Jalan Aneh Menimba Ilmu
JAKA WULUNG membuka mata. Melalui lubang-lubang di dinding bilik, tampak di luar masih remang. Barangkali fajar baru merekah di langit timur.
Dan, selalu saja, dalam waktu seperti itu, si kakek sudah pergi. Ke mana ia sepagi ini?
Jaka Wulung meregangkan tubuhnya. Setiap hari, ia merasakan tubuhnya makin bugar. Kakinya tak lagi merasakan sakit. Begitu pula tangannya. Pendek kata, ia sudah pulih seperti sedia kala, seperti sebelum mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari bocah-bocah keturunan Jipang Panolan, beberapa hari lalu.
Oh, bahkan terasa lebih bugar. Napasnya lebih segar dan panjang. Otot- otot jemarinya lebih kencang.
Apa yang telah dilakukan kakek itu?
Ketika jatuh dari tebing, Jaka Wulung sudah tidak lagi berharap selamat. Tubuhnya terasa remuk redam tatkala berbenturan dengan dahan-dahan pepohonan. Ia bahkan sudah tak merasakan apa-apa lagi karena sejak itu kesadarannya sudah lenyap.
Ketika ia membuka mata, hanya kesunyian yang ia rasakan. Angin seperti mati. Hanya terdengar napas teratur seseorang tak jauh darinya. Seorang lelaki tua. Mengenakan jubah abu-abu, ia duduk bersila dengan tangan bersedekap dan mata terpejam.
Siapa dia?
“Syukurlah kamu sudah siuman,” desis lelaki tua itu.
Jaka Wulung terkejut. Lelaki tua itu masih terpejam dengan napas teratur
seperti sedang tidur.
“Di mana saya?” Jaka Wulung mencoba duduk.
“Jangan bergerak. Berbaringlah.” Lelaki tua itu masih tetap terpejam.
Jaka Wulung tetap berbaring. Bukan karena kata-kata kakek itu, melainkan karena ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Semua tulang tubuhnya seperti porak-poranda. Otot-ototnya tidak bertenaga. Rasa nyeri merejam- rejam seperti seribu jarum menusuk-nusuk pori-porinya.
Ia hanya bisa mengedarkan matanya.
Lampu minyak jarak yang suram memberikan pemandangan sebuah bangunan yang lebih tepat disebut pondok, sebuah bangunan yang terkesan dibuat untuk tempat tinggal sementara. Hanya ada satu pembaringan, yang kini ditempatinya. Di sebuah sudut, ada bangku persegi yang tidak terlalu tinggi. Di atasnya teronggok sejenis dedaunan bertulang panjang.
Tiang-tiang kayu pondok itu kelihatannya sudah mulai keropos dimakan rayap. Dinding bambunya berlubang-lubang. Udara mengalir pelan dan membuat tubuh Jaka Wulung menggigil.
Dengan daya nalarnya yang masih belum pulih benar, Jaka Wulung mencoba mereka-reka apa yang terjadi ketika ia jatuh. Ah, ia pastilah ditolong oleh kakek itu. Ia kemudian dibawa ke pondoknya yang sederhana ini, entah di mana.
Kakek itu tampaknya enggan berbicara mengenai siapa dia dan di mana mereka berada. Tapi, setiap hari kakek itu memberikan ramuan yang harus diminum Jaka Wulung. Pada hari kedua, Jaka Wulung sudah bisa bangun dan berjalan dengan tertatih-tatih. Ketika memandang ke luar, barulah ia menyadari bahwa pondok itu berada di sebuah lereng yang landai, di tengah hutan yang sunyi.
Maksudnya, sunyi dari manusia dan bangunan lain.
Hutan ini, sebagaimana hutan di mana pun, adalah kehidupan yang riuh oleh suara binatang dan gesekan dedaunan.
Akan tetapi, sampai hari ketiga, kakek tua itu tetap sunyi dari kata-kata.
Terutama mengenai dirinya. Meskipun demikian, Jaka Wulung yakin bahwa kakek itu bukan manusia pada umumnya. Terbukti Jaka Wulung pulih dalam waktu singkat berkat ramuannya.
Siang hari, barulah lelaki tua itu akan muncul lagi dengan membawa berbagai tanaman untuk dibuat ramuan serta buah-buahan.
“Kakek, siapa sebenarnya Kakek ini?”
Lelaki tua itu memandang Jaka Wulung tanpa menjawab. Ia membereskan semua bawaannya. Setelah semuanya tertata, barulah ia menghadapi helai- helai daun bertulang panjang dan menggores-goreskan cairan hitam dengan semacam kuas.
Baru belakangan Jaka Wulung tahu nama daun itu adalah daun nipah dan kakek itu sedang membuat tulisan di permukaan daun nipah itu.
“Bolehkah saya menjadi murid Kakek?” Jaka Wulung memandang lelaki tua itu penuh harap.
Kali ini lelaki tua itu menoleh dan memandang Jaka Wulung beberapa lama, seakan-akan sedang menimbang-nimbang keinginan Jaka Wulung. “Aku tidak punya kepandaian apa-apa.” Lelaki tua itu bangkit, mengambilkan buah-buahan, dan menyodorkannya kepada si bocah. “Makanlah.”
Jaka Wulung memandang lelaki itu meminta ketegasan. “Kakek menolong saya ketika jatuh dari tebing yang sangat curam. Kalau tidak punya kepandaian apa-apa, Kakek tentu tidak akan mampu menolong saya.”
Lelaki tua itu masih diam.
Jaka Wulung tertunduk. “Kalau begitu, sebelum saya pergi, boleh tahu nama Kakek?”
Lelaki tua itu kembali memandang Jaka Wulung yang masih tertunduk. “Jangan pergi dulu. Tunggulah beberapa hari lagi,” ditariknya napas dalam. “Kau boleh panggil aku Karta. Ki Karta.”
DAN kini, Jaka Wulung bangkit, membuka pintu, lalu memandang keremangan pagi. Langit masih benderang oleh bintang-bintang.
Dedaunan hutan memberikan kesegaran berupa zat asam. Paru-paru Jaka Wulung menghirup sebanyak mungkin udara dan melepasnya pelan-pelan.
Mendadak, samar-samar ia mendengar sesuatu.
Jaka Wulung melangkahkan kakinya mengikuti pendengarannya. Ia merasakan keanehan. Hutan itu riuh dengan gesekan dedaunan, derit dahan-dahan pohon, nyanyian serangga, dan jerit bermacam kera. Biasanya, memang seperti itulah yang ia dengar. Tapi, kali ini pendengarannya bisa dengan jelas menangkap suara-suara lain.
Ia terpaku ketika tiba di suatu tempat yang agak lapang, beberapa puluh langkah di sebelah kanan pondok mereka.
Di hadapannya, seseorang sedang melakukan gerakan-gerakan kaki, tubuh, dan tangan yang lincah. Langkahnya sangat ringan, tangannya seperti menari, tetapi juga mematuk dan mencakar udara, dan tubuhnya sangat lentur mengikuti segala gerakan kaki dan tangannya. Beberapa gerakan bahkan sedemikian cepat sehingga Jaka Wulung tidak bisa mengikuti dengan penglihatannya. Jelas bahwa gerakan demikian hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan tinggi!
Kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri, Jaka Wulung pastilah tak akan percaya.
Tiada lain orang itu: Ki Karta!
Berbeda dengan penampilan selama ini, yang kelihatan ringkih, Ki Karta benar-benar kelihatan dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun lebih muda. Hanya mengenakan celana pangsi sampai separuh betis, tanpa baju, Ki Karta memperlihatkan tubuh yang terpelihara. Dan, di tengah hawa pagi yang masih menggigit, keringat berkilat memenuhi permukaan badannya.
Tiba-tiba pada suatu saat, Ki Karta menghentikan gerakannya. “Keluarlah!” serunya.
Jaka Wulung terkejut. Sekali lagi terbukti bahwa Ki Karta bukan orang sembarangan. Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung sedang mengintipnya di balik sebatang pohon.
Jaka Wulung ragu-ragu beberapa jenak. “Ke sinilah, Bocah.”
Jaka Wulung keluar dari balik sebatang pohon.
Langit mulai terang dan wajah Ki Karta tampak segar. Tak ada rona kemarahan pada wajahnya.
Si bocah membungkuk penuh hormat.
“Aki, saya ingin belajar silat,” suara Jaka Wulung pelan, tetapi mengandung bergumpal harapan.
Ki Karta menghela napas. “Itu tadi bukanlah ilmu silat,” katanya. “Itu tadi hanyalah gerakan-gerakan untuk menjaga kesehatan. Maklumlah, aku sudah tua. Kalau tidak melakukan gerak badan seperti ini setiap pagi, penyakit akan mudah sekali datang.”
“Ki Karta adalah seorang berilmu tinggi dan saya ingin menjadi murid Aki.”
“Tidak, Bocah. Aku hanyalah kakek-kakek biasa.” “Tapi, boleh kan kalau saya menjadi murid Aki?” Ki Karta menggeleng dengan tegas.
Jaka Wulung menunduk penuh kecewa.
AKAN TETAPI, Jaka Wulung adalah bocah yang memiliki kemampuan mengingat yang luar biasa meskipun ia sendiri tidak menyadarinya. Ia juga tergolong bocah yang mempunyai keinginan sangat kuat untuk belajar. Terutama belajar ilmu kanuragan. Hanya saja, sampai saat itu ia belum pernah menjadi murid siapa pun atau perguruan mana pun.
Rupanya, kalangan jelata seperti dia sulit mendapat tempat di mana pun. Keinginannya untuk belajar ilmu kanuragan bahkan telah membuatnya celaka. Tapi, di sisi lain, pengalaman pahitnya itu justru menambah kuat keinginannya untuk memiliki kemampuan, setidaknya membela diri.
Jaka Wulung sudah melihat bahwa Ki Karta memiliki ilmu yang hebat,
punya pengetahuan tentang pengobatan, dan bisa membuat tulisan di daun nipah. Pastilah Ki Karta bukan orang kampung biasa.
Sayang sekali keinginannya untuk berguru kepada Ki Karta tidak kesampaian.
Penolakan Ki Karta sebenarnya membuat Jaka Wulung ingin segera pergi dari pondok itu. Tapi, ia masih menyimpan penasaran. Setidaknya, ia ingin dua atau tiga kali lagi melihat Ki Karta melatih gerakan-gerakan silatnya.
Untuk mengisi waktunya, siang itu, ketika Ki Karta pergi seperti biasanya, Jaka Wulung mencoba mengingat-ingat semua gerakan yang dilakukan Ki Karta, lalu menerapkannya sendiri. Mulai dari langkah kaki, kemudian gerakan tubuh, hingga bentuk jemari yang dibuat seperti cakar harimau. Mula-mula memang terasa kaku, tetapi lama-lama ia bisa melakukannya dengan sempurna.
Jaka Wulung juga melakukan semua gerakan yang dilakukan bocah-bocah keturunan Jipang Panolan. Ia tidak tahu bahwa gerakan itu berdasarkan ilmu hebat yang disebut gagak rimang, ilmu andalan Arya Penangsang.
Berdasarkan daya ingatnya, dari tiga hari menonton ketiga bocah itu
berlatih dibimbing Ki Jayeng Segara, Jaka Wulung berhasil meniru semua jurus gagak rimang nyaris tanpa kesalahan. Di tengah melakukan semua gerakan itu, tergambarlah dengan jelas wajah-wajah bocah itu: Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana.
Ketika mengingat wajah gadis kecil itu, hatinya berdesir oleh rasa hangat. Apakah aku bisa bertemu lagi dengannya? Cepat-cepat Jaka Wulung mengusir pikiran seperti itu. Ia hanyalah bocah jelata. Gadis itu jelas sebangsa bidadari meskipun kini seperti bidadari yang tersesat di rimba raya.
Meskipun demikian, dengan membayangkan wajah gadis itu, dan terutama bocah sombong bernama Lingga Prawata, Jaka Wulung terus melakukan semua gerakan dasar ilmu gagak rimang berulang-ulang.
Berulang-ulang pula ia meniru semua gerakan yang ia ingat dilakukan Ki Karta pagi itu.
Keringat sudah membanjir dari tubuhnya.
Jaka Wulung tidak sadar matahari sudah mulai jatuh di langit barat.
Ia juga tidak sadar sepasang mata menyorot tajam dari balik rumpun perdu.
Luar biasa bocah ini, kata hati Ki Karta.
Ketika kali pertama menemukan bocah itu dalam keadaan pingsan di atas gerumbul perdu di tepi Ci Gunung—untung bocah itu tidak jatuh menimpa bebatuan—Ki Karta mengakui bahwa Jaka Wulung memiliki tubuh yang sangat istimewa. Kalau yang jatuh dari ketinggian seperti itu anak muda biasa, setelah membentur-bentur dahan-dahan pepohonan, apalagi ia jatuh setelah melalui sebuah perkelahian, Ki Karta yakin siapa pun tak akan selamat nyawanya. Tapi, bocah itu hanya pingsan.
Setelah ia membawa bocah itu ke pondoknya, di sebuah tempat yang jauh terpencil di sebuah bukit kecil yang dinamakan orang Bukit Segara, lalu merawatnya, Ki Karta benar-benar dibuat kagum. Hanya dalam beberapa hari, bocah itu sudah hampir pulih seperti sediakala. Padahal, ia hanya merawat dengan ramuan seadanya dan makanan buah-buahan di sekitarnya.
Ki Karta menunggu sampai Jaka Wulung menyelesaikan semua gerakannya.
GELAP mulai menyungkup seperti tirai raksasa. Nyanyian serangga mengiring kepergian garis-garis matahari ditelan rerimbun hutan.
Ki Karta tengah menulis sesuatu di lembar-lembar nipah ketika Jaka Wulung muncul dari membersihkan diri di aliran sungai kecil di lembah pondok.
“Sampurasun, Aki.”
“Rampes,” Ki Karta menjawab tanpa menoleh. Ia terus menggurat- guratkan kuasnya di lembar nipah dengan alas bangku. “Dapat ikan banyak, ya?” Kepala Ki Karta tetap menunduk.
Jaka Wulung tersenyum sendiri. Kadang orang tua memang selalu lupa. Bagaimanapun disembunyikan, makin jelas bahwa Ki Karta banyak memiliki kelebihan dibanding orang kebanyakan. Ia bisa mencium bau ikan dan jumlahnya banyak.
“Iya, Ki, tadi saya dapat di kali sebelum mandi di pancuran. Nanti sekalian saya bakar, ya. Malam ini kita makan enak.”
Jaka Wulung lekas menyiapkan kayu-kayu dan segera membuat pembakaran. Tak lama kemudian, menguarlah aroma ikan bakar. Jaka Wulung tidak sabar lagi untuk segera menyantapnya. Perutnya terdengar seperti tetabuhan dogdog!
“Ki,” ujar Jaka Wulung ketika mereka bersama-sama menyantap nasi dan ikan bakar. “Kalau Aki menolak mengajari saya ilmu beladiri, biarlah saya menjadi murid Aki dalam menulis di daun nipah. Boleh, kan?”
Ki Karta berhenti mengunyah sejenak, kemudian menarik napas dalam. Bocah ini memiliki banyak kelebihan. Siapa sebenarnya dia? pikir Ki Karta.
“Baiklah,” kata Ki Karta.
Semenjak malam itu juga Jaka Wulung mendapat pelajaran tentang menulis. Benar-benar dari dasar, yaitu menulis huruf demi huruf. Mula-
mula ia belajar melalui goresan kayu di tanah. Setelah mahir, barulah ia berpindah ke daun nipah. Bahkan di belakang hari, Jaka Wulung juga belajar menulis di atas permukaan daun lontar dengan menggunakan pisau pangot.
