Postingan

 
BAGIAN 51 : DITOLONG LINTAH

Kini kita tengok keadaan Tio Jiang den Yan-chiu ketika masih berada dipondok. Setelah beristirahat sekian lama. Tio Jiang coba mengambil napas salurkan jalan darahnya. Peredaran darahnya dapat berjalan baik, tapi tenaganya tetap masih letih sekali. Bagian yang tertutuk oleh Hwat Siau tadi, rasanya sakit membara. Dalam rambangannya (ocehan) itu, sebentar Yan-chiu menangis, sebentar tertawa, Sebalik dari dihibur, Tio Jiang malah terpaksa menghibur.

Menjelang tengah malam, tetap keduanya masih belum dapat tidur. Dalam kebatinan, Yan-chiu merasa puas kalau mati didamping sukonya. Dan ah...., mengapa tak ia tuturkan sejujurnya tentang peristiwa "pertunangan" sukonya dengan sucinya itu. Tapi ai....., bagaimana ia hendak memulainya? Kedengaran ia menghela napas.

"Ah, Lian-suci ternyata juga seorang yang setia akan kekasihnya!" coba2 ia mencari jalan dalam pembicaraan. Tapi ternyata Tio Jiang hanya mendengus saja, tanpa. menyahut apa2.

"Suko, dalam hatimu, kau tentu mempersalahkan suci yang kau anggap melanggar janji pertunangan, bukan?" Tetap Tio Jiang tak menyahut. "Ai....., sungguh cepat nian jalannya waktu. Kini sudah hampir 2 tahun lamanya. Malam itu bukankah kau tengah terluka berat terkena hantaman thiat-sat-ciang sikepala gundul dari Ci Hun Si?"

Terkenang akan periatiwa yang getir itu, hati Tio Jiang merasa pilu. "Siao Chiu, jangan ungkat perkara itu lagi!"

Yan-chiu tertawa menyeringai. Se-konyong2 ia kencangkan tenggorokannya lalu menirukan nada suara "Bek Lian" ketika berjanji pada malam pertunangan itu: "Aku berjanji suka menjadi isterimu, tenang2lah beristirahat supaya lekas sembuh! Kata Kiau-susiok, kau telah makan 4 butir pil sam-kong-tan " Tapi baru ia menirukan sampai

disitu, serentak bergeliatlah Tio Jiang untuk duduk dan membentaknya: "Siao Chiu !"

"Mengapa?" bantah Yan-chiu. Kata2 yang  diucapkan tadi memang persis seperti yang dikatakan "Bek Lian" pada malam itu, suatu detik yang berkesan lekat dalam lubuk kenangan Tio Jiang. Sudah tentu dia tak mau mengingat hal2 yang menyakiti hati itu. Dan saking marahnya karena perbuatan sumoaynya itu, dia tak dapat menyahut pertanyaan Yan-chiu itu.

"Ah...., suko...., suko....!" Yan-chiu menghela napas, "kau tentu masih menganggap bahwa yang berjanji sanggup menjadi isterimu itu Lian suci, bukan? Malam itu, ia tak berada disitu tapi mengikut suhu ke Kwiciu untuk mencari berita. Yang merawat lukamu, yang kau tanyai apakah suka menjadi isterimu tidak itu, bukan lain yalah aku!"

Tio Jiang seperti dipagut ular kejutnya. "Siao Chiu, apakah kau bicara benar? Atau karena kuatir hatiku terluka, kau lantas mengatakan begitu?" tanyanya.

"Aku seorang yang dalam sebentar lagi akan meninggal, perlu apa harus membohongimu?" kata Yan-chiu terus mengeluarkan sepotong ko-giok (batu kumala) dari bajunya. Seperti diketahui, kumala itu waktu ia kalah judi dirumah perjudian si Oey Bi-long dikota Bo-bing-hian pernah diambil oleh pemilik rumah perjudian itu. Tapi ketika terjadi ribut2 ia berhasil mengambilnya kembali.

"Coba lihatlah, benda apa ini?". tanyanya sembari serahkan kumala itu pada sukonya.

Kini barulah Tio Jiang sadar mengapa Bek Lian dan Kang Siang Yan menyangkal terjadinya pertunangan itu. Serasa hatinya menjadi rawan: "Ah, kiranya Lian suci tak pernah menyukai aku! Aku sendirilah yang gila basah!"

"Dari awal sampai akhir, ia hanya mencintai The Go seorang," Yan-chiu menambahi, "sejak The Go digebah pergi oleh Kiau-susiok, suci seperti kehilangan semangat. Kau sendirilah yang tolol!"

