TIGA HARI kemudian maka tibalah sudah Lie It di Tiang-an, kotaraja. Ia mendapatkan banyak gedung yang indah dan banyak toko, keadaan ramai sekali, sedang di jalan besar, orang seperti berdesakan.
Yang menarik perhatian yalah sekarang ini suasana ada terlebih menggembirakan daripada dulu-dulu. Maka, di samping hati tertarik, ia menjadi berpikir.
Lantas Lie It mencari sebuah rumah penginapan.
Ia pun lantas mencari pakaian, untuk berdandan, la menggantikan Peng-utie Thio Cie Kie, maka ia berpakaian sebagai bu-su, seorang yang mengerti ilmusilat.
Thio Cie Kie menggunai dua rupa senjata, pedang dan ruyung kongpian, maka ia pun pergi membeli dua rupa senjata itu.
la membeli pedang karena ia mesti menyembunyikan pedangnya sendiri agar pedang itu-tidak ada yang melihat dan mengenali.
Setelah selesai menyiapkan diri. Lie It pergi mendaftarkan diri.
Touw-ut, atau kepala dari tangsi Sin Bu Eng, bernama Hek-cie Beng Cie.
Dialah adik dari Hek-cie Siang Cie, yang menjadi Kanglam-to Congkoan.
Mereka sebenarnya bangsa Ouw atau Tartar.
Ketika Kaisar Tong Thay-cong Lie Sie Bin menggeraki tentera membangun negara atau kerajaan Tong, dia menggunai banyak orang Ouw, hingga keluarga Hekcie banyak jasanya. Demikian sampai pada jaman Kaisar Tong Kho-Cong Lie Tie, tahun Eng-liong, Hekcie Beng Cie diangkat menjadi Liong Kie Touw-ut, komandan, dari Gie Lim Kun, yaitu pasukan raja, dan dia dihadiahkan she Lie, maka dia dipanggil juga Lie Beng Cie.
Dia terpakai terus ketika Bu Cek Thian naik atas takhta-kerajaan, hanya dia diangkat menjadi touw-ut dari tangsi Sin Bu Eng.
Anggauta-aaggauta Sin Bu Eng yalah tentera pribadi dari raja.
Tugasnya yalah, di waktu damai menjaga keraton, di waktu perang turut mengiringi raja ke medan laga.
Jadinya, Sin Bu Eng ada lebih mendekati raja daripada Gie-lim-kun.
Karena itu juga, setiap kota memujikan orang muda yang gagah untuk menjadi calon-calon anggauta Sin Bu Eng.
Orang-orang muda demikian, kecuali gagah, pula ada tanggungannya, hingga mereka dapat dipercaya.
Lie It mendaftarkan diri dengan lantas diterima.
Di samping surat pujian pembesar kota Bie-san itu, lebih dulu, pembesar tersebut telah mengirim namanya berikut gambarnya.
Ia lantas ditempatkan di dalam tangsi, guna menanti saatnya ujian di waktu mana kepandaiannya akan membikin ia terpilih atau tidak.
Kali ini dibutuhkan seratus wie-su, atau pahlawan. Sebaliknya, dari pelbagai kota, datang dua-ratus calon. Untuk Lie It, ketikanya baik sekali.
Ia hanya bingung memikirkan, di waktu diuji, bagaimana ia harus menggunai ilmu-silatnya.
Ia kuatir, jikalau ia memperlihatkan antero kepandaiannya, kepandaian itu nanti menarik perhatian dan mendatangkan kecurigaan.
Jikalau ia tidak mempertontonkan kepandaiannya, ia kuatir nanti ditolak.
Kapan telah tiba hari ujian, Lie Beng Cie sendiri yang memegang pimpinan.
Lebih dulu setiap calon diuji kepandaiannya menggunai panah dan menunggang kuda. Semua calon lulus.
Lalu mereka disuruh bersilat dengan delapanbelas macam senjata.
Syaratnya yalah mesti pandai di dalam satu atau dua rupa senjata itu.
Kemudian orang ditanya, apa yang menjadi kepandaiannya yang istimewa
Kepandaian ini perlu, untuk mereka dapat dipilih untuk tempatnya masing-masing yang cocok dan tepat.
Lie it melihat, meskipun banyak calon pandai menunggang kuda dan main panah, yang pandai ilmusilat tidak seberapa orang.
Ia memperhatikan seorang calon dari kota Le-koan, propinsi Holam.
Dia itu lulusan bu-kie-jin. Baik dia memanah berdepan, maupun sambil membalik tubuh, tiga-tiga anakpanahnya mengenai sasaran titik merah dengan jitu.
Dia lulus dalam ujian panah. Yalah selagi ia melarikan kudanya, seorang memanah ia dari belakang.
Ia menunggu tibanya anakpanah itu, lantas ia memutar tubuh dan menyerang. Anakpanah itu dapat dihajar jatuh.
Untuk itu, ia tidak menoleh ke belakang lagi, dan, ujung panahnya pun mengenai tepat ujung anakpanah itu.
Maka ia disambut tempik sorak seluruh hadirin. Hanya ia ketahui, kepandaian itu disebabkan utama dia pandai mendengar suara anginnya anakpanah tersebut.
Toh ia turut bertepuk tangan.
Menyusul itu calon dari kota Thay-ho, Kangsee, mamperlihatkan kepandaian atau kekuatan kakinya. Dia seorang bu-kiejin.
Lie Beng Cie menitahkan menancap sepuluh batang kayu pek sebesar mangkok, tingginya masing-masing delapan kaki, ditancapnya setinggi pinggang. Orang umumnya kaget melihat pelbagai pelatok itu.
Bu-kie-jin dari Tayho itu menjura kepada Lie Beng Cie sebagai cu-ko-khoa, yalah pembesar ujian, lalu dia berkata: "Aku hendak membikin patah sepuluh batang pelatok ini. Kalau ada satu pelatok saja yang tidak patah, aku bersedia menerima hukuman." Habis berkata, dia bertindak menghampirkan pelatok- pelatok itu. Ketika dia menggeraki kaki kanannya, suara nyaring terdengar.
Nyata sebatang pelatok sudah patah sebatas tanah.
Dia maju pula, kaki kirinya bekerja. Pelatok yang kedua pun patah.
Di antara sorak riuh-rendah, dia terus-menerus mendupak, hingga akhirnya tampik sorak terdengar tak hentinya.
Lie Beng Cie tersenyum.
"Sungguh tidak gampang untuk melatih ketangguhan kaki ini," katanya.
Ia lantas membikin bundaran di atas nama orang, hingga si bu-kiejin menjadi girang sekali. Kemudian ia tertawa dan menanya.
"Sekarang, dapatkah kau mencabut semua sisa pelatok itu?”
Calon itu melengak.
"Aku aku belum pernah mencoba," sahutnya, bingung dan jengah.
Lie Beng Cie mengibaskan sebelah tangannya.
Itulah tanda memanggil salah seorang wie-su atau pengawalnya sendiri.
Busu itu lantas muncul.
Dia tahu apa yang dia mesti lakukan. Dia lantas membungkuk, mengulur tangan dan mencabut pelatok yang mendam itu. Nyata dia kuat dan pandai sekali.
Di dalam tempo yang pendek, sepuluh sisa pelatok itu dapat dicabut semua.
Lie It terperanjat di dalam hati.
Tidak gampang untuk mencabut pelatok itu. Pahlawannya Beng Cie ini yalah seorang yang pandai Tay-lek Eng-jiauw-kang, atau ilmu Cengkeraman Kuku Garuda.
"Kau dapat diterima," kata Beng Cie kepada bu-kie-jin itu.
"Kau bekerja di bawah perintah dia ini sebagai sio- twiethio. Jikalau ada temponya yang luang, kau boleh belajar lebih jauh di bawah perintahnya."
Karena melihat si bu-kie-jin rada jumawa, sengaja Beng Cie hendak membuatnya tunduk, supaya dia jangan terus berkepala besar.
Ketika itu di antara orang banyak terdengar satu suara tertawa.
Beng Cie mendengar itu, ia mengawasi, lalu memanggil.
Ketika orang telah datang dekat, ia menanya : "Apakah kau mempunyai kepandaian yang terlebih liehay?"
"Sekarang ini belum datang giliranku," orang itu menyahuti.
"Sekarang kau boleh mulai!" Orang itu minta dua gantang kacang hijau, ia tuang itu ke lantai, untuk diampar, habis mana ia bertindak di atas itu.
Selama itu, para hadirin berdiam semua, matanya mengawasi.
Di saat seperti itu, jarum jatuh pun akan terdengar suaranya.
Nyatanya, kacang hijau yang kena diinjak lantas pecah hancur menjadi tepung.
Tentu sekali ilmu tenaga-dalam seperti ini jauh lebih hebat daripada menendang roboh pelatok dan mencabut sisanya pelatok itu.
"Dia antara calon-calon ini, dialah yang paling liehay," Lie It pikir.
Ketika ia menanya orang di sebelahnya, ternyata dia itu yalah Ciu Tay Lian, busu dari Sin-hoa, Ouwlam.
"Bagus!" kata Lie Beng Cie tertawa. "Sekarang aku tanya kau, dapatkah kau mengeduk tepung kacang hijau itu, supaya tidak ada yang ketinggalannya?"
Ciu Tay Lian heran, hingga ia tidak lantas menjawab. Pikirnya, walaupun ia menggunai sesapu, belum tentu ia dapat mengeduk bersih semua tepung itu. Ia menganggap aneh pertanyaan itu.
Lie Beng Cie menggapai kepada seorang busu yang memegang bendera besar, yang berada di sampingnya.
Orang itu menghampirkan. Ia lantas menitahkan : "Kau tolong menyingkirkan tepung kacang hijau itu.” Segera terasa menyambernya angin disebabkan gerakan bendera itu.
Bagaikan terhisap, semua tepung tergulung ke dalam bendera, lantas lantai itu bersih dari tepung itu.
Habis itu si busu menghampirkan Lie Beng Cie, untuk melaporkan selesainya tugasnya itu.
Ia menjura. Lantas ia membeber benderanya yang tergulung itu.
Segera terjadi hal yang mengherankan.
Tepung itu menjadi gempel, merupakan seperti gumpalan sebesar mangkok, ketika jatuh di lantai, tidak pecah!
Lie It benar-benar terkejut.
Menginjak kacang hijau menjadi tepung sudah hebat sekali, sekarang busu ini dapat menggulung itu menjadi gumpalan.
Kepandaian ini jauh lebih hebat daripada kepandaiannya Ciu Tay Lian.
"Dengan kepandaiannya itu, aku mungkin tidak dapat mengalahkan dia," ia berpikir. "Bu Cek Thian mempunyai banyak orang liehay, aku mesti berhati-hati."
Ketika ia menanyakan orang di sampingnya, dia mendapat tahu, busu itu bernama Cin Tam, salah satu dari ketiga busu paling liehay dari tangsi Sin Hu Eng.
Yang satu lagi yalah Thio Teng, busu yang mencabut palatok tadi.
Yang ke-tiga yalah See-bun Pa, yang tidak terlihat di antara para hadirin. "Thio Cie Kie dari Bie-san!" lantas terdengar suara panggilan.
Lie It mengajukan diri dengan hatinya tidak tenang.
Ia memberi hormat pada Lie Beng Cie, yang terus membeber daftar di mana ada namanya, gambar serta catatan yang perlu mengenai dirinya. Kemudian sambil bersenyum, cu-koh itu bertanya : "Kaukah Thio Cie Kie dari Bie-san dengan gelar Peng Ut-tie?"
"Ya," jawab Lie It terpaksa. ia tidak menduga, julukannya Cie Kie pun tercatat di dalam daftar itu. Julukan itu berarti, "Ut-tie Kiong yang sakitan."
"Ut-tie" Kiong itu yalah panglima besar yang membantu kerajaan Tong membangun negara," berkata Lie Beng Cie, "dengan ruyungnya, ruyung Cui Mo Kong- pian, dia pernah menyapu delapanbelas raja muda pemberontak, maka itu, karena kau dijuluki Peng Ut-tie, kau mestinya pandai menggunai kongpian."
"Sebenarnya hamba hanya mengerti beberapa jurus ilmupedang," Lie It menyahut. "Julukan itu diberikan oleh beberapa sahabat Rimba Persilatan yang menggodai aku"
Lie Beng Cye membaca pula daftar.
"Benar, di sini tercatat juga kau mengerti ilmu pedang," katanya. "Baiklah, kau cobalah ilmu ruyung dan pedangmu itu!"
Lie It menurut. Ia tidak pandai ilmu kongpian, ia menjalankan jurus yang umum, yaitu Liok-hap-pian.
Karena ia memangnya berdasar baik, dapat ia bersilat lumayan. Di dalam ilmu pedang, ia tidak berani mempertunjuki ilmupedangnya, yaitu Ngo Bie Kiam-hoat, maka ia mainkan sejurus Pat Sian Kiamhoat, yaitu ilmu pedang Pat Sian Kiam.
"Dapatkah kau menggunai berbareng kedua senjata?" tanya Lie Beng Cie.
"Bisa," menyahut Lie It. la pernah melihat Thio Cie Kie menggunai ruyung di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Ia terus bersilat dengan kedua senjatanya itu.
Lie Beng Cie mengawasi, agaknya ia heran.
"Kau digelarkan Ut-tie, kenapa ilmu ruyungmu tak semahir ilmu pedang?" dia tanya. "Pula, ilmu pedangmu nampak belum dikeluarkan semuanya. Ada beberapa jurus yang masih dapat diperbaiki, agaknya kau takut mengeluarkannya. Kenapakah?"
Di dalam hatinya, Lie It terkejut.
Liehay toa-cu-koh ini, yang dapat melihat rahasianya itu.
Tapi ia dapat membesarkan nyali, ia menyahut dengan cepat.
Katanya: "Entah apa sebabnya, melihat demikian banyak mata mengawasi aku, aku menjadi bingung, selagi aku ingin mengasi lihat kebisaanku, aku justeru tak dapat menggunai pedangku ini”
Lie Beng Cie bersenyum.
"Nah, kau mempunyai kepandaian apa lagi yang istimewa?" ia tanya pula. "Aku dapat menyambuti senjata rahasia," menjawab Lie It.
Beng Cie berpikir. Tadi orang telah mempertunjuki ilmu panah.
"Baik," katanya. "Akan aku menyuruh orang memanah kau secara berantai. Apakah ujung panah tajam perlu disingkirkan?”
"Tidak usah," sahut Thio Cie Kie tetiron.
"Panah itu tidak mengenal kasihan, kalau kesalahan, hebat akibatnya. Apakah kau tidak takut?" Lie Beng Cie menegasi.
"Jikalau seorang memanah aku, aku memperhatikan dia," menjawab Lie It dengan keterangannya. "Dengan aku telah memperhatikan, pikiranku tidak kacau. Kalau ujung panah disingkirkan, aku kuatir kepandaianku nanti tidak dapat dilihat ..."
Lie Beng Cie tertawa terbahak.
"Jadi kau kuatir orang tidak melihat kepandaianmu!" katanya. "Baiklah, sekarang kau boleh mulai !"
Ia memberikan perintahnya.
Seorang kauw-wie lantas maju dengan dua ekor kuda tunggang. Kuda yang satu diserahkan pada Lie It, untuk dia ini menaikinya dan pergi ke sebelah depan. Keduanya lantas lari berputaran, berkejar-kejaran.
"Awas!" kemudian berseru si kauw-wie, yang terus memanah, hingga anakpanahnya berbunyi nyaring.
Lie It berkelit dengan tipunya "di dalam sanggurdi menyembunyikan diri." Anak panah lewat di iganya.
Ia menyampok balik, membikin anak panah itu jatuh ke tanah.
Segera datang serangan yang lain, bahkan saling- susul tiga kali.
Lie It mencelat jumpalitan di atas kudanya, tangannya menyambar berlaku sebat dan gapa.
Semua penonton kagum dan bersorak memuji.
Kauw-wie, atau busue itu, seorang jago panah, yang mengandalkan dirinya, maka ia penasaran semua serangannya gagal.
Lagi2 ia memanah, tiga kali beruntun.
Kali ini ia menggunai kepandaiannya yang istimewa.
Nampaknya tiga batang panah mengarah kepunggung. sebenarnya langsung kebokong, batok kepala dan samping iga.
Penonton semua terkejut, mereka berhenti bersorak secara mendadak, semua mata mendelong mengawasi.
Lie It tidak bingung.
Ia mencelat dari punggung kuda, hingga semua anak panah lewat di bawah kakinya.
Tapi ia bukan cuma mencelat, ia berjumpalitan dari itu tangannya dapat menyambar, menangkap ketiga batang anak panah itu.
Setelah itu, ia duduk pula di atas kudanya.
"Bagus!" Lie Beng Cie tanpa merasa berseru dengan pujiannya. Si penyerang menjadi merah mukanya. Justeru Lie It baru duduk, ia menyerang pula.
Kali ini dengan dua anakpanah beruntun, Ia bukan menyerang orang hanya kuda, kaki belakang.
Ia pikir : "Asal kudanya roboh dan dia roboh bersama, tidak usahlah aku mendapat malu ..."
Ia percaya, dengan Lie It lagi bercokol, tidak nanti dia mendapat waktu untuk dapat menangkap anakpanah di belakang kuda.
Ia tengah berpikir atau Lie It sudah bergerak dalam tipu silat "ikan gabus lompat berbalik."
Yalah dengan kedua kaki menyantel di pelana, tubuhnya mendengak ke belakang, kedua tangannya diulur dipakai menangkap kedua anakpanah itu!
Si busu melihat gerakan orang, ia heran dan penasaran, maka lagi sekali ia memanah pula, keras2 dua kali beruntun.
Menyaksikan itu, para hadirin menjadi mendongkol. "Ini piebu, mengadu kepandaian, bukannya mengadu
jiwa!" kata mereka di dalam hati. "Kenapa hatimu begini busuk ?"
Di dalam keadaan seperti ini, guna menolong dirinya, terpaksa Lie It mengasi lihat kepandaiannya yang istimewa.
Tidak bisa ia berkelit atau menangkap pula dengan kedua tangannya. Maka ia melenggak dan mementang mulutnya, menyambuti anakpanah yang satu, untuk memakai itu memapaki, menyerang anakpanah yang ke-dua, membikin anakpanah itu runtuh!
Maka gemuruhlah tepuk tangan para badirin.
Si tukang panah menghampirkan Lie Beng Cie, untuk menyerahkan tugasnya sambil ia menyatakan: "Thio Cie Kie sangat liehay, aku menyerah kalah."
Lie It pun maju kepada kepala Sin Bu Eng itu, untuk mengatakan ia gagal menangkap anakpanah yang ke- dua, hingga ia cuma membuat buah tertawaan saja.
"Kepandaian kau tidak dapat dicela," kata Lie Beng Cie.
"Bukan saja kau pandai menyambuti senjata rahasia, juga ilmu ringan tubuhmu dan tenaga-dalam telah ada dasarnya. Kau hebat!"
Toa-cu-koh ini mengangkat pitnya yang bertinta merah, tetapi ia memutarkan itu tanpa dikasi turun ke kertas daftar, seperti juga ia lagi memikir. Ia pun berdiam saja.
Mau atau tidak, hati Lie It berdebaran. Ia turut dalam, ujian asal dapat dipilih supaya ia bisa berada dalam keraton, dekat dengan Bu Cek Thian, guna turun-tangan, tetapi barusan, dua anakpanah terakhir dari penyerangnya memaksa ia mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa.
Ia percaya, kepandaiannya itu bisa mendatangkan kecurigaan orang, apabila ia didesak, rahasianya bisa pecah. Lie Beng Cie masih belum menurunkan pitnya. Lebih dulu ia menyuruh si tukang panah mengundurkan diri, lalu ia melihat pula daftar.
"Kau mundur dulu, kau menanti sebentar," katanya kemudian.
Lie It mundur dengan hati terus tidak tenteram.
---o^dewiKZ^0^TAH^o---
HABIS dia, maju satu calon lain, namanya Cui Tiong Goan, seorang yang dipujikan pembesar kota Sin-koan, Holam.
"Kaulah seorang ahli pedang kenamaan dari Holam," berkata Lie Beng Cie. "Apakah kau pernah menemui tandingan?"
Terkejut juga Lie It. la pernah mendengar nama Cui Tiong Goan, yalah muridnya Pat-Ciu Sian-Wan Cia Pouw Cie. Dia terkenal di lima propinsi Utara. Tidak disangka, dia datang sebagai calon juga.
Ia pun heran, kenapa Lie Beng Cie menunda ianya dan sebaliknya memanggil dulu kiam-kek, ahli pedang, dari Holam itu.
Tiong Goan seorang yang dapat berlaku merendah di luar, di dalam dia jumawa. Dia menjawab: "Di kolong langit ini banyak ahli pedang kenamaan, sayang murid belum pernah menemuinya. Pernah murid bertemu beberapa orang tua, mereka pernah memberi petunjuk tetapi belum pernah kita bertanding. Untuk yang lainnya, mereka tidak dapat dipikirkan, jikalau murid bertanding dengan mereka, menang pun tidak ada harganya untuk disebut-sebut."
Tiong Goan menyebut dirinya "murid," sebab adalah kebiasaan, umumnya di dalam ujian, calon memandang diri sebagai murid, penguji dianggap sebagai guru. Untuk ujian sipil dan militer, sama saja.
Lie Beng Cie bersenyum.
"Jadinya, kecuali beberapa tertua yang terbatas itu, kau belum menemui tandinganmu!" katanya. "Kau menyebut beberapa tertua, siapakah mereka itu?"
"Liap-in-kiam Kok Sin Ong dan Pat-sian-kiam Wan Bok pernah murid menemuinya di rumah murid," Tiong Goan menyahut. "Itulah kejadian lima atau enam tahun yang lampau. Selagi bergembira, mereka menyuruh murid main-main."
"Sampai berapa jurus kau dapat melayaninya?" Beng Cie menanya pula.
"Beberapa tetua itu cuma hendak mencoba, mereka tidak mengeluarkan kepandaian mereka, dari itu murid cuma menyambut mereka sepuluh jurus lebih," sahut pula Tiong Goan.
"Dia dapat melayani lebih daripada sepuluh-jurus, itulah hebat," memikir Lie It. "Dia jadinya bukan bernama kosong!"
"Jikalau begitu, ilmu pedangmu tidak ada kecelaannya," kata Beng Cie tertawa. "Sekarang aku ingin menyaksikan kepandaianmu itu. Hendak aku menyuruh seorang melayanimu, setujukah kau?" "Setuju!" sahut Tiong Goan, yang hatinya jumawa. "Bagus!" berkata Lie Beng Cie, yang lantas menunjuk
Lie It.
"Aku menunjuk dia untuk melayani kau main-main" Lie It terkejut.
"Mana dapat murid melayani dia?" berkata ia dengan cepat. "Harap tayjin menunjuk lain orang saja. "
"Kau jangan kuatir!" berkata Beng Cie tertawa.
Terus dia menyuruh mengambil dua batang pedang kayu, sedang seorang lain diperintah mengambil semen ke dalam mana ujung kedua pedang dibelesaki, setelah mana, kedua pedang diserahkan masing-masing kepada kedua calon itu.
Beng Cie lantas berkata pada Lie It: "Tadi kau belum memperlihatkan sernua ilmu pedangmu, sekarang ketikanya untuk mencoba itu. Cara ini juga tidak membahayakan jiwa, hingga kedua belah pihak tak usah menguatirkan apa juga. Habis pertandingan akan diperiksa, siapa yang paling banyak totokan semennya di tubuhnya, dari situ akan bisa dilihat siapa menang dan siapa kalah!"
Lie It bukan takuti Tiong Goan, ia hanya berkuatir nanti orang melihat kepandaiannya, yang mana bisa berarti juga terbukanya rahasianya.
Untuk ia, menang atau kalah serba-salah.
Tapi cu-koh sudah memerintahkan, ia tidak dapat menolak.
Maka ia bawa pedangnya maju ke dalam kalangan. Cui Tiong Goan nampak sangat bersemangat. Lie It itu tidak dia pandang.
"Silakan kau memberikan pengajaranmu saudara Thio!" katanya lantang, pedangnya melintang di depan dadanya.
"Saudara Cui yalah ahli pedang kenamaan, mana siauwtee berani lancang!" kata Lie It merendah. Ia pun menyebut diri siauwtee, adik. "Silakan saudara saja yang mulai."
Lie It bersangsi, mencoba merebut kemenangan atau mengalah?
Tiong Goan menjadi tidak sabaran. "Maaf!" katanya sambil terus menyerang.
Dia menikam ke muka dengan jurusnya "Heng cie thian lam," atau "menuding melintang ke selatan"
Guru Tiong Goan dikenal sebagai Pat-Ciu Sian Wan, Si Kera Sakti Tangan Delapan, iImusilat pedangnya pun dinamakan "Leng Wan Kiam-hoat," atau ilmu pedang Kera Sakti, maka itu bisa dimengerti kegesitannya, sedang Tiong Goan sudah mendapatkan kepandaian gurunya itu.
Demikian, hebat penyerangannya ini, yang tidak bisa diduga, serangannya gertakan belaka atau sungguh- sungguh.
Lie It berkelit dengan hatinya terkesiap. Masih ia bersangsi.
Ujung pedang nyerepet di pundaknya. Melihat itu, semua hadirin tertawa riuh. Ia menjadi merah mukanya. Ia telah kena ditowel pedang.
Ia berpikir keras: "Rupanya Lie Beng Cie telah mencurigai aku, jikalau aku mengalah terus, rahasiaku bisa benar-benar terbuka. Inilah berbahaya "
Karena ini, ketika Tiong Goan mengulangi serangannya, ia tidak bisa mengalah terus. Ia lantas menangkis sambil menggeser tubuhnya ke samping, ia lantas membalas menyerang.
Ia juga menggunai jurusnya Tiong Goan itu yalah "Heng cie thian lam."
Tiong Goan berseru kaget, ia berkelit, tetapi pundaknya telah kena ditowel!
Ia menjadi kaget berbareng gusar.
Sambil memusatkan perhatian, ia pun menyingkirkan pandangan rendahnya kepada lawannya ini.
Maka sekarang ia menyerang sambil tak melupakan penjagaan diri.
Dengan cepat mereka telah bergerak kira2 tigapuluh jurus.
Para hadirin menjadi kagum.
Banyak yang matanya menjadi seperti kekunangan. Tiong Goan bergerak-gerak bagaikan terbang,
sebatang pedangnya seperti menjadi puluhan batang.
Dia berlompat ke kiri dan kanan Lie It, ke belakang, lalu ke depan, hingga Lie It nampak cuma bisa menangkis, tidak dapat menyerang. Lie It menggunai ilmu pedang Pat-sian-kiam yang biasa, ia menjadi repot.
Para hadirin lantas berpikir: "Ilmu pedang Thio Cie Kie tidak dapat dicela tetapi biar bagaimana, Cui Tiong Goan menang satu tingkat dari ianya!"
Lalu mendadak datang titahnya Lie Beng Cie menghentikan pertandingan itu.
Sambil tertawa, cu-koh ini kata: "Kamu berdua seimbang, tidak usah kamu bertanding lebih jauh. Thio Cie Kie lebih banyak kena ditowel akan tetapi Cui Tiong Goan tertowel di tempat-tempat yang berbahaya. Karena kamu berdua mempunyai kelebihanmu masing-masing, lain kali kamu dapat berlatih bersama untuk peryakinan terlebih jauh."
Sesudah orang berhenti bertanding, para hadirin melihat tubuh Lie It seperti penuh totokan semen, tetapi Tiong Goan telah tertowel tiga kali uluhatinya, maka kalau dia bukannya tertikam pedang kayu, mungkin jiwanya sudah terbang.
Maka orang pun kagum kepada cukoh, yang matanya demikian tajam.
Lie Beng Cie menggeraki pitnya, membuat dua bundaran merah di namanya kedua calon itu seraya dia berkata: "Kamu berdua dapat diterima! Sebentar, seselesainya ujian, nanti kita berbicara terlebih jauh."
