Serial Pendekar Naga Putih eps 88 : Bayang Bayang Maut

SATU
SEORANG lelaki gagah melangkah tegap di bawah cahaya matahari siang yang terik. Sayang wajah yang sebenarnya gagah dan memiliki perbawa ini tampak muram dan agak pucat. Sinar matanya pun tampak sayu dan kosong. Tidak terlihat cahaya kehidupan sedikit pun, baik pada raut wajah maupun sinar matanya. Semua itu jelas merupakan betapa hatinya tengah menanggung beban batin yang sangat berat.

Tak lama kemudian, setelah melewati mulut sebuah desa, langkah kosong tanpa perasaan itu, terhenti di depan sebuah kedai. Tanpa memperhatikan sekelilingnya, lelaki gagah itu melangkah masuk. Sambil menghembuskan napas berat, dihempaskan pantatnya di atas sebuah kursi. Namun ketika ia menoleh bermaksud memanggil pelayan kedai, tiba-tiba keningnya berkerut. Sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan sempat membuat mata redupnya berkilat. Terdengar suara dengusan keluar dari hidungnya.

Brrakk!

Sambil mendengus, tiba-tiba lelaki gagah ini, menggebrak meja di depannya. Meja kayu itu hancur berantakan dengan memperdengarkan suara berderak keras.

Karuan saja perbuatan itu membuat para pengunjung tertuju kepadanya. Dua orang lelaki bertampang kasar yang tadi tertawa-tawa sambil menghujani ciuman ke wajah dan tubuh perempuan muda, tersentak kaget. Keduanya memandang lelaki gagah itu dengan sorot mata mengandung kemarahan. Mata mereka bentrok dengan sepasang mata berkilat milik lelaki gagah itu. Rupanya perbuatan kedua orang lelaki bertampang kasar itulah yang telah membangkitkan kemarahannya.

Beberapa saat lamanya tiga pasang mata saling tentang, membuat para pengunjung kedai lain buru-buru menyingkir. Tampaknya mereka tidak ingin terbawa-bawa. Bahkan beberapa di antara pengunjung, ada yang langsung meninggalkan kedai. Namun semua itu tidak dipedulikan, baik oleh kedua lelaki bertampang kasar maupun si Lelaki Gagah.

"Hm...!" Salah seorang dari kedua lelaki bertampang kasar terdengar menggeram. Lalu, melangkah lebar menghampiri lelaki gagah itu dengan membusungkan dada. Sorot matanya tajam menikam, menyiratkan kemarahan yang siap ditumpahkan.

"Tuan sebaiknya menyingkir, jangan cari penyakit...!" Salah seorang pengunjung berbisik memperingatkan lelaki gagah itu, ketika berlalu di sampingnya untuk meninggalkan kedai.

Namun, nasihat itu sama sekali tidak digubris. Malah lelaki gagah itu sudah mengayun langkah, sengaja menyongsong kedatangan calon lawannya. Dalam sesaat saja, keduanya telah berdiri berhadapan.

"Aku paling tidak suka melihat laki-laki memaksakan kehendaknya kepada perempuan!" Tajam dan pedas sekali kata-kata lelaki gagah itu sambil tetap menatap lelaki bertampang kasar di depannya.

"Hmh, lancang sekali mulutmu! Perempuan-perempuan itu sendiri tidak menolak perbuatan kami. Bahkan mereka merasa senang dengan perlakuan kami. Nah, kalau mereka saja tidak ribut, mengapa kau yang tak ada sangkut-pautnya kalang-kabut seperti nenek-nenek kehilangan sirih? Atau kau merasa iri dan ingin ikut menikmati tubuh-tubuh molek berkulit halus itu?" ujar lelaki bertampang kasar dengan bibir menyunggingkan senyum penuh ejekan.

"Kalau mereka suka dengan perlakuan kalian, tentu akan lain persoalannya. Tapi karena mereka tidak suka dengan perlakuan kalian yang tidak sopan itu, maka aku tidak bisa berpangku tangan saja. Air mata perempuan-perempuan malang yang tak berdaya itulah, yang membuat aku tergerak untuk menolong. Entah mengapa kalian begitu bebas berbuat di tempat umum seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti."

Lelaki gagah ini menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali para pengunjung kedai yang seperti tidak mau tahu dengan perbuatan kedua orang lelaki bertampang kasar itu.

"Coba kau lihat!" lanjut lelaki gagah itu sambil menggerakkan kepalanya ke arah dua orang perempuan yang wajahnya tampak basah oleh air mata. "Tidakkah kau merasakan bahwa hati mereka sesungguhnya menjerit pilu, mengharap belas kasihan dari kalian? Apa mata dan hati kalian telah buta?"

"Pandai sekali kau bicara! Hendak kulihat apakah kau pun memiliki kepandaian sehebat suaramu itu!" Begitu kata- katanya selesai diucapkan, lelaki bertampang kasar itu langsung melancarkan sebuah tamparan keras ke kepala si Lelaki Gagah.

Whuuut!

Tamparan itu luput, karena sasarannya telah lenyap dari hadapan. Lelaki bertampang kasar ini kebingungan mencari- cari sosok lawannya, yang tahu-tahu lenyap seperti setan. Tengah ia mencari-cari sosok lawannya, tiba-tiba dirasakan bahunya disentuh orang dari belakang. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja ia berbalik lalu melepaskan tamparan dan pukulan berturut-turut.

Plak! Plak!

Dengan sigapnya lelaki gagah, yang memang telah berada di belakang lawan, mengangkat lengannya dua kali menyambut serangan itu. Namun, dia kaget bukan main ketika merasakan lengannya bergetar, meskipun tangkisan itu telah membuat tubuh lawan terjajar beberapa langkah. Kenyataan itu sekaligus membuatnya sadar bahwa lawan yang dihadapi ternyata memiliki tenaga dalam sangat kuat.

Akan tetapi lelaki gagah itu tidak sempat berpikir terlalu lama, karena lawannya sudah menerjang dengan ganas. Bahkan kali ini dengan menggunakan senjata. Dari suara sambaran anginnya menunjukkan bahwa tenaga yang dikerahkan lawan benar-benar tidak bisa dipandang remeh. Bergegas lelaki gagah ini berlompatan menghindari sambaran senjata lawan. Kemudian, karena merasa terdesak, akhirnya ia menjebol dinding kayu dan terus berjumpalitan keluar.

"Jangan lari kau, Pengecut...!" seru laki kasar berkumis tebal, yang segera melesat mengejar lawannya ke luar kedai. Di belakang tampak kawannya pun menyusul.

"Aku, Kanuraga, pantang lari dari pertempuran!" sahut lelaki gagah yang sudah berdiri tegak menanti kedatangan lawannya di luar kedai. Di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang.

"Bagus!" ejek si Kumis Tebal yang mendarat ringan di hadapan Kanuraga. Lalu, memberikan isyarat kepada kawannya yang juga telah mendarat di sebelahnya, untuk segera mengepung lelaki gagah bernama Kanuraga. Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki kasar ini langsung saja menggempur Kanuraga dengan serangan-serangan yang kuat dan ganas.

Semakin kaget dan heran hati Kanuraga ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya ternyata sangat tangguh. Untuk menghadapi keroyokan mereka, Kanuraga dipaksa bekerja keras, dengan mengerahkan ilmu-ilmu andalannya. Namun, itu pun ternyata tidak terlalu banyak menolong. Sebab, kedua orang lawannya masih terus sanggup mematahkan setiap serangannya. Bahkan setelah mendesak selama lima jurus, Kanuraga terpaksa harus mengendurkan gempuran-gempurannya.

Karena jurus pertahanan kedua orang lawannya itu ternyata sangat tangguh dan sulit untuk ditembus dengan pedangnya. Kanuraga tentu saja tidak ingin kehabisan tenaga, hingga akhirnya dapat dirobohkan lawan dengan mudah. Dia segera mengubah cara bertempurnya. Sekarang tampak lebih banyak menggunakan kelincahannya untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu. Tubuhnya meloncat dan terus mengelak untuk kemudian mengirim serangan balasan dengan cepat dan tak terduga.

Setelah merubah cara bertempur, barulah Kanuraga menemukan kelemahan kedua orang lawannya. Kelincahan mereka ternyata tidak sehebat tenaganya. Menyadari kenyataan itu, Kanuraga terus saja menggunakan kelebihan itu. Dengan lesatan-lesatan tubuh yang bagi kedua lawannya terlihat sangat cepat dan membuat kepala mereka pening itu, Kanuraga terus melakukan desakan sehingga tampak dirinya mulai berada di atas angin. Kenyataan itu membuat dirinya semakin bersemangat.

Gempuran-gempuran yang dilancarkan semakin cepat dan gencar. Hal itu membuat kedua orang lawannya tak sanggup lagi untuk membangun serangan. Mereka dibuat sibuk untuk melindungi diri dari ancaman senjata Kanuraga, yang seolah datang dari setiap penjuru.

Bret! Bret!

Pada jurus yang keempat puluh tiga, pedang di tangan Kanuraga sempat merobek tubuh salah seorang lawannya. Terdengar suara jerit kematian yang melengking tinggi ke angkasa. Disusul dengan terlemparnya tubuh salah seorang lawan dari arena, disertai percikan darah. Dengan semangat yang semakin meluap, Kanuraga membentak keras. Tubuhnya melesat ke samping, menghindari tusukan pedang lawan, yang langsung dibalasnya dengan sebuah tebasan kilat

Crakhh!

Lawan terakhir Kanuraga meraung keras. Darah segar tertumpah membasahi tanah, sewaktu tubuh dengan luka menganga pada lambungnya itu terbanting roboh. Lelaki kasar berkumis lebat itu menggelepar bagai ayam disembelih. Lalu meregang dan tewas!

Kanuraga berdiri tegak memandang mayat dua orang lawannya. Meski terasa agak telah dan keringat masih membanjir membasahi wajah dan tubuh, hatinya merasa puas. Karena berhasil melenyapkan kedua orang itu.

Namun kelegaan yang baru beberapa saat dirasakannya itu, mendadak berubah menjadi tanda tanya besar. Sesaat Kanuraga tertegun dengan wajah penuh keheranan. Kanuraga menjadi tidak mengerti ketika ia memutar tubuh, dilihatnya kedai yang disinggahinya telah ditutup. Pemilik kedai itu tengah sibuk mengemasi semua barang-barang dan memasukkannya ke sebuah pedati, yang telah siap di samping kedai.

Kanuraga semakin tertegun di tempatnya, ketika menyadari bahwa kedai itu bukan cuma ditutup untuk sementara waktu saja, tapi untuk seterusnya. Ia baru menyadari hal itu ketika pedati mulai bergerak, membawa semua barang-barang dan juga pemiliknya sekeluarga, termasuk seorang pelayannya.

"Tertawalah sepuasmu, Pembawa Celaka!" damprat pemilik kedai sewaktu lewat di dekat Kanuraga, yang segera menyingkir memberi jalan. "Dan silakan kau tunggu datangnya malaikat maut yang akan segera mencabut nyawamu!"

Sumpah-serapah pemilik kedai itu membuat kening Kanuraga berkerut semakin dalam. Berbagai pertanyaan dan ketidak mengertian, membuat Kanuraga tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Terlebih ketika ia melihat betapa para penduduk yang tadi menonton perkelahian, tampak berlari tergesa-gesa menuju rumah masing-masing.

"Gila, ada apa ini sebenarnya...!?" desis Kanuraga yang akhirnya menjadi jengkel ketika menyadari bahwa para penduduk desa itu ternyata hendak pergi mengungsi. Mereka berbondong-bondong lewat di hadapannya sambil mendengus, menyumpah-nyumpah, mengutuk tindakannya. Sampai akhirnya Kanuraga tak bisa lagi menahan diri. Dengan wajah bengis, disambarnya salah seorang penduduk yang lewat.

"Jelaskan kepadaku, apa yang sudah terjadi di desa ini? Mengapa mendadak kalian semua hendak pergi mengungsi? Apa kematian dua orang bangsat itu penyebabnya?" Saking marahnya, Kanuraga menghardik sambil mencengkeram lengan orang itu kuat-kuat, hingga menjerit kesakitan. Sadar kalau cekatannya terlalu kuat, Kanuraga mengendurkannya sambil mendengus kasar.

"Aku... aku tidak tahu, Tuan.... Yang Jelas, dua orang yang Tuan bunuh itu sangat berbahaya dan jahat. Begitu... yang dikatakan kepala desa kami kepada semua penduduk..." jelas orang itu terbata-bata dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Ngeri hatinya menyaksikan wajah bengis Kanuraga.

Lagi-lagi Kanuraga mendengus. Dia tahu orang itu berkata jujur, maka dilepaskan cekatannya. Lalu didorongnya tubuh lelaki setengah tua itu hingga terjerunuk dan terguling ke tanah. Namun Kanuraga tidak peduli, karena saat itu perhatiannya sudah tercurah kepada seorang lelaki setengah baya, yang tengah melangkah tergesa-gesa mendatanginya.

"Biarkanlah mereka pergi mencari selamat, Tuan! Mereka tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa," ujar lelaki setengah baya itu ketika sudah berhadapan dengan Kanuraga.

"Kau siapakah, Orang Tua?" tegur Kanuraga yang sudah tak bisa bersikap ramah lagi. Ditatapnya sosok lelaki setengah baya itu dengan sorot mata tajam. "Dan apakah ucapanmu juga berarti sebuah tuduhan untuk diriku, menganggapku bersalah karena telah membunuh kedua orang bajingan pengganggu wanita itu?"

"Tindakan Tuan tentu saja sudah sangat benar," jawab lelaki setengah baya itu, setelah menggeleng perlahan. Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepanjangan, sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Tapi..., kalau saja Tuan tahu siapa sebenarnya kedua orang bajingan tengik itu, kurasa Tuan akan berpikir seribu kali sebelum bertindak..."

"Jelaskan maksudmu. Orang Tua? Atau jangan-jangan justru kaulah yang menjadi biang keladinya...!" geram Kanuraga yang jadi menaruh curiga ketika mendengar ucapan lelaki setengah baya, yang ternyata kepala desa itu. "Sebaiknya kau tidak berteka-teki kepadaku, Orang Tua!" lanjut Kanuraga sinis dan menyiratkan ancaman.

"Sebentar lagi, desa ini pasti akan dibumi hanguskan. Dan penyebabnya adalah kematian dua orang bajingan yang kau bunuh itu, Tuan," ujar lelaki setengah baya itu setelah menghela napas beberapa saat lamanya "Dan kalau kau ingin tahu, sesungguhnya mereka adalah anggota-anggota dari sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti oleh setiap tokoh persilatan di seluruh penjuru negeri, bahkan mungkin di seluruh daratan ini..."

Kanuraga tertegun beberapa saat ketika mendengar penjelasan lelaki setengah baya itu. Keningnya berkerut tajam, mengingat-ingat perkumpulan apa yang mempunyai pengaruh sedemikian besar, hingga para anggotanya begitu tangguh dan ditakuti. Bahkan mereka bebas melakukan apa saja tanpa ada yang berani mencegahnya.

"Orang Tua," ujar Kanuraga setelah terdiam beberapa saat lamanya. "Aku cukup banyak mengetahui perkumpulan- perkumpulan yang ada di kalangan persilatan. Dan, setahuku, perkumpulan seperti yang kau sebutkan itu, tidak atau belum pernah kudengar. Kecuali...,"

Kanuraga menghentikan ucapannya. Wajahnya tiba-tiba berubah tegang. Sorot matanya memancarkan keraguan dan kegelisahan. Lelaki setengah baya itu tidak menjawab dengan kata-kata. Dengan sebuah tarikan napas panjang dan berat, ia mengangguk perlahan. Senyum getir dan penuh sesal tampak menghias wajah pucatnya.

"Tidak mungkin!" Kanuraga membantah dengan suara keras. Kali ini ia terlihat benar-benar tegang dan gelisah. Bahkan wajah tegangnya sudah berubah pucat. Sepasang matanya bergerak-gerak liar, khawatir dengan apa yang ada dalam pikirannya. "Perkumpulan itu... perkumpulan itu telah lama lenyap, sudah belasan tahun! Dan..., aku... aku tidak pernah mendengarnya lagi...," desisnya dengan suara yang bergetar dan lemah.

"Itulah sebabnya mengapa selama ini kami tidak berani mencegah tindakan dua orang bajingan itu, Tuan," ujar Kepala Desa itu, memastikan dugaan Kanuraga itu. "Dan mulai sekarang, kuharap Tuan berhati-hati. Karena, dengan tewasnya dua orang bajingan itu, nyawa Tuan akan selalu dibayang-bayangi maut..."

Setelah berkata demikian, lelaki setengah baya itu memutar tubuhnya, meninggalkan Kanuraga yang terpaku dengan tubuh gemetar dan wajah pucat. Seperti orang yang kehilangan kesadarannya, Kanuraga masih terus berdiri mematung, sementara seluruh penduduk telah semakin jauh meninggalkannya.

Entah sudah terapa lama Kanuraga berdiri mematung di tempat itu, sampai akhirnya tersadar, dan mendapati dirinya terkurung dalam kesunyian dan keheningan. Helaan napasnya yang panjang dan berat terdengar saat Kanuraga mengedarkan pandangannya, mendapati jalan utama desa yang lengang. Rumah-rumah tampak sepi ditinggalkan penghuninya. Perlahan pemuda gagah itu mengangkat kedua tangan menghapus peluh yang membasahi sekujur wajahnya.

"Ya, Tuhan...," keluh Kanuraga perlahan dengan suara bergetar lirih. "Benarkah perkumpulan yang mengerikan dan sangat ditakuti itu kini telah muncul kembali..?"

Teringat akan hal itu, Kanuraga mengayun langkahnya perlahan, menghampiri mayat kedua lawannya yang masih tergeletak di depan kedai, ia pernah mendengar tentang ciri-ciri dari anggota perkumpulan yang pada belasan tahun lalu menjadi momok bagi kaum rimba persilatan. Maka, untuk memastikan bahwa keduanya memang anggota perkumpulan yang diduganya, Kanuraga mengoyak pakaian pada bagian dada salah satu mayat itu. Dan..., pucatlah wajah Kanuraga seketika!

Sebuah rajahan bergambar kepala tengkorak, terlihat nyata pada dada sebelah kiri mayat itu. Tangannya yang masih memegang mayat pakaian itu, disentakkan cepat-cepat. Seolah yang baru dipegangnya bukan lagi kain, melainkan bara api panas, membuat sekujur tubuhnya seketika menjadi gemetar dilanda rasa takut yang hebat! Peluh sebesar biji-biji kedelai, bersembulan membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya.

"Tengkorak Hitam...!" Suara Kanuraga terdengar kering, berupa bisikan lirih yang nyaris tak terdengar. Dadanya terasa bergelombang cepat, laksana ombak lautan. Deru napasnya demikian boros, mengalir cepat, dan sulit untuk dikuasainya. Bayangan kematian yang mengerikan, yang bakal didapatnya, menari-nari di depan mata.

Seperti disengat kalajengking, Kanuraga tersentak bangkit Sepasang matanya bergerak liar mengawasi sekitar. Dan, meskipun yang didapatinya cuma sebuah kesunyian yang mati, tapi, justru hal itu membuatnya semakin takut dan gelisah. Sedikit suara gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin, sudah cukup membuat Kanuraga terlompat sambil menghunus senjatanya.

Bayangan-bayangan maut kembali menari-nari di depan matanya. Gambaran-gambaran serta kabar tentang kebengisan dan keganasan Perkumpulan Tengkorak Hitam yang pernah didengar dari gurunya maupun dari tokoh-tokoh persilatan, membuat rasa takut yang melandanya semakin memuncak!

Dengan sepasang mata liar, dan wajah pucat, serta keringat yang bagai tak pernah henti mengalir, Kanuraga bergerak mundur. Pedangnya digenggam erat-erat, khawatir akan terlepas. Dengan langkah satu-satu, dan sepasang mata tak berhenti bergerak menyapu sekitar, Kanuraga terus mundur. Kemudian lari sekencang-kencangnya meninggalkan desa itu.

***
DUA
Kanuraga terus berlari bagaikan orang kesetanan. Ia sudah tidak peduli, berapa lama dan berapa jauh, waktu dan jarak yang telah ditempuhnya. Bayangan tentang keganasan, kebuasan, dan kekejaman Perkumpulan Tengkorak Hitam, tak pernah lekang dari benaknya. Semua itu sudah banyak didengarnya, baik dari orang-orang awam, maupun tokoh- tokoh tingkat tinggi dunia persilatan. Dari gurunya sendiri ia pernah mendengar penuturan tentang perkumpulan sesat itu. Bahkan dirinya dipesan agar jangan sekali-kali membuat masalah dengan orang-orang perkumpulan itu.

"Mereka mempunyai cara-cara tersendiri untuk membantai musuh atau orang-orang yang menentangnya. Cara-cara mereka sangat mengerikan. Itu sebabnya, mengapa perkumpulan itu sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang-orang awam. Bahkan tokoh-tokoh terkenal yang memiliki kepandaian tinggi pun lebih memilih untuk menghindar daripada harus berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam!"

Wejangan gurunya itu kembali terngiang di telinga Kanuraga. Kata-kata itulah yang dulu membuat hatinya sangat penasaran.

"Mengapa tidak ada orang yang berani menentang mereka, Guru? Sebagai orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, kita harus menentang dan menumpas mereka. Lalu, apa gunanya kita mempelajari ilmu silat kalau bukan untuk menentang kejahatan dan membela orang-orang lemah yang tertindas?"

Waktu itu Kanuraga tak dapat menahan rasa penasarannya. Semua itu langsung diutarakan kepada gurunya. Karena apa yang dikatakan gurunya itu sangat bertentangan dengan pelajaran-pelajaran tentang kependekaran dan kegagahan yang ia terima.

"Kanuraga." Gurunya menghela napas berat dan panjang, sewaktu Kanuraga membantahnya. "Kegagahan, kejujuran, keadilan, dan kebenaran memang menjadi pegangan utama bagi setiap tokoh golongan putih seperti kita. Tapi, kita adalah manusia biasa, yang tentu saja memiliki banyak kekurangan, Muridku! Kita mesti tahu kapan pegangan itu harus dilaksanakan, dan kapan bisa ditinggalkan! Perkumpulan Tengkorak Hitam sangatlah kuat. Mereka dikepalai tokoh-tokoh mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi iblis-iblis neraka! Menentang mereka, sama saja dengan orang gila yang membenturkan kepalanya ke batu cadas!"

"Jadi, Guru takut menghadapi mereka...?!" tanya Kanuraga yang masih belum bisa menerima ucapan gurunya. Hatinya penasaran dan tak bisa mengerti terhadap sikap sang Guru Padahal gurunya bukanlah tokoh sembarangan. Dalam kalangan persilatan, tokoh yang sejajar dengan gurunya dapat dihitung dengan jari! Tentu saja Kanuraga merasa penasaran bukan main, sewaktu merasakan adanya nada kegentaran serta kengerian dalam suara maupun sorot mata orang tua yang telah mendidiknya itu.

