Bab 18. Saat Cinta Mengental, Perasaan Pun Menipis
Kuah yang segar hangat terasa mengalir dalam tenggorokannya, perutnya yang mengkeret lambat-laun mulai mengendor, seperti tanah yang kering disiram air, mendapat kebutuhan yang mendesak.
Waktu pertama kali Pho Ang-soat membuka mata, pertama yang dilihatnya adalah tangan yang putih dan kecil. Tangan yang memegang sebuah sendok kecil sedang menyuapi kuah hangat itu ke dalam mulutnya.
Melihat dia membuka mata, segera dia mengunjuk senyum gembira, “Inilah kuah ayam yang sengaja kusuruh nenek sebelah yang mencuci pakaian itu menggodoknya, konon bisa menambah sehat badan, agaknya memang manjur.”
Pho Ang-soat ingin menutup mulut, tapi sesendok kuah yang kental kembali diangsurkan ke depan mulutnya, sungguh tidak enak dia menolak. Dengan tertawa dia berkata pula, “Kalau dibicarakan memang aneh dan lucu. Selama hidupku ini belum pernah aku merawat orang lain, juga tiada orang yang pernah memperhatikan diriku?”
Gubuk kecil ini hanya terdapat sebuah jendela kecil, sang surya tetap memancarkan cahayanya yang benderang di luar rumah. Pandangannya sudah beralih dari muka Pho Ang-soat, melongok mengawasi cahaya surya di luar jendela. Cahaya matahari benderang, namun sorot matanya malah guram. Apakah dia terkenang akan masa lalu, di kala dia hidup sebatangkara, tiada orang menjaga, merawat dan membimbingnya? Jelas masa lalu itu dirinya tidak menikmati hidup sengsara di bawah terik matahari, mungkin selama hidupnya dulu belum pernah sehari pun dia lewatkan di bawah pancaran sinar mentari.
Agak lama kemudian baru perlahan dia melanjutkan, “Sekarang baru aku tahu, peduli kau dirawat orang atau orang merawatmu, ternyata begitu ... adalah peristiwa yang baik.”
Dia gadis yang tidak pernah mengecap pendidikan, tidak banyak yang diketahuinya, maka cukup lama kemudian baru dia merasa tepat menggunakan “baik” itu untuk melukiskan perasaan dirinya.
Pho Ang-soat dapat memaklumi perasaannya, jelas itu tidak cukup dilukiskan dengan huruf “baik” belaka. Karena di dalamnya mengandung kepuasan, selamat dan bahagia, karena dia merasa selanjutnya dirinya tidak akan kesepian. Bukan berarti dia mendambakan perawatan dan perlindungan orang lain, namun asal dirinya bisa merawat orang lain, maka hidupnya ini sudah puas, sudah senang.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Siapa namamu? Nama aslimu sendiri.”
Dia tertawa pula, dia senang bila orang lain bertanya namanya, karena ini pertanda dia sudah menganggap dirinya sebagai manusia. Seorang manusia tulen, seorang yang berdikari, bukan lagi sebagai alat orang lain, juga bukan barang permainannya. Dengan tertawa dia berkata, “Aku she Ciu, bernama Cui-thing, dulu orang sering memanggil aku Siau-thing.”
Pertama kali ini Pho Ang-soat menemukan tawanya yang tulus dan wajar, karena dia sudah mencuci bersih pupur dan gincu di muka dan bibirnya, yang tampak sekarang adalah wajahnya yang asli. Dia tahu Pho Ang-soat sedang mengawasi dirinya. “Di waktu aku tidak merias diri, apakah wajahku tidak kelihatan seperti nenek?”
“Tidak mirip,” sahut Pho Ang-soat.
Tawa Siau-thing lebih riang, katanya, “Kau memang seorang yang aneh, aku tidak mengira kau datang mencariku.” Lalu keningnya berkerut, “Waktu kau datang, keadaanmu amat menakutkan, semula aku mengira kau sudah hampir mati, apa pun yang kutanyakan, kau bilang tidak tahu, tapi begitu aku menyentuh golokmu, lantas mau memukulku.” Matanya lantas menatap golok hitam di tangannya itu.
Pho Ang-soat diam saja, dia pun tidak bertanya lagi, sudah lama dan biasa dia menghadapi gerakan tutup mulut orang lain. Maka terhadap persoalan apa pun, dia tidak pernah memberikan harapan yang besar. Terhadap dunia yang tidak kenal kasihan ini hakikatnya dia sudah tidak mempunyai angan-angan dan tiada mendambakan apa pun. Sampai pun siapa namanya dia pun tidak bertanya, karena ....