Tidak hanya belajar cara menulis huruf. Jaka Wulung juga belajar cara menulis naskah sastra. Tahap ini tentu saja jauh lebih rumit dibanding hanya menulis huruf. Dan, belakangan terbukti bahwa baik Jaka Wulung maupun Ki Karta sama-sama saling memuji meskipun dalam hati.
Jaka Wulung memuji Ki Karta, yang sudah ia panggil sebagai guru, yang ternyata seorang penulis naskah yang mumpuni. Naskah-naskahnya yang sebagian besar berupa pantun1 sangat indah. Di pihak lain, Ki Karta memuji Jaka Wulung sebagai murid yang sangat cerdas. Ingatannya sangat kuat dan bakatnya dalam menulis naskah sangat besar.
Serupa benar dengan Bambang Ekalaya di jagat pewayangan, pikir Ki Karta.
Tiba-tiba Ki Karta teringat sosok yang selama ini ia anggap menjadi gurunya, baik dalam sastra maupun ilmu kanuragan, Resi Jaya Pakuan. Kalau saja sang Guru masih ada, pikir Ki Karta, tentu Jaka Wulung akan mendapat didikan dari orang yang tepat. Ki Karta menyesal tidak terlalu mendalami ilmu sastra. Ia selama ini lebih memilih mendalami ilmu kesaktian, yang membuatnya lebih banyak menghadapi masalah daripada menyelesaikan masalah.
Ki Karta menghela napas panjang, mengusir rasa sesalnya.
Sementara itu, setiap menjelang fajar menyingsing, Ki Karta akan selalu bangun lebih dulu.
Jaka Wulung akan pura-pura masih tertidur kalau Ki Karta memulai kegiatannya setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Jaka Wulung akan bangun dari tempat tidurnya, bersijingkat keluar dari pondok itu, berhati- hati menuju sebatang pohon di tepi lahan lapang, dan dari sana ia juga memulai harinya.
Langit masih temaram, tetapi Jaka Wulung makin lama makin terbiasa melihat Ki Karta mulai menghangatkan tubuhnya dengan olah napas, kemudian melatih dan memelihara kelenturan segenap anggota badannya
melalui gerakan-gerakan teratur yang membentuk jurus-jurus tertentu yang kelihatan sederhana, tetapi kerap memberikan akibat yang dahsyat.
Setiap geraknya selalu menimbulkan kesiur angin di sekitar tubuhnya, yang membuat dedaunan rontok dari tangkainya.
Jaka Wulung akan menyimpan dalam kepalanya semua yang dilakukan Ki Karta. Dan, sebelum matahari sepenggalah, menjelang Ki Karta menyelesaikan ritual latihannya, Jaka Wulung akan menyelinap kembali ke pondok, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Jaka Wulung akan pura-pura mendengkur ketika Ki Karta masuk ke pondok.
Ketika Ki Karta pergi menjelang siang, Jaka Wulung akan segera menuju sebuah tanah agak lapang yang ia pilih sendiri, tidak jauh dari pancuran. Ia pun akan segera menerapkan semua ingatan di kepalanya saat itu juga. Mulai dari olah napas hingga bermacam gerak yang membentuk jurus- jurus tertentu.
Beberapa kali Jaka Wulung melakukan kesalahan ketika menerapkan gerak baru. Tapi, ia akan selalu mengulanginya sehingga semua jurusnya ia lakukan hampir tanpa kesalahan lagi.
Ketika matahari sudah di puncak langit, Jaka Wulung akan menyelesaikan latihannya. Ia akan meloncat-loncat lincah, meniti bebatuan yang bertonjolan, dan akan segera menceburkan diri sambil menikmati segarnya air pancuran. Berendam menikmati kesejukan sungai dan memulihkan tenaganya.
Jaka Wulung tidak menyadari bahwa dari sebuah gerumbul perdu sepasang mata mengawati semua yang dilakukannya.
Ki Karta!
Sekali lagi Ki Karta mengagumi bakat yang dimiliki Jaka Wulung. Tanpa bimbingan langsung siapa pun, hanya dengan mengingat apa yang ia lihat, Jaka Wulung mampu melakukannya dengan hampir sempurna.
Tentu saja Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengintip setiap pagi. Ki Karta juga tahu bahwa Jaka Wulung hanya pura-pura tidur, baik ketika ia keluar maupun ketika ia datang lagi.
“Kalau saja bocah ini mendapat bimbingan secara langsung,” batin Ki Karta. Tapi, ia tidak bisa melakukannya. Ia tak ingin melanggar sumpahnya sendiri, yakni tidak akan pernah mengangkat seorang pun murid.
Batin Ki Karta dilanda kebimbangan menyaksikan bakat luar biasa Jaka Wulung.
Oleh karena itu, Ki Karta memutuskan untuk menjadikan Jaka Wulung sebagai murid secara tidak langsung. Ia akan membiarkan Jaka Wulung menyerap ilmunya setiap pagi, tahap demi tahap meningkat secara terus- menerus, mulai dari tahap gerak kasar, hingga akhirnya ke jurus yang dilambari tenaga dalam. Ia akan berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengintipnya. Ia juga berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung meniru semua gerak dan jurusnya setiap hari.
Dengan demikian, Ki Karta merasa tidak melanggar sumpahnya untuk mengangkat seorang murid.
Demikianlah, terjadi penurunan ilmu yang ganjil dari seorang kakek
misterius yang mengaku bernama Ki Karta kepada bocah aneh bernama Jaka Wulung.
DALAM waktu singkat, karena daya serap Jaka Wulung yang sangat istimewa, seluruh ilmu yang dimiliki Ki Karta sudah diturunkan kepada si bocah. Tinggal satu ilmu yang belum diturunkan. Ki Karta ragu-ragu apakah ia akan menurunkan ilmu yang satu ini.
Ilmu pamungkas miliknya.
Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya ragu-ragu.
Pertama, Jaka Wulung kelihatan masih terlampau muda untuk menerima ilmu ini. Ki Karta tidak yakin apakah si bocah akan mampu mempelajari ilmu ini mengingat dibutuhkan laku yang sangat berat untuk mencapai tingkatan yang diharapkan.
Kedua, ini yang sangat sulit dilaksanakan, ilmu ini diturunkan hanya kepada orang yang mewarisi darah Prabu Siliwangi. Sebab, ilmu ini memang diciptakan dan disempurnakan oleh Prabu Siliwangi sendiri dan yang secara tradisi hanya diturunkan kepada mereka yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Prabu Siliwangi.
Inilah ilmu yang membuat Prabu Siliwangi hampir tidak menemui lawan sepadan ketika ia di puncak kejayaan.
Ilmu gulung maung.
Dalam hati kecilnya, Ki Karta cenderung ingin menurunkan pula ilmu gulung maung kepada si bocah. Ia tidak tahu tinggal berapa orang di tatar Sunda yang masih menggenggam ilmu dahsyat ini. Ia khawatir ilmu ini akan punah kalau tidak diturunkan sekarang.
Akan tetapi, di sisi lain, ia harus mematuhi garis yang telah ditetapkan leluhurnya agar tidak sembarangan menurunkan ilmu ini kepada orang yang tidak jelas asal usulnya.
Semalam suntuk Ki Karta menimbang-nimbang kemungkinan untuk menurunkan ilmu gulung maung. Tak lupa ia bersemadi, meminta petunjuk kepada leluhurnya, apakah ia tidak tergolong melanggar purbatisti dan purbajati kalau ia memutuskan menurunkan ilmu
pamungkasnya kepada si bocah.
Di kejauhan, terdengar auman panjang seekor harimau. Telinga Ki Karta menegang.
Beberapa saat kemudian, setelah auman itu menghilang, Ki Karta membuka matanya. Dadanya menjadi lega.
Ki Karta yakin, auman harimau itu menjadi semacam restu Ia pun sudah bisa mengambil keputusan secara mantap.
LANGIT masih ditaburi ribuan kerlip bintang. Burung-burung bangun dari tidur nyenyak mereka, berceriap nyaring, menyilap serangga malam yang mulai kelelahan.
Ki Karta sudah menyelesaikan olah napasnya sebagai pemanasan menuju olah tubuh dan gerak badan. Jurus demi jurus kemudian melindas udara pagi, hingga akhirnya, bertepatan dengan garis-garis pertama matahari, Ki Karta mulai memasuki jurus pamungkasnya: gulung maung.
Sedikit demi sedikit tangan dan jemarinya mengeras, membentuk cakar yang siap mencabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih tajam. Penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap perlahan tetapi pasti menjadi lebih peka. Jika ada gerakan kecil di mana pun yang mencurigakan di sekitarnya, pasti tak akan lepas dari pancaindranya.
Dari tenggorokannya tak tertahan mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti suara harimau ....
Grrrhhh!
Ki Karta meloncat ringan dan kedua tangannya mengarah sebatang pohon kiara sebesar tubuh manusia. Segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari cakar-cakar Ki Karta dan menghantam batang pohon, menimbulkan suara debam yang akan terasa memukul dada siapa pun yang menyaksikannya.
Beberapa jenak Ki Karta tetap berdiri dengan kedua kaki rendah dan tangan masih terentang ke depan.
Pohon itu tetap berdiri tegak. Tetapi hanya beberapa jenak.
Tiba-tiba terdengar suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian pohon itu pun tumbang berdebum menimpa tanah.
Sulit membayangkan bagaimana kalau pukulan tak kasat mata itu menimpa tubuh manusia.
Dari balik pohon, Jaka Wulung hanya bisa memandang peristiwa itu dengan mulut menganga. Ia lupa bahwa ia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ketahuan oleh Ki Karta.
DI tanah yang agak lapang di atas pancuran, di sanalah Jaka Wulung menerapkan daya ingatnya yang luar biasa ke dalam gerakan-gerakan jurus yang nyata. Sampai beberapa lama Jaka Wulung tidak menyadari bahwa semua ilmu yang dipertunjukkan Ki Karta makin lama makin bertambah dan tingkatannya makin naik.
Baru belakangan ia sadar ketika kemampuannya sendiri terasa meningkat dengan pesat. Langkahnya kian ringan, loncatannya makin jauh, tendangan dan pukulannya tambah bertenaga, dan pancaindranya menjadi jauh lebih peka.
Matanya bisa melihat lebih jelas meskipun Ki Karta memulai latihannya dalam gelap dini hari. Telinganya mampu menangkap jerit kera di kejauhan, embusan angin yang menggesekkan rumpun bambu di lembah pondok, dan bahkan jatuhnya tetes-tetes air dari dedaunan. Hidungnya bisa membedakan rumput dan ilalang dari jarak beberapa langkah. Ia juga bisa merasakan permukaan sebatang pohon sebelum telapaknya benar-benar menyentuhnya.
Ia menduga Ki Karta dengan sengaja membimbingnya secara tidak langsung. Dan, dugaannya sudah menjadi kesimpulan ketika kakek yang tetap misterius itu mempertunjukkan jurus ilmunya yang dahsyat.
Jaka Wulung memusatkan segenap kekuatannya untuk mengingat seluruh gerak ilmu dahsyat Ki Karta.
Perlahan-lahan Jaka Wulung merasakan tangan dan jemarinya mengeras,
membentuk cakar yang siap mencabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih tajam. Dari tenggorokannya mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti suara harimau ....
Grrrhhh!
Jaka Wulung meloncat ringan dan kedua tangannya mengarah sebatang pohon rasamala yang masih muda, dengan ukuran batang sebesar paha orang dewasa. Jaka Wulung merasakan segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari cakar-cakar jemarinya dan menghantam batang pohon rasamala, menimbulkan suara debam yang gemanya seakan-akan memukul dadanya sendiri.
Beberapa jenak Jaka Wulung agak goyah di atas kuda-kuda kedua kakinya yang rendah dan dengan tangan masih terentang ke depan.
Pohon itu tetap berdiri tegak. Hanya bergoyang pelan. Jaka Wulung menunggu.
Pukulannya seakan-akan tidak memberikan pengaruh apa-apa. Jaka Wulung menarik napas kecewa.
Ia berdiri tegak, melangkah mendekati pohon itu, dan menyentuh bekas pukulannya.
Jaka Wulung menarik napas lega ketika menyentuh bekas pukulannya di pohon yang terasa seperti kayu keropos selebar telapak tangan. Tapi, hanya sampai di situ. Pukulan itu belum mampu menyebabkan batang itu patah.
Aku harus banyak berlatih, pikirnya.
Demikianlah, dalam beberapa hari Jaka Wulung benar-benar memusatkan perhatiannya untuk mengasah ilmunya.
Dan kemudian, suatu hari, ketika ia mencoba melepaskan pukulan yang sama ke sebatang pohon rasamala yang sedikit lebih besar, tiba-tiba terdengar suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian sebatang cabang pohon itu pun tumbang berderak menimpa tanah.
Jaka Wulung menganga tak percaya.
Di tempat persembunyiannya, Ki Karta tak kurang terkesima.
Untuk bisa mengeluarkan tenaga tak kasat mata sebesar itu, Ki Karta perlu berlatih dalam hitungan berbulan-bulan. Tapi, si bocah—bocah semuda itu
—melakukannya hanya dalam tempo hanya beberapa hari.
Luar biasa, batinnya. Hanya Prabu Siliwangi sendirilah yang mampu melakukannya dalam usia semuda itu.
Ki Karta berdebar-debar. Dalam hatinya ia kembali memohon restu dari para leluhur semoga ia tidak salah memilih murid. Sebab, kalau ilmu itu jatuh kepada orang yang salah, akibatnya akan sangat mengerikan.
Tinggal rajin mematangkan diri, aku yakin bocah ini suatu saat setidaknya akan bisa setara dengan guruku sendiri, batin Ki Karta lagi.
Pada kesempatan berikutnya, Ki Karta mengarahkan pukulannya pada sebongkah batu sebesar kepala kerbau.
Batu itu pecah berserakan menjadi ribuan kerikil beterbangan ke segala arah.
Ketika Jaka Wulung mencoba menerapkan hal yang sama, permukaan batu yang terkena pukulannya remuk memercik, meninggalkan lekukan selebar telapak tangan.
Demikianlah, melalui penurunan ilmu secara tidak langsung, kemampuan Jaka Wulung meningkat dengan pesat.
SEIRING dengan peningkatan yang pesat dalam kemampuan olah kanuragan, Jaka Wulung juga cepat sekali menangkap pelajaran menulis sastra yang diturunkan Ki Karta. Hal itulah yang justru tidak disadari oleh Ki Karta sendiri, yang membuat jati dirinya yang sesungguhnya terungkap.
Suatu hari, ketika Ki Karta pergi dari pondok itu, Jaka Wulung membuka- buka lembar-lembar naskah yang sudah ditulis gurunya. Dalam kebanyakan naskahnya, Ki Karta tak pernah menuliskan namanya.
Akan tetapi, Jaka Wulung secara tidak sengaja menemukan sebuah nama pada salah satu naskah karya Ki Karta. Nama yang jauh berbeda.
Darmakusumah.
Lama Jaka Wulung memandang lembar daun nipah itu. Sampai-sampai ia tidak menyadari kemunculan Ki Karta. “Ah, tekun sekali kau membaca naskah itu,” ujar Ki Karta.
Jaka Wulung terkejut karena tidak menyadari kedatangan gurunya.
“Oh, maafkan saya, Ki, telah membuka-buka naskah Aki,” Jaka Wulung membereskan naskah yang terserak-serak. Lalu, ia memandang gurunya dengan penuh hormat. “Siapa Darmakusumah itu, Ki?”
Ki Karta memandang Jaka Wulung, duduk bersila di hadapan sang murid, menarik napas dalam-dalam, dan melepaskannya perlahan-lahan.
“Cerita yang panjang, Bocah,” kata Ki Karta, tidak menjawab pertanyaan Jaka Wulung.
“Apakah itu nama asli Aki?” Jaka Wulung memandang gurunya dengan rasa ingin tahu yang menggelora.
“Ada baiknya memang kamu mengetahui cerita yang sebenarnya.”