Pertanyaan Kanuraga lagi-lagi membuat gurunya menarik napas berat. Lalu, mengisahkan pengalamannya, yang pada belasan tahun silam bertekad untuk menumpas Perkumpulan Tengkorak Hitam. Bersama lima orang sahabatnya yang rata- rata berkepandaian tinggi, kakek itu mendatangi markas Perkumpulan Tengkorak Hitam dan mengajukan tantangan kepada tokoh-tokohnya.

"Kau tahu, apa yang selanjutnya kami alami, Muridku?" tanya kakek itu menghentikan ceritanya sejenak. Kanuraga menggeleng tanpa kata. "Kami semua dapat dirobohkan hanya dalam lima jurus! Bayangkan, lima jurus! Kami semua ditawan dan disiksa sampai setengah mati!" lanjut kakek itu dengan suara parau dan bergetar. Ingatan tentang kejadian itu, membuat hatinya terlihat agak guncang. Kakek itu menundukkan wajah dalam-dalam. Terdengar tarikan napasnya yang berusaha menenteramkan perasaannya. Sehingga, Kanuraga ikut terseret demi melihat kedukaan di wajah gurunya.

"Kelima orang sahabatku tewas setelah melalui berbagai siksaan yang sebelumnya tidak pernah terbayang dalam pikiranku!" Masih dengan suara bergetar dan parau, kakek itu melanjutkan ceritanya. "Tapi, rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku. Saat dalam keadaan antara sadar dan tidak, lapat-lapat aku mendengar adanya suara terompet dan tambur yang bersahutan, disusul dengan teriakan-teriakan dan beradunya senjata. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar, kudapati diriku berada di atas sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar yang bagus dan bersih. Kemudian kuketahui tempat itu milik sahabatku, yang menjabat sebagai panglima kerajaan. Darinya aku mendapat keterangan bahwa markas Perkumpulan Tengkorak Hitam telah dihancurkan oleh tentara kerajaan. Sayangnya cukup banyak yang berhasil menyelamatkan diri, termasuk tokoh-tokoh utamanya. Aku mengucap syukur, meskipun sadar bahwa suatu saat kelak mereka pasti akan muncul kembali..."

Kanuraga mengerutkan keningnya dengan wajah heran ketika gurunya menghentikan ceritanya. Orang tua itu lalu menyuruhnya mengambil sebuah peti kayu dari dalam gubuk. Meskipun tak mengerti, Kanuraga segera melaksanakan perintah gurunya. Lalu, diletakkannya peti kayu itu di hadapan sang Guru.

"Lihatlah, Kanuraga...!" ucap gurunya, memperlihatkan dua tulang belulang kaki manusia sebatas lutut. "Ini adalah kakiku. Kulit dan dagingnya hancur akibat direndam dalam timah panas! Ini baru salah satunya," jelas kakek itu. Kemudian ia membuka kulit binatang yang digunakan untuk menutup mata kanannya.

Kanuraga menahan pekiknya ketika melihat mata kanan gurunya, ternyata cuma berupa rongga hitam yang mengerikan

"Masih ada lagi, Kanuraga"

"Aaah...!" Kanuraga tak bisa lagi menahan jeritannya. Tubuhnya terasa lemas bagaikan tidak bertulang. Matanya terbelalak menatap sekujur tubuh gurunya, yang dipenuhi bekas-bekas luka yang mengerikan.

"Mereka merejam tubuhku dengan besi yang membara," jelas kakek itu sambil memandangi bekas luka yang tak pernah hilang, menampakkan bilur-bilur bertonjolan, dan bersilangan tak beraturan.

"Tabib-tabib istanalah yang telah merawat dan mengobati semua luka-lukaku. Mereka terpaksa memotong kedua kakiku yang separuhnya cuma tinggal tulang belulang saja. Setelah sembuh, aku pun berpamit kepada sahabatku. Memilih tempat terpencil ini untuk menjalani sisa-sisa hidupku. Nah, itulah sebabnya, mengapa aku menasihatimu agar berhati-hati dan jangan sampai berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam!"

Kanuraga terpaksa menghentikan larinya. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak dan panas. Sekujur wajah dan tubuhnya telah basah oleh peluh yang menganak- sungai. Pemuda gagah itu terduduk lemas dengan bertelekan kedua lututnya. Menyapu wajahnya dengan kedua tangan gemetar.

"Aku tidak sengaja melakukannya, Guru...," rintih Kanuraga sambil merebahkan tubuhnya, tengkurap di atas rerumputan. Kanuraga merasa lelah. Lelah lahir-batin. Sampai akhirnya, tanpa sadar ia pun tertidur.

***

Cahaya matahari pagi, yang menerobos dedaunan pohon, membangunkan Kanuraga dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa pegal dan nyeri sewaktu ia menggeliat hendak bangkit. Pakaiannya terkoyak di beberapa tempat, yang juga menampakkan luka di kulit dan dagingnya. Goresan-goresan ranting pohon sewaktu ia menerobos semak-belukar itu, membangkitkan kesadaran Kanuraga tentang apa yang telah di alaminya. Seketika itu juga, Kanuraga terlompat bangkit, tak peduli dengan rasa sakit pada sekujur tubuhnya Dengan senjata di tangan, Kanuraga mengawasi sekitar tempat itu.

"Aaah...!" Bagai tersengat kalajengking, Kanuraga melompat kebelakang. Wajahnya pucat pasi! Sepasang matanya terbelalak lebar, seperti hendak terlompat dari rongganya. Keringat dingin merembes keluar, membasahi selebar wajahnya. Ia berdiri gemetar, memandang tiga buah benda bulat di depannya. Benda itu adalah... tiga buah tengkorak kepala manusia berwarna hitam!

Tanpa pikir panjang lagi, Kanuraga langsung membalikkan tubuh, lari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu. Rasa lelah dan sakit pada sekujur tubuhnya tak lagi terasa. Yang ada dalam pikirannya adalah lari secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya dari tempat itu. Apalagi dari belakangnya lapat-lapat terdengar suara gelak tawa yang mendirikan bulu roma! Kanuraga semakin kalap dan mempercepat larinya. Tak peduli meski napasnya terasa hampir putus!

"Aaa...!" Kanuraga memekik kaget ketika kaki kanannya terasa menginjak benda lunak, yang membuat tubuhnya seketika tersentak, terbang meluncur di udara. Kejadian itu terlalu mendadak dan sama sekali tak terduga. Sehingga, Kanuraga tak sempat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dia terbanting jatuh ke dalam semak-semak di tepijalan.

"Kadal busuk! Sapi bunting! Monyet buta!" Makian itu meluncur dari mulut seorang kakek, yang seperti telah menghafalnya dengan baik. Seraya bergegas bangkit sambil mengebut-ngebutkan pakaiannya yang disertai serangkaian sumpah-serapahnya bagai tak berkesudahan. Sejenak sepasang matanya menyapu ke sekitar itu. Laki diayunkan langkahnya mendatangi Kanuraga, yang saat itu baru saja ke luar dari dalam semak-semak.

Melihat ada seorang kakek cebol melangkah ke arahnya, Kanuraga langsung saja menghunus senjata. Dan, dengan menggertakkan giginya, dia bergerak maju menyambut kedatangan kakek cebol itu.

"Hm..., rupanya tua bangka cebol inilah yang menakut- nakuti aku! Awas, akan kuhajar dia sampai menyembah- nyembah minta ampun...!" geram Kanuraga dalam hati sambil terus melangkah maju.

"Jadi kau yang tadi menginjakku, ya? Apa matamu sudah buta, tidak melihat ada orang sedang tidur? Atau kau memang sengaja ingin membunuhku?" Tanpa menghentikan langkahnya, kakek cebol itu memaki sambil menunjuk-nunjuk wajah Kanuraga dengan ujung tongkatnya, yang diangkat tinggi-tinggi. Sebab, tubuh kakek ini cuma setinggi pinggang Kanuraga.

"Hmh, kau tidak perlu bersandiwara lagi, Tua Bangka Cebol!" dengus Kanuraga setelah menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak dari kakek cebol yang masih saja bergerak mendekatinya. "Kalau saja aku tahu bahwa cuma tua bangka sepertimu yang mereka utus untuk menyiksa dan membunuhku, tentu aku tidak perlu lari-lari seperti kemarin!"

"Kadal busuk! Kurang ajar kau, Muda Bangka! Sudah menginjak tubuh orang seenak perut, eh, malah menuduhku yang bukan-bukan! Kau memang perlu diberi pelajaran!"

Bukkk!

Kanuraga menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental akibat hantaman tongkat kakek cebol itu, yang tahu-tahu saja sudah mendarat di tubuhnya. Kaget bukan kepalang hati Kanuraga karena tidak melihat kapan kakek cebol itu menggerakkan tongkatnya. Selain itu, jarak mereka pun masih terpisah satu tombak. Benar-benar tidak bisa ia mengerti, bagaimana kakek cebol itu dapat memukulnya.

"Perkumpulan Tengkorak Hitam dikepalai tokoh-tokoh mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi iblis-iblis neraka!"

Perkataan gurunya kembali terngiang di telinga Kanuraga, membuat wajahnya pucat pasi! Gambaran-gambaran kekejaman serta keganasan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam, kembali bermain-main di benaknya. Sehingga, keberanian yang baru diperolehnya lenyap, berganti dengan rasa takut yang hebat. Terlebih ketika teringat perbuatan kakek cebol itu, yang entah dengan cara bagaimana telah memukul tubuhnya

"Ilmu setan...!" desis Kanuraga dengan suara bergetar perlahan.

"Apa?!" Kakek cebol itu melotot marah. "Kau bilang aku setan? Dasar anak ingusan kurang ajar! Rupanya kau masih juga belum kapok, hah?"

Bukkk!

Lagi-lagi tubuh Kanuraga terpelanting, kena hantaman tongkat kakek cebol itu. Kali ini bahkan jauh lebih keras, membuat Kanuraga merasa pinggangnya bagaikan patah! Sambil merintih kesakitan ia menggeliat bangkit dan memijat-mijat pinggangnya yang terasa panas dan sakit bukan main.

"Heh heh heh...! Itu baru permulaan, Muda Bangka!" Kakek cebol itu terkekeh memperlihatkan mulutnya yang sudah tak bergigi. Lalu, kembali mengayun langkah menghampiri Kanuraga sambil memanggul tongkatnya di atas bahu.

Kali ini Kanuraga benar-benar takut bukan kepalang. Dan, puncak dari rasa takut itu membuat dirinya bertindak nekat. Karena ia sadar, melawan atau tidak, pada akhirnya kakek cebol itu pasti akan membunuhnya juga. Dan, daripada mati setelah mengalami siksaan-siksaan yang mengerikan, Kanuraga memilih mati dalam bertarung semampunya.

"Majulah kau, Iblis Tengkorak Hitam! Tongkat bututmu itu tidak akan bisa membunuhku sampai kapan pun! Justru tubuhmulah yang akan kucincang sampai hancur dengan pedangku ini!" Kanuraga berteriak-teriak keras seperti orang gila. Ia sengaja memancing agar kakek cebol itu marah dan langsung membunuhnya dengan sekali pukul.

"Sapi bunting! Kadal tengik! Kau benar-benar gendeng, Bocah! Tadi kau maki aku sebagai setan, lalu sekarang tengkorak! Dan entah makian apa lagi di kepalamu yang kudisan itu? Tapi, jangan harap aku akan membunuhmu! Aku akan menyiksamu sampai kau menjerit-jerit minta ampun! He he heh... ya, aku, Iblis Tengkorak Hitam akan memberimu pelajaran, agar lain kali lebih bisa menghargai dan tahu bagaimana harus bersikap terhadap orang tua!"

Berdebar dada Kanuraga demi mendengar ucapan kakek cebol itu. Diam-diam ia mengeluh, karena tantangannya tadi ternyata tidak berhasil memancing kemarahan kakek cebol itu, yang malah sepertinya telah dapat mengetahui jalan pikirannya.

"Iblisss...! Haaat..!" Deraan rasa ngeri membuat Kanuraga putus asa dan nekat. Maka, diterjangnya kakek cebol itu dengan pedang di tangannya. Karena, ia tidak bisa berpikir lagi untuk memilih jurus-jurus andalannya. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah menerjang dengan membabi buta dan ganas agar kakek cebol itu lupa diri, lalu memukulnya hingga tewas.

Plak! Plak! Dug!

Namun, sambil terkekeh memperlihatkan mulutnya yang tanpa gigi, si Kakek Cebol menggerakkan tongkat secara sembarangan. Meskipun demikian, serangan pedang Kanuraga dapat dipatahkannya dengan baik. Bahkan sempat pula menghadiahi satu hantaman keras di pangkal lengan kanan Kanuraga, membuat pedang di tangan lelaki gagah itu terpental lepas dari genggaman. Sedang tubuh Kanuraga sendiri terlempar, lalu jatuh terguling-guling sejauh dua tombak lebih.

Kanuraga menyeringai menahan sakit. Hantaman tongkat kakek cebol itu telah membuat lengan kanannya lumpuh tak bisa digerakkan lagi. Bergegas ia merangkak bangkit. Sepasang matanya mendadak meliar ketika ia melihat kakek cebol itu masih tertawa-tawa dengan kepala menengadah. Jarak di antara mereka cukup jauh, kurang lebih tiga tombak. Maka, tanpa pikir panjang, Kanuraga langsung memutar tubuhnya, lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.

"Heh heh heh.... Husya... husya...! Pegang! Pegang!" Kakek cebol itu tidak berusaha mengejar. Bahkan tertawa dan berteriak-teriak menakut-nakuti Kanuraga, yang lintang-pukang tanpa memikirkan arah.

***

Kanuraga menghempaskan tubuh lelahnya ke tanah, bersandar pada sebuah batu besar di kaki sebuah bukit. Hal itu dilakukannya setelah berlari cukup jauh, dan merasa yakin kalau kakek cebol tidak mengejarnya. Di depan dan kiri- kanannya terhampar padang rumput yang cukup luas. Dan, sejauh mata memandang tak tampak sepotong pun manusia. Kenyataan itu membuat hatinya sedikit lega. Dipejamkan matanya sesaat disertai tarikan napas panjang guna memperlambat detak jantungnya.

"Tidak ada jalan lain. Aku harus meminta pertolongan dari sahabat-sahabatku. Mudah-mudahan mereka bersedia membantuku...," desah Kanuraga yang merasa putus asa dan tak tahu lagi harus bagaimana untuk menghindari orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Semula terlintas juga pikiran untuk menemui sang Guru guna menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu. Namun niat itu terpaksa diurungkan, mengingat keadaan gurunya yang selain cacat, juga sudah terlalu tua. Tidak! Bantah Kanuraga. Ia tidak akan melibatkan gurunya dalam masalah ini. Gurunya sudah cukup menderita akibat perlakuan-perlakuan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Kanuraga tidak ingin keadaan gurunya menjadi lebih parah lagi. Apalagi dirinya saat itu selalu dihantui rasa takut terhadap tokoh-tokoh perkumpulan itu.

Baru kakek cebol itu saja, ia sudah dibuat tidak berdaya. Padahal menurut pikirannya, kakek cebol itu pasti tidak sendirian. Kanuraga yakin akan hal itu. Karena suara gelak tawa yang lapat-lapat didengarnya, sewaktu melarikan diri dari tiga buah tengkorak kepala manusia yang merupakan peringatan pertama untuknya tadi, paling sedikit keluar dari mulut tiga orang. Dan, ia yakin pendengarannya masih cukup baik. Tiba-tiba perutnya berkeruyuk keras, dan terasa sakit seperti diremas-remas. Karena sejak kemarin pagi ia memang belum makan apa-apa.

"Dasar perut tidak tahu diri!" Kanuraga memaki jengkel sambil menekan perutnya Tapi, rasa lapar itu justru semakin kuat, membuatnya merasa tersiksa. Kanuraga kembali mengutuk. Lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya. "Nah, kau makanlah batu ini!" desisnya sambil menyelipkan batu itu ke dalam lipatan sabuknya di bagian depan. Rasa lapar itu baru agak sedikit berkurang setelah perutnya diganjal dengan batu.

Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit sambil tetap mengawasi sekitar untuk mengenali daerah itu. Lalu memutar tubuh memperhatikan bukit yang berdiri menjulang di belakangnya. Diamatinya bukit itu sampai beberapa saat lamanya

"Ha..., kalau tidak salah, ini Bukit Tinjil...," gumam Kanuraga, yang kemudian kembali memutar tubuhnya, melemparkan pandangan ke arah selatan. "Seingatku ada beberapa orang sahabatku yang tinggalnya tak jauh dari bukit ini," lanjutnya sambil mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali.

Setelah memastikan arah yang bakal ditempuh, Kanuraga memperhatikan sekelilingnya sejenak dengan wajah cemas. Rasa lega membayang di wajahnya ketika tak terlihat adanya tanda-tanda yang mencurigakan. Sesaat kemudian, Kanuraga melesat meninggalkan tempat itu. Dia berlari dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Sepanjang perjalanan, berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau para tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam akan membayanginya.

Agak heran juga Kanuraga ketika tidak ada perasaan takut dan was-was yang mengganggunya saat itu. Padahal perasaan itu terus menghantuinya sejak ia meninggalkan mayat dua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang dibunuhnya kemarin.

"Mungkinkah mereka telah kehilangan jejakku? Mengapa sekarang aku tidak merasakan keberadaan mereka?"

Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di hatinya sambil terus berlari. Kanuraga semakin jauh meninggalkan Bukit Tinjil, yang masih tetap berdiri diam tak peduli dengan apa yang dialami anak manusia itu.

***
TIGA
Kanuraga berdiri termangu di depan sebuah bangunan besar dan kokoh, yang dikelilingi tembok batu setinggi satu tombak. Hatinya merasa ragu untuk memasuki bangunan itu. Meskipun dia tahu pasti rumah besar itu dihuni sepasang suami istri yang merupakan sahabat-sahabatnya. Keraguan terus menggayut di hatinya, karena beberapa tempat yang didatangi semua menolak kehadirannya. Jangankan untuk minta pertolongan, melihat kedatangannya saja sudah membuat sahabat-sahabatnya itu hampir mati ketakutan.

Bahkan mereka langsung berkemas untuk meninggalkan rumahnya. Sedang yang memiliki perguruan, langsung membubarkan murid-murid, menutup rumah perguruannya, lalu pergi mengungsi. Sikap sahabat-sahabatnya itu, membuat Kanuraga sangat terpukul. Dirinya sekarang merasa tak ubahnya dengan wabah penyakit, yang membuat semua sahabat menjauhinya, takut tertular. Itulah sebabnya, mengapa kali ini Kanuraga merasa ragu untuk masuk menemui suami istri sahabatnya itu. Padahal ini merupakan tempat terakhir yang , didatanginya di daerah itu.

"Haruskah aku mengusik ketenangan dan kebahagiaan mereka..?" gumam Kanuraga sambil menghela napas berat, seolah hendak membuang semua tekanan yang menghimpit batinnya. Mata sayunya memandangi pintu gerbang yang masih tertutup rapat itu. Cukup lama ia berdiri seperti patung. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Sampai akhirnya ia mengambil sebuah keputusan.

Dengan langkah gontai, Kanuraga menghampiri pintu gerbang. Setelah berdiri termangu beberapa saat dia mengetuk pintu itu. Berkali-kali diketuknya, lalu berdiri menunggu. Setelah cukup lama menunggu tapi tak juga ada tanda-tanda pintu gerbang itu akan dibuka, Kanuraga kembali mengetuk.

Kali ini jauh lebih keras, membuat pintu gerbang itu bergoyang dan berderit terbuka. Rupanya pintu itu memang tidak terkunci. Kendati agak ragu, didorongnya pintu itu perlahan. Namun baru saja terbuka separuh, sesosok tubuh melayang dari atas, menuju ke arahnya. Secepat kilat Kanuraga menghantamkan telapak tangannya ke sosok tubuhitu.

Dieg!

Sosok tubuh itu terpental deras akibat pukulan telak Kanuraga. Namun bukan main kaget hati lelaki gagah itu ketika orang yang dipukul itu kembali melayang ke arahnya, padahal belum sampai jatuh te tanah. Bergegas Kanuraga menarik mundur tubuh ke belakang dengan tangan sudah dikepal kuat-kuat, siap melancarkan pukulan maut.

"Eh?!" Kanuraga tersentak kaget. Wajahnya tampak tegang dengan kening berkerut. Sesuatu yang hangat dan basah terasa di telapak tangannya sewaktu ia mengepal Dan..., betapa terkejutnya Kanuraga ketika ia membuka telapak tangan, tampak cairan merah di selebar telapak tangannya. Darah!

Masih dengan kepala dipenuhi berbagai pertanyaan, Kanuraga menoleh ke arah tubuh yang tengah melayang itu. Dan, baru ia sadar ketika sosok tubuh itu terayun-ayun dengan seutas tali yang melibat lehernya, dan diikatkan ke kayu palang di atas pintu gerbang. Kanuraga menahan tubuh itu hingga terhenti.

"Orang ini belum lama tewas. Entah siapa yang telah sedemikian kejam menggantung mayatnya seperti ini?" gumam Kanuraga ketika melihat adanya tetesan darah berjatuhan ke tanah mengalir dari luka tusukan senjata tajam di dada orang itu.

Dari luka itulah darah di telapak tangan Kanuraga berasal. Dan, Kanuraga baru dapat mengira-ngira bahwa mayat itu sengaja digunakan untuk menyambut kedatangannya. Pemuda itu mengetahuinya setelah memeriksa tali pengikat leher mayat yang dihubungkan ke pintu gerbang. Mayat itu akan jatuh dan menimpa siapa saja yang hendak masuk lewat pintu gerbang.

"Mungkinkah mereka yang melakukannya...?" Kanuraga teringat akan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Dugaan itu membuat wajahnya memucat. Dia cepat bergerak masuk karena teringat akan suami-istri sahabatnya. Hatinya semakin gelisah ketika di pekarangan sebelah dalam bangunan itu, didapatinya enam sosok lainnya bergeletakan telah menjadi mayat!

"Prajayasa...!" sambil berteriak-teriak memanggil nama sahabatnya, Kanuraga melompat masuk ke dalam bangunan. Langkahnya mendadak terhenti di sebuah ruangan. Sepasang matanya terbelalak lebar, menyaksikan pemandangan yang membuat ia terpaku dengan tubuh gemetar.

"Ya, Tuhan...!" Dengan langkah berat dan gontai, Kanuraga menghampiri dua sosok mayat yang terkapar di lantai, bersimbah darah yang masih basah.

