Bab 21. Lolos Dari Kurungan
Akhirnya Pho Ang-soat mencabut goloknya. Sinar golok berkelebat, yang dipenggal bukan kepala orang, tetapi kecapi itu.
Kenapa kecapi ini harus dibacok?
Ciong-taysu mengangkat kepala, mengawasinya dengan pandangan kaget, bukan saja heran dan bingung, juga amat marah. Golok sudah kembali ke sarungnya.
Pho Ang-soat sudah duduk, wajahnya yang pucat di kegelapan seperti diukir dari batu kali, keras, kekar, dingin namun agung. Ciong-taysu berkata, “Umpama permainan kecapiku tidak patut dinikmati, tapi kecapi ini kan tidak bersalah, mengapa kau tidak memenggal kepalaku sekalian?”
“Kecapi tidak berdosa, orangnya pun tidak berdosa, daripada manusia mati, biarlah kecapi yang jadi korban.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kau harus mengerti, tapi memang banyak persoalan yang tidak kau ketahui,” dengan dingin dia meneruskan, “kau hanya tahu kehidupan manusia yang pendek saja, akhirnya juga akan mati, tapi kau tidak tahu, untuk mati juga ada berbagai cara.”
Mati seperti kembali ke tempat asalnya, mati secara ksatria, mati akan menjadi kenangan sepanjang masa, sudah tentu hal-hal begini juga dimengerti oleh Ciong-taysu.
Pho Ang-soat berkata, “Seseorang dilahirkan dan harus hidup, umpama harus mati, maka matilah secara gemilang, mati dengan hati tenteram dan damai.”
Seseorang hidup bila tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang harus dikerjakan, mana mungkin dia bisa mati dengan tenteram? Makna dari kehidupan, yaitu perjuangan dan harus berjuang sampai titik darah penghabisan, asal paham akan hal ini, maka kehidupan ini bukanlah tiada artinya…..
*******************
Duka dan kesedihan hidup manusia memang diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk mengatasinya. “Tapi hidupku ini hanya semacam kenistaan.”
“Karena itu kau harus berusaha melakukan sesuatu yang berarti, cucilah segala kenistaanmu itu, kalau tidak, umpama sekarang kau mati, kau tetap mati dalam kenistaan.”
Mati bukan suatu cara yang baik untuk menyelesaikan segala persoalan, hanya lelaki berjiwa lemah, berjiwa kerdil saja yang tidak kuat mengalami pukulan, menghadapi ujian hidup, maka larilah dia dari kehidupan ini, kematian itulah cara yang ditempuhnya untuk membebaskan diri.
“Imbalan yang kupertaruhkan di atas golokku ini pasti tidak lebih ringan, lebih sedikit darimu, tapi aku tidak pernah memperoleh hiburan, ketenangan, kebesaran dan ketenaran seperti yang kau miliki, yang kudapatkan hanyalah permusuhan dan penghinaan, dalam pandangan orang lain kau adalah seorang sakti dalam permainan kecapi, bagiku tidak beda dengan seorang algojo.”
“Tapi kau masih ingin bertahan hidup?”
“Asal aku masih bisa hidup, maka aku harus hidup, orang lain ingin aku mati, maka aku harus berjuang untuk hidup,” demikian kata Pho Ang-soat, “hidup ini bukan suatu yang memalukan, bukan kenistaan, hanya mati sajalah yang memalukan.”
Wajahnya yang pucat memancarkan cahaya, kelihatan lebih gagah, kereng, lebih agung. Kini dia tidak lagi mirip algojo yang seluruh badannya berlepotan darah dan jorok. Sekarang dia telah memperoleh kehidupan yang murni, puncak kehidupan yang sejati, diperoleh dari siksa derita dan “pukulan lahir batin yang tidak mungkin diterima dan ditahan oleh manusia lain. Karena semakin besar pukulan yang diterimanya, semakin besar pula daya perlawanannya.
Tenaga perlawanan ini akhirnya berhasil membebaskan dirinya dari belenggu yang pernah dia ciptakan sendiri. Satu hal ini jelas tidak pernah diduga dan dipikirkan oleh Kongcu Gi.
Ciong-taysu pun tidak menduga, tapi waktu dia mengawasi Pho Ang-soat, rona matanya tidak lagi mengandung rasa kaget, heran dan marah, tapi menampilkan rasa hormat. Tak tahan dia bertanya, “Apakah kau pun ingin melakukan seuatu yang berguna untuk mencuci penghinaan dan rasa malumu.”
“Sekuat tenaga aku sedang berusaha melakukannya.”
“Kecuali membunuh orang, apa pula yang sudah kau lakukan?”
“Paling sedikit aku sudah melakukan satu hal,” suaranya penuh keyakinan, “paling tidak aku sudah memperlihatkan satu bukti kepadanya, aku tidak pernah takluk, juga tidak mudah terpukul roboh olehnya.”
“Dia, dia siapa?” “Kongcu Gi.”
Ciong-taysu menghela napas panjang, ujarnya, “Seseorang bisa punya seorang kacung kecapi seperti itu, pasti dia seorang yang luar biasa.”
“Memang demikian.”
“Tapi kau ingin membunuhnya?” “Betul.”