“Aku tahu kau adalah orang baik, meski pernah memukulku sekali, namun kau tidak menghina dan menganiayaku seperti laki-laki lain, tanpa sebab kau sudah memberi aku uang sebanyak itu.” Bagi dirinya, kejadian ini sudah merupakan budi besar dan menenteramkan hatinya, sudah cukup untuknya merasa berhutang budi dan berterima kasih selamanya.
“Uang yang kau berikan itu, sepeser pun tidak kugunakan, umpama setiap hari makan ayam juga cukup digunakan sampai lama, maka kau harus tinggal di sini, setelah penyakitmu sembuh baru kau boleh pergi.” Lalu dia genggam tangan Pho Ang-soat, “Jika sekarang kau mau pergi, pasti aku amat sedih, amat sengsara.”
Bagi pandangan orang lain dia adalah perempuan jalang yang rendah dan hina, untuk lima tahil bersedia menjual diri, tapi terhadap Pho Ang-soat dia tidak memohon apa-apa, asal dia diberi kesempatan untuk merawatnya, maka hatinya akan puas. Dibanding perempuan yang menganggap dirinya suci dan agung, lalu siapa lebih suci? Lebih agung? Siapa pula yang hina-dina?
Dia menjual diri karena dia harus hidup, memangnya siapa yang tidak ingin hidup? Pho Ang-soat memejamkan mata, mendadak dia bertanya, “Di sini ada arak tidak?” Siau-thing menjawab, “Aku tidak menyimpan arak, tapi aku bisa pergi membelinya.” “Baik, kau beli, aku tidak pergi.”
Orang sakit tidak boleh minum arak, kenapa dia mau minum? Apakah lantaran hatinya dirundung kerisauan dan derita? Tapi minum arak bukan cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan, apa manfaatnya minum arak terhadap dirinya?
Hal ini Siau-thing tidak pernah memikirkan, biasanya dia memang jarang menggunakan otak, memang tiada yang perlu dipikir, keinginannya pun tidak besar. Asal dia mau tinggal di sini, dirinya disuruh beli apa pun tidak menjadi soal.
Manusia hidup harus mengobarkan semangat mengejar cita-cita, lakukan apa yang ingin kau lakukan secara sadar, tidak boleh patah arang, menyesali nasib sendiri dan menjebloskan diri ke lumpur yang lebih dalam. Tidak pernah dia mau memahami nasehat atau petuah ini.
Karena dia sudah lama bernapas dalam lumpur, sudah lama bergelimang kotoran dalam kehidupan yang serba jorok ini, selama ini belum pernah ada seorang pun yang memberi kesempatan kepadanya, supaya dia merangkak keluar, membersihkan badan dan berdiri.
Bagi dirinya, jiwa dan kehidupan tidak seruwet yang dianggap dan dipandang orang lain, kehidupan bukan sesuatu yang mahal, tinggi nilainya. Kehidupan tidak pernah memberikan manfaat apa-apa bagi dirinya, kenapa pula dia harus menaruh banyak harapan dan mengejar angan-angan?
Pho Ang-soat sudah mabuk, entah berapa kali dia jatuh bangun, berapa kali mabuk? Orang bila mabuk, maka dia pasti akan melakukan banyak perbuatan yang mengherankan, perbuatan di luar nalar manusia.
Tapi dia tidak menyesal, tidak mengeluh, tidak bertobat. Dia menerima dan menerima. Dia minta arak, segera dia beli, beli sekali dan sekali lagi, ada kalanya tengah malam buta-rata terpaksa dia harus menggedor pintu warung arak. Bukan saja dia tidak pernah mengomel, mengeluh, keinginannya pasti dituruti, tidak pernah dia menunjukkan sikap kurang senang.
Cuma belakangan ini bila dia pergi membeli arak, cukup lama baru pulang, padahal letak penjual arak tidak jauh jaraknya.
Ada kalanya otak Pho Ang-soat jernih dan sadar, namun tidak pernah dia bertanya kenapa dia pergi begitu lama? Padahal uang yang dia berikan hari itu hanyalah pecahan uang perak yang tidak seberapa jumlahnya, karena hanya itu pula miliknya. Selama ini dia hidup miskin, semiskin dirinya yang sebatangkara ini. Tapi dia tidak pernah bertanya darimana dia mendapat uang untuk membeli arak. Dia tidak boleh bertanya, tidak berani bertanya.
Siau-thing juga tidak pernah tanya tetek-bengek, namun pernah melimpahkan sepatah kata yang takkan pernah terlupakan selama hidupnya.
Malam itu dia minum arak, malam sudah larut, setelah agak sinting dia berkata, “Walau aku tidak tahu apa- apa, aku tahu kau pasti amat menderita.”
Menderita? Apakah perasaannya sekarang cukup dilukiskan hanya dengan “menderita” saja?