"Akukah yang menjadi penyebab semua ini...?" desis Kanuraga sambil bersimpuh memeriksa mayat Prajayasa dan istrinya. Sepasang suami-istri itu tewas dengan kepala pecah. Kanuraga menarik napas panjang dengan kedua mata terpejam. Kepalanya menggeleng perlahan seperti hendak membantah dugaannya sendiri. Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit dengan sekujur tubuh terasa lemas. Ketika berdiri, pandangannya membentur coretan-coretan di dinding yang ditulis dengan darah.

"Malaikat maut akan selalu membayangimu!Kau akan segera menyusul mereka!"

Di bagian bawah dua baris kalimat itu tertera lambang Perkumpulan Tengkorak Hitam. Keringat dingin kembali membanjir keluar, membasahi wajah dan tubuh Kanuraga. Terdengar keluhan penyesalannya, karena merasa dialah yang menyebabkan kematian sepasang suami-istri sahabatnya.

"Mengapa tidak aku saja yang kalian bunuuuh...! Hei, Iblis-Iblis Tengkorak Hitam! Tangkaplah aku, mereka tidak tahu apa-apa! Akulah musuh kalian! Hayo, tunjukkanlah wajah-wajah iblis kalian...!"

Kanuraga berteriak-teriak kesetanan, seperti orang gila. Menantang, memaki, dan menyumpah-nyumpah dengan suara yang semakin parau, karena teriakan itu dikeluarkan dengan sekuat tenaga. Sampai akhirnya ia terduduk lemas, lalu menangis tanpa suara ataupun air mata. Dengan kedua telapak tangan dia mengusap wajah sambil menyibakkan rambutnya yang panjang. Tubuhnya berguncang-guncang menahan luapan berbagai perasaan yang menyiksa. Marah, sedih, dendam, ngeri, dan juga rasa takut yang tak terkira.

"Hm...!"

Bagai mendengar ledakan halilintar, Kanuraga terjingkat kaget, sampai terpelanting jatuh! Matanya membelalak lebar, memandang tiga sosok tubuh yang tahu-tahu telah berada di ruangan itu.

"Siapa kalian...? Apa yang kalian cari di tempat ini..?" Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut Kanuraga. Kemunculan ketiga sosok tubuh yang begitu tiba- tiba, tanpa diketahui kapan dan dari mana datangnya itu, membuatnya gugup. Otaknya serasa beku dan tidak bisa diajak berpikir.

"Bukankah kau yang menyuruh kami datang?" Salah satu dari ketiga sosok tubuh itu menyahuti sambil menatap Kanuraga dengan sorot mata bengis. Suaranya berat dan dalam, bergema memenuhi ruangan itu

"Kalian... kalian...!"

"Benar!" Sosok kedua langsung memotong. Suaranya tidak berbeda dengan yang pertama. Sorot matanya yang dingin, membuat tubuh Kanuraga seketika menggigil.

"Rupanya kau sudah tidak sabar untuk menerima ganjaran atas perbuatanmu yang telah menewaskan dua orang anggota kami itu!" Sosok ketiga menimpali. Suaranya tenang dan datar, tanpa tekanan sama sekali. Bibirnya menyunggingkan senyuman yang aneh.

Namun, justru sikap sosok ketiga itulah yang membuat Kanuraga merasa ngeri. Karena, semakin tenang dan dingin sikap yang ditunjukkan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam, semakin ganas dan kejam tindakannya. Itu merupakan ciri mereka, yang didengar Kanuraga dari gurunya

"Haaa..!"

Cengkaraman rasa ngeri dan takut yang kian memuncak, membuat Kanuraga menjadi kalap. Bagai orang gila, diterjangnya ketiga sosok tubuh itu dengan nekat. Pedang di tangannya berkelebatan ke sana kemari tak beraturan. Pengaruh menggiriskan yang ditimbulkan ketiga sosok itu, membuat Kanuraga tidak bisa berpikir dengan baik. Sehingga meskipun ia menyerang dengan sekuat tenaga, gerakannya sangat kacau dan tak tentu arah.

Wrettt! Blukkk!

Dengan kecepatan luar biasa sosok ketiga bergerak menyelinap di antara kelebatan pedang Kanuraga. Lalu mengirimkan sebuah hantaman telak, yang membuat Kanuraga terlempar deras membentur dinding tembok di belakangnya. Meskipun dadanya dirasakan sesak dan tulang-tulang tubuhnya seperti remuk, Kanuraga berusaha bangkit. Akan tetapi sebelum ia sempat berdiri tegak, tahu-tahu saja jemari tangan lawan telah mencengkeram kedua pergelangan kakinya. Kanuraga berteriak-teriak sewaktu merasa tubuhnya terangkat dan diputar seperti baling-baling. Lalu terhempas kembali ke dinding

Kanuraga mengerang dengan menyeringai menahan sakit. Pandangannya terasa berputar sewaktu ia mencoba untuk bangkit dan berdiri. Digelengkan kepalanya beberapa kali guna memperbaiki pandangannya. Samar-samar, dilihatnya ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam telah berdiri berjajar di hadapannya

"Terimalah ganjaran pertama kami...!"

Belum lagi gema suara tenang dan datar itu lenyap, Kanuraga merasa sekujur tubuhnya mendadak lemas. Totokan kilat yang dilancarkan tokoh ketiga itu, membuat tubuhnya melorot ke lantai.

Kanuraga menjerit ketika jari-jari tangan sekuat japitan baja itu mencengkram pergelangan kakinya. Lalu, dengan menggunakan jari-jari tangan kanannya, lelaki berwajah dingin itu mencabut kuku-kuku jari kaki kanan Kanuraga. Karuan saja pemuda gagah itu meraung dan melolong setinggi langit. Air matanya mengucur deras merasakan penderitaan yang seumur hidup tidak pernah terbayangkan itu.

Setelah melepaskan totokannya, tokoh ketiga itu bergegas bangkit. Terdengar tawa iblis mereka, yang tampaknya sangat puas melihat tubuh Kanuraga bergulingan dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Darah segar mengalir dari jari-jari kaki kanannya.

Tiba-tiba ketiga tokoh iblis itu menghentikan gelak tawanya. Mereka bertukar pandang sesaat, lalu serentak berpaling ke arah pintu. Telinga mereka mendadak menangkap adanya suara langkah kaki mendatangi ruangan itu.

Tidak lama kemudian, yang dinanti pun datang. Seorang pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau menyeruak masuk ke ruangan itu. Sepasang orang muda itu tampak terkejut demi menyaksikan pemandangan di hadapannya. Mereka menyapu sekeliling ruangan sampai akhirnya terhenti ketika membentur tiga sosok tubuh yang berdiri tegak dengan wajah bengis dan sorot mata dingin.

"Pergilah, jangan campuri urusan kami...!" Salah satu dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam memperingatkan.

Sejenak pasangan muda itu tampak meragu. Keduanya bertukar pandang sebentar, lalu kembali berpaling menatap wajah-wajah bengis itu

"Kami datang karena mendengar suara jeritan orang yang kesakitan." Pemuda tampan berjubah putih berkata sambil memandang Kanuraga, yang tengah duduk bersandar pada dinding sambil memijat-mijat kaki kanannya. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Dan mengapa kalian sampai berlaku sedemikian kejam membunuhi penghuni ruangan ini? Kesalahan apa yang telah mereka perbuat?"

"Anak Muda," ujar tokoh kedua. Suaranya dalam dan berat. "Apakah kau masih sayang dengan nyawamu, juga bidadari jelitamu itu?"

"Bagaimana dengan kalian...?" Pemuda tampan berjubah putih itu balik bertanya, karena merasa pertanyaannya sendiri tidak mereka pedulikan. Selain itu, tampaknya dia sudah dapat membaca gelagat. Dia merasa yakin bahwa ketiga lelaki, yang usianya ditaksir rata-rata empat puluh tahunan itu, bukanlah orang baik-baik. Maka pemuda berambut panjang yang ternyata Panji itu tak segan-segan untuk mengambil sikap.

"Kau mencari penyakit, Anak Muda!" tukas tokoh ketiga datar sambil mengayun langkahnya menghampiri Panji. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung melayangkan sebuah tamparan ke mulut Panji.

Plak!

Tokoh ketiga itu tak bisa menyembunyikan kekagetannya, sewaktu tangkisan Panji membuatnya terjajar tiga langkah! Kenyataan itu membuat wajahnya tampak memerah. Sorot matanya yang dingin berubah berkilat, menandakan kalau kemarahannya mulai terbangkit. Lalu, dengan sebuah bentakan keras, tubuhnya kembali melesat dengan serangan-serangan yang ganas dan mematikan!

Namun, serangan itu sama sekali tidak membawa hasil. Panji yang menggunakan kelincahan tubuhnya, selalu dapat menghindar dan mematahkan dengan tangisan. Bahkan setelah lewat dari lima jurus, Panji mulai melepaskan serangan-serangan balasannya.

"Hei...!?" Lelaki berwajah dingin itu terpekik ketika merasakan sambaran angin dingin yang sangat kuat mengiringi serangan balasan Panji. Cepat ia melompat mundur dengan wajah berubah tegang.

"Anak Muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanyanya sambil meneliti sosok Panji.

"Benar," jawab Panji singkat dan tanpa tekanan.

"Hm..., kau telah melibatkan dirimu dalam sebuah persoalan besar, Pendekar Naga Putih!" Lelaki berwajah dingin itu mendengus. Lalu memberikan isyarat dengan gerakan tangan kepada kedua kawannya, yang langsung saja berlompatan maju. Melihat ketiga orang berpakaian serba hitam itu bermaksud mengeroyok Panji, Kenanga langsung melompat maju dan berdiri di samping kekasihnya

"Hm...!" Lagi-lagi si Lelaki berwajah dingin mendengus. Tampaknya ia agak ragu ketika melihat Kenanga ikut maju. Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, seolah hendak minta pendapat masing-masing.

"Kami akan memberi waktu kepadamu untuk berpikir, Pendekar Naga Putih. Satu hal yang perlu kau ingat, bahwa mulai saat ini kau telah berurusan dengan orang-orang Tengkorak Hitam!" Setelah berkata demikian, lelaki berwajah dingin itu berkelebat pergi diikuti kedua lawannya.

"Hei, tunggu...!" Panji melompat untuk mencegah kepergian ketiga orang itu. Namun terpaksa dibatalkan niatnya dan kembali melompat mundur. Sebab, salah seorang dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu telah melemparkan sebuah benda yang menimbulkan gumpalan asap tebal berwarna putih. Dan, ketika gumpalan asap putih itu pudar, ketiga orang itu telah lenyap dari situ.

"Perkumpulan Tengkorak Hitam...?!"

Pendekar Naga Putih termenung sambil bergumam mengulang nama perkumpulan sesat itu. Lalu, menoleh kepada Kenanga, karena ia belum pemah mendengar tentang nama perkumpulan itu. Namun Kenanga cuma mengangkat bahu.

"Eh, ke mana perginya lelaki yang tadi bersandar di dinding itu...?" Ketika pandangannya membentur dinding di depannya, Kenanga baru teringat dengan pemuda yang tadi dilihatnya duduk bersandar di dinding

"Hm..., mungkin ia telah pergi sewaktu aku berkelahi...," duga Panji yang jadi tak begitu peduli dengan Kanuraga, karena tadi masih sibuk memikirkan Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Dugaan Panji memang tidak keliru. Ketika melihat perhatian ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam terpusat kepada pasangan muda yang menerobos masuk ke dalam ruangan itu, Kanuraga menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit. Dan, sewaktu pertarungan antara Panji dengan salah seorang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam berlangsung, Kanuraga bergegas menyelinap keluar dari ruangan itu. Tak seorang pun yang menyadarinya. Karena saat itu perhatian Kenanga maupun dua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam lainnya tengah terpusat ke arena perkelahian.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Kenanga, menyadarkan Panji dari lamunannya.

Setelah terdiam sesaat, Panji mengajak Kenanga untuk segera mengurus mayat-mayat yang berada di tempat itu. Kemudian mengutarakan keinginannya untuk menyelidiki Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga sama menahan langkah ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri menghadang perjalanan mereka. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah hutan. Merasa curiga melihat sikap sosok tubuh yang berdiri membelakangi mereka itu, keduanya menjadi waspada. Lalu, dengan langkah perlahan keduanya bergerak maju.

"Kalau kalian bermaksud untuk menyelidiki Perkumpulan Tengkorak Hitam, sebaiknya batalkan saja niat itu!" Terdengar suara bernada aneh dan sengau. Panji dan Kenanga sama-sama menunda langkah, lalu saling bertukar pandang sejenak. Mata keduanya terus menatap sosok tubuh yang membelakangi mereka.

"Mengapa?" tanya Panji penasaran.

"Jangan banyak tanya! Turuti saja perintahku! Atau kalian akan menyesal seumur hidup!"

Kali ini sosok berperawakan tinggi besar, yang menggenggam sebuah tombak bulan sabit itu terdengar aneh dan sengau. Rupanya orang itu mengenakan sebuah topeng berwarna merah darah. Topeng itu mengingatkan Panji akan cerita-cerita rakyat tentang wajah-wajah raksasa, bengis dan menyeramkan.

"Jika kami menolak..."

Baru saja ucapan Panji selesai, tahu-tahu sosok tubuh yang mengenakan topeng raksasa itu menerjangnya dengan cepat dan ganas.

Whuuuk!

Panji menggeser langkahnya dan membungkuk menghindari sambaran tongkat bulan sabit itu. Terus berlompatan ke belakang karena serangan itu masih terus berkelanjutan. Agak kewalahan juga Panji menghindari serangan cepat dan ganas itu. Sepertinya tidak memberikan kesempatan baginya untuk membalas.

Bug!

Pada jurus ketiga, ketika baru saja Panji melompat ke samping menghindari tusukan tombak bulan sabit itu, sebuah tendangan kilat singgah di punggungnya. Tubuh Panji terlempar jatuh bergulingan di tanah berumput.

"Haiiit !"

Ketika lelaki bertopeng raksasa itu hendak menyusuli serangannya, Kenanga membentak keras sambil melompat dan membabatkan pedangnya. Lelaki itu bergegas mengangkat tombak bulan sabitnya, menapaki sambaran pedang Kenanga.

Trang!

Kaget bukan kepalang hati Kenanga ketika tangkisan itu membuat tubuhnya terpental balik. Jemari tangannya terasa sakit bukan main, seperti patah dan nyaris tak kuat mempertahankan pedangnya. Lelaki bertopeng raksasa tampak ragu untuk melanjutkan serangannya, la berdiri termangu dengan kepala terangguk-angguk.

"Ini sebagai peringatan pertama!" desisnya sebelum berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Sebentar saja sosoknya telah lenyap ditelan kelebatan pohon.

Tak berapa lama setelah kepergian lelaki bertopeng raksasa itu, Panji dan Kenanga mendengar suara orang bernyanyi yang diselingi ketukan di tanah. Sejenak keduanya saling berpandangan.

***
EMPAT
"Kakek Peramal Sinting...!?"

Panji dan Kenanga sama mengucapkan nama julukan itu. Meskipun saat itu keduanya belum melihat, tapi dari suara dan ketukan pada tanah, mereka sudah dapat menebak, siapa adanya orang itu.

"Kakek Peramal Sinting-kah yang menyebabkan orang itu pergi...?" gumam Panji teringat akan tokoh bertopeng raksasa yang tiba-tiba saja memutuskan untuk pergi.

"Rasanya memang demikian, Kakang," sahut Kenanga yang mempunyai pikiran serupa dengan kekasihnya.

Pikiran Panji dan Kenanga memang tidak meleset. Tak berapa lama kemudian, muncullah seorang kakek cebol menghampiri mereka sambil terkekeh-kekeh, memperlihatkan giginya yang nyaris tak bergigi lagi. Melihat kakek cebol itu, Panji dan Kenanga bergegas menyambutnya.

"Hm..., rasanya aku seperti mencium adanya bau salah satu tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam? Benarkah ia baru saja berlalu dari sini? Apakah kalian bentrok dengan perkumpulan itu? Bagaimana hal itu sampai bisa terjadi?"

Panji dan Kenanga tak bisa menahan senyumnya ketika mendengar serentetan pertanyaan Kakek Peramal Sinting. Secara singkat, Panji menjelaskan pengalamannya, juga niatnya untuk menyelidiki perkumpulan sesat itu, sampai berjumpa dengan seorang lelaki bertopeng merah dan memperingatkannya dengan keras.

"Mungkin karena mendengar nyanyian Kakek, maka ia buru-buru pergi meninggalkan kami. Tampaknya lelaki bertopeng raksasa itu merasa gentar terhadap Kakek," ujar Panji mengakhiri ceritanya.

"Bukan... bukan. Kalian salah menduga kalau begitu." Kakek Peramal Sinting menggoyang-goyangkan telapak tangannya sambil menggelengkan kepala. "Dugaanmu menunjukkan bahwa kalian sama sekali belum mengenal apa itu Perkumpulan Tengkorak Hitam dan bagaimana sifat yang dimiliki tokoh-tokohnya!"

Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah heran. Karena mereka merasakan adanya nada segan dalam kata-kata Kakek Peramal Sinting. Seolah kakek itu merasa gentar terhadap Perkumpulan Tengkorak Hitam.

"Kelihatannya Kakek merasa segan berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam itu, benarkah dugaan kami?!" Kenanga tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Haihhh... kalian tidak tahu... kalian tidak tahu...!" Kakek Peramal Sinting mengibaskan tangannya disertai helaan napas berat. Lalu melangkah dan menghempaskan pantatnya, duduk di atas rumput di bawah sebatang pohon berdaun lebat.

"Apa maksud Kakek? Tolong jelaskan kepada kami! Karena kami memang sama sekali belum mengetahui tentang perkumpulan itu?" desak Panji yang segera mengikuti Kakek Peramal Sinting dan duduk di sebelahnya.

Kenanga, yang juga merasa penasaran dengan sikap kakek cebol itu, ikut duduk di sebelah kanannya. Diam-diam dada pasangan pendekar muda itu jadi berdebar juga. Meskipun belum mengetahui secara jelas, tapi mereka maklum akan ketinggian ilmu Kakek Peramal Sinting.

Bahkan Panji sendiri merasa ragu akan dapat menandingi kepandaian kakek cebol itu. Dan, kalau sekarang Kakek Peramal Sinting sampai menunjukkan rasa segannya terhadap Perkumpulan Tengkorak Hitam, sukar mereka membayangkan, seperti apa hebatnya kesaktian tokoh-tokoh perkumpulan itu?

"Sebenarnya aku malu untuk menceritakan hal ini kepada kalian," desah Kakek Peramal Sinting sambil menghela napas berat. "Tapi, agar kalian tidak merasa penasaran, baiklah akan kuceritakan peristiwa memalukan yang terjadi sekitar tiga puluh lima tahun silam itu..."

Pendekar Naga Putih dan Kenanga kembali saling bertukar pandang sejenak. Lalu mendengarkan dengan penuh perhatian sewaktu Kakek Peramal Sinting memulai kisahnya.

"Waktu itu aku berusia sekitar empat puluh tahun," Kakek Peramal Sinting membuka lembaran masa mudanya, yang selama ini menjadi rahasia baginya. "Pada masa itu ada sepasang suami istri golongan sesat yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Mereka kuanggap kurang waras, karena memiliki sifat sangat kejam dan jahat! Mereka gemar melakukan kejahatan, meski tanpa alasan yang jelas. Bahkan tidak jarang mereka menyiksa dan membunuh walau tanpa alasan sedikit pun! Tindakan mereka yang tidak berperikemanusiaan itu, tentu saja mengundang kemarahan tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, dengan kepandaiannya yang luar biasa, sepasang suami istri itu dapat merobohkan setiap penentangnya, yang kemudian disiksa sampai tewas. Dan sepasang suami istri gila itu semakin merajalela dengan segala kekejaman dan kebuasannya."

Dengan sabar, Panji dan Kenanga menunggu kelanjutan kisah Kakek Peramal Sinting, yang tengah menarik napas beberapa kali.

"Pendekar Naga Putih." Tiba-tiba Kakek Peramal Sinting menoleh kepada Panji "Kau tentunya kenal dengan Raja Obat, bukan?"

Meskipun tidak mengerti apa hubungannya pertanyaan itu dengan cerita yang baru sebagian didengarnya, Panji mengangguk juga.

"Sudah kuduga...," desah Kakek Peramal Sinting sambil mengangguk-angguk melepaskan pandangannya menerawang jauh tanpa batas. Mulutnya tampak mengulas senyum tipis. "Sudah puluhan tahun aku tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi...," ucapannya terhenti sejenak. Lalu, dipejamkan matanya dengan kepala tertunduk. "Mungkin tidak lama lagi aku akan berjumpa dengannya..."

"Dengan Eyang Raja Obat...?" tanya Panji menyela.

Kakek Peramal Sinting tersenyum sambil menganggukkan kepala beberapa kali. Kelihatannya ia sangat gembira membayangkan akan berjumpa dengan sahabat lamanya itu. Melihat sikap dan ucapannya, Panji segera dapat menduga kalau antara Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat terdapat jalinan persahabatan yang erat di masa lalu.

"Heh heh heh..., dasar pikun, mengapa aku jadi melantur begini. Sampai di mana ceritaku tadi...?" Kakek Peramal Sinting tersentak, seperti baru teringat bahwa ia tadi sedang bercerita. "Kemenangan demi kemenangan telah membuat sepasang suami istri itu semakin buas dan sombong. Bahkan lalu mendatangi partai-partai besar dan menghancurkannya. Tapi, semua itu sepertinya belum membuat mereka puas. Keduanya ingin mendapat pengakuan sebagai raja diraja bagi seluruh kaum rimba persilatan. Untuk itu, mereka bermaksud mengadakan pertemuan dengan mengundang seluruh tokoh persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam. Mengancam kepada tokoh atau partai yang tidak bersedia hadir. Tentu saja niat sepasang suami istri gila itu membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi resah. Dalam pertemuan itu, juga diadakan panggung terbuka. Siapa saja yang merasa tidak setuju boleh naik ke panggung untuk bertarung dengan sepasang suami istri itu. Cukup banyak yang tampil ke atas panggung meskipun mereka akhirnya roboh dan tewas di tangan sepasang suami istri durjana itu."

Kakek Peramal Sinting menghela napas sesaat. Ingatan tentang peristiwa itu membuat wajahnya tampak berselimut mendung. Kelihatan sekali kalau peristiwa lama itu menggurat dalam di hatinya.

"Aku datang terlambat, tepat pada saat sepasang suami istri itu baru akan mengumumkan diri mereka sebagai penguasa rimba persilatan." Sepasang mata Kakek Peramal Sinting tampak mencorong tajam ketika ceritanya sampai pada bagian itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan.

"Tapi..., aku hanya sanggup bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus! Demikian pula dengan Raja Obat, yang rupanya baru saja tiba di tempat itu, setelah aku dapat dirobohkan dan dipermalukan di hadapan orang banyak. Celakanya sepasang suami istri gila itu tidak membunuh kami berdua. Kami berdua ditendang dari atas panggung, diusir seperti anjing geladak! Lalu, dengan liciknya, sepasang suami istri itu berkata dengan lantang, bahwa kami berdua tidak boleh lagi mengganggu mereka dan menunjukkan diri di kalangan persilatan. Dikatakannya pula bahwa hal itu telah diucapkan setelah tidak ada lagi tokoh yang naik ke atas panggung. Karena aku dan Raja Obat datang belakangan, kami pun tak tahu-menahu dengan persyaratan itu. Dan, janji itu pula yang membuat kami tidak muncul sewaktu Perkumpulan Tengkorak Hitam mengganas pada belasan tahun silam. Karena yang mengepalai perkumpulan sesat itu adalah sepasang suami istri yang dulu pernah mengalahkan kami. Aku dan Raja Obat hanya bisa berharap suatu saat akan ada orang lain yang dapat menumpas dan menghentikan kejahatan mereka..."

"Apakah Perkumpulan Tengkorak Hitam yang sekarang masih juga dikepalai mereka, Kek?" tanya Panji setelah terdiam agak lama, dan Kakek Peramal Sinting tidak lagi melanjutkan ceritanya.

"Kemungkinan besar memang begitu. Karena menurut kabar yang kudengar, sebagian besar tokoh-tokoh utama Perkumpulan Tengkorak Hitam, berhasil meloloskan diri sewaktu markasnya digempur tentara kerajaan pada belasan tahun silam. Itulah ganjaran bagi manusia yang tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Mereka hendak memberontak terhadap penguasa yang sah. Sayang gerakan mereka keburu tercium oleh pihak kerajaan, yang segera mengirimkan ribuan balatentaranya. Akibatnya, Perkumpulan Tengkorak Hitam hancur. Tokoh-tokoh yang berhasil menyelamatkan diri, seolah lenyap bagai ditelan bumi. Tak ada kabar lagi tentang mereka. Tapi, meskipun begitu, aku merasa yakin kalau suatu saat mereka akan bangkit kembali. Dan, ramalanku tidak meleset. Sekarang mereka bangkit kembali untuk menyusun kekuatan..."

"Tapi, peristiwa pahit yang membuat malu Kakek itu, sudah lama sekali terjadinya. Kalau pada belasan tahun lalu saat Perkumpulan Tengkorak Hitam muncul, aku bisa maklum jika Kakek masih merasa terikat dengan janji licik sepasang suami istri itu. Tapi sekarang, setelah tiga puluh lima tahun berlalu, rasanya tidak ada lagi alasan bagi Kakek untuk terus memegang teguh janji yang menurut penilaianku tidak sah itu!"

"Mengapa kau bisa berkata begitu, Kenanga? Ucapan sepasang suami istri itu didengar oleh seluruh kaum rimba persilatan yang hadir. Dan, meskipun aku dan Raja Obat tidak mendengarnya, tapi persyaratan itu memang telah sah!" bantah Kakek Peramal Sinting sambil menoleh kepada Kenanga.

"Tapi mengapa mereka tidak mengatakannya kepada Kakek ataupun Eyang Raja Obat, sewaktu kalian berdua muncul dan naik ke atas panggung menantang mereka?" Kenanga mengingatkan Kakek Peramal Sinting terhadap kelicikan sepasang suami istri jahat itu.

Kali ini Kakek Peramal Sinting tidak bisa membantah. Terdengar helaan napasnya yang panjang dan berat. Karena apa yang dikatakan Kenanga, memang terasa kebenarannya.

"Itulah liciknya mereka...." Hanya itu yang bisa dikatakan Kakek Peramal Sinting.

"Nah, bukankah hal itu merupakan alasan yang sangat kuat! Mereka telah menggunakan siasat busuk untuk mengikat Kakek dan Eyang Raja Obat. Lalu, mengapa siasat tidak kita lawan dengan siasat? Bisa saja Kakek berdalih bahwa sejak menerima kekalahan itu, Kakek telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak memperdalam ilmu, dan kelak kembali mengajukan tantangan kepada mereka. Dan, sekarang saat itu telah tiba!" desak Kenanga, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membangkitkan semangat Kakek Peramal Sinting, la melihat bahwa kakek cebol itu sudah agak termakan oleh perkataannya tadi.

"Ah, benar... benar sekali...! Kau sungguh cerdik sekali, Kenanga! Haiii..., mengapa sejak dulu hal itu tak pernah terpikirkan olehku...?" Kakek Peramal Sinting langsung saja melompat bangkit dan menari-nari sambil tertawa terkekeh-kekeh. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tampaknya ucapan Kenanga sanggup membangkitkan semangatnya yang telah lama pudar.

Namun, kegembiraan Kakek Peramal Sinting cuma berlangsung beberapa saat saja. Tak berapa lama kemudian, kakek itu menghentikan tariannya. Lalu kembali menghempaskan tubuhnya di tanah berumput. Wajahnya kembali muram, membuat Kenanga dan Panji saling bertukar pandang keheranan.

"Mengapa, Kek?" Panji menghampiri Kakek Peramal Sinting. Lalu duduk di dekatnya.

"Aku sudah terlalu tua, Pendekar Naga Putih," keluh Kakek Peramal Sinting, "Aku khawatir tulang-tulangku sudah tidak kuat untuk menghadapi mereka..."

"Kek." Kenanga ikut duduk di sebelah Kakek Peramal Sinting. "Kakek memang sudah sangat tua. Gigi pun sudah hampir tak punya. Tapi, apakah Kakek tidak ingin berbuat kebaikan sebelum nyawa Kakek meninggalkan badan? Apakah di dalam kubur nanti Kakek dapat tenang sementara manusia-manusia jahat itu masih berkeliaran?"

"Hei, siapa yang bicara soal kematian? Apa kau memang ingin aku cepat-cepat mati, hah? Seenaknya saja kalau bicara!" Ucapan Kenanga malah membuat kakek cebol itu mengomel. Dengan wajah masam, Kakek Peramal Sinting bergerak bangkit. Dipandangnya wajah Kenanga dan Panji berganti-ganti. Lalu melangkah tanpa mempedulikan pasangan pendekar muda itu yang memandang heran.

"Kau mau ke mana, Kek...?!" Panji tak dapat menahan keinginannya untuk bertanya.

"Ya ke depan, apa kau pernah lihat orang yang jalan ke belakang?" sahut Kakek Peramal Sinting sekenanya tanpa menolehkan kepala.

"Maksudku, bagaimana dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam? Apakah Kakek benar-benar ingin lepas tangan, dan membiarkan mereka semakin merajalela?" tanya Panji yang tersenyum kecut demi mendengar jawaban Kakek Peramal Sinting tadi.

"Menggempur mereka secara langsung sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Sudah, jangan banyak tanya lagi! Ayo, kalian ikut aku! Kita pikirkan cara yang paling baik untuk menghadapi mereka," jawab Kakek Peramal Sinting, tetap tidak menoleh dan terus mengayun langkahnya.

"Tunggu dulu, Kek!" Kenanga berseru mencegah. Sekali berkelebat, dara jelita itu telah berdiri menghadang jalan Kakek Peramal Sinting.

"Apa lagi?" Kakek Peramal Sinting mengerutkan keningnya.

"Apa Kakek tidak ingat dengan cerita kami tadi?" Kenanga balik bertanya.

"Aku ingat," sahut Kakek Peramal Sinting setelah berpikir sesaat.

"Menurut cerita Kakek tadi, Perkumpulan Tengkorak Hitam tidak akan membiarkan musuh-musuhnya lolos, bukan? Nah, lalu bagaimana dengan lelaki yang kami ceritakan itu? Karena ia berhasil meloloskan diri selagi pertempuran antara Kakang Panji dengan salah seorang tokoh mereka...,"

"Hm... aku pun pernah berjumpa dengan seorang lelaki gagah yang menganggapku sebagi salah seorang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu...!" Kakek Peramal Sinting memotong ucapan Kenanga, ketika mendadak teringat dengan peristiwa yang dialaminya. Lalu mengisahkan secara singkat tentang pertemuannya dengan orang yang tak lain Kanuraga. "Kasihan sekali orang itu, ia begitu ketakutan...," kenangnya sambil menggeleng perlahan.

"Itu yang kumaksudkan, Kek," tukas Kenanga. "Mereka, orang yang Kakek temui, dan yang kami temui, pasti sangat membutuhkan pertolongan. Apa tidak sebaiknya kita cari dan tolong mereka? Baru setelah itu kita pikirkan bagaimana cara untuk menumpas Perkumpulan Tengkorak Hitam itu..."

"Aku setuju dengan pendapat Kenanga, Kek!" Panji langsung saja mendukung kekasihnya.

"Hm...,.baiklah. Tapi, kita harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi..."

"Mengapa, Kek?!" Kenanga merasa heran, ia kurang setuju. Menurutnya, sikap seperti itu hanya pantas dilakukan oleh orang-orang pengecut.

"Karena tidak semua persoalan dapat diatasi dengan ilmu silat. Kadang otak pun harus kita gunakan! Ingat itu! Ayo, kita cari dan tolong orang-orang malang itu!"

Dengan diikuti Kenanga dan Panji, Kakek Peramal Sinting melangkah meninggalkan tempat itu. Baik Kakek Peramal Sinting, Panji, maupun Kenanga, sama sekali tidak menduga kalau orang yang mereka maksud adalah satu. Kanuraga!

***
LIMA
Kanuraga berlari terpincang-pincang karena jemari kaki kanannya yang mulai membusuk, dirasakan sakit bukan kepalang. Kalau semula rasa takutnya terhadap Perkumpulan Tengkorak Hitam cuma karena cerita gurunya dan kabar yang didengarnya selama dalam pengembaraan, kini semua itu telah terbukti dan dirasakannya sendiri. Sedangkan siksa yang dirasakannya itu baru tahap peringatan saja. Entah bagaimana siksaan yang bakal dialami selanjutnya. Tentu akan lebih mengerikan lagi.

Bergidik hati lelaki gagah itu jika teringat akan kekejaman perlakuan yang diterima gurunya. Ngeri hatinya jika membayangkan hal itu akan menimpa dirinya. Rasa takut yang terus membayangi dirinya, membuat Kanuraga seperti tidak mengenal lelah, la tidak peduli lagi dengan keadaan tubuhnya yang tak ubahnya dengan seorang jembel itu. Yang terpenting baginya saat itu adalah menghindar sejauh-jauhnya dari jangkauan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam. Dan berusaha mencari bantuan dari teman-teman segolongan.

Rasa putus asa mulai merambati hatinya ketika tak satu pun tokoh yang mau menolongnya. Bahkan beberapa di antara tokoh yang didatangi dan diminta pertolongan, justru mengusir dan menuduhnya sebagai pembawa bencana. Hal itu memang tidak bisa dipungkiri, karena pada beberapa desa yang disinggahinya, selalu saja ada korban, sebelum ia sampai.

Dan, begitu ia memasuki desa, para penduduk mengusirnya seperu anjing kudisan. Bahkan ada yang mengeroyok dan hendak membunuhnya. Pengalaman-pengalaman pahit itu membuat dirinya merasa semakin terpojok. Tak seorang pun yang bersedia menerima kehadirannya lagi Kanuraga tahu siapa lagi penyebab semua itu kalau bukan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam!

"Benar-benar keji sekali iblis-iblis Tengkorak Hitam itu. Mereka tidak segan-segan membunuhi orang hanya untuk memfitnahku. Mereka benar-benar hendak menyiksaku lahir-batin. Dan, mereka memang telah berhasil melakukannya," ujar Kanuraga berbicara seorang diri sambil melangkah terseok-seok. Luka di kakinya memang belum sembuh betul. Karena tidak terawat dengan baik.

Setelah merasa tidak ada lagi tempat baginya untuk berlindung, Kanuraga mengayun langkahnya menuju kotaraja. Ketika tiba di kota dan melihat prajurit-prajurit kerajaan, sebuah pikiran gila tiba-tiba melintas dalam benak Kanuraga.

"Yah, satu-satunya tempat yang paling baik dan aman bagiku hanyalah di dalam penjara!" Berpikir demikian, Kanuraga segera saja mencari perkara, la sengaja membuat keributan, yang membuat beberapa orang prajurit berdatangan hendak menangkapnya.

Melihat ada enam orang prajurit mengepungnya, Kanuraga pun mengamuk. Dan, karena ia memang ingin tinggal di dalam penjara selama mungkin, maka salah satu dari enam prajurit itu dipukulnya hingga tewas. Kejadian itu membuat para prajurit lainnya berdatangan. Namun Kanuraga tidak melakukan perlawanan lagi. la menyerah dan dijebloskan ke dalam rumah tahanan, yang terletak di sebelah selatan kota raja.

Meskipun di dalam rumah tahanan ia harus berkumpul dengan orang-orang kasar bertampang bengis, yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh sesat, Kanuraga sama sekali tidak merasa gentar. Karena kepandaiannya yang tinggi, dengan mudah ia dapat merobohkan setiap narapidana yang hendak mencelakainya. Sampai akhirnya tak satu pun dari mereka yang berani bertingkah terhadap dirinya.

Dalam beberapa hari saja, namanya telah dikenal oleh hampir seluruh penghuni penjara. Kehidupan di dalam rumah tahanan dirasakannya jauh lebih baik ketimbang di luar. Bahkan Kanuraga merasa dirinya tak ubahnya seorang raja kecil. Segala keperluannya dilayani oleh teman-teman sekamar yang telah ditaklukkannya, la mendapat tempat tidur yang lebih baik dan jatah makanan lebih banyak Karena, teman-teman sekamarnya tidak ada yang berani membantah apabila Kanuraga memintanya

"Kanuraga, kau diminta untuk segera menghadap kepala penjara!" Seorang penjaga membuka pintu kamar tempat Kanuraga ditahan.

"Ada apa beliau memanggilku?" tanya Kanuraga agak heran sambil melangkah ke luar.

"Simpan saja pertanyaanmu untuk beliau!" sahut penjaga itu dengan nada galak. Setelah menutup pintu kamar tahanan, penjaga itu segera membawa Kanuraga, melewati lorong yang berbelok-belok dan pintu yang berlapis-lapis.

"Duduk!" perintah seorang lelaki bertubuh gendut yang separuh kepalanya botak, setelah penjaga yang membawa Kanuraga meninggalkan ruangan itu.

Kanuraga tidak mempedulikan suara dingin dan sikap angkuh kepala penjara itu. Dengan tangannya yang masih terbelenggu ditariknya kursi di depan meja kepala penjara.

"Mulai hari ini kau telah dibebaskan, Kanuraga," ujar Kepala Penjara setelah Kanuraga duduk menghadapinya.

Narapidana lain tentu akan menyambut gembira berita itu, tapi Kanuraga justru sangat terkejut Ia terlompat bangkit dari duduknya. Wajahnya menjadi pucat!

"Mengapa, Tuan?!" Bukankah aku telah melakukan suatu kesalahan yang cukup besar? Sedangkan hukuman yang kujalani belum sampai satu bulan? Apa aku tidak salah dengar? Atau mungkin Tuan yang keliru?" Kanuraga meminta agar kepala penjara itu memeriksa catatannya kembali.

"Kau yang bernama Kanuraga, bukan?" tanya Kepala Penjara sambil tersenyum misterius.

"Betul, Tuan." Kanuraga mengangguk.

"Dan kau ditahan karena membunuh seorang prajurit, bukan?"

Kanuraga kembali mengangguk. "Tapi, mengapa aku sudah dibebaskan? Begitu ringankah hukuman bagi seorang pembunuh abdi kerajaan?" Kanuraga masih juga merasa tidak puas.

"Kau ini benar-benar aneh, Kanuraga. Narapidana lain tentu tidak akan banyak tanya lagi, walaupun seandainya itu sebuah kekeliruan. Tapi, kau malah sebaliknya. Apa kau memang bermaksud untuk tinggal di dalam penjara seumur hidup?" tanya kepala penjara sambil menatap wajah Kanuraga.

"Tentu saja tidak, Tuan. Tapi..."

"Aaah..., sudahlah!" potong kepala penjara sambil menepiskan tangannya. "Sebaiknya kau segera berkemas untuk meninggalkan tempat ini."

"Tidak! Aku tidak mau!" sentak Kanuraga dengan nada tinggi sambil menggebrak meja di depannya. "Kau pasti telah keliru!" ditudingnya wajah kepala penjara sambil menatap dengan sorot mata bengis.

"Orang gila! Rupanya kau lebih suka kutendang keluar seperti anjing buduk!" kepala penjara menghardik, tangannya terulur hendak merenggut leher baju Kanuraga untuk dilemparnya keluar.

Sambil mendengus, Kanuraga menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Lalu melepaskan sebuah tamparan ke arah pelipis kepala penjara itu. Namun lelaki bertubuh gendut itu ternyata cukup gesit. Tangannya yang gagal menjambret leher baju langsung ditekuk menangkis tamparan Kanuraga.

Dukkk!

Si Kepala Penjara terpekik kaget. Tubuhnya terdorong dan menabrak kursi, lalu jatuh terjengkang berikut kursinya. Tamparan itu memang sangat kuat. Karena saking marahnya, Kanuraga tadi mengerahkan seluruh tenaganya.

"Bangsat! Rupanya kau memang orang gila yang sengaja mau mencari mati!" Kepala penjara itu bangkit sambil menyumpah-nyumpah, dan memaki Kanuraga yang memang tidak melanjutkan serangannya. Karena sebenarnya cuma sekadar ingin menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang lemah yang bisa dipermainkan.

"Aku minta penjelasan!" desis Kanuraga penuh tuntutan dan ancaman. "Katakan, mengapa kau hendak membebaskan aku? Apa yang mendorongmu hendak melakukan hal itu?"

"Persetan dengan pertanyaanmu, Orang Gila!" Pertanyaan Kanuraga tidak dilayani. Malah kepala penjara itu mendorong meja di depannya kuat-kuat. Lalu menyusulinya dengan sebuah tendangan yang dilakukan sambil melompat.

Dugh!

Tubuh Kanuraga terjengkang sampai ke dinding. Serangan licik itu tak dapat dielakkan hingga bersarang telak ke arah dadanya. Kanuraga bersandar sesaat di dinding sambil mengatur jalan napasnya yang terasa sesak. Namun kesempatan untuk itu hanya ada sekejap mata. Si Kepala Penjara sudah melanjutkan serangannya dengan tebasan sisi telapak tangan miring, mengancam leher. Kanuraga segera melempar tubuhnya bergulingan di lantai. Dan, sewaktu kepala penjara itu kembali menyusuli serangannya, Kanuraga melenting dan berputar sambil melepaskan tendangan dengan kaki kirinya.

Tendangan telak itu membuat tubuh kepala penjara terpelanting jatuh, mencium lantai. Dan sebelum lelaki berbadan gemuk itu sempat bangkit, Kanuraga, yang baru mendaratkan kakinya di lantai, kembali mengirimkan tendangannya. Kepala penjara menjerit keras. Tubuhnya terangkat dari lantai, terpental berputar, dan membentur dinding

Kanuraga sudah siap untuk menghabisi nyawa lawannya. Namun, gerakannya tertunda ketika para penjaga yang mendengar keributan itu sudah berdatangan, menerobos masuk. Kanuraga melompat mundur menghindari ujung tombak empat orang penjaga yang begitu masuk langsung menyerangnya. Sedang para penjaga yang lain bergegas menolong pimpinannya dan membawa pergi dari ruangan itu

"Keparat! Rupanya kau hendak memberontak, hah! Dengan melukai pimpinan kami, berarti hukumanmu akan semakin berat! Bukan mustahil kalau kau akan dihukum gantung!"

Seorang lelaki berkumis lebat dan bertubuh tinggi besar yang mengenakan pakaian perwira, menghardik Kanuraga. Perwira itu terlihat sangat geram ketika menyaksikan pimpinannya digotong dalam keadaan terluka parah. Segera saja ia menyeruak maju menghadapi Kanuraga, yang berdiri dengan kedua kaki terpentang.

Kanuraga memperhatikan perwira yang kini telah berdiri di hadapannya itu. Meneliti sosoknya sesaat, lalu dengan kepala tegak, ditentangnya pandang mata perwira itu. "Silakan tangkap aku, Tuan Perwira! Aku tidak akan melawan," ujar Kanuraga tersenyum tipis sambil menyodorkan kedua lengannya yang masih dibelenggu.

Perwira itu tampak meragu sesaat. Namun ketika dilihatnya sorot kesungguhan pada mata Kanuraga, diperintahkannya dua orang penjaga untuk maju. Sementara ia sendiri sudah bersiap-siap untuk menyerang apabila Kanuraga melakukan perlawanan. Ketegangan di wajahnya langsung sirna begitu ia melihat Kanuraga pasrah dan menyerah.

"Bawa bedebah itu ke ruangan tempat para pembunuh!" perintah perwira itu kepada dua orang penjaga yarig segera melaksanakannya.

Dengan dikawal selusin prajurit, Kanuraga dibawa menuju ruangan tempat para pembunuh disekap. Kanuraga sendiri tidak memusingkan hal itu Di mana pun ia ditempatkan, asal masih berada di lingkungan penjara, baginya sama saja. Karena penjara adalah satu-satunya tempat yang dianggap aman dan tidak dapat dijangkau orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Namun keliru besar kalau Kanuraga mempunyai pikiran demikian. Karena, orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam tidak akan melepaskan musuhnya begitu saja. Sekalipun musuh itu berada dalam lingkungan istana dan dalam pengawalan ketat, mereka akan tetap berusaha dengan berbagai cara. Mereka tidak akan pernah berhenti sebelum berhasil membunuh musuhnya, yang sebelumnya mereka siksa dengan cara-cara yang sangat kejam!

***

Cringgg!

Lelaki yang tengah terlelap di atas pembaringannya itu terlonjak bangkit. Dengan sigap ia melompat dan menyambar pedangnya yang tergeletak di atas meja dekat pembaringannya. Namun tak ditemukan adanya orang lain di dalam kamar itu, kecuali sebuah kantung uang yang tergeletak di atas lantai. Kantung itulah yang telah membuyarkan impiannya.

"Tunjukkan rupamu sebelum aku kehilangan kesabaran!" bentak lelaki kekar itu yang tentu saja tidak percaya kalau kantung uang itu jatuh begitu saja dari langit-langit kamarnya. Suaranya ditekan agar tidak terlalu keras. Karena ia tidak ingin membuat orang lain terbangun dari tidurnya.

Belum lagi lelaki kekar itu menutup mulutnya, tiga sosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela. Dan, tahu-tahu di hadapannya telah berdiri tiga sosok tubuh yang mengenakan pakaian serba hitam. Bagaimana mungkin daun jendela yang telah dikuncinya sebelum tidur itu dapat dibuka orang tanpa sepengetahuannya,

"Siapa kalian? Dan ada keperluan apa datang menemuiku malam-malam begini?" tegur lelaki kekar itu setelah menepiskan keheranannya.