“Apakah membunuh orang termasuk suatu pekerjaan yang berguna?”
“Jika orang itu hidup, orang lain akan menderita, mengalami penindasan, penyiksaan. Jika aku membunuhnya, maka aku sudah melakukan sesuatu pekerjaan yang bermanfaat, sesuatu yang mulia.”
“Kenapa kau belum melaksanakan keinginanmu itu?” “Karena aku tidak bisa menemukan dia.”
“Kalau dia seorang luar biasa, pasti dia seorang ternama, bagaimana kau tidak dapat menemukan dia?” “Walau namanya terkenal di seluruh dunia, namun jarang ada orang melihat wajah aslinya.”
Inipun suatu hal yang aneh, seseorang semakin ternama, orang yang melihatnya semakin jarang, makin sedikit.
Hal ini sepantasnya juga dimaklumi oleh Ciong-taysu, karena dia pun seorang yang terkenal di jagat ini, orang yang bisa bertemu dengan dia juga amat sedikit. Tapi dia tidak berkomentar apa-apa, Pho Ang-soat juga tidak mau banyak bicara, apa yang perlu dia katakan sudah habis diucapkannya.
Pho Ang-soat berdiri, “Aku hanya ingin supaya kau tahu, walau tempat ini amat baik, tapi bukan tempat yang tepat bagi kita untuk tinggal terlalu lama.”
Meskipun di luar amat gelap, dia tetap tidak mau tinggal di situ.
Asal lahir batin bersih, kenapa harus takut kegelapan? Perlahan dia beranjak keluar, gaya jalannya masih kelihatan kaku, berat dan sukar, namun pinggangnya lurus, badannya tegak dan dada membusung.
Ciong-taysu mengawasi punggungnya, mendadak dia berseru, “Tunggu sebentar!” Pho Ang-soat berhenti.
Ciong-taysu berkata, “Apa betul kau ingin bertemu dengan Kongcu Gi?” Pho Ang-soat mengangguk.
“Kalau begitu kau harus tinggal di sini, biar aku yang pergi.” “Kenapa? Kau tahu dia akan kemari?”
Ciong-taysu tidak menjawab, namun mendahului melangkah pergi. “Darimana kau tahu? Siapa kau sebenarnya?”
Mendadak Ciong-taysu berpaling, katanya sambil tertawa, “Kau kira siapa aku? Mimik tawanya aneh misterius, badannya mendadak telah lenyap ditelan kegelapan, seperti sudah bersenyawa dengan tabir malam. Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, “Asal kau bersabar dan mau menunggu di sini, pasti kau dapat bertemu dengan dia.”
“Kau kira siapa aku?” Memangnya dia bukan Ciong-taysu? Apakah dia Khim-thong yang tulen? Kalau tidak, mana mungkin dia tahu dimana dan kemana jejak Kongcu Gi.
Pho Ang-soat tidak berani memastikan, karena dia tidak pernah melihat wajah asli Ciong-taysu, tidak pernah melihat Khim-thong.
Apakah betul Kongcu Gi akan datang kemari? Inipun tidak berani dia pastikan, namun dia sudah berkeputusan untuk tinggal di sini, hanya inilah kesempatan satu-satunya bagi dirinya, sumber yang mungkin dapat untuk menemukan jejaknya.
Malam sudah larut, di pegunungan yang sunyi tiada terdengar suara apa pun. Mutlak tiada suara atau sesuatu suara yang menakutkan, seseorang yang dicekam keheningan seperti ini pasti sudah tidur.
Pho Ang-soat sudah tidur, sudah tidur bukan berarti sudah nyenyak, sudah pulas dibuai impian. Lampu tidak terpasang di dalam rumah kecil ini, kecuali sebuah kecapi, satu meja, dan sebuah ranjang, dalam rumah ini tiada benda lain lagi.
Pho Ang-soat kelaparan, juga lelah, dia ingin tidur, selama beberapa tahun ini, derita bagi seorang yang susah tidur teramat menyiksa, bila dapat tidur pulas, meski hanya sekejap, sudah merupakan keberuntungan dan itu memang menjadi keinginannya yang terbesar.
Kenapa sesunyi ini? Kenapa nagin pun tiada? Terpaksa dia sengaja terbatuk-batuk beberapa kali, hampir tak tertahan dia ingin bergumam, bicara kepada diri sendiri.
Pada saat itulah mendadak dia mendengar suara “Cring, ering”. Itulah suara kecapi. Kecapi di atas ranjang, kecuali dirinya, di rumah ini tiada orang lain, tiada orang memetik senar kecapi, bagaimana mungkin kecapi itu bisa berbunyi?
Terasa oleh Pho Ang-soat rasa dingin yang tiba-tiba muncul di punggungnya, tak tahan dia membalik tubuh mengawasi kecapi di atas ranjang. Di bawah penerangan sinar bintang yang redup dingin, senar kecapi kelihatan cukup jelas dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Senar kecapi berbunyi lagi, beruntun beberapa nada suara, seperti seorang pemusik yang sedang menyetel alat musiknya. Lalu siapakah yang sedang memetik senar kecapi? Siluman kecapi atau setan penunggu gunung ini?
Pho Ang-soat melompat secara mendadak, maka dilihatnya di luar jendela ada sesosok bayangan samar- samar. Bayangan manusiakah? Atau bayangan setan? Orang di luar jendela mana bisa memetik senar kecapi di dalam rumah, di atas ranjang?
“Tenaga jari yang hebat,” jengek Pho Ang-soat dingin.
Bayangan hitam di luar jendela seperti kaget, sebat sekali dia mundur ke belakang.
Pho Ang-soat lebih cepat, boleh dikata tanpa persiapan atau membuat ancang-ancang, orangnya sudah menerobos keluar bagai anak panah menyambar.
Bayangan hitam di luar melambung ke udara, terus bersalto seperti gerakan setan, seperti segumpal asap pula, dan mendadak sirna di tengah kegelapan.
Gunung sunyi sepi, sinar rembulan terasa dingin.
Pho Ang-soat maju lebih jauh, tiada seorang pun dilihatnya, waktu dia menoleh, matanya tertumbuk pada sebuah lampu yang menyala. Sinar lampu bagi api setan yang bergoyang-goyang.
Lampu berada di dalam rumah, siapakah yang berada di dalam rumah menyulut lampu?
Pho Ang-soat tidak mengembangkan Ginkang, perlahan dia beranjak balik, lampu tidak padam, lampu berada di atas meja ternyata sudah putus, putus rata seperti diiris pisau layaknya.
Di dalam rumah tetap tiada orang, di bawah kecapi tertindih secarik kertas yang berisi tulisan berbunyi: “Kalau sekarang tidak pergi, orang putus bagai kecapi ini”. Gaya tulisannya amat baik, amat elok dan enak dipandang, dengan gaya tulisan yang tertindih di kertas di bawah kecapi tadi, jelas hasil tulisan satu orang. Lalu dimana orangnya?
Pho Ang-soat duduk menghadapi lampu yang memancarkan cahayanya, mendadak sorot matanya memancarkan cahaya. Hanya setan atau dedemit yang bisa pergi datang bagai angin tanpa meninggalkan bekas, padahal dia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala. Jika di dunia ini tiada setan, maka di dalam rumah ini pasti ada lorong bawah tanah atau dinding lain, kemungkinan sekali letaknya di sekitar ranjang batu ini.
Dalam menyelidiki soal beginian, Pho Ang-soat bukan terhitung seorang ahli, tapi dia amat mahir. Akal bulus yang sering digunakan orang-orang Kangouw kebanyakan diketahui dengan baik, alat-alat rahasia dengan berbagai perangkap yang rumit juga diketahuinya, maka untuk mencari lorong bawah tanah atau adanya alat rahasia di balik dinding dan sebagainya bukan pekerjaan yang sulit bagi dirinya.
Apakah Kongcu Gi sudah datang? Datang dari lorong bawah tanah?
Pho Ang-soat memejamkan mata, mengatur pernapasan, dia benamkan perasaannya supaya tenang dan longgar, hanya dengan ketenangan baru panca-indranya lebih tajam, daya tangkap dan serap otaknya akan lebih runcing .
Maka dia mulai mencari, tapi tidak menemukan apa-apa. Kalau sekarang tidak pergi, orang putus seperti kecapi.
Kalau aku tidak bisa menemukan kau, akhirnya juga pasti kau yang mencariku. Kenapa tidak kutunggu kau di sini saja, mari buktikan cara bagaimana kau akan memutus badanku seperti putusnya senar kecapi ini?
Perlahan Pho Ang-soat duduk, sumbu lampu dia bersihkan dan nyala api menjadi lebih terang, penerangan selalu membawa semangat dan membangkitkan gairah orang, tidur seperti tidak punya jodoh dengan dirinya.
Suatu waktu dia ingin tidur, namun tidak bisa tidur. Orang yang memutus senar kecapi setiap saat bisa keluar dari lorong bawah tanah atau dari balik dinding, lalu memenggal tubuhnya menjadi dua seperti senar kecapi.
Apakah betul orang itu Kongcu Gi adanya? Orang macam apakah sebetulnya Kongcu Gi itu? Sambil menerawang Pho Ang-soat menggenggam goloknya, dengan menunduk dia mengawasi golok yang dipegangnya, terasa dirinya seperti makin lemas, makin lunglai dan lelah, makin tenggelam dan terbenam ke dalam sarung goloknya. Mendadak dia tertidur.
Malam makin kelam, lampu menyala, lidah api tidak lagi bergerak, menyala tenang.
Dunia dalam keadaan damai tenteram, tiada bencana, tiada pertumpahan darah, juga tiada suara brengsek.
Waktu Pho Ang-soat tersadar, dia tetap duduk di atas kursi. Entah berapa lama dia pulas di atas kursi. Namun begitu dia membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah goloknya, golok masih tergenggam di tangannya, sarung golok yang hitam legam, tampak mengkilap ditimpa sinar pelita. Mungkin dia hanya terlena sekejap saja, karena pelupuk matanya terasa amat berat, betapapun dia adalah manusia biasa, bukan robot, manusia perkasa matanya pun pasti akan mengalami kelelahan dan terlena meski hanya sekejap.
Namun bila golok tetap di tangan, apapun dia tidak perlu gentar. Tapi begitu dia mengangkat kepala, hatinya seketika tenggelam, seperti tenggelam di dasar danau yang dingin. Dia masih duduk di kursi semula, golok masih terpegang di tangannya, tapi dirinya sekarang tidak duduk di dalam rumah gubuk di tengah puncak gunung yang belukar itu.
Pandangan pertama yang terlihat olehnya adalah sebuah gambar lukisan, lukisan panjang melintang empat tombak tujuh kaki yang digantung pada dinding di depannya.
Panjang dinding atau luas rumah ini sudah tentu tidak hanya empat tombak tujuh kaki, kecuali gambar lukisan itu, dinding yang dikapur bersih putih laksana salju tergantung berbagai jenis alat senjata, di antaranya ada sebuah kampak batu raksasa dari zaman purba, ada pula tombak panjang beronce ungu milik Soa Jeng di zaman Ciankok yang selalu digunakan merobohkan musuh di medan laga. Ada pula Ceng-liong-yam-gwat-to, gaman yang digunakan Bu-seng Koan-te-kun di zaman Sam Kok, ada pula Cwa- hou-lan dan Hou-sing-kiam gaman luar biasa yang jarang terlihat di kalangan Kangouw.
Di antara senjata yang tergantung di atas dinding itu, paling banyak adalah golok. Golok tunggal, golok rangkap Yan-hap-to, Kui-thau-to, Kim-pwe-gan-san-to, Sia-to, Kui-hoan-to, Jik-kim-hi-ling-to ... malah ada juga sebtang Thian-ong-cam-kui-to yang panjangnya setombak lebih.
Tapi yang paling mengejutkan Pho Ang-soat adalah sebilah golok hitam, golok yang mirip dengan yang di genggaman tangannya. Beratus jenis senjata dari zaman dahulu sampai zaman mutahir ternyata digantung di atas dinding seluruhnya, maka dapatlah dibayangkan, betapa besar dan luas rumah ini.
Padahal seluruh lantai rumah ini dilembari permadani tebal buatan negeri Persia, hingga terasa rumah sebesar ini hangat dan nyaman.
Agaknya setiap benda yang terpajang di dalam rumah ini sudah diseleksi, diperiksa secara teliti, selama hidup Pho Ang-soat tak pernah terbayang dan belum pernah berkunjung ke tempat semewah ini.
Dia tidak habis mengerti, cara bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini? Jelas ini bukan mimpi, tapi jauh lebih seram, lebih aneh, lebih ajaib dan brutal dari mimpi yang sesungguhnya.
Tangan yang menggenggam golok sudah terasa dingin, gagang goloknya sudah basah oleh keringat dingin yang merembes di telapak tangannya. Tapi dia tidak menjerit kaget, tidak berlari keluar, dia tetap duduk tenang dan diam di kursinya, bergerak pun tidak. Bahwa orang itu mampu membawanya ke tempat ini tanpa diketahui setan dan malaikat, maka amat mudah membunuhnya kalau mau. Bahwa kenyataan dirinya masih hidup kenapa harus lari dari kenyataan ini? Kenapa harus bersusah-payah beraksi?
Mendadak seorang bergelak tertawa di luar pintu, katanya, “Pho-kongcu sungguh amat tabah dan tenang.” Ketika pintu terbuka, di tengah gelak tawanya, yang beranjak masuk ternyata adalah Ciong-taysu.
Tapi keadaan Ciong-taysu sekarang sudah agak berubah, jubah belacu yang biasa dipakainya sekarang berganti jubah sutra, rambut ubannya juga sudah disemir hitam, demikian pula kerut-mukanya agak jarang, sehingga wajahnya kelihatan lebih muda dua puluh tahun.
Dingin-dingin saja Pho Ang-soat menatapnya sekilas, ternyata reaksi kaget atau mimik heran pun tidak diperlihatkan olehnya, seolah-olah dia sudah menduga di tempat ini dia akan bertemu dengan dia.
Ciong-taysu menyembah dan menjura, katanya, “Cayhe Ji Khim, menyampaikan sembah hormat kepada Pho-kongcu.”
Jadi orang inilah Ji Khim yang tulen, dia pulalah kacung harpa Kongcu Gi, jadi kacung harpa yang muncul di dalam pasar itu tidak lain hanyalah figuran yang membantu dia menyelesaikan permainan sandiwaranya.
Tujuan permainan sandiwara itu hanya ditujukan kepada Pho Ang-soat seorang, padahal macam apa tampang Ji Khim asli hakikatnya Pho Ang-soat tidak pernah melihatnya, maka sandiwara di pasar itu betul- betul diperankannya dengan baik dan amat memuaskan.
Apakah permainan sandiwara itu hanya untuk membuat Pho Ang-soat terlena dan tenggelam dalam alam pikirannya setelah mendengar alunan lagu yang menyedihkan itu? Sehingga dia merasa kecewa dan putus-asa, lalu menggorok leher sendiri dengan goloknya?
Sekarang bila golok ini tercabut pula, yakin yang digorok pasti bukan lehernya sendiri. Melihat dia memegang golok hitamnya, di kejauhan Ji Khim sudah menghentikan langkahnya, katanya mendadak, “Tempat apakah ini? Kenapa aku bisa berada di sini?” Dia tertawa, lalu menyambung, “Seharusnya Pho- kongcu yang mengajukan pertanyaan ini, tapi Pho-kongcu tidak buka suara, terpaksa biar aku saja yang bertanya.” Pertanyaannya sendiri, memang pantas kalau dia pula yang menjawab.
Tak nyana mendadak Pho Ang-soat buka suara dingin, “Inilah tempat baik, bahwa aku sudah berada di sini, kenapa harus bertanya bagaimana aku bisa kemari?
Ji Khim melengak, serunya, “Apa betul Pho-kongcu tidak ingin bertanya?” “Tidak,” cepat jawaban Pho Ang-soat.
Ji Khim mengawasinya sekian lama, lalu katanya bimbang, “Apakah Pho-kongcu ingin membunuhku dengan sekali tabas? Lalu menerjang keluar pintu.”
“Tidak.”
“Apakah Pho-kongcu tidak ingin pergi?”
“Tidak gampang aku kemari, kenapa harus pergi?”
Ji Khim kembali melenggong. Waktu dia masuk tadi, dia mengira Pho Ang-soat pasti kaget dan gugup, tak nyana yang kaget dan gugup sekarang justru dia sendiri.
“Duduk!” bentak Pho Ang-soat. Ji Khim lantas duduk.
Di atas sebuah meja kecil panjang pendek berukir kembang, permukaan meja dilapisi batu jade, terdapat sebuah kecapi, itulah Kiau-bwe-khim yang tiada bandingan di kolong langit sejak zaman dulu sampai sekarang.
“Silakan petik satu lagu untuk kudengar,” pinta Pho Ang-soat. “Ya,” Ji Khim mengiakan.
“Tring, creng,” senar kecapi mulai dipetik mengumandangkan suara yang merdu, lagu yang dipetik kali ini sudah tentu bukan lagi melankolik yang mendatangkan rasa perih dan kepedihan sehingga mengundang putus asa, namun irama kecapi sekarang bernada riang gembira dalam suasana kemewahan dan kemegahan, seumpama seorang yang sekarat dekat ajalnya, bila mendengar lagu ini pasti tidak ingin mati, demikian pula pemetiknya, sudah tentu dia tidak ingin mati. Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Apakah Kongcu Gi juga berada di sini?”
Ji Khim tidak langsung menjawab, namun irama kecapinya mendadak merendah lembut dengan tekukan suara yang seolah-olah menjawab, “Ya, benar.”
“Apakah dia pun ingin bertemu dengan aku?” tanya Pho ang-soat pula. “Ya, benar,” kembali suara kecapi mewakili Ji Khim menjawab.
Pho Ang-soat juga cukup ahli dalam mendengar nada lagu, baru saja dia hendak bertanya, di luar mendadak berkumandang suara yang aneh dan ganjil, nadanya sumbang, cepat dan cekak, runcing dan seram, meski terputus-putus tapi suara itu berbunyi terus.
Ji Khim tampak bergetar, mendadak senar harpanya putus dua utas. Suara nyaring melengking yang pendek dan cepat itu ternyata seperti membawa tenaga sedot yang luar biasa. Siapa pun yang mendengar suara ini seketika akan merasa tenggorokan kering, jantung berdebar lebih keras, perut seperti kejang dan mengkeret.
Pho Ang-soat pun tidak terkecuali.
Berubah rona muka Ji Khim, mendadak dia berjingkrak berdiri terus melangkah lebar keluar.
Pho Ang-soat tidak mencegah, selamanya dia tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu, dia harus tumplek seluruh perhatian dan semangatnya, sedapat mungkin untuk mempertahankan ketenangannya.
Senjata-senjata yang tergantung di atas dinding seperti memancarkan cahaya yang dingin, gambar lukisan sepanjang empat tombak tujuh kaki itu jelas adalah sebuah lukisan yang antik dan tak ternilai harganya. Tapi jangankan melihat, melirik sekali lagi pun tidak, dia harus mengkosentrasikan seluruh semangat, pikirannya tak boleh lena atau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya.
Tapi seolah-olah dia susah mengkosentrasikan diri, suara nyaring pendek dan runcing itu masih terus berbunyi, bagai sebuah palu besi sedang memukul urat syarafnya.
Ketika gelang pintu berbunyi karena tersentuh, baru Pho Ang-soat memperhatikan, di belakang masih terdapat sebuah pintu, seorang perempuan baju putih yang cantik tengah berdiri di luar pintu mengawasi cirinya, raut wajahnya kelihatan mirip dengan Coh Giok-cin, tapi dia bukan Coh Giok-cin.
Dia lebih cantik, lebih rupawan dari Coh Giok-cin, kecantikannya seperti agung dan segar, senyumannya welas asih dan lembut, gayanya lebih mempesona, tak urung Pho Ang-soat yang tidak doyan perempuan inipun melirik dua kali ke arahnya.
Kini dia sudah beranjak masuk, lalu menutup daun pintu dengan hati-hati, lewat di samping Pho Ang-hoat, lalu melangkah ke tengah ruangan. Baru kemudian membalik menghadapnya, katanya sambil tersenyum, “Aku tahu, kau inilah Pho Ang-soat. Tapi kau tidak tahu siapa aku adanya?” Suaranya seperti orangnya, agung dan lembut, namun kata-kata yang dilontarkan ternyata sederhana dan terus terang. Jelas dia bukan perempuan yang suka bermuka-muka, perempuan yang banyak tingkah.
Pho Ang-soat memang tidak tahu siapa perempuan ini.
Perempuan itu memperkenalkan diri, “Aku she Coh, boleh terhitung majikan perempuan tempat ini, maka kau boleh memanggilku Coh-hujin, kalau kau merasa panggilan ini berlebihan, boleh kau panggil aku apa saja, meja atau kursi juga tidak jadi soal.” Dia tersenyum lebih manis, “Meja memang adalah gelaranku, setiap teman baikku suka memanggil aku dengan gelaran itu.”
“Coh-hujin,” dingin suara Pho Ang-soat. Dia bukan teman perempuan ini, dia tidak pernah punya teman.
Sudah tentu Coh-hujin tahu maksudnya, tawanya tetap gembira, “Makanya orang sering bilang kau ini orang aneh, kau memang demikian.”
Pho Ang-soat diam saja, diam adalah pengakuan. Coh-hujin mengerling tajam, katanya, “Apa kau tidak ingin tanya kepadaku, pernah apa Coh Giok-cin dengan aku?”
“Tidak perlu aku bertanya.”
“Apa betul tiada sesuatu urusan di dunia ini yang dapat menyentuh sanubarimu?”
Pho Ang-soat tutup mulut, bila dia menolak menjawab suatu pertanyaan, biasanya dia bungkam, bibirnya dikatupkan rapat. Coh-hujin menghela napas, katanya, “Semula kupikir paling tidak kau pasti meneliti senjata-senjata yang ada di sini, bagi mereka yang pernah kemari, tiada satu pun yang tidak tertarik oleh koleksi senjata yang sekian banyaknya ini.” Memang jarang ada kesempatan sebaik ini bagi kaum persilatan umumnya.
Mendadak Coh-hujin membalik dan beranjak ke depan dinding, menarik sebatang pedang yang berbentuk kuno sederhana, warna hitam legam yang terbuat dari besi, katanya, “Kau kenal tidak siapakah yang menggunakan pedang ini?”
Hanya sekilas Pho Ang-soat melirik, segera menjawab pula, “Inilah pedang milik Kwe Siong-yang.” Sebetulnya dia tidak ingin bersuara, entah kenapa tak tertahan akhirnya dia bicara, karena dia tidak mau dianggap orang yang tidak punya pengetahuan.
“Memang kau berpandangan tajam,” puji Coh-hujin. Nada pujian lebih banyak dan merasa kagum, dahulu Siong-yang-thi-kiam malang melintang di kolong langit, di dalam daftar alat senjata tercantum nomor empat, memang hanya sedikit kaum persilatan yang tidak kenal pedang besi hitam ini.
Coh-hujin berkata, “Walau ini hanya pedang tiruan yang mirip dengan aslinya, tapi bentuk, bobot, panjang pendek dan ukuran tebalnya, malah bahan bukunya juga terbuat dari bahan yang sama, boleh dikata hampir seratus persen mirip dengan Siong-yang-thi-kiam.” Senyumannya menampilkan rasa bangga, “Sampai pun ronce pedang ini, juga dibuat sendiri oleh nyonya besar keluarga Kwe yang masih hidup sampai sekarang, kecuali pedang besi warisan keluarga mereka, di kolong langit ini mungkin takkan bisa ditemukan pedang kedua tiruan seperti ini.”
Dia gantung pedang besi itu di tempat asalnya, lalu menurunkan sebuah cambuk panjang, cambuk yang juga hitam mengkilap laksana seekor ular sakti.
Pho Ang-soat sudah bersuara sebelum ditanya, “Itulah gaman Sebun Yo, Pian-sin-coa-pian, dalam daftar senjata tercantum nomor tujuh.”
Coh-hujin tertawa, katanya, “Kalau kau mengenal cambuk ular ini, sudah tentu kau pun kenal Kim-kong- tho-koay milik Cukat Kong.” Dia kembalikan cambuk panjang, lalu mengambil sepasang Lui-sing-tui dari pinggir Kim-kong-thi-koay.
“Hong-bi-siang-liu-sing,” seru Pho Ang-soat, “dalam daftar senjata tercantum nomor tiga puluh empat.”
“Pandangan tajam,” puji Coh-hujin. Nada pujiannya bertambah tebal pula, mendadak dia beranjak ke pojok dinding mengambil sepasang gelang besi, katanya, “Dahulu Kim-ci-pang menggetarkan dan merajai Bu- lim. Sang Pangcu Siangkoan Kim-hong merajai dunia, inilah Liong-hong-siang-hoan miliknya.”
“Bukan,” seru Pho Ang-soat. “Bukan?” Coh-hujin melengak kaget.
“Itulah Te-jing-hoan (gelang banyak cinta), senjata tunggal dari murid Thi-hoan-bun dari barat laut.” “Senjata peranti membunuh orang, kenapa dinamakan gelang banyak cinta?”
“Karena begitu dia melilit atau menggantol senjata lawan, maka tidak akan terlepas lagi, bagai seorang dimabuk asmara.” Wajahnya yang pucat mendadak menampilkan mimik yang ganjil, lalu melanjutkan, “Lantaran cinta, seseorang bisa gila, umpama laut kering batu membusuk, cinta ini takkan berubah hingga ajal. Bukankah seorang yang dimabuk asmara juga sering membunuh orang.”
Coh-hujin menghela napas, katanya, “Cinta memang abadi, sebelum ajal cinta takkan padam, ada kalanya cinta bukan saja membinasakan orang lain, juga membunuh diri sendiri.”
“Kukira biasanya membunuh diri sendiri lebih besar kemungkinannya.”
Coh-hujin mengangguk perlahan, katanya, “Betul, biasanya memang sering membunuh diri sendiri.”
Keduanya berhadapan sekian lamanya, akhirnya Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, “Adakah senjata yang tidak kau kenal di sini?”
“Tiada,” sahut Pho Ang-soat.
“Setiap senjata yang ada di sini semua punya riwayat sendiri-sendiri, dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan, untuk mengenal mereka memang bukan suatu hal yang sukar.”
“Memangnya tiada sesuatu persoalan yang sulit di dunia ini?” “Sayang sekali ada sementara gaman yang sudah pernah menggetar dunia, membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun belum pernah ada seorang yang pernah melihat bentuk asli senjata itu, umpamanya...”
“Pisau terbang milik Li Sun-hoan.”
“Betul, pisau terbang milik Siau-li, selama disambitkan tak pernah luput, Siangkoan Kim-hong yang diagulkan tiada bandingan di kolong langit inipun akhirnya mampus oleh pisau terbang itu, memang patut diagulkan sebagai pisau nomor satu sejagat,” setelah menghela napas, dia menambahkan, “sayang sekali sampai detik ini tiada orang yang pernah melihat bentuk asli pisau itu.”
Pisau hanya berkelebat sekali, tahu-tahu sudah menancap di tenggorokan, lalu siapa dapat melihat bentuk pisau itu, entah panjang, pendek, tebal atau tipis bila jiwa orang itu sudah ajal oleh tusukan pisau itu?
Coh-hujin menghela napas, katanya, “Oleh karena itu, sampai sekarang hal ini masih merupakan teka-teki terbesar di kalangan Bu-lim, kami sudah berjerih-payah, mengorbankan banyak tenaga, pikiran dan harta benda, tetap tak berhasil membuat pisau terbang yang mirip aslinya, sungguh harus disesalkan.”
“Di antara sekian banyak senjata, kurasa masih kurang satu jenis senjata lagi.” “Khong-jiok-ling (bulu merak) maksudmu?”
“Betul.”
“Tiada sesuatu yang sempurna seratus persen di dunia ini, syukur akhirnya kami memiliki golok ini,” mendadak dia meraih sebatang golok hitam legam dari dinding.
Sinar berkelebat, golok itu sudah keluar sarung, bukan saja bentuk panjang, lebar dan bobotnya sama, sisi tajam goloknya pun terdapat tiga gumpilan.
Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, “Aku tahu golok ini bukan untuk pameran, mungkin kau sendiri pun jarang melihat atau memeriksanya.”
Saking pucatnya, kulit muka Pho Ang-soat menjadi bening seperti tembus cahaya, katanya dingin, “Aku tahu, ada kalanya sementara orang pun demikian.”
“Orang maksudmu?” Coh-hujin menegas.
“Sementara orang walau sudah menggetarkan Kangouw, membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun selamanya tiada orang pernah melihat wajah aslinya, umpamanya ...”
“Kongcu Gi?” “Betul, Kongcu Gi.”
Coh-hujin tertawa pula, katanya, “Apa betul selamanya kau tidak pernah melihatnya?” Tawanya seperti amat ganjil, amat misterius.
Tapi jawaban Pho Ang-soat ternyata amat cekak dan sederhana, “Tidak pernah.”
Coh-hujin tertawa, katanya, “Sekarang kau sudah berada di sini, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan dia, kenapa tergesa-gesa?”
“Sampai kapan baru dia mau menemui aku?” “Segera.”
“Kalau sudah menjelang, kenapa sampai sekarang dia masih sibuk berlatih mencabut golok?” demikian jengek Pho Ang-soat dingin. Suara yang sumbang, pendek dan nyaring menusuk itu masih terus berbunyi, sekali dan sekali terus berulang. Apakah itu suara golok tercabut dari sarung?
Pho Ang-soat berkata pula, “Permainan golok mempunyai ribuan perubahan dan laksaan variasi, mencabut golok tidak lebih hanya gerakan sederhana di antara permainan golok itu.”
“Gerakan itu berapa lama kau melatihnya?” tanya Coh-hujin. “Tujuh belas tahun,” jawab Pho Ang-soat.
“Hanya satu gerakan yang mudah dan sederhana itu, kau meyakinkan tujuh belas tahun?” “Aku amat gegetun kenapa tidak bisa berlatih lebih lama lagi.” “Kalau kau boleh meyakinkan selama tujuh belas tahun, kenapa dia tidak boleh latihan seperti itu?” “Karena umpama kau dapat berlatih satu dua hari lebih lama juga tak berguna.”
Dengan tersenyum Coh-hujin menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Pho Sng-soat, katanya, “Kali ini kau keliru.”
“Keliru?”
“Dia bukan sedang mencabut golok.” “Bukan?”
“Dia sedang mencabut pedang,” ujar Coh-hujin kalem. “Selama seratus tahun belakangan ini, ahli pedang di kalangan Kangouw sekarang selebat hutan, ilmu pedang yang baru diciptakan ada sembilan puluh tiga macam, ribuan perubahan laksaan variasi, masing-masing memiliki kelihaian dan keampuhannya sendiri, betapa aneh dan ganjil gerak permainannya, boleh dikata sukar dibayangkan dengan akal sehat, tapi gerakan mencabut pedang, kenyataan hanya ada satu macam.”
“Bukan hanya satu macam, tapi hanya satu macam yang paling cepat.”
“Tapi untuk menemukan yang paling cepat itulah yang bukan pekerjaan gampang.” “Gerakan yang paling sederhana adalah jenis yang tercepat itu.”
“Tapi harus melalui gemblengan ribuan perubahan dan laksaan variasi hingga akhirnya dibulatkan menjadi sederhana.”
Seluruh perubahan dalam permainan ilmu silat memang sukar untuk menelurkan perubahan yang tercepat itu.
Coh-hujin berkata, “Sudah lima tahun dia menggembleng diri, baru menemukan satu cara, hanya satu gerakan yang paling gampang, dia pun sudah berlatih selama tujuh belas tahun, sampai sekarang dia masih berlatih, setiap hari paling sedikit pasti berlatih tiga jam.”
Jari-jemari Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya, matanya mulai memicing sipit.
Coh-hujin menatapnya tajam, kerlingannya yang lembut dan hangat tadi kini berubah setajam pisau, katanya tegas, “Tahukah kau untuk apa dia menggembleng diri dengan latihan seberat itu?”
“Untuk menghadapi aku?” “Kau keliru lagi.”
“Oh?”
“Dia bukan harus menghadapimu, jadi bukan melulu untuk menghadapi kau seorang saja.”
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, katanya, “Ya, dia akan menghadapi seluruh jago-jago kosen di seluruh jagat ini.”
Coh-hujin manggut-manggut, katanya, “Betul, karena dia bertekad ingin menjadi orang nomor satu di seluruh jagat ini.”
Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya, “Memangnya dia berpendapat asal aku dikalahkan, maka dia bakal menjadi orang nomor satu di jagat ini?”
“Sejauh ini dia memang berpendapat demikian.” “Dia pasti keliru dan akan menyesal.”
“Kukira dia tidak salah.”
“Di kalangan Kangouw tak terhitung jago-jago kosen, terutama orang-orang pandai berjiwa aneh yang mengasingkan diri di atas pegunungan, entah betapa banyak di antara mereka yang memiliki kungfu lebih tinggi dari aku
“Tapi kenyataan sampai sekarang belum ada satu pun di antara mereka yang dapat mengalahkan engkau
...”
Terkatup mulut Pho Ang-soat, ini memang kenyataan. “Aku tahu, untuk mengalahkan kau memang bukan tugas yang mudah, dari sekian banyak orang yang pernah datang kemari, kau adalah satu yang paling istimewa.”
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya, “Sudah berapa banyak orang pernah datang kemari?”
Coh-hujin mengesampingkan pertanyaan ini, katanya, “Koleksi senjata yang tergantung di atas dinding, bukan saja dikumpulkan secara lengkap, semua adalah barang murni, bagi setiap insan persilatan, siapa takkan memandangnya beberapa kali, hanya kau seorang yang kelihatannya tidak tertarik sama sekali.” Setelah menghela napas, dia pun menyambung, “Dan anehnya, gambar lukisan inipun tidak kau pandang barang sekejap.”
“Kenapa aku harus melihatnya?”
“Bila kau mau melihatnya, kau akan paham sendiri.”
“Kalau akhirnya dia pasti akan melihatnya, kenapa harus terburu nafsu?” mendadak seorang menyeletuk.
Suara yang wajar dan sopan, menandakan bahwa orang ini berpendidikan dan tahu adat. Terlalu banyak adat adalah munafik, atau boleh dikata sebagai sikap yang berlebihan, suara ini justru kedengarannya membawa nada hangat penuh persahabatan yang simpati, dan simpati itu hampir mendekati kekejaman.
Jika dalam
mayapada ini terdapat suatu kekuatan yang mampu menghancurkan segala kehidupan dan benda yang ada, maka dapat dipastikan kekuatan itu akan timbul dari persahabatan yang simpati itu.
Hanya manusia macam Kongcu Gi saja yang mungkin mempunyai rasa simpati yang menakutkan ini. Jelas dia pun amat mengharapkan bertemu dengan Pho Ang-soat, dia tahu saat-saat pertemuan itu adalah saat- saat kehancuran pula, satu di antara kedua orang ini pasti akan runtuh dan hancur.
Sekarang dia sudah berada di belakang Pho Ang-soat, bila tangannya memegang pedang, sembarang waktu dia bisa menusuk ke tempat mematikan di tubuh Pho Ang-soat…..
*******************