Prolog (Masa Muram Sepotong Sejarah)
Tahun 1580-an adalah salah satu masa paling muram dalam sejarah Nusantara. Keraton Majapahit sudah puluhan tahun runtuh nyaris tanpa bekas. Tapi, sisa-sisa pasukannya masih berkeliaran di gunung-gunung, hutan, perkampungan, dan di kotaraja, kadang dengan membawa-bawa nama Brawijaya meskipun pakaiannya koyak moyak.
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa Dwipa, runtuh dalam usia hanya 90 tahun dan kini muncul Kesultanan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir, yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Tapi, tanda-tanda keruntuhan Pajang mulai kelihatan dengan ambisi Danang Sutawijaya, kerabat Hadiwijaya sendiri, untuk menyerang Pajang dan mendirikan kerajaan sendiri.
Di belahan barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda, salah satu kerajaan di Nusantara yang berusia paling tua, sudah pula sirna ning bhumi. Kerajaan Sunda—orang-orang juga menyebutnya Pajajaran—akhirnya teriris-iris menjadi Kesultanan Banten, Cirebon, Sumedang Larang, dan sejumlah daerah kecil yang masih merasa berhak menjadi raja karena merasa keturunan Siliwangi.
Sementara itu, raja-raja kecil bermunculan di pantai utara, pantai selatan, hingga pantai timur Jawa.
Pendeknya, Jawa Dwipa menjadi semacam makanan yang terus dicacah- cacah oleh para penguasa yang merasa dirinya berhak menjadi raja.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau kemudian banyak wilayah yang lepas dari kerajaan mana pun, menjadi tak bertuan, dan yang berkuasa kemudian adalah para jagoan yang hanya mengandalkan kekuatan wadak dan kesaktian. Belum lagi ancaman dari orang-orang negeri jauh bertubuh tinggi, berkulit pucat, dan berhidung mancung yang siap mencengkeram.
Rakyat kebanyakan hanya menjadi perasan tidak hanya oleh para penguasa, tetapi juga oleh para penjahat, perampok, begal, dan jagoan golongan hitam lainnya. Nyaris tak ada yang bisa menolong mereka
kecuali ketika muncul satu-dua tokoh-tokoh putih yang disebut sebagai pendekar.
Tiga abad kemudian, di sebuah kabuyutan bernama Astana Luhur, di sisi timur bekas wilayah Kerajaan Sunda, ditemukan banyak naskah yang ditulis pada helai-helai daun lontar, menggunakan aksara Sunda kuna. Lembar-lembar naskah itu sudah nyaris rusak dimakan zaman, tetapi sebagian masih bisa dibaca. Salah satu naskah itu bertutur tentang seorang tokoh yang misterius asal usulnya, tidak diketahui nama aslinya, seorang pendekar hebat yang entah mengapa belakangan hilang dari catatan sejarah.
Berdasarkan naskah inilah terjalin sebuah kisah tentang sang pendekar, seorang pahlawan pembela rakyat yang mewarisi dua ilmu yang selama ini dianggap saling berlawanan: kesaktian Prabu Siliwangi dan kedigdayaan Gajah Mada