Suatu hari dia kelihatan gembira, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya, sengaja dia membeli arak lebih banyak dari biasanya, malah dia pun membeli seekor ayam babon gemuk yang belakangan ini sudah jarang mereka nikmati bersama.
Tapi waktu dia pulang, si dia sudah pergi. Pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
Botol arak jatuh dan hancur berantakan, dia berdiri menjublek di pinggir ranjang, dari siang sampai malam, bergeming dari tempatnya pun tidak. Di atas bantal masih tertinggal seutas rambutnya, dia menggulungnya, lalu dibungkus serta disembunyikan dalam dadanya, lalu dia keluar membeli arak pula.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Seorang selama hidup berapa kali akan merayakan ulang tahun? Kenapa dia tidak boleh mabuk?
Pho Ang-soat tidak mabuk, selama dua hari ini dia tidak mabuk.
Selama dua hari ini dia terus melangkah ke depan tak pernah berhenti, bukan saja tanpa tujuan, juga tidak menentu arahnya. Hanya satu keinginannya, lekas pergi, pergi ke tempat yang jauh, meninggalkan dia makin jauh makin baik.
Mungkin mereka sudah terbenam, tapi dia tidak tega untuk menyeretnya lebih dalam. Perpisahan memang mendatangkan duka-lara, tapi dia masih muda, betapapun besar derita itu akhirnya juga akan silam, akhirnya akan lekas dilupakan. Ketahanan orang muda terhadap penderitaan biasanya memang lebih kuat, bila terseret lagi, kemungkinan dia tidak akan bisa bangkit lagi.
Bila lelah, dimana saja dia boleh merebahkan diri untuk tidur, lalu mulai melangkah pula ke depan. Sebutir nasi pun tidak masuk perutnya, dia hanya minum sedikit air. Jenggotnya sudah tumbuh kasar seperti duri landak, dari jauh sudah tercium bau apek dan busuk badannya.
Dia sedang menyiksa diri, menyiksa diri sendiri dengan sekuat tekadnya. Sekarang hampir tak terpikir lagi “si dia” dalam benaknya, hingga suatu saat dia mendadak menemukan selembar sapu tangan kecil di dalam bajunya.
Sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah, itulah salah satu di antara benda miliknya yang paling berharga. Sapu tangan itu membungkus lembaran uang kertas yang jumlahnya tidak kecil dan beberapa keping emas murni.
Uang dan emas ini dia temukan di tubuh Jari telunjuk yang hari itu meregang jiwa, dia menyimpannya ke dalam saku, kejadian itu sudah lama dia lupakan. Waktu penyakitnya kumat, sekujur badan bergetar, meronta dan berkelejetan, hingga barang-barang dalam kantongnya tercecer keluar, Siau-thing memungut dan mengumpulkannya serta membungkusnya dengan sapu tangan sutra dihiasi bunga warna merah yang amat disayanginya ini.
Demi mengejar lima tahil perak dia rela menjual dirinya, malah demi memperoleh imbalan sebotol arak. Tapi barang-barang berharga ini, jangan kata menyentuh, memakainya, menyinggung pun dia tidak pernah. Dia rela menjual diri sendiri, sepeser pun tidak menggunakan uangnya. Hati Pho Ang-soat seperti disayat-sayat, mendadak dia berjingkrak serta berlari pula seperti banteng kesurupan, berlari balik ke arah gubuk kecil itu.
Tapi dia sudah tidak di sana.
Di depan gubuk kecil itu berjejal banyak orang, berbagai jenis manusia, di antaranya masih ada opas yang berseragam biru bertopi tinggi dengan bulu angsa terselip di pinggir topinya.
“Apakah yang terjadi?” dia bertanya pada orang, orang itu tidak menghiraukan dirinya, untung seorang pengemis yang setengah sinting mendeprok di tanah menganggap dia sebagai kawan sejenis.
“Gubuk ini sebetulnya ditinggali seorang pelacur, kemarin malam ternyata dia minggat, maka tuan opas memburu kemari hendak menangkapnya.
“Kenapa dia akan ditangkap? Kenapa dia melarikan diri?” “Karena dia membunuh orang.”
Membunuh orang? Gadis yang bajik, lemah dan harus dikasihani itu bagaimana mungkin berani membunuh orang? “Siapa yang dia bunuh?”
“Juragan arak di ujung gang luar itu,” si pengemis bicara sambil mengepal tinju. “Babi gendut itu memang pantas dibuat mampus.”
“Kenapa harus membunuhnya?”
“Dia sering ke sana membeli arak, semula membeli dengan uang, tapi dia minum terlalu banyak, hingga lupa melayani lelaki, bila sudah ketagihan arak, terpaksa dia barter, dengan kemulusan tubuhnya dia membarter sebotol arak, menyerahkan dirinya kepada babi gendut itu.”
