Bukan perkara itu yang kau pikirkan. Tapi saya memang punya dendam pribadi!” kata Pragola. Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi jalan.
“Ini adalah urusan negara dan tak ada dendam pribadi di dalamnya,” kata Paman Manggala, ikut menjatuhkan badannya di samping Pragola yang sudah duduk duluan.
“Tapi bagi saya, ini dendam pribadi…” gumam Pragola lagi.”Ki Guru Sudireja tewas karena ada kaitannya dengan keberadaan lelaki bernama Ginggi itu,” sambung Pragola.
“Saya dengar cerita orang, penyerbuan pasukan Sagaraherang ke Pakuan sepuluh tahun silam, mengalami kegagalan karena ketangguhan perwira-perwira Pakuan. Namun kemenangan mereka pun katanya tidak terlepas lantaran kehadiran ksatria bernama Ginggi itu. Coba, kalau lelaki sombong itu tak hadir di sana, barangkali Pakuan bisa ditundukkan dan Ki Guru Sudireja ada dalam kemenangan,” kata Pragola.
“Belum tentu demikian kejadiannya. Tapi yang jelas, karena Ksatria Ginggi ada di pihak Pakuan, maka kita harus mencoba melawannya bila suatu saat kita terpaksa bertemu dengannya,” kata Paman Manggala.
“Kita akan bertemu dengannya sebab saya akan berusaha mencarinya!” tutur Pragola mantap. Dan percakapan mereka harus dihentikan manakala dari kejauhan terlihat cahaya obor.
Sayup-sayup mereka pun mendengar kentongan dipukul secara beraturan.
“Mari kita menghindar. Mereka adalah rombongan tugur (ronda),” bisik Paman Manggala. Kedua orang itu berjingkat meninggalkan tepian jalan berbalay. Mereka berlari cepat tanpa menimbulkan bunyi. Sesekali larinya harus di atas wuwungan, bila kebetulan melewati sederetan rumah-rumah kayu jati yang kokoh.
Ternya Paman Manggala membawanya ke sebuah asrama prajurit yang terletak di tepi kuta (benteng) dalam.
Pragola memuji kehebatan Paman Manggala. Dua tahun dia berpisah denganorang tua ini. Tahu-tahu Paman Manggala sudah bisa menyusup ke Pakuan. Dan melihat Paman Manggala Masuk ke asrama prajurit, mudah diduga bahwa dia sudah berhasil menyusup sebagai prajurit Pakuan.
Mengapa tidak mudah menyusup sebagai prajurit, bahkan untuk menjadi orang penting di sana pun bisa terjadi. Buktinya, tokoh-tokoh Cirebon seperti Goparana dan Jaya Sasana pun telah menyusup menjadi perwira Pakuan. Ini adalah penyusupan untuk yang kesekian kalinya dari berbagai upaya penyusupan.
Dalam hatinya Pragola masih tak mengerti, mengapa Pajajaran yang dikenal kuat ini mudah disusupi lawan? Ada memang berita yang mengatakan bahwa orang Pajajaran menghargai kejujuran. Artinya, mereka lebih senang bertindak-tanduk jujur dan terbuka ketimbang melakukan sesuatu kepura-puraan. Dan karena mereka merasa jujur terhadap orang lain, maka sepertinya tak ada alasan untuk mencurigai orang lain.
Kalau berita mengenai prilaku dan perangai orang-orang Pajajaran ini benar begitu, maka Pragola menganggap bahwa jalan pikiran mereka itu bodoh. Menurut pemuda ini, sikap dan prilaku jujur dalam keseharian tidak bisa diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Menurutnya, politik adalah kepura-puraan. Untuk mencapai tujuan, siasat apa pun selalu ditempuh. Dan yang namanya siasat tak lebih dari reka-perdaya dalam upaya mengalahkan lawan.
Kejujuran orang Pajajaran terbukti telah menciptakan pitapak (perangkap) untuk mereka sendiri. Pemuda ini teringat akan cerita puluhan tahun silam ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M). pasukan tanpa identitas yang diduga dikirim secara tidak resmi dari Banten telah berhasil melakukan penyerbuan sampai ke wilayah jawi khita (benteng kota luar). Menurut sinyalemen, musuh Pajajaran berhasil menyerbu hingga ke pusat kekuasaan lantaran sebelumnya ada gerakan penyusupan. Orang-orang Pajajaran merasa dirinya jujur sehingga tak pernah percaya kepada orang lain berlaku khianat terhadap mereka. Orang-orang jujur memang biasanya selalu menganggap bahwa orang lain pun akan sama berlaku jujur terhadapnya. Inilah sebuah kelemahan dari orang jujur kalau pun tak dikatakan mereka bodoh.
Seperti malam ini misalnya, kendati para prajurit Pakuan berhati-hati, tapi sikap jujur mereka dalam menilai orang telah membahayakan diri mereka sendiri, bahkan membahayakan keselamatan negaranya. Terlalu bahaya mengukur hati dan prilaku orang lain dengan kebiasaan diri sendiri. Orang-orang Pajajaranlah contohnya, kata Pragola dalam hatinya.
Para prajurit yang tinggal di asrama itu percaya begitu saja ketika Paman Manggala mengabarkan bahwa ada pembantu Pangeran Yudakara yang baru datang dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Dan lagi, siapa yang tak percaya, sebab pada esok harinya Pragola dijemput oleh dua orang jagabaya puri Yogascitra untuk ikut hadir dalam pertemuan penting di sana. Paman Manggala sendiri sebenarnya amat terkejut dengan kejadian ini. Begitu cepatnya Pragola mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Yudakara ini. Dia memastikan, Pragola dijemput orang-orang Puri Yogascitra karena pengaturan Pangeran Yudakara. Karena perkiraan ini, mau tak mau Paman Manggala amat memuji kecepatan gerak dari pangeran itu. “Apakah Paman Manggala pun dipanggil serta?” tanya Pragola sebelum berkemas.
“Tidak, hanya engkau seorang yang dipanggil Pangeran Yogascitra. Di puri, Pangeran Yudakara pun sudah hadir,” ujar para jagabaya.
“Engkau berangkatlah ke sana, semoga apa yang menjadi cita-citamu terlaksana…” tutur Paman Manggala memegang pundak pemuda itu.
Akhirnya Pragola meninggalkan asrama prajurit untuk mengikuti kedua orang jagabaya itu. Yang disebut puri Yogascitra adalah sebuah kompleks pemukiman yang ada di sekitar dalem khita (kota benteng dalam).
Memang di wilayah dalem khitalah para bangsawan tinggal. Tempat mereka ada di sekitar kompleks istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (istana raja). Atau lebih tepatnya lagi, puri-puri milik bangsawan dan kerabat istana dibangun hampir mengelilingi istana, kecuali ada beberapa bagian yang dibiarkan kosong tanpa gangguan. Misalnya di tengah bangunan utama di mana Raja tinggal. Yang berada di sana hanyalah puri-puri keluarga saja. Di sebelah timur istana bahkan hanya berupa taman tempat keluarga Raja bercengkrama. Pragola pernah mendapatkan berita bahwa tempat indah ini bernama Taman Mila Kancana.
Puri Yogascitra tepat berada di tepi jalan besar berbalay (jalan dengan susunan batu-batu kali). Kompleks puri ini cuckup luas dan dikelilingi kuta (benteng) terbuat dari susunan batu kali dan tanah liat. Ada lawang seketeng (gerbang) tepat di muka jalan dan dijaga empat orang jagabaya dengan tameng logam di tangan kiri dan sebuah tombak di tangan kanan.
Mereka nampaknya siap-siaga sekali. Namun manakala tahu siapa yang datang, keempat jagabaya tidak mempersulitnya. Pragola yang diiringkan dua jagabaya dipersilakan memasuki gerbang.
Seusai masuk gerbang, Pragola harus melewati jalan berbalay lagi yang di kiri-kanannya terhampar lapangan rumput hijau. Banyak beberapa jenis unggas peliharaan di sana. Beberapa angsa nampak berkejaran di tepi kolam berair jernih. Di sudut sana bahkan ada ayam jantan berbulu merah kekuningan dan tubuh tegap serta kuat. Ayam jantan itu berkokok nyaring ketika Pragola lewat di sana.
Pemuda itu baru tahu bahwa jalan berbalay itu mengantarkannya ke sebyah paseban (bangsal) beratap ijuk dan berlantai papan jati tua yang mengkilap kehitam-hitaman. Di tempat itu sudah terdapat beberapa orang. Ada yang duduk di atas kursi kayu, ada juga yang bersila di atas hamparan alketip tebal buatan Negri Parasi (Parsi, atau Iran kini).
Dari beranda, Pragola sudah bisa melihat bahwa di ruangan paseban itu Pangeran Yudakara telah hadir. Di duduk di depan di sebuah kursi jati berukir, berdampingan dengan seorang bangsawan tua gagah. Pragola cepat menduga, bangsawan yang berpakaian beludru hitam gaya bedahan lima yang hampir seluruh pinggiran bajunya dihiasi kelim emas itu tentulah Pangeran Yogascitra, penasehat Ratu Pakuan.
Bangsawan itu pasti usianya sudah amat lanjut. Melihat sepasang pipinya yang nampak dalam serta alis tebal berwarna putih mulus, Pragola menaksir, barangkali pejabat tinggi ini usianya lebih dari tujuhpuluh tahun. Namun yang pemuda itu kagumi, kendati usianya pasti sudah demikian tinggi, bangsawan tua itu masih nampak gagah. Kulit wajahnya putih agak kemerahan dan hanya sedikit keripit yang mengganggu dahinya. Tubuhnya masih sanggup tegak ketika duduk di kursi kayu jati itu. Jadi, kendati kursi itu memakai sandaran, namun orang tua itu tidak memanfaatkannya untuk menyandarkan punggungnya yang tidak terlihat bungkuk karena usia tua. Kepalanya pun mendongak berwibawa namun jauh dari kesan angkuh. Gagah sekali manakala dia mengangguk-angguk ketika Pragola menghormat rengkuh. Ornamen warna emas yang menghiasi iket sawit (jenis ikat kepala namun jauh lebih rapih ketimbang iket orang kebanyakan) yang digunakan bangsawan itu nampak berkelapkelip karena pantulan cahaya.
Semua orang yang hadir di paseban sama-sama menoleh ke arah beranda untuk melihat siapa yang datang. Mereka menatap Pragola dengan penuh seksama.
“Diakah punggawa muda itu, Yuda…?” terdengar pangeran tua itu mengajukan pertanyaan kepada Pangeran Yudakara. Amat perlahan suaranya. Namun karena semua orang sama-sama memperhatikan Pragola tanpa bersuara, maka suara halus yang keluar dari mulut pangeran tua itu terdengar nyata.
“Benar Pamanda, dialah Punggawa Pragola yang saya ceritakan tempo hari itu…” jawab Pangeran Yudakara.
Semua hadirin nampak lebih memperhatikan Pragola manakala namanya dikenalkan. “Duduklah punggawa muda…” kata pangeran tua itu.
Pragola segera duduk bersila. Tidak di atas hamparan alketip, melainkan hanya di atas lantai papan jati saja. Dan kalau pin dia duduk dalam deretan para ksatria, namun hanya mengambil posisi paling ujung saja. Dia sadar, kedudukannya di sini paling rendah bila dibandingkan dengan para ksatria yang nampak gagah dan berwibawa itu.
Pragola duduk bersila dengan berupaya bersikap tenang. Padahal ada ketegangan yang sangat di hatinya. Betapa tidak, inilah pertama kalinya dia menginjak kompleks Pakuan. Inilah pertama kalinya dia berhadapan dengan orang-orang penting Pakuan. Hatinya berkecamuk dan penuh pertentangan. Jauh sebelum dia berhadapan dengan Pangeran Yogascitra, dia sudah mendapatkan berita mengenai keberadaan orang ini dengan berbagai pendapat dan penafsiran. Di wilayah Kacutakan Caringin atau Waringin di mana dia tinggal, hampir semua orang bersepakat bahwa negri yang bernama Pajajaran harus dimusnahkan sebab banyak pejabatnya melakukan penyelewengan hidup. Mereka kerjanya bersenang-senang sedangkan di lain fihak rakyat penuh derita. Buktinya, ketika rayat Kacutakan Waringin ingin melepaskan diri dari Pajajaran dan berniat menggabungkan diri dengan Cirebon, Pakun marah dan mengirimkan pasukan. Kacutakan Waringin porak-poranda digempur pasukan dari Pakuan. Cutak Wirajaya, ayahanda Pragola memang tidak tewas secara langsung dalam peristiwa penyerbuan ini, namun tetap saja kematiannya diakibatkan oleh penyerbuan orang-orang Pakuan.
Penduduk Kacutakan Waringin membenci Pakuan. Itulah sebabnya, banyak penduduk mengabdi menjadi prajurit Cirebon dan akan senang bila ditugaskan menyerbu wilayahwilayah Pakuan. Menurut Paman Manggala, untuk menundukkan Pakuan harus sanggup melenyapkan orang-orang kuat yang berdiri di sanan. Pangeran Yogascitra disebut-sebut sebagai orang kuat di Pakuan. Tentu Pragola juga menganggap bahwa orang tua berwajah sabar tapi berwibawa ini termasuk pejabat Pakuan yang harus dilenyapkan. Dan kalau mendengar banyak pejabat Pakuan yang selalu berbuat kejahatan hidup, tidakkah Pangeran Yogascitra ini pun sebenarnya orang jahat belaka?
“Banyak orang jahat bersembunyi pada wajah damai dan penuh welas asih,” kata Paman Manggala suatu ketika.
Kalau ucapan ini benar, Pragola pun harus berani melenyapkannya.
“Kau sampaikan kembali hormatmu kepada Pangeran Yogascitra, Pragola…” kata Pangeran Yudakara memerintah. Untuk kedua kalinya Pragola memberi hormat lagi. Sesudah hormat dia sampaikan kepada Pangeran Yogascitra, dia pun segera menyembah kepada semua yang hadir di situ. Selintas dia memang sudah menduga bahwa beberapa orang yang hadir di sana merupakan orang-orang penting semua. Ini melihat dari penampilan dan usia mereka. Ratarata berusia di atas limapuluh tahunan, kecuali ada seorang pemuda dewasa yang Pragola taksir usianya sekitar duapuluh tujuh atau mungkin lebih satu atau dua tahunan. Namun karena pemuda yang berpakaian baju kurung hitam tipis berlapis kampret warna biru tua dari jenis kain halus itu ada di antara mereka, Pragola menduga, pemuda tampan berkulit halus dengan kumis tipis itu tentu termasuk orang penting juga.
Mereka saling berpandangan sejenak. Tapi Pragola lebih dahulu menundukkan muka sebab sorot mata pemuda itu tajam berwibawa.
“Puji syukur harus kita sampaikan kepada Hyang karena punggawa setia ini telah berhasil tiba di Pakuan dengan selamat. Padahal untuk berusaha menyampaikan berita penting ini dia pasti banyak menemukan rintangan dan marabahaya,” tutur Pangeran Yogascitra. Pragola menunduk menyembunyikan wajahnya ketika pangeran bersuara halus itu berkata demikian. Pragola tidak tahu persis, apa-apa saja yang tengah dibicarakan dalam pertemun ini. Namun kendati tidak lengkap dia dengar, beberapa bagian dari percakapan mereka ternyata perihal situasi negara dewasa ini.
Pangeran Yogascitra mengemukakan bahwa waktu-waktu belakangan ini boleh dikata negara ada dalam situasi rawan. Penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, suasana ekonomi negara semakin tidak menentu sesudah puluhan tahun lamanya Pakuan tak bisa melakukan hubungan dagang dengan negara lain.
Hal kedua, sendi-sendi kekuatan negara yang berhaluan agama baru semakin hari semakin kuat. Pajajaran kini semakin terjepit di pedalaman. Wilayah timur dan utara sudah dikuasai oleh Demak dan Cirebon. Kemudian sebelah barat, kekuatan Banten semakin merebak juga. Pangeran Yogascitra amat khawatir, di saat-saat kekuatan musuh semakin nyata, keberadaan Pajajaran sendiri malah cenderung melemah. Luka-luka di tubuh negara akibat terjadi pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang ingin memisahkan diri dari Pakuan hingga kini masih belum sembuh. Akibat sering memerangi pemberontak, terjadi beberapa kemunduran di sektor militer. Militer Pajajaran sudah tak sekuat dulu. Membangun kekuatan militer memerlukan dana yang besar. Tapi kini negara sudah tak memiliki dana yang besar lagi mengingat terbatasnya perdagangan antar negara. Lain dari pada itu, dari peperangan berkali-kali, menyebabkan negara banyak kehilangan orang-orang pandai. Benar, bahwa hingga saat ini, Pajajaran masih memiliki puluhan ribu prajurit. Benar juga bila orang mengatakan bahwa seribu perwira pengawal Raja hingga kini jumlahnya tiada berkurang.
Namun, jumlah seribu orang antara hari in dengan kemarin kualitasnya sudah jauh berbeda. Pakuan sudah banyak ditinggalkan perwira tangguh. Kalau pun tidak gugur dalam peperangan, mereka berhenti karena tua, sedangkan penggantinya tidak setangguh yang digantikannya. Perwira-perwira baru masuk ke dalam kelompok seribu itu bukan karena kualitasnya, melainkan karena untuk mengisi kekosongan jumlah saja. Ini yang memprihatinkan Pangeran Yogascitra.
“Saya khawatir terhadap kekuatan dari barat. Puluhan tahun silam di saat Pakuan diperintah oleh Sang Prabu Ratu Dewata, kendati tidak mengatasnamakan secara resmi, namun Banten berhasil menyerbu Pakuan. Kini kekuatan mereka semakin meningkat dan kita sebaliknya semakin melemah. Saya khawatir situasi buruk yang melanda negri ini merupakan peluang yang baik bagi mereka. Saya khawatir, suatu saat mereka melakukan penyerbuan lagi yang barangkali lebih dahsyat dari penyerbuan puluhan tahun silam…” kata Pangeran Yogascitra.
Suasana amat hening manakala pangeran tua itu selesai mengemukakan isi pikirannya, sehingga saking heningnya, suara kokok ayam jantan jauh di hamparan padang rumput terdengar nyata.
“Bagaimana upaya Sang Prabu dalam menghadapi keadaan seperti ini?” tanya seorang pejabat berkumis tebal bermata bulat yang duduk bersila di samping pemuda tampan.
Terlihat Pangeran Yogascitra menghela napas panjang.
“Susah mengatakannya…” desis Pangeran Yogascitra setengah mengeluh, membuat suasana kembali hening.
Namun pada akhirnya, pangeran tua ini berbicara jua. Dan nampaknya Pangeran Yogascitra amat menyesalkan kebijaksanaan Sang Prabu dalam menanggapi situasi politik negara dewasa ini.
“Saya sebetulnya amat menghargai kebijaksanaan beliau yang ingin kembai memperkuat sendi-sendi pemerintahan dengan tonggak agama karuhun (leluhur). Menurut beliau, kekuasaan Cirebon dan Banten semakin menghimpit Pakuan dengan terapan agama baru. Maka taka ada jalan penangkalnya selain kita lebih memperkuat keyakinan agama buhun (lama) yang sudah sejak ratusan tahun dihargai oleh para karuhun kita. Sang Prabu bersama Purohita (Pendeta Agung) Ragasuci lebih sering berada di kuil ketimbang di istana. Beliau terlalu tenggelam untuk memperdalam agama, sebab pada hematnya, hanya dengan keyakinan yang kuat saja maka propaganda agama baru akan bisa tertolak…” ujar Pangeran Yogascitra. “Tapi Pamanda, saya menganggap bahwa serbuan negara agama baru ke Pakuan tidak semata karena melakukan penyebaran agama, melainkan karena ingin memperluas kekuasaan semata. Puluhan tahun silam tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran direbut mereka dengan alasan mencegah Pajajaran yang semakin melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing. Terutama Portugis. Namun belakangan, sesudah semua pelabuhan dagang direbut, malah merekalah yang menggantikan kedudukan Pakuan dalam melakukan hubungan dagang dengan bangsa asing. Jadi kalau menilik hal-hal seperti ini, negara agama baru memerangi Pajajaran bukan karena agama, melainkan karena rebutan kekuasaan semata. Dan apabila pendapat saya ini benar, maka percuma mempertahankan dengan cara memperkuat dan memperdalam agama buhun kita, sebab belum tentu berhasil dengan baik,” kata seorang pejabat yang Pragola tak tahu siapa.
“Benar belaka Ayahanda, menangkal datangnya musuh bukan dengan mantera atau jampijampi, melainkan harus dengan kekuatan militer pula seperti apa yang mereka lakukan terhadap kita,” sambut pemuda tampan berkumis tipis yang bersila tegak di jajaran para ksatria. Pragola baru mengetahuinya kalau pemuda yang barangkali usianya sepuluh tahun di atasnya itu adalah putra Pangeran Yogascitra.
Pragola menyaksikan, betapa alis pangeran tua itu sedikit berkerut ketika mendengar pendapat-pendapat ini.
“Sang Prabu kurang setuju bila kita harus terus-terusan mengeluarkan dana besar untuk kepentingan angkatan perang. Menurut beliau, sudah banyak dana yang dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan perang. Selain itu, Sang Prabu pun menganggap bahwa perang juga banyak menyengsarakan rakyat. Korban jiwa berjatuhan dan usaha perdagangan serta pertanian terhambat. Saya juga membenarkan pendapat seperti ini. Tapi, begitulah seperti apa yang dikatakan tadi, bila militer tak kita perkuat kembali, maka bahaya datangnya musuh akan semakin mengancam,” kata Pangeran Yogascitra akhirnya.
“Bila Pamanda saja sebagai penasehat sudah tak sanggup meyakinkan Sang Prabu, bagaimana mungkin dengan kami?” kata pejabat lainnya.
Pangeran tua itu terdiam sejenak. Dia nampak menunduk dan sedikit memejamkan kedua belah matanya.
“Kita akan tanggulangi sendiri. Secara diam-diam akan saya usahakan menghimpun kekuatan…” ujar Pangeran Yogascitra hampir-hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Bagaimana caranya?” tanya yang lain.
“Banyak orang pandi tak tergabung dalam kekuatan istana, tapi mereka orang-orang yang amat setia kepada keberadaan Pajajaran. Saya akan menghimbau mereka untuk mau bergabung dengan kita,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Berilah contoh, siapa mereka…” sambut seorang pejabat.
“Kalian tentu ingat tentang pemuda Ginggi murid Ki Darma?” tanya pangeran Yogascitra melirik kepada si penanya.
“Tapi Ayahanda, saudara Ginggi nampaknya sudah tidak tertarik kepada urusan politik. Sudah hampir sepuluh tahun namanya tenggelam begitu saja. Ini hanya menandakan bahwa dia ingin menjauhkan diri dari kemelut politik. Sedangkan yang berprilaku seperti dia bukan hanya satu atau dua saja. Beberapa perwira pandai yang dulu jadi andalan Pakuan, mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan karena merasa jemu dengan berbagai pertikaian politik. Bisakah mereka kita rangkul kembali?” tanya pemuda putra pangeran tua itu. “Mereka mungkin jemu karena jabatan dan berbagai kemelut istana tapi tak berarti melepaskan rasa cinta terhadap negara. Kalau kita himbau bahwa negara ada dalam keadaan bahaya, maka diharap mereka mau menoleh kembali,” kata Pangeran Yogascitra. “Bagaiman caranya mencari dan mengumpulkan mereka?” tanya yang lain.
“Itulah sebabnya kita berkumpul di sini hari ini. Kebetulan datang seorang punggawa muda dari wilayah Sagaraherang. Menurut Pangeran Yudakara, punggawa muda ini membawa berita dari wilayah timur. Berita ini penting, kendati kita belum tahu, apakah yang dibawa punggawa muda ini berita yang menggembirakan atau kebalikannya,” tutur Pangeran Yogascitra sambil menatap tajam kepada Pragola.
“Pragola, khabarkanlah segera, apa yang kau dapatkan di wilayah timur…” kata Pangeran Yudakara.
Berdebar hati pemuda ini. Ini adalah tugas pertama yang dibebankan negara agama baru. Kalau Pragola mulai bicara, sebenarnyta ini adalah kebohongan, sesuatu yang dia tak menyukainya. Namun kata Pangeran Yudakara tadi malam, kebohongan adalah bagian dari sesuatu bernama taktik dalam upaya memenangkan sesuatu.
“Kebohongan untuk sesuatu kebaikan, bukanlah dosa,” ujar Pangeran Yudakara menegaskan. Menurut Pangeran Yudakara, kekuatan negara agama baru memang selalu menggempur Pajajaran. Sebetulnya bukan untuk menghancurkan Pajajaran, melainkan untuk mencoba mengubah sesuatu tatanan yang lebih baik lagi.
“Akan lebih baik lagi bila tatanan Pajajaran disempurnakan melalui perilaku kehidupan agama baru,” kata Pangeran Yudakara.
“Penguasa Pakuan puluhan tahun silam telah mengundang kekuatan asing yang prilaku dan sikap hidupnya amat berlainan dengan kita. Itulah sebabnya, penguasa negara baru dari wilayah timur mencoba menggagalkan persekutuan antara Pajajaran dengan kekuatan asing tersebut,” sambung Pangeran Yudakara tadi malam.
Akan tetapi, permusuhan terus berlanjut kendati kekuasaan asing telah pergi. Sanggupkah Pragola menyetujui hal-hal seperti ini.
“Pragola, kemukakanlah apa yang telah kau alami di wilayah timur,” kata Pangeran Yudakara mengulang perintahnya, membuat Pragola terperanjat.
Dengan dada berdebar, Pragola menyembah takzim. Suasana hening sebab sepertinya semua orang ingin menyimak laporan Pragola dengan seksama. Hampir semua orang bahkan menatap pemuda itu.
Pragola menahan napas sebentar, kemudian mulai berkata. Tidak terlalu nyaring, namun cukup didengar dengan baik oleh semua yang hadir.
“Saya ingin melaoprkan perjalanan saya ketika berada di wilayah Karatuan Talaga…” kata Pragola.
Lalu pemuda itu berkisah, bahwa ketika dia ada di Karatuan Talaga, pemuda ini sempat melakukan perjalanan di dusun-dusun sekitar lereng Gunung Cakrabuana. Menurut pengamatannya, wilayah lereng barat Gunung Cakrabuana sepertinya dijaga ketat oleh pasukan gabungan dari Talaga dan Cirebon.
Pragola mencari tahu, mengapa ada penjagaan khusus di sekitar itu, sepertinya di sana ada sesuatu yang harus mereka amati?
“Apa jawab mereka, anak muda?” tanya seorang pejabat tua dengan mimik tidak sabar. Sebelum menjawab, Pragola menelan ludah dulu. Sesudah itu pemuda itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pendapat. “Terangkanlah Pragola dengan sejelasnya,” kata Pangeran Yudakara.
“Salah seorang prajurit Karatuan Talaga berkata bahwa sudah lebih dari lima tahun berselang ini wilayah tersebut memang selalu dijaga ketat,” kata Pragola.
“Ya, karena apa?” tanya sang pejabat tua lagi mendesak. “Karena ada yang harus dicegat,” tutur Pragola.
“Ada yang harus dicegat?” tanya yang lain mengerutkan dahi.
“Kata para prajurit Talaga, mereka tengah mencegat kalau-kalau belasan perwira Pakuan yang ada di puncak pada suatu saat turun gunung…” sambung Pragola lagi.
Ketika penjelasan ini dikemukakan Pragola, macam-macam tingkah dan penampilan para penyimak itu. Ada yang nampak mengerutkan alis, ada yang terpana dan ada juga yang terhenyak bagaikan merasa kaget.
“Kalau begitu benar perkiraan kita, bahwa belasan perwira yang belasan tahun silam ditugaskan oleh Pakuan untuk menuju ke wilayah timur hingga kini masih hidup,” tutur seorang pejabat menatap ke arah Pangeran Yogascitra.
Nampak pangeran tua itu termenung. Alisnya berkerut dan kedua matanya semakin dalam. Dia menunduk dan berpangku tangan lama sekali. Seolah-olah dia termenung seorang diri di tempat yang sepi.
“Ketika zamannya Prabu Ratu Sakti, kami pernah mempertanyakan hal ini. Kami pun mengusulkan agar belasan perwira yang tak pernah kembali itu segera diselidiki dengan mengirim kembali rombongan perwira kedua, mengapa hal itu tak pernah terperhatikan?” tanya pejabat yang lain. Semua orang menatap ke arah Pangeran Yogascitra, seolah semua orang memintakan tanggungjawab kepada pejabat itu.
“Sepuluh tahun silam hal ini pernah menjadi perbincangan hangat. Banyak perwira kerajaan mengusulkan agar belasan rekannya yang tak pernah kembali harus segera dicari dan diselidiki, namun Sang Prabu ketika itu menolak,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Mengapa menolak?” tanya hadirin.
“Entahlah. Tapi waktu itu saya pun setuju dengan penolakan Sang Prabu….” “Mengapa?” tanya hadirin dengan nada heran dan tak puas.
“Waktu itu beberapa perwira kerajaan yang setia terhadap negara memang mengusulkan seperti itu. Namun saya pun mencurigai, ada kelompok lain yang ikut membonceng kepada usul seperti ini tapi untuk kepentingan mereka sendiri,” tutur Pangeran Yogascitra.”Kalian tentu tahu, suasana ketika itu terasa panas. Istana telah dipenuhi pemberontak. Barangkali benar, perwira setia mengusulkan agar dikirim rombongan kedua untuk mencari jejak rekanrekannya yang hilang dengan niat yang wajar. Namun usulan yang dikeluarkan oleh kelompok pengkhianat cenderung untuk keuntungan mereka. Mereka tengah mempersiapkan sebuah pemberontakan besar, agar pemberontakan mereka berhasil, kekuatan di Pakuan harus dikurangi. Waktu itu pejabat-pejabat kepercayaan Sang Prabu Ratu Sakti tapi yang sebetulnya pengkhianat, mengusulkan perwira-perwira setia dan terbaik untuk ditugaskan ke wilayah timur dalam mencari rekan-rekan yang hilang. Ini mencurigakan. Kami menduga, para pemberontak akan menyerang Pakuan di saat para perwira setia tak ada di istana. Itulah sebabnya saya tak setuju Raja menugaskan perwira-perwira lainnya. Bersama Ksatria Ginggi kami mengatur siasat, seolah-olah Pakuan jadi mengirimkan pasukan ke wilayah timur.
Apakah mereka tahu siasat ini atau tidak, tak jelas. Namun yang pasti, peristiwa besar telah terjadi. Mereka melakukan pemberontakan. Ada ratusan pasukan yang datang dari wilayah timur menyerbu Pakuan, untung dapat dipatahkan,” kata Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk ketika mendengar cerita ini. Bagi orang Pakuan, pasukan dari timur itu adalah pemberontak dan kini orang-orang yang masih hidup dikejar-kejar seperti penjahat. Namun bagi Pragola, mereka adalah pahlawan. Ki Sudirela gurunya, bukanlah penjahat, melainkan pahlawan. Dia tewas karena membela sesuatu yang besar yang erat kaitannya dengan penentuan nasib sebuah negara. Mati karena kepentingan negara adalah pahlawan? Pragola terkejut ketika tiba-tiba Pangeran Yogascitra mengajukan pertanyaan. “Adakah hal-hal lain yang engkau ketahui anak muda?”
Pragola berpikir untuk menyusun sebuah perkataan sebab pertanyaan ini terlalu banyak memerlukan jawaban. Dan bila jawabannya salah atau kurang wajar, hanya akan membuat orang lain curiga saja.
“Misalnya, apakah engkau tahu bahwa pasukan Karatuan Talaga atau Cirebon akan melakukan penyerbuan ke puncak?” Pangeran Yogascitra lebih mengarahkan pertanyaannya. Namun pertanyaan yang isinya lebih jelas ini tetap belum membantu Pragola sebab pemuda ini tak dibekali “pengetahuan” sejauh itu.
“Puncak Cakrabuana masih penuh misteri. Belum ada orang yang berani naik ke sana. Jadi, mereka hanya menjaga lorong-lorong penting saja…” tuturnya sambil melirik ke arah Pangeran Yudakara. Namun ketika dilihatnya mata pangeran itu mencorong ke arahnya sambil sedikit mengerutkan dahi, buru-buru pemuda itu menambahkan keterangan “baru” lagi, “Tapi mengingat di Puncak Cakrabuana banyak benda pusaka milik Karatun Talaga, ada juga prajurit yang mengabarkan bahwa pada suatu saat, Puncak Cakrabuana akan diserbu,” sambungnya. Wajah Pangeran Yudakara kembali tenang kembali. Hanya menandakan bahwa ucapan Pragola disetujui pangeran dari Sagaherang ini.
Selesai Pragola memberikan keterangan, semua yang hadir termenung.
Pragola merasa, bahwa tak berlebihan bila dia bicara seperti itu. Menurut keterangan Pangeran Yudakara, ketika Karatuan Talaga yang semula ada di bawah Pajajaran masuk menjadi kekuasaan Cirebon, banyak juga para pejabatnya melarikan diri karena tak setuju Talaga memihak Cirebon. Salah seorang perwira bernama Dita Jaya Sasana kabur sambil memboyong beberapa pusaka Karatuan Talaga, di antaranya sebuah tombak bernama Cuntangbarang.
Menurut Pangeran Yudakara, banyak orang mengidam-idamkan benda pusaka tersebut. Dan ketika ada khabar burung bahwa Dita Sasana melarikan benda-benda berharga pusaka ke Puncak Cakrabuana, maka banyak orang mengejarnya. Hanya entah kenapa, tidak pernah ada seorang pun yang kembali, tidak juga kelimabelas perwira Pakuan yang dikirimkan ke sana pada sebelas atau dua belas tahun yang lalu.
Pada masa itu, ada musuh negara yang sangat dibenci Sang Prabu Ratu Sakti, yaitu Ki Darma, bekas perwira Pakuan. Ki Darma yang diketahui bersembunyi di Puncak Cakrabuana harus dikejar.
Namun bukan karena Ki Darma semata maka limabelas perwira Pakuan dikirim ke timur, melainkan juga karena kehadiran tombak pusaka Cuntangbarang. Rupanya Prabu Ratu Sakti memperhatikan benda pusaka itu dan ingin memilikinya. Dan mendengar Ki Darma bersembunyi di Puncak Cakrabuana yang diduga memendam tombak pusaka, maka kemarahan Sang Prabu menjadi-jadi. Disangkanya Ki Darma sembunyi di sana sambil mengangkangi benda pusaka juga. Itulah sebabnya, limabelas perwira diutus ke wilayah timur dan ditugaskan menangkap Ki Darma sekalian memboyong benda-benda pusaka. Hanya saja sejauh ini beritanya tak jelas benar. Jangankan berhasil membawa Ki Darma atau memboyong benda pusaka, bahkan nasib kelimabelas perwira itu pun sampai saat ini tak diketahui.
Laporan Pragola di paseban ini ternyata menjadi bahan percakapan tak ada habis-habisnya. Beberapa pejabat melontarkan gagasan atau bahkan sekadar meminta pendapat Pangeran Yogascitra mengenai nasib belasan perwira itu. Ada juga yang mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan rombongan penolong.
“Sebab saya pikir kedudukan rekan-rekan kita ada dalam bahaya. Belasan tahun menghilang, mungkin karena tak bisa pulang, sebab bila mereka memaksa turun gunung, akan dihadang,” tutur seorang pejabat tua.
“Saya juga menyetujui pendapat ini. Dan bila Pangeran sudi mendengarkan jalan pikiran saya, sebaiknya kita mengusulkan kepada Sang Prabu Nilakendra agar sudi mengirimkan rombongan penjemput,” tutur Pangeran Yudakara menguatkan usul pejabat lainnya. Pangeran Yogascitra menoleh, sepertinya ingin mendapatkan alasan rinci mengenai usulan ini.
“Harap Pangeran ingat akan situasi negara, seperti apa kata Pangeran sendiri, negara ada dalam ambang bahaya mengingat kekuatan negara agama baru dari barat semakin melebar. Bila Sang Prabu didesak melakukan hal ini, sama saja dengan melicinkan keinginan Pangeran sendiri. Bukankah Pamanda Pangeran menginginkan kekuatan di Pakuan bertambah? Nah, dengan kembalinya belasan perwira sakti itu, Pakuan bisa memupuku kekuatannya lagi,” tutur Pangeran Yudakara.
mendengar alasan ini, nampak Pangeran Yogascitra mengangguk-angguk. Pangeran Yudakara tersenyum cerah melihatnya. Dan hanya Pragola yang mengerti betul, mengapa Pangeran Yudakara begitu bergembira.
“Saya setuju untuk mengusulkan hal ini, sebab sesuai dengan jalan pikiran saya dalam mengupayakan pulihnya kembali kekuatan Pakuan. Namun tentu saja kita tak boleh sembrono melakukannya. Kita harus punya bukti bahwa limabelas perwira itu benar masih hidup dan kita punya alasan kuat untuk menjemput mereka,” ujar Pangeran Yogascitra kemudian.
Selesai pangeran tua itu mengemukakan pendapatnya, nampak ada perubahan di wajah Pangeran Yudakara. Ini pun tentu hanya Pragola saja yang tahu penyebabnya.
“Mengapa harus dibuktikan kembali, sepertinya Pamanda agak menyangsikan kebenaran laporan bawahan saya?” tanya Pangeran Yudakara kemudian.
Pangeran Yogascitra hanya tersenyum ketika didesak pertanyaan ini.
“Ini bukan urusan percaya dan tidaknya. Tapi keyakinan lebih diperhitungkan ketimbang mempercayai. Terlalu banyak yang harus kita pertimbangkan. Kita memang butuh kekuatan tambahan. Tapi tentu kita pun tak ingin kehilangan dua kali. Ingat, mengirimkan pasukan ke wilayah timur adalah mendekati musuh. Pasukan kita dikirim ke sana bukan hanya sekadar mencari orang hilang tapi kemungkinan menyuruh mereka berperang juga. Inilah yang harus kita pikirkan,” ujar Pangeran Yogascitra.
Semua orang mengangguk-angguk membenarkan jalan pikiran Pangeran Yogascitra, kecuali Pangeran Yudakara yang nampak menunduk kendati tidak menampakkan perasaan menentang.
“Betul, kita harus melakukan penelitian sebelumnya. Kalu sudah jela apa yang sebetulnya terjadi, baru kita mengusulkan kepada Sang Prabu,” ujar hadirin.
“Kita harus mengirimkan penyelidik terlebih dahulu,” kata yang lain.
“Tepat, kita memang harus mengutus penyelidik,” kata Pangeran Yogascitra.”Saya bahkan sudah berpikir untuk mengutus anakku sendiri ke wilayah timur. Yudakara, kalau engkau tak keberatan, saya akan meminta punggawa mudamu untuk menyertai anakku, Banyak Angga,” kata Pangeran Yogascitra menoleh kepada Pangeran Yudakara. Pragola terkejut mendengarnya. Dia diminta untuk menyertai pemuda yang duduk di dekatnya? Tidakkah ini mengacaukan rencana. Bukankah dia dikirim ke Pakuan ini untuk ikut menyelidiki kekuatan di Pakuan?
Namun ternyata permintaan ini tak mungkin terbantahkan. Buktinya Pangeran Yudakara tak berani menolaknya.
“Terimakasih, Yudakar. Punggawa muda, siapa namamu tadi?” kata Pangeran Yogascitra menatap Pragola.
“Pragola, Juragan…”
“Atasanmu telah menyetujuinya. Makasesudah engkau cukup beristirahat, engkau akan melaksanakan tugas baru, yaitu menyertai anakku kembali ke wilayah timur,” kata Pangeran Yogascitra. Pragola menyembah takzim. Banyak Angga, pemuda berkumis tipis yang Pragola taksir usianya sekitar duapuluh tujuh atau duapuluh delapan tahun nampak melirik dan tersenyum padanya. Pragola mengangguk hormat tak kuat melawan senyum ramah pemuda yang usianya terpaut hampir sepuluh tahun di atas usianya itu.
“Engkau akan menjadi teman seperjalananku, adikku…” desis Banyak Angga pelan. Merinding bulu kuduk Pragola, namun sekaligus juga ada perasaan malu. Pemuda itu orang Pakuan, termasuk musuh besarnya pula. Tapi tiada hujan tiada angin, pemuda Pakuan ini berkata “adik” padanya. Basa-basinya atau mengemukakan ejekan? Pragola tak tahu kesemuanya. Itulah sebabnya bulu kuduknya terasa berdiri.
***
Seusai ikut pertemuan ini, Pragola malah diminta oleh Pangeran Yogascitra untuk tetap tinggal di purinya. Pangeran Yudakara juga tetap menyetujuinya. Membuat Pragola mudah keluar masuk lingkungan para pejabat istana adalah keinginan Pangeran Yudakara. Itulah sebabnya Pragola melihat senyum kecil di sudut bibir Pangeran Yudakara manakala mendengar Pangeran Yogascitra memintanya tinggal di puri miliknya.
Memang amat beralasan bila Pangeran Yogascitra meminta Pragola tinggal di purinya. Ini untuk memudahkan dalam mendapatkan keterangan lebih rinci dari pemuda itu.
“Kita tidak akan bisa melakukan perjalanan ke timur dengan cepat, perlu ada pemikiran dan persiapan matang. Jadi selama menunggu rencana pemberangkatan, engkau bebas tinggal di sini, termasuk bebas meminta sesuatu yang dirasa engkau memerlukannya, adikku…” tutur Banyak Angga di tengah jalan menuju ke asrama ksatria.
“Terima kasih saya sampaikan. Dan kebetulan saya pun ingin meminta sesuatu kepada Raden,” tutur Pragola menunduk hormat.
“Jangan rag-ragu, mintalah sesuatu,” tutur Banyak Angga.
“Tolong… janganlah Raden menyebut saya adik…” gumam Pragola menunduk. Pemuda berkumis tipis itu menatap dengan senyum.
“Saya hanyalah punggawa biasa, terlahir dari kalangan cacah (orang kebanyakan). Jadi amat tidak pantas bila Raden memanggil saya seperti itu…” tutur Pragola lagi. Banyak Angga nampak masih menyungging senyum. Dia bahkan memegang tangan Pragola dengan penuh keakraban.
“Usiamu ada dibawahku. Jadi amat tepat bila kau kupanggil adik,” jawab Banyak Angga. “Kepada setiap punggawa muda, apakah Raden pun memanggil adik?” tanya lagi Pragola. Banyak Angga belum bisa memberikan jawaban. Sambil kembali melangkah di depan, pemuda itu masih terus tersenyum.
“Tentu tidak. Tapi engkau akan menjadi teman yang khusus. Kita akan melakukan perjalanan bersama ke tempat jauh. Barangkali perjalanan ini akan amat membahayakan keselamatan jiwa kita karena pergi ke timur berarti mendekati wilayah musuh. Di sana kita tak akan memperlihatkan diri sebagai orang Pajajaran. Jadi kalau aku membiasakan diri memanggilmu adik, kelak sudah tak akan canggung lagi,” tutur Banyak Angga pada akhirnya.
Pragola mengangguk puas atas jawaban ini. Serasa lega dihatinya bila benar sebutan adik ini tak keluar dari hati yang tulus.
“Pada waktunya nanti, kita tidak akan merasa canggung,” tutur Pragola sambil hatinya berbisik bahwa ucapannya ini memiliki makna yang dalam dan luas dan yang tak mungkin bisa di mengerti oleh pemuda Pakuan ini.
“Mari kau ikut aku ke Mandala, Pragola…” ajak Banyak Angga mengganti sebutan adik seperti apa yang diinginkan Pragola.
“Mandala, apakah itu…?” tanya Pragola.
“Mandala adalah asrama para pendeta wanita. Saya ingin menengok adikku Banyak Inten…” “Adik? Kalau begitu, pendeta wanita itu pasti usianya masih amat muda. Mengapa semuda itu sudah menjadi pendeta, Raden?” tanya Pragola heran. Dia membayangkan, Pendeta Banyak Inten tentu amat muda dan elok, sebab Banyak Angga yang menjadi kakaknya pun demikian tampan wajahnya.
Pragola melihat pemuda itu memperlihatkan wajah murung ketika dia mengajukan pertanyaan seperti itu.
Dia tak segera menjawab, kecuali hanya mengayunkan langkah kakinya dengan pelan dan berat. Kedua tangannya dia silangkan di belakang. Dua orang jagabaya menunduk rengkuh (hormat sekali) manakala Banyak Angga lewat ke sebuah gardu jaga.
“Adikku memang masih muda. Barangkali usianya baru duapuluh lima tahun…” gumam pemuda itu.
“Dia gadis yang baik. Semuda itu hanya masalah rohani saja yang dia pikirkan…” kata Pragola memuji. Namun Banyak Angga tak terhibur dengan pujian ini. Dia terus saja melangkah dengan lesunya.
“Semua orang akan merasa bahagiua bila mencari kesucian atas dasar pasrah dan kesadaran. Tapi akan merasa tersiksa dan tak berarti kalau datang karena paksaan…” kata Banyak Angga.
“Paksaan? Alangkah ganjilnya orang harus dipaksa melakukan kebaikan…” gumam Pragola tidak sadar.
Banyak Angga tertegun sejenak, membuat Pragola terperanjat. Tidakkah pemuda ini tersinggung atas kata-katanya?
“Menjadi pendeta adalah melepaskan segala kehidupan duniawi. Banyak orang berhasil menjadi pendeta yang baik karena dia sudah kenyang dengan segala macam bentuk kehidupan lahiriah. Orang berani mendekati kehidupan rohani karena sudah faham akan kehidupan duniawi. Sedangkan adikku ketika masuk Mandala masih hijau, bagaikan daun dan bunga yang masih kuncup. Dia belum pernah merasakan indahnya mekar bunga dengan tebaran kumbang di sekelilingnya,” tutur Banyak Angga panjang lebar.
“Kalau memang masih perlu mendalami kehidupan duniawi, mengapa Putri Inten memasuki
mandala, Raden?
“Sudah saya katakan tadi, memasuki mandala karena pasaan situasi…”
lalu pemuda itu bercerita tanpa Pragola minta. Bahwa sepuluh athun silam Nyi Mas Banyak Inten pernah menjadi gadis yang dipilih Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu. Namun karena gangguan bangsawan muda Suji Angkara, Sang Prabu merasa amat terhina. Betapa tidak terhina, Suji Angkara secara membabi-buta telah melarikan gadis pingitan Ratu. Suji Angkara nekad merebut cinta. Menghina Ratu adalah pemberontakan. Itulah sebabnya Suji Angkara dikepung dan dibunuh. Namun Ratu tak sudi lagi mempersunting Nyi Mas Banyak Inten. Gadis belia itu akhirnya dikirim ke mandala. Wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya karena pertempuran suka dimasukkan ke mandala.
Gadis-gadis yang gagal karena cinta juga masuk mandala. Rupanya Nyi Mas Banyak Inten pun dimasukkan juga ke dalam kelompok wanita yang gagal dalam percintaan, maka dimasukkan ke mandala juga.
“Tapi saya memperkirakan, adikku dimasukkan ke mandala karena balas dendan Sang Ratu saja. Sang Penguasa Pakuan memang amat mencintai adikku. Memasukkan adikku ke mandala adalah sebagai hukuman, juga menutup perjalanan kehidupan duniawi termasuk urusan jodoh adikku. Sang Ratu rupanya tak rela bila suatu saat adikku mendapatkan jodoh lain. Itulah sebabnya dibuat keputusan seperti itu…” keluh Banyak Angga.
“Tapi bila Putri Banyak Inten sanggup diam di mandala hingga begitu lama, barangkali segalanya pun sudah jadi keputusan dirinya pula,” komentar Pragola.
Banyak Angga tidak mengiyakan atau membantahnya, kecuali melanjutkan perjalanan menuju luar puri. Mandala memang terletak di bagian lain. Tempat itu pun bahkan sedikit terpencil, hampir berada di ujung utara benteng dalam. Agak terpisah dari bangunan-bangunan lain. Untuk menuju ke sana siapa pun harus melewati hamparan rumput hijau yang cukup luas.
Tempatnya demikian sepi dan cukup pantas untuk tujuan bersunyi-sunyi, apalagi bagi orangorang yang sedang berupaya melepaskan kehidupan duniawi.
Banyak Angga dan Pragola meski menunggu di paseban (bangsal tempat pertemuan) sebab hanya kaum wanita saja yang diperbolehkan memasuki kompleks ini.
Kaum lelaki yang masuk ke kompleks ini pun terbatas saja, yaitu hanya mereka yang punya hubungan kerabat dengan para pendeta wanita itu. Itu pun jarang-jarang mereka bverkunjung. Namun tentu saja Banyak Angga diluar kebiasaan ini. Pragola mendapatkan bahwa sepertinya pemuda ini kerapkali mengunjungi adiknya bila melihat kata-kata dan sambutan para jagabaya di sana.
“Raden sudah hampir dua minggu tidak berkunjung ke sini, adakah hal-hal yang menghalangimu, Raden?” tanya jagabaya santun tapi terkesan akrab.
“Betul, saya demikian sibuk akhir-akhir ini, Paman…” kata Banyak Angga mengulum senyum ramah.”Tolong panggilkan adikku, Paman…” lanjutnya lagi.
Jagabaya itu segera berlalu. Namun yang memanggil langsung Nyi Mas Banyak Inten adalah seorang petugas wanita. Sang jagabaya hanyalah menunggu jauh di pekarangan asrama.
Dari kejauhan Pragola melihat seorang wanita melangkah pelan menyusuri jalan berbalay di tengah hamparan rumput. Kepalanya yang terlindung tudung kain putih nampak menunduk seperti tengah memperhatikan jalan yang tengah dilaluinya. Seluruh pakaian yang dikenakannya putih-putih belaka, kecuali ada warna hitam di pinggang yang bertindak sebagai angkin (sabuk kain).
Wanita itu melangkah pelan menuju paseban dikawal dua tiga langkah di belakang oleh jagabaya yang tadi.
“Kakanda…” sapa Nyi Mas Banyak Inten dengan tatapan lembut ke arah Banya Angga yang tegak duduk bersila di atas hamparan tikar.
Pragola menatap kehadiran Nyi Mas Banyak Inten. Gadis ini usianya duapuluh lima tahun, terpaut hampir delapan tahun di atas usia Pragola. Dia berupa wanita dewasa. Dan memang, sorot matanya yang lembut nampak berwibawa. Wajahnya putih anggun dan keelokkannya tiada terkira. Bila saja Nyi Mas Banyak Inten bersolek seperti umumnya gadis-gadis puri istana, maka inilah pohaci (dewi kayangan) yang tercantik dari semua pohaci. Sayang wajah anggun itu hadir tanpa senyum. Kendati tidak terlihat ada garis kesedihan, namun wajah anggun itu seperti jauh dari binar bahagia. Atau memang begitukah kaum pendeta yang sudah membebaskan diri dari kehidupan duniawi, mereka sudah tidak memiliki kesedihan atau pun kebahagiaan? Bila begitu, Pragola amat menyayangkan. Padahal menurut hematnya, manusia datang ke buana pancatengah (bumi) dengan dibekali dengan berbagai rasa di hatinya. Kalau pun dia tak berkewajiban memiliki rasa duka, maka berilah hak berbahagia padanya. Maka alangkah ganjilnya menurut pandangan Pragola seandainya ada orang yang tengah dibekali berbagai perasaan namun tidak menggunakannya.
“Semoga engkau dalam keadaan sehat selamanya, Ayunda…” kata Banyak Angga.
“Saya tidak pernah kurang suatu apa pun di sini, Kakanda…” jawab Nyi Mas Banyak Inten halus dan pelan. Wajahnya masih tetap menunduk. Namun manakala satu kali dia melirik ke arah wajah Pragola selintas ada kesan rasa terkejut. Pragola tak tahu, mengapa ada sedikit perubahan pada wajah gadis gadis molek itu ketika menatap wajahnya. Sebentar saja pemuda itu balik menatap untuk kemudian segera menundukkan kepalanya. Pragola menduga, barangkali gadis itu tiada senang melihat kehadiran dirinya. Bukankah kata jagabaya orang asing dan kaum lelaki tidak diperbolehkan memasuki kompleks mandala?
“Dia adalah punggawa muda dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Kakanda baru bertemu dengannya tapi serasa wajah pemuda ini sudah tidak asing bagi Kakanda,” kata Banyak Angga sambil melirik ke arah Pragola. Tidak ada komentar apa-apa dari Nyi Mas Banyak Inten. Sedikit kerutan di dahinya telah hilang musnah dan mimik wajahnya kembali kosong dari perasaan apa pun. Gadis itu pun seperti tak punya minat untuk menyapa atau berkenalan dengan Pragola.
“Terimakasih bila engkau selama ini baik-baik saja, Dinda,” kata Banyak Angga.”Soalnya dalam jangka waktu yang lama besar kemungkinan kita akan tiada bertemu,” tuturnya lagi sambil menatap adiknya. Nyi Mas Banyak Inten mengangkat wajah dan balik menatap. “Dalam beberapa hari mendatang Kakanda akan mengemban tugas jauh. Kakanda akan melakukan perjalanan ke wilayah timur. Selama kita tidak bertemu, Kakanda akan selalu berdoa untuk kesehatan dan ketentramanmu. Namun sebaliknya, Kakanda pun mohon doamu agar selama perjalanan Kakanda tiada kurang suatu apa pun,” kata Banyak Angga. “Melakukan perjalan ke wilayah timur?” gumam gadis itu masih menatap kakaknya.
“Betul Dinda…”
“Di mana saja Kakanda berada, doaku selalu menyertaimu. Namun kalau boleh saya bertanya, ada keperluan apakah Kakanda melakukan perjalanan ke wilayah timur?” tanya Nyi Mas Banyak Inten penuh perhatian.
Sebelum menjawab, Banyak Angga menghela napas sejenak. Sepasang matanya menerawang ke hamparan rumput hijau.
“Bukan untuk mengejar ilmu atau pun sekedar mencari pengalaman. Namun Kakanda melakukan perjalanan ke timur adalah semata demi kepentingan negara,” gumam Banyak Angga dengan tatapan masih jauh menerawang ke depan.
“Semua orang berkata demi negara. Padahal apa yang Kakanda akal lakukan barangkali penuh dengan bahaya,” tutur Nyi Mas Banyak Inten setengah bergumam.
“Tidak melakukan apa-apa pun bahaya selalu mengancam, Adinda,” potong Banyak Angga sambil menjelaskan alasan rencana perjalanan ini.
“Negara amat membutuhkan orang-orang kuat dalam mempertahankan keberadaannya. Banyak dari mereka bertebaran begitu saja. Ada yang belum sempat terhimpun, namun ada juga yang tercerai-berai karena berbagai kemelut dan permasalahan. Tiada terhimpunnya kekuatan ini hanya akan membahayakan keselamatan negara. Apalagi kalau diingat bahwa kekuatan negara agama baru, naik yang ada di timur mau pun yang ada di barat semakin hari semakin besar jua. Dinda mungkin masih bisa mengingatnya, betapa pada sepuluh tahun silam ada limabelas orang perwira tangguh yang dilepas menuju wilayah timur, hingga kini mereka tidak pernah kembali. Kita bahkan menganggap mereka hilang atau tewas.
Belakangan punggawa muda ini membawa khabar dari timur, bahwa para perwira kita masih hidup tapi dalm keadaan terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Mereka tak bisa turun gunung karena semua lubang untuk mencapai kaki gunung telah ditutup pasikan musuh.
Mereka harus kita tolong. Itulah sebabnya Kakanda akan melakukan penyelidikan ke sana,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten menatap tajam ke arah Pragola ketika kakaknya selesai membeberkan permasalahan ini. Tatapan gadis itu demikian tajam menyorot dan menembus jantung pragola, membuat pemuda itu terhenyak. Mengapa gadis itu demikian tajam menatap? Tidakkah dia sanggup menerawang isi hatinya? Kalau benar begitu, tidakkah gadis itu telah mengetahui kebohongan yang dia beritakan ini? Pragola segera menundukkan wajah. Dia tak sanggup melawan tatapan tajam ini.
“Banyak yang harus Kakanda kerjakan di wilayah timur kelak. Selain akan menyelidiki kebenaran berita ini, Kakanda pun akan berupaya mencari beberapa orang penting yang sekiranya mau diajak membantu membela negara. Di wilayah timur, Kakanda akan mencari Ksatria Ginggi. Atau bahkan kalau mungkin, Kakanda pun akan mencari Ki Darma,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten tidak memberikan komentar atau pun menatap kakaknya. Yang dia kerjakan hanyalah duduk terpekur dengan dada halus turun naik karena menghela napas. “Kakanda memaklumi kalau Adinda memiliki perasaan tidak senang terhadap Ginggi. Tapi apa pun yang terjadi, pemuda itu sebetulnya memiliki kepribadian tinggi. Dia adalah pemuda yang baik. Dia cinta dan mau korban untuk Pajajaran tanpa secuil pun pamrih di hatinya.
Itulah sebabnya, Kakanda akan berusaha mencarinya walau tak punya keyakinan untuk menemukannya. Pemuda itu hilang bagaikan tertelan bumi sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam itu,” kata Banyak Angga memangku tangan dengan alis berkerut.
Tak ada komentar dari Nyi Mas Banyak Inten. Pragola yang mendengarkan percakapan mereka mempunyai kesimpulan bahwa pernah ada suatu masalah yang menyangkut antara Nyi Mas Banyak Inten dengan Ksatria Ginggi. Masalah apakah ini, tentu Pragola pun ingin sekali mengetahuinya.
“Hari sudah mendekati senja. Lihatlah ribuan kelelawar yang datang dari arah Gunung Salak telah terbang menuju kemari. Kakanda harus mohon diri sebab Adinda tentu memiliki kesibukan khusus pada menjelang malam ini,” kata Banyak Angga sambil bangun dari duduknya. Pragola pun ikut mengangkat tubuhnya. Sementara Nyi Mas Banyak Inten masih tetap duduk di hamparan tikar pandan.
“Mari Kakanda antar hingga ke halaman mandala, Adinda…” ajak Banyak Angga. “Silakan Kakanda pulang, saya bisa berjalan sendiri,” jawab Nyi Mas Banyak Inten pelan.
Sambil sedikit menghela napas, Banyak Angga mencoba meninggalkan paseban, diikuti oleh Pragola di belakang.
Beberapa tindak mereka melangkah, terdengar Nyi Mas Banyak Inten berkata pelan,”Kakanda pasti bisa menemukan Ksatria Ginggi…”
Banyak Angga mendadak menghentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang menatap adiknya yang juga sama tengah menatap adiknya yang juga sama tengah menatap dirinya. “Kau maksudkan Ginggi masih hidup?”
Nyi Mas Banyak Inten mengangguk. “Maksudmu…kau pernah bertemu pemuda itu?”
Banyak Angga menatap tajam dan tak sabar sebab Nyi Mas Banyak Inten belum juga memberikan jawaban tambahan.
“Sejak sepuluh tahun yang lalu, sudah tiga kali dia datang ke sini…” kata Nyi Mas Banyak Inten pelan.
“Maksudmu, dia beberapa kali datang ke Pakuan?”
“Tidak pernah ke Pakuan, sebab kalian tidak pernah tahu akan kedatangannya. Tanpa diketahui oleh seluruh penghini mandala, beberapa kali dia mencoba menemui saya. Setahun sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam, dia menemui saya di sini. Selang dua tahun kemudian dia datang lagi ke sini. Kedatangannya yang terakhir adalah pada tiga tahun silam…” kata Nyi Mas Banyak Inten lagi.
“Kalau begitu benar, Ginggi masih ada. Dan perkiraan Kakanda juga benar, dia tak mungkin melupakan Pakuan begitu saja,” kata Banyak Angga.”Hanya yang Kakanda herankan, mengapa Ginggi hanya mau bertemu denganmu saja? Mengapa dia tak ingin menjumpai aku atau Ayahanda?” tanya Banyak Angga heran sambil menatap wajah adiknya. Dan Pragola melihat, betapa wajah Nyi Mas Banyak Inten bersemu merah serta menunduk dalam ketika ditatap kakaknya. Melihat Nyi Mas Banyak Inten kian menunduk, Banyak Angga semakin menatapnya dengan penuh selidik.
“Dinda, apakah memang Ginggi datang ke sini hanya karena Dinda semata?” tanya Banyak Angga semakin menatap tajam.
Tidak ada jawaban, kecuali wajah putih bersih itu semakin tenggelam di dalam kerudung putih.
“Terimaksih kau mau bantu Kakanda perihal ini…” kat Banyak Angga pada akhirnya. Dan tanpa bertanya lagi dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Banyak Angga mohon diri dari mandala. Pragola pun segera mengikutinya dari belakang. Namun sebelum jauh benar, Pragola sempat berpaling ke belakang. Nampak Nyi Mas Banyak Inten masih duduk di atas tikar sambil kepalanya tertunduk.
***