SATU
PUNCAK Bukit Toyongga laksana dibungkam tangan setan. Tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan. Hanya ada beberapa mata yang saling lontar dengan pandangan curiga. Lalu tampak wajah-wajah tegang.
Seperti diketahui, di puncak Bukit Toyongga telah berkumpul Yang Mulia Baginda Ku Nang, Panglima Muda Lie, dan putrinya Mei Hua. Lalu Bayangan Tanpa Wajah, Ratu Selendang Asmara, dan murid tunggalnya Dewi Bunga Asmara. Di seberang lain tampak Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Di seberang kanan terlihat Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan, dan perempuan bercadar hitam.
Saat itu Hantu Pesolek yang memegang kantong putih berisi separo peta wasiat memperhatikan silih berganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Guru Besar Liang San. Kedua orang ini memegang sebuah gelang agak besar yang bentuk dan warnanya sama.
“Bagaimana ini bisa terjadi?!” Hantu Pesolek membatin lalu berkipas-kipas. Rambutnya berkibar-kibar. Bibirnya yang merah sunggingkan senyum.
“Kalau ada dua benda sama bentuk dan warnanya, tentu salah satunya palsu! Berarti ada yang tak beres dengan kedua orang itu!” Diam-diam murid Pendeta Sinting juga membatin.
“Hantu Pesolek!” mendadak Baginda Ku Nang buka suara. “Serahkan kantong itu padaku! Separo peta wasiat telah berada di tanganku!”
“Serahkan padaku!” Guru Besar Liang San menyahut. “Akulah yang memegang separo peta wasiat itu!” Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi ke udara tunjukkan gelang agak besar.
“Aku memang berjanji akan serahkan kantong berisi separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki separonya lagi. Tapi tidak kusangka kalau ada dua orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Sementara aku tidak mau memberikan pada orang yang memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memiliki peta asli!”
Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan gelang di tangan lainnya.
“Baginda Ku Nang!” Guru Besar Liang San angkat bicara dahulu. “Jangan kau mempersulit diri dengan tunjukkan barang palsu!”
Sang Baginda tersenyum dingin. “Kau yang mempersulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang palsu!”
Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya berkata. “Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!”
“Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengetahuanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok untuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau lakukan?!”
Sang Baginda hentikan ucapannya sambil tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan. “Tidak, Guru Besar! Aku telah menghitung apa langkahmu selanjutnya! Aku telah memalsukan isi gelang itu lalu kuserahkan padamu dan kita simpan bersama-sama di satu tempat....”
Ucapan Baginda Ku Nang membuat semua orang di puncak Bukit Toyongga jadi melengak kaget.
“Tidak mungkin! Mataku tak bisa ditipu! Ini gelang yang asli!” desis Guru Besar Liang San seraya tarik pulang tangan kanannya dari atas udara. Gelang di tangannya disentakkan mendekat pada wajahnya.
“Apanya yang tak mungkin?! Kau tentu masih ingat, Guru Besar!” Berkata sang Baginda. “Gelang yang kita ambil dari Perguruan Shaolin berada di tanganku selama tiga hari tiga malam. Tiga hari sudah terlalu cukup bagiku untuk membuat yang sama tapi palsu! Ha Ha Ha...!”
“Aku tidak percaya!” dengus Guru Besar Liang San.
“Jika demikian, mengapa tidak kau buktikan saja?!”
“Benar! Aku memang butuh bukti siapa pemegang separo peta yang asli! Aku tak mau salah memberi!” Hantu Pesolek menimpali ucapan Baginda Ku Nang.
Guru Besar Liang San sengatkan pandang matanya pada sang Baginda. Tanpa buka suara lagi tangan kiri kanannya segera pegang erat-erat gelang baja. Lalu ditarik. Gelang baja putus tanggal menjadi dua! Lalu terlihat sebuah gulungan kain di dalam batangan gelang yang telah putus.
Tampang Guru Besar Liang San berubah makin tegang. Kedua tangannya bergetar. Meski di dalam batangan gelang terlihat gulungan kain berwarna putih, namun putusnya gelang membuat dada laki-laki berkepala gundul ini berdebar-debar tidak enak.
“Kalau gelang ini asli, tidak mungkin putus begitu saja. Jangan-jangan gelang ini memang telah dipalsukan!”
Walau telah menduga begitu, namun seolah ingin yakinkan diri, perlahan-lahan Guru Besar Liang San ambil gulungan kain putih dari batangan gelang. “Kalau peta ini palsu, kainnya akan robek jika kutarik!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Saat lain kedua tangannya telah pegang bagian ujung gulungan kain.
"Brettt!" Sekali sentak, gulungan kain berwarna putih telah robek menjadi dua bagian!
“Peta ini benar-benar yang palsu!” desis Guru Besar Liang San. Tanpa memeriksa lagi, tanggalan gelang dan robekan kain di tangan kiri kanannya dicampakkan ke tanah. Patahan gelang langsung masuk amblas lenyap ke dalam tanah! “Kau telah menipuku!” teriak Guru Besar Liang San seraya tunjukkan tangan kiri ke arah batok kepala Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Yang ditunjuk tertawa panjang. “Manusia yang berani korbankan nyawa saudara serta mengkhianati perguruannya bukan hanya layak ditipu, tapi sudah tidak pantas berada di atas bumi!”
Rahang Guru Besar Liang San mengembung besar. Sosoknya berguncang keras. Sekali membuat gerakan, sosoknya telah melesat ke arah Baginda Ku Nang dengan kedua tangan siap lepaskan pukulan! Namun sebelum Guru Besar Liang San bertindak lebih jauh, Hantu Pesolek sudah bergerak menghadang.
Bukkk! Bukkkk!
Terdengar benturan keras. Kelebatan sosok Guru Besar Liang San terhenti dengan kedua tangan terpental ke udara. Di depannya Hantu Pesolek tegak dengan kipas bergoyang-goyang. Walau parasnya yang elok berubah, namun dengan bibir tersenyum, Hantu Pesolek berkata.
“Apa pun yang telah kau lakukan, kau gagal membuktikan jika kau pemegang peta yang asli! Harap kau sadar! Dan untuk keselamatanmu, kusarankan agar segera tinggalkan tempat ini!”
Saking marahnya tanpa pikir panjang lagi Guru Besar Liang San cepat melompat ke depan. Hampir separo tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangan. Lalu menghantam ke arah kepala Hantu Pesolek yang telah halangi niatnya. Hantu Pesolek angkat tangan kirinya. Kipas di tangan kanannya disentakkan menyongsong.
Bukkkkk! Praakkk!
Benturan keras terdengar lagi kala tangan kanan Guru Besar Liang San bentrok dengan tangan kiri Hantu Pesolek. Disusul dengan terdengarnya benda patah.
Tubuh Guru Besar Liang San dan Hantu Pesolek tersurut dua langkah. Tangan kiri kanan Guru Besar Liang San langsung bengkak merah. Di lain pihak kipas di tangan kanan Hantu Pesolek patah jadi tiga bagian! Hantu Pesolek cepat tarik pulang tangan kanannya. Tiba-tiba dia menghantam.
"Wuuttt!" Kipas yang telah patah jadi tiga melesat laksana anak panah ke arah tiga bagian tubuh Guru Besar Liang San!
Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. Meski yang menggebrak ke arahnya hanyalah patahan kipas, namun patahan itu telah dimuati tenaga dalam dahsyat. Hingga begitu tiga patahan kipas berkelebat, Guru Besar Liang San lepaskan pukulan jarak jauh seraya membuat gerakan jungkir balik di atas udara.
Dua gelombang keras menderu. Dua patahan kipas berhasil disapu mental. Namun Guru Besar Liang San gagal menghalangi satu patahan lainnya. Hingga tanpa ampun lagi patahan satu itu terus menerabas. Guru Besar Liang San berseru tertahan tatkala melayang turun dan mendapati patahan kipas telah menancap di pundak kanannya dan kucurkan darah!
Orang nomor satu di Perguruan Shaolin ini cepat totok daerah sekitar di mana patahan kipas menancap. Lalu sekali sentak, patahan kipas telah tercabut dan disentakkan kembali. Bukan ke arah Hantu Pesolek, melainkan ke arah Baginda Ku Nang!
Sang Baginda yang telah waspada tekuk kaki kanannya. Tangan kirinya berkelebat. Satu gelombang dahsyat berkiblat.
"Wuusss!" Patahan kipas berlumur darah yang baru saja menancap di pundak kanan Guru Besar Liang San tersapu amblas dan langsung berantakan di udara! Begitu menghadang lesatan kipas, Baginda Ku Nang terus berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak di hadapan Hantu Pesolek dengan tangan meminta dan berkata.
“Kau sudah tahu mana yang asli dan mana yang palsu! Jangan kau ingkar dengan ucapan janjimu! Serahkan separonya lagi padaku!”
Meski masih merasakan nyeri pada lengannya akibat bentrok dengan Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek gerak-gerakkan kedua tangannya seolah melambai. Lalu angkat suara. “Aku tidak akan ingkar janji! Tapi kalau Guru Besar Liang San telah memegang peta palsu, bukan tak mungkin di tanganmu juga palsu! Dan tidak mustahil pula masih ada orang di tempat ini yang punya peta palsu juga! Padahal aku butuh orang yang memegang peta asli!”
“Aduh.... Bagaimana ini?! Jangan-jangan aku yang tertipu!” Tiba-tiba terdengar suara seruan mengeluh. Yang berseru ternyata Dewa Cadas Pangeran.
Orang yang pertama kali berpaling adalah Dewa Asap Kayangan yang berada tidak jauh di sampingnya. “Hem.... Begitu?! Ucapanmu menunjukkan satu hal. Kau juga memegang peta!” Berkata Dewa Asap Kayangan seraya kepulkan asap dari pipa di mulutnya.
Dewa Cadas Pangeran masukkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Semua orang di tempat itu mendelik memperhatikan dengan hati sama menduga-duga. Tapi saat lain terdengar beberapa gumaman ketika tangan kanan Dewa Cadas Pangeran ditarik keluar dan ternyata tidak memegang apa-apa!
“Sontoloyo! Kukira dia punya gelang juga!” gumam Pendekar 131 lalu arahkan pandang matanya pada Hantu Pesolek. Saat bersamaan, kepala semua orang di tempat itu juga segera berpaling.
Saat itulah, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara lagi. “Sahabatku Dewa Asap Kayangan...! Coba kau lihat, apakah ini juga palsu?”
Serta-merta semua kepala di tempat itu kembali bergerak ke arah Dewa Cadas Pangeran. Semua mata tampak membeliak memperhatikan tak berkedip pada sebuah gelang baja di tangan kiri Dewa Cadas Pangeran! Gelang itu sama persis dengan gelang yang ada di tangan Baginda Ku Nang dan gelang yang tadi patah di tangan Guru Besar Liang San!
“Ucapanku benar, bukan?!” ujar Hantu Pesolek. Walau pemuda berkebaya ini sempat unjukkan muka terkejut, namun segera tersenyum meski dalam hati dia berkata. “Urusan di tempat ini ternyata tidak semudah yang kuduga! Bagaimana aku bisa memastikan mana yang benar-benar asli?!
Dan tidak tertutup kemungkinan masih ada orang yang memegang gelang seperti itu!” Sepasang mata Hantu Pesolek menyapu berkeliling seolah ingin tahu siapa saja yang masih memegang gelang seperti yang kini berada di tangan kiri Dewa Cadas Pangeran.
Di lain pihak, Baginda Ku Nang juga membatin. “Sialan betul! Bagaimana ini bisa terjadi?! Jangan-jangan gelang di tanganku ini juga palsu! Tapi tak mungkin! Aku langsung menerimanya malam itu dari tangan Guru Besar Liang San di Perguruan Shaolin....” Meski telah membatin begitu, namun Yang Mulia Baginda Ku Nang masih didera perasaan bimbang dan gelisah.
“Bagaimana...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran sambil gerak-gerakkan gelang di tangan kirinya ditunjukkan pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan semburkan asap pipanya pada gelang di tangan Dewa Cadas Pangeran. Untuk beberapa saat gelang itu terbuntal asap putih. “Meski aku tidak membukanya, aku bisa mengatakan satu hal. Gelang berisi peta di tanganmu adalah asli!” kata Dewa Asap Kayangan.
Belum habis ucapan Dewa Asap Kayangan, Dewa Cadas Pangeran telah tarik pulang tangan kirinya. Sekali gerak, tangan kirinya telah menyelinap dan gelang baja tidak terlihat lagi!
“Aku harus segera tahu mana yang asli dan mana yang palsu! Jika tidak, urusan di tempat ini akan berlarut-larut!” Membatin begitu, Hantu Pesolek segera angkat bicara.
“Baginda...! Kalau kau tidak ingin kedatanganmu sia-sia, lekas perlihatkan kalau gelang di tanganmu adalah yang asli!”
Sang Baginda terdiam. Sikapnya tampak ragu-ragu. Saat itulah Dewa Cadas Pangeran berucap. “Mendiang Guru Besar Pu Yi adalah sahabat baikku. Sahabatku itu bukanlah orang yang mudah dikibuli, apalagi dikhianati.... Sebelum terjadinya peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin, dia telah menyerahkan gelang padaku! Jadi gelang yang lenyap saat peristiwa terjadi adalah gelang palsu....”
Habis berucap begitu, Dewa Cadas Pangeran membuat gerakan berkelebat dan tegak di depan Hantu Pesolek. Batu di depan wajahnya bergerak-gerak. Namun masih sanggup menutupi mukanya.
“Sahabatku Hantu Pesolek.... Aku tidak minta kau serahkan kantong putih di tanganmu padaku. Karena kalau gelang berisi separo peta wasiat saja bisa dipalsukan, kurasa tidak sulit juga memalsukan kantong putih seperti yang ada padamu....”
Tampang Hantu Pesolek berubah sesaat. “Hem.... Jangan-jangan dia tahu...,” desisnya dalam hati. Lalu berkata seraya tersenyum. “Ucapanmu benar! Memang tidak sukar memalsukan kantong seperti yang ada padaku. Tapi aku yakin di tempat ini tidak ada yang memiliki kantong putih seperti yang ada padaku!”
Mata Hantu Pesolek menyapu berkeliling. Dan begitu ditunggu agak lama tidak ada yang buka suara menyahut atau memperlihatkan sesuatu, ketegangan di wajah Hantu Pesolek sirna. Dia tengadah dengan mulut hendak angkat bicara. Tapi sebelum suaranya terdengar, satu suara telah mendahului.
“Aku ingin mengatakan satu hal. Aku memiliki kantong putih!”
Semua orang berpaling pada Dewa Asap Kayangan yang baru saja perdengarkan suara. Tapi yang tampak paling heran dan terkejut besar adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
“Busyet! Bagaimana urusan ini bisa ruwet begini rupa?! Belum tuntas urusan gelang mana yang palsu dan yang asli, sekarang ada dua kantong! Aku pernah memegangnya.... Tapi aku tak bisa menentukan mana yang dulu ada di tanganku! Lagi pula aku tidak yakin benar kalau Dewa Cadas Pangeran telah diberi gelang oleh Guru Besar Pu Yi.
Kalau betul, Guru Besar Pu Yi pasti memberitakan padaku saat bertemu dahulu!” Joko berpikir. Matanya terus pandangi tangan kanan Dewa Asap Kayangan yang ternyata telah memegang sebuah kantong putih yang bentuk dan warnanya sama persis dengan kantong putih di tangan Hantu Pesolek.
Selagi murid Pendeta Sinting berpikir, mendadak Dewa Asap Kayangan melangkah ke arah Joko. Dia berhenti enam langkah di depan Joko. Tangan kanannya yang memegang kantong putih diluruskan pada Pendekar 131 dan berkata.
“Anak muda.... Kau tak perlu mungkir! Kau pernah memegang kantong putih asli yang berisi separo peta wasiat! Sekarang kau harus berkata benar serta mau tunjukkan mana kantong putih yang asli dan mana yang palsu!”
Meski merasa yakin di tangan Hantu Pesolek adalah yang asli karena kantong itu diambil dari dirinya, namun Pendekar 131 tidak mau berterus terang. Dia anggukkan kepala lalu berkata. “Aku memang pernah memegang kantong putih! Jadi aku tahu mana yang asli dan mana yang palsu....” Joko berpaling pada Hantu Pesolek.
Lalu lanjutkan ucapan. “Hantu Pesolek.... Kau mengambil kantong itu dari tanganku! Harap kau tidak kecewa kalau kukatakan jika kantong itu telah kupalsukan! Dan kantong yang asli kutitipkan pada Kakek sahabatku itu!” Tangan kanan murid Pendeta Sinting menunjuk pada Dewa Asap Kayangan.
***
DUA
Saking kagetnya, hampir saja kaki Hantu Pesolek tersurut ke belakang. Tampangnya mirip seperti waktu Guru Besar Liang San tahu kalau gelang di tangannya adalah palsu. “Apakah benar ucapan pemuda asing itu?!” Hantu Pesolek gelisah dengan dada berdebar. Dan entah karena apa, tangan kirinya segera menyelinap ke balik pakaiannya. Lalu ditarik keluar lagi dengan menghela napas panjang.
“Tampangmu menunjukkan kau tidak percaya...,” ujar Joko seraya tertawa. “Itu boleh saja dan urusanmu! Tapi agar kau lebih yakin, tidak ada salahnya kalau kau buka kantong itu!”
“Betul! Agar semuanya jadi jelas! Dan tidak ada yang merasa dirugikan di tempat ini!” Menyahut Dewa Cadas Pangeran.
“Kau yang buka kantong dahulu!” kata Hantu Pesolek pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan geleng kepala. “Kau yang pertama kali tunjukkan kantong! Kau juga yang harus buka terlebih dahulu!”
