SATU
PERAHU itu melaju cepat laksana kesetanan menerjang gulungan ombak menuju pulau. Saat itu matahari sudah sejengkal di atas permukaan air laut. Begitu matahari benar-benar tenggelam dan suasana berubah gelap, laju perahu sudah beberapa tombak lagi mencapai pulau.
Tegak di atas perahu adalah dua sosok tubuh. Sebelah depan seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun. Rambutnya panjang sebahu menutupi sebagian pundak dan wajahnya yang tampan dan keras. Sepasang matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis lebat melintang. Laki-laki ini mengenakan pakaian jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis baju berwarna putih.
Sementara di sebelah belakang adalah seorang perempuan berusia dua puluh lima tahunan. Parasnya cantik jelita. Rambutnya digulung tinggi ke atas diikat dengan kain berwarna merah. Kulitnya putih bersih. Lehernya jenjang. Dadanya mencuat padat ditingkah pinggul besar yang dilapis pakaian tipis dan ketat berwarna putih. Sepasang matanya bulat di bawah alis mata yang tebal dan hitam.
Seakan tak sabar, belum sampai benar-benar merapat ke pulau, si laki-laki berpaling ke arah si perempuan tanpa buka suara. Saat lain, laksana terbang si laki-laki berkelebat. Gerakan berpaling si laki-laki tampaknya sudah cukup membuat si perempuan maklum. Hampir bersamaan dengan berkelebatnya si laki-laki, si perempuan membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat menjajari kelebatan si laki-laki di udara. Kejap lain kedua orang ini sudah tegak di atas dua bongkahan batu di kawasan pulau.
Untuk beberapa saat kedua orang itu lepas pandangan berkeliling lalu saling pandang. Wajah mereka jelas berubah tegang ketika tiba-tiba telinga mereka menangkap suara lolongan anjing di sela suara gemuruh hantaman gelombang yang abadi mendera batu-batu lamping pulau.
Belum lenyap ketegangan kedua orang yang baru muncul di kawasan pulau, mendadak mereka mendengar suara derap ladam kaki-kaki kuda! Namun semua itu berlangsung sekejap. Laksana dibungkam setan, suara lolongan dan derap ladam kaki-kaki kuda lenyap. Kawasan pulau disentak kesunyian.
"Kau yakin ini tempat yang dijanjikan?!" Si laki-laki angkat suara dengan alihkan pandangannya ke tengah pulau. Suaranya berat dan bergetar.
"Nada ucapanmu menunjukkan hatimu dilanda ketakutan!" Si perempuan menyahut lalu tertawa pendek.
"Aku memang takut! Tapi bukan karena urusan di tempat ini! Aku mengkhawatirkan anak-anak kita...."
"Anak-anak kita berada di tempat aman. Kau tak perlu cemas!"
Si laki-laki menghela napas panjang. "Kau yakin ini tempatnya?!" Dia kembali ajukan tanya.
"Aku tak pernah salah alamat! Cuma aku perlu bertanya sekali lagi padamu. Kau siap melakukan ini?!"
"Demi keabadian kita, aku siap melakukan apa saja!
Mendengar ucapan si laki-laki, si perempuan tersenyum. Ketegangan di wajahnya pupus seketika. Dia lalu melompat dan tegak di samping si laki-laki. Kedua tangannya segera melingkar pada pinggang si laki-laki, dan sekali membuat gerakan berputar, sosoknya berdiri tepat di hadapan si laki-laki. Sepasang matanya dipejamkan, mulutnya dibuka perlahan-lahan. Dadanya yang mencuat kencang terlihat mulai bergerak turun naik.
"Bidadari Tujuh Langit...! Tahan gejolakmu! Sekarang bukan saatnya bersenang-senang!" kata si laki-laki seraya lepaskan lingkaran kedua tangan si perempuan yang dipanggilnya Bidadari Tujuh Langit.
"Aku...."
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapan, si laki-laki telah memotong. "Kalau kau tak mampu menahan diri, lebih baik kita tinggalkan tempat ini!"
Bidadari Tujuh Langit buka kelopak matanya. Dia menghela napas mengatasi gejolak yang sudah mendera dadanya. Tampangnya jelas membayangkan perasaan kecewa.
"Bidadari...! Urusan yang kita hadapi bukan masalah main-main! Bahkan kita belum tahu benar apakah kita berdiri di tempat yang tidak salah! Kuharap kau mengerti...!"
"Kalian tidak berdiri di tempat yang salah!" Mendadak mereka dikejutkan dengan satu suara.
Memandang ke depan, mereka melihat seorang gadis muda berparas cantik luar biasa. Bola matanya bulat. Bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dengar bibir merah ranum. Dia mengenakan pakaian amat tipis! berwarna kuning muda. Bagian dadanya diberi belahan memanjang sampai depan perut, hingga bagian samping dadanya yang membusung kencang terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya diberi dua belahan di bagian depan memanjang sampai di atas lutut. Hingga pahanya yang putih dan padat terpampang jelas.
Ada keanehan dengan gadis cantik berpakaian menggoda ini. Meski jelas kalau wajah dan bentuk tubuhnya menunjukkan dia masih muda, namun rambutnya sudah memutih!
"Dewi Keabadian...!" Hampir berbarengan Bidadari Tujuh Langit dan laki-laki di sampingnya bergumam.
"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Aku tidak menduga kalau pada akhirnya kalian datang ke tempat ini! Ini satu bukti, selain kalian pemberani, kalian juga adalah manusia-manusia serakah yang tak puas dengan keadaan! Kalian ingin sesuatu yang seharusnya bukan milik kalian!"
Gadis cantik berambut putih buka mulut. Walau nada ucapannya agak sengit, namun ketika mengucapkan, gadis yang dikenali Bidadari Tujuh Langit dan si laki-laki dengan sebutan Dewi abadian ini sunggingkan senyum. Malah pinggulnya yang besar digerakkan bergoyang. Hingga bukan saja pahanya makin terlihat, namun dadanya yang kencang mencuat tampak bergerak-gerak menggoda.
"Datuk Kala Sutera! Tahan mata dan pikiranmu! Biaraku yang berkata!" Bidadari Tujuh Langit berbisik pada laki-laki di sebelahnya.
Laki-laki berparas tampan yang dipanggil Datuk Kala Sutera anggukkan kepala dengan menahan debaran dadanya. Laki-laki ini coba alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Tapi hal itu hanya mampu dilakukan beberapa saat. Saat berikutnya sepasang matanya telah kembali mencari sosok tubuh Dewi Keabadian.
Walau tanpa berpaling, tampaknya Bidadari Tujuh Langit bisa menangkap apa yang dirasakan Datuk Kala Sutera, hingga dengan suara agak keras dia kembali berkata. "Kau dengar ucapanku, Datuk! Tahan mata dan pikiranmu! Sekali kau tenggelam, rencana kita berantakan!"
Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit melompat turun dari bongkahan batu dan tegak sepuluh langkah di hadapan Dewi Keabadian. Lalu berkata. "Dewi Keabadian...! Kami datang memenuhi janjimu beberapa tahun silam!"
Dewi Keabadian tersenyum. "Aku memang tidak lupa dengan segala ucap janjiku! Tapi aku ingin dengar sekali lagi apa yang pernah kuucapkan pada kalian beberapa tahun yang lalu...."
"Kami berdua ingin hidup abadi sepertimu. Kau telah menjanjikan hal itu pada kami!"
"Bukankah selama ini kalian telah memiliki ilmu keabadian itu?! Kalian tampak masih muda. Berwajah cantik dan tampan walau usia kalian hampir tiga kali lipat dari usia yang tampak!"
"Dewi.... Kau tahu. Apa yang kami miliki sekarang ada batasnya! Kami hanya bisa bertahan lima tahun lagi! Setelah itu wajah kami berubah sesuai berapa usia kita sebenarnya! Kami telah mengatakan hal itu padamu pada beberapa tahun silam. Dan kau sanggup memberi apa yang membuatmu tetap muda dan cantik meski usiamu tidak bisa dihitung lagi!"
"Bidadari.... Janji memang harus ditepati! Tapi apakah kau dan suamimu sanggup melakukan apa syaratnya?!"
"Kami tidak akan datang menemuimu jika kami takut melakukan syarat yang kau minta!"
"Aku tidak hanya butuh kesanggupanmu. Tapi juga perlu kesiapan suamimu!" kata Dewi Keabadian dengan arahkan pandang matanya pada Datuk Kala Sutera. Gadis cantik berambut putih ini kembali gerakkan pinggulnya. Sepasang kakinya digerakkan agak merentang hingga belahan pada pakaian bawahnya tersingkap lebar.
Bidadari Tujuh Langit berpaling pada Datuk Kala Sutera yang tampak mendelik tak berkesip pandangi singkapan kain Dewi Keabadian. "Datuk Kala Sutera.... Kau sanggup memenuhi syaratku?!" tanya Dewi Keabadian.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya melirik pada Bidadari Tujuh Langit.
"Kau kelihatan bimbang...," ujar Dewi Keabadian seraya tertawa lalu alihkan pandangannya pada Bidadari Tujuh Langit dan berkata.
"Bidadari.:.! Kau masih punya waktu lima tahun lagi! Kembalilah lima tahun kemudian! Itu pun kalau suamimu tidak merasa ragu-ragu lagi!" Habis berkata begitu, Dewi Keabadian balikkan tubuh. Namun sebelum gadis muda ini melangkah, Bidadari Tujuh Langit angkat suara.
"Dewi! Tunggu!"
"Aku perlu jawaban suamimu! Bukan jawabanmu!" kata Dewi Keabadian tanpa putar diri.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepalanya berpaling pada suaminya Datuk Kala Sutera. Saat itulah Datuk Kala Sutera buka mulut.
"Aku sanggup melakukan apa saja syaratmu, Dewi Keabadian!"
Dewi Keabadian perdengarkan tawa panjang seraya putar tubuh. Saat yang sama Datuk Kala Sutera melompat dan tegak menjajari Bidadari Tujuh Langit.
"Datuk.... Kita harus berhati-hati. Selain memiliki ilmu tinggi, tindakannya sulit ditebak! Tapi kalau kita bisa mendapatkan sepasang cincin pada kedua ibu jari kakinya, bukan saja kita akan memiliki ilmu keabadian, namun kita akan menjadi sepasang manusia yang tiada tanding!" Bidadari Tujuh Langit berbisik. Lalu arahkan pandangannya pada kedua ibu jari Dewi Keabadian.
Kedua ibu jari Dewi Keabadian memang mengenakan cincin dari batu giok. Yang di sebelah kiri berwarna merah, di sebelah kanan berwarna hijau. Inilah cincin yang dikenal sebagai Sepasang Cincin Keabadian.
"Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh langit!" berkata Dewi Keabadian seraya pandang silih berganti pada kedua orang di hadapannya. "Sebelum kukatakan syarat yang kuminta, aku beri kalian kesempatan untuk berpikir lagi! Kesempatan kalian masih panjang.... Sejak malam ini hingga lima tahun kemudian!"
"Aku telah berpikir seribu kali sebelum datang ke tempat ini menemuimu!" Bidadari Tujuh Langit menyahut. "Katakan saja syarat yang kau minta malam ini! Aku dan suamiku akan memenuhinya malam ini juga!"
"Hem.... Begitu?!" gumam Dewi Keabadian seraya tertawa perlahan. Lalu putuskan tawanya dan tengadah.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling lontar pandang tanpa ada yang buka suara. Saat berikutnya mereka memandang pada Dewi Keabadian dengan dada berdebar.
"Aku minta Datuk Kala Sutera menemaniku di pulau ini dua purnama sejak malam ini! Setelah itu setiap menjelang purnama, dia harus berada di sisiku! Dan kau, Bidadari Tujuh Langit! Kau harus bersemadi di tempat ini dua purnama! Setelah itu, setiap menjelang purnama kau harus mengantarkan suamimu untukku!"
Ucapan Dewi Keabadian membuat tegak Bidadari Tujuh Langit bergetar. Sepasang matanya membelalak. Di sebelahnya, Datuk Kala Sutera berdebar tidak enak.
"Syarat mudah, bukan?!" Dewi Keabadian bertanya sambil luruskan kepala dan sunggingkan senyum.
"Syarat gila! Tak mungkin aku melakukannya!" gumam Datuk Kala Sutera. "Aku tahu apa akibatnya jika lakukan hal itu!"
"Aku juga tahu akibatnya! Bahkan aku bisa menduga, kau tidak akan bertahan satu purnama!" sahut Bidadari Tujuh Langit. "Tapi kau harus terima syarat itu!"
"Kau ingin aku tewas di tangannya dengan tubuh tak berdarah?!" desis Datuk Kala Sutera.
"Kita bukan manusia yang mudah dibodohil Kita datang dengan rencana.... Lakukan apa yang dimintai dan begitu dia terlena, kau punya bagian kaki sebelah kanan, aku punya bagian sebelah kiri!..."?
Tapi...."
"Lalukan saja, Datuk! Atau kita gagal mendapatkan apa yang kita cita-citakan!"
"Kalian akan menjawab malam ini atau...."
"Aku siap melakukannya malam ini juga!" Bidadari Tujuh Langit sudah menukas sebelum Dewi Keabadian selesai dengan ucapannya.
"Bukan hanya kau yang harus memberi jawaban...!" ujar Dewi Keabadian sambil tersenyum dan memandang ke arah Datuk Kala Sutera.
"Aku juga siap lakukan syaratmu!" Datuk Kala Sutera buka mulut dengan suara bergetar.
"Sejak malam ini?!" tanya Dewi Keabadian.
Datuk Kala Sutera menjawab dengan isyarat anggukan kepala. Dewi Keabadian tertawa panjang. Bidadari Tujuh Langit memandang dengan senyum dingin.
"Bidadari Tujuh Langit!" kata Dewi Keabadian seraya arahkan tangannya menunjuk pada satu bongkahan batu sejarak delapan langkah di samping tempat tegaknya Bidadari Tujuh Langit. "Kau duduklah bersemadi di bongkahan batu itu hingga dua purnama mendatang!" Dewi Keabadian arahkan pandangan pada Datuk Kala Sutera. "Dan kau, calon pendampingku.... Ikutlah aku!"
Dewi Keabadian balikkan tubuh. Lalu melangkah dengan pinggul sedikit digoyang. Datuk Kala Sutera berpaling pada Bidadari Tujuh Langit. Belum sampai dia buka suara, Bidadari Tujuh Langit sudah mendahului.
"Ingat! Sekali kau tenggelam, bukan saja rencana kita berantakan, tapi nyawamu tidak bisa diselamatkan!"
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu melangkah perlahan mengikuti Dewi Keabadian. Bidadari Tujuh Langit pandangi gerakan Datuk Kala Sutera dan Dewi Keabadian. Saat lain dia berkelebat' lalu duduk di atas bongkahan batu yang tadi ditunjuk Dewi Keabadian.
***
DUA
TAMPAKNYA Bidadari Tujuh Langit tidak bisa tenang. Belum sampai dia duduk di atas bongkahan batu, perempuan cantik ini sudah bergerak bangkit dengan mata nyalang pandangi sosok Dewi Keabadian dan Datuk Kala Sutera yang terus melangkah di depan sana.
“Aku tak boleh menunggu! Bukan tak mungkin perempuan itu memuslihatiku! Tak mustahil pula Datuk Kala Sutera akan tenggelam dalam
nafsunya! Aku bisa celaka!"
Seolah tidak sabar, Bidadari Tujuh Langit segera berkelebat. Datuk Kala Sutera yang merasakan desiran angin segera berpaling. Laki-laki ini sempat terkesiap. Dia coba buka mulut. Tapi terlambat. Bidadari Tujuh Langit bukan saja telah melesat melewatinya, namun melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diduga. Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya dan sekonyong-konyong lepaskan pukulan ke arah Dewi Keabadian!
“Gila! Apa yang dilakukannya?! Dia bisa merusak rencana!" desis Datuk Kala Sutera. Namun dia hanya bisa mendesis tanpa mampu membuat gerakan. Karena apa pun yang akan dilakukan, sudah sangat terlambat, hingga dia hentikan langkah dan diam mematung.
Di depan sana, tiba-tiba Dewi keabadian melompat ke udara seraya balikkan tubuh. Kedua kakinya bergerak lakukan tendangan.
"Bukkk! Bukkk!" Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua tangannya mental balik ke udara. Sosoknya terbanting di Udara lalu jatuh terjengkang di atas tanah!
"Tampaknya kau belum siap, Bidadari...." Dewi Keabadian berkata. Meski baru saja dibokong, namun gadis cantik berambut putih ini tersenyum.
Bidadari Tujuh Langit bergerak bangkit. Parasnya tampak berubah. Datuk Kala Sutera segera melompat dan tegak menjajari.
"Kalian masih punya waktu lima tahun untuk berpikir! Namun harus kalian ingat. Setiap kali syarat yang kuminta bisa berubah! Dan setiap waktu pula tempat pertemuan kita bisa berpindah!"
"Maafkan aku, Dewi...," ujar Bidadari Tujuh Langit! dengan suara bergetar parau. "Rasanya aku tidak perlu menunggu sampai lima tahun.... Aku tidak mungkin mampu melakukan syaratmu!"
Dewi Keabadian kembali tersenyum saat berkata. "Aku senang mendengar ucapanmu. Mudah-mudahan kau tidak tergoda lagi dengan keinginan seperti yang kau minta malam ini!"
Habis berkata begitu, Dewi Keabadian balikkan tubuh. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit memberi isyarat pada Datuk Kala Sutera. Si Datuk terlihat bimbang. Namun begitu Bidadari Tujuh Langit mendelik. Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Begitu Dewi Keabadian mulai melangkah, mendadak Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama selinapkan tangan masing-masing ke balik pakaiannya. Saat lain kedua orang ini melesat ke arah Dewi Keabadian dengan tangan kanan hujamkan pedang pendek pada bagian bawah sosok sang Dewi!
Tampaknya Dewi Keabadian bisa membaca gelagat orang. Bersamaan dengan bergeraknya tangan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera, Dewi Keabadian melompat ke udara, lalu membalik seraya lepaskan tendangan! Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera yang sudah siap membaca gerak orang tidak siasiakan kesempatan. Dengan kerahkan tenaga dalam, mereka tarik pulang tangan kanan masing-masing keatas. Lalu menghadang tendangan....
"Prass! Prass!" Terdengar suara benda putus. Disusul dengan terdengarnya suara seruan tertahan.
Tangan kanan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera mencelat balik ke udara. Pedang di tangan masing-masing orang terlepas mental. Saat berikutnya sosok kedua orang ini tersapu amblas ke samping kanan kiri sebelum akhirnya terkapar di atas tanah. Namun baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Sutera seolah tidak pedulikan keadaan diri masing-masing. Mereka segera bangkit dengan kepala mendongak dan mata mendelik tak berkesip memperhatikan dua benda putih yang melayang di udara.
"Kita berhasil! Cepat lakukan sesuatu!" Teriak Bidadari Tujuh Langit.
Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Terlihat Dewi Keabadian terduduk di atas tanah dengan paras berubah seraya mengawasi kedua kakinya. Kedua kaki sang Dewi putus tepat pada pergelangan dan kucurkan darah!
"Kalian berlaku licik padaku!" Dewi Keabadian berteriak. Anehnya meski kedua kakinya telah putus terbabat pedang Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera, namun bibir gadis ini tetap tersenyum! Memandang sesaat silih berganti pada Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera lalu mengikuti gerakan putusan kedua kakinya. Saat lain gadis cantik berambut putih ini membuat gerakan. Namun sebelum melakukan tindakan lebih jauh, Datuk Kala Sutera mendahului dengan sentakkan kedua tangannya ke arah sang Dewi lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat menggebrak ganas dengan semburkan hawa panas luar biasa. Dewi Keabadian terkesiap kaget. Dia batalkan niat berkelebat. Lalu seraya masih sunggingkan senyum, gadis cantik ini sentakkan pula kedua tangannya meng hadang pukulan yang datang.
"Bumm! Bummm!" Dua ledakan keras terdengar. Sosok Dewi Keabadian terseret setengah tombak di atas tanah dengan bahu berguncang keras. Di lain pihak, sosok Datuk Kal Sutera tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum akhirnya terhenti setelah menghantam satu bongkahan batu hingga pecah berantakan! Mulutnya mengembung lalu terbatuk muntahkan darah.
