JILID 08
Tiga buah lecutan yang nyaris tak bersuara itu berasal dari kekuatan yang dahsyat telah melecut tiga bagian tubuh Karaeng Jagong yang datang begitu cepat tidak dapat dihindari lagi.
Tiga buah sayatan terlihat jelas ditubuh Karaeng Jagong, memanjang di paha, di dada dan lehernya.
Perlahan tubuh Karaeng Jagong jatuh bertumpu pada kedua siku kakinya, lalu seluruh tubuhnya rebah telentang tak bernyawa.
Bergidik bulu remang Mahesa Amping, baru kali ini melihat Kebo Arema mengeluarkan kemampuan puncaknya, menggetarkan senjata cambuknya yang luar biasa dengan kekuatan yang dahsyat, begitu cepat dan dengan kekuatan penuh. Dan Karaeng Jagong telah merasakan ilmu puncak itu. Langsung jatuh telentang diatas tanah tak bernyawa.
Kebo Arema seperti tidak percaya atas apa yang terjadi, terlihat dirinya masih berdiri kaku menatap tubuh Karaeng Jagong yang rebah di bumi tidak lagi bernyawa.
“Pengendalian diriku terlepas, aku telah berbuat diluar kesadaranku”, berkata Kebo Arema sepertinya menyesali apa yang telah terjadi.
“Siapapun dapat berbuat yang sama, terutama kepada orang yang telah membunuh ayah kandungnya”, berkata Mahesa Amping yang telah mendekati Kebo Arema.
“Yang kusesalkan aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri”, berkata Kebo Arema.
“Aku juga pernah melakukannya, tapi menjadi pelajaran yang sangat mahal”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema agar tidak lagi menyalahi dirinya sendiri.
Langit diatas pantai pulau Wangi-wangi telah semakin terang, sinar matahari sudah merayap menggapai puncaknya. Terlihat beberapa lelaki penduduk asli pulau wangi-wangi yang selama ini bersembunyi dibalik pepohonan telah berani menampakkan dirinya, terutama ketika melihat Karaeng Jagong telah tidak mampu lagi bergerak, mati.
“Jangan hanya berdiri, hari ini aku telah membebaskan kalian dari kesewenang-wenangan”, berkata Kebo Arema dengan bahasa yang fasih, bahasa asli orang pulau wangi-wangi.
Seseorang terlihat sudah berani mendekat, menghampiri Kebo Arema.
“Aku mendengar tuan mengatakan sebagai putra pemimpin kami Karaeng Tuku, kalau memang benar pasti tuan yang bernama Karaeng Taka”, berkata orang itu memperhatikan Kebo Arema dari dekat.
“Benar, akulah Karaeng Taka”, berkata Kebo Arema memberi keyakinan kepada orang itu.
“Penglihatanku tidak akan salah, aku melihat ada bekas luka di atas alismu. Luka akibat sayatan ujung kerang, akulah yang melakukannya”, berkata orang itu penuh kegembiraan merasa yakin orang dihadapannya adalah benar Kebo Arema.
“Aku ingat, pasti kamu Bolange, anak nakal itu”, berkata Kebo Arema yang langsung mengenal lelaki sebaya didepannya itu.
Seperti bocah kecil yang baru saja memenangkan sebuah permainan, mereka saling berpelukan, saling memukul pipi masing-masing menunjukkan rasa kegembiraan mereka yang sudah begitu lama tidak berjumpa.
Melihat Bolange bersama orang asing berpelukan dan bergembira, beberapa penduduk asli pulau Wangiwangi jadi semakin berani mendekat.
Dengan bangga Bolange memperkenalkan Kebo Arema sebagai putra Karaeng Tuku yang sudah lama menghilang. Beberapa orang yang terlihat sebaya dengan Kebo Arema nampak ikut bergembira, mereka mengenali Kebo Arema yang dulu adalah teman sepermainannya, dan menjadi saksi hari yang memilukan itu, hari dimana pulau Wangi-wangi seperti neraka. Beberapa orang pengikut Karaeng Tuku telah ikut menjadi korban pembantaian.
“Mari kita urus mereka yang masih terluka”, berkata Mahesa Amping kepada beberapa prajurit.
Terlihat Mahesa Amping dan beberapa prajurit tengah mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu hanya dua orang dari pihak prajurit Singasari yang terluka agak parah.
Beberapa penduduk asli pulau Wangi-wangi telah ikut membantu menguburkan beberapa mayat termasuk diantaranya adalah Karaeng Jagong.
Meskipun selama hidupnya banyak melukai perasaan para penduduk, mayat-mayat itu masih diperlakukan dengan baik, disemayamkan dan dikuburkan sebagaimana mestinya.
“Perlakuan apa yang harus diberikan kepada para tawanan itu”, berkata Bolange kepada Kebo Arema sambil menunjuk lima orang tawanan dan beberapa lagi yang terluka.
“Mereka akan menjadi pengawasan kami, aku khawatir penduduk disini tidak dapat lagi menerima kehadiran mereka”, berkata Kebo Arema kepada Bolange.
“Sebuah keputusan yang bijaksana”, berkata Bolange menyetujui keputusan Kebo Arema yang dulunya adalah sahabat sepermainannya.
Pulau Wangi-wangi adalah sebuah daratan yang subur, namun setalah dikuasai oleh Karaeng Jagong dan gerombolannya, pulau itu menjadi seperti pulau neraka, beberapa penduduknya diam-diam meninggalkannya pergi mengungsi, sementara sebagian lagi tetap bertahan, menerima semua perlakuan kehinaan, pasrah atas nasib buruk mereka.
“Kita bangun kembali pulau ini sebagaimana dulu, pulau yang penuh semangat kebersamaan, bersama berladang, bersama berburu ikan, hasilnya untuk bersama, satu untuk semua dan semua untuk satu”, berkata Kebo Arema kepada penduduk asli Pulau WangiWangi.
“Hidup putra Karaeng Tuku !!!”, berkata para penduduk asli bersamaan penuh kegembiraan.
“Saatnya kalian memilih orang terbaik diantara kalian menjadi pemimpin kalian, pemimpin yang dapat mempersatukan setiap hati, pemimpin yang dapat membangkitkan semangat hati, seorang pemimpin yang berdiri dan melepaskan kepentingan diri pribadi, mengembalikan harga diri seluruh warga pulau ini, mengharumkan kembali pulau ini sebagaimana namanya, Wangi-wangi”, berkata Kebo Arema dengan penuh semangat. “Hidup putra Karaeng Tuku, engkaulah pemimpin pulau wangi-wangi”, berteriak para penduduk asli Wangiwangi menunjuk Kebo Arema sebagai pemimpin meraka.
Kebo Arema merasa terpojok, tidak ingin menyakiti perasaan hati para penduduk asli pulau Wangi-wangi yang dikenal penuh kesetiaan.
“Aku menerima keputusan kalian, namun ijinkan aku menunjuk beberapa orang yang akan membantuku, yang harus kalian taati sebagaimana kalian mentaati diriku”, berkata Kebo Arema memberikan sebuah usulan.
Demikianlah hari pertama Kebo Arema dan Mahesa Amping tiba di pulau Wangi-wangi.
Pada hari kedua Kebo Arema telah menunjuk empat orang penduduk asli pulau Wangi-wangi menjadi wakil kepemimpinannya yang langsung disetujui oleh para penduduk pulau Wangi-wangi. Diantara wakilnya itu adalah Bolange, seorang yang cukup cakap dan dapat dipercaya.
“Rumah itu hangus terbakar, tidak ada seorang pun yang berani membangun rumah diatas tanah itu”, berkata Bolange kepada Kebo Arema memberi penjelasan tentang sebuah tanah kosong yang dulu adalah sebuah tanah tempat berdirinya rumah keluarga kebo Arema.
“Aku ingin diatas tanah ini dibangun kembali sebuah rumah panggung besar, sebuah rumah banjar tempat semua orang dapat berkumpul dihari-hari tertentu, merapatkan pemikiran yang baik membangun dan menjaga pulau Wangi-wangi”, berkata Kebo Arema kepada Bolange.
“Permintaan tuan Karaeng Taka adalah titah untuk hamba”, berkata Bolange sambil tersenyum. “Inilah titah pengausa pulau Wangi-wangi yang pertama”, berkata Kebo Arema yang ikut tersenyum melihat gaya Bolange bertutur layaknya seorang hamba kepada Rajanya.
Pada dasarnya orang-orang pulau wangi-wangi memang sangat taat kepada pemimpinnya, namun dalam sikap mereka sepertinya tidak ada batas sebagaimana seorang hamba kepada rajanya, mereka sangat bersahaya, pemimpin mereka adalah sahabat, sementara kesetiaan diperlihatkan dalam perbuatan, bukan dalam sikap dan tutur kata.
Hari ketiga di pulau Wangi-wangi itu adalah sebuah kesibukan besar membangun sebuah rumah banjar sebagaimana yang diinginkan oleh Kebo Arema, pemimpin dan penguasa pulau wangi-wangi yang baru.
Semua orang laki-laki nampak turun bekerja bergotong royong membangun rumah banjar diatas tanah keluarga Kebo Arema. Para prajurit seprtinya tidak mau ketinggalan, mereka ikut turun membantu.
Dan bukan Kebo Arema bila tidak ikut gatal turun membantu, maka sukar sekali membedakan antara atasan dan bawahannya, sama-sama berpeluh, samasama berdebu. Dan juga sama-sama makan ditempat yang sama.
Dalam waktu empat pekan, rumah banjar itu sudah berdiri. Begitu megah sebagaimana layaknya rumah seorang sultan di Tanah Melayu. Namun rumah banjar itu adalah milik orang banyak. Semua orang ikut merasa bangga dan merasa memilikinya.
“Kita harus menjaga agar pulau ini tidak kembali dikuasai oleh para bajak laut”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping sambil memberikan pandangannya bahwa kedamaian di Pulau Wangi-wangi juga keamanan palayaran armada besar Singasari di jalur perdagangan timur menuju Tanah Gurun.
Diam-diam Mahesa Amping mengakui keunggulan pemikiran Kebo Arema yang begitu jauh, penuh dengan berbagai perhitungan yang kuat layaknya seorang panglima mengatur siasat peperangan.
“Saatnya kita membangun kekuatan di Pulau Wangiwangi ini”, berkata Kebo Arema disuatu malam kepada Mahesa Amping di teras panggung pendapa rumah banjar.
Sebagaimana di Bandar Bacukiki, Kebo Arema telah mengumpulkan beberapa pemuda maupun orang dewasa yang masih mempunyai semangat untuk menjadi pasukan pengawal pulau Wangi-wangi.
Untuk hal itu, Kebo Arema telah meminta Mahesa Amping untuk melakukakn tugasnya, membangun dan membina kesatuan itu.
Hari demi hari pasukan pengawal itu telah melakukan berbagai macam latihan, baik latihan ketahanan tubuh maupun latihan pertempuran secara perorangan dan berkelompok.
Ternyata bukan hanya pemuda dan orang dewasa yang ditunjuk sebagai pasukan pengawal yang berlatih, beberapa orang penghuni pulau itu ikut berbondongbondong meminta dilatih kanuragan juga.
Kebo Arema menyambut baik semangat itu, maka menerima dan mengabulkan keinginan mereka untuk ikut berlatih. Maka Kebo Arema ikut bersama dua orang prajurit yang dianggap cakap turun membantu Mahesa Amping, melatih para penghuni pulau Wangi-wangi. Tiga bulan telah berlalu, pasukan pengawal pulau Wangi-wangi sudah terlihat kemampuannya, sementara para lelaki penghuni pulau wangi-wangi sudah dapat dipercaya bersama pasukan pengawal akan dapat menjaga pulaunya dari berbagai ancaman yang mungkin dapat terjadi, sebagaimana terjadi pada beberapa tahun silam, pada generasi orang tua mereka.
“Kalian harus berlatih setiap saat, aku telah memberikan semua bahan dasar latihan, semua tergantung pada diri kalian masing-masing, siapa yang rajin berlatih akan menuai hasilnya sendiri”, berkata Mahesa Amping ketika mengakhiri sebuah latihan disuatu hari diujung senja.
“Pilihlah senjata yang kalian sukai”, berkata Kebo Arema pada suatu hari membagikan berbagai macam senjata kepada para penghuni pulau Wangi-wangi. Bukan main senangnya mereka menerima hadiah itu.
“Setiap senjata mempunyai sifat dan keistimewaannya masing-masing, kalian harus memahami senjata yang kalian miliki, mengenal dan merasakan sebagaimana anggota tubuh kalian, sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”, berkata Mahesa Amping memberikan pemahaman dasar-dasar yang kuat atas berbagai macam senjata.
“Musim panas akan segera berakhir, waktu pelayaran kita sangat terbatas”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping, memberikan beberapa kemungkinan yang harus mereka jalani sehubungan dengan tugas mereka merintis jalur perdagangan di daerah timur, terutama dengan hampir datangnya musim penghujan, musim pasang laut.
“Ada dua pilihan, menyeberangi perairan Laut Jawa sebelum datangnya musim pasang, atau tertahan di daerah timur ini menantikan kembali datangnya musim berlayar tiba”, berkata kembali Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
“Aku memilih kita kembali ke tanah Singasari sebelum tiba musim pasang, pelayaran yang panjang mungkin akan membuat kejenuhan para prajurit”, berkata Mahesa Amping memberikan pemikirannya.
“Apakah kamu tidak memperhitungkan diriku sebagai penguasa Pulau Wangi-wangi ini?”, bertanya Kebo Arema dengan senyum dikulum.
“Untuk hal itu aku tidak memperhitungkannya, yang kutahu Paman Kebo Arema tidak pernah bermimpi menjadi seorang penguasa dimanapun”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema.
“Ternyata pemikiran kita tidak jauh berbeda, kecintaan kita kepada dunia akan membutakan mata hati kita kepada kecintaan yang hakiki, kecintaan atas karunia dari yang Maha Pencipta, yang harus dipuja dan disembah setiap saat, setiap waktu dalam keadaan apapun, itulah kebahagiaan sejati karunia dari pemilik alam semesta ini, Gusti Yang Maha Hidup, Gusti Yang Maha Tunggal, Gusti Yang selalu menjaga”, berkata Kebo Arema.
“Dan sang penguasa pulau Wangi-wangi harus rela meninggalkan kekuasaannya”, berkata Mahesa Amping.
“Kekuasaan sementara, sebuah titipan”, berkata Kebo Arema penuh senyum.
Demikianlah, mereka sepakat untuk secepatnya kembali ketanah Singasari sebelum datang musim pasang laut tiba. Keputusan itu disampaikan kepada beberapa wakil pimpinan pulau Wangi-wangi.
Semula mereka merasa keberatan, namun dengan sedikit pengertian akhirnya mereka tidak dapat menahan Kebo Arema.
“Ada tugas yang tengah aku emban, membangun jalur perdagangan yang cukup luas, dari ujung timur Tanah Gurun sampai ke ujung Malaka. Masih banyak tempat yang harus kami singgahi, seperti pesisir Tanjungpura sampai ke ujung Campa. Kemajuan perdagangan Singasari berdampak juga bagi kemakmuran pulau Wangi-wangi ini. Ijinkan dan doakan aku dapat mengemban tugas besar ini”, berkata Kebo Arema memberikan pengertian kepada para wakilnya.
Hari itu senja telah turun menyelimuti pantai pulau Wangi-wangi, terlihat sepuluh jung terakhir yang akan membawa beberapa prajurit ke tengah laut tempat Bahtera besar Singasari menambatkan sauhnya. Mereka akan melakukan pelayaran kembali setelah lama tertunda, berlayar ke Tanah Gurun.
Bulan bulat diatas langit sepertinya tidak pernah bergeser mengiringi sebuah bahtera yang terapung diatas laut malam. Tujuh layar terkembang penuh ditiup angin menuju timur laut.
Bahtera itu masih terapung di hamparan laut luas yang tidak bertepi, terlihat seperti tidak bergerak mengejar tepi laut yang terus berlari menjauh. Sementara, sang malam diam-diam telah meninggalkan lengkung langit, memberi kesempatan sang pagi memulai melukis langit.
Semburat merah menyala menyembul di ujung timur, sinar lentera bahtera masih terlihat bergelantungan di ujung anjungan dan buritan bergoyang mengikuti gerak bahtera yang terapung di tengah hamparan laut luas tak bertepi.
Dan akhirnya semburan warna merah itu telah merata mengisi lengkung langit, mewarnai kehadiran sang dewi pagi di tengah hamparan permadani laut biru.
Perlahan tapi pasti, sang surya mulai menampakkan setengah wajahnya di ujung timur penuh senyum menawan.
“Jaga arah kemudi, kita berlayar ke arah timur matahari”, berkata Kebo Arema memberi perintah kepada juru mudi.
“Daratan!!!”, berteriak seorang prajurit yang melihat sekumpulan burung manyar karang beterbangan diatas air laut, sepertinya tengah berpesta berburu ikan kecil.
“Putar kemudi kekiri, jauhkan arah bahtera dari kumpulan burung manyar karang itu”, berteriak Kebo Arema membuat dua orang juru mudi terkejut, namun masih sempat mencerna perintah Kebo Arema.Dengan cekatan kemudi kembar telah berputar ke kiri, bahtera bergeser arah ke kiri.
“Kita telah terhindar dari kehancuran, dibawah burung camar karang bukan laut dalam, melainkan sebuah gunung karang yang bersembunyi”, berkata Kebo Arema menjelaskan kepada beberapa prajurit yang tidak mengerti mengapa arah bahtera tiba-tiba saja harus menghindari sekumpulan burung manyar karang.
“Diatas gunung karang itu adalah air laut dangkal tempat ikan-ikan kecil bermain, itulah bahasa alam yang memberi petunjuk burung manyar karang setiap pagi datang mencari makan”, berkata Kebo Arema memberikan penjelesannya. ”Pesanku, jangan coba-coba memasuki laut banda di malam hari, bahtera kita akan tersesat berlabuh di tempat yang salah, tergerus hancur diatas gunung karang itu”, kembali Kebo Arema berkata kepada beberapa prajurit yang langsung memahaminya.
“Aku pernah mendengar cerita ini dari seorang pelaut di Bandar Sebukit, gunung karang yang bersembunyi itu mereka namakan sebagai laut gosong”, berkata Mahesa Amping.
“Pelaut itu benar, gunung karang bersembunyi itu disebut juga dengan nama laut gosong”, berkata Kebo Arema membenarkan Mahesa Amping.
Sementara itu warna pagi sudah menjadi lebih terang, di ujung timur sang surya telah menampakkan seluruh wajahnya yang menawan, bulat kuning terang dan tidak menyilaukan mata.
“Lihatlah, sebuah daratan telah muncul di ujung timur”, berkata salah seorang prajurit yang melihat sebuah titik hitam muncul dari arah timur matahari.