“Benar! Yang menunjukkan pertama harus juga membuka dahulu! Dengan begitu, kuharap Yang Mulia Baginda Ku Nang sudi membuka gelang di tangannya. Bukannya aku ingin menjatuhkan. Ini semua demi jelasnya urusan!” Dewa Cadas Pangeran timpali kata-kata Dewa Asap Kayangan.
Baik Hantu Pesolek maupun Baginda Ku Nang sama tegak diam tidak membuat gerakan atau sambuti ucapan orang.
“Hantu Pesolek! Kau tadi berani meminta Guru Besar Liang San untuk membuktikan keaslian benda di tangannya. Sekarang mengapa kau sendiri terlihat takut untuk membuktikan keaslian benda di tanganmu?!” Joko berucap.
“Siapa takut?!” sentak Hantu Pesolek panas mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. Diangkat tangannya yang memegang kantong. “Terus terang saja.... Kantong yang kalian lihat ini adalah palsu!” Hantu Pesolek campakkan kantong di tangannya. Lalu lanjutkan ucapan. “Aku tahu bagaimana watak orang dunia persilatan. Untuk itulah aku terpaksa melakukan ini!”
“Jahanam! Kau berani berkata dusta dan menipu!” Baginda Ku Nang berteriak. Kalau saja Panglima Muda Lie tidak segera mencegah, tentu sang Baginda sudah berkelebat dan lepaskan pukulan.
Sementara Hantu Pesolek tampak tenang-tenang saja. Malah saat lain dia berkata. “Hantu Pesolek tidak akan pernah berkata dusta atau menipu!”
Tangan kanan Hantu Pesolek menyelinap ke balik pakaiannya. Lalu tampaklah sebuah kantong putih yang baik warna dan bentuknya sama persis dengan kantong yang baru saja dicampakkan serta kantong yang berada di tangan kanan Dewa Asap Kayangan.
“Busyet! Hampir saja aku terkecoh!” kata Joko dalam hati. Lalu memandang ke arah Dewa Asap Kayangan.
Belum sampai orang tua yang selalu mengisap pipa buka suara, Hantu Pesolek telah angkat bicara. “Dewa Asap Kayangan! Sekarang giliranmu membuka kantong! Karena aku telah turuti permintaanmu!”
“Bagaimana bisa begitu?! Kau harus paham satu hal. Misteri kantong di tanganmu belum tersingkap. Bukan tidak mungkin kau masih memiliki kantong lain. Setelah semua kantongmu kau ungkap, baru tiba giliranku! Kalau kau tidak mau, aku tidak sudi membuka kantongku! Yang jelas, pemuda sahabatku itu telah mengatakan kantongkulah yang asli....”
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berpaling pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata. “Sahabatku Dewa Cadas Pangeran. Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini. Kita sama-sama memegang peta yang asli. Untuk apa lagi kita berada di sini?! Bukankah kehadiranmu di tempat ini hanya untuk mengetahui siapa sebenarnya yang memegang separo dari peta wasiat di tanganmu?!”
“Ah.... Benar juga! Tapi agar perjalanan kita lebih asyik, apakah tidak kita pilih saja salah seorang perempuan di antara yang hadir di tempat ini? Kau bawa satu aku bawa satu...!”
“Usulan hebat!” ujar Dewa Asap Kayangan. Orang tua ini arahkan pandang matanya berkeliling pada satu persatu perempuan di tempat itu. Saat lain dia angkat tangan kanannya yang memegang kantong lalu menunjuk ke arah perempuan bercadar hitam yang tadi tegak tidak jauh dari tempatnya! “Aku pilih dia!”
Sepasang mata perempuan bercadar hitam langsung mendelik angker. Namun dia tidak sambuti sikap Dewa Asap Kayangan. Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran putar tubuhnya setengah lingkaran dan berhenti tepat menghadap Ratu Selendang Asmara yang tegak berdampingan dengan murid tunggalnya Dewi Bunga Asmara! Tangan kanannya menunjuk lurus ke arah si nenek dan berujar keras.
“Selera manusia memang beda. Dan harap kau tidak keberatan kalau aku jatuhkan pilihan pada nenek cantik itu, sahabatku Dewa Asap Kayangan....”
Dewa Asap Kayangan tertawa bergelak. “Aku tidak boleh menghalangi pilihan orang, apalagi kau adalah sahabatku! Hanya saja, kalau aku boleh mengatakan satu hal. Apa tidak lebih baik yang muda saja?! Perjalanan yang kita tempuh bukan perjalanan pendek. Dibutuhkan tenaga dan tubuh yang kuat!”
“Di sini memang banyak perempuan muda dan cantik. Tapi aku masih yakin, nenek itu mampu mengiringi perjalanan kita!”
“Keparat! Siapa sudi pergi bersamamu?!” Ratu Selendang Asmara berteriak marah. “Lagi pula aku tidak percaya gelang di tanganmu adalah yang asli!”
“Nek.... Kurasa perjalanan ini tidak ada kaitannya dengan peta itu.... Kita melakukan perjalanan bersenang-senang....” Dewa Asap Kayangan menyahut. Habis berkata begitu, orang tua yang selalu mengisap pipa ini melangkah ke arah perempuan bercadar hitam. Sementara Dewa Cadas Pangeran tenang-tenang juga bergerak ke arah Ratu Selendang Asmara!
“Kita selesaikan dulu urusan peta itu!” Hampir bersamaan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang berseru.
Laksana dikomando, Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran hentikan langkah masing-masing.
“Bagaimana enaknya?!” bisik Dewa Asap Kayangan.
“Sekarang kau pilih saja. Kau berat peta itu atau berat jalan bersenang-senang ini?!” Dewa Cadas Pangeran menjawab.
“Kalau kau pilih yang mana?!” Dewa Asap Kayangan balik bertanya.
Dewa Cadas Pangeran berpikir sesaat. Lalu bergumam keras. “Usia kita telah di ambang kubur. Meski di tangan kita ada peta wasiat, apa gunanya?! Kita tidak bisa mengambil apa-apa dari peta wasiat itu! Lain halnya kalau kita pilih melakukan kesempatan bagus seperti sekarang ini?!”
“Hem.... Begitu?! Lalu apa yang harus kita lakukan?!”
Dewa Cadas Pangeran tidak menjawab. Sebaliknya memutar tubuh menghadap Pendekar 131. Lalu melakukan hal yang sama sekali tidak diduga oleh semua orang di tempat itu! Tangan kiri Dewa Cadas Pangeran yang memegang gelang baja berkelebat lemparkan gelang baja pada murid Pendeta Sinting!
Belum habis rasa kejut semua orang di puncak bukit, tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ikut-ikutan lemparkan kantong putih yang ada di tangan kanannya!
Karena terkesima dan tidak menduga, apa pun yang dilakukan orang di tempat itu, sudah sangat terlambat untuk melakukan hadangan menyambar gelang baja dan kantong putih yang kini tengah melesat ke arah murid Pendeta Sinting! Di lain pihak, tanpa menunggu lama lagi, Joko segera berkelebat. Kedua tangannya menyambar gelang baja dan kantong putih.
“Anak muda.... Kantong itu kukembalikan padamu.
Dan sampai di sini saja pertemuan kita! Sampaikan salamku untuk gadis cantik yang jalan bersama kita kemarin....” Dewa Asap Kayangan berkata seraya hadapkan wajahnya pada Dewi Bunga Asmara.
Paras Dewi Bunga Asmara bersemu merah. Namun Ratu Selendang Asmara tampak cemberut dan pasang tampang angker. Nenek ini segera berbisik pada muridnya.
“Bang Sun Giok! Aku tak suka kau menjalin hubungan dengan pemuda itu! Aku tak suka! Kau dengar?!”
Dengan melirik pada Pendekar 131, Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala.
“Bagus! Tapi ingat! Sekali aku melihat atau telingaku dengar kau bersama pemuda itu, kau akan tahu akibatnya!” kata Ratu Selendang Asmara pula.
“Anak muda....” Kini Dewa Cadas Pangeran yang angkat bicara. “Gelang itu kuserahkan padamu! Urusan selanjutnya kau yang punya! Tapi sebelum aku angkat kaki dari sini, boleh aku tahu sesuatu?!”
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala dengan pandangi gelang dan kantong di tangan kanan kirinya. “Sikap gadis cantik yang tegak di samping nenek itu, serta pandang matamu menunjukkan kalian menyimpan sesuatu. Kau naksir padanya?!”
Pendekar 131 tergagu tak bisa menjawab. Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan dada berdebar. Namun diam-diam gadis muda berparas cantik ini pasang telinga baik-baik ingin dengar jawaban murid Pendeta Sinting.
Di lain tempat, Mei Hua yang berada di samping ayahnya, Panglima Muda Lie tegak mematung dengan dada berguncang. Diam-diam gadis yang menyukai Joko ini coba menahan perasaan dan menunggu dengan alihkan pandangan ke jurusan lain.
“Aku telah melihat sendiri bagaimana pemuda itu bermesraan dengan gadis murid Ratu Selendang Asmara.... Tapi mengapa aku masih saja tidak kuasa untuk membencinya?!” Mei Hua membatin.
Kalau sikap Mei Hua tampak gelisah, di lain tempat, perempuan bercadar hitam juga terlihat resah begitu mendengar pertanyaan Dewa Cadas Pangeran yang tidak segera dijawab oleh murid Pendeta Sinting. Dia lontarkan pandangan pada Joko lalu beralih ke arah Dewi Bunga Asmara. Dia menghela napas panjang beberapa kali seolah tidak sadar menunggu Joko buka mulut.
“Anak muda.... Aku sudah ajukan tanya. Kau tadi sudah anggukkan kepala. Mengapa kau tidak segera memberi jawaban?!” Dewa Cadas Pangeran berkata.
“Sialan benar! Bagaimana aku harus menjawabnya di depan banyak orang begini rupa?! Sementara aku merasa Mei Hua amat cemburu pada Dewi Bunga Asmara! Dan Bidadari Bulan Emas tampaknya juga tidak suka! Hem....” Pendekar 131 Joko Sableng digelayuti berbagai perasaan. Hingga meski Dewa Cadas Pangeran telah bertanya lagi, namun dia belum juga buka mulut memberi jawaban.
“Anak muda.... Aku perlu jawabanmu! Kau tak usah malu-malu. Jika kau memang mencintainya, aku bersedia melamar! Soalnya sebentar lagi aku akan berjalan-jalan dengan gurunya....”
“Kek! Ajukanlah seribu pertanyaan. Aku dengan senang hati akan menjawab sebagai imbalan atas kesediaanmu memberikan gelang ini. Tapi jangan kau bertanya yang ada hubungannya dengan urusan cinta....”
“Aku tahu.... Kau takut dengan nenek cantik ini!” Yang bicara Dewa Asap Kayangan. “Kau tak usah takut, Anak Muda.... Kalau sahabatku Dewa Cadas Pangeran bersedia melamar untukmu, aku menawarkan diri untuk merayu gurunya.... Kau tahu beres saja!”
“Kek! Aku ucapkan terima kasih atas pemberianmu dan tawaranmu. Hanya saja, urusan yang dikatakan Kakek Dewa Cadas Pangeran biarlah kuselesaikan sendiri....”
“Kau telah dengar jawabannya!” kata Dewa Asap Kayangan pada Dewa Cadas Pangeran. “Apa lagi yang kita tunggu?!”
Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepala. Batu putih yang selalu menutupi wajahnya bergerak-gerak. Lalu orang ini memberi isyarat. Saat berikutnya Dewa Cadas Pangeran bergerak langkahkan kaki ke arah Ratu Selendang Asmara. Sementara Dewa Asap Kayangan melangkah ke arah perempuan bercadar seraya bersiul-siul. Baru saja Dewa Cadas Pangeran melangkah lima tindak, tiba-tiba Ratu Selendang Asmara telah angkat kedua tangannya lalu dihantamkan pada Dewa Cadas Pangeran, lepaskan pukulan jarak jauh.
“Mati aku!” seru Dewa Cadas Pangeran. Meski dia masih punya kesempatan untuk menghadang pukulan si nenek, tapi orang ini tidak berusaha menghadang pukulan yang menggebrak ke arahnya. Dia hanya tegak mematung seolah pasrah! Setengah depa lagi gelombang pukulan Ratu Selendang Asmara menghantam telak sosok Dewa Cadas Pangeran dan orang ini belum juga membuat gerakan, Dewa Asap Kayangan berseru.
“Usiamu memang telah mendekati liang kubur. Tapi tidak seharusnya kau sia-siakan begini rupa!” Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Cadas Pangeran telah diseretnya lima langkah. Saat lain Dewa Asap Kayangan kembungkan mulut lalu menyembur.
"Wuusss!" Terdengar deruan dahsyat. Gulungan asap putih berkiblat cepat lalu menghadang gelombang pukulan Ratu Selendang Asmara.
"Blammm!" Bukit Toyongga bergetar. Sosok Ratu Selendang Asmara terhuyung-huyung. Untung Dewi Bunga Asmara segera bertindak palangkan kedua tangannya di belakang tubuh si nenek. Jika tidak, sosoknya pasti terjengkang jatuh! Di lain pihak, sosok Dewa Asap Kayangan bergerak pulang balik ke samping kiri kanan.
“Hai! Mengapa kau menari sendirian?!” Dewa Cadas Pangeran berseru. Lalu tenang-tenang saja mendekati Dewa Asap Kayangan. Sekali cekal, gerakan sosok Dewa Asap Kayangan terhenti. “Tampaknya kita gagal melakukan perjalanan bersenang-senang ini! Tapi tak ada salahnya kita menunggu. Siapa tahu hati nenek cantik itu berubah!” kata Dewa Cadas Pangeran lalu menuntun Dewa Asap Kayangan.
“Perempuan bercadar hitam yang kau pilih itu tampaknya tidak merasa keberatan. Kita tunggu di dekatnya sampai hati nenek yang kupilih itu mencair!” Dewa Cadas Pangeran berkata lagi seraya arahkan langkahnya berbelok pada perempuan bercadar hitam.
“Hem.... Begitu?! Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku! Inilah akibatnya kalau kau salah memilih! Lain hari, kuharap kau pandai-pandai memandang sebelum jatuhkan pilihan!” Berkata Dewa Asap Kayangan sambil menurut saja dibimbing Dewa Cadas Pangeran ke arah perempuan bercadar hitam.
***
TIGA
Mungkinkah yang ada di tanganku ini berisi peta wasiat yang asli?” Joko bertanya sendiri dalam hati sambil melirik pada tangan kanan kirinya yang memegang gelang baja dan kantong putih. Karena yang pernah berada di tangannya adalah kantong putih, Joko lebih perhatikan kantong putih yang ada di tangan kanannya.
“Sulit menentukan apakah kantong ini yang pernah berada di tanganku.... Bentuk dan warnanya sama!” Dia lalu arahkan pandangannya pada tangan kanan Hantu Pesolek yang juga memegang kantong putih. “Hem.... Bagaimanapun juga aku masih yakin jika kantong di tangan Hantu Pesolek itulah yang asli!”
Saat lain murid Pendeta Sinting ini memandang pada Yang Mulia Baginda Ku Nang yang memegang gelang baja. “Kalau melihat gelang yang tadi ada di tangan Guru Besar Liang San adalah palsu, mungkin ucapan Baginda Ku Nang itu benar! Jadi gelang baja di tangannya yang asli! Tapi.... Aku harus dapat menggunakan apa yang ada di tanganku ini untuk mendapatkan yang asli! Dua kakek itu memberikan gelang dan kantong pasti dengan maksud tertentu! Aku harus dapat menggunakannya!”
Habis membatin begitu, Pendekar 131 memandang pada Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran yang telah tegak tidak jauh dari perempuan bercadar hitam. Lalu angkat bicara. “Kakek berdua! Sekali lagi kuucapkan terima kasih!” Joko menjura hormat. “Apakah kalian masih menunggu nenek cantik itu?!”
“Ini urusanmu!” kata Dewa Asap Kayangan pada Dewa Cadas Pangeran. “Kau yang harus menjawabnya!”
“Anak muda.... Aku memang akan bersabar menunggu! Menghadapi orang tua beda dengan menghadapi orang muda! Harus perlahan-lahan dan sedapat mungkin lipat gandakan rayuan. Karena sebagai orang tua, tentu telah banyak makan asam garam pengalaman, hingga tidak mudah untuk membuatnya percaya!
Tapi kalau sudah percaya, kau mungkin tak bisa membayangkan dan kau pasti akan memilih orang tua sebagai pendamping hidup! Bukan gadis-gadis muda yang bukan saja mudah bertekuk lutut pada rayuan tapi juga masih berpindah hati pada orang lain....”
Tampang Ratu Selendang Asmara yang merasa tersindir oleh ucapan Dewa Cadas Pangeran tampak merah mengetam. Kalau saja dia tidak sadar tengah berhadapan dengan siapa dan Dewi Bunga Asmara tidak cepat mencegah, pasti nenek ini telah melesat dan menggebuk Dewa Cadas Pangeran.
“Kalau begitu, kuucapkan selamat tinggal. Aku harus pergi dahulu!” kata Joko seraya selinapkan gelang baja dan kantong putih ke balik pakaiannya. Sebenarnya ucapan ini dikatakan murid Pendeta Sinting agar semua tahu bahwa dia bersungguh-sungguh akan pergi, meski sebenarnya ucapan itu hanya tipu muslihat.
“Soal lamaran itu bagaimana?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.
“Juga soal rayu merayu nenek itu bagaimana?!” Dewa Asap Kayangan menimpali.
“Itu bisa kita bicarakan nanti kalau kita bertemu lagi...! Kuucapkan selamat bersenang-senang!”
Selagi Joko dan Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap Kayangan berbincang, Hantu Bulan Emas yang tegak tidak jauh dari muridnya Bidadari Bulan Emas berbisik. “Menurutmu, mana yang asli?! Yang ada di tangan si pemuda atau yang ada di tangan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang?!”
