JILID 31
Si wanita tersenyum hambar. "Jikalau kau tidak berani memberi keterangan, apakah kau sangka aku tidak mampu membekuknya untuk menyeretnya keluar? " katanya tetap sombong. Lalu ia mengangkat tangannya kepada empat budaknya seraya berkata perlahan: "Pergi kamU hampiri kereta bertenda itu, kamu seret keluar penghuninya"
"Baik" sahut budak-budak itu yang dua orang diantaranya segera lari ke kereta Soat Kun ciu ceng terkejut, dia hendak melindungi Nona Hoan. Namun dari dalam kereta terdengar bentakan nyaring dan halus: "Kamu Cari mampus? " serentak dengan itu tenda kereta bergerak dan satu sinar emas meluncur keluar.
"Aduh" demikian jeritan kedua budak yang dua-duanya terus roboh terguling. ciu ceng heran hingga ia melengak. Tentu saja ia tak sempat turun tangan.
si wanita berbaju hijau mengernyitkan alisnya menyaksikan dua orangnya terlukakan segera dia bertindak kearah kereta kurung itu.
ciu ceng selalu slap sedia, ia hendak mencegah, tapi ia mendengar satu seruan berpengaruh, disusul dengan lompat keluarnya seseorang dari dalam kereta yang kedua. Didalam sekejap. orang itu sudah menghadang di depan si wanita.
Dengan wajah dingin, wanita itu mengawasi ciu ceng. "Siapakah dia ini?" dia tanya tongcu itu, suaranya dingin.
ciu ceng begitu melihat orang yang menghadang itu adalah sianak muda yang sedang merawat lukanya, tak tahu bagaimana ia harus menjawab si wanita. Sampai pada detik itu Nona Hoan, atau yang lainnya, belum memberitahukan dia siapa anak muda itu. Tidak ada orang yang mengajak dia kenal dengannya. terpaksa ia menoleh kelain arah, berpura-pura tak mendengar pertanyaan itu.
Nampak habislah kesabaran si wanita. Mendadak dia mengayun tangan kirinya, menerbangkan sinar putih kearah si bekas tongcu.
Serentak dengan bergeraknya tangan si wanita, tangan kanan si anak muda yang menghadangnyapun bergerak, menghunus pedangnya untuk menyampok sinar putih berkilau itu. Maka terdengarlah satusuara bentrokan nyaring, danjatuhlah sinar putih itu. Si wanita melengak. Dia tidak menyangka orang demikian hebat.
ciu ceng juga terCengang. Dia saja herannya seperti si wanita atas kesehatan sianak muda. Mencabut pedang dan menangkis, buat menyusul senjata rahasia lawan-Bukankah pemuda itu tengah terluka?
Baru sekarang si wanita tidak berani takabur lagi. Dia menatap si anak muda.
"Melihat Cara kau menghunus pedangmu, mestinya ilmu silatmu tak ada Celanya," katanya, tenang. "Mestinya kaulah seolah yang berkenamaan? "
Anak muda itu, ialah Siauw Pek, memasukkan pedangnya kedalam sarungnya. Ia bergerak dengan perlahan. Tapi ketika ia menjawab suaranya tawar. "Aku yang rendah ialah seorang bu beng siauw cut, oleh karenanya tak usahlah engkau berpayah-payah menanyakan aku"
"Bu beng siao cut" berarti "prajurit kecil yang tak punya nama" tapi ada kalanya diartikan "manusia rendah atau hina dina".
Mendengar jawaban itu, si wanita tertawa dingin. Mendadak tangannya merogoh kedalam sakunya, mengeluarkan sebuah kantung warna hijau, terus tangan itu dlulurkan kedada sianak muda.
Siauw Pek waspada, dengan sebat ia menghunus pula pedangnya, untuk dipakai menangkis dengan sambil menangkis itu, ia berpikir. "Wanita ini pasti liehaynya luar biasa, dia menggunakan sebuah kantung sebagai senjata."
Justru itu, bentrokan telah terjadi. Terdengarlah suara "sret" perlahan-Lalu terjadilah hal yang aneh. Padahal sianak muda mental. Siauw Pek heran sekali.
"Senjata apakah yang dia pakai itu? " pikirnya cepat. Ketika orang sedang heran itu, si wanita sudah mengulangi serangannya. Dia bergerak dengan sebat sekali. Siauw Pek melayani.
Didalam jurus-jurus pertama, terlihat tegas rangkasan si wanita. Rupanya dia menghendaki keputusan yang cepat. Tapi dia menghadapi ong Too Kiu Kiam, semua rangkasannya itu tidak memberikan hasil. Adalah sebaliknya lewat enamjurus, dialah yang segera terkurung sinarnya pedang.
ciu ceng berdiri terCengang. Sungguh diluar dugaannya bahwa anak muda yang tengah terluka itu sedemikian gagah. Karena itu, ia terus menonton dengan penuh perhatian-Siwanita nampak penasaran. Beberapa kali dia menggunakan kesempatan untuk menyerang hebat, niatnya supaya sinar pedang dapat dipecahkan, agar terlepas dia dari kurungan itu. Senantiasa ia gagaL Tentu sekali, pada akhirnya, dia menjadi kaget, hatinya guncang.
"oh, Tay Pie Kiam hoat" serunya kemudian suaranya agak tertahan.
"Tay Pie Kiam hoat ialah ilmu pedang Thian Kiam dari Kie Tong..." pikir ciu ceng heran dan kagum. "cara bagaimana anak muda ini berhasil mempelajari ilmu pedang istimewa itu"
Justru waktu itu, empat orang budak maju untuk membantu pemimpin mereka, guna mengepung sianak muda. Mereka ini melihat pemimpinnya telah tidak berdaya, maka tanpa perintah atau isyarat lagi, mereka maju sendiri. ciu ceng tidak puas, maka ia berteriak.
"Bagaimana he? Apakah Seng kiong Hoa Siang pun mau berkelahi dengan main keroyokan? " Karena tidak puas, ingin ia membantusi anak muda. Ia khawatir akan orang yang tengah terluka itu...
Pertempuran berjalan terus, bahkan cepat sekali keempat budak itu juga kena terkurung sinar pedang bersama sama pemimpinnya. ciu ceng melihat itu, dalam herannya, batal ia maju untuk memberikan bantuannya. Dengan lewatnya sang matahari, dengan terjadinya pertempuran-pertempuran saling susul Siauw Pek memperoleh kemajuan wajar. Ia tambah pengalaman, hingga Tay Pie Kiam hoat dapat digunakan semakin mahir.
Dua puluh jurus telah berlalu. Tak sanggup Hoa Siang dan budak-budaknya meloloskan diri dari kurungan sinar pedang. Bahkan sebaliknya, keadaan mereka menjadi buruk.
Disana masih ada sisa enam budak. karena ada yang dua lagi kena dirobohkan-Mereka ini melihat pemimpin dan kawan-kawannya tidak berdaya, serempak mereka maju membantu.
Siauw Pek menyambut rombongan mereka itu ia bersikap tenang seperti biasa tetapi waspada dan lincah. Didalam beberapa jurus, ia membuat enam orang tenaga baru itu kena terkurung juga .
ciu ceng sudah maju untuk membantu sianak muda, tapi ia terpaksa mundur pula. Ia terhalang dengan sinar pedang anak muda itu, hingga ia jadi tak merdeka menggerak-gerakkan senjatanya. Terpaksa ia berdiri menonton saja, dengan hatinya bekerja saking heran dan kagum. Heran pemuda ini Kenapa ilmu silatnya begini liehay? SekalipUn Sin Kun datang sendiri kemari, tak nanti dia dapat mengalahkan anak muda itu Kim Too Bun mempunyai anggota begini liehay, wajar dia menentang Seng kiong Sin Kun...
Tengah berpiklr begitu, tiba tiba ciu ceng ingat halnya Nona Hoan pernah mengatakan kepadanya bahwa Kim Too Bengcu memiliki kepandaian merangkap pedang Thian Kiam dan cut Too.
"Siapakah lagi yang pandai ilmu silat pedang dan golok berbareng? " pikirnya lebih jauh "Ah jangan-jangan dia inilah Kim Too Bengcu."
Tongcu ini mengambil kesempatan mengawasi para kiamsu. Ia melihat suatu perobahan menggembirakan. orang orang bawahannya itu nampak sedang menonton pertempuran itu. Tadi sewaktu munculnya Seng kiong Hoa Seng, hati mereka guncang, nampak wajah mereka tak seperti orang biasa biasanya. Tadi mereka itu seakan ikhlas akan menemui sang maut. Sekarang wajah mereka terang Lagi beberapa jurus lewat, Hoa Siang beramai tetap terkurung sinar pedang. Hanya kali ini, mendadak wanita itu berseru, sambil menarik kembali pedangnya, dia lompat keluar dari kurungan Perbuatannya itu diteladani oleh budak-budaknya yang juga mundur serempak Siauw Pek berdiri diam, dengan tenang dia mengawasi lawannya. Hoa Siang menatap sianak muda.
"Tuan, adakah kau ahli waris Thian Kiam Kie Tong? " tanyanya sabar.
"Kalau benar, bagaimana? " Siauw Pek balik bertanya, tawar. Wanita itu tidak menjawab, hanya dia berpaling kepada ciu ceng,
dan dengan dingin berkata: "Jangan kau merasa dirimu selamat dengan mengandalkan ahli warisnya Thian Kiam. beberapa tahun Sin Kun duduk bersamadhi, sekarang ini diapun telah berhasil menciptakan ilmu silat untuk menghadapi Thian Kiam, bahkan diapun telah menyadari Toan Hun it too dan tahu bagaimana harus memunahkan golok ampuh itu. Kaulah orang Seng kiong, kau ketahui baik kepandaiannya Sin Kun, karena itu kata kataku ini bukanlah gertakan atau ancaman untukmu"
ciu ceng tertawa atas ancaman yang tersembunyi itu.
“Hoa Siang baik sekali, aku bersyukur tak habisnya" katanya, ia menengadah, ia tertawa pula, lebih nyaring, terus ia menambahkan^ "Hoa Siang, kau menghamba kepada Sin Kun, kaupun tentu bukan karena kerelaanmu sendiri, tidak ada halangan buat kau Cari aku si orang she ciu, pasti aku akan menolong kau memohon Nona Hoan membebaskan raCun yang mengekang tubuhmu "
“Hmm" wanita itu memperdengarkan suaranya, lalu ia menoleh kepada sekalian budaknya. "Mari kita pergi" IHabis berkata ia memutar tubuh, kemudian berlompat naik ke atas jolinya, dilain saat dengan diiringi sisa sepuluh budaknya itu, ia pergi meninggalkan medan pertempuran itu. Barisan seragam putih juga turut berlalu, mengikuti joli pemimpin itu.
Dengan pedang ditangan, Siauw Pek mengawasi musuh musuhnya berlalu, setelah musuh tak tampak pula. ia menghela napas panjang, mendadak ia roboh duduk mendeprok ditanah ciu ceng dan Ban Lian terkejut, keduanya lari menghampiri, untuk memimpin bangun. "Kau terluka, bengCu? " tanya sijago tua. Siauw Pek sadar, ia menggelengkan kepala.
"Tidak apa," sahutnya perlahan-"Luka lama kumat asal aku beristirahat sebentar, aku akan sembuh pula..."
Memang, melayani Hoa Siang, pemuda ini menggunakan tenaga yang berlebihan, semangatnya dipaksa menghebat, tapi setelah musuh pergi, hatinya menjadi lemah, saking letih, sedetik itu tenaganya bagaikan habis maka ia roboh terduduk. Syukur ia pingsan-Ketika itu tenda kereta Nona Hoan tersingkap Thio Giok Yauw tampak berloncat keluar lari menghampiri sianak muda. Ditangan nona Thio ada sebuah peles kumala. Dengan sinar mata lesu, mendadak dia terharu, nona ini berkata: "Dalam peles ini ada tiga butir pil, makanlah sebutir tiap dua jam, lalu terus kau rebah beristirahat."
Siauw Pek menyambut peles obat itu. "Terima kasih," katanya.
Giok Yauw tertawa manis.
"Inilah obat dari Nona Hoan, yang menyuruh aku menyampaikannya kepada kau" katanya. "perbuatanku ini ialah yang dibilang, meminjam bunga untuk menghormati sang Buddha, tak usah kau mengucap terima kasih kepadaku"
Ban Liang tidak memberi kesempatan sianak muda bicara banyak, ia memimpinnya naik kereta, untuk beristirahat, setelah itu ia menurunkan tendanya. Dari kereta pertama segera terdengar suara merdu ini: "Mari kita berangkat "
ciu ceng memberi jawaban, terus ia mengangkat tangannya guna memberi pertanda untuk ketiga kereta dijalankan, sedangkan para kiamsu lalu memeCah diri untuk mengiringinya. Ban Liang yang berjalan disisi ciu ceng berkata: "Saudara ciu, kau kehilangan empat anggota barisanmu, kau harus tambal itu." SiJenjang kuning tersenyum sedih.
"Tak mudah untuk menambalnya," sahutnya. "Sekarang ini kebanyakan orang gagah kaum Kang ouw sudah menghamba kepada Seng kiong, yang lain lainnya adalah anggota dari sembilan partai besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang. Kemana mesti mencari orang-orang baru? "
Ban Liang berpikir keras: "Mungkin nona Hoan dapat memikirkannya," katanya kemudian.
"KeCuali nona Hoan," berkata ciu ceng, "rasanya sukar buat mencari lain orang yang dapat menandingi Seng kiong Mo Kun..."
"Mungkin..." kata Ban Liang mengangguk. "Saudara ciu, kau sudah masuk dalam Kim Too Bun, kaulah saudara kita, karena itu aku hendak bertanya kepadamu mengenai sesuatu yang aku belum mengerti. Aku harap kau tidak berkecil hati."
"Bicaralah, saudara Ban-Aku hanya khawatir pengetahuanku terbatas sekali hingga tak sanggup aku menjawab kau..."
Ban Liang tersenyum. "Pertanyaanku adalah ini, Saudara ciu. Didalam Seng kiong kau menjadi tongcu, pasti kau sangat dihargai Sin Kun..."
"Walaupun aku menjadi ketua dari Oey liong Tong, mengenai urusan Seng kiong, sedikit sekali yang aku tahu... Ah, jangan-jangan selain aku, juga empat tongcu lainnya tak tahu banyak seperti aku. Kami bekerja cuma setelah menerima perintah "
"Mungkinkah saudara ciu selama duapuluh tahun, kau belum pernah bertemu muka barang satu kali jua dengan Sin Kun? "
"Mungkin pernah tetapi aku tidak tah ujelas setiap waktu dia menyalin rupanya, gerak geriknya selalu didalam rahasia."
"Dia menyebut dirinya Seng kiong sin Kun. Demikian letak Seng kiong, istananya itu? " ciu ceng berpiklr "Didalam gunung Bu Ie San," sahutnya.
"Bu Ie San luas ribuan lie, dimanakah letaknya istana itu yang benar? ”
“Kira-kira diperbatasan antara dikedua propinsi Hokkian dan Kangsay...”
“Jadi saudara belum pernah pergi kesarangnya itu? "
"Sudah pernah aku pergi, bahkan bukan satu kali, tapi Seng kiong Sin Kun berpandangan jauh, dia sangat berhati hati, siapa yang dipanggil datang keistananya, dia datang cuma sampai diperhentian, dibatas kedua propinsi itu. Disana kita semua dikumpulkan-Diwaktu mau diberangkatkan, kita semua ditotok, dibuat tak sadarkan diri, pikiran kita tak jelas lagi, kedua mata kita ditutup rapat. Lalu kita dinaikkan keatas kereta. Rupanya dikaki gunung kita diharuskan menukar kendaraan-Selanjutnya kita naik joli yang terdiri dari kursi gotongan. Pada akhirnya tatkala aku sadar, kita sudah berada didalam istana."
"Bagaimana caranya waktu meninggalkan istana? ” “Kita diperlakukan sama dengan waktu perginya."
"Sin Kun kosen, dia juga pandai menyamar, mengapa dia sampai begitu perlu membangun istana rahasia itu? Bukankah perbuatannya itu seperti menggambar ular dengan ditambahkan kaki? "
"Benar. Akupun heran, pernah aku menyangka sebenarnya tidak ada Sin Kun, yang ada hanya sebuah patung belaka. orang menggUnakan patung itu sebagai alasan-.."
"KalaU begitu, aneh Kalau orangnya tidak ada, kenapa dia dapat menjadi pemimpin, bahkan dia dapat mempengaruhi begitu banyak ahli-ahli silat kenamaan? "
"Aku menerka mungkin satu orang, atau dua orang, sengaja memakai nama Sin Kun itu guna mengelabui khalayak ramai, untuk dapat menjagoi Rimba Persilatan..." "Buatku, saudara, kau mau menerka kepada seseorang yang besar ambisinya, yang luar biasa cita-citanya. Aku percaya dia sebenarnya salah seorang jago Rimba Persilatan yang dikenal setiap orang..."
ciu ceng melengak.
"Benar Saudara Ban, kau membuat hatiku terbuka "
"Jikalau orang itu tidak membangun Seng kiong yang terselubung rahasia ituJikalau dia tidak menggunakan nama sama ran Sin Kun yang penuh tanda tanya itu, walaupun dia sangat tersohor kosen, dengan hanya menyebut she dan nama aslinya, tak nanti dia dapat membuat banyak orang, seperti tayhiap sendiri, suka bekerja mati matian untuknya”
“Benar, saudara Ban Mungkin tak terlalu sulit menerka siapa dia..."
"Diantara orang orang gagah pada tiga puluhan tahun yang lampau," berkata Ban Liang, "yang terutama ialah Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go. Akan tetapi mereka berdua telah melintasi jembatan Seng Su Klo dan sudah mengundurkan diri. Tak mungkinlah kalau mereka itu."
"Selain mereka berdua, masih ada ceng Gi Loojin...” “Tak mungkin dia" berkata Ban Liang.
"Kenapakah, saudara Ban? "
"ceng Gi Loojin sudah menutup mata dan kuburannya juga telah kita ketahui, bahkan kita telah mengambil golok emas Kim Too yang menjadi warisannya.”
“oh, ya. Kim Too Bun kita toh berdasarkan golok emas itu"
"Kita memakai nama Kim Too bukan karena golok emasnya itu hanya karena namanya, ceng Gle. Dalam dunia Kang ouw masih banyak orang yang belum pernah melihat atau bertemu dengan pemilik golok emas itu akan tetapi namanya setiap orang mengetahuinya. Pula Cita Citanya menjunjung keadilan telah membuat banyak orang yang mendapatkan atau menerima kebaikannya. Bukankah tepat kita pakai Kim Too golok emas untuk menjalankan ceng Gi keadilan? "
ciu ceng mengangguk.
"Benar Dan dengan Kim Too kita membangun menyadarkan itu orang-orang gagah yang masih tidur nyenyak dibawah pengaruh Mo kiong Sin Kun.
Sebagai gantinya Seng kiong istana nabi atau dewa, jago ini menyebut Mo kiong istana hantu.
"Dan kitapun mengharap mereka itu nanti berbalik suka menentang dia..."
ciu ceng berdiam untuk berpikir. Lewat sesaat, ia berkata pula: "Selain Kie Tong dan Siang Go, aku belum pernah memikir lain orang lagi. Siapakah yang liehay seperti Sin Kun itu? "
Tiba tiba Ban Liang mengingat sesuatu, hingga nampaknya ia seperti terperanjat. cepat ia bertanya: "Saudara ciu, pernahkah kau melihat ceng Gi Loojin? ”
“Pernah aku bertemu dengannya," sahut ciu ceng. "Dia beroman murah hati”
“Apakah ceng Gi Loojin mempunyai seorang sahabat yang paling karib? " ciu ceng berpikir.
"Aku tidak tahu," sahutnya kemudian.
"Mungkin sahabat karib itu telah berhasil memiliki ilmu ketabiban luar biasa mahir dari ceng Gi Loojin...”
“Siapakah orang itu? "
Ban Liang berdiam. Terang otaknya bekerja keras.
"Buat sekarang ini, sukar buat dikatakan. Sulit buat menyebut namanya. Jikalau ada seorang Seng kiong Sin Kun, lalu ada orang yang menyamar sebagai dia, maka dia itu..." Sekonyong-konyong jago tua ini menghentikan kata-katanya, pada benak otaknya berkelebat sesuatu ingatan.
"Tunggu Aku akan tanya nona Hoan-.." Dan segera dia memutar tubuh, lari kekereta Soat Kun. Iapun segera berkata. "Nona, Ban Liang hendak menanyakan suatu hal"
Kereta Nona Hoan juga berhenti secara tiba tiba. "Apakah itu, Ban hu hoatse?"
keluar pertanyaan merdu dari dalam kereta. "Mohon tanya, nona, kita menuju kemana sekarang? ”
“Ke Bu Tong San "
"Ban Liang ingin bicarakan satu urusan rahasia" kata Ban Liang pula, perlahan sekali. "Dapatkah aku naik keatas kereta nona? ”
“Baik Silahkan"
Ban Liang menyingkap tendakereta, untuk berlompat naik.
Karena berhentinya kereta si nona, semua prajurit berbaju merah turut berhenti, mereka lalu mengelilingi kereta itu.
Hanya sekira sedaharan nasi, Ban Liang sudah melompat turun dari kereta itu. Terus ia menghampiri ciu ceng. Katanya berbisik: "Telah aku dapat perkenan Nona Hoan-Kita akan merubah tujuan kita.”
“Kemanakah? " tanya siJenjang Kuning. "Tempat itu tidak ada namanya, letaknya di tegalan belukar."
ciu ceng tidak menanya jelas. ia tahu jago tua tidak mau menyebutnya. ia cuma batuk-batuk perlahan, lalu ia bertanya. "Kearah mana? ”
“Ke utara "
"Bukankah itu berarti balik kembali? "
"Tempat itu adalah terpisah yang tak begitu jauh dari tempat dibangunnya Liok Kah Tin. Dengan bulak balik ini kita juga akan membuat Seng kiong Sin Kun pusing kepalanya menerka-nerka . . . "
"Baik" seru ciu ceng, yang terus mengulapkan tangannya.
Maka berbaliklah semua kereta dan kawanan serba merahpun tetap mengiringinya.
Kali ini Ban Liang berjalan kedepan-ciu ceng mengawasi kawan itu. Ia tahu bahwa orang berlaku sangat teliti, rupanya supaya tak sampai dia tersesat jalan.
Satu siang tidak terjadi sesuatu, diwaktu magrib, tibalah mereka disebuah tanah tegalan, di tepinya sebuah dusun.
"Kita akan segera tiba di rumah gubuk itu" Ban Liang membisiki ciu ceng.
"GUbuk apakah itu, saudara Ban? "
"Ah Bukankah telah aku katakan? Tempat itu sukar disebut namanya dan juga sulit buat diterangkan sejelas-jelasnya Sebentar saudara ciu, kau akan melihatnya dan mengerti sendiri"
"Sekarang apakah tindakan kita? " Oey Ho ciu Loo tanya.
"Kereta dan rombongan ditunda disini," Ban Liang memberitahu. "Lalu kau, saudara, memilih beberapa anggotamu yang Cerdik untuk mereka turut aku pergi kerumah gubuk itu buat melihat keadaannya.”
“Bagaimana kalau aku ikut bersama? ” “Kalau saudara turut, itulah lebih baik."
ciu ceng girang sekali. ia pun lalu memilih empat orangnya. Segera setelah itu, bersama Ban Liang, mereka bertindak kearah barat. Ketika itu cuaCa sudah remang remang. Sang ma lam lekas tibanya.
"Aku juga turut, dapatkah? " tiba tiba tanya Thio Giok-Yauw, yang melompat turun dari keretanya. Ban Liang menggelengkan kepala.
"Harap nona berdiam disini melindungi Nona Hoan-" ia menolak. "Nona Hoan menghendaki aku turut bersama kamu"
Ban Liang terCengang. "Benarkah itu? "
"Jikalau kau tidak perCaya, pergilah tanyakan sendiri" Sijago tua berpikir.
"Jikalau Nona Hoan yang menghendaki, nah, marilah."
Giok Yauw tersenyum. Tanpa mengatakan sesuatu, ia lalu mengintil.
Tujuh orang itujalan berlari-lari. Ban Liang lari dimuka.
Kira kira lewat dua puluh lie, tibalah mereka disebuah tempat terbuka dan sunyi dimana terdapat semak-semak rumput.
Disaat itu sang Putri malam lagi disaputi mega tipis, sinarnya rada guram, walaupun demikian, disana terlihat sebuah rumah gubuk yang mencil sendiri yang dikisari pohon dan rumput-rumput lebat.
"Saudara ciu, apakah kau telah melihat rumah atap itu? " Ban Liang tanya.
"Ya," sahut orang yang ditanya.
"Didalam rumah itu, didalam tanah, ada sebuah kamar rahasia.
Aneh, hari ini rumah itu tidak ada penerangannya..."
ciu ceng sabar, ia tidak menjawab apa apa. Tidak demikian dengan Nona Thio.
"Mungkin orang sudah pindah" katanya. "Mari kita masuk saja melihatnya. Nanti baru kita bicara pula"
"Kita tak boleh sembrono," Ban Liang memperingatkan "Tapi, kita toh tak dapat berdiam, untuk menanti saja? " kata Nona Thio. "Sekarang ini keadaannya lain-.."
"Begini saja" kata Ban Liang akhirnya. "Aku akan masuk lebih dahulu, kamu menunggu disini."
Nona Thio yang binal dan jenaka tertawa.
"Jarum rahasiaku paling tepat untuk menyambut segala sesuatu," katanya. "Aku turut kau, bagaimana? "
Ban Liang kewalahan-"Baiklah" sahutnya. "Tapi ingat, nona, tak dapat kau turun tangan keCuali setelah aku memberi isyarat"
"Asal mereka tidak mendahului, aku akan tunggu perintahmu Kalau aku didahului, pasti aku akan membalasnya"
"Sungguh nakal budak ini..." kata Ban Liang didalam hati. Lalu ia bertindak menuju kerumah atap itu.
Pintu pagar tertutup rapat, ada api penerangan, tidak terdengar juga suara apa-apa didalam rumah itu.
Giok Yauw tidak sabar. Ia menolak pintu pagar, terus ia nyeplos masuk "Ah, bocah ini" seru Ban Liang didalam hati. Iakhawatir. "Dia sungguh besar nyalinya"
Giok Yauw maju terus kedepan rumah. Ia melihat kedua belah daun pintu tertutup, Ingin ia memasuki rumah itu. Maka ia siapkan jarumnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dipakai meraba daun pintu itu, untuk ditolak menjeblak hingga terpentang. Kiranya pintu itu tidak dikunci atau dipalang.
"Waspada, nona" Ban Liang berbisik, mendampingi nona itu. Giok Yauw khawatir dihalangi si jago tua, ia masuk terus. Mendongkoljago tua ini tetapi ia membungkam, ia terus mengikuti.
"Apakah ada orang? " tanya si nona suaranya dingin, dan jarumnya tersiapkan.
Tidak ada suara apa apa dari dalam, walaupun pertanyaan telah diulangi hingga beberapa kali Ban Liang turut merasa heran, maka ia merogoh sakunya, mengeluarkan sumbU, yang ia terus kibaskan, buat menjalankannya.
Diantara sinar api tampak meja didekat jendela. Meja ini penuh debu. Itulah pertanda bahwa gubuk telah lama dikosongkan dan tak pernah ada orang yang mendatangi.
"Sudah lama tidak ada bekas bekas manusia disini," berkata si nona.
Ban Liang pergi kepojok. untuk mengetuk ngetuk. Katanya: "Pintu ruang dalam tanah masih ada."
"coba kita buka dan lihat dalamnya" berkata pula si nona. Ban Liang memegang daun pintu dan menariknya.
Pintu itu terbuka dengan mudah, dari dalamnya menghembus dan denak.
"Ruang dalam tanah ini juga sudah lama dikosongkan," kata sijago tua itu.
"mari kita masuk untuk melihatnya," sinona mengajak. Ban Liang mengangguk.
"Nona tunggu disini untuk menantikan aku. Aku yang masuk.” “Ah, aku yang masuk lebih dulu" kata sinona.
Tanpa menanti jawaban, Giok Yauw melompat turun kedalam lubang, yang merupakan pintu untuk ruang didalam tanah itu.
Hati Ban Liang tidak tepat, ia segera melompat turun menyusul si nona itu. Selekasnya dia menginjak tanah, Giok Yauw bertindak turun.
Sumbu sijago tua sudah habis, maka ia mengeluarkan dan menyalakan yang lainnya. Dengan bantuan Cahaya api, mereka bisa melihat kesekitar kamar. Di dalam situ tampak belasan peti mati, yang teratur berbaris. "Benar benar mereka sudah pindah" kata Ban Liang tak gembira.
Giok Yauw menghampiri sebuah peti mati.
"Loocianpwee, maukah kau membuka satu peti untuk melihat isinya? " ia tanya.
"Boleh kita lihat, tapi jangan kita sembrono" sahut orang tua itu. Kali ini nona Thio tidak membawa adatnya, bahkan ia mundur dua tindak.
"Loocianpwee berbuat bagaimana? " tanyanya.
Ban Liang mengangkat tinggi apinya, ia mengawasi tajam ke arah peti mati-peti mati itu. Diatas peti mati ketiga ada sisa sebatang lilin. ia mengulur tangannya, mengambilnya untuk disulut, hanya ketika diletakkan pula, ia meletakkannya diatas peti mati yang kedua. "Nona, siapkan senjatamu" pesannya "Siap buat segala sesuatu."
"Debu diatas tutup peti mati itu tebal sekali, andaikata ada orangnya, diapasti sudah lama menjadi mayat" kata si nona.
"Dunia Kang ouw banyak kegaibannya, nona," berkata si orang tua. "Tidak dapat kita tidak siap siaga. Silakan nona bersiap dengan senjata rahasiamu, aku akan buka peti mati ini. Asal ada sesuatu gerakan, segera nona menghadapinya,"
Giok Yauw tertawa hambar.
"Aku percaya pasti, kalau peti itu ada orangnya, mesti orangnya sudah mati" katanya pula. "Kalau loocianpwee begini kecil hati, baiklah aku menerima perintahmu"
Ban Liang berkata dingin: "Aku cuma memperingatkan kau, nona"
Si nona mengulur keluar lidahnya. "Eh, kau mengajari aku? " tanya dia.
"Mengajari tidak. nona, aku cuma memberitahu" orang tua itu berkata. "Di dalam dunia Kang ouw ada laksaan tipu daya, nona tidak boleh terlalu berbesar hati" Berkata begitu, orang tua itu melangkah mendekati peti mati itu, dengan hati hati ia mengajukan tangan kanannya, diletakkan diatas tutup peti, setelah itu, ia mengerahkan tenaganya. Mendadak saja ia menolak dengan keras sambil ia melompat mundur. selekasnya tutup peti tergeser terbuka, ada sesuatu yang berbangkit Sama sekali diluar dugaannya Giok Yauw maka ia terkejut. Ban Liangpun heran.
Tapi si nona tabah, tak menanti sampai ia dapat melihat tegas tangan kirinya sudah diayun, maka menyambarlah suatu sinar kuning emas kearah benda itu dan mengenai den-tepat, hingga terdengar suara nancapnya.
Baru setelah itu, Nona Thio dapat melihat tegas. Itulah sebuah tengkorak berikut kerangkanya yang lengkap
“Heran Kenapa tulang belulang dapat bangun berdiri? " katanya, alisnya berkerut.
Ban Liang mengawasi tajam. Ia melihat kerangka itu diikat kepala bagian dalam tutup peti mati, karena tutup itu terbuka, kerangka itu jadi tertarik bangun duduk
“Hm" sinona mengeluh. "Kukira benar kerangka manusia dapat bangun sendirinya, Kiranya dia diikat dengan kawat."
Ban Liang mendekati peti mati itu. Ia bersiap siaga. Lebih dulu ia mengawasi bagian dalam peti mati, baru kepada kerangkanya. Ia menatap. mengawasi tajam, seperti ada sesuatu yang aneh dilihatnya.
"segala kerangka manusia, ada apa sih yang bagus dilihat? " berkata Giok Yauw.
"Tulang belulang ini aneh? " berkata sijago tua.
"Apanya yang aneh? " tanya sinona. "Kenapa aku tidak melihatnya? ”
“coba telitikan, nona Bukankah kurang beberapa batang tulang iganya? " Giok Yauw mengawasi. Benar pada dadanya sikerangka kurang masing-masing dua batang tulang rusuknya.
"Mungkin sudah terlalu lama, tulang itu copot dan jatuh kedalam peti," katanya.
"Jikalau benar copot sendirinya, tak seharusnya cuma copot dua batang. Lihat saja didalam peti toh tak ada tulang rusuk lainnya? "
Sebelum Giok Yauw berkata pula, mereka mendengar suara ciu ceng: "saudara Ban, Nona Thio Dimanakah kamu? "
"Kami berada didalam ruang bawah tanah" Ban Liang menjawab. "Kamu tak kurang suatu apa, bukan? ”
“Kami semua baik baik saja"
Dilain detik tampak Oey Ho ciu Loo memasuki bawah ruang tanah itu bersama dua orang pengikutnya. Dia heran menyaksikan kelakuan sijago tua dan sinona, yang tengah mengawasi kerangka didalam peti mati itu.
"Kenapa tak ada orang disini? " tanyanya.
"Ya, tinggal segala peti mati" sahutBan Liang. "coba saudara tengok tengkorak itu.”
“Hm, segala tengkorak Apa sih yang bagus dilihat? " berkata pula Giok Yauw dingin. ciu ceng bertindak mendekati, ia mengawasi. Segera perhatiannya sangat tertarik.
Nona Thio mendongkol menyaksikan kelakuan dua orang itu, maka ia menghampiri sebuah peti yang lainnya.
"Saudara ciu," tanya Ban Liang, "kau lihat keempat tulang rusuk yang hilang itu. Apakah orang ambil dimasa mayat ini masih hidup? "
ciu ceng mengawasi tajam.
"Memang," sahutnya. "Tulang tulang itu dicopot semasa orangnya masih hidup,” “Demikian juga anggapanku," Ban Liang berkata.
Tengah dua orang ini berbicara itu, mereka mendengar suara tajam dari Giok Yauw. Nona itu yang menjerit tertahan, tampak lagi berdiri melongo didepan sebuah peti mati yang tutupnya telah terbuka. Nampak sesuatu didalam peti mati itu... ciu ceng segera menghampiri.
"Ada apakah? " tanyanya.
"Lihat orang itu" jawab sinona. "Dia sudah mati atau masih hidup? "
Sungguh ruang dalam kamar itu sangat menyeramkan. Sudah banyak peti matinya, ada tengkorak manusia dan kerangkanya, juga sekarang ada penghuni peti mati yang entah masih hidup atau sudah mati. Api berkelap kelip Kalau orang yang bernyali keCil yang berada didalam ruang seperti itu.
ciu ceng batuk batuk. Didalam suasana sangat menegangkan itu, orang mesti berkepala dingin. Ia mend ekati peti mati untuk mengawasi tubuh rebah tak berkutik lagi.
orang itu adalah seorang yang bertubuh besar dan mukanya berewokan. Dia rebah dengan mata terbuka dan berCahaya seperti mata orang hidup, demikian juga parasnya. Oey Ho ciu Loo menggelengkan kepala. "Sungguh aneh Sungguh aneh" serunya.
"Apakah yang aneh? " tanya Ban Liang, yang bertindak menghampiri.
"orang ini mestinya telah berdiam lama di dalam peti mati ini, mengapa tubuhnya tidak rusak? " kata ciu ceng.
Ban Liang pun heran, dia mengawasi tajam.
"Tubuh orang ini telah diberi obat," katanya kemudian, "maka juga... eh" Tiba-tiba ia berseru, lalu berhenti setengah jalan.
"Kenapa, saudara Ban? " tanya ciu ceng, menatap. Dia heran sekali. "Saudara ciu, kau kenaikah orang ini? " jago tua itu balik bertanya. ciu ceng mengawasi mayat itu, kali ini luar biasa perhatiannya.
"Ah" serunya, mukanya berubah. "Inilah Sin Kun Hou-yan kun, ketua dari Pat Kwa Pay..."
"Benar Benar dia" Ban Liang membenarkan Ia ingat baik baik Hou yan Kun, si Tangan Malaikat Sin ciang dari partai Pat Kwa Pay.
"Mungkin tempat ini suatu Cabang dari Mo kiong sin Kun? " kata ciu ceng menghela napas.
"Saudara ciu, kau sudah lama berdiam didalam Seng kiong, kedudUkanmupUn tinggi," berkata Ban Liang, "andaikata kau tidak tahu jelas mengenai Sin Kun, mestinya kau ketahui banyak tentang rahasia rahasianya. Dapatkah kau melihat kalau-kalau disini ada sesuatu tanda atau lambang dari Seng kiong? "
ciu ceng meminjam api, dengan itu ia menyuluhi kesekitarnya.
Akhirnya, ia menggeleng geleng kepala.
"Aku tidak melihat apapun juga," katanya. Ban Liang menarik napas masgul.
"Kalau Nona Hoan berada disini, pasti dia akan dapat melihat sesuatu..."
"Saudara Ban, semoga kau tidak mencurigai aku," berkata ciu ceng, sungguh sungguh. "Ingin aku jelaskan-Siapa masuk menjadi anggota rombongan Sin Kun, tidak saja ia dikekang dengan pelbagai maCam peraturan supaya orang tak dapat jalan untuk berontak atau berkhianat terhadapnya, juga kecuali tugasnya sendiri dia dilarang mencampuri tugas atau urusan lain orang, pantang tanya ini dan itu. Aku menjadi Oey liong Tong Cu, bawahanku ada beberapa ratus orang, diantaranya ada kira kira tujuh puluh yang ilmu silatnya baik, kedudukanku bukannya takpenting, tapi kecuali tugasku, aku tidak tahu apa-apa mengenai Seng kiong. Bahkan kami juga tidak jelas mengenai keadaan kaum Rimba Persilatan seumumnya."
"Jikalau begitu, takpeduli siapa, Sin Kun tidak mempercayainya? " "Memang. Tongcu-tongcu lainnya sama dengan aku, apa yang mereka ketahui sangat terbatas. Sebegitu jauh yang aku ketahui, orang orang yang suka diajak berunding dalam urusan rahasia oleh Sin Kun cuma kira kira lima orang.”
“Bagaimana dengan Seng kiong Hoa siang? " Giok Yauw tanya. "Agaknya dialah istimewa. Biasanya Sin Kun muncul dengan
pelbagai macam wajah, selama itu kebanyakan Hoa Siang mendampinginya. Rupanya Hoa Siang mengetahui rahasia tak sedikit."
"ciu Tayhiap tidak tahu banyak. percuma menanyakannya," berkata si nona, berpaling kepada Ban Liang. Dia bicara seCara polos, seenaknya saja. "Ruang ini berdebu dan bergalasi, sudah lama tidak ada penghuninya, maka aku pikir baiklah kita bongkar semua peti mati ini untuk melihat isinya, mungkin diantaranya ada yang menyimpan sesuatu rahasia."
Ban Liang setuju. "Nona benar," sahutnya.
"Loocianpwee terlalu memuji" berkata si nona, yang segera mengulurkan tangan kanannya membuka tutuppeti yang ketiga.
Disitu rebah seorang perempuan dengan rambut panjang, tubuhnya dikerobongi selimut sulam, matanya rapat. Hanya diantara cahaya api, wajahnya tampak seperti orang hidup, segar bagaikan bunga. Terang bahwa mayatnya telah dibalsem.
"Nona, apakah isi peti itu? " Ban Liang bertanya. Dia tidak segera menghampiri.
"Seorang wanita," Giok Yauw jawab.
"Mayat seorang wanita? " ciu ceng menegasi.
"Dia rebah dengan selimut sulam, matanya dirapati, tenang sekali tidurnya, hingga sukar dipastikan dia lagi tidur atau sudah mati..."
Ban Liang mendekati, habis mengawasi ia berkata. "Nona mundur, aku hendak menyingkap selimutnya itu." Nona Thio menurut, dia mundur dua tindak.
Si jago tua batuk-batuk, ia mengulur tangannya kedalam peti mati. Ketika jeriji tangannya menyentuh selimut, mendadak ia menariknya kembali, sedang mulutnya ngoceh seorang diri, "Aku pikir tak usahlah kita menyingkap selimutnya... Dengan mengawasi mukanya saja, pasti kita akan ketahui dia masih hidup atau sudah mati..." sambung si jago tua lagi.
Berkata begitu orang tua ini mengangkat lilin, dibawa kedalam peti mati, untuk didekatkan kepada muka wanita itu.
Mata nona itu tidak tertutup rapat seluruhnya, dan kulit mukanya putih pucat hingga tak ada setetes jua darahnya.
"Saudara ciu, apakah kau kenal wanita ini? " tanya ia sambil menoleh. Dan ciu ceng yang turut mengawasi, menggeleng kepala.
"Tidak^" sahutnya, memberi penjelasan-Ban Liang menghela napas. "Rupanya dia sudah mati..."
"Seseorang rebah didalam peti mati. entah sudah berapa lama, mesti dia telah mati," berkata si nona, tak sabaran-"Kau sudah mengawasi setengah harian, apa begini saja yang kau lihat? " katanya, dan Ban Liang batuk perlahan-
"sebenarnya tak leluasa untuk aku menyingkap selimutnya," kata si jago tua akhirnya.
“Hm" berkata si nona, "Lebih baik akulah yang melihat Nah, kalian mundurlah."
Si jago tua melengak. lalu ia mundur. Memang ia ragu-ragu, orang itu wanita, tak peduli dia hidup atau mati, kalau tubuhnya telanjang, pasti ia lihat sendirinya. Perbuatan itu pasti kurang pantas juga.
Giok Yauw lalu maju, terus ia mengulur tangannya yang kulitnya putih halus, untuk menyingkap selimut. Dan baru ia melihat, ia sudah mundur parasnya berubah. "Dialah seorang wanita hamil" kata sinona "Apa? Wanita hamil? " Ban Liang menegaskan berulang-ulang. "Kalau begitu, dia pasti masih hidup, Hanya anaknya... anaknya sudah..."
"Tenang, nona," ciu ceng turut bicara, "bicaralah perlahan-lahan-
”
“Wanita itu telah dibelek perutnya dan anaknya telah diambil “ “Sungguh kejam" seru Ban Liang sengit.
ciu ceng bagaikan ingat sesuatu, ia diam berpikir. Ketika ia mau
bicara, ia menarik napas lega. Kemudian ia berkata seorang diri. "Benar... benar... mesti ada sangkut pautnya."
"Saudara ciu, apakah katamu? " tanya Ban Liang. "Maukah engkau memberi penjelasan? "
"Selama di Seng kiong, pernah aku mendengar orang bicara soal mengambil bayi yang umurnya sudah cukup tapi belum sampai lahir”
“Buat apakah bayi macam itu? "
"Itulah tidak jelas bagiku. Sekarang ternyatalah tempat ini ada sangkut pautnya dengan Seng kiong "
Giok Yauw menutup tubuh siwanita malang.
Bagaimana kalau kita buka semua peti mati disini? " dia sarankan. "Pikiranmu bagus, nona. cuma kita harus bekerja dengan teliti."
Giok Yauw segera menggerakkan tangan kanannya. Ketika peti mati yang keempat terbuka dan ia melongok dalamnya, mengeluarkan seruan heran keCele. peti mati itu kosong Ban Liang menghampiri, ia melihat peti mati kosong itu, setelah itu ia mendekati peti mati yang kelima, yang ia terus buka tutupnya dengan tangan kanannya, lalu ia melengak peti mati itu berisikan seorang pemuda beroman gagah, yang pun seperti masih hidup, Yang luar biasa, yang sangat mengherankan, potongan tubuh dan romannya mirip sekali dengan coh Siauw Pek Bukan main kaget si jago tua. Setelah sadar segera ia mengulur tangannya untuk meraba dada dan nadi orang itu. Nadi dan jantung sudah berhenti bergerak gerak. Tubuh itupun sudah dingin bagaikan es. Giok Yauw heran melihat kawan itu tertegun.
"Apakah isi peti mati itu? " tanyanya. "Loocianpwee, kenapa kau diam saja? ”
“Nona, lihatlah lekas" menjawab sijago tua.
Nona Thio bertindak mendekati, selekasnya dia melihat kedalam peti mati, diapun melongo. ^
"Oh, sungguh mirip." serunya.
"Tidak salah" kata Ban Liang kemudian-"Ilmu ketabiban dari ceng Gle Loojin telah orang dapati seluruhnya orang pandai menyalin rupa orang lainnya"
"Aku mengerti sekarang" berkata Giok Yauw "Dengan berbuat begini, menyalin roman muka orang, dia hendak mengaCaukan penglihatan mata serta pendengaran kita." ciu ceng heran, beberapa lama dia berdiam saja.
"Kau benar, nona," Ban Liang berkata pula. “Hanya kali ini dia tak berhasil, dia gagal Kenapa dia meninggalkan semua mayat ini? "
Jago tua itu mengangkat tinggi lilinnya, ia tetap menyuluhi. Bersama sama nona Thio, masih ia mengawasi mayat pemuda yang mirip dengan Siauw Pek itu.
"Sungguh mereka pandai," kata si nona kemudian, menghela napas perlahan. "Coba mayat ini mayat, pasti kita sukar membedakan mana bengcu yang tulen dan mana yang palsu..."
"Inilah hebat" berkata Ban Liang. "Kita mesti lekas lekas memberi kabar pada Nona Hoan, supaya ia cepat mengambil tindakan guna mencegah terlaksananya akal bulus pihak lawan ini."
Giok Yauw membenarkan pikiran orang tua itu. "Mari kita cobacuka peti mati yang keenam," sijago tua berkata kemudian-"Anehnya, entah obat apa itu yang mereka gunakan..." kata Nona Thio, yang terus mendekati peti mati keenam, untuk segera diangkat tutupnya. Lagi lagi si nona kaget.
peti mati itu ada isinya, dan isi itu ialah Seng Su Poan Ban Liang, hanyalah Ban Liang ini rebah tak berkutik, mati bagaikan hidup,..