Lie It mengundurkan diri dengan hatinya terus tidak tenang.
Ketika calon-calon lainnya diuji, ia tidak ketarik untuk memperhatikan mereka itu. Ia pun lantas dirubung oleh banyak busu yang mengaguminya.
Hanya kemudian ia memasang kuping ketika ia mendengar ada orang yang membicarakan urusannya.
"Aku lihat cukoh tidak adil," berkata satu orang. "Mestinya si orang she Thio yang menang. Coba
mereka menggunai senjata benar, kalau orang kena ditikam tiga kali uluhatinya, apakah dia masih hidup?"
"Bukannya begitu," kata yang lain. "Thio Cie Kie terluka di seluruh badannya, meski lukanya tidak berbahaya apa ia masih dapat membuat perlawanan dan menikam uluhati orang?"
"Kamu berdua keliru," kata orang yang ke-tiga. "Habis?"
"Aku pun tidak dapat memutuskannya. Bukankah kita semua tidak melihat jelas ? Siapa tahu, sesudah terlukakan beberapa kali baru si orang she Thio dapat menikam uluhati tandingannya?"
Dua orang itu bungkam.
"Lekas lihat, lekas lihat!" kata seorang lain lagi. "Lihat, ilmu tombaknya orang itu baik sekali!" Orang lantas mengawasi kalangan piebu.
Lie It turut melihat.
Seorang calon nampak lagi bersilat dengan tombak, anginnya menyamber-nyamber.
Lie It tidak melihat lama, ia memikirkan pula urusannya. Ia memikirkan perkataannya Lie Beng Cie.
Tiba-tiba ada orang menghampirkan ia, menepuk pundaknya, lalu berbisik di kupingnya: "Saudara, kau menyimpan diri dalam-dalam hingga kau bagaikan kosong!"
Ia terperanjat. Ia mendapati orang berewokan, bicaranya sambil bersenyum, dan senyumannya rada aneh.
Orang itu melanjuti, "melihat kepandaian kau, saudara tidak selayaknya kau mengalah mengasi dirimu tertikam, tetapi kau mengasikan dirimu ditikam berulang-ulang! Inilah sifatnya seorang ksatrya tulen, kau menolongi orang! Sungguh, aku kagum terhadapmu!"
"Bukan, bukan begitu!" kata Lie It lekas. "Memang ilmu pedangnya Cui Tiong Goan liehay. Dia bahkan yang mengalah!"
"Jikalau aku menjadi Cui Tiong Goan, sedari siang- siang aku sudah melemparkan pedang untuk mengaku kalah," kata pula orang itu. "Taruh kata dia tidak menginsafi bahwa kau mengalah, dia mesti ketahui, setelah empat kali dia menikam kau, kau lantas menikam uluhatinya. Dia murid guru kenamaan, dan dia bertempur terus, sungguh dia bermuka tebal!"
Lie It heran.
Orang ini matanya tajam. Apakah maksud dia?
"Lagi satu hal siauwtee tidak mengerti tolong saudara menjelaskan," kata pula si busu. "Apakah itu?" kata Lie It. "Sudilah saudara menerangkan ”
Meskipun ia tidak suka bicara tetapi Lie It merasa tidak enak berdiam saja.
"Saudara telah menggunai ilmu pedang Pat-sian Kiam- hoat, ada satu jurusnya yang luar biasa," kata orang itu. "Entah apakah namanya jurus itu?"
Ia lantas memetakan jurus tersebut dengan gerakan kuda-kuda dan kedua tangannya.
Kembali Lie It terkejut.
Orang ini bermata tajam dan liehay.
Memang itu satu jurus ciptaan gurunya mirip dengan jurus "Terapung di lautan bintang.” dari ilmusilat Pat-sian Kiam-hoat.
Terpaksa ia bersandiwara.
"Aku terdesak Tiong Goan, saking terpaksa aku menggunai jurus itu," katanya tertawa. "Sebenarnya itu bukan jurus berarti. Aku membuat saudara tertawa saja."
"Jadi saudara Thio menciptakan itu seketika tengah terdesak. Tapi itulah liehay! Benar-benar aku kagum!" kata pula si berewokan, suaranya seperti mengejek seperti bukan.
Lie It lantas berpura-pura menonton, karena justeru itu ia mendengar tempik sorak ramai.
Tapi justeru ia menonton, ia menjadi tertarik hatinya.
Calon kali ini yalah seorang muda dengan pakaian putih, dia lagi mempertunjuki permainan golok menabas pelatok. Di ujung gelanggang ditancapkan belasan pelatok kayu sebesar cangkir teh, si calon memisahkan diri delapan tombak, dari situ dia menimpuk dengan huito, "golok terbang," setiap kalinya, dia membuat pelatok itu putus.
Kepandaian itu tidak aneh, yang heran yalah tenaga- dalamnya.
Sebab yang dinamakan huito atau golok terbang adalah sebilah pisau belati yang tipis, tetapi pisau kecil itu dapat memutuskan pelatok itu.
Di dalam hatinya, Lie It memuji.
Tujuh kali sudah si busu pakaian putih menimpuk, lalu dia kata nyaring: "Masih ada tiga batang huito! Kali ini aku hendak menyerang berbareng memutuskan tiga pelatok dengan berbareng juga!"
Orang heran, semua lantas berdiam, mata mereka mengawasi tak berkedip.
Calon itu berkata demikian, sebelah tangannya diayun, tetapi goloknya tidak terlihat terbang.
Orang menjadi heran, semua tercengang.
Justeru begitu ada suara tajam berseru: "Bekuk pembunuh gelap!"
Itulah sebab si calon bukan menimpuk ke depan hanya ke belakang, ke arah panggung tempat duduknya cukoh!
Jadi dia hendak membunuh Lie Beng Cie, pemimpin tangsi Sin Bu Eng!
Kejadian sangat di luar dugaan. Di samping teriakan itu, orang mengetahuinya sesudah ketiga huito disampok jatuh oleh Lie Beng Cie.
Melihat demikian, busu pakaian putih ini berseru bengis: "Mati yang menentang aku! Hidup siapa minggir!"
Lantas dengan memutar pedangnya, dia menerjang ke luar.
Lie It tidak bisa berpikir lama-lama, ia sudah segera diserang oleh Bu-su baju putih itu, hingga mau tak man ia harus melawan juga.
Ketika ada orang yang merintang, ia menyerang dengan huito.
Sebentar saja, tiga orang terlukakan pedang, dua orang terkena huito. Keadaan lantas menjadi kacau.
Lie It tidak ingin campur urusan itu, ia hendak menyingkir, atau si berewokan berbisik di kupingnya: "Lekas pegat pembunuh itu!"
Justeru itu, si busu baju putih lari ke arahnya, dengan lekas dia mendekati hingga tiga tombak.
Si berewok berteriak, atas mana ia diserang dengan huito.
Ia berkelit seraya mendak. Entah disengaja atau tidak, sikutnya menyentuh Lie It. Dia ini tidak menyangka, dia terbentur hingga terhuyung dua tindak.
Maka tepat sekali, huito menyamber ke tenggorokannya.
Syukur ia awas dan lincah, sekalian saja ia menggeser kakinya satu tindak, hingga tenggorokannya itu ketolongan.
Tapi huito yang kedua menyusul.
Golok ini ia lantas hajar jatuh dengan pedangnya. Sementara itu, si pakaian putih telah tiba!
Masih Lie It bersangsi.
"Tangkap atau jangan?" demikian pertanyaan yang berkutat dalam hatinya.
Orang hendak membunuh Lie Beng Cie, orang mesti ada orang dari golongannya. Kalau ia tidak menangkap, rahasianya sendiri bakal pecah. !
Si busu pakaian putih tapinya tidak banyak pikir, ia tidak ragu-ragu. "Ser !" suara pedangnya, yang ditikamkan ke muka Thio Cie Kie tetiron. !
Sekarang tidak dapat Lie It bersangsi pula. Ia terancam bahaya. !
Maka ia lantas menangkis!
Dan ia mesti menggunai jurusnya yang istimewa karena datangnya serangan hebat sekali "Traang !"
demikian suara bentrokan.
Pedang busu itu terpental. Tetapi ia lihay, tanpa menarik pulang lagi, hanya dengan mengikuti ayunan senjata, dia menyerang pula, hingga sinar pedangnya bagaikan menggulung.
Dengan jurusnya "Mengikuti angin memecah gelombang,"
Lie It menangkis memecahkan serangan itu.
Atau lagi-lagi si busu menikam pula, untuk mengulang dan mengulanginya hingga tujuh kali, semua mengarah anggauta-anggauta tubuh yang berbahaya.
Karena ini terpaksa Lie It membela diri dengan jurusnya "Memeluk pokok, menjaga satu."
Hebat pertahanan ini, serangan si busu tidak memberi hasil.
Justru orang kewalahan, mendadak Lie It membalas menyerang dan ia berhasil menikam lengan orang.
Ketika itu, karena tercegat Lie it, lain-lain busu dan wiesu keburu memburu. Dua wiesu liehay dari Sin Bu Eng berlompat maju, yang satu menangkap kedua tangan orang, yang satu pula menendang.
Karena tangannya terluka, busu pakaian putih itu kehilangan kegesitannya.
Dia roboh tertendang, dia lantas ditubruk, maka di lain saat, dia lantas terbelenggu.
Coba dia tidak terluka, pasti dia masih melawan hebat. "Pembunuh sudah tertangkap, beres sudah !" berkata
satu wiesu kepada semua calon.
"Silakan kamu kembali, untuk menantikan dilanjutinya ujian. Jangan ada yang kacau !"
Cui Tiong Goan melihat kegagahannya Lie It itu, baru sekarang ia insaf bahwa ia kalah dari Lie It, maka itu ia mengundurkan diri dengan kuncup.
Lie It sebaliknya sangat berduka.
"Dia bernyali besar, dia gagah tak ada di bawahanku," katanya di dalam hati. "Sayang dia kena ditangkap
............" Ia menyesal bukan main. Ketika ia memandang kepada si busu, justeru orang itu mengawasi tajam kepadanya, sinarmatanya menunjuki dia penasaran dan berduka.
Maka ia menjadi semakin tidak enak hati, lekas-lekas ia berpaling ke lain arah.
"Penjahat telah kena ditawan, jasamu paling besar !" kata si jago Sin Bu Eng. "Pasti Lie Tayjin akan menghadiahkan besar kepadamu !" "Terima kasih," kata Lie It perlahan, sedang hatinya bagaikan karam.
Habis kekacauan lantas datang ketenangan.
Lie Beng Cie segera mengumumkan : "Ujian ditutup sampai di situ, akan dilanjuti besok."
Ketika orang bubaran, Lie It turut mengundurkan diri.
Ia heran Lie Beng Cie tidak menyapa ia, hingga ia jadi berpikir keras.
Kembali ia diliputi kesangsian dan kekuatiran.
Selagi orang ramai membicarakan urusan si pembunuh dengan sepakterjangnya itu yang berani, ia berjalan cepat, kepalanya tunduk.
Baru ia keluar dari kalangan, mendadak ia merasa ada orang menepuk pundaknya. Tempo ia mengangkat kepala, ia mendapatkan si berewokan.
"Haha, saudara......!" kata dia itu. "Kegagahan kau melebihkan dugaanku....! llmu pedangmu itu, walaupun Ut-tie Ciong memunculkan diri pula atau Kok Sin Ong hadir di sini, mereka pun tak beda banyak ! Benar-benar hari ini mataku telah terbuka. !"
Lie It mengeluh dalam hatinya. Orang pertama-tama menyebut gurunya.
Itu tandanya orang ini melihat bahwa ia telah menggunai jurus ajaran gurunya itu.
Karena terpaksa, ia berlagak pilon.
"Kau bergurau, tuan," katanya, tertawa. "Mana bisa aku dibandingkan dengan dua wiesu liehay itu " Si berewokan tidak memperdulikannya.
"Kau berjasa, saudara, kau bakal memperoleh hadiah besar," katanya pula. "Siapa tahu kau bakal diangkat menjadi wiesu dari Thian Houw ? Itulah artinya terbang tinggi ! Maka aku mengharap sangat kau nanti membantu mengangkat aku !"
Si berewokan menatap, lantas dia tertawa.
"Saudara begini setia dan menyinta negara, sungguh siauwtee kagum !" katanya.
Kewalahan Lie It untuk menyingkir dari orang berewokan ini, terpaksa ia melayani orang bicara, untuk saling belajar kenal, maka tahulah ia, orang itu she Lam- kiong bernama Siang, asal kota Lim-cu, propinsi Shoatang.
Dari pembicaraan ini pun ia menjadi mendapat tahu, calon pembunuh Lie Beng Cie itu bernama Pek Goan Hoa, penduduk sekitar kotaraja.
"Heran," pikir Lie It. "Di kota raja ini, pemilihan calon mestinya keras, kenapa dia dapat dipujikan ? Pembesar yang memujikannya pasti bakal diseret ke dalam penjara
............"
Di hari ke-dua lantas dapat diketahui, calon untuk tangsi Sin Bu Eng itu telah didapatkan cukup seratus orang, diantaranya Lam-kiong Siang juga lulus, bahkan si berewokan ini dimasuki dalam satu rombongan dengan Lie It, menjadi "wiesu yang meronda di luar istana."
Sebab istana itu terpecah dua, luar dan dalam, luar yalah keraton tempat audiensi, tempat rapat pelbagai menteri dan kantor menteri-menteri, sedang istana yalah tempat ratu atau permaisuri, selir-selir dan lainnya keluarga raja. Di antara istana dan keraton ada batasnya dan terjaga keras.
Karena itu, Lie It putus-asa.
Dengan ditempatkan di istana luar, itu artinya. tidak dapat ia datang dekat kepada raja, kepada Bu Cek Thian.
Lewat lagi dua hari, Lie It menjadi heran dan bercuriga. Ia masih belum mendapat panggilan dari Lie Beng Cie. Pada dua hari pertama, ia juga masih belum bertugas meronda atau berjaga.
Demikian, ketika ia tinggal berduduk dengan masgul di kamar penginapan wiesu, ia dihampirkan si wiesu Lam- kiong Siang yang berewokan yang mengajaknya memasang omong.
"Sayang kita ditugaskan diluar hingga kita tidak dapat menyaksikan keindahan taman di dalam istana," katanya tiba-tiba.
Lie It cuma melayani "ya..., ya..." saja.
Ia tidak gembira untuk berbicara, ia memang tidak ingin membicarakan urusan seperti itu.
"Kabarnya Thian Houw berdiam. di istana Leng po- kiong yang terlarang," kata pula Lam-kiong Siang. "Istana itu katanya bagaikan tempat dewa-dewi. Ada seorang wiesu sahabatku, dia pernah masuk ke dalam istana dia memujinya tak habisnya. Leng-po-kiong itu adanya dekat Pengempang Thay-Ya-tie, di sebelah depannya yalah pendopo Kian-goan-tian dari raja ahala Tong. Kian-goan-tian indah tetapi masih kalah dengan Lengpo-kiong !" Lie It kenal baik keraton yang disebutkan. Semasa kecilnya, sering ia bermain-main di situ.
Sebaliknya daripada memperhatikan cerita Lam-kiong Siang, ia heran kenapa si berewokan ini menyebut2 keletakannya keraton itu, dia seperti sengaja membocorkan rahasia istana Bu Cek Thian.
Tengah mereka bicara, ada datang seorang pesuruh dari tangsi Sin Bu Eng. Dia memanggil Lie It. Maka Thio Cie Kie tetiron menjadi bertambah heran dan curiga. Ketika itu sudah mendekati magrib.
---o^DEWIKZ^0TAH^o---
BIARNYA ia bercuriga, karena dipanggil sepnya, Lie It tidak berani membantah. Maka ia tak, berayal akan mengikuti pesuruh itu. Ketika ia mau pergi, Lam-kiong Siang melirik ia dan berkata sambil tertawa : "Saudara Thio, ketikamu yang baik telah tiba, maka kau sambutlah itu baik-baik !"
Hati Lie It bercekat. Kata-kata itu seperti mengandung dua maksud.
Lie Beng Cie bendiam di pendopo samping dari Ngo Hong Lauw yaitu lauwteng Lima Ekor burung Hong, yalah batas di antara istana atau lweewan, dan keraton luar, gwa-kiong. Ia tengah menantikan ketika Lie It tiba. Lantas ia tertawa.
"Apakah kau belum bersantap malam ? Mari kita bersantap bersama !" Lega sedikit hati Lie It menampak orang ramah- tamah.
Lie Beng Cie memuji kepandaian si orang she Thio tetiron, lalu dia menanyakan riwayat dan pengalamannya semasa belajar silat.
Itulah pertanyaan yang Lie It telah menduga semenjak siang-siang, maka itu, dapat ia menjawabnya dengan baik.
Tadinya, di samping meminta surat pujian Thio Cie Kie, ia juga sudah menanyakan asal-usuinya orang she Thio itu, hingga sekarang dapat ia memberikan jawaban seperlunya.
Ia merasa bahwa ia tidak sampai membuka rahasia sendiri.
Lie Beng Cie juga tidak menanyakan dengan melit.
Setelah tiga idaran, habis sama-sama mengeringkan sebuah cawan, baru Lie Beng Cie menimbulkan soal membekuk-calon pembunuh.
Katanya : "Tentang itu hari ujian kau menangkap orang jahat sudah aku molaporkannya kepada Thian Houw, setelah diperiksa, ternyata orang itu ada pesuruhnya Cie Keng. Sekarang aku hendak menyerahkan padamu sebuah tugas."
Hati Lie It melonjak.
"Silakan tayjin menitahkannya," katanya terpaksa. Sebisa-bisa ia menunjuki roman tenang.
"Thian Houw menitahkan aku," berkata Lie Beng Cie, "supaya pembunuh itu diserahkan kepada Taylwee congkoan untuk diperiksa, maka kaulah yang harus mengantarkan dia. Setelah itu, untuk sementara kau mesti berdiam sama congkoan tayjin di sana. Ada kemungkinan Thian Houw nanti memanggil kau menghadap."
Kabar ini diterima Lie It dengan separuh girang dan separuh kuatir.
Ia girang karena dengan begitu datang ketikanya untuk ia berada dekat sama Bu Cek Thian.
Yang membuatnya kuatir yalah ia takut kalau-kalau si calon pembunuh nanti dihukum mati. Itulah seperti juga ia yang mengambil jiwa orang itu.
