Jilid 11
BAB 31. TERUKIR HINGGA LUBUK HATI
Golok sudah kembali ke dalam sarungnya. Pelan-pelan Pho Ang-soat membalik badan, kaki kiri melangkah, kaki kanan dengan kaku diseret maju ke depan. Pelan-pelan dia keluar dari pagar manusia, matanya mendelong lurus ke depan, serasa ciut nyalinya melihat dua mayat yang terkapar di lantai, tiada nyali melirik pun kepada orang-orang yang memagari jalannya.
Sekonyong-konyong terdengar jerit tangis sesambatan. Itulah tangisan Be Hong-ling, sambil tergerung-gerung dia sesambatan dan mengutuk tujuh turunan, semua kata-kata paling kotor terucapkan dari mulutnya.
Tapi Pho Ang-soat tidak mendengar, seluruh badan atau raganya seolah-olah sudah pati rasa.
Ting Hun-ho merengut, belum bicara. Ting Hun-pin sudah menarik lengan bajunya, katanya berbisik, "Kau lihat orang di depan itu? Orang yang pinggangnya menyoreng pedang itu."
Orang yang baru masuk dari luar adalah Lok Siau-ka.
Ting Hun-ho mengerut kening, katanya, "Apa kau juga berhubungan dengan orang seperti itu?" "Kau tahu siapa dia?"
Ting Hun-ho manggut-manggut. Tiada kaum persilatan yang tidak kenal melihat pedangnya. "Katanya dia hendak membunuhmu," kata Ting Hun-pin.
"O. Membunuhku?" "Begini saja sikapmu?"
"Yang terang sekarang aku masih hidup."
"Apa kau tak ingin bertanding dengannya, pedang siapa lebih cepat?" "Pedangku selamanya tidak bisa cepat" Ilmu pedang dari aliran Lwekeh memang
mengutamakan lambat mengatasi cepat ketenangan melumpuhkan gerakan, kalau latihan ini
sudah diyakinkan sampai ke puncaknya baru betul-betul boleh dianggap sudah mencapai tingkat murni dari ilmu pedang Lwekeh.
Apa boleh buat, Ting Hun-pin melotot kepada Lok Siau-ka dengan gegetun dan membanting kaki. Lok Siau-ka sebaliknya tidak menghiraukan sikapnya.
Ting Hun-pin tiba-tiba maju memapak, serunya, "Hai!" Lok Siau-ka menguliti kacang terus dilempar ke atas.
"Yang berdiri di sana adalah Toakoku, kau sudah melihatnya belum?" Lok Siau-ka sedang mengawasi kacang yang melayang jatuh. "Bukankah tempo hari kau bilang hendak membunuhnya?"
Kacang sudah masuk ke mulut Lok Siau-ka, baru sekarang dia menjawab tawar, "Aku pernah mengatakan?"
"Kenapa sekrang tidak kau luruk ke sana menantangnya?"
"Kebetulan, hari ini aku tiada minat membunuh orang," ujar Lok Siau-kn sambil mengunyah kacang.
"Kenapa?"
"Sudah banyak yang mati hari ini."
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya dengan tertawa, "Aku mengerti, ternyata kau hanya garang di mulut, yang benar hatimu penakut " Lok Siau-ka tertawa. Dia tidak menyangkal, karena dia memang rada jeri terhadap seseorang.
Tapi orang yang dia takuti terang bukan she Ting.
0oo0
Pho Ang-soat berdiri mematung, berdiri di tengah jalan, dimana tadi kereta berhenti. Berdiri dimana tadi dia berpisah dengan Cui-long.
Tamu-tamu keluar dari Pek-hun-ceng berbondong-bondong, mereka heran dan bertanya-tanya, "Kenapa orang ini masih berada di sini?"
Pho Ang-soat sebaliknya tidak melihat mereka, meski mereka berlalu-lalang di depan matanya.
Setelah Cui-long tinggal pergi, jagat raya ini seolah sudah kosong melompong. Sekosong sanubarinya yang ditinggal pergi.
0oo0
Malam.
Bintang berkelap-kelip di angkasa raya, pohon bergontai dihembus angin musim rontok.
Bulan purnama terasa benderang di musim rontok ini Bintang-bintang itu mirip dengan bintang- bintang kemarin malam, demikian pula bulannya lebih bundar.
Tapi dimanakah si dia? Bintang dan rembulan masih bercokol di angkasa raya. Dimanakah si dia?
0oo0
Tiga bulan. Mereka sudah menetap bersama tiga bulan lamanya, sembilan puluh hari, sembilan puluh hari sembilan puluh malam. Waktu tiga bulan berjalan cepat laksana sekejap mata, tapi setiap malam, setiap saat, entah berapa kenangan yang selalu mengetuk kalbu, pernah mengecap derita, tapi juga pernah senang bahagia, ada kerisauan ada pula kemesraan. Dan semua itu sekarang sudah berselang dan takkan kembali lagi.
Pho Ang-soat mengertak gigi, langkahnya lebar, angin kering mulai menghembus air matanya.
Hari sudah petang, lampu remang-remang di dalam sebuah warung membuat suasana semakin sepi dan dingin. Arak pun terasa getir. Belum pernah dia minum arak, tapi sekarang dia ingin mabuk. Secawan arak keruh yang cukup keras, dia sudah bertekad untuk menghabiskan secawan penuh.
Tapi sebelum dia mengulurkan tangan mengangkat cawan araknya, sekonyong-konyong dari samping terulur sebuah tangan mengambil cawan araknya. "Kau tidak boleh minum arak seperti ini." Tangan yang lebar segede kipas dengan jari-jarinya sebesar lobak, kulitnya kotor kasar dan kering, suaranya kuat dan sumbang.
Pho Ang-soat tidak perlu mengangkat kepala, dia kenal baik tangan ini, dia pun kenal suara itu.
Bukankah Si Toa-han memang seorang laki-laki kasar yang kuat dan kotor kering. "Kenapa aku tidak boleh minum?"
"Karena tidak setimpal arak ini kau minum."
Sebelah tangan Si Toa-han yang lain tengah menjinjing sebuah guci arak yang cukup besar, dengan keras dia gebrakan guci arak ke atas meja, sekali tepuk dia bikin hancur sumbatnya, terus menuang dua cawan penuh. Tanpa bicara dan menunjukkan sikap apa-apa, dia angkat sebuah cawan terus ditenggak habis, sementara secawan yang lain dia angsurkan ke depan Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tidak menolak suguhan orang, hanya mabuk yang terpikir dalam benaknya. Arak yang terasa pahit, getir, keras dan pedas membakar kerongkongan laksana bara api menerjang masuk ke dalam tenggorokan terus turun ke perut Pho Ang-soat. Dengan mengertak gigi dia teguk arak yang terakhir, sedapat mungkin dia kendalikan diri dan bertahan, tidak sampai batuk. Tapi air mata tak tertahan sudah berlinang-linang. "Dulu kau belum pernah minum arak?" tanya Si Toa-han sambil mengawasinya. Tiada jawaban.
Si Toa-han tidak bertanya lagi, kembali dia isi secawan penuh arak. Arak cawan kedua ini rasanya sudah lain. Waktu dia tenggak habis cawan ketiga, tiba-tiba terasa oleh Pho Ang-soat timbul suatu perubahan di dalam badannya. Selamanya belum pernah dia alami perasaan seperti ini.
Pelita yang remang di atas meja terasa memancar lebih terang, badannya semula tegang kaku, kosong melompong, tapi sekarang mendadak timbul suatu daya kekuatan hidup yang aneh dan sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Mengawasi goloknya, Si Toa-han berkata tandas, "Salah membunuh orang bukan suatu hal yang harus dibuat perhatian. Betapa banyak para Enghiong di kalangan Kangouw, siapa yang tidak pernah salah membunuh orang?"
Tiada reaksi.
"Jangan kata lain orang, bicarakan saja Wan Chiu-hun, selama hidupnya entah berapa banyak manusia tidak berdosa yang terbunuh olehnya."
Pho Ang-soat mengangkat cawan araknya, sekali tenggak dia bikin kering. Dia tahu Si Toa-han salah paham akan derita batinnya, maka dia lebih memelas hati. Bahwa peristiwa pembunuhan itu hakikatnya sudah tidak menjadi perhatiannya, kini hanya soal perempuan saja yang masih mengetuk sanubarinya. Seorang perempuan yang minggat meninggalkan dirinya, meninggalkan cinta murninya.
Si Toa-han mengisi cawannya lagi, katanya, "Oleh karena itu kau tidak perlu berkecil hati, aku tahu kau seorang laki-laki sejati, kau "
"Aku bukan seorang laki," tukas Pho Ang-soat. "Siapa yang bilang?"
"Aku yang bilang." Setelah menghabiskan araknya dia banting cawannya ke atas meja, katanya dengan mengertak gigi, "Hakikatnya aku ini bukan manusia."
"Kecuali kau sendiri, aku berani tanggung, orang lain pasti tak punya pikiran seperti itu." "Soalnya orang lain tiada yang mengerti dan menyelami diriku."
"Dan kau?" Si Toa-han menegas. "Apa kau benar-benar mengerti dan menyelami dirimu?" Pho Ang-soat menundukkan kepala. Pertanyaan yang tak mungkin dia jawab.
"Kita bertemu di tengah jalan, sudah tentu aku tidak berani menyelami jiwamu, tapi aku berani bilang, bukan saja kau ini manusia, malah kau adalah seorang laki-laki yang lain dari yang lain, oleh karena itu kau tidak perlu mereras diri dan mengambek lantaran sesuatu persoalan." Sikapnya sungguh-sungguh, suaranya kalem dan tegas, "Terutama jangan lantaran seorang perempuan."
Mendadak Pho Ang-soat mengangkat kepalanya. Mendadak dia menyadari bahwa penilaian dan pandangan Si Toa-han terhadap dirinya memang tidak salah.
"Boleh kuberi tahu kepadamu, bukan saja dia tidak setimpal kau pikir, kau kenang sehingga batinmu menderita, hakikatnya tidak setimpal kau meliriknya."
"Kau ... kau ... kau tahu dia dia pergi kemana?" suara Pho Ang-soat gemetar saking tegang.
"Aku tahu."
"Ka katakanlah!"
"Aku tidak bisa mengatakan." "Kenapa?" Mengawasi muka orang, terunjuk rasa derita pula pada sorot mata Si Toa-han, setelah dia tuang habis arak dalam cawannya, baru memaksakan diri dia manggut-manggut, ujarnya, "Baik, kukatakan, dia ... dia pergi ikut seorang."
"Ikut siapa?"
"Ikut bocah yang jadi kusir kereta itu."
Kata-kata ini laksana golok tajam menghujam ke hulu hati Pho Ang-soat. Saking terpukul batinnya, hampir saja dia menjadi gila. "Kau bohong!"
"Selama hidupku tidak pernah bohong." "Sekali lagi kau katakan, kubunuh kau."
"Kau boleh bunuh aku, yang terang aku tidak berbohong." Sikap Si Toa-han tenang, "Kau harus percaya kepadaku, harus percaya!"
Pho Ang-soat sudah menggenggam kencang gagang goloknya, tapi goloknya tak kuasa terlolos, malah matanya tak tertahan berkaca-kaca. Dia yakin Si Toa-han pasti tidak berbohong kepadanya.
"Sebetulnya kau tidak boleh menyalahkan dia, sebetulnya dia memang bukan pasanganmu, jika perjodohan ini dipaksakan, hanya derita dan sengsara ... hanya mereka berdualah yang benar- benar setimpal, karena mereka manusia sejenis."
"Mereka berdua", kedua kata ini laksana golok menusuk hati Pho Ang-soat. Masakah perempuan pujaan hatinya ternyata adalah perempuan jalang yang kotor dan hina-dina?
Tiba-tiba dia roboh terguling. Tak tertahan air mata bercucuran, tak bersuara, tapi tangis yang tak bersuara sungguh jauh lebih sedih dan memilukan dari tangis tergerung-gerung.
Si Toa-han diam, dia tidak membujuknya. Dari samping dia hanya mengawasi, setelah arak dan kepedihan Pho Ang-soat habis bercucuran melalui air mata dan keringatnya, segera dia bangkit menariknya, katanya, "Hayo, kita cari tempat lain untuk minum sepuasnya lagi."
Pho Ang-soat tidak menolak. Seolah-olah dia sudah kehilangan kontrol dan tenaga serta gengsinya sendiri.
0oo0
Di tempat itu bukan saja ada arak, berbagai jenis perempuan pun dapat kau cari. Orang sering bilang arak dan perempuan biasanya merupakan pelipur lara, hanya arak dan perempuanlah yang dapat melupakan segala kesengsaraan.
Sudah tujuh hari dia mabuk di sini. Di sini ada beberapa macam arak, beberapa jenis perempuan, dari tiga belas sampai umur tiga puluh. Mereka cantik-cantik, mereka cukup tahu cara bagaimana menghibur laki-laki.
Sore hari itu. Untuk pertama kali Pho Ang-soat sadar dari kehidupan yang kelelap dalam buaian cinta dan mabuk. Hawa segar membuat pikirannya jernih, dengan langkah sempoyongan dia berjalan-jalan menyusuri taman kembang, dari sebuah pintu samping dia berada di sebuah gang lurus kecil panjang yang menuju keluar. Suasana sepi, hidungnya dirangsang bau kembang wangi. Setiba di ujung gang Pho Ang-soat mendorong daun pintu serta menghirup hawa segar. Baru saja dia hendak menyongsong hembusan angin segar dan beranjak keluar dari kurungan maksiat ini.
Pada saat itu pula matanya melihat bayangan seseorang.
Cui-long.
Setelah mengalami derita dan siksa, tiba-tiba hari ini dia melihat Cui-long.
Cui-long berjalan dengan seorang pemuda, pemuda yang jadi kusir kereta itu.
Kini dandanannya sudah perlente, orang tidak akan tahu bahwa dia semula hanya bocah kusir kereta Kini dia mengenakan pakaian serba baru yang mahal harganya, dandanannya mirip benar dengan putra hartawan di kota yang suka pemogoran 0oo0
Pho Ang-soat merasakan seluruh badannya kaku mengejang. Seluruh badannya seolah-olah berkobar, goloknya pun seperti memburu. Golok masih dicekalnya, dia boleh menerjang maju, dalam sekejap mata dia bisa membunuh kedua manusia kerdil dan rendah ini.
Tapi dia tetap berdiri menjublek tak bergerak. Karena tiba-tiba dirinya dirangsang rasa malu yang sukar dilukiskan, malu untuk berhadapan dengan kedua orang ini. Memangnya setimpal dia bersedih demi perempuan jalang ini? Dengan mendelong dia mengawasi kedua orang ini masuk ke dalam sebuah penginapan yang paling mewah dan besar di kota ini. Cui-long berjalan di depan, kusir kereta itu mengintil di belakangnya.
Entah berapa lama tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan mungil yang halus sedang mengelus jari-jarinya, katanya, "Kenapa kau berdiri melongo di sini? Si-toaya sedang mencarimu ubek- ubekan ingin mengajakmu minum."
Seketika terasa mulutnya kering dan ketagihan arak. Kenapa dirinya harus tetap menderita pukulan batin seberat ini.
Maka dia mulai minum, mabuk lagi. Setelah sadar minum lagi sampai mabuk. Gengsi, keberanian dan kekuatan sudah kelelap di dalam arak yang ditenggaknya. Sekarang hanya golok itulah yang masih tersisa padanya.
Si Toa-han duduk di hadapannya, secangkir arak yang belum lagi ditenggaknya untuk pertama kali dalam hari ini berada di depan hidungnya. Seperti orang yang sudah kehausan dan ketagihan arak cepat dia mengulur tangan mengambil cangkir arak itu. Tapi tangan Si Toa-han tiba-tiba terulur maju, sekali tampar dia bikin cangkirnya tumpah.
Pho Ang-soat melenggong.
Sikap ramah dan seri tawa Si Toa-han dulu kini sudah lenyap, katanya dengan suara berat, "Hari ini kau masih ingin minum arak?"
Dengan ragu-ragu Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tahukah kau berapa banyak arak yang sudah kau minum? Berapa pula yang sudah kubayar?" Pho Ang-soat tidak tahu, dia sudah tidak ingat lagi
Gadis kecil yang melayani mereka segera menjawab dengan tertawa manis, "Sampai hari ini, rekening arak Pho-toaya seluruhnya ada tiga ribu empat ratus tahil."
"Berapa dia sudah bayar?" "Sepeser pun tidak membayar."
Si Toa-han menyeringai dingin, katanya, "Sepeser pun tidak bayar, mengandal apa dia masih duduk di sini minum arak?"
"Karena dia adalah teman baik Si-toaya."
"Memang dia tamuku, sekali dua kali aku boleh traktir dia, tapi masakah aku harus traktir dia seumur hidup?"
Gadis itu cekikikan, katanya, "Sudah tentu tidak, dia kan bukan anak Si-toaya, kenapa Si-toaya harus mengongkosi hidupnya?"
Berkata Si-toaya lebih lanjut, "Semula kutraktir dia karena kuanggap dia seorang Enghiong, tak nyana dia tak ubahnya seperti anjing buduk yang pandai gegares belaka secara gratis, sedikit pun tidak punya pambek."
Bergetar sekujur badan Pho Ang-soat, keringatpun bercucuran karena amat malu dan terpukul gengsinya. Tapi dia mandah diam saja, dia terima segala penghinaan ini. Karena dia tahu apa yang dikatakan memang beralasan dan kenyataan, dengan mengertak gigi pelan-pelan dia bangkit berdiri. "Kau ingin pergi?" Si Toa-han berteriak. "Aku ... sudah saatnya aku pergi." "Bagaimana dengan rekening arakmu?"
Pho Ang-soat tutup mulut. Dia tidak bisa menjawab. "Rekening tiga hari di muka aku boleh mentraktirmu, tapi sebelas hari kemudian "
Gadis cilik itu segera menyambung, "Rekening sebelas hari belakangan seluruhnya berjumlah dua ribu delapan ratus lima puluh tahil."
"Kau dengar tidak, dua ribu delapan ratus lima puluh tahil, tanpa kau lunasi lantas hendak pergi!"
Pho Ang-soat tetap bungkam, dia tetap tidak bisa memberi jawaban.
"Apakah kau tidak punya uang untuk bayar? Baik, tinggalkan golokmu, kau boleh pergi!" "Tinggalkan golokmu!", kata-kata ini seolah-olah geledek yang menggelegar di pinggir telinga
Pho Ang-soat, sehingga Pho Ang-soat seakan-akan merasa dirinya hancur-lebur.
Si Toa-han sebaliknya menyeringai bengis, sekarang dia memperlihatkan kedoknya yang asli.
Entah berapa lama, akhirnya dia mendesis dengan mengertak gigi, "Siapa pun jangan harap bisa menahan golokku."
Si Toa-han tertawa lebar. "Kalau dulu kau yang berkata demikian mungkin aku masih percaya, tapi sekarang "
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kau sudah tidak boleh mengatakan demikian, kau tidak setimpal lagi."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berpaling, biji matanya sudah merah membara, sekarang baru dia benar-benar melihat jiwa Si Toa-han yang asli.
Si Toa-han tertawa dingin, "Kalau hari ini tidak kau tinggalkan golokmu, mungkin kau harus tinggalkan kepalamu "
"Tinggalkan kepalamu!", jadi apa yang diperbuat Si Toa-han selama ini adalah hendak menunggu kesempatan untuk mengucapkan ancamannya. Ternyata semua ini merupakan suatu jebakan, suatu perangkap keji.
Golok masih berada di tangannya, sembarang waktu Pho Ang-soat masih kuasa membela diri dengan senjatanya ini. Tapi sekarang dia sudah kehilangan keyakinan diri, sekali serang menamatkan jiwa musuh, keyakinan yang aneh dan berlebihan itu, karena harga diri, keyakinan dan keberaniannya kini sudah kelelap ke dalam arak.
"Cabut golokmu!" Si Toa-han sudah berdiri, badannya yang gede laksana malaikat yang garang. 'Apa sekarang kau sudah tidak berani mencabut golokmu?" Suaranya mengandung ejekan, malah mengandung keyakinan pula bagi dirinya. Karena dia cukup mengerti sampai dimana tingkat kepandaian silat Pho Ang-soat, lebih mengerti pula selama setengah bulan ini Pho Ang-soat sudah banyak kehilangan.
Dan kehilangan ini merupakan perubahan yang menakutkan bagi Pho Ang-soat. Memang siapa penyebab perubahan ini? Bagaimana perubahan ini bisa terjadi?
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya. Dia tidak bisa mencabutnya. Karena goloknya sudah tidak berada dalam tangannya, tapi berada dalam sanubarinya. Hatinya sedang meneteskan darah
Derita, siksa, menyesal, malu dan marah.
Semua ini sudah dia resapi lantaran seorang perempuan, karena perempuan itu lari meninggalkan dirinya, ikut seorang kusir kereta. Habis. Kalau seorang laki-laki masih ingin hidup dalam keadaan tersiksa dan malu, peduli apa alasan dan sebabnya, maka hidupnya itu tidak akan berharga.
0oo0
Pho Ang-soat sudah bertekad untuk mencabut goloknya.
0oo0
Hari mulai petang.
Pho Ang-soat sudah siaga untuk mencabut goloknya.
Tapi saat itu juga tiba-tiba didengarnya seorang tertawa. Lok Siau-ka sedang tertawa. Entah sejak kapan tahu-tahu dia sudah muncul di depan jendela, mendekam di jendela sambil tertawa mengawasi dirinya.
Serasa menciut hati Pho Ang-soat, setitik harapan yang terpercik dalam benaknya, sekarang terputus dan luluh
"Eh, jangan lupa, arak wangi, perempuan cantik, masakah kalian hendak mengadu jiwa begitu saja di tempat seperti ini?"
Si Toa-han berkata, "Masakah membunuh orang harus memilih tempat?"
"Sudah tentu harus memilih tempat yang baik," ujar Lok Siau-ka tertawa. "Aku lebih ahli dalam membunuh orang, aku berani tanggung, disini bukan tempat yang cocok untuk membunuh orang."
"Kau hendak memilihkan tempat bagi kita?"
"Taman kembang di luar itu cukup baik, peduli dimana kalian terpukul roboh, aku berani tanggung kalian pasti akan roboh di bawah kembang."
0oo0 Pho Ang-soat berdiri di ujung jalanan di dalam kebun.
Kini Lok Siau-ka duduk di atas jendela membelakangi kamar, katanya kepada Pho Ang-soat, "Sebetulnya orang yang menjadi korban hari ini bukan kau."
Pho Ang-soat diam dan mendengarkan.
"Ilmu silat Lo Si keras dan ganas, meski sudah termasuk tokoh kosen tingkat tertinggi, tapi golokmu seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius, seharusnya kau bisa membunuhnya."
"Tapi sekarang lain, karena kau sudah tidak yakin lagi terhadap dirimu sendiri, sudah tentu golokmu tidak yakin lagi akan dirimu? Maka kaulah nanti yang bakal ajal."
Berkeringat telapak tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok. "Kematianmu harus dibuat menyesal, tapi hal ini harus menyalahkan kau sendiri. Seorang laki-laki bila ingin menuntut balas, maka jangan jatuh hati kepada perempuan lacur yang boleh ditiduri oleh laki-laki siapa saja."
Serasa mengkeret jantung Pho Ang-soat, tiba-tiba dia bersuara, "Seseorang bila ingin hidup lama, maka dia harus sedikit bicara."
"Memang aku sudah kebanyakan bicara," ujar Lok Siau-ka membuka kacang dan dilempar ke atas, sambungnya dengan tertawa, "Tapi kau sendiri terlalu sedikit bicara."
"O, aku tidak perlu banyak bicara," sahut Pho Ang-soat. Lok Siau-ka sudah menangkap kacang itu dengan mulut, katanya sambil mengunyah, "Seharusnya kau tanya kepadanya kenapa dia hendak membunuhmu ?''
"Aku tidak perlu bertanya." "Kenapa?" "Karena aku sudah tahu." "Kau tahu apa?"
"Aku tahu, dia pasti salah seorang pembunuh di luar Bwe-hoa-am dulu itu."
Lok Siau-ka tiba-tiba tergelak-gelak, ujarnya, "Tahun ini dia baru berusia tiga puluh, waktu itu dia masih bocah ingusan, kenapa tidak kau hitung usianya."
Pho Ang-soat melongo.
"Cuma kalau kau boleh menuntut balas bagi ayahmu, sudah tentu dia pun boleh membunuhmu demi ayahnya."
Baru sekarang Pho Ang-soat tahu, Si Toa-han sendiri memang bukan musuh keluarga Pek, tapi ayahnya tidak perlu disangsikan lagi. Jadi perangkap ini sudah lebih gamblang lagi, tujuannya adalah untuk mencegah Pho Ang-soat pergi membunuh ayahnya. Siapa berani bilang bahwa usaha Si Toa-han ini keliru?
Selama ini Si Toa-han tidak banyak mulut, dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan hawa murninya ke seluruh badan, senjatanya adalah sebuah kampak besar berat lima puluh kati, agaknya sekali kampaknya terayun, gunung pun bisa dibelahnya hancur.
Pho Ang-soat menghirup napas panjang, katanya, "Baik, sekarang boleh kau turun tangan."
"Biar aku mengalah, kau boleh lolos golokmu dulu, aku tetap bisa mencabut nyawamu."
Sekonyong-konyong sebelum duel ini terjadi, terdengar seorang berteriak, "Jika kau ingin membunuhnya,, kau harus bunuh diriku lebih dulu." Suaranya serak dan tertelan di dalam tenggorokan, namun masih bisa didengar.
Tampak seseorang dari ujung kebun sebelah sana memburu datang, jarang ada orang di waktu berlari masih tetap menunjukkan gaya yang gemulai begitu indah seperti orang menari. Tapi rambut sanggulnya sudah berantakan, kegugupan dan gelisah serta ketakutan yang menghiasi mukanya bukan pura-pura belaka.
Seseorang pemuda mengejar di belakangnya, ingin menariknya, "Buat apa kau urus persoalan orang lain?" Tapi belum habis dia bicara, tahu-tahu pipinya sudah ditampar dan roboh oleh orang di depannya yang membalik tiba-tiba.
Si Toa-han dan Lok Siau-ka sama-sama kaget dan heran, mereka berseru berbareng, "Kau!"
Dalam waktu sekejap ini, yang paling kaget heran, paling terpukul batinnya, namun paling gembira dan terhibur juga adalah Pho Ang-soat. Tiada orang yang bisa menyelami perasaan hatinya sekarang.
Cui-long langsung memburu datang menghadang di depannya. "Untuk apa kau kemari?" bentak Si Toa-han.
"Aku tidak bisa melihat dia mati," sahut Cui-long. "Kau bisa melindungi dia?"
"Tidak bisa, tapi aku bisa mati lebih dulu." "Kau benar-benar rela mati bagi dia?"
"Kalau tidak buat apa aku memburu datang?" "Lalu kenapa waktu itu kau minggat?"
"Karena...karena waktu itu aku mengira dia membenciku, merendahkan diriku, kukira hakikatnya dia tidak pernah ingin mempersunting diriku." Tiba-tiba berlinang air matanya, katanya lebih lanjut "Tapi sekarang baru aku tahu, dia benar-benar mencintaiku sepunuh hati. sikap kasarnya dulu hanya karena wataknya saja yang aneh."
Si Toa-han tertawa dingin. Cui-long mengertak gigi, katanya pula, "Kalau bukan lantaran aku jangan harap kalian berani bertingkah dan menghadapinya seperti hari ini "
"Apa kau benar-benar ingin mampus di tanganku?"
"Sudah tentu benar, jika dia berkorban lantaran aku, apakah aku bisa hidup." "Bagus, kalau begitu biar aku sempurnakan kalian bersama."
"Tunggu!" sentak Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Apa kau juga tergesa-gesa hendak berlomba mendahului."
Pho Ang-soat tidak menjawab, tidak banyak bicara. Karena sikapnya sudah menandakan segalanya. Dalam waktu sesingkat itu, karena kehadiran dan pernyataan Cui-long, dia sudah berubah pula. Sekarang hatinya yang pepat sudah terbuka. Sikapnya kembali berubah penuh keyakinan, karena dia sadar bahwa sang jelita yang dipujanya sedikit pun tidak berubah, cintanya murni dan abadi. Tangan yang memegang golok secara aneh tiba-tiba berubah tenang dan mantap.
Mengawasi perubahan sikap orang, hati Si Toa-han tiba-tiba menjadi ciut, suatu perasaan takut tiba-tiba menjalar dalam sanubarinya, dia insyaf bila sekarang dia tidak bisa membunuh orang di hadapannya ini, mungkin kelak dia takkan punya kesempatan. Maka dengan menggerung gusar seperti harimau kelaparan dia menerjang maju. Kampak besarnya yang berat itu sudah terayun menerbitkan deru angin kencang.
Kuntum-kuntum kembang di dalam taman seolah-olah seperti diterpa angin lesus, mendadak rontok beterbangan. Tapi cepat sekali deru angin dan kembang-kembang yang beterbangan itupun berhenti, kelopak kembang berjatuhan.
Kampak besar itu masih teracung tinggi di atas kepala, tak bergeming, dengan melotot Si Toa- han berdiri di tempatnya tanpa bergerak. Tapi Pho Ang-soat ternyata berada di depannya, berdiri di bawah kampaknya. Namun goloknya ternyata sudah amblas ke hulu hati Si Toa-han, tinggal gagangnya saja yang masih kelihatan.
0oo0
Kampak Si Toa-han akhirnya meluncur jatuh, tapi sudah tidak bisa mencelakai jiwa siapa pun. Biji matanya melotot keluar mengawasi Pho Ang-soat. Dalam matanya penuh dilembari rasa curiga dan tidak percaya. Tapi sekarang dia harus percaya.
Pho Ang-soat sebaliknya tidak mengawasinya, matanya tertuju pada gagang goloknya, "Trap", goloknya masuk kembali ke dalam sarungnya.
Tapi Si Toa-han masih berdiri tegak, tiba-tiba dia menghela napas panjang, seolah-olah sedih, rawan dan berkeluh-kesah. "Sebetulnya aku ingin menganggap kau sebagai temanku." Itulah kata-katanya yang terakhir. Lalu dia pun terjungkal roboh. Roboh di bawah kembang.
0oo0
Pho Ang-soat tetap kaku di tempatnya, sorot matanya yang dingin ternyata menampilkan rona kepedihan. "Aku sebetulnya tidak ingin membunuhmu." Namun kata-kata ini tidak dia utarakan, memang ada kalanya kata-kata tidak perlu diutarakan.
0oo0
BAB 32. SIAU-LI SI PISAU TERBANG
Kelopak kembang terakhir berguguran, semuanya berhamburan di atas jenazah Si Toa-han.
Lok Siau-ka tetap berduduk di tempatnya tidak memburu maju memeriksa jenazah temannya dia menatap golok di tangan Pho Ang-soat, sorot matanya yang biasanya dingin kini memancarkan bara yang cemerlang. "Golokmu cepat sekali!" pujinya. Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, katanya tawar, "Sayang belum terhitung paling cepat "
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi, karena dia sendiri menyadari walau dia berhasil membunuh Si Toa-han, ini belum menandakan bahwa kecepatan goloknya sudah pulih seperti sedia kala Maklumlah meski manusia besi juga akan menjadi loyo tersiksa dan menderita selama tiga belas hari.
Sebaliknya keadaan Lok Siau-ka sekarang sedang berada di puncaknya. Oleh karena itu tawanya amat riang, tawa yang kejam. Katanya kalem, "Sekarang dalam hati kita masing-masing tentu memahami sesuatu."
Pho Ang-soat tetap diam. Karena dia maklum apa juntrungan ucapan Lok Siau-ka.
"Jika aku ingin membunuhmu, sekaranglah kesempatan yang paling baik, hanya orang pikun yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Kau " teriak Cui-long tertahan.
"Kau pun ingin membunuhnya?"
"Masa kau kira aku ini laki-laki pikun?" ujar Lok Siau-ka tertawa. Kacang dibuka lalu dilempar.
Tangannya kering bersih dan tenang mantap. Tapi waktu dia mendongak hendak menangkap kacangnya, tahu-tahu sudah hilang.
Seperti tersedot oleh suatu tenaga gaib, kacang itu tiba-tiba meluncur ke belakang, jatuh ke dalam mulut seseorang. Orang itu duduk di atas kursi dimana tadi Pho Ang-soat duduk, mengunyah kacang pelan-pelan, lalu diambilnya cangkir menenggak secangkir penuh.
Begitu membalik badan Pho Ang-soat lantas melihat dia. Yap Kay. Si setan gentayangan Yap Kay.
Dengan tersenyum Yap Kay meletakkan cangkirnya.
Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, katanya, "Di atas meja masih ada hidangan, kenapa kau rebut kacangku?"
"Karena jarang mendapat kesempatan untuk makan kacangmu, hanya si pikun saja yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini."
"Agaknya kau memang bukan orang pikun." "Oleh karena itu aku masih hidup."
Lok Siau-ka tertawa lebar, sekonyong-konyong seiring dengan gelak tawanya badan pun berjumpalitan terbalik, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang ditelan tabir malam yang mulai mendatang.
Yap Kay menuang secangkir lagi, gumamnya, "Agaknya orang-orang pikun di dunia ini semakin sedikit."
0oo0
Lampu sudah menyala, Yap Kay sendiri yang menyulut apinya. Begitu api menyala, Pho Ang- soat lantas muncul di depan pintu. Yap Kay menenggak habis araknya, katanya tersenyum, "Aku tidak menyuguhmu, karena aku tahu kau sekarang takkan sudi minum arak lagi."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat
"Tapi kau boleh masuk duduk di sini, silakan."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menukas, "Siapa suruh kau kemari? Katakan!" "Aku sendiri punya kaki."
"Kenapa kau selalu mencampuri urusanku?" "Siapa yang mencampuri urusanmu?" "Tadi kau "
"Tadi aku hanya mencaplok kacang Lok Siau-ka, apakah itupun urusanmu?" Terkancing mulut Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Sekarang si pikun semakin jarang, tapi satu dua orang tetap masih ada."
0oo0
Dengan menunduk kepala Cui-long menyusuri jalan kebun ke arah luar. Pintu sudah di depan mata, beberapa langkah lagi dia sudah keluar dari bilangan kebun yang terkurung tembok tinggi, tapi saat itu juga dia dengar di belakangnya ada orang bersuara, "Kau "
Biji mata Pho Ang-soat laksana permukaan air danau yang putih kemilau ditimpa sinar bintang. Cui-long menghentikan langkah, pelan-pelan dia membalik badan.
"Kau hendak pergi lagi?" Pho Ang-soat bertanya sambil menatapnya. Cui-long manggut-manggut, lalu geleng-geleng pula.
"Kenapa kau selalu tidak menunggu aku?"
Cui-long menunduk, sahutnya, "Kau kapan kau pernah menyuruh aku menunggumu?"
Jawaban ini laksana jarum menusuk ke hulu hati. Mendadak Pho Ang-soat memburu maju, dengan kencang dia memeluknya.
Di kala air matanya berlinang, pecah pula tangis Cui-long.
0oo0
Manusia tetap manusia. Umpama benar sanubarinya dilapisi salju, ada kalanya salju itu akan lumer.
Kekuatan cinta kasih biasanya memang lebih besar, lebih dahsyat dari dendam kesumat. Ada kalanya meski dendam itu kelihatannya sudah meruncing, lebih mendalam, tapi hanya kekuatan cinta saja yang selalu abadi takkan pernah berubah.
0oo0
Yang duduk di jendela adalah Yap Kay. Waktu angin menghembus, di belakangnya terdengar dering suara kelintingan yang lirih. Dengan pandangan mendelong mereka mengawasi Pho Ang- soat dan Cui-long beranjak keluar, lenyap ditelan kegelapan.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya, "Agaknya dia sekarang sudah berubah lebih mirip manusia " Sudah tentu yang dimaksud adalah Pho Ang-soat.
Sekarang kemana pun Yap Kay pergi, di situ pula dia berada, bahwa tadi dia tidak muncul karena dia bertugas mengawasi orang-orang yang menghuni rumah pelacuran ini, bukan dia kuatir mereka melakukan apa-apa yang merugikan dirinya, tapi dia tidak suka Yap Kay melihat mereka, demikian pula sebaliknya. Mau tidak mau dia sendiri mengakui bahwa dirinya perempuan yang paling cemburu.
"Kau kira sebelum ini dia bukan manusia?"
"Sedikitnya aku belum pernah melihat orang seperti dia," ujar Ting Hun-pin. "Selamanya tidak pernah terpikir olehku, dia bisa begitu tersiksa karena Cui-long."
Yap Kay tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kira derita dan siksa itu benar-benar lantaran dia?" "Memangnya bukan?" Yap Kay geleng-geleng.
"Lalu apa anggapanmu?" "Dia selalu merasa dirinya lebih tinggi, lebih suci lebih bersih dari Cui-long, selalu dia merasa Cui-long tidak setimpal dengan dirinya."
"Ya, sedikit pun tidak salah."
"Oleh karena itu setelah Cui-long meninggalkan dirinya, baru dia amat tersiksa, karena dia merasa Cui-long seharusnya selalu mengikut di belakangnya seperti anjing setia mengikuti setiap langkah majikannya."
"Jadi anggap dia tersiksa karena dia merasa pamor dan gengsinya terpukul?"
"Sudah tentu lantaran dia pun merasa dirinya tertipu, laki-laki mana pun bila merasa dirinya tertipu oleh perempuan pasti dirinya amat sedih, umpama dia tidak mencintai dia, dia pun akan merasa tersiksa."
"Lalu kau pun beranggapan bahwasanya dia tidak mencintai Cui-long?" "Bukan begitu yang kumaksud."
"Lalu apa maksudnya?"
"Maksudku bila Cui-long tidak meninggalkan dia, akan datang suatu ketika dia yang akan meninggalkan Cui-long, pada saat itu dia pasti tidak akan menderita lagi."
"Kenapa?"
"Karena dia tumbuh dewasa dalam buaian dendam dan sakit hati maka "
"Umpama benar dia mencintai Cui-long, dia tetap takkan melupakan dendamnya."
Yap Kay mengawasi setitik bintang jauh di angkasa raya, katanya, "Aku pernah bertemu dengan seseorang."
"Seseorang yang bagimana?"
"Seorang yang aneh, jika ada malaikat di dunia ini, maka dia itulah malaikatnya." "Jadi orang itulah yang merubah jalan hidupmu?"
Yap Kay manggut-manggut. "Dia laki-laki atau perempuan?"
"Kalau dia perempuan, semua orang di dunia ini bakal jadi kaum hawa." "Apa maksudmu?"
Terunjuk rasa hormat pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Aku pernah melihat berbagai macam manusia, tapi hanya dia, baru boleh dikatakan sebagai laki-laki sejati."
Ting Hun-pin cekikikan.
"Belum pernah aku melihat orang yang lebih agung dan besar daripada dia." "Kau mengaguminya?"
"Bukan hanya kagum saja, umpama dia suruh aku segera mampus, aku pun akan menerima dengan suka rela. Tapi dia tidak akan membiarkan aku mati, selamanya dia hanya memikirkan orang lain mengorbankan dirinya sendiri."
"Siapa dia sebenarnya?"
"Seharusnya kau pernah mendengar namanya." "O. Siapa?"
"Dia she Li. "
"Apakah Siau Li Tham-hoa?" teriak Ting Hun-pin. "Sudah tentu aku pernah mendengar namanya, memang siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mendengar namanya?" "Sepak terjangnya memang meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak."
"Terutama pertempurannya melawan Siangkoan Kim-hong dulu, tiada orang yang menyaksikan duel itu, tapi ceritanya yang tersiar di kalangan Kangouw sungguh lebih menarik dari dongeng rakyat."
"Paling sedikit aku pernah mendengar lima ratus kali orang membicarakan duel itu, cerita masing-masing berlainan."
"Demikian pula yang pernah kudengar, satu sama lain tiada yang cocok, tapi mereka mempertahankan bahwa ceritanya sendiri pasti boleh dipercaya."
"Paling tidak ada satu hal, siapa pun mau tidak mau harus mengakuinya." "Satu hal apa?"
"Siau Li si pisau terbang selamanya tidak pernah meleset!" bersinar biji mata Yap Kay "Sampai sekarang di kolong langit ini, belum ada seorang pun yang mampu meluputkan diri dari timpukan pisaunya.
Bersinar pula muka Ting Hun-pin, katanya, "Sayang sekali pisaunya itu kini sudah menjadi kenangan nyata saja, kita tentu takkan bisa menyaksikannya lagi."
"Siapa bilang?"
"Kabarnya setelah dia membunuh Siangkoan Kim-hong, dia lantas menyimpan pisaunya dan mengasingkan diri, selanjutnya tidak mencampuri urusan Kangouw."
Yap Kay malah tertawa saja.
"Kalau dia tidak tetirah di suatu tempat yang sepi, kenapa tiada orang pernah mendengar kabar ceritanya lagi di kalangan Kangouw? Apakah kau tahu kabarnya?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Lekaslah kau ceritakan kapadaku."
"Sayang sekali, sekarang aku tidak punya waktu." "Kenapa?"
"Karena sekarang aku harus menyusul ke Ho-han-ceng " "Ho-han-ceng?"
"Ho-han-ceng adalah Si-keh-ceng." "Tempat kelahiran Si Toa-han, maksudmu?"
"Cengcu Ho-han-ceng adalah ayah Si Toa-han yang bernama Si Bu." "Kau hendak ke sana memberi kabar duka cita kematian putranya." "Aku bukan burung gagak."
"Lalu untuk apa kau tergesa-gesa ke sana?"
"Kalau rekaanku tidak salah, sekarang Pho Ang-soat sedang menuju ke sana."
"Kalau dia pergi, kau lantas hendak mengikutinya?" Ting Hun-pin bersungut-sungut, "kenapa begitu besar perhatianmu kepadanya?"
Yap Kay hanya tersenyum saja.
"Lapat-lapat terasa olehku, kau seolah-olah mempunyai sesuatu hubungan istimewa dengan dia, sebetulnya hubungan apakah?"
"Masa kau juga cemburu kepadanya? Apa kau sudah lupa dia itu laki-laki." "Laki-laki memangnya kenapa? Laki-laki dan laki-laki sering melakukan " belum habis dia
bicara, dia sudah cekikikan geli dengan muka merah.
Yap Kay justru amat prihatin katanya, "Waktu mudanya dulu Si Bu adalah seorang yang gagah, senjata kampak kunonya seolah-olah bisa membelah langit membuka bumi, sebanyak seratus delapan jurus pernah menyapu Thay-hing-san, entah bagaimana perbawanya sekarang?"
"Apa kau kuatir Pho Ang-soat bukan tandingannya, maka kau susul dia ke sana hendak membantu dia?"
"Kalau golok Pho Ang-soat bukan tandingannya, apa pula gunanya aku menyusul ke sana?" "Apakah kepandaianmu juga bukan tandingan Pho Ang-soat?"
"Menurut apa yang kutahu, kecepatan gerak permainan goloknya, di jagat raya ini tiada orang yang menandinginya."
"Tapi aku sering mendengar banyak orang bilang, kau pun memiliki pisau yang amat menakutkan. Malah pisaumu senjata yang tak pernah terlihat oleh mata telanjang."
Yap Kay hanya bersuara dalam mulut.
"Jangan kau pura-pura pikun, ingin kutanya, apakah pisaumu itu hasil gemblengan atau didikan Siau Li si pisau terbang?"
"Siau Li si pisau terbang tetap si pisau terbang, kecuali Siau Li Tham-hoa, tiada kedua lagi." "Kenapa begitu?"
"Karena pisau seperti itu bukan sembarang orang bisa mempelajarinya. Tahu tidak." "Dan kau?"
"Kalau satu persen saja aku bisa mempelajari kepandaiannya, aku sudah puas." "Tak hanya kau rendah hati, sayang kau bicara tidak sejujurnya."
"Oleh karena itu lebih baik jangan kau menguntit aku, kalau penyakitku kambuh, bukan mustahil aku mendadak memperkosa kau "
Merah muka Ting Hun-pin, sejenak dia menggigit bibir, dengan ujung mata dia mengerling kepada Yap Kay, katanya, "Kalau kau tidak berani, kau ini adalah kura-kura "
0oo0
BAB 33. SUKMA DI UJUNG GOLOK
"Aku tidak ingin pergi, tapi terpaksa aku harus pergi."
Begitu tersentak bangun dari tidurnya, teringat oleh Cui-long akan kata-kata Pho Ang-soat semalam. Pho Ang-soat yang semalam tidur di sampingnya sudah tak kelihatan lagi.
Rasa ketakutan dan terpencil tiba-tiba memenuhi rongga dada Cui-long, hatinya serasa tenggelam. Masih segar dalam ingatannya semalam Pho Ang-soat bilang, "Ada sementara persoalan walau tidak ingin kau kerjakan, tapi terpaksa kau harus menyelesaikan." Sekarang baru dia menyadari apa maksud kata-kata Pho Ang-soat ini.
Angin pagi menghembus masuk lewat jendela, terasa dingin segar, dengan mendelong dia mengawasi keluar, dia tidak mengalirkan air mata, tapi sekujur badannya dingin.
0oo0
Pho Ang-soat tengah beranjak di jalan persawahan, tangan mencekal kencang gagang golok.
Hatinya mendelu, tetapi dia tidak begitu menderita dan tersiksa karena kali ini dia yang pergi meninggalkan si dia, dengan setulus hati dia ucapkan kata-katanya itu. Karena dia masih ingat akan tanggung jawabnya menuntut balas. Langkah Pho Ang-soat amat pelan, tapi tidak pernah berhenti. Selewat sebidang hutan yang hampir gundul daun-daunnya itu, di sanalah letak Ho-han-ceng.
0oo0
Keadaan Ho-han-ceng sekarang sudah mirip keadaan majikannya, loyo dan renta.
Dindingnya sudah menguning hijau berlumut, daun-daun jendelanya bergetar mengeluarkan suara berisik bila dihembus angin.
Sinar surya menyorot masuk ke dalam, kebetulan menyinari sebilah kampak besar di atas rak senjata. Kampak besar seberat enam puluh tiga kati.
Dengan menggendong tangan Si Bu berdiri di bawah cahaya matahari, mengawasi kampak kebanggaannya dulu. Bagi dirinya kampak itu bukan saja sebagai gamannya, namun juga kawan seperjuangan di medan laga yang ikut mati dan hidup kembali. Tiga puluh tahun yang lalu, kampak ini pernah ikut dirinya terjun ke dalam Liong-tam (rawa naga), menerjang ke sarang harimau, menyapu bersih seluruh Thay-hing-san. Sekarang kampak ini masih tetap mengkilap kuat dan gagah seperti tiga puluh tahun yang lalu. Tapi bagaimana dengan majikan atau pemiliknya?
Si Bu menutup mulut dengan tangannya, batuk perlahan-lahan, cahaya matahari baru menyinari badannya, tapi nalurinya merasa sinar matahari sedemikian terik membara. Masa-masa emas waktu yang lampau sudah berselang. Jiwanya kini sedang berada dalam kelam.
0oo0
Di atas meja terdapat secarik kertas.
Itulah secarik surat yang dikirim oleh anak buahnya dari kota dengan burung pos.
Sekarang dia sudah tahu bahwa teman dan putranya sudah ajal di bawah golok seorang pemuda. Pemuda yang bernama Pho Ang-soat.
Si Bu tahu nama ini tentu bukan nama aslinya. Yang jelas dia she Pek. Golok yang dipakai oleh keluarga Pek seluruhnya serba hitam, sarung hitam, gagang hitam pula.
Si Bu tahu golok macam apakah yang dibawa si pemuda, karena dulu dia sendiri pernah menyaksikan golok seperti itu, dalam sekejap mata beruntun membunuh tiga tokoh kosen dari Bu- lim. Malah sekarang pada badannya masih terdapat. bekas-bekas bacokan golok, dari tenggorokan sampai ke pusarnya. Jika dirinya tidak amat beruntung, lawan sudah kehabisan tenaga, bacokan golok itu mungkin sudah membelah badannya. Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun berselang, terbayang akan bacokan golok waktu itu, sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin. Ada kalanya dalam mimpinya dia sering terjaga bangun, seolah-olah dirinya sudah terbelah menjadi dua.
Dan sekarang kenyataan orang itu benar-benar meluruk datang!
0oo0
Disingsingnya lengan bajunya, dengan kencang dia pegang kampaknya, pelan-pelan lalu diayunkan. Dengan kampak ini dulu dia membabat habis tiga puluh perampok kejam yang mengganas di daerah Thay-hing-san.
Namun kampak ini sekarang rasanya semakin berat, ada kalanya dia tidak kuasa memainkan seratus delapan jurus ilmu kampaknya sampai habis.
Kini dia bertekad hendak mencobanya sekali lagi.
Ruang pendopo ini amat luas. Dengan mengayun kampaknya, kaki bergerak dengan lincah, seketika bayangan kampak seperti memenuhi ruangan yang luas ini, angin menderu bagai angin badai, perbawanya memang hebat dan tidak bernama kosong, bahwa kehebatan ilmu kampak ini dulu pernah menyapu habis perampok-perampok yang mengganas itu. Akan tetapi Si Bu sendiri mengerti, kini tenaganya sudah tidak memadai lagi. Baru sampai jurus ketujuh puluh delapan, napasnya sudah ngos-ngosan seperti sapi disembelih, ini baru latihan seorang diri, jika berhadapan dengan musuh, mungkin sepuluh jurus saja tidak kuasa mempertahankan diri.
Terpaksa dia berhenti dengan menurunkan kampaknya, di atas meja tersedia arak. Dengan napas tersengal-sengal dia duduk, lalu ditenggaknya habis secangkir. Sekarang dia menyadari lagi takaran minumnya sudah jauh berkurang juga dibanding dulu. Dulu sekaligus dia kuat menghabiskan puluhan poci, sekarang paling tiga cangkir mukanya sudah merah padam dan hampir mabuk.
Seorang laki-laki tua dengan rambut ubanan, dengan langkah pelan menunduk melangkah masuk. Waktu mudanya orang tua ini adalah pelayan Si Bu yang melayani sekolah, sudah enam puluh tahun dia bekerja di rumah keluarga Si. Waktu mudanya dia pun seorang pemuda yang kekar, dia pun kuat memainkan kampak seberat tiga puluh kati, pernah membunuh entah berapa banyak orang-orang jahat.
Tapi sekarang bukan saja punggungnya tumbuh punuk, punggungnya pun bungkuk, otot daging badannya yang kekar kenyal kini sudah mengendor, lebih celaka lagi dia terjangkit asma, untuk berjalan saja dia sudah mendenguskan napas seperti kuda menarik beban berat.
Mengawasi orang, Si Bu lantas bertanya, "Tugas yang kupesan kepadamu, sudah kau selesaikan belum?"
Dengan meluruskan kedua tangannya si tua bungkuk menjawab, "Cengteng, tukang kuda, para dayang dan bu inang, semua pembantu berjumlah tiga puluh lima orang, semuanya sudah kusuruh pulang ke kampung halaman masing-masing, setiap orang kebagian lima ratus tahil perak, cukup untuk berdagang kecil-kecilan, untuk hidup sepanjang umurnya."
"Baik sekali," ujar Si Bu.
"Kini sisa uang kas tinggal seribu lima ratus tiga puluh tahil." "Baiklah, boleh kau ambil semua dan pergilah."
"Aku " orang tua itu tertunduk, "aku tidak akan pergi."
"Kenapa?" tanya Si Bu.
Raut muka si orang tua yang penuh keriput tidak menunjukkan mimik perasaan apa-apa, katanya tawar, "Tahun ini aku berusia enam puluh delapan. Hendak kemana aku pergi?"
Si Bu tidak bicara lagi. Dia tahu mereka berdua sudah menemukan jalan buntu. "Kemarilah” katanya kemudian, "marilah duduk minum bersama."
Orang tua itu tidak menolak, tanpa bicara dia menghampiri, lalu duduk di depannya, dia isi dulu cangkir majikannya lalu mengisi lagi secangkir untuk dirinya sendiri. Tangannya kelihatan gemetar.
"Masih segar dalam ingatanku kau memang sudah berusia enam puluh delapan tahun, usiamu sama dengan aku "
Si orang tua bungkuk mengiakan.
"Enam puluh tahun, sekejap saja sudah enam puluh tahun, cepat benar hari berlalu." Kembali si orang tua bungkuk mengiakan.
"Tentunya kau masih ingat, selama hidupmu berapa banyak kau bunuh orang?" "Seluruhnya kira-kira tiga puluh orang."
"Berapa perempuan yang kau gauli?"
Ujung mata si bungkuk yang keriputan menampilkan senyuman, sahutnya, "Soal ini tidak kuingat lagi." Si Bu tersenyum, katanya, "Aku tahu budak kecil yang datang tahun lalu itu kau gagahi juga, jangan kau kira aku tidak tahu."
Si bungkuk tidak menyangkal, katanya tersenyum. "Walau budak itu bukan gadis baik-baik, tapi secara diam-diam tadi ku tambah seratus tahil untuk dirinya."
"Terhadap perempuan biasanya kau tidak kikir, hal ini aku cukup tahu " "Hal ini aku belajar dari Loya."
"Meski aku lebih banyak membunuh orang dibanding kau, perempuan yang pernah kau gauli tentunya tidak lebih sedikit pula."
"Sudah tentu."
"Oleh karena itu kini kita terhitung sudah berkecukupan hidup." "Ya, sudah lebih dari cukup."
"Mari kita habiskan dua cangkir."
Mereka baru menghabiskan dua cangkir. Setelah cangkir ketiga diisi penuh, mereka lalu melihat seseorang pelan-pelan melangkah masuk ke dalam pekarangan. Muka nan pucat, golok yang hitam.
0oo0
Berdiri di bawah pohon kenari, Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya.
Si Bu pun sedang mengawasinya, mengawasi golok serba hitam itu, sikapnya semakin tenang. "Kau she Si?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
Si Bu mengangguk-angguk. "Si Toa-han adalah putramu?"
Si Bu mengangguk-angguk. "Sembilan belas tahun yang lalu "
Tiba-tiba Si Bu menyeletuk, "Kau tak usah bertanya, orang yang hendak kau cari adalah aku " "Jadi kau?"
"Hujan salju malam itu amat lebat," kata Si Bu menarik napas panjang. "Kau masih ingat akan kejadian malam itu?"
"Sudah tentu masih ingat, setiap kejadian kuingat benar." "Coba tuturkan."
"Malam itu waktu aku tiba di Bwe-hoa-am, di sana sudah banyak orang menunggu." "Siapa saja mereka?"
"Aku tidak tahu, setiap orang mengenakan kedok muka, masing-masing tidak bersuara," tutur Si Bu. "Aku yakin mereka pun tiada yang mengenalku, karena aku tidak bergaman kampak saktiku ini, tapi aku membekal golok besar berkepala setan.”
"Di alam bersalju itu kami lama menunggu, hawa begitu dingin, tiba-tiba kami mendengar ada orang bersuara, katanya orang-orang sudah datang lengkap."
"Apakah Be Khong-cun yang bersuara?"
"Bukan! Saat itu Be Khong-cun sedang minum arak di dalam Bwe-hoa-am."
"Lalu siapa yang bicara? Darimana dia tahu berapa jumlah orang yang menunggu di luar?
Memangnya dia salah satu dari perencana peristiwa berdarah itu?"
Si Bu tertawa, tawa misterius, katanya, "Umpama aku tahu, tidak akan kuberitahu kepadamu." Lekas sekali dia menyambung ceritanya, "Tak lama kemudian, keluarga Pek berbondong-bondong keluar dari dalam Bwe-hoa-am. Semuanya mabuk dengan langkah sempoyongan, seperti amat senang."
"Siapa yang turun tangan lebih dulu?"
"Yang turun tangan lebih dulu ada beberapa orang yang pandai menggunakan senjata rahasia, tapi mereka tiada satu pun yang berhasil."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Serempak semua orang menyerbu maju, Be Khong-cun yang memapak maju paling dulu, tapi mendadak dia membalik membacok Pek THian-ih dengan goloknya."
Beringas muka Pho Ang-soat, katanya mendesis dengan mengertak gigi, "Dia tidak akan lolos dari tanganku."
"Dia lolos atau tidak tiada sangkut-pautnya dengan aku." "Kau pun jangan harap bisa lolos."
"Bahwasanya aku tiada niat hendak melarikan diri. aku memang sedang menunggumu." "Apa pula yang masih ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata saja," ditenggak habis araknya, katanya menyambung, "Walau perbuatan kami waktu itu harus dicela, tapi jika sekarang kembali pada sembilan belas tahun yang lalu, aku tetap melakukan apa yang pernah kulakukan dulu."
"Kenapa?"
"Karena Pek Thian-ih sebetulnya memang bukan manusia baik-baik." "Kau keluar!" hardik Pho Ang-soat dengan muka merah padam. "Kenapa aku harus keluar?"
"Keluarkan kampakmu."
"Kukira tidak perlu lagi" mendadak dia tertawa, dengan tersenyum dia berpaling kepada si bungkuk, katanya, "Tibalah saatnya."
"Ya, sudah tiba saatnya," sahut si bungkuk. "Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata," sahut si bungkuk, tiba-tiba dia tertawa, katanya tandas, "Pek Thian-ih memang bukan manusia baik-baik "
Habis kata-katanya, laksana burung walet, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah menerobos masuk lewat jendela. Tapi sudah terlambat.
Si Bu dan si bungkuk sudah terjungkal roboh Roboh dengan tertawa lebar. Dada mereka tertusuk sebilah golok. Golok tajam yang pendek. Gagang golok masih tercekal di tangan mereka.
0oo0
Dengan goloknya sendiri Si Bu memutuskan dendam sakit hati sembilan belas tahun yang lalu.
Sekarang tiada orang yang dapat menuntut balas kepadanya lagi.
Pho Ang-soat hanya mengawasi dengan mendelong Lama kelamaan dia bergidik sendiri bila teringat tuduhan orang-orang dilemparkan kepada ayahnya. Mau tidak mau timbul pula rasa curiga dalam benaknya. "Kenapa begitu banyak tokoh kosen yang punya kedudukan tinggi, tanpa segan-segan mempertaruhkan keluarga, gengsi dan pamornya, tanpa menghiraukan segala akibatnya bersekongkol ingin membunuhnya?" Memangnya siapa yang mampu memberi jawaban? Siapa pula yang sudi memberi penjelasan? Lama kelamaan menghadapi dua mayat yang tak bernyawa, badan Pho Ang-soat jadi gemetar. Dilihatnya muka dua mayat yang semakin dingin ini berubah begitu mengerikan, mata mereka memang sudah melotot, kini darah merembes keluar dari panca indranya, dan yang membuatnya merinding adalah darah yang mengalir itu ternyata berwarna hitam mengkilap.
Telapak tangan Pho Ang-soat menjadi basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba dia ingin menerjang keluar, lekas meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja dia putar badan, matanya segera melihat Yap Kay. Setan gentayangan.
0oo0
Yap Kay mengawasi kedua mayat yang terkapar di lantai, roman mukanya mengunjuk mimik yang lugu. Ting Hun-pin berdiri jatuh di belakangnya, perhatiannya tertuju ke tempat lain.
Agaknya dia ngeri melihat kematian orang yang begitu mengerikan. "Kau datang lagi."
"Ya, aku datang lagi."
"Kenapa kau selalu membuntuti aku?"
"Memangnya kau sendiri yang boleh berada di tempat ini?" Pho Ang-soat tidak bicara lagi. Segera dia beranjak keluar. "Tunggu dulu," seru Yap Kay.
Biasanya Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, tapi kali ini dia justru berhenti, malah membalik badan.
"Kedua orang ini bukan kau yang membunuh."
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Mereka pun tidak bunuh diri." "Tidak bunuh diri?"
"Terang bukan!"
Terbelalak heran Pho Ang-soat dibuatnya, dia tahu Yap Kay bukan laki-laki yang suka sembarang bicara.
"Tapi aku saksikan sendiri dia menikam dada dengan goloknya itu."
"Umpama mereka tidak menusuk diri dengan golok, mereka toh bakal mati juga. Karena mereka sudah keracunan lebih dulu."
"Arak itu beracun?"
"Racun yang amat lihai dan amat aneh sekali "
"Kalau mereka sudah minum racun, buat apa menikam diri pula?" "Karena mereka sendiri tidak sadar bahwa dirinya sudah keracunan." "Jadi orang lain yang menggunakan racun? Siapa dia?"
"Aku sendiri pun belum bisa menyimpulkan," ujar Yap Kay menghela napas. "Orang yang bisa menaruh racun di dalam arak Si Bu, tentu orang yang sudah dikenal dan amat hapal dengan situasi rumah ini. Apalagi Si Bu sudah tahu kau bakal datang, dia sudah bertekad akan gugur, maka seluruh keluarga pembantu rumahnya dia ungsikan atau bubarkan seluruhnya."
Memang di tengah jalan Pho Ang-soat bertemu dengan orang-orang yang keluar dari Ho-han- ceng.
Berkata Yap Kay lebih lanjut "Si Bu sudah tahu bahwa dirinya akan mati, buat apa dia menaruh racun di dalam araknya?" Sulit menjelaskan persoalan ini.
"Mungkin Si Bu sendiri yang menaruh racun." "Tidak mungkin." "Kenapa tidak mungkin?"
"Tidak perlu dia bertindak begitu bodoh."
"Mungkin dia kuatir dirinya tiada kesempatan membela diri."
"Untuk membunuhmu, sudah tentu dia tidak punya kesempatan melawan, tapi bila seseorang ingin mati, kesempatan itu sembarang waktu bisa saja dia dapatkan. Dan yang penting, Si Bu terang takkan memiliki racun seperti ini."
"Kenapa?"
"Selama hidupnya dia mengagulkan diri sebagai laki-laki gagah, selama hidupnya tidak pernah menggunakan senjata rahasia, terutama membenci orang-orang yang menggunakan racun, orang seperti dia masakah sudi menggunakan racun untuk membunuh diri?" Tanpa memberi waktu Pho Ang-soat bicara, dia melanjutkan, "Apalagi racun jenis ini jarang ada, malah amat menakutkan, tak peduli racun ini ditaruh dalam arak atau air, tanpa menimbulkan tanda-tanda mencurigakan, tidak berwarna tidak berbau, malahan alat perak pun tidak bisa membedakan kadar racunnya."
"Kau mengenal racun apa yang digunakan ini?" tanya Pho Ang-soat.
"Seluruh jenis racun yang ada di dunia ini, sedikit jumlahnya yang tidak kukenal." "Jadi racun jenis ini hanya bisa dicoba dengan batu jade kuno saja?"
Untuk menjajal sesuatu apakah beracun, biasanya menggunakan alat-alat perak. Kalau menggunakan jade kuno adalah di luar kebiasaan.
"Jadi kau pun tahu cara itu?" tanya Yap Kay.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Tidak banyak jenis racun yang kuketahui, tapi racun yang bisa membinasakan aku tidak banyak jenisnya."
Yap Kay tertawa, ia tahu Pho Ang-soat bukan mengagulkan diri. Bahwa Pek-hong Kongcu, ibunya, adalah putri sulung Mo-kau Kaucu, dia sendiri pun seorang ahli dalam menggunakan racun. Sudah tentu putranya takkan bisa terbunuh oleh racun.
Mungkin Pho Ang-soat tidak ahli menggunakan racun, atau mungkin juga tidak pernah melihat orang mati keracunan, tapi cara untuk membedakan jenis dan kadar racun sudah tentu dia jauh lebih tahu. Sayangnya pengalamannya saja yang tidak luas.
"Jadi menurut analisamu, Si Bu tidak menaruh racun dalam araknya sendiri." "Pasti tidak."
"Kalau orang lain tahu dia pasti mati, tidak perlu dia memberi racun dalam arak. Lalu darimana racun ini?"
"Setelah kupikir-pikir hanya ada satu kemungkinan” ujar Yap Kay lebih lanjut. "Penaruh racun pasti kuatir dia membocorkan sesuatu di hadapanmu, maka dia hendak meracunnya mati lebih dulu sebelum kau kemari."
"Tapi waktu aku datang, dia belum mati."
"Mungkin karena kedatanganmu terlalu cepat, atau mungkin kematiannya terlambat." "Waktu aku datang, sedikitnya dia sudah minum empat-lima cangkir."
"Waktu arak disuguhkan sudah bercampur racun, tak berselang lama kemudian baru Si Bu mulai minum, maka racun dalam arak sudah mengendap ke bawah. Maka arak yang dia minum terdahulu kadar racunnya tidak berat."
"Maka waktu aku datang, dia masih hidup dan sempat mengucapkan banyak persoalan." Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau belum membongkar rahasia seseorang yang patut dicurigai." "Coba kau pikir-pikir dulu."
Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Dia memberitahu, cukup lama mereka menunggu di luar Bwe-hoa-am, mendadak ada orang bilang semua orang sudah lengkap."
Seketika bersinar biji mata Yap Kay, katanya, "Darimana dia bisa tahu bila orangnya sudah lengkap? Darimana dia tahu berapa jumlah seluruhnya? Hal ini sebetulnya hanya diketahui Be Khong-cun sendiri "
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tapi waktu itu Be Khong-cun pasti masih berada di dalam Bwe-hoa-am minum arak." "Si Bu pun berkata demikian."
"Lalu siapa yang mengatakan? Si Bu tidak memberitahu?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala. "Katanya umpama dia tahu juga tnkkan memberitahu kepadaku."
"Jadi besar kemungkinan orang yang bersuara di luar Bwe-hoa-am itulah orang yang menaruh racun dalam arak Si Bu ini."
Belum Pho Ang-soat bersuara, Ting Hun-pin sudah menukas, "Sudah pasti dia adanya." "Karena tahu bahwa Si Bu sudah tahu akan rahasia dirinya, maka Si Bu dibunuhnya untuk
menutup mulut," Yap Kay menambahkan.
"Sayang dia salah menilai Si Bu," Ting Hun-pin menghela napas, "ternyata Si Bu adalah seorang sahabat yang setia kawan."
"Oleh karena Si Bu adalah sahabat karibnya, maka walau dia mengenakan kedok, Si Bu tetap masih mengenali suaranya."
"Betul."
"Jadi kalau dia datang sendiri kemari, mustahil Si Bu tidak tahu." "Mungkin saja dia menyuruh orang lain menaruh racun?"
"Mustahil," Yap Kay menggeleng setelah termenung sejenak, "tugas ini amat rahasia, siapa yang dia tugasi untuk melakukan hal itu?"
"Tentu saja orang kepercayaannya."
"Sahabat karib macam Si Bu saja tak dipercaya, siapa yang bisa dia percayai?"
"Mungkin saja suami atau istrinya, orang tuanya, saudaranya, hubungan semacam ini pasti lebih akrab ketimbang hubungan teman." Yap Kay menghela napas panjang.
"Sayang tak seorang pun bisa ditemukan di keluarga Si sekarang sulit bagi kita untuk melacaknya."
"Biarpun anggota keluarga Si telah pergi semua, toh mereka belum mampus."
Yap Kay manggut manggut, diambilnya sisa arak dari dalam teko dan diendusnya sesaat, kemudian katanya lagi, "Arak ini sudah lama disimpan dalam gudang, bahkan belum lama dibuka."
"Kau tak perlu berlagak," tukas Ting Hun-pin sambil tertawa, "aku tahu, pengetahuanmu tentang arak memang hebat... heran, kau selalu punya pengetahuan luas terhadap perbuatan busuk."
"Sayang aku tak tahu siapa pengurus gudang arak keluarga Si," sahut Yap Kay tertawa getir. "Selama dia masih hidup, suatu ketika pasti akan kita temukan, hakikatnya bukan hal yang
sulit." Pelan-pelan sambungnya, "Kenapa kau menaruh perhatian khusus terhadap hal ini, apa
sangkut-pautnya dengan dirimu?" Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan, dengan tajam dia pandang Yap Kay, katanya. "Persoalan ini tak ada sangkut-pautnya dengan kau, sejak semula sudah kuperingatkan kepadamu jangan kau ikut mencampuri urusan ini."
Yap Kay meringis, sahutnya, "Aku hanya tertarik saja."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, pelan-pelan dia melangkah pergi.
Tiba-tiba Ting Hun-pin berseru, "Tunggu dulu, aku ingin tanya suatu hal kepadamu." Pho Ang-soat tidak berhenti, hanya melambatkan langkahnya.
"Mana dia?" tanya Ting Hun-pin.
"Dia siapa?" jawab Pho Ang-soat sambil menghentikan langkahnya. "Perempuan yang selalu mengikutimu."
Paras Pho Ang-soat yang putih memucat berkerut kencang, tanpa menjawab dia berlalu dari situ.
0oo0
11ok