Parmin menempuh perjalanan melalui pedalaman. Ia tidak mau melalui jalan yang dibuat sebagai jalan perintis oleh Kumpeni Belanda yang meminta banyak korban rakyat jelata. Sudah cukup jauh jalan yang ditempuhnya. Sepanjang jalan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak belukar yang ia jumpai. Sekali-sekali Parmin juga menemui satu dua orang yang sedang menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar. Belum satupun ia menjumpai pondok perkampungan. Parmin terus berjalan menelusuri hutan sampai akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang terbuka.
Hari itu teramat panas dirasakan Parmin. Apalagi sekarang ia sudah meninggalkan hutan. Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar matahari yang menyengat ubun-ubunnya dan sekarang sinar matahari terasa membakar ubunubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Rasa haus menggerogoti kerongkongannya. Parmin ingin sekali beristirahat untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang terasa kering dan ia berharap akan menemukan sebuah warung.
Dengan sabar Parmin terus berjalan perlahan-lahan dengan harapan ia menemukan sebuah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia melangkahkan kaki dari kejauhan terlihat sebuah warung. Parmin segera mempercepat langkahnya menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin langsung duduk sambil melepaskan capingnya dan ditaruhnya diatas bangku kayu yang terletak didepan warung itu. Ia menyeka peluh di keningnya dengan kain sarung yang menyilang di dadanya.
Suasana warung itu benar-benar nyaman dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan rimbun. Angin bertiup sepoi-sepoi di daerah sekitarnya membuat orang betah duduk berjam-jam lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang bapak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih semuanya.
"Pak, apakah ini yang namanya kampung Celancang?" tanya Parmin sambil terus mengipasi dirinya dengan caping.
"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya dengan berjalan kaki." jawab pemilik warung itu sambil mengaduk kopi.
"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!" pinta Parmin.
"Baik nak." sahut pemilik warung sambil memberikan segelas kopi tersebut kepada seorang pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja dagangannya.
Dari ruang dalam terdengar gelak tawa yang sangat nyaring. Sekelompok orang laki-laki sedang asyik main domino. Mereka berempat. Dua orang bertampang seram dan bertubuh tegap mengenakan kain sarung yang menyilang di dadanya. Satu orang bertubuh gendut memakai belang-belang dan satunya lagi bertubuh kurus memakai baju putih dengan golok terselip dipinggangnya. Mereka masing-masing memakai ikat kepala dengan berbagai corak warnanya. "Wah, hari ini nasibku sedang sial! Aku selalu mati!" teriak si gendut membanting kartu domino yang berada di tangannya ke atas meja.
"Tentu saja karena kau belum mandi!" ledek si kurus sambil memonyongkan bibirnya.
Melihat bibir si kurus yang monyong, kontan saja teman-temannya tertawa terbahakbahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu, ia tertawa terpingkal-pingkal sehingga hampir saja gelas berisi kopi yang dibawanya hampir tumpah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka dan ia kembali menikmati teh tubruknya.
Sementara itu dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berjalan memanggul sebuah peti yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu jati mendekati warung tersebut. Peti yang dibawanya kelihatan sangat berat, tetapi ia tenang saja berjalan seperti membawa peti kertas yang berisi kapas.
Dengan lirikan matanya, Parmin dapat melihat gerak langkah pemuda itu sangat ringan tanpa menimbulkan suara!
Orang itu masih sangat muda. Hanya saja ia kelihatan tua karena tubuhnya kotor tak teru- rus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sebuah golok panjang terselip di pinggangnya. Kain sarung menyilang di dadanya yang bidang. Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain yang menyilang didadanya. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan matanya begitu kosong seperti orang yang dilanda kesedihan dan putus asa.
Parmin agak terkejut ketika ia melihat dengan lirikan mata bagaimana cara orang itu berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Pasti ia memiliki tenaga dalam yang tinggi dan menguasai ilmu silat yang tinggi pula.
Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak di depan warung kopi.
"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin segelas!!" katanya dengan lirih kepada pemilik warung itu.
Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah pohon yang terletak didepan warung tersebut. Ia lalu menaruh peti yang dipanggulnya ke atas tanah dan ia sendiri duduk seenaknya di bawah pohon yang teduh itu.
Selang beberapa saat kemudian terdengar ia mengoceh sendirian dengan suara yang lirih sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai sesuatu yang sangat disayanginya dan perkataannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu itu.
"Kita beristirahat dulu ya, sayang? Kita haus sekali, bukan? Bersabarlah sedikit, aku se- dang memesan segelas air putih. Sepanjang hari ini tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" katanya dengan penuh kelembutan dan matanya seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu.
Parmin memperhatikan semua itu. Di hatinya terbersit rasa iba terhadap pemuda itu.
"Siapakah orang itu, pak? Barangkali bapak kenal?" tanya Parmin.
"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum anak muda yang miring otaknya itu!" kata pemilik warung sambil menuangkan air putih dalam teko ke dalam gelas. Kemudian ia berjalan meninggalkan warungnya dan Parmin yang sedang makan kue serabi menghampiri anak muda itu.
Beberapa orang anak kecil bertelanjang baju datang mendekati pemuda itu sambil berolokolok.
"Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk.....
Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek! Weeeeee.....!" teriak salah seorang anak yang bertubuh kurus sambil menjulur-julurkan lidahnya ke arah pemuda lusuh yang sedang beristirahat itu.
Seorang anak kecil yang berkopiah membungkukkan tubuhnya memperhatikan peti kayu yang terletak disebelahnya.
"Apa isi peti itu, hai orang gila? Boleh kutukar dengan singkong bakar?"
Tapi ia nampak tenang saja seraya tersenyum-senyum tanpa menghiraukan ocehan anakanak nakal itu. Seorang anak kecil berkepala botak berdiri di belakang pemuda gila itu sambil memperhatikan semua yang ada pada dirinya.
"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pedangnya. Buat apa, ya? Idiiiiiiih....!" seru anak itu takut kepada teman-temannya dan ia menyembunyikan dirinya di balik pohon.
"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek yang satunya sambil terus menjulur-julurkan lidahnya.
Pemuda itu kembali tersenyum.
Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya si pemilik warung yang membawa segelas air putih.
"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi semua! Jangan ganggu dia, ayo! Nanti kalau dia marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut menakut-nakuti mereka. Anak-anak itu kemudian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari tempat bermain yang lain.
"Ini air yang kau minta. Jika kau masih haus nanti boleh tambah lagi!"
Pemilik warung itu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelas yang dipegangnya kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan golok berkelebat menyambar dan gelas tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan menumpahkan air yang berada di dalamnya.
Ketika pemilik warung itu menoleh ke belakang ia terperanjat melihat empat orang pendekar yang bertubuh kekar dan berwajah bengis te- lah berdiri di situ. Tanpa banyak bicara lagi ia segera mundur beberapa langkah dan berlari menuju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan. Ia membayangkan peristiwa keji bakal terjadi.
"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini ternyata masih ada di dunia! Aku telah lama mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seorang di antara mereka sambil menyarungkan goloknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya menaruh rasa dendam terhadap pemuda lusuh itu. Di antara mereka agaknya ada persoalan yang belum terselesaikan.
Si Gila hanya tersenyum menatap orang di depannya.
"He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di situ!!" teriak orang itu marah melihat calon korbannya tak merasa gentar sedikitpun disusul sebuah tendangan ke wajah pemuda.
Tetapi apa yang terjadi? Seketika terdengar suara kaki yang beradu keras dengan batang pohon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di tempatnya. Begitu gesit gerakannya, hingga tahutahu ia sudah berdiri di belakang mereka, tanpa mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu berkelebat.
Keempat pendekar itu memandang Si Gila setengah heran dan kaget bukan main. Sementara pemuda itu berdiri tegak memandang mereka dengan sinar mata yang menyala-nyala.
"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anjing kurap!! Karena aku lemah dan aku bodoh! Te- tapi sekarang jangan coba-coba menganggap remeh orang yang kelihatan lemah!" katanya dengan lantang.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si Gila kepada mereka, keempat pendekar itu seketika menjadi marah bukan main. Agaknya perkataan itu merupakan suatu tantangan bagi mereka.
Sekilas wajah mereka merah padam. "Bangsat!" teriak pemimpin mereka dengan
gigi yang gemeretuk.
Kemudian keempat pendekar itu segera mengurung Si Gila dengan cepat dari segala arah. Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan golok yang terhunus. Sedangkan pendekar yang berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante bandulnya sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru seperti angin puyuh. Tetapi Si Gila tetap berdiri tak bergeming. Sinar matanya yang tajam siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan pernah puas kalau belum memusnahkan bangsat ini! Dialah orang yang menghancurkan semua harapanku!" teriak seseorang diantara mereka yang bernama Badar dan menjadi pemimpin dari ketiga orang pendekar lainnya.
Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun bersikap siap siaga.
"Karena kaulah semua rencanaku menjadi gagal! Kau tikus laknat yang telah mengacaukan hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!" serunya sambil menyilangkan goloknya ke depan siap menyerang. Suaranya menggeram membentuk raungan akibat dari luapan rasa dendam yang begitu besar memenuhi dadanya terhadap lawan yang sudah sekian lama dilacak dan diburunya dari kampung ke kampung.
Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengahtengah kepungan mereka. Angin bertiup menerpa rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagahnya dia! Wajahnya yang masih belia itu dihiasi bulu-bulu halus yang meremang di atas bibir dan dagunya.
Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia menjelma menjadi seorang pendekar tangguh yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pemuda yang tidak waras.
"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela kuterima. Semua telah selesai, Badar! Walaupun hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pantang bagiku! Tak ada gunanya dan tak akan merubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kembali!" katanya lirih.
"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah kuterima semua penghinaanmu, karena aku memang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hina-dina. Biarlah aku berlalu membawa duka hatiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh keikhlasan dan kerendahan diri itu justru membuat hati Badar seperti tersundut api. "Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahukah kau? Aku tidak akan bisa hidup tenang jika golokku ini belum bermandikan darahmu bangsat...!!" teriak Badar dengan napas yang memburu.
Sementara itu mendengar ribut-ribut di luar, orang-orang yang berada dalam warung itupun segera berhamburan keluar untuk menyaksikan perkelahian tersebut. Mereka rela meninggalkan permainan dominonya yang asyik. Demikian juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan meninggalkan bangku tempat duduknya beberapa langkah ke depan untuk menyaksikan perkelahian itu lebih dekat. Entah mengapa nalurinya menyatakan simpati kepada pemuda yang dijuluki Si Gila dari Muara Bondet itu.
"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang sering luntang-lantung di desa ini? Si Gila dari Muara Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusuhinya?" tanya salah seorang yang berada didepan warung kepada teman-temannya sambil bersandar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi rupanya tiang itu sudah rapuh ikatannya dan ia terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.
Segera Badar mengisyaratkan kepada kawan-kawannya agar serempak menyerang! Dengan satu teriakan yang keras dan panjang, keempat pendekar itu terbang berbarengan menyerang Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
"Sikaaaaaaaaaat!!"
"Oh, kalian mencari mati? Maaf, ini bukan salahku!" gumam Si Gila di sela teriakan keempat pendekar itu.
Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan lincahnya menghindari serangan senjata rantai bandul itu.
Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut pedang dari sarungnya membabat perut dari dua orang penyerang itu dengan satu gerakan yang tak terduga. Kedua orang itu memekik keras dan langsung roboh ke tanah dengan isi perut yang berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat ke atas menghindari serangan rante bandul si botak yang selalu mengikuti kemana tubuhnya bergerak.
Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di atas tanah, kembali rante bandul itu menyongsongnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera melesat kearah Badar yang sedang mengibasngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan satu sabetan yang cepat Si Gila menembus pertahanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar memekik tertahan. Dari lehernya yang hampir putus menyembur darah segar ke segala penjuru dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang disembelih kemudian diam tak berkutik untuk selama-lamanya.
Melihat teman-temannya tewas secara mengerikan ditangan Si Gila, si botak menjadi kalap bukan main. Ia memutar-mutarkan senjatanya menyerang Si Gila secara membabi buta, udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas akibat desingan yang ditimbulkan oleh rante bandulnya yang membelah udara dengan disertai tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa mengalahkan tiga orang murid dari perguruan silat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan aku si rante bandul! Terimalah seranganku, hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya meluncurkan senjatanya ke arah Si Gila dengan cepat.
Si Gila melesat menghindari senjata si botak yang seolah-olah mempunyai mata. Tetapi terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai tempat kosong alias terkena angin belaka tanpa dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon kecil banyak yang tumbang akibat terkena hantaman senjata aneh dan mengerikan itu.
Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara menghindari gempuran senjata si botak. Begitu ringan ia melakukan gerakan itu bagaikan segumpal kapas yang melayang. Namun sejauh itu ia belum dapat membalas serangan.
Sementara itu Parmin memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan seksama dan perasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang setingkat berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.
"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi aku berani bertaruh bahwa Si Gila akan bisa menyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"
Pertarungan itu sudah berlangsung cukup lama dan menelan puluhan jurus silat. Mereka mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si botak ternyata mulai kelihatan kewalahan menghadapi serangan balasan yang dilancarkan Si Gila. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan serangan, si botak mengeluarkan jurus andalannya membentuk lingkaran yang melindungi dirinya dari sambaran pedang Si Gila. Putaran rante bandul demikian cepatnya, sehingga dari jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya yang membungkus seluruh tubuhnya bagaikan sebuah selimut logam yang begitu ketat membentengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teriakan histeris, Si Gila berhasil menyusup ke dalam desingan rante bandul si botak dan membabatkan pedangnya membobol perut lawannya.
Si botak memekik keras. Perutnya berhamburan darah segar dan isi yang berada didalamnya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak berdiri memegang senjatanya dengan gigi yang gemeretak menahan sakit yang teramat hebat. Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia meloncat kembali menyerang Si Gila yang sudah siap dengan jurus barunya menyambut si botak. Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak ambruk seperti sebuah nangka busuk yang jatuh ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila, tewas menyusul teman-temannya.
Si Gila menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya.
Semua mata melotot kagum! Betapa tidak, orang yang kelihatan lemah, berotak miring dan menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia adalah seorang jago silat yang luar biasa. Hanya Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam warung itu diam tak bergeming menyaksikan seluruh kejadian itu dimana Si Gila dalam sekejap mata menghabisi musuh-musuhnya.
"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila itu? Mungkin jarang ada seorang jago silat seperti dia!" desis Parmin kagum.
Si Gila memandangi mayat keempat pendekar itu dengan perasaan menyesal. Wajahnya tertunduk dan suaranya terdengar parau.
"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja membandel? Selamat tidur kawan-kawan yang malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil membalikkan tubuh menuju pohon rindang itu. Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di samping peti kayu jati yang selama ini selalu dibawanya kemana pergi.
Dari balik semak-semak keluarlah suara kagum bercampur takut dari anak-anak kecil yang tadi memperolok-olok Si Gila.
"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang seperti membabat rumput saja! Hiiii!" teriak salah seorang anak yang bertubuh gendut sambil menyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan pohon.
Jari-jari tangannya menutup muka, sementara tanah di bawah kedua kakinya banjir oleh air kencingnya sendiri.
"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu gemetaran. Mereka bergerombol seperti anakanak tikus yang saling berpelukan karena takut melihat seekor kucing.
Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu dan dengan tenang memanggulnya ke atas pundak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.
Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu terhadap dirinya.
"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang? Rupanya kau mendapat firasat buruk bahwa kita akan bertemu dengan orang yang membenci kita!" katanya lirih berbisik kepada peti itu.
Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia sedang mendengarkan sesuatu dari dalam peti kayu itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang mendengarkan orang lain bicara dari dalamnya.
"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat yang tenang, bukan? Di mana-mana selalu saja ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersungut-sungut dan kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan meneruskan perjalanannya entah kemana. Peluh membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan tadi.
Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi di balik semak-semak, segera lari tungganglanggang melihat Si Gila berjalan menuju dekat persembunyian mereka.
"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau tidak cepat lari...!!" teriak mereka semrawut sam- bil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan. Salah seorang dari mereka melorot celananya ketika berlari, sehingga ia menjadi repot sambil berusaha memegangi celananya terus mempercepat langkahnya menerobos kebun jagung yang berada didepannya. Berkali-kali ia terjatuh.
Si Gila tersenyum melihatnya.
Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggiran belukar kian jauh meninggalkan perkampungan itu.
Sementara itu Parmin segera membayar minuman dan makanan tanpa menghiraukan si pemilik warung yang tegak mematung karena masih terhanyut dalam peristiwa yang baru saja dilihatnya.
Ketika ia tersadar, segera ia memberikan uang kembalian tetapi Parmin sudah lebih dulu melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik warung itu hanya menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu dengan seorang pembeli yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangan seperti asap.
Parmin mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung bersembunyi di balik sebuah pohon sambil terus memperhatikan Si Gila dengan cermat. Ia berusaha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan pemuda aneh itu.
Sementara Si Gila melangkahkan kakinya dengan tenang. Kepalanya menunduk lesu. Dari mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang sangat disayanginya. Kadang-kadang ia tersenyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan menuju arah selatan.
Dia terus berjalan dan terus berjalan.....
Seakan-akan tak peduli walau sampai ke ujung dunia sekalipun.
***
Parmin berjalan mengendap-endap di balik semak-semak terus membayangi Si Gila dari jauh. Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda itu.
"Aku harus tahu siapakah pemuda itu sebenarnya? Aku harus hati-hati membuntutinya jangan sampai ketahuan!"
Tak terasa mereka telah jauh menyusup kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin. Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak dedaunan terdengar begitu merdu di telinga seperti merdunya irama kehidupan. Burung-burung berkicau dan berlompatan kesana-kemari menambah indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.
Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin karena matanya terus mengawasi gerak-gerik Si Gila.
Dalam hatinya ia bertanya.
"Apakah isi peti yang dibawanya itu? Dan mau dibawa kemana peti itu? Dia manusia yang luar biasa pertama kujumpai!"
Tiba-tiba suara kicauan burung-burung diatas dahan pohon berhenti, seolah-olah mereka mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu menjadi begitu sunyi. Hanya suara derit pohon bambu yang bergesekan dan riak-riak ranting pohon yang tertiup angin mewakili detak jantung dan urat nadi. Sunyi mencekam.
Parmin merasakan suatu firasat buruk yang akan terjadi di hutan ini. Ia segera memusatkan panca inderanya memantau seluruh keadaan hutan ini.
Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia memusatkan pikirannya terhadap isyarat alam yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh kepada peti kayu yang dipanggulnya. Sekan-akan ia membisikkan suasana yang ia rasakan kepada seseorang di dalamnya.
Tiba-tiba berkelebat sebuah benda meluncur secepat kilat membelah dan menyambar ke arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memukau ia meloncat menghindari serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan lincahnya seperti tak membawa apa-apa di atas pundaknya.
Benda gelap itu tak mengenai sasarannya, dan menancap pada batang pohon di dekatnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi. Kapak itu hampir seluruhnya menancap ke dalam batang pohon. Berarti orang yang melemparkan senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang he- bat. Bayangkan kalau saja kapak itu mengenai tubuh Si Gila!
Dari balik semak-semak melompat sesosok tubuh tinggi besar dengan brewok yang menghiasi wajahnya tertawa terbahak-bahak. Ia tegak berdiri menghadang Si Gila sambil memegang sebuah kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya memakai ikat dari kulit ular. Kedua kakinya mantap berpijak di atas tanah.
"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu, serahkan peti itu kepadaku! Tentu di dalamnya berisi emas atau perhiasan berharga yang kau curi dari orang-orang Kumpeni Belanda! Cepat!!" teriak laki-laki itu dengan keras. Suaranya membuat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ketakutan.
Si Gila memasang kuda-kudanya dengan sigap menjaga kalau-kalau ada serangan mendadak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu bermaksud merampas peti yang disayanginya, maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di bawah pohon dan ia mencabut pedangnya membuka jurus untuk meladeni laki-laki bertampang angker itu.
"Tapi bila kau membandel, ketahuilah bahwa sepasang kapak mautku siap membikin tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar sepasang kapak maut itu dengan pasti kepada Si Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari nafsu membunuhnya yang meluap-luap. Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati daerah sekitar sungai bondet, karena disitu bercokol seorang begal yang berilmu tinggi dan sangat ganas.
Si Gila marah mendengar ancaman begal
itu.
"Peti ini sama harganya dengan nyawaku!
Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau harus melangkahi mayatku dahulu!" sahut Si Gila mengibaskan pedangnya.
Merasa ditantang begitu si begal brewok menjadi marah bukan kepalang.
"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya baiklah aku tidak usah lama-lama lagi berbicara. Sekarang yang penting terimalah seranganku ini. Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar merangsak Si Gila. Kapak besinya berputar-putar mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si Gila berkelit kian-kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai suatu saat ia meloncat melewati kepala si begal dan mendarat di belakangnya. Ternyata si begal sengaja mendesak Si Gila agar dapat mengambil kapak besi satunya lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat ketika Si Gila melesat ke belakang melewatinya dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut dan mencabutnya.
Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan sepasang kampak maut itu menghantam pohon besar itu. "Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejoli kapak mautku ini dan sudah berpuluh-puluh nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!! Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali menyerang Si Gila dengan cepat.
Parmin mengawasi pertarungan itu dari balik sebuah pohon yang besar. Diameter pohon itu menelan sosok tubuhnya dari pandangan orang lain.
"Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat! Sepasang senjata silat yang berbahaya! Aku sangsi apakah Si Gila mampu mengalahkannya. Aku membantu Si Gila bilamana perlu! Aku tak boleh membiarkan begal itu melukainya!" gumam Parmin.
Wajahnya cemas menyaksikan pertarungan tersebut. Ia merasa dirinya berada pada posisi Si Gila dari Muara Bondet.
"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada keunggulan sedikit pada si begal. Ia bertenaga besar dan menggunakan dua buah senjata! Sedangkan Si Gila telah kehabisan tenaga sehabis bertarung dengan keempat pendekar di kampung itu, walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat dan aneh! Tetapi sepasang kapak itu sepertinya menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis Parmin.
Pertarungan itu telah berlangsung berpuluh-puluh jurus. Keduanya saling melancarkan serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua senjata yang terbuat dari logam itu antara kapak si begal dengan golok panjang milik Si Gila terdengar nyaring membelah udara dan menimbulkan bunga-bunga api. Si begal meliuk-liukkan kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si Gila. Ia semakin gencar melancarkan serangannya ketika Si Gila mulai terlihat melemah. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari otot-otot tubuhnya yang kencang menegang dan kulit wajahnya yang semakin memerah beringas.
Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila masih sempat membalas serangan. Dalam suatu kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya merobek baju si begal. Melihat bajunya terkena babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan jurus andalannya dengan memutar-mutarkan kapaknya mencerca tubuh Si Gila dari atas sampai ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang sangat cepat dan secara bersamaan.
Benar-benar pengerahan tenaga dalam yang berlipat ganda. Si Gila tampak kepayahan menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai kelelahan.
Tak lama kemudian terdengar satu teriakan yang keras, dan kapak si begal merobek dada Si Gila tanpa ampun. Darah mengucur deras dari luka yang menganga di dadanya akibat serangan pada jurus kesepuluh dari rangkaian jurus maut si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang meringis kesakitan sambil mendekap dadanya.
"Mampus kau setan alas! Sekarang terimalah ajalmu...!" teriak si begal sambil meloncat ke atas seperti burung elang yang akan menyambar mangsanya dengan kapak besi yang siap membelah kepala Si Gila.
Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari persembunyiannya.
"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus cepat bertindak...!" Parmin melihat saat-saat kritis itu. Maka dengan satu sentakan yang kuat Parmin melesat menyambar kapak besi yang dipegang si begal hingga terpental sebelum menghantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok tak berdaya.
"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak besinya meluncur jauh hilang dibalik semak-semak. Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang pemuda.
Parmin berpijak diatas dengan ringannya dan pasang kuda-kuda siap menghadapi si begal yang masih terkejut.
"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Menyerang secara sembunyi-sembunyi! Apa hubunganmu dengan gembel yang hampir mampus ini? Apakah kau juga menginginkan isi peti kayu itu?" bentak si begal dengan lantang. Napasnya ngosngosan dengan urat leher menyembul keluar. Sepasang matanya merah seperti saga, sedangkan butir-butir keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya yang sebagian tertutup ikat kepala.
"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah lawanmu yang sebenarnya!" seru Parmin menatap si begal dengan pandangan yang menantang. Sementara Si Gila mengangkat kepalanya sebentar memperhatikan dengan pandangan yang penuh tanda tanya mencoba menerka siapa gerangan orang yang tiba-tiba muncul dan membela dirinya? Tangan kirinya tetap memegangi dadanya yang terus-menerus mengeluarkan darah, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat pedangnya yang digunakan untuk menyanggah tubuhnya yang semakin melemah. Ia perlahanlahan beringsut menggerakkan langkahnya yang terseok-seok menjauhi pertarungan menuju peti kayu miliknya.
Tantangan Parmin membuat darah si begal mendidih naik ke ubun-ubunnya dan biji mata yang sudah merah semakin membara.
"Coba katakan namamu, anak muda! Sebelum kepalamu yang besar itu menggelinding kubabat dengan kapakku!!" bentak si begal.
"Aku adalah pembela kaum yang lemah tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut Parmin seenaknya. Si begal menggeram merasa tersinggung mendengar perkataan Parmin yang bernada ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia mendengus sengit seraya merangsak Parmin dengan bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher Parmin dan kapak besi yang dipegangnya mengarah ke perutnya. Serangan itu sangat cepat dan tak terduga. Parmin melejit ke atas berkelebat menghindari serudukan si begal yang sangat berbahaya itu dan pada saat yang sama ia mengirimkan tendangan ke bahu si begal sehingga terjungkal be- berapa tombak ke belakang. Dengan sigap si begal kembali berdiri langsung membuka jurus baru.
"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih tinggi dari gembel itu! Siapa gurumu, hei? Rasarasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si begal merentangkan tangannya sebagai tanda untuk memberi kesempatan bicara kepada lawannya sekaligus mencari kemungkinan untuk menyerang lagi.
"Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan kau? Kata guruku dulu kau hampir mampus ketika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya kau belum kapok juga!" sambut Parmin dibarengi dengan gerakan tangannya membentuk jurus baru. Kaki kirinya agak menekuk dan kaki kanannya diayunkan ke depan berpijak dengan mantap di atas tanah.
Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru lawannya, si begal tertawa terbahak-bahak sekuat tenaga hingga merontokkan daun-daun kering disekitar tempat itu. Dan Si Gila yang sedang duduk terkulai segera mengatur napasnya ketika suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.
"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku ingat!" seru si begal terbahak tapi lantas wajahnya segera berubah bengis dan seram. Matanya berpijar mencerminkan dendam yang membusuk dalam dadanya.
"Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan? Kini suruh gurumu datang melawan aku kembali. Pasti akan kutebus kekalahanku dulu!" "Mulutmu terlalu besar, begal! Hadapi saja muridnya dulu..." ejek Parmin dengan senyum sinis sengaja membangkitkan amarah lawannya.
Begal seketika mendengus keras. Wajahnya merah tembaga. Ia merasa diremehkan oleh pemuda ingusan dihadapannya.
"Bangsaaaaaaat!!"
Ia segera menghujamkan kapaknya mendesak Parmin dengan napas yang bergemuruh ke perut lawannya. Tangan kanannya menyabet celah-celah paha Parmin seperti seekor babi hutan yang menyeruduk mangsanya. Parmin melesat sambil membabatkan goloknya membelah dada si begal dengan sekuat tenaga dan secepat kilat tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin kemudian salto di udara dengan gerakan yang sangat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah begitu ringan, berdiri tegak seraya memasukkan golok kembali ke sarungnya.
Sementara itu si begal memekik keras dalam posisi membelakangi Parmin. Darah lukanya menetes jatuh ke tanah membasahi rumputrumput di ujung kakinya. Tubuhnya bergetar hebat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di sekitarnya ikut bergetar menahan guncangan yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar menggeros seperti seekor kerbau yang sedang sekarat. Kemudian beku tak berkutik lagi.
Maka tamatlah riwayat seorang begal yang ganas dan sangat kejam yang menjadi momok ba- gi orang-orang yang melewati daerah Celancang dan daerah sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kematian begal brewok adalah termasuk suatu rangkaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya Ki Sapu Angin.
Parmin menarik napas panjang.
"Dosamu sebagai begal sudah terlalu banyak dan golokku hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!" gumam Parmin menatap mayat si begal yang berkubang darah dengan hati lega.
Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh yang lunglai menatap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai meredup dan wajahnya terlihat pucat pasi karena banyak mengeluarkan darah dari luka didadanya yang menganga.
Parmin segera menghampiri Si Gila yang mulai kepayahan itu.
Si Gila mengangkat wajahnya.
"Aku tak bisa membalas apa-apa untukmu!" desahnya pelan.
Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya membuka baju pemuda itu perlahan-lahan untuk melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gila meringis kesakitan karena secara tak sengaja bajunya yang dibuka Parmin bergesekan dengan lukanya.
"Aku hanya menunaikan kewajibanku terhadap sesama manusia. Kau adalah orang yang baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu dalam dan tidak sampai melukai jantungmu, tetapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang putus!" kata Parmin sambil meletakkan baju Si Gila di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin mengerti apa yang hendak disampaikan Si Gila melalui sorot matanya yang sayu.
Parmin bergegas ke dalam hutan untuk mencari tanaman sebagai bahan ramuan obat yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya dan sebagai seorang jago silat ia mempunyai ilmu pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Parmin menemukan tanaman itu.
"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu dicampur sedikit air, dan luka Si Gila pasti bisa kering dalam tempo singkat!" gumamnya sambil memetik daun-daun itu secukupnya. Lalu ia bergegas ke sungai untuk mengambil air. Daun talas hutan dipergunakan untuk menampung air sungai dan ia segera menemui Si Gila yang masih duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu. Parmin menumbuk daun-daun yang sudah dicampur dengan air itu di atas sebuah batu. Dalam beberapa saat ramuan tersebut telah siap dipakai. Kemudian Parmin melumuri dan menutup luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu seluruhnya.
Ia merawat Si Gila dengan cermat dan pe- nuh rasa kasih sayang sebagai sahabat.
"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah bersandar di bawah pohon ini. Mudah-mudahan besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh. Daun-daun ini sangat mujarab untuk mengobati luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil memborehi luka itu dengan lembut.
Si Gila hanya diam saja.
Ia memandang jauh menembus dalam hutan. Sinar matanya agak ceria. Sebentar-sebentar matanya melirik peti kayu jati yang terletak di sebelahnya.
Sinar matahari mulai meninggalkan bumi. Cahayanya yang keemasan tampak berkilauan di ufuk barat menyongsong sang rembulan yang tersenyum menyembul ke bumi. Burung-burung sudah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya masing-masing. Hanya serangga-serangga malam yang begitu gembira menyambut datangnya malam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan sehingga menimbulkan suara berirama seperti senandung musik malam hari.
***
Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh bercucuran di seluruh wajahnya yang tampan. Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju sungai untuk mengambil air wudhu menunaikan khodo sholat maghrib yang disambung dengan sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang ba- ru saja berlalu telah menelan waktu cukup panjang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam hutan menemani Si Gila. Selesai melakukan sholat Parmin melipat kain sarung yang digunakan sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua yang dilakukan Parmin sambil bertanya-tanya dalam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan untuk apa orang itu begitu patuh melakukan sholat lima waktu?
Malampun tiba. Bulan mengambang di angkasa yang kelabu. Angin bertiup sepoi-sepoi. Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang kekasih. Bisu dalam kenikmatan. Kumandang burung hantu menambah suasana malam itu menjadi kian beku. Perasaan itu menghantui kedua pendekar muda itu.
Parmin duduk dibawah pohon menatap indahnya bulan purnama. Ia teringat kepada Roijah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya ingin melantunkan lagu kiser kesayangannya. Ia mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya. Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang mendayu-dayu. Rasa rindunya kepada Roijah yang datang merasuk kalbunya membuat irama seruling yang dialunkan Parmin betul-betul meresap ke dalam hati setiap orang yang mendengarkannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dimabuk asmara. Parmin tidak mengetahui bahwa lagu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah tiada. Tak terasa air mata meleleh membasahi ke- dua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran atap jatuh ke pelimbahan.
Parmin semakin tenggelam dalam senandung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa rindunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga semakin hanyut dalam kenangan masa lalunya yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit yang baru dialaminya sama sekali tak dirasakannya. Yang ada hanya kesedihan berkepanjangan dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya selama ini. Sebuah sisa hidup yang tak berarti lagi baginya.
Parmin sempat melirikkan matanya ke arah Si Gila. Ia dapat merasakan kesedihan yang sedang dirundungnya. Seketika serulingnya berhenti dan Parmin segera melompat berdiri tersentak tatkala terdengar olehnya isak tangis Si Gila yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya. Lalu ia menghampiri Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik kedua kakinya yang menekuk menghimpit kepalanya.
"U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau biarkan mati saja di tangan begal itu?" ratapnya penuh penyesalan.
"Kadang-kadang aku merindukan kematian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya tersendat-sendat sambil mengangkat kepalanya menengadah ke atas seakan-akan mengadu pada sang rembulan. Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya diam membisu. Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di sebelahnya. Ia merasa berdosa telah membuat Si Gila larut dalam masa lalunya akibat irama seruling yang dimainkannya.
Si Gila memalingkan wajahnya ketika dirasakan Parmin duduk di sebelahnya.
"Oh, untuk apakah aku hidup? Aku tak ingin hidup lagi!" desahnya lirih. Seluruh wajahnya basah oleh keringat dingin dan deraian air mata.
Parmin memegang bahu Si Gila. "Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceri-
takan apa yang telah jadi beban pikiranmu? Ceritakanlah!" pinta Parmin berharap dapat meringankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.
Si Gila kembali menatap begitu sedihnya sambil menelungkupkan dirinya di atas peti kayu jati yang dibawanya. Air mata membasahi peti itu. Parmin hanya bisa memandangi punggung Si Gila dengan perasaan iba dan turut berduka. Ia melihat betapa masalah asmara merupakan segalagalanya bagi kehidupan orang muda seusia Si Gila dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah sifat gagah seorang jago silat.
Si Gila begitu melankolis, cengeng dan ra-
puh!
"Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah,
sayangku? Mengapa hidup ini cuma sebagai mimpi? Lenyap begitu saja seperti dipupus oleh angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang telah tiada dan ia mengadu pada isi peti kayu itu seperti berdialog langsung dengan orang yang di- cintainya.
Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa.
Lalu ia menghela napas dan berlalu meninggalkan Si Gila yang masih meratap.
"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya itu satu-satunya jalan yang terbaik. Dia tadi menyebut-nyebut nama seorang wanita? Aku harus mengetahui rahasia apa yang menyelubungi dirinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang yang hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Ia sebenarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh tetapi di saat ini tidak mungkin untuk menanyakan hal itu kepadanya.
"Biarlah ia menumpahkan segala perasaannya!" desah Parmin seraya berjalan mencari tempat untuk memejamkan matanya yang mulai diserang kantuk.
Dan malam semakin larut. Bulan dengan setia menyinari alam seluruhnya dan malam itu kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput beratap langit dibuai oleh nyanyian seranggaserangga malam.
Karena lelah menempuh perjalanan sehari suntuk Parmin akhirnya tertidur juga. Tetapi sebagai seorang jago silat nalurinya tetap bekerja memantau daerah sekitar hutan itu menjaga kemungkinan yang dapat saja terjadi mengancam jiwa mereka berdua.
Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan sering mengigau dalam tidurnya.
"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluknya. Apakah takut dicuri orang? Apakah di dalamnya berisi emas permata seperti kata si begal tempo hari, atau...apa?" Parmin bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak tahan lagi melawan rasa kantuk yang kembali menghantui dirinya. Tak lama kemudian Parmin dapat memejamkan matanya dan tertidur lelap.
Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk terpaku menatap sang rembulan yang seolaholah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya menerawang. Dan malam terus berputar seiring detak jantungnya mengikuti perjalanan sang waktu.
***
Pagi-pagi sekali Parmin bangun. Setelah melakukan sholat subuh, dengan diam-diam ia pergi mencari makanan ke kampung terdekat atau mencari bahan makanan apa saja yang dapat ditemuinya dalam hutan itu. Parmin berjalan menembus hutan berselimut kain sarungnya untuk berlindung dari hawa dingin yang menusuk.
Udara pagi itu terasa menggigit tulang sumsumnya. Sepanjang jalan Parmin terhibur oleh kicauan burung-burung melantunkan irama ceria menyambut datangnya sang mentari. Ia tersenyum sendiri melihat seekor burung yang sedang belajar terbang di salah satu cabang pohon. Berkali-kali ia terpeleset dari ranting pohon dalam perjuangannya agar dapat terbang lebih jauh.
"Paling cepat setengah jam aku baru menemukan pinggiran kampung karena hutan ini ternyata tak ditumbuhi pohon buah-buahan untuk bisa dimakan. Kasihan Si Gila! Tentu ia sangat lapar akibat perkelahian sengit dan begadang hampir semalam suntuk!" gumam Parmin terus melangkahkan kakinya menelusuri hutan.
Tak lama ia berjalan sampailah dipinggir hutan. Terlihat sebuah rumah penduduk beratapkan rumbia. Parmin segera menghampiri seorang nenek-nenek yang sedang mengikat kayu bakarnya diteras pondok itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Parmin menyapa nenek-nenek itu.
"Assalamualaikum...!" salam Parmin sambil melipat kain sarungnya dan disampirkan diatas bahu.
Mendengar ada seseorang yang memberi salam kepadanya si nenek menoleh ke asal suara itu.
"Waalaikum salam...!" jawabnya tertahan. Ia heran melihat seorang pemuda tiba-tiba berdiri di dekatnya pagi-pagi begini. "Ada apa anak muda?" Parmin tersenyum menatap nenek-nenek itu. "Maaf nek mengganggu! Bolehkah aku min-
ta makanan apa saja sekedar untuk sarapan?" tanya Parmin sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada orang tua itu.
"Oh! Ada nak! Silakan masuk!" sahutnya meninggalkan pekerjaannya menuju ke dalam gubuknya. Langkahnya tertatih-tatih dengan tulang punggung yang sudah melengkung.
Parmin mengikuti langkah nenek-nenek itu masuk ke dalam. Ia kemudian tanpa sungkansungkan menceritakan dirinya dan sekaligus mengutarakan maksud kedatangannya kemari. Nenek itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya bergegas ke dalam dapur untuk mengambil segala yang dibutuhkan Parmin. Setelah selesai, Parmin segera mohon diri dan sangat berterima kasih kepada nenek itu untuk kembali ke dalam hutan menemui Si Gila yang mungkin telah bangun.
Matahari mulai menampakkan cahayanya menerangi hutan dan alam sekitarnya. Kokok ayam hutan bersahut-sahutan menyongsong terangnya hari.
Dilihatnya Si Gila sedang termangu-mangu dan masih merenung di sebelah peti kayu jati itu.
"Lagi-lagi peti kayu itu!" desah Parmin seraya menghampiri Si Gila.
"Maaf, aku tadi meninggalkan anda sebentar. Tampaknya anda sudah mulai sehat?" tanya Parmin menyapa.
Si Gila menoleh. Wajahnya tampak mulai ceria. Tetapi matanya terlihat sembab akibat menangis semalaman. Namun ia mencoba untuk tersenyum kepada kawan barunya yang telah menolongnya itu. Parmin duduk bersila disebelah Si Gila yang masih saja diam membisu. Lalu Parmin memeriksa luka pemuda itu dengan cermat dan luka yang diderita Si Gila sudah kering. Ternyata telah terbukti betapa mujarabnya ramuan obat itu. Perubahan pada luka itu terjadi begitu cepat dan membuat wajah Si Gila mulai terlihat segar. Matanya bercahaya dan ia mulai mendapatkan rasa percaya terhadap dirinya.
"Mari kita makan!" Parmin membuka nasi yang terbungkus daun jati pemberian neneknenek tadi.
"Nasi bungkus ini masih hangat, sangat cocok untuk pagi yang dingin seperti ini!" katanya sambil menyerahkan sebungkus nasi pada Si Gila dan ia menerimanya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ia lebih banyak bercerita melalui sinar ma- tanya.
Parmin mengerti dan memakluminya. "Banyak-banyaklah anda makan, agar ke- sehatan anda cepat pulih kembali!" ujar Parmin sambil menyuap nasi yang masih berasap itu kedalam mulutnya. Ia teringat, nenek itu menolak uang pemberiannya sebagai imbalan.
***
Melihat Parmin mulai makan, Si Gila tanpa malu-malu turut menyuapkan nasi kedalam mulutnya. Dikunyahnya pelan-pelan meyakinkan diri betapa pulen nasi itu dan betapa gurih rasa ikan asin. Kemudian barulah ia menyantapnya dengan lahap.
"Anda begitu baik kepadaku yang hinadina ini. Apa yang harus kulakukan untuk membalas budi anda?" tanya Si Gila sambil mengunyah nasi yang berada dalam mulutnya. Dalam sekejap nasi itu tinggal separuhnya.
Parmin agak terkejut mendengar Si Gila menyapanya. Sepertinya ia ingin berbagi rasa kepada orang yang baru dikenalnya dan sekaligus dipercaya olehnya.
"Terus terang, aku mengagumi ilmu pedang yang anda miliki dan kalau boleh aku ingin mengetahui siapa anda dan darimana anda berasal." tanya Parmin penuh harap.
Si Gila terdiam sejenak sambil menghabiskan nasinya hingga tak tersisa sebutirpun diatas daun jati itu.
"Ceritanya sangat panjang! Akupun merasa gembira bilamana anda mau mendengarkannya. Aku senang, bahwa di dunia ini masih kutemui orang yang peduli kepada gembel gelandangan seperti aku...!" sahut Si Gila mulai menceritakan asal muasal dirinya hingga memiliki ilmu pedang yang sangat dikagumi oleh Parmin.
Sedangkan Parmin mendengarkan Si Gila dengan penuh antusias seraya membenahi daundaun jati bekas ajang nasi yang kemudian di tumpuk jadi satu dan dilipatnya sebelum dibuang. ***
Lima tahun yang lalu...ya, lima tahun yang lalu... jauh agak ke hulu sungai bondet, terdapat sebuah desa yang bernama Ori Malang. Dinamakan demikian mungkin dahulu di sana banyak di tumbuhi pohon duri yang malang melintang atau bagaimana ia sendiri tidak tahu. Si Gila dari Muara Bondet itu mempunyai nama asli Karta berasal dari keluarga yang miskin. Sejak kecil ia sudah ditinggal ibu dan bapaknya. Ia seorang anak yatim-piatu. Ia dipungut oleh seorang juragan yang kaya di desa itu yang merasa kasihan padanya karena tidak mempunyai saudara satupun di desa itu. Ia sebatang kara. Juragan Benjar, demikian namanya, mengangkat Karta bukan sebagai anak, tetapi sebagai pesuruh. Kerjanya setiap hari adalah menggembalakan kerbau-kerbau milik juragannya. Pagi-pagi sekali ia menggembalakan kerbau-kerbau itu ke tempat yang banyak ditumbuhi rumput bila menjelang sore barulah ia pulang. Semuanya itu dilakukan sampai menjelang remaja dan sampai kerbau-kerbau juragannya berkembang biak semakin banyak jumlahnya. Karta sangat rajin dan cekatan dalam menjalankan pekerjaannya membuat hati juragan Benjar menjadi sangat senang.
Ketika menginjak masa remaja Karta jatuh cita kepada seorang dara yang cantik jelita. Namanya Nuraini. Wajahnya bundar bak bulan purnama. Alisnya hitam tebal. Rambutnya panjang sebatas pinggang dengan tubuh yang ramping menawan. Sinar matanya bening bagai air telaga. Ia adalah anak majikannya sendiri. Cinta itu dipupuknya sejak masih kecil. Mereka sering bertemu dan bercanda di pinggir sungai Jamblang apabila Karta sedang memandikan semua kerbaukerbau majikannya dan Nuraini mencuci pakaiannya di sungai. Mereka saling mengutarakan perasaannya masing-masing di bawah sebuah pohon waru yang tumbuh condong dipinggiran sungai Jamblang tempat mereka bermain. Tiada hari tanpa cinta, tiada hati tanpa kemesraan. Sungai Jamblang dan pohon waru itu merupakan saksi bisu dari hubung an asmara kedua remaja itu. Hal itu membuat Nuraini selalu pulang telat berjam-jam lamanya setelah selesai mencuci hingga juragan Benjar merasa curiga melihat anaknya selalu pulang terlambat yang kadangkadang membuat ayahnya merasa cemas. Tapi berkat kecerdikannya Nuraini dapat meyakinkan ayahnya dengan berbagai macam alasan sampai ayahnya tidak lagi mencurigainya. Karena bagi juragan Banjar apa yang dikatakan anaknya yang tercinta dan buah hatinya itu adalah benar.
Di pohon waru condong di tepi kali Jamblang itulah mereka sering bertemu dan memadu kasih.
Tetapi kisah percintaan keduanya mengalami suatu rintangan!
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di sungai, Nuraini melihat ayahnya sedang menerima tamu seorang yang sangat kaya dari desa lain. Tamu itu adalah seorang juragan tua dan anak laki-lakinya yang bertubuh tegap bernama Badar. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak lain dan tidak bukan untuk melamar dirinya.
Nuraini rupanya mendengarkan semua percakapan mereka dari balik gorden yang membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Mereka menjanjikan mas kawin yang sangat banyak dan mahal-mahal sehingga ayahnya langsung setuju dan menerima lamaran mereka hari itu juga.
Direncanakan hari perkawinan sesudah panen tahun depan. Saat itu juga Nuraini merasa sangat kecewa karena ayahnya tidak membicarakan dan minta pendapat semua itu kepadanya. Ayahnya begitu mudah memutuskan semua itu tanpa menanyakan kepadanya apakah ia suka atau tidak dengan calon suaminya. Yang jelas ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain kecuali Karta seorang! Kemudian ia berlari sambil menangis menuju kamar tidurnya dan mengunci diri. Hanya isak tangis saja yang ia curahkan sebagai tanda protes yang tidak tersampaikan.
Keesokan harinya seperti. biasa Karta menggembalakan kerbau-kerbau majikannya di sungai Jamblang. Ia duduk di atas punggung salah satu kerbaunya yang sedang mengunyah rumput dengan santai. Tiba-tiba ia melihat kekasihnya berjalan menggendong sebuah bakul berisi pakaian kotor dengan tangis yang terisak-isak menuju ke arahnya. Ia segera melompat dan berlari menghampiri Nuraini yang jatuh terkulai di pinggir sungai sambil menangis sesenggukan. Karta segera meraih bahu kekasihnya.
"Ain, kenapa menangis, sayang? Ada apa?" tanya Karta dengan lembut sambil membelai rambut indah milik kekasihnya. Rambut panjang hitam legam yang selama ini ia kagumi.
Nuraini mengangkat wajahnya. Air matanya membasahi kedua pipinya yang mulus. Matanya merah sayu.
"Aku akan dikawinkan dengan orang yang jadi pilihan ayahku...!" ratapnya lirih kemudian memeluk tubuh Karta erat-erat yang diam mematung mendengar jawaban Nuraini. Ia seolah-olah mendengar petir disiang hari! Tanpa terasa ia membalas pelukan Nuraini dengan erat juga seakan-akan mereka tidak sudi untuk dipisahkan oleh siapapun.
Betapa hancur hati keduanya. Musnahlah seluruh harapan mereka dan mulai saat itu matamata dari calon suami Nuraini selalu berada di sekitarnya untuk menjaga sang dara dari gangguan pemuda lain di desa Ori Malang. Pertemuan mereka menjadi terbatas sekali dan bersifat sembunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika fihak calon suaminya, Badar mencium pertemuan rahasia Karta dengan calon istrinya Nuraini. Mereka tertangkap basah sedang bercanda ria di bawah pohon waru tempat pertemuan mereka selama ini. Badar datang ke tempat itu bersama beberapa orang begundalnya yang terdiri dari jago-jago silat bayaran.
"Heii, tikus busuk! Apa yang sedang kau perbuat dengan calon istriku, hah?!" teriak Badar geram melihat Nuraini sedang berpegangan tangan begitu mesra dengan seorang pemuda yang lusuh dan miskin. Matanya mendelik sengit.
Karta dan Nuraini terkejut bukan main dengan datangnya Badar yang diketahuinya sebagai calon suami kekasihnya itu. Seketika pegangan tangan keduanya terlepas. Nuraini ketakutan sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon kelapa di dekatnya dengan tangan berpegang erat sekali pada batang itu. Peluh dingin merembes keluar dari pori-pori sekujur tubuhnya dan betapa jantungnya serasa berhenti. saat itu juga. Sementara itu Karta berusaha untuk bersikap tenang dan menguasai dirinya.
Karta menatap mereka satu persatu dengan dada berdebar-debar.
Badar melangkah maju menghampiri mereka diikuti oleh anak buahnya dari perguruan silat Ori Malang. Mereka semua berempat.
"Hmm... pantas kau selalu menghindari aku, Nuraini! Rupanya karena ada monyet dekil ini!" bentak Badar keras. Matanya merah menahan luapan amarahnya yang tak terhingga.
Pandangannya kemudian diarahkan kepada Karta. Napasnya bergemuruh.
"Hei, monyet! Kenalkah siapa aku? kau memang benar-benar tak tahu diri, hah!!" Karta mengangkat alisnya karena ia memang belum mengenali siapa Badar dan temantemannya itu. Yang ia tahu selama ini hanyalah bahwa calon suami kekasihnya adalah seorang anak tuan tanah yang kaya-kaya.
Melihat Karta tidak menjawab pertanyaannya, seketika meledaklah amarah Badar.
"Kurang ajar!! Nih, buat pelajaran bagimu!" teriaknya sambil mendaratkan telapak kakinya ke wajah Karta yang tidak memiliki kepandaian bela diri apa-apa hingga terjengkang ke belakang dan berguling-guling di tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar. Bibirnya sobek.
Melihat kekasihnya dipukul oleh Badar, Nuraini jadi histeris.
"Oh, Karta! Karta...!" teriaknya hendak memeluk Karta yang sedang meringis kesakitan sambil meraba bibirnya. Tapi Nuraini segera ditarik oleh Badar dengan kasar menjauh darinya.
"Pulang! Ayo pulang, Nur! Apa yang kau harapkan dari kambing gembel seperti dia!! Puiih! Anak tak tahu diuntung terhadap majikan!" bentak Badar meludahi wajah Karta yang masih tergolek di tanah sambil menarik-narik tangan Nuraini yang memberikan perlawanan kepadanya. Darah remaja yang pantang dihina di hadapan kekasihnya, membuat darahnya melonjak naik ke ubun-ubun.
Karta berontak. Ia langsung berdiri tegak. Tangannya mengepal keras. Giginya gemeretak kuat. Napasnya terdengar mendengus seperti banteng ketaton. Ia menatap Badar dengan geramnya.
Melihat gelagat itu Badar segera melepaskan tangan Nuraini siap menghadapi Karta yang sudah berdiri di hadapannya siap memberi perlawanan.
"E...eh! Rupanya kau masih penasaran? Baiklah...! Agaknya kau belum mengenal siapa Badar sebenarnya? Ha ha ha ha ha!"
Karta langsung merangsak Badar tanpa perhitungan. Kasihan ia. Rasa sakit hati telah membutakan dirinya yang tak mempunyai kemampuan apa-apa, walaupun ia tahu bahwa orang yang sedang dihadapi adalah murid dari perguruan silat Ori Malang yang sudah mencapai tingkat lumayan.
Dengan sekali gebrak, tubuh Karta terjungkal jauh ke belakang langsung ambruk ke tanah akibat pukulan Bandar. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat Karta merangkak di atas tanah dan dengan susah payah mencoba bangun. Ia berusaha menengadahkan wajahnya untuk menatap mereka. Matanya menyala-nyala oleh dendam yang sangat besar. Bibirnya digigit menahan sakit dan untuk sesaat tubuhnya bergetar kuat kemudian ambruk tak sadarkan diri. Badar dan teman-temannya kembali tertawa keras menyaksikan lawannya hanya mampu memberikan perlawanan yang tak berarti
Nuraini melolong-lolong menangisi Karta yang pingsan. Ia berontak sekuat tenaga terhadap orang yang akan merampas dirinya dari sisi Karta yang sangat dicintainya.
"Kau kejam! Manusia iblis! Jangan sentuh aku! Lepaskan! Lepaskan! Aku jijik melihatmu!!" maki Nuraini pada Badar yang hanya senyum menanggapinya. Tapi biar bagaimanapun Badar tak sanggup lagi menghadapi Nuraini yang terusterus memaki-maki dirinya. Lalu tiba-tiba tangannya melayang menampar pipi gadis itu sehingga ia langsung terkulai lemas. Kemudian Badar memanggul tubuh Nuraini di atas pundaknya dan membawa pulang ke rumah calon mertuanya. Ia tersenyum simpul penuh arti. Calon mertuanya tentu akan memuji dirinya sebagai malaikat penolong.
***
Sementara itu waktu terus berjalan dan entah berapa jam kemudian Karta mulai siuman kembali. Hari telah malam. Bulan meninggi diatas langit memancarkan cahayanya yang kemilau. Angin bertiup lembut mendesir membelai alam sekitarnya dan seluruh tubuhnya yang terasa ngilu.
Ruas-ruas tulangnya terasa hendak lepas. Tetapi semua itu tidak terlalu dirasakannya. Yang terasa hanya hatinya yang begitu perih seperti disayat sembilu.
Karta mencoba bangkit.
Perlahan-lahan ia merangkak mendekati sebuah pohon kelapa lalu menyandarkan tubuhnya. Hatinya teramat sakit. Ia sadar bahwa dirinya tak kuasa untuk membalas sakit hatinya. Ia merasakan dirinya manusia lemah, miskin, hinadina dan tak berharga sama sekali dibandingkan dengan Badar yang mempunyai segalanya.
Karta berjalan terseok-seok membawa tubuhnya pulang ke rumah majikannya. Tubuhnya jatuh-bangun disepanjang jalan. Dan lebih menyakitkan lagi tatkala ia sampai di rumah majikannya, juragan Benjar Karta disambut dengan caci-maki serta kalimat yang kotor dan kasar yang membuatnya semakin merasa hina-dina.
"Anak tak tahu terima kasih! Beraniberaninya kau mengganggu tunangan orang! Seharusnya kau menyadari siapa dirimu sebenarnya! Kau tak lebih dari seorang gembel! Gembel yang kupungut dari tong sampah!" bentak majikannya geram. Tangannya mengepal keras ingin menghajar Karta, tetapi ia masih mempunyai rasa kasihan sehingga meja yang berada di depannya menjadi sasaran empuk kemarahan yang meluapluap. Walaupun akibat dari hantaman itu membuat ia sendiri meringis kesakitan karena bukubuku jarinya ngilu.
Karta tertunduk diam menggigit bibir.
"Kau kira apa pangkatmu, gembel! Masih untung kau tak kuadukan kepada opas!" maki majikannya tiada henti bagai semburan mitraliur. Karta tidak sanggup lagi mendengarkan semua itu. Sinar matanya tidak lagi memperli- hatkan semangat hidup yang menggebu-gebu lagi seperti hari-hari sebelumnya. Hatinya sangat perih dan ngilu teriris-iris. Ia hanya menundukkan kepalanya tanpa bisa menjawab ataupun menyangkal semua perkataan dan cacian yang mencerca dirinya. Ia benar-benar merasa kehilangan harga dirinya. Bahkan kehilangan segala-galanya. Dunia rasanya kiamat.
Dan kontan malam itu juga ia dipecat dan diusir dari rumah majikannya tanpa pesangon sepeserpun dengan alasan melanggar adat dan sopan-santun yakni mencintai anak majikannya sendiri. Di mata juragan Benjar pelanggaran seperti itu adalah perbuatan biadab.
Karta dengan lesu segera membereskan semua barang-barangnya dan pergi meninggalkan rumah juragan Benjar malam itu juga.
Ia lunglai mengayunkan langkahnya yang terasa mengambang. Ia akan pergi entah kemana. Ia sendiri tidak tahu.
Ketika melewati kandang kerbau gembalanya, Karta sempat berhenti sejenak menatap binatang itu dengan sedih. Ia akan meninggalkan hewan-hewan kesayangannya yang menjadi kawan dekat sejak kecil. Diulurkan tangannya membelai kepala seekor diantara kerbau itu penuh kasih sayang. Hewan itu sepertinya mengerti apa yang telah menimpa gembalanya sehingga kerbau itu melenguh panjang turut merasakan kesedihan dan kehampaan yang sedang merundung hati Karta gembalanya. Kemudian Karta kembali melangkahkan kakinya terus berjalan lesu sambil sesekali menoleh ke belakang seakan begitu berat meninggalkan segala sesuatu yang pernah memberinya kehidupan. Dan sejak itu pula Karta tak pernah berjumpa dengan jantung hatinya. Ia telah kehilangan segala-galanya. Pekerjaannya, dan lebih terpenting adalah kekasihnya Nuraini.
Hidupnya kini tak tentu arah.
Setiap hari kerjanya hanya luntang-lantung kesana kemari seperti gelandangan dan mirip orang sinting. Setiap orang yang menjumpainya selalu memperhatikan dan kasihan terhadapnya. Mereka tidak percaya bahwa Karta yang dulunya dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu hormat kepada semua orang tanpa pandang bulu, kini mereka melihat kenyataan Karta sudah
menjadi tidak waras lagi. Mereka semua merasa kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa.
***
Begitulah...... Karta. Hari demi hari keluar masuk setiap kampung tanpa tujuan.
Sementara bumi terus berputar mengikuti porosnya. Siang malam silih berganti. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan musim panenpun tiba. Penduduk desa Ori Malang menyambut gembira musim menunai padi itu. Tua-muda, besar-kecil semuanya bersuka-ria apalagi dengan adanya pesta perkawinan anak seorang juragan terkaya dengan putri juragan Benjar. Para penduduk benar-benar merasakan suatu kegembiraan yang begitu besar. Pesta perkawinan itu diadakan selama tujuh hari tujuh malam dengan beraneka macam tontonan gratis seperti wayang kulit, tayuban, tari topeng, langendriyan dan lain-lain.
Lain halnya dengan Karta.
Malam itu Karta duduk sendirian memandangi air sungai Jamblang yang jernih dan memantulkan cahaya kemilauan dari bias sinar bulan purnama yang mengelus-elus permukaan air sungai itu. Ia duduk termenung menundukkan kepalanya seperti orang yang lagi tepekur dibawah sebuah pohon yang tumbuh di pinggir sungai itu. Pohon waru condong pohon kenangan. Sunyi mencekam meliputi dirinya. Dari jauh terdengar sayup-sayup suara gegap-gempitanya pesta itu. Pesta perkawinan gadis yang dicintainya. Suara itu dirasakan Karta bagai ribuan jarum-jarum yang menusuk hatinya. Pesta itu di selenggarakan di rumah bekas majikannya. Jiwa Karta seperti lolos dari tubuhnya. Malam yang demikian indahnya itu terasa hampa. Jiwanya merintih.
Wajah rembulan yang biasanya indah menawan bila ia menatapnya bersama Nuraini kini tampak suram dan tak ada arti apa-apa bagi Karta. Tak terasa air matanya mengalir jatuh dikedua pipinya. Air mata yang belum pernah ia keluarkan sejak ia terlahir ke dunia.
Dan malam semakin larut. Angin mulai dingin berhembus. Riak-riak air sungai jamblang terdengar begitu indah. Serangga malam berdendang riuh-rendah. Suara gending tetabuhan dari keramaian pesta perkawinan itu masih mengalun dan gaungnya terdengar sampai keseluruh penjuru desa Ori Malang.
Tiba-tiba secara tak terduga sebuah peristiwa menggemparkan telah terjadi seperti membelah desa Ori Malang. Terdengar suara teriakan orang-orang di tengah-tengah perayaan itu meredam bunyi gending yang masih mengalun. Penganten perempuan di malam pertama telah bunuh diri karena tak sudi disentuh oleh yang tak dicintainya.
Karta tersentak nanar mendengarnya.
Berita itu seperti guntur yang membelah dan menghancur-leburkan jiwanya. Ia seolah-olah merasa bumi yang dipijaknya tiba-tiba merekah menelan dirinya bulat-bulat. Karta tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Begitu kejam. Orang yang dicintainya telah meninggalkan dunia ini dengan cara yang mengerikan. Karta tak dapat lagi melihat wajah yang selalu dirindukannya. Betapa tragis akhir percintaan mereka. Akhir dari sebuah cinta remaja yang suci.
Keesokan harinya orang berbondongbondong mengantarkan jenazah Nuraini ke pekuburan. Orang-orang ramai memperbincangkan kematian Nuraini kembang desa Ori Malang. Mereka sebagian mengecam ayah Nuraini yang telah menyebabkan kematiannya. Juragan Benjar me- nangis meraung-raung saat jenazah anaknya diturunkan ke dalam perut bumi dan Badar hanya memandang semua itu dengan perasaan kecewa yang dendam kepada seseorang yang telah menyebabkan kematian istrinya.
Dan Karta sendiri menyaksikan pemakaman kekasihnya itu dari kejauhan. Ia mengintip dari balik sebuah pohon besar, menangis dengan lirih dengan hati luluh-lantak. Kemudian ia berjalan dengan gontai entah kemana. Dilain fihak pemakaman itu telah selesai dan para penduduk kembali ke rumahnya masing-masing. Di sepanjang jalan mereka masih saja memperbincangkan peristiwa yang tragis dan menghebohkan itu.
Hari mulai malam. Sinar matahari telah menyembunyikan wajahnya jauh dari bumi dan berganti rembulan yang tersenyum simpul. Para penduduk desa Ori Malang telah tertidur dengan lelap. Seluruh desa itu sunyi mencekam. Sungguhpun masih dicekam oleh peristiwa bunuh diri sang pengantin yang tak henti-hentinya menjadi bahan percakapan. Malam itu mereka tidur dengan mimpi masing-masing.
Kawasan pekuburan tempat Nuraini dikebumikan terasa sunyi dan mencekam. Suara burung malam berkumandang menambah suasana seram tempat itu. Kalong-kalong beterbangan di udara dengan kepak sayapnya yang angker. Suasana tanah pekuburan itu membuat bulu roma merinding. Angin menghembuskan wewangian bunga kamboja yang tumbuh merindang bagai sosok-sosok makhluk yang memberi kesan magis dan menyeramkan.
Tiba-tiba dari arah barat terlihat seseorang pemuda berjalan menuju tanah pekuburan itu. Ia membawa sebuah cangkul di atas bahunya. Dari pantulan sinar bulan dapat dilihat wajah pemuda itu.
Ternyata ia adalah Karta!
Ia menghentikan langkahnya di salah satu kuburan di mana tadi siang Nuraini dimakamkan. Dengan cepat ia menggali kuburan tersebut dan tak lama kemudian terlihat papan-papan penutup mayat Nuraini. Sejenak ia melepaskan cangkulnya, dan segera membuka papan itu perlahanlahan. Mayat Nuraini yang ditutupi kain kafan itu segera digendongnya ke atas. Ia keluar dari dalam liang dan membuka kain pocong yang menutupi tubuh kekasihnya. Didorong oleh rasa rindu ingin melihat wajah kekasihnya yang begitu menggebu membuat ia nekad melakukan semua ini.
Wajah Nuraini yang pucat dipandanginya dalam-dalam. Dari mulai keningnya terus ke alis matanya, hidungnya, kedua pipinya, sampai bibirnya. Lama sekali...
Wajah itu sangat pucat tetapi tak mengurangi kecantikannya. Bahkan semakin cantik bagi Karta.
"Oh, Ain! Mengapa kau tega meninggalkan aku? Mengapa...? Tidak! Tidaaaaaaaaaaaaaak...!! Kau tidak mati!" ratap Karta melolong-lolong memecah kesunyian malam. Mayat itu terasa dingin dalam pelukannya, tapi ia tak peduli.
"Kau sedang tidur, tidur, bukan? Jangan! Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku tak mau kau pergi!" jerit Karta sambil meletakkan kepala mayat itu kedalam pelukannya.
Karta nekat menggali kuburan itu dan membawa pergi jenazah Nuraini kekasihnya.
Setelah puas menumpahkan perasaannya, Karta segera membungkus kembali mayat tersebut dengan kain kafannya. Ia lalu menimbun liang kuburan itu seperti semula dan pergi jauh meninggalkan tanah pekuburan desa Ori Malang malam itu juga membawa jenazah Nuraini.
"Mari kita pergi, sayang! Kita pergi meninggalkan orang-orang yang tak menyenangi kita!" kata Karta sambil memondong mayat itu.
Ia berjalan sejauh mungkin menuju ke timur dengan menelusuri tepian sungai Jamblang.
Esok harinya jika orang-orang kampung melewati tanah pekuburan tidak tahu sama sekali bahwa kuburan Nuraini yang masih tegak berdiri itu sesungguhnya telah kosong. Dan kemana gerangan Karta pergi tak seorangpun yang mengetahuinya.
***
Orang-orang yang kebetulan ada ditepian sungai hanya mengetahui bahwa ada seorang pemuda berdiri di atas sebuah rakit dan disebelahnya terdapat sebuah peti kayu jati. Rakit itu meluncur mengikuti arus sungai Bondet yang merupakan lanjutan dari sungai Jamblang setelah bergabung dengan sungai Plumbon menuju ke utara tempat muara sungai itu bertemu laut. Mereka tidak tahu siapa nama pemuda yang kelihatan selalu diam dan murung di atas rakitnya. Hanya tangannya saja yang bergerak sesekali mengayuh membelah air sungai.
Berhari-hari Karta mendayung rakitnya itu dibawa impiannya sendiri tanpa makan dan minum kecuali dari air kali dan apa yang ada di permukaannya. Tanpa terasa lagi ia sudah berada dimuara sungai Bondet. Di depannya terbentang laut lepas. Laut Jawa. Seperti hamparan permadani biru. Burung-burung camar menyambut kedatangan Karta dengan celotehnya yang riuhrendah. Gelombang menghantam rakit Karta sehingga semburan air laut membasahi wajah Karta yang sayu. Tubuhnya kurus dan rambutnya sudah tumbuh panjang melewati bahunya.
Para nelayan yang kebetulan melihat tingkah laku seorang anak muda itu tentu merasa heran karena melihat pemuda itu mengoceh sendirian seperti orang sinting. Beberapa di antara mereka melemparkan sisa bekal makanan tadi malam ke atas rakit itu. Dari sisa makanan para nelayan yang pulang dari laut itulah Karta dapat terus menyambung hidupnya dari hari ke hari.
Sejak saat itu penduduk di pinggir kali Jamblang sering melihat Karta hilir mudik di atas sebuah rakit dengan peti kayu jati yang dibawanya.
Rakit itu terapung-apung hilir-mudik sepanjang pantai teluk Cirebon. Jika matahari bergerak menggelincir ke arah barat maka rakit itu kembali ke muara Bondet. Dua orang nelayan yang sedang mengayuh perahunya ke pantai sehabis menjala ikan ditengah laut berpapasan dengan rakit Karta yang menuju ke muara. Sejenak perahu itu berhenti. Dua orang nelayan itu melihat rakit Karta melewati perahunya. Salah seorang berdiri mengangkat kaki kirinya ke atas pinggiran perahunya sehingga ia dapat memperhatikan semua yang dilakukan Karta diatas rakit itu.
"Coba lihat! Aku tak habis pikir melihat tingkah laku orang itu! Apa saja yang dikerjakan setiap hari mondar-mandir begitu? Cuma bicara sendiri seperti orang gila!" katanya mengernyitkan dahinya keheranan kepada temannya yang sedang memegang dayung duduk di sebelahnya.
"Ya, pak! Tak jemu-jemunya ia sejak beberapa minggu yang lalu dan peti yang dibawanya berisi apa, ya? Kadang-kadang peti dielus-elusnya seperti elusan sayang! Barangkali emas permata!" sahutnya sambil membetulkan gulungan tali layar yang terlihat mengendor.
"Ya mungkin juga!" ujar orang itu manggutmanggut. Kemudian ia kembali meneruskan perjalanannya menuju ke hilir, sementara rakit Karta meninggalkan perahu mereka menjauh-menuju laut lepas. Minggu ditelan minggu. Bulan ditimpa bulan dan sudah berjalan satu tahun Karta hilirmudik di Muara Kali bondet dan laut teluk Cirebon. Rambutnya semakin panjang tak terurus. Wajahnya keras tetapi sinar matanya terlihat hampa dengan pandangan yang menerawang jauh menembus cakrawala dan kaki langit. Akhirnya para nelayan sudah tidak lagi ambil pusing dengan dirinya lagi. Kini bagi mereka sudah merupakan pemandangan biasa dan tak ada keanehannya sama sekali.
Dan mereka menyebutnya dengan nama SI GILA DARI MUARA BONDET.
Sementara itu para nelayan yang menaruh belas kasihan kepadanya tetap memberikan sisa perbekalan makanannya pada Karta dan ia pun tidak menolak diberi julukan Si Gila oleh mereka walaupun ia sendiri merasa bahwa pikirannya seratus persen dalam keadaan waras. Mereka kadang-kadang bertanya macam-macam kepada Karta, tetapi ia menjawab dengan senyuman hambar dan pancaran mata yang hampa. Ia tidak mau menceritakan asal muasalnya. Ada juga orang yang mencoba memegang peti kayu yang dibawanya tapi segera Karta mencegah dengan gerakan tangannya tanpa berbicara sepatah katapun. Walaupun maklum, tetapi orang-orang itu masih tetap ingin tahu apa isi peti kayu tersebut. Namun mereka hanya bertanya pada dirinya sendiri apa kira-kira isi peti itu.
Tapi biar bagaimanapun mereka tidak be- rani berbuat kurangajar terhadap Si Gila. Ada semacam rasa menghargai terhadap hak-hak orang lain disertai rasa belas kasihan kepadanya. Bila malam telah sunyi. Bintang-bintang gemerlapan di atas lazuardi. Angin bertiup sepoi seakanakan membisikkan kata-kata yang lembut. Ombak pantai Cirebon mengalun tenang mengusap dan membelai rakit Si Gila penuh rasa kasih sayang. Dia saat seperti Si Gila meratapi peti kayu jati itu. Suara tangisnya menyayat hati. Tak seorangpun yang mendengarkannya. Peti itu dipeluknya erat-erat. Sebagian kakinya basah terkena percikan ombak yang menghantam pinggiran rakit itu. Hawa dingin malam yang menyusup ke dalam tubuh samasekali tak dirasakannya. Ia tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kesendirian merupakan kenikmatan bagi dirinya. Ombakombak laut, bulan dan bintang serta angin malam adalah saksi bisu dari segala tingkah laku Si Gila diatas rakit itu.
***
Tahun kedua telah datang. Tampaknya tidak ada perubahan pada diri Karta. Semua tetap seperti sedia kala. Hanya rambutnya sudah panjang sebatas pinggang. Kulitnya kelihatan hitam tembaga karena terus-menerus diterpa angin laut yang kering dan sinar matahari yang menyengat. Bulu-bulu tubuh meremang di sekitar wajahnya. Tubuhnya berubah menjadi kekar dan berotot, namun tatapan matanya tetap saja tampak kosong. Dipinggangnya kini terselip sebuah golok panjang.
Suatu keajaiban telah terjadi dalam diri Karta. Setiap malam seperti dalam keadaan setengah sadar, Karta melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk dan tangannya direntangkan seiring gerak kakinya. Ia bergerak di seputaran rakitnya mengitari peti kayu yang berada ditengah rakit itu. Semakin lama gerakan itu semakin lincah. Karena dilakukan setiap malam maka tubuh Karta menjadi luwes dan gesit. Gerakan yang semula terlihat lamban kini kian hari kian cepat, sehingga tubuhnya bagaikan selembar daun yang dipermainkan oleh tiupan-tiupan angin laut yang berhembus dan jika dilihat dari jauh seperti seekor udang yang sedang melompatlompat di atas pasir pantai. Gerakan-gerakan itu kemudian terbentuk dengan sendirinya tanpa diciptakan menjadi jurus-jurus silat yang aneh tapi sempurna.
Pada awalnya Si Gila melakukan gerakan itu hanya di seputaran rakitnya, tapi kini ia telah dapat melesat keatas dan meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil mempermainkan golok panjangnya. Rakit itu turun naik dan kadang-kadang miring karena dimainkan oleh ombak laut. Tetapi Si Gila seperti tak menghiraukan semua itu. Bahkan ia semakin banyak melakukan gerakangerakan yang bervariasi untuk menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap gerak oleng rakit yang diinjaknya.
Tubuhnya berputar-putar di udara. Bila selesai melakukan rangkaian gerakan tersebut, ia kemudian duduk bersila diatas peti kayunya memejamkan matanya seiring dengan pengaturan napas untuk menghilangkan rasa lelah sehabis berlatih. Tanpa ia sadari ilmu peringan tubuh Karta sudah mencapai tingkat yang sempurna. Karta mendapatkan semua itu bukan dari seorang guru maupun belajar dari kitab silat, tetapi ia dapatkan dari imajinasinya sendiri yang timbul akibat dari tekanan jiwa yang sangat berat. Keajaiban-keajaiban alam yang penuh misteri turut membantu menggemblengnya.
Dan ada satu hal lagi yang merupakan keajaiban.
Pada suatu hari para nelayan di muara Bondet dibuat gempar. Mereka terkejut sekali melihat ikan-ikan mati terapung di laut lepas. Berpuluh-puluh ekor bahkan beratus-ratus ekor ikan mati terapung dengan keadaan badan terpotong menjadi dua bagian. Nelayan itu merasa ditimpa suatu malapetaka. Mereka mendapat kutukan dari penguasa laut Jawa. Mereka gelisah dan panik tak menentu.
"Apakah dewa laut sedang marah?"
"Ya! Kita harus menyajikan kepala kerbau untuk dikuburkan di tengah-tengah laut!"
Para nelayan mencoba menduga-duga apa yang menyebabkan semua ini terjadi. Masingmasing tenggelam dalam pikiran dan ilusinya. Hanya burung-burung camar yang merasa senang karena kenyang dapat menikmati hikmah dari peristiwa itu. Dan sekumpulan burungburung laut berdatangan menyelimuti laut pantai Cirebon berpesta pora. Sedangkan para nelayan menyaksikan semua itu dengan gundah-gulana dan keluh-kesah berkepanjangan.
Apakah sebab musababnya?
Betulkah dewa laut sedang marah karena mereka lupa membuat sajian?
Kita lihat rakit Si Gila masih tenang mengapung diatas permukaan air laut dengan setia mengayun-ngayunkan rakitnya. Di atasnya masih terdapat peti kayu jati, kain sarung, dan baju pembungkus tubuhnya. Tetapi dia sendiri tidak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan?
Bila kita lihat lebih dekat ke permukaan air laut itu, tampaklah gelembung-gelembung udara yang muncul ke permukaan. Beruntun dan besarbesar. Tidak mungkin gelembung itu ditimbulkan dari napas seekor ikan. Ternyata di dasar muara Bondet terlihat bayangan sesosok tubuh berkelebat kesana kemari dengan gesitnya seperti seekor ikan hiu mengikuti mangsanya. Gerakannya luwes sepertinya tidak terhalang oleh hambatan arus dan tekanan air laut. Tangan kanannya memegang sebuah golok panjang yang diayunayunkan melawan arus air yang ditimbulkan oleh gerakan gelombang laut. Ia membelah-belah air laut seperti membelah-belah udara. Begitu mudahnya sehingga tampak golok panjang itu man- tap sekali. Setiap ia berkelebat sambil mengibaskan pedangnya, dua atau tiga ekor ikan yang kebetulan mendekatinya menggelepar dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian yang terpisah, terkena sabetan pedangnya.
Sosok tubuh itu bukanlah seorang dewa penguasa laut setempat dan ternyata dia adalah Si Gila dari Muara Bondet!
Apa yang dilakukannya merupakan latihan mempertinggi ilmu tenaga dalamnya dan sekaligus pula ilmu meringankan tubuhnya. Semua itu hanya dilakukan oleh Karta seorang diri berdasarkan tuntunan nalurinya semata-mata. Si Gila bergerak meluncur dan melayang sambil mengibaskan pedangnya membabat sasaran yang berupa ikan-ikan dari yang besar sampai yang terkecil-kecilnya. Dan dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sabetannya, apabila ia melakukan semua gerakan itu di udara yang tanpa hambatan.
Bisa diukur besar tenaga itu bila benarbenar dilakukannya di darat. Karena ikan-ikan yang menjadi sasarannya kadang-kadang ada yang ukurannya sebesar tubuh seorang anak kecil. Sedangkan kecepatan sabetannya bisa melalui ikan kecil yang jadi korban. Yang lebih hebat lagi pendengarannya. Ia dapat bertahan dari tekanan air laut yang menerpa telinganya. Apalagi Si Gila kita ketahui bahwa tekanan yang ditimbulkan di dalam air laut tergantung dari kedalamannya. Semakin dalam semakin besar tekanan yang ditimbulkan. Napasnya kuat sekali. Ia dapat berla- ma-lama melakukan latihan di dasar laut hanya dengan satu kali tarikan napas. Dan bila Si Gila sudah kehabisan napas ia kembali muncul ke permukaan untuk menghirup udara lagi. Hampir sepuluh jurus dapat ia lakukan dalam satu tarikan napas. Persis seperti ikan lumba-lumba. Para nelayan yang kebetulan melihatnya sedang muncul di permukaan mengira Si Gila sedang mandi belaka. Sekali sabet beberapa ekor ikan dan ukuran besar dan kecil terpotong menjadi dua bagian.
Begitulah seterusnya Si Gila selalu berlatih dan berlatih.
Hari demi hari dilalui hanya dengan semangat membara yang timbul dari dasar jiwanya. Bila saja tiba, ia segera naik ke permukaan laut untuk kembali menuju ke muara Bondet. Napasnya tersengal-sengal ketika ia menggapai pinggir rakit itu dan mengangkat tubuhnya naik. Seperti biasa ia duduk bersila mengatur napasnya di atas peti kayu jati itu untuk menghilangkan rasa lelah dan mengembalikan kesegaran tubuhnya. Kemudian setelah itu ia memakai pakaiannya dan segera mengayuh rakitnya.
Empat tahun telah lewat tak terasa. Selama itu pula Karta hidup di atas rakitnya bersama peti kayu jati itu. Makan dan tidur juga di situ. Para nelayan hanya dapat melihat bahwa pemuda gila itu tubuhnya kian kekar dengan rambut panjang melambai-lambai di tiup angin dan kulit tubuh yang semakin hitam tembaga. Semua yang ia lakukan adalah tumpahan amarah, dendam, kecewa, rindu yang terlukiskan melalui gerakangerakan aneh yang lama-kelamaan terbentuk menjadi suatu rangkaian jurus-jurus silat yang lain dari yang lain. Si Gila dari Muara Bondet telah berhasil menciptakan ilmu silat baru yang aneh dan langka! Sebuah ilmu silat hasil ekspresi jiwa!
Suatu hari di pagi yang cerah, Karta berkacak pinggang berdiri tegak diatas rakitnya yang dibiarkan meluncur mengikuti gelombang air laut. Matanya menatap kaki langit yang penuh pesona. Hari ini ia betul-betul sedang menikmati keindahan alam.
Dua orang nelayan yang sedang melintas dengan perahunya memperhatikan tingkah Si Gi- la yang kali ini terlihat lain dari biasanya yang ia lakukan. Mereka saling berpandang-pandangan.
"Lihatlah! Si Gila sekarang mempunyai sebilah pedang yang terselip di pinggangnya! Mungkin ia sedang berkhayal menjadi seorang kesatria yang menang perang!"
Memang menurut penglihatan mereka, Si Gila seperti seorang komandan perang yang berdiri siap menghadapi musuhnya. Mereka tidak tahu apa sebenarnya yang terbesit dalam pemuda eksentrik itu. Si Gila hanya tersenyum mendengar percakapan mereka. Memang sangat tajam pendengarannya! Padahal jarak dari rakitnya ke perahu nelayan itu cukup jauh.
Malam itu bulan terlihat muram. Angin berdesir kencang. Gelombang laut bergerak dinamis mengombang-ambingkan rakit Si Gila.
Ia sedang duduk termenung mengenang kembali masa silamnya. Teringat masa-masa indah bersama kekasihnya Nuraini. Ia teringat wajahnya, hidungnya, bibirnya, belaiannya, dan segala yang ada pada diri Nuraini. Sampai terkenang kembali pada peris-tiwa berdarah yang telah merenggut nyawa kekasihnya. Timbul kembali rasa dendam yang menyala-nyala dan meledakledak dengan hebatnya. Wajahnya berubah disertai napas yang bergemuruh. Tubuhnya bergetar kuat sehingga rakitnya turut bergetar.
Tapi lama-kelamaan dendam itu kian mereda. Desiran angin laut seakan-akan membelaibelai hatinya yang panas sehingga lambat-laun mulai terasa dingin mencair, Malam itu Si Gila seolah-olah mendengar sesuatu yang merasuk ke dalam telinganya membuat amarahnya berangsur-angsur mereda. Selanjutnya setiap malam, bisikkan itu mengiang-ngiang di telinganya. Bisikan lembut yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
Kalimat itu demikian jelas dan dapat di hafal oleh Karta.
"Seorang pendekar yang sejati pantang menanam dendam... sayangilah musuhmu dan doakanlah semoga ia mendapatkan keinsyafan !"
Si Gila tersentak dari lamunannya.
Ia segera memantau seluruh permukaan laut lepas. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan air laut saja yang terbentang luas. Dan bila ia duduk kembali termenung, suara itu mengiang lagi di telinganya. Bisikan itu betulbetul meresap kedalam sanubarinya yang paling dalam, sehingga didalam hatinya tertanam perasaan untuk tidak membalas dendam terhadap musuh-musuhnya. Dan Si Gila bertekad untuk tidak kembali ke desa Ori Malang.
Ia lebih senang luntang-lantung di sekitar muara Bondet. Setiap orang yang mengenalnya memanggilnya Si Gila. Sampai demikian terkenalnya nama itu ke seluruh pelosok desa. Apalagi di kalangan anak-anak kecil. Setiap ia melangkahkan kakinya melewati suatu daerah, anak-anak kecil selalu mengikuti sambil memperolokolokannya. Begitulah... asal mula Si Gila dari Muara Bondet.
***
"Selanjutnya anda tentu mengetahuinya!" kata Si Gila kepada Parmin yang duduk mendengarkannya bercerita.
Parmin menarik napas panjang setelah mendengar seluruh penuturan itu. Tak terlukiskan betapa perasaan saat itu. Haru, kagum, dan berulang kali memuji kebesaran Tuhan yang menciptakan seluruh kehidupan ini dengan segala keajaibannya. Ia juga bersyukur bahwa Karta dalam keputus-asaannya tidak sampai menjadi korban bisikan iblis yang menyesatkan.
"Sesungguhnya tanah air tercinta ini membutuhkan pendekar-pendekar berjiwa luhur seperti dia!" desah Parmin dalam hati.
Kemudian ia beringsut dari duduknya mendekati Si Gila dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku merasa terharu mendengar riwayat anda, Karta! Jika anda mencintai kekasih anda, maka biarkanlah ia beristirahat dengan tenang di alam akhirat! Kita harus menguburkan kembali jenazahnya!"
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Si Gila mendengus dengan pancaran mata menolak.
"Tidak! Aku tidak mau berbuat kejam terhadap Ain kekasihku!" Tangan Si Gila dari muara Bondet mencengkram kuat-kuat bahu Parmin yang tetap bersikap tenang.
"Siapa bilang kita hendak menyakiti kekasihmu, Karta? Nuraini kekasihmu itu tetap bersamamu kemanapun kau pergi. Ia ada dalam kalbumu! Jiwa kekasihmu hidup abadi, Karta!" kata Parmin berusaha meyakinkan teman barunya itu. Sinar mata Parmin memancarkan sugesti dan ini benar-benar menusuk kalbu Si Gila.
"Tapi ketahuilah bahwa jasadnya berasal dari alam, dari bumi ini, maka sepatutnyalah kalau isi peti ini kita kembalikan pula ke dalam bumi!" sambung Parmin.
Atas nasihat-nasihat Parmin, akhirnya Karta mau juga merelakan jenazah Nuraini dikuburkan. Peti kayu yang sudah lima tahun berada didekatnya kini harus dikubur. Lima tahun! Tentu bisa dibayangkan bahwa didalamnya hanya tinggal tulang-belulang!
Lama juga Karta menekuri gundukan tanah itu. Tapi ia sudah tidak menangis lagi. Ekspresi wajahnya mulai datar dan tatapan matanya bersinar kesadaran sebagai seorang lelaki yang waras.
"Beristirahatlah dengan tenang, kekasihku!" kata-kata itu hanya terdegup di dalam kalbunya. Karta duduk bersimpuh di depan kuburan kekasihnya yang berada di bawah sebuah pohon yang sangat rindang.
Parmin menatap punggung Karta dan turut bersedih. Tapi ia harus membimbing Si Gila agar tak larut terus menerus dalam kesedihan itu. "Semua orang akhirnya akan kembali kepangkuan Ilahi. Kita tidak bisa menolak hal itu. Semua pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan. Tetapi suatu perpisahan belum tentu berakhir dengan pertemuan. Kita harus rela melepas kepergian orang yang kita cintai sebagaimana kita juga kelak akan meninggalkan orang yang kita cintai!" kata Parmin sambil berjalan menghampiri Si Gila yang semakin erat memegang tonggak nisan kuburan itu. Matanya menatap mata Si Gila penuh harap. Ternyata perubahan yang diharapkan sudah mulai tampak. Si Gila dari muara Bondet mengembangkan senyumnya.
Wajahnya yang tampan itu sebenarnya sangat manis bila tersenyum.
"Aku kini telah merelakannya! Aku tidak merasa sendiri lagi di dunia ini. Aku telah menemukan jiwamu yang teduh dimana aku bisa bernaung. Aku akan ikut kemana anda pergi, pendekar budiman!!"
Parmin memegang bahu Si Gila dan mengajak kawan barunya itu untuk bangun dari duduknya. Si Gila segera bangkit.
"Nah, begitulah seharusnya sifat seorang pendekar. Lupakanlah kepahitan itu dengan mendarmabaktikan diri untuk membela bangsa dan tanah air!" kata Parmin mengobarkan semangat kesatria yang di miliki Si Gila agar selalu menegakkan kebenaran dan keadilan di manapun di setiap jengkal persada bumi pertiwi ini.
"Sekarang apakah yang harus kulakukan? Sudah sepatutnya aku yang bodoh ini menerima segala petunjuk anda!" seru Si Gila merendahkan diri.
Parmin benar-benar gembira melihatnya, "Baiklah! Mulai saat ini kau menjadi adikku! Kita berjanji untuk sehidup-semati berjuang bahumembahu!" kata Parmin bersemangat.
Si Gila mengepalkan tinjunya ke atas sambil mengembangkan senyum dan tatapan mata yang optimis. Segera Parmin menyambutnya dengan kepalan tangan yang disilangkan ke tangan adik angkatnya itu kuat-kuat. Semangat hidupnya kembali tumbuh. Matanya berbinar-binar. Si Gila kini merasa tidak sebatang kara lagi. Ia sudah mempunyai semangat tumpuan harapan dan tujuan hidup yakni berjuang melawan penjajah Kumpeni Belanda yang sedang menghisap keringat dan darah bangsanya. Kini di antara kedua pendekar muda itu telah terjalin ikatan batin yang sangat kuat. Sepasang pendekar satu citacita satu tujuan! Masing-masing bertekad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Angin berdesir kencang tatkala mereka berjabat tangan disusul dengan rangkulan hangat. Seluruh hutan itu menyaksikan ikrar mereka dan juga tanah yang masih merah di mana di dalamnya terbaring sosok tulang-berulang seorang gadis yang setia dengan memilih mati daripada menjadi milik orang lain.
Tiba-tiba Parmin dan Karta tersentak kaget dan segera melepaskan rangkulan, ketika terden- gar suara tawa terkekeh-kekeh yang datang dari atas sebuah pohon besar tak jauh dari mereka.
"Hi hi hi hi hi hi...! Jangan kalian berkhayal macam-macam, anak muda! Sebentar lagi kalian akan mati!"
"Nenek ?!"
Parmin terperangah melihat siapa sebenarnya sumber suara itu.
Ternyata ia adalah nenek-nenek yang berada di pondok tepi hutan yang telah memberinya nasi dan kuk untuk sarapan.
Karta pun menatapnya. Hanya saja ia sama sekali belum mengerti apa kaitannya dan mengapa perempuan itu hadir di hadapan mereka?
"Ya! Dalam nasi yang kalian makan itu sudah kububuhi dengan racun yang bekerja lambat agar kalian dapat merasakan sakitnya lalu mati secara pelan-pelan!" lanjut nenek tersebut sambil menggosok giginya, yang menghitam dengan susur tembakaunya.
Untuk sesaat Parmin tergagap.
"Si... siapakah sebenarnya anda? Mengapa bermaksud mencelakai kami?" tanya Parmin yang mulai terpengaruh oleh sugesti nenek bongkok yang bertengger seenaknya di atas dahan pohon menandakan bahwa ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi.
"Orang menjuluki aku dengan nama NYAI WEWE GENDEL! Hi hi hi...!" dan kali ini dalam tertawanya tampak nenek itu semakin menye- ramkan seperti apa yang menjadi nama gelarnya. Wewe Gendel adalah bahasa daerah setempat yang berarti kuntilanak!
"Kau tentu ingat nama Leonard Van Eisen?" tanya Wewe Gendel mendelik sehingga putih biji matanya terlihat lebih banyak dan menambah seram tampangnya.
"Tentu! Dialah tuan tanah yang serakah dan ingin menguasai desa Kandang Haur sebagai lumbung bahan makanan bagi serdadu Kumpeni Belanda!" jawab Parmin geram.
"Bagus! Keberadaan Leonard Van Eisen di tanah Cirebon ini bukan tanpa dukungan, karena bangsa Belanda itu bermaksud baik yakni akan menata kehidupan dan mendidik bangsa kita menjadi bangsa yang maju setaraf dengan bangsa-bangsa lain!"
"Dan anda adalah salah satu pendukungnya?" tanya Parmin lugas yang membuat keriputkeriput di wajah Nyai Wewe Gendel seakan bertambah banyak secara mendadak.
"Tak salah, anak muda! Dan pertama-tama tugasku adalah memusnahkan kerikil tajam seperti kau!" jawab Nyai Wewe Gendel sambil menudingkan jarinya dan berkacak pinggang.
"Katakan kepada orang-orang bule itu bahwa negerinya bukan di sini! Pada mulanya mereka datang dengan alasan untuk berdagang segala rempah-rempah yang berasal dari negeri ini untuk dipasarkan di Eropa sana. Tapi nyatanya sampai sekarang mereka masih tetap ber- cokol disini dan semakin merajalela dengan menjadikan bangsa kita sebagai budak-budaknya! Itukah yang dinamakan menata dan mendidik?" Parmin berbicara dengan semangat yang berapiapi dan siap untuk mendahului serangan sebelum racun yang bersemayam didalam tubuhnya benar-benar akan merenggut nyawanya.
Tapi mendadak sontak tubuh Si Gila dari Muara Bondet menegang sambil tangannya menekan perutnya sendiri.
"Kang Parmin..!!!"
Disusul dengan robohnya sang adik angkatnya itu ke tanah meliuk-liuk dan giginya mengatup rapat menahan rasa sakit yang sangat hebat.
Parmin segera menegakkan tubuh Si Gila dan ia dengan cepat menekan kedua tangannya ke perut Karta sambil menyalurkan hawa panas dari dalam tubuhnya sendiri agar dapat mengurangi rasa sakit itu. Tetapi malah sebaliknya. Tindakan ini berakibat fatal bagi dirinya. Dari celahcelah bibir Parmin seketika meleleh darah hitam kental sebagai luka yang sudah mengendap dalam perutnya. Tubuhnya bergetar. Parmin menahan perih di perutnya dan berjuang mengatur pernapasan untuk membagikannya kepada Si Gila.
Bersamaan dengan itu, Nyai Wewe Gendel melesat dari dahan pohon besar itu menukik ke bawah. Tangannya menjulur dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang terbuka seperti cakar seekor serigala yang ganas mengancam tengkuk Parmin dari belakang.
"Heyaaaaaaaaaaaa!!" suaranya merobek udara pagi itu.
"Awas, kang!" teriak Karta.
Dengan gerakan reflek yang sangat kuat, Parmin melempar diri ke samping sambil memeluk Si Gila erat-erat sehingga kedua pendekar muda itu berguling-guling di atas tanah menghindar dari serangan Nyai Wewe Gendel seperti sebuah gulungan benang yang bergulir.
Sementara itu terkaman si nenek menyeruak tempat kosong dan menjebol akar-akar pohon tempat dua pendekar itu berada.
"Kurang ajar! Kalian tak mungkin lolos dari cengkramanku, tikus-tikus kecil!" teriak Nyai Wewe Gendel geram karena serangannya luput. Lalu ia memutar tubuhnya untuk memasang jurus baru.
Parmin tegak berdiri untuk siap siaga. Ia berusaha agar rasa nyeri di perutnya tidak dirasakannya lagi. Konsentrasi nya tertuju pada iblis pencabut nyawa yang garang di hadapannya. Air liur kental bercampur warna coklat tembakau sirih meleleh dari sela-sela gigi nenek tersebut yang sudah tanggal beberapa biji seperti sebuah sisir yang rompal. Kulit wajahnya yang berkerut-kerut semakin angker dengan rona merah padam karena didorong nafsu membunuh yang menggebugebu. Buah dadanya yang sudah mengendur seperti aliran lahar itu terpontang-panting hampir ke pusarnya karena kain kemben yang menutupi tubuhnya hampir terlepas ketika ia terjun bebas dari atas dahan pohon yang cukup tinggi itu. Nyai Wewe Gendel tak perduli terhadap semua itu. Ia siap menyerang lagi.
"Huaaaaah!! Kali ini kalian tak bisa mengelak lagi, anak muda jelek! Kalian tak akan dapat menangkis jurus andalanku Cakar Luwak Wadon sedang menyusui ini!" teriak Nyai Wewe Gendel sambil memasang kuda-kuda dengan posisi kaki dan tangannya seperti seekor musang atau luwak yang hendak mencakar lawan karena mengganggu anak yang sedang disusuinya.
"Bismillah....heep!" Parmin memasang jurus Hening Cipta. Sebuah jurus yang meningkatkan kepekaan indera untuk menangkap segala bentuk gejala yang ada pada lawan. Beberapa kali konsentrasinya buyar karena rasa sakit yang kembali menusuk-nusuk perutnya sepertinya racun keparat itu sedang menggerogoti ususususnya dan mencabik-cabiknya. Sesekali Parmin menggigit bibirnya sendiri dan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan konsentrasinya.
Ketika telah mencapai keheningan dari puncak jurus andalannya itu, Parmin dapat melihat titik-titik lemah yang ada pada tubuh Nyai Wewe Gendel, seperti juga titik-titik lemah seekor sejenis musang atau luwak yang dipakai lawannya sebagai jiwa dari jurus andalannya.
Dan ketika Nyai Wewe Gendel itu berkelebat menyergap Parmin dengan cakar yang menyi- lang siap mengoyak-ngoyak, ia dengan cepat mendahuluinya dengan sebuah sodokan lurus kearah ulu hati. Cakar nenek itu berhasil pula menyentuh lawannya. Baju Parmin pada bagian dadanya terkoyak menyilang, tetapi Nyai Wewe Gendel itu menjerit lengking terjengkang ke belakang dan jatuh terlentang di tanah.
Ketika ia coba bangkit, napasnya seperti hendak putus. Ia tersekat sehingga wajah nenek itu menjadi pucat-pasi karena darah dari jantungnya terhambat.
"Bangsat! Jurus apa yang kau pakai?" "Jurus ikan asin menyeruak nasi!"
"Kurang ajar! Kau memperolok-olokku, bangsat kecil!" Nyai Wewe Gendel terbatuk-batuk sambil mendekap dadanya. Ia segera bangkit dengan kedua tangan dan jari-jarinya merentang ke samping.
Tapi nafsu membunuhnya sudah bulatbulat menguasai dirinya sehingga membuat segalanya menjadi buta. Ia menerjang dengan ganas. Tangan kanannya mengarah untuk mencengkram tenggorokan, sedangkan tangan kirinya bertujuan membetot sesuatu di celah paha Parmin. Benarbenar cara Kuntilanak dalam membantai korbannya.
"Heyaaaaaatt!" Parmin meloncat ke udara ketika serangan itu datang sehingga cengkraman lawan ke arah tenggorokannya kandas menembus tempat kosong di celah pahanya. Dan tangan kiri yang ingin membetot alat vitalnya terinjak telapak kaki Parmin sekaligus untuk melambungkan tubuhnya lebih tinggi. Pada saat posisi kepala Nyai Wewe Gendel tepat di bawah tubuhnya, segera Parmin mengambil suatu tindakan yang cepat. Telapak tangannya dalam keadaan miring ia sabetkan ke ubun-ubun lawannya.
Dengan cepat dan telak Parmin memukul ubun-ubun Nyai Wewe Gendel dengan telapak tangan miring
Seketika terdengar suara berderak keras, ditandai dengan retaknya kepala nenek tua itu. Dalam sekejap rambutnya yang panjang seperti benang lawe itu menjadi merah oleh semburan darahnya sendiri yang memancar dari ubunubunnya. Dengan jeritan melengking memilukan, Nyai Wewe Gendel terjungkal ke tanah. Tubuh kurus bongkok itu berkelojotan seperti seekor udang dalam penggorengan panas! Terdengar suara gemeletuk gigi-gigi ompongnya menahan sakit yang hebat dan nafasnya menggerogok seperti kayu digergaji. Kemudian setelah berkejat beberapa kali, nafas terakhirnya lolos dari tenggorokan dan tubuhnya lemas tak berkutik lagi.
Rumput-rumput di sekitarnya penuh percikan darah dan sesuatu yang berwarna putih seperti tahu mentah.
Parmin bergidik sendirian, sementara kedua kakinya telah mendapat dengan mantap di atas tanah. Namun tiba-tiba tubuhnya oleng merintih lirih sambil mendekap perutnya dengan kedua tangannya lalu roboh dengan posisi tertekuk seperti orang sujud. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang menggigil hebat. Sementara itu Si Gila dari muara Bondet sudah tidak terdengar lagi suaranya dan tampaknya ia sudah terbujur tak bergerak sambil memeluk gundukan tanah kuburan kekasihnya.
"Ya, Allah! Kalau memang di sinilah ajalku, aku ikhlas menerimanya asal Kau kabulkan permohonanku. Selamatkan nyawa saudara angkatku Karta untuk meneruskan perjuangan dan tugasku!"
Setelah itu tubuh Parmin perlahan-lahan roboh ke samping untuk tak terlihat tanda-tanda ia masih hidup.
***
Entah berapa lama Parmin terkapar dalam hutan dekat pesisir pantai teluk Cirebon itu. Angin senja membelai dedaunan dan rerumputan semak-belukar hutan Celancang. Matahari yang berwarna merah sudah amblas dikaki langit sebelah barat. Angin senja yang terasa lembut itu juga membelai sekujur tubuh Parmin yang tergolek tak bergerak. Sejuknya seolah-olah menyelinap ke segenap pori-pori tubuhnya dan beberapa saat kemudian terdengar rintih lirih dari mulutnya. Kelopak matanya perlahan-lahan terbuka.
Pertama kali yang terlihat olehnya adalah sosok tubuh mengabur yang sedang jongkok di sampingnya. Ada gerak tangan yang mengguncang-guncangkan bahunya dengan perlahan dan kemudian membantunya untuk bangkit duduk.
"Kau, dik ? Bagaimana kau bisa lolos da-
ri serangan racun itu?" tanya Parmin untuk per- tama kali. Ternyata yang ditanya tak lain adalah Karta, Si Gila dari muara Bondet yang hanya tersenyum mengembang menyambut kebangkitan saudara angkat yang ia cemaskan.
"Nyatanya kau juga selamat, kang Parmin!
Bisakah kau menjawabnya?"
"Allahu Akbar!" seru Parmin sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Pancaran matanya penuh dengan rasa puji syukur.
"Apa yang kau ucapkan?" tanya Karta he-
ran.
"Kita selamat dari ancaman maut karena
kemurahan Tuhan. Agaknya kita berdua memang tidak ditakdirkan mati karena racun nenek iblis yang berkedok malaikat penolong dengan memberi kita nasi untuk makan sarapan!" ujar Parmin kepada adik angkatnya yang sama sekali awam terhadap ajaran agama.
"Itu artinya tugas kita masih banyak, Kar-
ta."
"Ya, kang!"
Mereka membisu sejenak sambil saling
berpegangan tangan di bahu masing-masing diiringi tatapan mata penuh semangat. Keduanya lalu bangun dan membenahi pakaian mereka masing-masing yang sudah acak-acakan. Mereka harus segera mulai menjalankan tugas dan kewajiban sebagai patriot bangsa.
Kemudian Parmin memberi tugas kepada Karta untuk mengumpulkan pendekar-pendekar yang berjiwa patriot yang berada didaerah barat Cirebon sesuai dengan tempat asal dan kampung halaman Karta. Parmin sendiri pergi menuju ke selatan kembali meneruskan tugas yang diamanatkan oleh gurunya Ki Sapu Angin, demi tanah air dan bangsa kepadanya.
Si Gila dari Muara Bondet melambaikan tangannya sambil mengayunkan langkahnya menuju ke barat. Demikian juga dengan Parmin. Ia pun melangkahkan kakinya dengan rasa bangga terhadap adik angkatnya itu. Untuk sementara mereka berpisah dan kelak di suatu saat mereka kembali berkumpul dan menghimpun kekuatan untuk mengadakan pemberontakan membebaskan tanah air tercinta dari belenggu penjajahan Kumpeni Belanda.
Sampai episode ke dua berjudul Si Gila dari Muara Bondet ini,
kita belum juga bertemu dengan JAKASEMBUNG. Siapa gerangan dia? Baiklah, kita nantikan saja kehadiran episode ketiga yang berjudul "MENUMPAS BERGOLA IJO"