"Kami orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam" Salah satu dari ketiga sosok berpakaian serba hitam itu menyahuti. Suaranya dingin dan datar tanpa tekanan.

"Perkumpulan... Tengkorak... Hitam...!?" desis lelaki kekar itu, yang menjadi pucat seketika. Sepasang matanya membelalak lebar menyorotkan kegentaran dan kengerian.

Lelaki kekar itu sebenarnya bukanlah seorang pengecut. Dia seorang perwira yang cukup disegani dan memiliki kepandaian tinggi. Dan, selama mengabdi kepada kerajaan, sudah seringkali ia bergelut dengan maut, tanpa rasa gentar sedikit pun. Akan tetapi untuk nama yang satu itu, dirinya tak dapat menahan rasa takut dan ngeri yang seketika timbul dan menguasai hatinya. Nama itu sudah sangat dikenalnya. Baik kekejaman, kebuasan, maupun kesaktian tokoh-tokohnya.

Pada belasan tahun silam, ia ikut ambil bagian sewaktu pihak kerajaan menyerang markas perkumpulan itu. Dan, ia tahu kalau tokoh-tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam banyak yang meloloskah diri. Kini, tahu-tahu tiga orang tokoh perkumpulan sesat itu telah berada di dalam kamarnya, dan berdiri di hadapannya dengan menampakkan wajah yang bengis. Apalagi keinginan mereka kalau bukan hendak menuntut balas!

Ketika pikiran itu melintas tubuhnya menjadi gemetar dan mandi keringat. Kedua kakinya terasa berat, sulit untuk digerakkan. Bayangan-bayangan siksa mengerikan yang dulu pemah didengarnya, menari-nari dalam benaknya, membuat rasa takut kian hebat mencengkeram dirinya.

"Kami datang bukan untuk mencabut nyawamu, Tuan Perwira," ujar sosok pertama, yang wajahnya agak pucat dengan kedua tulang pipi menonjol Suaranya tanpa tekanan, dingin, dan datar.

"Kami menginginkan agar salah seorang tawanan yang bernama Kanuraga engkau bebaskan. Orang itu adalah musuh kami." Sosok kedua menimpali. Suaranya berat dan bernada bengis, menunjukkan bahwa dirinya seorang yang bersifat kasar dan pemberang.

"Kau harus bisa mengeluarkannya dari tempat ini! Jangan berlaku gegabah seperti rekanmu kemarin. Kepala penjara tolol itu terlalu sombong dan meremehkan Kanuraga. Kami sudah memperingatkannya. Tapi, si Kerbau Tolol itu cuma bisa manggut-manggut. Kau sebagai pengganti kepala penjara tolol itu, harus melanjutkan tugasnya! Besok Kanuraga harus sudah meninggalkan rumah tahanan ini!" lanjut sosok ketiga, yang berusia paling tua. Tubuhnya agak bongkok. Kendati demikian, sosok ketiga ini tampak memiliki perbawa yang amat kuat, membuat sosoknya jauh lebih mengerikan ketimbang kedua orang kawannya.

"Ttt... tapi... bagaimana caranya...?" tanya perwira, yang ternyata telah ditunjuk sebagai kepala penjara menggantikan rekannya. Meskipun hatinya telah lebih tenang, namun ia masih saja merasa gugup.

Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu terlihat agak jengkel. Mereka sama mendengus kasar, membuat kepala penjara yang baru itu tersurut mundur. Ketiga tokoh perkumpulan sesat yang mengerikan itu, tidak mempedulikan. Mereka saling bertukar pandang beberapa saat lamanya.

"Buatlah agar Kanuraga tidak tenang tinggal di tempat ini! Suruh tawanan-tawanan lain mengganggunya! Ingat, pilih tawanan-tawanan yang kira-kira cukup tangguh! Mereka pasti akan menurut apabila kau janjikan kebebasan untuk mereka. Nah, kukira petunjuk itu sudah cukup. Terserah kau bagaimana mengembangkannya," ujar tokoh yang bertubuh bongkok.

"Ingat, kami tidak suka dengan kegagalan!" Tokoh kedua menekankan, kemudian melangkah pergi, setelah mengambil kantung uang yang tadi mereka gunakan untuk membangunkan kepala penjara itu.

Perwira bertubuh kekar itu masih saja mengangguk-angguk, kendati ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam sudah melesat melalui jendela yang terbuka. Kesadarannya baru bangkit ketika terpaan angin malam yang masuk melalui jendela, membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah menutup rapat daun jendela dan menguncinya, ia pun kembali merebahkan tubuh yang tiba-tiba saja terasa lelah sekali.

***

Duk!

Kanuraga terhuyung, nyaris jatuh mencium lantai kalau saja ia tidak buru-buru menguasai keseimbangan tubuhnya. Terdengar gelak tawa belasan orang tawanan yang membuat ruang makan penjara itu menjadi riuh seketika. Kanuraga memutar tubuhnya, mencari-cari orang yang tengah menjegal kakinya dari belakang. Dengan sorot mata tajam, dipandangi satu persatu para tahanan yang mondar-mandir di tempat itu. Bibir Kanuraga menyunggingkan senyum tipis, sewaktu ia sempat menangkap gerakan sudut mata salah seorang tawanan yang tengah antri mengambil jatah makan.

Dengan kedua kaki terpentang, Kanuraga berdiri tegak menunggu orang yang dicurigainya itu lewat. Ketika orang itu meninggalkan antrian sambil membawa makanan dan hendak melewatinya, Kanuraga memalangkan lengan, mencegah orang itu lewat. Tanpa banyak cakap lagi, langsung dirampasnya makanan yang dibawa orang itu. Demikian cepat gerakan Kanuraga, sehingga orang itu sampai tak tahu kalau makanannya telah diambil Kanuraga. Sedang Kanuraga sudah melangkah menuju meja kosong. Demikian tenang sikapnya, seolah ia tak pernah berbuat apa-apa.

Orang itu baru tersadar ketika Kanuraga sudah beberapa langkah meninggalkannya. Untuk beberapa saat, dia tampak kebingungan, tak tahu ke mana perginya makanan yang dibawanya tadi. Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah ketololan sambil mengusap-usap kepalanya yang gundul pelontos, mencari-cari jatah makannya yang mendadak lenyap tanpa diketahuinya. Ketika ia tengah kebingungan, salah satu dari dua belas orang tawanan, yang tadi menertawakan

Kanuraga, memberikan isyarat dengan gerakan kepalanya. Karuan saja lelaki gundul itu menjadi berang.

"Hei, kembalikan makananku...!" teriaknya sambil berlari mengejar Kanuraga. Kemudian langsung melepaskan sebuah tamparan ke kepala Kanuraga, yang kelihatannya tidak tahu akan ancaman bahaya itu, dan masih terus melangkah mencari meja kosong.

Namun, sebelum tamparan itu mengenai kepalanya, Kanuraga membalikkan tubuh dengan gerakan yang sangat cepat. Dia terus menubruk dan membenturkan kepalanya ke kepala lelaki gundul pelontos itu.

Jdug!

Lelaki gundul itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental, dan jatuh berdebuk ke lantai. Keningnya tampak memar dan membiru membuahkan benjolan sebesat telur ayam. Lelaki gundul itu bergegas bangkit. Mulutnya tak henti-hentinya mengerang sambil tangannya sibuk mengelus-elus telur ayam di keningnya.

"Keparat kau. Manusia Rakus! Sudah merampas jatah makanku, malah berani memukulku! Hmhh..., rupanya kau suda bosan hidup, hingga berani mencari perkara dengan Jarangka! Awas, kuremukkan tulang-tulang tubuhmu!" Lelaki gundul yang kepalanya kini terhias telur ayam itu mencak- mencak seperti hendak menelan bulat-bulat tubuh Kanuraga.

"Siapa yang merampas makanmu, Kerangka?" sahut Kanuraga sengaja merobah nama lelaki gundul itu. Karena tubuh lelaki itu memang sangat kurus. Sehingga, Kanuraga menyebutnya sebagai kerangka.

Jarangka menggereng dengan sepasang mata memerah. Giginya bergemeretak menahan amarah yang meledak-ledak. Namun ketika ia hendak menyerang, Kanuraga mencegahnya.

"Tunggu, Kerangka!" seru Kanuraga sambil mengulurkan tangannya. "Tubuhmu sudah sedemikian kurus, cuma tinggal tulang dan kentut begitu. Sebaiknya cepat kau jilati jatah makanmu yang berceceran di lantai itu, biar kau cepat gemuk!" lanjutnya sambil menunjuk makanan yang berceceran dilantai.

"Setan Keparaaat...!" Jarangka tidak bisa menahan ledakan amarahnya lebih lama lagi. Sambil melontarkan sumpah serapah, ia menerjang Kanuraga dengan serangkaian pukulan yang mendatangkan angin menderu.

"Aiii, ternyata kau bisa juga memukul, Kerangka!?" meskipun mulut Kanuraga masih tetap mengeluarkan ejekan, diam-diam hatinya kaget juga. Sama sekali tidak disangkanya kalau tubuh kurus itu ternyata menyimpan tenaga dalam yang kuat. Dengan cepat Kanuraga berlompatan menghindari hujan pukulan itu.

Selama lima jurus, Kanuraga masih belum membalas serangan lawannya. Tubuhnya masih berlompatan menghindar sambil sesekali menangkis, bila sudah tidak sempat lagi mengelak. Dan, setiap tangkisannya membuat tubuh Jarangka terdorong mundur. Hal itu menunjukkan bahwa tenaga dalam Kanuraga masih jauh lebih kuat daripada lawannya.

"Haaa...!"

Memasuki jurus keenam, mendadak Kanuraga membentak keras, membuat Jarangka terlompat mundur saking kagetnya. Sedangkan Kanuraga sudah mengirimkan tendangan kilat ke dada lelaki tinggi kurus itu. Namun dengan tangkas Jarangka membungkuk sambil berputar menyabetkan kakinya, menyapu kaki kiri lawan. Kanuraga cuma mendengus. Dan sebelum kakinya terbabat sapuan lawan, kaki kanannya yang gagal menendang itu langsung menekuk ke bawah. Dengan ujung tumitnya, digedornya punggung Jarangka.

Dugk!

"Huakkh...!" Gedoran itu membuat Jarangka muntah darah, dan terjerembab di tempat itu juga. Langsung pingsan seketika!

Hampir semua tawanan yang berdiri mengelilingi arena pertarungan itu, bertepuk tangan menyambut kemenangan Kanuraga. Kecuali, sebelas orang kawan Jarangka, bahkan kesebelas orang itu langsung berlompatan mengurung Kanuraga. Wajah mereka tampak demikian bengis, seolah hendak mencabik-cabik tubuh Kanuraga.

Kanuraga cuma mengeluarkan suara mendengus. Sambil tersenyum mengejek, dirayapinya wajah-wajah tawanan yang tadi telah menertawakannya. Otaknya langsung saja bisa menebak kalau perbuatan Jarangka yang menjegalnya tadi, tampaknya memang telah direncanakan bersama sebelas orang itu. Namun Kanuraga tidak menjadi gentar. Walaupun dari cara kesebelas orang itu bergerak, ia dapat menilai kalau mereka rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah.

***
ENAM
"Hiaaat..!"

Dua orang yang berada di depan Kanuraga mulai menerjang. Satu menyerang bagian atas tubuhnya, sedang yang lain mengancam dari sebelah bawah. Sempat kaget juga hati Kanuraga ketika melihat cara menyerang yang tampaknya telah terlatih dengan baik itu.

Akan tetapi sebagai seorang tokoh yang telah memiliki banyak pengalaman, sepintas saja ia telah dapat melihat titik kelemahan dari serangan itu. Dan, ketika serangan itu tiba, Kanuraga langsung melompat sambil melepaskan tendangan berputar untuk mematahkan serangan yang mengancam kepalanya.

Plak! Duk!

Tubuh lawan terpental balik. Kanuraga sendiri sudah meluncur turun dengan kepala di bawah. Kedua tangannya berputar cepat memapaki pukulan dan tendangan lawan. Seiring dengan suara benturan keras, tubuh Kanuraga kembali melenting ke udara dengan meminjam tenaga lawannya. Di udara, Kanuraga berjumpalitan sebelum meluncur turun tepat kira-kira setengah tombak di belakang lawan yang juga sudah berbalik dan menyambutnya dengan dorongan kedua telapak tangan.

Kanuraga berkelit dengan langkah berputar, dan tiba di samping lawannya. Lalu, digedornya iga dan lambung lawan, yang kontan terpental memuntahkan darah segar. Dua buah pukulan yang kuat bukan main itu, membuat nyawa lawannya melayang seketika.

Terdengar teriakan-teriakan marah para pengepungnya yang segera berlompatan mengeroyok Kanuraga. Namun, meskipun menghadapi keroyokan sepuluh orang lawan tangguh, Kanuraga tidak tampak gugup. Tubuhnya bergerak lincah menghindari setiap ancaman serangan yang datang.

Bahkan ketika Kanuraga mulai melepaskan serangan-serangan balasannya, justru para pengeroyoknya yang menjadi kelabakan. Setiap kali mereka menangkis pukulan ataupun tendangan Kanuraga, selalu terdorong mundur dengan lengan terasa nyeri. Dan, dalam waktu kurang dari lima belas jurus, dua orang pengeroyok terpelanting roboh, terkena hantaman Kanuraga.

"Heaaah...!"

Blakkk!

Satu korban lagi jatuh. Keprukan sepasang telapak tangan Kanuraga membuat lawannya jatuh terjerembab seperti orang mabuk. Dari kedua lubang telinganya mengalir darah segar. Orang itu menggelepar sesaat sebelum akhirnya tewas.

Amukan Kanuraga membuat para penjaga yang ikut berdiri menonton, saling bertukar pandang satu sama lain. Di sudut lain, tampak kepala penjara ikut menyaksikan perkelahian yang memang telah diaturnya itu. Setelah memperhatikan pertarungan yang masih berlanjut, perwira ini langsung saja bisa menilai bahwa Kanuraga memang benar-benar berbahaya. Maka, segera saja ia memberikan isyarat kepada para penjaganya untuk menghentikan perkelahian itu.

"Hentikan perkelahian...!"

Kanuraga menahan gerakannya. Begitu juga dengan pengeroyoknya yang tinggal tujuh orang. Empat lainnya sudah bergeletakan di lantai. Dua tewas, sedang dua lainnya telah terkapar pingsan.

"Kanuraga!" terdengar suara bentakan menggelegar, membuat semua orang menoleh.

Kanuraga memutar tubuhnya menghadapi perwira tinggi kekar, yang tengah melangkah mendekatinya. "Rupanya kau suka sekali membuat keonaran, Kanuraga! Untuk kali ini, rasanya kau tidak bisa diberi ampun lagi. Tiga nyawa telah kau hilangkan. Kau semakin buas dan ganas, Kanuraga. Sebaiknya kau dibuang ke pulau. Di sanalah tempat bagi penjahat-penjahat besar sepertimu!" ujar perwira kepala penjara itu yang menghentikan langkahnya kira-kira setengah tombak dari tempat Kanuraga berdiri. Empat penjaga siaga di kiri-kanannya, siap melindungi pimpinannya jika Kanuraga mengamuk.

"Keributan ini bukan salahku, Tuan." Kanuraga mencoba membantah. "Merekalah yang sengaja mencari perkara. Terpaksalah aku hanya berusaha membela diri. Jadi, kalaupun ada yang terbunuh, itu salah mereka sendiri, Tuan."

"Kau tidak perlu berdalih, Kanuraga. Dan, aku tidak ingin berdebat dengan manusia rendah sepertimu!" tegas perwira kepala penjara itu dengan nada menyakitkan. Lalu memberi perintah kepada belasan orang penjaga untuk menangkap Kanuraga.

"Gunakan jaring...!" teriaknya memberi petunjuk.

Menghadapi keroyokan para pengawal itu, Kanuraga benar-benar dibuat kewalahan. Ia mengamuk bagaikan kerasukan setan! Pedang yang dirampasnya dari salah seorang penjaga, digerakkan sedemikian rupa, membuat para pengeroyoknya menjadi gentar. Saat dilihatnya kepungan mulai merenggang, Kanuraga menerjang dengan seluruh kekuatannya. Terus melesat pergi setelah melukai empat orang penjaga.

Kanuraga sama sekali tidak merasa curiga ketika melihat pintu-pintu pada setiap lorong yang dilaluinya tampak terbuka lebar. Ia terus berlari secepat-cepatnya meninggalkan kotaraja, melintasi hutan-hutan lebat tanpa mengenal lelah, kendati dirasakan napasnya sudah hampir putus.

Bayang-bayang maut yang menari-nari di dalam benaknya, membuat Kanuraga tak peduli dengan rasa lapar dan haus yang menyiksanya. Bahkan ia tidak lagi memperhatikan ketika malam mulai jatuh, membungkus bumi dengan kegelapan. Kanuraga baru berhenti berlari, setelah merasa tenaganya terkuras habis. Tubuhnya terkulai lemas seperti pingsan di tengah sebuah hutan lebat.

***

Ketika siuman Kanuraga menemukan dirinya berada di tengah sebuah hutan lebat. Kanuraga menggoyang-goyangkan kepalanya yang masih terasa pening. Setelah mengucak-ngucak mata diedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.

"Inikah pulau tempat pembuangan penjahat-penjahat besar seperti apa yang dikatakan perwira kepala penjara itu...?!" gumam Kanuraga seperti orang mengigau. Lalu, mengayun langkahnya perlahan. Namun dia tidak perlu berpikir lebih lama lagi, karena pertanyaan itu segera menemukan jawabnya....

"Hua ha ha!"

Sebuah suara tawa yag mengejutkan membuat Kanuraga terlompat saking kagetnya. Diedarkan pandangannya mencari-cari pemilik suara tawa itu. Wajah Kanuraga mulai menegang. Dadanya berdebar keras. Di benaknya terbayang wajah-wajah bengis para tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Entah mengapa, Kanuraga sendiri tidak mengerti. Bayangan itu muncul begitu saja tanpa terpikir lebih dulu.

"Kita bertemu lagi, Kanuraga!"

Kanuraga cepat memutar tubuhnya ke arah asal teguran itu. Dan... kini wajahnya benar-benar pucat bagai mayat! Gambaran siksa mengerikan langsung menari-nari di benaknya. Langkah kakinya tersurut mundur, gemetar, seperti sangat berat sekali, dan sukar untuk digerakkan. Karena, pemilik suara itu seorang lelaki bongkok berpakaian serba hitam. Salah saru dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang mengejarnya!

Rasa ngeri dan takut yang menyiksa, membuat Kanuraga memutar tubuhnya, berusaha melarikan diri dari tempat itu. Namun, usaha itu sia-sia! Dari arah depannya, muncul tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam lainnya. Tokoh itu melangkah disertai sorot mata bengisnya, membuat Kanuraga semakin ketakutan.

Terlebih ketika sosok ketiga menyusul muncul dari sebelah kanannya. Bergerak maju dengan langkah sengaja dilambatkan, membuat Kanuraga merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Seolah tiap ayunan langkah tokoh-tokoh mengerikan itu, membuat tulang-tulang tubuhnya dilolosi. Hingga, akhirnya lelaki bertubuh gagah itu jatuh terduduk lemas di tanah.

Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam memperdengarkan tawa iblisnya yang mendirikan bulu roma. Kini langkah mereka terhenti tepat di dekat Kanuraga, yang sekujur tubuh dan wajahnya telah dibanjiri keringat.

"Ampunkan aku...! Aku... aku tidak tahu kalau yang kubunuh itu adalah anggota partai kalian..." Kanuraga. merintih mengiba.

Entah mengapa, ia sendiri tidak mengerti. Mengapa nama perkumpulan itu demikian besar perbawanya. Bahkan penampilan tokoh-tokohnya membawa kesan mengerikan dan mempunyai pengaruh yang sangat hebat. Hingga seorang lelaki gagah berkepandaian tinggi yang sebelumnya tidak mengenal takut, kini meratap minta belas kasihan.

Memang sukar sekali untuk dapat dipercaya. Jangankan orang lain. Kanuraga sendiri tak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Yang jelas, jangankan berhadapan dengan tokoh-tokoh perkumpulan sesat itu, baru mendengar atau membayangkannya saja, jantung Kanuraga sudah berdebar terselimut rasa takut dan ngeri.

"Kanuraga," ujar tokoh bertubuh bongkok, tanpa mempedulikan rintihan Kanuraga. Suaranya dingin dan datar, tanpa tekanan, membuat bulu kuduk Kanuraga meremang. "Kau perlu tahu. Sebelum musuh kami menggeletak tanpa nyawa, kami, orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam tak akan melepaskannya."

"Sekali kau menanam bibit permusuhan, maka selama hidup maut akan selalu membayangimu!" tegas orang kedua yang baik wajah maupun suaranya memancarkan kebengisan dan kekejaman.

"Dan sudah saatnya kami memberimu ganjaran lagi!" sambung tokoh lainnya yang kemudian mengulur tangannya mencengkeram leher pakaian sebelah belakang Kanuraga. Gerakannya terlihat perlahan sewaktu ia menyentakkan tangan. Namun, akibatnya tubuh Kanuraga tersentak melambung ke udara.

Kanuraga berteriak kaget dan ketakutan. Namun, karena ilmu silat yang dimilikinya telah mendarah daging, maka begitu tubuhnya melayang, tanpa diperintah oleh otaknya, dia langsung berputar tiga kali. Sayangnya, ketika meluncur turun kedua kaki yang masih gemetar tak sanggup menahan berat tubuhnya. Dan, untuk kedua kalinya, Kanuraga kembali melorot jatuh.

"Bangun, Kanuraga!" Tokoh bertubuh bongkok memerintah, tetap dengan suara datar tanpa tekanan. Sekali bergerak, tahu-tahu tokoh itu telah berdiri di depan Kanuraga. Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, kira-kira sekitar dua tombak.

Kanuraga hanya bisa menelan ludah mendengar perintah itu. Merasa sudah tidak mempunyai daya lagi, Kanuraga pun pasrah. Sekujur tubuhnya dirasakan sangat lemas. Seolah tenaganya benar-benar sudah lenyap dari dalam tubuh. Kanuraga cuma bisa membelalakkan mata kaget, ketika tokoh bertubuh bongkok itu menyentakkan tubuhnya, memaksanya berdiri.

"Bunuhlah aku... bunuhlah...!"

Tokoh bertubuh bongkok itu hanya tertawa dingin. Hatinya sama sekali tidak tergerak, meskipun wajah dan rintihan Kanuraga menggambarkan rasa putus asa dan permohonan.

"Tidak, Kanuraga! Pesta belum dimulai. Kami tidak akan membunuhmu sekarang. Tapi, justru akan memberikan sebuah tanda mata yang tidak akan kau lupakan seumur hidup. Karena tanda mata kami tidak akan bisa hilang, dan akan terbawa sampai ke liangkuburmu." Begitu ucapannya selesai, tokoh bertubuh bongkok itu menggerakkan dua jari tangannya mencolok mata kanan Kanuraga.