Kini Tio Jiang berbalik dapat tertawa, ujarnya: "Siao chiu, bicara terus terang, sudah sejak tahun yang lalu demi mengetahui sepak terjang Lian-suci yang sedemikian itu, hatikupun sudah tawar kepadanya!"

Masih Yan-chiu tak mengetahui perasaan Tio Jiang yang sebenarnya. Ia tetap mengira, sukonya itu tak tahu akan perasaannya (Yan-chiu) dan tetap menyintai sucinya. Memang ia lupa akan sifat2 Tio Jiang yang serba jujur itu, tak seperti Cian-bin Long-kun yang achli mencumbu rayu. Beberapa kali Yan-chiu secara halus menyatakan perasaan hatinya, tapi selama itu tampaknya Tio Jiang tetap tak mengerti. Dan inilah yang membuat Yan-chiu kepada kesimpulan bahwa sukonya itu masih tetap terkenang akan Bek Lian.

Maka demi mendengar pernyataan Tio Jiang tadi, ia setengah kurang percaya. "Benarkah itu? Mengapa?" ia menegas. Tio Jiang berpikir sejurus, menyahut: "Kuanggap .....

kuanggap sejak turun dari gunung, sepak terjang Lian suci itu, tak memenuhi angan2ku. Ia bertindak bertentangan dengan ajaran2 petuah orang hidup yang diwejangkan."

Dengan susahnya barulah Tio Jiang dapat menguraikan apa yang terkandung dalam hatinya. Hati Yan-chiu serasa girang mendengarnya. Tapi demi teringat bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa hari 1agi,  ia merasa resah juga. Ingin benar ia, mencurahkan isi hatinya seketika itu, karena pikirnya, itulah kesempatan terakhir yang se-bagus2nya. Tapi mengingat sukonya itu buta cinta, ia kuatir jangan2 malah menerbitkan salah faham nanti. Maka dengan mengigit gigi, ia tahankan lidahnya.

Sebaliknya karena melihat ia diam saja, Tio Jiang tampak merenung. Diam2 dia meneliti bahwa dalam ucapan sumoaynya itu terselip sesuatu yang aneh. "Astaga, kiranya ia diam2 mencintai aku?" katanya dalam hati.

Tapi sekalipun kini dapat dia merabah hati sang sumoay, namun tetap mulutnya tak mau menanyakannya. Dia hanya berdiam diri saja. Kala itu malam sudah jauh larut. Suasana disekeliling situ ditelan oleh kesunyian lelap. Kedua anak muda itu masih berkelap kelip matanya, memandangi sumbu lampu yang memancarkan cahaya. Yan-chiu menghela napas, tapi tiba2 terdengar ada orang berkata2 diluar rumah: "Mengapa tengah malam buta begini, rumah ini masih ada penerangannya2 Ayuh, kita periksa!"

Menyusul ada beberapa suara orang mengiakan. Tio Jiang dan Yan-chiu kaget dibuatnya. Malah serentak Yan- chiu sudah loncat bangun, melihat kesana sini. Demi dilihatnya dibagian belakang pondok itu terdapat sebuah jendela, buru2 ia berseru: "Suko, ayuh kita merayap keluar jendela itu!" Tio Jiang juga menginsyafi bahaya yang bakal dihadapinya itu. Dengan sekuat usaha dia merayap jendela itu. Baru saja dia jatuh keluear jendela, atau disebelah luar mana sudah terdengar orang mengetuk pintu.

Mengapa kedua suko sumoay begitu ketakutan? Kiranya suara orang yang didengarnya itu adalah suara Hwat Siau. Cukup mereka sadari, sekalipun tidak dalam keadaan terluka, masih mereka tak mampu melawan momok itu. Maka jalan satu2nya, yalah melarikan diri. Untunglah disebelah luar jendela itu merupakan semak rumput, jadi waktu Tio Jiang jatuh tadi tak sampai mengeluarkan suara apa2. Mereka lalu merayap disepanjang halaman rumput. Bang....., bang , terdengar pintu dihantam orang.

Oleh karena lukanya ringan, jadi Yan-chiu dapat merayap lebih cepat. Sedang baru merayap 3 tombak jauhnya, napas Tlo Jiang sudah ter-sengal2.  Yan-chiu makin gelisah dan kembali didengarnya Hwat Siau berseru keras: "Tempat pembaringan ini masih terasa hangat, terang orangnya masih belum jauh. Entah siapa mereka itu, tapi yang paling perlu kita ringkus dulu!"

Mendengar itu Tio Jyiang segera suruh sumoaynya lari lebih dahulu: "Siao Chiu, lekas lari dahulu. Aku terluka parah tak dapat bergerak lagi!"

"Suko, mengapa kau selalu berpikir demikian. Selalu tak mengerti bagaimana orang orang ikhlas untuk mati disampingmu!"

