Tiba-tiba mimik mukanya menunjukkan perubahan yang aneh, katanya lagi, "Aku dengar di situ terdapat sejenis monyet yang aneh, konon meski berbadan monyet tapi berkepala manusia."
"Kepala manusia bertubuh monyet?" Yap Kay tertegun.
"Benar, bahkan pandai pula berbicara." "Ah, mana mungkin di dunia ini terdapat
monyet jenis seperti itu" sahut Yap Kay dengan
wajah sangsi, "apakah kau pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
"Belum pernah! Tapi anak-anak yang tinggal di Lhasa pernah bersumpah kepadaku bahwa mereka pernah bertemu, malah pernah mendengar monyet itu berbicara."
Bila seorang kakek aneh berusia seratus tahun, sebuah kebun yang penuh dengan monyet dan sejenis monyet berkepala manusia yang dapat berbicara digabungkan menjadi satu, akan muncul gambaran seperti apa?
"Aku malah pernah mendengar bahwa dalam kebun monyet itu tinggal pula sepasang suami istri kecil mungil serta seorang nona cilik," kembali So Ming-ming melanjutkan perkataannya. "Sepasang suami istri kecil mungil dan seorang nona cilik?" bisik Yap Kay cepat, dia semakin tertarik kisah ini.
"Itulah sebabnya sewaktu kudengar kau bercerita tentang Pek Ih-ling serta kakek tua Ong, dalam benakku segera terlintas kebun monyet itu," kata So Ming-ming, "kau menyinggung tentang sepasang suami istri kerdil itu, aku semakin yakin Pek Ih-ling sebetulnya adalah si nona cilik yang tinggal dalam kebun monyet."
"Ehm, ada kemungkinan benar," Yap Kay manggut-manggut setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba So Ming-ming berbisik, "Kau ingin melihat keadaan di situ?"
"Melihat apa?"
"Melihat kebun monyet, sekalian melihat si monyet yang pandai berbicara."
Mau! Sudah pasti mau! Kalau tak mau berarti dia adalah kura-kura.
Malam itu, sesudah meninggalkan ruang gedung utama, Pho Ang-soat berjalan menuju ke kamar tidurnya, tapi dia sama sekali tidak tidur.
Begitu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, ia segera melesat keluar lagi lewat jendela dan melayang naik ke atap rumah, di situ ia menunggu dan melakukan pengamatan, setelah yakin semua orang telah kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, baru ia meluncur ke kamar tidur Be Hong-ling. Jangan dilihat sewaktu berjalan gerak-geriknya begitu lamban dan berat, begitu menggunakan Ginkangnya, ia bergerak sangat indah dan cepat.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia melayang masuk ke dalam kamar Be Hong-ling, begitu melompat turun dia pun mendekam tanpa bergerak, menunggu matanya sudah dapat menyesuaikan diri dengan kegelapan di situ, perlahan-lahan baru dia berjalan menuju pembaringan dan merebahkan diri.
Begitu badannya rebah, dia pun memejamkan mata, seolah-olah maksud kedatangannya ke situ adalah untuk tidur.
Benarkah dia datang ke sana untuk tidur?
Malam ini berbintang, tapi sayang cahaya bintang amat redup, ada rembulan tapi sinar rembulan pun suram, begitu suram dan redup.
Rembulan tiada bersuara, begitu pula dengan sang bintang.
Suasana di dalam kamar Be Hong-ling pun sangat hening, benarkah Pho Ang-soat telah tertidur?
Kini tengah malam sudah lewat, memang saat paling nyenyak untuk tidur, tapi saat yang paling tepat juga untuk mereka yang berjalan malam mulai beroperasi.
Dari balik kertas putih pada daun jendela tiba- tiba muncul seseorang, ia berhenti sejenak seakan sedang memastikan adakah orang di dalam kamar, sesaat kemudian baru ia berlalu dari situ.
Di bawah cahaya rembulan kembali muncul seseorang yang mengenakan Ya heng ih (pakaian berjalan malam) dan berkerudung hitam sehingga hanya terlihat sepasang matanya yang tajam.
Kini sepasang mata itu sedang mengawasi ruang dalam, cahaya rembulan yang redup hanya sempat menyinari meja dan bangku, namun tak mampu menjangkau ranjang di sudut dinding.
Sekilas perasaan puas melintas di balik mata orang berbaju hitam itu, dengan sekali lompatan ia sudah menerobos masuk ke dalam kamar, merapatkan kembali daun jendela dan secepat kilat tubuhnya telah menerjang ke depan meja rias.
Tampaknya dia sangat hapal dengan segala sesuatu yang berada di situ, tangannya langsung membuka laci ketiga di sisi kiri meja, kemudian mengambil sesuatu.
Tanpa diperiksa lagi benda itu dimasukkan ke dalam saku, seusai menutup kembali lacinya, dia membalikkan tubuh siap kabur dari sana.
Mendadak ia menyadari sesuatu, ia saksikan seseorang telah berdiri menghadang tepat di depan jendela.
Orang yang berdiri di hadapannya mempunyai mata yang sangat hitam, namun sinar matanya begitu dingin, paras mukanya pucat-pasi, tangannya pun putih memucat, hanya golok dalam genggamannya yang berwarna hitam pekat.
Begitu hitam pekat seakan datangnya kematian!
Sebelum orang berbaju hitam itu mendekati kamar, Pho Ang-soat sudah mengetahui kehadirannya, di balik kegelapan secara lamat- lamat ia dapat melihat sekulum senyuman dingin yang menghiasi ujung bibirnya.
Tujuan kedatangannya malam ini ke kamar Be Hong-ling tak lain karena hendak menunggu saat seperti ini, setelah melakukan permainan 'memungut rambut putih' dari lantai, dia percaya dan yakin malam ini sang pembunuh pasti akan melakukan aksinya.
Ternyata apa yang diduganya tidak keliru.
Kini walaupun dia telah saling berhadapan dengan orang berbaju hitam yang cuma nampak matanya ini, ternyata Pho Ang-soat masih belum bisa menebak siapa gerangan dirinya, tapi ada satu hal yang pasti adalah orang itu lelaki.
Sesaat setelah kedua orang itu saling tatap, dengan cepat orang itu membalikkan badan dan berlari menuju ke arah lain, siapa tahu baru saja tiba di depan pintu, lagi-lagi Pho Ang-soat telah berdiri menanti di situ.
Sorot mata yang dingin dengan golok berwarna hitam pekat. "Kau tidak patut melakukan hal ini," tegur Pho Ang-soat dingin.
"Aku tidak patut?"
"Kau tidak patut melimpahkan semua kesalahan dan dosamu ke pundakku," ucap Pho Ang-soat lambat, seolah kuatir pihak lawan tidak memahami perkataannya.
Tiba-tiba saja orang itu bungkam, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya yang berkedip tak tenang, seakan sedang memeras otak, seperti juga ketakutan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, tiada kilatan sinar mata, dia hanya memandang orang itu dingin dan hambar.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya sambil menghela napas panjang perlahan-lahan orang itu melolos sebilah golok dari belakang punggungnya.
Sebilah golok dengan taburan mutiara pada gagangnya, golok yang bersinar tajam.
Ketika dia mengawasi golok dalam genggamannya, seolah sedang mengawasi sang kekasih, sambil membelai gagang goloknya dengan penuh kasih sayang, ujarnya lembut, "Aku berlatih golok sejak usia lima belas tahun, kini umurku lima puluh dua tahun, berarti sudah tiga puluh delapan tahun lamanya aku melatih diri," gumam orang itu, "hampir setiap hari aku bermimpi bisa menjadi jago golok tercepat di kolong langit." Asal kau adalah orang persilatan, siapa pun pasti mempunyai keinginan seperti itu.
"Tapi aku tahu, mustahil impianku menjadi kenyataan... karena aku kelewat suka menikmati hidup."
Dari bentuk senjatanya saja orang sudah tahu.
Golok dipakai untuk membunuh, bukan melambangkan status dan kedudukan.
Tapi golok bertaburkan permata miliknya kadangkala justru tak sanggup menghadapi sebilah golok biasa.
Apalagi jika golok itu golok hitam yang berada di tangan Pho Ang-soat.
Biar berbeda bentuk, namun kedua bilah senjata itu mempunyai kegunaan yang sama, keduanya sama-sama golok, keduanya sering dipakai untuk membunuh orang.
Sinar sebening permata memancar dari balik mata orang itu.
"Setelah impian pertama susah terwujud, tentu aku masih punya impian kedua," katanya, "hanya sayang impianku yang kedua pun tampaknya susah untuk terwujud."
"Trang...!" Suara golok tercabut dari sarungnya bergema hampir bersamaan selesainya kata- katanya, begitu golok dicabut, sinar mata kepedihan terpancar dari balik matanya. Semacam kepedihan yang tak mungkin bisa terlupakan untuk selamanya.
Dia meraung keras, tiba-tiba mengayunkan goloknya. Di saat golok diayunkan, saat itulah kematian menjelang tiba. Di saat ia mencabut golok, Pho Ang-soat tidak bergerak. Di saat dia mengayunkan goloknya, Pho Ang-soat masih juga tidak bergerak.
Sampai mata goloknya tinggal lima inci dari tenggorokan Pho Ang-soat pun seolah belum juga bergerak, sebab dia sama sekali tidak melihat adanya kilatan cahaya golok.
Dia hanya mendengar satu suara yang sangat ringan, halus, lembut, indah dan seakan suara golok di kejauhan sana.
Menanti ia mendengar suara golok itu, Pho Ang-soat telah lenyap dari pandangan matanya, dia telah kehilangan lawan, langit, bumi, sinar matanya dan segala sesuatu yang dimilikinya.
Dia hanya menjumpai tubuhnya sudah tergeletak di tengah genangan darah, Pho Ang- soat berdiri persis di hadapannya.
Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menangkap perasaan sedih dan secercah perasaan iba dari balik mata Pho Ang-soat yang dingin.
Apa yang dia sedihkan? Sedih karena membunuhnya? Kenapa dia harus iba? Iba karena harus membunuh orang berbaju hitam itu? Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, tiba- tiba ia berseru sambil tertawa tergelak, "Bila kau tidak melepaskan kain kerudung wajahku, kujamin kau tak bakal bisa menebak siapakah diriku."
"Aku tahu, aku tahu siapakah kau," jawab Pho Ang-soat singkat.
"Kau tahu?" orang itu nampak terkesiap, "kau tahu siapakah aku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya sorot matanya dialihkan ke butiran mutiara yang kini tergeletak di tengah genangan darah.
Babatan golok Pho Ang-soat tadi bukan saja telah merobek tenggorokan orang berbaju hitam itu, merobek juga pakaiannya.
Benda yang baru saja diambil orang itu dari laci, kini sudah tergeletak di tengah genangan darah segar.
Biar darah berwarna merah, mutiara itu masih memantulkan cahaya yang berkilauan.
Tertegun orang itu memandang mutiara di tengah genangan darah, kemudian baru ia berkata perlahan, "Ternyata kau memang sudah tahu siapa aku."
Pho Ang-soat tidak menjawab, namun perasaan iba semakin tebal memancar dari balik matanya.
Dengan tangan kirinya yang gemetar orang itu memungut mutiara itu dari genangan darah. Cahaya mutiara gemerlap bagai cahaya bintang, sementara darah segar memerah bagai bunga mawar, butiran darah masih mengucur dari mulut luka, membasahi mutiara itu dan menetes ke tengah genangan.
Dengan tangan kanannya orang itu melepas kerudung mukanya, kemudian membungkus mutiara itu, membungkus dengan hati-hati, seolah bungkusan itu adalah hadiah yang akan diberikan kepada kekasih hat inya.
Cahaya rembulan bagai kerlingan mata sang kekasih, memancar di wajah orang itu.
Ternyata orang yang tak mungkin bisa mewujudkan impian keduanya ini tak lain adalah Loh Loh-san.
Selesai membungkus mutiara itu, Loh Loh-san menyodorkan bungkusan itu sambil berkata, "Impianku tak mungkin bisa terwujud, maukah kau menyerahkan bungkusan ini kepadanya?"
"Baik."
Pho Ang-soat menerima bungkusan itu, bahkan dengan tegas berjanji, "Aku pasti akan menyerahkan sendiri ke tangannya."
"Terima kasih."
Itulah perkataan terakhir yang diucapkan Loh Loh-san sebelum akhir hidupnya.
Mengawasi Loh Loh-san yang mati dengan membawa kelegaan, cahaya pilu semakin kental memancar dari balik mata Pho Ang-soat. Ternyata kedatangan Loh Loh-san ke kamar tidur Be Hong-ling bukan lantaran dia pembunuhnya, tapi ia datang untuk menghilangkan barang bukt i.
Dia datang ke sana karena ingin mengambil mutiara itu. Dia ingin memberikan benda itu untuk seorang nona yang cantik dan masih muda, gadis yang menurutnya bakal menyukai dirinya.
Mengawasi mayat Loh Loh-san yang mulai membujur kaku, Pho Ang-soat seolah mendengar kata-kata Pek Ih-ling semalam, "Biarpun orang muda lebih tampan dan gagah, sayang dalam hal ekonomi mereka lemah!"
Ternyata gara-gara perkataan itulah kematian telah menimpa dirinya!
Ternyata Loh Loh-san menyangka dewa cinta telah memilih dirinya, ternyata dia datang ke situ hanya ingin mencuri mutiara dan menyerahkan kepada Pek Ih-ling.
Apakah perbuatannya merupakan penampilan perasaan cintanya? Tak tahan Pho Ang-soat menghela napas panjang.
Bila orang berkata bahwa cinta yang sesungguhnya hanya terjadi satu kali, tak mungkin untuk kedua kalinya, maka apa yang telah ia katakan tadi memang sangat masuk akal.
Karena cinta adalah sesuatu yang gampang berubah sifat, dapat berubah menjadi cinta karena persahabatan, sebagai saudara, bahkan dapat juga berubah menjadi benci dan dendam. Sebab antara cinta dan benci sebetulnya hanya dipisahkan oleh pikiran sesaat.
Apa pun yang dapat berubah biasanya gampang pula terlupakan.
Di saat perasaan cinta pertama mulai memudar, terkadang bakal muncul cinta kedua, perasaan cinta kedua seringkah akan berubah menjadi semurni, sedalam, semesra dan sependerita perasaan cinta pertama.
Cinta pun tidak membatasi usia, penyakit menular ini bisa meracuni kaum muda, dapat pula meracuni mereka yang sudah dewasa bahkan yang sudah tua.
Biarpun anak muda lebih berani menyatakan cinta, lebih berani menyataan benci, bahkan ungkapan cinta mereka lebih panas dan bergairah, namun orang dewasa pun terkadang mudah tergila-gila, mudah terbuai gara-gara pengaruh cinta.
Baik dia tua maupun muda, menghadapi perasaan cinta biasanya akan bersikap lebih jujur.
Dia akan mencintai dengan sepenuh hati, tidak segan mencintai dengan taruhan nyawa.
Sayangnya bagi sementara orang tua, kejujuran cinta mereka biasanya justru dimanfaatkan oleh pihak lain.
Bukan cuma dimanfaatkan orang, malah terkadang dimanfaatkan juga oleh diri sendiri. Loh Loh-san adalah contoh yang jelas tentang hal ini.
Dia sangka Pek Ih-ling menaruh perasaan terhadapnya, maka dengan perasaan jujur dan tulus dia bersiap menerima luapan rasa cinta itu.
Tapi akhirnya dia harus kehilangan nyawa, harus mengalami nasib tragis.
Ternyata cinta dapat menciptakan segalanya, dapat memusnahkan segalanya pula.
Ya cinta! Segala sesuatunya hanya gara-gara cinta!
Hari telah terang tanah.
Sinar kepedihan belum luntur sama sekali dari sorot mata Pho Ang-soat.
Kepedihan hatinya bukan lantaran kematian Loh Loh-san, tapi karena perasaan cinta yang tak berdaya.
Dia pernah mengalami pengalaman pahit seperti itu, dia pun pernah merasakan gejolak perasaan yang tak berbendung, kobaran emosi yang membuatnya tak segan mengorbankan segala sesuatu.
Biarpun segala sesuatunya sekarang sudah sejauh taburan bintang di langit, namun masih tertanam dalam lubuk hatinya, bagai kutu yang siang malam selalu menggerogoti tubuhnya.
Dia tak tahu sampai kapan dirinya baru bisa lolos dari semua penderitaan itu.
Mengikuti munculnya sinar fajar, Pho Ang-soat menggeliat sambil mengendorkan tubuhnya yang kaku, tiba-tiba pandangannya terhenti pada secercah cahaya matahari yang menembus masuk lewat jendela, tiba-tiba saja ia teringat pada kumpulan cahaya yang memancar dari balik gundukan tanah.
"Tidakkah kau merasa bahwa semua kunci persoalan terletak pada gundukan tanah itu?"
Itulah ucapan Yap Kay semalam sebelum meninggalkan dirinya, sekalipun bukan terhitung ucapan yang menyadarkan dia dari impian, tak dapat disangkal petunjuk itu memang ada benarnya.
Langit mulai terang, dari kejauhan terdengar ayam berkokok, namun jagad raya masih gelap gulita, seakan masih terlelap dalam t idurnya.
Pho Ang-soat melompat turun dari atas ranjang, golok hitam pekat masih tergenggam di tangan kirinya.
Hitam pekat bagai kematian, hitam pekat bagai langit malam yang tiada tepian.
Dengan langkah kakinya yang aneh dan bebal dia menuju pintu kamar, belum lagi membuka pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Apakah pintu itu terbuka oleh hembusan angin?
Ataukah ada seseorang mendorongnya?
Ternyata yang mendorong pintu adalah si kakek kerdil Tui hong siu, si kakek pengejar angin.
Pho Ang-soat tidak kaget, sedikit perasaan kaget pun tak ada, dia seolah sudah menduga Tui hong siu bakal membuka pintu pada saat itu.
"Selamat pagi!" sapa Tui hong siu sambil tertawa. "Ada urusan?" tegur Pho Ang-soat ketus.
"Tentu saja ada, kalau tak ada urusan buat apa pagi-pagi sudah berdiri menunggu di depan pintu kamar orang."
Pho Ang-soat bergeser ke samping membiarkan Tui hong siu masuk, kemudian setelah duduk di hadapan tamunya baru ia bertanya, "Ada urusan apa?"
"Sudah lama aku kawin dengan si nenek tua, sayangnya jangankan punya anak, bertelur sebutir pun tak pernah, itulah sebabnya kami selalu menyayangi Pek Ih-ling bagaikan menyayangi anak kandung sendiri."
Tui hong siu berhenti sejenak menarik napas, kemudian lanjutnya, "Itulah sebabnya urusan perkawinannya merupakan masalah besar bagi kami, bukankah untuk itu kami harus bersikap lebih serius?" "Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
"Tentu saja ada. Jika Siau ling-ji memilih kau, bukankah antara kau dan kami jadi ada sangkut- pautnya."
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
"Bagi kami, latar belakang dan asal-usul bukanlah masalah yang penting," ujar Tui hong siu lagi, "bagi seorang wanita, kebahagiaan hiduplah segalanya, asal sang suami mencintainya dan tahu bagaimana menyayangi, hal itu jauh lebih penting. Tentu saja selain kebahagiaan, suaminya pun harus seorang lelaki yang memiliki kondisi kesehatan prima, hanya dari tubuh yang primalah akan lahir keturunan yang prima juga."
Dari nada bicara Tui hong siu, dia seolah sudah menganggap Pho Ang-soat sebagai suami Pek Ih- ling.
"Suami yang sehat merupakan kebahagiaan bagi sang istri," kata Tui hong siu sambil tertawa, "sejak zaman dulu sudah begitu, aku percaya selanjutnya pun akan begitu."
Ia memandang Pho Ang-soat sekejap sambil tertawa, kemudian lanjutnya, "Oleh karena demi kebahagiaan Siau ling-ji di kemudian hari, kami wajib melakukan pemeriksaan lebih dulu atas kesehatan suaminya, dalam hal ini kau setuju bukan?" "Ada satu hal aku tak tahu, apakah kau pun sudah memikirkan dengan jelas?" perlahan Pho Ang-soat berkata.
"Hal apa?"
"Kalian seenaknya bicara seolah segala sesuatunya bisa dilakukan semaumu sendiri, pernahkah kalian pertimbangkan pihak lawan merasa keberatan?"
"Tak bakal ada yang keberatan, apalagi Siau ling-ji kami begitu cantik dan menawan, syarat yang dia miliki pun sangat mendukung, hanya orang tolol yang bakal menampik tawarannya."
"Kebetulan saat ini kau telah menjumpai satu di antaranya," kata Pho Ang-soat dingin. Selesai berkata dia pun beranjak meninggalkan ruangan itu.
Tui hong siu tidak menghalangi, namun katanya, "Kusarankan kepadamu untuk mendengarkan dulu satu hal sampai selesai sebelum mempertimbangkan akan pergi atau tidak."
"Katakan!" kata Pho Ang-soat sambil menghentikan langkahnya.
"Biarpun pada lima puluh tahun berselang nama kami suami istri sudah termashur dalam dunia persilatan, tapi sejak mengundurkan diri dari keramaian dunia pada tiga puluh tahun lalu, jarang sekali kami mencampuri urusan dunia persilatan, dengan sendirinya perkembangan ilmu silat kami pun ikut terhambat," kata Tui hong siu hambar, "terlebih dengan munculnya jago-jago muda dalam Bu-lim, jelas kehebatan orang sekarang jauh melebihi kemampuan orang-orang dulu."
Ia bangkit, perlahan-lahan berjalan menuju ke hadapan Pho Ang-soat, lalu katanya lagi, "Sekalipun begitu, apabila keadaan mendesak, terpaksa kami suami istri tetap akan turun tangan juga, biar tak sanggup mengungguli lawan, meski kami harus tewas gara-gara perbuatan ini, kami tetap rela dan ikhlas melakukannya."
Sambil menatap wajah Pho Ang-soat, ujarnya, "Sekarang kau sudah memahami maksudku bukan?"
Maksud perkataan itu jelas sekali, jika dia masih ngotot ingin pergi atau tetap menolak, terpaksa kita harus bertarung.
Pho Ang-soat mengerti, tentu saja Tui hong siu juga mengerti, melihat Pho Ang-soat sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun sehabis mengucapkan perkataan tadi, tanpa terasa sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Mendadak terdengar Pho Ang-soat berkata, "Biarpun aku bukan orang Ouwlam, tapi sayang watakku seperti keledai."
Lalu dia bertanya, "Di sini? Sekarang?"
Mau bertarung di sini? Atau ganti tempat lain?
Tentu saja Tui hong siu mengerti maksud perkataan itu, tak heran senyumannya langsung membeku, hanya sorot mata tajam yang terpancar keluar.
Tiada angin yang berhembus, udara seakan menjadi beku dalam waktu sekejap.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak, pancaran sinar matanya tetap dingin.
Tui hong siu juga tidak bergerak, sepasang tangannya dibiarkan terkulai ke bawah.
Biarpun belum pernah ada berita dalam dunia persilatan tentang jenis senjata andalannya, tapi Pho Ang-soat tahu dia bersenjata, sebab ia telah merasakan hawa membunuh yang terpancar dari senjatanya.
Hawa pedang yang lebih dingin dari salju, hawa pedang itu terpancar dari tubuh Tui hong siu, ternyata tubuh orang itu jauh lebih tajam daripada sebilah pedang.
Tubuh kakek kecil itu memang merupakan sebilah pedang!
Sejak terjun ke dunia Kangouw belasan tahun berselang, boleh dibilang musuh macam apa pun pernah dijumpainya, tentu saja di antara mereka terdapat juga jago pedang yang tersohor akan kehebatannya.
Ada sementara orang memiliki ilmu pedang yang ringan dan gesit, cepat, telengas dan ganas. Siapa pun dia, biasanya keangkerannya baru terwujud setelah melancarkan serangan dengan jurus pedangnya. Tapi kini bukan saja Tui hong siu belum melancarkan serangan, bahkan seperti apakah bentuk pedangnya pun tak ada yang tahu, tapi Pho Ang-soat dapat merasakan tekanan hawa pedang yang mengerikan.
Tiada hembusan angin, tapi ujung baju Tui hong siu berkibar dan menari, kakinya sama sekali tak bergerak, tapi Pho Ang-soat merasa seakan-akan ia sedang bergeser.
Pho Ang-soat bisa merasakan hal seperti itu karena Tui hong siu telah mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya, seluruh kekuatan telah diubah menjadi hawa pedang, yang membuat orang lain hanya bisa merasakan tekanan hawa pedangnya dan melupakan keberadaannya.
Tubuhnya telah menyatu dengan pedangnya, membaur ke seluruh ruangan, membaur ke seluruh jagad raya, oleh karena itulah di saat dia tak bergerak, ia seolah-olah sedang bergerak, di saat dia bergerak justru seolah-olah tidak bergerak.
Akhirnya Pho Ang-soat menyadari kehebatan Cianpwe itu sebagai seorang jago pedang memang bukan nama kosong belaka.
Menanti Pho Ang-soat bergerak, keadaan sudah terlambat, seluruh tubuhnya sudah terkurung di bawah tekanan hawa pedang Tui hong siu.
Selama hidup sudah ratusan kali dia menghadapi musuh, dalam setiap pertarungan dia selalu menunggu sampai pihak musuh turun tangan lebih dulu, goloknya baru melancarkan serangan balasan, sebab ilmu golok yang dipelajarinya adalah ilmu golok yang mengendalikan gerak dengan gerak, dengan lambat mengatasi kecepatan.
Tapi kali ini dia benar-benar menyesal mengapa tidak turun tangan lebih dahulu.
Tiba-tiba ia merasakan ilmu golok yang dilatihnya selama ini telah kehilangan daya guna, telah kehilangan manfaat di hadapan Tui hong siu.
Di saat Pho Ang-soat menyesal mengapa tidak mencabut goloknya terlebih dulu, dan pada saat Yap Kay menyaksikan Gwe-popo memasuki warung bakmi, tanah gundukan yang telah digali Yap Kay di dalam hutan lebat itu telah terjadi perubahan.
Gua yang semula kosong itu mendadak mengeluarkan bunyi yang sangat aneh, seolah- olah ada seseorang sedang memutar roda gigi sebuah mesin.
Menyusul kemudian bergema suara mencicit aneh dan terlihatlah seekor monyet melompat keluar dari balik gua, melompat keluar dari gua itu dan berdiri di sisinya sambil celingukan.
Monyet itu memiliki sepasang mata yang jeli dan tajam, setelah memeriksa sekejap sekitar tempat itu, dia langsung berlari menuju ke arah hutan belantara. Baru satu tombak monyet itu kabur, tiba-tiba dari dalam gua meluncur seutas tali, "Sret!", tali itu dengan cepat membelenggu tubuh monyet yang sedang kabur itu.
Dengan sepasang tangannya monyet itu berusaha melepas tali yang membelenggunya, tapi bagaimana pun dia menarik, usahanya tak berhasil. Akhirnya dengan gelisah binatang itu berteriak-teriak sambil melompat ke sana kemari.
Tiba-tiba dari balik gua yang gelap berkumandang suara seorang tua dan lemah tak bertenaga, "Sayangku, jangan lari sembarangan di luar, lebih baik bermain dalam rumah saja."
Seusai berkata, tali itu segera ditarik kembali dan monyet itu pun langsung berseret balik ke dalam gua.
Kembali terdengar suara roda besi sedang berputar.
Tak selang berapa saat kemudian, hutan itu sudah hening kembali, seakan-akan belum pernah terjadi sesuatu di tempat itu.
Tangan itu putih memucat, tapi telapak tangannya terasa dingin membeku.
Golok berwarna hitam pekat masih berada dalam genggaman tangan yang dingin dan kaku itu.
Saat ini bukan saja telapak tangan Pho Ang- soat telah basah oleh keringat dingin, bahkan jidatnya juga telah dibasahi oleh keringat, kini dia benar-benar sudah tertekan oleh hawa pedang lawan hingga susah untuk bernapas.
Sepasang tangan Tui hong siu masih terkulai lurus ke bawah, kakinya sama sekali tak bergerak, namun seluruh jagad raya seolah sudah tercekam dalam keseriusan, udara terasa makin berat.
Dengus napas Pho Ang-soat makin memburu dan kasar, dia sadar posisinya saat itu sangat gawat, tak mungkin baginya untuk bertahan lebih lama lagi.
Tapi dia sama sekali tak mampu bergerak, sekalipun bisa juga percuma, sebab begitu ia bergerak, kematian pasti akan tiba.
Bagaimana kalau tidak bergerak? Tidak bergerak pun sama saja hasilnya, tetap mati.
Yap Kay dan So Ming-ming telah berada dalam perjalanan menuju ke kota Lhasa.
Siang baru saja menjelang, matahari memancarkan cahayanya yang amat terik.
Sejauh mata memandang hanya lautan pasir berwarna kuning yang menyelimuti seluruh jagad.
Bumi begitu tak berperasaan, gersang, sepi, ganas, dingin yang menggigilkan, panas yang menyengat... namun sekalipun bumi tak berperasaan, ada pula bagian lain yang menyenangkan, persis seperti kehidupan manusia. Dalam perjalanan hidup, manusia seringkah harus menghadapi kendala dan masalah yang tidak berkenan, masalah yang susah diurai, susah dicerna.
Akan tetapi kehidupan manusia tetap menawan, tetap menarik untuk dijalani.
Yap Kay berjalan bersanding So Ming-ming melewati gurun nan gersang, sejauh mata memandang hanya terik matahari menyinari jagad.
"Setelah berjalan satu jam lagi, kita akan tiba di suatu tempat," ujar So Ming-ming.
"Tiba dimana? Kebun monyet?"
"Bukan, kita akan tiba di Sumbatan leher." "Sumbatan leher?"
"Sebuah tempat yang harus dilewati bila ingin menuju ke kota Lhasa," So Ming-ming menerangkan sambil menerawang ke tempat jauh, "konon ditempat itulah berbagai setan dan iblis sering berkeliaran."
"Oya?"
"Semua orang Tibet yang hendak melalui Sumbatan leher, selalu jalan berombongan, bahkan sepanjang jalan harus menyebar Gincoa (uang untuk orang mati)."
"Kenapa?"
"Untuk menyuap setan iblis itu." "Tak kusangka, ternyata setan iblis pun perlu sogokan duit," seru Yap Kay sambil tertawa.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik pandangan matanya, sambil berpaling ia bertanya, "Jalan atau tidak?"
"Apa itu jalan atau tidak?"
"Kalau jalan terus berarti kita harus menunggu di sini, menunggu sampai ada orang baru melanjutkan perjalanan dengan berombongan."
"Kalau tidak dilanjutkan, berarti kita balik ke kota?" tanya Yap Kay lagi.
"Benar."
Yap Kay tidak langsung menanggapi pertanyaan itu, dia alihkan pandangan matanya, memandang rentetan pegunungan yang terbentang di depan mata, sampai lama kemudian baru ia menjawab, "Jalan!"
"Sungguh?" "Sungguh."
"Baik, kalau begitu kita dirikan tenda di sini, menunggu sampai tibanya rombongan lain."
"Tidak, sekarang juga kita berangkat," perlahan Yap Kay berkata.
"Berangkat sekarang juga? Hanya kita berdua?" tanya So Ming-ming tertegun.
Yap Kay tidak menjawab, dia hanya manggut- manggut. "Selama ini belum pernah ada orang berani melewati Sumbatan leher hanya berdua seperti kita sekarang," So Ming-ming menerangkan.
"Tapi mulai sekarang ada," tukas Yap Kay sambil tertawa, "bukankah segala sesuatu harus dimulai dari yang pertama? Biarlah kita yang memulai, masakah kau tidak gembira dengan kejadian seperti ini?"
"Mantap, mantap setengah mati!"
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dia sudah mengikuti Yap Kay berangkat menuju ke Sumbatan leher.
Sebenarnya dalam hati setiap orang pasti terdapat "sumbatan", suatu sumbatan yang sulit ditembus.
Bila kau ingin menembus sumbatan itu, maka kau pasti akan melukai juga perasaan orang lain.
Bila dalam hati terdapat sumbatan, orang itu pasti akan merasa amat sedih. Tapi bila orang itu berada dalam sumbatan, dia tak bakal merasa sedih lagi.
Orang yang sedang sedih seringkali ingin mati, tapi orang yang sudah mati tak bakal sedih lagi.
Hanya orang mati yang tak akan merasa sedih.
Udara terasa membeku, seluruh angkasa diliputi keseriusan dan ketegangan yang luar biasa. Semua benda, semua kehidupan di alam jagad seakan-akan telah berhenti bergerak, berhenti bernapas.
Tui hong siu tidak bergerak, terlebih Pho Ang- soat.
Namun terlepas apa pun yang sedang berlangsung di alam jagad, bumi tetap berputar....
Hanya saja gerak putaran dilakukan lambat, lambat sekali, itulah sebabnya tempat yang semula tidak terjangkau cahaya, lambat-laun tersinar juga semuanya.
Deretan pegunungan menjulang tinggi ke angkasa, tebing yang terjal berdiri tegak lurus, hanya sebuah jalan sempit yang terbentang di antara bebatuan yang tajam.
Yap Kay dan So Ming-ming telah tiba di lembah curam Sumbatan leher itu.
Batu cadas yang tajam menjulang ke angkasa bagaikan taring serigala yang siap menerkam mereka, siapa pun yang tiba di tempat semacam itu, sedikit banyak pasti akan bergidik, detak jantung mereka pasti akan berdebar keras.
Yap Kay merasa debar jantungnya berdetak lebih cepat ketimbang biasanya, begitu keras hingga So Ming-ming pun mendengar suara detak jant ungnya itu.
Maka sambil tertawa geli tegurnya, "Akhirnya kau tahu juga di sini sebenarnya tak ada setan iblis atau siluman apa pun, tapi orang lain tak bakal berani melalui tempat ini seorang diri."
Bila musuh bersembunyi di sekitar sana dan menyerangmu secara tiba-tiba di saat kau sedang lewat, maka tak ayal lagi kau pasti akan tersumbat dan tercekik mampus di situ, ibarat ada tali gantungan yang menjirat lehermu.
Menyumbat leher, memutus napas dan menggantung tubuhmu hingga mati, itulah arti sebenarnya dari Sumbatan leher.
Yap Kay memperhatikan sekejap sekeliling sana, lalu sahutnya sambil tertawa, "Harus kuakui, tempat ini memang merupakan jebakan terbagus untuk membunuh orang, untung kedatangan kita di sini tak diketahui siapa pun sehingga "
Belum selesai kata-katanya, peluh dingin telah membasahi telapak tangannya.
Sebab secara tiba-tiba ia merasa di tempat itu ternyata masih hadir orang lain, orang lain yang sedang bersembunyi di balik kegelapan, orang yang sedang menjebaknya.
Cahaya matahari memancar masuk ke dalam kamar, membuat seluruh ruangan terasa terang benderang.
Ketika cahaya matahari menyoroti permukaan lantai, secercah sinar segera memantul ke wajahnya, menyilaukan matanya, saat seperti itulah merupakan saat yang kritis, saat yang bisa mencabut nyawanya. Tapi hingga kini, mengapa dia masih belum bergerak? Hawa pedang tak berwujud Tui hong siu yang membungkus seluruh tubuhnya membuat dia nyaris tak mampu bergerak, apalagi mencabut golok.
Bila golok tidak dapat dicabut, bagaimana mungkin melawan musuh?
Cahaya matahari mulai menyinari pinggang Pho Ang-soat, menyinari pula golok hitam pekat dalam genggamannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Pho Ang-soat melakukan satu tindakan yang selama hidup belum pernah dilakukan, satu perbuatan yang mimpi pun belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Sekonyong-konyong dia lempar golok yang selama hidup tak pernah terlepas dari tangannya itu ke balik cahaya matahari.
Golok yang tak pernah meninggalkan tangan Pho Ang-soat pada akhirnya meninggalkan dirinya.
Begitu golok terlepas dari genggaman, Tui hong siu pun tertawa, tubuhnya pun bergerak cepat.
Sepasang tangannya yang selama ini terkulai lurus ke bawah, terkulai dalam keadaan kosong, tahu-tahu sudah bertambah dengan dua bilah pedang.
Dua bilah pedang yang sangat kecil, panjangnya hanya satu kaki delapan inci, satu di tangan kiri dan yang lain di tangan kanan. Dua gulung cahaya pedang berkelebat, meluncur dari arah yang berlawanan.
Sekilas cahaya melesat ke udara menghantam golok yang terlepas dari tangan Pho Ang-soat, sementara kilasan cahaya yang lain menusuk tenggorokannya.
Biarpun dua kilatan cahaya pedang itu melesat bukan pada saat yang bersamaan, namun keduanya tiba pada sasaran hampir bersamaan waktu.
Satu menyerang golok di udara, satu lagi mengancam tenggorokan Pho Ang-soat.
Kini keadaannya sangat berbahaya, dia sudah berada dalam posisi yang mirip dengan sumbatan leher, sumbatan kematian.
Akhirnya Yap Kay melihat seorang misterius dan aneh muncul dari atas dinding tebing yang curam.
Dari balik tebing curam yang menjulang ke angkasa, dari balik awan putih yang menyelimuti permukaan muncul seseorang.
Sekilas pandang dia mirip dengan seorang perempuan, rambutnya panjang berkibar terhembus angin, gaun panjangnya berwarna kuning berkibar tiada hentinya, persis seperti ikan mas yang sedang berenang dalam air. Dengan pandangan ngeri bercampur curiga Yap Kay dan So Ming-ming mengawasi orang di atas tebing itu. Dia manusia atau setan? Atau mungkin siluman iblis seperti dalam dongeng?
Biarpun panas matahari menyengat badan, So Ming-ming justru merasakan hawa dingin yang menggidikkan merasuk ke dalam tulang sumsum, tanpa sadar dia menggenggam kencang tangan Yap Kay.
Yap Kay sama sekali tak bergerak, tangannya balas menggenggam tangan So Ming-ming.
Di tempat yang begitu curam, berbahaya dan asing bagi mereka, tiba-tiba saja dari balik tebing muncul seseorang. Terlepas siapakah orang itu, asal dia melancarkan serangan, maka dapat dipastikan Yap Kay berdua tak punya kemampuan menangkis apalagi mempertahankan diri, sebab keadaan mereka saat ini bagaikan seekor ular yang tertangkap pada bagian tujuh inci di belakang kepalanya.
Seluruh otot hijau di jidat Yap Kay telah merongkol, otot-otot hijau itu berdenyut keras, setiap kali menghadapi situasi yang sangat gawat, dia selalu menunjukkan keadaan seperti ini.
Biarpun pandangan matanya masih mengawasi orang di atas tebing, namun otaknya sama sekali tak berhenti berpikir, dia berusaha memeras otak mencari cara terbaik untuk menanggulangi keadaan ini. Belum sampai ditemukan cara terbaik, tiba-tiba orang itu telah merentang tangan dan melompat ke atas batu sambil berteriak, "Ming-ming, aku rindu padamu!"
Suara teriakannya begitu riang dan lantang, sama sekali tidak mirip suara setan iblis atau siluman, terutama orangnya, bukan saja tak seseram setan, ternyata dia adalah seorang nona cilik yang cantik dan lincah.
Setelah melalui Sumbatan leher, di depan mata terbentang sebuah padang rumput yang luas dan subur.
Tempat itu sudah tak jauh dari Lhasa, kota suci.
Di tempat itulah si Ikan mas mendirikan tendanya sebagai tempat bermalam.
Kim-hi, si Ikan mas tak lain adalah nona yang barusan muncul di tebing curam, dia memang ke sana untuk menyambut kedatangan So Ming- ming.
"Sebenarnya aku ingin menakut-nakutimu," dengan suara nyaring seperti suara keliningan Kim-hi berseru, "namun aku pun tak ingin kau mati ketakutan."
Yap Kay tertawa tergelak, belum pernah dia jumpai gadis seriang dan selincah ini.
Sebetulnya perempuan ini tidak termasuk cantik yang sempurna, batang hidungnya sedikit bengkok, tapi alis matanya sangat indah, kerlingan matanya memukau dan kulitnya putih mulus seperti salju.
Yap Kay mulai tahu, ternyata nona itu sangat gemar tertawa dan So Ming-ming senang membetot batang hidungnya.
Kini So Ming-ming sedang membetot batang hidungnya.
"Kau telah berjanji padaku kali ini tak bakal kelayapan semau hati, kenapa bisa muncul di sini?" tegurnya.
Kim-hi tidak menjawab, ternyata dia berusaha menghindari pertanyaan itu.
"Kenapa kau selalu membetot batang hidungku?" Kim-hi balik bertanya, "apakah kau baru puas bila model hidungku pesek seperti kepunyaanmu?"
Kontan saja Yap Kay tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba Kim-hi berpaling, tegurnya sambil menatap tajam pemuda itu, "Siapakah dia?"
"Aku bernama Yap Kay, yap artinya daun, kay artinya terbuka."
"Yap Kay?" Kim-hi tertawa cekikikan, "kalau kau punya adik laki-laki, dia pasti bernama Yap Kwan."
"Sayang harapanmu tak bakal terwujud, karena aku adalah anak tunggal."
Kembali Kim-hi menatap Yap Kay beberapa saat lamanya, lalu katanya, "Aku paling suka orang yang senang tertawa, sekarang agaknya aku mulai sedikit menyukaimu."
Tiba-tiba ia menghampiri Yap Kay dan memeluknya erat-erat, memeluk mesra seperti waktu dia memeluk So Ming-ming tadi, malahan mengecup jidatnya berulang kali.
"Sahabat enci Ming-ming berarti sahabatku juga," kata Kim-hi, "orang yang dia sukai pun aku akan menyukai juga."
Paras muka Yap Kay tidak menjadi merah, sebab paras muka Kim-hi pun tidak memerah.
Ketika dia memeluk pemuda itu, semuanya dilakukan dengan leluasa, terbuka, bebas dan tidak mengada-ada, begitu polos dan tulus seperti ikan mas yang sedang berenang di akuarium.
Yap Kay pun bukan termasuk lelaki pemogor, dia jarang bisa menyimpan rahasia hatinya apalagi menyimpan luapan perasaan.
"Aku pun menyukaimu," sahutnya," benar- benar menyukaimu."
Di saat mereka berdua saling bertatap sambil tertawa, So Ming-ming yang berdiri di samping meski ikut tertawa, namun dari balik matanya tiba-tiba muncul secercah perasaan menyesal.
Menyesal? Mengapa dia mesti menyesal?
Apakah dia menyesal karena telah mengajak Yap Kay datang ke Lhasa? Dua kilatan cahaya pedang, yang satu melesat menghantam golok di tengah udara sementara yang lain menyambar tenggorokan Pho Ang-soat.
Akhirnya pedang Tui hong siu dilolos dari sarungnya, senjata yang digunakan ternyata pedang yang biasa digunakan perempuan.
Bersamaan di saat Pho Ang-soat melempar goloknya ke udara, dengan satu gerakan cepat tangan kanannya merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan bungkusan mutiara yang dititipkan Loh Loh-san padanya menjelang ajalnya tadi.
Waktu itu ujung pedang Tui hong siu sudah berada tiga inci dari tenggorokannya, dengan satu gerakan cepat Pho Ang-soat mundur selangkah kemudian menggunakan bungkusan mutiara yang berada di tangan kanannya menyongsong datangnya ujung pedang itu.
"Trang!", diiringi suara benturan nyaring, butiran mutiara pun berhamburan ke lantai.
Tusukan pedangnya yang pertama berhasil merontokkan golok, sementara tusukan yang kedua menghamburkan mutiara kemana-mana. Begitu mutiara bertebaran di lantai, hawa membunuh yang membeku di ruangan pun seketika mencair.
Sepasang tangan Tui hong siu kembali terkulai ke bawah, kedua bilah pedang kecil itu pun sudah lenyap dari pandangan mata, sikapnya sekarang tak jauh berbeda dengan sebelum melancarkan serangan tadi, hanya bedanya, hawa membunuh yang menyesakkan napas kini sudah lenyap.
Hanya saja kerutan mukanya tampak jauh lebih tua, semangat, sikap maupun penampilannya kini sama sekali telah berubah.
Serangan pedang seorang jagoan, terkadang seperti uang, dalam beberapa hal nyaris mempunyai kesamaan.
Bagi seorang jago pedang, ada tidaknya pedang dalam genggaman sama seperti seseorang memegang uang atau tidak, seringkah dapat mengubah jalan hidupnya.
Bila seorang jago pedang tak berpedang, sama seperti orang tak berduit, seperti sebuah karung goni yang tak berisi, lemas, loyo dan tak punya kemampuan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, dia hanya berdiri kaku di situ sambil memandang Tui hong siu dengan dingin.
Tui hong siu tidak memandang ke arahnya lagi, sinar matanya seakan terhenti di tubuh Pho Ang- soat, seperti juga sedang memandang ke tempat jauh.
Begitulah, kedua orang itu pun berdiri saling berhadapan tanpa bergerak.
Sampai lama kemudian akhirnya Tui hong siu buka suara lebih dahulu, tanyanya, "Darimana kau bisa tahu kalau aku menggunakan dua bilah pedang?" Pho Ang-soat mengalihkan pandangannya pada kedua tangan lawan, ujarnya, "Biasanya orang hanya meninggalkan kulit keras bekas pedang di tangan kanan, sedang kau... pada kedua tanganmu punya tanda itu."
"Oleh sebab itu kau sengaja melempar golokmu untuk memancing pedangku yang sebelah?"
"Ya, rasanya hanya bisa dilakukan dengan cara begitu," sahut Pho Ang-soat hambar, "sekalipun kau hanya memiliki sebilah pedang pun, aku tak yakin bisa menghadapinya."
Dia bicara sejujurnya, sebab sebelum Tui hong siu datang kemari, dia telah menghimpun semua semangat, tenaga dan kekuatannya hingga mencapai puncaknya, sekalipun Pho Ang-soat berhasil mencabut golok begitu bertemu, dia tetap sulit menjebol pertahanannya.
Dengan sorot matanya yang nampak jauh lebih tua ia menatap Pho Ang-soat sekejap, ternyata suaranya juga terdengar jauh lebih parau dan tua.
"Bagus, bagus sekali...." gumam Tui hong siu, "rupanya kau memang punya alasan kuat untuk meraih kemenangan."
"Cayhe berhasil menang karena memakai akal, biarpun berhasil lolos dari sergapan pedang Cianpwe, bukan berarti aku berhasil meraih kemenangan, buat apa Cianpwe "
"Kau tak perlu bicara lagi!" Tui hong siu hanya mengawasi pemuda itu tanpa berkedip, sampai lama kemudian, ia tetap tak mengucapkan kata-kata. Mendadak dia balik tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.
Mengawasi tubuhnya yang makin jauh, Pho Ang-soat menggeleng kepala sambil bergumam, "Cianpwe ini memang hebat, kehebatannya memang lain daripada yang lain."
Biarpun ucapan itu diutarakan sangat pelan, namun secara tiba-tiba Tui hong siu kembali berpaling memandang ke arahnya, tapi kemudian dia menghela napas panjang.
"Menang tapi tak angkuh, rendah hati penuh sopan-santun, biar sedikit dingin dan ketus pun apa salahnya?"
Selesai berkata, Tui hong siu melanjutkan langkahnya berlalu dari situ.
Matahari amat terik, udara begitu panas membuat rerumputan yang tumbuh di dalam kebun hangus terbakar dan layu.
Pho Ang-soat mengumpulkan kembali mutiara yang tersebar di lantai dan dimasukkan ke dalam kantungnya, kemudian dia berjalan keluar kamar, menuju kebun bunga dan menelusuri beranda.
Di ujung beranda lamat-lamat terlihat sesosok bayangan putih berdiri di balik keremangan, begitu remang hingga seakan ada dan tiada. Pho Ang-soat berjalan sangat lamban, selangkah demi selangkah berjalan menuju ke arahnya.
Pek Ih-ling mengawasinya dengan pandangan ragu, dia seakan sedang mengawasi tempat maya di kejauhan, selain perasaan murung yang tipis, wajahnya dihiasi pula dengan perasaan kesal dan tidak berdaya.
Pho Ang-soat menghentikan langkah setelah tiba di hadapannya, lalu dengan pandangan mata dingin dia balas menatap gadis itu.
Begitulah mereka berdua saling berhadapan, saling berpandangan sampai lama sekali.
"Tak kusangka kau berhasil mengungguli Tui hong siu," dengan suara lirih Pek Ih-ling berbisik.
"Dia sama sekali tidak kalah, dia telah kehilangan hawa napsu membunuh untuk menghabisi nyawaku."
"Berarti kau tahu pagi ini dia bakal datang untuk membunuhmu?"
"Betul, aku dapat merasakannya."
"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu aku bakal menyuruh dia pergi membunuhmu?" kembali Pek Ih-ling menambahkan.
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya mengawasi gadis itu dengan mulut membungkam, lewat sesaat kemudian baru dia angsurkan bungkusan berisi mutiara itu kepadanya. "Bungkusan itu diambil Loh Loh-san agar bisa memancing rasa simpatikmu, semoga kau menerimanya dengan baik," kata Pho Ang-soat.
Pek Ih-ling menerima bungkusan itu, lalu sambil menatap wajah Pho Ang-soat katanya lagi, "Bagaimana dengan kau? Apakah kau sama sekali tidak menaruh hati kepadaku?"
Menaruh hati? Menaruh perasaan cinta?
Buru-buru Pho Ang-soat menghindari pertanyaan itu, cepat dia mengalihkan pembicaraan, "Aku rasa kau tentu sudah tahu Loh Loh-sap telah mati?"
Loh Loh-san tahu dalam kamar Be Hong-ling terdapat sekantong mutiara, tentu saja hal ini dikarenakan Pek Ih-ling sengaja membocorkan rahasia ini kepadanya.
Tentu saja Pek Ih-ling pun tahu semalam Pho Ang-soat pasti akan mendatangi kamar Be Hong- ling menanti kedatangan sang pembunuh.
Tentu saja perempuan itu pun sadar, begitu Loh Loh-san muncul di situ, dia pasti akan menemui ajalnya.
Karena di ujung golok Pho Ang-soat hanya kematian saja yang ada.
Kalau bukan musuh yang mati, berarti diri sendiri yang mampus.
Panasnya udara di kebun bunga tidak membuat beranda itu jadi lebih sejuk, suasana yang remang-remang serasa berada di sebuah perjalanan menuju neraka.
"Hanya cinta yang paling suci di dunia ini," kata Pho Ang-soat dengan hambar, "mungkin kau kelewat muda hingga tak tahu betapa berharganya perasaan cinta, tatkala kau telah memperoleh berbagai pengalaman, maka kau bakal tahu arti cinta yang sesungguhnya."
Selesai berkata ia segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Pek Ih- ling yang masih berdiri termangu di situ.
Seandainya kau dapat melihat lebih seksama, maka akan kau lihat butiran air mata sedang membasahi pipi perempuan itu.
"Kau keliru besar," bisik Pek Ih-ling sambil mengawasi bayangan punggung Pho Ang-soat yang makin menjauh, "biarpun hanya cinta yang paling suci di dunia ini, namun cinta pula yang dapat membuat orang merasa tersiksa dan menderita."
Di kala air mata membanjiri wajah Pek Ih-ling, sebuah tangan yang kuat tapi penuh keriput perlahan-lahan memegang bahunya.
Pek Ih-ling tidak berpaling, karena dia tahu tangan siapa yang sedang memegang bahunya.
Raut muka Be Khong-cun pun dipenuhi banyak kerutan, kerutan yang tergores di wajahnya seakan menyimpan penderitaan, perjuangan serta mara-bahaya yang pernah dialaminya, seakan sedang memberitahu orang lain, jangan harap kau bisa merobohkan dirinya dalam masalah apa pun, bahkan termasuk menyuruhnya pergi beristirahat.
Biarpun begitu, sorot matanya tetap datar dan hambar, sedikit pun tidak disertai cahaya mata yang tajam menggidikkan, kini sepasang matanya sedang mengawasi Pek Ih-ling.
Biarpun datar namun tersisip pula perasaan pedih, kasihan, tak berdaya serta serba salah, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Be Khong- cun mengawasi Pek Ih-ling.
Tampaknya si nona tak ingin membiarkan kepedihan dalam keheningan itu berlarut, maka cepat bisiknya, "Salahkah aku?"
"Kau tidak salah," jawab Be Khong-cun, "yang salah adalah takdir!"
Sesudah menghela napas panjang, terusnya, "Sepuluh tahun telah lewat, kau belum dapat melupakannya?"
"Melupakan?" Pek Ih-ling tertawa pilu, "mungkinkah melupakan persoalan ini?"
Penderitaan dan kepedihan yang terbesar, terdalam dan terkuno bagi umat manusia adalah sukar melupakan.
Tapi apa pula yang bisa diperbuat sekalipun sukar dilupakan? Menenggak obat untuk mengakhiri hidup? Terjerumus dalam kehidupan yang penuh kemurungan? Begitu pula keadaan Pek Ih-ling sekarang. Ia tak dapat meloloskan diri dari tekanan batin seperti itu.
Dinding benteng yang tersusun dari batu cadas membentang dari istana Potala hingga bukit Cagopoli, pintu gerbang kota berada di bawah pagoda, konon dalam pagoda itu tersimpan tulang belulang Buddha serta banyak dongeng indah yang penuh misteri.
Sesudah melewati pintu berbentuk bulat, kuil Ta-cau-si muncul di sisi kanan Yap Kay.
Bangunan istana tingginya mencapai empat puluh kaki dengan luas seratus dua puluh kaki, bangunan itu berdiri kokoh dengan dinding sepanjang tebing karang.
Yap Kay mengawasi semua bangunan itu dengan terkesima, mimpi pun dia tak menyangka istana Potala begitu indah dan megah bagaikan berada di nirwana saja.
"Indah bukan?"
"Ah, pemandangan seperti ini tak bisa diwujudkan hanya dengan kata indah saja," sahut Yap Kay.
Sambil menunjuk bangunan kuil kuno yang megah dan berada di sisi kanannya, So Ming- ming menjelaskan, "Kuil itu Ta-cau-si!"
Kuil Ta-cau-si konon didirikan oleh putri Bun- seng Kongcu dari dinasti Tong. Pada masa itu Tibet masih disebut Turfan, sementara kota Lhasa masih disebut kota Losi.
Tahun Tin-koan keempat belas pada ahala Tong, perdana menteri negeri Turfan, Tong-jin, dengan membawa permata dan uang emas lima ribu tahil berangkat ke kota Tiang-an dan membawa pulang keponakan perempuan kaisar, putri Bun-seng Kongcu, kembali ke negerinya.
Di kemudian hari putri Bun-seng Kongcu menikah dengan Jin-po generasi ketujuh, Song- jin Gan-po.
Sebagai rasa cintanya yang tulus dan untuk memuji kecantikan wajah istrinya, raja negeri Turfan ini pun membangun sebuah kuil yang disebut kuil Ta-cau-si.
Setelah melewati kuil Ta-cau-si, sampailah mereka di pusat perdagangan yang paling ramai dan megah di kota Lhasa.
Sama seperti jalan utama di wilayah Kanglam, ada dua jenis orang yang berlalu-lalang di situ, yang satu adalah penduduk asli dan yang lain adalah kaum pendatang.
Menelusuri jalan di pusat perdagangan, Yap Kay menikmati budaya dan kebiasaan kota Lhasa.
Hampir sepanjang jalan berderet kedai dan toko yang nyaris berubah jadi hitam karena asap lampu minyak, selain itu terendus juga bau susu yang kecut dan kental hingga nyaris membuat orang susah bernapas. "Kau menyukai tempat ini?" tanya Kim-hi tiba- tiba.
Yap Kay mengangguk, dia memang hanya bisa mengangguk, tak seorang pun yang tak menyukai tempat ini.
"Sebelum ini, apakah kau pernah kemari?" kembali Kim-hi bertanya.
Yap Kay menggeleng, dulu dia memang tak pernah kemari, seandainya pernah, tak mungkin dia pergi meninggalkan tempat ini.
Mendadak Kim-hi menarik tangan Yap Kay, seakan sedang menarik tangan kekasihnya.
"Ayo, ikut aku, mari kita pergi bermain." "Bermain dimana?"
"Bermain di tempat yang banyak permainannya."
Sementara suara tawa si Ikan mas makin nyaring, paras muka So Ming-ming berubah semakin tak sedap dipandang.
Beruntung pada saat itulah dari ujung jalan terdengar seseorang berseru, "Enci Ming-ming, rupanya kau telah kembali!"
Ketika Yap Kay berpaling, dia lihat ada segerombolan bocah berusia sebelas-dua belas tahun sedang berlari mendekat, rombongan itu ada laki ada pula perempuan, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang gemuk ada pula yang kurus, malah ada. seorang di antaranya yang timpang kakinya.
Yap Kay memang terhitung orang yang suka anak-anak, melihat kerumunan bocah itu, dia hanya bisa mengawasi sambil tertawa.
"Enci Ming-ming, kapan kau kembalinya?" "Enci Ming-ming, begitu lama kau pergi
meninggalkan kami?"
"Enci Ming-ming, selama kau tak di rumah, tak seorang pun yang mengajak kami bermain."
Mula-mula So Ming-ming mengelus kepala tiap bocah, kemudian kepada si bocah timpang sahutnya, "Selama aku tak di rumah, bukankah masih ada enci Kim-hi!"
"Tapi terkadang enci Kim-hi harus bekerja, dia tak bisa membawa kami bermain tiap hari," kata si bocah timpang.
"Kalau aku tidak bekerja, darimana kalian bisa makan?" teriak Kim-hi sambil tertawa, "wah, baru ketemu sudah memberi laporan yang bukan- bukan "
"Tidak, kami hanya kangen enci Ming-ming" seorang bocah perempuan berseru.
"Oh, jadi kalian sudah tidak kangen padaku lagi?" Kim-hi sengaja cemberut.
Bocah perempuan gendut itu segera memeluk Kim-hi sambil berseru manja, "Tentu saja kami pun sangat kangen padamu!" "Kangen atau cuma ingin gula-gula?"
Menyaksikan serombongan bocah kecil yang begitu menawan, tak mungkin orang tak akan tertawa karena senang, begitu juga dengan Yap Kay.
Begitu dia tertawa, perhatian bocah-bocah itu pun langsung dialihkan ke wajahnya, setiap anak mementang mata lebar-lebar dan mengawasinya tanpa berkedip.
"Siapakah dia?" seorang bocah lelaki yang agak tinggi bertanya kepada So Ming-ming, "apakah teman laki barumu?"
"Aku bernama Yap Kay."
Sebelum pemuda itu melanjutkan perkataannya, Kim-hi telah menukas sambil menerangkan, "Yap dari kata daun dan kay berarti buka, dia adalah tamu yang dibawa enci Ming-ming."
Begitu tahu pemuda itu adalah tamu enci Ming- ming, beberapa bocah lelaki itu segera maju menyapa, "Aku bernama Yu Lam, Toako mereka semua," bocah lelaki agak tinggi itu menerangkan.
"Ngawur, kau dilahirkan belasan hari lebih lambat ketimbang aku, menangmu cuma perawakan tubuhmu lebih tinggi," protes bocah lelaki timpang itu cepat, "aku bernama Siau-hoa, usiaku paling tua di antara mereka semua." "Selamat berjumpa anak-anak," Yap Kay segera menyapa sambil tertawa.
Orang yang gemar bergurau memang paling mudah bergaul dengan orang lain, melihat kemurungan bocah-bocah itu telah hilang, So Ming-ming pun memandang wajah setiap bocah, lalu bertanya, "Mana Giok-seng? Kenapa aku tidak melihat Giok-seng?"
Wajah penuh senyuman kawanan bocah itu seketika lenyap sehabis mendengar pertanyaan itu, semua orang jadi tenang, senyuman pun berubah jadi kemurungan, bahkan terselip perasaan takut yang tebal.
Sementara Yap Kay mulai menduga apa yang terjadi, terdengar So Ming-ming bertanya lagi, "Apa yang telah terjadi?"
Setiap bocah hanya saling berpandangan tanpa menjawab, malah ada pula yang segera menundukkan kepala mengawasi ujung sepatu sendiri.
"Katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi?" tiba-tiba So Ming-ming berpaling ke arah Kim-hi, lalu tegurnya, "apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Kim-hi sambil membelalakkan mata, "semalam aku masih melihat dia main bersama mereka."
Sekali lagi So Ming-ming berpaling ke arah bocah-bocah itu, mendadak tegurnya kepada Siau-hoa, "Kalau memang kau adalah Toako mereka, seharusnya kau yang mewakili mereka bicara."
Siau Hoa berpikir sejenak, kemudian katanya, "Sejak kemarin dia pergi meninggalkan kami, hingga kini belum balik."
"Kemana dia?" "Dia... dia. "
"Apakah dia pergi ke kebun monyet?" Siau Hoa manggut-manggut.
Berubah hebat paras muka So Ming- ming, tegurnya agak gusar, "Bukankah sudah berulang kali aku katakan, jangan pergi ke kebun monyet?"
"Sejak kau pergi, kami memang tak pernah mendekati kebun monyet lagi, siapa sangka semalam terdengar suara teriakan monyet yang sangat ramai, kemudian... kemudian Giok-seng berkata ingin pergi melihat keadaan."
Paras muka So Ming-ming berubah jadi tak sedap dipandang, sikap yang aneh itu membuat kawanan bocah itu semakin ketakutan.
Situasi makin tegang, Yap Kay menimpali, "Asal sudah tahu dia pergi ke kebun monyet, persoalan akan lebih gampang diselesaikan. Asal kita mendatangi kebun monyet, bukankah semua akan beres."
"Tidak ditemukan," Siau-hoa menggeleng. "Mana mungkin bisa tak ditemukan?" Jawab So Ming-ming, "Peristiwa semacam ini sudah berlangsung berulang kali, bocah yang pergi ke sana tak pernah kembali."
"Sudah berulang kali terjadi?" seru Yap Kay, "apakah sebelum ini pun ada bocah yang lenyap dalam kebun monyet?"
So Ming-ming mengangguk.
"Apakah tidak mencoba dicari di dalam kebun itu?"
"Pernah, malah suatu saat kami pernah menggeledah kebun monyet bersama sekawanan opas, namun hasilnya sama saja, jangankan tubuhnya, seutas rambut pun tidak ditemukan."
"Jangan-jangan sudah pergi ke tempat lain?" "Tidak mungkin, setiap orang yang berani
mendekati kebun monyet, seringkah mereka
lenyap begitu saja." "Termasuk orang dewasa?" Kembali So Ming-ming mengangguk.
Dalam sebuah kebun yang sangat luas, tinggal ratusan ekor monyet berbagai jenis serta seorang kakek, seorang bocah perempuan kecil dan sepasang suami istri kerdil yang sangat aneh. Hal semacam ini pun sudah tampak sangat aneh dan penuh misteri.
Tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay adalah terdapatnya sejenis monyet berkepala manusia dalam kebun itu, yang konon pandai berbicara. Dan kini dia semakin tertarik lagi karena ada begitu banyak orang hilang setelah mendekati tempat itu, ada apa dengan kebun monyet itu?
Tampaknya kebun monyet itu tidak hanya diliputi misteri, bahkan masih menyimpan banyak rahasia besar yang tidak diketahui orang lain.
Kalau dibilang benar-benar menyimpan rahasia, rahasia macam apakah itu? Persoalan inilah yang paling utama ingin diketahui Yap Kay.
Untuk mengungkap masalah yang aneh dan rahasia, sudah pasti akan menghadapi banyak kendala dan hambatan, bahkan terkadang harus menggunakan nyawa sebagai taruhan, namun ketegangan selama pelacakan dan penyelidikan, serta rasa puas dan bangga bila berhasil mengungkap, jelas merupakan daya tarik yang luar biasa.
Terutama lagi bagi orang seperti Yap Kay.
Kegemaran paling utama dalam hidupnya tak lain adalah suka mencari ketegangan, suka mencampuri urusan orang, oleh sebab itu banyak kesulitan dan masalah yang harus dihadapinya selama ini.
Beruntung sekali dia termasuk orang yang tak takut menghadapi kesulitan.
Biasanya orang yang senang mencampuri urusan orang lain adalah orang yang tak kuatir menghadapi kesulitan. Setiap orang mempunyai rumah, terlepas rumah baik atau buruk, terlepas rumah miskin atau kaya, rumah mewah megah bak istana atau pun rumah bobrok yang reyot hampir roboh.
Rumah tetap adalah rumah.
Kandang anj ing pun merupakan rumah.
Asal ada rumah berarti kau akan memperoleh kehangatan.
Rumah adalah tempat yang paling tepat bagimu untuk kabur dari kenyataan, merupakan tempat yang paling cocok untuk menangis dan berkeluh kesah di saat kau sedang sedih.
Rumah pun merupakan tempat dimana kau dapat melakukan perbuatan apa pun. Seperti umpama merasa gatal di suatu bagian tubuh, setiap saat kau dapat menggaruknya dengan sesuka hati.
Berada dalam rumah kau tak usah memikirkan segala pantangan dan larangan.
Tentu saja di saat tak ada orang tua atau orang luar. Karena setiap orang mempunyai rumah, tentu saja So Ming-ming pun mempunyai rumah.
Hanya saja mimpi pun Yap Kay tidak menyangka rumahnya itu macam begini.
Rumah tinggal So Ming-ming berada di kaki bukit di luar kota Lhasa, mencakup tanah yang sangat luas, kamarnya saja terdiri dari belasan buah. Walaupun rumahnya sangat besar, namun bukan termasuk rumah mewah yang megah, bukan juga rumah yang reyot dan buruk.
Keempat dinding rumahnya terbuat dari bahan yang berbeda.
Ada ruangan yang terbuat dari kayu, tanah liat, batu bata, anyaman ijuk, batu cadas dan ada pula yang terbuat dari lempengan baja, rotan, bambu dan lain sebagainya.
Yang lebih hebat lagi, ada sebuah kamar di dalamnya yang menggunakan sederetan pohon kecil sebagai dinding, dalam kamar seperti itulah Siau-hoa berdiam.
Ketika Yap Kay tiba di tempat itu dan menyaksikan bangunan yang begitu antik, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri bodoh.
"Bagaimana?" tanya Siau-hoa yang berada di sisinya dengan bangga, "rumah kami ini bagus bukan?"
"Bagus, amat bagus," sahut Yap Kay tertawa getir, "hakikatnya jauh lebih hebat dari istana kaisar, lebih nyaman dari nirwana."
Setelah tertawa lanjutnya, "Bila rumah mewah itu dibandingkan rumah kalian, kelihatan rumah mereka mirip sarang tikus."
Berada dalam kamar, Yap Kay membaringkan diri di atas sebuah pembaringan yang terbuat dari selembar papan dan selapis jerami kering. "Ai, di kolong langit memang tak ada rumah lain yang lebih hebat dari rumah ini. Pada hakikatnya rumah ini benar-benar hebat dan luar biasa."
"Mereka adalah gerombolan anak gelandangan yang tak punya orang tua, bila aku tidak menampung mereka, jelas bocah-bocah itu bakal hidup bergelandangan di luar, bahkan mungkin ada yang mati sakit atau kelaparan."
"Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang pernah hidup melarat dan menderita, ada sebagian di antaranya yang sejak kecil sudah belajar berbuat jahat, sejak dini sudah melakukan berbagai tindak kriminal, bayangkan, bila bocah ini tumbuh makin dewasa, bukankah akhirnya mereka akan menjadi sampah masyarakat? Kalau sampai ada begitu banyak sampah masyarakat, jelas akan menjadi masalah gawat dalam kehidupan sosial. Itulah sebabnya aku berkeputusan mengumpulkan mereka, berusaha mengajarkan hal positip kepada mereka."
"Sekalipun di kemudian hari belum tentu mereka menjadi manusia berguna, paling tidak tak sampai membiarkan mereka menjadi sampah masyarakat."
Ucapan itu disampaikan So Ming-ming ketika dalam perjalanan mereka pulang ke rumah, tentu saja dia pun menjelaskan kepada Yap Kay bahwa dia maupun Cicinya juga anak yatim piatu. Dia pun anak yatim piatu, maka baru dia memahami kepedihan hidup seorang yatim piatu, karena itu baru dia bersedia menampung anak yatim piatu.
Menyaksikan gerombolan bocah-bocah itu, memandang rumah dan kamar mereka pula, Yap Kay merasa terenyuh.
Dalam berbagai hal, bukankah pengembara sama nasibnya dengan anak yatim piatu?
Mereka sama-sama seperti daun berguguran terhembus angin, daun yang terapung terbawa arus, tidak jelas darimana datangnya dan tak tahu kemana mereka akan pergi, karena mereka tak lebih hanya tamu yang numpang lewat.
Tamu numpang lewat bukanlah orang yang kembali.
Orang yang kembali bagaikan panah, tamu yang lewat hanya terombang-ambing.
Suara derap kuda yang bergema adalah keindahan yang salah.
Aku bukan orang yang kembali, aku hanya tamu numpang lewat.
Seorang nyonya muda kesepian duduk seorang diri di bawah keheningan, menunggu kedatangan orang yang dirindukan dari tempat jauh, hatinya begitu gundah, begitu kesepian dan pilu.
Dalam keadaan seperti ini, setiap bunyi yang bergema akan memberikan khayalan dan harapan yang tiada tara, membuat dia merasa sang kekasih telah kembali, kerinduan telah berakhir, kesepian telah berlalu.
Menanti khayalan dan harapan punah, walaupun rasa pedih tetap muncul di hati, namun harapan yang sempat muncul sesaat tetap terasa indah.
Para penyair berkata "indah adalah sebuah kesalahan".
Bila sampai detik terakhir harapan masih juga belum datang, itulah saatnya untuk benar-benar berduka.
Dalam banyak hal perempuan yang menunggu kembalinya sang kekasih, mirip juga dengan pengembara yang terombang-ambing.
Matahari terik telah lewat, malam gelap menjelang tiba.
Ia duduk di bawah emper rumah, memandang kejauhan dengan tenang, menyisakan selapis bianglala di ujung langit serta suara keliningan di wuwungan rumah.
Yap Kay sedang mengawasi perempuan itu.
Setelah berada di rumah bersama rombongan anak-anak itu, Yap Kay merasa dalam banyak hal kehidupan itu penuh ketimpangan, namun di balik semua itu masih terdapat hal yang menarik dan indah, karena itu dia pun mengundang anak-anak untuk makan. Begitu mendengar Yap Kay mengundang makan, anak-anak pun mengusulkan untuk berkunjung ke Hong-ling (keliningan).
Oleh karena itulah Yap Kay muncul di Hong-ling dan menjumpai nyonya muda yang sedang duduk seorang diri di bawah emper rumah.
Hong-ling adalah sebuah warung makan kecil, terletak di pinggir kota, tak jauh dari tempat tinggal anak-anak itu.
Hong-ling terhitung sebuah kedai makan yang sangat aneh, sebab dari pemilik sampai pelayan, semuanya dilakukan sang koki seorang diri.
Karena itu tamu yang bersantap di rumah makan Hong-ling tahu mereka harus mengurus diri sendiri jika ingin makan di situ.
Kau harus mengambil sumpit sendiri, mengambil nasi sendiri dan bila selesai bersantap harus meletakkan bekas mangkuk dan sumpitnya di tempat yang telah ditentukan, lalu setelah membayar dengan memasukkan uang ke dalam sebuah peti, kau boleh pergi dari situ.
Oleh karena semuanya harus ambil sendiri, orang-orang di seputar sana menyebut rumah makan Hong-ling sebagai rumah makan swalayan.
Tentu saja memasak sayur bukan mesti dilakukan sendiri. Sejak pagi nyonya muda itu akan mencuci semua sayur yang ada, memotongnya, membuat api dan memasaknya sampai matang. Kalau masakan sudah siap sejak pagi, hingga sore hari pastilah sudah dingin, kalau hidangan tidak hangat, siapa pula yang mau membelinya?
Tentu saja perempuan muda itu tahu akan hal ini, maka di sisi kiri rumah makannya, di atas tiga buah meja yang berjajar, disediakan enam buah anglo, di atas anglo tersedia kuali, dalam kuali ada air serta penutupnya.
Bila kau merasa hidangan telah dingin, maka hangatkan masakan itu dalam kukusan.
Tempat semacam ini boleh dibilang sangat aneh, cara makan yang aneh, rumah makan yang aneh dan nyonya muda yang aneh.
Yap Kay mulai tertarik semua itu.
Teriknya hawa panas belum hilang, dinginnya udara sudah merasuk ke tulang.
Kau bisa menikmati perubahan iklim ini di luar perbatasan.
Rembulan baru saja muncul di tengah langit, taburan bintang di langit pun masih bersembunyi di balik awan tebal, tapi giliran ronda telah tiba.
Menyaksikan rombongan peronda yang baru digantikan lenyap di balik kegelapan di ujung jalan sana, Lim Cun menarik baju kulit kambingnya untuk menutupi tengkuknya yang kedinginan, lalu dengan sepasang mata tikusnya yang terkesan sedikit ngeri dan takut, dia mulai memeriksa kegelapan di seputar sana.
Sebetulnya hari ini adalah giliran Oh Sam yang bertugas ronda, tapi semalam dia ditemukan tewas, tewas di jalanan di ujung kota.
Konon kematiannya disebabkan darahnya telah habis diisap setan pengisap darah.
Begitu teringat setan pengisap darah, tubuh Lim Cun menggigil makin keras, perasaan ngeri, takut dan horor yang semakin mengental terpancar dari sepasang matanya.