Crokkk!

Kanuraga menjerit setinggi langit. Tubuhnya gemetar hebat. Keringat sebesar biji-biji kedelai kembali merembes keluar, membasahi sekujur wajah dan tubuhnya. Anehnya, pemuda bertubuh gagah itu bagaikan telah terpengaruh oleh kekuatan aneh dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Sedikit pun tak ada usaha untuk menghindar atau menangkis upaya penyiksaan yang dilakukan tokoh bengis itu.

Darah segar mengalir turun dan membasahi lengan tokoh bertubuh bongkok yang jari-jari tangannya masih terbenam di mata Kanuraga. Jari-jari tangan itu bergerak-gerak hendak mengorek keluar biji mata Kanuraga. Perbuatan itu dilakukan dengan tenang dan perlahan, membuat Kanuraga melolong-lolong, merasakan deraan rasa sakit yang hebat luar biasa.

"Aaa...!" Kanuraga meraung parau ketika biji matanya dicabut keluar. Tubuhnya yang dilepaskan, terhuyung limbung. Mulutnya masih terus melolong-lolong sambil menekan mata kanan yang telah buta dengan telapak tangannya. Hingga, darah yang merembes keluar membasahi lengan dan pakaiannya. Dalam cengkeraman rasa sakit yang lebih hebat daripada kematian itu, tiba-tiba terlintas bayangan istrinya yang telah tiada.

Kematian perempuan yang sangat dicintainya itu, membuat jiwanya sempat tergoncang, hingga hidupnya terasa hampa dan tidak berarti lagi. Peristiwa itu terjadi tiga tahun yang lalu, saat desa tempat mereka menetap dilanda wabah penyakit menular. Sejak itulah Kanuraga menjadi dingin dan selalu muram. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi mengembara guna melupakan kedukaannya

Kini, saat siksa itu mendera dirinya, bayangan istrinya seolah muncul dan melambaikan tangan kepadanya. Dilihat wajah sang Istri sangat pucat, meski dengan sorot mata penuh cinta kasih. Hingga tanpa sadar, Kanuraga menggapaikan tangannya, sementara mulutnya masih tak henti melolong.

Tiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam kembali memperdengarkan suara tawa iblisnya. Penderitaan yang dirasakan Kanuraga tampaknya merupakan suatu yang menggembirakan bagi mereka. Memang begitulah sifat-sifat yang dimiliki kaum golongan sesat. Jika lawan menderita, semakin puaslah hati mereka.

Sayang Kanuraga tidak mengetahui akan hal itu. Andai saja Kanuraga tahu, ia pasti akan berusaha untuk bersikap tabah dan tidak merasa gentar, kendati harus menjalani siksaan sehebat apa pun. Sikap seperti itu sudah pasti akan membuat tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam merasa tidak puas dan marah. Dan, akhirnya mereka akan langsung membunuh Kanuraga.

Namun, tiba-tiba saja tawa ketiga tokoh kejam itu lenyap seketika. Gambaran kepuasan yang semula terpancar jelas di wajah mereka, mendadak berganti dengan keheranan. Karena, Kanuraga yang semula melolong-lolong sambil menekap sebelah matanya itu, mendadak terhenti.

Rintihannya lenyap. Telapak tangannya kini diturunkan perlahan-lahan. Tubuhnya tampak menegang sesaat. Lalu, mata di wajah pucat itu menatap kosong ke depan. Kakinya melangkah kaku menghampiri ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam, yang hanya terdiam heran melihat sikap Kanuraga yang seperti mayat hidup itu.

"Apa... apa yang terjadi dengan dirinya...?!" Tokoh tertua yang bertubuh bongkok bertanya gagap. Wajahnya tampak menegang. Dadanya berdebar. Rasa ngeri mulai menyelimuti hatinya.

"Mungkin... ia... ia kerasukan setan...!" desis tokoh yang kedua tulang pipinya menonjol. Tak beda dengan rekannya, hati tokoh ini pun merasa ngeri melihat keadaan Kanuraga.

"Hentikan semua omong kosong dan pikiran gila itu!" Tokoh yang lainnya menghardik jengkel, la memang mengalami perasaan serupa dengan kedua lawannya. Namun perasaan itu dibantahnya kuat-kuat. "Menurutku, ia pasti sudah putus asa, dan minta agar kita segera membunuhnya," lanjutnya berusaha meyakinkan kedua orang kawannya.

Sebenarnya, apa yang dirasakan ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu tidaklah mengherankan. Sebab pada dasarnya setiap manusia mempunyai perasaan takut, tanpa terkecuali. Demikian pula halnya dengan ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang bengis dan kejam itu.

Mereka pun memiliki perasaan takut, yang terselubung di balik kekejamannya. Mereka takut dan tunduk terhadap perintah pimpinan-pimpinannya ataupun terhadap ketuanya. Dan, meskipun tidak terlalu kuat, namun perasaan takut itu kini muncul demi melihat sikap dan tingkah Kanuraga yang tiba-tiba aneh dan menyeramkan.

Sementara itu, Kanuraga terus melangkah kaku menghampiri ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Sorot wajah dan tingkah Kanuraga yang janggal itu, membuat mereka merasa seram dan agak gentar. Dan, selagi salah seorang dari ketiga tokoh itu berusaha meyakinkan kawannya untuk tidak merasa takut, tiba-tiba saja tubuh Kanuraga mencelat ke depan. Masih dengan gerakan yang kaku, sepasang tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan dengan kuat

Tokoh pemberang berwajah penuh brewok yang menjadi sasaran serangan Kanuraga, terkejut bukan kepalang. Dari kibasan kedua lengan itu menyambar serangkum angin yang sangat kuat. Namun, demi untuk meyakinkan kedua kawannya, bahwa Kanuraga tidak kerasukan setan, maka serangan itu langsung disambut dengan dorongan kedua tangannya.

Breshhh...!

Apa yang terjadi dari benturan kedua tangan mengandung tenaga dalam itu sempat membuat kedua tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam terkejut bukan kepalang. Tubuh tokoh berwajah brewok itu terpental diiringi jeritan panjang tanda kengerian hatinya. Dorongan tangannya dirasakan bagai membentur sebuah dinding karet yang sangat kuat, membuat tenaga dorongannya membalik dan memukul dirinya. Sehingga, ketika tokoh itu terbanting jauh, darah segar langsung termuntah dari mulutnya.

Sedangkan dua orang tokoh lainnya, tampak ternganga takjub ketika melihat tubuh Kanuraga yang saat itu masih mengambang di udara. Tubuh itu seperti tergantung oleh sesuatu yang tak tampak. Bergoyang-goyang bagaikan selembar benda ringan yang dipermainkan angin.

Ketika kedua tokoh itu terpaku bagai tak mempercayai penglihatannya, tiba-tiba tubuh Kanuraga meluncur turun ke arah mereka. Tak terdengar teriakan sedikit pun dari mulut Kanuraga, meski ia meluncur turun sambil melancarkan serangan maut. Seolah Kanuraga memang merupakan sosok mayat hidup yang baru saja bangkit dari kubur untuk melampiaskan dendam yang belum terbalaskan.

"Iblis...!"

Kedua orang tokoh yang sangat ditakuti lawan dan dijuluki iblis itu malah memaki Kanuraga sebagai iblis. Hati mereka merasa ngeri melihat kejadian yang sangat mustahil itu. Sehingga, keduanya baru sadar akan ancaman bahaya itu, sewaktu serangan Kanuraga sudah tinggal sejengkal lagi dari tubuh mereka.

Bukkk! Plakkk!

Pukulan dan tamparan keras itu langsung singgah di tubuh sasarannya. Demikian kuatnya tenaga pukulan dan tamparan itu, hingga tubuh kedua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam terpental seraya memuntahkan darah segar. Tubuh mereka jatuh bergulingan sampai hampir tiga tombak jauhnya. Namun, keduanya buru-buru bergerak bangkit, karena penasaran dan tak percaya dengan apa yang telah mereka alami.

"Ini benar-benar gila...!" Tokoh yang kedua tulang pipinya menonjol, mengutuk dengan suara terputus-putus. Kemudian kembali terbatuk dan muntah darah.

"Dia pasti telah dibantu oleh iblis-iblis penghuni hutan ini...!" timpal tokoh tertua sambil mengatur napas guna meredakan guncangan di dalam dadanya, yang terkena gedoran telapak tangan Kanuraga.

Kanuraga, yang baru meluncur turun, langsung menjejakkan kakinya ke tanah. Kemudian kembari melambung ke udara. Setelah berjungkir-balik beberapa kali, tubuhnya yang tepat berada di atas kedua tokoh itu, langsung meluncur turun dengan cepat. Kedua kakinya terpentang lebar, siap meremukkan tubuh kedua orang tokoh itu.

Lengking kematian yang panjang, bergema, dan menyayat hati saat kedua telapak kaki Kanuraga menjejak tubuh kedua orang tokoh itu. Terdengar suara berderak keras seperti tulang- tulang tubuh yang berpatahan. Kedua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang mengerikan itu menggelepar sebelum menghembuskan napas penghabisan.

"Keparat...! Akan kucincang tubuhmu, Bedebah...!" Tokoh berwajah brewok menggeram ketika menyaksikan kematian kawan-kawannya. Dengan senjata di tangan, ia menyiapkan untuk menggempur Kanuraga, yang saat itu tengah berdiri kaku menatap lawannya dengan sinar mata kosong. Namun, sebelum tokoh itu menerjang Kanuraga, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh yang menggema memenuhi sekitar tempat itu.

"Heh heh heh...! Rupanya manusia kejam sepertimu masih juga bisa memaki orang lain! Jangan dikira cuma kalian saja yang bisa membunuh orang! Orang lain pun sanggup melakukan hal serupa. Nah, sekarang terimalah kematianmu dengan gembira...!"

"Bedebah...!" maki tokoh berwajah brewok sambil menghentikan gerakannya. Lalu memutar tubuh hendak mencari pemilik suara tanpa wujud itu. Namun yang dilihatnya cuma dedaunan pohon bergemerisik dipermainkan angin.

"Hei, Iblis-Iblis Penunggu Hutan! Tunjukkan rupamu!" Karena jengkel tak bisa menemukan si Pemilik Suara tanpa wujud, tokoh brewok itu berteriak menantang-nantang seperti orang gila.

"Hei, Brewok Jelek! Tidak usah sesumbar seperti itu! Hadapi saja orang yang baru saja kalian siksa itu...!"

Kembali suara tanpa wujud itu terdengar, diakhiri suara tawa mengekeh berkepanjangan, membuat tokoh berwajah brewok itu kian terbakar api kemarahan. Tubuhnya kembali berputar menghadapi Kanuraga. Ditekannya rasa ngeri ketika melihat raut wajah berlumur darah dan sorot mata yang tinggal sebelah itu. Hatinya sempat bergidik menyaksikan mata kanan Kanuraga yang cuma berupa rongga meneteskan darah itu. Lalu ia mendengus keras-keras seperti hendak mengusir rasa gentar dan ngeri yang membuat dadanya berdebar.

Wrett!

Sambil berteriak keras, tokoh berwajah brewok itu menerjang Kanuraga dengan sambaran pedangnya. Namun bukan main kaget hatinya sewaktu pedang itu kembali terpental balik. Padahal Kanuraga sama sekali belum bergerak. Dan pedangnya pun belum sempat menyentuh sasaran. Hatinya semakin penasaran bukan main. Lalu kembali membabat tubuh Kanuraga berkali-kali. Tapi, serangannya bukan saja tidak berhasil, bahkan tubuhnya tiba-tiba terpental deras tanpa diketahui penyebabnya.

"Iblis busuk, tunjukkan rupamu...!" Dalam kekalapan dan hati mulai dicekam rasa ngeri, tokoh brewok itu berteriak dan mengutuk sejadi-jadinya.

Baru saja ucapannya selesai, tahu-tahu saja ia merasakan tubuhnya mendadak kaku. Dia berusaha mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari belenggu yang tak tampak itu. Tapi sia-sia! Semakin keras ia berusaha memberontak, semakin keras pula kekuatan tenaga aneh yang mengunci dirinya.

Merasakan hal yang tak masuk di akal itu, tokoh brewok tak bisa lagi menahan perasaan ngeri dan takut yang seketika mencengkeram hatinya. Apalagi ketika melihat Kanuraga melangkah kaku ke arahnya. Bukan main takut dan ngerinya hati tokoh berwajah brewok itu.

"Nah, sekarang kau rasakanlah, bagaimana perasaan korban-korbanmu yang telah kau siksa sebelum kau bunuh itu...!"

Suara tanpa wujud itu kembali menggema. Kali ini tokoh berwajah brewok itu tidak bisa menjawab lagi. Rasa ngeri dan takut, yang selama ini dirasakan korban-korbannya, kini benar-benar dialaminya. Tokoh brewok itu merasa takut bukan main. Padahal biasanya ia justru menertawakan korban-korbannya yang ketakutan dan merintih-rintih minta ampun.

Sementara itu, Kanuraga yang sudah semakin dekat, menghentikan langkahnya dalam jarak kurang dari sejangkauan tangan. Tanpa peduli betapa tokoh brewok itu berteriak merintih dan mengiba, tangan Kanuraga dengan jari-jari terbuka langsung menusuk dada lawan.

Darah segar berhamburan diiringi jeritan panjang yang menggiriskan hati. Ketika Kanuraga mencabut tangannya yang terbenam hingga mencapai pergelangan, tokoh berwajah brewok itu langsung melorot jatuh. Tubuhnya menggelepar dengan mata terbelalak. Sebentar kemudian, tokoh itu pun tewas dengan mata tetap membelalak lebar.

***
TUJUH
Setelah selesai menghabisi ketiga orang lawannya, tiba- tiba saja tubuh Kanuraga melorot jatuh terduduk. Kanuraga heran bukan main ketika merasakan kekuatan gaib yang membantunya lenyap begitu saja. Tubuhnya kembali terasa lemas tak bertenaga. Meskipun demikian, Kanuraga merasa sangat bersyukur. Karena, dengan bantuan tenaga aneh yang tidak diketahui dari mana datangnya itu, ia telah dapat membunuh ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Ingatan tentang siksa yang dilakukan ketiga orang itu, membuat Kanuraga baru sadar dan kembali merasakan sakit pada mata kanannya yang kini telah bolong. Lelaki muda bertubuh gagah itu mengeluh sambil meraba mata kanannya, yang terasa ngilu dan nyeri ketika hembusan angin menerpanya.

"Heh heh heh...! Sebaiknya matamu itu segera diobati..."

Suara yang mengejutkan dan terdengar dekat di samping telinganya itu, membuat Kanuraga terjingkat saking kagetnya. Kanuraga segera memutar tubuhnya.

"Aaah...!" Kanuraga menjerit tertahan. Tubuhnya mencelat ke belakang sampai satu tombak lebih! Wajahnya berubah pucat seperti kertas, ketika melihat sosok seorang kakek cebol, yang entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah berada di samping Kanuraga.

"Jangan takut! Aku bukan orang Perkumpulan Tengkorak Hitam." Kakek cebol yang tak lain Kakek Peramal Sinting, berusaha menenangkan Kanuraga.

"Benar, Sahabat. Malah Kakek Peramal Sinting inilah yang tadi menolongmu..."

Kanuraga berpaling kepada pemilik suara itu. Dan, baru ia sadar kalau kakek cebol itu tidak datang sendirian. Di tatapnya sosok pemuda tampan berpakaian serba putih itu. Lalu, melirik ke sosok seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Melihat sepasang orang muda itu, Kanuraga langsung mengenalinya. Karena mereka pernah dia lihat sewaktu menolongnya di tempat kediaman Prajayasa. Pasangan orang muda yang datang bersama Kakek Peramal Sinting memang Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

"Mengapa..., mengapa kalian menolongku...?!" tanya Kanuraga, yang membuat Kakek Peramal Sinting tertawa mengekeh.

Bagi orang lain pertanyaan itu memang terdengar aneh dan tolol. Namun tidak bagi Kanuraga. Karena belakangan ini dirinya telah mengalami berbagai peristiwa hebat, yang membuat jiwa tergoncang dan nyaris gila. Penduduk beberapa desa mengusir dan menuduh dirinya sebagai pembunuh bahkan ada yang mengeroyok hendak membunuh. Sahabat-sahabatnya tidak bersedia membantu, dan malah menganggap dirinya sebagai pembawa malapetaka. Semua peristiwa itulah, yang membuat Kanuraga belum bisa menerima kebenaran ucapan Pendekar Naga Putih.

"Mengapa kami menolongmu?" Kakek Peramal Sinting mengulangi petanyaan itu sambil terkekeh. "Tentu saja karena kau membutuhkan pertolongan," lanjutnya sambil menoleh kepada Panji dan Kenanga. Kepalanya terangguk-angguk, seperti hendak meminta dukungan pasangan pendekar muda itu. Dan, kakek cebol itu terkekeh puas ketika Kenanga dan Panji buru-buru mengangguk.

"Tapi..."

"Haihhh, sudahlah...!" Kakek Peramal Sinting menepiskan lengannya di udara. "Wajahmu sudah banyak menceritakan tentang apa saja yang telah kau alami. Aku sudah tahu aku...," lanjutnya. Kakek Peramal Sinting memang tidak berkata dusta. Karena hanya dengan melihat raut wajah seseorang, kakek cebol ini sudah bisa menebak apa yang terpikir dan peristiwa apa saja yang tertanam dalam pikiran orang itu.

"Kau lupa kalau yang menolongmu berjuluk Kakek Peramal Sinting?" ujar Panji mengingatkan Kanuraga.

"Peramal Sinting...!?" desis Kanuraga sambil menatap sosok kakek cebol itu dengan mata terbelalak lebar. Tadi ia memang tidak begitu memperhatikan, sewaktu Panji menyebut julukan kakek itu.

"Haiii..., untuk apa menggembar-gemborkan nama julukan kosong itu, Pendekar Naga Putih?" Kakek Peramal Sinting kembali menepiskan lengannya di udara. Dan, ia memang sengaja hendak membalas, karena ia tahu bahwa julukan Panji sangat terkenal dan merasa yakin kalau Kanuraga pernah mendengarnya.

"Kau... benarkah kau... Pendekar Naga Putih...?!"

"Hei, kau tidak percaya denganku?" Kakek Peramal Sinting agak jengkel ketika mendengar Kanuraga masih minta penegasan dari Panji.

"Benar, Sahabat. Aku memang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih," ujar Panji sambil tersenyum dan mengangguk kepada Kanuraga, yang masih terbengong-bengong.

Nampaknya Kanuraga tak menyangka kalau di tempat itu ia akan berjumpa dengan tokoh-tokoh yang nama besarnya telah terkenal di kalangan persilatan. Terutama Pendekar Naga Putih, yang didengarnya telah banyak menaklukkan tokoh-tokoh sakti golongan hitam. Nama Kakek Peramal Sinting sendiri didengar dari cerita gurunya.

Sedangkan mengenai sepak tenang kakek cebol itu, Kanuraga belum pernah mendengarnya. Hal itu tidak aneh, karena Kakek Peramal Sinting boleh dibilang hampir tidak pernah muncul di kalangan persilatan. Kalaupun pernah, itu cuma sekelebatan saja. Hingga, kecuali tokoh-tokoh tua, jarang ada yang mengenal nama Kakek Peramal Sinting.

"Sudah... sudah, kalau mau berbicara, nanti saja! Sekarang yang paling penting harus segera mengobati matamu..."

Ucapan Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga menelan kembali kata-kata yang siap terlontar dari mulutnya. Teringat akan luka pada mata kanannya, Kanuraga kembali meringis sambil menutupnya dengan telapak tangan, menghindari terpaan angin yang masuk ke rongga mata itu.

Kanuraga tidak menolak ketika Kakek Peramal Sinting menyeret lengannya dan mendudukkannya di atas rerumputan di bawah sebatang pohon. Panji dan Kenanga ikut duduk tak jauh dari kedua orang itu. Dan, ketika Kakek Peramal Sinting memintanya untuk segera mengobati luka Kanuraga, tanpa banyak cakap lagi Panji segera melakukannya.

***

Di tengah sebuah belantara yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa, berdiri sebuah bangunan besar yang kokoh mirip sebuah benteng. Di kiri-kanan bangunan besar itu, terdapat sepuluh buah rumah berbentuk sederhana. Meskipun cuma terbuat dari kayu, rumah-rumah itu tampak kokoh dan kuat. Rumah-rumah sederhana itu adalah tempat tinggal anggota-anggota Perkumpulan Tengkorak Hitam. Sedangkan bangunan besar yang meskipun sudah tua namun terlihat masih sangat kokoh itu, ditempati pimpinan-pimpinan perkumpulan itu.

Saat itu, di dalam sebuah ruangan cukup luas yang biasanya menjadi tempat pertemuan, terlihat seorang lelaki yang mengenakan topeng tengkorak berwarna hitam, duduk di atas kursi berkaki gading. Sorot mata di balik topeng tengkorak itu tajam menggiriskan, dan tertuju kepada sosok yang tengah berdiri di depannya. Sosok tinggi itu mengenakan topeng wajah raksasa bengis berwarna merah.

Di sebelah kiri lelaki bertopeng tengkorak hitam, duduk sosok lain, yang juga mengenakan topeng serupa. Bedanya, sosok tubuh ini berperawakan ramping. Rambutnya yang panjang tampak mengkilap seperti diminyaki. Sosok kedua itu jelas seorang perempuan yang sudah cukup umur. Karena dialah istri dari Raja Tengkorak Hitam, yang usianya telah mencapai sekitar enam puluh lima tahun. Seperti halnya Raja Tengkorak Hitam, perempuan itu pun tampak tengah menatap lurus ke depan dengan sinar mata yang tidak kalah tajam dengan suaminya.

"Hm..., apakah kau tidak salah, Topeng Merah?"

Terdengar suara Raja Tengkorak Hitam meminta kepastian dari lelaki yang berjuluk Topeng Merah itu. Nada suaranya demikian halus dan lembut. Sama sekali tidak mencerminkan watak licik dan kejam. Bahkan kedengarannya seperti orang tua yahg berhati bijaksana. Namun, justru di balik tutur katanya yang lembut itulah tersembunyi watak jahat dan kejam.

"Aku bukan cuma melihatnya, Ketua. Tapi, juga mendengar Pendekar Naga Putih menyebut namanya." Topeng Merah memberi kepastian dengan suara mantap.

"Hm..., kalau si Cebol itu sudah berani menampakkan dirinya lagi, berarti ada kemungkinan tokoh-tokoh tua lainnya pun akan bermunculan pula...," gumam Raja Tengkorak Hitam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Untuk apa kau merisaukan semua itu, Suamiku? Kalau memang Peramal Sinting ataupun Raja Obat berani muncul lagi, kita beresi saja mereka. Habis perkara!" Istri Raja Tengkorak Hitam, yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam, menyahuti dengan nada dingin dan sombong.

"Hm..., dengarlah, Istriku! Aku sama sekali tidak khawatir meskipun umpamanya, kedua kunyuk itu mendatangi markas kita dan mengajukan tantangan kepada kita. Aku hanya tidak ingin kalau kedua kunyuk itu menyatukan golongan putih untuk menggempur kita. Bukannya aku takut. Tapi, alangkah baiknya kalau kita mengadakan pencegahan lebih cepat. Sehingga, apabila pertemuan dengan seluruh golongan hitam yang kita rencanakan terjadi, tidak akan ada gangguan..."

"Hm..., rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera menghajar Peramal Sinting itu...!" desis perempuan tua itu ketika ucapan suaminya selesai. Tangannya dikepalkan hingga memperdengarkan suara buku-buku jarinya yang berkerotokan.

"Istriku," suara Raja Tengkorak Hitam tetap tidak berubah. Sabar dan lembut. "Rencana yang kita susun sangat memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Dan, aku tidak ingin gagal lagi, seperti yang pernah terjadi pada belasan tahun lalu. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu, kita harus selalu hati-hati dalam melakukan tindakan. Anggota-anggota kita, sengaja kusebar di berbagai desa. Kuperintahkan mereka untuk menaklukkan penduduk-penduduk desa. Terserah bagaimana cara mereka melakukannya. Yang jelas, mereka harus membuat penduduk takut dan menurut kepada mereka. Dengan begitu, apabila kita bergerak nanti, maka kita telah memiliki pasukan dalam jumlah yang besar. Dan, setelah semuanya siap, baru kita menggempur kotaraja. Lalu, kita berdua akan menguasai negeri ini..."

"Lalu kapan kau akan mengadakan pertemuan dengan seluruh tokoh-tokoh golongan hitam di negeri ini?" tanya istrinya setelah mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu.

"Tidak lama lagi," jawab Raja Tengkorak Hitam mantap. "Tapi, kita harus membereskan Peramal Sinting dan Pendekar Naga Putih lebih dulu..."

Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak Hitam mengedarkan pandangannya, menyapu empat orang yang duduk di kiri kanan Topeng Merah. Keempat orang itu juga mengenakan topeng yang berbeda-beda pada wajahnya.

"Topeng Merah, dan kalian berempat, carilah si Peramal Sinting itu. Tangkap dan seret ke tempat ini!" perintah Raja Tengkorak Hitam.

"Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih, Ketua?" tanya Topeng Merah mengingatkan ketuanya.

"Ringkus dan juga seret ke tempat ini! Aku ingin melihat seperti apa rupa pendekar muda yang kabarnya memiliki ilmu-ilmu mukjizat itu!"

"Baik, Ketua!" sahut Topeng Merah. Kemudian minta diri bersama keempat orang rekannya, yang juga merupakan tokoh-tokoh utama perkumpulan itu.

***

"Haiii..., kalau benar mereka telah muncul kembali, berarti negeri ini tengah berada dalam ancaman bahaya. Dan itu berarti alamat tulang-tulang tuaku yang rapuh harus bekerja keras. Hm.., akankah aku mampu mengatasi keganasan mereka...?"

Kakek itu berjalan sambil tak henti-hentinya berbicara seorang diri. Kepalanya menggeleng-geleng disertai helaan napas berat sesekali. Tampaknya hati kakek itu sedang dilanda kerisauan. Namun, kemuraman dan kegelisahan hati kakek itu, sama sekali tidak bisa menyembunyikan kesegaran wajahnya. Kedua belah sisi pipinya tampak kemerahan, menandakan kalau kakek itu orang yang selalu menjaga dan memperhatikan kesehatannya.

Sehingga, meskipun telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun, tubuhnya masih terlihat sehat dan segar. Sepasang mata yang sudah agak pudar wama hitamnya itu, tampak menyorotkan sinar lembut dan penuh kasih. Gambaran seorang yang bijaksana dan penyabar.

Sebenarnya, kakek berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan. Bagi tokoh-tokoh tua nama besar itu tetap terngiang, kendati ia jarang sekali menampakkan dirinya di dunia ramai. Hidupnya selalu diwarnai pengembaraan.

Meski sudah banyak memberi pertolongan pada setiap tempat yang disinggahi, namun ia tidak pernah menyebutkan nama maupun julukan dan selalu lenyap sebelum orang-orang yang ditolongnya sempat mengucapkan terima kasih. Sehingga, orang-orang yang pernah mendapat pertolongannya, menyebut kakek itu sebagai orang tua budiman, yang menolong tanpa pamrih.

Bagi tokoh-tokoh persilatan tingkat menengah ke bawah, terutama tokoh-tokoh muda, nama kakek itu sama sekali tidak dikenal. Kecuali orang-orang yang mendapat didikan tokoh-tokoh sakti. Nama besar kakek itu pasti akan disebut-sebut dalam setiap memberikan wejangan.

Meskipun begitu, sedikit sekali murid tokoh-tokoh sakti berkesempatan jumpa dengan kakek yang selalu memilih tempat-tempat sunyi dalam melakukan pengembaraan. Dan, kalau sekarang kakek itu menampakkan dirinya, sudah pasti ada sesuatu peristiwa hebat yang telah menarik langkahnya untuk mengetahui keadaan secara lebih jelas. Kakek inilah yang berjuluk Raja Obat

Setelah melewati hutan lebat, kini Raja Obat melenggang ringan, melintasi jalan lebar dan berbatu. Namun baru saja berjalan kira-kira tiga tombak, mendadak Raja Obat menunda langkahnya sesaat Keningnya berkerut seperti merasakan sesuatu yang membuat hatinya agak gelisah.

Belum lagi kakek itu sempat memikirkan keanehan yang dirasakannya, tiba-tiba muncul gumpalan asap tebal berwarna putih, menghalangi pandangannya. Berbagai pengalaman yang telah ditemuinya, membuat Raja Obat dapat menduga akan adanya ancaman bahaya. Bergegas kakek itu melompat mundur sambil tetap mengawasi gumpalan asap di depannya.

"Hua ha ha..!"

Bersamaan dengan lenyapnya gumpalan asap tebal itu, terdengarlah suara gelak tawa yang sangat keras. Raja Obat mengerahkan tenaga dalam guna melindungi telinga dan dadanya yang berdebar keras. Suara gelak tawa itu mengandung serangan tenaga dalam yang hebat!

Dua sosok tubuh yang muncul bersamaan dengan lenyapnya gumpalan asap tebal itu, segera menghentikan gelak tawa mereka. Karena mereka melihat kakek yang diserangnya sama sekali tidak bergeming. Bahkan kini tengah tersenyum sambil menatap mereka dengan sinar mata yang tetap lembut.

"Aihhh..., kalian ini membuat aku si Orang Tua merasa terkejut dan hampir jatuh pingsan," tegur Raja Obat sambil memperdengarkan tawanya yang lembut. "Apakah kalian berdua tukang-tukang sulap yang hendak menakut-nakuti aku? Topeng-topeng yang kalian kenakan memang cukup menyeramkan dan bisa membuat anak-anak lari ketakutan. Sayang, aku sudah terlalu tua dan tidak kuat berlari-lari. Selain itu, aku pun bukan lagi anak kecil. Jadi, maaf saja kalau aku telah membuat kalian kecewa..."

"Heh heh heh...!" Salah satu dari kedua sosok yang mengenakan topeng berbentuk kepala tikus, lengkap dengan moncong dan taringnya, memperdengarkan suara tawa lirih. Sorot mata di balik topeng itu tampak menyorot tajam, merayapi wajah Raja Obat. Lalu terdengar suaranya yang mirip dengan suara cericit seekor tikus. "Di hadapan kami, kau tidak perlu bersandiwara, Raja Obat! Kami tahu siapa dirimu. Dan, kami datang untuk menjemputmu!"

"Menjemputku?!" tanya Raja Obat tetap dengan tersenyum lembut. "Ke mana? Dan apa perlunya?"

"Kau tidak perlu banyak tanya! Suka atau tidak, kami akan tetap membawamu!" Sosok kedua, yang mengenakan topeng kepala kerbau menukas tajam. Suaranya besar dan sengau, hampir tak beda dengan lenguh seekor kerbau.

"Wah...! Sebenarnya kalian berdua ini binatang ataukah manusia? Mengapa suara kalian mirip sekali dengan binatang-binatang yang topengnya kalian kenakan itu? Dan, mengapa kalian hendak memaksakan kehendak kepada orang tua sepertiku...? Tidakkah kalian bisa bersikap sedikit lebih sopan dan hormat? Karena, tanpa dipaksa pun sebenarnya aku tentu akan suka mengikuti ajakan kalian. Tapi..., karena kalian sudah menunjukkan sikap kasar dan tidak sopan, jadi maaf saja. Aku tidak bisa diperintah orang kasar! Lebih-lebih oleh manusia setengah hewan seperti kalian. Ya..., lain kali sajalah," ujar Raja Obat tanpa mempedulikan betapa mata kedua orang aneh itu menyorot tajam, menyiratkan ancaman maut

"Tidak ada lain kali, Raja Obat!" Sosok yang mengenakan topeng kepala tikus membentak bengis.

"Benar! Dan, mau atau tidak, kami akan tetap membawamu!" lanjut sosok bertopeng kepala kerbau dengan suara lenguhan yang tidak kalah bengisnya. Baru saja ia selesai berucap, tubuhnya langsung melesat ke arah Raja Obat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Tahu-tahu, tangan kanannya sudah terjulur melancarkan totokan di tiga jalan darah pada tubuh Raja Obat.

Raja Obat memiringkan tubuhnya sewaktu jari-jari tangan yang memperdengarkan suara bercericitan, datang mengancamnya. Dan, ketika tangan kiri lawan menyusuli dengan sebuah tamparan keras ke arah pelipisnya, Raja Obat segera mengangkat tangannya memapaki.

Dukkk!

Kakek berjubah putih itu terpekik saking kagetnya. Tangkisan itu telah membuat kuda-kudanya tergempur. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Sedangkan saat itu, lawannya sudah kembali menerjang disertai serangkaian pukulan dan tendangan yang keras dan sangat cepat. Raja Obat terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan dirinya.

"Haiiit..!"

Setelah lewat dari tiga jurus lawannya menyerang, Raja Obat membentak sambil melenting ke udara. Dari atas kedua telapak tangan bergerak cepat sekali menyambar kepala lawan. Namun, belum sempat serangannya sampai sasaran, telinga Raja Obat mendengar suara berdesing tajam. Tampak empat cahaya putih yang mengancam jalan darah di tubuhnya. Terpaksa lelaki tua berjubah putih itu mengurungkan serangannya. Kedua tangannya berputar menyambar keempat cahaya putih itu.

Tap! Tap! Tap!

Keempat cahaya putih itu berhasil ditangkapnya. Raja Obat berjungkir balik beberapa kali dan mendarat ditempat yang aman. Diam-diam hatinya mengeluh demi merasakan kehebatan kedua orang manusia bertopeng itu. Karena, empat cahaya putih yang ternyata senjata rahasia berupa taring-taring tikus itu, sempat membuat telapak tangannya bergetar sewaktu menangkap. Hal itu menandakan bahwa si Penyerang memiliki tenaga dalam yang benar-benar kuat.

Kedua manusia bertopeng itu tampaknya tak ingin memberi kesempatan kepada Raja Obat untuk berpikir lebih lama. Mereka langsung menerjang bersamaan. Keduanya saling menyerang dan melindungi dengan kompak. Raja Obat kembali terkejut karena jurus-jurus yang kali ini digunakan kedua lawan mengingatkannya akan sepasang suami istri jahat, yang pernah mengalahkannya pada puluhan tahun silam.

"Celaka! Kalau begitu mereka pastilah tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam! Rupanya kabar angin yang sampai ke telingaku itu benar...," desis Raja Obat yang segera menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Kemudian menyiapkan jurus-jurusnya. Lalu kakek itu pun mulai melancarkan serangan balasan.

"Heaaa...!"

Raja Obat membentak sambil melompat berputar. Dari atas, tangan kanannya mengibas mengancam leher sosok bertopeng kepala kerbau yang berjuluk Siluman Kerbau. Begitu serangan pertamanya luput, tangan kirinya menyusul dengan sebuah tusukan kilat.

Jrabbb!

Tusukan telak Raja Obat membuat Siluman Kerbau mengeluh. Tubuhnya terpental mundur. Namun Raja Obat sendiri tidak luput dari bahaya. Bersamaan dengan tusukan tadi, serangan Siluman Tikus mengenai tubuhnya. Meskipun Raja Obat sudah memiringkan tubuh untuk menghindar, tetap saja tamparan itu sempat mendarat pada sasaran. Tidak terlalu telak memang, tapi cukup membuat tubuh tua itu terhuyung. Sementara Siluman Tikus sendiri sudah melesat mengejar dengan serangkaian pukulan dahsyatnya.

Plak! Plak! Plak!

Kendati dalam kedudukan yang tidak menguntungkan seperti itu, Raja Obat masih sempat juga mematahkan tiga buah pukulan yang tertuju ke dada, kening dan lambungnya. Tangkisan itu membuat tubuhnya mencelat ke belakang. Hal itu memang disengaja oleh Raja Obat yang meminjam tenaga pukulan lawan untuk mengambil jarak. Kemudian, Raja Obat langsung menyiapkan ilmu 'Memindahkan Tenaga Sakti'. Sebuah ilmu aneh dan dahsyat yang jarang sekali digunakannya.

Saat itu, Siluman Kerbau sudah menerjang maju dengan sebuah pukulan dahsyat yang mengarah dada. Ketika pukulan itu hampir mengenai dadanya, Raja Obat menarik tubuh mengikuti arus pukulan itu. Gerakan Raja Obat demikian lemah. Seolah sebelum pukulan itu mendarat pada sasaran, tubuhnya telah terdorong oleh sambaran anginnya. Namun, pada saat Siluman Kerbau hampir bergelak melihat serangannya berhasil, tiba-tiba saja tubuh Raja Obat menyentak ke depan dengan kekuatan dua kali lipat lebih besar.

Breshhh...!

Siluman Kerbau menjerit keras setinggi langit. Dorongan kedua tangan Raja Obat yang bertenaga dahsyat itu, membuat tubuhnya terpental deras, melayang di udara laksana layang-layang putus. Kemudian terbanting dengan keras dan tewas seketika! Hantaman itu ternyata telah meremukkan bagian dalam tubuhnya.

Kejadian yang sebelumnya tak pernah terbayangkan itu, membuat Siluman Tikus terpaku bagai patung. Ia benar-benar tidak mengerti, apa yang telah terjadi terhadap kawannya itu. Padahal tadi ia melihat dengan jelas betapa pukulan kawannya mengenai dada Raja Obat Heran bukan main hatinya ketika melihat Raja Obat seperti tidak merasakan serangan Siluman Kerbau. Bahkan masih dapat membalas dan membuat kawannya tewas!

"Tua Bangka! Ilmu siluman apa yang telah kau gunakan untuk membunuh kawanku?!" geram Siluman Tikus penasaran.

"Heh heh heh...! Sungguh lucu sekali! Manusia siluman menuduh orang lain menggunakan ilmu siluman! Dunia benar-benar sudah terbalik!" sahut Raja Obat sambil tertawa mengejek.

"Keparat sombong! Kau kira aku takut dengan ilmu siluman itu! Nah, sambutlah seranganku!" Belum lagi gema suaranya lenyap, Siluman Tikus sudah menerjang Raja Obat dengan serangkaian serangan maut.

Raja Obat mengelak ke kiri dan ke kanan sambil menunggu saat yang tepat untuk mempergunakan ilmu mukjizatnya. Dan, ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Siluman Tikus yang tengah dilanda kemarahan itu tampaknya benar-benar kalap. Serangan-serangannya terus berkelanjutan bagaikan gelombang laut.

Whuuut...!

Dalam kemarahannya, Siluman Tikus telah melupakan perintah pimpinannya, yang tidak memperbolehkan membunuh Raja Obat. Sehingga, tamparan itu dilakukan dengan sepenuh tenaga. Siluman Tikus seperti tak peduli lagi, meskipun pukulan itu dapat menewaskan lawan.

Namun, untuk membunuh Raja Obat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Ketika tamparan maut itu datang, Raja Obat kembali menggunakan ilmu dahsyatnya. Tubuhnya bergeser mengikuti arus tenaga tamparan itu. Begitu tamparan Siluman Tikus hampir mengenai kepalanya, Raja Obat langsung mendahului dengan tamparan tangan kanan ke kepala lawan.

Prakkk! Siluman Tikus terpelanting dan langsung tewas dengan kepala pecah!

"Haihhh..., semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku...!" desah Raja Obat sambil menggeleng disertai helaan napas panjang. Setelah memandangi mayat lawan-lawannya sejenak, Raja Obat mengayun langkah melanjutkan perjalanannya.

***
DELAPAN
"Heh heh heh...! Wajahmu masih kelihatan segar saja, Tukang Obat...!"

Raja Obat menghentikan langkahnya. Setelah mengerutkan kening sebentar, meledaklah suara tawanya yang terdengar penuh kegembiraan. Meskipun suara itu belum menampakkan rupa pemiliknya, tapi Raja Obat langsung bisa menebak. "Selama hidup, hanya satu manusia yang menyebutku sebagai Tukang Obat! Siapa lagi kalau bukan si Kerdil Sinting tukang ramal murahan!"

Terdengar suara tawa terkekeh-kekeh panjang. Kemudian tampak berkelebat sesosok bayangan. Raja Obat tertawa terbahak-bahak ketika sosok bayangan bertubuh cebol itu berdiri di hadapannya. Sambil tetap tertawa-tawa, disergapnya sosok kakek cebol yang tak lain Kakek Peramal Sinting. Keduanya berpelukan erat sambil tertawa-tawa. Saat itu, tiga sosok bayangan lainnya muncul. Mereka adalah Panji, Kenanga, dan Kanuraga, yang memang datang bersama Kakek Peramal Sinting.

"Eyang...!" Panji langsung bersimpuh di hadapan Raja Obat, ketika kedua orang kakek itu sudah melepaskan pelukannya masing-masing.

"Heh heh heh... kau baik-baik saja, Cucuku?" sapa Raja Obat sambil mengelus rambut kepala Pendekar Naga Putih dan juga Kenanga, yang sudah ikut bersimpuh di hadapan kakek berilmu tinggi itu.

Pendekar Naga Putih tidak bisa menjawab dengan kata- kata. Hatinya diliputi rasa haru dapat berjumpa lagi dengan Raja Obat, yang telah membimbingnya dalam hal ilmu pengobatan. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan kakek itu. Raja Obat pun mengangguk-angguk dengan wajah puas.

"Hei, Tukang Obat!" Kakek Peramal Sinting yang paling tidak suka dengan suasana penuh keharuan seperti itu, berkata lantang. "Melihat dari garis-garis wajahmu, tampaknya kau baru saja mengalami sebuah pertarungan hebat. Bisa kubaca sisa-sisa kemenangan di wajah tuamu itu!"

"Dasar kerdil tukang ramal!" umpat Raja Obat sambil tersenyum. "Makin tua ramalanmu makin hebat saja," pujinya yang sekaligus membenarkan tebakan Kakek Peramal Sinting. Lalu, Raja Obat pun menceritakannya secara singkat.

"Wah, kalau begitu, tampaknya sepasang suami istri gila itu sudah mulai bergerak," ujar Kakek Peramal Sinting setelah mendengar penuturan Raja Obat

"Kami pun tadi pagi baru saja menyelesaikan sebuah pertempuran yang benar-benar sangat melelahkan. Tiga orang pimpinan Perkumpulan Tengkorak Hitam menghadang perjalanan kami dan memaksa untuk ikut bersama mereka. Untunglah ada Pendekar Naga Putih bersamaku. Sehingga, mereka dapat kami kirim ke neraka. Kalau tidak, aku pasti sudah diseret oleh Topeng Merah dan dua orang kawannya itu. Haihhh..., rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku...," desahnya diakhir cerita.

"Kalau begitu, kita harus segera mencari markas mereka!" Raja Obat mengusulkan.

"Hm..., tapi terlalu berbahaya. Kita harus mengatur siasat sebelum bertindak. Karena pasangan suami istri gila itu pasti mempunyai anggota yang cukup banyak," ujar Kakek Peramal Sinting sambil membelai-belai jenggotnya.

"Ya. Dan kemungkinan besar Perkumpulan Tengkorak Hitam akan melakukan pemberontakan lagi, seperti yang pernah kudengar pada belasan tahun silam," timpal Raja Obat sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan kening berkerut.

"Ah, aku ada akal!" sentak Kakek Peramal Sinting sambil menjentikkan jarinya. Lalu, menatap Pendekar Naga Putih. "Kalian bertiga kuberi tugas untuk pergi ke kotaraja. Minta untuk menghadap Senapati Jalatunda. Laporkan bahwa Perkumpulan Tengkorak Hitam tengah menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan! Kau sudah kuberitahu letak markas perkumpulan itu, bukan?" tanyanya kepada Panji.

Pendekar Naga Putih mengangguk pasti, la masih ingat letak markas Perkumpulan Tengkorak Hitam, yang didapat Kakek Peramal Sinting hanya dengan membawa raut wajah Topeng Merah, yang telah tewas di tangannya.

"Nah, pergilah! Sampaikan salamku kepada Senapati Jalatunda! Beliau pasti akan menerima kalian dengan baik. Aku dan Tukang Obat ini akan menunggu di sana," lanjut Kakek Peramal Sinting sambil mengibaskan tangannya, menyuruh mereka bergegas.

"Tapi..., bagaimana denganku, Kek? Aku pernah di..."

"Aaah..., sudah... sudah!" potong Kakek Peramal Sinting. "Aku sudah tahu apa saja yang telah kau lakukan di kotaraja, Kanuraga. Tapi percayalah, mereka sudah melupakanmu," lanjutnya ketika melihat Kanuraga kebingungan.

Ucapan Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga merasa lega. la percaya pada ucapan kakek cebol itu. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera mengikuti Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk melaksanakan perintah Kakek Peramal Sinting.

***

Agak heran juga hati Senapati Jalatunda ketika mendapat laporan bahwa seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, minta untuk dapat menghadapnya. Meskipun belum pernah bertemu langsung, namun nama itu sudah sering didengarnya. Dan, yang lebih membuat hatinya penasaran, prajurit yang melapor kepadanya, mengatakan bahwa Pendekar Naga Putih hendak menyampaikan sebuah berita sangat penting, menyangkut keamanan negeri. Maka, Senapati Jalatunda segera memerintahkan agar membawa pendekar muda itu kepadanya.

Dengan dikawal dua orang prajurit, Pendekar Naga Putih, Kenanga, dan Kanuraga dibawa menghadap Senapati Jalatunda. Untuk beberapa saat lamanya, panglima bertubuh tinggi besar dan gagah itu, mengawasi ketiga tamunya.