Sampai sekian besarnya, belum pernah Tio Jiang mendengar ada seorang wanita begitu mesra terhadap dirinya. Lelaki manakah yang takkan besar hatinya, kalau mendengar ada seorang gadis mengucap kata2 begitu terhadapnya? Sesaat hati Tio Jiang serasa bahagla dan kekuatannyapun bertambah. "Tidak, Siao Chiu! Kita akan hidup ber-sama2. Belum lagi jatuh ketangan musuh, mengapa kau ucapkan kata2 mati?" serunya kemudian.

Tukar menukar pernyataan itu, melebihi seribu kata yang manis. Memang kebahagiaan yang murni itu terletak pada kesederhanaan. Segala yang berkilau itu belum tentu emas adanya. Memang kena betullah ujar yang mengatakan begitu itu. Gaya lahiriyah yang ber-lebih2an itu, kebanyakan kosong melompong.

Yang satu mengatakan 'mati ber-sama2' dan yang lain menyatakan 'hidup ber-sama2'. Adakah lain kata2 lagi dalam kamus-asmara yang lebih sederhana tapi lebih murni daripada bahasa yang diucapkan oleh Tio Jiang - Yan-chiu itu tadi ?

Tanpa disadari, Yan-chiu tarik tangan sukonya untuk diajak merayap pe-lahan2. Kira2 setombak jauhnya, tiba2 disebelah muka tampak ada cahaya kilauan air. Berpaling kearah rumah, Yan-chiu dapatkan keempat musuh itu sudah pencarkan diri untuk mencarinya. Sedang disebelah muka situ ternyata ada sebuah payau (kolam) besar. Satu2nya jalan bersembunyi didalam payau situ. la memberitahukan maksudnya itu kepada sang suko.

Begitulah keduanya segera benamkan diri kedasar payau. Tapi sebelumnya, mereka mencari 2 batang pelepah alang2. Pelepah alang2 yang tengahnya merupakan pipa berlubang itu, dimasukkan kedalam mulut sedang ujung lainnya dijulangkan keatas permukaan air. Ini untuk menyalurkan napas dikala mereka terbenam dalam dasar air. Tak berapa lama berada dalam air, Tio Jiang rasakan pundaknya gatal2 enak. Dan itu tepat pada bagian lukanya. Tapi dia tak berani bergerak merabahnya karena kuatir menerbitkan goncangan air. Kira2 setengah jam lamanya, barulah Yan-chiu berani munculkan kepala dipermukaan air. Dilihatnya keadaan disekeliling situ sudah sunyi senyap. la duga Hwat Siau berempat sudah pergi. Tapi baru saja ia hendak berbangkit keatas, tiba2 didengarnya dalam rumah itu ada semacam suara lagi. Terpaksa ia batalkan niatnya.

Sebenarnya kalau itu waktu Yan-chiu terus lanjutkan niatnya tadi, ia akan selamat tak kurang suatu apa, karena yang berada dalam rumah itu bukan lain adalah Kang Siang Yan. Tapi bagaimana Yan-chiu dapat mengetahui hal Itu? Jadi ia tak dapat dipersalahkan. Baru sejam kemudian, ia berani muncul lagi. Kini Tio Jiangpun ikut merayap keatas daratan. Tapi demi melihat bahu Tio Jiang, berdirilah bulu roma Yan-chiu. "Suko, lihatlah pundakmu itu!" serunya menjerit.

Pada waktu naik kedarat, tenaga Tio Jiang sudah bertambah, luka yang mengontar-ngontar dibahunya itupun sudah tak terasa sakit lagi. Maka heran dia dibuatnya mendengar jeritan sumoaynya tadi. Ketika memeriksa bahunya, diapun bergidik. Kiranya pada bagian luka dibahunya itu penuh dikerumuni lintah. Bukan seekor dua ekor, tapi berpuluh2 ekor jumlahnya! Dirangkumnya beberapa ekor, dan nyatalah binatang2 Itu gemuk2 semua berisi darah. Tio Jiang teringat, bahwa lintah itu dapat mengisap darah, baik yang beracun maupun tidak. Adakah peracunan darah dari luka yang diberikan Hwat Siau itu, sudah dihisap habis oleh binatang2 itu? Dengan kedua tangan, dia mencabuti habis lintah2 itu Benar lukanya masih bernoda, tapi kini sudah tak sakit lagi rasanya. Hal itu sangat menggirangkan Tio Jiang, karena tanpa sengaja dia telah sembuh dari lukanya. Kini dia nyatakan hendak pergi ke Lo-hu-san. "Suko, jangan ter-buru2 kesana dulu. Temanilah aku pesiar ke-mana2 barang sebari dua hari saja" buru2 Yanchiu mencegahnya.

