Jilid 15
"Kalau memang begitu, tolong locianpwe sudi memberikan petunjuk jalan untuk kami."
"Turunlah bukit dari sini, di situ akan kau temui kuil Ban hud wan dalam lembah Cui liu kik, orang lain tidak seperti lohu, kalian mesti berhati-hati.
"Terima kasih banyak atas petunjukmu." Soat kun segera menjura dalam-dalam. Selesai berkata, dia melangkah ke depan lebih dulu. Buyung Im Seng, Nyo hong leng dan Siau tin secara teratur mengikuti di belakangnya, dengan menelusuri sebuah jalan setapak mereka turun ke bawah sana.
Setelah melewati punggung bukit, pemandangan yang terbentang di depan mata tiba-tiba berubah. Tampak pohon liu bergoyang-goyang terhembus angin bukit, seluruh lembah itu berwarna hijau segar, diantara kerumunan pohon liu nan hijau, di sudut lembah bukit sana tampak menonjol keluar dinding tembok berwarna merah.
Sambil menuding ke arah dinding merah itu Buyung Im Seng segera berkata. "Mungkin tempat itulah yang dinamakan Ban hud wan."
"Soal memasuki kuil Ban hud wan, tak usah kongcu kuatirkan, sudah pasti mereka akan mengirim orang untuk mengajak kita masuk kesana, tapi harap kongcu mengingat jalan masuk ke dalam lembah, menurut pengamatanku pohon liu yang tumbuh dalam lembah ini bukan tumbuh secara alami, mungkin sebagian besar diantaranya dipindahkan kemari dari tempat lain, siapa tahu kalau hutan pohon
liu buatan manusia ini masih ada kegunaan lainnya."
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba tampak ada dua sosok bayangan manusia muncul dari balik hutan pohon liu dan lari menuju ke depan mereka.
Cepat sekali gerakan tubuh dari kedua sosok bayangan manusia itu, dalam waktu singkat mereka telah tiba di depan ke empat orang itu, rupanya mereka adalah dua orang hwesio kecil yang berjubah abu-abu, bermuka bocah dan berkepala gundul licin.
Waktu itu Buyung Im Seng telah memulihkan kembali paras mukanya, sambil menjura dia lantas berkata. "Aku adalah Buyung Im Seng harap siau suhu berdua bersedia untuk membawa jalan untuk kami."
Kedua orang hwesio cilik itu saling berpandangan sekejap, kemudian sambil merangkap kedua tangannya di depan dada, mereka berseru memuji keagungan Sang Buddha. "Omintohud!"
Kemudian kedua orang itu membalikkan badan dan melangkah ke depan. Dengan langkah lebar Buyung Im Seng mengikuti di belakang kedua orang hwesio cilik itu memasuki hutan itu.
Dua orang Hwesio cilik itu berjalan bersanding, mereka berputar-putar menelusuri jalan setapak yang terbentang dalam hutan pohon liu tak selang sepertanakan nasi kemudian, sampailah mereka di depan kuil Ban hud wan.
Sepanjang perjalanan, Buyung Im Seng tidak bertanya barang sekecappun, sebaliknya kedua orang hwesio cilik itupun tak bersuara barang sepatah katapun. Lingkaran bangunan kuil Ban hud wan tidak terhitung amat besar, namun bangunannya sangat kokoh, di depan pintu gerbang terdapat tiga belas undakundakan batu, di atas pintu gerbang terpancang sebuah papan nama kecil yang bertuliskan tiga huruf dari tinta emas. "BAN HUD WAN"
Pintu gerbang yang berwarna hitam pekat telah terpentang lebar, seorang hwesio setengah umur yang mengenakan jubah pendeta warna abu2 berdiri di depan pintu. Kedua orang hwesio cilik itu segera mempercepat langkahnya menuju kehadapan hwesio setengah umur itu, lalu membisikkan sesuatu dengan suara lirih, kemudian mereka membalikkan badan dan mengundurkan diri kembali ke dalam hutan
pohon liu.
Tiba-tiba pendeta berusia pertengahan itu menyingkir ke samping, kemudian ujarnya. "Silahkan Buyung kongcu!"
Buyung Im Seng tersenyum. "Apa sebutan taysu?" tanyanya. "Pinceng Khong seng."
Agaknya dia enggan banyak bicara, setelah mengucapkan sepatah kata yang amat sederhana itu, tiba-tiba dia membalikkan badan dan berjalan ke dalam, katanya. "Pinceng membawa jalan untuk kalian semua.!"
Buyung Im Seng berpaling memandang sekejap ke arah Kwik soat kun, lalu bisiknya. "Kelihatannya mereka semua enggan banyak berbicara."
Kwik soat kun segera tertawa, sahutnya, "Ya, hal ini disebabkan peraturan ditempat ini terlampau ketat, sehingga siapapun enggan banyak berbicara." Ucapan itu sengaja diutarakan dengan suara keras, Walaupun hwesio itu jelas mendengar perkataan itu, namun dia berlagak tidak mendengar, bahkan berpalingpun tidak, sekaligus dia menembusi dua buah halaman besar dan
membawa mereka menuju ke tengah sebuah halaman yang terapit dua buah gedung.
Dalam halaman tersebut penuh ditanami aneka bunga yang berwarna warni serta menyiarkan bau harum semerbak. Di sudut halaman terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu bata merah, kolam itu khusus untuk mengalirkan sumber air dari tebing menembusi bangunan gedung dan mengalir ke dalam.
Suara air yang bergemericik mendatangkan suasana yang hening, seram dan mengerikan didalam halaman yang sepi itu.
Khong seng langsung membawa mereka menuju ke ruangan atas, membuka pintu dan membawa tamunya masuk ke ruang dalam. Buyung Im Seng mencoba untuk memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, tampak didalam ruangan itu terletak delapan buah kursi, di atas kursi-kursi itu dilapisi kasur berwarna kuning.
Bata merah melapisi lantai, tirai kuning menghiasi dinding, dekorasi di situ amat antik, lantaipun disapu bersih sekali, tak sedikitpun debu yang terlihat. Anehnya sejak masuk ke dalam hutan pohon liu itu, kecuali berjumpa dengan dua orang hwesio cilik serta khong seng taysu, mereka tidak berhasil menjumpai orang ke empat, tapi kalau dilihat dari kebersihannya yang juga dalam ruangan serta pohon bunga yang digunting rapi, paling tidak harus ada puluhan orang yang mengerjakannya.
Terdengar Khong seng berkata dengan dingin. "Silahkan saudara berempat duduk, pinceng akan melaporkan kepada hong tiang kami. Tidak menunggu jawaban dari orang, ia membalikkan badan dan berlalu dengan langkah lebar.
Melihat Hwesio itu sudah pergi, tiba-tiba Kwik soat kun bangkit berdiri lalu mendekati pintu masuk menuju ke ruang dalam dan menyingkap tirai di situ. Ketika melongok ke dalam, maka tampaklah dalam ruangan itu terdapat sebuah rak kayu tempat buku dan sebuah meja besar, agaknya di situ merupakan kamar tamu yang anggun.
Kwik soat kun segera menurunkan tirai itu lagi, kemudian berbisik dengan lirih. "Apakah saudara sekalian merasakan sesuatu perbedaan dari kuil Ban hud wan ini?"
"Yaa, selain bangunannya kokoh, pepohonannya lebat, terpencil pula ditengah bukit, tempat ini memang merupakan tempat pemukiman..." jawabannya Buyung Im Seng.
"Akupun berperasaan demikian, ternyata pihak lawan tak memberikan titik terang yang dapat membuat kita membuat analisa atau dugaan apapun, berada dalam keadaan seperti ini, siapapun akan merasakan suatu perasaan aneh yang sukar diraba."
Nyo hong leng segera mencibirkan bibirnya seraya berkata. "Entah apa tujuan dan maksudnya melakukan tindak tanduk semacam ini? Memangnya ia hendak menakut-nakuti agar kita segera merat dari sini?"
Kwik soat kun segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku rasa dibalik semua ini sudah pasti ada hal lainnya, dewasa ini kita hanya bisa menunggu
perubahan keadaan dan ketenangan dan berusaha mengatasinya menurut kondisi ketika itu."
Sementara mereka masih bercakap-cakap, mendadak terdengar suara langkah kaki manusia bergema datang. Buyung Im Seng mengalihkan pandangan matanya ke pintu, ia saksikan seorang hwesio bermuka merah, beralis tebal, bermata jeli telah muncul di situ, ternyata sulit baginya untuk menilai berapa besar usia hwesio tersebut.
Sikap Kong seng taysu terhadap hwesio bermuka kuning ini amat hormat sekali, dengan tangan menjulur ke bawah ia berdiri di sisinya dengan wajah serius.
Kwik soat kun maupun Buyung Im Seng tetap menahan diri, mereka hanya memandang hwesio sekejap tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kedua belah pihak saling bertahan beberapa saat lamanya, kemudian hwesio yang bertubuh tinggi besar itulah yang membuka suara lebih dulu, tegurnya. "Siapakah diantara kalian yang bernama Buyung kongcu?"
"Akulah orangnya!"
Hwesio tinggi besar itu segera merangkap tangannya di depan dada, katanya dingin.
"Tak nyana kalau Buyung kongcu masih begitu muda!"
"Apakah Taysu menganggap aku masih kurang memadai untuk menerima pelajaran?" dengus Buyung Im Seng dingin.
"Aaah... kongcu salah paham!" hwesio tinggi besar itu segera tertawa hambar. "Maksudmu?"
"Pinceng hanya beranggapan bahwa dengan usia kongcu yang begitu muda, ternyata rela datang menyerahkan diri pada nasib, hal ini sungguh pantas disayangkan."
Kontan saja Buyung Im Seng tertawa dingin. "Ucapan dari taysu ini semakin membuat aku tidak habis mengerti." serunya.
"Dengan cepat kau akan mengerti sendiri."
"Siapa sebutan taysu?" tiba-tiba Kwik soat menimbrung.
Hwesio bertubuh tinggi besar itu tertawa hambar. "Pinceng bergelar Bu tok, Bu tok dalam arti kata menolong umat manusia terlepas dari kesengsaraan.!"
"Kalau kudengar dari nada perkataan taysu, yang begitu jumawa dan besar, agaknya kaulah ciangbunjin dari kuil Ban hud wan ini?" Bu tok taysu mendengus dingin.
"Hmm! Ciangbunjin kami jarang sekali bertemu dengan orang asing, kalau cuma mengandalkan kedudukan kalian mah masih belum sampai merepotkan ciangbunjin kami untuk datang menyambut sendiri!"
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan. "Oya, pinceng lupa menanyakan siapa nama li-sicu ini?"
"Aku rasa kalian pasti sudah tahu bukan?" tugas Kwik soat kun cepat.
Kembali Bu tok taysu tertawa hambar. "Kalau begitu kau adalah wakil ketua Li ji pang, nona Kwik soat kun adanya?"
"Betul, apakah taysu tidak merasa telah mengucapkan banyak perkataan dengan sia-sia?"
Kembali Bu tok taysu tertawa hambar. "Orang bilang bencana keluarga dari mulut, aku harap nona suka berhati-hati dalam pembicaraan!" katanya.
"Aaah..., bila aku dapat berpikir sejauh itu, tak nanti aku bisa sampai di sini." "Tampaknya nona keras kepala!"
"Aaah, taysu terlalu memuji, taysu terlalu memuji!"
Tampaknya Bu tok taysu ingin mengumbar hawa amarahnya, tapi kemudian kobaran napsunya itu dikekang kembali, kembali ia berkata dengan suara dingin. "Pinceng dengar Buyung kongcu selalu bekerja sama dengan Biau hoa lengcu, tak kusangka kali ini bergumul dengan wakil ketua Li ji pang."
"Taysu, sebagai seorang pendeta, tidaklah kau rasakan bahwa ucapanmu itu terlalu kurang sopan?"
Merah padam selembar wajah Bu tok taysu karena jengah, kemudian dengan marah ia berseru. "Tempat ini adalah sebuah kuil hwesio, mau apa li-sicu datang ke tempat ini?"
"Taysu", kata Buyung Im Seng segera, "dari beribu li jauhnya datang kemari, bukan bermaksud kami untuk bersilat lidah dengan taysu, mengerti?"
"Lalu apa tujuan kalian datang kemari?"
Dari ucapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ia sama sekali tak memandang sebelah matapun terhadap Siau tin serta Nyo hong leng.
"Kami hanya ingin menanyakan satu hal." "Soal apa?"
"Dimanakah letak lembah tiga malaikat?"
"Di atas langit, menuju langit tiada jalan. Dalam neraka menuju neraka tiada pintu..."
"Lantas Ban hun wan ini terletak di neraka atau surga?" ejek Kwik soat kun ketus. "Nona tempat ini seperti dimana?" Bu tok taysu balas bertanya tak kalah ketusnya. "Aku mah tempat ini merasa hanya sebuah kuil belaka, tidak disurga juga tidak dineraka."
"Ehmmm... tampaknya tidak kecil nyali lisicu."
"Ucapan taysu sendiri terlalu takabur", ucap Buyung Im Seng, "apa bolehkah aku tahu, mampukah kau mengambil keputusan?"
"Sekarang identitas kami sudah terang yang hendak kami bicarakan pun soal yang serius, soal neraka atau surga bukan masalah yang penting bagi kami, adalah
minta kau berbicara jujur, kalau hanya bersilat lidah melulu tak akan berguna lagi masalah ini." sambung Kwik soat kun.
Perkataan itu agaknya menimbulkan reaksi langsung, Bu tok taysu yang angkuh dan takabur segera menarik kembali kepongahannya, kemudian berkata. "Baiklah apa maksud kalian, sekarang boleh diutarakan secara langsung dan terbuka." "Aku hendak mencari letak lembah tiga malaikat, orang harus melalui dulu kuil Ban hud wan ini, betulkah berita tersebut?"
"Dapat pinceng beritahukan bahwa berita itu memang benar, tempat ini merupakan satu-satunya pintu gerbang menuju ke lembah tiga malaikat..." "Konon dibanyak tempat terdapat pula Sam seng tong, bahkan berjumlah puluhan tempat banyaknya di seantero jagad, apakah semuanya itu hanya tempat palsu?" tanya Kwik soat kun pula.
"Hal-hal yang sebenarnya dibalik kejadian itu amat panjang dan lebar, maaf kalau pinceng tak dapat memberitahukan kepada kalian."
"Kalau enggan menerangkan ya, sudahlah. cuma ada satu hal yang mesti taysu terangkan kepada kami"
"Soal apa?"
"Lembah tiga malaikat yang ditunjukkan taysu kepada kami itu sebenarnya merupakan lembah tiga malaikat yang sesungguhnya atau palsu?"
"Di sini tiada perbedaan antara uang asli dan gadungan, yang ada hanyalah Lembah yang sebetulnya dan Lembah tipuan."
"Apa yang dimaksud sebetulnya dan apa pula yang dimaksud tipuan? Apa pula bedanya yang asli dan undangan?" tanya Buyung Im Seng.
"Bila tiga malaikat dalam lembah disebut sesungguhnya, bila tiga malaikat tidak berada dalam lembah disebut tipuan."
"Oh, kiranya begitu, kalau begitu harap taysu suka memberi petunjuk kepada kami, jalan yang diberikan taysu kepada kami jalan menuju ke lembah tiga malaikat yang sungguhan atau tipuan?"
"Ini tergantung pada kemujuran kalian berdua!"
0 -
BAGIAN KE 22
"Baiklah ucap Buyung Im Seng, "Harap taysu bersedia menerangkan jalan yang harus kami tempuh!"
Bu tok taysu termenung dan berpikir sebentar lalu katanya. "Bila pinceng tidak bersedia mengabulkan?"
"Tak bisa taysu mengambil keputusan sesuka hati, bila sampai demikian, maka terpaksa kami akan mengobrak abrik kuil Ban hud wan ini lebih dahulu."
Mendengar perkataan itu, Bu tok taysu segera menengadah dan tertawa terbahakbahak. "Ha.. ha... ha... ada tamu mengusir tuan rumah, entah apa yang kalian berdua andalkan?"
"Bila taysu tak dapat mengambil keputusan, lebih baik cepatlah minta petunjuk!" kata Kwik soat kun, "Bila sengaja hendak mencari gara-gara, mari kita selesaikan dengan kekerasan!"
"Ucapan nona sungguh tetap dan terbuka! Baiklah, harap tunggu sebentar, pinceng akan pergi dulu sejenak."
"Silahkan!"
Bu tok taysu segera membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu... Memandang bayangan punggung Bu tok taysu yang menjauh, Kwik Soat kun segera mendengus dingin, jengeknya.
"Kalau tak dapat mengambil keputusan, omong saja berterus terang, huuh! lagaknya saja sok hebat, sok berkuasa, padahal tak punya kekuasaan apa-apa, sebal!"
Tiba-tiba Nyo Hong leng berbisik, "Sebentar, seandainya terjadi pertarungan apakah aku haru turun tangan juga?"
"Andaikata Siau moay mampu mengatasi pertarungan itu, lebih baik kau jangan turut serta dalam pertarungan itu, andaikata aku dan Buyung kongcu sudah tak sanggup menghadapinya sekalipun kau tak ingin turun tangan juga harus turun tangan, dalam soal ini lebih baik kau mengambil keputusan sendiri."
"Ehmm, aku mengerti!" Nyo Hong leng tertawa dan manggut-manggut. Sementara pembicaraan berlangsung, Bu tok taysu telah muncul kembali diiringi seorang hwesio tinggi besar yang memakai kain lhasa warna merah.
Terdengar ia berseru dengan lantang. "Sudah lama pinceng mendengar nama besar dari Buyung kongcu, entah siapakah diantara kalian?"
"Akulah orangnya, apakah taysu adalah hong tiang dari kuil Ban hud wan ini?" Hweshio berbaju merah itu tertawa hambar. "Segala sesuatunya pinceng dapat memutuskan sedang soal aku adalah hongtiang kuil Ban hud wan atau bukan, aku rasa itu bukan soal yang penting!"
"Kedatangan kami kemari juga bukan lantaran hendak menyambangi kuil kalian, jadi soal bertemu dengan ciangbun hongtiang atau tidak, rasanya bukan masalah yang penting." sambung Buyung Im Seng.
"Konon Buyung kongcu dan wakil ketua perkumpulan Li ji pang hendak berkunjung ke lembah tiga malaikat untuk menyambangi tiga malaikat...?" "Memang itulah tujuan kami yang terutama."
Hwesio berbaju merah itu segera tertawa, katanya lagi. "Jika hanya mengandalkan nama kecil Buyung kongcu, kau masih belum berhak untuk memasuki lembah tiga malaikat, tapi kau berhubung mendapat sisa nama besar ayahmu sehingga begitu masuk dunia persilatan lantas ternama pinceng bersedia mengatur segala sesuatunya buat kongcu, cuma saja..."
"Cuma saja kenapa?"
"Perjalanan yang bakal kau tempuh adalah suatu perjalanan yang penuh rintangan dan percobaan, yakinkah kongcu untuk melakukannya?"
"Bagaimana yang dimaksudkan dengan penuh rintangan dan percobaan itu?" "Setiap langkah kemungkinan ada ancaman kematian setiap inci terselip hawa pembunuhan."
"Ada petunjuk jalannya?" "Ada!" "Siapa?" "Pinceng!"
"Bagus sekali asal taysu mampu untuk menelusurinya, aku yakin dapat pula menembusinya."
Hwesio berbaju merah itu mengalihkan sorot matanya ke wajah dua orang yang lain lalu katanya. "Sayang sekali, pembantu2 kongcu tak dapat ikut dalam perjalanan ini."
"Kenapa?"
"Memangnya lembah tiga malaikat tempat yang boleh dikunjungi setiap orang?" kata hwesio berbaju merah itu sambil tertawa.
"Andaikata kami tetap bertekad untuk pergi bersama, aku rasa tentu ada caranya bukan?"
"Cara sih memang ada." "Tolong jelaskan!"
"Bila dalam seratus jurus bisa menangkan pinceng, tanpa ditanya nama dan kedudukannya, boleh masuk ke dalam lembah tiga malaikat."
"Bila hanya sebuah cara ini saja yang tersedia, terpaksa aku harus memohon petunjuk dari taysu."
Dalam pada itu, Buyung Im Seng telah berpikir didalam hatinya. "Tampaknya kedudukan hwesio ini didalam kuil Ban hud wan tidak rendah, bila didengar dari pada ucapannya, ilmu silat yang dia miliki pasti amat tangguh, bila Kwik soat kun harus bertarung melawannya, entah dapatkah dia melewati seratus jurus gebrakan?"
Sementara ia masih termenung, hwesio berbaju merah itu telah berkata. "Entah siapakah diantara kalian yang hendak bertarung lebih dulu melawan pinceng?" Dari nada perkataan itu dapat didengar kalau dia mengikut sertakan pula Nyo Hong leng. Nyo hong leng hendak turun tangan, Kwik soat kun telah berkata duluan. "
"Taysu tentu saja aku akan bertarung melawan taysu lebih dulu, cuma kita harus terangkan dulu persoalannya sebelum pertarungan tersebut dilangsungkan." "Katakanlah!"
"Kedua orang ini adalah anggota Li ji pang kami, seandainya aku tak sanggup menangkan dirimu, sudah barang tentu mereka lebih-lebih bukan tandinganmu."
"Maksudmu..." "Maksudku, menang kalah kita hanya bertarung satu babak, seandainya kau yang menang maka silahkan membawa Buyung kongcu seorang kedalam lembah tiga malaikat, tapi andaikata aku yang menang, maka kedua orang perkumpulanku ini harus diijinkan pula untuk turut serta masuk ke dalam lembah."
Hwesio berjubah merah itu termenung sejenak, lalu sahutnya. "Baik, bila kau yang menang pinceng akan bertanggung jawab untuk membawa serta mereka berdua. Nah, sekarang boleh turun tangan!"
"Kita hanya bertarung seratus gebrakan saja, bila dalam seratus jurus tidak ada yang menang atau kalah, maka kau harus menganggap kemenangan berada di tanganku."
"Baiklah! Orang beragama memang tak jadi soal untuk rugi sedikit." "Aku berada di posisi yang lebih menguntungkan, maka akan kuberikan kesempatan bagimu untuk melancarkan serangan lebih dulu."
"Ehmm, bila pinceng tidak mengabulkan, lagi-lagi kita akan saling mengalah, baiklah harap nona berhati-hati."
Ditengah bentakan keras, tangan kanannya segera diayunkan ke depan melancarkan sebuah pukulan yang dahsyat.
Dengan cepat Kwik soat kun mengelak ke samping, ujarnya. "Apakah kita harus bertarung dalam ruangan ini?"
"Dimanapun sama saja, toh dalam ruangan ataupun di luar tak ada bedanya." Secara beruntun dia lancarkan kembali tiga pukulan berantai, serangan demi serangan yang dilancarkan olehnya itu kelihatan seperti tidak gencar atau tajam, akan tetapi setiap ancaman yang dilancarkan justru memaksa Kwik soat kun harus cepat-cepat menolong diri, selain beradu kekerasan, terpaksa Kwik soat kun hanya bisa berkelit kesana kemari tiada habisnya.
Tiga serangan berantai yang dilancarkan itu segera memaksa Kwik soat kun terdesak mundur sejauh enam langkah dan tersudut di ujung ruangan. Tampak sepasang telapak tangannya diayunkan, selapis bayangan tangan yang rapat menyelimuti angkasa dan menyumbat jalan mundur Kwik soat kun sekelilingnya. "Nona!" ejeknya sambil tertawa dingin. "sudah tiada jalan mundur lagi bagimu, yang terbuka hanya menuju ke atap rumah, kali ini terpaksa nona harus mengandalkan kepandaianmu yang sebenarnya."
Dengan jurus Thay san ya teng (bukit thay san menindih kepala) tangan kanannya langsung diayunkan ke bawah, sementara telapak tangan kirinya membendung jalan mundur Kwik soat kun ke sudut kanan.
Ternyata sejak dua orang terlibat dalam pertarungan yang sengit, Kwik soat kun terus menerus mundur dan tak sejurus seranganpun dilancarkan. Mendadak Kwik soat kun berkerut kening, tangan kanannya diayunkan ke depan menotok urat nadi penting pada pergelangan tangan kanan hwesio berbaju merah itu.
Pada waktu itu tinju maut dari hwesio baju merah itu sudah meluncur ke bawah sedang tangan Kwik soat kun diayun ke atas menyongsong datangnya ancaman itu,
kelihatan kalau sepasang tangan mereka segera akan saling membentur satu sama lainnya, mendadak hwesio itu menarik kembali pergelangan tangan kanannya dan menarik kembali serangan yang dilancarkan.
Menggunakan kesempatan itu, Kwik soat kun melepaskan serangan balasan, tibatiba tangan dan jari tangannya dilancarkan berbareng, selain gerakannya tajam dan dahsyat, setiap jurus serangannya ditujukan ke jalan darah penting di sekujur badan hwesio itu.
Serangan balasan yang dilancarkan ini dilakukan dengan kecepatan luar biasa, seketika itu juga memaksa hwesio itu mundur tujuh delapan langkah dari posisi semula, dengan begitu maka kedua belah pihakpun telah kembali ke tempat semula.
Setelah mundur sejauh delapan langkah, hwesio itu baru menggerakkan kembali tenaga dan kakinya, sepasang telapak tangan diayun ke depan mendesak mundur ancaman berikutnya dari Kwik soat kun.
Sebenarnya Buyung Im Seng sangat kuatir kalau Kwik soat kun tak sanggup menandingi kelihaian si hwesio itu, akan tetapi setelah menyaksikan serangan balasan dari Kwik soat kun yang begitu gencarnya, lambat laun hatinya menjadi tenang kembali.
Sementara si hwesio baju merah itu segera melancarkan serangan balasan setelah berhasil membendung serangan dari Kwik soat kun, tenaga pukulannya kian lama kian bertambah besar, setiap jurus serangannya bagaikan godam raksasa yang terayun ke bawah, kehebatannya sungguh mengerikan.
Sebaliknya Kwik soat kun juga mengembangkan taktik pertarungan yang berbeda pula, kali ini dia hanya berkelit kesana kemari dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, semua ancaman dari hwesio tersebut segera dapat dihindari dengan seksama.
Ditengah pertarungan, mendadak Kwik soat kun membentak keras. "Cukup! Dia lantas melompat ke samping arena.
"Sudah cukup?" seru hwesio berbaju merah itu penasaran. "Tapi pinceng hanya menyerang sebanyak enam puluh lima jurus saja." Seru sang hwesio berbaju merah setelah termenung sebentar.
"Betul, kau memang hanya melancarkan 65 jurus, tapi aku telah balas menyerang sebanyak 35 jurus, jadi total jendral genap seratus jurus."
Kontan saja hwesio itu tertawa dingin. "Yang kumaksudkan sebagai seratus jurus adalah kau mesti menyambuti seratus jurus serangan dari pinceng."
"Aaaah, mengapa tidak taysu jelaskan sedari tadi?" seru Kwik soat kun sambil tertawa. "Kalau kujelaskan sedari tadi lantas kenapa?"
"Tentu saja taktik pertarunganku akan jauh berbeda dengan taktik pertarungan yang kupakai sekarang."
"Sekarang toh belum terlambat?" jengek hwesio itu dingin.
Sebuah pukulan dilancarkan kembali ke depan. Kwik soat kun melejit ke samping dengan ilmu meringankan tubuhnya, agaknya perempuan ini hendak mengandalkan kembali kelincahan tubuhnya untuk menghindari 35 serangan lawan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berbisik dengan suara lirih. "Adulah kekerasan dengannya, ilmu pukulan yang dimiliki hwesio itu beraneka ragam, serangannya makin lama semakin ganas dan keji, bila kau harus bertahan terus dengan taktik ini, akhirnya kaulah yang akan dirugikan."
Dia tahu kalau Nyo hong leng telah memberi keterangan dengan ilmu menyampaikan suara, maka sewaktu dilihatnya si hwesio itu melancarkan serangannya kembali, serentak dia mengayunkan pula tangan kanannya untuk menyambut ancaman itu dengan kekerasan.
Diam-diam hwesio berbaju merah itu merasa girang sekali, pikirnya. "Jika kau mengambil taktik bermain gerilya, belum tentu aku dapat melukaimu dalam seratus jurus, tapi bila kau sambut pukulanku dengan kekerasan, ini berarti kau ingin mampus secepatnya."
Berpikir sampai di situ, diam-diam ia menambahi tenaga pukulannya dengan dua bagian lagi.
Pada saat sepasang telapak tangan kedua orang itu hampir saling bersentuhan, mendadak hwesio berbaju merah itu merasakan iganya menjadi kesemutan, kemudian tenaga pukulan yang dilepaskan itu menjadi lenyap tak berbekas lagi. Padahal serangan yang dilancarkan Kwik soat kun telah meluncur datang, tak ampun lagi pergelangan tangan kanannya telah terhajar telak.
Kedengaran hwesio berbaju merah itu mendengus tertahan, secara beruntun dia mundur tiga langkah. "Nona berhasil menang." Katanya.
"Kalau begitu harap kau segera membawa jalan," kata Kwik soat kun sambil mengulapkan tangannya.
Hwesio berbaju merah itu tertawa dingin. "Kemenangan nona diperoleh dengan amat mujur sekali, sebaliknya pinto dikalahkan dengan sangat tidak puas." "Tapi kau toh sudah mengaku kalah?"
Paras muka hwesio berbaju merah itu berubah menjadi dingin dan serius, dengan sorot mata gusar, pelan-pelan menatap wajah Buyung Im Seng, setelah itu katanya. "Buyung kongcu, kaukah yang melancarkan sergapan secara diam-diam...?" Buyung Im Seng agak tertegun, tapi dia lantas mengerti kalau perbuatan ini pasti merupakan ulah dari Nyo hong leng, maka sambil tertawa hambar dia berkata. "Andaikata aku tidak mengikuti?"
"Pinceng dapat merasakannya, pemberian dari Buyung kongcu ini pasti akan pinceng ingat selalu."
Buyung Im Seng hanya tersenyum saja dan tidak berkata apa-apa.
Hwesio baju merah itu tertawa dingin, dia segera membalikkan badan sambil melangkah pergi, sambil beranjak katanya. "Pinceng mengharapkan kalian berempat dapat melewati perjalanan ini dengan selamat!"
Buyung Im Seng segera berebut mengikuti dulu di belakang si hwesio itu. Nyo hong leng, Siau tin dan Kwik soat kun segera mengikuti pula di belakangnya.
Hwesio baju merah itu membawa beberapa orang tersebut melewati sebuah halaman yang lebar, kemudian menuju ke bawah tebing curam yang menjulang ke angkasa.
Buyung Im Seng menengadah dan memandang sekejap ke arah tebing yang curam itu, ia jumpai tebing tersebut licin bagaikan cermin, sekalipun memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna jangan harap bisa mendaki di situ.
Sambil berpaling hwesio itu tertawa dingin, lalu katanya. "Harap kalian tunggu sebentar, pinceng akan mengetuk pintu."
"Dengan langkah lebar ia menuju ke depan dinding batu itu, setelah berdiri serius sejenak, mendadak di atas dinding tebing yang licin itu terbuka sebuah pintu rahasia.
Secara diam-diam Buyung Im Seng memperhatikan posisi mereka menghentikan badannya, dan kemudian mengingatnya di dalam hati.
Tampak hwesio itu berpaling kemudian pelan-pelan katanya. "Tempat ini merupakan pintu gerbang menuju ke dalam lembah tiga malaikat tapi menurut apa yang pinceng ketahui, barang siapa memasuki pintu ini maka kalau bukan bergabung dengan perguruan kami, sudah pasti jiwanya akan melayang meninggalkan raganya."
"Itu berarti dalam pintu gerbang tersebut terdapat jebakan yang mengerikan?" ujar Buyung Im Seng.
"Betul dan pinceng telah menerangkannya sedari tadi."
"Akan ku ingat selalu perkataan dari taysu ini, apakah kau akan masuk bersama kami?"
"Tentu saja pinceng akan membawa jalan buat kalian!" selesai berkata dia masuk dan memandang sekejap ke arah Nyo hong leng dan Kwik soat kun sekalian yang berada di belakangnya, kemudian berkata. "Tak ada halangannya bila kalian menunggu dahulu di luar pintu."
Nyo hong leng tersenyum, tiba-tiba dia menerobos maju melewati Buyung Im Seng dan masuk pintu tersebut lebih dulu.
Melihat itu, sambil tertawa Kwik soat kun segera berkata. "Bila tidak masuk ke dalam pintu gerbang, kitapun sulit untuk meninggalkan Ban hud wan, bila ingin mati, marilah mati bersama-sama..."
Buyung Im Seng dibikin apa boleh buat, terpaksa dia menghela napas panjang. "Berhati-hatilah kalian semua!" bisiknya kemudian.
"Blaamm...!" tiba-tiba pintu batu itu tertutup sendiri.
Dalam waktu singkat, suasana didalam gua itu jadi gelap gulita sehingga melihat kelima jari tangan sendiripun sukar."
Tiba-tiba Kwik soat kun berhenti sambil bisiknya. "Tunggu sebentar!"
Kemudian terlihat cahaya api berkilat, cahaya terang benderang segera mengusir kegelapan yang mencekam sekeliling ruangan rahasia tersebut.
Ketika cahaya api telah menerangi seluruh ruangan, maka tampaklah bayangan tubuh dari hwesio berbaju merah itu telah lenyap tak berbekas.
Mereka mencoba untuk memeriksa sekitarnya, tapi dinding lorong itu amat licin seperti cermin, tiada gua yang bisa digunakan untuk menyembunyikan badan, pun tak tampak sesosok bayangan manusiapun.
Kwik soat kun segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Nyo hong leng, lalu bisiknya. "Apa yang telah terjadi?"
Diantara beberapa orang itu, ilmu silat yang dimiliki Nyo hong leng boleh dibilang paling tinggi, ketajaman mata dan telinganya juga paling hebat, lenyapnya sang hwesio berbaju merah itu secara tiba-tiba mungkin hanya akan diketahui oleh Nyo hong leng seorang.
Dengan kening berkerut Nyo hong leng berbisik. "Andaikata dia mempunyai kesempatan untuk menyembunyikan diri hanya ada dua kemungkinan, pertama sewaktu pintu gerbang itu tertutup dan menimbulkan suara getaran keras, atau kedua dikala kau berbisik sambil membuat api tadi, ia telah memanfaatkannya peluang itu untuk kabur."
"Persoalan sekarang adalah dia telah kabur kemana?" ucap Buyung Im Seng, "dinding di sekeliling tak nampak ada pintu rahasia, dengan meminjam sinar api pun hanya bisa melihat benda dalam jarak lima kaki, aku tak percaya kalau dalam waktu sedemikian singkatnya dia bisa kabur dari ketajaman pendengaran kita." "Ssst, siapa tahu di atas kepala kita mungkin saja mereka memiliki tempat untuk menyembunyikan diri!" bisik Nyo hong leng secara tiba-tiba.
Kwik soat kun mencoba untuk mendongakkan kepalanya, tampak permukaan gua di atas kepalanya tinggi rendah tak rata, seandainya ada pintu rahasiapun sulit rasanya untuk ditemukan.
Buyung Im Seng lantas berkata. "Hwesio itu telah kabur meninggalkan kita, aku rasa dalam lorong rahasia ini pasti sudah disiapkan alat rahasia untuk mencelakai kita, mulai detik ini kita harus bertindak berhati-hati lagi."
Kwik soat kun segera memadamkan alat penerangan, lalu berbisik. "Mari kita persingkat jarak diantara kita semua, dengan begitu dapat saling membantu, biar aku yang berada dipaling depan untuk membuka jalan."
"Aaah, tak jadi soal, biar aku yang berada dipaling muka!" kata Buyung Im Seng. Selesai bicara dia lantas maju ke depan lebih dulu.
Kwik soat kun segera berkata kepada Nyo hong leng. "Ikuti di belakangnya dan diam-diam lindungi keselamatannya, bila keadaan telah berubah dan harus melukai orang, aku harap kau lancarkan serangan dengan meminjam tangannya, kau haru tahu, bila identitasmu dapat dirahasiakan terus, hal ini besar sekali manfaatnya untuk pihak kita..."
Nyo hong leng manggut2, dia segera menyusul di belakang tubuh Buyung Im Seng. Kwik soat kun mengalihkan obor ke tangan kirinya, kemudian tangan kanannya merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan sebilah pisau tajam, senjata itu
digenggamnya erat-erat untuk menghadapi kemungkinan2 yang tidak diinginkan, kurang lebih seperempat jam lamanya dia baru berjalan sejauh tiga kaki lebih. "Jangan takut, aku berada di belakangmu" bisik Nyo hong leng kemudian, "Apapun yang terjadi, aku akan membantumu dengan sepenuh tenaga."
"Hati-hati toh tak ada salahnya," kata Buyung Im Seng sambil tersenyum. "Mereka pasti mempunyai banyak benda aneh yang bisa digunakan untuk melukai orang." Sementara itu, mereka telah berjalan sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba terdengar seseorang berseru dengan suara yang dingin seperti es. "Berhenti!" "Aku Buyung Im Seng bermaksud mengunjungi lembah tiga malaikat..." ucapnya cepat.
"Setibanya di depan lembah tiga malaikat, harus dilihat dulu apakah kalian sanggup menembusi pos penjagaan dari lohu atau tidak?"
"Tolong tanya, bagaimana cara kami untuk melewati pos penjagaan ini?" kembali pemuda itu bertanya dengan suara lembut.
"Baik! Lohu akan memberitahukan kepada kalian, dalam perjalanan antara mati dan hidup ini, dari setiap jengkal tanah yang ada di sini, kemungkinan besar akan muncul kesempatan untuk menimbulkan kematian, ini termasuk serangan senjata rahasia serta air beracun."
Buyung Im Seng segera tertawa dingin, katanya. "Aku masih mengira alat jebakan yang berada dis ini terdapat perbedaan dengan tempat lain, ternyata yang digunakan hanya benda2 kotor dan rendah dari kaum kurcaci dunia persilatan seperti air beracun, senjata rahasia beracun dan sebagainya."
"Hmm...!" orang itu mendengus dingin. "Bila seseorang tak bisa menggunakan ilmu silat, aku rasa penggunaan senjata rahasia merupakan suatu cara yang tepat!" "Apakah senjata rahasia dan air beracun itu akan dipancarkan keluar dari atas dinding lorong?"
"Lohu hanya akan menjawab satu kali saja, lain kali maaf kalau aku tak akan menjawab lagi. Air beracun dan senjata rahasia yang akan lohu pancarkan itu datangnya dari atas bawah serta empat arah delapan penjuru, lohu percaya mungkin senjata rahasia tak akan mampu melukai kalian, tapi air beracun itu ganas sekali, barang siapa kena air itu niscaya tubuhnya akan membusuk, selain obat penawar khusus dari lohu, tiada orang lain di dunia ini yang sanggup untuk menyembuhkannya."
"Bagaimana cara untuk melewati pos penjagaanmu itu?" bisik Buyung Im Seng kemudian.
"Jika senjata rahasia itu mereka lancarkan dari empat arah delapan penjuru, memang musuh buat kita untuk menghindarinya." Sahut Kwik soat kun.
"Bila mengurangi jumlah orangnya, bukankah hal ini akan mengurangi sebagian mara bahaya yang mengancam?" ucap Buyung Im Seng.
"Bagaimana caranya pengurangan itu akan kau lakukan?" tanya Kwik soat kun sehabis mendengar perkataan itu.
"Aku akan mengajaknya berbincang."
Setelah berhenti sebentar, dengan suara lantang ia lantas berseru keras. "Terima kasih banyak atas petunjukmu itu, hal mana membuat kami sangat terharu." "Lohu tak lebih hanya ingin memberi peringatan kepada kalian agar tahu diri dan segera mengundurkan diri dari tempat ini." Suara yang dingin kaku itu segera menyambung.
"Perduli apakah maksud dan tujuan anda yang sebenarnya, tapi aku tetap merasa berterima kasih kepadamu, cuma sebelum pertarungan dilangsungkan, ada beberapa perkataan perlu kubicarakan lebih dulu dengan dirimu."
"Persoalan apa?"
"Orang yang akan menembusi pos penjagaanmu hanya aku Buyung Im Seng seorang, andaikata aku dapat menembusinya, aku mesti menganggap kami telah menang, bila aku kena terluka oleh senjata rahasiamu, anggaplah kami yang kalah."
"Baiklah!" kata orang itu dingin, andaikata aku dapat menembusi penjagaan ini, lohu akan segera melepaskan semua orang termasuk pembantumu itu, sebaliknya bila kau tak berhasil menembusinya, terpaksa aku akan menyuruh mereka menggotong mayatmu meninggalkan tempat ini..."
"Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." Dia lantas berpaling dan memandang sekejap ke arah Kwik soat kun sekalian, kemudian melanjutkan. "Harap kalian suka menunggu di sini saja." Selesai berkata, dia lantas saja maju lebih dulu.
Nyo hong leng maju menghalangi jalan pergi Buyung Im Seng, lalu ujarnya dengan lembut. "Biar kutemati dirimu!"
"Tak usah," Buyung Im Seng menggeleng, "aku toh telah berjanji dengan pihak mereka."
Tiba-tiba ia mempercepat langkah kakinya dan maju ke depan sana. Nyo hong leng tertegun, baru saja ia akan menyusul, Kwik soat kun segera menarik ujung bajunya sambil berbisik. "Biarkan dia pergi seorang diri!"
"Tidak bisa, kalau dia harus pergi sendirian mana mungkin bisa menghadang serangan senjata rahasia yang datangnya dari empat arah delapan penjuru itu?" "Mengapa kita tak membantunya secara diam-diam?" bisik Kwik soat kun.
Tidak menunggu jawaban dari Nyo hong leng, tangan kanannya segera diayunkan ke depan, tiba-tiba cahaya api berkilauan dan menancap di atas batuan.
Benda yang terjatuh ke tanah itu ternyata memancarkan cahaya api yang sangat terang, seperti semacam benda yang mudah terbakar, jilatan api segera menggelora di sana.
Kobaran api itu sesungguhnya tidak terlampau besar, walaupun demikian dalam lorong rahasia yang gelap gulita tersebut, amat besar manfaatnya, ditambah pula
tenaga dalam yang dimiliki orang itu memang sempurna, daya tangkap pandangan matanya melampaui orang biasa, otomatis pemandangan di sekeliling tempat itupun kelihatan makin nyata.
Ditengah api yang berkobar, tampak Buyung Im Seng dengan memegang pedang ditangan kanannya pelan-pelan maju, pedang tersebut disilangkan di depan dada, siap menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Nyo hong leng segera merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan segenggam biji Budhicu yang sebesar kacang ijo, sambil diserahkan kepada Kwik soat kun ia berbisik. "Bawalah benda ini!"
Pada mulanya Kwik soat kun tertegun, tapi kemudian dia lantas memahami maksudnya, sambil tersenyum ia menerima Budhicu itu dan dimasukkan ke dalam sakunya.
Nyo hong leng sendiri dengan menggenggam sepuluh biji budhicu, segenap perhatiannya dipusatkan ke atas tubuh Buyung Im Seng.
Tiba-tiba Kwik soat kun mengayunkan kembali tangan kanannya ke depan, "Plakk, plaak!" dua gulung cahaya api meluncur dari tangannya dan terjatuh di atas tanah lebih kurang tujuh delapan langkah di hadapan Buyung Im Seng serta pada ujung tikungan lorong sana.
Dengan begitu, bagian depan maupun belakang Buyung Im Seng semuanya tampak cahaya api yang berkobar, pemandangan di sekeliling tempat itu menjadi terang benderang, hal mana sangat bermanfaat dan membantu bagi Buyung Im Seng.
Tiba-tiba dari balik dinding seberang sana bergema suara bentakan yang dingin menyeramkan. "Hati-hati..."
Menyusul peringatan tersebut, dari antara kedua belah dinding lorong tersebut memancar keluar dua gulung cahaya perak yang menyambar ke atas tubuh Buyung Im Seng dengan kecepatan tinggi.
Pedang yang disilangkan di depan dada Buyung Im Seng itu segera digetarkan, mendadak terpancar selapis cahaya perak yang menyelimuti angkasa.
Lapisan pedang berwarna perak itu dengan cepat melindungi seluruh tubuhnya dari serangan luar, cahaya perak yang menyerbu tiba dari kedua sisi lorong itu seketika tergetar rontok.
Terkesiap juga hati Nyo hong leng menyaksikan begitu banyak jarum perak yang keluar dari kedua belah sisi dinding lorong tersebut. Segera ia berbisik. "Enci Kwik, apa dia terluka?"
Diam-diam Kwik soat kun tertawa geli, pikirnya. "Aaah... tak nyana Biau hoa lengcu yang angkuh dan tinggi hati ini memanggil cici juga kepadaku, tampaknya dia amat mencintai Buyung kongcu..."
Berpikir demikian dia lantas menyahut dengan suara setengah berbisik. "Aaah, kau ini terlalu gugup dan tegang, dia tetap sehat wal'afiat, tanpa kekurangan sesuatu apapun."
Nyo hong leng juga tidak menyangka, dia hanya terdiam sambil manggut2.
Sementara itu Buyung Im Seng dibuat terkesiap juga telah menghadang rontok serangan jarum perak yang datang dari dua arah itu, pikirnya dalam hati. "Bila serangan senjata rahasia ini dilancarkan dari jarak sedekat ini, apa lagi kalau ancaman yang dilakukan makin lama semakin dahsyat, aaiii... sulit juga rasanya untuk dihindari."
Namun diapun merasa agak keheranan, andaikata orang itu tidak memberi peringatan lebih dulu, niscaya sulit baginya untuk meloloskan diri dari serangan jarum perak yang memancar dari dua penjuru itu, tapi justru pihak lawan memberi peringatan, ia menjadi bersiap sedia hingga jarum-jarum perak itu dapat dipukul rontok semua.
Dalam hati dia berpikir demikian, langkah kakinya masih tetap berjalan terus ke depan sana.
Dalam pada itu Nyo hong leng sudah tak kuasa mengendalikan rasa gelisah dalam hatinya lagi, dia lantas berbisik. "Enci Kwik, aku tak dapat lagi menunggu lebih lama lagi, aku harus membantu dirinya."
Kwik soat kun cepat menarik ujung baju Nyo hong leng sambil berseru. "Tunggu sebentar!"
"Aku tak dapat menunggu lebih lama lagi." Bisik Nyo hog leng. "Sudah kau dengar perkataan dari orang itu barusan?" "Sudah!"
Dengan suara lirih sekali Kwik soat kun segera berbisik. "Walaupun ucapan orang itu kedengarannya seperti menakut-nakuti, padahal sebenarnya mengandung peringatan, bila kau turut menerjang ke depan, aku kuatir hal ini justru malah akan merusak persoalan."
Pada dasarnya Nyo hong leng memang seorang gadis yang amat cerdik, setelah termenung sebentar, dia lantas memahami duduk persoalan yang sebenarnya, diapun manggut2.
"Tapi kalau kita terlalu jauh ketinggalan di belakangnya, mana sempat menolong dirinya bila diperlukan?"
Kembali Kwik soat kun menggelengkan kepalanya berulang kali. "Jangan terlalu gelisah, kita tunggu sebentar lagi, perlu diketahui saat ini kita berada dalam keadaan senasib sependeritaan, bila Buyung kongcu sampai ketimpa sesuatu, kitapun jangan harap bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup."
Sekalipun Nyo hong leng merasa bahwa perkataannya memang benar dan masuk akal, namun hatinya masih tetap tidak tenang, tak tahan dia toh maju juga.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Kwik soat kun harus mengikuti di belakang Nyo hong leng.
Sementara itu, Buyung Im Seng telah mendekati sudut tikungan sebelah depan, mendadak terdengar suara lirih yang amat lembut berkumandang di sisi telinganya. "Dengan pertaruhan nyawa lohu hanya bisa memberi keterangan satu kali saja kepadamu, aku minta dengarkan keteranganku ini baik-baik, senjata rahasia yang berada di sini rata-rata keji dan amat beracun, sekalipun ayahmu hidup kembali juga belum tentu dapat menghindarinya, oleh sebab itu kau harus
bersikap lebih hati-hati hanya ada satu cara saja untuk menghindari senjata itu, yakni melompat ke atas dan menempel di atas atap lorong ini..."
Sampai di situ, mendadak ucapannya terputus ditengah jalan.
0 -
Bagian ke 23
Diam-diam Buyung Im Seng menarik napas panjang-panjang, dia maju lalu melejit ke tengah udara, secara tiba-tiba dia melayang ke depan dengan tubuhnya menempel di atas langit-langit lorong itu.
Terdengar suara desingan angin tajam menderu-deru, berpuluh puluh cahaya tajam tiba-tiba memancar keluar dari kedua belah sisi dinding lorong serta dari tengah tikungan tersebut.
Pada saat senjata rahasia tersebut saling beterbangan diangkasa, Nyo hong leng mengayunkan pula tangan melepaskan segenggam biji budhi cu.
"Pluuuk, pluuuk, pluuuk!" sebagian besar senjata rahasia yang memancar itu kena tersambit telah oleh timpukkan budhicu yang dilepaskan Nyo hong leng, sehingga berguguran ke tanah, untuk sesaat terdengarlah suara senjata rahasia yang saling membentur dan tersebar kemana-mana.
Dalam pada itu Buyung Im Seng telah melayang turun dengan selamat di atas tanah, ketika berpaling dan menengok ke belakang, terkesiap hatinya, diam-diam pikirnya. "Seandainya orang itu tidak memberi peringatan kepadaku, niscaya sulit bagiku untuk meloloskan dari ancaman ini."
Ternyata senjata rahasia yang berserakan di atas tanah sekarang beraneka ragam bentuknya, ada panah pendek, ada jarum rahasia, ada pula paku beracun Cu hu teng, jumlahnya mencapai ratusan batang.
Sementara dia masih melamun, tiba-tiba tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Nyo hog leng telah muncul di hadapan sambil mencengkeram tubuh Buyung Im Seng. "Kau baik bukan?" tegurnya.
Memandang pada sorot matanya yang penuh kasih dan perhatian itu, Buyung Im Seng sangat terharu, sambil tertawa ia mengangguk. "Ya, aku sangat baik." "Oh... sungguh mengejutkan aku," bisik Nyo hog leng sambil menghembuskan napas.
Kwik soat kun segera memburu datang dengan langkah lebar, bisiknya kemudian. "Adikku yang baik, jangan aleman lagi, sekarang bukan waktunya untuk bermesraan."
Merah padam selembar wajah Nyo hong leng karena jengah, kepalanya segera ditundukkan rendah2.
Terdengar suara yang dingin itu berkumandang kembali. "Kongcu telah berhasil melewati penghadangan senjata rahasiaku, berarti kau telah berhasil meloloskan diri dari pos penjagaan lohu. Silahkan maju ke dalam sana, di depan ada pos
penjagaan yang dijaga orang lain, hanya sampai di sini saja ucapan lohu, silahkan kalian berangkat melanjutkan perjalanan."
Sebenarnya Buyung Im Seng ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menyatakan rasa terima kasihnya atas bantuan orang itu, tapi kata-kata yang telah sampai di ujung bibir itu segera ditelan kembali, dia berpaling ke arah mana berasal suara itu kemudian menjura setelah itu baru melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Nyo hog leng yang menyaksikan Buyung Im Seng bisa lolos dari mara bahaya juga tak banyak bicara, dengan ketat dia mengikuti di belakang tubuh pemuda tersebut. Dalam pada itu, cahaya api yang dilepaskan Kwik soat kun sudah mulai padam, suasana dalam gua batu itu pulih kembali dalam kegelapan yang mencekam, sambil menghentikan langkahnya, Buyung Im Seng segera berbisik. "Lorong rahasia ini terlalu gelap, bila muncul sergapan secara tiba-tiba sukar rasanya untuk dihindari, lebih baik kita pertahankan suatu jarak tertentu, sehingga paling tidak kita tak
akan sampai terluka semua."
"Baik, biar aku berjalan dipaling depan!" seru Nyo hong leng dengan cepat. Buyung Im Seng segera menyambar lengan Nyo hong leng dan menariknya ke belakang. Entah sengaja atau tidak, menggunakan kesempatan itu Nyo hong leng menjatuhkan diri ke dalam pelukan Buyung Im Seng, bau harum tubuh perawan dengan cepat tersiar di sekelilingnya dan menyerang hidung pemuda itu.
Kontan saja si anak muda itu merasa terangsang, tanpa disadari dia mengulurkan tangannya dan merangkul pinggang Nyo hong leng dengan mesranya. "Kau harus merahasiakan dirimu," bisiknya lirih. "Dengan begitu musuh baru dapat kita bikin kelabakan, biar aku saja yang berjalan dipaling depan."
Baru saja Nyo hong leng akan membantah, mendadak terdengar suara desingan angin tajam berkumandang memecahkan keheningan. Kwik soat kun segera mengayunkan tangannya melepaskan sebuah peluru cahaya api. Pada saat yang bersamaan pula, Nyo hong leng menyelinap keluar dari rangkulan Buyung Im Seng dengan gerakan paling cepat.
Di bawah cahaya api yang menerangi ruang rahasia itu, tampak dari depan lorong sana tiba-tiba muncul segerombolan lelaki kekar, semuanya memakai baju hitam dengan senjata diacungkan tinggi ke atas, untuk sesaat sulit bagi orang untuk membedakan apa mereka orang sungguhan atau boneka belaka?
Kwik soat kun segera mengayunkan tangannya melepaskan sebatang paku penembus tulang berbareng itu juga serunya keras. "Hati-hati dengan senjata rahasia!"
"Trang...!" ketika membentur di tubuh orang itu, paku penembus tulang tersebut segera mencelat balik menimbulkan suara dentingan yang amat nyaring.
Kwik soat kun segera berbisik lirih, "Awas orang-orangan dari baja!"
"Masa orang-orangan dari baja lebih tangguh daripada orang hidup?" tanya Buyung Im Seng.
"Lorong rahasia begini sempit, bila orang2an baja itu dikendalikan oleh alat rahasia, kehebatan mereka akan sepuluh kali lipat lebih dahsyat daripada orang biasa."
Buyung Im Seng mencoba untuk memperhatikan dengan seksama, tampak orangorangan baja itu sangat kekar dengan bahu yang lebar dan lengan yang kuat, ketika berdiri di sana, hampir seperti ruang kosong dalam lorong rahasia tersebut. (Bersambung ke jilid 16)