"Katakanlah, berita penting apa yang hendak kau sampaikan kepadaku, Pendekar Naga Putih?" pinta Senapati Jalatunda sambil tetap duduk di kursinya.

Setelah kembali menghaturkan sembah, segera saja Panji menyampaikan perintah Kakek Peramal Sinting. Wajah Senapati Jalatunda agak berubah ketika mendengar disebutnya nama itu. Sikapnya pun jadi lebih ramah, tidak lagi kaku seperti tadi. Tampaknya panglima gagah itu memang telah mengenal baik dan menaruh hormat kepada Kakek Peramal Sinting Dan cerita Panji pun disimaknya dengan sungguh- sungguh.

"Hm..., kalau saja kau tidak mengatakan bahwa kalian diperintah oleh Kakek Peramal Sinting, rasanya aku belum tentu mempercayai ceritamu, Pendekar Naga Putih," ujar Senapati Jalatunda setelah Panji menyelesaikan ceritanya. Lalu, panglima gagah itu segera memerintahkan perwira-perwira bawahannya untuk menyiapkan sejumlah pasukan.

Panji menekan kedongkolan hatinya. Tidak dihiraukannya ucapan Senapati Jalatunda yang terdengar agak kasar itu. Ditekannya telapak tangan Kenanga yang bersimpuh di sampingnya. Karena sewaktu ia melirik, dilihatnya wajah gadis itu agak memerah.

Persiapan yang dilakukan Senapati Jalatunda tidak memakan waktu lama. Diam-diam Panji merasa kagum juga melihat kesigapan dan kegesitan abdi-abdi kerajaan itu. Senapati Jalatunda sendiri sudah siap dengan pakaian perang dan pedang kebesarannya.

"Mari, kita segera berangkat...!" ajak Senapati Jalatunda kepada Panji, Kenanga, dan Kanuraga. "Kuda untuk kalian telah disiapkan," lanjutnya lagi sambil melangkah.

Pendekar Naga Putih, Kenanga, dan Kanuraga mengangguk. Lalu berjalan mengikuti panglima gagah itu. Bersama dengan Senapati Jalatunda yang membawa seribu orang pasukannya, mereka pun berangkat meninggalkan kotaraja, menuju ke utara.

***

"Kapan kita bergerak, Tukang Ramal? Apa harus menunggu hari menjadi gelap?" Raja Obat berpaling menatap Kakek Peramal Sinting yang berada di sebelahnya. Saat itu hari sudah sore. Mereka berdua bersembunyi di atas sebatang pohon, yang berada di luar pagar bangunan markas Perkumpulan Tengkorak Hitam.

Kakek Peramal Sinting tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas panjang sambil menengadahkan kepalanya menatap langit, yang mulai redup. Dipandanginya awan-awan yang berarak. Seolah ia hendak mencari jawabannya di atas sana.

"Hm..., pasukan yang dipimpin Senapati Jalatunda sudah bergerak. Menurut perhitunganku, mereka akan tiba pada saat menjelang tengah malam nanti," jawabnya meramalkan. Seolah ia benar-benar menemukan jawabannya dari awan-awan yang berarak itu.

Raja Obat mengangguk-anggukkan kepalanya, ia percaya akan kepandaian sahabatnya dalam hal meramalkan sesuatu. Lalu keduanya diam sambil kembali mengawasi markas perkumpulan sesat itu. Malam sudah merangkak perlahan. Bulan yang menggantung di langit kelam, tidak bundar. Cahaya temaram terpendar menghias cakrawala.

"Hei, Tukang Obat! Apa kau tertidur?" tegur Kakek Peramal Sinting memecah keheningan. "Sudah waktunya kita bergerak. Pasukan Senapati Jalatunda akan segera tiba. Ayo, kita kacaukan penghuni bangunan itu!"

Sejak tadi Raja Obat memang memejamkan matanya. Namun ia tidak tidur. Maka, ketika Kakek Peramal Sinting mengajaknya untuk mulai bergerak, langsung saja Raja Obat meluncur turun mengikuti sahabatnya.

Mereka berdua melompati pagar lalu memasuki bangunan besar itu. Keduanya mencabut obor-obor yang tertancap di dinding. Lalu melemparkannya ke atap-atap rumah, yang berada di kiri kanan bangunan utama. Karuan saja perbuatan kedua orang kakek itu membuat seluruh penghuni bangunan terkejut dan kalang kabut. Di saat mereka tengah sibuk memadamkan api yang semakin berkobar, Peramal Sinting dan Raja Obat sudah melesat menuju bangunan utama.

Berbarengan dengan lenyapnya kedua orang kakek sakti itu ke dalam bangunan, terdengar suara terompet dan genderang perang, disusul sorak sorai dari pasukan yang dipimpin Senapati Jalatunda. Begitu tiba, pasukan kerajaan itu langsung mendobrak pintu gerbang, lalu menyerbu masuk dengan senjata di tangan

Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu. Kobaran api yang belum padam terpaksa mereka tinggalkan untuk menyambut serbuan tentara kerajaan. Sebentar saja perang telah berkobar. Para penghuni bangunan yang berjumlah sekitar seratus lima puluh orang itu, melakukan perlawanan sengit. Dan korban di kedua belah pihak pun mulai berjatuhan.

Pendekar Naga Putih segera meninggalkan medan pertempuran dan melesat menuju bangunan utama. Di tinggalkannya Kenanga dan Kanuraga yang tengah bertarung, membantu pasukan pemerintah untuk menumpas tokoh-tokoh perkumpulan sesat itu. Panji merasa pasti bahwa pimpinan Perkumpulan Tengkorak Hitam tinggal di dalam bangunan utama. Dirinya juga menduga kalau Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat telah berada di sana.

***

Setelah membuat kekacauan, Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat berlari menuju bangunan utama. Lalu melesat naik dan bersembunyi di atas wuwungan, menghindari tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam yang berlarian keluar dari dalam gedung. Setelah keadaan dirasa aman, kedua kakek itu pun melayang turun dan bergegas menyelinap ke dalam.

Empat orang penjaga bagian dalam bangunan, langsung berteriak dan berlari menyerbu, ketika melihat dua orang kakek menyelinap masuk. Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting tidak mau membuang-buang waktu lagi. Keduanya langsung menyambut serangan keempat penjaga itu.

Namun, untuk merobohkan keempat orang penjaga itu ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting. Keempat orang penjaga itu ternyata sangat tangguh. Sehingga, setelah bertempur selama kurang lebih sepuluh jurus, barulah mereka dapat dirobohkan. Kedua kakek itu terus bergerak untuk mencari sepasang suami istri Tengkorak Hitam, yang menjadi musuh utama mereka.

"Hm..., sudah kuduga bahwa kalianlah yang telah membuat kekacauan di tempat kediamanku ini...!"

Tiba-tiba terdengar sebuah teguran halus, yang membuat Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting menahan langkah dan menoleh ke tempat asal suara. Agak kaget juga hati mereka ketika melihat dua sosok tubuh yang sama-sama mengenakan topeng tengkorak.

"Sepasang Tengkorak Hitam...!"

Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting sama berdesis. Meskipun telah memantapkan hati untuk menjumpai sepasang suami istri itu, tak urung hati mereka berdebar juga. Dan itu tak dapat mereka tahan! Padahal di kalangan persilatan kedua orang tokoh itu merupakan manusia-manusia sakti yang kepandaiannya nyaris tak tertandingi

Namun berhadapan dengan Sepasang Tengkorak Hitam, musuh lama mereka yang pernah membuat keduanya menjadi pecundang, hingga harus selalu menghindari keramaian, tetap saja hati kedua kakek sakti itu bergetar. Apalagi karena mereka menyadari bahwa kepandaian Sepasang Tengkorak Hitam tidak dapat disamakan dengan di masa lalu.

Terbukti, baik Raja Obat maupun Kakek Peramal Sinting tak mengetahui kapan sepasang suami istri itu datang. Padahal pendengaran mereka sudah sangat tinggi bahkan jarang ada duanya. Dari sini saja sudah dapat mereka duga kalau Sepasang Tengkorak Hitam telah mendapatkan kemajuan yang sangat pesat.

"Selamat bertemu lagi, Raja Obat, Peramal Sinting! Sungguh gembira hatiku melihat kalian masih sehat dan berumur panjang," sapa Raja Tengkorak Hitam dengan nada halus, bagaikan menyapa seorang sahabat lamanya.

"Suamiku," Ratu Tengkorak Hitam menegur suaminya. "Untuk apa membuang-buang waktu lagi! Sebaiknya kita segera ke ruang latihan. Aku sudah tidak sabar untuk menghajar mereka sampai mampus!"

"Heh heh heh...!" Kakek Peramal Sinting yang sudah dapat menguasai debaran dalam dadanya, tertawa mengekeh. "Mati hidup urusan Tuhan. Kita tidak berhak menentukannya. Tapi, rasanya Tuhan belum hendak mencabut nyawaku ataupun sahabatku si Tukang Obat ini. Sedangkan pada wajah kalian yang tersembunyi di balik topeng tengkorak itu, aku bisa melihat adanya warna-warna kematian. Dan, kalian memang pantas untuk segera dikuburkan. Bukankah kalian sangat suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian? Contohnya, selamanya kalian suka sekali mengenakan topeng tengkorak manusia, bukan?"

"Ha ha ha...! Aku tidak ingin berdebat, Peramal Sinting! Terlalu memusingkan. Lebih baik kita turuti saran istriku. Nah, marilah kita ke ruangan tempat kami berlatih...!" ajak Raja Tengkorak Hitam, yang kemudian memutar tubuh dan diikuti istrinya, menuju ruangan berlatih silat. Ringan saja kelihatannya langkah sepasang suami istri itu. Namun, sekelebatan saja sosoknya telah lenyap dari hadapan Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting.

Kakek Peramal Sinting hanya tertawa terkekeh. Kemudian, bersama Raja Obat, mereka mengikuti Sepasang Tengkorak Hitam. Tiba di ruangan yang dimaksud, sepasang suami istri sesat itu telah berdiri menunggu kedatangan mereka. Melihat sikap Sepasang Tengkorak Hitam, Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting langsung saja menyiapkan jurusnya.

"Mari kita mulai...!"

Baru saja seruan halus itu selesai diucapkannya, tahu-tahu tubuh Raja Tengkorak Hitam sudah menerjang Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting! Gerakan tokoh menggiriskan itu demikian hebat, seolah pandai menghilang. Sebelum Raja Obat maupun Kakek Peramal Sinting menyadarinya, tahu-tahu sepasang lengan berbentuk cakar, telah mengancam tubuh keduanya.

Meskipun agak terkejut, kedua orang kakek itu sama sekali tidak gugup. Keduanya cepat mengangkat tangan menyambut datangnya serangan yang kelihatannya ringan dan tak bertenaga itu.

Dukkk! Plakkk!

Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat sama menahan jeritnya, ketika merasakan betapa dahsyat tenaga yang terkandung di dalam serangan itu. Lengan yang mereka gunakan untuk menangkis terasa sakit bukan main. Seolah benturan itu telah mematahkan tulang lengan mereka. Bahkan tubuh keduanya sampai terpental sejauh satu tombak lebih!

"Edan...!" umpat Kakek Peramal Sinting yang segera menyedot napas dalam-dalam guna menenteramkan guncangan pada bagian dalam dadanya. "Tidak kusangka kalau tenga dalamnya sampai sedemikian tinggi!"

Raja Obat cuma bergumam tak jelas. Ia tidak menimpali ucapan sahabatnya. Karena saat itu ia sudah menyiapkan ilmu andalannya yang sangat ampuh. 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti'.

Diiringi teriakan-teriakan keras Sepasang Tengkorak Hitam menerjang bersamaan. Gerakan keduanya demikian cepat hingga nyaris tak terlihat oleh mata lawan-lawannya. Meskipun demikian, dari sambaran angin pukulan mereka, kedua kakek itu dapat mengira-ngira tibanya serangan Sepasang Tengkorak Hitam.

"Heahhh!"

Raja Obat membentak halus sambil melompat menyilang, memotong di depan Kakek Peramal Sinting. Sehingga, ia langsung berhadapan dengan serangan Raja Tengkorak Hitam. Saat cengkeraman yang disertai gelombang angin dahsyat dari Raja Tengkorak Hitam hampir menyambar kepalanya, Raja Obat bergegas menarik miring kepalanya. Kemudian, dengan meminjam tenaga serangan lawan, Raja Obat mendahului cengkeraman itu dengan sebuah tamparan ke pelipis lawannya.

Namun, bukan main kagetnya hati Raja Obat ketika di tengah jalan, tenaga serangannya yang semula berlipat ganda itu, tiba-tiba dirasakan lenyap. Karena Raja Tengkorak Hitam dengan cepat menarik pulang cengkeramannya. Sebagai gantinya, tangan kirinya bergerak cepat menggedor dada Raja Obat, yang masih terkejut itu.

Blakkk!

Bagai sebuah layang-layang putus, tubuh kakek berjubah putih terlempar melayang deras di udara, disertai muntahan darah segar dari mulutnya. Tubuh Raja Obat terhempas membentur dinding. Lalu melorot jatuh ke lantai. Kenyataan itu membuat Raja Obat sadar bahwa lawan telah mengetahui kunci kelemahan ilmunya. Bahkan tampaknya sangat paham dengan keistimewaan ilmu dahsyatnya itu. Tahulah Raja Obat bahwa penggunaan 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', tak bisa berbuat banyak bagi lawannya. Malah justru bisa membahayakan dirinya sendiri.

Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan dengan nasib naasnya Raja Obat, Kakek Peramal Sinting tampak tengah berjuang keras menghadapi Ratu Tengkorak Hitam. Tongkat di tangannya melancarkan serangan maut berkali-kali. Namun, yang berhasil dipukulnya cuma bayangan lawan. Setiap kali tongkatnya menyambar, tubuh lawannya sudah berkelebat lebih dulu. Sehingga, serangan Kakek Peramal Sinting sia-sia saja. Bahkan kakek cebol itulah yang menjadi kelabakan ketika Ratu Tengkorak Hitam membalasnya dengan serangan gencar dan mengandung hawa maut. Setiap kali serangan wanita itu datang, selalu saja disertai dengan tebaran asap tipis, yang membuat pandangan Kakek Peramal Sinting terganggu.

"Yeaaah...!"

Merasa penasaran karena tak mampu melepaskan diri dari belenggu lingkaran serangan lawan, Kakek Peramal Sinting membentak, nekat memapaki cengkeraman tangan kanan lawan yang mengancam dadanya.

Krakkk!

Tongkat Kakek Peramal Sinting langsung patah ketika membentur lengan Ratu Tengkorak Hitam. Sebelum sempat menyadarinya, tiba-tiba kakek cebol itu merasakan suatu sentakan kuat pada dadanya, membuat tubuhnya terpental deras. Kendati demikian, Kakek Peramal Sinting tidak sampai terbanting jatuh. Ia masih sempat menjatuhkan tubuh bergulingan di lantai, lalu bergegas bangkit walaupun dadanya dirasakan panas dan sesak. Di sela bibirnya tampak darah segar mengalir turun perlahan. Hal itu menandakan bahwa pukulan lawan telah menimbulkan luka dalam di tubuhnya.

"Habislah kau sekarang, Tukang Ramal..!" desis penuh kebengisan dari mulut Ratu Tengkorak Hitam, langsung dibarengi dengan lesatan tubuhnya. Sepasang tangannya membentuk cengkeraman, siap meremukkan batok kepala lawan.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat disertai teriakan mengguntur. Lalu, memapaki serangan Ratu Tengkorak Hitam, dengan dorongan kedua tangannya yang diirirgi hawa panas dan dingin!

Bresssh...!

Atap bangunan berderak ketika benturan dahsyat itu terjadi, bahkan dinding-dindingnya bergetar laksana akan roboh. Sosok bayangan putih itu sendiri terpental deras, melayang dan terhempas ke dinding. Sedang Ratu Tengkorak Hitam cuma terdorong mundur beberapa langkah.

Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting terkejut bukan main! Terlebih ketika mereka melihat bahwa sosok bayangan itu ternyata Pendekar Naga Putih. Kedua kakek itu cepat bergerak memburunya.

"Aku... aku tidak apa-apa," ujar Panji menenangkan kedua orang kakek itu. "Bagaimana dengan kalian..?"

Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting buru-buru mengangguk sambil menarik bangkit tubuh Pendekar Naga Putih. Kesempatan itu digunakan Raja Obat, yang segera membisikkan suatu rencana kepada Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting. Kedua orang itu tampak mengangguk setuju. Lalu, ketiganya berdiri berjajar sambil berpegangan tangan satu sama lain.

"Hei, apa yang hendak kalian lakukan?! Apakah kalian hendak main ular-ularan...?" seru Raja Tengkorak Hitam. Matanya membelalak keheranan ketika melihat sikap aneh yang ditunjukkan ketiga orang lawannya itu.

"Mungkin mereka sudah gila karena merasa tak bakal menang, Suamiku...," sahut Ratu Tengkorak Hitam, yang juga tak mengerti mengapa ketiga orang itu bersikap demikian aneh.

Namun, baik Raja Obat, Kakek Peramal Sinting maupun Pendekar Naga Putih, tidak menyahuti. Malah mereka semakin bertingkah aneh, mengayun langkah bersamaan seperti tengah memperagakan sebuah tarian sambil tertawa-tawa. Ketiganya benar-benar seperti orang yang kehilangan akal sehat. Kaki mereka terus bergerak maju mendekati Sepasang Tengkorak Hitam yang menjadi panas hatinya karena merasa jengkel.

Raja Tengkorak Hitam dan istrinya saling bertukar pandang sesaat, lalu sama menganggukkan kepala. Kemudian, dengan disertai teriakan mengguntur yang membuat atap rumah berderak bagai hendak runtuh, sepasang suami istri itu menerjang bersamaan. Serangan Sepasang Tengkorak Hitam datang dari kiri-kanan.

Namun pada waktu serangan itu hampir tiba, Raja Obat melakukan sebuah gerakan yang aneh dan tidak masuk akal. Karena Raja Obat yang berada di tengah-tengah, diapit Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting, tiba-tiba melangkah maju seperti sengaja menyongsong datangnya maut. Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting mengikuti gerakan Raja Obat.

Mereka bergerak maju dengan gerakan meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Lalu, tiba-tiba Raja Obat bergerak mundur. Kedua orang di kiri-kanannya pun mengikuti gerakan kakek itu. Kemudian, kedua tangan Raja Obat yang bergenggaman dengan tangan Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting, memukul ke depan, mendahului serangan dari kiri-kanannya itu.

Bukkk! Desss!

Sepasang Tengkorak Hitam kaget bukan kepalang. Dari kedua pukulan Raja Obat, menyambar gelombang angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Karena serangan itu, selain merupakan kekuatan gabungan dari Raja Obat, Pendekar Naga Putih, dan Kakek Peramal Sinting, masih ditambah lagi dengan kekuatan tenaga serangan mereka berdua. Akibatnya tentu saja sangat hebat dan mengerikan!

Tubuh Sepasang Tengkorak Hitam tersentak dan melayang deras di udara. Semburan darah segar yang termuntah dari mulut mereka berceceran membasahi lantai. Terdengar suara berderak keras ketika tubuh sepasang suami istri itu membentur dinding dengan kerasnya. Darah segar memercik, membasahi dinding dan lantai, bersamaan dengan melorotnya tubuh Sepasang Tengkorak Hitam. Keduanya tewas dengan mata mendelik. Benturan keras pada dinding telah meremukkan tulang-tulang tubuh mereka.

"Haihhh..., untung kau mendapatkan akal yang sangat baik, Tukang Obat! Kalau tidak, mungkin tubuh kita bertigalah yang akan remuk," ujar Kakek Peramal Sinting sambil menghempaskan napas lega.

"Yah, untunglah Pendekar Naga Putih datang pada waktu yang tepat Kalau saja cuma kita berdua yang melakukannya, pasti tidak akan berhasil. Malah mungkin kita berdua yang tewas di tangan Sepasang Tengkorak Hitam itu. Tenaga dalam mereka luar biasa kuatnya, hingga, ketika aku menggunakan 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', Raja Tengkorak Hitam dapat mematahkannya. Ketika melihat Panji, aku langsung mendapat pikiran untuk mencoba menggunakan ilmu itu lagi. Karena aku tahu bahwa tenaga dalam Panji tidak kalah dengan tenaga dalam kita. Dan, jika tenaga kita bertiga digabungkan, kupikir mereka pasti tidak akan dapat mematahkan keampuhan ilmuku lagi. Dan, nyatanya terbukti!" tutur Raja Obat dengan wajah penuh kelegaan. "Sudahlah! Yang penting Sepasang Tengkorak Hitam telah dapat kita tumpas. Sekarang, mari kita lihat perkelahian di luar. Mungkin sudah usai juga. Karena aku tidak mendengar adanya suara-suara orang bertempur?"

Namun, sebelum ketiga orang tokoh itu melangkah ke luar, tiba-tiba Kenanga dan Kanuraga muncul. Di belakang mereka terlihat Senapati Jalatunda dan beberapa orang perwira bawahannya. Kenanga dan Kanuraga merasa lega melihat ketiga orang tokoh itu masih selamat, kendati tampak wajah mereka sedikit pucat

"Kalian semua harus ikut kami ke istana!" Tiba-tiba terdengar suara Senapati Jalatunda yang keras dan galak.

"Eh, ada apa lagi?! Apa salah kami?" tanya Panji yang menjadi heran melihat sikap tak bersahabat dari panglima gagah itu.

Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga saling bertukar pandang dengan wajah tak puas. Mereka benar-benar penasaran dan mulai menaruh curiga dengan Senapati Jalatunda.

Senapati Jalatunda menatap wajah di hadapannya satu persatu dengan sorot mata tajam dan tanpa senyum sedikit pun. Lalu, terdengar kata-katanya, lantang. "Aku akan menghadap Gusti Prabu, agar memberi hukuman kepada kalian semua!"

"Hukuman?!" Panji, Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga nyaris tak dapat menahan kemarahannya.

"Benar!" tandas Senapati Jalatunda.

"Hukuman apa...?"

"Hukuman untuk menghadiri jamuan makan yang akan diadakan di istana!" Senapati Jalatunda tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang.

Demikian pula dengan Kakek Peramal Sinting. Malah suara tawanya lebih keras dari panglima gagah itu. Sejak tadi, Kakek Peramal Sinting memang diam saja. Karena ia sudah tahu pikiran Senapati Jalatunda, yang sengaja hendak menggoda.

Akhirnya, Pendekar Naga Putih, Raja Obat, Kenanga, dan Kanuraga, ikut tertawa. Begitu pula para perwira yang berada di belakang Senapati Jalatunda. Sehingga di ruangan itu terdengar riuh gelak tawa mereka.

S E L E S A I 

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar