INI adalah malam pertama Pragola menginap di puri Yogascitra. Tujuan kelompoknya untuk menyusup menjadi “orang Pakuan” berhasil sudah. Dan barangkali, kelompoknya pun akan semakin bersyukur bila mendapatkan kenyataan bahwa dia sudah demikian “dekat” dengan tokoh penting di Pakuan. Pangeran Yogascitra adalah tokoh maha penting. Pangeran tua ini mungkin merupakan tokoh kuat yang berpengaruh di istana. Bukan saja karena jabatannya sebagai penasihat Raja, tapi yang lebih penting dari itu, Pangeran Yogacitralah yang nampaknya memiliki ambisi kuat agar keberadaan Pajajaran tetap dipertahankan.
Keinginanny ini, sepertinya telah melebihi kehendak Raja sendiri. Bila Sang Prabu Nilakendra mencoba mempertahankan keberadaan negara dengan cita-cita “seadanya” saja, adalah kebalikannya dari cita-cita pangeran tua itu. Pangeran Yogascitra bercita-cita mengembalikan keberadaan Pajajaran dengan menghimpun kekuatan militer, sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh Sang Prabu.
Tindakan dan kebijaksanaan Pangeran Yogascitra amat membahayakan. Paling tidak, akan menjadi penghalang besar bagi negara baru dalam mencoba melumpuhkan Pajajaran.
Kalau ingin melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya. Ternyata kepala ular di Pajajaran bukan Sang Prabu sendiri, melainkan penasihatnya. Jadi Pragola harus berpikir, untuk melumpuhkan Pajajaran, bukan mengarahkan perhatian pada Sang Prabu Nilakendra, melainkan kepada penasihatnya ini. Sudahkah Pangeran Yudakara menyadari akan hal ini?
Belum habis Pragola berpikir, di atas wuwungan kamar di man dia bermalam, terdengar suara keresekan halus. Itu bukan suara ranting pohon yang menjulur ke atas genteng sirap, melainkan sesuatu yang bergerak, yang sedang melangkah. Langkah orangkah? Musuh atau bukan, Pragola belum bisa menentukannya, sebab kendati pun yang berada di atas adalah kawan, pasti mereka akan datang secara sembunyi.
Pragola hanya berjaga-jaga saja, yaitu memadamkan pelita minyak jarak dan mencoba membuka daun jendela. Dengan memadamkan pelita dan membuka jendela, gerakan di luar rumah akan terawasi.
Urat-urat di tubuh pemuda itu nampak menegang ketika sebuah bayangan hitam dengan amat cepat meloncat lewat lubang jendela. Pragola tidak sembrono untuk menyerang begitu saja sebelum tahu apa maksud kedatangan bayangan hitam itu.
“Pragola, aku datang!” desis sebuah suara. Pragola hapal, itu adalah suara Pangeran Yudakara.
“Oh…selamat datang, Pangeran!” desis Pragola pula. Dia segera duduk bersila sambil tetap membiarkan suasana kamar tetap gulita.
Pemuda itu mengerti untuk apa Pangeran Yudakara datang mala-malam. Tentu dia ingin mendapatkan sesuatu keterangan darinya.
“Senja tadi saya diajak Raden Banyak Angga mengunjungi mandala…” tutur Pragola seudah menyembah hormat.
“Aku tahu, setiap saat pemuda itu mengunjungi adiknya di sana. Tapi adakah khabar yang patut engkau khabarkan padaku?”
“Banyak Angga hanya ingin memberi tahu akan rencana kepergiannya ke wilayah timur. Ada pengetahuan tambahan, Nyi Mas Banyak Inten mengatakana bahwa Ksatria Ginggi beberapa kali pernah mengunjunginya. Ini hanya menandakan bahwa lelaki yang dikhabarkan sakti itu masih hidup dan merupakan gangguan bagi gerakan kita. Apalagi Banyak Angga ke wilayah timur bermaksud mencari orang itu,” kata Pragola. Pangeran Yudakara mengangguk-angguk. Kemudian diam sejenak seperti tengah berpikir sesuatu.
“Bagaimana perkara ajakan Banyak Angga agar saya ikut serta ke wilayah timur?” tanya Pragola kemudian.
“Sebetulnya itu di luar rencana kita. Tapi kau jalankan saja. Tapi kendati begitu, kita harus berani memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada yang sekiranya sesuai dengan tujuan semula,” kata Pangeran Yudakara.
Kemudian pangeran ini berdiri dan lalu-lalang di seputar ruangan.
“Tujuan kita datang ke Pakuan ini di samping mencari titik-titik kelemahan Pakuan, juga mencoba menghalangi rencana penghimpunan kekuatan mereka. Engkau di sana kelak harus bisa meyakinkan bahwa belasan perwira yang terkepung di Puncak Gunung Cakrabuana benar bukan bualan semata. Ini perlu, supaya di hari kemudian ada pasukan yang menyusul ke sana. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti, Pangeran…” kata Pragola.”Tapi bagaimana halnya bila saya tidak berhasil meyakinkan Banyak Angga?” tanyanya.
“Itu adalah suatu kegagalan. Namun kendati begitu, belum terlambat untuk memperbaikinya. Kalau belakangan Banyak Angga mendapatkan kebohongan ini, bahkan mencurigaimu, maka tindakanmu satu-satunya adalah melenyapkan pemuda itu,” kata Pangeran Yudakara. “Membunuhnya?”
“Ya…!”
Pragola terpana mendengarnya.
***
Pagi-pagi benar Pragola sudah dijemput oleh seorang jagabaya. Petugas itu mengabarkan bahwa Banyak Angga memanggilnya.
“Di mana beliau menunggu saya, Paman?” tanya Pragola yang nampak sudah mengenakan pakaian baru, yaitu baju kampret warna nila, ikat kepala hitam dan celana sontog yang warnanya sama dengan ikat kepalanya.
“Raden Banyak Angga memanggilmu dan menanti di paseban puri Yogascitra. Bahkan Pangeran tua pun sudah berada di sana. Barangkali ada sesuatu hal penting yang harus disampaikan kepadamu…” kata jagabaya sopan. Pragola hanya mengangguk-angguk sebagai tanda mengerti. Padahal di dalam hatinya pemuda itu penuh tanda tanya.
Benar saja, sepagi ini kedua anak-beranak sudah duduk-duduk di paseban. Pangeran Yogascitra duduk di atas kursi jati berukir. Dia menggunakan pakaian senting beludru warna hitam yang dihiasi ornamen emas pada sisi-sisinya. Kepalanya diiket dengan iket sawit.
Celana panjang berpasmen hampir tertutupi oleh kain kebat batik jenis lereng dan udan liris. Duduk bersila di hadapannya adalah Banyak Angga yang dengan anggunnya menggunakan pakaian baju kurung kain halus warna biru tua. Dia pun memakai tutup kepala jenis iket sawit. Celananya jenis komprang warna hitam. Pemuda itu begitu gembira ketika melihat Pragola datang diiringkan jagabaya.
“Masuklah Pragola,” ujarnya dengan senyum khas.
Pragola segera duduk bersila di samping Banyak Angga, namun agak sedikit ke belakang. “Saya menghaturkan sembah, Pangeran…” kata Pragola menyembah hormat yang dianggukkan oleh Pangeran Yogascitra dengan cukup ramah.
“Adakah sesuatu yang diperlukan sehingga sepagi ini saya perlu menghadap ke sini?” tanya Pragola hati-hati.
“Ah, tidak perlu benar,” Banyak Angga yang menjawabnya.”Lihatlah kabut pagi di Puncak Gunung Salak, begitu indahny, bukan? Kalau tak ada kesibukan yang sangat, setiap pagi kami duduk-duduk di sini menikmati udara pagi sambil mencicipi hidangan. Ayahanda setuju bila engkau ikut mencicipi hidangan di sini…”
“Ah… Raden tidak perlu berlebihan kepada saya. Kedudukan saya begitu rendah bila dibandingkan denfan keluarga di puri ini…’ kata Pragola merendah.
“Lihatlah Ayahanda, begitu mirip dan begitu jauh bedanya…” kata Banyak Angga membingungkan Pragola. Pemuda ini segera menatap Pangeran Yogascitra. Kebetulan pangeran tua itu pun tengah menatapnya. Pragola bingung dan heran sebab Pangeran Yogascitra menatapnya dengan penyh perhatian. Pragola memang tidak mengerti, mengapa mereka menatapnya seperti itu.
“Kalau diperhatikan dengan seksama, memang ada kemiripan,” gumam Pangeran Yogascitra masih menatap Pragola.
“Hanya bedanya sikap dan tindak-tanduk Pragola ini amat sopan dan terlalu hati-hati dalam menghadapi siapa saja,” tutur Banyak Angga yang juga sama memperhatikan Pragola, membuat pemuda itu semakin bingung.
“Kalau tak kau ingatkan, aku tak bisa membanding-bandingkan seperti apa yang kau lakukan, Angga…” gumam Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk. Hatinya bingung tapi juga was-was dan curiga.
Jangan-jangan rahasia dirinya telah terbongkar. Itulah sebabnya, kendati tindak-tanduk kedua orang itu tidak menampakkan orang yang memendam rasa curiga terhadapnya, Pragola perlu hati-hati. Urat-urat nadinya menegang keras, siap melakukan sesuatu.
“Maafkan kalau sikap kami membuatmu bingung, Pragola…” kata Banyak Angga tersenyum. Pragola diam saja.
“Engkau mirip seseorang yang aku kenal, anak muda. Entah mengapa, bila ditilik dengan seksama wajahmu mirip Ginggi, ksatria bengal yang pada sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Pakuan, “ kata pangeran Yogacitra.
Pragola terkejut dengan pernyataan mereka ini. Dia mirip Ksatria Ginggi? Mirip apanya? “Lihatlah sepasang matanya yang bulat berbinar. Lihat pula dagunya yang runcing dan hidungnya yang agak mancung. Kalau saja rambutnya berombak ikal, tak pelak lagi, dia adalah Ginggi kedua,” kata Raden Banyak Angga sambil menilik-nilik wajah Pragola.
Bergetar dada pemuda itu. Dirinya mirip Ksatria Ginggi? Yang benar saja. Lelaki itu adalah musuh besarnya, sebab dialah yang mengakibatkan Ki Sudiraja, gurunya, tewas. Pragola merasa, seumur hidup belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi kalau dirinya harus dipersamakan dengannya, jelas menolak. Hanya saja, kendati hatinya tak suka, Pragola tak bisa memperlihatkan perasaannya ini. Itulah sebabnya dia hanya menunduk saja ketika kedua orang anak-beranak itu terus berbincang-bincang. Baik Pangeran Yogascitra mau pun Raden banyak Angga tengah menduga-duga, bagaimana rupa Ginggi sekarang, sebab yang tadi dikatakan punya kemiripan dengan wajah Pragola adalah wajah Ginggi pada sepuluh tahun silam.
“Itulah sebabnya dalam perjalanan ke wilayah timur kelak, engkau harus berusaha menemukan Ginggi,” tutur Pangeran Yogascitra.
Mendengar ucapan ayahandanya ini, Raden Banyak Angga seperti diingatkan akan sesuatu hal.
“Ayahanda, ada sesuatu yang menarik pada adikku Banyak Inten dan rasa-rasanya erat kaitannya dengan saudara Ginggi,” kata Raden Banyak Angga kemudian. Nampak Pangeran Yogascitra melirik dan agak mengerutkan dahinya.
“Apakah itu, anakku?”
“Adikku seperti tahu mengenai Saudara Ginggi!” jawab Raden Banyak Angga balik menatap ayahandanya. “Begitukah?” Pangeran Yogascitra masih mengerutkan dahinya.
Kemudian Raden Banyak Angga mengabarkan pertemuan kemarin sore dengan Nyi Mas Banyak Inten. Ketika dia memberi tahu bahwa dalam melakukan perjalanan ke wilayah timur nanti akan juga mencari Ginggi, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa sebetulnya pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi mandala.
Maksudmu, pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi Pakuan semenjak peristiwa besar sepuluh tahun silam itu?” tanya Pangeran Yogascitra penuh perhatian.
“Tidak persis begitu, sebab Ginggi tak pernah memperlihatkan diri di Pakuan ini. Dia hanya datang secara diam-diam untuk menemui adikku di kompleks mandala,”kata Banyak Angga lagi.
Untuk beberapa saat Pangeran Yogascitra diam mematung. Dahinya terus berkerut-kerut sebagai tanda berpikir.
“Dia datang ke Pakuan dengan diam-diam, tak mau ketemu siapa pun kecuali dengan putriku. Kira-kira, kemungkinan apakah yang terjadi pada dirinya, Angga?” tanya Pangeran Yogascitra setengah bergumam.
“Menurut Ayahanda sendiri bagaimana?” Banyak Angga balik bertanya.
“Tak ada dugaan lain, selain pemuda itu tertarik pada adikmu…” kata Pangeran Yogascitra. “Saya sendiri pun menduga begitu,” sambung Banyak Angga.
Hening sejenak.
Sementara itu, sang surya telah muncul di balik pepohonan. Suara berbagai burung pun terdengar berkicau-merdu. Kabut di Puncak Gunung Salak sedikit-sedikit sudah mulai menipis sehingga gugusan-gugusan gunung itu nampak menghitam legam.
“Mari kita pergi ke mandala…” kata Pangeran Yogascitra tiba-tiba.
“Sepagi ini, Ayahanda? Semua pendeta pasti masih melantunkan doa-doa. Tak baik kita mengganggu mereka,” tutur Banyak Angga heran.
“Tidak mengapa. Kita tak akan mengganggu mereka,” jawab Pangeran Yogascitra. Pangeran tua itu segera berdiri diikuti Banyak Angga.
“Tidak mengapa, engkau pun boleh ikut serta, Pragola…” kata pangeran itu menatap Pragola. “Kehadiran saya hanya akan mengganggu saja,” tutur Pragola pelan, padahal di dalam hatinya dia ingin sekali ikut ke mandala.
“Tidak akan mengganggu, bahkan sebaliknya berguna, sebab engkau kelak akan bersamasama mencari Ginggi,” tutur Banyak Angga. Pragola gembira dengan ajakan kedua orang itu, sebab semakin banyak yang dia ketahui di sini, akan semakin baik bagi penyelidikannya.
Maka ketiga orang itu beriringan menuju kompleks mandala.
Seperti biasa, kaum laki-laki yang mengunjungi mandala atau asrama pendeta wanita ini, hanya bisa diterima di paseban saja. Dan kendati dengan rasa heran karena sepagi ini sudah ada yang berkunjung, seorang Jagabaya dengan hormatnya tetap melayani keinginan tamu. Jagabaya memberitahu tetua mandala perihal kedatangan tamu penting ini.
Harus agak lama menunggu sebab sejak subuh hari sampai matahari memancar biasanya para pendeta berkumpul di kuil untuk berdoa dan menerima ceramah berupa santapan rohani.
Namun begitu selesai kegiatan rutin, Nyi Mas Banyak Inten segera menuju ruangan paseban. ‘Semoga kesehatan dan keselamatan bertumpah-ruah kepadamu, ayahanda … “ kata Nyi Mas Banyak Inten halus namun dengan nada datar saja.
“Duduklah anakku. Sudah lama aku tak bertemu engkau dan ingin sekali ayahanda bercakapcakap denganmu …” ujar Pangeran Yogascitra mempersilakan Nyi Mas Banyak Inten duduk di hamparan tikar panda.
“Tentu ada sesuatu yang amat penting yang menyebabkan ayahanda berkunjung ke sini sepagi ini …” tutur Nyi Mas Banyak Inten, duduk bersimpuh sambil membereskan kain kerudung putihnya.
“Engkau sudah benar-benar seperti pendeta sehingga bisa menebak tujuanku datang ke sini…” ujar pangeran Yogascitra tersenyum kecil. Nyi Mas Banyak Inten hanya tetunduktunduk saja.
“Memang ada sesuatu yang ingin ayahanda rundingkan denganmu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra menatap tajam gadis berpakaian serba puih itu.
“Merundingkan sesuatu dengan saya? Tidak kelirukah itu ayahanda, sedangkan bagi seorang pendeta tak ada sesuatu yang bernama masalah. Artinya, sesuatu rundingan yang melibatkan saya sungguh tidak perlu,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, masih bernada halus namun isinya sedikit menyengat.
Pangeran Yogascitra hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
“Benar sekali, perundingan hanya menandakan adanya satu masalah. Ayahanda juga tahu, sudah tak ada permasalahan hidup yang mendera kaum pendeta. Namun bukan berarti pendeta harus membutakan mata dan menulikan telinga terhadap keadaan sekililing. Pendeta yang ada di Pakuan adalah warga Pajajaran dan mereka punya hak dan kewajiban dalam merawat negri dan mempertahankan keberadaannya,” kata Pangeran Yogacitra masih dengan senyum tipisnya.
Nyi Mas Banyak Inten hanya menunduk saja.
“Bahkan ayahanda datang ke sini bukan ingin bertemu dengan pendeta, namun dengan anakku sendiri. Bukankah sampai saat ini engkau masih mengakuiku sebagai ayahandamu, Nyi Mas?” kata Pangeran tua itu masih menatap Nyi Mas Banyak Inten dengan perasaan kasih sayang.
“Sepeninggal ibunda, kini hanya ayahanda orang tua saya seorang yang wajib saya hormati dan taati,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, membuat Pangeran Yogascitra puas mendengarnya. “Terimakasih bila begitu. Kebahagian yang paling sempurna bagi orangtua adalah adanya rasa hormat dan taat dari seorang anaknya,” sahut Pangeran Yogascitra gembira. Namun sebaliknya, selintas Pragola bisa melihat perubahan wajah gadis itu kendati hanya sedikit.
Pemuda itu yang duduk di belakang Raden Banyak Angga menduga-duga bahwa gadis itu merasa terperangkap oleh ucapannya sendiri.
“Ayahanda sebagai seorang ayah, ingin meminta sesuatu darimu sebagai seorang anak,” tutur Pangeran tua itu,” Ini permintaan pribadi tapi bukan untuk kepentingan pribadi. Permintaan ayahanda untuk kepentingan negara semata,” lanjutnya.
Nyi Mas Banyak Inten sambil tetap tertunduk nampak mengulum senyum tipis.
“Yang datang ke sini adalah seorang ayah, namun yang meminta adaah seorang pejabat negara, untuk kepentingan negara pula. Sedang saya yang duduk bersimpuh ini harus tetap bertindak sebagai seorang anak. Tidak apa. kalau itu demi kebaikan kita semua, saya siap menunggu perintah ayahanda…” tutur gadis itu masih dengan senyum tipisnya, namun membuat wajah Pangeran Yogascitra sedikit memerah.
“Ayahanda sebetulnya merasa malu. Tapi apa boleh buat, yang Ayahanda pikirkan selalu saja urusan negara. Jadi, kendati dengan hati yang berat karena malu, Ayahanda terpaksa mengajukan permintaan ke padamu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra pada akhirnya. “Sampaikanlah segera, apa yang ingin Ayahanda sampaikan, agar segala permasalahan bisa kita selesaikan dengan baik,” pinta Nyi Mas Banyak Inten.
“Anakku, Ayahanda dengar khabar, bahwa pemuda Ginggi beberapa kali pernah berkunjung ke mari, namun tanpa orang lain tahu. Ini hanya menandakan, bahwa pemuda itu punya kepentingan khusus denganmu…” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten nampak sedikit memerah pipinya. Dia terus menunduk.
“Engkau harus tahu anakku, bahwa pemuda itu sebenarnya amat diharapkan kehadirannya. Pakuan membutuhkan orang pandai di saat kedudukannya sedang terjepit. Jadi kalau engkau mau ikut membela negara, bujuklah dia agar sudi datang ke istana dan tidak sembunyisembunyi seperti sekarang ini,” kata pangeran tua itu. “Saya belum mengerti, apa yang dimaksud Ayahanda…” tutur gadis itu setelah sekian lama mematung.
“Ya, undanglah dia agar mau tinggal di Pakuan,”
“Saya tidak bisa memaksakan kehendak kepada orang lain, Ayahanda. Apalagi Ginggi pernah berkata kepada saya, benci kepada urusan kenegaraan. Kalau tidak karena saya, dia tidak mau memasuki wilayah Pakuan…” kata gadis itu.
“Itulah kunci agar pemuda itu mau ke Pakuan, anakku,” “Maksud Ayahnda?”
“Sebagai orang tua, Ayahanda mengerti apa yang ada di hati anak muda. Ginggi selalu berusaha dengan diam-diam memasuki mandala karena cintanya ke padamu. Ayahanda yakin, pemuda itu amat mengharapkanmu, jadi berilah dia kesempatan, anakku,” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten mengatupkan kelopak matanya. Dia terpaksa merangkapkan sepasang tangannya dan bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sebuah doa.
“Semoga kita semua mendapatkan pengampunan Hyang atas segala kekeliruan yang kita lakukan…” bisiknya.
“Berupaya membela negara bukanlah sebuah kekeliruan, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan mimik khawatir.
“Tapi Ayahanda harus ingat, saya adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan kehidupan duniawi. Pendeta telah melepaskan segala keterkaitan dengan urusan dunia. Itulah sebabnya tadi saya katakan tidak bisa memaksakan kehendak,” tutur gadis itu masih menunduk dan sedikit mengatupkan matanya sehingga garis hitam lentik bulu mata semakin terlihat menebal. Hening beberapa lama, sehingga suara kicauan burung di pagi cerah amat terdengar nyaring. Banyak Angga duduk bersila tegak sambil sepasang tangan bersilang di dada. Nampak sekali ada kerutan di dahi menyimak percakapan ayahnya dan adiknya ini. Sedangkan Pragola yang bersila di belakangnya duduk tenang kendati hatinya amat tertarik dengan situasi di ruangan paseban ini.
“Ayahanda sadar bahwa kedudukanmu sekarang adalah pendeta. Pendeta muda yang tak sempat banyak makan asam-garam kehidupan. Dan engkau pun adalah pendeta muda yang kependetaannya karena perintah orang lain,” tutur Pangeran Yogascitra hampir bergumam dan matanya menerawang kejauhan.
“Saya mengakuinya ayahanda. Kependetaan saya karena perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Beliau adalah raja di raja. Semua orang wajib mentaati perintahnya. Mentaati perintahnya Ratu adalah bagian dari pembelaan terhadap negara,” kata Nyi Mas Banyak Inten masih tetap menunduk.
“Bagus sekali bila engkau menyadari hal ini, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan wajah cerah sehingga membuat bingung gadis itu.
“Untuk kepentingan negara pula, maka pada suatu saat engkau akan diperintah Ratu untuk melepaskan kependetaannya lagi,” kata Pangeran Yogascitra kemudian. Nyi Mas Banyak Inten amat terkejut dengan pernyataan ayahandanya ini, sehingga dengan serta-merta gadis itu mengangkat muka.
“Sang Prabu Nilakendra adalah seorang agamawan yang baik. Setiap waktunya dihabiskan di kuil. Saya tidak percaya bila beliau mau mempermainkan agama,” tutur gadis itu.
“Siapa yang akan mempermainkan agama? Tidak ada seorang pun yang menyuruhmu keluar dari agama karuhun (nenek moyang). Berhenti dari kependetaan bukanlah berarti keluar dari anutan agama. Engkau akan diminta untuk melepaskan keagamaan hanya karena kepentingan negara semata. Bukankah engkau pernah katakan bahwa agamawan juga punya kewajiban membela negara?” tutur Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten tidak menimpali perkataan ayahandanya. Yang dia kerjakan hanyalah bersedakap, merangkapkan kedua telapak tangannya. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Namun semua orang tahu, gadis itu memendam satu kedukaan.
Sampai tiba saatnya rombongan kecil itu meninggalkan kompleks mandala, gadis itu tidak pernah berkata apa-apa kendati hanya satu dua patah kata.
“Adikku memang gadis malang…” gumam Banyak Angga di tengah jalan sesudah mereka berpisah dengan Pangeran Yogascitra.
Pragola mendapatkan, betapa murung wajah pemuda itu. Apakah karena ini memikirkan nasib adiknya ataukah lebih dari itu, Pragola tidak bisa menduga dengan tempat. Namun yang dia perlu bersyukur, pemuda bangsawan itu nampaknya sudah begitu percaya kepadanya. Secara politis ini amat menguntungkan sebab dalam hal-hal tertentu terasa membantu tugas-tugasnya dalam upaya menyelidiki situasi Pakuan.
Sepanjang jalan menuju puri, tak habis-habisnya Banyak Angga mempercakapkan kemalangan Nyi Mas Banyak Inten.
“Aku tahu, selama hampir sepuluh tahun ini adikku memendam duka yang sangat karena urusan cinta,” tutur pemuda itu. Dan tanpa diminta Pragola, Banyak Angga memaparkan peristiwa tragis yang pernah dialami gadis itu sepuluh tahun silam.
Menurut penuturan pemuda itu, dulu Nyi Mas Banyak Inten dicintai dua lelaki. Yang satu adalah Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan Pajajaran, satunya lagi adalah pemuda bangsawan bernama Raden Suji Angkara. Dicintai oleh Raja sama dengan perintah yang harus ditaati.
Namun secara pribadi, rupanya gadis ini memilih Suji Angkara. Namun belakangan, banyak orang mengetahi bahwa pemuda bangsawan itu bermoral bejat. Hanya di muka umum saja pemuda itu menampilkan dirinya sebagai orang terhormat. Sedangkan di belakang itu, secara sembunyi-sembunyi Suji Angkara melakukan hal-hal tidak terpuji, yaitu menyatroni kamarkamar gadis untuk mengerayangi keperawanan mereka. Setiap gadis yang menolak, mengalami nasib buruk karena dibunuhnya.
Adalah pemuda Ginggi yang pertama kali membongkar rahasia keburukan perilaku Suji Angkara. Malah ketika Nyi Mas Banyak Inten dilarikan pemuda itu, Ginggilah yang menggagalkannya. Dan secara tidak langsung, Ginggi pulalah yang membunuh pemuda bejat itu. (baca episode “Senja jatuh di Pajajaran”).
“Adikku seperti menderita kehancuran. Dia dicintai Raja tapi juga mencintai seorang pemuda yang belakangan diketahui berperangai buruk…” gumam Banyak Angga sedih.
“Itulah sebabnya Nyi Mas memilih memasuki kehidupan mandala,” kata Pragola tiba-tiba. “Adikku gadis penurut. Apa yang diperintahkan orangtua selalu ditaatinya. Begitu pun perintah yang diberikan Ratu.
Sang Ratu Sakti memerintahkan adikku supaya tinggal di mandala dan adikku menurut saja. Padahal aku berpikir, ketika itu belum saatnya adikku memasuki kehidupan dimana orang meninggalkan kehidupan duniawi. Waktu itu adikku baru berumur limabelas atau enambelas tahun, tutur Banyak Angga.
“Jadi karena dulu memasuki kehidupan mandala oleh sebuah perintah, maka sekarang pun orang boleh memerintahkan dia untuk keluar lagi dari sana,” gumam Pragola.
Banyak Angga menoleh dan menatap sejenak. Kemudian berpaling lagi ke arah lain dan terdengar mengeluh.
“Kami malu harus melakukan hal seperti itu. Rasanya benar pendapat adikku, demi kepemtingan akal-akalan (politik) agama dipermainkan. Dulu Ratu memerintahkan adikku memasuki mandala demi harkat dan kehormatan Ratu. Sekarang ayahanda akan menggunakan wewenang Ratu untuk mengeluarkan adikku dari mandala. Semua hanya akal-akalan untuk kepentingan negara…” gumam Banyak Angga lagi. Pragola hanya mengangguk-angguk tanpa dia sendiri pun mengerti apa makna dari anggukannya ini.
Sampai keduanya berpisah, tak ada lagi percakapan di antara mereka. Banyak Angga mengatakan hanya mengatakan bahwa suatu saat Pragola harus siap ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur.
Banyak Angga pulang ke purinya, sedangkan Pragola kembali ke kesatriaan (asrama prajurit).
***
Malam itu Pragola tidak kemana-mana sebab ada surat rahasia yang dikirimkan Pangeran Yudakara bahwa tengah malam Pangeran itu akan mengunjungi dirinya.
Namun manakala malam semakin larut, yang ditunggu tidak pernah ada. Pragola menjadi gelisah. Adakah sesuatu yang menjadi penghalangnya?
Pangeran Yudakara ini memang tengah bermain api, pikir Pragola sambil tiduran di sebuah dipan kayu. Betapa tidak, dia adalah kerabat Kandagalante Sunda Sembawa yang tewas dalam upaya pemberontakan di Pakuan sepuluh tahun silam. Hanya karena tidak terbukti melakukan persekongkolan dengan Sunda Sembawa saja yang menyebabkan Pangeran Yudakara lolos dari kecurigaan dari pihak Pakuan.
Menurut pengetahuan Pragola yang bisa didapatkan melalui Paman Manggala, pada peristiwa sepuluh tahun silam Pangeran Yudakara memang tidak terlibat, bahkan sama sekali tidak tahu menahu perihal rencana pemberontakan yang dilakukan Sunda Sebawa.
Dulu, untuk memperkuat wilayah timur dari rongrongan Demak dan Cirebon, pihak Pakuan setuju untuk membangun kekuatan militer di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa, yaitu Saraherang. Sagaraherang terlalu dekat ke Sumedanglarang yang sudah dipengaruhi kekuasaan Cirebon. Dengan dana yang amat besar yang disisihkan dari seba (pajak) tinggi dari rakyat, kekuatan militer dibangun di Sagaraherang. Namun, apa yang yang diharap pihak Pakuan, lain yang dikerjakan Sunda Sembawa. Sunda Sembawa memanfaatkan pembangunan kekuatan militer di sana bahkan untuk keperluan dirinya sendiri dalam melawan Pakuan.
Sunda Sembawa ingin memanfaatkan situasi. Dia tahu, rakyat banyak yang membenci Sang Prabu Ratu Sakti karena tindakan-tindakannya yang kejam terhadap rakyat. Sunda Sembawa, Ratu Sakti tidak pantas menjadi penguasa Pakuan sebab yang lebih pantas adalah dirinya.
Baik Ratu Sakti mau pun Sunda Sembawa masih sama-sama keturunan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Menurutnya, adalah keliru bila Pakuan dipegang oleh Ratu Sakti (15431551).
Pangeran Yudakara selamat dari persekongkolan hanya karena Sunda Sembawa tidak percaya kepadanya. Menurut Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara yang beristrikan wanita Sumedanglarang dianggap punya hubungan dengan Sumedanglarang dan dianggap pula ada hubungan dengan Cirebon. Sedangkan Sunda Sembawa, kendati bertekad ingin meruntuhkan Sang Prabu Ratu Sakti, bukan berarti ingin bergabung dengan Cirebon. Bahkan Sunda Sembawa punya cita-cita, seandainya dirinya bisa menduduki istana, maka tujuan utamanya adalah mengembalikan wilayah-wilayah Pajajaran yang sudah direbut Banten dan Cirebon.
***
Pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa gagal total sebab ternyata Pakuan lebih kuat. Masih banyak orang-orang pandai yang secara tak resmi bukan perwira atau pun petugas istana, namun mau berjuang menjaga keselamatan Pakuan. Salah satu di antaranya adalah Ginggi yang kini banyak disanjung dalam cerita pantun di seantero Pakuan dan wilayah Pajajaran pada umumnya.
Pangeran Yudakara beruntung tidak dicurigai pihak Pakuan karena selain tidak percaya Sunda Sembawa, juga hubungan dengan Sumedanglarang seperti “lepas” hanya karena istrinya meninggal dunia.
Pihak Pakuan mendapatkan berita, bahwa Pangeran Yudakara tidak pernah lagi berhubungan dengan Sumedanglarang sesudah istrinya tiada. Belakangan, dia dipercaya Pakuan untuk menjadi penguasa Sagaraherang saja. Sebagai penguat kedudukan, wilayah Sagaraherang yang dulu hanya dikuasai pejabat setingkat kandagalante (barangkali setingkat kewedanaan kini), oleh Pakuan akan ditingkatkan kedudukannya sampai ke tingkat kabupatian, sebuah tingkatan wilayah yang hampir sama dengan Sumedanglarang atau Kabupatian Banten yang kini dikuasai Cirebon dan Demak.
Usaha perluasan status wilayah ini mungkin sedikit berlebihan, mengingat Sagaraherang belumlah seramai Sumedanglarang, apalagi bila harus disamakan dengan Banten yang sedikit demi sedikit telah merebak menjadi pusat perdagangan internasional yang dikelola pemerintahan agama baru. Namun rupanya tindakan-tindakan Pakuan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Sagaraherang adalah wilayah rawan. Kedudukannya terlalu dekat dengan pengaruh-pengaruh Cirebon. Untuk menjaga kekuasaan Cirebon terus merebak ke wilayah barat, maka Sagaraherang perlu diperkuat. Pertimbangan yang kedua, Sagaraherang letaknya sedikit agak di utara. Sedangkan wilayah utara adalah wilayah perdagangan. Dulu milik Pajajaran, sekarang milik Cirebon. Jalur yang kini sudah dikuasai orang lain ini hingga kini masih bermanfaat untuk orang-orang Pajajaran. Politik adalah politik tapi dagang tetap dagang. Orang-orang Cirebon yang menguasai perdagangan di wilayah pesisir utara, tetap saja butuh konsumen sebanyak-banyaknya, siapa pun adanya.
Mungkin saja pihak pihak penguasa Cirebon secara politis melarang orang-orangnya melayani konsumen dari Pajajaran. Tapi pada kenyataannya, kaum pedagang di pesisir utara tetap berhubungan dengan penduduk pedalaman.
Barangkali Pakuan akan memanfaatkan situasi seperti ini agar kelak di kemudian hari, yaitu bila saatnya Pajajaran kuat kembali, jalur perdagangan ini bisa dikuasai lagi.
Pertimbangan ketiga mengapa Sagaraherang akan dipersiapkan kedudukannya setingkat kabupatian, adalah semata untuk “membujuk” Pangeran Yudakara agar benar-benar menjadi “orang Pajajaran”. Penguasa Pakuan berprinsip, melumpuhkan harimau bukan melawannya dengan kekerasan, melainkan dengan memberinya kasih-sayang. Ini sesuai dengan prinsip yang dianut Sang Prabu Nilakendra yang tidak menyukai kekerasan, Raja ini tetap berprinsip bahwa kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan, sebaliknya kehalusan budi akan pula mendatangkan kehalusan budi.
Pangeran Yudakara adalah kerabat Sunda Sembawa, juga pernah dekat dengan pihak Sumedanglarang. Tapi di lain pihak, Pakuan juga mendapatkan bahwa pangeran berusia setengah baya ini punya pengaruh besar di Sagaraherang. Amatlah berbahaya orang berpengaruh seperti dia menjadi musuh Pakuan. Walaupun hubungannya dengan Sunda Sembawa tidak terlalu dekat, namun terbunuhnya kandagalante ini di Pakuan sedikit banyaknya akan mempengaruhi perasaan Pangeran Yudakara. Bila pangeran setengah baya ini tidak dibujuk dengan kekuasaan tinggi bisa-bisa melakukan pembalasan. Itulah sebabnya, susai pemberontakan Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara segera diangkat Pakuan sebagai penggantinya. Tidak itu saja, kekuasaan pangeran ini bahkan ditingkatkan, tidak lagi sebatas sebagai kandagalanteyang hanya membawahi beberapa orang cutak (camat) saja, melainkan akan diangkat menjadi kepala wilayah sejenis kabupatian seperti versi Cirebon dalam menyusun pemerintahan.
Pangeran Yudakara akan diangkat semacam penguasa kabupatian timbul dari gagasannya sendiri yang dilontarkan kepada penguasa Pakuan. Bahwa sebenarnya tidak pantas Sagaraherang yang dimiliki Pakuan hanya berupa kandagalante sebab daerah rawan ini menghadapai banyak tantangan di kiri kanannya. Menurut Pangeran Yudakara, Kerajaan Sumedanglarang membawahi beberapa nagari (semacam kota), yaitu Sumedang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura dan Parakanmuncang. Sagaraherang hanyalah sebuah wilayah kandagalante di sebuah nagari bernama Ciasem saja. Nagari Ciasem sebenarnya sudah masuk pengaruh Cirebon. Jadi betapa bahayanya bila kedudukan Sagaraherang yang masih dikuasai Pajajaran bila kekuatannya tidak ditingkatkan, padahal nagarinya saja sudah masuk pengaruh Cirebon, begitu pun ibu nagarinya, Sumedanglarang.
Ke mana Pangeran Yudakara ini akan melakukan perluasan daerah, Pragola sendiri tidak begitu mengerti. Sebab kalau benar Sagaraherang harus ditingkatkan kedudukannya, harus ada perluasan daerah dan ini berarti mencari penyakit dengan Cirebon.
Pragola memang tidak mengerti akan jalan pikiran pangeran yang kini menjadi majikannya itu. Bila disimak rencana-rencana kerja Pangeran Yudakara yang disampaikan kepada pihak Pakuan, seolah-olah pangeran ini berpikir untuk kepentingan Pajajaran. Padahal Pragola sendiri tahu, Pangeran Yudakara hari-hari belakangan ini berada di Pakuan adalah karena bekerja untuk kepentingan Cirebon. Apa pula maksud sebenarnya dari rencana-rencana Pangeran Yudakara ini?
Inilah yang Pragola anggap pangeran itu bermain api. Dia tengah mempermainkan kepercayaan orang-orang Pakuan yang diberikan kepadanya. Dan kemudian kebijaksanaannya dalam mengusulkan perluasan Sagaraherang juga diperkirakan akan menjadi teka-teki pihak Cirebon bila hal ini tidak dirundingkan benar-benar di antara mereka.
Pragola semakin risau sesudah malam hampir menjelang dinihari yang di tunggu tidak juga muncul.
Pragola sudah kenal peringai majikannya, yaitu tak pernah ada janji janji yang dilanggar. Jadi mestinya Pangeran Yudakara malam ini datang berkunjung padanya, kecuali ada gangguan. Gangguan apakah itu? Kalau begitu, Pragola harus cepat tanggap terhadap keadaan. Bila didesak oleh keadaan darurat, Pragola boleh berbuat inisiatif. Sekarang pun dia anggap ada dalam suasana darurat. Jadi kendati pun Pangeran Yudakara melarang dia mengunjungi puri di mana pangeran itu tinggal, Pragola akan mengunjunginya. Pemuda itu harus memeriksa keselamatan majikannya.
Itulah sebabnya, sesudah berpikir sejenak, Pragola segera mengganti pakaiannya. Kini dia memakai pakaian serba hitam. Dia memakai baju kurung tangan panjang dan celana pangsi. Ikat kepalanya terbuat dari kain lebar berwarna hitam pula.
Pragola keluar melalui lubang jendela secara diam-diam. Ada beberapa penjaga yang duduk terkantuk-kantuk di gardu. Tapi hal ini tidak membuat kesukaran bagi dirinya. Jangankan penjaga yang tengah mengantuk, sedangkan mereka yang berjaga-jaga penuh saja bisa dilewati dengan mudah oleh ilmu yang dia miliki.
Pragola menyelinap di antara kuta (benteng) dan semak, atau bahkan juga bergayut dan meloncat di atad dahan sawo dan nangka. Sesekali dia harus meloncat-loncat di atas wuwungan dan atap sirap.
Setibanya di kompleks puri di mana Pangeran Yudakara tinggal, Ginggi harus semakin hatihati bergerak. Bukan karena penjagaan di sana amat ketat, namun dial lakukan hanya sebagai persiapan saja dari berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan.
Puri itu sunyi-senyap, seolah tak ada penghuni di sana. Namun ilmu hiliwir sumping yang dia miliki mendapatkan kenyataan lain. Hiliwir sumping adalah ilmu yang biasa dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti Pajajaran. Ini adalah semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus, kecil atau pun jauh. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin banyak gunanya, bahkan bisa menyerap dan mendengarkan satu suara dari berbagai ragam suara yang dalam suatau waktu terdengar bersamaan.
Pragola belum sepandai itu dalam menyaring suara yang diinginkan. Tapi di sela-sela suara binatang malam, dia pun ada mendengar suara percakapan manusia. Datangnya dari tempat yang agak terpencil. Mungkin dari ruangan belakang, mungkin juga dari kompleks taman. Dan karena tahu suara itu datangnya dari arah depan, maka dengan amat hati-hati, Pragola mendekati tempat itu.
Benar saja, suara tersebut datangnya dari taman puri yang terletak jauh di belakang dan sedikit tersembunyi karena rimbunnya pepohonan serta tingginya benteng puri. Dengan mata hati-hati Pragola meloncat ke atas wuwungan sebuah bangunan dan melihat ke tengah taman di mana di sana terdapat sebuah bale-kambang. Bale-kambang adalah sebuah bale peristirahatan yang berada di tengah kolam.
Dari jarak sekitar empat puluh depa (1 depa = 1,698 meter), Pragola sanggup menyaksikan, bahwa di atas bale-bale itu ada dua orang duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang amat jelas, dialah Pangeran Yudakara. Namun seorang lagi Pragola tak tahu siapa dia.
Kendati sedang duduk bersila, namun laki-laki itu tentu bertubuh jangkung, sedikit tinggi besar. Laki-laki itu berpakaian serba hitam, ikat kepalanya bahkan hampir-hampir menutupi sepasang telinga dan sebagian pipinya. Kalau dia adalah seorang tamu, maka laki-laki itu datang seperti tak ingin diketahui oleh orang lain.
Ada kumis tebal menghiasi bibirnya. Hidung laki-laki itu mancung tapi sedikit melengkung di punggung hidungnya. Pragola tak bisa menaksir, berapa usia laki-laki asing itu. Namun melihat betapa hati-hatinya Pangeran Yudakara berhadapan dengan laki-laki itu, hanya menandakan bahwa orang lelaki itu bukan orang sembarangan. Mungkin dia seorang tokoh penting. Tokoh penting dari Cirebonkah? Oh pasti bukan bila mendengar percakan mereka. “Cirebon tidak boleh punya inisiatif melakukan penyerbuan kepada Pakuan,” desis laki-laki itu dengan nada datar tapi terasa pasti dan bernada perintah.
“Mengapa tidak boleh?” tanya Pangeran Yudakara.
“Karena hanya Bantenlah yang akan melakukan penyerbuan.” “Ya, mengapa hanya Banten yang boleh menyerang Pakuan?”
“Karena Bantenlah yang terkuat. Jadi hanya Bantenlah yang akan sanggup meruntuhkan kekuasaan Pajajaran,” sahut laki-laki itu.
“Banten pun masih di bawah Demak. Tentu sebelumnya kalian harus berunding dulu dengan mereka,” kata Pangeran Yudakara.
Terdengar laki-laki itu tertawa mengejek.
“Demak sudah berantakan, tidak ada apa-apanya lagi. Sebentar lagi Banten akan memisahkan diri dari Demak dan berdiri sebagai negara merdeka," katanya lagi.
”Sombong!” dengus Pangeran Yudakara.
“Kesombongan yang dilakukan oleh orang kuat adalah wajar, tapi kesombongan yang dilakukan oleh orang lemah adalah musibah.
Kalian orang Cirebon harus hati-hati, sejak dulu kekuatan Cirebon hanya mengandalkan Demak semata. Cirebon sanggup merebut tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran, termasuk merebut Banten, hanya karena bantuan Demak semata. Sekarang karena terlalu seringnya cekcok dalam perebutan kekuasaan, Demak sudah lemah, sehingga otomatis Cirebon pun tak punya daya. Kalian hanya bisa besar bila mau kerjasama dengan Banten. Itulah sebabnya hanya akan berupa musibah bila Cirebon bersombong diri hendak mencoba menundukkan Pajajaran,” tutur lelaki itu masih dengan nada angkuh.
Dari atas wuwungan Pragola melihat tubuh Pangeran Yudakara menegang tegak tak bergerak. Sepasang telapak tangannya terkepal erat di atas pahanya.
Pragola menduga, tegangnya otot-otot Pangeran Yudakara karena akan melakukan suatu gerakan. Benar saja, belum rampung Pragola berpikir, terlihat Pangeran Yudakara melakukan gerakan cepat. Sepasang tangannya yang tadi berada di atas pahanya ditarik ke belakang untuk dengan cepat didorong lagi ke depan dengan jari-jari terbuka lebar.
Pragola mengerti, ini adalah serangan pukulan dengan menggunakan tenaga dalam. Pemuda ini belum pernah melihat Pangeran Yudakara bermain jurit. Paman Manggala yang mengabarkan bahwa pangeran ini memiliki kepandaian tinggi. Seberapa jauh kepandaiannya, Pragola sendiri tidak bisa mengira-ngira. Hanya saja ketika sepasang tangan itu didorong ke depan, sepertinya ada angin deras bertiup. Ini terlihat dari ujung iket (ikat kepala) lelaki yang diserangnya nampak bergoyang dan berkibar dengan cepatnya. Melihat kenyataan ini, Pragola menduga, tenaga pukulan Pangeran Yudakara pasti besar dan mantap. Pukulan itu dilayangkan secepat kilat dan mengarah dada lawan. Pragola terkejut, ini serangan mematikan, apalagi hanya dilakukan dalam jarak yang kurang dari satu depa saja.
Laki-laki asing yang duduk bersila di depannya pasti bakal celaka sebab tak akan punya kesempatan untuk berkelit.
“Pangeran Yudakara ternyata bisa bertindak kejam. Dalam satu gerakan saja ingin sekaligus membunuh lawan…” pikirnya dalam hati.
Namun Pragola kecele kalau dia menduga lelaki asing itu akan hancur dadanya karena serangan dahsyat itu. Jangankan terluka, kena saja tidak. Memang ajaib kalau serangan mendadak itu bisa digagalkan. Lelaki asing itu tidak beranjak dari duduknya. Namun dengan cepat dan emteng dia melempar tubuh ke belakang, seperti orang yang hendak tidur telentang tapi dengan gerakan amat cepat. Lelaki itu telentang sejajar dengan pelupuh (lantai kayu) sehingga luput dari serbuan pukulan mengarah dada.
Tahu serangannya gagal, Pangeran Yudakara mencoba menarik kembali sepasang tangannya yang telanjur menyodok ke depan. Namun sebelum sempat melakukan hal itu, lelaki asing itu segera melakukan sesuatu gerakan. Sambil tubuh masih telentang dia melakukan gerakan sepasang kaki, menggunting dan mencapit kedua belah tangan Pangeran Yudakara.
Kembali Pragola terkejut. Ini adalah serangan balasan yang tak kalah kejamnya. Kalau sepasang kaki lelaki asing itu “menggunting” dengan pengerahan tenaga penuh, sepasang tangan Pangeran Yudakara akan patah terpotong-potong.
Rupanya pangeran itu pun menyadari akan bahaya ini. Maka sebelum lelaki asing itu mencoba mengeluarkan tenaganya, Pangeran Yudakara segera menggerakkan kakinya. Yang tadinya sudah bersila, diubahnya menjadi sodokan ke daerah berbahaya dari bagian tubuh lawan. Si lelaki asing masih tak kehilangan akal. Sebelum serangan itu menohok telak, dia segera menarik keras sepasang kakinya yang masih menjepit tangan Pangeran Yudakara.
Rupanya tarikan keras itu sengaja hendak melemparkan tubuh Pangeran Yudakara. Dan usahanya ini berhasil sebab Pangeran Yudakara tak menduga sama sekali. Tubuh pangeran itu terlontar keluar bale-bale melewati atas tubuh lelaki asing tersebut.
Pangeran Yudakara tidak kuasa menahan tubuhnya yang terlontar, padahal ke mana dia jatuh adalah permukaan kolam yang airnya tentu dingin menusuk tulang.
Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara cipratan air karena tertimpa tubuh pangeran itu. Suara riakan air disusul oleh dengus dan tawa mengejek lelaki asing itu yang nampak sudah berdiri bertolak pinggang di atas bale-kambang.
Lelaki itu segera meloncat dari tempat itu. Namun sebelumnya masih mengeluarkan peringatan agar orang-orang Cirebon jangan sembrono melakukan tindakan bodoh.
“Kau katakan kepada Susuhunan Cirebon, bahwa mereka sudah tak punya kekuatan lagi,” kata lelaki itu, meloncat ke atas benteng dan pergi dari tempat itu.
Tinggallah Pangeran Yudakara berdiri di atas kolam sebatas pusar. Tubuhnya nampak menggigil. Mungkin karena kedinginan, tapi bisa juga marah karena merasa terhina. Pragola tak mau menolong atau mendekati tempat itu. Dia tak ingin majikannya tahu akan kehadirannya. Oleh sebab itulah sebelum kahadirannya diketahui, Pragola segera mengundurkan diri dari tempat itu secara diam-diam. Pemuda itu harus segera kembali ke kesatrian (asrama prajurit) takut kalau-kalau Pangeran Yudakara datang mengunjunginya seperti pangeran itu janjikan kepadanya.
Sudah hampir subuh tapi ternyata Pangeran Yudakara belum juga muncul. Pragola berpikir, pangeran itu gagal mengunjunginya karena peristiwa semalam. Mungkin dia lebih memilih tinggal di puri untuk memendam kemarahannya, atau kekecewaannya oleh kejadian malam tadi.
Kecewa? Ya, betapa tidak. Dengan amat mudahnya Pangeran Yudakara dilumpuhkan lelaki asing itu. Padahal menurut pengetahuannya, Pangeran Yudakara adalah perwira pandai. Pangeran itu kini lebih memikirkan rasa kecewanya ketimbang ingat akan janjinya untuk mengunjungi kamar Pragola.
Pragola sejenak terhenyak karena mengubah jalan pikirannya. Mungkin Pangeran Yudakara bukan kecewa karena kekalahannya, melainkan oleh ucapan-ucapan lelaki asing itu yang terdengar sombong dan pongah.
Orang itu berkata penuh ejekan bahwa Cirebon adalah negara lemah dan jangan sembrono mengusik Pajajaran. Yang berhak dan mampu menyerbu Pakuan hanyalah Banten. Tentu saja ini merupakan tamparan pedas kepada Pangeran Yudakara yang tengah menjalankan tugas penyelidikan dari Cirebon dalam upaya melumpuhkan Pakuan.
Pragola agak mengeryitkan dahi ketika mengingat kembali ucapan lelaki asing itu. Orang itu angkuh dan sengaja merendahkan Cirebon. Padahal seingatnya, antara Cirebon dan Banten tak pernah ada percekcokan. Keduanya sama-sama merupakan pusat kekuatan kehidupan agama baru tapi juga keduanya sama-sama merupakan bekas wilayah kekuasaan Pajajaran. Cirebon lebih dahulu melepaskan diri (1511), sedangkan Banten baru belakangan dibebaskan Demak dan Cirebon dari kekuatan penguasa agama lama pada tahun 1525. Namun Pragola juga mendengar khabar dari sana-sini bahwa semakin hari Banten semakin mencuat ke permukaan. Ada kecenderungan dia lebih kuat ketimbang negara yang pertama kalinya membebaskannya, yaitu Demak. Banten menjadi pusat perdagangan negara agama baru sehingga sanggup melakukan pembangunan besar-besaran, sementara Demak malah terjerumus ke dalam kancah perpecahan dan perebutan kekuasaan di antara sesamanya.
Harus diakui, kini hanya Bantenkah negara yang terkuat di antara mereka. Namun kendati demikian, Pragola berpikir tak seharusnya orang Banten mencemoohkan Cirebon, sebab hal ini hanya akan mengundang perpecahan sesama negara agama baru. Siapakah lelaki asing yang datang malam-malam ke hadapan Pangeran Yudakara itu? Benarkah dia utusan Banten dan sengaja meremehkan Cirebon? Benarkah Banten melarang Cirebon melakukan penyerbuan ke Pakuan karena menyangsikan kekuatan Cirebon? Pragola tidak sanggup menduga-duga. Yang pasti, bila ucapan orang Banten itu dilaporkan oleh Pangeran Yudakara ke Cirebon, tentu akan mengundang perpecahan.
Sampai cuaca menjadi terang tanah, Pangeran Yudakara tidak pernah muncul mengunjungi dirinya. Pragola pun akhirnya terlena dan tidur pulas sampai siang hari.
***