Pengemis itu tertawa, katanya, “Karena babi gendut itu tidak tahu apa kerjanya, maka dia menaksirnya, kemarin malam entah kenapa seorang diri dia lari ke warung arak itu dan minum di sana, minum sepuasnya, minum sampai mabuk, sudah tentu babi gendut itu amat senang, dia mengira memperoleh kesempatan baik, mumpung dia mabuk, maka dia ingin menunggangi genduk manis itu. Siapa tahu meski biasa dia menjual diri, justru tidak menyerah kepada babi gendut itu, di waktu babi gendut itu menggunakan kekerasan, dia ambil golok jagal di atas meja terus membelah batok kepala babi gendut itu hingga mampus seketika.”
Pengemis ini masih ingin bercerita, tapi orang yang mendengarkan ternyata sudah lenyap entah kemana. Terpaksa pengemis itu tertawa getir sambil geleng-geleng, gumamnya, “Memang banyak kejadian aneh di zaman ini, seorang pelacur ternyata telah membunuh orang daripada dia harus mencopot celana, coba bayangkan apakah tidak lucu dan menggelikan?”
Sudah tentu pengemis ini merasa lucu dan geli, tapi kalau dia tahu seluk-beluk dan asal mula serta latar belakang peristiwa ini, mungkin dia akan mendekam di tanah menangis tergerung-gerung.
Pho Ang-soat tidak menangis, tidak meneteskan air mata.
Warung arak di ujung gang itu sedang berduka cita, tapi Pho Ang-soat menerobos masuk, diambilnya seguci arak, mulut guci dia tabas remuk dengan telapak tangannya. Tiada orang berani mencegahnya, lalu seguci arak itu ditenggaknya sendiri sampai habis, lalu dia roboh terkapar di pinggir selokan di sebuah lorong.
Entah kenapa dia tidak menjajakan dirinya lagi?
Entah kenapa dia lari ke warung arak itu minum sendirian sampai mabuk, namun pantang diperkosa oleh babi gendut itu?
Sebetulnya lantaran apa dia berbuat demikian? Siapa tahu? Mendadak Pho Ang-soat menjerit keras, “Aku tahu ... aku tahu.”
Kalau sudah tahu memangnya kenapa? Setelah tahu hatinya hanya akan lebih menderita, dia sudah lari, tapi kemana dia bisa lari? Paling dari mulut buaya ini ke mulut buaya yang lain, bukan mustahil nasibnya akan lebih jelek, lebih menderita daripada mulut buaya semula.
Pho Ang-soat masih ingin minum, dia belum mabuk, karena dia masih bisa memikirkan beberapa hal ini. Karena siapa Bing-gwat-sim dan Yam Lam-hwi mati?
Karena siapa Siau-thing harus melarikan diri? Segera dia meronta bangun dengan langkah sempoyongan menerobos keluar ke jalan besar, kebetulan seekor kuda sedang dibedal di tengah jalan raya. Kuda gagah itu terkejut sampai meringkik, penunggangnya membentak murka sambil melecutkan cambuknya.
Cambuk lemas selincah ular itu ternyata sudah terpegang oleh jari-jari tangan Pho Ang-soat. Meski sedang mabuk, sedang kalap dan menyiksa diri sendiri sedemikian rupa, betapapun dia tetap Pho Ang-soat.
Penunggang kuda itu menarik cambuknya sekuat tenaga, tiada seorang pun yang mampu merebut sesuatu dari tangan Pho Ang-soat. “Taaaas”, cambuk itu patah. Pho Ang-soat masih berdiri tidak bergeming, sebaliknya penunggang kuda itu terjengkang ke belakang terus terjungkal dan jatuh telentang dari pelana. Ternyata reaksinya cukup cekatan, sebelum punggungnya menyentuh bumi, kakinya sudah memancal pedal hingga tubuhnya melejit mumbul dan bersalto sekali di tengah udara.
Kuda itu berlari ketakutan, orang itu kini sudah berdiri tegak di tempatnya, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tidak memandangnya, melirik pun tidak.
Sekarang yang terpandang dalam pelupuk matanya hanyalah seguci arak, seguci arak yang dapat membuatnya mabuk dan melupakan segala derita dan nestapa ini. Dia beranjak pergi dari depan orang ini, gaya langkahnya memang berat dan aneh, kaku lagi.
Sorot mata orang ini mendadak memancarkan cahaya aneh, pandangan ganjil seperti mendadak dia melihat setan menakutkan, namun segera dia berteriak, “Tunggu dulu!”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan seruannya.
Mendadak orang itu membalik tangan mencabut pedang, dengan gesit pedangnya menusuk iga Pho Ang- soat. Gerakannya enteng, cepat dan lincah, jelas dia seorang ahli pedang yang tangguh di Bu-lim. Tapi ujung pedangnya masih terpaut tujuh dim dari badan Pho Ang-soat, golok Pho Ang-soat sudah berkelebat. Sinar golok menyambar, darah pun menyembur, batok kepalanya ternyata sudah terbelah dua.
Sebelum orangnya roboh, golok sudah kembali ke dalam sarungnya, ternyata langkah Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa, melirik pun tidak ke arah korbannya.
Dia membunuh orang, membunuh ada berbagai cara. Belum pernah dia membunuh orang dengan cara sekeji ini, dia membunuh karena terpaksa, karena didesak oleh keadaan. Padahal dia bukan seorang algojo, seolah-olah bukan dia yang membelah kepala orang itu.
Kalau bukan dia, lalu siapa?
“Dia mengambil golok jagal di atas meja, sekali bacok dia membelah kepala babi gemuk itu menjadi dua”. Sudah jauh dia melangkah, mayat orang yang barusan terbunuh sudah tidak kelihatan, tapi mendadak dia berhenti, lalu muntah-muntah.
Setelah habis isi perutnya, sudah tentu dia harus minum, yang diminum jauh lebih banyak dari yang dimuntahkan.
Malam telah larut, dalam warung itu ternyata masih banyak orang, karena siapa pun dia bila sudah masuk kemari, maka dia dilarang pergi. Karena Pho Ang-soat sudah sesumbar, “Aku yang mentraktir, kalian harus menemani aku minum, siapa pun tidak boleh pergi.”
Badannya membawa bau busuk dan anyirnya darah, tapi tangannya juga menggenggam segebung uang kertas dan kepingan emas.
Bau badannya cukup membuat orang mual dan benci, bau darah menciutkan nyali orang, sebaliknya segebung uang membuat orang menaruh hormat dan munduk-munduk kepadanya, karena itu tiada seorang pun yang berani pergi.
Secangkir dia habiskan, hadirin juga harus menghabiskan secangkir. Dari luar ternyata masuk lagi dua orang, hakikatnya dia tidak melihat orang macam apa sebetulnya kedua orang ini.
Tapi kedua orang ini menatapnya malah, satu di antaranya melangkah maju dan duduk di depannya.
“Hayo keringkan!” diangkatnya satu cangkir, lalu dihabiskan sekali tenggak, ternyata hadirin tiada yang melihat kehadirannya, melirik pun tiada.
Mendadak orang itu tertawa bingar, katanya, “Bagus, kau kuat minum.” “Ehm, ya, aku kuat minum.”
“Kuat minum, permainan golokmu juga hebat.” “Ilmu golok hebat,” ujar Pho Ang-soat.
“Kalau tidak salah kau pernah bilang, ilmu golok yang dapat membunuh orang adalah ilmu golok yang bagus,” kata orang itu. “Aku pernah bilang demikian?”
Orang itu manggut-manggut, mendadak bertanya, “Tahukah kau siapa yang kau bunuh tadi?” “Tadi aku pernah membunuh orang? Siapa yang kubunuh?”
Orang itu menatapnya, sorot mata yang mengandung tawa sinis, tawa yang menghina, tawa yang menggugah seorang yang sudah mabuk, katanya, “Yang kau bunuh tadi adalah saudara tua iparmu.”
Pho Ang-soat mengerut kening, seperti memeras otak memikirkan bagaimana dirinya bisa punya saudara tua ipar?
Orang itu segera mengingatkan, “Memangnya kau sudah lupa bahwa kau pernah kawin? Engkoh binimu bukankah saudara tua iparmu?”
Pho Ang-soat berpikir pula sekian lamanya, lalu manggut-manggut dan menggeleng pula seperti mengerti, tapi juga seperti tidak paham.
Mendadak orang itu menuding orang yang datang bersama dia, serunya, “Tahukah kau siapa dia?”
Yang datang bersama dia adalah seorang perempuan, berdiri dekat meja kasir di kejauhan sana, dengan dingin dia menatap Pho Ang-soat.
Perempuan ini masih muda, sangat cantik, rambutnya yang mengkilap legam, matanya yang bening bercahaya, gadis idaman setiap orang tua yang mendambakan putri secantik ini, lelaki mana yang tidak senang punya adik seayu ini, gadis rupawan yang ingin dimiliki oleh setiap pemuda yang sudah mulai kasmaran.
Tapi waktu dia menatap Pho Ang-soat, pandangannya penuh memancarkan rasa benci dan dendam. Akhirnya Pho Ang-soat juga menatapnya sekilas, seperti kenal tapi juga seperti tidak mengenalnya.
Orang itu tertawa, katanya, “Gadis itu adalah adik binimu.” Kuatir Pho Ang-soat tidak paham segera dia menjelaskan, “Adik binimu juga adik ipar, adik lelaki yang kau bunuh tadi.”
Pho Ang-soat mulai minum lagi, keadaannya seperti ruwet, makin bingung dan kacau, dia ingin minum sebanyaknya supaya otaknya jernih, pikirannya terbuka.
Orang itu bertanya pula, “Tahukah kau, apa yang ingin dia lakukan sekarang?” Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Orang itu berkata, “Dia ingin membunuhmu.”
Mendadak Pho Ang-soat menghela napas, gumamnya, “Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?”
Orang itu tertawa, katanya, “Memang betul, dalam rumah ini duduk tiga belas orang, paling sedikit ada tujuh orang ingin membunuhmu.”
“Aku sudah mati?”
“Kau belum mati, karena mereka menunggu bila kau sudah mabuk baru akan turun tangan.”
“Menungguku mabuk?” gumam Pho Ang-soat pula. “Bagaimana mungkin aku bisa mabuk, minum tiga hari tiga malam aku juga tidak akan mabuk.”
Orang itu menyeringai, ujarnya, “Umpama harus menunggu tiga hari tiga malam juga sia-sia belaka, maka sekarang mereka siap turun tangan.”
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara “prang”, sebuah cangkir arak terbanting hancur di lantai. Orang yang semula memegang cangkir, sekarang sudah memegang golok pembelah gunung yang tebal punggungnya.
*******************
Waktu orang ini menerjang ke arah Pho Ang-soat, sebatang tombak berantai, sebilah Tan-ling-to dan sebatang Siang-bun-kiam sudah menerjang tiba bersama. Pemuda yang berpedang itu matanya merah membara, mulutnya mendesis geram, “Tangan hitam menuntut balas, saudara-saudara persilatan yang tiada sangkut-pautnya jangan turut campur.”
Sebelum habis dia bicara, mendadak dia tertegun, demikian pula keempat temannya menjublek. Kelima orang ini seperti mendadak berubah menjadi patung batu, semua berdiri tegak tak bergerak, karena senjata di tangan mereka mendadak telah lenyap. Lima batang senjata mereka ternyata sudah pindah ke tangan orang yang duduk di depan Pho Ang-soat.
Begitu kelima orang ini bergerak, dia pun bergerak, tangan kiri menepuk pundak, sementara tangan kanan sudah merebut gaman orang. Kelima orang ini merasa pandangannya mendadak kabur, di tengah berkelebatnya bayangan orang, senjata di tangannya ternyata sudah lenyap.
Sebat sekali orang itu sudah duduk kembali di kursinya, perlahan dia taruh kelima batang senjata itu di atas meja, lalu berkata dengan tersenyum, “Aku bukan orang persilatan, tentu aku boleh turut campur.”
Pemuda berpedang itu mendamprat gusar, “Siapa kau?” “Namaku biasanya tidak kuberitahu kepada orang mati.” “Siapa orang mati?” semprot pemuda itu.
“Kau,” jawab orang itu tegas. Sebetulnya dia masih berdiri diam di tempatnya, tapi begitu lenyap suaranya, kelima orang itu mendadak berubah pucat air mukanya, darah sekujur badannya mendadak mengalir kering, tulang belulangnya pun seperti dibetot. Laki-laki yang masih segar dan kuat, mendadak berubah menjadi kuyu dan kering, mendadak roboh semuanya.
Ternyata Pho Ang-soat seperti tidak melihat kejadian ini.
Orang itu menghela napas, katanya, “Kuwakili kau membunuh orang-orang ini, umpama kau tidak merasa berhutang budi dan tidak mengucap terima kasih kepadaku, paling tidak kau harus memuji tindakanku.”
“Kenapa aku harus memuji?”
“Memangnya kau tidak tahu dengan kungfu apa aku membunuh mereka?” “Aku tidak tahu.”
“Itulah salah satu dari dua jenis ilmu yang masih diwarisi umat persilatan dari Thian-te-kiau-ceng-im-yang- toa-pi-jiu.”
“O? Masa?”
“Inilah Thian-coat-te-biat Toa-siu-hun-jiu.” “O?”
“Masih ada sejenis lagi, ialah yang sudah kau yakinkan, yaitu Thian-ih-te-coan Toa-ih-hiat-hoat,” dengan tertawa dia lalu meneruskan, “kau bisa menggeser Hiat-to satu dim dari tempat semula, sedikitnya kau sudah sembilan puluh persen meyakinkan ilmu ini, sudah mendekati kesempurnaan.”
“Dan kau? Kau siapa?” tanya Pho Ang-soat.
Orang itu menjawab, “Aku adalah To-jing-jin dari Sing-siok-hay barat, paling tidak aku lebih punya cinta daripada kau.”
Akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala, menatapnya, seperti baru sekarang dia tahu di depannya duduk satu orang. Senyum orang ini lembut dan ramah, wajahnya alim, alisnya tegak berdiri, kelihatannya memang seorang yang romantis, laki-laki yang gampang menanam cinta dimana dia berada.
“To-jing-jin (orang yang kebanyakan cinta) juga membunuh orang?”
“Bila cinta sudah kental cinta akan luntur, lantaran cintaku terlalu banyak terlalu kental, maka sekarang lebih tipis dari kertas,” To-jing-jin tersenyum, “tapi selamanya belum pernah aku membunuh orang tanpa alasan. Kubunuh mereka, karena aku tidak ingin kau mati di tangan mereka.”
“Kenapa?” tanya Pho Ang-soat.
“Karena aku mengharap kau mati di tanganku saja.” “Apa benar itu keinginanmu?”
“Begitu besar keinginanku sampai aku sendiri ingin mati.” Perempuan yang berdiri jauh di depan meja kasir mendadak buka suara, “Karena bila dia bisa membunuhmu, maka aku akan kawin dengan dia.”
“Coba lihat,” ucap To-jing-jin, “usiaku sudah tiga puluh lima, sampai sekarang belum punya bini, sudah tentu belum punya anak, ajaran leluhur mengatakan tidak punya keturunan tanda tak berbakti terhadap orangtua, yakin kau tidak ingin aku ini menjadi laki-laki yang tidak berbakti bukan?”
“Dia pasti membantu usahamu,” seru gadis muda itu. “Bagaimana kau tahu?” tanya To-jing-jin.
Gadis itu bilang, “Aku pernah melihat dia turun tangan tiga kali, goloknya semula memang seperti dihuni oleh setan.”
“Tapi sekarang?” To-jing-jin menegas.
“Setan di goloknya itu sekarang sudah pindah ke sanubarinya.” Sengaja To-jing-jin bertanya, “Bagaimana bisa pindah?”
“Karena dua hal.”
“Karena arak dan perempuan maksudmu?”
Gadis itu mengangguk, “Karena kedua hal ini, dahulu agaknya dia pernah hampir mati sekali.” “Tapi kenyataan sekarang dia masih hidup.”
“Karena dia punya seorang kawan.” “Yap Kay?”
“Sayang, sekarang Yap Kay entah berada dimana?”
“Kalau begitu bukankah keadaannya sekarang amat berbahaya?” “Bahaya sekali!”
“Menurut penilaianmu apakah aku mampu melawan goloknya?”
“Toa-siu-hun-jiu bila kau lancarkan, setan pun dapat kau tangkap, apalagi sebatang golok yang tidak dihuni setan.”
“Umpama aku mampu menangkap goloknya, bukankah tanganku akan tertabas buntung?” “Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Karena caramu menangkap berbeda, bahwasanya tanganmu tidak usah menyentuh goloknya.” “Berapa lama aku bisa menangkapnya?”
“Tak usah lama-lama, karena waktu itu sebelah tanganmu yang lain sudah merenggut nyawanya.” “Kalau begitu bukankah orang ini sudah tamat?”
“Dia masih punya setitik harapan.” “Harapan apa?”
“Asal dia mau memberitahukan dua hal kepada kita, kita tidak usah menyentuhnya.” “Dua hal apa?”
“Dimana bulu merak sekarang? Dimana Thian-te-kiau-ceng-im-yang-toa-pi-jiu?”
“Jika dia memiliki bulu merak, kalau sudah meyakinkan ilmu di dalam Toa-pi-jiu itu, bukankah kita sendiri yang bakal tamat?”
“Mungkin tangannya sekarang sudah tidak setenang dulu, sudah tidak mampu menggunakan Khong-jiok- ling (bulu merak), walau dia sudah meyakinkan Toa-ih-hiat-hoat, tapi sudah tidak sempat atau tidak mampu meyakinkan ilmu yang lain.”
“Dilihat keadaannya memang jelas tak mungkin dia meyakinkan ilmu yang lain.” “Ya, hanya minum arak saja satu-satunya kepandaian yang masih dia pelajari.” “Pelajaran minum arak agaknya cukup baik latihannya.”
“Sayang sekali manfaat satu-satunya dari kungfu ini adalah merubah dia menjadi setan arak, setan arak yang mampus.”
Setiap patah kata pembicaraan kedua orang ini laksana jarum yang menusuk hulu hatinya, seolah-olah mereka ingin sekaligus menusukkan jarum sebanyak itu ke hulu hatinya supaya dia tersiksa, menderita, makin lemah, supaya semangatnya runtuh.
Sayang jarum-jarum tajam itu justru seperti menusuk di atas permukaan batu, karena Pho Ang-soat tidak memberi reaksi sedikitpun. Pho Ang-soat sudah pati rasa. Maksud pati rasa adalah sudah tidak jauh dari runtuh total, tidak jauh dari kematian.
To-jing-jin menghela napas, katanya, “Gelagatnya dia sudah bertekad tidak mau buka mulut?”
Gadis itu menghela napas, katanya, “Mungkin dia ingin menunggu setelah jiwa menjelang mangkat baru mau buka mulut.”
“Apakah sekarang belum tiba saatnya?”
“Bila kau turun tangan, maka tibalah saatnya.”
Maka To-jing-jin turun tangan, tangannya putih dan lencir, mirip jari-jari tangan perempuan. Gerakan tangannya pun gemulai dan lembut, seperti gadis yang sedang memetik kembang, kembang kecil yang segar namun gampang rontok.
Betapapun perkasanya seorang, di bawah tangannya dia akan berubah selemah kembang yang rontok ini. Kelihatan tangannya bergerak lamban, namun laksana sorotan sinar yang lembut, bila sudah melihatnya ternyata dia sudah tiba.
Tapi tidak demikian kali ini, sebelum tangannya tiba, golok sudah keluar dari sarangnya. Sinar golok berkelebat, maka tangannya seperti juga kelopak kembang yang rontok tadi, ternyata dia betul-betul menangkap golok itu. Apakah sebelah tangannya akan segera merenggut nyawa Pho Ang-soat? Seperti tadi dia merenggut sukma dan mengeringkan darah orang-orang itu tadi?
Jari-jari tangan rontok seperti kelopak kembang, tangan yang merenggut sukma. Golok yang tak mampu dipegang oleh manusia, tapi terpegang oleh tangan yang satu ini. Sayang sekali tangan menakutkan macam apa pun, berada di bawah golok ini, maka dia akan menjadi lemah dan mudah rontok seperti kelopak kembang itu.
Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat. Tangan sudah terbelah menjadi dua, batok kepala juga terbelah menjadi dua.
Mata gadis itu terbelalak besar membundar, pelupuk matanya kedutan, mulut pun terkancing.
Bahwasanya dia tidak melihat golok itu, tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya, seperti kilat berkelebat lenyap ditelan kegelapan, tiada orang dapat melihatnya. Dia hanya melihat wajah Pho Ang-soat yang pucat bening.
Pho Ang-soat sudah berdiri, melangkah pergi, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan berat. Langkahnya kelihatan sempoyongan, ternyata dia sudah mabuk. Segala sesuatu dari gerak-geriknya, sikap dan keadaannya yang mabuk ternyata tampak amat menakutkan.
Saking takut terasa darah sendiri seperti hampir beku, tapi dia mendadak tertawa, katanya, “Apa kau tidak mengenalku? Aku adalah Ni-jisiocia, Ni Hwi, bukankah kita teman baik?”
Pho Ang-soat tidak menghiraukan dia, hanya menatapnya canang, mengawasi orang lewat di depannya, sorot matanya dibayangi rasa
ketakutan. Apa pun yang terjadi dia tidak bisa membiarkan laki-laki ini hidup di dunia ini, selama laki-laki ini hidup, dia akan mati, mati di tangannya.
Keputusannya ini mungkin tidak tepat, tidak benar, padahal gadis ini berotak cerdik pandai, tapi rasa takut kadang kala bisa menyebabkan kesadaran orang pudar, seorang bisa kehilangan pikiran jernih karena takut, tapi dia tidak pernah lupa bahwa dirinya adalah Thian-hoa-li. Kecuali dirinya, tiada orang kedua di dunia Kangouw yang bisa menggunakan senjata rahasia yang ampuh dan ganas ini.
Senjata rahasia itu disambitkan, bukan saja kelopak kembang dapat melukai orang, di dalam kelopak kembang ternyata tersembunyi pula jarum-jarum beracun yang mematikan. Seluruhnya Ni Hwi hanya membawa tiga belas kuntum Thian-hoa-li, dia tidak membawa terlalu banyak Am-gi. Dengan senjata rahasianya ini seluruhnya dia baru pernah memakainya tiga kali, setiap kali memakai hanya menggunakan sekuntum. Sekuntum sudah lebih dari cukup untuk menamatkan jiwa musuh.
Tapi sekarang tiga belas kuntum itu dia timpukkan seluruhnya, lalu tubuhnya melejit mundur ke belakang, umpama serangannya gagal, paling tidak dia bisa mengundurkan diri. Selama ini dia amat bangga akan Ginkangnya sendiri, sayang sekali golok sudah keluar saat itu juga…..
*******************