Saat ledakan keras terdengar, Bidadari Tujuh langit tidak membuang kesempatan. Dia mengikuti gerakan penggalan kedua kaki Dewi Keabadian lalu sekali berkelebat, sosoknya melenting ke udara. Kedua tangannya bergerak menyambar ke arah penggalan kedua kaki Dewi Keabadian.
Tampaknya Bidadari Tujuh Langit tidak mau berlaku ayal. Begitu kedua tangannya berhasil menyambar kedua penggalan kaki Dewi Keabadian, dia membuat gerakan jungkir balik dua kali seraya lepas pandangan sekilas. Namun hal itu sudah cukup membuat sang Bidadari tahu persis di mana tempat Dewi Keabadian. Bidadari Tujuh Langit cepat selinapkan penggalan kaki sang Dewi ke balik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya menyentak lepas pukulan jarak jauh ke arah Dewi Keabadian!
"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang ganas berkiblat lurus.
Walau dalam keadaan terjepit karena baru saja menghadang pukulan yang dilepas Datuk Kala Sutera dan kedua pergelangan kakinya putus, namun sang Dewi masih mampu sentakkan kedua tangannya.
"Blarr! Blaarr!" Pulau itu laksana ditelan gempa dahsyat. Beberapa bongkahan batu yang banyak bertebaran bergetar keras dan sebagian langsung muncrat bertabur ke udara.
Dewi Keabadian perdengarkan jeritan tinggi. Sosoknya kembali tersapu deras ke belakang dan membentur satu bongkahan batu lalu mental balik dan terkapar. Kedua pergelangan kakinya yang terbabat putus makin kucurkan darah.
Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit terpelanting di udara dengan mulut semburkan darah. Lalu terjengkang roboh di atas tanah dengan bahu tersentak-sentak. Bidadari Tujuh Langit kerahkan segenap tenaga yang dimiliki. Lalu kedua tangannya menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika kedua tangannya ditarik keluar, terlihat dua penggalan kaki Dewi Keabadian yang berlumur darah. Sang Bidadari memperhatikan sekilas pada Sepasang Cincin Keabadian di dua ibu jari penggalan kaki sang Dewi.
Dengan cepat Bidadari Tujuh Langit lepas cincin di penggalan kaki sebelah kiri yang berwarna merah dan dimasukkan pada ibu jari kaki kirinya. Lalu bergerak bangkit seraya campakkan penggalan kaki sang Dewi yang sudah tidak bercincin. Karena gerakan tangan Bidadari Tujuh Langit bukan gerakan biasa, penggalan kaki milik sang Dewi yang sudah tidak bercincin itu langsung amblas masuk hampir setengahnya ke dalam tanah!
Hampir bersamaan dengan amblasnya penggalan kaki milik sang Dewi, Bidadari Tujuh Langit sentakkan tangan satunya yang masih memegang penggalan kaki ke arah Datuk Kala Sutera yang sudah bangkit dan bersandar di salah satu bongkahan batu.
Datuk Kala Sutera tidak mau menunggu. Dia hantamkan punggungnya pada bongkahan batu di mana dia bersandar. Sosoknya melesat ke depan menyongsong penggalan kaki kanan Dewi Keabadian. Di atas udara, Datuk Kala Sutera cepat lepaskan cincin dipenggalan kaki, lalu mengenakannya pada ibu jari kaki kanannya seraya jungkir balik sebelum akhirnya melayang turun dan tegak terhuyung di sebelah Bidadari Tujuh Langit.
"Akhirnya kita berhasil!" gumam Bidadari Tujuh Langit sambil usap darah di sudut mulutnya. "Kita harus Cepat tinggalkan tempat ini!" Seakan tak sabar, sang Bidadari cepat gaet lengan Datuk Kala Sutera dan diseretnya menyingkir menuju pinggiran pulau.
Di lain pihak, Dewi Keabadian cepat tarik kedua kakinya lalu ditekuk dengan lutut sejajar dada. Dia segera menotok beberapa tempat di sekitar kedua kakinya yang terbabat putus. Kucuran darahnya berhenti seketika. Lalu arahkan pandangannya pada sosok Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera yang terus berkelebat menuju pinggiran pulau.
"Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera!" Dewi Keabadian berteriak tanpa membuat gerakan. "Sebelum kalian tinggalkan tempat ini, kalian harus dengar ucapanku!"
Ada satu keanehan. Bersamaan dengan terdengarnya teriakan sang Dewi, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera rasakan kedua kakinya diganduli kekuatan dahsyat. Hingga meski kedua orang ini kerahkan segenap tenaga luar dalamnya, mereka tetap tidak mampu untuk melangkah! Dan pada saat yang sama, mereka laksana dihantam gelombang luar biasa kuat hingga sosok kedua orang ini berputar menghadap Dewi Keabadian!
Datuk Kala Sutera tercekat dan tidak berani memandang ke arah sang Dewi. Tengkuknya dingin dengan kedua lutut goyah. Namun tidak demikian halnya dengan Bidadari Tujuh Langit. Perempuan cantik bertubuh bahenol ini sunggingkan senyum dingin meski raut keterkejutan tak bisa dilenyapkan dari wajahnya. Dia memandang sekilas pada suaminya Datuk Kala Sutera lalu beralih pada Dewi Keabadian. Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke depan saking kagetnya. Sepasang matanya mendelik besar, Dan seolah tidak percaya, dia sapukan pandangan berkeliling seraya menggumam.
"Jangan-jangan ada orang lain di tempat ini! Tapi...." Bidadari Tujuh Langit memperhatikan sekali lagi pada satu sosok tubuh yang duduk bersandar pada satu bongkahan batu.
Dia adalah seorang perempuan berusia amat lanjut. Sekujur kulit wajahnya telah mengeriput. Sepasang matanya menjorok masuk ke dalam rongga yang amat dalam. Rambutnya putih awutawutan. Mengenakan pakaian warna kuning muda yang bagian dadanya diberi belahan memanjang ke bawah hampir sampai depan perutnya hingga terlihat jelas sebagian kulit dadanya yang keriput.
"Dari-pakaiannya jelas dia. Tapi...." Kembali Bidadari Tujuh Langit dilanda kebimbangan. Saat itulah dia ingat sesuatu. Bidadari Tujuh Langit segera memperhatikan pada kedua kaki perempuan tua yang duduk bersandar. Ternyata sepasang kaki nenek ini terputus hingga pergelangan! Bidadari Tujuh Langit baru tersenyum lega dan menarik napas panjang. Lalu berbisik pada Datuk Kala Sutera.
"Kau tak perlu takut.... Dia sudah tidak ada apa-apanya lagi! Lihatlah!"
Perlahan-lahan Datuk Kala Sutera beranikan dia arahkan pandangan pada Dewi Keabadian. Seperti halnya Bidadari Tujuh Langit, sang Datuk tampak tercengang tak percaya hingga penggalan kaki kanan sang Dewi yang masih terpegang tangan kanannya terlepas jatuh!
"Yakinkan matamu dengan melihat kedua kakinya!" bisik Bidadari Tujuh Langit seakan bisa menangkap rasa tidak percaya Datuk Kala Sutera meski dia tidak berpaling.
"Sekarang aku percaya kalau dia Dewi Keabadian!" Akhirnya Datuk Kala Sutera bergumam setelah melihat kedua kaki si nenek berambut putih yang duduk bersandar.
"Dia bukan hanya kehilangan keabadian tubuhnya, namun ilmunya juga sirna! Kita tak usah khawatir! Bahkan kalau perlu, dia kita bikin mampus sekarang juga! Parempuan cabul macam dia sudah layak menerima imbalan setimpal di akhir hidupnya!" berkata Bidadari Tujuh Langit dengan tangan terkepal.
"Kita jangan menambah urusan! Apa yang kita cari sudah kita dapat! Sebaiknya kita segera pergi! Lagi pula bukan tak mungkin dia masih memiliki kekuatan! Bukankah semua tindakannya selama ini sukar ditebak?! kau lihat sendiri apa yang baru saja terjadi. Kita bukan saja tak mampu melangkah, namun tubuh kita berputar menghadapnya seperti digerakkan tenaga dahsyat!"
Bidadari Tujuh Langit berpikir sesaat. Lalu berbisik. "Kalau dia kita biarkan hidup, jangan-jangan dia akan mencari kita! Lebih baik kita tuntaskan urusan ini!"
"Jangan mencari celaka!" sentak Datuk Kala Sutera. Mungkin karena khawatir si istri akan lakukan tindakan yang tidak diduga, sang Datuk segera gaet tangan sang Bidadari, lalu diseretnya berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Kalian tak akan pergi sebelum dengar ucapanku!" Terdengar suara Dewi Keabadian yang kini telah berubah menjadi seorang nenek-nenek berkulit keriput.
***
TIGA
BIDADARI Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tersentak kaget. Bukan karena ucapan sang Dewi, melainkan karena bersamaan dengan terdengarnya suara itu, mereka tidak mampu gerakkan tubuh untuk melangkah teruskan niat hendak tinggalkan tempat llu! Meski keduanya telah kerahkan segenap tenaga dalam yang mereka miliki. Belum lenyap rasa kaget Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera, Dewi Keabadian kembali perdengarkan suara.
"Malam ini kalian telah bertindak licik pada seseorang yang punya niat baik!" Dewi Keabadian hentikan ucapannya sesaat.
Bidadari Tujuh Langit hendak buka mulut perdengarkan suara. Namun meski mulutnya lelah menganga terbuka, tidak terdengar sepatah kata dari mulutnya. Suara itu laksana tenggelam dalam tenggorokannya!
"Kalian tahu...." Dewi Keabadian teruskan ucapan. "Kalian terlalu punya prasangka buruk padaku! Kalian hanya melihat apa yang terlihat mata dan mendengar apa yang tertangkap telinga kalian! Kalian tidak bisa berpikir apa sesungguhnya di balik yang terlihat dan terdengar!"
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera hanya bisa simak ucapan orang tanpa bisa membuat gerakan atau perdengarkan suara. Mereka berdua kernyitkan dahi. Bukan saja heran dengan apa yang dialami, namun juga merasa aneh dengan kata-kata Dewi Keabadian.
Di depan sana, Dewi Keabadian tersenyum. Lalu? lanjutkan ucapan. "Kalian tahu.... Aku meminta syarat berat karena! aku berharap kalian mengurungkan niat! Dan kau, Datuk Kala Sutera! Kuminta kau menemaniku bukan untuk tujuan jelek seperti yang kalian kira! Aku akan membawamu ke satu tempat agar kau bisa berpikir lebih jernih! Dan kau Bidadari Tujuh Langit! Kau kuminta bersemadi, agar kau bisa menimbang kembali semua permintaanmu.
Karena apa yang kalian minta adalah sesuatu yang bukan menjadi hak kalian! Keabadian hanya dimilikii oleh Sang Maha Abadi! Bukan milik manusia! Apa yang kumiliki selama ini, dan kini berpindah ke tangan kalian hanyalah keabadian semu! Itu hanya keabadian menurut manusia! Kelak semuanya pasti akan berakhir dan kita akan kembali menghadap Yang Maha Abadi!"
Untuk kedua kalinya Dewi Keabadian hentikan ucapan. Dia sandarkan tubuh lalu mendongak seraya teruskan ucapan. "Kalian juga perlu tahu.... Kalau selama ini kalian melihatku berpakaian dan bersikap menggoda, semua itu hanyalah ujian! Jika kalian berpikiran baik, kalian tentu tidak akan menduga yang bukan-bukan! Justru semua itu akan mengingatkan kalian pada Yang Maha Pencipta Keindahan!"
Dewi Keabadian membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat ke udara dan tahu-tahu telah duduk bersila di bongkahan batu di mana dia tadi bersandar Lalu lanjutkan ucapan. "Malam ini kalian telah salah sangka dan serakah pada seseorang! Hal ini kelak akan membuahkan hasil yang sama pada diri kalian masing-masing!
Kalian akan salah sangka pada anak-anak kalian bahkan pada kalian berdua! Kalian dan anak-anak kalian akan dihinggapi sifat serakah untuk mendapatkan sesuatu! Pertolongan memang akan datang! Tapi kedatangannya sudah sangat terlambat dan justru pertolongan itu datangnya dari sesuatu yang sangat menyakitkan hati!"
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera terpana. Mereka merasakan kuduk masing-masing laksana diguyur es. Sekuat tenaga mereka coba bebaskan diri agar dapat bergerak dan segera tinggalkan tempat itu. Namun usaha mereka tidak berhasil.
Di seberang, Dewi Keabadian menghela napas panjang dengan bibir masih sunggingkan senyum. Lalu angkat suara lagi. "Karena negeri daratan Himalaya ini telah kotor dengan tindakan kalian, maka pertolongan itu akan datang dari manusia di luar daratan Himalaya! Dan Sepasang Cincin Keabadian tidak akan lepas dari kaki kalian masing-masing sebelum kalian mengalami nasib yang seperti kalian lakukan padaku!
Dan kalian juga perlu tahu.... Sepasang Cincin Keabadian memang akan membuat kalian tetap muda. Tapi Sepasang Cincin Keabadian akan membuat kalian buta! Bukan tidak bisa melihat, tapi kalian tidak akan mengenal mana anak, mana suami, mana istri!" Dewi Keabadian tertawa perlahan.
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera makin tercekat. Di seberang, tiba-tiba Dewi Keabadian sentakkan tubuhnya ke belakang. Sosoknya melesat beberapa tombak ke belakang lalu duduk bersila di atas tanah. Saat berikutnya kembali dia berkata.
"Sepasang Cincin Keabadian tidak bisa dipisahkan! Jika dipakai terpisah, maka hal itu akan membual si pemakai mengidap satu penyakit! Memang penyakit itu tidak terlihat dan tidak terasa! Tapi penyakit itu sungguh memilukan hati! Karena kalian memakai terpisah satu sama lain, kelak kalian akan saling mencari!"
Untuk kesekian kalinya Dewi Keabadian hentikan ucapan. Lalu arahkan matanya pada Bidadari Tujuh ngit dan berkata. "Bidadari Tujuh Langit! Kau boleh pergi!"
Begitu ucapan Dewi Keabadian selesai, mendadak Bidadari Tujuh Langit bisa gerakkan kembali anggota tubuhnya. Perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal ini tersenyum. Memandang beberapa saat pada Dewi Keabadian. Lalu berpaling pada Datuk Kala Sutera.
Namun ada yang aneh. Tatkala sang Bidadari memandang wajah Datuk Kala Sutera, perempuan ini tampak terkejut seperti melihat orang yang tidak dikenal! Saat lain tanpa buka suara lagi, dia putar diri lalu enak saja berkelebat menuju pinggiran pulau!
Datuk Kala Sutera tercengang. Dia hendak berteriak. Tapi suaranya tersumbat ditenggorokan. Dia coba putar diri. Tapi kekuatan dahsyat membuat sosoknya tetap diam tak bergerak! Dewi Keabadian tertawa perlahan. Dan begitu sosok Bidadari Tujuh Langit melompat dari pinggiran pulau, Dewi Keabadian angkat suara.
"Datuk Kala Sutera! Sekarang kau juga boleh tinggalkan tempat ini!" Habis berkata begitu, Dewi Keabadian membuat satu kali gerakan. Tubuhnya melesat lalu lenyap ditelan kegelapan di depan sana.
Bersamaan dengan sirnanya sosok sang Dewi, Datuk Kala Sutera bisa gerakkan tubuh. Laki-laki berparas tampan ini memandang berkeliling beberapa saat. Lalu tengadah dengan dahi berkerut. "Apa yang telah kulakukan di tempat ini?! Mengapa aku bisa berada di tempat ini?!" Datuk Kala Sutera berusaha mengingat-ingat. Tapi dia tidak ingat apa-apa lagi!
Bahkan dia lupa pada istrinya Bidadari Tujuh Langit! Datuk Kala Sutera edarkan pandang matanya sekali lagi menembus kegelapan suasana pulau. Lalu dia ingat akan perahunya. Dia cepat balikkan tubuh. Lalu berkelebat menuju pinggiran pulau. Tegak berdiri di salah satu lamping pulau, Datuk Kala Sutera tundukkan kepala memperhatikan dirinya.
"Aneh.... Aku merasakan sesuatu! Gerakanku jadi ringan! Tenaga dalamku tiba-tiba bertambah! Apa yang terjadi...?!"
Karena tidak juga menemukan jawaban, Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya ke tengah laut. Saat itulah matanya menangkap gerakan sebuah perahu. "Perahuku.... Bagaimana bisa berada di tengah laut?! Tapi.... Perahu itu berpenumpang! Siapa dia...?! Dari sikapnya jelas dia seorang perempuan!"
Datuk Kala Sutera mengukur jarak. Lalu berteriak. "Hai! Tunggu!"
Walau saat itu suara gemuruh gelombang terus menyembur, anehnya teriakan Datuk Kala Sutera mampu didengar oleh si penumpang perahu yang bukan lain adalah Bidadari Tujuh Langit. Perempuan cantik dari sintal ini segera palingkan kepala. Samar-samar matanya menangkap satu sosok tubuh yang berdiri tegak di lamping pulau.
"Siapa dia?!" gumam Bidadari Tujuh Langit seraya kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Lalu perahu di mana dia berada mendadak terhenti bahkan tidak bergeming sama sekali meski dihantam gelombang!
Melihat si penumpang hentikan laju perahunya, Datuk Kala Sutera tidak berpikir dua kali. Dia segera melesat ceburkan diri ke dalam laut lalu berenang menghadang gelombang ke arah perahu. Sebenarnya Datuk Kala Sutera hanya coba-coba. Dia berpikir, seandainya tidak mampu menghadang gempuran gelombang, dia akan berbalik dan menunggu hingga pagi hari. Namun begitu dia bukan hanya mampu menerjang gulungan ombak, namun gerakannya amat ringan, Datuk Kala Sutera teruskan berenang.
Sementara entah karena apa, Bidadari Tujuh Langit tidak berusaha mene-i ruskan laju perahunya. Dia diam menunggu sambil sesekali gerakkan kepala berusaha melihat sosok orang yang timbul tenggelam berenang ke arah perahunya. Begitu Bidadari Tujuh Langit melihat dua tangan menggapai bagian samping perahunya, perempuan ini segera bergerak mendekat. Ujung dayung segera dijulurkan yang cepat ditangkap oleh Datuk Kala Sutera.
"Wuuutt!" Bidadari Tujuh Langit gerakkan dayung. Satu sosok tubuh melesat dari dalam air laut lalu tegak di lantai perahu dengan tubuh dan pakaian basah kucurkan air.
Datuk Kala Sutera sisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangannya lalu memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit seraya tersenyum dan berkata. "Terima kasih.... Kau tak keberatan jika aku ikut menumpang?!"
Bidadari Tujuh Langit ikut sunggingkan senyum. Lalu anggukkan kepala. Diam-diam dalam hati dia berkata. "Siapa laki-laki ini?! Wajahnya tampan.... Tapi aku tidak tertarik...."
Membatin begitu, tanpa angkat suara lagi Bidadari Tujuh Langit melangkah ke bagian depan perahu. Lalu ayunkan dayung ke dalam air laut. Perahu itu kembali melaju cepat menembus gulungan ombak.
"Aku ingat benar! Ini adalah perahu milikku! Tapi bagaimana bisa dibawa perempuan cantik ini? Siapa dia...?!" Datuk Kala Sutera pandangi bagian belakang sosok Bidadari Tujuh Langit. Pakaian putih tipis dan ketat yang dikenakan sang Bidadari membuat dada Datuk Kala Sutera berdebar. Apalagi gerakan perahu membuat pinggul sang Bidadari bergerak-gerak menggoda. Datuk Kala Sutera menelan ludah. Lalu melangkah mendekati sang Bidadari. Tapi belum sampai melangkah jauh, Bidadari Tujuh Langit sudah bersuara.
"Laki-laki tak dikenal! Aku telah berbaik hati menolongmu memberi tumpangan! Jangan coba bertindak macam-macam! Tanganku bisa melemparkanmu ke tengah laut!"
Datuk Kala Sutera hentikan langkah. "Bagaimana bisa begini?! Ini perahu milikku! Aku yakin betull Tapi.... Ah, daripada membuat keributan, lebih baik aku diam saja! Lagi pula bukan hanya dia gadis cantik yang nanti bisa kudapatkan di daratan sana!"
Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera ambili dayung yang tergeletak di lantai perahu. Saat lain dia ayunkan dayung ke dalam air laut dari bagian belakang perahu. Laju perahu makin deras. Derasnya laju perahu sudah cukup membuat Bidadari Tujuh Langit maklum apa yang dilakukan laki-laki di belakangnya.
"Hem.... Selain berwajah tampan, dia juga memiliki tenaga dalam lumayan! Sayangnya aku tidak terpikat...!"
Baru saja Bidadari Tujuh Langit membatin begitu, Datuk Kala Sutera berkata. "Boleh aku tahu siapa kau adanya?!"
Bidadari Tujuh Langit tertawa tanpa berpaling. Puas tertawa dia berucap. "Aku yang memberimu tumpangan! Seharusnya kau yang memperkenalkan diri terlebih dahulu!"
"Aku Datuk Kala Sutera!"
"Nama bagus.... Boleh aku tahu, apa yang kau lakukan di pulau itu?!"
Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Seballiknya menoleh ke arah pulau yang kini terlihat saman samar hitam di kejauhan sana. Dia coba mengingat. Tapi selalu gagal. Hingga akhirnya dia berkata. "Aku telah mengatakan siapa diriku. Harap kau sudi memperkenalkan diri!"
"Aku Bidadari Tujuh Langit!"
"Nama yang seindah orangnya!" puji sang Datuk membuat Bidadari Tujuh Langit tertawa cekikikan.
Pujian orang tidak membuat dada perempuan ini berdebar, sebaliknya pujian itu terdengar lucu hingga sang Bidadari tertawa cekikikan! Lalu berucap. "Kau masih tak mau memberitahukan apa
yang kau lakukan di pulau itu?!"
Karena tak mau mendapat dugaan yang bukan-bukan, enak saja Datuk Kala Sutera menjawab. "Aku tengah memancing! Namun tiba-tiba ombak besar datang! Kailku mencelat dan perahu terbawa arus sebelum akhirnya pecah berantakan dihantam gelombang! Akhirnya aku menunggu hingga aku melihatmu...."
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. "Mudah-mudahan kau tidak berkata dusta padaku...," gumamnya membuat sang Datuk terkejut.
Namun Datuk Kala Sutera tidak mau tunjukkan rasa kejutnya dan segera alihkan pembicaraan orang dengan berkata. "Sebenarnya aku tadi melihatmu di pinggiran pulau. Cuma aku masih khawatir. Menurut beberapa orang, pulau itu berpenghuni! Bukan manusia tapi sejenis makhluk halus.... Setelah aku yakin, baru aku berani berteriak! Kau baru mengunjungi pulau itu, bukan?!"
Kini ganti Bidadari Tujuh Langit yang terdiam beberapa lama. Perempuan ini seperti halnya Datuk Kala Sutera tadi, coba mengingat-ingat. Namun dia juga gagal menemukan jawaban. Hingga akhirnya dia berucap. "Seperti katamu.... Aku juga sering mendengar orang mengatakan pulau itu berpenghuni. Karena penasaran, aku coba membuktikan ucapan orang! Ternyata yang kutemukan bukan penghuni semacam makhluk halus, tapi laki-laki berwajah tampan yang terdampar karena perahunya hancur diterjang gelombang!"
Pujian Bidadari Tujuh Langit membuat dada Datuk Kala Sutera berdegup keras. Hidungnya kembang kempis. Dia tatapi pinggul sang Bidadari yang terus bergerak-gerak karena guncangan perahu. Mungkin tak bisa menahan gejolak nafsunya, sang Datuk gerakkan kaki melangkah. Namun baru mendapat satu tindak, tiba-tiba gejolak nafsunya padam! Kaki sang Datuk tersurut. Dahinya berkerut.
"Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa tiba-tiba aku tidak berselera dengan perempuan itu?! Jangan-jangan dia...."
Belum sampai Datuk Kala Sutera lanjutkan kata hatinya, Bidadari Tujuh Langit sudah berkata. "Aku sudah tidak membutuhkan perahu ini lagi! Kau boleh mengambilnya untuk pergi memancingi" Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit berkelebat menerabas air laut. Pakaian putihnya basah kuyup hingga membuat lekuk sosoknya terlihat jelas.
"Astaga!" Datuk Kala Sutera terjengah sendiri. Ternyata dia sudah berada tidak jauh dari pesisir pantai. Dia segera campakkan dayung di tangannya lalu berkelebat mengejar Bidadari Tujuh Langit yang terus berlari di atas pesisir. "Aku harus tahu apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa aku tiba-tiba tidak berselera dengan perempuan...!" Rasa penasaran sang Datuk membuat laki-laki ini makin percepat larinya.
Sementara di depan sana, sang Bidadari terus berlari laksana kesetanan. Namun diam-diam dia merasa tengah diikuti. Hingga pada satu tempat, perempuan cantik bertubuh sintal ini hentikan larinya dan langsung balikkan tubuh. "Mengapa kau mengikutiku, hah?!"
Datuk Kala Sutera hentikan langkah tujuh tindak di hadapan sang Bidadari. Dia tidak buka mulut menjawab. Namun pandangi sosok sang Bidadari yang makin mempesona. Dadanya yang kencang membusung bergerak-gerak turun naik dan lekukan pinggulnya makin terlihat karena pakaian yang dikenakan basah. Datuk Kala Sutera menahan napas. Masih tanpa buka mulut menjawab, laki-laki ini melangkah ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Bidadari Tujuh Langit mendelik angker. Gerakan orang sudah membuatnya sadar apa yang diinginkan orang. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya lalu buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, mulut sang Bidadari kembali mengatup. Dahinya mengernyit dengan mata sedikit memicing.
Di sebelah depan, mendadak Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya membelalak beberapa saat. Laki-laki ini bukannya melihat raut cantik dan tubuh sintal terbalut kain basah dan ketat milik Bidadari Tujuh Langit. Sebaliknya melihat wajah seorang nenek-nenek berkulit keriput dengan rambut pulih awut-awutan. Sepasang matanya kelabu masuk ke dalam rongga yang cekung dan dalam. Dadanya yang kendor bergerak-gerak.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun yang terlihat oleh Datuk Kala Sutera adalah bibir hitam yang menyeringai! Hingga membuat gejolak nafsu si Datuk padam seketika! Tanpa buka mulut, Datuk Kala Sutera balikkan tubuh. Laksana terbang dia berkelebat dan berlari denga perdengarkan sumpah serapah. Bidadari Tujuh Langit terkesiap. Namun tak lama kemudian tawanya meledak mengikuti ke mana sang Datuk berlari kesetanan!
***
EMPAT
SOSOK yang berkelebat paling depan sesaat arahkan pandangan berkeliling dari sela ranggasan ilalang. "Hem.... Ada beberapa orang di belakang! Siapa mereka?! Apakah mereka juga punya maksud sama sepertiku?! Aku tak boleh kedahuluan mereka! Aku telah menunggu kesempatan balas dendam ini beberapa tahun!"
Membatin begitu, sosok yang paling depan ini segara beranjak bangkit dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu edarkan pandangan berkeliling sesaat. Saat lain berkelebat. Begitu melewati ranggasan ilalang, orang ini segara memandang lurus ke depan. Terlihat lima bangunan kecil yang berdiri berjajar. Bangunan itu berbentuk mirip kuil. Dan kelimanya berbentuk sama, baik besar dan warnanya. Tepat di belakang lima bangunan itu terdapat satu bangunan lagi berbentuk pendopo agak besar.
"Hem.... Ternyata apa yang kudengar sesuai dengan kenyataan. Mereka mendirikan lima bangunan untuk anak-anaknya! Dan mereka menamakan bangunan itu Istana Lima Bidadari! Hem.... Keparatnya pasti yang tinggal di bangunan pendopo itu!"
Orang ini arahkan pandangannya pada bangunan berbentuk pendopo di belakang lima bangunan yang selama ini memang dikenal dengan Istana Lima Bidadari. Dia adalah seorang laki-laki berusia setengah baya bertampang angker. Parasnya bulat ditingkahi kumis lebat dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata sebelah kanan.
Mata kiri ditutup dengan sebuah kulit berbentuk bundar berwarna hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya. Pada pipi kirinya melintang codet besar dan panjang sampai telinga. Rambutnya lebar dan panjang dibiarkan bergerai menutupi sebagian wajahnya. Laki-laki ini mengenakan pakaian hitam-hitan yang dilapis dengan jubah panjang berwarna hitam sebatas lutut.
Laki-laki bermata satu edarkan pandangan seka lagi. Lalu berkelebat. Namun belum sampai benar-benar bergerak, telinganya mendengar suara tangisan bayi. Laki-laki ini urungkan niat. Lalu arahkan matanya pada bangunan pendopo dengan mata mendelik tak berkesip. Namun setelah agak lama menunggu, laki-laki ini tidak juga melihat tanda-tanda adanya orang yang ke luar dari bangunan pendopo.
"Tangisan itu jelas dari salah satu bangunan Istana Lima Bidadari! Anehnya mengapa dua keparat itu tidak muncul juga?! Apakah mereka tengah tenggelam dalam gelutan nafsu hingga telinganya tidak mendengar tangis anaknya...? Hem.... Bidadari Tujuh Langit memang masih muda dan cantik serta bertubuh aduhai.... Sebelum jahanamnya kulempar ke neraka, aku ingin mencicipi kemontokan tubuhnya!"
Laki-laki bermata satu sudah tak sabaran. Namun ia berusaha menahan diri. Tampaknya dia sadar siapa yang dihadapi. Hingga dia tidak mau bertindak ayal meski bayangan kemontokan orang sudah berada di pelupuk matanya. Namun setelah ditunggu agak lama, tidak juga ada tanda-tanda kemunculan orang yang diharapkan, sementara tangisan bayi makin lama makin keras, laki-laki bermata satu pupus kesabarannya. Dengan kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya dia berkelebat.
Seakan sudah bisa menebak jika orang yang diharap tidak berada di salah satu Istana Lima Bidadari, si laki-laki bermata satu langsung berkelebat ke arah bangunan berbentuk pendopo. Dia mengendap-endap beberapa lama di luar bangunan dengan mata nyalang tak berkesip.
"Aneh.... Sepertinya keparat-keparat itu tidak ada! Aku tidak mampu mengendus aroma mereka! Atau jangan-jangan ini satu jebakan! Tapi...." Si laki-laki bermata satu tidak lanjutkan kata hatinya. Dia segera merapat ke bagian pintu satu-satunya yang ada. Dia tahan telinga. Sementara mata satunya liar mengedar keliling.
"Jahanam benar! Bangunan ini tampaknya kosong!" gumam laki-laki bermata satu. Sekali melompat dan membuat gerakan, pintu bangunan pendopo ambrol berantakan! Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di ruangan tengah yang hanya diterangi sebuah obor bambu. Laki-laki bermata satu arahkan pandang matanya pada satu ruangan berpintu. Lalu melangkah perlahan mendekati dengan kedua tangan terangkat di atas kepala. Dia berhenti dua tindak di depan pintu.
"Kamar ini rupanya juga kosong! Jadi kedua jahanam itu benar-benar tidak ada di tempat ini! Ke mana mereka?!" Si laki-laki bermata satu luruskan kakinya ke arah pintu. Sekali dorong, pintu itu terbuka menganga tanpa membuat suara! Sekali longokkan kepala, si laki-laki sudah bisa menduga jika kamar itu memang kosong. Hingga tanpa masuk, dia segera balikkan tubuh.
"Aku harus menunggu! Mereka meninggalkan beberapa anak! Tak mungkin mereka pergi jauhi"
Setelah menyiasati keadaan beberapa lama, si laki-laki bermata satu melangkah keluar bangunan pendopo. Saat itulah matanya menangkap gerakan berkelebat di antara ranggasah ilalang di depan sana. Kalau tadinya laki-laki bermata satu sudah bertekad hendak menunggu, tapi demi melihat gerakan beberapa sosok bayangan di ranggasan ilalang, mendadak niatnya berubah.
"Aku yakin mereka bukanlah kedua jahanam Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera! Aku tak mau membuka urusan dengan orang lain sebelum urusanku dengan dua keparat jahanam itu selesai tuntas! Hem.... Kalau aku tetap berada di sini, bukan tak mungkin aku bisa membuka urusan dengan orang lain! Padahal aku sudah bersumpah, kedua tanganku tidak akan berlumur darah sebelum dapat mengalirkan darah kedua jahanam itu!"
Si laki-laki bermata satu berpikir sesaat. Saat itulah suara tangisan bayi tiba-tiba terputus. Entah apa yang dipikirkan laki-laki bermata satu, yang jelas dia segera berkelebat ke arah salah satu bangunan Istana Lima Bidadari dari mana tadi suara tangisan bayi terdengar. Karena sudah yakin tidak ada orang lain di Istana Lima Bidadari, laki-laki bermata satu segera berkelebat masuk pada salah satu bangunan paling ujung di mana suara tangisan bayi terdengar.
Bangunan berbentuk kuil itu diterangi sebuah obor kecil. Tepat di tengahnya terdapat lantai agak tinggi berbentuk segi empat beralas jerami tebai. Jerami itu tampak melesak tepat di bagian tengahnya dan tampak bergerak-gerak.
"Hem.... Malam ini aku tidak berhasil menemui kedua jahanam itu! Tapi aku akan membuat mereka mencariku!" Si laki-laki bermata satu tersenyum dingin lalu melangkah ke arah lantai tinggi beralas jerami. Kepalanya segera bergerak meiongok. "Bayi cantik dan montok!" Desisnya. "Dengan bayi ini kuyakin tak perlu susah-susah lagi mencari jahanam ibu bapaknya! Justru mereka yang akan mencariku!"
Tanpa pikir panjang lagi si laki-laki bermata satu julurkan tangan kirinya ke arah bayi. Sekali angkat, bayi di atas jerami tebal telah berada di tangannya. Mungkin karena kasar, bayi perempuan itu segera perdengarkan tangisan keras. Si laki-laki bermata satu tidak ambil peduli. Malah dia putar-putar tangan kirinya hingga si bayi makin keraskan tangisnya.
"Kau adalah jaminan nyawa kedua orangtuamu!" si laki-laki bermata satu berteriak. Lalu tarik pulang tangan kirinya. Si bayi didekapnya lalu dengan tenang berkelebat tinggalkan salah satu bangunan Istana Lima Bidadari. Baru saja si laki-laki bermata satu berlalu, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di depan bangunan pendopo.
"Sayang aku tidak bisa melihat jelas siapa adanya manusia berpakaian hitam-hitam tadi! Tapi apa peduliku?! Kedatanganku perlu dengan Bidadari Tujuh Langit dan si jahanam Datuk Kala Sutera! Mereka harus membayar nyawa satu-satunya muridku yang tewas di tangan mereka!" Sosok di depan pendopo memandang berkeliling sebelum akhirnya arahkan pandangannya ke pintu pendopo yang telah ambrol berantakan.
"Tampaknya aku tidak akan menemukan kedua manusia itu malam ini! Apa yang harus kulakukan?! Tak mungkin aku menunggu!"
Saat itulah tiba-tiba telinga orang ini mendengar isakan tangis bayi. Orang di depan bangunan pendopo berpaling pada salah satu bangunan Istana Lima Bidadari untuk menentukan sumber isakan tangis. Saat lain dia berkelebat dan tegak di depan salah satu bangunan di sebelah kanan bangunan dimana tadi laki-laki bermata satu berkelebat keluar seraya membopong bayi. Tanpa berpikir dua kali, orang di depan bangunan salah satu kuil Istana Lima Bidadari segera melompat masuk. Dia melihat seorang bayi perempuan di atas tumpukan jerami kering dan tebal.
"Hem.... Dia bisa kujadikan sandera bagi nyawa Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera!" gumam orang di sebelah bayi yang tengah terisak dan gapai-gapaikan kedua tangannya.
Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lanjut berambut putih panjang menjulai hingga betis. Sosoknya tambun besar hingga gumpalan daging di perutnya tampak bergerak turun naik ketika nenek ini membuat gerakan. Sepasang matanya sipit. Bukan karena bola matanya kecil, namun karena tebalnya kulit wajah.
Hidungnya besar dan masuk ke dalam gumpalan kulit wajahnya yang tebal. Mulutnya hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup tebalnya kulit, wajah kedua pipinya. Nenek ini mengenakan pakaian warna merah menyala yang sangat ketat.
Si nenek bertubuh tambun besar pandangi bayi di atas jerami beberapa saat. Lalu dengan tersenyum kedua tangannya bergerak. Bayi di atas jerami telah berpindah pada kedua tangannya. Saat lain nenek ini berkelebat keluar. Bayi perempuan bukannya dibopong tangan kedua tangannya, namun enak saja diletakkan di atas gumpalan daging perutnya!
Hampir bersamaan dengan melesatnya sosok si nenek, dua sosok bayangan menerabas ranggasan ilalang lalu tegak berjajar di depan salah satu Istana Lima Bidadari di sebelah mana si nenek baru saja keluar.
Dua sosok ini adalah seorang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sudah tua, sementara si perempuan masih muda. Si laki-laki berwajah lonjong dengan kulit putih. Sosoknya kerempeng hingga raut wajahnya hampir-hampir saja tidak tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang.
Sepasang matanya membelalak besar seolah hendak mencelat keluar dari dalam rongganya. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih gombrang besar. Saking besarnya, sosoknya tampak bergoyang-goyang ketika pakaiannya ditiup angin, hingga orang tua ini terus bergerak-gerak meski tidak tengah membuat gerakan apa-apa!
Sementara sosok perempuan di sebelah laki-laki tua berpakaian gombrang berparas cantik jelita. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung dengan bibir dipoles merah menyala. Lehernya jenjang dengan dada membusung kencang. Pinggulnya yang besar dibalut dengan pakaian tipis dan ketat warna biru.
"Dari gelagat beberapa orang tadi, jelas kita tidak akan bertemu dengan keparat Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera! Tapi kita tak perlu kecil hati! Kita punya sesuatu yang pasti membuat kedua keparat itu memburu ke mana kita pergi!" Si laki-laki tua bertubuh kerempeng angkat suara dengan mata mengarah pada kuil di hadapannya.
"Kau ambil yang sebelah sana! Aku akan ambil yang di depan Ku!" kembali si orang tua berkata serayg arahkan telunjuknya pada bangunan kuil yang bersebelahan dengan bangunan kuil di hadapannya.
Tanpa ada yang buka suara lagi, kedua orang ini segera melompat masuk ke dalam bangunan kuil yang bersebelahan. Kejap kemudian keduanya sudah keluar lagi dengan kedua tangan masing-masing orang mendekap seorang bayi. Dengan satu isyarat, laki-laki tua bertubuh kerempeng segera melesat menembus dinginnya udara dini hari yang kemudian disusul oleh si perempuan muda. Tanpa diketahui oleh si orang tua bertubuh kerempeng dan si perempuan muda berwajah cantik, sepasang mata dari tadi tampak mendelik tak berkesip dari sela ranggasan ilalang.
"Satu, dua, tiga, empat...." Si pemilik mata perdengarkan hitungan seraya arahkan matanya pada jajaran bangunan Istana Lima Bidadari. "Hem.... Tinggal satu yang belum dimasuki orang! Mudah-mudahan kedatanganku tidak sia-sia meski tampaknya aku tidak menemukan manusia yang kucari!"
Mata dari sela ranggasan ilalang itu mengedar beberapa saat. Saat lain, si pemilik mata angkat tubuhnya yang sengaja direbahkan sejajar tanah. Ternyata dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek. Hingga meski dia telah tegak berdiri, tapi kepalanya tidak sampai mencapai ujung ilalang! Laki-laki cebol ini berparas bulat besar.
Hidungnya melesak ke dalam dengan mata sipit. Rambutnya lebat dan panjang hingga menyapu tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar, hingga ketika tegak, laki-laki ini tampak doyong ke depan! Di pinggangnya tampak sebuah pedang panjang berkilat. hebatnya, pedang itu bukannya diselipkan, namun seakan lentur, pedang berkilat itu diikatkan melingkar pada pinggangnya!
Si laki-laki cebol membuat satu kali gerakan. Mendadak sosoknya melesat cepat dan tahu-tahu sudah tegak doyong di depan bangunan Istana Lima Bidadari paling ujung yang memang belum dimasuki orang. Tanpa putar kepala si laki-laki cebol segera melangkah memasuki bangunan dan sekali kakinya menghentak, sosoknya melenting dan tegak di atas tumpukan jerami tebal di mana teronggok satu bayi perem-puan. Anehnya, meski si laki-laki cebol tebal tegak di atas tumpukan jerami, namun tumpukan jerami itu tidak bergerak atau melesak! Hingga bayi di atas jerami tidak terusik.
Si laki-laki cebol pandangi beberapa lama pada sosok bayi di sampingnya. Saat lain wajahnya ditegakkan tengadah. Lalu terdengar gelakan tawanya! Tapi meski suara tawa itu keras menggema, si bayi tetap diam tak terusik!
"Rejekiku besar! Ternyata aku masih kebagian satu!" ujar si laki-laki cebol di sela geraian tawanya. Dan masih tertawa ngakak, bagian atas tubuhnya disentakkan ke bawah. Tangannya menggapai lalu digerakkan ke atas. Bayi perempuan di atas tumpukan jerami melayang ke udara. Lalu turun ke bawah. Si laki-laki cebol hanya pandangi bayangan sosok si bayi tanpa membuat gerakan. Empat jengkal lagi bayi itu berada di atas kepalanya! laki-laki ini sorongkan tubuhnya ke depan hingga tubuhnya makin doyong.
"Plukkk!" Si bayi teronggok diam di atas punuk besar laki-laki cebol. Si laki-laki putar tubuh. Lalu dengan masih tertawa ngakak, sosoknya melesat keluar bangunan!
Suara tawa si laki-laki cebol belum lenyap, mendadak satu bayangan berkelebat. Bayangan ini langsung menerabas ke arah bangunan pendopo di belakang bangunan Istana Lima Bidadari. Dari caranya, jelas jika bayangan ini sudah paham dengan situasi di tempat itu. Si bayangan terus memasuki bangunan pendopo dan berlari mondar-mandir ke seantero bangunan. Sikapnya jelas membayangkan kalau dia tengah mencari sesuatu.
"Di mana dia...?! Kalau pergi, mengapa tidak memberi tahu padaku?!" gumam si bayangan seraya hentikan langkah. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia dua puluh lima tahunan. Wajahnya jelita dengan rambut digulung ke atas. Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis dan ketat membungkus tubuhnya yang berdada kencang dan berpinggul besar. Perempuan ini tidak lain adalah Bidadari Tujuh Langit.
"Hem.... Tampaknya dia memang telah pergi! Tapi apa peduliku sekarang?! Aku sudah tidak tertarik padanya! Hanya saja mengapa aku tidak mendengar suara tangis...."
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan gumaman, perempuan ini telah melesat keluar dari bangunan pendopo dan masuk ke dalam kuil paling ujung di mana laki-laki cebol baru saja keluar. Tanpa mendekati tumpukan jerami tebal di atas lantai agak tinggi yang berada di tengah bangunan kuil, tampaknya Bidadari Tujuh Langit sudah bisa menduga.
Ia balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah satu persatu bangunan kuil Istana Lima Bidadari. Seperti halnya tatkala masuk bangunan pertama, sang Bidadari tidak teruskan langkah untuk mendekati jerami tebal. Dia sudah balikkan tubuh lalu melangkah ke arah bangunan satunya hingga bangunan paling ujung di mana tadi laki-laki bermata satu masuk.
"Hem.... Tampaknya dia pergi dengan membawa serta anak-anakku! Tak apa.... Dia juga ayahnya!"
Bidadari Tujuh Langit bergumam lagi lalu tertawa perlahan. Dan seolah tidak merasa kehilangan darah daging yang dilahirkannya, perempuan cantik bertubuh sintal ini enak saja melangkah keluar bahkan sambil sunggingkan senyum!
***
LIMA
BARU saja Bidadari Tujuh Langit melangkah keluar, mendadak satu sosok bayangan berkelebat dan tegak sepuluh langkah di hadapan sang Bi-iladari. Bidadari Tujuh Langit pupuskan senyum. Sepasang matanya serta-merta mendelik angker. Dan laksana terbang dia melompat ke depan seraya membentak.
"Mengapa kau masih mengikutiku, nah?!"
Orang yang dibentak tak kalah kagetnya. Malah sepasang kakinya tersurut satu tindak dan memandang ha depan dengan tatapan tak percaya. Dia adalah searang laki-iaki berusia tiga puluh tahunan bertampang daras dan tampan. Rambutnya panjang sebahu dengan kumis tebal melintang. Laki-iaki ini mengenakan jubah panjang sebatas mata kaki melapis pakaian dalam berwarna putih, la tak lain adalah Datuk Kala Sutera.
"Siapa perempuan ini sebenarnya?! Mengapa dia berada di sini?! Ini adalah tempatku! Juga tempat beberapa anakku!"
Ingat akan anaknya, Datuk Kala Sutera bukannya segera menjawab pertanyaan Bidadari Tujuh Langit. Sebaliknya segera berkelebat. Namun Bidadari Tujuh Langit cepat menghadang dengan kedua tangan terangkat dan berteriak lantang.
"Berani kau memasuki tempatku, aku tak segan melepas selembar nyawamu!"
Untuk kedua kalinya sang Datuk terlengak kaget. "Aneh.... Dia sebelumnya mengaku sebagai pemilik perahu, padahal itu perahuku! Kini dia mengatakan ini adalah tempatnya! Padahal aku tidak buta! Ini adalah tempatku!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya Datuk Kala Sutera balas membentak. "Kau jangan mengada-ada! Ini adalah tempatku! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Mendengar ucapan orang, Bidadari Tujuh Langit tertawa bergelak hingga dadanya yang membusung kencang bergerak turun naik menggoda. Lalu berkata. "Kau lagi-lagi berani berkata dusta padaku! Pertama kali jumpa kau mengaku sebagai pemancing di laut yang kapalnya berantakan dan mencelat di hantam gelombang ombak! Sekarang kau mengaku ini adalah tempatmu! Aku mau bertanya. Apa sebenarnya yang kau inginkan?!"
Mungkin karena merasa jengkel, seraya menatap tajam pada gerakan dada sang Bidadari serta pinggulnya yang besar, sang Datuk angkat suara. "Aku menginginkan dirimu!"
Gelakan tawa Bidadari Tujuh Langit makin melengking tinggi, lalu berucap di sela gelakan tawanya. "Kalau hanya itu yang kau inginkan, sebetulnya kau tak perlu mengikutiku hingga kapalmu terhantam gelombang dan mengaku-aku sebagai pemilik tempat ini. Aku akan turuti semua keinginanmu...! Kapan kau memintanya?! Sekarang...?! Di mana...?! Di sini atau kau cari tempat lain...?!"
Seraya berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit putuskan gelakan tawanya, lalu tersenyum. Tapi diam-diam dalam hati dia berkata. "Sayang sekali aku tidak berselera sedikit pun padamu! Kau akan melihat tubuhku, tapi setelah itu kedua biji matamu akan kucungkil keluar!"
Di lain pihak, mendengar kata-kata Bidadari Tujuh langit, dada Datuk Kala Sutera berdebur keras. Matanya nyalang pandangi sekujur tubuh perempuan di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Datuk Kala Sutera lupa dengan apa yang baru dialaminya di dekat pesisir pantai beberapa saat yang lalu.
"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar Bidadari Tulah Langit dengan makin kembangkan senyum. "Kau memintanya sekarang...?! Di sini...?!"
Walau ucapan sang Bidadari bernada tanya, sebelum sang Datuk sempat buka mulut menjawab, tangan sang Bidadari sudah diluruhkan ke bawah. Lalu perlahan-lahan menarik bagian bawah pakaiannya dengan kepala ditegakkan dan mulut perdengarkan desahan panjang!
Sepasang mata sang Datuk makin mendelik melihat singkapan pakaian sang Bidadari hingga perlahan-lahan pahanya yang padat dan putih mulus terlihat jelas, apalagi saat itu matahari mulai unjuk diri dari kaki langit.
"Sebenarnya.... Sejak di atas perahu tadi malam, aku sudah merindukanmu. Mendekatlah...." Bidadari tujuh Langit berkata seolah berbisik. Sepasang matanya dipejamkan setengah terbuka. Sementara kedua tangannya terus menarik pakaian bawahnya yang membuat dada Datuk Kala Sutera berdebar karena singkapan pakaian itu sudah hampir mencapai pangkal paha.
Malah bukan hanya sampai di situ saja, begitu singkapan pakaiannya hampir mencapai pangkal paha, sang Bidadari segera rebahkan diri di atas tanah. Dia sengaja menghela napas panjang hingga bukan saja pahanya yang kini tersingkap jelas, tapi dadanya yang membusung tampak bergerak-gerak mempesona!
Datuk Kala Sutera tidak menunggu lagi. Begitu Bidadari Tujuh Langit rebahkan diri dengan sikap makin menggoda, dia segera melangkah mendekati dengan sosok bergetar karena dilanda nafsu yang membara. Tapi empat langkah lagi sampai, mendadak sang Datuk hentikan tindakannya. Gejolak nafsunya yang sudah membakar sampai ubun-ubun lenyap seketika! Karena laki-laki ini melihat perubahan pada diri Bidadari Tujuh Langit.
Rambutnya yang terurai jatuh dan hitam lebat perlahan-lahan memutih dan awut-awutan. Sepasang matanya yang bulat berganti jadi sepasang mata kelabu dan menjorok masuk dalam cekungan rongga yang dalam. Wajahnya yang berkulit putih dan kencang berubah menjadi pucat mengeriput!
Dadanya yang membusung menjadi kendor. Sepasang pahanya yang padat kencang dan mulus beralih menjadi paha yang dibungkus kulit mengeriput. Senyum dan desahannya berubah jadi seringai dan kecipak mulut milik nenek-nenek yang tidak bergigi!
Sikap Datuk Kala Sutera membuat Bidadari Tujuh Langit buka kelopak matanya. Dia memperhatikan sesaat, lalu berucap seraya terus tersenyum. "Kau ingin aku membukanya...?!"
"Tahan!" teriak Datuk Kala Sutera dengan pulang balikkan kedua tangannya di depan dada.
"Kau terlalu malu-malu...," kata sang Bidadari setengah berbisik. Dia angkat tubuhnya sedikit. Tangan kanannya dibuat tumpuan tubuh, lalu tangan kirinya bergerak ke arah dada. Sekali menyentak, dada itu terbuka!
Datuk Kala Sutera bergumam tak jelas. Saat itu juga dia segera berpaling lalu balikkan tubuh.
"Kau ingin ketika berbalik aku sudah tidak mengenakan apa-apa lagi?! Aku tahu keinginanmu itu.... Dan aku tak segan melakukannya untukmu...." Bidadari Tujuh Langit berkata. Lalu bergerak bangkit dengan kedua tangan bergerak. Bukan untuk lakukan apa yang baru aaja diucapkan namun lepaskan pukulan ke arah Datuk Kala Sutera!
Di lain pihak, sang Datuk segera ambil langkah seribu. Bukan karena tahu kalau tengah dihantam, namun karena merasa geram dan khawatir pada diri sendiri! Tapi baru saja berkelebat, satu gelombang dahsyat sudah menggebrak dari arah belakang,, membuat sang Datuk cepat balikkan tubuh seraya hantamkan kedua tangannya.
"Bummm!" Tempat itu bergetar keras. Sosok Bidadari Tujuh Langit dan sang Datuk sama tersurut satu tindak. Paras keduanya berubah.
Datuk Kala Sutera tersentak mendelik. Sosok Bidadari Tujuh Langit kelihatan berubah lagi menjadi perempuan cantik bertubuh sintal! Tapi bukan hanya itu yang membuat sang Datuk kaget.
"Heran.... Aku tidak mendengar suara tangisan! Padahal dentuman tadi keras.... Seharusnya mereka terbangun dan menangis.... Ada apa ini?! Apakah akui benar-benar salah alamat?!"
Datuk Kala Sutera arahkan pandangannya ke dean pada beberapa bangunan berbentuk kuil dan bangunan pendopo. Entah apa yang terlihat matanya, yang jelas laki-laki ini segera usap-usap matanya seraya bergumam dalam hati. "Astaga! Aku memang salah alamat! Ini bukan tempat tinggalku! Bagaimana ini bisa terjadi...?! Padahal aku merasa yakin jalan yang kutempuh adalah jalan yang biasa kulalui!"
Untuk beberapa saat dada sang Datuk dilanda kebingungan. Namun hal itu tidak membuatnya lengah. Hingga begitu tahu gelagat jika sang Bidadari akan lepaskan pukulan lagi, Datuk Kala Sutera sudah sentakkan kedua tangan mendahului.
"Wuutt! Wuutt!" Gelombang angin yang perdengarkan suara gemuruh berkiblat ganas ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Sang Bidadari tak mau berlaku ayal. Seraya melompat menyingkir, kedua tangannya berkelebat. Untuk kedua kalinya tempat yang mulai dikenal orang dengan Istana Lima Bidadari bergetar keras laki sana dihantam gempa. Sosok Bidadari Tujuh Langit sempat tersapu di udara hingga beberapa langkah.
Namun sekali perempuan cantik ini sentakkan tangannya ke bawah, gerakan tubuhnya terhenti lalu melayang turun dan tegak di atas tanah. Bidadari Tujuh Langit tidak mau menunggu lama. Begitu kakinya menginjak tanah, kedua tangannya sol gera berkelebat menghantam.
Namun sedahsyat apa pun gelombang angin yang melesat keluar dari kedua tangan sang Bidadari, gelombang itu hanya menghantam tempat kosong, karena sosok Datuk Kala Sutera sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu!
"Hari ini kau beruntung, Datuk Gila! Tapi tidak pada pertemuan berikutnya!" teriak Bidadari Tujuh Langit.
"Kau tidak akan bertemu dengannya! Ini adalah pertemuanmu yang terakhir!" Mendadak satu suara menyahut.
Sentakkan kepala ke samping, Bidadari Tujuh Langit melihat seorang perempuan setengah baya. Walau usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi wajahnya masih cantik. Rambutnya digeraikan ke samping menutupi bagian kanan wajahnya yang berkulit putih. Sepasang matanya bundar. Mulutnya membentuk bagus dan diberi pewarna merah. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan pewarna merah muda.
Dia mengenakan pakaian ketat warna Jingga. Bagian dadanya dibuat rendah hingga lembahan kedua payudaranya yang masih kencang membusung terlihat jelas. Sementara pakaian bawahnya yang juga berwarna Jingga dibuat pendek di atas lutut seolah ingin menunjukkan kedua pahanya yang mulus dan padat berisi.
Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar. Bukan karena kemunculan orang, namun karena dandanan si pempuan! Entah sadar atau tidak, sang Bidadari bergumam. "Aku menginginkan dirimu...."
Perempuan di hadapan Bidadari Tujuh Langit tertawa pendek. Lalu berkata. "Bidadari Tujuh Langit! Bukan kau yang menginginkan diriku, tapi akulah yang menginginkan selembar nyawamu!" Si perempuan melangkah dan berhenti delapan langkah di hadapan sang Bidadari.
"Sepertinya aku pernah melihatmu.... Sayang aku lupa di mana dan kapan!" ujar Bidadari Tujuh Langit sambil terus menatap bagian dada dan paha orang.
"Agar nyawamu kelak tidak penasaran, aku perlu memberi tahu padamu! Kau bukan hanya pernah melihatku. Tapi kita punya urusan yang baru selesai jika di antara kita terbujur di dalam tanah!"
"Hem.... Begitu?! Karena aku telah banyak membuat manusia terbujur di dalam tanah, aku sampai lupa nama dan jumlah mereka! Kau kuberi penghormatan untuk sebutkan diri sebelum kuantar ke dalam tanah!"
"Aku Puspa Jingga! Aku datang menjemput nyawamu sebagai ganti nyawa guruku Sukma Jingga!"
Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala dengan! tersenyum. Lalu berkata. "Puspa Jingga.... Bagaimana kalau kita lupakan saja urusan tak berguna itu? Sebagai gantinya bagaimana kalau kita bersenang-senang?!" Bidadari Tujuh Langit berpaling ke belakang. Lalu lanjutkan ucapan! "Kau tinggal pilih tempat yang kau sukai! Istana Lima Bidadari atau ruang pendopo! Atau kalau kau suka, kita bisa menempatinya bergiliran!"
Puspa Jingga membelalak. Dia sama sekali tidak menduga akan ucapan Bidadari Tujuh Langit, meski dari tatapan mata sang Bidadari, pada awalnya Puspa Jingga sudah merasa curiga. Bidadari Tujuh Langit menoleh lagi pada Puspa Jingga dengan bibir makin merekah. Namun tatapannya jelas makin membayangkan nafsu yang menggelora.
"Bagaimana?! Kau setuju dengan usulku, bukan?! Kita bisa melewati malam-malam dingin dengan kehangatan yang kau belum pernah merasakannya...."
"Keparat cabul!" teriak Puspa Jingga seraya melompat ke depan. Kedua kakinya membuat gerakan menendang.
Bidadari Tujuh Langit membelalak. Karena begitu membuat gerakan menendang, kain bagian bawah Puspa Jingga tersingkap lebar. Namun Bidadari Tujuh Langit tidak bisa lanjutkan memandang pada singkapan kain Puspa Jingga, karena pada saat itu kedua kaki Puspa Jingga sudah dua jengkal di depan wajahnya! Bidadari Tujuh Langit berseru. Tangan kiri kanannya bergerak.
"Bukk! Bukk!" Puspa Jingga berteriak tegang. Sosoknya terbanting di udara sebelum akhirnya terjengkang roboh di atas tanah! Hal ini bukan hanya membuat Puspa Jingga yang terkejut. Namun Bidadari Tujuh Langit sendiri tampak melengak kaget.
"Ada perubahan pada diriku.... Tenaga dalamku tiba-tiba berlipat ganda!" Seakan tidak percaya pada dirinya sendiri, Bidadari Tujuh Langit tundukkan kepala memperhatikan dirinya. Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada ibu jari kaki kirinya yang mengenakan cincin berwarna merah. "Astaga.... Bukankah aku telah mendapatkan Sepasang Cincin Keabadian...? Tapi mana satunya...?!" Bidadari Tujuh Langit coba mengingat.
Belum sampai menemukan jawaban, tiba-tiba Puspa Jingga sudah menyergap dengan lepaskan pukulan di atas udara. Karena sudah percaya diri, apalagi dia berhadapan dengan murid seorang guru yang pernah dibuatnya mampus, Bidadari Tujuh Langit segera melesat ke samping. Gelombang pukulan yang dilepas Puspa Jingga tiga jengkal menghantam tempat kosong di sebelahnya.
Begitu berhasil menghindar, sang Bidadari tidak lagi memberi kesempatan pada lawan untuk lepaskan pukulan kedua kalinya. Dia sentakkan kakinya ke tanah. Serta-merta sosoknya melesat ke arah Puspa Jingga yang tengah melayang turun. Kecepatan Bidadari Tujuh Langit membuat Puspa Jingga terkesiap kaget.
Tapi perempuan setengah baya berparas cantik berpotongan bahenol ini tidak tinggal diam. Dia menunggu sosok sang Bidadari dengan angkat kedua tangannya. Dan begitu sosok Bidadari Tujuh Langit tepat berada di hadapannya, kedua tangannya segera berkelebat.
"Wuutt! Wuutt!" Namun Puspa Jingga rupanya salah terka. Karena begitu hampir sampai dan kedua tangan Puspa Jingga berkelebat lepas pukulan, Bidadari Tujuh Langit cepat tarik pulang kepalanya. Tubuhnya disentakkan ke belakang hingga punggungnya sejajar tanah. Saat berikutnya kedua kakinya menghajar kedua kaki Puspa Jingga.
"Bukk! Bukk!" Puspa Jingga berseru. Bagian bawah tubuhnya tersentak ke depan sementara bagian atas tubuhnya terdorong ke belakang. Sebelum sosok Puspa Jingga benar-benar terjengkang dengan punggung menghantam tanah, Bidadari Tujuh Langit sudah melesat dan sarangkan totokan dahsyat!
"Bukkk!" Akhirnya punggung Puspa Jingga benar-benar menghempas tanah. Namun sosok itu tidak bergerak-gerak lagi.
"Lepaskan aku!" teriak Puspa Jingga dengan suara bergetar dan kuduk merinding. Dia hanya bisa berteriak tanpa mampu membuat gerakan.
Bidadari Tujuh Langit tersenyum dan melangkah mendekat dengan mata berkilat karena desakan nafsu. Sebab kain bagian bawah Puspa Jingga tersingkap lebar memperlihatkan auratnya! "Aku sudah menawarkan padamu untuk bersenang-senang melupakan urusan.... Tapi tampaknya kau lebih suka kita bersenang-senang dengan jalan begini.... Apa hendak dikata.... Aku akan turuti keinginanmu...!"
Ucapan Bidadari Tujuh Langit membuat Puspa Jingga makin tercekat. Dan matanya membelalak besar ketika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit menggerakkan kedua tangannya ke arah dadanya.
"Brett!" Pakaian atas Puspa Jingga robek menganga. Dadanya yang kencang putih terbuka lebar.
"Jahanam! Apa yang akan kau lakukan?!" seru Puspa Jingga dengan suara tersendat
"Kita akan bersenang-senang selama beberapa malam sebelum aku mengantarmu melanjutkan perjalanan ke liang tanah.... Hik Hik Hik.... Dadamu indah, pahamu bagus.... Sayang kalau segera dipersembahkan untuk gumpalan tanah. Tapi aku masih memberimu kesempatan untuk memilih tempat...."
"Keparat cabul! Lepaskan aku! Lepaskan...!"
Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dengan teriakan Puspa Jingga. Dia membuat gerakan sekali lagi. Puspa Jingga memekik tinggi, karena kain bawahnya terbabat robek!
"Perempuan jalang! Perempuan binal! Perempuan...." Puspa Jingga tidak teruskan ucapan makiannya karena Bidadari Tujuh Langit sudah bungkukkan tubuh. Lalu saat tegak berdiri, sosok Puspa Jingga sudah berada di panggulannya!
"Kau tidak mau memilih tempat.... Aku yang akan memilih! Kita mulai dari Istana Lima Bidadari paling ujung...," kata Bidadari Tujuh Langit sambil melangkah ke arah salah satu bangunan Istana Lima Bidadari yang paling ujung.
Puspa Jingga kembali berteriak memaki-maki. Namun dia hanya bisa berteriak tanpa bisa bergerak, hingga enak saja Bidadari Tujuh Langit teruskan langkah dengan sesekali tangan kanannya yang bebas merabai dada Puspa Jingga!
***
ENAM
ENAM belas tahun setelah peristiwa di Istana Lima Bidadari.... Saat itu matahari baru saja beranjak. Bentangan langit hanya diSemaraki saputan awan kecil yang berarak dari lamping Pegunungan Himalaya.
Seorang pemuda tampak melangkah perlahan menuju satu kedai agak besar di sudut perbatasan desa. Mungkin satu-satunya kedai yang ada, kedai itu tampak banyak didatangi pengunjung. Si pemuda hentikan langkah di halaman kedai. Tapi meski sudah tegak di halaman kedai, kepala si pemuda bukannya lurus menghadap kedai, melainkan ke jurusan lain. Baru setelah agak lama, kepalanya berpaling ke arah kedai.
Namun itu hanya sekejap. Di lain saat wajahnya ditegakkan memandang matahari yang baru muncul. Bersamaan itu tangan kanannya diangkat. Jari kelingkingnya dimasukkan pada lobang telinganya. Hingga beberapa saat kemudian bahunya terlihat berguncang. Kakinya terangkat berjingkat. Lalu kepalanya bergerak pulang balik dengan mimik cengengesan!
Beberapa orang di dalam kedai yang sempat melihat tingkah si pemuda berambut agak panjang sedikit acak-acakan dan berparas tampan berpakaian putih-putih itu tampak kernyitkan dahi. Malah si pemilik kedai yang tadi melangkah ke pintu masuk karena menduga si pemuda hendak memasuki kedainya segera balikkan tubuh dengan perdengarkan gumaman tak jelas dengan kepala menggeleng. Raut mukanya jelas membayangkan perasaan kecewa.
"Mungkin belum rejeki.... Padahal aku hampir yakin pemuda itu adalah orang asing...."
Orang tua pemilik kedai terus bergumam seraya memberesi beberapa bumbung bekas tempat minum para pengunjung yang telah pergi. Namun seakan masih berharap, sambil memberesi bumbung, sepasang mata pemilik kedai sesekali melirik ke halaman kedai di mana si pemuda tegak. Mendadak mata orang tua pemilik kedai membesar. Gerakan kedua tangannya yang memberesi bumbung bekas minuman terhenti. Dan buru-buru dia putar diri setengah lingkaran lalu melangkah ke arah pintu dengan sunggingkan senyum.
Si pemuda yang tadi tegak di halaman kedai telah berada di depan pintu dengan mata memandang lepas ke dalam kedai. Dia seolah acuh dengan tatapan dan bungkukan tubuh si pemilik kedai. Sebaliknya karena setiap kali angkat tubuhnya dengan bibir sunggingkan senyum tapi belum juga dilihat oleh si pemuda, si pemilik kedai terpaksa beberapa kali pulang balikkan tubuh untuk membungkuk dan tersenyum.
Dan mungkin karena capek sementara si pemuda belum juga memandang ke arahnya, akhirnya si pemilik kedai hentikan gerakannya. Justru pada saat itulah si pemuda arahkan pandang matanya pada si pemilik kedai dengan sunggingkan senyum. Lalu melangkah dan berhenti tepat di pintu masuk.
"Silakan.... Silakan...." Si orang tua pemilik kedai berujar seraya membungkuk dan lebarkan tangan kanannya
Si pemuda teruskan langkah dan kini tegak di balik pintu. Namun dia tidak segera memilih tempat duduk. sebaliknya memperhatikan beberapa orang di dalam kedai yang tengah bersantap. "Perutku memang minta segera diisi.... Tapi mungkinkah aku bisa melakukan seperti mereka...?!"
Entah karena apa, si pemuda angkat kedua tangannya dengan jari-jari digerakkan. Sementara sepasang matanya memandang silih berganti pada jari-jari tangan beberapa pengunjung yang lagi bersantap dan jari-jari tangannya sendiri. "Hem.... Tampaknya tidak sulit. Tapi aku ragu bisa melakukannya...," gumam si pemuda sambil geleng kepala
Si pemilik kedai yang sedari tadi mengawasi gerak-gerik si pemuda tampaknya bisa membaca gelagat. Dia buru-buru mendekat seraya berkata dengan suara direndahkan seolah khawatir didengar orang lain. "Anak muda.... Aku tahu kesulitanmu.... Tapi kurasa itu bukan satu halangan. Kau bisa makan dengan menggunakan tangan atau kau katakan saja kau ingin menggunakan apa?.... Kami siap melayanimu...." Si pemilik kedai sapukan pandangan pada beberapa penunjung, lalu lanjutkan ucapan. "Mereka memang sudah terbiasa makan dengan menggunakan supit bambu. Kau tak usah terpengaruh dengan keadaan mereka yang memang penduduk asli negeri ini...."
Si pemuda berpaling pada orang tua pemilik kedai, nampaknya dia sudah bisa menebak kalau aku bukan orang negeri ini.... Mudah-mudahan dia bisa memberi keterangan padaku “
Baru saja si pemuda membatin begitu, si pemilik kedai sudah berpaling lagi dan bertanya. "Kau ingin makan apa?! Cap Cai...? Siomay...? Bakmi keriting? Opor burung laut?"
Si pemuda kernyitkan kening. Dengan mata sedikit dibelalakkan dia sorongkan kepala ke depan memperhatikan beberapa mangkuk di meja beberapa pengunjung. "Mana yang harus kupilih...?! Bukan saja aku baru kali ini mendengar nama-nama makanan itu, tapi juga baru pertama kali ini melihat bagaimana bentuknya...!"
"Kau juga ingin pesan minuman apa?! Kedai kami menyediakan segala jenis minuman.... Kau tinggal bilang!"
Entah karena malu karena beberapa orang penguni jung memperhatikan, si pemuda melangkah menuju meja kosong yang berada paling sudut dekat pintu masuk tempat memasak. Si pemilik kedai melangkah mengikuti di belakangnya. Lalu ajukan tanya lagi begitu si pemuda duduk.
"Kau pesan makanan dan minuman apa, Anak Muda...?"
"Coba sebutkan lagi makanan yang tersedia...," ujar si pemuda. Bukan karena ingin memilih, melainkan lupa dengan nama makanan yang tadi disebutkan si pemilik kedai.
Dengan masih sunggingkan senyum, orang tua pemilik kedai segera sebutkan lagi makanan yang tersedia di kedainya. Bahkan tanpa ditanya, dia juga sebutkan beberapa minuman yang juga tersedia.
"Bakmi keriting dan rendaman air anggur!" Si pemuda langsung memesan. Karena hanya dua nama itu yang bisa diingatnya.
Orang tua pemilik kedai anggukkan kepala. Namun baru saja hendak balikkan tubuh sediakan pesanan, si pemuda tarik lengannya agak keras hingga sosoknya tersentak doyong ke depan. Berubahlah paras si pemilik kedai. Kedua lututnya goyah. Sepasang matanya membelalak ketakutan. Dengan terbata-bata dia segera berucap.
"Kau.... Kau boleh makan sesuka hatimu.... Aku siap melayani apa kemauanmu.... Kau tak usah bayar.... Asal...."
Ucapan si pemilik kedai belum selesai, mendadak ganti paras si pemuda yang berubah tegang. Ketegangan ini membuat cekalan tangan pada lengan pemilik kedai makin keras! "Bagaimana sekarang.... Aku baru ingat kalau tidak berbekal uang sepeser pun!" Si pemuda membatin. "Daripada nantinya babak belur di tempat ini karena makan tidak bayar, lebih baik aku pergi...."
Si pemuda lepaskan cekalan pada lengan si pemilik kedai. Lalu beranjak bangkit. Entah apa yang ada di benak si pemilik kedai, belum sampai kaki si pemuda melangkah, kini ganti si pemilik kedai yang pegangi lengan si pemuda. Saking kerasnya pegangan si pemilik kedai, ganti sosok si pemuda yang tersentak hingga kembali terduduk.
"Harap kau tidak segera pergi sebelum aku sediakan apa yang kau pesan! Kau tak usah pikirkan uang untuk membayar...."
"Dari mana dia tahu aku tidak berbekal uang...?!" Si pemuda terus berkata dalam hati lalu arahkan pandangan berkeliling. Takut apa yang dibicarakan didengar pengunjung lain.
Di lain pihak, tanpa menunggu jawaban si pemuda, si pemilik kedai cepat balikkan tubuh. Namun si pemuda buru-buru mencegah dengan pegang kembali lengan si pemilik kedai. Khawatir terjadi kesalah pahaman lagi, si pemuda cepat sorongkan kepalanya mendekati wajah si pemilik kedai. Si pemilik kedai tarik kepalanya ke belakang dengan raut tegang. Namun belum sampai dia buka suara si pemuda sudah berbisik.
"Orang tua.... Kau tahu kesulitanku tadi, bukan...?!
"Anak muda.... Sudah kubilang. Kau tak usah bayar apa yang nanti kau pesan...."
"Bukan itu maksudku.... Aku tak bisa makan seperi mereka!" ujar si pemuda sambil layangkan pandangan pada beberapa pengunjung.
Si pemilik kedai menghela napas lega lalu angguk kan kepala. Dan bergegas ke belakang dengan tubuh masih bergetar ketakutan.
"Hem.... Tampaknya dia tadi salah sangka dengan tindakanku.... Dikira aku berbuat macam-macam.... Tapi hal ini membawa rejeki besar bagiku! Dia menawarkan makan dan minum tanpa bayar...." Si pemuda tertawa sendiri.
Saat itulah beberapa pengunjung kedai berpaling Si pemuda putuskan tawanya lalu balas menatap pada pandangan pengunjung dengan wajah bimbang bertanya-tanya. "Ada apa ini...? Mengapa mereka memandangku begitu rupa?! Apa yang salah dengan diriku?! Apa mereka dengar pembicaraanku dengan pemilik kedai tadi? Apa mereka juga tahu kalau aku tidak berbekal uang...?!"
Selagi bertanya-tanya sendiri dalam hati, mata si pemuda menangkap salah seorang pengunjung yang angkat tangan kanannya. Lalu jari telunjuknya dilintangkan miring di depan keningnya! "Astaga! Jadi mereka menganggapku orang sinting! Mungkin karena aku baru saja tertawa sendiri! Hem.... Apa mereka tak tahu kalau aku ini memang muridnya orang sinting...."
Ingat akan hal itu, si pemuda jadi geli. Hingga saat itu juga kembali tawanya meledak! Membuat beberapa orang pengunjung sama lintangkan jari telunjuk di depan kening seraya anggukkan kepala. Sementara mendengar suara tawa si pemuda, si pemilik kedai jadi khawatir. Hingga dia tergopoh-gopoh keluar sambil membawa pesanan.
"Silakan.... Silakan, Anak Muda.... Tak usah sungkan-sungkan!" ujar pemilik kedai dengan terbungkuk-bungkuk dan suara bergetar.
Si pemuda anggukkan kepala seraya putuskan tawanya. Lalu memperhatikan hidangan yang disuguhkan di depan mejanya, Beberapa saat sepasang matanya menyipit. Lalu alihkan pandangannya pada si pemilik kedai.
"Anak muda.... Kalau kau tak berkenan dengan hidangan ini, aku bersedia mengganti dengan hidangan ynng lain.... Dan kau tetap tak usah pikirkan harga. Kau ingin hidangan ini diganti?" tanya si pemilik kedai lagi-lagi salah duga dengan sikap si pemuda yang sebenarnya merasa kebingungan dengan makanan yang dihidangkandi mejanya. Karena baru tahu yang dihadapannya adalah bakmi keriting. Karena si pemuda tidak menjawab, si pemilik kedai lagi-lagi salah sangka hingga dia cepat balikkan tubuh hendak balik ke arah tempat memasak.
"Orang tua.... Kurasa hidangan ini telah cukup...."
"Benar...?"
Yang ditanya anggukkan kepala dengan sunggingkan senyum, takut si pemilik kedai akan tambah salah duga. Si pemilik kedai ikut tersenyum. Lalu bungkukkan tubuh dan ngeloyor ke belakang tanpa berpaling lagi.
"Daripada kelaparan, lebih baik kumakan saja! Apa lagi makanan ini gratis...," gumam si pemuda. Tanpa pikir panjang lagi, kaki kanannya segera diangkat lalu ditekuk dengan telapak bertumpu pada tempat duduk. Saat kemudian tangannya sudah bergerak mulai menyantap makanan di atas meja.
Beberapa pengunjung lagi-lagi terkesima melihat bagaimana si pemuda makan dengan menggunakan tangan. Hingga untuk beberapa saat di antara mereka saling lontarkan pandangan. Lalu beberapa di antaranya buru-buru tinggalkan uang di meja dan saling bisik. Lalu tinggalkan kedai dengan mata sesekali melirik ke arah si pemuda yang makan dengan lahap tanpa hiraukan pandangan orang di sekitarnya.
Ketika selesai makan, si pemuda tampak kernyitkan dahi. Ternyata yang tinggal di dalam kedai hanya dia sendiri! "Kapan mereka pergi...?! Hem.... Mungkin mereka masih menganggapku manusia gila...," gumam si pemuda seraya geleng kepala lalu tertawa ngakak. Hingga karena takut, si pemilik kedai segera keluar lalu menghampiri dengan tubuh bergetar dan wajah tegang.
"Orang tua.... Makananmu enak.... Kapan-kapan kalau aku lewat, pasti aku akan mampir ke sini lagi. Berapa yang harus kubayar?!" Tangan si pemuda menyelinap ke balik pakaiannya.
Si pemilik kedai pulang balikkan kedua tangannya ke depan dada sembari berkata. "Tadi sudah kukatakan.... Makanan dan minuman ini tak usah dibayar.... Malah aku makin senang jika kau kapan-kapan mampir lagi ke kedai ini...."
Si pemuda geleng kepala dengan tangan masih berada di balik pakaiannya. "Orang tua.... Aku tak bisa makan dan minum tanpa bayar! Harap katakan saja berapa harga makanan dan minuman ini!"
"Anak muda.... Anggap ini sebagai satu penghormatanku atas kedatanganmu di negeri ini! Pergunakan uangmu untuk bekal lanjutkan perjalanan,..."
"Ah.... Terima kasih. Benar kau tidak mau dibayar?!" Walau nadanya bertanya, namun si pemuda sudah tank keluar tangannya dari balik pakaiannya.
"Aku tidak pernah berpura-pura, Anak Muda! Lagi pula apalah artinya harga makanan ini dibanding dengan persahabatan kita?! Kau mau bersahabat denganku, bukan...?"
"Ah.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Aku orang bisa bersahabat denganmu. Sebagai sahabat, kau tak keberatan memberi penjelasan padaku?!"
"Anak muda.... Kedai bukan saja tempat untuk makan dan minum. Tapi aku sengaja menyediakan diri untuk memberi penjelasan apa saja yang ditanyakan orang! Apalagi padamu, yang sekarang sudah kuanggap sebagai sahabat dan aku tahu pasti kau bukan berasal dari negeri ini.... Kalau boleh tahu. Kau berasal dari mana?"
Si pemuda berpikir sesaat. Lalu menjawab. "Aku dari tanah Jawa."
"Hem.... Aku pernah dengar nama yang baru kau sebut. Kalau tak salah tanah itu masih ada kaitannya dengan seorang Kaisar bernama Ku Bilai Khan.... Yang menurut sejarah pernah berhubungan dengan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri!"
"Betul...."
"Kau jauh-jauh datang sampai negeri Himalaya ini pasti bukan tanpa tujuan. Dan dari jauhnya, pasti tujuanmu sangat penting!"
"Hem.... Aku tidak boleh berterus terang bagaimana sampai aku terdampar di negeri ini!" kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata. "Aku memang punya tujuan sangat penting. Kau tahu di mana letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Saking terkejutnya dengan pertanyaan si pemuda, orang tua pemilik kedai surutkan langkah. Karena di belakangnya ada bangku, tanpa ampun lagi sosok tubuh belakangnya menghantam bangku. Kalau saja tangannya tidak segera menggapai tangan meja, niscaya tubuhnya akan terhumbalang jatuh.
"Kek.... Apa yang membuatmu terkejut dengan pertanyaanku?!"
Yang ditanya pandangi pemuda di hadapannya beberapa saat sebelum akhirnya angkat suara. "Siapa kau sebenarnya, Anak Muda...?!"
"Aku hanya seorang pengelana dari tanah Jawa yang tengah mencari Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai...!"
"Maksudku.... Siapa namamu?!"
"Kau boleh memanggilku Joko.... Joko Sableng!"
"Bagaimana kau bisa mengenal penghuni Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?"
"Kek.... Aku tak mau berpura-pura. Tapi harap jangan kecewa kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Yang kuharap justru kau memberi penjelasan padaku di mana letak lembah itu!"
"Han Pek Kun! Biar aku yang memberi penjelasan!" Mendadak satu suara menyahut. Dua sosok tubuh ber-kolebat menerabas pintu.
Si pemuda yang bukan lain ternyata adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng berpaling. Si pemilik kedai yang baru saja dipanggil suara dengan sebutan Han Pek Kun ikut pula menoleh.
***
TUJUH
MEMANDANG ke depan, Pendekar 131 dan Han Pek Kun melihat seorang laki-laki bertubuh cebol berparas bulat besar dengan hidung melesak ke dalam ditingkah sepasang mata sipit. Rambutnya lebat serta panjang menjulai hingga menyapu lantai. Pada punggungnya terlihat punuk besar, membuat laki-laki ini doyong ke depan saat tegak berdiri. Pada pinggangnya tampak melilit sebuah pedang berkilat.
Tegak di samping laki-laki cebol adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau! Rambutnya yang hitam lebat dikepang dua, salah satunya dilingkarkan pada lehernya yang putih dan jenjang. Hidungnya mancung dengan mata bulat. Dadanya kencang membusung dipadu dengan pinggul besar dan padat hingga terlihat mempesona. Seperti halnya laki-laki cebol di sampingnya, gadis cantik ini juga mengenakan sebuah pedang berkilat yang seakan lentur dan diikatkan pada pinggangnya yang ramping.
Untuk beberapa saat mata Joko memandang tak berkesip pada si gadis. Lalu coba tersenyum dengan anggukkan kepala. Namun Joko cepat-cepat pupuskan senyumnya ketika si gadis pasang tampang ketus dan alihkan pandangan ke jurusan lain.
"Hem.... Mereka mengenali siapa adanya pemilik kedai ini. Berarti orang tua bernama Han Pek Kun mengenali siapa mereka!" Joko membatin lalu tanpa berpaling dia berbisik. "Kek.... Kuharap kau tidak berpura-pura. Siapa mereka?!"
Yang ditanya pandang silih berganti pada kedua orang di seberang depan. Lalu angkat suara berbisik. "Yang laki-laki bergelar Iblis Pedang Kasih. Si gadis dijuluki Bidadari Pedang Cinta.... Mereka adalah langgananku...."
"Hem.... Begitu? Tapi mengapa nada suara sahutannya tadi tidak enak...? Ada apa sebenarnya di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Belum sampai Han Pek Kun menjawab, tiba-tiba laki-laki cebol yang dikatakan Han Pek Kun dengan gelar Iblis Pedang Kasih perdengarkan gelakan tawa panjang. Namun hingga tawanya putus, laki-laki ini tidak juga angkat suara. Sebaliknya justru gadis yang disebut Bidadari Pedang Cinta yang berkata masih tanpa memandang ke arah Joko atau Han Pek Kun.
"Siapa kau?! Apa tujuanmu hendak ke Lembah nujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Ditanya begitu, Joko bukannya segera menjawab, sebaliknya enak-enak bersiul dengan kepala bergerak-gerak. Di sampingnya, Han Pek Kun tampak kerutkan kening dengan mimik cemas. Matanya sesekali melirik ke arah Bidadari Pedang Cinta lalu beralih pada Pendekar 131.
"Kau punya mulut. Mengapa tidak menjawab?!" Bidadari Pedang Cinta membentak lalu sentakkan kepala menghadap pada murid Pendeta Sinting. Sepalang mata gadis ini kontan mendelik melihat sikap Joko yang terus bersiul-siul.
"Jawab!" Bidadari Pedang Cinta berteriak lengking seraya hentakkan kaki kanannya. Beberapa meja di dalam kedai langsung bergetar hebat. Beberapa bumbung bambu dan mangkuk di atas meja mencelat mental.
Murid Pendeta Sinting putuskan siulannya. Acuh tak acuh dia angkat suara. "Kau tanya pada siapa?! Padaku...? Atau pada...."
"Padamu!" tukas Bidadari Pedang Cinta masih dengan suara ketus.
"Hem.... Apa yang harus kujawab?!"
Menangkap gelagat tidak baik, Han Pek Kun cepat berbisik pada Pendekar 131. "Dia bertanya siapa kau dan apa tujuanmu ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Kuharap kau menjawab dengan apa adanya, Anak Muda.... Bukan karena apa. Sebagai sahabat, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan dirimu!"
Joko anggukkan kepala. Lalu angkat bicara. "Menurut kakek Han Pek Kun, kau bertanya apakah aku sudah punya gandengan apa belum...." Joko hentikan ucapannya sesaat. Lalu melanjutkan dengan alihkan pandangan. "Kalau saja bukan kau yang bertanya, mungkin aku tak mau berterus terang, apalagi ini adalah urusan pribadiku. Aku belum punya gandengan.... Kau sendiri?!"
Bidadari Pedang Cinta tersentak dengan tampang berubah. Hak Pek Kun tak kalah kagetnya namun rasa takut lebih terlihat jelas. Hingga saking takutnya dan tak tahu apa yang harus dilakukan, orang tua ini hanya bisa memandang silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Pendekar 131.
"Han Pek Kun!" Bidadari Pedang Cinta membentak, "Tampaknya kau sudah berani jual lagak di hadapanku dengan alihkan pertanyaan!"
"Jangan salah...," ujar Han Pek Kun sambil menjura hormat. "Aku tidak mengatakan apa yang diucapkan pemuda ini tadi.... Aku mengatakan apa yang tadi kau tanyakan! Dia yang mengarang ucapan...!" Kepala Han Pek Kun berpaling pada murid Pendeta Sinting.
Kini Bidadari Pedang Cinta memandang dingin pada Joko lalu berkata. "Kau jangan berani berkata lancang, Orang Asing! Dan lekas jawab pertanyaanku tadi! Siapa kau dan apa tujuanmu ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!"
"Dia bernama Joko Sableng berasal dari tanah Jawa...." Yang menjawab adalah Han Pek Kun.
"Aku tidak bertanya padamu!" Bidadari Pedang Cinta menghardik.
"Bidadari.... Kau sudah tahu siapa aku. Apa yang dikatakan Kakek Han Pek Kun benar!" sahut Joko.
"Kau belum jawab satu lagi pertanyaanku!"
"Aku hendak menemui seseorang!"
"Siapa?!"
"Bidadari.... Kau tadi datang dengan janji akan memberi penjelasan! Berarti kau sudah tahu siapa yang hendak kutemui!"
Sejak Joko memanggil dirinya Bidadari, sebenarnya Bidadari Pedang Cinta sempat terkejut mendapati murid Pendeta Sinting sudah tahu siapa dirinya. Namun gadis ini tak hendak menanyakan dari mana si pemuda tahu. Apalagi mengetahui sikap Joko yang acuh tak acuh.
"Apa hubunganmu dengan penghuni Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!" Bidadari Pedang Cinta ajukan tanya lagi.
"Tergantung...!" enak saja Joko menyahut.
"Tergantung apa?!"
"Siapa kelak yang akan kutemui di lembah itu!"
"Setan betul manusia satu ini! Siapa dia sebenarnya?! Mengapa dia hendak ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai? Dan apa hubungannya?!" Bidadari Padang Cinta terus bertanya-tanya dalam hati. "Apakah lembah itu dihuni lebih dari seorang?! Tapi menurut Eyang, hanya satu manusia penghuni lembah itu!"
Habis membatin begitu, Bidadari Pedang Cinta berpaling pada Iblis Pedang Kasih. Lalu bertanya dengan suara pelan. "Eyang.... Apakah lembah itu dihuni lebih dari satu orang?!"
"Cucuku.... Mengapa kau termakan dengan ucapan manusia asing?! Kau dengar sendiri pemuda itu berasal dari tanah Jawa. Aku tahu tanah Jawa. Sebuah negeri nun jauh di seberang lautan sana! Mana mungkin dia tahu banyak tentang daerah ini?!"
"Jadi...?!"
"Pasti dia hanya menduga-duga! Dia cuma tahu nama Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai tanpa tahu siapa penghuninya!"
"Tapi tak mungkin dia jauh-jauh datang ke sini kalau tidak paham dengan daerah dan orang yang dituju!"
"Hem.... Lalu menurutmu bagaimana?!"
"Dia pasti tahu siapa penghuni lembah itu! Hanya mungkin dia belum tahu di mana letak lembah itu! Kita harus segera lakukan sesuatu! Kita tak boleh kedahuluan orang lain!"
"Lalu...?!"
"Kita harus cepat menuju ke sana!"
Tanpa menunggu sahutan dari Iblis Pedang Kasih, Bidadari Pedang Cinta putar diri. Tanpa buka suara pula, Iblis Pedang Kasih ikut-ikutan balikkan tubuh.
"Tunggu! Bukankah tadi salah satu dari kalian berjanji akan menjelaskan padaku di mana letak lembah yang kucari?!" tahan Joko seraya ajukan tanya.
"Kau akan dapat penjelasan kalau kau jujur jawab pertanyaanku!" jawab Bidadari Pedang Cinta.
"Kek! Apa ucapan gadis cantik itu bisa dipercaya?!" Joko bertanya pada Han Pek Kun yang sudah bisa bernapas lega tatkala mengetahui tidak terjadi keributan di kedainya.
"Biasanya.... Dia bisa dipercaya! Tapi untuk urusan yang satu ini, aku tak bisa memastikan! Soalnya...."
Belum sampai Han Pek Kun lanjutkan ucapannya, Bidadari Pedang Cinta sudah angkat suara. "Pemuda asing! Kau ingin penjelasan atau ingin perjalananmu sia-sia?!"
"Aku hendak bertemu dengan Kakek Dewa Asap Kayangan!"
Hampir berbarengan, Bidadari Pedang Cinta dan Iblis Pedang Kasih balikkan tubuh. "Apa urusanmu hendak bertemu dengan manusia satu itu, hah?!" Kembali Bidadari Pedang Cinta ajukan tanya.
Nada pertanyaan si gadis membuat Joko maklum ada sesuatu yang tak beres antara kedua orang dihadapannya dengan Dewa Asap Kayangan. Seorang tokoh yang pernah dijumpainya di Bukit Toyongga saat terjadi peristiwa peta wasiat.
"Aku tak bisa mengatakan. Yang jelas aku tidak punya niat jelek!" Akhirnya Joko menjawab setelah agak lama terdiam.
Bidadari Pedang Cinta menatap beberapa lama pada bola mata Joko seakan ingin meyakinkan ucapan orang. Lalu tersenyum dan berkata. "Kau terlambat.... Lebih baik kau urungkan niatmu ke lembah itu!"
"Terlambat...?! Terlambat bagaimana?!"
Sambil tertawa pelan Bidadari Pedang Cinta angkat suara. "Orang yang akan kau temui sudah pergi selama-lamanya!"
"Ke mana?!"
Bidadari Pedang Cinta bukannya menjawab, melainkan mendelik dengan dada bergemuruh dirasuki hawa amarah. Di sampingnya, Han Pek Kun kembali berdebar-debar. Orang tua pemilik kedai ini segera berbisik.
"Anak muda.... Aku tak tahu pasti benar tidaknya ucapan gadis itu. Aku hanya ingin menjelaskan. Yang dimaksud gadis itu, orang yang akan kau temui sudah meninggal dunia!"
Mendengar bisikan Bidadari Pedang Cinta, kontan saja tawa Joko meledak. Membuat si gadis langsung membentak pada Han Pek Kun.
"Apa yang kau katakan padanya?!"
Belum sampai yang ditanya menjawab, murid Pendeta Sinting sudah berucap. "Kakek ini mengatakan jika orang yang kucari pergi ke tempat kekasih barunya! Aku percaya.... Karena orang yang akan kutemui memang memiliki banyak kekasih! Malah menurut kabar yang bisa dipercaya, beberapa kekasihnya adalah gadis-gadis muda berparas cantik jelita! Aku tidak berani menduga. Tapi aku berharap kau bukan salah satu dari...."
"Orang tua sialan!" teriak Bidadari Pedang Cinta seraya memutar tubuh menghadap lurus pada Han Pek Kun. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Kuduk Han Pek Kun jadi dingin. Wajahnya pucat. Dia ingin buka mulut untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dikatakan pada Joko. Namun karena sudah ketakutan, orang tua ini tidak mampu untuk berkata. Malah saat lain dia beringsut mundur dan tegak di belakang murid Pendeta Sinting dengan tangan cekal kedua tangan Joko.
"Anak muda.... Kau benar-benar hendak membuatku celaka! Kau tahu.... Gadis itu bukan gadis sembarangan! Ilmunya tinggi! Beberapa tokoh yang sudah dikenal kalangan rimba persilatan negeri ini banyak yang dibuat bertekuk lutut...!" bisik Han Pek Kun dengan suara tersendat dan tubuh menggigil.
"Bagus! Tampaknya kalian ingin mendapat hajaran bersama-sama!" kata Bidadari Pedang Cinta. Kedua tangannya menyentak lepaskan pukulan. Tapi sebelum ada gelombang angin yang berkiblat, iblis Pedang Kasih yang tegak di samping si gadis gerakkan kepalanya.
"Werrr!" Rambut panjang milik Iblis Pedang Kasih yang menjulai menyapu tanah berkibar perdengarkan suar angker. Hebatnya, julaian rambut itu tiba-tiba berubah kaku dan lurus menghadang gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta! Tanpa buka suara bertanya, Bidadari Pedang Cinta sudah tahu isyarat apa yang dilakukan eyangnya. Dia segera luruhkan kedua tangannya.
"Jangan bertindak ceroboh, Cucuku.... Seorang pemuda yang berani melakukan perjalanan jauh untuk menemui seseorang yang dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi, tak mungkin membawa bekal cekak! Kita tak usah pedulikan ucapan mereka! Kita bisa terlambat sampai ke tempat tujuan! Padahal bukan hanya Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai yang harus kita tuju!"
"Anak muda.... Kau telah dengar ucapan orang cebol itu. Kuharap kau tidak membuat urusan lagi yang bisa membuatku celaka!" bisik Han Pek Kun seraya gerakkan kepala coba sembunyikan wajahnya dari pandangan Bidadari Pedang Cinta.
"Dengar pemuda asing! Hari ini kau beruntung! Tapi sekali kita bertemu lagi dan kau masih juga berucap tak karuan, tak akan ada yang bisa menghalangi tindakanku!"
Iblis Pedang Kasih gerakkan kepalanya lagi. Rambutnya yang kaku dan baru saja menahan gerakan kedua tangan Bidadari Pedang Cinta segera berkibar ke udara sebelum akhirnya luruh menjulai tanah di belakangan sosoknya.
"Cucuku Kita pergi sekarang!" kata Iblis Pedang
Kasih seraya balikkan tubuh lalu berkelebat keluar dari dalam kedai.
"Bidadari.... Aku memang mengharapkan kita bisa bertemu lagi.... Dan perlu kau tahu. Selama ini aku banyak bertemu dengan gadis cantik. Tapi hanya kau yang membuatku ingin bertemu lagi.... Dan lagi.... Dan lagi...!"
Entah karena apa, mendadak dada gadis cantik di samping Iblis Pedang Kasih ini jadi berdebar. Paras wajahnya bersemu merah. Entah sadar atau tidak, bibirnya sunggingkan senyum. Dan tanpa berucap lagi dia putar diri sambil melirik lalu berkelebat menyusul eyangnya.
***
DELAPAN
Kek...! Maafkan ucapanku tadi! Dan terima kasih atas makanan dan minuman yang telah kau sediakan!" Joko berkata begitu Iblis Pedang Kasih dan Bidadari Pedang Cinta berlalu.
Han Pek Kun lepaskan cekalan kedua tangannya pada lengan murid Pendeta Sinting lalu melangkah dan tegak menjajari seraya berucap pelan. "Kau pandai bicara, Anak Muda.... Dan meski aku tadi tidak melihat, tapi aku tahu pasti jika gadis cantik itu akan salah duga dengan ucapanmu yang terakhir tadi!"
Joko hanya tersenyum. Lalu melangkah menuju pintu kedai.
"Tunggu!" mendadak Han Pek Kun menahan begitu Joko akan melangkah keluar. "Sebagai sahabat, aku pesan padamu, Anak Muda! Kau boleh saja bicara tak karuan pada orang. Tapi jangan pada seorang gadis! Ucapanmu bisa menjadi urusan besar di kelak kemudian hari! Apalagi ucapan itu ada hubungannya dengan urusan hati dan perasaan! Bagi seorang gadis, ucapan candamu bisa diartikan lain!"
"Tapi aku memang ingin bertemu lagi dengan gadis tadi! Aku tidak bercanda!"
"Aku tahu.... Tapi ucapan terakhirmu, bisa diartikan lain!"
"Ah.... Kurasa itu urusan gadis itu, Kek!"
"Kau memang akan menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!" Hak Pek Kun alihkan pembicaraan.
Murid Pendeta Sinting menjawab dengan anggukkan kepala tanpa menoleh ke belakang. Lalu berkata. "Kau yakin jika penghuni lembah itu memang telah tewas seperti ucapan Bidadari tadi?!"
"Tidak ada hal yang lebih pasti sebelum kau membuktikan sendiri!"
Kembali Joko anggukkan kepala lalu sekali membuat gerakan berkelebat, sosoknya melesat ke arah mana tadi Iblis Pedang Kasih dan Bidadari Pedang Cinta pergi. "Mereka bisa kujadikan sebagai penunjuk jalan! Aku tahu, mereka tengah menuju ke sana! Hem.... Ada urusan apa antara mereka dengan Dewa Asap Kayangan? Bidadari Pedang Cinta.... Wajahnya mengingatkanku pada seseorang...."
Joko terus berkata dalam hati sambil berkelebat. Di pelupuk matanya muncul bayangan Dewi Bunga Asmara, Bidadari Bulan Emas, Mei Hua, dan Siao Ling Ling. Beberapa gadis cantik yang sempat terlibat urusan dengannya beberapa wakta yang lalu di Bukit Toyongga. Pada satu tempat, tiba-tiba Joko hentikan larinya. Memandang ke depan dan ke samping, dia tidak melihat siapa-siapa. Yang terlihat cuma hamparan tanah terbuka yang banyak ditebari bongkahan-bongkahan batu besar.
"Heran.... Ke mana mereka?! Mataku baru saja malah bisa menangkap kelebatan sosoknya! Tapi...." Joko putuskan gumaman. Kepalanya berpaling ke arah satu bongkahan batu sepuluh langkah di sampingnya. "Hem.... Aku yakin. Ada manusia di balik bongkahan balu besar itu! Berarti mereka tahu kalau tengah kuikuti! Apa hendak dikata. Apa pun urusan mereka dengan Dewa Asap Kayangan, yang jelas aku tidak ingin membuat masalah dengan mereka!"
Membatin begitu, Joko segera berseru. "Aku tidak mengikuti kalian! Tujuan kita sama! Jadi bukankah lebih baik kita jalan bersama-sama?!"
Tidak ada suara sahutan atau tanda-tanda munculnya seseorang dari balik bongkahan batu di mana mata Joko tengah memandang. "Aku tahu kalian berada di sini! Mengapa suka bercanda main sembunyi?!"
Karena tidak juga ada suara yang menyahut atau munculnya seseorang, Joko segera berkata lagi dengan kepala berpaling ke arah jurusan lain. "Bidadari.... Kau masih ingat ucapanku, bukan?! Selama ini aku telah bertemu banyak gadis cantik. Tapi hanya kau seorang yang membuatku ingin bertemu lagi.... Dan lagi.... Dan lagi...!"
Joko menunggu beberapa saat. Karena tidak juga ada suara sahutan, akhirnya Joko berseru agak lantang. "Bidadari.... Kau jangan membuat dadaku berdebar tak enak dengan terus sembunyikan diri di balik batu.... Aku ingin melihat wajahmu sekali lagi...."
"Bidadarimu sudah turuti keinginanmu.... Bidadari mu juga ingin melihat wajahmu sekali lagi.... Dan lagi.... Dan lagi, ah...," sahut sebuah suara.
"Ah, tampaknya kau juga suka bercanda dengar mengubah-ubah suara...," ujar Joko sambil sungging kan senyum dan berpaling.
Senyum murid Pendeta Sinting lenyap laksana disabet setan. Matanya mendelik dengan kepala pulang balik bergerak ke depan ke belakang! Pada sisi bongkahan batu, terlihat nongolan kepala milik seorang nenek berambut putih. Sepasang matanya sipit. Tapi bukan karena bola matanya kecil melainkan karena tertutup kulit di sekitar matanya. Hidungnya besar, mulutnya hampir-hampir tidak kelihatan karena masuk ke dalam gumpalan daging kedua pipinya!
"Ternyata kau masih tetap tampan, Pujaanku.... Seperti halnya dirimu, selama ini aku telah banyak bertemu dengan pemuda berwajah tampan. Tapi hanya kau seorang yang membuat mataku tak bisa terpejam, membuat dadaku tak bisa tenteram, membuat mulutku tak mampu bergumam, membuat langkahku tak bisa berdebam, membuat tidurku tak bisa tenggelam, membuat jari-jariku tak kuasa menggenggam. Ah.... Ah...!"
Mungkin karena tersentak kaget sebab dugaannya meleset, untuk beberapa saat Joko tegak tanpa buka mulut atau membuat gerakan. Di lain pihak, kepala nenek di sisi bongkahan batu sunggingkan senyum serta pejamkan mata. Lalu terdengar lagi ucapannya.
"Pujaanku.... Kau tahu. Karena dirimu, yang kulihat putih jadi hitam legam. Yang kudengar lirih jadi berdentam-dentam. Batu yang kugenggam jadi permata mutumanikam! Yang kumakan sayur bayam jadi terasa tai ayam. Ah.... Ah...."
"Busyet! Mengapa jadi berubah begini?! Lain yang kucari lain pula yang kudapati!" gumam Joko gusar. Lalu lepas pandangan berkeliling.
"Pujaanku.... Kau tadi mengatakan ingin melihat Bidadarimu sekali lagi.... Dan lagi.... Dan lagi, ah.... Mengapa kau sekarang suka bercanda dengan memperhatikan yang lain?! Apakah diriku berubah di matamu...?! Kau jangan membuat hatiku panas dingin tak karuan.... Pandanglah aku, Pujaanku.... Aku mengenakan baju baru.... Gaya baru, potongan baru...." Mulut yang melesak di antara gumpalan daging kedua pipi si nenek tersenyum.
Joko berusaha tidak memandang, tapi laksana ada kekuatan dahsyat, perlahan-lahan bola matanya berputar memandang ke arah si nenek! Si nenek tersenyum sekali lagi. Lalu perlahan-lahan kepalanya terangkat dari sisi bongkahan batu. Pendekar 131 melihat sebuah leher besar, lalu dada si nenek yang mengendor besar disusul dengan terlihatnya perut tambun besar yang dibungkus pakaian warna merah menyala yang sangat ketat! Dan ternyata rambut putih si nenek menjuntai panjang sampai kedua betisnya!
"Bagaimana menurutmu, Pujaanku...?! Hari ini aku tampil beda, bukan?!"
Mungkin tak mau membuat urusan dengan orang, Joko segera buka mulut. "Penampilanmu hari ini memang beda, Nek...! Hingga membuat mataku hampir-hampir tidak bisa mengenalimu lagi!"
"Jadi kau lupa pada Bidadarimu ini...?!"
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Aku hanya tidak mengenalimu lagi!"
"Ah.... Ah.... Apa bedanya lupa dengan tidak mengenali, Pujaanku?!"
"Lupa berarti tidak ingat. Tidak mengenali sama dengan lupa.... Lupa berarti tidak mengenali. Tidak mengenali berarti tidak ingat!"
"Ah... Ah... Mengapa kau membuat Bidadarimu jadi bingung, Pujaanku?! Apakah ini satu isyarat ada orang lain di hatimu?! Adakah ini satu tanda kau punya Bidadari lain?! Adakah ini satu petunjuk ada Bidadari lain yang lebih dariku dalam pandanganmu?! Adakah ini satu bukti jika semua ucapanmu hanyalah rayuan gombal belaka?!"
Habis berkata begitu, si nenek angkat kedua tangannya ditakupkan pada wajahnya. Saat kemudian terdengar suara isak tangisnya! Hingga dadanya bergerak turun naik, sementara gumpalan daging perutnya bergoyang-goyang!
"Nek...."
Belum sampai Joko lanjutkan ucapan, si nenek sudah memotong dengan suara lengking. "Kau sekarang memanggilku nenek! Padahal selama ini kau selalu menyebutku Bidadari!"
Dengan sikap kesal dan ingin tertawa, akhirnya Joko berucap. "Bidadari...."
"Bukan Bidadari! Tapi Bidadariku!" Si nenek sudah menukas lagi. Lalu lanjutkan isak tangisnya.
Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. Lalu buka mulut. "Bidadariku.... Mungkin kau salah lihat.... Aku.... Aku bukan pujaanmu!"
Si nenek renggangkan jari-jari kedua tangannya yang menutupi wajah. Lalu memperhatikan beberapa lama sebelum akhirnya angkat suara dengan serak parau. "Kau tega-teganya berkata begitu pada Bidadarimu yang selama ini selalu merindukan bertemu denganmu.... Mengapa?! Mengapa?! Ah.... Ah...!"
Kalau saja tidak sedang berhadapan dengan orang aneh, tentu tawa Joko sudah meledak sejak tadi. Namun karena sadar siapa orang yang dihadapi serta ingin selesaikan urusan di tempat itu, Joko tahan ledakan tawanya, meski perutnya sudah bergerak-gerak dan bahunya berguncang. "Bidadariku.... Terus terang saja. Baru kali ini aku bertemu denganmu...."
Kontan si nenek berseru tertahan. Tangan kanannya diluruskan menunjuk pada murid Pendeta Sinting sementara tangan kirinya terus menutupi wajahnya. Lalu berkata setengah membentak. "Bidadari mana yang telah menutup pandanganmu hingga kau bisa berkata begitu?! Bidadari model apa yang telah membuat lidahmu terbalik hingga lancang bicara begitu, hah?!"
"Bidadariku.... Kuharap kau tidak terlalu cepat menuduh! Kau perlu tahu. Aku bukan berasal dari negeri ini. Aku datang dari negeri di seberang laut...!"
"Hem.... Jadi Bidadari seberang laut itu yang membuat kau berubah?!"
"Bukan! Maksudku.... Aku dilahirkan di negeri seberang laut. Aku bukan asli orang sini! Dan kalaupun aku sampai terdampar di negeri ini, mungkin ini hanya sebuah nasib yang telah tertulis untukku...."
"Mana mungkin aku percaya padamu! Kau berani berkata dusta padaku karena kau telah punya simpanan Bidadari lain!"
"Nek.... Eh, Bidadariku.... Aku bicara sungguh-sungguh!"
"Hem.... Jangan kau kira aku tidak tahu siapa Bidadari simpananmu itu, Pujaanku! Jangan kira pula aku tidak tahu di mana kau sembunyikan Bidadari simpananmu itu!"
Habis berkata begitu, tangan kanan si nenek yang menunjuk lurus pada sosok murid Pendeta Sinting perlahan-lahan bergerak ke samping kanan menunjuk pada satu bongkahan batu besar. "Jangankan hanya bongkahan batu sebesar itu yang kau buat menutupi Bidadari simpananmu! Sekalipun Gunung Himalaya kau letakkan di depan hidungnya, dia tak mungkin bisa lolos dari pandangan mataku!"
Mendadak terdengar gumaman makian bersumber dari balik bongkahan batu di mana tangan si nenek menunjuk. Joko kancingkan mulut lalu palingkan kepala dengan dahi berkerut. Dari balik bongkahan batu muncul satu sosok tubuh milik seorang gadis berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau.
"Bidadari Pedang Cinta...." Pendekar 131 bergumam mengenali siapa adanya gadis yang keluar dari balik bongkahan batu.
Si gadis yang bukan lain memang Bidadari Pedang Cinta adanya mendelik angker silih berganti pada Pendekar 131 dan si nenek yang masih menunjuk ke arahnya, sementara tangan satunya lagi tetap mendekap wajahnya dengan jari-jari direnggangkan.
"Pemuda asing!" Bidadari Pedang Cinta berteriak llnggl. "Aku akan buktikan ucapanku bahwa tidak ada yang akan bisa menghalangi tindakanku!" Tangan kanan sang Bidadari lalu terangkat menunjuk lurus pada si nenek dan berteriak. "Dan kau nenek gila! Kau telah berani bicara lancang menuduhku yang bukan-bukan! Mulutmu layak mendapat imbalan!"
Belum sampai ucapannya selesai, Bidadari Pedang Cinta sudah melesat dan tegak lima langkah di depan murid Pendeta Sinting dengan tampang garang.
"Bidadari.... Harap tidak masukkan hati apa yang diucapkan...." Pendekar 131 kebingungan meneruskan ucapannya. Apalagi saat itu terdengar si nenek telah bergumam.
"Pada gadis itu, sekali berkata kau sudah menyebutnya Bidadari.... Sementara pada
Bidadarimu ini, kau masih salah-salah melulu!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang. Sementara si nenek tarik pulang tangannya yang tadi diluruskan pada Bidadari Pedang Cinta. Tangan kirinya yang mendekap wajahnya juga diturunkan. Lalu balikkan tubuh seraya berkata.
"Pujaanku.... Kau kuberi waktu untuk menimbang! Setelah itu kau harus memberi keputusan! Kau pilih Bidadarimu ini yang selalu setia, atau pilih Bidadari model dia yang berbaju hijau itu!"
"Tetap di tempatmu, Nenek Gila!" sentak Bidadari! Pedang Cinta tak mampu menahan gelegak hawa kemarahan. Lalu melompat ke arah Pendekar 131 dengan kedua tangan berkelebat lepaskan pukulan!
***
SEMBILAN
KARENA tak ada kesempatan lagi menghindar, sementara kalau tidak dihadang jelas pukulan itu mengandung tenaga dalam tinggi yang bisa membuat luka dalam, terpaksa Joko angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Pedang Cinta berseru tertahan. Sosoknya mundur dua tindak dengan paras berubah. Gadis ini tidak menduga kalau akibat bentrok itu akan membuat sosoknya tersurut dan kedua tangannya terasa ngilu dan berwarna merah. Di lain pihak, meski tidak merasakan sakit luar biasa, murid Pendeta Sinting segera goyang-goyangkan tubuhnya dengan keras, lalu kakinya diseret beberapa langkah ke belakang dengan tampang dibuat seakan merasakan kesakitan hebat. Malah kedua tangannya dikibas-kibaskan lalu diselinapkan ke balik pakaiannya.
Di seberang, si nenek putar diri lagi menghadap. Memandang silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Pendekar 131 lalu berkata. "Pujaanku.... Aku tahu. Ini semua hanya sandiwaramu agar hatiku tidak remuk redam.... Sebenarnya bukan sandiwara seperti ini yang kuharap! Aku minta kau memutuskan satu pilihan, Pujaanku.... Hanya saja kuminta kau selalu ingat akan semua janji-janjimu padaku! Ingat akan segala yang pernah kau katakan padaku di saat-saat bulan tengah purnama!
Kau tentu masih ingat ketika mengatakan Bidadarimu ini laksana bulan purnama.... Mengatakan indahnya tubuhku seperti riak gelombang lautan samudera.... Lentiknya bulu mataku bak jajaran rimbun dedaunan di lereng Gunung Himalaya... Geraian rambutku selaksa rintik hujan di pagi buta.... Merdunya suaraku bagaikan amukan gemuruh raksasa.... Cara jalanku laksana...."
"Diam!" Bidadari Pedang Cinta menghardik. "Sekali kau buka mulut lagi, jangan kira aku tak mampu membuat tubuhmu jatuh terjengkang!"
"Ah.... Ah.... Mengapa kau marah padaku?! Apakah kau tak sadar?! Seharusnya aku yang punya hak untuk marah padamu! Pujaanku bisa tidak mengenaliku lagi gara-gara bertemu denganmu! Gara-gara bicara tak ujung pangkal denganmu! Gara-gara...."
Belum sempat si nenek lanjutkan ucapan, Bidadari Pedang Cinta sudah hantamkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh.
"Wuutt! Wuuuut!" Dua gelombang angin perdengarkan suara bergemuruh keras berkiblat.
Si nenek unjukkan tampang ngeri dengan angkat kedua tangannya di depan dada digerakkan pulang balik ke samping kiri kanan seakan memberi isyarat agar Bidadari Pedang Cinta tidak teruskan pukulannya. Hebatnya, saat itu juga gelombang yang berkiblat ke arah si nenek laksana dihantam kekuatan dahsyat dan ambyar semburat ke samping kiri kanan! Malah kalau saja si gadis tidak segera lipat gandakan tenaga dalam untuk kuasai goyangan tubuhnya, niscaya sosoknya akan tersapu pulang balik ke samping!
"Hem.... Aku sudah menduga kalau nenek itu bukan orang sembarangan! Hanya saja, aku belum bisa menduga apa maksud sebenarnya nenek itu...." Diam-diam Joko membatin.
Di lain pihak, mendapati apa yang terjadi, Bidadari sedang Cinta tampak terkesiap kaget. Dia kini sadar jika yang dihadapi adalah orang berilmu tinggi. Namun karena sudah telanjur bicara, dia tak mau dibuat malu. Maka dia segera kerahkan segenap tenaga dalamnya. Didahului bentakan keras, sosok Bidadari Pedang Cinta melesat ke arah si nenek. Setengah jalan kedua tangannya menghantam.
"Wuutt! Wuutt!" Gelombang dahsyat menghampar diikuti bertebarnya hawa panas luar biasa.
Si nenek tampak tercekat tegang. Sepasang matanya mendelik memejam dengan kedua tangan menakup pada gumpalan daging perutnya. "Pujaanku! Pujaanku! Mengapa kau diam saja melihat Bidadarimu akan mampus dibunuh orang...?!" Si nenek berteriak pada murid Pendeta Sinting!.
Karena maklum ucapan si nenek hanya bercanda, Joko tenang-tenang saja malah tersenyum. Namun hingga gelombang pukulan Bidadari Pedang Cinta setengah depa di hadapan si nenek dan perempuan tua bertubuh tambun besar ini tidak juga membuat gerakan, Joko pupuskan senyum. Dia angkat kedua tangannya hendak menghadang gelombang, meski hal itu akan membuat si nenek tidak bisa lolos dari bias bentroknya pukulan.
Namun sebelum kedua tangan Joko benar-benar bergerak, tiba-tiba si nenek pukul-pukul kedua tangannya pada gumpalan daging di perutnya.
Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukk!
Terdengar suara dentuman mendengung beberapa kali. Bersamaan itu tepat di pusar si nenek melesat empat sinar berwarna kelabu tipis.
"Bummm! Bummm!" Tanah terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu-batu besar itu bergetar keras. Beberapa bongkahan batu bergerak-gerak dan sebagian di antaranya langsung mencelat mental tersapu dua gelombang pukulan Bidadari Pedang Cinta yang tiba-tiba bertabur semburat terhantam empat sinar kelabu dari pusar si, nenek!
Sosok Bidadari Pedang Cinta terjungkir balik di udara sebelum akhirnya terpental beberapa tombak ke belakang dengan mulut perdengarkan teriakan tegang. Karena terkejut dan hebatnya bias pukulan yang menghajar, Bidadari Pedang Cinta terlambat untuk membuat gerakan agar sosoknya tidak terpental menghajar bongkahan batu yang sudah menanti di belakangnya.
Setengah tombak lagi sosok Bidadari Pedang Cinta menghantam bongkahan batu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Justru saat itulah Bidadari Pedang Cinta membuat gerakan karena terkejut ada dua tangan yang menyambar tubuhnya. Hingga tak ampun lagi sosok Bidadari Pedang Cinta dan bayangan yang berkelebat menyelamatkan jatuh bergulingan di atas tanah.
Namun hal ini membuat sosok Bidadari Pedang Cinta selamat dari menghajar bongkahan batu. Di lain pihak, sosok si nenek hanya bergerak-gerak bagian dada dan perutnya yang tambun besar. Lalu rambutnya yang panjang berkibar-kibar dengan mata memejam membuka!
Pada saat mata si nenek membuka dan memandang ke depan, mendadak nenek ini menjerit tinggi hingga sosok besarnya terlonjak ke udara. Lalu melayang turun dengan kedua tangan mendekap wajahnya dan berseru.
"Pujaanku! Pujaanku! Tega benar kau padaku! Berani-beraninya kau beradegan mesra di depan mata bidadarimu ini! Adakah ini satu isyarat kalau kau memilih dia...?! Aku tak rela! Kau harus katakan apa salah dosa Bidadarimu ini hingga kau tega berbuat seperti itu! Seperti itu! Seperti itu!"
Teriakan si nenek membuat Bidadari Pedang Cinta sadar. Apalagi dia merasakan dua tangan tengah memeluk tubuhnya dengan erat. Gadis cantik ini segera berpaling ke belakang. Bidadari Pedang Cinta tersentak tegang. Matanya mendelik angker. Seakan lupa kalau dirinya diselamatkan orang, kedua tangannya segera sentakkan dua langan yang melingkar di pinggangnya. Saat lain sosoknya berputar. Kaki kiri kanannya membuat gerakan menendang!
"Bukkkl Bukk!" Satu sosok tubuh berbalut pakaian putih terpental dengan berteriak kaget. Lalu sosoknya terjengkang di atas tanah.
Tampaknya Bidadari Pedang Cinta belum puas. Dia segera bangkit lalu melompat dan berteriak. "Kau manusia lancang yang berani memeluk tubuhku!"
"Bukkk!" Lagi-lagi kaki Bidadari Pedang Cinta menghantami sasaran. Terdengar orang berseru kesakitan.
"Bidadari.... Maaf.... Aku tak sengaja...," kata orang yang baru saja terpental karena tendangan kaki sang Bidadari. Dia tidak lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
"Ah.... Ah.... Di hadapanku kau bicara maaf tak sengaja! Tapi di belakangku pasti kau bicara lain!" Si nenek berkata lalu buka kedua tangannya.
Bidadari Pedang Cinta memandang tajam pada Joko dengan dada bergemuruh keras. Namun perlahan-lahan ada perasaan lain yang menyelinap. Dia sadar, kalau tindakan Joko tadi semata-mata untuk menyelamatkan tubuhnya dari benturan dengan bongkahan batu. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting segera bangkit terhuyung-huyung seraya pegangi dadanya yang terkena tendangan kaki Bidadari Pedang Cinta. Lalu memandang ke arah si gadis.
Kesadaran membuat Bidadari Pedang Cinta tak berani memandang lama-lama pada Pendekae 131. Dia segera alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan paras bersemu merah. Saat itulah sepasang matanya menumbuk pada satu sosok tubuh yang duduk bersila di atas satu bongkahan batu.
"Eyang...," bisik Bidadari Pedang Cinta. Entah karena apa, paras gadis ini makin memerah lalu perlahan-lahan melangkah ke arah sosok di atas bongkahan batu yang tidak lain adalah Iblis Pedang Kasih.
"Cucuku.... Kau masih kurang hati-hati dalam menghadapi orang! Kau tahu siapa nenek bertubuh tambun besar itu?!" Iblis Pedang Kasih segera ajukan tanya begitu Bidadari Pedang Cinta tegak di sebelah Bongkahan batu.
Seraya melirik pada Pendekar 131, Bidadari Pedang Cinta gelengkan kepala.
"Untung dia hanya main-main hingga kau tidak mengalami luka! Jika tidak, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi denganmu...!"
"Eyang.... Siapa dia?!"
"Dia yang mana, yang kau tanyakan?! Karena pandanganmu sasarannya lain!" tanya Iblis Pedang Kasih seraya tertawa pelan.
Ucapan Iblis Pedang Kasih membuat Bidadari Pedang Cinta terkesiap dan buru-buru alihkan pandangannya dari sosok murid Pendeta Sinting ke arah nenek bertubuh tambun besar. Wajahnya jelas berubah dan suaranya serak tatkala buka mulut menjawab.
"Yang kutanyakan siapa nenek bertubuh besar itu?"
"Kau masih ingat dengan ceritaku tentang seorang bernama Putri Pusar Jagat?!"
Bidadari Pedang Cinta berpaling. "Astaga! Jadi diakah adikmu yang sering kau ceritakan itu?"
"Di negeri ini hanya ada satu Putri Pusar Jagat! Dan dia adalah adikku sendiri!"
Bukan saja Bidadari Pedang Cinta yang terlengak kaget. Namun Joko ikut-ikutan terkejut. Dia pulang balikkan kepala memandang silih berganti pada Iblis Pedang Kasih dan nenek yang disebutnya dengan Putri Pusar Jagat.
"Jadi Eyang mengajakku ke tempat ini untuk bertemu dengannya?!" tanya Bidadari Pedang Cinta.
"Itu salah satunya. Ada lagi hal yang perlu kita bicarakan dengannya!"
"Urusan apa, Eyang?! Mengapa Eyang tidak membicarakannya sebelum ini?"
"Waktunya belum tepat, Cucuku.... Dan kurasa saat inilah waktu yang tepat untuk bicara dengannya!"
"Apakah ada hubungannya dengan penghuni Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!"
Pertanyaan Bidadari Pedang Cinta membuat Joko pasang telinga baik-baik, karena dia punya kepentingan dengan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Namun hingga ditunggu agak lama, ternyata Iblis Pedang Kasih tidak buka mulut memberi jawaban. Sebaliknya berkata.
"Cucuku.... Kau harus memberi hormat padanya...!"
Bidadari Pedang Cinta arahkan pandangannya pada Putri Pusar Jagat. Beberapa saat gadis ini tampak bimbang apalagi ingat apa yang baru saja dilakukan terhadap si nenek. Di lain pihak, Putri Pusar Jagat terlihat melangkah mendekati Pendekar 131. Lalu berkata.
"Pujaanku... Hendak ke mana kau sebenarnya?!"
"Lebih baik aku berterus terang padanya...." Joko membatin, lalu angkat suara. "Aku akan ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai...!"
"Dengan maksud?!"
Joko terdiam. Dia tampak bimbang. "Untuk yang ini aku tidak boleh berterus terang!" katanya dalam hati lalu buka mulut.
"Aku mendapat pesan dari seseorang yang harus disampaikan padanya!"
Putri Pusar Jagat manggut-manggut. Lalu putar langkah menuju Bidadari Pedang Cinta yang masih ragu ragu.
"Nek.... Maaf atas semua yang tadi kulakukan...." Disadari Pedang Cinta akhirnya bergumam begitu si nenek bertubuh tambun besar sudah dekat dengannya, lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.
"Kau masih cemburu padaku...?!" Putri Pusar Jagat bertanya sambil tersenyum.
"Nek.... Bukankah tadi kau yang tampak cemburu padaku?!" ujar Bidadari Pedang Cinta memberanikan diri setelah dilihatnya si nenek tersenyum.
Putri Pusar Jagat tertawa bergelak hingga gumpalan daging di perutnya bergerak pulang balik ke atas ke bawah. Lalu berujar. "Hari ini mungkin ucapanmu benar. Tapi tidak lama lagi mungkin akan jadi berbalik! Kau tidak saja akan cemburu padaku, tapi juga pada beberapa gadis lain...."
Wajah Bidadari Pedang Cinta jadi berubah merah, sebaliknya murid Pendeta Sinting cengengesan senang.
"Senang bisa bertemu lagi denganmu, Adikku nan cantik maha jelita! Aku berharap kau sehat-sehat saja sehingga kita bisa melakukan perjalanan hari ini juga!" berkata Iblis Pedang Kasih seraya memberi isyarat mempersilakan.
Putri Pusar Jagat membuat gerakan satu kali. Sosok besarnya melesat lalu duduk seraya ongkang-ongkang kaki di sisi bongkahan batu di mana Iblis Pedang Kasih duduk bersila. "Aku juga gembira melihatmu, Kakakku yang gagah maha perkasa! Aku sudah menunggumu dan siap lakukan perjalanan hari ini! Tapi sebelum kita pergi aku ingin memberitahukan padamu satu hal...."
"Katakanlah...."
"Tampaknya kita akan punya hajat besar...." Mata si nenek melirik pada Bidadari Pedang Cinta yang tegak sambil mendengarkan pembicaraan dengan seksama.
"Adikku.... Aku belum berpikir sampai sejauh itu. Aku tidak berani memaksa.... Dia sudah dewasa! Apa lagi sebenarnya bukan kita yang berhak punya hajat!"
"Ah.... Ah...! Kau harus paham, Kakakku.... Sejak saat ini kita harus sudah pikirkan urusan hajatan itu! Kita tidak usah lagi pikirkan kita yang berhak atau tidak. Dan justru karena dia sudah dewasa, kita harus segera mencarikan pasangan yang cocok! Kau sudah punya pandangan?!"
Yang ditanya tersenyum. Lalu geleng kepala. Putri Pusar Jagat alihkan lirikan matanya pada murid Pendata Sinting. Lalu berkata pelan. "Bagaimana dengan pemuda itu?! Kurasa mereka bisa jadi pasangan serasi! Yang gadis cantik, yang pemuda tampan!"
Mendengar bisik-bisik antara Iblis Pedang Cinta dan Putri Pusar Jagat, Bidadari Pedang Cinta jadi berdebar tidak enak, meski entah karena apa, diam-diam dia merasa senang. "Mungkinkah yang dibicarakan mereka adalah diri ku?! Ah.... Tapi, bukankah menurut Eyang, adiknya itu juga memiliki cucu seorang gadis sebaya denganku?! Jangan-jangan cucunya sendiri yang dibicarakan dengan Eyang.... Tapi mengapa tiba-tiba hendak dijodohkan dengan pemuda itu?!"
"Adikku.... Urusan hajat ini sebaiknya kita bicarakan nanti di tempat tujuan saja! Dan menurutku, sebaiknya keputusannya diserahkan pada yang bersangkutan!"
"Hem.... Baiklah! Apa dia kita ajak serta?!"
Iblis Pedang Kasih terdiam beberapa saat. Lalu buka mulut dengan sorongkan kepalanya mendekati telinga adiknya. Bidadari Pedang Cinta menarik napas dengan raut sedikit kecewa, karena dia tidak bisa mencuri dengar apa yang dibicarakan eyangnya. Padahal dia sudah berharap-harap cemas, sebab dia yakin yang dimaksud eyangnya dengan Putri Pusar Jagat tidak lain adalah Pendekar 131?
"Cucuku.... Kita berangkat sekarang!" Mendadak Iblis Pedang Kasih angkat suara. Habis berkata begitu hampir berbarengan, Iblis Periang Kasih dan adiknya berkelebat tanpa mempedulikan murid Pendeta Sinting yang tetap tegak dengan sesekali memandang ke arah Bidadari Pedang cinta.
Bidadari Pedang Cinta berpaling melihat ke arah kelebatan eyangnya dan si nenek. Dia sudah hendak berkelebat menyusul. Tapi dia terlihat bimbang dengan beberapa kali menarik napas panjang. "Ah.... Mungkin aku salah duga!" Akhirnya Bidadari Pedang Cinta berkelebat menyusul eyangnya.
***
SEPULUH
Di tinggal sendirian, Joko segera berpikir. "Mereka tidak mencegah atau memerintah.... Berarti mereka memberi kesempatan padaku untuk mengikuti!" Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya Pendekar 131 ikut berkelebat ke arah mana tadi tiga orang itu berlari.
Bidadari Pedang Cinta yang berlari di belakang Putri Pusar Jagat dan Iblis Pedang Kasih segera memperlambat larinya begitu menyadari Joko ikut mengejar di belakangnya. Namun gadis ini pura-pura tidak tahu kalau tengah diikuti. Pada satu tempat, karena perhatiannya terpecah antara mengawasi dua orang di depan agar tidak kehilangan jejak dan mengkhawatirkan orang di belakangnya takut kalau tidak terus mengikuti, Bidadari Pedang Cinta kehilangan jejak eyangnya dan si nenek. Hingga akhirnya sang Bidadari berhenti dan tegak dengan putar pandangan berkeliling.
"Ke mana aku harus mencari? Mengapa mereka tidak pernah menoleh padaku selama berlari tadi?! Ah.... Apa yang harus kulakukan sekarang?!"
Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, mendadak gadis ini merasakan siuran angin di belakangnya. Dada cucu Iblis Pedang Kasih ini jadi berdebar Dia tidak berusaha buka mulut atau putar diri meski hal itu ingin sekali dilakukannya. Gadis ini sudah bisa menduga siapa adanya orang yang tegak di belakangnya. Namun karena ditunggu agak lama tidak juga terdengar suara, akhirnya Bidadari Pedang Cinta beranikan diri membuat gerakan membalik. Paras wajah gadis cantik ini langsung berubah. Ternyata dugaannya meleset!
Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan berwajah jelita berusia kira-kira dua puluh lima tahunan. Rambutnya digulung tinggi ke atas seolah ingin menunjukkan lehernya yang putih dan jenjang. Dada mencuat padat. Pinggulnya besar dan kencang dilapli pakaian tipis dan ketat warna putih. Sepasang matanya bulat ditingkah goresan alis mata yang hitam dan tebal. Karena dugaannya salah, Bidadari Pedang Cinta segera putar pandangan sekeliling dengan mata mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan orang yang dicari.
"Hem.... Jangan-jangan yang mengikuti dari tadi perempuan ini! Bukan pemuda bernama Joko Sableng itu.... Ah, mengapa aku tidak berpaling dari tadi?! Kalau saja bukan pemuda itu yang mengikuti, tentu aku tidak perlu memperlambat lari hingga aku sendiri kehilangan jejak!"
Setelah membatin begitu, tanpa buka mulut Bidadari Pedang Cinta segera putar diri. Lalu berkelebat meneruskan larinya. Tapi Bidadari Pedang Cinta jadi tersentak sendiri Belum sampai dia benar-benar berlari, si perempuan berwajah cantik bertubuh sintal yang tadi tegak di belakangnya sudah berdiri dengan sikap menghadang di hadapannya! Menangkap gelagat tidak baik, Bidadari Pedang Cinta segera buka mulut.
"Harap memberi jalan!"
Perempuan di depan Bidadari Pedang Cinta bukannya memberi jalan atau buka suara menyahut. Sebaliknya memandang sekujur tubuh Bidadari Pedang Cinta ilari kepala sampai kakil Lalu bibirnya yang dipoles merah menyala bergerak sunggingkan senyum dengan kepala manggut-manggut.
Dipandangi orang begitu rupa, Bidadari Pedang Cinta jadi jengah sendiri. Apalagi dia bisa merasakan pandangan itu lain dari pandangan perempuan lainnya terhadap seorang perempuan. "Aku harus segera pergi. Kuharap...."
Belum sampai Bidadari Pedang Cinta lanjutkan ucapan, perempuan di hadapannya sudah menukas. "Mau katakan kau hendak pergi ke mana?!"
Bidadari Pedang Cinta gelengkan kepala tanpa buka suara. Lalu alihkan pandangan ke jurusan lain berharap bisa menemukan Pendekar 131.
"Sudi mengatakan siapa namamu?!" Si perempuan berpakaian putih kembali ajukan tanya.
"Aku Bidadari Pedang Cinta...," jawab sang Bidadari dengan suara agak ketus.
"Hem.... Gelar bagus.... Sebagus pemilik namanya!" ujar perempuan berpakaian putih seraya menatap pada iiada Bidadari Pedang Cinta. "Bagaimana kalau kita jalan bersama?!"
"Maaf, aku ingin sendirian! Dan kuharap kau mengerti. Waktuku tidak banyak!"
"Hem.... Ingin jumpa kekasih?!"
"Aku tidak punya waktu melayanimu!" sentak Bidadari Pedang Cinta mulai agak jengkel dengan ucapan perempuan berpakaian putih. Dia melangkah ke samping lalu hendak berlari.
Namun perempuan berpakaian putih ikut-ikutan bergerak ke samping, membuat Bidadari Pedang Cinta batalkan niat dan kembali perdengarkan suara membentak.
"Tampaknya kau tak mau mengerti! Sekarang aku ingin tahu. Apa maumu sebenarnya?!"
"Bagaimana kalau kita bersenang-senang barang sebentar?!"
Dahi Bidadari Pedang Cinta berkerut. Dadanya berdebar tidak enak. Namun karena belum paham maksud orang, dia segera berkata. "Bersenang-senang bagaimana maksudmu?!"
Perempuan berpakaian putih tipis tertawa perlahan. Dia tegakkah wajah mendongak. Lalu berkata lirih. "Gelarmu menggunakan kata-kata Cinta.... Bagaimana kalau kau bukan hanya menggunakan untuk namamu, tapi juga membaginya denganku?!"
"Aku tidak mengerti arti kata-katamu!"
"Gadis rupawan,... Bagaimana kalau kita menikmati cinta itu?!"
"Aneh.... Apa maksud sebenarnya orang ini?! Dia terlalu berbelit-belit bicara!" Bidadari Pedang Cinta membatin.
Seakan bisa membaca benak orang, perempuan berpakaian putih segera luruskan kepala lalu berkata lagi. "Bidadari.... Bagaimana kalau kita meluangkan waktu sejenak untuk menikmati hidup ini dengan bersenang-senang di bawah naungan cinta?! Aku akan membawamu menikmati indahnya surga dunia.... Aku punya tempat yang tenang untuk mereguk kenikmatan itu...."
"Keparat!" maki Bidadari Pedang Cinta begitu sadar akan maksud perempuan berpakaian putih tipis.
"Aku tahu.... Makianmu hanya karena kau belum pernah menikmati surga dunia itu.... Tapi aku yakin, sekali kau merasakan, kau akan...." Perempuan berpakaian putih tipis tidak lanjutkan ucapannya dengan kala kata, melainkan tertawa cekikikan!
"Perempuan cabul! Kau salah berkata pada orang!"
Si perempuan di hadapan Bidadari Pedang Cinta galangkan kepala. "Gadis rupawan.... Aku tak pernah salah berkata pada orang! Apalagi salah pilih mana orang yang layak atau tidak untuk mereguk kenikmatan bersamaku...!"
Mendengar pembicaraan Bidadari Pedang Cinta dengan perempuan berpakaian putih, di balik batangan pohon di mana dia bersembunyi, Pendekar 131 hampir saja meloncat keluar. Matanya mendelik dengan mulut menganga!
Saat mengikuti berkelebatnya Bidadari Pedang Cinta, Joko sengaja menjaga jarak sekiranya tidak kehilangan jejak orang yang diikuti sementara orang yang diikuti tidak merasa curiga. Dia juga selalu berkelebat dengan sesekali menyelinap sembunyi ketika melewati daerah yang banyak ditumbuhi jajaran pohon.
Hingga pada satu tempat Joko merasakan ada satu sosok bayangan yang berkelebat cepat dari sebelah samping. Murid Pendeta Sinting tidak mau ambil risiko, lalu segera menyelinap sembunyi ketika melihat Bidadari Pedang Cinta hentikan larinya di sebelah depan sana.
Lalu pasang telinga baik-baik ketika mendapati satu sosok tubuh sudah berhadapan dengan Bidadari Pedang Cinta. Namun sejauh ini murid Pendeta Sinting belum melihat raut wajah perempuan yang bicara dengan Bidadari Pedang Cinta, karena dia tidak berani membuat gerakan takut keberadaannya diketahui.
"Perempuan cabul!" Terdengar Bidadari Pedang Cinta membentak. "Aku memberimu waktu untuk segera pergi dari hadapanku!"
Terdengar suara tawa cekikikan. Lalu. "Aku akan pergi asal bersamamu, wahai Cintaku.”
Hawa kemarahan Bidadari Pedang Cinta sudah sampai ke ubun-ubun. Tapi gadis ini masih bisa menahan diri. Apalagi ketika ingat ia harus segera mengejar eyangnya. Kalau terjadi bentrok, berarti dia akan makin jauh tertinggal dan makin sulit menjajaki jejak si eyang dan si nenek. Maka dia segera putar diri setengah lingkaran dan mendahului tinggalkan tempat itu.
"Gadis cantik.... Kau tak akan tinggalkan tempat ini tanpa bersamaku...," kata perempuan berpakaian putik tipis seraya umbar senyum dan mengerdip nakal.
Sikap orang membuat pupus pertahanan Bidadari Pedang Cinta. Dia batalkan niat tinggalkan tempat itu Lalu memandang tajam dan membentak. "Aku telah memberi ingati Jangan salahkan aku kalau kau...."
"Percayalah padaku, Gadis Rupawan!" potong perempuan berpakaian putih tipis. "Sekali kau mereguk cinta bersamaku, kau akan enggan
meninggalkan diriku...."
"Mulut kotor!" seru Bidadari Pedang Cinta. Sekali lompat tangannya sudah ikut berkelebat lepas pukulan ke arah bahu kanan kiri perempuan berpakaian pulih.
Yang diserang tidak membuat gerakan. Sebaliknya tertawa pendek. Namun sejengkal lagi bahu kiri kanannya terhajar pukulan orang, si perempuan berpakaian putih gerakkan kedua bahunya yang menjadi sasaran pukulan.
"Bukkk! Bukkk!" Kedua tangan Bidadari Pedang Cinta menghajar telak kedua bahu perempuan berpakaian putih. Anehnya, justru yang perdengarkan seruan tertahan adalah Bidadari Pedang Cinta. Malah saat itu juga kedua tangannya mencelat mental ke udara. Sosoknya tersurut beberapa tindak. Parasnya berubah pucat pasi.
Di lain pihak, perempuan berpakian putih tetap tegak di tempatnya sambil tersenyum dan sekali lagi kedlpkan sebelah matanya. Dia sama sekali tidak merasakan pukulan yang menghajar kedua bahunya. Saat terjadi benturan, Joko cepat membuat gerakan mengintip. Dia hanya sempat melihat sekilas.
Namun sudah cukup baginya untuk mengetahui jika perempuan yang tengah bentrok dengan Bidadari Pedang Cinta adalah perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal. Lebih dari itu dia juga maklum, lawan yang dihadapi sang Bidadari adalah perempuan berilmu sangat tinggi. Dan begitu sosok Bidadari Pedang Cinta tersurut, Pendekar 131 segera selinapkan diri lagi ke balik halangan pohon.
Sementara itu mendapati apa yang dialami, Bidadari Pedang Cinta sempat terkesima. Namun perasaan curiga membuat gadis ini tak mau terlena. Dia cepat kerahkan segenap tenaga dalamnya. Lalu dengan tatapan garang kedua tangannya diangkat. Perempuan bertubuh sintal di hadapan Bidadari Pedang Cinta lagi-lagi hadapi gerakan orang dengan tersenyum. Lalu berkata.
"Aku ingin kemesraan di antara kita tidak dibuka dengan silang sengketa, Gadisku.... Hal itu tidak perlu terjadi...."
Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut dengan ucapan, sebaliknya lepaskan pukulan jarak jauh.
"Wuutt! Wuuutt!" Dua gelombang menderu ganas menyambar kearah perempuan bertubuh sintal berpakaian putih.
Tahu kalau gelombang yang menyambar kearahnya dimuati tenaga dalam tinggi, perempuan berpakaian putih cepat hentakkan kaki. Sosoknya melesat ke udara. Membuat gerakan berputar di atas lalu menyambut gelombang yang datang dengan tangan kanan mendorong.
"Wuuttt! Bummmm!" Terdengar dentuman keras.
Untuk kedua kalinya Bidadari Pedang Cinta berseru tegang. Dua gelombang yang melesat keluar dari kedua tangannya serta-merta berantakan di udara. Gadis ini merasakan tubuhnya dihempas gulungan gelombang luar biasa. Belum sampai dia berbuat sesuatu, sosoknya telah tersapu deras dan jatuh terjengkang.
Sementara perempuan berpakaian putih tampak terhuyung di udara. Namun begitu perempuan ini membuat gerakan berputar sekali lagi, huyungannya terhenti lalu melayang turun dan tegak lima langkah di hadapan tempat terjengkangnya Bidadari Pedang Cinta. Dengan mata berkilat penuh nafsu, ditatapnya gerakan daun Bidadari Pedang Cinta yang turun naik dengan mata setengah terpejam merasakan sakit pada kedua lengan dan nyeri pada dadanya.
"Gadisku.... Aku tahu. Kau belum pernah mereguk kenikmatan itu. Pasti kau masih malumalu untuk mereguk di tempat terbuka seperti ini meski sebenarnya aku sudah tak sabar.... Bidadari Tujuh Langit-mu ini akan membawamu ke tempat yang berpanorama indah agar pengalaman pertamamu menjadi kenangan tak terlupakan sepanjang hidupmu...."
Perempuan bertubuh sintal di hadapan Bidadari Pedang Cinta, yang ternyata adalah Bidadari Tujuh Langit, bergerak mendekati Bidadari Pedang Cinta dengan dada dibuncah nafsu. Di lain pihak, kuduk Bidadari Pedang Cinta jadi meremang. Tapi dia cepat sadar apa yang akan dilakukan orang terhadapnya. Maka dia buru-buru bangkit duduk di atas tanah dengan tangan bergerak ke bagian pinggang di mana melilit sebuah Pedang berkilat.
Namun sebelum Bidadari Tujuh Langit teruskan langkah dan Bidadari Pedang Cinta lepas pedang di pinggangnya, terdengar satu suara menegur. "Harap tidak teruskan langkah!"
Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah dengan dagu mengembung besar dan pelipis bergerak-gerak tanda menahan hawa amarah. Bidadari Pedang Cinta hentikan gerakan tangannya dengan dahi berkerut dan dada berdebar. Diam-diam gadis ini membatin.
"Jelas aku pernah dengar suara itu, itu adalah suara Joko Sableng.... Ternyata dia masih berada di sekitar tempat ini...."
Baru saja Bidadari Pedang Cinta membatin begitu! satu sosok tubuh berkelebat. Bidadari Tujuh Langit dan Bidadari Pedang Cinta berpaling. Paras kedua perempuan yang sama-sama berwajah cantik jelita itu berubah. Bidadari Tujuh Langit segera kembangkan senyum dengan mata berbinar, sementara Bidadari Pedang Cinta tersentak hampir tak percaya. Karena dugaan keduanya salah...!
S E L E S A I