"Ban Loocianpwee, lekas lihat" seru sinona "orang ini sangat mirip dengan loocianpwee"
Ban Liang menghampiri untuk mengawasi mayat itu, lilinnya didekatkan. ia lalu mengerutkan alisnya.
"Liehay Liehay, serunya kagum. Sungguh liehay kepandaiannya. Tidak kusangka kepandaian dari ceng Gle Loojin telah digunakan orang untuk maksud sejahat itu. ciu ceng, yang turut mengawasi mayat itu, menggeleng geleng kepala.
Giok Yauw yang telah hilang herannya, membuka lain lain peti mati lagi, hanya kali ini, ia tak usah bertegang hati Semua sisapeti mati itu kosong tak ada isinya.
"Mari kita pergi," Ban Liang mengajak. "Tak dapat kita berdiam lama lama disini. Tempat ini harus dibakar musnah"
"Menurut aku, ciu ceng mengusulkan, baik kita minta nona Hoan datang kemari untuk ia menyaksikan sendiri, agar kemudian ia dapat memikir bagaimana harus berdaya menghadapi lawan yang lihay itu."
"Tak usah," kata Ban Liang. "Kita pulang dan memberi keterangan kepada nona Hoan, itupun sudah Cukup,"
Maka bertiga mereka berkumpul jadi satu, sijago tua bersiap untuk mulai menyulutkan lilin Tetapi...
Mendadak saja dimulut jalanan keluar mengepullah debu hebat menyusuli suatu suara barang berat jatuh ketanah, ketika tiga orang itu telah tertutup pintu besi. Sebab itulah pintu rahasia, yang jatuh dengan mendadak menutup jalan keluar itu Selagi suasana sangat mengagetkan itu, juga dengan mendadak itu mereka mendengar suara tawa yang menyeramkan dan menggiriskan hati, hingga bulu roma mereka berdiri Ban Liang dapat lekas menenangkan hatinya. Dia meletakkan lilin diatas peti mati. "Siapa? " ia menanya.
Sebagai jawaban terdengarlah suara perlahan dari menggelindingnya roda-roda dari sebuah kereta, yang muncul dari sebuah pojok yang tak diperhatikan mereka itu.
Ban Liang menoleh dengan cepat. Maka mereka melihat kereta itu, sebuah kereta yang dijalankan dengan bantuan kedua belah tangan, duduk seorang tapa daksa yang aneh romannya selain dia telah kehilangan dua belah kakinya dan rusak wajahnya, tubuhnyapun kurus kering dan tangannya bagaikan linting. Dengan kedua tangannya yang kecil itu dia membuat keretanya berjalan perlahan-Dimata Giok Yauw, roman orang itu lebih menakutkan daripada mayat-mayat didalam peti mati tadi, hingga walaupun dia bernyali besar, ia toh mengeluarkan seruan tertahan dan mundur dua tindak.
"Berhenti" membentak ciu ceng, yang terus menyiapkan pedangnya.
Sitapa daksa itu menghentikan keretanya, lalu dia berkata: "TUan tuan, jikalau kamu membunuh aku, kamupun jangan memikir lagi untuk dapat keluar dari dalam tanah ini, kamu bakal mati kelaparan, hingga penderitaan kamu tak akan kalah hebatnya daripada penderitaanku situa"
Berkata begitu, dia tertawa, suaranya sangat membuat hati orang berdebar. Ban Liang batuk-batuk.
"Kau siapa tuan? " tanyanya sabar, "kenapa kau berada disini?
Mengapa kau berCaCad begini? "
orang itu tertawa dingin-"Aku situa tak perlu prihatin kamu" katanya ketus.
"Dia berCaCad tapi tabiatnya aneh" pikir Ban Liang. ia menyabarkan diri dan bertanya pula^ "Selayaknya saja aku menanyakan kau, tuan-Tak ada maksud jahat dari kami." orang itu menyapu ketiga orang itu, sinar matanya mencilak bengis.
"Andaikata kamu bermaksud jahat, habis mau apa kamu? " tanyanya. "Apa yang kamu bisa bikin? "
Tabiat Giok Yauw mulai kumat.
“Hei, kaupakai aturan atau tidak? " tegurnya.
"Jikalau orang dikolong langit kenal aturan tak akan aku bercacad begini" kata orang itu keras.
"Toh bukan kami yang menganiaya kamu" berkata nona Thio. orang itu menatap bengis kepada sinona.
"Kau benar juga Tapi sekarang ini cuma terhadap kamu yang aku bisa membalaskan sakit hatiku"
"Kenapa begitu? Toh bukan kami yang menyiksa kamu" berkata pula Giok Yauw.
"Jikalau kamu bakar tempat ini, bukankah kamu akan membuat aku mampus? " kata orang tua itu gusar.
"Diwaktu kami mau membakar, kami tak tahu adanya kau disini" Giok Yauw menerangkan. Sianeh menghela napas.
"kau benar juga " katanya, akhirnya. "Sayang sudah terlambat.” “ Kenapa kah terlambat? " Ban Liang tanya.
"Telah aku lepaskan pintu rahasia itu Bukankah itu berarti terlambat?"
"Kau memang telah menurunkannya," kata Giok Yauw "Tapi apakah kau tak bisa mengangkatnya naik pula?"
orang aneh itu menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya. Mereka itu mengatakan kepadaku, asal pintu sudah diturunkan, tak dapat diangkat naik pula" "Bagus betul" teriak sinona gusar. "biarlah, kami temani kamu mampus dibakar. Hendak aku lihat, kalau kita semua mampus, apakah faedahnya untukmu "
Mendadak saja, orang aneh itu tertawa terbahak bahak. Hanya suara tertawa itu tak sedap untuk telinga, tawa itu bagaikan suara burung malam yang mengulum sedih.
Giok Yauw gusar sekali, hendak dia membentak^ tapi mendadak tampai siorang tua mengucurkan air mata deras, terus tawanya berubah menjadi tangis.
Sendirinya hati sinona menjadi berubah tak tenang, lalu timbul rasa kasihannya. Ia menghela napas duka.
"Sudah, jangan menangis," ia menghibur. "Kau telah dianiaya orang menjadi begini rupa, karena tanpa kau sadari, kau telah menurunkan pintu rahasia itu. Kau berbuat diluar tahumu, tak usah kau berduka." orang tua itu berhenti menangis.
"Eh, anak perempuan, hatimu baik," katanya yang berubah lagi suaranya, tak kasar seperti semula. "Mari kau akan aku ajari kau beberapa jurus ilmu silat"
Giok Yauw melengak.
"Kau aneh" Pikirnya, "kau bercacad, kedua kakimu telah dikutungi orang, setiap saat keselamatan jiwamu tak terjamin, bagaimana kau hendak mengajari aku ilmu silat? "
Tapi mata situa mengawasi tajam, agaknya ingin sangat ia memberikan pelajarannya. Melihat itu, tak tega hati nona Thio. Terpaksa ia memberanikan diri bertindak menghampiri. Sedikitnya ia jeri juga ...
Ban Liang pun heran, hingga ia berkata: "Tuan, kau bercacad, syukur kau masih hidup. Jikalau kau bukannya memiliki kepandaian luar biasa, mana dapat kau mengajari orang ilmu silat? "
orang tua itu menengadah langit-langit rumah dalam tanah itu.
Dia berpikir keras. "Inilah karena loolap yang harus disesalkan," berkata dia. Tapi ia menyebut diri loo-hu, si orang tua, sekarang ia menukarnya dengan loolap. Loolap ialah sebutan diri untuk pendeta Buddhist yang sudah tua
"Loolap telah menerima murid yang tidak keruan hingga loolap berkesusahan begini rupa... Ah, tahun tahun dan bulan bulan, telah loolap lupakan... Musim panas dan musim dingin telah berganti ganti, bulan dan matahari telah berputar putar, jikalau loolap ingat ingat, mungkin belasan tahun sudah berlalu..."
Kembali Ban Liang dibuat heran-"Tuan, kau menyebut diri loolap. sebenarnya siapakah kau? " ia bertanya.
Si orang tua menatap pula ketiga orang itu, bergantian dari Ban Liang kepada Giok Yauw dan ciu ceng, lalu kepada sijago tua lagi.
"Jikalau loolap sebut nama suciku, mungkin kebanyakan orang Rimba Persilatan mengenalnya," sahutnya.
"Tolong suhu menyebut nama sucimu itu? " Ban Liang minta. "sebutan suci loolap ialah Han In..^"
“Han In Taysu? ..." Ban Liang meneruskan heran-
"Tidak salah" sahut orang tua itu. "Loolap memang Han In" "Jadi suhu ialah Han in Taysu, ketua Ngo Bie Pay yang dahulu? " Si orang tua menatup,
"Mungkinkah didalam Rimba Persilatan dijaman ini ada lain pendeta yang bernama Han In,?" dia tanya.
"Tetapi... bukankah suhu sudah lama menutup mata? "
"Ah, dengan nasib begini..." sahut pendeta itu. "Memang, loolap hiduppun seperti sudah mati..."
"Bukankah suhu telah terbinasa dipuncak Yan in Hong digunung Pek Ma San? " Ban Liang bertanya pula, melit. Ini disebabkan herannya yang tak habisnya. Sinar kedua mata pendeta itu memain tajam Dia menatap jago tua itu.
"Kau siapakah, tuan? " tanyanya. Sekarang dialah yang balik bertanya.
oleh karena ia percaya keterangan pendeta itu, hingga ia mengetahui bahwa dialah ketua Ngo Bie Pay yang tersohor, yang harus dihormati Ban Liang merubah sikapnya sebelumnya menjawab, ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat.
"Aku yang rendah ialah Ban Liang," sahutnya, sabar. "Akulah yang dunia Kang ouw sebut Seng Su Poan..." Han in mengawasi, agaknya ia berpikir.
"Rasanya pernah loolap mendengar namamu ini..." katanya. "Ah..." Ban Liang mengeluh, "Taysu, semua orang Rimba
Persilatan mengaggap taysu bersama-sama ketua ketua Siauw Limpay, Bu Tong Pay dan Khong Tong Pay, telah terbinasa dipuncak Yan in Hong. karena mana telah terbit gelombang dahsyat, yang menyebabkan rombongan Pek Ho Bun terbinasakan-Sebab di dalam waktu satu malam, mereka sudah dibasmi habis oleh orang orang liehay dari sembilan partai besar serta keempat bun, ketiga hwee kedua pang. Peristiwa itu diketahui oleh dunia tetapi taysu, apakah taysu tidak tahu? "
"Didalam rapat di Yan In Hong pada bulan tujuh tanggal lima belas itu memang loolap turut hadir," berkata pendeta dari Ngo Bie San itu, "akan tetapi waktu itu loolap telah dirobohkan dan tak sadarkan diri dengan pengaruh hlo yang mengandung obat pulas, setelah mana loolap terus disiksa dan dikurung hingga selanjutnya loolap mesti hidup ditempat ini dimana tidak tampak langit. Sebenarnya ada apakah sangkut pautnya loolap dengan Pek Ho Bun itu? "
"Sungguh suatu penasaran yang hebat" berkata Ban Liang. "Ah, sayang bengcu tidak ada disini."
"Siapakah bengcu itu? " ciu ceng tanya. "coh Siauw Pek orang satu satunya kaum Pek Ho Bun yang masih hidup setelah dikepung kepung musuhnya yang kejam yang memusnahkan Pek Kee Po" ciu ceng bagaikan baru sadar.
Ia menepuk belakang kepala. "Adakah dia itu anak muda yang terluka? " tanyanya. "Tidak salah"
"oh, saudara Ban" seru siJenjang Kuning, mengeluh dan penasaran-"Kenapa saudara tidak tadi tadi memperkenalkan aku padanya hingga sampai sebegitu jauh aku jadi sudah berlaku kurang hormat padanya? "
"Sekarang ini," Giok Yauw menyela, "paling perlu memikirkan dahulu untuk keluar dari ruang dalam tanah ini. Jika kita tak bisa keluar perCUma kita ketahui siapa Sin Kun itu”
“Nona benar," berkata ciu ceng.
"Taysu," Ban Liang tanya sipendeta, "kenapa taysu berdiam disini? Tentu juga ada sebabnya yang luar biasa atau menarik hati, bukan? " Han In Taysu mengangguk.
"Itulah hal yang banyak minta waktu untuk menceritakannya," sahutnya.
"Benar," berkata Ban Liang pula. "Sekarang paling benar kita bicara soal keluar dari kurungan ini. Apakah taysu tahu jalannya? "
"Sebegitu jauh yang loolap tahu, tidak ada jalan buat mengangkat atau menyingkirkan pintu besi..." sahut Han In masgul.
Ban Liang bertindak mendekati tembok. Ia mengetuk ngetuk beberapa kali, terus ia menggeleng gelengkan kepala.
"Tembok ini sangat tebal dan keras dan terpendamnya sangat dalam. Nampaknya sangat sukar buat keluar dari sini..." ciu ceng memandang tajam pintu besi itu "Tapi aku perCaya pasti ada rahasianya untuk membuka pintu ini," katanya. "Asal kita berlaku sabar mencari pesawat rahasia itu."
Ban Liang menghela napas, matanya mengawasi sisi lilin-"Lilin ini paling tahan juga kira-kira sesantapan nasi. Selekasnya lilin habis atau apinya padam, ruang ini bakal menjadi gelap gulita hingga lima buah jari tangannya pun tak akan tampak lagi. Di dalam gelap. bagaimana kita bisa mencari alat rahasianya? Pasti sukar..." Han In juga menghela napas.
"Ketika mereka meninggalkan loolap disini mereka menyediakan banyak sekali bahan makanan," katanya, "sekarang sisa barang makanan itu masih ada, buat kita, cukup untuk beberapa hari lagi."
Berkata begitu, pendeta tua ini mengawasi Giok Yauw, kemudian ia melanjutkan pula "Sebenarnya, selama sepuluh tahun lebih, mereka telah memindah-mindahkan loolap tak putus-putusnya, baru paling belakang loolap dipindahkan dan dikurung disini. Sesungguhnya hidup semacam ini membuat orang putus asa, lebih baik mati daripada hidup tersiksa. Tetapi kalau loolap masih belum nekad menghabiskan jiwa tuaku ini, karena masih ada sesuatu yang belum terlampiaskan-.."
Ban Liang batuk batuk, "Asal kita dapat makan beberapa hari lagi, jangan kita berputus asa," katanya. "Aku percaya Nona Hoan dapat menolong kita keluar dari sini. Maka itu, taysu, lebih baik taysu menutur dahulu tentang dirimu"
"Mereka itu mengurung dan menyiksa loolap maksudnya ialah untuk memaksa loolap memberitahukan mereka rahasia ilmu silat istimewa dari Ngo Bie Pay..."
"Apakah taysu masih ingat siapa atau siapa-siapa yang memaksa taysu itu? " tanya ciu ceng menyela, turut bicara.
"Pemimpin mereka itu sering muncul dengan bermacam wajah dan dandanan, sebentar dia berjanggut, sebentar dia menjadi seorang pemuda, walaupun begitu, loolap telah mencoba perhatikan sesuatu menjadi ciri-cirinya. Nyatanya dialah satu, dan beberapa puluh macam penyamarannya itu hanyalah untuk mengelabuhi mata orang guna membuat orang bingung karenanya"
Ban Liang menghela napas. "Jikalau begitu benarlah Seng kiong Sin Kun itu ada manusianya" katanya. "Dapatkah taysu ingat ciri-ciri orang itu? "
"Karena dia biasa menyamar itu, loolap jadi memperhatikan gerak geriknya," semangatnya menjawabnya Han in, "Asal loolap dapat melihat dia bicara dengannya beberapa patah kata, pasti loolap mengenalinya," katanya