Seperti berjalan diatas bola besar, diatas lengkung laut biru titik hitam itu terus berubah menjadi bayangan hitam. Semakin bahtera besar itu mengejar tepi ujung laut, bayangan hitam itu semakin banyak terlihat.
“Para pelaut mandar merahasiakan jalur perjalanan ini, dan kita orang pertama yang telah menemukan jalan rahasia ini, jalan menuju tempat tumbuhnya pohon emas, cengkeh dan pala”, berkata Kebo Arema penuh kegembiraan melihat bayangan hitam semakin mendekat.
“Kita bersandar ditepi pulau yang terbesar”, berkata Kebo Arema ketika mereka banyak melewati pulau-pulau kecil.
Akhirnya Bahtera besar itu telah berlabuh di sebuah dermaga, beberapa orang terlihat berdiri di sepanjang dermaga, inilah pertama kali mereka melihat sebuah bahtera yang besar, sebuah bahtera yang indah yang pernah mereka saksikan.
“Kami dari Tanah Singasari, dapatkah mengantar kami kepada penguasa pulau ini ?”, berkata Kebo Arema kepada salah seorang yang berbadan tegap, berkulit legam dan mempunyai rambut keriting ikal tanpa ikat kepala. Hampir semua orang yang ditemui di Tanah Gurun ini memiliki kulit yang hitam legam sebagaimana yang tengah berbicara bersama Kebo Arema.
“Mari kuantar kalian kepada pimpinan kami”, berkata orang itu menampakkan senyum dengan deretan giginya yang putih bersih.
Kebo Arema bersama Mahesa Amping diajak oleh orang itu kesebuah perkampungan besar, terlihat rumahrumah yang begitu sederhana, berbentuk lingkaran kayu mengelilingi dinding dengan atap setengah lingkaran terbuat dari daun enau.
“Tunggulah disini, aku akan menemuinya”, berkata orang itu ketika mereka berada di sebuah rumah yang paling besar yang ada diperkampungan itu.
“Pandita O Luhu Tuban, ada tamu ingin bertemu”, berteriak orang itu sepertinya ingin memberitahu orang didalam rumah itu.
Maka muncullah seorang tua dari pintu yang terbuka, rambut di kepalanya sudah memutih. Orang tua itu mendatangi Kebo Arema dan Mahesa Amping.
“Tuan pasti datang dari tempat yang jauh”, berkata orang tua itu setelah berhadapan dengan Mahesa Amping dan Kebo Arema.
“Benar, kami datang dari ujung barat matahari terbenam, kami berasal dari Nusajawa”, berkata Kebo Arema.
Sementara itu orang yang mengantar Kebo Arema dan Mahesa Amping telah berpamit meninggalkan mereka.
Dengan ramah orang tua yang dipanggil Pandita O Luhu Tuban itu mengajak Mahesa Amping dan Kebo Arema duduk diatas rumput di depan rumah bulat melingkar itu.
“Dalam setiap dua kali musim panas, beberapa orang suku laut datang kemari menukar cengkeh dan pala dengan kulit binatang, mungkin kalian datang sebagaimana mereka datang”, berkata Pandita O Luhu Tuban memulai pembicaraannya.
“Kami datang membawa banyak barang besi, itulah hadiah yang setara dengan cengkeh dan pala”, berkata Kebo Arema sambil menunjukkan beberapa barang senjata yang sengaja dibawa.
“Barang bagus !”, berkata Pandita O Luhu Tuban menimang-nimang sebuah parang panjang.
“Senjata ini adalah salah satu barang yang kami bawa, ada banyak lagi yang dapat kami tunjukkan kepada tuan”, berkata Kebo Arema.
“Buah cengkeh dan pala tumbuh dengan sendirinya di hutan kami, sementara barang besi ini dibuat dengan keringat dan kesungguhan. Kami akan memenuhi bahtera tuan dengan cengkeh dan pala sebanyak yang tuan inginkan”, berkata Pandita O Luhu Tuban penuh kegembiraan.
Demikianlah awal pertemuan antara Kebo Arema, Mahesa Amping dan Pandita O Luhu Tuban. Ketika matahari terlihat semakin merayap naik, Mahesa Amping dan Kebo Arema berpamit diri.
Keesokan harinya Kebo Arema bersama Mahesa Amping dibantu beberapa prajurit datang ke rumah Pandita O Luhu Tuban dengan membawa berbagai macam senjata yang banyak.
“Kami berjanji, di persinggahan selanjutnya akan membawa senjata parang yang banyak untuk tuan Pandita O Luhu Tuban”, berkata Kebo Arema yang melihat Pandita O Luhu Tuban begitu senang dan menyukai bentuk senjata parang. Sejenis golok yang tidak begitu panjang dan besar, di hulu kecil dan agak melebar di ujungnya serta hanya mempunyai satu sisi yang tajam.
Sebagaimana yang dijanjikan oleh Pandita O Luhu Tuban, buah cengkeh dan pala benar-benar telah mengisi lambung bahtera yang besar.
“Mereka mengisi lambung Bahtera kita dengan emas, sementara yang kita berikan kepada mereka hanya setumpuk besi”, berkata Kebo Arema merasa puas dengan hasil pertukaran mereka, terutama melihat begitu banyak buah cengkeh mengisi lambung bahtera, dimana saat itu harga sekilo cengkeh dapat sebanding dengan harga sekilo emas jauh di kota-kota negeri tak berujung, sebuah keuntungan yang berlimpah.
Bahtera besar itu tidak terlalu lama singgah di pulau sorga rempah-rempah itu, sepekan kemudia bahtera itu sudah terlihat bergerak meninggalkan dermaga, meninggalkan kepulauan yang sangat diimpikan dan dicari oleh para pelaut sebagai tempat asal pohon emas, buah cengkeh dan pala.
Bahtera besar itu sudah kembali berada diatas hamparan laut biru, mengarungi kesunyian malam, berkawan bintang dan rembulan.
Ketika pagi menjelang, Bahtera besar ini telah menjatuhkan sauhnya di perairan Kepulauan Wangiwangi.
Para penduduk Pulau Wangi-wangi menyambut gembira kedatangan mereka, terutama Kebo Arema yang sudah dinobatkan sebagai seorang penguasa di pulau Wangi-wangi.
Setelah sepekan lamanya tinggal di Pulau Wangiwangi, melihat semangat para lelaki penghuni pulau wangi-wangi, maka dengan berat hati Kebo Arema harus meninggalkan mereka.
“Setahun sekali, sepanjang musim berlayar, kami akan singgah di pulau ini”, berkata Kebo Arema kepada seluruh penghuni pulau wangi-wangi yang mengantar keberangkatannya ditepi pantai.
Malam itu, Bahtera besar itu sudah kembali berada diatas hamparan laut biru, mengarungi kesunyian malam, berkawan bintang dan rembulan.
Tidak seperti pada saat keberangkatannya, bahtera besar ini tidak singgah mengisi persediaan pangan selama pelayaran di Bandar Bacukiki. Bahtera besar ini langsung menuju pantai Tanjungpura.
“Badai di perairan Masalembo tidak dapat diduga, kita menyeberangi Laut Jawa lewat Pantai Tanjungpura”, berkata Kebo Arema memberikan beberapa hal menyangkut jalur pelayaran yang akan mereka lalui. Namun, badai perairan Maslembo yang ingin mereka hindari harus dibayar dengan kejenuhan pelayaran selama tiga hari terapung diatas hamparan laut Selat Bone yang panjang.
Di pagi yang cerah, pantai Tanjungpura telah menyambut kedatangan mereka. Sebuah Bandar yang cukup ramai sebagaimana Bandar-bandar besar pada umumnya. Kedatangan bahtera besar ini cukup menarik perhatian banyak orang, mereka begitu terpesona dan mengakui keindahan bentuk bahtera Singasari ini.
Beberapa bahtera besar tidak sebesar bahtera Singasari terlihat tengah merapat dipinggir dermaga. Beberapa diantaranya adalah bahtera dari negeri Campa.
“Pada saatnya kita akan berlayar sampai kenegeri Campa, negeri dengan banyak wanita cantik berkulit halus”, berkata Kebo Arema kepada beberapa prajurit ketika mereka beristirahat disebuah kedai di Bandar Tanjungpura.
Setelah mengisi lambung bahtera dengan berbagai persediaan secukupnya, bahtera itu terlihat telah bergerak merenggangi dermaga disaat senja mewarnai lengkung langit Bandar Tanjungpura.
“Gelombang Laut Jawa adalah gelombang laut yang gemulai dibandingkan gelombang laut dimanapun didunia”, berkata Kebo Arema di anjungan kepada Mahesa Amping yang selalu mengawaninya.
Sebagaimana yang dikatakan Kebo Arema, mereka memang tidak menemui badai di laut jawa, yang mereka dapati adalah kesunyian malam yang senyap. Rembulan terlihat muram tidak bulat lagi dan selalu dihalangi awan hitam. Jutaan bintang di langit purba adalah lukisan sunyi sepanjang malam.
Rembulan, bintang-bintang dan awan dilangit adalah lukisan abadi, kemarin, hari ini dan esok tidak akan berubah, sementara perasaan hatilah yang kadang menjadi penyimpangan warna lukisan alam menjadi begitu indah atau begitu menjemukan. Dan para para prajurit di bahtera itu nampaknya telah mulai jemu memandang hamparan laut yang tidak pernah berubah hilang sepanjang hari, di saat malam, di pagi hari dan menjelang siang benderang.
Mahesa Amping dan Kebo Arema selalu bergantian berjaga di anjungan, berjaga dari segala kemungkinan yang mungkin saja dapat terjadi. Namun sepanjang perjalanan pelayaran mereka mengarungi laut jawa yang tenang tidak terjadi hal apapun yang menghambat dan merintangi perjalanan Bahtera besar mereka.
“Daratan !!”, berkata seorang prajurit melihat sebuah daratan hitam membujur panjang, yang tidak lain adalah Nusajawa.
Daratan hitam panjang itu akhirnya nampak sebagai daratan yang hijau berkalung pasir putih yang indah. Terlihat juga sebuah Bandar yang ramai, berbagai bahtera terlihat telah merapat.
Bahtera Singasari terlihat tengah merapat mendekati sebuah dermaga, Bandar Churabaya yang ramai.
“Bahtera besar itu baru kembali dari pelayaran panjang, kedaratan tempat matahari terbit”, berkata seorang buruh angkut kepada seorang kawannya.
Setelah beristirahat yang cukup, di pertengahan malam, bahtera besar itu terlihat telah meninggalkan Bandar Churabaya menuju Bandar Cangu. Angin laut berhembus cukup keras, membawa Bahtera Singasari melaju diatas peraiaran sungai Brantas.
Wajah para prajurit terlihat begitu cerah, sebentar lagi mereka akan berkumpul kembali bersama keluarga, sanak keluarga atau seorang kekasih tercinta setelah lama meninggalkannya. Sungai Brantas ibarat pintu gerbang batas padukuhan, dan sepertinya mereka sudah memasuki kampung halaman sendiri. Mereka begitu mengenali setiap lekuk tanah, gerumbul hutan kayu yang lebat atau hamparan sawah membentang tersusun rapi dalam petak-petak yang berjenjang, perjalanan malam yang panjang sepertinya sudah tidak terasa menjemukan lagi.
Pagi itu begitu cerah, matahari telah merayap naik menyinari air sungai seperti hamparan perak yang berliku tergunting ujung runcing anjungan meninggalkan gelombang berlari hingga sampai ketepian tanah bibir sungai.
Dan kegembiraan menyelubungi setiap rongga dada para prajurit diatas Bahtera besar itu manakala sebuah Bandar yang ramai telah terlihat.
Bahtera besar itu sudah kembali ke tempat asalnya, kembali di tempat tanah kelahirannya.
“Ternyata kalian memang dapat diandalkan”, berkata Kebo Arema kepada Raden Wijaya dan Lawe di pendapa rumah panggung yang megah yang mereka sebut sebagai Rumah Balai tamu.
Rumah balai tamu itu menghadap tepian sungai Brantas, dibelakangnya berjajar barak-barap prajurit. Angin senja sejuk bertiup mempermainkan dahan dan daun pepohonan di sekitar tepian sungai Brantas. Beberapa burung kecil terlihat melintas kembali ke sarangnya yang hangat, berlindung dari angin dan malam yang dingin.
Raden Wijaya dan Lawe bercerita tentang beberapa hal menyangkut perkembangan armada besar bahtera di jalur perdagangan yang telah mereka rintis selama ini.
“Bahtera kita akan menyatukan perdagangan dari ujung daratan timur sampai ke barat”, berkata Kebo Arema penuh semangat.
“Menguasai jalur perdagangan dari timur ke barat, membawa kemakmuran yang berlimpah bagi tanah Singasari”, berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan.
“Sri Baginda Maharaja pasti akan bangga, kita telah mewujudkan mimpinya”, berkata Kebo Arema
“Kapan kita dapat menyampaikan berita gembira ini ke kotaraja?”, bertanya Lawe
“Kita punya banyak waktu, besok kita bisa berangkat ke kotaraja”, berkata Kebo Arema yang sepertinya memegang kendali dari keempat sekawan ini.
Sore harinya mereka berempat masih sempat berkunjung ke Benteng Cangu menemui Mahesa Pukat. Dan sebagaimana biasa, setelah lama tidak berjumpa, Kebo Arema banyak bercerita tentang perjalanannya ke arah timur. Kebo Arema juga menyampaikan tentang rencana mereka ke Kotaraja.
“Aku berdoa untuk keselamatan kalian, semoga perjalanan kalian tidak menemui hambatan”, berkata Mahesa Pukat melepas mereka di ujung senja kembali ke tempatnya ke rumah balai tamu.
Dan keesokan harinya, empat ekor kuda telah meninggalkan Bandar Cangu. Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Kebo Arema terlihat diatas kudanya, sementara itu jalan tanah masih begitu lengang, hari memang masih begitu pagi.
Tidak ada hambatan apapun di perjalanan, ketika matahari telah bergeser jauh ke barat mereka telah sampai di gerbang batas Kotaraja.
Ketika sampai di Istana, seperti biasa mereka langsung ke Pesanggrahan Ratu Anggabhyaya. Dan kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Ratu Anggabhaya dan Lembu Tal.
“Pasanggrahan ini telah menjadi hangat kembali”, berkata Ratu Anggabhaya menyambut kedatangan mereka.
Seperti biasa, setelah menyampaikan berita keselamatan masing-masing, merekapun bercerita tentang berbagai hal dimulai dari saat terakhir perjumpaan mereka.
“Kalian telah mewujudkan mimpi Sri Baginda Maharaja”, berkata Ratu Anggabhaya ketika selesai mendengar cerita Kebo Arema tentang jalur pelayaran yang telah berhasil mereka rintis.
“Baru hari ini aku dapat mengerti gagasan Sri Baginda Maharaja tentang Kerajaan lautnya”, berkata Lembu Tal
“Pemikiranmu memang selalu kalah satu langkah oleh anakmu sendiri”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Lembu Tal yang hanya menganggug-anggukkan kepalanya dan tersenyum sebagai tanda membenarkan.
“Pada mulanya mimpi Sri Baginda Maharaja memang sangat sukar dipahami oleh banyak orang”, berkata Kebo Arema. “Tapi setelah melihat hasil akhir, mereka mengakui bahwa itu adalah sebuah gagasan yang luar biasa”, berkata Kebo Arema melanjutkan.
“Kuakui, Sri Baginda Maharaja mampu berpikir melompat jauh kedepan, itulah bakatnya yang terlahir, tidak semua orang memilikinya”, berkata Ratu Anggabhaya.”Sayangnya pemikir itu saat ini tengah jatuh sakit”, berkata kembali Ratu Anggabhaya
“Sri Baginda Maharaja sedang sakit ?”, bertanya serempak Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Kebo Arema seperti tdak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Sudah dua pekan ini beliau berbaring sakit, dua kali pertemuan di Maguntur Raya beliau tidak dapat hadir”, berkata Ratu Anggabhaya meyakinkan.
“Kami datang ke Kotaraja bermaksud membawa berita gembira kepadanya”, berkata Kebo Arema sambil menarik nafas panjang.
“Mungkin kehadiran kalian berempat dapat menjadi obat, aku akan mencoba agar kalian dapat bertemu dengan beliau”, berkata Ratu Anggabhaya.
“Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan tuan Ratu Anggabhaya”, berkata Kebo Arema gembira.
Demikianlah, keesokan harinya Ratu Anggabhaya mencoba menemui Sri Baginda Maharaja yang masih berbaring sakit di kamar pribadinya. Dalam kesempatan itu Ratu Anggabhaya bercerita tetang Armada bahtera Singasari yang telah berhasil merintis jalur perdagangan dari ujung timur sampai ke barat. Mendengar tentang Armada Bahtera Singasari, wajah Sri Baginda Maharaja Nampak menjadi berseri-seri.
“Bawalah mereka kehadapanku, agar aku dapat mendengar cerita langsung dari mereka”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Ratu Anggabhaya yang merasa gembira, wajah pucat Sri Maharaja sepertinya telah berubah kemerahan dan begitu penuh semangat.
“Aku akan membawa mereka”, berkata Ratu Anggabhaya setengah berbisik.
Tidak lama kemudian Ratu Angabhaya telah datang kembali bersama Raden Wijaya, Kebo Arema, Lawe dan Mahesa Amping. Ternyata Sri Baginda Maharaja tidak lagi berbaring, tapi sudah bersandar dengan setengah punggungnya diatas tempat tidurnya.
“Berceritalah wahai pejuang mimpiku, para panglima kerajaan lautku”, berkata Sri Baginda Maharaja.
Dengan perlahan Kebo Arema bercerita tentang Armada Bahtera Singasari yang telah mulai merintis jalur pelayarannya.
“Kami telah menemukan daratan tempat asal pohon cengkeh dan Pala di ujung timur laut matahari terbit”, berkata Kebo Arema.
“Kalian telah mewujudkan mimpiku, membangun kerajaan laut Singasari untukku”, berkata Sri Baginda dengan wajah penuh berseri sepertinya telah melupakan rasa sakit dibadan. “Hari ini aku rela Gusti Yang Maha Hidup mengambil nyawaku”, berkata kembali Sri Baginda Maharaja penuh kebahagiaan.
“Sri Baginda Maharaja harus tetap hidup, tuan adalah cahaya semangat hamba”, berkata Kebo Arema perlahan kepada Sri Baginda Maharaja.
“Wahai cucunda Sanggrama Wijaya, mendekatlah”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya yang langsung mendekat. “Kutitipkan kerajaan lautku kepadamu, engkaulah cahaya mataku di masa depan, bawalah cahaya mataku bersama armada bahteramu sejauh dan seluas kamu dapat berlayar mengarunginya. Berjanjilah wahai cucundaku”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya yang tertunduk haru.
“Cucunda berjanji, membawa Bahtera Singasari mempersatukan ujung timur matahari sampai kebarat matahari terbenam”, berkata Raden Wijaya dengan penuh kesungguhan hati.
Sementara itu awan diatas Istana Singasari Nampak mendung, tidak lama kemudian terdengar suara air hujan gerimis kecil membasahi rumput-rumput dan tanaman penghias taman. Seorang prajurit pengawal istana terlihat berlindung di bawah pohon beringin tua. Hujan gerimis yang turun diujung senja berlangsung cukup lama.
“Kami mohon pamit, semoga Baginda dapat beristirahat dan lekas sembuh”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja
“Terima kasih telah mengunjungiku”, berkata Sri Bagida Maharaja melepas kepergian meraka.
Tiga hari setelah pertemuan itu ada berita bahwa Sri Baginda Maharaja telah pulih kesehatannya. Seisi Istana Nampak menjadi begitu gembira melihat perkembangan kesehatan Sri Baginda Maharaja yang terus terlihat semakin sehat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, Sri Baginda Maharaja kembali sakit bahkan terlihat lebih parah dari sebelumnya, nafasnya telihat sudah tidak teratur, denyut nadinya begitu lemah. Tabib istana sepertinya sudah merasa putus asa, segala ramuan obat tidak juga memberikan kesembuhan pada diri Sri Baginda Maharaja yang memang sudah cukup tua. Dan penyakit yang tengah dideritanya ini sepertinya merenggut kebugaran yang tersisa.
Berita tentang Sri Baginda Maharaja Singasari yang sedang gering akhirnya sampai juga di Tanah Kediri. Bukan main gundahnya Raja Kertanegara yang mendengar berita itu dari seorang utusan istana Kutaraja. Maka pada hari itu juga Raja Kertanegara langsung berangkat ke Singasari.
Namun usia manusia memang sudah ditentukan, tidak bisa diundur atau dimajukan. Bersamaan dengan keberangkatan Raja Kertanegara dari Kediri, Sri Baginda Maharaja Singasari telah diangkat ke alam keabadian, alam tempat segala berasal, dari tiada kembali ketiada.
Bumi Singasari berkabung, langit Singasari berkabut mendung. Tiga hari tiga malam hujan gerimis tiada henti, sepertinya mewakili duka cita seluruh jiwa di Tanah Singasari yang berduka, meratap menangisi kepergian seorang Raja Besar yang Agung, Raja Besar yang dicintai dan mencintai para kawulanya. Seorang Prabu Semeningrat dikenang sebagai Raja Agung yang selalu mengampuni musuh-musuhnya, Ksatria besar di medan perang, mengamankan perjalanan para Saudagar, pelindung dan pemberi kemakmuran para kawulanya.
Jasad Prabu Seminingrat diperabukan dengan upacara yang besar. Abunya dicandikan disebuah tempat yang tinggi, sebagai penghormatan tertinggi untuk diagungkan, sebagai Maharaja titisan dewa kasih.
Setelah masa berkabung telah melewati hari ke empat puluh, maka pada hari itu naiklah sang putra mahkota menggantikan ayahandanya, Kertanegara telah dinobatkan sebagai Maharaja Singasari berkedudukan di Kutaraja.
Gema riuh ripah seluruh warga berbondong-bondong dari pelosok tanah Singasari berkunjung ke Kutaraja demi menyaksikan upacara agung penobatan sang putra Mahkota menjadi Maharaja Singasari.
Seorang pujangga pengembara mengabadikannya dalam sebuah rontal syairnya:
Pada hari itu bumi Singasari dipenuh suka cita, dimusim penghujan, ditahun genap,
Raja dari Kediri itu datang berkuda di pagi hari,
duduk di istana Kutaraja dianugerahi mahkota tiga belas batu mutiara,
dikalungi seratus sebelas pucuk melati, diperciki air suci,
pulanglah para kawula membawa baki persembahannya,
Semua wajah dipenuhi suka cita.
Demikianlah awal dan hari pertama Sri Baginda Maharaja Kertanegara naik tahta menggantikan kedudukan ayahandanya Prabu Seminingrat.
Semua harapan kini tertuju kepada sang penguasa baru, Sri Baginda Maharaja Kertanegara. Mampukah Sang putra Mahkota membangun bumi Singasari diatas pilar-pilar warisan ayahandanya tercinta ?
Dan di malam hari penobatan itu dilangsungkan sebuah pesta perjamuan yang meriah. Kebo Arema, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe hadir di malam penuh kebahagiaan itu.
“Aku ingin Paman hadir di hari Maguntur raya”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kebo Arema disela-sela pesta perjamuan yang meriah. “Hamba bukan pejabat istana”, berkata Kebo Arema
“Aku Maharaja Singasari mengundang langsung hambanya”, berkata Sri Baginda Raja penuh senyum.
“Undangan paduka adalah sebuah kehormatan besar”, berkata Kebo Arema yang tidak dapat menghindar lagi.
Demikianlah, pada hari Maguntur Raya, dimana para pejabat istana menyampaikan laporannya atas tugastugas yang diembannya dihadapan Sri Baginda Maharaja. Kebo Arema ikut hadir didalamnya duduk bersama para pejabat istana.
Maka setelah semua pejabat istana telah menyampaikan laporannya, Sri Baginda Maharaja meminta Kebo Arema menyampaikan laporannya mengenai perkembangan tugas-tugasnya membangun jalur perdagangan laut Singasari.
Semula Kebo Arema merasa ragu dan mendugaduga, untuk apa Sri Baginda Maharaja memintanya menyampaikan laporannya ditempat terbuka, Kebo Arema tidak sempat berpikir banyak, dengan lugas dirinya telah menyampaikan beberapa kemajuan dan perkembangan terkini dalam hal pembukaan jalur perdagangan laut Singasari.
“Kami telah membuka jalur pelayaran kebarat sampai Ke Tanah Melayu. Kami juga telah menemukan Tanah tempat pohon Cengkeh dan Pala tumbuh. Bahtera laut Singasari telah menguasai jalur perdagangan dari timur terbit Matahari sampai kearah terbenam Matahari”, berkata Kebo Arema menyampaikan laporannya di ruang Maguntur raya.
“Kalian telah mendengar sendiri, itulah cita-cita ayahanda Prabu Seminingrat yang akan menjadi arah dari cita-citaku juga, membangun kerajaan laut Singasari yang besar, membangun dan meluaskan daerah Singasari melebihi panjalu dan jenggala”, berkata Sri Baginda Maharaja penuh semangat.
Diam-diam Kebo Arema kagum atas cara sahabatnya ini membangun sebuah gagasan dihadapan para pejabat istana, membangun sebuah kebersamaan.
“Bakat kepemimpinannya telah mulai tumbuh”, berkata Kebo Arema dalam hati.
Demikianlah, ketika hari sudah naik terang, Sri Baginda Maharaja telah meninggalkan ruang Maguntur Raya diikuti oleh para pejabat istana. Sementara itu Kebo Arema langsung kembali kepasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Sesampainya di Pasanggrahan, berbagai pertanyaan datang dari Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping, menanyakan perasaan Kebo Arema hadir di ruang Maguntur Raya.
“Hari ini aku seperti menjadi pejabat besar istana”, berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya.
“Wajah dan penampilan Paman sudah sangat mendukung”, berkata Lawe sambil manggut-manggut.
Sementara itu sang kala di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya sepertinya terlalu cepat berlalu, tidak terasa senja telah datang memeluk pucuk-pucuk atap, menelingkungi rumput-rumput taman pelataran yang hijau dalam kabut bening. Patung dewi kasih yang berdiri di tepi kolam kecil termenung menatap ikan-ikan kecil berwarna-warni menelusup berenang diantara teratai yang tengah berbunga putih. Disaat itulah hadir Sri Maharaja Kertanegara di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
“Sebuah kehormatan Sri Paduka datang ketempat kami”, berkata Ratu Anggabhaya menyambut kedatangan Maharaja Kertanegara dengan penuh kegembiraan.
“Aku rindu mendengar celoteh empat orang sahabatku para pelaut sejati”, berkata Maharaja Kertanegara yang langsung duduk bersama di pendapa sepertinya sengaja menghilangkan kesan kewibawaannya sebagai seorang Maharaja Singasari.
Demikianlah mereka sepertinya menemukan kembali suasana keakraban sebagaimana mereka pernah bersama di Bandar Cangu, bersama membangun sebuah bahtera besar Singasari. Pembicaraan pun menjadi begitu terbuka, tidak ada batasan lagi antara raja dan hambanya.
“Bilamana boleh memilih, aku lebih memilih bersama kalian, mengarungi lautan dan menyinggahi bandarbandar besar di ujung dunia”, berkata Maharaja Kertanegara.
“Ananda telah diberkati duduk di singgasana sebagai garis takdir suci, sebagaimana daun tua gugur berganti muda, sebagaimana sang kala terus berganti. Pada saatnya aku pun akan tua, penat dan cepat lelah, saatnya mencari pengganti daun-daun muda yang lebih segar mewarnai taman pemikiran istana Singasari yang terus maju dan berkembang”, berkata Ratu Anggabhaya.
“Kami masih memerlukan pemikiran Pamanda”, berkata Maharaja Kertanegara kepada Ratu Anggabhaya. “Bahtera besar Singasari telah kadung mengembangkan sayapnya, berlayarlah sejauh dan seluas lautan, kami para orang tua hanya berdoa, kalian para orang muda untuk terus menatap kedepan, berhati-hati menjaga bahtera tidak karam ditelan gelombang”, berkata Ratu Anggabhaya.
Ketika hari sudah mendekati larut malam, Maharaja Kertanegara pamit untuk kembali beristirahat. Dalam kesempatan itu, Kebo Arema mewakili ketiga kawannya ikut berpamit bahwa besok pagi mereka akan kembali ke Bandar Cangu.
“Bukankah musim berlayar masih belum datang?”, bertanya Maharaja Kertanegara.
“Kami sudah terlalu lama di Istana Singasari”, berkata Kebo Arema memberi alasan.
“Mereka sudah punya istana sendiri di Bandar Cangu, itulah sebabnya mereka ingin cepat meninggalkan kita”, berkata Lembu Tal sambil melirik kepada anaknya Raden Wijaya.
Pagi itu sudah terang bumi, angin sejuk lewat tangkai-tangkai pohon dan dedaunan hijau yang kerap, kesejukan angin menjadi bertambah segar bila terhirup masuk kedalam hidung.
Empat orang lelaki terlihat tengah menunggangi kudanya berjalan tidak terlalu tergesa-gesa, udara pagi yang segar menyapu wajah mereka.
Ternyata mereka tidak lain adalah Kebo Arema, Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang telah jauh meninggalkan gerbang kotaraja.
“Secepatnya aku akan bersama kembali di Bandar Cangu”, berkata Mahesa Amping ketika mereka sampai di persimpangan jalan.
“Salam untuk semua warga Padepokan Bajra Seta”, berkata Raden Wijaya melepas Mahesa Amping yang terlihat mengambil jalan ke arah barat.
Mahesa Amping baru merasakan kesendiriannya ketika telah melangkah jauh dari jalan persimpangan tempat mereka berpisah. Untuk mengusir kesendiriannya itu, terlihat Mahesa Amping menghentak kudanya agar berlari cepat. Kuda Mahesa Amping adalah kuda yang sudah begitu jinak, mengerti apa yang diinginkan tuannya. Dan kuda itu sudah terlihat memacu langkahnya berlari seperti terbang menyusuri jalan tanah lapang. Debu mengepul terbang di belakang kaki kuda yang berlari kencang.
Mahesa Amping memperlambat laju kudanya, tidak lagi menyususri jalan tanah, tapi berbelok mengambil jalan ke kiri ke arah padang ilalang yang luas.
Ternyata Mahesa Amping bermaksud mengambil arah jalan lebih cepat menuju Padepokan Bajra Seta.
Lengkung langit diatas padang ilalang terlihat berawan mendung, sebagai tanda hujan akan segera datang.Terlihat Mahesa Amping bersama kudanya terus maju yang terkadang hilang terhalang gerumbul semaksemak yang tinggi.Untunglah, manakala hujan telah turun begitu derasnya, Mahesa Amping sudah berada di bibir sebuah hutan. Kerap dahan dan dedaunan di hutan itu telah melindungi Mahesa Amping dari terpaan air hujan yang begitu lebat tercurah dari atas langit.
Mahesa Amping bermaksud mencari tempat bernaung, disamping berlindung dari hujan, juga sekedar mengistirahatkan kudanya yang telah begitu lama berjalan. Ternyata Mahesa Amping tidak sendiri di hutan itu, dibawah sebuah pohon besar terlihat seorang lelaki tua tengah berlindung dari hujan.
“Hujan begitu deras”, berkata Mahesa Amping ketika dekat dengan lelaki tua itu sebagai perkataan awal, pengganti sapaan kepada orang yang baru dikenal.
“Hujan memang sangat deras”, berkata orang itu membalas ucapan Mahesa Amping.
“Anakmas dari mana dan hendak kemana ?”, bertanya orang tua itu dengan ramah.
“Aku dari arah Kotaraja bermaksud hendak ke Padepokan Bajra Seta”, berkata Mahesa Amping.
“Padepokan Bajra Seta?”, bertanya orang itu sepertinya ingin memperjelas apa yang didengarnya.
“Padepokan Bajra Seta, aku akan kesana”, berkata Mahesa Amping memperjelas ucapannya karena pada saat itu suara air hujan memang cukup membisingkan.
“Apakah anakmas salah seorang cantri di Padepokan Bajra Seta?”, kembali orang tua itu bertanya
“Benar, aku cantrik di padepokan itu”, berkata Mahesa Amping tidak menutupi jati dirinya
“Ternyata Gusti telah meringankan langkah kakiku, aku pun juga bermaksud akan ke Padepokan Bajra Seta”, berkata orang tua itu penuh senyum.
“Ada keperluan apakah yang membawa orang tua datang mengunjungi Padepokan kami”, bertanya Mahesa Amping.
“Namaku Empu Nada, demikian orang-orang memanggilku, aku memang bermaksud ke Padepokan Bajra Seta untuk sedikit urusan”, berkata orang tua itu yang memperkenalkan dirinya bernama Empu Nada. “Puji syukur Sang Gusti telah pertemukan aku dengan salah seorang cantriknya, jadi aku tidak perlu banyak bertanya arah menuju Padepokan Bajra Seta”
“Namaku Mahesa Amping, kita dapat berjalan bersama”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan dirinya dan tidak berusaha mendesak dan mencari tahu kepentingan orang tua itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Empu Nada.
“Terima kasih”, berkata Empu Nada dengan wajah gembira.
Sementara itu hujan nampaknya sudah reda, beberapa butir air yang tersimpan di pelepah daun kadang terlepas jatuh menyiram bumi.
“Hujan sudah reda, aku senang punya teman di perjalanan”, berkata Mahesa Amping yang sepertinya sudah sangat dekat dan menyukai orang tua yang baru saja dikenalnya itu.
“Akupun sangat senang mendapatkan kawan yang dapat mengantarku sampai ke Padepokan Bajra Seta”, berkata Empu Nada yang terlihat tengah bersiap untuk berjalan bersama.
Terlihat mereka berdua telah berjalan menyusuri jalan setapak yang biasa dipakai oleh para pemburu. Akhirnya mereka pun telah keluar dari hutan itu, langit siang diluar hutan itu sudah nampak bersih meski awan tipis masih menyembunyikan wajah Sang Mentari.
“Aku telah menyusahkan anakmas, kehadiranku telah membuat anakmas berjalan kaki”, berkata Empu Nada merasa tidak enak hati melihat Mahesa Amping berjalan kaki menuntun kudanya. “Jarak perjalanan kita sudah tidak begitu jauh”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
Sebenarnya perkataan Mahesa Amping hanya sekedar bahasa manis saja, kenyataannya perjalanan mereka masih cukup jauh, terutama bila ditempuh dengan berjalan kaki. Banyak hal yang mereka bicarakan selama di perjalanan. Mahesa Amping semakin mengenal beberapa hal pribadi dari orang tua itu, meski hanya sebatas beberapa sifat dan wataknya yang ternyata seorang yang sangat menyenangkan, sangat terbuka dan seorang pendengar yang baik.
“Jadi Anakmas sudah lama meninggalkan Padepokan Bajra Seta”, berkata Empu Nada ketika mendengar cerita Mahesa Amping tentang beberapa perjalanan pelayarannya.
“Kira-kira empat kali pergantian musim hujan”, berkata Mahesa Amping.
“Berapa lama lagi kita akan sampai ke Padepokan Bajra Seta?”, bertanya Empu Nada ketika melihat matahari sudah mulai turun miring ke arah barat.
“Padepokan Bajra Seta ada di belakang bukit itu”, berkata Mahasa Amping sambil menunjuk ke arah sebuah bukit.
“Berarti kita masih menemui malam di perjalanan”, berkata Empu Nada.
“Kita bermalam di puncak bukit itu”, berkata Mahesa Amping memberikan gambaran perjalanan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping, mereka telah sampai diatas puncak bukit disaat malam telah turun mendekap bumi. Di puncak bukit itu banyak berdiri batu-batu besar. Di sela-sela batu itulah mereka merebahkan dirinya sekedar menghindari terpaan angin dingin malam.
Ketika semburat warna merah muncul di ujung malam, mereka berdua sudah terjaga. Terlihat mereka tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanannya.
Demikianlah, ketika matahari sudah jauh merayap menjelang siang terlihat mereka sudah mendekati padukuhan terdekat, tidak lama lagi mereka akan sampai di Padepokan Bajra Seta.
Diregol gerbang Padepokan Bajra Seta, beberapa cantrik menyambut gembira kedatangan Mahesa Amping.
“Perkenalkan ini Empu Nada, kami bertemu diperjalanan, ada maksud bertemu dengan Kakang Mahesa Murti”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan kawan seperjalanannya ketika bertemu dengan Mahesa Murti di Pendapa Padepokan Bajra Seta.
“Apakah mataku ini tidak salah mengenal orang?”, berkata Mahesa Murti yang masih ingat wajah Empu Nada, seorang kepercayaan dari Pangeran Gaco Bahari dari Kediri.
“Anakmas tidak salah mata, kita pernah bermain dalam satu dua jurus”, berkata Empu Nada dengan wajah penuh senyum.
“Selamat datang di Padepokan sederhana kami, Empu Nada pasti punya kepentingan yang kuat datang ke tempat ini”, berkata Mahesa Murti yang sudah hilang kecurigaannya terhadap Empu Nada, mungkin air wajah dari Empu Nada yang Nampak begitu polos, begitu penuh kasih memancar dari sinar wajahnya. Setelah bersih-bersih diri, Mahesa Amping dan Empu Nada dipersilahkan beristirahat sejenak sambil menyantap beberapa potong makanan dan minuman hangat.
Akhirnya, perlahan Empu Nada menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke Padepokan Bajra Seta.
“Garis hidupku memang aneh, dulu aku telah salah berdiri di belakang Pangeran Gaco Bahari”, berkata Empu Nada berhenti sebentar membiarkan Mahesa Murti mengenang sedikit tentang Pangeran Gaco Bahari yang pernah ingin memberontak atas kekuasaan syah Singasari. “Saat ini kembali langkahku salah berpijak”, lanjut Empu Nada menyambung perkataaannya.
Akhirnya Empu Nada bercerita tentang pertemuannya dengan seorang perampok tunggal yang sedang sakit parah terkena banyak senjata lawan.
“Aku membawanya ke gubukku, merawatnya”, bercerita Empu Nada.
”Ketika dirinya telah kembali sembuh seperti sedia kala, kuberharap dengan bimbingan dan tuntunanku, orang itu akan kembali kejalan yang benar”, berkata Empu Nada sambil berhenti sebentar menarik nafas panjang, sepertinya tengah mengumpulkan beberapa kenangan.
“Aku gembira sekali, orang itu ternyata punya bakat dan kecerdasan yang kuat”, berkata Empu Nada.
Terlihat wajah Empu Nada tiba-tiba begitu suram, sepertinya dipenuhi duka dan penyesalan yang sarat.
“Ternyata aku telah menciptakan tanduk untuk seokar srigala, apalagi ketika datang seorang Raja dari GelangGelang yang memberikannya banyak janji-janji, srigala itu sepertinya telah kembali kepadang perburuannya, kepadang perburuan yang lebih besar.Saat ini srigala itu telah berencana dengan Raja Gelang-gelang untuk merampok kekuasaan penguasa baru Singasari”, berkata Empu Nada mengakhiri ceritanya.
“Apakah Empu Nada pernah memberitahukan kepadanya bahwa langkahnya telah masuk dijalan simpang?”, bertanya Mahesa Murti kepada Empu Nada.
“Srigala itu sudah tidak mempan lagi dimasuki nasehat apapun, bahkan dirinya merasa telah sampai pada batas pencarian ke AKU-annya”, berkata Empu Nada.
“Carilah Aku dimana tidak ada aku?”, bertanya Mahesa Murti menegaskan
“Benar, dirinya telah menemukan AKU yang lain, si AKU nafsunya sendiri yang diakuinya sebagai penguasa tunggal, membenarkan segala tindakannya, semua dianggapnya sebagai kebaikan. Mata hatinya sepertinya telah terbalik, matahari telah terbit di ujung barat mata hatinya”, berkata Empu Nada.
“Siapakah nama orang itu ?”, bertanya Mahesa Murti “Namanya Mahesa Rangga”, berkata Empu Nada. “Aku pernah mendengar nama itu disebut oleh salah
seorang pedagang yang berasal dari arah barat Singasari, menurutnya adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak terkalahkan, dan diam-diam telah memupuk kekuatan, sebagai kekuatan bayangan, sebagai penguasa bayangan yang juga ikut menarik upeti dari beberapa padukuhan terdekat”, berkata Mahesa Murti.
“Ternyata anakmas punya banyak telinga”, berkata Empu Nada.
“Beberapa bulan yang lalu, ada banyak pesanan senjata dari pedagang yang berasal dari barat Singasari”, berkata Mahesa Murti.
“Mereka memang telah memupuk sebuah kekuatan disana”, berkata Empu Nada meyakinkan.
“Srigala itu sudah mempunyai tanduk, kita harus cepat bertindak sebelum srigala itu bersayap”, berkata Mahesa Amping yang selama itu ikut mendengar memberikan tanggapannya.
“Itulah maksud kedatanganku ke Padepokan Bajra Seta ini, meminta pertimbangan dan tindakan dari pimpinan Padepokan ini yang kutahu selalu menjunjung tinggi kebenaran”, berkata Empu Nada.
Sementara itu matahari diatas Padepokan Bajra Seta telah pudar mendekati senja, lengkung langit berwarna putih sejuk menelengkungi keteduhan. Beberapa cantrik terlihat masuk regol gerbang Padepokan dengan pakaian yang berlumpur. Rupanya mereka baru pulang dari sawah. Saat itu memang awal musim penghujan, saat yang baik untuk membajak sawah disaat tanah basah tersiram banyak hujan.
“Paman Sembaga dan Paman Wantilan sudah datang, undanglah mereka ke pendapa”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera turun dari pendapa menemui Sembaga dan Wantilan.
“Ternyata Sang pelaut telah kembali”, berkata Sembaga menggoda menyambut kedatangan Mahesa Amping.
“Aku rindu mengotori seluruh tubuh degan lumpur di sawah”, berkata Mahesa Amping penuh senyum.
“Siapakah yang ada di Pendapa bersama sang ketua?”, bertanya Wantilan penuh selidik.
“Paman pasti pernah mengenalnya, seorang kepercayaan Pangeran Gaco Bahari dari Kediri yang dulu pernah paman hancurkan Padepokannya beberapa tahun yang lalu”, berkata Mahesa Amping.
“Untuk apa dia datang ke Padepokan kita?”, bertanya Wantilan.
“Kakang Mahesa Murti meminta Paman berdua datang nanti malam ke pendapa utama, ada yang ingin disampaikan, mungkin keingintahuan paman berdua akan terjawab”, berkata Mahesa Amping.
“Kalau begitu kami akan segera membersihkan diri”, berkata Sembaga.
“Juga berganti pakaian”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum melihat Sembaga dan Wantilan berjalan cepat meninggalkannya, mungkin seperti yang dikatakannya akan segera bersih-bersih diri.
Terlihat Mahesa Amping telah kembali naik kependapa utama Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu sang waktu terus bergulir diatas Padepokan Bajra Seta, wajah langit semakin meredup dan akhirnya kusam pekat menghitam.
Sang Malam telah datang bersama armada kegelapannya, menyergap dan menutupi batas pandang wajah bumi.
“Sebelum melangkah lebih jauh, yang paling utama adalah melihat kekuatan lawan”, berkata Mahesa Murti di pendapa utama Bajra Seta. Telah hadir di pendapa adalah Sempaga dan Wantilan yang telah diberitahu tentang beberapa hal yang telah terjadi dan berkaitan dengan kedatangan Empu Nada Di Padepokan Bajra Seta.
“Dan kehadiranku disini berkaitan dengan penyelidikan kekuatan lawan itu”, berkata Sembaga
“Ternyata Paman Sembaga telah tanggap, benar apa yang Paman duga, aku berkeinginan menugaskan Paman berdua bersama Mahesa Amping kedaerah barat itu”, berkata Mahesa Murti.
“Sudah lama kaki ini tidak menginjak tanah lebih jauh dari sawah dan ladang dipadepokan Bajra Seta ini”, berkata Wantilan penuh senyum.
“Kapan kami akan berangkat?”, berkata Sembaga sepertinya sudah tidak sabaran lagi.
“Hari ini Mahesa Amping baru saja tiba, biarlah dia beristirahat dulu satu dua hari”, berkata Mahesa Murti.
Mahesa Amping memang terlihat sudah sangat suntuk, akhirnya Mahesa Murti menyilahkan Mahesa Amping dan Empu Nada beristirahat lebih dulu.
Dan malam di musim penghujan itu memang begitu dingin, di pertengahan malam kembali hujan mengguyur bumi, membasahi halaman depan Padepokan Bajra Seta, melelapkan semua yang telah tertidur diawal malam.
Dan hujan baru sedikit berhenti di awal pagi dengan siraman gerimis kecilnya, membuat siapapun akan enggan membuka matanya. Namun di pagi yang masih bergerimis itu Mahesa Amping dan Empu Nada sudah terlihat keluar dari kamarnya. Setelah bersih-bersih diri mereka langsung ke Pendapa utama. “Ternyata anakmas Mahesa Murti telah terbiasa bangun di awal pagi”, berkata Empu Nada yang telah melihat Mahesa Murti ternyata sudah mendahuluinya berada di Pendapa utama Padepokan Bajra Seta.
“Orang tua bilang bangun pagi akan memanjangkan usia”, berkata Mahesa Murti kepada Empu Nada.
“Dan rejeki kita tidak keduluan dipatuk ayam”, berkata Mahesa Amping melanjutkan.
Sambil menikmati wedang jahe hangat dan beberapa potong ubi manis mereka saling bercerita banyak hal, terutama Mahesa Amping banyak bercerita tentang perjalanan pelayarannya bersama bahtera besar Singasari menuju Tanah Gurun, sebuah pulau di ujung timur matahari sebagai tempat asal pohon cengkeh dan pala, sebuah tanaman di jaman itu yang harganya sama dengan harga sebuah emas.
“Impian Maharaja Seminingrat telah terwujud, saatnya Maharaja Kertanegara melanjutkan dan memapankannya”, berkata Mahesa Murti menanggapi cerita Mahesa Pukat.
“Musuh-musuh Maharaja muda itu ternyata punya siasat yang sangat tajam, menusuk Singasari disaat semua daya pikiran tertuju ke luar, membangun jalur perdagangan laut bagi kemakmuran nagari”, berkata Empu Nada.
“Empu Nada benar, kita harus menutup kelemahan itu, agar Singasari tidak terganggu memperluas cakrawala kekuasaannya yang luhur bagi bumi Singasari tercinta”, berkata mahesa Murti.
“Ternyata aku datang di tempat yang benar, di Padepokan para ksatria Singasari”, berkata Empu Nada “Empu Nada telah datang di tempat sanak kadang sendiri”, berkata Mahesa Murti.
Terlihat Empu Nada tersenyum menangkap maksud perkataan dari Mahesa Murti.
“Gambar Cakra di lengan Empu Nada telah mempertemukan dua saudara yang telah lama terpisah, jalur perguruan sejati”, berkata Mahesa Murti.”Jalur perguruan Sejati masih hidup di Padepokan Bajra Seta ini lewat Paman Mahesa Agni murid tunggal Empu Purwa saudara seperguruan Empu Brantas”, berkata Mahesa Murti memberikan penjelasannya.
“Dalam permainan sejurus dua jurus bersamamu, aku juga telah menduga bahwa kita punya dasar kanuragan yang sama”, berkata Empu Nada penuh kegembiraan.
“Ada berita gembira lain yang akan aku sampaikan untuk Empu Nada”, berkata Mahesa Murti sambil menatap Empu Nada.
“Cepat katakan, jangan buat orang setuaku ini jadi penasaran”, berkata Empu Nada tidak sabaran.
“Berbahagialah, bahwa Maharaja Singasari yang tengah berkuasa saat ini adalah murid terkasih dari saudara Empu Nada sendiri”, berkata Mahesa Murti kepada Empu Nada.
“Aku memang punya saudara kembar, mungkinkah yang engkau maksudkan adalah Dangka saudara kembarku itu ?”, bertanya Empu Nada masih ragu.
“Benar, saudara kembar Empu Nada yang telah mengangkat murid kepada Maharaja Kertanegara bernama Empu Dangka”, berkata Mahesa Murti.
“Sudah lama kami berpisah, apakah anakmas mengetahui keberadaan saudaraku itu?”, bertanya Empu Nada.
“Ketika kami pulang dari Tanah Madhura,menyusuri sungai porong, kami tidak menemukan Empu Dangka ditempat terakhirnya, sepertinya telah hilang ditelan bumi”, berkata Mahesa Amping ikut bercerita ketika bersama Kertanegara menyusuri sungai Porong tempat terakhir Empu Dangka.
“Berita bahwa saudaraku telah mewariskan ilmunya kepada Maharaja Singasari sepertinya sebuah air suci yang membersihkan rasa bersalahku selama ini, telah salah mengasuh para srigala yang haus darah”, berkata Empu Nada yang Nampak raut dan garis wajahnya terlihat begitu cerah penuh kegembiraan.
Sementara gerimis diluar pendapa utama terlihat sudah surut, bumi sudah terlihat tersenyum terang bersama awan putih bening mengisi cakrawala. Beberapa burung kecil terlihat terbang melintas.Dan pagi yang cerah seperinya mewarnai langit Padepokan Bajra Seta. Mungkin kehadiran Mahesa Amping menjadikan suasana Padepokan itu telah menjadi semakin menambah kegembiraan.
Mahesa Amping terlihat mengajak Empu Nada berkeliling Padepokan Bajra Seta, juga mengajaknya keluar padepokan Bajra seta melihat-lihat suasana para petani yang tengah menanam bibit-bibit batang padi satu persatu mengisi petak-petak sawah mereka.
“Suasana yang menyenangkan, pesona alam yang indah dalam gairah kegembiraan para petani”, berkata Empu Nada.
“Kedamaian seperti inilah yang kadang datang mengusik hari-hari dalam pengembaraanku”, berkata Mahesa Amping. “Kedamaian yang selalu membuat iri para petualang seperti diriku”, berkata Empu Nada.
“Seandainya saja bumi tanpa bencana dan peperangan, suasana kedamaian ini akan menjadi lukisan yang abadi”, berkata Mahesa Amping.
“Gusti yang Maha Pemrakarsa telah menciptakan garis takdirnya, keabadian hanya miliknya, kefanaan di alam dunia adalah milik makhluknya. Dengan dasar inilah kita hambanya disuruh memilih, masuk dalam keabadiannya atau terjerumus dalam kefanaan abadi”, berkata Empu Nada.
“Petuah Empu Nada adalah pusaka”, berkata Mahesa Amping yang menangkap makna terdalam dari tutur Empu Nada.
“Anakmas telah sampai dalam pencerahan bathin, aku senang telah bertemu dengan orang-orang macam anakmas, Padepokan Bajra Seta telah melahirkan banyak putra terbaik sebagai cahaya bumi dikegelapan malam”, berkata Empu Nada.
Sementara itu matahari sudah semakin merayap tinggi, dari sebuah saung terlihat seorang lelaki bertelanjang dada memanggil mereka.
Mahesa Amping dan Empu Nada mendekatinya, ternyata lelaki bertelanjang dada itu tidak lain adalah Mahesa Semu.
“Mbokyu Padmita sengaja membuat pecak gabus kesukaanmu”, berkata Mahesa Semu ketika Mahesa Amping dan Empu Nada mendekatinya.
Demikianlah, mereka sejenak menikmati makan siang di pinggir sawah, meriung bersama para cantrik lainya yang sudah dari pagi berkeringat bekerja di sawah. Sebuah kegembiraan dan kebahagiaan bersama yang jarang sekali dirasakan oleh Empu Nada.
“Makanan yang paling nikmat yang pernah aku rasakan”, berkata Empu Nada sambil menyuap nasi liwet dan sepotong gabus pecaknya diatas sehelai daun pisang yang masih basah.
Hari yang telah ditentukan akhirnya telah tiba.
Tiga ekor kuda terlihat pagi itu telah keluar dari regol gerbang Padepokan. Mereka adalah Wantilan, Sembaga dan Mahesa Amping.
“Berbahagialah anakmas yang telah banyak melahirkan para ksatria berjiwa mulia”, berkata Empu Nada kepada Mahesa Murti ketika melepas kepergian tiga orang cantrik pilihan Padepokan Bajra Seta.
“Tugas kita hanya menanam dan merawatnya, Gusti Yang Maha Karsa yang menentukan berhasil atau tidaknya panen raya”, berkata Mahesa Murti tersenyum.
“Kamu benar Anakmas, aku memang harus belajar banyak dengan anakmas”, berkata Empu Nada ketika melihat tiga ekor kuda telah menghilang di tikungan jalan.
Wantilan, Sembaga dan Mahesa Amping memang sudah masuk ke tikungan jalan, menyusuri jalan Padukuhan.
Dan manakala berhadapan dengan padang ilalang yang luas, mereka menepak perut kuda agar berlari kencang.
Terlihat tiga ekor kuda berlari kencang saling berkejaran membelah ilalang yang tinggi hingga sebadan. Angin pagi menerpa wajah-wajah mereka, mengusap semangat pengembara di padang pengembaraan, mengusap semangat tiga ksatria menuju padang perbhaktian. Mereka seperti elang gurun yang terbang bebas merdeka mencari padang perburuannya, hinggap sebentar di puncak-puncak bukit karang yang tinggi, melewati ngarai dan lembah hijau, atau menghilang ditelan kepekatan hutan rimba yang lebat.
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka telah mendekati tempat daerah yang mereka tuju.
Terlihat tiga ekor kuda telah memasuki sebuah regol gerbang sebuah kademangan, matahari pagi menyapu wajah-wajah mereka. Beberapa petani yang akan berangkat menuju ke sawah hanya sebentar menatap mereka, sepertinya kademangan itu sudah terbiasa didatangi para tamu asing.
“Permisi Paman, dapatkah menunjukkan kepada kami rumah Saudagar Kimung ?”, bertanya Mahesa Amping kepada seorang petani yang berpapasan dengannya.
“Rumah Saudagar Kimung tidak jauh lagi, jalan lurus dari sini kisanak akan menemui rumah yang cukup besar dengan lumbung padi yang juga cukup besar. Didepan pendapa berdiri pohon asam yang besar”, berkata petani itu memberikan ancer-ancer rumah Saudagar Kimung.
“Terima kasih Paman”, berkata Mahesa Amping kepada petani itu.
Sebagaimana yang dikatakan petani itu, mereka menemukan sebuah rumah besar dengan sebuah lumbung padi yang juga cukup besar, ada pohon asam yang sudah tua berbatang besar melebihi sepelukan tangan orang dewasa. Sebagaimana umumnya rumah yang ada di Kademangan itu, rumah itu terbuka tidak dibatasi pagar. Terlihat keranda bambu di depan rumahnya sebagai tempat merayap pohon labu parang yang nampaknya sudah banyak yang telah kuning matang.
“Selamat datang di Kademangan Padang Bulan”, berkata seorang lelaki bertubuh tambur turun dari pendapa rumah yang ternyata adalah Saudagar Kimung.
“Ternyata nama Saudagar Kimung sangat santer di penjuru Kademangan ini, kami tidak susah mencarinya”, berkata Wantilan yang langsung menyalami lelaki pemilik rumah itu.
Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan segera diajak naik ke pendapa rumah.
“Percayalah, aku dapat memegang rahasia”, berkata Saudagar Kimung dengan berbisik takut ada yang mendengar.
Ternyata Saudagar Kimung memang dapat dipercaya, jangankan kepada orang lain, kepada keluarganya sendiri rahasia rencana ketiga cantrik padepokan Bajra Seta ini sangat tertutup. Hanya dikatakan bahwa ketiga kawan jauhnya ini akan memulai penghidupan baru, mencoba membuka usaha sebagai tukang pandai besi.
Hari pertama memang tidak banyak yang dilakukan oleh Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan selain mempersiapkan beberapa peralatan kerja sebagai tukang pandai besi.
Pada hari kedua Saudagar Kimung mengajak mereka bertiga kepasar di Kademangan Padang Bulan yang cukup ramai, apalagi disaat hari pasaran.
Nasib mereka cukup beruntung, seorang pejabat pasar memberikan tempat yang cukup luas diujung pasar. Pada hari itu juga mereka langsung membuat sebuah gubuk yang bukan hanya sebagai tempat kerja dan usaha, tapi sekaligus sebagai tempat tinggal mereka bertiga.
Wantilan, Sembaga dan terutama Mahesa Amping ternyata memang seorang pandai besi sungguhan yang ahli, siapapun yang melihat hasil kerja mereka tidak akan menyangka bahwa mereka sebenarnya bukan pandai besi sungguhan. Hasil karya mereka dapat dikatakan begitu halus dan sangat baik.
Mereka mulai bekerja sepanjang hari, maka dalam waktu sepekan berbagai peralatan pertanian dan senjata sudah terlihat menumpuk siap diperdagangkan.
“Apakah kisanak ingin membeli barang kami?”, berkata Mahesa Amping kepada dua orang lelaki berwajah kasar.
“Ternyata kamu ini orang baru disini, kami disini tidak untuk membeli, tapi meminta kutipan”, berkata salah seorang yang paling garang.
“Kami telah membayar kutipan kepada petugas pasar kemarin sore”, berkata Mahesa Amping.
“Kami bukan petugas pasar, tapi kami penguasa tempat ini”, berkata orang itu dengan mata melotot.
“Maaf, kami memang orang baru disini. Hari ini kami baru memulai usaha, bagaimana bila kami memberi kalian hadiah dua buah senjata”, berkata mahesa Amping dengan gaya seorang pedagang yang mengalah dan tahu berperilaku kepada orang-orang kasar di pasar pada umumnya.
“Untuk kali ini aku terima”, berkata orang itu penuh gembira. Mahesa Amping segera memberikan mereka dua buah golok besar mirip dengan golok besar yang mereka bawa yang terlihat terselip di pinggang masing-masing.
“Buatan kami adalah yang terbaik di Tanah Singasari ini”, berkata Mahesa Amping sambil menyerahkan golok besar buatannya.
Terlihat kedua orang itu menimang-nimang golok besar pemberian itu serta membandingkan dengan senjatanya sendiri. Sedikit banyak kedua orang itu memang tahu menilai tentang senjata yang baik.
“Senjata yang baik, sangat ringan dan enak dipegang”, berkata kawannya yang satu lagi.
“Anggap saja itu hadiah perkenalan kita”, berkata Mahesa Amping penuh senyum keramahan.
“Jarang sekali aku berhadapan dengan pedagang seperti kalian, tidak kikir dan mudah diatur”, berkata orang yang berwajah paling garang.
“Kami disini mencari peruntungan, bukan mencari musuh”, berkata Mahesa Amping masih dengan wajah ramah dan penuh senyum.
“Pekan depan kami akan datang kembali”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping sambil memberi tanda kepada kawannya untuk berlalu meninggalkan tempat pandai besi itu.
“Untungnya bukan aku yang menghadapi orang itu”, berkata Wantilan kepada Mahesa Amping ketika kedua orang itu sudah pergi berlalu.
Ternyata keberadaan pandai besi yang baru diujung pasar cukup menarik perhatian, banyak orang yang berbelanja mampir ketempat itu, baik hanya sekedar melihat-lihat, tapi ada juga yang langsung membeli barang dagangan mereka.
Sepekan kemudian, dagangan mereka seperti laris manis. Mungkin dari mulut ke mulut barang dagangan mereka telah diakui sebagai barang buatan yang sangat halus dan baik.
Hingga pada sebuah hari pekan, pada sebuah hari pasaran, yang mereka nantikan akhirnya datang juga.
“Disinikah kamu mendapatkan dua buah golok besar itu?”, berkata seorang yang berpakaian perlente layaknya seorang bangsawan kepada salah seorang anak buahnya yang ternyata salah seorang yang dulu pernah diberi hadiah dua buah golok besar oleh mahesa Amping.
“Benar, disinilah aku mendapatkannya”, berkata anak buahnya yang ditanyakan itu sambil menganggukkan kepalanya.
Seperti biasa, Sembaga pada saat itu tengah asyik menempa besi, sementara Wantilan terlihat tengah menghaluskan sebuah pedang yang nampaknya hampir jadi.
“Silahkan tuan melihat-lihat barang dagangan kami”, berkata Mahesa Amping mendekati orang itu yang terlihat sepertinya sangat disegani oleh lima orang yang datang bersamanya, diantaranya adalah yang sudah dikenal oleh Mahesa Amping.
Orang itu memang terlihat angkuh, tampa berkata apapun langsung memeriksa sebuah pedang panjang dan mencobanya dalam beberapa gerakan.
“Tuan dapat menguji ketajaman pedang buatan kami”, berkata Mahesa Amping sambil mengeluarkan sebuah batang bambu yang panjangnya kurang lebih sedepa.
“Silahkan tebas bambu ini”, berkata Mahesa Amping sambil menjulurkan bambu itu dihadapan orang itu. Maka tanpa banyak cakap orang itu telah membuat ancangancang untuk mengayunkan pedang ditangannya.
Luar biasa, bambu ditangan Mahesa Amping sudah terpotong dengan halusnya dengan sekali tebasan.
“Pedang yang bagus”, berkata orang itu langsung memuji pedang hasil karya Mahesa Amping.
“Buatan kami berasal dari besi pilihan”, berkata Mahesa Amping sambil membungkukkan badan penuh kerendahan hati layaknya seorang pedagang kepada seorang bangsawan calon pembeli yang royal.
“Aku pesan seratus pedang, seratus golok panjang dan seratus mata tombak”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping.
“Bila pesanan tuan telah selesai, kemana kami dapat mengantarnya?”, bertanya Mahesa Amping.
“Bawalah ke Gunung Jati, setiap orang disini sudah tahu dimana aku tinggal”, berkata orang itu.
“Dapatkah aku tahu siapakah nama tuan, agar mudah mencari tempat tinggal tuan”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu.
“Ternyata kamu orang baru disini, namaku Mahesa Rangga”, berkata orang itu yang mengatakan dirinya bernama Mahesa Rangga.
“Secepatnya kami akan menyelesaikan pesanan tuan”, berkata Mahesa Amping penuh gembira, tapi orang itu juga para anak buahnya mengartikan lain kegembiraan Mahesa Amping. Tanpa kata-kata orang itu sudah berbalik badan bersama anak buahnya meninggalkan Mahesa Amping.
“Kita perlu bahan yang cukup untuk melayani pesanan mereka”, berkata Wantilan kepada Mahesa Amping yang diam-diam telah mencuri dengar pembicaraan Mahesa Amping dengan orang yang mengaku bernama Mahesa Rangga.
“Besok Saudagar Kimung akan berangkat berdagang kearah timur, kita bisa titip pesan kepadanya untuk dibawakan dari Padepokan Bajra Seta sesuai pesanan”, berkata Mahesa Amping.
“Otakmu cukup encer, kita tidak perlu banyak kerja, barang sudah siap jadi”, berkata Wantilan sambil menepuk-nepuk pundak Mahesa Amping.
“Kita tidak perlu memberikan semua pesanan mereka”, berkata Mahesa Amping
“Tidak memberikan semua pesanan mereka?”, bertanya Wantilan tidak mengerti maksud perkataan Mahesa Amping yang tersenyum melihat wajah Wantilan yang berkerut penuh tanda Tanya.
“Ssst !, ada pembeli datang”, berkata mahesa Amping memberi tanda ada beberapa orang yang tengah berjalan ketempat mereka.
Maka seperti biasa Mahesa Amping melayani orangorang yang datang melihat-lihat, sekali-sekali Mahesa Amping memamerkan beberapa senjata dan beberapa alat pertanian barang dagangannya.
Ketika beberapa pembeli sudah pergi, kembali Wantilan menagih penjelasan kepada Mahesa Amping.
“Nanti malam akan kujelaskan semuanya”, berkata Mahesa Amping dengan wajah penuh senyum. “Aku tunggu penjelasanmu”, berkata Wantilan yang langsung kembali bekerja menghaluskan beberapa alat yang terlihat hambir sempurna.
Sebagaimana yang telah dijanjikan, maka pada malam harinya Mahesa Amping menjelaskan semua rencananya.
“Jadi kita membuat senjata dari bahan besi campuran?”, bertanya Wantilan
“Benar, dibawah kekuatan senjata yang kita miliki, setidaknya bila beradu dengan senjata kita akan mudah patah”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
“Kamu memang anak nakal”, berkata Wantilan yang langsung setuju
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wantilan sudah ada di rumah Saudagar Kimung untuk menitipkan beberapa pesan rahasia yang akan disampaikannya kepada Mahesa Murti di Padepokan Bajra Seta.
Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Amping, Wantilan dan Sembaga terlihat sangat sibuk bekerja sepanjang hari, bahkan kadang sampai jauh malam. Ternyata mereka tengah membuat sebuah senjata yang khusus mereka ciptakan sendiri yang dirancang akan mudah patah, namun sebagai seorang ahli tidak akan mudah diketahui.
Sepekan kemudian telah datang tiga orang cantrik Padepokan Bajra Seta membawa barang pesanan yang ditipkan lewat Saudagar Kimung. Maka pesanan seratus pedang, seratus golok panjang dan seratus mata tombak sudah terkumpul.
“Tiga ratus prajurit dari Bandar Cangu secara bertahap akan datang memenuhi tempat ini”, berkata salah seorang cantrik Bajra Seta menyampaikan sebuah berita. “Raden Wijaya dan Lawe ikut dalam pasukan itu sebagai pimpinan”, berkata cantrik itu melanjutkan.
Gunung jati adalah sebuah kawasan perbukitan berhutan lebat. Sebagaimana namanya, didalam hutan ini memang banyak tumbuh tanaman jati yang sudah berumur puluhan tahun. Dahulu orang-orang disekitarnya biasa mengambil kayu jati untuk membangun rumah mereka di hutan ini, disamping juga sebagai tempat berburu yang baik karena masih banyak dihuni berbagai binatang buruan liar. Namun setelah hutan itu dikuasai para gerombolan yang dikepalai oleh seorang yang bernama Mahesa Rangga, para penduduk sekitar tidak berani lagi datang ke hutan gunung jati.
Gerombolan Mahesa Rangga ini semakin merajelela, bahkan mereka saat itu sudah berani meminta kutipan di beberapa kademangan sekitarnya sebagaimana yang pernah dialami sendiri oleh Mahesa Amping di pasar, pada saat panen raya atau kepada para saudagar yang datang dari berbagai tempat.Para bebahu Kademangan tidak berani melapor, mereka masih memilih aman hanya dengan sekedar memberikan kutipan.
Namun akhir-akhir ini gerombolan Mahesa Rangga yang diam-diam sangat dibenci oleh penduduk disekitarnya sudah mulai berbuat keonaran dan membuat resah, mereka sudah mulai mengganggu wanita yang sudah bersuami dan para gadis penduduk di sekitarnya.
Dari beberapa penduduk di Kademangan Padang Bulan, Mahesa Amping dapat mengorek beberapa keterangan tentang gerombolan ini, ternyata umumnya mereka adalah bekas perampok dan perusuh yang merasa tersingkir dengan kekuasaan prajurit Singasari di banyak jalan jalur perdagangan yang ramai. Sayangnya para prajurit Singasari masih kurang banyak untuk mengawasi seluruh Tanah Singasari yang luas, diantaranya pengawasan disekitar gunung jati ini.
Pagi itu terlihat tiga orang tengah menuntun tiga ekor kuda. Terlihat kuda-kuda itu membawa muatan barang di punggungnya.
Ternyata ketiga lelaki itu adalah Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan yang tengah mendaki membawa senjata pesanan Mahesa Rangga di Gunung Jati.
Terlihat mereka telah semakin masuk ke hutan gunung jati. Akhirnya setelah berjalan setengah harian mereka telah sampai disebuah tanah datar. Diatas tanah datar itu berdiri banyak gubuk-gubuk liar beratap daun dan berdinding kayu sekedarnya. Namun ditengah gubuk-gubuk yang dibangun ala kadarnya itu berdiri sebuah bangunan yang cukup megah, hamper seluruhnya terbuat dari kayu jati yang sudah dihaluskan, bahkan ada beberapa bagian seperti pagar pendapa terlihat diukir dengan apiknya.
Ketika Mahesa Amping,Sembaga dan Wantilan melewati sebuah gubuk, keluar seorang lelaki dari gubuk itu menghampiri mereka. Ternyata lelaki berwajah garang yang sudah dikenal Mahesa Amping yang selalu datang setiap pekan meminta kutipan.
“Ternyata kamu si pandai besi yang baik hati”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping.
“Aku membawa barang pesanan tuanmu”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu.
“Mari kuantar kalian kepada Sang Ketua”, berkata orang itu menggiring Mahesa Amping, Wantilan dan Sembaga menuju rumah jati itu yang ternyata adalah tempat tinggal Sang Ketua Mahesa Rangga.
“Kalian tunggu disini, aku akan menemui sang ketua”, berkata orang itu meminta Mahesa Amping dan kawankawannya menunggu di bawah halaman pendapa rumah jati itu.
Terlihat orang itu masuk kedalam rumah.
Tidak lama berselang orang itu terlihat kembali keluar dari pintu berjalan menghampiri Mahesa Amping dan kedua kawannya.
“Sang Ketua ternyata malas menemui kalian, silahkan letakkan barang-barang yang kamu bawa disini”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping.
Maka Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan segera membongkar barang muatan dari punggung kuda, meletakkannya di halaman pendapa.
“Terimalah pembayaran atas penjualan barangmu”, berkata orang itu sambil memberikan sekampit pembayaran.
“Terima kasih”, berkata Mahesa Amping menerima pembayaran itu langsung membukanya. “Tuanmu ternyata sangat baik hati, pembayaran ini lebih dari cukup”, berkata Mahesa Amping dengan penuh gembira.”Terimalah ini sebagai balas jasa telah mengantar tuanmu kepada kami”, berkata kembali Mahesa Amping sambil memberikan sedikit persenan kepada orang itu yang diambilnya dari kampil pembayaran yang diterimanya.
“Ternyata kamu tahu apa yang ada didalam pikiranku”, berkata orang itu dengan senyum penuh arti.
“Boleh kami beristirahat sejenak di sekitar tempat ini?”, bertanya Mahesa Amping kepada orang itu. “Terserah kalian”, berkata orang itu sambil pergi meninggalkan Mahesa Amping bertiga.
Terlihat Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan mencari tempat berteduh disebuah pohon besar diantara gubuk-gubuk yang tidak beraturan letaknya mengelilingi rumah Sang Ketua.
Sambil beristirahat mereka memperhatikan orangorang yang ada didalam gubuk, terlihat ada yang sedang tidur dan sebagian lagi sepertinya tengah bersenda gurau. Sebagian besar terlihat sebagai orang-orang kasar, terdengar dari gaya bahasanya.
Setelah matahari sudah mulai jenuh berdiri dipuncaknya, Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan terlihat tengah bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Beberapa mata terlihat mengiringi langkah kaki mereka, namun sebagian lagi sepertinya memandang tak acuh.
Hari sudah mendekati senja manakala mereka telah sampai dikaki hutan gunung jati. Di tanah terbuka mereka langsung menghentakkan lari kuda mereka. Maka tidak begitu lama mereka telah sampai kembali di Kademangan Padang Bulan.
Dan sandikala telah datang menelungkupi bumi, memanggil burung-burung kecil untuk kembali kesarangnya. Para ibu memanggil anaknya yang masih bermain dihalaman rumah, sementara itu beberapa lelaki bertelanjang dada terlihat baru pulang dari sawahnya.
Di ujung senja, sudut pasar itu sudah begitu sepi. Mahesa Amping , Sembaga dan Wantilan masih terlihat duduk-duduk dibale bambu di depan gubuk mereka. Sayup-sayup terdengar suara burung jalak suren mencari pasangannya. “Mengapa kamu tersenyum”, berkata Wantilan yang heran melihat Mahesa Amping tersenyum sendiri.
“Aku kenal betul dengan suara jalak suren itu”, berkata Mahesa Amping masih tersenyum.
“Aku belum mengerti”, berkata Wantilan merasa tidak mengerti apa arti ucapan Mahesa Amping.
Ternyata Mahesa Amping memang tidak perlu menjawab. Muncul dari kegelapan malam dari balik pohon ambon yang lebat dua orang yang berjalan mengendap-endap.
Setelah dua orang itu semakin mendekat, barulah terlihat wajah kedua orang itu yang ternyata adalah Raden Wijaya dan Lawe.
“Permisi, numpang tanya, aku mencari tiga orang pandai besi yang mumpuni”, berkata Lawe bercanda menyapa mereka.
“Selamat datang di Kademangan Padang Bulan”, berkata Sembaga menyambut kedatangan mereka.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, Raden Wijaya menyampaikan berita bahwa dirinya telah datang bersama dengan tiga ratus prajurit dari Bandar Cangu.
“Dimana sekarang mereka?”, bertanya Wantilan. “Dihutan sebelah timur tidak jauh dari sini”, berkata
Raden Wijaya.”Mereka datang secara bergelombang,
aku datang bersama kelompok terakhir”, berkata Raden Wijaya melanjutkan.
“Satu hari penuh beristirahat kukira cukup untuk pasukanmu”, berkata Mahesa Amping kepada raden Wijaya. Semalaman mereka berbicara tentang beberapa hal menyangkut rencana penyerangan mereka menghabisi gerombolan Mahesa Rangga di hutan Gunung Jati.
“Siapkan panah api, kita akan memulai peperangan dengan sebuah kepanikan besar”, berkata Mahesa Amping memberikan beberapa usulan.
“Aku setuju, kita telah memenangkan awal pertempuran”, berkata Raden Wijaya menyetujui usulan dari Mahesa Amping.
“Aku juga punya usul”, berkata Lawe
“Apa usulmu?”, bertanya Sembaga kepada Lawe yang Nampak begitu serius.
“Usulku bagaimana kalau kita memasak air dulu, aku yakin dengan segelas wedang jahe hangat akan datang ilham yang cemerlang”, berkata Lawe dengan wajah penuh senyum.
“Usul yang hebat, biarlah biarlah aku yang melakukan tugas itu”, berkata Mahesa Amping menimpali canda Lawe sambil berdiri dan masuk kedalam.
Tidak lama kemudian, Mahesa Amping sudah datang membawa sebuah kendi besar berisi wedang jahe hangat yang baunya sudah tercium menyegarkan. Mahesa Amping masuk kembali kedalam gubuknya dan kembali dengan membawa beberapa tangkai jagung manis yang terlihat masih panas karena baru saja diangkat dari perapian.
“Tadi siang ada yang menukar sebuah cangkul dengan jagung manis”, berkata Mahesa Amping sambil meletakkan bakul berisi jagung manis yang masih panas.
“Serbuuuu !!!”, berkata Lawe yang langsung menyambar jagung manis didepan matanya. Semua yang ada tersenyum melihat kelakuan Lawe yang tidak pernah berubah, selalu mengundang banyak tawa diantara mereka.
Sementara itu di kejauhan terdengar suara kentongan bambu dipukul dengan nada dara muluk berasal dari sebuah gardu di Padukuhan terdekat. Hari memang sudah masuk di pertengahan malam.
“Kami pamit untuk kembali ke pasukan”, berkata Raden Wijaya menyampaikan keinginannya untuk kembali kepasukannya.
“Selamat beristirahat”, berkata Mahesa Amping melepas kepergian Raden Wijaya dan Lawe yang akan kembali bersama pasukannya.
Raden Wijaya dan Lawe terlihat berjalan kearah sebagaimana mereka muncul. Dan mereka sudah menghilang ditelan kegelapan malam. Sementara itu Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan tengah membersihkan bale tempat mereka duduk. Dibale itulah mereka merebahkan dirinya, menghabiskan sisa malam yang dingin.
“Beristirahatlah, biarlah aku yang berjaga”, berkata Mahesa Amping kepada Wantilan dan Sembaga
“Bangunkan aku bila kantukmu sudah tidak dapat tertahan lagi”, berkata Sembaga sambil menyarungkan sekujur tubuhnya dengan kain panjang.
Tidak lama kemudian Sembaga dan Wantilan sudah terlihat nyenyak tertidur. Sementara itu Mahesa Amping terlihat menyandarkan dirinya didinding pagar gubuknya. Matanya terlihat terpejam, namun kewaspadaannya masih tetap terjaga. Tidak satupun bunyi yang terlepas dari pendengarannya. Namun malam yang tersisa itu berlalu sebagaimana adanya, tidak ada apapun yang terjadi dimalam itu.
Dan akhirnya sang pagi telah datang.
“Kenapa kamu tidak membangunkan aku?”, berkata Sembaga kepada Mahesa Amping yang terbangun dan melihat hari sudah menjadi terang tanah.
“Aku melihat paman tidur begitu pulas nyenyaknya”, berkata Mahesa Amping penuh senyum.
Pagi itu Kademangan Padang Bulan disiram gerimis kecil panjang, membuat orang-orang menjadi malas keluar rumahnya. Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan terlihat masih duduk-duduk dibale bambu sepertinya masih malas untuk menggelar barang dagangannya, mungkin karena hari itu bukan hari pasaran.
Ketika gerimis sudah berhenti, baru terlihat mereka menggelar barang dagangannya. Tidak seperti hari-hari lalu, Sembaga hari ini tidak membelah kayu dan membuat perapian. Sementara itu Wantilan terlihat tengah menghaluskan beberapa barang yang kemarin belum sempat dihaluskan. Namun sebentar saja pekerjaan itu sudah diselesaikan oleh Wantilan.
“Hari ini kita harus beristirahat yang cukup”, berkata Sembaga sambil duduk di Bale dan menyandarkan badannya dipagar rumah.
“Rebusan jagung manis”, berkata Mahesa Amping keluar sambil membawa beberapa potong jagung manis.
Hari itu tidak banyak yang dilakukan oleh Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan. Seharian mereka hanya bercakap-cakap diatas Bale.
“Tugas kita sebagai pandai besi sudah mendekati masa paripurna”, berkata Mahesa Amping
“Kasihan beberapa pelanggan kita”, berkata Wantilan.
“Kita dapat meminta juragan Kimung untuk mencari kerabatnya yang mau melanjutkan usaha kita ini”, berkata Sembaga.
“Benar, kita dapat mendidik beberapa orang di Padepokan Bajra Seta”, berkata Wantilan.
“Setelah urusan kita selesai, kita bisa membicarakannya bersama juragan Kimung”, berkata Mahesa Amping.
Sementara itu hari terus bergulir, matahari perlahan merayap mendaki dan menuruni lengkung langit hingga akhirnya menggelantung diujung barat cakrawala. Langit tua sudah berwarna awan senja kelabu.
Beberapa burung manyar berkepala kuning yang seharian ramai diatas dahan pohon ambon yang rindang sudah tidak terdengar lagi suaranya, mungkin sudah kembali kesarangnya yang hangat.
Sementara itu di hutan sebalah timur Kademangan Padang Bulan, beberapa prajurit Singasari terlihat tengah mempersiapkan dirinya. Tenaga mereka sepertinya telah pulih kembali setelah seharian cukup beristirahat.
“Kita menunggu Mahesa Amping yang akan menjadi pemandu kita menuju hutan gunung jati”, berkata Raden Wijaya kepada beberapa prajurit.
Ternyata orang yang ditunggu akhirnya datang juga, terlihat Mahesa Amping telah datang seorang diri.
“Paman Wantilan dan Paman Sembaga telah berangkat lebih dulu mendahului kita ke hutan gunung jati”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
Langit diatas tanah datar di hutan gunung jati saat itu sudah masuk malam. Dari jauh hanya terlihat kerlapkerlip cahaya berasal dari oncor minyak jarak yang digantung didepan gubuk-gubuk para gerombolan Mahesa Rangga. Beberapa orang terlihat masih berkerumun, sementara beberapa orang lagi sudah mulai beranjak naik ketempat tidur.
Dulu sebelum para gerombolan Mahesa Rangga menghuni hutan gunung jati, hutan ini sangat angker dimalam hari, para pemburu tidak ada yang berani bermalam di hutan ini, beberapa orang pernah bertemu dengan makhluk hantu genduruwo, sejenis hantu bermata satu sangat menyeramkan dan suka sekali menghisap darah manusia.
Namun manakala para gerombolan Mahesa Rangga menghuni hutan gunung jati, hutan ini berubah lebih menakutkan lagi, para penduduk tidak takut lagi pada genduruwo, tapi takut kepada penghuninya para gerombolan Mahesa Rangga yang umumnya sangat galak dan kasar. Ada beberapa penduduk yang tidak pernah kembali lagi kerumah setelah memasuki hutan gunung jati, berdasarkan cerita salah seorang penduduk yang berhasil meloloskan diri, orang-orang yang tersasar memasuki hutan gunung jati telah ditangkap, disiksa dan harus bersedia melayani sebagai budak. Dan yang sangat dibenci oleh para penduduk sekitar hutan gunung jati adalah bahwa para gerombolan sering turun gunung di malam hari mencari para wanita muda.
Malam itu para penduduk boleh bernafas lega, sebab mulai malam itu Mahesa Rangga melarang anak buahnya turun gunung di malam hari, mereka harus beristirahat karena disiang harinya harus melakukan beberapa latihan dibawah bimbingan langsung dari Mahesa Rangga.
Demikianlah, ketika malam mulai merayap, beberapa orang yang masih berkerumun satu persatu bergeser masuk kepembaringannya. Akhirnya ketika dipertengahan malam, suasana di sekitar gubuk-gubuk itu sudah begitu sepi, semua penghuninya sudah tertidur. Hanya beberapa peronda yang bertugas di malam itu sekali-kali berkeliling untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mungkin membahayakan.
Suasana tanah datar tempat para gerombolan Mahesa Rangga yang tenang dan sepi itu tiba-tiba saja berubah seratus delapan puluh derajat, dimulai dengan sebuah panah api sanderan terlihat membumbung tinggi. Itulah sebuah tanda pasukan panah api dari para prajurit Singasari yang sudah lama mengepung hunian itu beraksi. Dari tangan mereka meluncur anak panah berapi menghujani gubuk-gubuk yang beratap daun alang-alang yang mudah terbakar.
Paniklah bukan main para penghuni gubuk-gubuk itu yang berlari keluar menyelamatkan diri dari kobaran api yang dalam sekejap sudah menjalar memakan tiang dan dinding pagar gubuk-gubuk itu.
Beberapa orang tidak sempat membawa senjata apapun, namun sebagian lagi adalah orang-orang yang mempunyai kesiagaan yang kuat, mereka sudah menyadari ada musuh yang akan menyergap mereka.
Para prajurit Singasari tidak menyia-nyiakan keadaan lawan mereka yang tengah panik, dari kegelapan malam bermunculan langsung menyerang para gerombolan Mahesa Rangga.
Akibatnya memang sudah dapat ditebak, beberapa orang yang tidak sempat membawa senjatanya langsung menjadi bulan-bulanan para prajurit Singasari. Dan dalam waktu singkat sudah dapat dilumpuhkan.
Sementara itu beberapa orang yang sudah siap membawa senjatanya terlihat dapat bertahan mengimbangi serangan para prajurit yang datang menyerang.
Belum sempat para prajurit Singasari menguasai para gerombolan yang panic dan terjepit. Tiba-tiba saja dari rumah jati meluncur sesosok tubuh yang langsung menerjang beberapa prajurit yang ditemuinya. Terlihat di tangannya sebuah cambuk pendek berputar kesana kemari, siapapun yang dekat dengannya terlempar dan terluka oleh sabetan cambuknya.
“Aku lawanmu”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu yang ternyata adalah Mahesa Rangga sang ketua.
“Bukankah kamu si pandai besi itu?”, berkata Mahesa Rangga berdiri menghadap Mahesa Amping.
“Mulai hari ini aku sudah pensiun”, berkata mahesa Amping sambil tersenyum.
“Sebentar lagi kamu akan pensiun hidup”, berkata Mahesa Rangga sambil memegang ujung cambuknya.
“Empu Nada berpesan untuk berhati-hati menghadapi senjata cambukmu”, berkata Mahesa Amping.
“Sudah kuduga, pasti ulah orang tua itu yang membawa pasukan Singasari datang ke hutan ini”, berkata Mahesa Rangga penuh kemarahan yang terlihat dari kilatan matanya.
“Empu Nada sudah berbuat sesuai kata hatinya”, berkata Mahesa Amping. “Kata hati seorang yang menerima keadaan, kata hati seorang yang tidak punya cita-cita dan keinginan”, berkata Mahesa Rangga.
“Keinginanmu terlewat tinggi”, berkata mahesa Amping mencoba memancing kemarahan dari Mahesa Rangga.
Ternyata pancingan Mahesa Amping mengenai sasaran.
“Kamulah tumbal pertama cita-citaku”, berkata Mahesa Rangga sambil melepaskan gerakan sendal pancing menyerang dengan cambuknya kearah Mahesa Amping.
Tar !!!, terdengar suara cambuk mengenai tempat kosong karena Mahesa Amping telah berhasil bergeser kebelakang, namun masih merasakan getaran kekuatan tenaga cambuk sebagai tanda pemilik cambuk mempunyai tenaga cadangan yang kuat.
Ternyata cambuk itu seperti bermata, kemanapun Mahesa Amping berhindar cambuk itu terus mengejarnya. Mahesa Amping sepertinya telah menjadi bulan-bulanan orang bercambuk itu.
Sementara itu para prajurit Singasari masih terus mendesak para gerombolan yang berkelahi dengan cara yang kasar, baik dengan gerakan maupun dengan ucapannya.
Trang !!!, dua buah pedang beradu dengan kerasnya. Salah satunya terlihat pupus putung. Itulah pedang buatan usulan Mahesa Amping yang rapuh.
Trang !!!!
Trang !!! Trang !!!
Beberapa senjata telah beradu dengan kerasnya, dan hasilnya adalah sebuah sumpah serapah dari beberapa orang anak buah Mahesa Rangga yang kecewa dengan senjata barunya.
“Senjata jelek”, berkata orang itu sambil melempar golok besarnya yang sudah putung.
“Menyerahlah!!”, berkata seorang prajurit Singasari menggertak lawannya yang sudah tidak bersenjata.
Diwaktu yang sama, Mahesa Amping dan Mahesa Rangga terlihat bertempur semakin seru. Mahesa Amping telah merubah siasat berkelahinya, tidak lagi terus menghindar, tapi sekali-kali berbalik menyerang masuk kepertahanan lawannya yang bercambuk.
Bukan main kagetnya orang bercambuk itu mendapatkan serangan balik dari Mahesa Amping yang begitu cepat serta tidak dapat diduga. Terlihat orang itu telah bergeser beberapa langkah kesamping menghindari serangan belati pendek Mahesa Amping yang terus mengejarnya.
Namun Mahesa Rangga adalah orang yang telah digembleng langsung oleh Empu Nada telah sampai pada tataran tingkat tinggi. Maka sambil bergeser menjauh, kembali menyerang dengan cambuknya kali ini menyerang melingkar.
Demikianlah pertempuran antara dua Mahesa ini telah menjadi semakin seru dan menegangkan. Pertempuran semakin cepat dan kuat, masing-masing telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Masingmasing telah meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis. Sementara itu para prajurit Singasari yang dipimpin oleh Raden Wijaya dan Lawe serta dibantu oleh dua orang cantrik utama Padepokan Bajra Seta yaitu Sembaga dan Wantilan telah hamper dapat menguasai lawannya.
Trang !! Trang !!
Dua buah senjata pedang kembali terlihat putus putung. Dan dua buah sumpah serapah kembali terdengar.
“Senjata setan !!”, dua orang anak buah Mahesa Rangga melontarkan kamus sumpah serapahnya.
“Menyerahlah !!”, berkata Lawe kepada seorang lawannya yang hanya memegang sebuah senjata yang sudah putung setengahnya.
“Setengah pedangku ini masih lebih panjang dari belatimu”, berkata orang itu sambil melakukan serangan dengan langsung membabat leher kepala Lawe.
Lawe bukan lagi anak muda biasa, ketrampilan kanuragan serta telah dapat melambari tenaga cadangan. Maka sambil merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang putung itu lewat diatas kepalanya, dibenturkannya senjata putung itu dengan belatinya.
Trang !!!
Kali ini pedang putung kembali hampir mendekati gagang pedang.
“Apakah kamu masih belum juga menyerah?”, bertanya Lawe sambil menggoyang-goyangkan belatinya ingin menunjukkan bahwa senjatanya sekarang sudah jauh lebih panjang dari pada pedang lawan yang sudah putung tinggal gagangnya saja yang masih dipegangnya.
“Pedang murahan!!”, berkata orang itu sambil melempar gagang pedang itu ke wajah Lawe.
Untungnya Lawe telah selalu waspada, hanya dengan memiringkan kepalanya, nyaris gagang pedang itu lolos lewat beberapa centi dari wajahnya.
Plok !! Plokk !!
Tangan Lawe yang sudah tidak sabaran telah dua kali menampar bolak-balik kanan dan kiri wajah lawannya. Tamparan itu ternyata sangat begitu kuat dan keras. Langsung lawan Lawe roboh dengan kepala terasa berkunang kunang jatuh rebah ketanah, mungkin telah pingsan.
Sementara itu Mahesa Amping dan Mahesa Rangga masih bertempur dengan serunya, dua buah senjata yang mereka miliki memang mempunyai perbedaan yang mencolok, sebuah cambuk harus dimainkan dengan jarak yang cukup, sementara belati pendek harus menyerang pada sisi yang dekat. Demikianlah, Mahesa Rangga berusaha mencari jarak agar serangannya dapat mendapatkan sasaran, sementara itu Mahesa Amping berusaha mendekati lawan agar belati pendeknya dapat mencari sasaran dengan mudah.
Demikianlah mereka telah meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi, bergerak lebih cepat lagi. Dan pertempuran kedua orang berilmu ini sudah tidak mudah disimak lagi, mereka seperti tidak pernah menginjak bumi lagi, terbang dan melenting, melesat dan melejit saling menyerang lawannya. Begitu cepatnya hingga hanya terlihat bayang-bayang yang tersamar.
Lecutan cambuk Mahesa Rangga sudah tidak terdengar lagi, tapi justru getarannya semakin terasa merangsek menyesakkan dada. Mahesa Amping menyadari hal itu, diam-diam telah melambari kekuatan kekebalan tubuhnya.
“Gila anak muda ini”, berkata dalam hati mahesa Rangga yang melihat Mahesa Amping tidak berpengaruh sama sekali dengan lecutan-lecutan cambuknya yang telah dikerahkan dengan kekuatan ilmu puncaknya.
Beberapa lawan tandingnya selama ini sudah langsung rontok isi dadanya hanya dengan menghentakkan cambuknya, sementara itu dilihatnya Mahesa Amping sepertinya tidak berpengaruh apapun, bahkan dengan cepat dan tak terduga telah merangsek mendekatinya dengan serangan belatinya yang tidak kalah berbahayanya.
Tiba-tiba saja Mahesa Rangga melompat menghindar jauh.
“Senjata ini tidak dapat berbuat banyak”, berkata Mahesa Rangga sambil mengikat tali cambuk melilit dipinggangnya.
“Agar seimbang, aku juga tidak memerlukan senjataku”, berkata Mahesa Amping sambil menyimpan kembali belati pendeknya diselipkan di balik kainnya.
“Aku ingin mengukur sejauh mana kekuatanmu anak muda”, berkata Mahesa Rangga yang sudah menerjang Mahesa Amping dengan sebuah tendangan yang meluncur.
Mahesa Amping menyadari bahwa di ujung serangan itu ada angin yang mendesis begitu panas. Ternyata Mahesa Rangga telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya, menyerang dengan pukulan angin panas.
Untungnya Mahesa Amping telah memiliki kekuatan tersembunyi yang selalu melindungi segala bahaya yang akan mengancam, kekuatan tersembunyi itu keluar dengan sendirinya melindungi dengan kekuatan berlawanan. Hawa panas itu dengan seketika dapat diredam dengan hawa dingin yang keluar dengan sendirinya. Dan Mahesa Amping telah mampu mengendalikannya dengan kekuatan berlipat.
“Kurang ajar”, teriak Mahesa Rangga yang berusaha menarik kembali luncuran tendangan kakinya melompat menjauh, ternyata Mahesa Rangga telah merasakan hawa dingin yang kuat sepertinya menusuk kakinya.
“Jangan berbangga hati”, berkata Mahesa Rangga sambil meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi langsung menyerang Mahesa Amping dengan sebuah pukulan yang mengeluarkan angin panas. Sekali lagi Mahesa Amping dapat meredamnya sambil menghindar dan berbalik menyerangnya.
Demikianlah pertempuran menjadi semakin seru jauh lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya ketika mereka masing-masing menggunakan senjata andalannya.
Sementara itu pertempuran antara prajurit Singasari dan para gerombolan Mahesa Rangga sepertinya sudah dapat ditentukan, siapa yang telah dapat menguasai medan. Terlihat gerombolan Mahesa Rangga semakin susut berkurang satu persatu, tinggal beberapa orang saja yang masih tetap bertahan.
Terlihat Raden Wijaya, Lawe, Sembaga dan Wantilan telah menyebar membantu para prajurit Singasari. Mereka nampaknya menjadi penentu dalam setiap kelompoknya. Pertempuran menjadi semakin tidak berimbang. Satu persatu orang-orang gerombolan Mahesa Rangga berguguran tewas, terluka atau tertawan.
Kembali kepertempuran antara Mahesa Amping dan Mahesa Rangga yang sudah memasuki tataran ilmu puncak mereka. Namun Mahesa Amping adalah seorang ahli bahkan dapat dikatakan sebagai Seorang empu untuk bidang kanuragan, sebagai seorang ahli biasanya dengan cepat dapat menghapal dan merekam gerakan lawan, dan Mahesa Amping mengetahui dari setiap langkahnya bahwa Mahesa Rangga diam-diam telah merekam setiap gerakan Mahesa Amping.
Dan ternyata permainan Mahesa Amping sudah tinggal menuai hasilnya, karena selama pertempuran itu Mahesa Amping telah merubah beberapa unsur untuk mengelabui lawannya.
Maka dalam sebuah gebrakan, Mahesa Rangga telah berhasil ditipu oleh Mahesa Amping, sebuah pukulan kedepan yang seharusnya disusul dengan tendangan melingkar, maka ketika Mahesa Rangga tengah menunggu tendangan melingkar ternyata tidak kunjung datang, yang ada adalah sebuah pukulan kedepan yang dilanjutkan dengan bacokan tangan terbuka ke arah leher.
Bukkk!!!
Sebuah bacokan tangan terbuka mengenai batang leher Mahesa Rangga, sebuah pukulan yang dilambari tenaga hawa inti es yang langsung seketika telah membekukan urat leher Mahesa Rangga.
Seketika itu juga Mahesa Rangga merasakan kegelapan, tubuhnya terlihat agak sempoyongan. Tapi kesempatan itu tidak dipergunakan oleh Mahesa Amping, terlihat Mahesa Amping hanya berdiam diri menunggu Mahesa Rangga siap kembali.
“Apakah sudah siap untuk melanjutkan ?”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Rangga yang dilihatnya sudah dapat berdiri tegak kembali.
“Kesombonganmu akan menjadi penyesalan seumur hidupmu”, berkata Mahesa Rangga yang bukannya mengucapkan terima kasih bahkan sebaliknya perlakuan Mahesa Amping disikapi sebagai sebuah kesombongan.
Ternyata Mahesa Rangga masih punya ilmu simpanan, seketika sebuah kabut tebal menyelimuti seluruh tubuhnya dan melebar menutupi seluruh area tanah datar. Siapapun tidak dapat lagi melihat keadaan sekitarnya.
Tapi kali ini Mahesa Rangga salah perhitungan, dianggapnya pemuda yang menjadi lawannya tidak dapat berbuat apa-apa.
Mahesa Rangga salah duga, pemuda yang menjadi lawannya ternyata sudah mempunyai ilmu yang mumpuni, ketajaman matanya dapat melihat sampai ketempat yang jauh, dan ketajaman matanya mampu juga melihat semut hitam diatas batu hitam disaat malam hari yang gelap.
Ketajaman mata Mahesa Amping mampu melihat kedua tangan Mahesa Rangga tengah memegang masing-masing sebuah paser yang siap dilemparkan kearah Mahesa Amping.
Mahesa Rangga tidak menyangka sama sekali, tibatiba saja dirasakan pada tangan kanannya rasa sakit yang sangat seperti terbakar, seketika itu juga tangannya terasa lumpuh, paser ditangannya sudah terjatuh. Mahesa Rangga tidak menyangka sama sekali, tibatiba saja sebuah belati pendek telah menancap dilengan kirinya, paser ditangan kirinya pun telah terjatuh.
Ternyata Mahesa Amping telah melakukan langkah yang tepat, dari sinar matanya melesat sebuah cahaya menyambar dan membakar lengan kanan Mahesa Rangga, sementara sebuah belati yang disimpannya di balik kainnya dengan cepat telah meluncur tepat di pergelangan lengan kiri Mahesa Rangga.
Kabut disekitar arena pertempuran sudah semakin pudar menipis kemudian akhirnya telah hilang sama sekali, karena sumber kabut itu sendiri sudah terluka di kedua pergelangan tangannya.
Terlihat Mahesa Rangga tengah berdiri tegak, sementar kedua tangannya terlihat layu kaku tidak mampu digerakkan.
“Apakah pertempuran ini masih harus dilanjutkan”, berkata Mahesa Amping.
“Terima kasih, kamu telah memberi kesempatan hidup untukku”, berkata Mahesa Rangga dengan bulu kuduk meremang, membayangkan sebuah sinar panas atau sebuah belati tertuju pada jantungnya, mungkin ia tidak akan sempat lagi mengucapkan sebuah kata-kata apapun, juga pernyataan terima kasihnya.
“Apakah paman sudah menyerah?”, bertanya Mahesa Amping menegaskan.
“Aku menyerah kalah”, berkata Mahesa Rangga terunduk lesu tidak dapat berbuat apapun, terutama mengangkat belati yang telah menancap sampai tembus ujungnya kebelakang, darah segar menetes dari luka itu.
“Aku akan merawat luka paman”, berkata Mahesa Amping mendekati Mahesa Rangga. Dan dengan sigap mencabut belati dari tangan Mahesa Rangga. Dengan sigap pula Mahesa Amping menutup kedua luka atas dan bawah di lengan kiri Mahesa Rangga dengan sebuah ramuan yang selalu dibawanya. Dan ternyata ramuan obat Mahesa Amping yang berupa bubuk itu telah memampatkan darah yang mengalir. Mahesa Amping merobek sebagian kainnya dan membalut luka dipergelangan tangan kiri Mahesa Rangga.
“Terima kasih, ternyata kamu bukan seorang yang sombong, hati kamu begitu bersih anak muda”, berkata Mahesa Rangga yang merasa terharu atas sikap Mahesa Amping yang tidak menampakkan sama sekali sikap permusuhan. Mahesa Rangga sepertinya melihat kedalam dirinya, melihat jauh ke rongga hatinya yang begitu keruh, sikap diri yang begitu angkuh, merendahkan orang-orang lemah, dan merasa dapat berbuat apapun dengan ketinggian ilmunya.
“Maafkan aku, kedua tangan paman mungkin akan lumpuh seumur hidup”, berkata Mahesa Amping.
“Kelumpuhan kedua tangan ini tidak berarti dibandingkan kelumpuhan mata hatiku selama ini”, berkata Mahesa Rangga dengan mata bersinar telah menemukan sesuatu yang selama ini tidak ditemuinya. “kelumpuhan kedua tangan ini telah meruntuhkan kesombonganku, telah membunuh keangkuhanku selama ini, dan hari ini aku mendapatkan penguasa yang sebenarnya, penguasa atas jiwa ini yang sebenarnya”, berkata Mahesa Rangga dengan wajah begitu pasrah.
“Paman telah tersasar di rimba Tattwa, hari ini paman telah ditunjukkan jalan sebenarnya, jalan menuju mata Siwa”, berkata Mahesa Amping sepertinya dapat membaca dan mersakan apa yang dirasakan oleh Mahesa Rangga.
“Kamu telah menemukan jalan-Nya anakku”, berkata tiba-tiba seorang tua yang entah dari mana datangnya sudah ada didekat mereka.
“Maafkan atas apa yang telah aku lakukan selama ini wahai guruku”, berkata Mahesa Rangga kepada orang tua itu yang tidak lain ternyata adalah Empu Nada.
Sementara itu langit diatas tanah datar hutan gunung jati sudah terang, sang pagi rupanya sudah datang bersama sang mentari menyibak cahayanya menembus dari sela-sela dahan dan daun pepohonan yang pepat di hutan itu. Terlihat api yang membakar gubuk-gubuk para gerombolan Mahesa Rangga sudah padam, yang tertinggal adalah abu dan sisa puing-puing kayu yang gosong terbakar.
Pagi itu beberapa prajurit Singasari sangat sibuk berat, terlihat beberapa prajurit tengah memisahkan mayat-mayat yang terbunuh, mengobati para korban yang terluka parah yang mungkin masih dapat diselamatkan, diantara mereka adalah kawan mereka sendiri. Namun para prajurit tidak pernah membedakan lawan dan kawan, semua dirawat sebatas yang dapat mereka lakukan, meskipun adalah lawan mereka sendiri.
Beberapa orang yang tersisa, yang luka ringan dan yang tidak terluka dari para gerombolan itu telah dipisahkan. Untuk menjaga keamanan dengan terpaksa kaki dan tangan mereka telah diikat dengan erat.
“Kita akan membawa mereka ke Kotaraja, biarlah pihak istana yang menetukan hukuman apa yang pantas untuk mereka”, berkata Raden Wijaya dari sebuah sudut pepohonan yang rindang kepada Mahesa Amping yang ada didekatnya melepas kelelahan mereka setelah bertempur sepanjang malam.
“Mungkin besok kita baru dapat berangkat, ada beberapa orang yang masih memerlukan perawatan”, berkata Mahesa Amping.
“Kamu benar, sekalian memulihkan tenaga kita”, berkata raden Wijaya menerima usulan dari Mahesa Amping agar mereka berangkat besok pagi.
Demikianlah, hari itu terlihat mereka beristirahat di atas tanah datar hutan Gunung Jati untuk memberi kesempata mereka yang terluka dapat beristirahat.Baru keesokan harinya disaat hari menjelang pagi mereka semua telah keluar dari hutan Gunung Jati.
Iring-iringan itu sudah jauh meninggalkan Kademangan Padang Bulan. Dan perjalanan mereka itu begitu lambat karena harus membawa beberapa tawanan yang terluka tidak dapat berjalan harus dibawa dengan sebuah tandu.
Setelah melakukan perjalanan panjang, bermalam di beberapa tempat, akhirnya di sore hari yang masih terang bumi mereka telah memasuki pintu gerbang Kotaraja.
Karena pasukan Raden Wijaya tidak mendapat tugas langsung dari Sri Baginda Maharaja Singasari, maka pasukan itu tidak perlu lagi menunggu sebuah upacara penyambutan. Mereka langsung diperintahkan beristirahat di beberapa tempat yang telah disiapkan.
Sementara itu para tawanan telah dibawa ke tempat khusus dan dijaga langsung oleh para prajurit khusus agar mereka dapat diawasi dan tidak melarikan diri.
“Kamu datang seperti layaknya seorang panglima perang”, berkata Ratu Anggabhaya menerima kedatangan Raden Wijaya yang datang bersama Lawe, Mahesa Amping, Sembaga dan Wantilan di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
“Kami telah menyampaikan kepada pejabat istana bahwa besok akan datang menghadap Sri Baginda Raja”, berkata Raden Wijaya kepada Ratu Anggabhaya.
“Aku akan mengantar kalian”, berkata Ratu Anggabhaya yang selama ini masih dibutuhkan oleh Sri Baginda raja sebagai penasehat istana.
Sementara itu ketika sang malam mulai beranjak diatas langit istana Singasari, seorang utusan raja telah datang ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya menyampaikan pesan langsung dari Sribaginda Maharaja bahwa besok pagi Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping diundang langsung di puri pasanggrahan khusus Sri baginda Maharaja.
“Salam kepada Sri Baginda Maharaja, kami akan datang besok pagi”, berkata Raden Wijaya kepada utusan itu.
“Besok aku tidak jadi mengantar kalian”, berkata Ratu Anggabhaya ketika utusan itu telah pergi meninggalkan mereka.
Dan malam pun akhirnya telah berlalu melampaui sisa batas waktu, beriring di belakangnya datang sang pagi bersama mentari menerangi wajah bumi.
Wajah pagi di langit bumi istana Singasari hari itu begitu cerahnya, suara burung manyar yang bersarang di atas pohon randu di belakang pasanggrahan sudah begitu ramainya menyambut mentari pagi.
“Sengaja aku mengundang kalian datang ke tempatku di pagi hari, aku rindu sarapan pagi bersama kalian ketika di Bandar Cangu”, berkata Sri Baginda Maharaja menyambut kedatangan Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping di puri pasanggrahan khususnya.
“Kami merasa tersanjung dapat sarapan pagi bersama Sri Baginda Maharaja”, berkata Raden Wijaya mewakili kawan-kawannya.
Setelah menikmati beberapa hidangan sarapan pagi yang nikmat di puri pasanggrahan khusus Raja, mereka pun saling bercerita tentang keadaan masing-masing.
“Kalian telah menunjukkan kesetiaan yang tak terhingga bagi keamanan Tanah Singasari”, berkata Sri Baginda Maharaja setelah mendengar laporan dari Raden Wijaya tentang keberhasilan mereka menumpas pemberontakan gerombolan Mahesa Rangga di hutan Gunung Jati.
“Andil Empu Nada sangat besar dalam keberhasilan usaha kami ini”, berkata Mahesa Amping.
“Empu Nada?”, bertanya Sri Baginda Maharaja. Mahesa Amping langsung bercerita tentang Empu
Nada yang datang ke Padepokan Bajra Seta
menyampaikan berita tentang sebuah usaha pemberontakan Mahesa Rangga yang juga murid tunggalnya itu.
“Empu Nada yang menunjukkan dimana gerombolan Mahesa Rangga mempersiapkan gerakannya”, berkata Mahesa Amping meengakhiri ceritanya.
“Aku sepertinya pernah mengenal nama orang tua itu”, berkata Sri baginda Maharaja yang mengingat-ingat nama Empu Nada sepertinya pernah ada dalam ingatannya.
“Empu Nada itu saudara kembar guru Sri Baginda Maharaja, Empu Dangka”, berkata Mahesa Amping bercerita sedikit mengenai Empu Nada.
“Dapatkah kalian membawa orang tua itu kepadaku?”, berkata Sri Baginda Maharaja.
“Hamba akan membawa Empu Nada kehadapan tuan Paduka”, berkata Mahesa Amping yang kemudian langsung keluar dari puri pasanggrahan raja bermaksud untuk menemui Empu Nada.
Empu Nada memang tidak ikut mereka ke dalam istana, tapi masih bergabung dengan beberapa prajurit di sebuah barak Kotaraja menunggu keputusan perintah untuk kembali ke Bandar Cangu.
“Moga-moga aku tidak canggung menghadap Sri Baginda Maharaja”, berkata Empu Nada bercanda kepada Mahesa Amping yang datang bersama seorang pengawal istana.
Demikianlah Empu Nada dan Mahesa Amping diiringi seorang pengawal istana memasuki lorong-lorong jalan di lingkungan istana menuju puri pasanggrahan khusus raja.
“Apakah aku bertemu dengan saudara kembar Empu Dangka?”, bertanya Sri Baginda Maharaja kepada Empu Nada ketika mereka telah muncul di puri Pasanggrahan khusus raja.
“Sri Baginda Maharaja tidak salah lihat, nama hamba Bratanadadewa, saudara kembar Empu Dangka”, berkata Empu Nada membenarkan perkataan Sri Baginda Raja.
“Maaf, aku baru tahu bila Empu Nada ada juga bersama rombongan pasukan dari Bandar Cangu”, berkata Sri baginda Maharaja. “Garis hidup telah membawa hamba disini”, berkata Empu Nada.
Sri Baginda Maharaja bercerita sedikit tentang pertemuan dirinya dengan Empu Dangka di hutan sungai Porong.
“Orang tua itu sepertinya sudah mengetahui bahwa hari ini kita akan berjumpa, orang tua itu menitipkan sebuah pesan untuk Empu Nada”, berkata Sri Baginda Maharaja.
“Hamba tidak sabar mendengar pesan itu”, berkata Empu Nada.
“Pesannya adalah bahwa orang tua itu telah membenarkan bahwa Tatwa bukan lagi ibadah hati, namun harus diejawantahkan diluar diri kepada seluruh alam. Laku Siwa memancar keluar sebagai budi, kasat mata dirasakan berwujud sebagai laku sang Budha yang menenteramkan isi dunia”, berkata Sri Baginda Maharaja menyampaikan pesan gurunya Empu Dangka.
“Itulah perselisihan faham diantara kami, akhirnya saudaraku memahami langkahku”, berkata Empu Nada sambil menatap jauh, mengenang kebersamaannya bersama saudaranya Empu Dangka.
“Tanah Singarari ini beruntung telah melahirkan orang-orang seperti kalian di buminya. Kebahagiaanku bila saja kalian berhasrat memenuhi permintaanku”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Empu Nada, Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping.
“Hasrat gerangan apakah yang dapat kami penuhi”, bertanya Raden Wijaya mewakili.
Sri Baginda Maharaja menatap semua yang hadir dengan sebuah senyuman penuh arti membuat setiap hati menduga-duga gerangan apa yang akan disampaikan oleh nya.
“Wahai Empu Nada saudara guruku, hari ini aku melamarmu untuk kusandingkan sebagai gurusuci istana, apakah diri empu Nada berkenan?”, bertanya Sri Baginda Maharaja kepada Empu Nada.
“Garis hidup telah membawaku di Istana ini, berbakti sebagai gurusuci istana adalah sebuah darma, hamba berkenan memenuhi hasrat paduka”, berkata Empu Nada menerima permintaan Sri baginda Maharaja.
“Wahai saudaraku putra Lembu Tal, dapatkah kamu memenuhi hasratku menjaga bumi Singasari ini, membawahi segenap satria di medan juang membela tanah Singasari sebagai seorang Senapati panglima perang Singasari”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya.
“Hasrat Paduka adalah hasrat siwabudha, memenuhi hasrat paduka adalah darma, hamba berkenan memenuhi panggilan bakti itu”, berkata Raden Wijaya berkenan menerima permintaan Sri Baginda Maharaja Kertanegara.
“Wahai sahabatku yang telah lama membela bumi Singasari tanpa pamrih, maukah kalian menerima hasratku untuk terus menjaga bumi Singasari, berbakti dalam baju kebesaran, membawa umbul-umbul Singasari di medan perang manapun, sebagai seorang Rangga yang setia?”, berkata Sri Baginda Maharaja Kertanegara kepada Lawe dan Mahesa Amping.
“Titah paduka akan kami junjung sebagai pusaka”, berkata Mahesa Amping dan Lawe bersamaan.
“Aku akan memanggil Mahapatih untuk melaksanakan upacara kebesaran sebagai hari pelantikan kalian”, berkata Sri Baginda Maharaja penuh senyum kebahagiaan.
Demikianlah, pada hari yang ditentukan upacara besar pelantikan dilaksanakan dengan penuh kemeriahan. Inilah pertama kali Sri Maharaja Kertanegara membuat kekancingan, mengukuhkan pejabat utama istana.
Seluruh raja yang ada di bawah kekuasaan Singasari telah diundang untuk menghadiri upacara pelantikan itu.
Dan kotaraja seperti berhias dengan berbagai umbulumbul dan janur di sepanjang jalan.
Ketika Sang Mahapatih membacakan titah dan sabda Sri Baginda Maharaja Kertanegara, gemuruh suara para undangan dan seluruh warga. Puja-puji mereka sampaikan atas pilihan Maharaja yang bijak atas para putra terbaik Singasari.
Dan hari pelantikan empat orang pilihan Maharaja itu telah ditandai dengan turunnya hujan dari langit. Para orang tua memastikan bahwa ini adalah sebagai tanda para dewa merestui, Singasari akan mengalami masa keemasan.
“Hujan adalah lambang kesuburan, semoga ini sebuah tanda kebaikan bagi Singasari”, berkata seorang Brahmana tua dibawah tarub yang datang sebagai undangan menyaksikan pelantikan bersama guyuran hujan yang sepertinya tercurah dari langit.
“Payung pananggungan tidak mampu menahan hujan”, berkata seorang tua renta yang berlindung di bawah pohon beringin tua di tengah lapangan alun-alun kotaraja. Untungnya hujan turun tidak berlarut sampai senja. Malam perjamuan menjadi begitu hangat, semua menikmati kegembiraan itu.
Dan malam pun akhirnya berlalu meninggalkan bumi, menyerahkan tahta sang waktu kepada sang pagi yang datang bersama sang surya menerangi seluruh dataran bumi dengan cahayanya yang hangat.
Sementara itu, umbul-umbul dan janur masih menghiasi kotaraja, sebuah iring-iringan pasukan terlihat melintas di jalan menuju gerbang kotaraja. Mereka adalah pasukan yang ada dibawah pimpinan Senapati dan dua orang rangga muda yang baru kemarin dilantik. Mereka tengah kembali ke tempatnya, ke Bandar Cangu.
“Menguasai tanah Bali, itulah tugas pertama kita”, berkata Raden Wijaya kepada Lawe dan Mahesa Amping.
“Di Tanah Madhura ada Ki Banyak Wedi, di tanah Pasundan ada Gurusuci Darmasiksa,dan di Tanah Melayu kita sudah mengikatnya dengan perkawinan, hanya Bali yang belum kita ikat dengan apapun”, berkata Mahesa Amping menyampaikan pandangannya.
“Di Bandar Cangu kita dapat meminta pertimbangan Paman Kebo Arema dan Kakang Mahesa Pukat”, berkata Mahesa Amping.
“Benar, mereka adalah ahli siasat yang mumpuni”, berkata Lawe ikut mengambil pembicaraan.
Sementara itu ketika mereka menemui sebuah pertigaan, Wantilan dan Sembaga tidak dapat menyertai karena harus kembali ke Padepokan Bajra Seta.
“Salam untuk kakang Mahesa Murti dan seluruh warga Padepokan”, berkata Mahesa Amping melepas kepergian mereka kembali Ke Padepokan Bajra Seta.
“Kami akan merindukan kalian”, berkata Sembaga sambil melambaikan tangannya.
Kegamangan mengisi hati dan persaan Mahesa Amping menatap Wantilan dan Sembaga telah semakin menjauh dari pandangannya. Terlintas sebuah suasana di Padepokan Bajra Seta yang gayem. Hati kecil Mahesa Amping telah terbawa dalam kenangan dan kerinduannya pada Padepokan Bajra Seta nun jauh disana.
Tidak terasa langkah kuda telah membawanya semakin ke utara, membawanya mengikuti benangbenang merah garis kehidupan.
Dan ketika senja turun membayangi wajah bumi, iring-iringan itu telah kembali di kesatuannya di Bandar Cangu.
“Selamat datang wahai para perwira muda”, berkata Kebo Arema menyambut kedatangan mereka.
“Selamat datang wahai Senapati muda”, berkata Mahesa Pukat kepada Raden Wijaya.
“Selama tidak ada kalian, Senapati Mahesa Pukat selalu datang menemaniku, atau sebaliknya aku yang datang ke bentengnya”, berkata Kebo Arema ketika mereka sudah bersama di pendapa Balai Tamu.
Sementara itu sang malam sudah mulai turun menutupi pandangan mata di atas langit Balai Tamu di pinggir sungai Brantas itu. Angin malam bersemilir sejuk. Malam itu kelihatannya hujan tidak akan turun, ada banyak bintang bertaburan di langit malam.
“Sri Maharaja Kertanegara telah memberi tugas kepada kami untuk menguasai Tanah Bali, kami ingin masukan dari Paman berdua”, berkata raden Wijaya kepada Kebo Arema dan Mahesa Pukat.
“Aku dapat memahami pandangan Sri Maharaja Kertanegara atas Tanah Bali”, berkata Kebo Arema sambil mengelus-elus janggutnya yang sudah terlihat dua warna.
“Sampai saat ini kita belum mengetahui kekuatan Tanah Bali”, berkata Mahesa Pukat menyampaikan pandangannya.
“Artinya kita harus mengetahui kekuatan dan kelemahannya sebelum melakukan sebuah serangan”, berkata Raden Wijaya menangkap kata-kata Mahesa Pukat.
berbarengan memandang kepada Mahesa Amping. “Kenapa kalian semua memandangku?”, bertanya
Mahesa Amping pura-pura keheranan.
“Artinya semua sepakat kamulah yang paling cocok mengamati Tanah Bali dari dekat, melaksanakan tugas telik sandi”, berkata Raden Wijaya.
“Seorang Rangga harus patuh melaksanakan perintah Senapatinya”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
“Betul, betul, betul“, berkata Rangga Lawe membenarkan.
Dan ketika hari telah bergulir di pertengahan malam, Mahesa Pukat pamit untuk kembali ke Bentengnya. “Aku khawatir kalian tidak dapat beristirahat selama masih ada aku”, berkata Mahesa Pukat sambil berdiri. “Sampai ketemu besok”, berkata Mahesa Pukat ketika menuruni tangga pendapa Balai tamu.
“Aku lupa kalian baru pulang dari perjalanan panjang, beristirahatlah”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.
Akhirnya mereka satu persatu memang telah masuk ke pembaringannya masing-masing, meregangkan otototot yang tegang berkuda seharian.
Dan diatas langit Balai tamu di tepian Sungai Brantas itu masih dipenuhi kerlap-kerlip bintang-bintang kecil. Bulan sabit telah jatuh bergeser ke Barat. Langit purba di malam itu tidak berawan, begitu jernih berwarna biru kelam. Terdengar dikesunyian malam suara celepuk malam yang terus menjauh, mungkin tengah mencari anak-anak tikus yang terjebak jauh dari induknya. Dari tepian sungai Brantas tidak putus saling menyambut suara katak mengiringi malam, mungkin tengah memanggil dan merindukan datangnya sang hujan.
Dan pagi pun akhirnya datang juga, warna sungai dan langit seperti satu warna, putih keperakan disinari cahaya matahari pagi yang telah datang mengintip di ujung timur bumi.
Pagi itu Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah berkumpul bersama di pendapa Balai Tamu menikmati suasana dan warna pagi di tepian sungai Brantas yang indah. Di Hutan seberang sungai sekumpulan burung betet loreng terbang bersama mencari persinggahan baru, sebagai tanda bahwa pergantian musim akan segera datang.
“Aku punya kenalan seorang saudagar yang sering berdagang ke Tanah Bali”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
“Sebuah berita baik, setidaknya aku dapat ikut berlayar bersamanya”, berkata Mahesa Amping.
“Aku akan menemuinya, kapan akan bertolak ke Tanah Bali”, berkata Kebo Arema.
Pagi itu matahari bersinar cerah mewarnai Bandar Cangu yang sudah ramai sejak pagi dini. Sebuah bahtera terlihat perlahan bertolak meninggalkan Bandar Cangu perlahan dibawa arus sungai Brantas yang jernih putih keperakan dibias cahaya matahari pagi. Bahtera dagang itu milik seorang saudagar yang akan berlayar menuju ke Tanah Bali. Diatas Bahtera itulah Mahesa Amping ada bersamanya.
Angin yang berhembus diawal musim kemarau itu terasa begitu sejuk membelai wajah Mahesa Amping diatas geladak Bahtera. Tidak ada yang tahu bahwa pemuda itu adalah seorang Rangga prajurit Singasari. Mahesa Amping memang sengaja menyamarkan jati dirinya dengan mengenakan pakaian orang kebanyakan. Kepada Saudagar yang sekaligus pemilik bahtera kayu ini yang menjadi kawan kenalan Kebo Arema, Mahesa Amping mengatakan tujuannya ke Bali adalah untuk menemui saudara perempuannya yang sudah begitu lama berpisah.
Bahtera itu terus melaju dibawa aliran sungai Brantas melewati hutan yang lebat di kanan kirinya, atau sesekali melewati hamparan sawah yang luas menghijau, diselingi puluhan burung bangau putih terbang melintas, berkerumun turun diatas pematang sawah. Seorang bocah kecil terlihat berlari mengusik burung bangau yang terbang kembali menjauh. Terlihat Mahesa Amping tersenyum sendiri, ternyata dirinya tengah merenungi garis hidupnya yang Padepokan Bajra Seta, hidup sebagai seorang cantrik, merasakan suasana kehidupan padepokan Bajra Seta yang Gayem, mengembara berlayar ke berbagai belahan dunia, hingga akhirnya telah diangkat sebagai seorang prajurit, diangkat sebagai seorang Rangga.
Sementara itu sang waktu terus berlalu, bahtera itu telah mendekati Bandar Curabhaya di saat menjelang senja.
Hanya sebentar bahtera itu bersandar di Bandar Curabhaya, setelah memuat dan menuruni beberapa barang pesanan, bahtera itu telah bertolak kembali kearah timur Jawadwipa menuju Tanah Bali.
Bahtera itu telah mengembangkan layarnya, angin laut berhembus cukup kencang. Dibawah langit malam bahtera itu terapung diatas hamparan laut biru yang luas menyusuri tepian pantai Jawadwipa.
“Esok pagi kita sudah sampai di Tanah Sempit Selat Bali”, berkata seorang tua yang ikut sebagai penumpang di atas Bahtera itu.”Anak muda sudah sering ke Tanah Bali?” berkata orang tua itu kepada Mahesa Amping.
“Untuk pertama kalinya”, berkata Mahesa Amping dengan senyum penuh persahabatan.
“Apakah anak muda punya saudara yang tinggal di Tanah Bali?” bertanya orang tua itu.
“Aku punya seorang saudara perempuan yang sudah lama tinggal di Tanah Bali”, berkata Mahesa Amping.
Tanpa ditanya orang tua itu bercerita bahwa dirinya adalah seorang pedagang batu aji. “Kadang aku juga berdagang keris bertuah, tergantung pesanan”, berkata orang tua itu.
Kebersamaan mereka sebagai sesama penumpang di bahtera, sama-sama berlayar di tengah lautan luas telah membawa keakraban diantara mereka.
“Orang-orang memanggilku sebagai Ki Ketut Areng”, berkata orang tua itu memperkenalkan dirinya.
“Namaku Mahesa Amping”, berkata Mahesa Amping ikut memperkenalkan dirinya.
“Singgahlah ke rumahku beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananmu”, berkata orang tua itu yang mengaku bernama Ki Ketut Areng menawarkan Mahesa Amping untuk singgah di rumahnya.
“Terima kasih, aku akan singgah”, berkata Mahesa Amping kepada kawan berlayarnya itu.
“Hari masih jauh pagi, sebaiknya kita tidur beristirahat”, berkata Ki Ketut Areng sambil menggelar tikar pandan yang dibawanya. “Tikar ini cukup untuk kita berdua”, berkata Ki Ketut Areng menawarkan Mahesa Amping berbagi tikar pandannya sebagai alas tidur menanti datangnya pagi.
Akhirnya mereka terlihat lelap tertidur diatas geladak bahtera, angin dingin laut malam tidak terasa berhembus menyapu. Terlihat seluruh tubuh mereka sudah terbungkus kain panjang sekedar mengurangi dinginnya angin laut malam.
Langit malam sedikit demi sedikit semakin surut berganti menjadi langit pagi. Ditandai dengan warna semburat kemerahan menyala di ujung timur bumi. Dan semburat warna merah itu akhirnya merata mewarnai seluruh lengkung langit.
“Malam telah kita lewati”, berkata Ki Ketut Areng yang mulai terjaga dari tidurnya kepada Mahesa Amping yang sudah bangun lebih dulu tengah bersandar di dinding geladak.
“Itukah Balidwipa?”, bertanya Mahesa Amping sambil menunjuk kearah timur matahari.
“Itulah Balidwipa, pulau tempat matahari terbit”, berkata Ki Ketut Areng sambil menatap cahaya kuning matahari yang mengintip dari balik bumi Tanah Bali.
“Bahtera sepertinya akan merapat”, berkata Mahesa Amping yang melihat Bahtera berbelok ke kanan kearah tepian pesisir Tanah Jawa.
“Benar, bahtera akan merapat di Tanah Sempit”, berkata Ki Ketut Areng yang kelihatannya sudah sering berlayar menuju Tanah Bali.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Ketut Areng, bahtera memang tengah merapat di sebuah Bandar kecil bernama Tanah sempit, entah kenapa dinamakan demikian, mungkin letak Bandar itu yang dibatasi oleh dua buah anak sungai yang bermuara di Selat Bali, mungkin.
“Diujung senja bahtera ini baru akan berlayar kembali, mari kita turun kearah”, berkata Ki Ketut Areng yang telah bersiap-siap untuk turun ke darat.
Bulat penuh matahari sudah terlihat di ujung timur langit, cahaya pagi telah menerangi seluruh tanah Bandar kecil itu. Terlihat Ki Ketut Areng diiringi Mahesa Amping tengah mendekati sebuah perkampungan nelayan.
Ternyata mereka tengah mendekati sebuah kedai makanan yang ada di perkampungan nelayan itu. “Kami minta minuman hangat”, berkata Ki Ketut Areng kepada pemilik kedai itu.
Tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah membawakan minuman hangat serta beberapa jajanan.
“Aku membawa kesukaan tuan, serabi dan dage goreng”, berkata pemilik kedai itu kepada Ki Ketut Areng yang ternyata sudah sangat sering berkunjung ke kedainya.
Terlihat Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng tengah menikmati minuman hangat serta serabi dan Dage gorengnya.
“Apa yang biasa Ki Ketut Areng lakukan selama menunggu bahtera berlayar kembali?”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Ketut Areng.
“Berdagang”, berkata Ki Ketut Areng sambil tersenyum.
“Berdagang?”, bertanya Mahesa Amping keheranan. “Di perkampungan nelayan ini ada seorang juragan
yang cukup makmur, aku akan menawarkan sebuah keris kecil kepadanya”, berkata Ki Ketut Areng.
Maka ketika bumi sudah terang tanah, Ki Ketut Areng dan Mahesa Amping terlihat telah keluar dari kedai itu. Terlihat mereka tengah memasuki perkampungan itu menuju ke sebuah rumah panggung yang paling besar yang ada di perkampungan nelayan itu.
“Selamat bertemu kembali wahai juragan besar”, berkata Ki Ketut Areng melambaikan tangannya kepada seorang yang berwajah bundar berperawakan sedang diatas panggung pendapanya.
“Naiklah keatas Ki Ketut”, berkata orang itu kepada Ki Ketut Areng. Terlihat Ki Ketut Areng diiringi Mahesa Amping tengah menaiki anak tangga pendapa.
“Perkenalkan teman mudaku”, berkata Ki Ketut Areng memperkenalkan Mahesa Amping kepada orang itu yang ternyata seorang yang sangat ramah.
“Namaku Mahesa Amping”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan dirinya.
“Orang-orang memanggilku Ki Sukasrana”, berkata orang itu memperkenalkan dirinya.
Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Ki Sukasrana pun bercerita tentang batu aji yang pernah dibelinya dari Ki Ketut Areng.
“Batu aji nya telah kuikat dengan ikatan kuningan”, berkata Ki Sukasrana sambil memperlihatkan sebuah batu cincin di jarinya yang berwarna seperti buah atap. ”Ternyata batu akik ini adem dipakainya”, berkata Ki Sukasrana yang merasa cocok dengan batu akik yang dipakainya.
“Aku membawakan untukmu sebuah keris kecil, sebagaimana barang yang biasa kubawa, Ki Sukasrana boleh menyimpannya dulu, bila sehari dua hari ada kecocokan, silahkan Ki Sukasrana membelinya”, berkata Ki Ketut mengeluarkan sebuah keris kecil berwarna emas.
Sebagai seorang yang ahli pembuat berbagai senjata, Mahesa Amping dapat mengetahui bahan apa yang digunakan untuk pembuatan keris kecil itu, tapi Mahesa Amping tidak menunjukkan keahliannya di depan kedua orang itu.
“Aku akan menyimpannya”, berkata Ki Sukasrana kepada Ki Ketut Areng sambil menerima keris kecil itu.
Namun belum lama mereka bercakap-cakap, terlihat empat orang lelaki tengah memapah seorang yang nampaknya telah pingsan mendekati rumah Ki Sukasrana.
“Itu anak buahku”, berkata Ki Sukasrana mengenali orang-orang yang datang.
“Ada apa dengan Tole?”, berkata Ki Sukasrana kepada salah seorang yang datang memapah kawannya itu.
“Tidak sengaja kami mendapatkan ular api dijaring kami, Tole bermaksud membuangnya, namun tiba-tiba saja ular api itu mematuk kakinya”, berkata salah seorang yang baru datang itu.
“Bawa Tole keatas pendapa, segera panggilkan Tabib Koneng kemari”, berkata Juragan Sukasrana kepada anak buahnya.
“Sudah tiga hari ini Tabib Koneng belum pulang mengantar istrinya ke rumah mertuanya di kampong kidul”, berkata salah seorang anak buah Ki Sukasrana.
“Badannya masih hangat, mungkin aku dapat mengobatinya”, berkata Mahesa Amping yang tanpa disuruh telah memeriksa badan orang yang tengah pingsan itu.
Terlihat Mahesa Amping mengeluarkan belati kecilnya dari balik pakaiannya. Dan dengan cekatan tangan Mahesa Amping telah mengerat bagian kaki yang terluka dipatuk ular. Dengan mimijat beberapa bagian tubuh orang yang telah pingsan itu, dan sedikit mengerahkan kesaktiannya, telapak tangan Mahesa Amping menempel di bagian yang terluka itu. Tidak begitu lama telah keluar darah hitam dari kaki yang terluka. “Racunnya telah keluar”, berkata Mahesa Amping ketika darah merah terlihat keluar dari bagian luka orang yang pingsan itu. ”Ambilkan segelas air”, berkata Mahesa Amping.
Maka salah seorang anak buah Ki Sukasrana masuk kedalam rumah, tidak lama kemudian sudah membawa semangkuk air.
----------oOo----------