukar mengukurnya, oleh karena itu mereka tidak termasuk dalam daftar yang dibuatnya."
Han Tin berkata: "Itulah karena seluruh anak murid perguruan di Kwi-cu-to itu semua harus saudara kembar, seumpama Kwi-cu (sumpit) selamanya tak pernah berpisah, maka dalam daftar senjata, mereka tidak dicantumkan."
Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Di dalam daftar senjata tidak mencantumkan tokoh-tokoh kosen dari Mo Kau, tapi Pek Siau-seng sendiri mau tidak mau harus mengakui, kalau dinilai dari kepandaian untuk mengalahkan musuh serta membunuhnya, paling sedikit ada tujuh tokoh kosen dari Mo Kau yang patut dicantumkan di daam daftarnya, malah termasuk di antara jago-jago nomor dua puluhan."
"Sayang orang-orang Mo Kau satu sama lain saling curiga dan bunuh membunuh, jago-jago tinggi dari Mo-kiong (istana iblis) kabarnya sudah hampir mampus seluruhnya."
"Tapi Lam-hay-nio-cu dapat berubah ribuan bentuk, kepandaian iblisnya yang tunggal, jelas takkan lebih asor dibanding Jit-toa-thian-ong dari Mo Kau."
Han Tin tertawa, ujarnya: "Sebetulnya Cap-pui-ji-gi-pang senjata andalan kau orang tua berani dibanding dengan Thian-ki-pang yang tercantum nomer nomer satu dalam daftar senjata."
Mendadak Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Jikalau Yap Kay tahu banyak orang dari berbagai golongan sedang menunggu dirinya, mungkin dia tak berani datang."
Sekonyong-konyong seseorang menjawab tegas lantang: "Dia pasti datang, karena dia dipaksa untuk datang."
Suara ini merdu lembut seperti berkumandang dari langit, orang yang bicara kedengarannya berada di sampingnya, namun terasa seperti di ujung langit.
Gelak tawa Wi Thian-bing seketika sirap, rona mukanyapun berubah, lama sekali baru dia tanya dengan pancingan: "Lam-hay-nio-cu?"
"Ah, kenalan lama sejak puluhan tahun yang lalu, memangnya kau sudah melupakan suaraku?" suaranya kedengaran lebih dekat namun bayangannya belum kelihatan.
Jidat Wi Thian-bing dihiasi keringat dingin, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Kalau sudah kemari kenapa tidak keluar saja?"
"Apa benar kau ingin melihat aku?"
"Bertahun-tahun sudah aku kangen kepadamu, mohon bisa bertemu dengan kau."
"Baik, marilah kau ikut aku." tiba-tiba suaranya seperti berada di tempat gelap nan jauh. Di tempat gelap sana tiba- tiba menyala sebuah lentera. Sinar lentera seperti kunang- kunang, kelap-kelip dihembus angin malam nan dingin, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun.
Sesaat Wi Thian-bing ragu-ragu, tahu-tahu dia tepuk pundak Han Tin, katanya: "Hayolah kaupun ikut aku."
ooo)dw(ooo
Akhirnya Sebun Cap-sha bisa duduk, namun hatinya amat sedih dan mendelu. Waktu dia menjengking kesakitan memeluk perut tadi ternyata gurunya tidak berusaha menolongnya. Jagat seluas ini seperti hanya dia seorang diri saja yang masih ketinggalan hidup. Wi-pat-ya tinggal pergi bersama Han Tin yang pandai menjilat itu, seolah-olah melupakan dirinya yang masih kesakitan. Tiada seorangpun di dunia ini yang sudi memandang dirinya, bila seseorang sampai merendahkan dirinya, bagaimana dia bisa mengharap orang lain memandang tinggi dirinya.
Dengan seluruh kekuatannya dia mengepal tinju, hatinya diliputi dendam dan penasaran, dia sadar harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan mengejutkan orang banyak supaya Sebun Cap-sha tidak dipandang sebagai manusia yang tidak berguna, biar orang banyak berlutut mencium kakinya. Namun dengan cara apa dia harus melakukan kerja yang mengejutkan dan menggemparkan?. Bahwasanya dia sendiri tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Hal ini kembali membuat hatinya merana dan kesepian, lebih baik mencari suatu tempat minum sepuas-puasnya sampai mabuk, setelah mabuk akan terasa olehnya bahwa dirinya adalah Enghiong besar yang tiada tandingan di seluruh jagat raya ini. Sayang sekali jadi Enghiong hanyalah angan-angan kosong belaka, yang terang sekarang dia harus pasang pelana jadi kusir kendalikan kereta.
Dengan menghela napas pelan-pelan dia berdiri tanpa semangat. Sekonyong-konyong di luar kereta seseorang berkata: "Seorang diri kau duduk di sini, apa tidak merasa kesepian?". Suara merdu nyaring misterius tadi, cuma nada bicaranya lebih lembut dan hangat.
Tiba-tiba berdiri bulu roma Sebun Cap-sha, mengkirik dia dibuatnya, teriaknya: "Siapakah kau? Dimana kau?"
"Aku kan di sini, masa kau tidak melihatku?"
Lapat-lapat seperti tampak bayangan seseorang di luar kereta, mengenakan jubah halus ringan semampai, rambutnya yang hitam panjang menjuntai mayang. Sekujur badan Sebun Cap-sha basah kuyup oleh keringat dingin, seperti mendadak dia kecemplung ke dalam perigi es tak terlihat dasarnya. Kini dia sudah melihat jelas orang itu, mukanya pucat seperti kapur, jubahnya melambai, darah berlepotan di depan dada, perut sampai ke bawah darah masih mancur dari tenggorokannya yang bolong, dia bukan lain adalah sang taci yang mampus tertusuk bor Han Tin. Biji mata yang jeli dan bening tadi melotot keluar, darah segar meleleh di ujung mulutnya, di dalam kegelapan tampak seram menakutkan.
Lemas kedua kaki Sebun Cap-sha. Sungguh tak tega dia melihat keadaan orang, namun entah kenapa dia terkesima tak ingin berpaling ke arah lain.
"Lihatlah aku......aku tahu kau pasti melihat aku." suaranya berubah dibanding waktu dia masih hidup, tapi suaranya keluar dari tenggorokan yang bolong. "Sebetulnya aku mencintaimu sepenuh hati, sebetulnya aku sudah berkeputusan menjadi istri dan selamanya mengikuti jejakmu, tapi dengan kejam mereka membunuhku, kini kau sebatangkara, tiada orang menemanimu." suaranya menjadi sedih pilu dan rawan, dari biji matanya yang melotot berlinang dua butir air mata.
Serasa remuk hati Sebun Cap-sha, rasa takut entah sirna kemana. Mendadak dia ikut merasa sedih dan rawan, betapapun masih ada orang yang sudi memandang dirinya, sayang orang ini sudah ajal. Tadi dia hanya berpeluk tangan menonton dengan mendelong tanpa berbuat apa-apa.
"Begitu kejam dan tega mereka membunuhku di hadapanmu, bahwasanya mereka tidak memandangmu sebagai manusia," suaranya semakin memilukan. "tapi aku tahu, kau tidak akan membiarkan aku mati penasaran, kau pasti menuntut balas, supaya mereka tahu bahwa kau bukan pemuda yang tidak berguna."
Terkepal kedua tinju Sebun Cap-sha, kepalanya manggut- manggut, katanya mendesis benci: "Aku akan bikin perhitungan, aku akan memberitahu kepada mereka."
"Nah, aku membawa sebatang golok, kenapa tidak sekarang kau pergi bunuh mereka?."
Dari tengah udara tiba-tiba melayang jatuh sebuah benda, 'Ting...' ternyata sebilah golok kemilau yang menancap di atas tanah.
"Asal kau membunuh Han Tin dan Wi Thian-bing, kau adalah Enghiong yang paling hebat dan kenamaan di Kang- ouw, selanjutnya takkan ada orang berani memandang rendah dirimu. Di alam baka akupun bisa mati dengan meram dan tentram." suaranya melayang terombang-ambing di tengah udara, semakin jauh dan jauh. "Inilah permintaanku terakhir kepadamu, kau harus melaksanakan permintaanku......" makin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi.
Maka robohlah jazat yang sudah dingin kaku itu.
Malam gelap tak berujung pangkal. Tiba-tiba Sebun Cap- sha memburu maju menggenggam erat tangannya, tapi tangan orang sudah kaku dingin, jelas orang sudah mati cukup lama. Tapi kenyataan barusan dia berdiri dan bicara, sebatang golok benar-benar menancap di atas salju.
Dengan tangan yang basah oleh keringat, Sebun Cap-sha jemput golok itu. Mengawasi golok di tangannya, dia hanyut oleh emosi, mukanya tampak haru dan berkerut-kerut menahan pilu, namun sepasang matanya menatap lurus kosong, mirip pandangan orang mati. Dengan kencang dia genggam golok itu, lalu disimpan di dalam lengan baju, pelan- pelan dia beranjak pergi.
ooo)dw(ooo
Nyala api yang kelap-kelip terhembus angin terus melayang ke depan, terpaksa Wi Thian-bing dan Han Tin berjalan cepat mengikuti arah kemana api itu pergi. Jalan yang mereka lewati licin, salju sudah membeku. Di dalam hutan yang luas ini, hanya kelihatan beberapa titik api yang tersebar seperti sinar bintang di cakrawala. Menyusuri jalan kecil licin ini mereka terus menerobos hutan Bwe, tiba-tiba muncul sinar api yang menyala terang di sebelah depan, puluhan orang serba putih berbaris mengejar sinar api itu dan tiba-tiba lenyap seluruhnya di balik pepohonan. Begitu keluar dari hutan lebat itu, baru Wi Thian-bing melihat deretan rumah-rumah petak yang rendah, gaya dan bentuk bangunannya amat aneh, orang-orang baju putih tentu masuk ke dalam rumah ini. Pada saat itu pula api yang menuntun mereka tiba-tiba lenyap, di tengah hembusan angin kembali kumandang suara merdu misterius itu, kali ini hanya dua patah kata saja yang diucapkan: "Silahkan masuk."
Setelah berada di dalam baru Wi Thian-bing berdua merasakan bahwa rumah-rumah ini bukan saja tidak rendah, malah kelihatan luas dan megah, lantainya tertutup permadani yang masih baru, begitu dihadang deretan pintu angin, dimana terdapat lukisan pemandangan alam, puncak gunung yang memutih salju, warna kembang merah yang menyolok, kelihatan bukan pemandangan dari daratan Tiong- goan.
Waktu tulisan pada lukisan itu ditegasi, kiranya pemandangan ini diambil dari kepulauan Hu-siang-to (Jepang) di luar lautan, warna kembang yang merah menyolok itu adalah kembang yang paling kenamaan di Hu- siang-to yaitu kembang sakura.
Jadi bentuk rumah juga diciptakan menurut seni bangunan dari Hu-siang-to. Di dalam rumah tiada kursi, kecuali beberapa buah meja pendek, di atasnya hanya terdapat tempat lilin warna hijau, sinarnya guram, hiolo di ujung rumah masih mengepulkan asap tebal berbau harum semerbak. Di tengah rumah di mana sebuah meja pendek terdapat sebuah patung Koan-im Posat setinggi tiga kaki, tangannya memegangi dahan pohon Yang-liu, mukanya tersenyum halus lembut. Dua orang gadis jelita berpakaian serba putih bagai salju berdiri disamping meja, memejamkan mata menurunkan alis, seorang usianya lebih tua, berperawakan tinggi semampai, potongannya elok, satunya lebih muda dan lebih cantik, bagai bidadari yang turun dari khayangan.
Mereka adalah Thi Koh dan Sim Koh. Sementara orang- orang baju putih bersimpuh di atas lantai, semua duduk mematung, sorot matanya tertuju ke tempat jauh. Suasana hening lelap dengan kepulan asap dupa yang semerbak, hingga keadaan rumah terasa seram dan tentram.
Kini belum tiba saatnya buka suara. Wi Thian-bing langsung bersimpuh di atas permadani, baru sekarang dia melihat di belakang pintu angin ada dua pemuda bersutra yang beralis tegak bermata terang, berwajah cakap kereng, keduanya berdiri tegak memegangi pedang. Sarung pedang masing-masing dihiasi mutiara berkilauan, setiap butir tak ternilai harganya, barang mestika yang jarang terdapat di dunia ini.
Bukan saja raut muka mereka mirip satu sama lain, di antara kedua alisnya juga memancarkan watak sombong, seakan-akan seluruh hadirin tiada yang terpandang dalam mata mereka.
Sekilas Wi Thian-bing dan Han Tin beradu pandang, dalam hati mereka tahu, bahwa kedua pemuda ini datang dari kota mutiara.
Setelah berdiam lama satu di antara saudara kembar yang berperawakan agak tinggi bertanya: "Dimanakah sebetulnya Lam-hay-nio-cu? Kami sudah berada di sini. Kenapa ia belum muncul?" Suara misterius yang berkumandang itu menjawab: "Sejak tadi aku berada di sini, memangnya kalian tidak melihatku?" ternyata patung Koan-im itu bersuara, jelas bibir Thi Koh dan Sim Koh tidak pernah bergerak.
Berubah air muka kedua saudara kembar, katanya dingin: "Dari tempat jauh kami kemari bukan ingin berhadapan dengan patung ukiran."
"Tapi orang yang kalian ingin lihat dan hadapi adalah aku." "Jadi kau inikah Jian-bin-koan-im Lam-hay-nio-cu?" "Memang inilah aku."
Saudara kembar itu tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng mencabut pedang, sinar pedang laksana bianglala menyambar ke depan menusuk patung Koan-im, gerak-gerik mereka begitu mirip satu sama lain, seolah-olah kerja dari satu bayangan orang.
Ilmu pedang mereka begitu lincah, enteng dan cepat, begitu pedangnya menusuk, sasarannya berubah di tengah jalan, sinar pedang menyambar menyilang, berbintik-bintik bagai kuntum salju berterbangan. Mendadak 'trap" dua jalur pedang bergabung menjadi satu, laksana kilat menyambar muka patung Koan-im Posat.
Pada detik yang menentukan serangan mereka itulah, tiba-tiba terasa oleh saudara kembar ini rona muka Koan-im itu rada berubah, senyum lembut menjadi dingin, serius dan kereng. Di dalam waktu sekejap saja, perempuan cantik yang berusia lebih tua tiba-tiba turun tangan. Terdengar 'pletak' dan ujung pedang yang bergabung satu itu tahu- tahu tergencet di antara kedua telapak tangannya, disusul suara keras yang bergetar, ujung ke dua pedang saudara kembar itu ternyata putus menjadi dua potong.
Agaknya saudara kembar dari kota mutiara ini dipaksa merubah serangan karena kaget, akhirnya kalah karena melihat perubahan air muka Koan-im tadi, meski menghadapi perubahan di luar dugaan, namun mereka tidak gugup karenanya, sebat sekali mereka menggeser kedudukan mundur delapan kaki, kembali ke belakang pintu angin, pedang mereka sudah kembali ke dalam sarungnya. Reaksi mereka menghadapi perubahan cukup cepat dan cekatan, namun tak urung rona muka mereka mengunjuk rasa heran, karena dengan mata mendelong mereka saksikan kutungan pedang dimasukkan ke dalam mulut dan dimakan secara lahap oleh perempuan cantik setengah umur itu. Mereka hampir tidak percaya, betapa tajamnya ujung pedang mereka, memangnya perut perempuan cantik setengah umur ini dibuat dari besi baja?
Lam-hay-nio-cu yang misterius itu menghela napas, katanya: "Ouyang Shia-cu tidak pantas mengutus kalian datang kemari."
Kedua saudara kembar dari kota mutiara tengah mendengarkan.
"Hanya dengan bekal kepandaian kalian bersaudara, memangnya setimpal menghadapi Yap Kay?"
Tak tahan kedua saudara kembar membantah: "Yap Kay toh juga seorang manusia." hanya satu suara, tapi bibir keduanya seperti bergerak.
"Benar, Yap Kay memang hanya seorang manusia, tapi dia bukan manusia sembarangan." Terunjuk senyum sinis pada ujung mulut ke dua saudara kembar, mimik wajahnya mencemoohkan.
"Dinilai ilmu silatnya, diantara kita yang ada di sini, tiada satupun yang unggul melawannya."
"Jakalau dia datang, kami bersaudara yang pertama ingin menghadapinya."
Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Mungkin sekarang dia sudah datang."
Kata-kata ini bukan saja membuat Wi Thian-bing mengkirik, orang-orang seragam putih yang dipimpin Bak Pek itupun menunjukkan mimik aneh. Terutama kedua saudara kembar lebih hebat perubahan mukanya, tanyanya bengis: "Apa benar dia sudah datang?"
"Di saat kalian kemari, keretanyapun sudah masuk Leng- hiang-wan."
"Bagaimana dengan Siangkwan Siau-sian?"
"Kalau Siangkwan Siau-sian tidak datang, buat apa dia kemari?"
Jadi kedatangan Yap Kay juga lantaran Siangkwan Siau- sian.
"Apa benar Siangkwan Siau-sian adalah putri dari perkawinan Siangkwan Kim-hong dengan Lim Sian-ji?"
"Kenapa diragukan?"
"Di kala hidupnya Siangkwan Kim-hong dan Siau-li Tham- hoa adalah musuh yang tak mau sejajar, mana mungkin putrinya sudi ikut Yap Kay?" "Karena Ah Hwi menyerahkan dia kepada Yap Kay dan Yap Kay melindunginya kemari."
"Lalu apa pula sangkut paut persoalan ini dengan Hwi- kiam-kek?"
"Sebagai perempuan centil yang suka mempermainkan cinta, sampai usia lanjut baru Lim Sian-ji menginsyafi kesalahan hidupnya, selama hidupnya hanya Ah Hwi saja yang paling dipercayanya, maka sebelum ajal dia suruh putrinya mencari Ah Hwi."
"Cara bagaimana dia bisa membuktikan diri bahwa dirinya adalah putri Lim Sian-ji?"
"Sudah tentu dia punya cara yang tidak diketahui orang lain, kalau tidak masakah Ah Hwi mau percaya?" tiba-tiba dia bertanya: "Agaknya kalian bersaudara tidak banyak tahu seluk beluk persoalan ini."
"Kami hanya tahu satu hal." "O, apa itu?"
"Kami hanya tahu Shia-cu suruh kami kemari untuk membawa Siangkwan Siau-sian kembali."
"Maka kalian bertekad hendak membawanya pulang?" "Sudah tentu."
"Sekarang dia sudah datang, kenapa tidak lekas kalian kesana?"
Kedua saudara kembar dari kota mutiara tidak banyak bicara lagi, mendadak keduanya melambung terus jumpalitan melampaui pintu angin, dalam sekejap sudah menghilang di luar. "Kepandaian bagus!" tak tertahan Wi Thian-bing berseru memuji.
Suara Lam-hay-nio-cu menjadi dingin ketus, katanya: "Antar dua buah peti mati ke Biau-hiang-wan, siapkan urusan belakang ke dua saudara kembar itu."
Walaupun ujung pedang kedua saudara kembar itu kutung, namun ilmu pedang mereka dilandasi kekuatan dasar yang mengeluarkan deru angin santer di saat membelah udara, terutama gerak badan mereka yang lincah dan kerja sama yang begitu serasi, jelas tingkat kepandaian mereka sudah boleh dikategorikan kelas satu di dalam Bu-lim, terutama perpaduan pedang mereka yang melesat laksana bianglala menembus sinar matahari, betapa hebat kekuatannya, sampaipun Wi Thian-bing sendiri tidak punya keyakinan untuk melawannya.
Tapi di dalam pandangan Lam-hay-nio-cu, asal mereka kebentur Yap Kay, berarti mereka antarkan jiwa secara cuma-cuma. Tentunya pandangan Lam-hay-nio-cu takkan keliru.
Suasana rumah itu menjadi hening laksana di dalam sebuah kuburan raksasa, seakan-akan mereka tengah menunggu dengan sabar orang-orang Lam-hay-nio-cu menggotong mayat kedua saudara kembar dari kota mutiara itu kemari.
Entah berapa lama kemudian Wi Thian-bing mendahului buka suara: "Diwaktu Siangkwan Kim-hong menjagoi dunia, Sin-to-tong belum berdiri, sekarang keturunan Sin-to-tong tumbuh dewasa, maka usia Siangkwan Siau-sian tentunya tidak kecil lagi." Lam-hay-nio-cu berkata: "Ya, sekarang sedikitnya dia sudah berusia dua puluh tahun."
"Gadis likuran tahun, apakah selama ini dia belum menikah?"
"Jikalau dia sudah punya suami, buat apa minta Yap Kay melindunginya?"
"Kecantikan Lim Sian-ji diagulkan nomor satu di seluruh dunia, tentunya Siangkwan Siau-sain bukan gadis jelek."
"Bukan saja tidak jelek, malah boleh juga terhitung gadis cantik yang jarang ada di dunia."
"Kalau dia gadis cantik, kenapa tidak atau belum mendapat suami?"
Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Soalnya meskipun kecantikannya melebihi bidadari, tapi ingatannya, daya pikirnya lebih rendah dari bocah umur tujuh delapan tahun, gadis yang minus jiwanya."
Wi Thian-bing mengerut kening, katanya: "Perempuan secantik itu, memangnya dia seorang linglung?"
"Dia bukan anak terbelakang sejak lahirnya, khabarnya waktu berumur tujuh tahun pernah terluka parah, hingga gegar otak, karena itu otaknya tak pernah tumbuh dan tetap pada usia tujuh tahun saja."
"O, aneh juga kejadian ini." ujar Wi Thian-bing.
"Tapi perawakan dan potongan serta kecantikannya dapat membuat gila laki-laki." "Takdir memang sudah menentukan nasib seseorang, agaknya nasibnya jauh lebih mengenaskan dari pengalaman hidup ibunya yang rusak itu."
"Perempuan seperti itu, jikalau tiada orang yang melindunginya, entah berapa banyak laki-laki yang akan menipu dan mempermainkan dia."
"Oleh karena itu diwaktu Lim Sian-ji hampir meninggal dunia, hatinya tidak tega meninggalkan putri satu-satunya ini, maka dia cari Hwi-kiam-kek minta dia melindungi putrinya." ujar Wi Thian-bing menegas.
"Selama hidup Ah Hwi berkelana dan belum pernah punya tempat tinggal tetap, karena itu di saat dia ketemu Yap Kay di Kang-lam, maka dia serahkan tanggung jawab ini kepada Yap Kay."
"Apakah dia bisa percaya penuh terhadap Yap Kay seperti Lim Sian-ji percaya terhadapnya?" tanya Wi Thian- bing.
"Siapapun boleh percaya terhadap Yap Kay, walau orang ini berwatak bebas, liar dan tak mau terkekang, tidak mementingkan adat istiadat, namun setiap pesan yang diserahkan kepadanya oleh seorang teman, umpama harus menempuh gunung apipun tidak akan ditolaknya."
Selama ini Bak Pek hanya mendengarkan saja, tiba-tiba menyeletuk: "Bagus, laki-laki sejati, laki-laki gagah."
"Justru karena dia berjanji untuk melindungi Siangkwan Siau-sian, maka dia bertengkar dengan kekasihnya Ting Hun-pin, hingga tunangannya itu minggat tak karuan parannya, sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya."
Wi Thian-bing tertawa, katanya: "Aku pernah dengar putri keluarga Ting memang nona cemburuan."
"Perempuan memang dilahirkan untuk cemburuan." ujar Lam-hay-nio-cu.
Setelah berpikir sebentar Wi Thian-bing berkata pula: "Tempo dulu Kim-cie-pang menguasai dunia tujuh selatan tiga puluh enam utara, hampir seluruh propinsi di tanah Tiong-goan ini berada dalam kursinya, betapa besar kekayaannya, hampir menandingi kekayaan negara, tapi umum tahu bahwa Siangkwan Kim-hong adalah manusia yang hidup sederhana dan kikir."
"Dia bukan kikir dan hidup sederhana, yang terang segala hidup foya-foya dan segala kemewahan di dunia ini tiada yang menarik perhatiannya, kecuali kekuasaan, jelas tiada sesuatu apapun dalam dunia ini yang bisa menggerakkan perhatian Siangkwan Kim-hong, sampai perempuan secantik Lim Sian-ji pun dalam pandangannya tidak lebih hanya alat pemuas napsu belaka."
Kata Wi Thian-bing: "Konon, disaat Siangkwan Kim-hong masih hidup, seluruh kekayaan Kim-cie-pang dan ilmu silatnya disimpan pada suatu tempat rahasia."
"Memang di kalangan Kang-ouw banyak orang memperbincangkan soal ini."
"Tapi sejak Siangkwan Kim-hong meninggal, sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih, belum pernah ada orang menemukan tempat penyimpanan harta itu." "Memang belum pernah ada." ujar Lam-hay-nio-cu.
Bercahaya mata Wi Thian-bing, katanya pelan-pelan: "Soalnya di mana letak penyimpanan harta ini memang tiada orang tahu."
Lam-hay-nio-cu bersuara heran dalam tenggorokan. (Bersambung ke Jilid-4)