"Inilah suatu tugas rahasia, tidak dapat orang luar mengetahuinya," berkata pula Lie Beng Cie. "Setelah cuaca gelap, baru kau membawa dia, supaya tidak sampai menyolok di mata orang banyak, oleh karena dikuatir baik di dalam terutama diluar istana masih bersembunyi konco2nya Pwee Yam. Umpama kata mereka mendapat tahu kau mengiringi penjahat itu, mungkin mereka memegat dan menyerang di tengah jalan guna membungkam mulut orang itu. Maka kau harus berlaku hati-hati. Kau lebih gagah daripada dia, umpama benar terjadi sesuatu, kau dapat menguasai dirinya."
Baru sekarang Lie It mengetahui kenapa ia dipanggil di waktu magrib itu.
Sampai di situ Lie Beng Cie mengasi tahu Lie It tentang tanda-tanda di antara wiesu di dalam istana, juga caranya bagaimana si orang tawanan mesti diserahkan kepada taylwee congkoan, habis mana baru dia menyuruh seorang wiesu membawa keluar orang tawanan tersebut.
Orang itu bermata cekung dan tindakannya tidak wajar, maka melihat demikian, Lie It menduga bahwa pastilah orang telah disiksa.
Dia mengawasi dengan mata tajam dan bengis, bibirnya bergerak tetapi tidak keluar suaranya.
Itulah tanda bahwa dia telah ditotok urat gagunya hingga dia tidak dapat menegur atau mendamprat. Ia menjadi sangat masgul.
Dengan menguati hati, ia memegang tangan orang untuk dituntun.
Ia membawa orang itu pergi dengan ia memegang kim pay.
Tiba di batas keraton, Lie it disambut oleh satu wiesu, yang menunjuki ia jalan ke congkoan-hu, yaitu kantor congkoan, hingga ia harus pergi seorang diri.
Ia jalan melintasi taman.
Ketika itu cahaya rembulan terang.
Ia meliwati lorong dan pepohonan, pohon yangliu dan bunga. Setindak demi setindak ia berjalan di tempal di mana ia biasa pesiar, hingga ia berduka sendirinya.
Segera juga Lie It tiba di samping gunung-gunungan di mana tidak ada orang lainnya.
Mendadak si orang tawanan berkata dengan perlahan
: "Kita berdua tidak bermusuhan, apakah benar-benar kau menghendaki jiwaku ?"
Lie It terkejut. Bahwa orang itu dapat membebaskan diri dari totokan urat gagu, ia tidak heran. Orang itu memang liehay.
Ia hanya kaget atas itu pertanyaan langsung dan tajam, hingga ia menjadi bingung dan tidak lantas dapat menjawab.
"Kau cuma mau mencari pangkat, bukankah ?" berkata pula si orang tawanan. "Dengan membikin aku celaka, paling banyak kau bakal diangkat menjadi tong- nia atau wiesu di dalam keraton. Jikalau kau suka mendengar perkataanku, aku berani menanggung untukmu pangkat yang terlebih besar dan kemuliaan yang terlebih besar pula."
"Bagaimana ?" tanya Lie It heran.
"Kita bekerja sama membunuh Bu Cek Thian, lantas kau menjadi menteri besar yang berjasa yang membangun pula Kerajaan Tong yang agung!"
Hanya sejenak itu, otaknya Lie It berkutat.
"Aku tidak mengharapi pangkat, lebih-lebih tidak kemuliaan," sahutnya tawar.
Si orang tawanan mengawasi mendelong.
Lie It pun memandang orang itu, lalu mendadak ia berkata: "Aku suka melepaskan kau, aku juga suka bersama kau membunuh Bu Cek Thian!"
Si orang tawanan membuka iebar matanya. "Benarkah?" ia menanya, menegasi.
Lie It menghunus pedangnya, untuk membabat borgolan hingga putus.
"Sekarang juga kita pergi!" katanya. Orang tawanan itu mementang matanya lebih besar. "Kau siapa?" ia tanya.
"Kau sendiri siapa?" ia balik bertanya.
"Aku Pek Goan Hoa dari kota-raja ini, akulah rakyatnya Kerajaan Tong yang agung!"
"Aku buyutnya Kho Couw yliongtee, aku yalah Lie It!" "Oh!" Goan Hoa berseru, kaget dan heran:
"Sebenarnya Engkok-kong menitahkan aku pergi pada kau, siapa sangka kita bertemu di sini!"
Lie It tidak berkata lagi hanya menarik tangan orang untuk diajak lari melewati taman bunga itu sampai di tepi pengempang Thay-ya-tie, dari mana lantas mereka bisa melihat keraton Lengpo-kiong.
"Saudara Pek, tolong kau memasang mata di sini," kata Lie It.
"Jikalau ada yang memergoki, kau hajar mampus padanya dengan golok-terbangmu!"
Ia lantas mengeluarkan beberapa buah pisaubelati, diserahkan pada orang tawanan itu.
Senjata tajam itu ia siapkan untuk membunuh Bu Cek Thian, karena mana, ia cuma membekal dua bilah.
"Apakah thianhee ada menjanjikan lain orang?" tanya Pek Goan Hoa.
"Cuma kita berdua. Takutkah kau?" Goan Hoa tertawa.
"Jikalau aku takut, tidak nanti aku serang Lie Beng Cie!" jawabnya. Keraton Leng-po-kiong berada di tepi pengempang Thay-ya-ti, di belakang itu sebuah gunung palsu, maka Lie It menitahkan Pek Goan Hoa bersembunyi di dalam gunung-gunungan itu untuk memasang mata, ia sendiri lantas menggunai kepandaiannya ringan tubuh, untuk berlompat nails ke gunung, untuk dari sana berlompat naik lebih jauh ke genting kaca dari keraton tersebut itu.
Keraton Leng-po-kiong terdiri dari beberapa wuwungan, dari satu yang di tengah nampak cahaya api terang, maka Lie It menuju ke sana.
Sebentar saja ia telah tiba.
Ia memasang mata dan kuping.
Ia tidak melihat wiesu dan tidak mendengar sesuatu suara.
Lalu ia kata di dalam hatinya: "Pastilah Bu Cek Thian tidak menyangka bahwa ada pembunuh yang memasuki keratonnya ini, maka juga dia berbesar hati dan beralpa. Dasar dia bakal hilang jiwanya!"
Lantas dengan menyangkel kakinya di payon rumah, Lie It membikin tubuhnya bergelantungan di ujung genting, untuk matanya memandang ke dalam keraton.
Justeru itu, ia mendengar: "Thian Houw terlalu bercapai lelah ”
Lie It terkejut.
Ia mengenali suara itu, suaranya Siangkoan Wan Jie. Hampir kakinya terlepas dari cantelannya.
Jadi benar apa yang ia dengar mengenai Nona Siangkoan itu. Katanya dalam hatinya: "Benar-benar Wan Jie sudah melupakan sakithati ayah dan ibunya, dia bertakluk kepada musuh!"
Maka ia menjadi sangat berduka, ia berputus asa.
Darahnya lantas bergolak, sampai ia tidak tahu bagaimans harus menenangkan diri.
Tapi, ia berhati kuat, ia lantas mengawasi.
Kali ini ia bagaikan disiram air dingin, hingga hatinya pun menjadi dingin separuhnya.
Bu Cek Thian dan Siangkoan Wan Jie duduk berhadapan.
Di samping Bu Cek Thian berdiri seorang nona.
Dan dialah bukan lain orang daripada Bu Hian Song, nona yang cantik dan liehay itu!
Bukan kepalang bingungnya ini pemuda bangsawan.
Ia sudah menggenggam pisaubelatinya tetapi tidak dapat ia menimpuk dengan itu. Dengan adanya Bu Hian Song di sisi ratu, penyerangan tidak dapat dilakukan, atau itu akan berarti kegagalan.
Jadi malam ini ia telan pasti gagal.
"Kouw-kouw," terdengar suaranya Bu Hian Song, yang memanggil kouw-kouw atau bibi kepada ratu itu, "apakah malam ini kouw-kouw ingin melihat si pembunuh?"
"Aku tidak ingin melihat pembunuh itu, hanya aku memikir melihat orang yang menangkapnya," menyahut Bu Cek Thian, si ratu. "Kabarnya orang itu liehay ilmu pedangnya," berkata Bu Hian Song.
"Bahkan Lie Beng Cie tidak dapat mengenali asal-usul dari ilmu pedangnya itu."
"Maka itu si pembunuh tidak aneh, yang aneh yalah orang yang menawannya!"
"Apakah namanya dia?" Hian Song tanya pula. "Menurut Lie Beng Cie, dia orang Bie-san, namanya
Thio Cie Kie."
"Ah, belum pernah aku mendengar nama itu "
kata Hian Song heran.
"Thian Houw," Wan Jie campur bicara. "Ada satu hal mengenai mana aku sangat tidak mengerti."
"Apakah itu?"
"Pembunuh itu dipujikan pembesar di kota raja.
Kenapa si camat tidak diperiksa untuk dihukum?" Bu Cek Thian tersenyum.
"Perlahan-perlahan kau bakal mengerti!" Hatinya Lie It bercekat.
Teranglah Bu Cek Thian telah mencurigai dia.
Pula tindakan Bu Cek Thian dalam urusan calon pembunuh itu agaknya di luar dari kebiasaan,
Hanya belum sempat ia memikir pula, ia sudah mendengar lagi suaranya ratu itu.
"Tentang si pembunuh, lain kali saja kita omongkan pula," katanya. ---o^DewiKZ^0^TAH^o---
"SEKARANG coba kau bacakan maklumatnya Cie Kong itu."
Siangkoan Wan Jie ragu-ragu, "Lebih baik kalau tidak dibacakan," katanya.
Bu Cek Thian tertawa.
"Maklumat itu maklumat menghukum aku, pastilah bunyinya mendamprat habis-habisan padaku!" ia kata. "Apakah kau takut aku mendengarnya? Jikalau aku takut dicaci, tidak nanti aku berani menjadi raja perempuan satu-satunya semenjak terbukanya dunia ini! Wan Jie, kau tetapkan hatimu. Maklumat itu buah-kalamnya Lok Pin Ong, pasti bunyinya tak buruk, maka aku justeru ingin mendengar, satu kali saja !"
Siangkoan Wan Jie terdesak, ia mengeluarkan maklumat itu dari sakunya, lantas ia membaca dengan perlahan :
"Si orang she Bu yang sekarang menjadi raja palsu, sifatnya luar biasa halus, tetapi dia sebenarnya orang rendah dan tidak mempunyakan pengaruh. "
"Bagus, karangan itu bagus dan tepat juga......!" kata Bu Cek Thian, memotong.
"Memang aku turunan rendah. Ayahku seorang pedagang kayu dan pamanku orang tani. Memang tabiatku juga tidak halus." Siangkoan Wan Jie membaca terus : "Dulu dia menjadi selirnya Seri Baginda Thay Cong, dia membikin kotor keraton. Dia mempermainkan almarhum Seri Baginda, untuk menjadi si orang berkuasa. Dengan jalan menjilat dia mempengaruhi Junjungan. "
"Tepat kata-kata itu......!" kata Bu Cek Thian. "Aku dikatakan menyesatkan Raja almarhum, aku dibilang busuk. Memang, semenjak ribuan tahun, demikian bangsa priya mencaci bangsa wanita.....! Walaupun iramanya irama kuno, toh tatabahasanya bagus ! Baca...., baca terus. "
Mukanya Wan Jie menjadi merah sendirinya.
Ia membaca perlahan " ........ hingga permaisuri diilas- ilas dan Junjungan terjerumus bagaikan binatang."
Dengan itu diartikan Bo Cek Thian sudah bergantian bersuamikan kedua raja ayah dan anak (Thay Cong dan Kho Cong), hingga dia berbuat sebagai binatang.
Cacian itu sangat hebat tetapi ratu itu tidak gusar, dia cuma tampaknya berduka.
"Apakah itu karena kehendakku?" dia bertanya sengit. "Baginda almarhum mengambil aku dari kuil, dia paksa aku menjadi selirnya. Apa aku bisa bikin? Sebabnya kenapa aku tidak ingin mati yalah untuk menganjurkan wanita di kolong langit ini selanjutnya jangan kesudian diperhina bangsa priya......! Aku telah diperhina oleh ayah dan anak dua generasi......! Lok Pin Ong bukan mendamprat rajanya, dia justeru menimpakan kedosaan atas diriku, itulah tidak dapat dikatakan adil !"
"Maka itu baiklah jangan dibacakan terus..........." kata Wan Jie. "Dari mulut anjing toh tidak bakal muncul caling gajah."
"Bukan, dengan mencaci Lok Pin Ong secara demikian, kau pun berbuat tidak adil," kata Bu Cek Thian. "Seorang menteri ada sudut pandangannya sendiri. Di mata mereka, wanita itu sumber air kebencanaan, dan wanita yang menjadi ratu yalah siluman. Lok Pin Ong pasti menganggap dia benar dan di waktu mengarang maklumatnya ini, tentu dia puas sekali, sama sekali dia tidak merasa bahwa dia menghina orang secara tidak adil."
"Kalau begitu baiklah, mari dengar lagi," kata Wan Jie.
"Hanya bukankah itu mengadakan yang tidak-tidak?"
Ia membaca : "Dia berhati bagaikan ular berbisa, dia bersifat seperti serigala. Demikian dengan kejam dia menganiaya menteri-menteri setia, dia membunuh encie dan engkonya, dia membinasakan raja dan meracuni ibunya! Dia dibenci manusia dan malaikat, dia tak dapat diterima Langit dan Bumi !"
Bo Cek Thian tertawa terbahak.
"Encieku itu mati membunuh diri.......!" katanya. "Perkara membunuh encie itu mungkin masih dapat dijambret sebagai alasan, seperti menyamber angin dan menangkap bayangan, tetapi tuduhan membunuh engko, membinasakan raja dan meracuni ibu, darimana datangnya itu? Maka aku jadi ingat kepada satu lelucon. Ada seorang kiejin turut dalam ujian, dalam karangannya ada kata-kata ‘Adikku mati di Kanglam, kakakku terbinasa di perbatasan Utara.’ Kepala ujian menerima dia dan memanggil dia menghadap, untuk mengatakan padanya: ‘Bagaimana menyedihkan keadaan keluargamu itu !’ Atas itu si kiejin bilang : "Adikku mati di Kanglam,
itulah benar. Tentang kakakku, sampai sekarang dia masih hidup baik-baik. Aku hendak menulis indah, terpaksa aku membuatnya kakakku itu mati satu kali "
Siangkoan Wan Jie tertawa geli hingga ia mengeluarkan airmata.
”Lok Pin Ong hendak membikin karangannya menjadi indah sekali, dia jadi mirip dengan si kiejin !" katanya.
Lalu ia membaca terus melanjuti: "Dia juga mengandung maksud jahat, dia hendak merampas kerajaan....! Maka putera raja yang disayang dikurung di lain istana, sedang sekutunya pengkhianat diberikan jabatan-jabatan penting .......! Demikian, sungguh menyedihkan nasibnya sebuah kerajaan."
Mendengar itu, Bo Cek Thian tersenyum.
”Dengan demikian dia mau persamakan aku dengan Lu Houw, Tio Hui Yan dan Po Su", katanya. "Singkatnya, wanita itu busuk. Negara musna, bukan dia cari sebab- musababnya, dia timpakan kesalahan kepada wanita ! Ha..., ha..., itulah sederhana sekali ! Nah, kau baca terus, mungkin di bagian bawah dia mengangkat Cie Keng!"
"Benar," sahut Wan Jie, yang terus membaca : Cie Keng yalah menteri tua dari Kerajaan Tong, dia turunan orang bangsawan, dia ingin melangsungkan usaha Raja almarhum, maka sekarang dia bangkit-bangun untuk membasmi siluman.....! Sekarang ini rakyat telah hilang harapan. !"
Bu Cek Thian tertawa. "Bagus kata-kara karangan ini," katanya. "Sebenarnya, siapakah yang hilang harapan? Aku menjadi raja, maka merekalah si menteri-menteri lama dan turunan bangsawan yang putus asa. Sebaliknya, rakyat tidak hilang harapannya...!"
Lie It mendengar itu, hatinya berdebar. Dia mau menggulingkan Bu Cek Thian, dialah yang dimaksud segolongan dengan Cie Keng (Giap) itu. Maklumat mengatakan rakyat berputus asa tetapi sekarang buktinya, rakyat yang mencaci Bu Cek Thian tidak ada.
Wan Jie membaca pula. Sekarang maklumat melukiskan usaha atau pergerakan tentera, yang dipuji tinggi.
"Bagus... bagus!" Bu Cek Thian memuji susunan kata- katanya maklumat. "Dengan begitu tentera dipuji kegagahannya. Eh......, Wan Jie, apakah kau tidak merasa bahwa kaum sasterawan terlalu banyak omong?"
"Memang, selama beberapa hari ini, bagaimana jalannya peperangan?" tanya si nona.
"Lie Hauw It memperoleh kemenangan berulang- ulang, sekarang tenteranya Cie Keng sudah dikurung," kata Bu Cek Thian. "Mungkin tidak sampai sepuluh hari lagi dia bakal dapat ditindas seluruhnya."
Lie It menyedot napas dingin.
Bu Hian Song, yang semenjak tadi berdiam saja, tertawa.
"Cie Keng yalah seorang panglima kenamaan, kenapa dia demikian tak berguna?" ia tanya. "Sebenarnya rencana kerjanya baik sekali," kata Bu Cek Thian. "Di sebelah dalam dia mempunyai Pwee Yam sebagai penyambut. Dia pula telah berserikat sama Tayciangkun Thia Bu Teng dari angkatan perang kita di Selatan. Dia ingin Thia Bu Teng berontak. Liehay siasat itu, sayang telah kena kita pecahkan. Ingatkah kau pembunuhnya anak Hian?"
"Bukankah dia yang dipanggil Thia Boa Ka?"
"Tidak salah. Aku telah beri ampun padanya. Lantas dia membuat pengakuan siapa yang sudah menitahkan dia bekerja. Dialah adik dari Thia Bu Teng. Aku mengetahui perbuatan khianat dari Thin Bu Teng, semua itu jasanya Thia Bu Ka." Dia berhenti sebentar, lalu dia menambahkan: "Sebab utama dari kekalahannya Cie Keng yalah rakyat tidak membantu dia. Karena rahasianya bocor, itu mempercepat keruntuhannya. Baiklah, Wan Jie, kau baca terus."
"Dengan tindakan kita ini, kenapa musuh tak terbasmi? Kenapa kita tidak dapat mendirikan jasa?" demikian Wan Jie membaca.
"Maka itu kalian, mustahil kalian lupa akan kesetiaan ? Di sana ada setumpuk tanah yang belum kering. Di sana ada enam anak yatim-piatu, bagaimana harus ditunjangnya?"
"Bagus kata-kata itu!" kata Bu Cek Thian.
"Dengan tanah belum kering dimaksudkan kuburan Raja Kho Cong. Anak-anak piatu itu yalah beberapa putera raja. Lok Pin Ong menyebur-nyebut kuburan Raja almarhum dan anak-anaknya, supaya dia dapat simpati dan umum membantunya, guna dia merampas negara. Kata-kata itu sungguh menarik ! Hanyalah, aku yang menjadi ibu masih belum mati, kenapa anak-anak itu disebut yatim-piatu? Bukankah di mata mereka, mereka itu cuma mempunyai ayah, tidak mempunyai ibu?"
"Kata-kata setumpuk tanah tidak tepat!" kata Hian Song.
"Tempat pekuburan Raja demikian besar dan agung, mana dapat itu disebut hanya setumpuk tanah?"
"Rupanya itu cuma untuk memperbagus buah kalam," kata Ratu. "Sudah, kita jangan perdulikan itu. Baca. terus!"
"Jikalau kita sudah berhasil maka kita telah berjasa menunjang Junjungan kita, kita tidak mensia-siakan pesan Junjungan kita," demikian bunyi maklumat terlebih jauh.
"Dengan begitu maka jasa kita akan memperoleh hadiah "
Bu Cek Thian tertawa.
"Baru bergerak, sudah menyebut-nyebut jasa atau pangkat tinggi." katanya. "Jadi mereka itu bukan bekerja untuk rakyat hanya untuk prihadi mereka masing- masing. Dia menulis begitu macam, apakah dia tidak takut nanti datang tentangan dari rakyat ?"
Wan Jie lantas membaca bagian terakhir dari maklumat, yang menyebutkan bahwa kalau mereka berhasil, negara menjadi kepunyaan siapa.
Habis itu, ia menyerahkan maklumat itu kepada Bu Cek Thian.
Ratu itu menyambuti. "Maklumat ini," katanya sambil tertawa, "jikalau dilemparkan ke tanah dapat mengasi dengar suara jatuhnya emas dan batu permata, susunannya indah sekali, hanya sayang kotaraja sekarang ini bukan lagi kota mereka ! Wan Jie, cobalah kau terka, mendengar bunyinya maklumat yang menyerang aku ini, apakah kesanku yang pertama?"
"Segala apa yang Thian Houw pikir kebanyakan yang di luar sangkaan kita," menyahut si nona.
"Mendengar maklumat ini," kata Bu Cek Thian, "yang pertama aku pikir yalah siapa yang menjadi perdana menteri dialah yang harus ditegur...! Ada orang yang dapat mengarang maklumat ini, mengapa dia dibiarkan kena dipekerjakan oleh Cie Keng?"
Mendengar perkataan ratu itu, bukan melainkan Siangkoan Wan Jie yang heran tetapi juga Lie It.
Ia ini kata dalam hatinya : "Lok Pin Ong mencaci dia habis-habisan, bukannya dia menjadi gusar, sebalik ya dia mencela si perdana menteri tidak pandai mempekerjakan orang. Orang ini pandangannya luar biasa jauh, dia pun sangat sabar. Sekarang kita menempur dia untuk memperebuti negara, agaknya dalam percaturan ini mungkin kita pasti bakal kalah. "
Bu Cek Thian tertawa pula dan kata lagi : "Maklumat ini bagus bahasanya sayang tidak ada tenaganya ! Coba kamu lihat, adakah di antaranya yang menyebut-nyebut rakyat? Tidak.......! Pergi dan pulang, dia cuma menyerang kebijaksanaan pribadi dari aku, dengan segala kata-kata kotor dia memfitnah aku. Di samping itu, mereka mengajak sekalian orang bangsawan bergerak bersama2, maksudnya untuk membangun jasa dan mendapatkan pangkat dan kemuliaan. Jikalau mereka menamakan diri tentara sukarela, seharusnya mereka mengangkat rakyat untuk menghukum si bersalah, tetapi mereka bukan bicara untuk rakyat ! Mereka tidak menggubris rakyat, mana dapat rakyat memperhatikan mereka? Maka juga maklumat ini bagus tetapi maklumat tanpa tenaga atau pengaruhnya!"
Ratu ini hening sejenak.
Ia tersenyum ketika ia mengatakan pula: "Aku ingat bahwa baru-baru ini Pwee Heng-kiam pernah merundingkan tentang mereka itu, katanya mereka cuma mementingkan ilmu bahasa, tetapi pengetahuan mereka tidak tinggi, benarlah pandangan itu."
"Apakah Thian Houw menghendaki aku menulis untuk membantah mereka, kata-katanya yalah dengan mengambil pikiran Thian Houw barusan?" tanya Siangkoan Wan Jie.
Bu Cek Thian tertawa.
"Perlu apa untuk mensia-siakan pit dan tinta?" katanya.
Siangkoan Wan Jie menjadi heran.
"Thian Houw," tanyanya, menurut pandangan Thian Houw, tidak dapatkah maklumat ini kemudian menjadi terwariskan untuk jaman belakangan?"
"Maklumat ini indah. Itulah pasti," menyahut ratu itu, "Rakyat membaca dan tidak mengerti, tetapi kaum sasterawan pasti akan mengaguminya."
"Nah, itu justeru yang aku buat kuatir!" kata Wan Jie. "Aku mengerti maksudmu!" kata Bu Cek Thian tertawa lebar. "Kau kuatirkan maklumat Lok Pin Ong ini menjadi seperti warisan untuk ribuan atau laksaan tahun kemudian, karena mana namaku akan menjadi bau untuk selama-lamanya....! Bukankah nanti, orang di jaman belakangan, akan memandang aku sebagai wanita paling jahat?"
Wan Jie berdiam.
Ia tidak menyangka Bu Cek Thian dapat bicara begitu terus-terang.
Setelah tertawa, Bu Cek Thian menyambungi, perlahan: "Aku telah menjadi raja wanita yang di dalam hikayat belum pernah kedapatan, maka itu jikalau aku tidak mengubah hikayatnya priya agung dan wanita rendah, pasti aku bakal tercaci maki. Tentang ini aku telah menduganya. Tapi kau jangan terlalu menguatirkan. Aku percaya bahwa di belakang hari bakal ada ahli hikayat yang jujur, yang akan dapat berpikir untuk membelai aku. Mungkin itu akan terjadi sesudah ribuan atau laksaan tahun kemudian."
Siangkoan Wan Jie tetap berdiam, melainkan paras mukanya menandakan ia tidak akur dengan pandangan ratu itu.
"Wan Jie," kata Bu Cek Thian, tenang, "aku memikir meminta kau tolong aku mengarang sebuah firman, yang mesti dikirimkan cepat secara kilat supaya bisa segera sampai kepada Lie It, untuk menitahkan Lie It biar bagaimana juga jangan membinasakan Lok Pin Ong !"
Mendengar itu, Lie It merasa matanya kegelapan, ia seperti putus asa. "Inilah wanita yang terlebih tangguh dari pada seorang priya!" pikirnya.
Ia mendapat anggapan, sekalipun ia sendiri, ia bukan lawan Bu Cek Thian.
Maka itu ia naik ke genting di mana ia duduk menumprah dengan tidak keruan rasa.
Sampai mendadak ia menampak jauh di sebelah depan sesosok tubuh bergerak bagaikan bayangan tubuh dari seorang wiesu.
"Malam ini aku tidak dapat turun tangan, apa perlunya aku berdiam lama-lama di sini?" kemudian ini anak muda berpikir.
Ia memandang ke bawah, ke pelbagai istana, ke dalam taman, hingga ia menampak pemandangan alam yang indah bagai gambar lukisan.
Ia menjadi ingat masa kecilnya, ketika ia suka pesiar di dalam keraton ini.
Dan setelah malam ini, dengan gagal niatnya membunuh Bu Cek Thian, tidak akan ada lagi saatnya ia akan dapat menginjak pula ini istana atau keraton yang indah. Bahkan ada harapan yg seumur hidupnya ia bakal hidup dalam perantauan, dalam dunia Kang-ouw.
Ia menjadi sangat berduka hingga airmatanya mengembeng.
Ia telah memikir buat mengangkat kaki tetapi beberapa kali ia batal, tanpa dikehendaki, ia memandangi pula istana atau keraton yang indah itu.
Tapi yang membuatnya merasa paling berat bukannya istana itu atau tamannya, hanya seorang yang berada di dalam keraton. Ialah Siangkoan Wan Jie! Dengan telah masuk ke dalam keraton dan menjadi orang di pihaknya Bu Cek Thian, mana ia mempunyai harapan lagi? la menjadi melamun : "Tahukah dia bahwa sekarang aku berada di sini? Dapatkah ia menemui aku di dalam impian?"
Pula di situ ada Bu Hian Song.
Nona itu pernah menolong dia, budinya besar.
Si-nona sekarang dalam kedudukan sebagai musuhnya!
Ia menjadi bingung!
Apa ia harus bersyukur kepadanya atau membenci dia?
Juga dengan nona Bu ini, untuk selanjutnya, sukar ada pengharapannya untuk bertemu pula. Pikirnya: "Dapatkah dia memikirkan aku?"
Ia lantas menjawab sendirinya: "aku tidak tahu! Hanya aku tahu pasti, aku sendiri dapat memikirkan dia, tidak perduli dia musuhku. "
Selagi anak muda ini masih terus bercokol, tiba-tiba ia terkejut mendengar suaranya Siangkoan Wan Jie: "Aku telah selesai menulis firman. Apakah Thian Houw ingin melihatnya?"
"Sudah, tidak usah," Bu Cek Thian menjawab.
---o^DewiKZ^0^TAH^o--- "