"Kenapa?" tanya sang suko.

Tetap Yan-chiu tak mau mengatakan yang sebenarnya, sahutnya: "Aku ingin jalan2 bersamamu. Kalau sudah berada di Lo-hu-san, banyak pekerjaan dan banyak orang jadi kurang menggembirakan!"

"Siao Chiu, suhu dan lain2 saudara pasti me-nunggu2 kita, mengapa kita seenaknya pesiar sendiri ?"

Yan-chiu tak dapat mengatakan penderitaannya, yani mengenai jalan darah chit-jit-hiat yang tertutuk itu. Menurut perhitungannya, kini sudah berjalan 5 hari, jadi jiwanya tinggal 2 hari lagi. Biarlah dalam hari2 yang  terakhir Itu, ia puaskan hatinya berada didamping sang suko. Maka demi mendengar Tio Jiang menolak itu, ia marah2 sembari banting2 kaki: "Aku belum pernah minta apa2 padamu. Sekarang aku hanya minta kau mengawani aku barang dua hari saja dan kau sudah menolak!" Sampai disitu hatinya pilu sekall, katanya pula dengan suara tak lampias: "Mungkin hanya hidup dua hari saja,  apa  kau  tetap tak mau mengawani aku?" '

Tio Jiang terkesiap, tegasnya: "Siao Chiu, kau mengatakan apa itu?"

Tahu kelepasan omong, buru2 Yan-chiu menutupi, dengan tertawa: "Nasib orang tak dapat ditentukan. Apa yang terjadi besok hari, kita tak tahu. Ayuh, temanilah aku barang dua hari saja!"

"Ya, baiklah. Tapi kemana kita hendak pesiar?" akhirnya Tio Jiang mengalah. Yan-chiu berpikir sejenak lalu menyahut: "Ke Kwiciu dulu!"

Hanya ketika Thian Te Hui mengadakan tantangan luitay dengan sam-tianglo gereja Ci Hun Si tempo hari, Tio Jiang pernah tinggal beberapa hari di Kwiciu. Tapi dalam waktu itu, dia tak mempunyai kesempatan untuk  menikmati tempat2 pemandangan yang indah dari daerah itu. Subonya (ibu guru) Kang Siang Yan sudah menuju ke Lo-hu-san, jadi rasanya disana tentu takkan terjadi apa2. Kini Yan chiu berkeras mengajaknya pesiar, apalagi kini dia tahu sudah bagaimana perasaan hati sumoaynya itu terhadap dirinya, jadi tak enaklah rasanya untuk menolak. Memang dalam hati kecilnya, diapun mempunyal suatu 'perasaan' ter-hadap sumoaynya itu. Hanya  saja perasaan itu secara sadar, tak segelap ketika tempo hari dia membabi buta terhadap Bek Lian.

Kala dia mencintai sucinya, dia hanya dirangsang oleh impian yang muluk2, impian yang menjadikan dia seperti orang kalap, buta kenyataan, Tapi kini terhadap Yan-chiu, dia merasakan suatu kebahagiaan hidup yang indah murni. Memang dicinta dan menyinta, adalah suatu berkah kebahagiaan hidup insani.

Begitulah keduanya segera ayunkan langkahnya menuju ke Kwiciu. Belum lama berjalan, tibalah mereka digereja Kong Hau Si. Yan-chiu lebih luas pengetahuannya ilmu surat daripada sukonya. Demi melihat gereja itu, ia segera hentikan langkahnya.

"Suko, gereja Kong Hau Si ini merupakan  sumber leluhur dari para siansu dan cousu yang menjadi soko guru dari dunia persilatan. Ketika Tat Mo Cuncia menginjak daerah Tiongkok, beliau telah menetap disini. Ilmu pelajaran yang  dipancarkan  gereja itu,  berkembang sampai

6  jaman,  puncak  kejayaannya  terjadi  ketika  pada  jaman ahala Tong. Disitu terdapat pula masoleum jenazah Liok- cou (soko guru ke 6) Hui Leng. Berulang kali' Tay Siang Siansu mengatakan padaku, bahwa sumber ilmu lwekang sakti dari partai gereja itu, berpokok pada ajaran Liok-cou tersebut. Ayuh, kita masuk me-lihat2!"

Tio Jiang menurut saja. Gereja Kong Hau Si merupakan salah sebuah yang terbesar dari 4 gereja di Kwiciu. Sudah tentu segala apa, baik alat? dan upacara persembahyangan maupun perhiasan2nya, serba meriah agung. Asap pendupaan selalu ber-kepul2 dari para pengunjungnya yang tak berkeputusan jumlahnya itu.

Setelah me-lihat2 arca2 dan patung2 dewa yang terdapat diruangan besar, mereka berdua lalu menuju keruangan sembahyangan yang berada disebelah barat. Tapi baru berjalan beberapa tindak, tampak para paderi disitu sama ber-lari2 keluar. Berbareng dengan saat itu terdengarlah seruan berisik dari luar pintu. Para pengunjung yang tengah bersembahyang, sama menyingkir semua..

"Sicu, harap menyingkir dahulu!" tiba2 ada seorang paderi meminta pada Tio Jiang dan Yan-chiu.

Yan-chiu kurang senang tampaknya. Ia pura2 tak mendengar dan malah deliki mata kepada hweshio itu: "Mengapa harus menyingkir?"

"Nona, harap jangan marah. Keluarga Hui-kok-kong hendak bersembahyang kemari!" sahut hweahio itu dengan mengisak napas.

Mendengar nama "Hui-kok-kong" (gelar bangsawan) itu, kedua anak muda itu sama terkesiap heran. "Suko, bukankah Hui-kok-kong itu gelar dari Li Seng Tong?" tanya sigadis.

Tio Jiang mengiakan. Ketika Li Seng Tong menakluk pada Lam Beng,  kerajaan Lam Beng telah menganugerahkan pangkat Tong- an-peh (panglima wilayah timur), tapi Li Seng Tong menolak. Lain Beng menaikkan lagi dengan pangkat raja muda, tapi tetap dia tak mau. Kerajaan Lam Beng bohwat (tobat) benar terhadap jenderal itu. Ini disebabkan karena sewaktu menakluk, kekuatan tentara yang dibawa Li Seng Tong itu jauh lebih kuat dari kerajaan Lam Beng sendiri. Akhirnya terpaksalah Lam Beng memberi gelar Hui-kok- kong (kakek raja yang berjasa besar). Dengan seluruh anak buahnya dia menjaga wilayah Kwiclu sebelah utara, sehingga dengan demikian untuk sementara waktu aman tenteramlah kedudukari baginda Eag Lek dikota raja Siau Ging. Oleh karena mati hidupnya kerajaan Lam Beng boleh dibilang tergantung padanya, maka seluruh menteri kerajaan, rakyat jelata sampaipun kaum gereja sama mengindahkan sekali kepadanya.

Bahwa seorang pemuda dan pemudi macam Tio Jiang dan Yan-chiu berani memanggil nama Li Seng Tong, telah membuat hweshio itu ketakutan setengah mati lalu buru2 ngacir.

Pada saat itu tampak ada sebuah tandu besar berhenti dimuka pintu gereja. Dibelakang masih ada rerotan tandu2 kecil. Lima orang hamba perempuan  ter-sipu2 membukakan pintu tandu dan memimpin keluar seorang wanita. Melihat siapa adanya wanita agung itu, tak dapat Yan-chiu mengendalikan tertawanya.

"Kukira siapa, tak tahunya dia! Apakah sekarang dia sudah menjadi nyonya Li Seng Tong?" tanya Yan-chiu kepada sukonya.

"Siapa tahu!" juga Tio Jiang merasa heran. Siapakah gerangan nyonya bangsawan itu? Ia tak-lain tak-bukan adalah si Lamhay-hi-li Ciok Siao-lan. Walaupun pada saat itu ia ditabur dengan pakaian kebangsawanan yang bertaburkan ratna mutu manikam, tapi dari kerut dahinya, tampak tegas sinar kedukaan. Setelah masuk kedalam ruangan besar, ia menerima dupa dari seorang hweshio, lalu komat-kamit entah apa yang didoakan itu,

"Suko, coba terka, ia mendoa apa itu?" tanya Yan-chiu. "Ah, apa lagi kalau bukan mohon pada Po-sat (dewa)

aupaya memberkahi Li Seng Tong dengan kemenangan!"

Yan-chiu menggeleng, ujarnya: "Kukira tidak begitulah. la mendoa pada Po-sat supaya membantunya mencarikan Cian-bln Long-kun!"

Ketika mengucapkan kata2 "Cian-bin Long-kun" itu, nada

Yan-chiu agak tinggi. Oleh karena pada saat itu orang2 sama bersembahyang jadi suasana hening sekali, maka Ciok Siao-lanpun dapat mendengarnya dan terus berpaling kebelakang. Demi melihat siapa yang berada dibelakangnya sana, tanpa terasa berserulah ia dengan terkejut girang: "Hai

........" Mulut berteriak, tangan menekan meja dan tubuhnya terus loncat melayang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu.

Sewaktu para dayang sahaya sama terbeliak kaget, ia sudah menghampiri kedua anak muda tadi seraya mengucapkan tegur salam yang hangat: "Ah, Po-sat sungguh maha pengasih. Selama setahun ini, aku jarang bersua dengan kaum persilatan. Tak kusangka hari ini dapat berjumpa dengan kalian disini. Adakah kalian mengetahui dimana Cian-bin Long-kun sekarang ini?"

Yan-chiu memandang sukonya, se-olah2 hendak dia katakan "tu lihat, benar tidak dugaanku tadi." "Dia berada di Giok-li-nia gunung Lo-hu-san!" sahut Tio Jiang.

Girang Siao-lan bukan kepalang, ujarnya: "Tuhan maha kuasa, tak men-sia2kan harapan orang!"

"Ciok Siao-lan, The Go itu seorang manusia, yang berhati binatang, bukan orang"

"Ah, kalian benci padanya!" buru2 Siao-lan menukas kata2 Tio Jiang itu "tapi apa yang kulakukan selama ini rasanya masih ada kelebihannya untuk menebus kedosaannya!"

"Apa yang kau lakukan.?" tanya Yan-chiu.

"Apa kau tak tahu bahwa karena akulah maka Li Seng Tong membalik diri terhadap kerajaan Ceng? Dia cinta padaku, ini cukup kuketahui. Tapi hatiku hanya pada engkoh Go seorang. Oleh karena kini sudah kuketahui dimana tempat beradanya, aku tentu akan mencarinya!" kata Siao-lan dengan bersemangat. Tio JIang dan Yan-ciiiu terkesiap. Tempo mereka berjumpa dengan Siao-lan digedung Li Seng Tong tahun yang lalu, itu waktu tentara Ceng tengah dikerahkan untuk mengepung Hoasan. Setelah Hoasan selesai, Li Seng Tong ditugaskan untuk membasmi kawanan bajak Lamhay (laut selatan) yang menentang pemerintah Ceng. Ah, disitulah dia berjumpa dengan asigadis hitam manis itu. Tentu Lamhay hi-li atau gadis nelayan dari Lamhay Ciok Siao-lan Itulah yang menganjurkan agar jenderal itu dengan seluruh anak tentaranya di Kwiciu, menakluk pada kerajaan Lam Beng. Apabila Li Seng Tong mau menuruti usulnya itu, Siao-lan rela menyerahkan diri pada jenderal itu. Sebagaimana telah diketahui, Li Seng Tong yang. sudah tergila-gila akan sigadis hitam manis itu, telah berpaling haluan terhadap kerajaan Ceng dan dengan seluruh anak buahnya menakluk pada Lam Beng. Dan kini menjadilah Ciok Siao-lan nyonya, bangsawan agung Hui-kok-kong Li Seng Tong.

Mimpipun tidak kedua anak muda itu bahwa Siao-lan telah memainkan peranan besar dalam menentukan nasib kerajaan Lam Beng yang pada hakekatnya sudah senin kamis menunggu keruntuhannya. Sebagai seorang pejoang kemerdekaan, tergerak hati Tio Jiang. Dia tahu bahwa nona itu masih tetap mencintai The Go. Bahwa dengan keberangkatan Kang Siang Yan ke Giok-li-nia, The  Go pasti akan mengalami malapetaka hebat telah membuat Tio Jiang buru2 menganjurkannya: "Kalau pergi lekaslah pergi, terlambat sedikit saja dia pasti sudah binasa!"

Siao-lan tak mau banyak bertanya lagi. Ia melangkah kemuka tandu untuk mengambil senjata sam-ko-hi-jat (garu penusuk ikan), kemudian serunya kepada pengawalnya: "Pulang beritahukan kepada ciangkun (jenderal), bahwa aku pergi!"

Serentak ada dua pengawal menghadangnya. "Nyonya, janganlah!" serunya mencegah.

Sekali tarik, ia lepaskan baju kebesarannya itu. Kini ia kembali mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan kulit ikan, yalah macam dandanan yang dikenakan seperti tempo ia masih berada dilautan. Kiranya niat untuk mencari The Go itu sudah lama direncanakan. Se-waktu2 diketahui tempat tinggal pemuda tambatan hatinya itu, ia segera akan bertolak kesana.

Sring...., sring...., sring, ia bolang balingkan hi-jatnya. Begitu kedua pengawalnya tadi menyingkir, ia segera melesat keluar pintu gereja: Gegap gempita keadaan saat itu. Barisan pengawal segera coba menghadangnya, tapi karena nona hitam manis itu bukan seorang yang lemah ilmu silatnya, jadi merekapun tak kuasa mencegahnya. Sekejab saja, siao-Ian sudah lari jauh2.

Melihat kejadian itu, Tio Jiang dan Yan-chiu tak henti2- nya menggeleng kepala.

"Ah......, diluaran sini terlalu berisik, mari kita masuk saja!" ajak Yan-chiu.

Baru membiluk pada sebuah ruangan, ternyata keadaan disitu jauh bedanya dengan diluar tadi. Suasana disitu hening tenteram sekali. Demikian kedua muda mudi itu melihat2 keadaan tempat itu untuk beberapa lama. Kalau hati Yan-chiu resah tak keruan, adalah Tio Jiang tak putusnya menghela napas mengagumi keindahan gereja agung itu.

Bukan saja pagodanya yang disebut Cian-hud-tha (pagoda seribu arca) serta Lo-han-tong (ruangan  yang penuh dengan arca lukisan para orang gagah), sampaipun barisan pohon bodi raksasa yang menjulang tinggi mengatapi halaman gereja itu dari sinar mataharl yang  terik, telah membuatnya kagum tak terhingga. Dihala menikmati pemandangan segala seuatu yang terdapat  dalam gereja besar itu, timbullah suatu perasaan lain dalam lubuk hati Tio Jiang. Serasa dia berada dalam dunia lain yang dilingkupi oleh ketenangan dan ketenteraman abadi. Jalan punya jalan, tibalah mereka pada eebuah pagoda 7 tingkat yang tinggin ya hampir 2 tombak. Dimuka pagoda itu terdapat plakat yang bertullskan "Liok-cou gi hwat thak" (menara tempat rambut Liok-cou). Dari situ membiluk, sampailah pada sebuah dinding tembok. Pemandangan yang terdapat disitu hanyalah semak belukar rumput yang menjalar liar, merupakan sebuah tempat yang tak terurus Iagi. Tanpa sengaja Tio Jiang melihat kearah dinding itu dan se-konyong2 dia tertegun kesima. "Siao Chiu!" dia meneriaki sumoaynya:

"Ah, disini tak ada apa2nya, ayuh kita pergi saja!" sahut Yan-t yhiu.

"Tunggu sebentar!" seru Tio Jiang sembari melangkah maju kearah dinding. Tiba2 dia menghantam tepian dinding sebelah atas yang segera gugur sebagian besar.

"Siao Chiu, lihatlah kemari!" seru Tio Jiang sembari menunjuk pada sebuah bagian dinding. -

Ketika. Yan-chiu menghampiri, dilihatnya pada batu merah dinding itu terdapat ukiran beberapa huruf kecil dan disebelahnya terdapat lukisan sebatang golok bulan sabit.

"Apa2an ini, ayuh pergi saja!" seru Yan-chiu.

Melihat lukisan golok bulan sabit itu, teringatlah Tio Jiang akan ilmu golok yang dilihatnya dibatu besar tempat kediaman suku Thi-thing biau digunung Sip-ban-tay-san tempo hari. Tapi  oleh karena tangannya sudah keburu ditarik Yan-chiu, jadi dia tak dapat menegasi lagi dengan seksama.

Begitu setelah tinggalkan pagoda Gi-hwat-thak situ, kembali mereka, menuju keruangan Liok-cou-tian. Tiba2 dari arah muka tampak ada lima enam  orang berjalan mendatangi, Hendak Yan-chiu menyingkir, tapi telah keburu dipergoki mereka salah seorang dari mereka itu segera ayunkan tubuhnya menghadang didepan kedua anak muda itu.

Melihat penghadangannya itu, Tio Jiang menyurut setindak kebelakang sembari turunkan tubuhnya kebawah. Wut........., dia kirim sebuah hantaman. Tapi orang itupun gerakan tangannya untuk menangkis. Tio Jiang tak  mau adu kekerasan, cepat2 dia tarik pulang tangannya. Tapi justeru sebelumnya orang itu maju setindak untuk memburunya. Terpaksa Tio Jiang tarik tangan sumoaynya untuk diajak loncat beberapa tindak kesamping. Namun lagi2 kawanan orang itu maju mengepung.

"Hwat Siau dan Swat Moay, mengapa kalian selalu hendak mencelakai kami berdua?" seru Tio Jiang dengan murka.

Memang tak salah kiranya. Orang2 itu adalah Hwat Siau dan Swat Moay, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu Sim-i dan rombongannya.

"Apa kerja kalian disini?" Swat Moay tertawa sinis.

Oleh karena tak tahu isi yang sebenarnya dari teguran orang itu, menyahutlah Tio Jiang secara jujur, bahwa dia hanya pesiar me-lihat2 keadaan gereja agung Itu.

"Hem, dikolong langit yang. sedemikian luas kalian tak melulu pesiar, tapi sebaiknya perlu mengunjungi tempat ini ya?" kembali Swat Moay menyeringai,

"Ada apanya yang dibuat heran?" tanya Tio Jiang.

Swat Moay perdengarkan suara dingin. Ekor matanya melirik kearah Yan-chiu, lalu mengancam halus: "siao-ah- thau, kalau benar2 kau tak takut mati, jangan bicara sejujurnya. Apakah benar2 kalian hanya datang  pesiar saja?"

Heran Yan-chiu dibuatnya mengapa orang bertanya dan me-negas2 begitu. la pun menggagah (memandang dengan menantang) pada wanita iblis itu dan balas bertanya:  "Kalau ya bagaimana, jika tidakpun bagaimana?"

Belum isterlnya menyahut, Hwat Siau sudah naik darah. Maju selangkah dia lancarkan sebuah tamparan. Tio Jiang buru2 menghindar kesamping. Dengan tubuh miring menurut gerak gaya hong-cu-may-ciu (sigila menjual arak), dia tusuk lambung orang pada jalan darah te-ing-hiat,

"Ha, mau mengajak berkelahi?" seru Hwat Siau sembari menghindar.

Tio Jiang seorang jujur polos. Terang bahwa dia bukan lawan orang itu, namun tak dapat dia berbohong main siasat,

"Terserah, berkelahipun boleh!" seru Tlo Jiang sembari tegakkan tubuh. Begitu tangan kanan dipalangkan kemuka dada, tangan kiri maju mendorong.

Dia jujur, tapi orang menjadi curiga. Memang Swat Moay tak percaya kalau kedua anak muda itu hanya pesiar saja digereja situ. Maka begitu melihat sikap Tio Jiang keras, sudah tentu ia makin curiga. Ini memang  sudah lazim terhadap orang yang berniat busuk, Karena takut dicurigai, dia tentu banyak curiga terhadap lain orang. Justeru dia berjumpa dengan seorang jujur macam Tio Jiang.

Atas dorongan tenaga Tio Jiang yang maha dahsyat itu, Hwat Siau segera menangkis lalu hendak balas menyerang. Tapi tiba2 dicegah oleh isterinya. Setelah mengetahui disekeliling tempat situ tiada lain orang lagi, berkatalah Swat Moay kepada Yan-chiu: "Apakah kalian sudah menemukan dan apakah rombonganmu segera menyusul datang?"

Bermula tak tahu Yan-chiu apa yang dikatakan oleh  Swat Moay itu. Tapi setelah direnungkan sejenak, ia mendapat juga sedikit penerangan. Bukan sebulan dua bulan tapi hampir satu tahun lamanya kedua suami isteri itu membawanya (Yan-chiu) mengidari seluruh tempat diwilayah Kwiciu. Maksud mereka yalah untuk menyelidiki adanya harta karun kim-jiang-giok-toh itu. Jadi teranglah sudah kini, kalau mereka tentu hendak mencari harta karun itu. Dilihat naga2nya, apakah mereka sudah mengetahui tempat beradanya harta besar itu? Apakah digereja Kong Hau Si sini tempatnya? Ah, biarlah ia 'bergerak turut tiupan angin' saja.

"Benar, rombonganku sudah datang secara besar2an!" sahutnya.

"Siao Chiu ........!" seru Tio Jiang dengan heran, tapi cepat diberi isyarat mata, oleh sumoaynya.

Makin keras dugaan Swat Moay. Teriakan Tio Jiang itu diartikan supaya sumoaynya jangan memberitahukan. Pada hal tidak demikian, karena Tio Jiang sendiripun merasa heran: "Oo, mereka belum datang bukan?" tanya Swat Moay.

Yan-chiu mendongak tertawa keras, ujarnya:  "Benar, tapi kalianpun bakal takkan mendapatnya!"

"Siao-ah-thau, kalau kubuka jalan darahmu chit-jit-hiat itu, lalu kau bagaimana?" tanya Swat Moay, Tio Jiang terbeliak kaget.

"Chit-jit-hiat apa? Siao-chiu, apa jalan darahmu ditutuknya ?"

"Engkoh kecil, benar begitu. Orang yang kau kasihi itu, hanya tinggal 2 hari hidupnya! Ha....., ha......, kau gelisah tidak ?!"

Teringat Tio Jiang bahwa sejak pertemuannya Yan-chiu paling belakang ini, memang sang sumoay itu berlaku aneh sikapnya. Ah, jadi demikian halnya. Tak terasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

"Siao Chiu, ayuh kita lekas menobros keluar minta pertolongan pada suhu!" Swat, Moay tertawa iblis : "ilmu tutuk pada jalan darah istimewa itu, dikolong jagad ini hanya kami berdua saja yang kuasa membukanya!"

"Kalau begitu, ayuh bukakanlah!" seru Tio Jiahg dengan serentak.

(Oo-dwkz-tah-oO)

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar