Jilid 13
Aba-aba kedua terdengar. Itulah aba-aba menyerang. Maka dua pasukan sama-sama berlari untuk saling berhadapan. Juru acara mengabarkan kepada penonton bahwa pasukan lawan menggunakan siasat perang bernamaBajra-Panjara . Mereka juga sama membentuk formasi barisan tapi caranya jauh berbeda dengan yang ditampilkan pasukan perwira. Mereka membuat lapisan penyerangan dengan jumlah yang sama setiap lapisnya. Ginggi menghitung, baik lapisan baris pertama mau pun baris kedua sampai lapisan paling belakang jumlah pertahanannya sama, yaitu terdiri dari limapuluh orang prajurit berjajar ke samping. Ginggi pun menghitung jumlah lapisan pasukan prajurit. Semuanya ada sepuluh lapis. Artinya pasukan prajurut total berjumlah 500 orang. Jauh lebih besar ketimbang pasukan perwira pengawal raja.
Dengan iringan tempik-sorak penonton, dua pasukan berlari saling mendekat sambil tetap menampilkan cara formasi masing-masing.
Tempik-sorak makin menjadi-jadi, suara gamelan pun makin bersemangat ketika lapisan pertama sudah saling menyerang. Ini adalah pertempuran paling berat buat pasukan perwira. Lapisan pertama ini jumlahnya hanya sepuluh orang. Sedangkan di lain fihak, lapisan pertama dari pasukan prajurit berjumlah limapuluh orang.
Ginggi mulai mengerti siasat perang formasiMerak-Simpir ini. Lapisan pertama dengan jumlah terbatas diuji kekuatannya dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Bila lapisan pertama ini gagal menghadang musuh, maka akan bergerak lapisan kedua dengan jumlah berlipat dua. Bila ternyata lapis kedua juga gagal membendung, maka akan bergerak lapisan ketiga yang jumlahnya semakin berlipat juga. Begitu seterusnya sampai tiba pada lapisan terakhir tapi dengan jumlah barisan paling banyak.
Tapi pertempuran lapisan atau gelombang pertama belum memerlukan bantuan gelombang kedua, sebab sepuluh perwira pengawal raja kendati dikepung limapuluh prajurit bersenjata lengkap nampak melakukan perlawanan sengit. Sepuluh orang perwira sanggup berkelit dari serbuan ujung-ujung tombak atau pedang, bahkan sebaliknya berhasil membalas serangan. Dan kendati dilakukan dengan tangan kosong, tapi jurus-jurus berkelahi mereka tinggi-tinggi dan hebat-hebat. Ginggi terpesona sekaligus juga heran, sebab ada beberapa gerakan dan jurus-jurus yang mirip jurus kepunyaan Ki Darma.
Namun rasa heran di hatinya tak berlangsung lama, sebab Ki Darma belasan tahun silam adalah anggota pasukan seribu perwira pengawal raja. Ki Darma adalah perwira senior yang pasti banyak menurunkan ilmunya kepada sesama perwira yang pengalaman bertempurnya di bawah Ki Darma.
Teringat akan ini, Ginggi tersenyum kecut. Orangnya sampai hari ini tidak disukai kalangan istana tapi ilmunya tetap dipergunakan.
Siasat bertempur dengan julukanBajra-Panjara pun sebenarnya demikian hebat. Semua barisan terlihat berjajar kokoh seperti kokohnya jeruji penjara. Barisan lapis pertama dalam menyerang dan bertahan tak mengubah gaya formasi dan posisi. Mereka berjajar rapi, ketat dan kuat sehingga tak memberikan peluang untuk lolos dari kepungan. Mereka pun saling menunjang satu sama lain, sehingga bila ada salah-satu anggota terdesak maka dua anggota di samping kiri dan kanannya segera memberikan bantuan. Begitu seterusnya. Namun ketangguhan formasi apa pun hanya akan sempurna hasilnya bila didukung oleh pelaku yang secara perorangan sempurna pula dalam menampilkan kebolehan ilmu berkelahi.
Dan pasukan perwira pengawal raja ilmunya hampir dua atau tiga tingkat di atas rata-rata prajurit biasa. Dalam waktu yang tak terlalu lama, tiap gelombang atau lapisan pasukanBajraPanjara berhasil ditembus taktik perang Merak-Simpiryang dilakukan dengan jurus-jurus perseorangan yang demikian sempurnanya.Bajra-Panjara berantakan karena anggota pasukannya telah lintang-pukang dan cerai-berai.
Tempik-sorak dan suitan tanda pujian bergemuruh di seputar alun-alun menyambut kemenangan pasukan pengawal raja. Sang Prabu Ratu Sakti pun nampak mengangguk-angguk tanda senang dengan pertunjukan ini.
Latihan perang-perangan telah selesai tanpa menimbulkan luka berarti kepada kedua anggota pasukan tersebut.
Dan kini tiba saatnya uji ketangkasan bagi para prajurit yang akan mengalami kenaikan tingkat, disusul oleh uji ketrampilan bagi ambarahayat yang bermaksud mengabdikan diri menjadi Prajurit Pakuan.
Macam-macam cara ujian yang diselenggarakan. Dari mulai ujian menggunakan ketrampilan menggunakan tujuhbelas macam senjata, sampai kepada uji ketrampilan berkelahi. Dari mulai uji menangkap banteng, sampai kepada uji menangkap macam kumbang yang dilepas di tengah alun-alun. Penonton, terutama kaum wanita dan anak-anak, bergidig ngeri bahkan ada yang menjerit ketakutan atau menutupi mata dan berlindung di balik pohon karena tak kuasa melihat kegagahan macan kumbang serta aumannya yang membelah dada.
Namun binatang buas itu tak mungkin lolos dari alun-alun dan apalagi menyerang penonton. Yang menjadi sebab, karena para perwira tangguh selalu siaga mengepung agar ruang gerak binatang buas itu hanya terbatas di dalam kepungan pengawal raja saja.
Sedang asyik-asyiknya Ginggi menyaksikan semua pertunjukan dan atraksi memikat ini tibatiba bahunya ditepuk orang dari belakang.
"Hei, kau prajurit Madi rupanya!" teriak Ginggi gembira. "Sejak tadi aku cari-cari kau, ke mana saja?" tanyanya kembali akan menepuk bahu Madi. Namun Madi segera menepiskan tepukan Ginggi.
"Kau jangan bertindak kurang ajar seperti itu. Aku kan prajurit!" desis Madi melotot marah. "Oh, maaf …" kata Ginggi sambil senyum tetap di bibir.
"Aku sejak pagi sibuk terus. Aku kan prajurit. Dan ini pestanya prajurit!" jawab Madi sombong.
"Tapi yang lain sibuk, kau malah tidak …" gumam Ginggi mencibir.
"Dasar anak tolol. Yang sibuk bukan hanya di tengah alun-alun saja. Ada juga yang melakukan kesibukan secara diama-diam. Itulah aku, sebab aku musti memeriksa kalau-kalau di sekeliling alun-alun keamanan tak terjamin," jawab Madi.
"Oh, begit rupanya …"
"Sekarang aku datang ke sini bukan sengaja cari-cari kau tapi sedang bertugas jaga, siapa tahu di sini ada pengacau!" kata Ginggi tak senang akan cibiran Ginggi.
"Pengacau?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, orang-orang bawel sepertimu bisa-bisa kutangkap karena dianggap pengacau!" kata Madi jengkel.
"Hei, jangan marah seperti itu. Kau kan sudah jadi prajurit," kata Ginggi. Madi hanya menjawab dengan desisan.
"Bagaimana, apa aku bisa ikut kerja lagi pada Raden Suji Angkara?" tanya Ginggi kembali teringat hal ini.
"Kau lihat sana Raden Suji lagi sibuk!"
"Maksudku, ya nanti saja bila Raden Suji Angkara tidak sibuk."
"Ya, nanti saja bicaranya, tolol!" hardik Madi yang nampaknya akan segera berlalu. "Eh, aku dapat pesan dari Ki Banen, dia ingin bertemu denganmu!" kata Madi menahan langkah.
"Ki Banen? Di mana aku bisa bertemu dengannya?"
"Huh, dia menjadi sering sakit-sakitan setibanya di sini. Orang-orang pada ribut kerja dia malah sakit," kata Madi kesal.
Madi memberikan alamat di mana Ki Banen bisa ditemui.
Ketika acara uji ketrampilan masih berlangsung, Ginggi segera meninggalkan tempat itu. Hanya Ki Banen yang nampak baik padanya. Oleh sebab itu mendengar orang tua itu sakit, Ginggi ingin menengoknya.
Ginggi melangkahkan kaki meninggalkan alun-alun. Dia berjalan menyuri sebuah parit buatan yang orang Pakuan menyebutnya sebagai Cipakancilan. Kata Madi, Ki Banen tinggal di sebuah rumah tua di tepi Cipakancilan.
Memang tidak sulit, sebab di beranda rumah kayu jati ada orang gemuk berwajah bulat dan berkumis tebal.
"Ki Ogel …" sapa Ginggi.
Ki Ogel memicingkan kedua matanya karena ingin jelas siapa yang menyapanya. "Kau, anak muda?" Ki Ogel balik menyapa.
"Ya, kini aku beri tahu namaku, aku Ginggi!" jawab pemuda itu sedikit terharu. Terharu, hanya dalam waktu sembilan bulan saja wajah Ki Ogel sudah berubah. Rambutnya yang kini digelung ke atas sudah penuh uban.
"Aku kau tinggalkan begitu saja di Sagaraherang. Sekarang kalian kususul. Tapi, benarkah Ki Banen sakit?" tanyanya. Ki Ogel hanya mengangguk lesu. "Mari masuk …" tukasnya.
Ginggi masuk ke rumah tua itu. Ada ruangan tengah cukup luas, dilengkapi satu ruangan tidur. Ki Ogel menunjuk ke ruangan itu. Ginggi masuk dan nampak ada orang tua tergolek lemah di lantai papan yang beralaskan sebuah tikar.
"Ki Banen?" sapa Ginggi.
Orang yang tergolek lemah itu membuka matanya pelan-pelan. Dengan sorot mata sayu dia menatap siapa yang datang. Tapi rupanya Ki Banen masih hafal Ginggi.
"Kau anak muda …"
"Aku Ginggi," kata pemuda itu mendekati tubuh tak berdaya tersebut.
Ki Banen mengulurkan tangannya. Dia sepertinya ingin memegang tangan pemuda itu. Ginggi mengerti. Dia segera memegang tangan Ki Banen, kurus dan keriput. Ki Banen jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Jauh lebih tua dibandingkan dengan wajah Ki Ogel yang nampak masih agak gemuk.
"Anak muda … mau apakah kau datang ke Pakuan ini?" tanya Ki Banen dengan suara lemah hampir-hampir hanya sebuah bisikan saja.
"Aku … Bukankah aku sudah jadi anak buah Raden Suji Angkara? Mengapa aku kalian tinggalkan di Sagaraherang? Sudah barang tentu aku datang ke sini karena menyusul kalian," kata Ginggi setengah berbohong.
"Jangan … Jangan ikut kerja di sini. Sebaiknya kau pulanglah! Lebih baik kau selamatkan jiwamu!" Ki Banen menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir Ginggi pergi. Pemuda itu tak mengerti apa yang dimaksud Ki Banen. Namun orang tua itu nampak payah untuk melanjutkan omongannya. Dia hanya memegangi dadanya saja dan mulutnya menahan batuk.
Ginggi menengok ke arah Ki Ogel. Dia ingin mendapatkan penjelasan.
"Tadi pagi memang Madi memberitahu kami bahwa engkau datang ke Pakuan. Maka Ki Banen meminta agar kau datang ke sini. Maksud Ki Banen memang begitu, sebaiknya kau pulang saja dan jangan lanjutkan maksudmu untuk mengabdi kepada Suji Angkara …" kata Ki Ogel.
"Mengapa?"
Ki Ogel menundukkan kepala. "Pokoknya kau pergi saja dari sini. Kau tidak akan cocok bekerja dengannya," katanya sesudah lama berdiam diri.
"Aku ingin tahu, apa sebabnya aku tak boleh bekerja kepada Raden Suji Angkara, padahal susah-payah aku menempuh perjalanan jauh dari Sagaraherang ke Pakuan ini," gumam Ginggi dengan nada sesal.
"Kau terangkan Ki Ogel …" kata Ki Banen pada akhirnya. Ginggi kembali berpaling kepada Ki Ogel. Dia amat penasaran ingin segera mendengarkan penjelasan Ki Ogel.
Dengan hati-hati karena penuh rasa khawatir, Ki Ogel bercerita tentang pengalamannya ikut Suji Angkara selama ini.
Sejak dari Desa Cae, kedua orang tua ini memang sudah berniat bergabung dengan Suji Angkara. Pertama untuk cari pengalaman dan kedua mencari mata pencaharian yang layak.
"Kau mungkin tahu, Suji Angkara kelihatannya begitu kaya dan setiap hari kerjanya berfoyafoya belaka," kata Ki Ogel. "Anak pesolek itu senang berfoya-foya karena banyak kekayaannya. Dia banyak memiliki kekayaan karena gemar berniaga. Itulah sebabnya, ketika ada tugas mengirimkan barangseba , Ki Ogel dan Ki Banen tertarik untuk ikut serta."
"Aku dan Ki Banen berpikir, bila usai tugas mengirim seba, tidak akan kembali ke kampung halaman, melainkan akan ikut Suji Angkara berniaga," ungkap Ki Ogel. Namun apa yang terjadi? Sesudah bersama Suji Angkara, baik Ki Ogel mau pun Ki Banen banyak mendapatkan keganjilan. Kata Ki Ogel, cara kerja Suji Angkara dalam menghimpun barang-barangseba tidak wajar.
"Engkau pernah menyindir kami ketika di Desa Wado tentang cara-cara paksa dalam menarik seba yang dilakukan Suji Angkara," kata Ki Ogel.
"Ya, benar! Waktu itu aku tak senang tindakan Raden Suji Angkara sebab mengambil seba di desa itu terlalu kasar!" kata Ginggi.
"Aku juga waktu itu tidak senang. Tapi aku menahan diri sebab aku masih punya harapan dari anak itu," kata Ki Ogel.
Ki Ogel melanjutkan ceritanya tentang kejanggalan yang diperlihatkan Suji Angkara. Di Desa Wado pemuda tampan itu kepergok Ki Banen menggoda anak gadis warga desa. Mereka anggap Suji Angkara bertindak tak senonoh sebab mengganggu anak gadis orang yang minggu depannya akan melangsungkan perkawinan.
"Namun kami tak melakukan teguran. Apa pun yang terjadi, Suji Angkara adalah putra Kuwu Suntara yang begitu disayang orang tuanya, sedangkan kami semua menghormat pada Kuwu," kata Ki Ogel.
Ki Ogel melanjutkan ceritanya. Perasaan tak enak semakin membebani hatinya ketika anak gadis di Desa Wado mati bunuh diri.
"Menurut berita, gadis itu bunuh diri karena kecewa biaya untuk upacara pernikahan sebagian besar habis guna membayarseba . Tapi benarkah begitu? Kami mencurigai sesutau hal. Tapi kami tak sanggup mengatakan apa-apa," kata Ki Ogel menghela nafas.
"Peristiwa yang sama terjadi pula di wilayah Kandagalante Tanjungpura. Anak gadis Jurangan Ilun Rosa mati bunuh diri, setelah gadis itu sehari sebelumnya digoda Suji Angkara. Kami menemukan banyak keganjilan. Setiap kami masuk ke sebuah wilayah, setiap itu pula ada gadis bunuh diri. Di Warunggede ada juga gadis bunuh diri. Apakah memang kami patut bercuriga, entahlah. Hanya yang jelas, setiap kami memasuki satu wilayah, selalu saja ada peristiwa menyedihkan," kata Ki Ogel.
"Dengan kata lain kau mengatakan bahwa setiap di situ ada Suji Angkara, maka di sana ada peristiwa. Begitukah?" tanya Ginggi.
Ki Ogel tak berani menganggukkan kepala. Sedangkan Ki Banen hanya tergolek saja dengan pernapasan lemah.
"Pemuda Seta dan Madi bagaimana?" tanya Ginggi.
"Seta pernah mengatakan hal ini padaku. Tapi akhirnya dia melupakan urusan ini. Seta terlalu setia kepada Suji Angkara sebab selalu mendapatkan perhatian lebih dari pemuda itu.
Sekarang Seta menjadi ponggawa istana dan Madi jadi prajurit tugur benteng dalam. Mereka berdua amat berterima kasih pada Suji Angkara yang dianggapnya begitu berjasa mengangkat nasib mereka. Bila sudah kerja selama setahun, khabarnya Seta akan pulang dulu ke Cae untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Santimi," kata Ki Ogel. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Perasaan tak enak menyelimuti hatinya bila harus diingatkan kepada nama gadis Desa Cae ini. Setiap kali mengingat Nyi Santimi pasti ingat peristiwa aib yang amat memalukannya.
"Lalu, mengapa Ki Banen sampai menderita sakit seperti ini?" tanya Ginggi kembali memperhatikan orang tua tergolek lemah di hadapannya.
"Yah … dia memang sakit keras," keluh Ki Ogel.
"Aku tanya mengapa dia sakit? Apa penyebabnya?" tanya Ginggi lagi.
"Betul … aku sakit keras," sambung Ki Banen sambil kembali menahan batuk. Namun dia tak bisa menahan terus. Sehingga pada suatu saat dia batuk-batuk dengan keras. Ki Banen serentak bangkit karena batuk-batuknya diakhiri dengan memuntahkan darah hitam!
Ginggi buru-buru menyeka lelehan darah dari mulut orang tua itu dengan kain yang tersedia di sana.
"Engkau bukan sakit biasa. Engkau menderita karena ada luka dalam, Paman!" kata Ginggi. "Siapa yang memukulmu sekejam ini?"
Ki Ogel terbelalak heran. Begitu pun Ki Banen, matanya yang layu mendadak terbuka lebar. "Kau …? Dari mana engkau tahu dia sakit karena dipukul?" tanya Ki Ogel.
Ginggi sejenak terdiam. Hatinya mencari jawaban yang sekiranya tak mengundang perhatian mereka berdua.
"Ya, karena darah hitammu itulah. Luka dalammu menyebabkan jaringan darahmu rusak berat," kata Ginggi. "Coba aku lihat dadamu, Paman," tanpa diminta Ginggi membuka pakaian Ki Banen di bagian dadanya. Ada tanda kehitaman amat tipis dan hampir menghilang, menandakan bahwa luka itu sudah lama terjadi.
"Kau pasti dipukul orang sekitar sebulan yang lalu," kata Ginggi mengira-ngira. Ki Banen mengangguk tanda membenarkan.
"Siapa yang melukaimu dengan pukulan tenaga dalam ini?" tanya Ginggi lagi. Ki Banen menggelengkan kepala.
"Engkau merahasaikannya padaku?" Ginggi melirik tajam.
"Tidak. Aku memang tidak tahu siapa yaang memukul aku," kata Ki Banen. "Coba ceritakan peristiwanya."
Ki Banen terdiam. "Ceritakanlah, Paman …" "Ini mungkin imbalan bagi orang yang selalu bercuriga," gumam Ki Banen."Suji Angkara selalu memperhatikan Nyi Mas Banyak Inten" katanya lagi.
Ginggi mengerutkan dahi.
"Baiklah aku terangkan sebelumnya," potong Ki Ogel manakala melihat Ginggi kebingungan.
Ki Ogel bercerita lagi, bahwa di Pakuan terdapat banyak pejabat dan kaum bangsawan. Yang terkenal saja, Ki Ogel menyebut Bangsawan Soka. Dia masih kerabat Raja dan menjabat mangkubumi. Ada Pangeran Yogascitra, juga masih kerabat Raja. Dia punya dua orang anak putra dan putri. Yang laki-laki, anak pertama, bernama Banyak Angga, sedangkan yang kedua putri bernama Nyi Mas Banyak Inten. Ada juga Bangsawan Bagus Seta. Punya anak perempuan cantik yang bernama Layang Kingkin. Gadis ini punya hubungan cinta dengan Banyak Angga, putra Bangsawan Yogascitra.
"Bangsawan Bagus Seta ini menjabatmuhara . Bila Suji Angkara datang ke Pakuan, maka yang dimaksudnya adalah Bangsawan Bagus Seta. Kami tak tahu apa hubungan atau keperluan Suji Angkara kepada Bangsawan Bagus Seta," kata Ki Ogel.
Ginggi sudah sejak tadi menahan nafas mendengar penjelasan ini. Lengkap sudah muridmurid Ki Darma semua ditemukan. Dan semuanya amat mengejutkan, terutama Ki Banaspati dan Bangsawan Bagus Seta. Bayangkanlah, pertama kali Ginggi temukan Ki Banaspati. Dia dikenal sebagai pejabat Pakuan yang jadi tangan kanan muhara atau pejabat penarik pajak negara. Sekarang murid Ki Darma lainnya ditemukan sebagai pejabat muhara itu sendiri.
Dengan perkataan lain, Ki Banaspati menjadi bawahan Bangsawan Bagus Seta. Tapi di lain pihak Ginggi tahubahwa Ki Banaspati tidak seutuhnya bekerja untuk Pakuan, maksudnya untuk Raja. Sebab seperti yang dikemukakannya tempo hari, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan guna melakukan penyerbuan ke Pakuan kelak.
Keliru Pilih Obat
Satu hal yang membuat Ginggi heran. Benarkah Ki BagusSeta menjadimuhara ? Ginggi tempo hari pernah mendapatkan kabar di Sagaraherang, bahwa yang menjadi muhara di Pakuan adalah Bangsawan Soka. Sekarang ada kenyataan lain, bahwa Ki Bagus Setalah yang menjadi pejabatmuhara , sedangkan Bangsawan Soka bertindak sebagai mangkubumi.
Ginggi tidak mengetahui, jabatan mana yang lebih tinggi antaramuhara danmangkubumi . Bisa salah satu lebih tinggi, tapi bisa juga sejajar. Tapi yang perlu digarisbawahi, jabatan muhara dipegang Ki Bagus Seta bisa merupakan misteri bila dikaitkan dengan Ki Banaspati.
Bagaimana tak begitu, baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati adalah murid-murid Ki Darma. Kedua orang itu sama-sama dibebani tugas untuk menolong ambarahayat Pajajaran dari tekanan Raja. Sekarang Ginggi sudah mengetahui maksud tersembunyi Ki Banaspati. Kendati dia bekerja sebagai aparatmuhara , tapi sebagian kekayaan negara dari hasilseba dia sisihkan untuk keperluan pemberontakan. Lantas peranan Ki Bagus Seta sendiri, bagaimana? Mungkinkah kedua murid Ki Darma yang berhasil mencapai kedudukan penting di Pakuan ini bersekutu dalam mencapai maksud-maksud tertentu? Persekutuan ini mungkin amat rahasia. Siapa pun tak mengetahuinya, termasuk Suji Angkara. Itulah sebabnya, anak muda itu harus dilenyapkan seperti apa perintah Ki Banaspati kepada Ginggi. Siapa pun adanya Suji Angkara ini, akan benar-benar membahayakan bila dibiarkan melaporkan penemuannya ke Pakuan. Hanya yang menyebabkan Suji Angkara hingga hari ini masih selamat nyawanya, barangkali karena hubungannya dengan Ki Bagus Seta itulah.
Seperti yang dikatakan Ki Ogel tadi, Suji Angkara seperti punya hubungan erat dengan Ki Bagus Seta. Ginggi tidak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati untuk membunuh Suji Angkara. Dan bila tetap anak muda itu dianggap membahayakan, seharusnya Ki Banaspati sudah melenyapkan Suji Angkara di Pakuan. Namun kenyataannya, anak muda itu masih segar-bugar. Benarkah sudah tak membahayakan, atau bagaimana?
Biarlah, waktu yang akan menentukan kelak, pikir Ginggi karena berbagai misteri yang ada di sekitarnya masih banyak yang tak memberi jawab.
Dia tak bisa berpikir lebih panjang lagi, apalagi dia sekarang tengah menyimak cerita Ki Ogel.
"Coba lanjutkan ceritamu, Paman …" kata Ginggi lagi tak sabar karena Ki Ogel pergi ke dapur untuk menjerang air.
Ki Ogel kembali duduk di hadapan Ginggi dan Ki Banen yang tergolek lemah.
"Ya, begitu seperti apa kata Ki Banen. Dia amat bercuriga kepada Suji Angkara. Itulah sebabnya, ketika anak muda itu kerap kali mendekati Nyimas Banyak Inten, Ki Banen selalu menguntit. Sampai pada suatu saat …"
"Sampai pada suatu saat bagaimana, Paman?" Ginggi tak sabar.
Ki Banen batuk-batuk lagi, muntahkan darah hitam lagi walau hanya berupa bercak. Dan Ginggi terpaksa membantu menyekanya dengan kain yang ada di hadapannya. Ki Ogel sibuk pergi ke dapur. Kembali lagi sudah membawa air hangat di panci kayu. Mulut Ki Banen dibersihkan dengan air hangat, disekanya beberapa kali.
"Ki Banen bercerita padaku. Malam itu bulan benderang," kata Ki Ogel sesudah merawat Ki Banen. "Ki Banen terkejut ketika ia bertugas sebagai tugur benteng, ada bayangan berkelebat memasuki puri di mana Nyimas Banyak Inten berada. Ki Banen tak tahu, bayangan siapakah itu. Tapi karena rasa curiganya telah melekat pada Suji Angkara, Ki Banen langsung menduga bahwa yang datang mengunjungi puri secara sembunyi-sembunyi tentu berniat jahat. Menurut Ki Banen, bayangan itu pasti Suji Angkara," kata Ki Ogel.
Ginggi menoleh kepada Ki Banen.
"Benarkah, Paman?" tanya Ginggi pada Ki Banen. Yang ditanya hanya termenung. Kemudian dengan perlahan dia menggelengkan kepala.
"Aku hanya menduga saja. Kendati bulan benderang, tapi bayangan itu meloncat-loncat dengan lincah. Mataku tak sanggup mengikutinya dengan jelas," jawab Ki Banen.
Selanjutnya Ki Banen bercerita bahwa karena rasa penasarannya, dia terus menguntit bayangan itu. "Tapi akhirnya aku kehilangan jejak. Kucari ke mana-mana, tapi bayangan misterius itu tidak kutemukan. Putus asa karena tak kutemukan yang aku kuntit, akhirnya aku kembali keluar benteng. Dan ketika itulah, di sudut benteng aku dihadang seseorang …"
"Siapa dia?"
"Aku tak tahu. Gerakannya begitu cepat. Dia menghambur padaku dan melancarkan serangan pukulan dahsyat. Tubuhku terlontar beberapa tindak dan tak sadarkan diri …" kata Ki Banen memegangi dadanya.
"Tidak sempatkah kau lihat wajahnya walau hanya sebentar? Bukankah waktu itu bulan benderang?" tanya Ginggi penasaran.
"Benar. Tapi bulan telah condong ke barat. Dia menyerang membelakangi cahaya bulan. Jadi hanya bayangannya saja yang aku lihat. Dan aku tak kenal, siapa penyerang gelap ini," keluh Ki Banen. Tapi Ki Banen yakin, orang itulah yang secara diam-diam memasuki puri. Sebab setelah tahu dia dikuntit, dia mengurungkan rencananya.
"Hanya saja sebelum dia pergi, dia balas dendam sebab kegagalannya melakukan sesuatu karena kuntitanku itu," kata Ki Banen. Batuk-batuk lagi. Dan Ginggi sudah siap dengan kain lap.
Namun batuk Ki Banen tak berlangsung lama dan tak sampai muntahkan darah.
"Luka dalammu amat parah, Paman. Celakanya, selama ini nampaknya kau tak menggubris lukamu itu," kata Ginggi.
"Aku setiap hari berobat dengan telaten. Madi selalu setia memberikan ramuan yang aku harus minum setiap hari," jawab Ki Banen.
"Ah, aku tak melihat kau berobat. Kalau lukamu terus diobati, pasti sembuh. Tapi darah hitammu itu hanya menandakan ada luka lama yang tak pernah sembuh. Coba aku lihat ramuan obatmu bila benar kau berobat setiap hari," kata Ginggi. Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.
"Engkau harus percaya padaku. Bukankah ketika terjadi pertempuran di hutan jati, aku banyak mengobati anak buah Suji Angkara yang terluka sabetan golok perampok?" tanya Ginggi sekaligus mengingatkan kedua orang itu bahwa dirinya "akhli" pengobatan.
"Ya, betul! Kau bisa mengobati orang sakit!" Ki Ogel menepuk dahinya. Sesudah itu dia segera berjingkat memburu sudut ruangan. Di sana ada meja kecil. Dan di atas meja ada bungkusan kain. Bungkusan itu dibawa ke hadapan Ginggi.
"Ini obatpemberian Madi," kata Ki Ogel memberikan bungkusan obat yang sudah dibukanya sendiri. Ginggi coba meneliti ramuan itu. Hanya berupa serpihan-serpihan kayu yang sudah dikeringkan.
"Ramuan ini digodok dan airnya diminum setiap pagi dan sore," kata Ki Ogel. Ginggi seperti tak mendengar omongan orang tua ini karena matanya tengah meneliti jenis ramuan itu.
"Ini ramuan yang dibuat dari irisan batang kayu petai cina dan batang kayu pohon gedi," kata Ginggi memegang-megang serpihan kayu tersebut.
"Bagaimana, cocokkah ramuan ini?" tanya Ki Ogel.
"Batang pohon petai cina gunanya untuk mengeringkan luka dan kayu gedi merupakan obat untuk melancarkan jalannya darah," kata Ginggi.
"Ya, cocokkah ramuan itu untuk mengobati luka Ki Banen?"
Ginggi masih tak mengeluarkan jawaban pasti. Alisnya berkerut dan matanya menyipit tanda dia tengah berpikir keras.
"Daun dan batang pohon petai cina gunanya untuk merapatkan luka karena luka sabetan benda tajam. Aku biasanya hanya menggunakan ramuan ini untuk obat luar saja. Entahlah, bagaimana kemungkinannya bila digunakan obat luka dalam, sebab luka dalam bukan karena ada otot yang sobek dan mengeluarkan darah misalnya," Ginggi terus menyipitkan mata saking kerasnya berpikir.
"Oh,ya, … Jangan diminum ramuan ini!" ucapnya kemudian. Baik Ki Ogel mau pun Ki Banen melirik tajam pada Ginggi.
"Petai cina bila digunakan menutup luka luar akan bekerja cepat mengeringkan darah. Sedangkan bila digunakn terhadap luka dalam dan masuk ke dalam aliran darah, hanya akan membuat darah menggumpal dan membeku. Bila pengobatan ini terus berlangsung, maka aliran darah akan tersumbat oleh darah-darah beku," kata Ginggi yakin.
"Dan batang pohon gedi sebagai obat pelancar aliran darah, bagaimana?" tanya Ki Ogel.
"Ya, ramuan itu pun sama jangan diminum. Kau bayangkanlah Paman, sesuatu yang sedang tersumbat, kau dorong-dorong dengan cara paksa, bagaimana akibatnya?" tanya Ginggi.
"Saluran darah akan rusak, mungkin bocor, mungkin pecah!" kata Ki Ogel. "Nah, benar begitu!" seru Ginggi.
"Berbahaya sekali! Bila begitu si Madi akan membunuh Ki Banen. Kurang ajar. Aku harus menuntut bocah dungu itu!" teriak Ki Ogel.
"Jangan terburu nafsu. Barangkali Madi tak menyadari kegunaan obat itu. Sebaiknya kita teliti saja, darimana dia dapatkan ramuan itu," kata Ginggi. "Aku kira Madi tak berniat jahat. Lagi pula ramuan itu memang obat dan bukan racun. Hanya saja tak tepat bila digunakan mengobati luka dalam," ungkap Ginggi lagi.
Setelah mengeluarkan pendapatnya, Ginggi berjanji akan mencarikan obat yang tepat bagi kesembuhan Ki Banen. "Sekarang aku ingin tanya, mengapa sembilan bulan lalu kalian meninggalkanku secara tibatiba di Sagaraherang. Sepertinya kalian pergi dari tempat itu secara tergesa-gesa sekali," kata Ginggi menyelidik.
"Itulah bagian dari keganjilan-keganjilan Suji Angkara, anak muda. Dia selalu bertidak aneh. Suka melakukan sesuatu secara diam-diam," kata Ki Ogel. "Tengah malam kami berempat dibangunkan dan diajaknya melanjutkan perjalanan ke Pakuan. Ketika aku tanya, mengapa mesti buru-buru seperti itu, dia malah membentak. Aku tak tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal di Sagaraherang engkau pun tahu, kita dilayani dengan baik. Mungkin dia curigai Ki Banaspati karena perampok di hutan jati menyebutnya seolah-olah Ki Banaspati pimpinan mereka. Tapi, bukankah Ki Banaspati sudah bilang bahwa itu hanya fitnah belaka?" kata Ki Ogel menceritakan kembali peristiwa mengapa mereka berangakat secara tiba-tiba dari Sagaraherang.
Hanya Ginggi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun tadi Ginggi sengaja bertanya karena hanya akan mengecek saja, apakah para pengikut Suji Angkara tahu persis peristiwa di Sagaraherang?
"Kalau begitu kalian tak sayang padaku, sehingga meninggalkanku begitu saja …" gumam Ginggi pura-pura menyesal dengan peristiwa itu.
"Ki Banen sudah bilang, dia akan cari kau dulu untuk diajak serta. Tapi Seta menolaknya, sebab sebelumnya pun kau tak ikut rombongan kami. Apalagi Suji Angkara nampaknya begitu amat tergesa-gesa ingin segera meninggalkan tempat itu secara diam-diam," kata Ki Ogel.
"Tapi sudah aku katakan tadi, sebaiknya kau jangan bergabung dengan Suji Angkara," kata Ki Banen menimpali sambil tetap tergolek lemah.
"Selama ini hidupku terkatung-katung, ingin sekali kerja. Suji Angkara pernah menawariku kerja," gumam Ginggi.
"Carilah kerja di mana saja tapi jangan pada Suji Angkara," Ki Banen balik bergumam.
"Betul, anak muda. Kau ini sok usil mudah mengeritik orang. Bila kau terang-terangan mengeritik tindak-tanduk Suji Angkara, bisa membahayakan dirimu. Di Pakuan ini nampaknya dia punya pengaruh, entah karena apa. Namun yang jelas, banyak orang yang segan padanya, terutama di kalangan istana …" kata Ki Ogel sambil mendongakkan kepala ke langit-langit seolah-olah tengah menerka-nerka apa kedudukan Suji Angkara di Pakuan ini.
Ginggi pun sebenarnya berpikiran sama. Suji Angkara ini amat misterius sampai-sampai menimbulkan perhatian khusus bagi Ki Banaspati ketika di Sagaraherang. Padahal yang Ginggi tahu, sebelumnya Ki Banaspati menganggap pemuda itu sebagai bawahannya dalam menghimpunseba di wilayah timur. Untuk berusaha membuka tabir-tabir ini, tak ada cara lain selain langsung memasuki istana. Ginggi harus membuka banyak tabir. Bagaimana pandangan kalangan istana terhadap kegiatan Ki Banaspati, termasuk pula pandangan Ki Bagus Seta. Ginggi juga harus menyelidik, apa kegiatan sebenarnya dari Ki bagus Seta.
Apakah dia bertindak murni sebagai pejabat Pakuan, ataukah memiliki tujuan khusus seperti Ki Banaspati. Dan bila mengingat akan hal ini, pemuda itu jadi termenung. Kalau ternyata Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta bersekutu untuk menjatuhkan Raja, apa yang harus dilakukan Ginggi? Berpangku tangan, mencoba menggagalkannya, ataukah sama sekali bergabung ikut membantu?
Berkerut dahi pemuda itu. Bila ikut bantu, artinya artinya terjun dalam upaya pemberontakan. Ki Rangga Guna pernah bilang, memberontak terhadap pemerintahan yang syah adalah tindakan hina dan jahat sebab akan mengakibatkan suasana negara semakin kacau. Rakyat pun akan menderita sebab di antara mereka akan terjadi pro dan kontra. Pemberontakan yang bertujuan akan mengganti tatanan negara, menurut Ki Rangga Guna hanya akan mengembalikan negara ke titik nol lagi.
"Seorang pemimpin yang bertahta karena menggantikan raja lama dengan kekerasan biasanya tidak senang bila dalam melanjutkan kepemimpinannya mengikuti tata-cara raja yang dijatuhkannya. Dengan demikian dia jelas akan mengubah gaya kepemimpinannya. Dia akan mengganti seluruh aparatnya, mungkin dengan yang lebih bagus lagi, tapi mungkin hanya sebagai jatah bagi hasil atas jasa-jasa orang yang membantunya melakukan pemberontakan dan bukan dihitung atas dasar mampu atau tidaknya menjadi aparat. Yang jelas, mengganti tatanan negara beserta aparatnya, hanya akan mengembalikan cita-cita kemajuan negara ke tingkat awal. Rakyat yang akan jadi korban sebab mereka tak ada habis-habisnya disuruh berjuang dari awal lagi," kata Ki Rangga Guna ketika itu.
Selama tiga bulan Ki Rangga Guna bersamanya, memang banyak memberikan berbagai pengetahuan, termasuk pengetahuan akan kejadian masa lalu. Menurut Ki Rangga Guna, selama hampir 900 tahun ini Kerajaan Sunda berdiri, dan berubah menjadi Pajajaran 68 tahun silam (1482 Masehi), sudah dipimpin oleh 38 raja. Pergantian dari raja ke raja lainnya dilakukan secara damai dan penurunan tahta secara kekerasan bukanlah tradisi orang Sunda.
Kata Ki Rangga Guna, dari 38 raja yang memegang tahta Kerajaan Sunda, hanya tiga raja yang tergantikan kedudukannya karena pemberontakan, yaitu Sang Prabu Rakean Tamperan Barmawijaya (723-739 Masehi), dua raja lagi yang hidup sebelum Sang Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya, yaitu terhadap Sang Sena (716 Masehi) dan kepada Prabu Purbasora (723 Masehi) ayahandanya Sang Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya.
"Peristiwa pemberontakan dan perebutan kekuasaan ini terjadi karena saling balas-membalas keluarga masing-masing," kata Ki Rangga Guna. "Jadi terbukti, pergantian kekuasaan dengan jalan kekerasan dan rebutan, hanya akan melahirkan kekerasan lainnya lagi. Itulah sebabnya, para penerus raja-raja Sunda menghindari berbagai pertikaian di dalam negri. Hanya dua raja yang tergantikan karena pembunuhan. Sang Prabu Arya Kedaton, raja Sunda ke 9 terbunuh oleh menterinya sendiri karena tak senang atas asal-usul Sang Raja. Tetapi Raja Sunda ke 31 terbunuh karena sesuatu hal yang terhormat. Beliau adalah Prabu Wangi atau Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang tewas dalam pertempuran membela kehormatan dan harga diri di Bubat, negri timur. Pergantian kekuasaan lainnya yang dialami raja-raja Sunda terjadi secara wajar-wajar saja tanpa ada kemelut yang berarti. Hal-hal seperti ini setidaknya akan membantu kerukunan di dalam negri sendiri," tutur Ki Rangga Guna yang pada prinsipnya tak menghendaki adanya pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan negara.
Siapa yang harus Ginggi ikuti pendapatnya, dia masih bimbang memikirkannya. Namun bila dia hanya berpangku tangan saja, dia akan malu terhadap Ki Darma, sebab hanya menandakan bahwa hidupnya tiada guna. Apa pun yang dilakukan Ki Banaspati, sebenarnya adalah upaya melawan kebijaksanaan raja yang dalam hal ini dianggapnya sebagai amanat guru. Namun jalan pikiran Ki Rangga Guna yang menolak pemberontakan pun pada hematnya suatu upaya dalam menjalankan amanat guru juga. Ki Darma acapkali berkata, agar semua muridnya berjuang mengembalikan kejayaan bumi Pajajaran. Hanya bedanya, Ki Banaspati menafsirkan ucapan guru dengan jalan memberontak dan Ki Rangga Guna menafsirkan dengan jalan berupaya bekerja agar Pajajaran aman dan tentram. Semua sepertinya berjalan di atas kebenaran. Tetapi tetap saja amat membingungkan pikiran Ginggi.
Sampai percakapan dengan kedua orang itu selesai, jalan pikiran pemuda itu masih digayuti kebimbangan-kebimbangan.
"Aku akan jalan-jalan melihat kota, Paman …" akhirnya.
"Silakan kau berkeliling kota. Tapi hati-hati jangan membuat keributan. Bila sudah malam, kau pulanglah ke sini," kata Ki Ogel.
Ginggi mengangguk sebagai tanda terima kasih atas penerimaan kedua orang tua itu untuk tinggal di sana. Dan sesudah mohon diri, pemuda itu segera berlalu meninggalkan rumah kayu tua di tepi Sungai Cipakancilan ini.
Hari sudah amat siang. Di alun-alun benteng luar pun, keramaian sudah usai. Kecualibalandongan belum dibongkar seluruhnya. Ada satu dua petugas membereskan sisasisa keramaian. Mereka bekerja dengan telaten kendati sinar matahari sudah semakin menyengat.
Mungkin acara uji-terampil yang tadi diselenggarakan sudah menghasilkan beberapa prajurit pilihanuntuk kelak dididik dan digodok agar menjadi perwira tangguh. Mungkin juga sudah banyak ambarahayat yang terpilih sebagai calon prajurit Pajajaran. Namun yang jelas, Ginggi kurang begitu berminat untuk menyimak urusan yang satu itu.
Di saat sengatan matahari siang, dia malah berkeliling Pakuan untuk mengenal suasana ibukota ini lebih rinci lagi. Sekarang Ginggi bisa memperhatikan wilayah ini lebih seksama lagi.
Seperti apa yang diterangkan seorang penduduk, Pakuan terdiri dari dua bagian, pertama wilayahjawi khita (kota luar) dandalem khita (kota dalam). Batas-batas wilayah itu memang dibatasi olehkhita (benteng), ada benteng luar dan ada benteng dalam. Kaum santana, pedagang dan ambarahayat tinggal di benteng luar, sedangkan para bangsawan, pejabat dan kerabat raja tinggal di benteng dalam.
Ketika Ginggi masuk kedayo (kota) dari arah timur, Ginggi mesti menyebrang sungai bernama Cihaliwung (Ciliwung). Kata penduduk, sebenarnyadayo diapit dua sungai besar. Di sebelah timur oleh Sungai Cihaliwung dan di sebelah barat oleh Sungai Cisadane. Dua aliran sungai ini biasa dilayari sampai ke muara. Cisadane berakhir di muara Tangerang dan Cihaliwung berakhir di Kalapa (Sunda Kalapa). Dulu ketika zamannya Sri Baduga Maharaja, kedua sungai ini merupakan pelabuhan laut yang menghubungkan perdagangan antara Pakuan dan negri-negri sebrang. Barang-barang kiriman dari negri sabrang bisa dibawa langsung sampai ke pedalaman Pakuan ini. Setiap hari lalu-lintas sungai selalu ramai. Perahu dari muara datang membawa kain halus, barang-barang keramik dari Cina atau berbagai keperluan hidup yang belum dibuat di Pakuan. Sebaliknya dari pedalaman, perahu beriringan membawa hasil bumi Pakuan untuk dikirimkan ke berbagai negri sebrang. Kapas dan buah asem, bawang merah bahkan anggur, akan dibawa perahu-perahu kecil menuju muara di mana di sana terdapat pelabuhan laut. Barang-barang Pakuan kelak akan dipindahkan kejung (kapal besar). Dalam satu tahun, hampir seribujung meninggalkan Pelabuhan Kalapa (Kalapa Sunda) sambil membawa buah asem saja.
Sekarang zamanya Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan, kedua sungai ini masih tetap dilayari tapi hanya sebatas wilayah Pakuan saja. Perahu-perahu kecil milik orang Pakuan sudah tak berani melanjutkan perjalanan ke utara sampai muara, sebab wilayah tersebut sudah jadi milik kekuasaan Cirebon. Begitu pun perdagangan antar negri, semua sudah jadi milik Cirebon.
Kalau pun ada barang-barang dari negri sabrang masuk ke wilayah Pakuan, itu terjadi karena kenekatan para penyelundup saja.
Pesta Ikan di Sipatahunan
Masukke tengah dayo juga ada sungai. Penduduk menyebutnya sebagai Sungai Cipakancilan atau Cipeucang. Sungai ini ada di antara batasdalem khita dan alun-alun. Atau dengan kata lain, sungai ini seolah-olah melindungi benteng dalam. Menurut orang tua yang ditanyai Ginggi, Cipakancilan atau Cipeucang ini sebetulnya sungai yang sengaja dibangun untuk pertahanan istana. Sebelum masuk kelawang saketeng (gerbang keraton), sebelumnya mesti melintasi Sungai Cipakancilan dulu.
Cukup kokoh sebagai pertahanan. Apalagi bila dilihat dari arah selatan, sisi-sisi Cipakancilan berupa tebing terjal di tepian benteng dalam. Pusat istana nampak nyata sebagai daerah dataran tinggi.
Ketika Ginggi menyusurijawi khita (benteng dalam) menuju arah timur, sayup-sayup Ginggi mendengar hingar-bingar, seperti banyak orng bersorak-sorai. Suara hingar-bingar itu sepertinya datang dari arah tepian Sungai Ciliwung.
"Paman, ada kejadian apakah di sudut benteng timur?" tanya Ginggi kepada seseorang yang tengah memikul bawaan dan nampaknya datang dari arah timur.
"Engkau tidak ikut ramai-ramai ke sana, anak muda?" orang itu malah balik bertanya sambil terus melangkah cepat karena pikulannya itu.
"Ada apa di sana, Paman?"
"Orang-orang sedangmarak dileuwi Kamala Wijaya!" ucap orang itu sambil tetap melangkah tergesa-gesa.
Ginggi melangkah menuju arah yang ditunjukkan orang itu. Sepemakan sirih jauhnya, baru dia sampai ke tempat yang dimaksud. Suara sorak-sorai gegap-gempita memang datang dari tempat itu, yaitu Sungai Cihaliwung.
Ratusan orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki dan wanita, berderet dan berkelompok di tepi sungai. Mereka tengah menunggu sesuatu sambil berbekal alat-alat penangkap ikan. Mereka ada yang berbekal jaring,ayakan , atau ember kayu. Semua orang tengah menyaksikan dan menunggu teman-temannya yang berada di tengah sungai. Sungai Cihaliwung sedang dibendung, sehingga hanya sebagian kecil saja air mengalir dari sela-sela bendungan. Jadi yang disebutmarak oleh orang yang ditanya tadi adalah pekerjaan menangkap ikan dengan cara membendung bagian sungai agar ke daerah hilir, permukaan sungai menjadi turun hingga ke dasar. Jauh di hilir, ada lagi bendungan agar ikan di daerah aliran yang tengah dibendung tidak lari ke hilir.
Bagian yang dibendung merupakan aliran sungai paling dalam. Jadi,Leuwi Kamala Wijaya adalah lubuk yang ada di aliran Sungai Cihaliwung.
Ketika Ginggi bertanya lagi kepada yang kebetulan menyaksikan acara ini, orang itu menjelaskan bahwa ini bagian dari acara menyambut panen tahunan di Pakuan.
Kata orang itu, setiap tahun di Pakuan diadakan acara menyambut panen. Hampir 49 hari lamanya dan ada macam-macam acara. Acara tahunan ini di antaranya dihadiri juga oleh para penguasa dari wilayah-wilayah seputar Pakuan, yang kebetulan membawaseba tahunan.
Berbagai upacara keagamaan dilangsungkan dalam pesta panen itu, di antaraanya upacarakuwerabakti .
Menurut penjelasan yang didapat Ginggi, Kuwera adalah semacam dewa kemakmuran, suami Dewi Sri, ratu padi-padian.Kuwerabakti adalah upacara penghormatan dan sebagai tanda terima kasih manusia terhadap dewa pelindung pangan sehingga pengisi jagat ini mengalami kemakmuran.
"Sebelum diadakan acarakuwerabakti , raja dan seluruh keluarga akan mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemudian menuju bukit punden di Sasakala Gugunungan untuk melaksanakan upacaranyekar (ziarah) di makam tempatmoksa ataungahiyang (menghilang) Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, di puncak bukit punden iti," kata orang yang ditanya Ginggi.
Selanjutnya orang itu menerangkan kembali upacaramarak ataumunday di Sungai Cihaliwung ini.Marak dileuwi Kamala Wijaya ini diadakan setahun sekali. Yang melaksanakannya semua rakyat Pakuan yang berkenaan dengan kewajibancalagara (pajak tenaga kolektif) yang diabdikan kepada negara. Penduduk beramai-ramai menangkap ikan dileuwi Kamala Wijaya, yang sebagian orang menyebutnya sebagaiLeuwi Sipatahunan.
"Ini bukanleuwi sembarangleuwi , sebableuwiSipatahunan adalah lubuk untuk pertahanan keraton. Sipatahunan itupataheunan , pertahanan …" kata orang itu.
Ginggi meneliti lubuk ini dari tepiannya. Bisa juga bila daerah aliran sungai dalam ini digunakan sebagai pertahanan. Letaknya ada di sebelah timur benteng luar. Tidak sembarangan bisa menyebrangi leuwi. Bila ada musuh menyebranginya, maka tanggul di sebelah selatan akan dibobol dan mengakibatkan kesulitan bagi para penyerangnya ( basa episodeKunanti di Gerbang Pakuan ).
Ginggi berpikir, demikian cerdiknya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja membangun pertahanan. Keraton seolah-olah diapit dua jurang terjal dari dua aliran sungai. Hanya ada satu celah di sebelah selatan. Tapi itu pun dihadang benteng dan parit buatan yang airnya dialirkan dari Sungai Cipakancilan . Orang-orang kembali bersorak-sorai sambil tangannya menunjuk ke bawah. Ginggi juga ikut melihat. Ternyata lubuk sudah berkurang airnya dan sudah banyak orang mulai terjun ke bawah. Orang berteriak-teriak sambil menunjuk kesana-ke mari karena di permukaan lubuk sudah terlihat air bergoyang dan bergelombang karena gerakan sirip-sirip ikan. Semakin air berkurang semakin nyata terlihat gerakan ikan-ikan itu. Dan kembali orang-orang bersoraksorai tanda gembira bahwa hasil ikan akan didapat.
Sekarang orang yang terjun ke permukaan lubuk semakin banyak. Jala panjang segera ditebar membentuk lingkaran besar. Dibawa dan dipegang oleh puluhan bahkan ratusan orang banyaknya. Namun lingkaran besar itu semakin lama akan semakin mengecil dan menyempit serta ruang gerak ikan-ikan yang ada di tengah kepungan pun akan semakin terbatas ruang geraknya. Karena tempat berenang mereka kian terbatas, maka ikan-ikan itu semakin berdempet dan berdesak, hilir-mudik di ruangan sempit.
Sekarang dari atas tebing diturunkananco , yaitu jaring segi empat yang bisa diturun-naikkan dengan keempat ujungnya diikat pada ujung bambu.Anco turun hingga ke dasar lubuk yang kedalamannya tinggal satu atau satu setengah depa lagi. Dibiarkan beberapa lama. Sesudah cukup waktu ditunggu, makaanco segera diangkat. Dan hasilnya, membuat semua orang menganga karena terpana. Jaringanco penuh digayuti ikan besar-besar. Tubuh ikan-ikan itu menggelepar dan meloncat-loncat, satu dua ekor bahkan kembali ke dasar lubuk membuat orang berteriak karena sesal.
Ancoditarik ke tepi dan puluhan orang berebutan manangkap puluhan ikan besar-besar yang menggelepar dan meloncat-loncat, dengan bersorak gembira semua orang berlomba menangkap dan memasukkannya ke dalambuleng atau ke dalam ember kayu. Bukan untuk dibawa pulang, melainkan untuk disetor kepadawadha , petugas yang bertanggung jawab atas kelancarancalagara (pajak tenaga).
Suara sorak-sorai semakin riuh-rendah ketika air semakin turun dan ketika kepungan jaring semakin rapat. Ratusan mungkin ribuan ikan sudah benar-benar terkepung dan mereka bingung kemana harus sembunyi. Akhirnya kelompok ikan itu hanya melompat-lompat tak tentu arah. Sampai pada suatu saat ikan-ikan itu hanya menggelepar-gelepar di kubangan lumpur. Orang tinggal memungutinya saja dan dimasukkan ke dalambuleng .
Di saat orang ramai memunguti ikan itulah, Ginggi melihat satu rombongan mengunjungi tepi lubuk. Mereka terdiri dari sekelompok muda belia. Yang perempuan elok-elok wajahnya dan yang laki-laki tampan-tampan. Melihat dandanan mereka yang bagus-bagus mudah diduga, mereka rombongan anak-anak bangsawan. Namun yang membuat Ginggi terkejut, di antara rombongan bangsawan itu terdapat juga Suji Angkara dan Seta. Suji Angkara melangkah tenang dan anggun menyertai seorang gadis yang amat cantik rupawan. Tubuhnya semampai, kulitnya putih bersih, sepasang pipinya halus kemerahan dan seperti ranum. Bibirnya tipis mengulum senyum, sehingga di pipi kanannya terbentuk lesung pipit. Yang membuat Ginggi bergetar, ketika melihat sorot mata gadis itu yang demikian tajam dan jernih. Ketika tak sengaja mata gadis itu berpapasan dengan sorotnya, pemuda itu lantas tertunduk karena tak kuat beradu pandang dengan sorot mata yang bagaikan bintang kejora itu. Padahal mata gadis itu tak sengaja memandangnya. Yang malah memandang terhadapnya dengan penuh perhatian adalah Suji Angkara. Pemuda itu nampak heran sekali melihat Ginggi ada di situ. "HeiDuruwiksa , engkau di sini juga?" Suji Angkara berteriak tapi dengan suara ditahan. Ginggi tersenyum mengangguk. Dan manakala Suji Angkara memanggilnya dengan lambaian tangan, Ginggi datang mendekat.
"Engkau berada di disiniDuruwiksa ?" tanya Suji Angkara tersenyum dan sesekali melirik pada gadis di sampingnya.
"Saya mencari-cari Raden sejak dari Sagaraherang," kata Ginggi, sopan dan hormat, "Mengapa sepertinya semua meninggalkan saya di sana, padahal Raden sudah janji akan mengambil saya sebagai pekerja?" lanjutnya. Yang ditegur hanya tersenyum-simpul saja, seolah-olah pertanyaan ini tidak mengandung arti apa-apa baginya.
"Aku hanya ingin melihat kesetiaanmu saja. Tapi, ya, engkau orang yang ulet juga …" kata Suji Angkara.
"Jadi, diterimakah saya bekerja bersamamu, Raden?" tanya Ginggi penuh harap, namun matanya selintas menyambar ke arah wajah anggun di samping pemuda itu.
"Aku tak tahu apa kepandaianmu. Tapi melihat kesetiaanmu padaku, aku terima kau kerja bersamaku," kata Suji Angkara sambil melirik juga pada gadis di sampingnya.
"Engkau baik sekali, Raden…" Ginggi mengangguk-angguk sepertinya penuh rasa terimakasih.
"Sudah selayaknya seorang bangsawan sayang dan penuh perhatian kepada orang kebanyakan," gumam Suji Angkara dengan nada suara dihalus-haluskan. Namun bagi Ginggi nada bicara itu hanya berupa kesombongan belaka.
"Tapi pakaianmu bagus sekali. Tak layak kau pergunakan, apalagi kau kelak hanya akan bertugas sebagai pekerja kasar belaka," kata Suji Angkara menilik jenis pakaian yang dikenakan Ginggi.
"Saya tak sengaja mendapatkannya. Pakaian ini hanya sekadar barang pemberian dari bekas majikan saya di perjalanan," tutur Ginggi tak kepalang merendah-rendah. Suji Angkara nampak mengangguk-angguk.
"Ya, sudahlah …" gumam Suji Angkara sambil mengalihkan perhatian melihat orang berebutan mengambil ikan di permukaan lubuk yang telah kering airnya.
"Siapakah pemuda ini, Raden?" tanya gadis yang berdiri di sampingnya sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup angin dan menutupi keningnya. Duhai cantiknya! Betapa indah rambut hitam itu berkibar tertiup angin. Betapa indah jari tangan-tangan halus itu menyibakkan sang rambut.
Ginggi menunduk ketika tatapannya terpergok oleh sorot mata gadis semampai itu.
"Ah, hanya pemuda bodoh saja, Adinda Inten," ujar Suji Angkara. "Tapi dia orang jujur dan baik. Kelak dia akan sering kusuruh untuk mengunjungimu, namanyaDuruwiksa ," Suji Angkara tersenyum ketika gadis itu terkekeh sambil menutupi mulutnya yang merekah. Hanya Ginggi saja yang terkejut mendengar Suji Angkara mendengar nama gadis itu. Dinda Inten, tidakkah maksudnya Nyimas Banyak Inten? Ginggi terkejut dan bingung, terutama bila ingat cerita Ki Ogel dan Ki Banen. Bukankah kedua orang tua itu bercuriga kepada tindaktanduk Suji Angkara terhadap gadis itu? Tapi, nampaknya hubungan kedua orang muda itu demikian baiknya. Mereka sudah sangat akrab dan bersahabat, mengapa Ki Banen mencurigai Suji Angkara berindap-indap menyelundup ke puri gadis itu?
"Betulkah namamuDuruwiksa ? Mengapa wajah tampan sepertimu kau namakanDuruwiksa
?" gadis itu masih terkekeh lembut sambil punggung tangan kanannya digunakan untuk menutupi rekahan mulutna.
"Nama sesungguhnya Ginggi. Tapi dia yang mengatakan bahwa Ginggi artinyaDuruwiksa , iblis jahat yang kerjanya menggoda manusia," Suji Angkara menerangkan. "Ayo perkenalkan dirimu pada Nyimas Banyak Inten putri terkasih Pangeran Yogascitra," kata lagi pemuda itu. Ginggi menunduk dan menyembah. Gadis itu hanya mengangguk namun dengan senyum manis di bibir tipisnya.
"Nah, yang ada di samping Dinda Inten adalah Banyak Angga, kakak Nyimas. Sedangkan gadis cantik yang ada di samping pemuda tampan itu adalah adikku, Layang Kingkin. Mereka berdua merupakan sahabat-sahabat baik yang tak pernah lepas barang sekejap," kata Suji Angkara menunjuk kepada sepasang muda-mudi yang usianya barangkali belum genap 20 tahun ini.
Ginggi menyembah beberapa kali sambil sudut matanya memperhatikan sepasang muda-mudi ini. Mereka benar-benar seperti dewa dan dewi dari kahyangan. Ginggi memuji keelokan wajah anak-anak bangsawan ini yang nampaknya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
"Dan yang berdiri di antara mereka adalah Seta, termasuk pembantu setiaku," kata Suji Angkara menunjuk kepada Seta.
"Saya sudah kenal Seta!" kata Ginggi tersenyum ke arah pemuda yang mulutnya suka mengejek ini.
"Huh!" dengus Seta tak acuh.
"Ya, saya sudah kenal. Bukankah Seta adalah pemuda gagah yang merobohkan tiga perampok sekaligus di hutan jati tempo hari?" kata Ginggi mengingatkan "kepahlawanan" pemuda angkuh itu. Padahal yang terbayang di mata Ginggi adalah kejadian di tepi pancuran Desa Cae, di mana Seta dan Madi yang mengeroyoknya dipermainkan secara diam-diam, sehingga pemuda-pemuda itu benjut-benjut kepalanya karena saling gebuk sendiri.
Seta terkecoh dengan pujian palsu ini. Buktinya, dia sedikit membusungkan dada sekali pun mulutnya masih ditarik ketat untuk memberikan kesan angkuh.
"Anak buahku lihai-lihai. Jadi bila kau sudah bersamaku, kau harus hati-hati," kata Suji Angkara. Ginggi mengangguk setuju dengan persyaratan ini. "Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang," kata Suji Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau tak suka, karena telanjur sudah "ikrar" ingin "mengabdi" pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan. Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan kebanyakan saja.
Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut. Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia perlihatkan "kebegoan" dan pura-pura lugu, sehingga membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya. Ginggi gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan. Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air lumpur.
Dengan "susah-payah" akhirnya Ginggi berhasil menangkap beberapa ekor ikantagih danhampal yang besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba tangan Ginggi menangkap seekor ikanbalidra . Sebetulnya ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikanbalidra sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan siripsiripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan gergaji. Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur. Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal yang sebenarbenarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya menjadi lemah.
Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
"Ambillahbuleng , lalu pikullah ke sana!" Suji Angkara menunjuk ke arah hilir.
Suji memberikan perintah agar Ginggi memikulbuleng menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang terdapat.
Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah gugusan tanah terletak di tengahtengah Sungai Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu dekat darileuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya Ginggi memikulbuleng yang berisi ikan tangkapannya itu. Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan membut orang senang bila duduk di sana. Pemandangan alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang.
Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan tanpa ragu, Ginggi menaikkan bulengbuleng ke atas biduk, melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan pulau.
"Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!" kata Suji Angkara tertawa gembira.