Yang ditanya geleng kepala. “Aku memang telah menyelidik. Tapi yang kudapat cuma keterangan ciri-ciri di mana peta wasiat itu tersimpan. Anehnya, semua ciri-ciri itu ada pada gelang baja dan kantong baik yang ada di tangan pemuda itu maupun yang ada di tangan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang!”
Hantu Bulan Emas menghela napas panjang. “Tidak kuduga kalau terjadi hal seperti ini! Tapi aku hampir yakin yang asli berada di tangan pemuda itu!”
“Mengapa Guru menduga begitu?!” tanya Bidadari Bulan Emas.
“Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan bukanlah tokoh sembarangan. Tidak mungkin mereka berdua menyimpan barang palsu!”
“Tapi mengapa mereka memberikan pada pemuda itu?! Bukankah peta wasiat itu benda yang berharga?!”
“Itulah keanehan mereka! Mereka akan memberikan apa saja pada orang yang dikehendaki meski apa yang diberikan adalah benda berharga!”
Hantu Bulan Emas pandangi murid Pendeta Sinting. “Aku harus melakukan sesuatu!”
“Tunggu!” tahan Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan Emas berpaling.
Sekilas pandang dia sudah dapat membaca apa yang ada dalam benak muridnya. “Kau tertarik pada pemuda itu?!” tanya Hantu Bulan Emas.
Raut wajah Bidadari Bulan Emas berubah. Meski perempuan cantik ini tidak memberi jawaban, sang Guru tampaknya maklum. Dia segera berbisik. “Peta wasiat itu lebih berharga dari tubuhnya! Kau harus ingat itu!”
“Tapi kita dapat menyelesaikannya dengan baik-baik.... Harap serahkan urusan ini padaku!”
Hantu Bulan Emas geleng kepala. “Kau sudah kuserahi urusan ini. Namun buktinya kau gagal!”
“Kegagalanku karena ada pihak lain yang ikut campur! Lagi pula saat itu dia belum memegang peta wasiat!”
“Itu bukan alasan tepat! Yang jelas kau gagal membawa peta wasiat itu!”
“Guru.... Kumohon padamu kali ini... Serahkan urusan ini padaku! Aku berjanji akan membawa peta wasiat itu untukmu....”
“Hem.... Lalu apa yang akan kau lakukan?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi kali ini aku yakin bisa mendapatkannya.... Percayalah!” rajuk Bidadari Bulan Emas dengan wajah memelas.
Namun Hantu Bulan Emas seolah tidak pedulikan kecemasan muridnya. Dia gelengkan kepala dan berbisik lagi. “Aku akan selesaikan urusan dengan pemuda itu secara baik-baik. Tapi jika gagal, aku tahu apa jalan yang terbaik!”
“Guru...,” kata Bidadari Bulan Emas seraya cekal lengan tangan Hantu Bulan Emas.
Namun sebelum si murid berkata lagi, sang Guru telah mendahului. “Aku tahu kau tertarik padanya. Namun itu bukan halangan bagiku! Dan kalau kau ikut campur urusan ini, aku tak segan-segan membunuhmu!” Hantu Bulan Emas tepiskan cekalan tangan Bidadari Bulan Emas. Lalu sekali melompat, sosoknya telah tegak menghadang di depan Pendekar 131!
Di pihak lain, karena masih yakin gelang di tangan Yang Mulia Baginda Ku Nang adalah yang asli juga karena pengkhianatan yang dilakukan sang Baginda, begitu Hantu Bulan Emas berkelebat menghadang murid Pendeta Sinting, Guru Besar Liang San tidak sia-siakan kesempatan. Laki-laki berkepala gundul ini laksana terbang melompat ke arah Baginda Ku Nang.
“Aku minta kau serahkan gelang itu padaku secara baik-baik seperti saat aku memberikannya padamu, Yang Mulia!” kata Guru Besar Liang San.
Panglima Muda Lie akan bergerak maju. Namun sang Baginda palangkan tangan mencegah. Sang Baginda maju satu tindak. Dengan senyum dingin dia berkata. “Guru Besar! Urusan di antara kita kuanggap selesai begitu kau memberikan gelang ini setelah kau dan aku bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok!”
“Di antara kita tidak ada perjanjian begitu!” sentak Guru Besar Liang San.
“Hem.... Jadi kau pikir aku bersedia membantumu tanpa imbalan. Begitu...? Kau kira aku mau kau ajak bersekongkol dengan suka rela, begitu?!” Sang Baginda tertawa pendek. Lalu gelengkan kepala dan lanjutkan ucapan. “Seharusnya kau bersyukur aku tidak minta imbalan nyawamu sekalian, Guru Besar! Sebab imbalan gelang ini saja rasanya masih kurang! Apalagi ternyata kau telah berani berkhianat!”
“Kau yang licik! Kau yang berkhianat terlebih dahulu!”
“Aku tidak bodoh, Guru Besar! Kalau kau berani bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok yang keduanya adalah saudara dan gurumu, tentu kau tak segan-segan pula bersekongkol dengan orang lain untuk membunuhku!
Apalagi kita berdua sama pegang rahasia!”
“Kau yang mengajakku bersekongkol! Bukan aku!”
“Itu bukan masalah! Yang jelas kau telah bersekongkol membunuh saudara dan gurumu!”
Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan kemarahan. Dia cepat melompat. Tangan kirinya menghantam ke arah kepala sang Baginda, tangan kanan berkelebat menyambar ke arah gelang yang ada di tangan sang Baginda. Walau masih terbetik rasa ragu akan gelang baja yang berada di tangannya, Baginda Ku Nang tidak begitu saja mendiamkan gerakan Guru Besar Liang San yang coba merebut gelang baja dari tangannya. Dengan kecepatan luar biasa, sang Baginda selinapkan gelang baja ke balik pakaiannya. Lalu rundukkan kepala dan menghadang hantaman lawan dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkkk!
Dua pasang tangan bentrok di udara perdengarkan benturan keras. Paras masing-masing orang langsung berubah dan kaki mereka sama tersurut dua langkah. Guru Besar Liang San pandangi sang Baginda dengan sorot mata menyengat. Dia segera lipat gandakan tenaga dalam, karena dia sadar yang dihadapi bukan saja seorang penguasa tanah Tibet, melainkan bekas seorang tokoh dunia persilatan yang pernah memimpin perguruan silat. Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan.
Di seberang, Baginda Ku Nang tidak tinggal diam. Dia juga maklum siapa lawan yang dihadapi. Hingga bukan saja dia segera lipat gandakan tenaga dalam, namun segera berkelebat mendahului. Setengah jalan, sang Baginda tampak sedikit terkejut melihat Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan. Padahal dia yakin, Guru Besar Liang San tahu dirinya telah berkelebat hendak menghantam.
Meski merasa aneh dengan sikap Guru Besar Liang San, namun akhirnya Baginda Ku Nang tidak ambil peduli. Dengan tingkatkan kewaspadaan, dia teruskan kelebatan. Dan begitu tepat berada di depan Guru Besar Liang San, kedua tangannya segera lepaskan pukulan ke arah dada! Karena Guru Besar Liang San tidak juga membuat gerakan untuk menghadang pukulan lawan, tanpa ampun lagi kedua tangan Baginda Ku Nang menggebrak.
Bukkk! Bukkkk!
Terdengar seruan tertahan. Anehnya, bukan dari mulut Guru Besar Liang San yang dadanya terhantam kedua tangan Baginda Ku Nang, melainkan dari mulut sang Baginda sendiri! Malah saat itu juga kedua tangan sang Baginda langsung mencelat mental dan sosoknya tersurut mundur tiga langkah!
Bukan hanya sang Baginda yang terkejut, tapi hampir semua orang yang berada di puncak bukit sempat terkesima. Sebagian dari mereka memang tahu jika Guru Besar Liang San sanggup menahan pukulan. Tapi mereka tidak menduga kalau dia mampu menahan gebrakan Baginda Ku Nang.
Mungkin merasa malu dan telanjur berterus terang tentang apa yang telah terjadi, Baginda Ku Nang tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Malah dia telah bertekad untuk membunuh semua orang yang hadir di puncak Bukit Toyongga. Jika tidak, bukan saja kedudukannya yang akan terancam, namun hal itu akan menanamkan benih dendam pada dunia persilatan dan pada akhirnya akan timbul bentrok antara pihak kerajaan dan kalangan persilatan. Baginda Ku Nang kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya. Lalu melangkah dua tindak.
“Kau boleh memilih bagian mana yang kau suka!” kata Guru Besar Liang San sambil tertawa panjang tanpa coba membuka mata.
Dada Baginda Ku Nang laksana terbakar. Saat lain kedua tangannya bergerak. Bukan langsung lepaskan hantaman, melainkan bergerak menotok berpindah-pindah ke bagian tertentu dari sosok Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San keraskan kekehan tawanya seraya berucap.
“Kau boleh mencari titik kelemahanku. Tapi jangan mimpi kau bisa menemukannya! Ha Ha Ha...!”
Baginda Ku Nang tidak ambil peduli dengan ucapan Guru Besar Liang San. Dia teruskan gerakan menotok mencari titik lemah orang. Karena dia yakin, titik lemah itu pasti ada. Namun begitu hampir sekujur tubuh Guru Besar Liang San telah dicari dan ternyata tidak ditemukan di mana titik lemahnya, perlahan-lahan dada Baginda Ku Nang mulai dibayangi perasaan kecut dan gundah.
Walau sepasang matanya terpejam, tampaknya Guru Besar Liang San bisa membaca apa yang tengah melanda orang. Kesempatan inilah yang sesungguhnya ditunggu-tunggu. Karena begitu seseorang mulai resah, maka kewaspadaannya akan berkurang. Guru Besar Liang San mendadak putuskan tawanya. Saat yang sama, hampir tidak bisa dilihat dengan pandangan mata biasa, kedua tangan Guru Besar Liang San berkelebat! Walau Yang Mulia Baginda Ku Nang masih sempat gerakkan kedua tangan untuk menghadang, tapi kalah cepat dengan kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkkk!
Sosok Baginda Ku Nang terpental dengan mulut semburkan darah kehitaman. Hebatnya meski sosoknya melayang di udara dalam keadaan terluka dalam cukup parah, namun penguasa Tibet ini masih mampu membuat gerakan jungkir balik di udara lalu melayang turun dengan kaki terlebih dahulu. Hanya saja karena telah terluka cukup dalam, begitu kakinya menginjak tanah, sosoknya langsung goyah lalu jatuh terduduk!
Panglima Muda Lie sempat terkejut. Bukan karena melihat sosok sang Baginda yang terpental dan jatuh di atas tanah, melainkan mendapati sang Baginda masih bertahan meski terkena hantaman telak Guru Besar Liang San! Padahal sang Panglima mengharapkan sang Baginda langsung tewas!
***
EMPAT
PADA mulanya, Panglima Muda Lie memang dengan suka rela mengabdikan diri pada kerajaan. Hingga akhirnya laki-laki ini menjadi tangan kanan Baginda Ku Nang. Namun begitu melihat siapa saja yang muncul di puncak Bukit Toyongga dan tahu rahasia yang telah dilakukan sang Baginda, mendadak timbul niat dan harapan lain di benak Panglima Muda Lie.
“Ini kesempatan emas bagiku. Kalau dia tewas, akulah yang akan menggantikan kedudukannyal Aku akan menjadi raja penguasa tanah Tibet!” Panglima Muda Lie berkata dalam hati seraya memperhatikan sosok sang Baginda yang kini terduduk dengan mata terpejam dan tubuh bergetar keras. Tanda orang ini kerahkan tenaga untuk kuasai diri.
Sementara itu, mendapati apa yang terjadi pada sang Baginda, perempuan bercadar hitam tampak terkesiap kaget. Sepasang kakinya tersurut. Entah sadar atau tidak, dia perdengarkan desisan. “Heran... Seharusnya Panglima Muda Lie tidak diam begitu saja! Kalaupun dia tidak sempat menolong, seharusnya dia membantunya ketika tubuh sang Baginda melayang jatuh di udara!”
“Hem.... Suaramu menunjukkan kau mengkhawatirkan sang Baginda! Pasti kau punya hubungan dengan Baginda itu.... Setidaknya kau kenal baik dengannya...!” Dewa Cadas Pangeran yang duduk berdampingan dengan Dewa Asap Kayangan tidak jauh dari perempuan bercadar buka suara.
Perempuan bercadar kaget. Namun dia tidak berusaha palingkan kepala ke arah orang di sampingnya. Matanya tak berkesip terus memperhatikan silih berganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Panglima Muda Lie.
“Hem.... Kau menduga begitu?!” sambut Dewa Asap Kayangan. “Jika benar dan seandainya aku jadi perempuan bercadar hitam itu, aku akan lakukan satu hal!”
“Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.
“Aku akan cepat membantunya!”
“Mengapa begitu?!”
“Aku mencium bau tak enak. Bau sebuah pengkhianatan!”
Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Pengkhianatan itu sudah berlangsung. Mengapa kau baru merasakan baunya sekarang?!”
“Pengkhianatan yang satu memang telah terjadi. Tapi kali ini mungkin akan terjadi pengkhianatan lain....”
“Kau bisa menjelaskan lebih rinci?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.
Dewa Asap Kayangan gelengkan kepala. “Bukan penjelasan rinci yang harus didengarkan. Tapi tindakan cepat yang harus segera dilakukan!”
“Pembicaraan mereka membuat hatiku tidak enak...,” Perempuan bercadar hitam membatin. “Tindakan mereka aneh-aneh. Dan tampaknya dia bisa membaca sikap orang.... Jangan-jangan mereka tahu siapa diriku! Tapi.... Ah, apa peduliku?! Aku memang harus segera lakukan sesuatu untuk membantunya!”
Perempuan bercadar hitam melirik sesaat pada dua kakek di sampingnya, lalu membuat gerakan berkelebat ke arah Yang Mulia Baginda Ku Nang. Tapi baru saja sosok perempuan bercadar bergerak, di depan sana, Panglima Muda Lie sudah melesat ke arah sang Baginda dan langsung jongkok di hadapan penguasa tanah Tibet itu yang masih pejamkan mata kerahkan tenaga dalam.
Guru Besar Liang San yang tadi juga akan berkelebat susuli pukulannya segera urungkan niat. Di lain pihak, perempuan bercadar hitam juga batalkan kelebatan sambil menghela napas lega. Namun kelegaan perempuan bercadar hitam cuma sekejap. Di lain saat sepasang matanya mendelik. Dia coba berteriak, namun suaranya laksana tersumbat di tenggorokan. Sementara semua orang di tempat itu tak kalah kagetnya. Namun mereka tidak coba membuat gerakan.
Hanya Joko yang sempat berseru. “Tahan!” Hanya itu yang bisa dilakukan murid Pendeta Sinting, karena selain dirinya dihadang Hantu Bulan Emas, apa pun yang akan dilakukan tidak mungkin bisa membantu.
“Kau!” Itulah satu-satunya suara yang terdengar dari mulut Yang Mulia Baginda Ku Nang saat sepasang matanya terbuka demi merasakan ada seseorang yang di dekatnya. Sang Baginda sempat anggukkan kepala dan tersenyum melihat siapa yang ada di depannya. Tapi anggukan kepala sang Baginda terhenti seketika. Senyumnya pupus laksana disabet setan. Sepasang matanya membelalak memperhatikan tangan kanan orang kepercayaannya, Panglima Muda Lie, yang ayunkan sebilah pisau pendek berkilat ke arah dadanya!
"Bruusss!" Luka dalam yang diderita membuat Yang Mulia Baginda Ku Nang terlalu lamban untuk membuat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi pisau pendek di tangan Panglima Muda Lie leluasa menembus dadanya! Darah segar muncrat dan sebagian memerciki wajah Panglima Muda Lie. Sosok sang Baginda langsung terguling roboh dengan tangan menunjuk-nunjuk pada sang Panglima. Dia berusaha buka mulut. Namun meski mulutnya terbuka menganga, tidak ada suara yang terdengar. Malah saat lain tangannya terkulai dan nyawanya melayang!
Walau pada mulanya hanya menginginkan tewasnya Baginda Ku Nang agar bisa menggantikan kedudukannya sebagai Penguasa Tibet, namun begitu sang Baginda benar-benar tewas, kini bukan kedudukannya saja yang diincar, tapi juga gelang yang ada di balik pakaiannya, meski sang Panglima belum tahu persis mana yang asli dan mana yang palsu. Hingga hampir bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Baginda, Panglima Muda Lie segera melompat.
Tewasnya sang Baginda membuat Guru Besar Liang San sunggingkan senyum. Namun begitu melihat gelagat tidak baik dari gerakan Panglima Muda Lie, laki-laki berkepala gundul ini tidak berpangku tangan. Dia segera berkelebat pula. Namun gerakannya didahului oleh perempuan bercadar hitam yang tahu-tahu sudah tegak tidak jauh dari Panglima Muda Lie!
“Jahanam pengkhianat!” teriak perempuan bercadar hitam. Tangan kiri kanannya berkelebat menghantam.
Keserakahan membuat Panglima Muda Lie tidak hiraukan pukulan yang dilepas perempuan bercadar hitam. Laki-laki yang dulu pernah menjadi orang kepercayaan sang Baginda ini teruskan niat untuk mengambil gelang baja dari balik pakaian sang Baginda. Bersamaan dengan tergenggamnya gelang di tangan sang Panglima, dua hantaman perempuan bercadar hitam sampai.
Bukkk! Bukkkk!
Panglima Muda Lie berseru tertahan. Sosoknya terjungkal jatuh menyongsong tanah. Dia merasakan punggungnya laksana dihantam kayu besar hingga dadanya berdenyut sakit dan sukar bernapas. Namun sang Panglima tidak hendak lepaskan gelang yang telah berada di tangannya. Dia pegang erat-erat gelang itu lalu bergerak bangkit. Namun belum sampai tubuhnya benar-benar berdiri, satu bayangan berkelebat.
Dua tangan menyambar ganas perdengarkan deruan dahsyat, tanda hantaman kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam cukup tinggi. Panglima Muda Lie papasi kelebatan kedua tangan dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya memegang gelang baja. Hal ini membuat dia hanya bisa menghadang kelebatan satu tangan sementara kelebatan tangan lainnya tidak bisa dibendung.
"Bukkkk!" Panglima Muda Lie mencelat mental lalu terjengkang roboh dengan mulut mengembung dan semburkan darah. Laki-laki ini cepat palingkan kepala. Sejarak lima langkah, terlihat Guru Besar Liang San tegak dengan tersenyum dingin.
“Nyawamu di ujung tanduk! Membunuhmu semudah membalik telapak tangan! Tapi aku masih bermurah hati jika kau serahkan gelang itu secara baik-baik!” berkata Guru Besar Liang San yang baru saja membuat sosok sang Panglima terjengkang roboh dan muntahkan darah.
Panglima Muda Lie menyeringai. Tanpa buka suara, dia bergerak bangkit. Namun baru saja bergerak, sosoknya kembali jatuh! Dari mulutnya kembali muntahkan darah.
“Waktumu tidak banyak! Kau harus segera tentukan pilihan!” kembali Guru Besar Liang San angkat bicara.
Karena Panglima Muda Lie tidak memberi jawaban atau membuat tanda-tanda akan serahkan gelang baja di tangannya, Guru Besar Liang San habis kesabaran. Dia melangkah mendekati dengan pandangan garang.
“Nyawanya untukku!” Mendadak perempuan bercadar hitam berseru.
Perempuan ini segera pula melangkah ke arah Panglima Muda Lie. Tapi baru saja mendapat dua tindak, satu sosok tubuh melesat dan tegak membelakangi sang Panglima menghadap perempuan bercadar hitam.
“Mei Hua!” desis perempuan bercadar hitam.
Sosok yang tegak membelakangi sang Panglima bukan lain memang Mei Hua. Putri Panglima Muda Lie. Gadis cantik ini sebenarnya juga merasa terkejut dengan tindakan yang dilakukan ayahnya. Dia pada mulanya menduga kalau ayahnya akan membantu sang Baginda. Bukan membunuhnya. Dia juga sebenarnya tak suka dengan tindakan ayahnya. Namun sebagai anak, dia tidak akan tinggal diam melihat ayahnya dibunuh orang di depan matanya meski ayahnya telah melakukan perbuatan tidak terpuji.
“Mei Hua! Kau sadar apa yang kau lakukan?!” bertanya perempuan bercadar hitam.
Mei Hua terkesiap kaget. Bukan saja karena mendapati si perempuan bercadar hitam telah mengenali dirinya, namun telinganya terasa tidak asing dengan suara si perempuan bercadar hitam. “Aku kenal dengan suaranya! Tapi mungkinkah dia?!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu angkat suara. “Siapa kau sebenarnya?!”
“Saatnya nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang menyingkirlah!”
Mei Hua gelengkan kepala. “Ayahku memang telah bertindak tidak terpuji. Dia memang pantas mendapat hukuman! Tapi bukan kau yang harus melakukannya!”
“Di atas jagat raya ini, akulah satu-satunya orang yang paling berhak atas selembar nyawa ayahmu!”
Mei Hua tampak bimbang. “Jangan-jangan memang dia! Tapi bukan mustahil pula orang lain.... Suara bisa sama, namun wajah belum tentu tidak beda!”
“Apa hubunganmu dengan Baginda?!” bertanya Mei Hua.
“Belum saatnya kau tahu! Yang jelas akulah orang yang paling berhak memiliki selembar nyawa jahanam ayahmu!”
Walau merasa panas dengan ucapan perempuan bercadar hitam, namun Mei Hua masih menahan diri apalagi dia sadar ayahnya memang telah melakukan hal tidak baik. “Kau menginginkan gelang itu?!” Mei Hua coba alihkan perhatian orang. “Aku bisa mengambilkan untukmu!”
“Aku menginginkan nyawa keparat ayahmu! Menyingkirlah atau kau akan ikut tewas bersamanya!” Perempuan bercadar hitam membentak. Sepasang matanya berkilat merah.
Mei Hua geleng kepala. “Aku tahu siapa yang paling berhak atas hidup mati ayahku setelah kejadian ini! Aku akan membawanya menghadap orang itu! Dan aku tidak akan menghalangi apa yang akan dilakukannya!”
“Setan! Telingamu telah dengar! Akulah orang yang paling berhak!”
Selagi kedua orang ini berdebat, Guru Besar Liang San mendengarkan beberapa lama. Saat lain dia teruskan langkah mendekati Panglima Muda Lie.
“Guru Besar Liang San! Tetap di tempatmu! Setelah kuselesaikan urusan nyawa dengan panglima jahanam itu, tiba giliranmu untuk selesaikan urusan denganku!” Perempuan bercadar hitam membentak garang.
“Aku tak punya urusan denganmu! Juga dengan nyawa Panglima itu! Urusanku adalah gelang di tangannya!” kata Guru Besar Liang San tanpa memandang pada perempuan bercadar hitam.
“Kau salah besar, Guru Besar! Kau punya urusan denganku yang harus diselesaikan sekarang juga! Untuk itulah kau harus menunggu tiba gilirannya!”
“Hem.... Tampaknya kau menginginkan gelang itu pula!” desis Guru Besar Liang San.
Perempuan bercadar hitam gelengkan kepala. “Gelang itu tidak berarti apa-apa bagiku! Kaulah yang
memulai meski jahanam Panglima itu yang mengakhiri!”
Ucapan perempuan bercadar hitam membuat Mei Hua berdebar tidak enak. Dia memperhatikan cadar hitam yang menutupi wajah perempuan di hadapannya seolah tembusi kain cadar itu agar bisa meyakinkan dugaannya. Perempuan bercadar hitam memandang silih berganti pada Mei Hua dan Guru Besar Liang San. Terakhir kali matanya menumbuk pada sosok Panglima Muda Lie. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah. Mei Hua segera palangkan tangannya. Lalu berkata.
“Aku tidak akan membiarkanmu melangkah sebelum kau jelaskan siapa dirimu sebenarnya!”
“Sebelum kuturuti kemauanmu, aku ingin tanya. Kau tidak akan ingkari ucapanmu untuk menyerahkan nyawa ayahmu pada orang yang paling berhak?!” bertanya perempuan bercadar hitam.
Meski terasa berat, akhirnya Mei Hua anggukkan kepala. Sementara Panglima Muda Lie merasakan kuduknya dingin. Dia tahu sifat putrinya yang selalu teguh memegang janji dan berani menghadang kesulitan jika yang dibela adalah kebenaran.
“Bagus! Aku akan turuti permintaanmu!” kata perempuan bercadar hitam. Kedua tangannya diangkat ke atas.
Semua orang di puncak Bukit Toyongga terdiam. Puncak bukit itu disentak kesunyian bercampur ketegangan. Semua mata tertuju pada kedua tangan perempuan bercadar hitam.
"Bretttt!" Sekali kedua tangan perempuan bercadar hitam bergerak, cadar penutup wajahnya robek lepas!
***
LIMA
SIAO Ling Ling!” desis Mei Hua mengenali wajah perempuan yang tadi tertutup cadar hitam. “Dugaanku tidak jauh meleset! Sekarang apa yang harus kulakukan?! Apakah aku harus serahkan ayah padanya?! Tapi....”
“Mei Hua! Sekarang kau sudah tahu. Menyingkirlah!” bentak perempuan yang tadi wajahnya tertutup cadar hitam dan ternyata tidak lain adalah Siao Ling Ling. Putri Yang Mulia Baginda Ku Nang!
Mei Hua menghela napas panjang. Dadanya dibuncah dengan berbagai perasaan. Di satu sisi dia terpanggil untuk menyerahkan ayahnya karena Panglima Muda Lie telah melakukan kesalahan besar. Namun di sisi lain, bagaimanapun juga besarnya kesalahan yang dilakukan si ayah, sebagai anak dia masih tidak tega.
“Woww.... Kau pandai juga memilih!” Tiba-tiba terdengar orang bersuara. Yang berucap ternyata Dewa Cadas Pangeran.
“Hem.... Tampaknya kau baru tahu, Sahabatku!” sambut Dewa Asap Kayangan. “Sekilas pandang, jika urusan perempuan aku tidak akan terkecoh meski wajahnya tertutup seribu kain cadar! Bahkan bukan itu saja. Selain aku pandai memilih, pilihanku pasti bukan orang sembarangan!”
“Maksudmu...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.
“Kau tidak kenal dengan perempuan yang tadi wajahnya tertutup cadar dan ternyata adalah gadis berparas aduhai itu?!”
Batu putih yang ada di depan wajah Dewa Cadas Pangeran dan selalu menutupi dari pandangan orang itu bergerak-gerak tanda kepala di belakangnya bergerak menggeleng. “Bagaimana aku kenal dengan gadis muda dan aduhai macam dia?! Siapa dia?!”
“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku.... Gadis itu bukan hanya cantik jelita, tapi dia juga adalah putri Yang Mulia Baginda Ku Nang....”
Hanya Dewa Cadas Pangeran dan Pendekar 131 yang tampak terlengak mendengar jawaban Dewa Asap Kayangan. Karena semua orang di tempat itu memang sudah tahu siapa sebenarnya Siao Ling Ling.
“Astaga! Benarkah ucapan Kakek itu...?!” desis murid Pendeta Sinting.
“Kau jangan mengada-ada!” Dewa Cadas Pangeran berseru seakan tidak percaya dengan keterangan Dewa Asap Kayangan.
“Ini bukan urusan main-main! Mana mungkin aku berani mengada-ada mengarang cerita?!” sahut Dewa Asap Kayangan.
Di depan sana, Siao Ling Ling berpaling pada Guru Besar Liang San dan berkata lantang. “Guru Besar Liang San! Kau yang memberi jalan atas kematian ayahku! Terserah kau katakan antara kita ada urusan atau tidak. Yang pasti kau pantas menerima imbalan atas tindakanmu!”
“Ayahmu berkhianat!” kata Guru Besar Liang San.
“Urusan ini tidak ada hubungannya dengan khianat atau tidak! Yang jelas kau ikut andil atas kematian ayahku!”
“Hem.... Jadi dia benar-benar putri Baginda.... Jadi inikah jawabannya mengapa Mei Hua dan Siao Ling Ling tidak mau bicara di depanku saat bertemu tempo hari...?!” Pendekar 131 jadi ingat akan pertemuannya dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling pada beberapa hari yang lalu, di mana kedua gadis itu tidak mau bicara di hadapan Joko. Sebaliknya mereka memilih tempat lain.
Siao Ling Ling arahkan pandang matanya pada sosok mayat sang Baginda. Dia coba bertahan meski kakinya sudah tidak sabar untuk melompat dan memeluk mayat ayahandanya. Dan melihat bagaimana sosok ayahandanya, hawa kemarahan gadis ini memuncak. Laksana terbang dia segera berkelebat melewati sosok Mei Hua dan tegak dua langkah di samping Panglima Muda Lie.
Mei Hua cepat balikkan tubuh. Dia memang membiarkan Siao Ling Ling berkelebat melewatinya karena saat itu dia tengah dirundung kegalauan untuk menentukan sikap. Namun begitu Siao Ling Ling lewat, dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan Siao Ling Ling melakukan tindakan pembalasan atas kematian ayahnya.
Di pihak lain, Guru Besar Liang San tidak tinggal diam begitu saja melihat tindakan Siao Ling Ling. Dia masih menduga kalau si gadis ingin juga memiliki gelang baja di tangan Panglima Muda Lie. Hingga begitu Siao Ling Ling berkelebat, laki-laki berkepala gundul ini ikut pula berkelebat dan tegak tidak jauh dari sosok sang Panglima yang sudah tegang kaku karena ketakutan. Tampaknya Pendekar 131 menangkap gelagat apa yang hendak dilakukan Guru Besar Liang San. Apalagi Joko merasa yakin, gelang yang kini di tangan sang Panglima adalah yang asli. Maka dia segera ikut melesat ke arah sang Panglima.
Tapi Hantu Bulan Emas yang yakin gelang dan kantong di tangan Joko adalah yang asli, tidak membiarkan Joko berlalu. Sebelum Joko sempat bergerak lebih jauh, dia cepat melompat dan tegak menghadang. “Kau boleh mengambil gelang di tangan Panglima itu! Tapi serahkan dulu gelang dan kantong yang ada di tanganmu padaku!” Hantu Bulan Emas bukan hanya berkata. Bersamaan dengan terdengarnya ucapan, sosoknya melompat lalu tangannya lepas pukulan!
"Wuuttt! Wuuuutt!" Pendekar 131 rasakan sambaran angin keras mengarah pada kepala dan dadanya.
Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dia cepat papasi hantaman tangan bertenaga dalam tinggi itu dengan angkat kedua tangannya.
"Bukkk! Bukkkk!" Hantu Bulan Emas tersurut dua tindak dengan sosok bergoyang-goyang. Lengan tangannya terasa ngilu. Paras wajahnya berubah. Di hadapannya, Pendekar 131 mundur satu langkah. Dia meringis kesakitan seraya kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kedua tangan Hantu Bulan Emas.
“Aku harus segera selesaikan anak ini! Jika tidak, bukan tak mungkin ada orang yang mengambil keuntungan!”
Membatin begitu, Hantu Bulan Emas segera tekuk kedua kakinya. Sosoknya melorot jatuh dan langsung membuat sikap duduk bersila dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Kepalanya ditengadahkan menatap rembulan. Mulutnya berkemik. Tiba-tiba dari tato bergambar bulan sabit yang berada di tengah kedua alis mata Hantu Bulan Emas pancarkan sinar terang bercahaya. Kejap lain sekujur tubuhnya pun ikut bercahaya. Hebatnya cahaya itu membentuk garis lurus mengarah pada sinar rembulan di hamparan langit sana!
“Jurus ke delapan dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’!” teriak Dewa Asap Kayangan.
“Astaga! Guru benar-benar hendak membunuhnya!” desis Bidadari Bulan Emas. Parasnya gelisah dan bimbang. “Mungkinkah Pendekar 131 mampu bertahan dari jurus tertinggi pukulan ‘Delapan Gerbang Rembulan’?!” Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memperhatikan Joko. “Guru tidak boleh membunuhnya! Aku harus lakukan sesuatu!”
Ternyata bukan hanya Bidadari Bulan Emas yang resah. Raut wajah Dewi Bunga Asmara juga berubah. Kekhawatiran jelas membayang. Diam-diam gadis cantik murid Ratu Selendang Asmara ini juga kerahkan segenap tenaga dalamnya. Dia bertekad akan membantu Joko meski Ratu Selendang Asmara akan marah besar.
Joko sendiri tampak terkejut. Sementara cahaya yang lurus ke arah sinar rembulan dari tubuh Hantu Bulan Emas makin lama makin terang dan bertambah besar. “Sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Aku melihat satu cahaya terang. Siapa gerangan yang membawa obor ke tempat ini?!” Dewa Cadas Pangeran bertanya. Batu putih di depan wajahnya bergerak ke atas tanda kepalanya tengadah.
“Hem.... Kau kira itu cahaya obor?! Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku.... Itulah cahaya bias pukulan tingkat tertinggi ‘Delapan Gerbang Rembulan’!”
“Celaka!” Dewa Cadas Pangeran terkesiap. “Kudengar hanya ada satu pukulan yang mampu membendungnya.... Dan kudengar pula, hanya ada satu manusia pula yang memiliki pukulan itu....”
“Pasangan rembulan adalah matahari.... Benar atau tidaknya, hanya itu yang kuketahui!” sambut Dewa Asap Kayangan.
“Hem.... Ucapan mereka sepertinya memberi isyarat padaku.... Jadi aku harus menghadapinya dengan pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’ yang telah diajarkan Bu Beng La Ma.” Joko membatin. Lalu buru-buru duduk bersila dengan kedua tangan disatukan. Kedua jari telunjuk dan ibu jari dibuka lalu ditemukan satu sama lain membentuk bundaran. Tiba-tiba dari bundaran tangan murid Pendeta Sinting berkiblat satu cahaya putih berkilau membentuk bundaran.
“Ada apa lagi ini?!” Dewa Cadas Pangeran kembali ajukan tanya.
“Yang kudengar, ini adalah bias pukulan tingkat tertinggi dari ‘Sembilan Gerbang Matahari’....” Dewa Asap Kayangan menyahut.
Semua orang di tempat itu jadi tercekat kaget. Malah Mei Hua, Siao Ling Ling sempat palingkan kepala. Mereka yang berada di puncak bukit sama menduga ada hubungan apa antara Pendekar 131 dengan Bu Beng La Ma. Karena selama ini mereka tahu, hanya Bu Beng La Ma yang memiliki pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’. Namun yang paling tampak terkejut adalah Bidadari Bulan Emas. Kalau tadi dia mencemaskan keselamatan Pendekar 131, kini berbalik mengkhawatirkan keselamatan gurunya.
“Mampukah pukulan ‘Delapan Gerbang Rembulan’ menghadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’? Selama ini yang dicemaskan Guru adalah jika menghadapi pukulan ‘Sembilan Gerbang Matahari’.... Apa sebaiknya yang kulakukan?! Di satu sisi aku tidak ingin Pendekar 131 terluka. Di pihak lain, aku juga tak mengharapkan Guru terancam keselamatannya.... Mengapa ini harus terjadi?! Seandainya Guru mau turuti ucapanku, bentrok ini mungkin bisa dihindarkan!”
Selagi Bidadari Bulan Emas tercekat tegang melihat apa yang ada di hadapannya, mendadak Ratu Selendang Asmara melesat ke arah Bayangan Tanpa Wajah yang sedari tadi hanya diam terpaku melihat apa yang terjadi di puncak bukit.
“Kau yakin yang ada di tangan pemuda itu adalah benda yang asli?!” Ratu Selendang Asmara langsung ajukan tanya dengan suara ditekan.
“Aku tak bisa memastikan! Kalau benar di tangan pemuda itu yang asli, mengapa Guru Besar Liang San masih tertarik dengan gelang yang kini ada di tangan Panglima Muda Lie?! Dan kalau yang di tangan pemuda itu bukan yang asli, mengapa Hantu Bulan Emas bersedia pertaruhkan nyawa?! Aku tidak menduga kalau akan begini jadinya!”
“Kau harus cepat tentukan pilihan!” Ratu Selendang Asmara berkata lagi.
“Maksudmu?!”
“Kita yang bersusah payah mengatur pertemuan di tempat ini. Kita harus mendapatkan imbalan atas jerih payah kita! Kau harus menentukan mana menurutmu yang asli. Lalu kita rebut bersama-sama!”
Bayangan Tanpa Wajah berpikir sesaat. Lalu berbisik. “Aku menduga yang asli di tangan pemuda asing itu!”
“Mengapa kau menduga begitu?!”
“Kau lihat dan kau dengar ucapan Dewa Asap Kayangan tadi. Kukira dia benar! Pemuda asing itu menitipkan kantongnya pada Dewa Asap Kayangan. Sementara aku lebih percaya pada Dewa Cadas Pangeran daripada terhadap Baginda Ku Nang...!”
“Bagaimana dengan kantong yang ada di tangan Hantu Pesolek?!” tanya si nenek.
“Dia tadi telah tunjukkan bahwa kantong pertamanya adalah palsu! Ini satu petunjuk kalau dia tidak bisa dipercaya! Dan mungkin sekali dia memiliki beberapa kantong dan pasti semuanya juga palsu!”
“Hem.... Kalau begitu, ini kesempatan baik bagi kita!”
“Kesempatan baik bagaimana?!”
“Kau lihat pemuda itu tengah persiapkan pukulan yang kalau tak salah adalah pukulan tingkat tertinggi ‘Sembilan Gerbang Matahari’ untuk menghadapi pukulan ‘Delapan Gerbang Rembulan’ milik Hantu Bulan Emas. Akibat bentrok itu mungkin akan sangat hebat. Saat itulah kita harus segera bertindak mengambil gelang dan kantong itu!”
Bayangan Tanpa Wajah sapukan pandangannya berkeliling. “Dua gadis cantik itu mungkin masih terlena dengan urusan mereka. Demikian juga dengan Guru Besar Liang San...,” bisik Bayangan Tanpa Wajah seraya arahkan pandangannya pada Mei Hua, Siao Ling Ling, dan Guru Besar Liang San. “Sementara Bidadari Bulan Emas mungkin akan repot membantu gurunya! Sekarang kita hanya perlu menghadang Hantu Pesolek! Apakah muridmu mampu membendung gerakan Hantu Pesolek jika bentrok itu telah terjadi?! Sebab hanya dia satu-satunya yang berdiri bebas. Bukan mustahil hantu berdandan itu tengah menunggu kesempatan pula untuk mengambil gelang dan kantong dari tangan pemuda asing itu!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. “Bang Sun Giok memang tidak akan mampu berhadapan dengan Hantu Pesolek. Tapi kalau cuma menghadang, kurasa dia tidak akan menemui kesulitan...!”
“Hem.... Bagus! Sekarang kau perintahkan muridmu untuk bersiap-siap. Dan begitu bentrok terjadi, kita segera bertindak!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepalanya sekali lagi. Dia segera berkelebat ke arah muridnya, Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara. Namun mendadak si nenek urungkan niatnya tatkala tiba-tiba sepasang matanya melihat pada sosok Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan yang sama duduk berdampingan di seberang sana.
“Bagaimana dengan kedua orang itu?!” Ratu Selendang Asmara bertanya.
“Kau tak usah khawatirkan mereka. Mereka tidak tertarik dengan gelang dan kantong itu!”
Sebenarnya Ratu Selendang Asmara tidak setuju dengan jawaban Bayangan Tanpa Wajah. Namun karena khawatir bentrok antara Pendekar 131 dan Hantu Bulan Emas akan segera terjadi, dia buru-buru melompat ke arah Dewi Bunga Asmara. “Dengar, Giok! Begitu bentrok terjadi, kau harus segera menghadang gerakan Hantu Pesolek!”
Dewi Bunga Asmara kernyitkan dahi. “Mengapa begitu?!”
“Kau tak usah banyak tanya! Yang jelas Hantu Pesolek menunggu kesempatan. Kau harus bisa mengalihkan perhatiannya!”
“Guru sendiri?!” tanya Dewi Bunga Asmara ingin tahu apa yang baru dibicarakan gurunya dengan Bayangan Tanpa Wajah.
“Kau hanya perlu lakukan ucapanku! Aku tahu apa yang harus kulakukan!”
“Bagaimana ini?! Padahal aku sudah siap membantu pemuda itu dan siap pula menerima risiko jika Guru tumpahkan marahnya padaku!” Dewi Bunga Asmara membatin.
“Aku perlu ketegasanmu, Giok!” Ratu Selendang Asmara membentak karena diliriknya si murid tampak gelisah dan bimbang.
Setelah berpikir sesaat, Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala dan berkata. “Aku akan lakukan perintahmu!”
“Bagus! Tapi ingat. Kau hanya perlu menghadang gerakannya untuk mengalihkan perhatian! Jangan sekali-kali kau gegabah meneruskan hadangan dengan lepaskan pukulan!”
Baru saja Ratu Selendang Asmara berucap begitu, mendadak puncak Bukit Toyongga bergetar keras. Semua kepala berpaling pada Hantu Bulan Emas dan Pendekar 131. Saat itu Hantu Bulan Emas telah luruskan kepalanya menghadap murid Pendeta Sinting. Sepasang matanya mendelik besar. Sosoknya laksana lenyap ditelan cahaya. Di lain pihak, pancaran cahaya putih yang terpencar dari bundaran kedua tangan Joko makin besar dan tebarkan hawa panas luar biasa.
Mendadak Hantu Bulan Emas perdengarkan bentakan keras menggelegar. Saat lain kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas melesat gelombang cahaya kekuningan seperti cahaya bulan purnama. Terdengar suara bergemuruh dahsyat. Getaran di puncak bukit makin keras. Tanah yang terlewati cahaya langsung muncrat semburat dan membentuk kubangan parit!
Pendekar 131 segera pula dorong kedua tangannya. Satu gelombang cahaya putih berkilau langsung berkiblat. Tanah yang terlewati rengkah dan berubah menjadi hitam laksana tanah dipanggang bara! Deruan hebat mengguncang, hingga puncak Bukit Toyongga seperti dilanda gempa dahsyat. Cahaya kekuningan dan cahaya putih bertemu di udara.
Anehnya tidak terdengar suara ledakan. Namun baik sosok Hantu Bulan Emas maupun sosok Pendekar 131 tampak berguncang-guncang. Hantu Bulan Emas lipat gandakan tenaga dorongnya. Cahaya putih terdorong ke belakang oleh cahaya kekuningan. Dan kini kedua cahaya itu menggebrak ke arah murid Pendeta Sinting!
Joko cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kembali mendorong kedua tangannya. Lesatan dua cahaya terhenti. Bahkan saat lain dua cahaya itu kini melesat cepat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun begitu Hantu Bulan Emas tambah tenaga dorongannya dua cahaya itu berbalik lagi. Untuk beberapa saat terjadi saling dorong hingga dua cahaya itu terus bergerak.
Hal ini membuat tanah di puncak bukit porak-poranda dan bertaburan semburat serta berubah warna menjadi hitam kelam. Sosok Hantu Bulan Emas dan Pendekar 131 telah basah kuyup dan bergetar keras. Malah kejap lain sosok keduanya terangkat ke udara! Namun begitu sosok mereka terangkat, mendadak sosok Hantu Bulan Emas terdorong keras ke belakang!
***
ENAM
"Blammm!" Ledakan keras terdengar. Dua gelombang cahaya putih dan kekuningan melesat muncrat ke angkasa tebarkan pijaran-pijaran. Lamping puncak Bukit Toyongga longsor di beberapa bagian. Beberapa jajaran pohon yang berada tidak jauh dari lamping bukit perdengarkan derakan lalu tumbang karena tanahnya terjungkat. Saat lain terdengar beberapa seruan tegang dan tertahan.
Sosok Hantu Bulan Emas terdorong makin deras ke belakang sebelum akhirnya jatuh terjerembab. Pakaian yang dikenakan hangus terbakar. Cahaya yang tadi memancar dari tubuhnya langsung redup. Parasnya pucat pasi. Saat lain dari mulutnya semburkan darah. Namun guru Bidadari Bulan Emas ini berusaha segera bangkit. Walau berhasil, tapi cuma sekejap. Kejap lain sosoknya kembali melorot jatuh dengan mulut mengembung dan untuk kedua kalinya memuntahkan darah. Ini jelas menunjukkan kalau dia terluka dalam cukup parah!
Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting tersentak ke belakang sebelum akhirnya jatuh terjengkang dan perlahan-lahan dari sudut bibirnya lelehkan darah. Dia merasakan dadanya sulit dibuat bernapas dan kedua tangannya tegang kaku. Saat itulah tiba-tiba Ratu Selendang Asmara berkelebat ke arah Pendekar 131. Namun tampaknya si nenek tidak menduga jika Hantu Pesolek yang sudah bisa membaca gelagat bergerak mendahului. Pemuda berkebaya ini melesat ke depan. Bukan ke arah Pendekar 131 yang baru saja jatuh terjengkang, melainkan ke arah Ratu Selendang Asmara!
Gerakan Hantu Pesolek membuat Dewi Bunga Asmara urungkan niat untuk lakukan penghadangan. Hingga akhirnya dia hanya tegak menunggu dengan mata cemas pada sosok Pendekar 131. Kalau saja dia tidak ingat akan ucapan Ratu Selendang Asmara, dia pasti sudah terbang melompat ke arah Joko. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak terlengak. Tapi dia tak mau membuang waktu. Hingga begitu melihat Hantu Pesolek melesat ke arahnya, si nenek langsung menyongsong seraya lepaskan pukulan.
Hantu Pesolek sambuti pukulan si nenek dengan hantamkan pula kedua tangannya. Bukan hanya sampai di situ. Begitu kedua tangannya berkelebat, masih melayang di atas udara, kedua kakinya menggebrak lepaskan tendangan! Ratu Selendang Asmara tak tinggal diam. Begitu kedua tangannya hampir berbenturan dengan tangan Hantu Pesolek, kedua kakinya langsung dihantamkan memapasi tendangan lawan.
Bukkkk! Bukkkkk!
Bukkkk! Bukkkkk!
Sosok Ratu Selendang Asmara terpental di udara lalu melayang deras ke bawah dengan mulut perdengarkan seruan tegang. Tapi setengah depa lagi sosoknya jatuh menghantam tanah, mendadak tangan kanan si nenek bergerak. Terdengar deruan dahsyat, lalu tampak benda hitam berkelebat di udara.
Saat yang sama tiba-tiba gerakan tubuh si nenek membal balik ke udara! Lalu tegak dengan kedua tangan berkacak pinggang sementara kakinya berpijak pada sebuah selendang hitam yang kini berubah kaku laksana papan kayu! Sepa-sang matanya berkilat merah membelalak mengawasi gerakan Hantu Pesolek dengan seringai garang.
Di pihak lain, meski sebelumnya telah mengatur rencana dengan Ratu Selendang Asmara, namun begitu bentrok terjadi, ternyata Bayangan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan apa-apa! Ratu Selendang Asmara tidak sadar jika Bayangan Tanpa Wajah sebenarnya hanya berpura-pura untuk setuju usul si nenek. Dan diam-diam dalam hati dia berkata.
“Aku tidak akan berlaku bodoh untuk ikut-ikutan bentrok! Aku akan menunggu sampai semua orang terluka!”
Karena sudah punya rencana sendiri itulah, Bayangan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan saat terjadinya bentrok antara Hantu Bulan Emas dengan Pendekar 131. Malah dia sunggingkan senyum ketika mendapati Hantu Pesolek berkelebat ke arah Ratu Selendang Asmara dan akhirnya terlibat saling lepaskan pukulan.
Ratu Selendang Asmara sendiri sempat melirik ke arah Bayangan Tanpa Wajah dari atas selendang hitamnya di mana dia kini tegak berdiri. Namun sejauh ini si nenek masih juga belum bisa membaca apa yang direncanakan Bayangan Tanpa Wajah. Si nenek masih menduga jika tidak bergeraknya Bayangan Tanpa Wajah karena keburu didahului oleh gerakan Hantu Pesolek.
Sementara itu Hantu Pesolek tampak tegak di atas tanah dengan wajah pias. Tapi tokoh yang wajahnya masih sangat muda dan tampan meski usianya sudah hampir delapan puluh tahun ini cepat kuasai diri. Saat lain sosoknya melesat ke udara. Tangan kiri kanannya bergerak menghantam ke arah selendang hitam yang dibuat pijakan Ratu Selendang Asmara. Ratu Selendang Asmara tersenyum dingin. Kedua kakinya segera dihentakkan ke arah selendang yang dipijaknya.
"Wuuttt!" Selendang hitam berkelebat menyambar ganas menyergap ke arah sosok Hantu Pesolek. Hantu Pesolek terkesiap. Lesatan tubuhnya laksana ditahan kekuatan gelombang dahsyat. Hingga saat lain tubuhnya terdorong ke bawah! Ratu Selendang Asmara membuat gerakan jungkir balik di udara. Tangan kanannya kembali berkelebat. Selendang hitam di tangan kanannya menderu ganas mengejar Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek tidak mau berlaku sembrono. Dia hantamkan kedua tangannya ke arah selendang lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, lalu melesat ke samping. Selendang hitam milik si nenek berkelebat mental. Namun sekali Ratu Selendang Asmara sentakkan tangan kanan, selendang hitam sudah menyambar lagi ke arah mana Hantu Pesolek berkelebat menghindar!
“Hem.... Tampaknya aku tidak punya kesempatan untuk lepaskan pukulan kalau selendang jahanam itu masih berada di tangannya! Aku harus dapat melumpuhkan si penggerak selendang itu!” Hantu Pesolek berpikir. Lalu berkelebat ke sana kemari hingga sosoknya laksana bayang-bayang.
Ratu Selendang Asmara tidak berdiam diri. Begitu mendapati Hantu Pesolek melesat menghindari kelebatan selendangnya, nenek ini gerakkan tangan kanannya kian kemari. Hingga selendang hitamnya juga berkelebat. Bukan saja perdengarkan deruan dan gelombang yang sanggup membuat mental apa saja yang menghadang, namun selendang itu juga laksana lenyap dan hanya merupakan bayang-bayang hitam.
Hebatnya, selendang itu laksana punya mata. Hingga terus mengejar ke mana sosok Hantu Pesolek berkelebat. Sementara sosok Ratu Selendang Asmara terus berputar-putar di atas udara. Pada satu kesempatan, mendadak Hantu Pesolek hantamkan kedua tangannya menghadang gelombang dan kelebatkan selendang.
"Wuutt! Wuuuutt!" Selendang hitam menderu mental ke udara. Namun saat lain telah menyambar lagi ketika tangan kanan Ratu Selendang Asmara bergerak.
Saat selendang hitam mental tersapu gelombang yang datang dari kedua tangan Hantu Pesolek, tokoh yang mengenakan kebaya ini langsung berkelebat ke udara.
"Bukkk!" Hantu Pesolek menghantam tangan kanan Ratu Selendang Asmara. Si nenek berseru tertahan. Selendang hitam berkelebat menderu akibat sentakan tangan si nenek yang terhantam. Hantu Pesolek tidak membuang kesempatan. Selagi Ratu Selendang Asmara berpaling, Hantu Pesolek hantamkan kaki kanannya seraya membuat gerakan jungkir balik. Karena tidak menduga, terlambat bagi Ratu Selendang Asmara untuk menghadang tendangan kaki Hantu Pesolek yang mengarah pada pergelangan tangan kanannya.
"Bukkkk!" Untuk kedua kalinya Ratu Selendang Asmara perdengarkan seruan tegang. Selendang hitamnya terlepas. Lalu melayang deras di udara. Sebelum Ratu Selendang Asmara sempat membuat gerakan untuk berkelebat menyambar selendangnya, Hantu Pesolek telah hantamkan kedua tangannya ke arah selendang si nenek.
Selendang hitam Ratu Selendang Asmara menderu keras lalu tersapu amblas ke bawah bukit. Si nenek berteriak marah. Dia batalkan niat untuk mengejar selendangnya. Sebaliknya belokkan arah menuju sosok Hantu Pesolek yang melayang turun. Kedua tangannya langsung bergerak lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi. Dua gelombang hitam melesat lalu membesar dan menggebrak ke arah Hantu Pesolek. Hantu Pesolek memandang sekilas pada gelombang yang mengarah padanya. Dan begitu sepasang kakinya menginjak tanah, orang ini langsung membuat gerakan bergulingan. Saat lain kedua tangannya mendorong ke atas.
"Bummmm!" Gelombang yang berhasil dihindari Hantu Pesolek menghantam tanah perdengarkan ledakan keras. Bersamaan itu terdengar deruan dahsyat. Satu gelombang luar biasa besar menggebrak lurus ke arah Ratu Selendang Asmara. Walau berhasil berkelit dari gelombang pukulan Hantu Pesolek, namun sambaran gelombang itu masih mampu membuat sosok Ratu Selendang Asmara terpelanting jungkir balik di atas udara dan akhirnya melayang ke bawah tanpa bisa membuat gerakan lagi.
"Bukkkk!" Sosok Ratu Selendang Asmara jatuh menghantam tanah. Belum sempat dia bergerak bangkit, mendadak satu tendangan telah menggebrak di depan hidungnya!
"Bukkk!" Ratu Selendang Asmara menjerit. Dadanya laksana dibongkar batangan kayu besar hingga bukan saja membuat sosoknya terpental, namun mulutnya juga muntahkan darah!
Dewi Bunga Asmara sempat terkesiap. Sejak tadi dia sebenarnya ingin segera membantu. Namun karena gerakan Ratu Selendang Asmara dan Hantu Pesolek begitu cepat, gadis cantik ini menunggu kesempatan sampai dapat ruang. Karena dia sendiri khawatir akan salah jatuhkan tangan. Dan begitu mendapati gurunya terjengkang roboh dengan mulut semburkan darah, Dewi Bunga Asmara buru-buru melesat.
Tapi Hantu Pesolek tak mau buang kesempatan. Kedua tangannya bergerak. Tangan kiri menghantam ke arah Dewi Bunga Asmara, sementara tangan kanan lepas pukulan ke arah Ratu Selendang Asmara. Gerakan tubuh Dewi Bunga Asmara terhenti. Saat lain gadis ini putar tubuh lalu hantamkan kedua tangannya.
Terdengar letupan. Sosok Dewi Bunga Asmara tersentak mundur beberapa tindak. Wajahnya berubah. Kedua tangannya bergetar. Sementara di seberang sana, Hantu Pesolek tetap tegak tak bergeming. Malah sunggingkan senyum tatkala melihat gelombang pukulannya yang mengarah pada Ratu Selendang Asmara tidak lagi mendapat hadangan si nenek karena nenek ini sudah terluka cukup parah. Hingga meski sekalipun dia membuat gerakan menghadang pukulan, hal itu tidak akan membantu banyak. Dan tentu gerakannya sudah sangat terlambat.
"Wuusss!" Untuk kesekian kalinya sosok Ratu Selendang Asmara mencelat mental. Namun kali ini disertai lengkingan tinggi dan tiba-tiba terputus laksana dirobek tangan setan. Saat lain sosoknya melayang lunglai ke bawah dengan teteskan darah! Jeritan terputus Ratu Selendang Asmara membuat Dewi Bunga Asmara batalkan niatnya yang hendak lepaskan pukulan ke arah Hantu Pesolek. Dia cepat putar diri lalu berkelebat menyongsong sosok gurunya.
“Guru...!” Dewi Bunga Asmara berteriak tinggi tatkala meletakkan sosok gurunya di atas tanah dan mendapati nyawanya sudah melayang!
Kemarahan Dewi Bunga Asmara tak bisa ditahan lagi. Kematian gurunya membuat dia lupa akan siapa yang tengah dihadapi. Dia nekat hendak berjibaku dengan Hantu Pesolek untuk membayar nyawa gurunya. Hingga gadis muda ini langsung beranjak bangkit dengan kedua tangan terangkat ke atas siap lepas pukulan.
“Nyawamu terlarang buat setan sekalipun!” teriak Dewi Bunga Asmara. Kedua tangannya berkelebat lepaskan pukulan.
Hantu Pesolek tersenyum. Pemuda berkebaya ini bukannya menghadang gelombang pukulan Dewi Bunga Asmara, sebaliknya berkelebat menyongsong Setengah jalan, baru kedua tangannya bergerak! Dari gelombang yang menggebrak dari tangan masing-masing orang, sudah bisa ditebak jika Dewi Bunga Asmara tidak akan bisa membendung bias bentroknya pukulan.
“Aku sudah kehilangan perempuan yang kupilih.... Aku tak mau kehilangan muridnya juga! Siapa tahu muridnya mau menggantikan gurunya!” Mendadak terdengar orang bersuara. Lalu dari arah mana Dewa Cadas Pangeran berada terlihat satu gelombang menderu ke arah gelombang yang baru saja menggebrak dari kedua tangan Hantu Pesolek.
"Blammm!" Sosok Hantu Pesolek tersentak mundur dua langkah. Sementara sosok Dewi Bunga Asmara langsung terguling roboh.
“Jahanam! Ada tangan yang ikut campur!” sentak Hantu Pesolek. Sosoknya langsung berputar menghadap Dewa Cadas Pangeran yang masih duduk dengan pundak bergerak-gerak. Sementara batu putih di depan wajahnya berguncang keras!
***
TUJUH
HANTU Pesolek sudah tahu siapa gerangan yang menghadang pukulannya. Dia sudah siapkan pukulan. Namun begitu ekor matanya menangkap sosok Pendekar 131 yang sudah bangkit, pemuda berkebaya ini urungkan niat. Dia sentakkan tubuhnya berputar menghadap murid Pendeta Sinting. Saat lain sosoknya melesat. Meski masih merasakan kepalanya berkunang-kunang dan dadanya berdenyut nyeri serta anggota tubuhnya tegang kaku, Joko cepat membuat gerakan berkelebat.
Joko tidak berusaha untuk menghadang Hantu Pesolek dengan menyongsong kelebatannya, karena dia sudah pernah mengalami dan akibatnya fatal. Kantong putih berisi peta wasiat pemberian Guru Besar Pu Yi lenyap diambil Hantu Pesolek. Maka kali ini dia tidak mau mengulangi kesalahannya.
Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting berkelebat menyingkir. Hantu Pesolek melesat mengejar ke mana Joko menghindar. Joko tidak menunggu sampai tubuh Hantu Pesolek mendekat dan beradu tangan. Begitu masih sepuluh langkah lagi sosok Hantu Pesolek sampai, Pendekar 131 sudah sentakkan kedua tangannya.
"Wuuttt! Wuuutt!" Dua gelombang dahsyat berkiblat. Hantu Pesolek terpaksa hentikan gerakan berkelebatnya dan serta merta dorongkan kedua tangannya.
"Bummmm!" Bentrok gelombang pukulan terjadi. Sosok Hantu Pesolek terdorong keras di udara lalu melayang turun. Tubuh Hantu Pesolek tampak terhuyung-huyung. Karena dia memapak pukulan waktu berada di udara. Sementara sosok Pendekar 131 hanya tersentaksentak maju mundur.
“Serahkan kantong dan gelang itu padaku!” Hantu Pesolek angkat suara.
“Hem.... Tampaknya dia masih belum percaya dengan kantong di tangannya! Dia termakan ucapanku dan sikap Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap Kayangan. Aku akan coba tawar menawar....” Joko membatin dalam hati. Lalu berkata.
“Kau sudah memiliki kantong. Untuk apa kau minta kantong yang ada padaku?!”
“Jangan bertanya! Turuti saja perintahku!”
“Kita sama-sama punya kantong. Bagaimana kalau kita bertukar?!”
“Aku minta kau serahkan kantong dan gelang itu padaku! Aku tidak minta....”
Belum selesai ucapan Hantu Pesolek, Joko sudah menukas. “Kalau kau tidak mau bertukar, bagaimana kalau kau serahkan saja kantong di tanganmu padaku?! Bukankah kantong itu dahulu kau ambil dari tanganku?!”
Hantu Pesolek tidak sambuti ucapan murid Pendeta Sinting dengan angkat suara. Melainkan langsung melompat ke depan sambil lepaskan pukulan. Joko tidak mau bertindak main-main apalagi dia yakin kantong di tangan Hantu Pesolek adalah kantong yang asli. Maka dia segera siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Hingga saat itu juga kedua tangannya pancarkan sinar kekuningan. Dan saat Joko sentakkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat berkiblat disertai sinar warna kuning yang semburkan hawa panas menyengat.
"Blaamm!" Kembali terdengar ledakan keras. Sosok Hantu Pesolek tersapu ke belakang hingga beberapa langkah. Namun pemuda berkebaya ini masih bisa kuasai diri tidak sampai jatuh terjengkang meski parasnya berubah dan sosoknya bergetar keras. Hantu Pesolek cepat lipat gandakan tenaga dalam, karena dia tadi tidak menduga jika akan dihadang dengan pukulan dahsyat, hingga sosoknya sempat tersapu.
Namun Hantu Pesolek tidak segera membuka pukulan, karena tiba-tiba dia merasakan mulutnya asin dan perutnya mual. Dia coba bertahan, tapi gagal hingga saat itu juga mulutnya mengembung sebelum akhirnya perdengarkan batuk muntahkan darah!
“Jahanam keparat!” maki Hantu Pesolek mengutuki dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak menduga kalau bentrokan pukulan itu akan membuatnya terluka dalam.
Di lain pihak, karena sudah terluka akibat bentrok dengan Hantu Bulan Emas, bentrokan yang baru saja terjadi membuat dadanya makin sesak dan mulutnya megap-megap. Namun sejauh ini dia tidak mengalami luka dalam, karena pukulan yang dilepas Hantu Pesolek masih kalah dibanding pukulan yang dilepaskan Joko. Hantu Pesolek rangkapkan kedua tangannya di atas kening. Lalu kedua kakinya ditekuk dan duduk di atas tanah.
“Apa pun yang dilakukan orang itu, pasti dia akan lepaskan pukulan andalannya!” Joko membatin. Lalu ikut-ikutan duduk di atas tanah dengan kedua tangan ditarik ke belakang. Saat itu juga telapak tangan kiri murid Pendeta Sinting berubah menjadi kebiruan. Inilah tanda kalau dia tengah siapkan pukulan sakti ‘Serat Biru’!
Hantu Pesolek sentakkan kedua tangannya sejajar dengan dada. Lalu dihantamkan ke depan. Tidak ada suara deru yang terdengar. Gelombang pun tidak kelihatan. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan sapuan angin gelombang luar biasa dahsyat. Hingga kalau dia tidak segera sentakkan kedua tangannya niscaya sosoknya akan segera terpental!
"Wuuutt! Wuutt!" Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang.
Hantu Pesolek tertawa panjang, membuat semua kepala berpaling. Namun tiba-tiba pemuda berkebaya itu putuskan tawanya. Saat lain pemuda ini melakukan tindakan hebat. Sosoknya melesat laksana terbang ke arah Pendekar 131 menerabas serat-serat biru! Hebatnya, meski serat-serat biru itu bukan serat-serat biasa, namun Hantu Pesolek sepertinya tidak merasakan apa-apa!
Murid Pendeta Sinting melengak. Kuduknya jadi dingin mendapati pukulan ‘Serat Biru’-nya bukan saja tidak mampu menghantam Hantu Pesolek, namun pukulan itu laksana tidak punya kehebatan sama sekali. Hingga sosok Hantu Pesolek enak saja menerabas dan tidak merasakan apa-apa!
“Menyingkiiiiir!” Tiba-tiba Dewa Asap Kayangan berteriak.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 131 sentakkan kedua kakinya ke atas tanah. Sosoknya berkelebat ke samping hindari gerakan sosok Hantu Pesolek. Tapi Joko jadi terkejut. Karena baru saja berkelebat ke samping, Hantu Pesolek sudah berada tiga langkah di depannya!
“Menyingkirrrrrrr!” Lagi-lagi terdengar teriakan. Kali ini diperdengarkan Dewa Cadas Pangeran.
Joko cepat turunkan kedua tangannya yang hendak lepaskan pukulan lagi ke arah Hantu Pesolek. Lalu berkelebat lagi menghindar. Tapi baru saja melesat, Hantu Pesolek sudah pula berada tidak jauh di hadapannya!
“Pukullllll!” Hampir berbarengan Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan berseru.
Meski masih dilanda keheranan, namun Joko segera angkat kedua tangannya dan langsung dihantamkan pada Hantu Pesolek. Hantu Pesolek sempat perdengarkan teriakan marah. Lalu papasi kedua tangan Joko dengan sentakkan kedua tangannya.
"Bukkk! Bukkk!" Sosok Hantu Pesolek langsung terdorong keras di udara. Kedua tangannya mental balik. Lalu jatuh terjengkang di atas tanah dengan mulut semburkan darah.
“Heran.... Bagaimana bisa begini?! Padahal pukulanku tadi pukulan biasa! Hanya mengandalkan tenaga dalam pada kedua tangan!” Joko membatin sambil pegangi kedua tangannya yang terasa ngilu dan mengembung merah.
Hantu Pesolek menoleh pada Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan seraya pegangi dadanya. Sepasang matanya mendelik angker. “Dari mana mereka tahu kelemahanku?! Aku tak bisa terus berada di tempat ini! Aku bisa celaka!”
Habis membatin begitu, Hantu Pesolek berteriak lantang. “Dewa Cadas Pangeran! Dewa Asap Kayangan dan kau pemuda asing! Malam ganda sepuluh ini jadi saksi urusan antara kita! Kalian boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai urusan kita selesaikan!” Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek telah berkelebat.
“Kau boleh pergi sampai ujung dunia, sampai ke dalam tanah dan sampai ke atas langit! Tapi serahkan dahulu kantong di tanganmu! Itu kantongku!” Joko berteriak lalu melompat dan berdiri menghadang.
“Kawanku Hantu Pesolek...,” kata Dewa Asap Kayangan. “Turuti saja permintaan kawan kita itu! Urusan nanti kita selesaikan kelak di kemudian hari!”
“Kami tahu kelemahanmu!” Dewa Cadas Pangeran menyabut. “Kalau kau masih ingin selesaikan urusan kelak kemudian hari, turuti apa yang diminta pemuda kawan kita itu! Jika tidak, berarti urusan itu akan kita selesaikan malam ini juga!”
Tengkuk Hantu Pesolek jadi merinding. “Daripada nyawaku melayang dengan membawa dendam tak terbalas, lebih baik kuturuti saja permintaannya! Dengan begitu aku masih punya kesempatan untuk membalas!”
Tanpa buka suara, tangan Hantu Pesolek menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar dan disentakkan, kantong putih melayang tercampak di atas tanah! “Kantong itu adalah titipan nyawa kalian! Kelak aku akan mengambilnya lagi beserta nyawa kalian!” seru Hantu Pesolek. Sekali membuat gerakan sosoknya berkelebat menuruni Bukit Toyongga.
“Jangan mimpi kau bisa lari!” Tiba-tiba Dewi Bunga Asmara membentak garang. Namun sebelum sosoknya sempat berkelebat mengejar Hantu Pesolek, Dewa Cadas Pangeran telah berkata.
“Gadis cantik.... Sakit hati memang belum tuntas. Tapi kau harus sadar. Lagi pula kelak mungkin kau masih bisa berjumpa dengannya lagi. Kau tak usah mencarinya, karena dia akan datang mencariku. Kau cukup bersamaku kalau ingin bertemu dengannya lagi....”
Walau kemarahannya masih membuncah akibat kematian gurunya di tangan Hantu Pesolek, namun ucapan Dewa Cadas Pangeran masih membuat Dewi Bunga Asmara berpikir. Hingga dia batalkan niat untuk mengejar Hantu Pesolek. Sebaliknya segera melangkah ke arah sosok mayat Ratu Selendang Asmara. Di lain pihak, begitu Hantu Pesolek berlalu, murid Pendeta Sinting segera melompat mengambil kantong putih yang tercampak di tanah.
Namun baru saja tangan kanan Pendekar 131 menjulur ke bawah, satu deruan dahsyat menghampar. Gelombang pukulan menggebrak diiringi semburatnya asap hitam. Murid Pendeta Sinting sempat berseru kaget. Dia urungkan niat untuk mengambil kantong di tanah. Selain karena tiba-tiba pemandangan menjadi hitam pekat, dia harus cepat menghadang pukulan yang datang. Joko cepat putar tubuh. Bersamaan itu kedua tangannya bergerak menyentak.
Wuutt! Wuuuutt!
Sinar kuning berkiblat disertai suara gemuruh luar biasa dan hawa panas menyengat. Inilah tanda kalau Joko lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Kali ini Joko memang tidak segan-segan lepaskan pukulan andalan, karena dia maklum bukan saja nyawanya yang harus diselamatkan, namun kantong di atas tanah juga tidak boleh lepas ke tangan orang lain.
Untuk kesekian kalinya puncak bukit dibuncah ledakan keras. Asap hitam langsung semburat berentakan. Saat bersamaan satu sosok hitam terpental mencelat lalu terjengkang di atas tanah. Joko sendiri tampak terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk. Ketika dia luruskan kepalanya ke depan, di seberang sana sosok hitam yang telah terjengkang bergerak bangkit. Ternyata orang ini adalah Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah sendiri langsung kerahkan telaga dalamnya. Seolah tidak mau memberi kesempatan, dia sudah berkelebat ke depan sebelum Pendekar 131 bergerak bangkit. Mungkin menduga lawan telah terluka cukup parah setelah bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Pesolek, Bayangan Tanpa Wajah terus melesat ke depan. Dan tahu-tahu kaki kanannya sudah lepas tendangan ke arah kepala Joko sementara tangan kiri kanannya lepaskan hantaman ke arah perut. Joko sentakkan tubuhnya ke belakang. Kakinya diangkat tinggi-tinggi seolah membuat gerakan bersalto.
Bukkkk! Buukk!
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan seruan tegang tertahan. Sosoknya terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah. Di lain pihak, kedua kaki Joko yang terangkat ke atas langsung mental ke bawah dan menggebrak tanah hingga perdengarkan debuman keras dan membuat lobang menganga! Terhuyung-huyung Bayangan Tanpa Wajah beranjak bangkit. Saat lain laki-laki berkulit hitam legam ini takupkan kedua tangannya sejajar dada. Kejap itu juga terlihat bayangan hitam seolah-olah keluar dari sosok tubuh Bayangan Tanpa Wajah. Hingga yang terlihat sekarang adalah dua sosok tubuh.
Karena sudah pernah bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah, Joko tahu persis apa yang hendak dilakukan Bayangan Tanpa Wajah. Hingga begitu dari sosok tubuh Bayangan Tanpa Wajah akan keluar lagi satu bayangan hitam, murid Pendeta Sinting segera lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’ ke arah sosok Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah terlengak. Terlambat baginya membuat gerakan menghadang atau menghindar. Hingga tanpa ampun lagi sosok Bayangan Tanpa Wajah tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum akhirnya terkapar di atas tanah dengan pakaian terbakar dan mulut muntahkan darah. Laki-laki ini sempat mengejang beberapa saat sebelum akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi.
***
DELAPAN
PENDEKAR 131 melangkah terhuyung-huyung mengambil kantong yang tergeletak di atas tanah. Saat itulah terdengar suara sesenggukan. Joko berpaling. Terlihat Bidadari Bulan Emas tengah tengkurap di atas tubuh Hantu Bulan Emas dengan bahu berguncang dan terisak.
“Bidadari...,” kata murid Pendeta Sinting seraya melangkah mendekati. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan....” Bidadari Bulan Emas sudah menyahut dengan suara tersendat dan angkat kepalanya memandang ke arah Joko.
“Tapi kematian gurumu karena bentrok denganku....”
“Mungkin ini sudah takdir! Lagi pula aku sudah memperingatkan sebelumnya...,” kata Bidadari Bulan Emas lalu pandangi wajah Hantu Bulan Emas.
Pendekar 131 lebih mendekat, lalu jongkok di samping Bidadari Bulan Emas. Namun sebelum benar-benar jongkok, sang Bidadari sudah angkat suara.
“Pendekar 131.... Harap tidak menambah urusan di tempat ini.... Aku tidak ingin terjadi urusan dengan gadis-gadis itu...!” Bidadari Bulan Emas arahkan pandangannya pada Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan Siao Ling Ling.
“Bidadari....” Belum sampai Joko teruskan ucapan, Bidadari Bulan Emas sudah gerakkan kepala seraya memotong ucapan Joko.
“Sudahlah.... Tinggalkan aku! Biarkan aku berdua dengan guruku pada saat terakhir ini....”
“Bidadari.... Kau jangan salah duga...,” ujar Joko tanpa beranjak dari samping Bidadari Bulan Emas.
“Pendekar 131.... Mata dan perasaanku tidak bisa menipu. Aku tahu bagaimana perasaan gadis-gadis itu padamu. Maka dari itu jangan mempersulit diri dengan membakar perasaan mereka. Hal itu nantinya bukan saja membuat dirimu ditimpa urusan, namun aku juga akan ikut makan getahnya.... Kuharap kau mau menjauh dari sisiku walau sebenarnya aku sangat senang berada berdampingan denganmu....”
Dada Joko jadi berdebar mendengar ucapan Bidadari Bulan Emas. Dia menghela napas panjang. “Jangan-jangan dia juga.... Ah. Mungkin ini hanya dugaanku saja...! Tapi ucapannya....” Selagi Joko membatin begitu, tiba-tiba dari depan sana terdengar orang membentak.
“Kuperingatkan kau agar menyingkir dan menunggu hingga tiba giliranmu!” Yang perdengarkan bentakan ternyata Siao Ling Ling. Seraya membentak keras, dia memandang tajam pada Guru Besar Liang San.
“Aku memang akan menunggu giliran! Tapi aku tegak di sini tidak ada hubungannya dengan kematian ayahmu!”
“Lalu...?!” kembali Siao Ling Ling membentak.
“Gelang di tangan Panglima itu adalah benda peninggalan leluhur Shaolin. Aku harus menyelamatkannya dari tangan orang lain!”
“Baik! Tapi tunggulah sampai aku membayar nyawa ayahku! Setelah itu persetan dengan urusan gelang
itu!”
“Kau kira aku tidak tahu apa yang ada di balik ucapanmu, hah?! Kau sebenarnya menginginkan gelang itu juga!”
“Buka telingamu lebar-lebar, Guru Besar! Nyawa ayahku tidak bisa ditukar dengan seribu gelang seperti itu! Aku hanya menginginkan nyawanya!”
“Kau tidak akan bertindak khianat seperti ayahmu?!” tanya Guru Besar Liang San membuat paras wajah Siao Ling Ling merah mengelam dan pelipisnya bergerak-gerak.
“Kau sadar dengan ucapanmu, Guru Besar?! Kau juga adalah pengkhianat! Bahkan kau adalah pembunuh saudara dan gurumu sendiri!”
Guru Besar Liang San terdiam. Kesempatan itu digunakan oleh Siao Ling Ling untuk segera maju dan hantamkan kedua tangannya ke arah Panglima Muda Lie. Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat gerakan. Namun sepasang matanya terus memperhatikan tangan sang Panglima yang memegang gelang baja. Sang Panglima sendiri coba bergerak mundur dengan seret tubuhnya. Namun luka yang dideritanya membuat gerakannya amat lamban.
Hingga baru saja tubuhnya bergerak mundur, kedua tangan Siao Ling Ling sudah satu depa menghantam di depan dadanya! Satu jengkal lagi dada Panglima Muda Lie pecah terhantam kedua tangan Siao Ling Ling, mendadak satu gelombang berkiblat. Siao Ling Ling tersurut mundur dua langkah. Saat lain putri Baginda Ku Nang ini balikkan tubuh. Tujuh langkah di depannya Mei Hua tegak dengan kedua tangan masih berada di atas udara.
“Ternyata kau ingkar janji!” hardik Siao Ling Ling.
Mei Hua gelengkan kepala. “Aku tidak ingkar janji. Hanya saja kuharap kau berbaik hati padaku...!”
“Berbaik hati apa?!”
“Urusan ini biar kuselesaikan sendiri! Kalau kau inginkan gelang itu, silakan ambil, tapi jangan sentuh tubuhnya! Aku yang akan menjatuhkan hukuman atas tindakannya!”
Siao Ling Ling tertawa pendek. “Aku juga adalah seorang anak. Aku tidak percaya dengan ucapanmu! Mana ada seorang anak akan jatuhkan hukuman pada ayahnya?!”
“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku menjunjung tinggi kebenaran! Siapa yang salah harus dihukum meski dia adalah ayahku!”
“Berkata memang mudah!”
“Terserah kau mau bilang apa! Yang pasti aku tidak akan biarkan siapa saja yang menyentuh tubuhnya!”
“Bagus! Berarti kau ingin mampus sekalian bersama pengkhianat itu!”
Belum selesai ucapannya, Siao Ling Ling sudah melompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat lepaskan jotosan ke arah kepala Mei Hua. Mei Hua cepat rundukkan kepala, lalu hantamkan kedua tangannya ke arah kelebatan kedua tangan Siao Ling Ling.
Bukk! Buuukk!
Dua gadis ini sama perdengarkan seruan. Tubuh masing-masing tersurut mundur beberapa langkah. Paras keduanya sama berubah. Saat itulah Guru Besar Liang San melompat. Tangan kanannya berkelebat menyambar gelang baja di tangan Panglima Muda Lie. Panglima Muda Lie sengaja membiarkan gelang baja di tangannya disambar Guru Besar Liang San. Namun bersamaan dengan itu tangan satunya yang sedari tadi siap, berkelebat.
"Bruuss!" Guru Besar Liang San terlempar mundur dengan tangan kiri pegangi lambungnya yang kucurkan darah. Sementara tangan kanannya yang telah memegang gelang segera menyelinap ke balik pakaiannya simpan gelang baja yang baru saja disambar dari tangan Panglima Muda Lie. Guru Besar Liang San perhatikan sosok Panglima Muda Lie beberapa saat.
Lalu cepat gerakkan tangan kanan ke arah lambungnya yang ternyata telah tertancap sebilah pisau pendek. Dia menotok sekitar pisau yang menancap. Kejap lain tangan kirinya bergerak cabut pisau. Dan sekali membuat gerakan, sosoknya telah mengudara. Tangan kirinya berkelebat.
"Wuutt!" Pisau berlumuran darah yang tadi menancap di lambung Guru Besar Liang San menderu cepat ke arah Panglima Muda Lie yang tampak tercekat tegang. Sekalipun laki-laki bekas kepercayaan Baginda ini berusaha mengelak, tapi tak urung lesatan pisau ini lebih cepat datangnya.
"Bruss!" Panglima Muda Lie perdengarkan jeritan tinggi. Dari bagian dadanya muncrat kucuran darah. Beberapa saat kedua tangan sang Panglima coba cabut pisau miliknya sendiri yang tadi dilemparkan dan menancap di lambung Guru Besar Liang San. Namun gerakan kedua tangannya terhenti di tengah jalan. Lalu luruh lunglai dengan napas terhenti!
Pendekar 131 yang tadi sempat tegak hendak melompat segera diurungkan. Karena apa pun gerakan yang dilakukan, tidak akan dapat menghadang lesatan pisau yang disentakkan Guru Besar Liang San. Di lain pihak, jeritan Panglima Muda Lie membuat Mei Hua dan Siao Ling Ling berpaling. Serta-merta Mei Hua melompat ke arah sang Panglima.
Tapi cuma sesaat, saat lain gadis cantik ini segera sentakkan tubuh menghadap Guru Besar Liang San. Saat yang sama, Siao Ling Ling juga putar tubuh ke arah Guru Besar Liang San. Laksana dikomando, Mei Hua dan Siao Ling Ling sama melompat ke arah Guru Besar Liang San. Lalu tegak berjajar tiga langkah di depan laki-laki berkepala gundul itu.
“Kau telah merampas hakku atas nyawanya! Berarti kau yang harus menggantikannya!” Siao Ling Ling angkat suara dengan setengah membentak.
“Kau harus bayar nyawanya!” Mei Hua berteriak setengah menjerit dengan suara tersendat.
Habis berteriak begitu, kedua gadis yang sama berparas cantik itu maju dua langkah. Tangan mereka berkelebatan menghantam Guru Besar Liang San. Terdengar beberapa kali benturan keras. Namun meski tidak membuat gerakan apa-apa, sosok Guru Besar Uang San tidak bergeming dari tempatnya! Mendapati hal demikian, Mei Hua jadi kalap.
Laksana orang kesetanan dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki, lalu menghantam lagi ke arah Guru Besar Liang San. Di lain pihak, Siao Ling Ling tak tinggal diam. Dia juga himpun segenap tenaga dalamnya. Lalu membabi buta menghantam ke sekujur tubuh Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tetap diam. Tangan kanannya disedekapkan di depan dada sementara tangan kiri memegangi lambungnya. Beberapa saat berlalu. Mungkin karena kehabisan tenaga begitu Guru Besar Liang San hentakkan pundaknya, kedua tangan Mei Hua dan Siao Ling Ling mental ke udara. Lalu sosok kedua gadis itu terjengkang roboh.
Mei Hua dan Siao Ling Ling tidak ambil peduli, mereka segera bangkit. Tapi mereka tersentak kaget. Mereka bukan saja tidak mampu bergerak bangkit, tapi mereka merasakan tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan!
“Pukulan ‘Inti Tanpa Raga’!” berseru Dewa Asap Kayangan mengenali apa yang baru saja dilakukan Guru Besar Liang San pada Mei Hua dan Siao Ling Ling hingga kedua gadis itu tidak bisa bergerak dan bersuara.
“Kalian anak-anak manusia pengkhianat! Kalian pantas untuk menyusul sekalian ke alam kubur!” Guru Besar Liang San mendesis. Sekali membuat gerakan, tangan kanan kirinya bergerak lepaskan pukulan ke arah Mei Hua dan Siao Ling Ling yang sudah tak berdaya.
“Tahan!” Pendekar 131 berteriak seraya sentakkan kedua tangannya.
Kedua tangan Guru Besar Liang San tersentak ke udara. Hingga meski dari kedua tangannya menderu gelombang dahsyat, namun sasarannya adalah udara kosong di atas sana. Guru Besar Liang San berpaling. Pendekar 131 telah tegak lima langkah di hadapannya dengan kembangkan senyum meski dadanya masih terasa nyeri akibat bentrok dengan Hantu Pesolek dan Hantu Bulan Emas. Guru Besar Liang San melangkah maju dua tindak.
“Gelang dan dua kantong itu!” kata Guru Besar Liang San sambil menunjuk ke arah tubuh Joko. “Serahkan semuanya padaku!”
“Guru Besar.... Seharusnya kau yang serahkan gelang itu padaku!” sambut Joko.
“Pemuda asing! Benda-benda ini adalah milik Perguruan Shaolin! Kau tidak pantas memilikinya!”
“Guru Besar Pu Yi telah memberi mandat padaku!”
“Perguruan Shaolin bukan punya Pu Yi. Dia juga bukan satu-satunya manusia yang berhak untuk memberi perintah!”
“Aku tak tahu urusan itu! Yang jelas aku jalankan perintah!”
“Hem.... Kau sudah tidak rindu lagi kampung halamanmu?!” tanya Guru Besar Liang San.
“Aku percaya jika masih bisa pulang....”
“Kau memang bisa pulang, Anak Muda! Bahkan aku bersedia mengantar.... Tapi kau akan pulang tanpa gelang dan kedua kantong itu!”
“Kau salah, Guru Besar! Justru aku akan pulang dengan membawa serta gelang yang ada padamu...!”
“Aku ingin buktikan ucapanmu!” hardik Guru Besar Liang San. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya langsung berkelebat lepas pukulan.
"Bukkkl Bukkk!" Terdengar benturan kala Joko angkat kedua tangannya menghadang. Kedua kaki murid Pendeta Sinting sempat goyah. Namun dia cepat kerahkan tenaga dalam dan kini mendahului melompat seraya ganti lepaskan pukulan.
"Bukkl Bukkk!" Kedua tangan Pendekar 131 telak menghantam dada Guru Besar Liang San. Tapi meski Guru Besar Liang San tidak menghadang pukulan Joko dan tidak coba menghindar, sosoknya tidak bergeming sama sekali.
“Aku penasaran! Apakah dia sanggup bertahan dari pukulanku!” kata Joko dalam hati.
Dia kembali lipat gandakan tenaga dalam lalu maju dan mulai menghantam bertubi-tubi ke arah sosok Guru Besar Liang San. Namun hingga Joko kelelahan sendiri dan tenaganya habis, sosok Guru Besar Liang San tidak bergerak sedikit pun! Pendekar 131 mundur empat langkah. Dia telah siap lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’.
Kedua tangannya sudah berubah warna. Di depan, Guru Besar Liang San tersenyum. Tidak tampak ketakutan pada raut wajahnya meski dia tadi telah tahu bagaimana pukulan yang dilepas Joko saat bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Pesolek. Malah laki-laki berkepala gundul ini berujar.
“Ternyata kau dilahirkan untuk mampus di tanah orang! Bahkan kau mampus saat berhadapan dengan lawan yang tidak membuat gerakan apa-apa!”
Dada Pendekar 131 jadi panas mendengar ucapan Guru Besar Liang San. Tanpa menyambut ucapan orang, dia melompat. Namun sebelum kedua tangan murid Pendeta Sinting sempat lepaskan pukulan, mendadak satu suara terdengar.
“Anak muda! Serahkan urusan dia padaku!” Satu sosok tubuh berkelebat.
Joko batalkan niat lalu menoleh. Guru Besar Liang San lirikkan ekor matanya.
***
SEMBILAN
DADA Guru Besar Liang San berdebar tidak enak. Seketika dia sentakkan kepala berpaling. Serta-merta tubuhnya laksana didorong kekuatan dahsyat hingga kedua kakinya tersurut satu tindak dengan mata membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Dari pakaian dan sikapnya, jelas orang ini dari Perguruan Shaolin!” Joko membatin ketika matanya melihat seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian warna kuning panjang yang di bagian pundaknya dililit kain berwarna merah. Paras wajah orang ini hampir mirip dengan Guru Besar Liang San. Dia tegak dengan kedua tangan menakup di depan dada dan kepala sedikit ditundukkan.
“Amitaba....” Dewa Asap Kayangan angkat bicara. “Bahagia sekali bisa jumpa denganmu lagi, Guru Besar Wu Wen She....”
“Amitaba....” Dewa Cadas Pangeran menyahut. “Aku hampir tak percaya jika kau yang muncul di tempat ini! Kabar yang sampai di telingaku, kau lenyap begitu saja tanpa ada berita....”
“Amitaba....” Laki-laki yang baru muncul dan kini tegak tidak jauh dari Pendekar 131 buka mulut seraya putar diri menghadap Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran. “Tuhan masih memberkatiku hingga aku bisa berada di tempat ini. Kuucapkan terima kasih atas bantuan sahabat berdua....”
“Guru Besar Wu Wen She....” Joko bergumam. Lalu tatapi laki-laki yang baru muncul dan bukan lain adalah Guru Besar Wu Wen She dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baru saja Joko bergumam begitu, Guru Besar Wu Wen She berkata.
“Anak muda.... Aku juga mengucapkan terima kasih atas segala jerih payahmu selama ini. Dan kalau kau tak keberatan, urusan dengan Guru Besar Liang San harap diberikan padaku....”
“Amitaba....” Joko ikut-ikutan takupkan kedua tangan di depan dada lalu tundukkan kepalanya sedikit. “Aku tak keberatan urusan ini kau selesaikan.... Tapi....”
“Aku tahu,” potong Guru Besar Wu Wen She yang bukan lain adalah adik Guru Besar Liang San yang lenyap begitu saja saat terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin beberapa waktu yang lalu. “Kau tak usah khawatir. Aku tidak akan ikut campur urusan yang ada kaitannya dengan peta wasiat milik Shaolin. Aku hanya ingin mendudukkan masalah yang ada hubungannya dengan peristiwa berdarah di
Perguruan Shaolin....”
“Wu Wen She!” Tiba-tiba Guru Besar Liang San menyahut. “Kau datang terlambat! Kau datang di tempat yang salah! Kalau kau ingin menyelesaikan urusan Perguruan Shaolin, kita selesaikan urusan itu di Kuil Shaolin!”
Guru Besar Wu Wen She geleng kepala. “Semua yang ada di tempat ini serta urusannya masih berkaitan dengan Perguruan Shaolin. Jadi tak ada salahnya kalau urusan itu kita selesaikan di tempat ini!”
“Hem.... Aku ingin tahu bagaimana penyelesaian yang kau inginkan!”
“Aku telah berada di sekitar tempat ini sebelum kau muncul! Aku tahu apa yang kalian bicarakan! Tapi aku ingin tahu jawaban dari mulutmu sendiri! Benar kau bersekongkol dengan pihak kerajaan dalam peristiwa tewasnya kakak Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok?!”
“Kau bertanya pada orang yang salah!”
Guru Besar Wu Wen She kernyitkan kening.“Menurutmu, pada siapa aku harus bertanya?!”
Guru Besar Liang San tertawa. “Sebentar lagi kau akan bertemu dengan orang yang bisa menjawab pertanyaanmu! Kau tak usah khawatir. Aku yang akan mengantarmu!”
Tampaknya Guru Besar Wu Wen She masih belum bisa menangkap arah pembicaraan Guru Besar Liang San. Hingga dia berujar. “Sepertinya aku tidak menemukan orang lain yang bisa menjawab pertanyaanku...!”
Guru Besar Liang San tersenyum sambil gelengkan kepala. “Kau kali ini salah ucap. Kau akan menemukan orang yang paling tepat untuk menjawab pertanyaanmu. Sekaligus kau akan bertemu dengan saudaramu!”
Guru Besar Wu Wen She terhenyak. “Amitaba... Jadi yang kau maksud....”
Belum sampai Guru Besar Wu Wen She lanjutkan ucapan, Guru Besar Liang San sudah menukas. “Tidak ada orang yang paling tepat untuk menjawab pertanyaanmu selain Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Jadi aku akan mengantarmu menemui mereka!”
Guru Besar Wu Wen She menghela napas panjang. “Aku ingin dengar jawaban darimu!”
“Kau sudah dengar jawabanku!”
“Kau tidak mau berterus terang. Berarti kau memang terlibat dalam peristiwa berdarah itu!”
“Jawaban pastinya bisa kau tanyakan sesaat lagi!” Habis berucap begitu, Guru Besar Liang San sudah kelebatkan kedua tangannya seraya melompat.
Guru Besar Wu Wen She bukannya membuat gerakan menghadang, melainkan melompat menghindar. Lalu berkata. “Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah! Aku ingin kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan Perguruan Shaolin!”
“Sekarang ini akulah pemimpin Perguruan Shaolin. Aku yang menentukan siapa yang harus bertanggung jawab di depan Perguruan Shaolin!”
Guru Besar Wu Wen She tidak sempat lagi untuk buka suara. Karena sekonyong-konyong Guru Besar Liang San sudah berkelebat ke arah mana Guru Besar Wu Wen She berdiri tegak. Mungkin karena punya dugaan kalau Guru Besar Wu Wen She akan berkelebat menghindar, begitu melayang di udara, Guru Besar Liang San sudah lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
“Amitaba....” Guru Besar Wu Wen She buka mulut. Tapi laki-laki itu tidak berusaha menghindar hingga gelombang dahsyat yang menggebrak dari kedua tangan Guru Besar Liang San berkiblat tanpa halangan ke arah tubuhnya!
“Aneh.... Mengapa dia seakan pasrah?!” gumam Pendekar 131 lalu sentakkan kedua tangannya.
"Bummm!" Sosok Guru Besar Liang San terdorong ke samping. Sementara Pendekar 131 tersurut ke belakang.
Dengan menahan rasa sakit, murid Pendeta Sinting segera mendekati Guru Besar Wu Wen She. Lalu berbisik. “Bukannya aku menggurui. Tapi kalau begini caranya, urusan Perguruan Shaolin tidak akan selesai!”
Guru Besar Wu Wen She tersenyum. “Urusan justru tidak akan selesai kalau kekerasan dilawan dengan kekerasan!”
“Tapi itu bunuh diri!”
“Tidak, Anak Muda.... Menurut perhitungan manusia hal itu memang bunuh diri. Tapi tidak demikian dengan perhitungan Yang Di Atas Sana....”
“Aku jadi tak mengerti...,” gumam murid Pendeta Sinting.
“Anak muda.... Memang diperlukan waktu untuk mengerti hal semacam itu....” Baru saja Guru Besar Wu Wen She berucap begitu, tiba-tiba Guru Besar Liang San sudah melompat dan tegak di hadapan Pendekar 131.
“Anak muda.... Karena aku tidak bisa melawannya, kuharap kau mau menolongku...!” Guru Besar Wu Wen She berbisik.
“Dia memiliki ilmu yang membuatnya tahan segala pukulan!” Joko menyahut.
“Aku tahu di mana titik lemahnya. Aku akan mengatakannya padamu. Tapi kuharap kau nanti tidak bertindak lebih jauh. Dia masih punya tugas untuk mempertanggungjawabkan tindakannya selama ini di depan Perguruan Shaolin.”
Joko anggukkan kepala. Guru Besar Wu Wen She melirik pada Guru Besar Liang San. Lalu berbisik. "Totok beberapa titik putih di kepalanya. Hindari bentrok langsung dengan cara berhadapan, karena dia memiliki ilmu ‘Inti Tanpa Raga’ yang dapat melakukan totokan dari jarak jauh tanpa harus melakukan gerakan!”
“Apa yang kalian bicarakan, hah?!” bentak Guru Besar Liang San dengan dada berdebar.
Yang dibentak tidak ada yang menyahut. Sebaliknya Guru Besar Wu Wen She segera berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Guru Besar Liang San sudah berniat akan mengejar, tapi Joko sudah menghadang dan langsung membuat gerakan berputar. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah kepala Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San sempat terkesiap dengan gerakan murid Pendeta Sinting. Dia cepat rundukkan kepalanya dan disentakkan ke belakang. Saat yang sama kedua tangannya segera berkelebat menahan gerakan kedua tangan Joko.
Joko batalkan niat. Dia buru-buru tarik pulang tangannya, lalu berkelebat memutar lagi, membuat Guru Besar Liang San ikut sentakkan tubuhnya memutar. Laki-laki berkepala gundul ini mulai curiga dengan gerakan Joko, hingga begitu memutar, dia segera lepaskan pukulan jarak jauh meski Joko tidak berada jauh darinya.
Wuutt! Wuuutt!
Pendekar 131 lorotkan tubuh hingga sejajar tanah, lalu melompat ke belakang sosok Garu Besar Liang San. Gelombang yang tadi menderu ke arah Joko, menggebrak udara kosong dan menerabas beberapa ujung jajaran pohon di lamping bukit. Ujung jajaran pohon langsung patah dan tersapu amblas. Kecurigaan Guru Besar Liang San membuatnya tidak mau bertindak ayal. Begitu mendapati pukulannya lolos menghajar sasaran, dia segera membuat gerakan bersalto ke belakang seolah tahu kalau Joko tengah kelebatkan kedua tangannya mengincar bagian kepalanya.
"Bukkkl Bukkk!"
Gerakan salto Guru Besar Liang San membuat kepalanya selamat dari kelebatan tangan Joko. Tapi tangan itu masih mampu menghajar wajah Guru Besar Liang San. Namun saat itu juga kedua kaki Guru Besar Liang San menggebrak ke arah dada Pendekar 131. Joko berseru kesakitan. Sosoknya terhuyung ke belakang hingga beberapa langkah.
Di lain pihak, Guru Besar Liang San teruskan saltonya meski kepalanya sempat tersentak ke bawah akibat pukulan tangan Joko yang menghantam wajahnya. Hebatnya, meski pukulan tangan Joko telah dialiri tenaga dalam kuat, Guru Besar Liang San seolah tidak merasakan apaapa! Malah dia segera tegak dan siap melompat!
Joko tidak mau didahului. Begitu tahu Guru Besar Liang San siap melompat, dia melesat dahulu ke depan. Setengah jalan dia segera hentakkan kakinya ke udara. Sosoknya melenting tinggi ke udara. Guru Besar Liang San yang sudah menyergap ke depan hendak menyongsong segera hentikan sergapannya. Dia tengadah mengikuti gerakan lawan.
Begitu melihat Joko melayang turun, dia bukannya segera menyambut dengan hantamkan tangannya ke atas, melainkan hentakkan kaki. Sosoknya membal setengah tombak, saat lain dia tekuk tubuhnya dan melayang turun dengan kepala di bawah kaki di atas. Begitu setengah depa lagi kepalanya sampai di atas tanah, mendadak kedua tangannya disentakkan menghantam tanah.
Sosok Guru Besar Liang San mental lagi ke atas. Namun kali ini dengan kepala berada di bawah sementara kaki di atas! Pendekar 131 yang masih melayang turun berpikir cepat. Kejap lain dia jungkir balik di udara, lalu hantamkan kakinya ke arah kaki Guru Besar Liang San.
"Bukkl Bukk!"
Tubuh murid Pendeta Sinting terbanting di udara. Sementara sosok Guru Besar Liang San tersentak ke atas, hingga bagian atas tubuhnya yang berada di bawah terangkat. Kesempatan ini tidak disia-siakan Joko. Meski matanya sudah berkunang-kunang dia masih mampu melihat gerakan tubuh Guru Besar Liang San. Hingga begitu bagian atas tubuh Guru Besar Liang San terangkat, dia cepat kelebatkan kedua tangannya.
Guru Besar Liang San terkesiap. Namun dalam keadaan terjepit begitu rupa, dia masih bisa gerakkan kedua pundaknya!
“Mundur!” Guru Besar Wu Wen She berteriak memperingatkan, tahu jika Guru Besar Liang San tengah lepas pukulan ‘Inti Tanpa Raga’.
Namun Joko tidak hiraukan teriakan orang, karena dia yakin kali ini tangannya tidak akan meleset menghajar sasaran. Dia terus menghantam.
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 131 berhasil sarangkan gebukan pada kepala Guru Besar Liang San tepat pada bagian beberapa titik putih di kepalanya. Guru Besar Liang San berteriak. Saat yang sama sosoknya melayang ke bawah tanpa membuat gerakan apa-apa meski sepertinya orang ini masih mampu untuk menghindar dari benturan dengan tanah di bawahnya.
"Bukkk!" Sosok besar Guru Besar Liang San terkapar di atas tanah tanpa bisa bergerak lagi meski sepasang matanya masih terbuka nyalang memperhatikan tubuh murid Pendeta Sinting yang juga melayang ke bawah tanpa membuat gerakan apa-apa hingga tubuhnya terjengkang menghantam tanah.
“Busyet! Sekujur tubuhku tegang tak bisa digerakkan!” gumam Joko dalam hati seraya memandang khawatir pada Guru Besar Liang San. “Celaka kalau dia masih mampu bangkit!”
Mungkin karena khawatir, Joko coba kerahkan tenaga dalam. Namun walau dia telah berusaha, tubuhnya tetap tegang kaku tak bisa digerakkan! Joko makin cemas, tapi kecemasannya perlahanlahan sirna tatkala tahu Guru Besar Liang San juga tetap diam di atas tanah tanpa membuat gerakan.
Saat itulah Guru Besar Wu Wen She melangkah ke arah murid Pendeta Sinting, sementara Dewa Cadas Pangeran bergerak ke arah Dewi Bunga Asmara, dan Dewa Asap Kayangan menyusul mendekati Mei Hua dan Siao Ling Ling yang masih terkapar di atas tanah tanpa bisa bergerak akibat pukulan ‘Inti Tanpa Raga’ yang dilepas Guru Besar Liang San.
***
SEPULUH
Amitaba... Terima kasih, Anak Muda!” kata Guru Besar Wu Wen She seraya takupkan kedua tangan di depan dada lalu bergerak jongkok. Kedua tangannya segera ditarik dari dada. “Maafkan, Anak Muda...,” ujar Guru Besar Wu Wen She.
Kedua tangannya segera bergerak ke arah ubun-ubun dan pusar murid Pendeta Sinting dengan jari tengah dan jari telunjuk ditekuk. Pendekar 131 berseru tertahan. Dia merasakan batok kepalanya seakan pecah dan perutnya ditimpa batangan besi, hingga perutnya terdorong deras ke belakang. Namun bersamaan dengan itu, dia bisa gerakkan anggota tubuhnya!
Di lain pihak, Dewa Asap Kayangan yang telah berada dekat dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling segera pula lakukan seperti yang diperbuat Guru Besar Wu Wen She pada murid Pendeta Sinting.
“Terima kasih....” Hampir berbarengan Mei Hua dan Siao Ling Ling berucap. Namun bersamaan itu pula mereka segera saling pandang.
“Aku tahu bagaimana perasaan kalian. Namun kalian harus tahu satu hal. Masih ada sesuatu yang harus segera kalian lakukan. Dan tidak ada gunanya urusan ini diperpanjang. Kematian adalah satu takdir yang tidak bisa dihindari oleh makhluk yang bernyawa meski sebenarnya kita tidak menginginkan!”
Ucapan Dewa Asap Kayangan tampaknya membuat Mei Hua dan Siao Ling Ling sadar meski dalam hati keduanya masih menyimpan ganjalan. Siao Ling Ling segera berpaling pada sosok mayat ayahandanya. Saat lain gadis ini segera menghambur lalu memeluki sosok mayat Baginda Ku Nang dengan sesenggukan.
Mei Hua sendiri sempat menoleh pada sosok mayat ayahnya. Tapi begitu matanya melihat Guru Besar Liang San yang diam tak bergerak di atas tanah karena kepalanya tertotok tangan Pendekar 131, gadis cantik ini tak mampu menahan diri. Laksana terbang dia berkelebat dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San dengan tubuh bergetar dan mata berkilat. Tapi sebelum Mei Hua buka suara atau membuat gerakan, Guru Besar Wu Wen She sudah angkat bicara.
“Putri Panglima.... Kuharap kau tabahkan hati.... Kuharap pula kau mau menolongku dengan membiarkan dirinya....”
“Dia telah membunuh ayahku!” saking marahnya Mei Hua membentak.
“Itu benar.... Tapi tidak seharusnya dia dibunuh karena membunuh ayahmu. Biarkan dia membayar perbuatannya dengan bertobat! Lagi pula masih ada sesuatu yang harus dijelaskannya pada Perguruan Shaolin....”
“Terlalu enak dia diberi kesempatan seperti itu! Bukan tak mungkin dia bukannya bertobat, tapi melakukan tindakan yang lebih bengis!”
“Kita tidak boleh memastikan apa yang belum terjadi! Lagi pula aku bisa menjamin kalau dia tidak akan berbuat yang lebih bengis....”
“Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?!”
“Jika nantinya dia dinyatakan bersalah oleh Perguruan Shaolin, dia harus menjalankan pertobatan di satu tempat yang mustahil baginya untuk bisa keluar!”
“Di mataku dia sudah jelas bersalah! Aku tak mau mengikuti peraturan Shaolin!” Mei Hua melangkah maju.
“Maafkan aku.... Aku tidak memaksamu untuk mengikuti peraturan Shaolin. Aku hanya mengatakan apa yang nantinya harus dijalani orang yang bersalah!”
“Dia harus membayar padaku dengan nyawanya!”
“Gadis cantik.... Mati bukan berarti menyelesaikan masalah! Bukan aku membela diri. Tapi dengan kematiannya, aku masih harus menanggung beban menjawab teka-teki apa yang sebenarnya terjadi saat peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin. Kuharap kau mau mengerti dan sekali lagi memaafkan aku jika kau anggap hal ini adalah satu paksaan demi kepentinganku!”
Mei Hua terdiam beberapa saat. Matanya terus pandangi sosok Guru Besar Liang San dengan mendelik tak berkesip.
“Mei Hua....” Joko ikut angkat bicara seraya melangkah mendekati. “Bukannya aku ikut campur masalahmu. Tapi kurasa benar apa yang dikatakan Guru Besar Wu Wen She....”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Mei Hua berpaling. Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Joko. Entah apa yang dipikirkan gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini, yang jelas tanpa buka mulut lagi dia arahkan pandang matanya ke jurusan lain lalu melangkah gontai ke arah sosok mayat ayahnya. Kejap lain terdengar gadis ini menangis keras seraya tengkurap di atas sosok mayat Panglima Muda Lie.
Sementara itu, di tempat mana Dewi Bunga Asmara duduk bersimpuh di samping mayat Ratu Selendang Asmara, Dewa Cadas Pangeran terlihat duduk bersila lalu angkat bicara pelan.
“Kesedihan memang tidak bisa kita hindari. Tapi kalau kita terus tenggelam dalam kesedihan, apa yang akan kita dapatkan?!”
Perlahan Dewi Bunga Asmara menoleh. Namun dia hanya memandang tanpa buka suara.
“Aku tadi bercanda ketika mengatakan hendak mengajak jalan-jalan gurumu.... Tapi aku sekarang tidak main-main jika menawarkan padamu untuk kuajak serta bersamaku....”
Sepasang mata Dewi Bunga Asmara membesar. Walau wajahnya tertutup batu putih dan tidak bisa melihat gadis di dekatnya, namun Dewa Cadas Pangeran seolah tahu gelagat. Sebelum si gadis angkat bicara, Dewa Cadas Pangeran sudah berkata lagi.
“Jangan kau terlalu berprasangka. Aku tidak punya niat jelek kalau menawarkan padamu untuk ikut bersamaku. Hal ini kukatakan karena aku tahu kau sekarang sebatangkara.... Tidak ada salahnya kalau kita hidup bersama seperti dulu kau hidup bersama Ratu Selendang Asmara....”
Dewi Bunga Asmara menghela napas panjang. Dia paham apa maksud sebenarnya Dewa Cadas Pangeran. Tapi dia tidak mau terburu-buru mengambil keputusan. Apalagi ketika ingat kedatangannya ke puncak Bukit Toyongga adalah untuk mempertemukan Pendekar 131 dengan gurunya.
“Aku bukan tidak mau ikut bersamamu!” Akhirnya Dewi Bunga Asmara berkata setelah agak lama terdiam. “Ada sesuatu yang harus kuselesaikan!” Dewi Bunga Asmara tidak mau berterus terang dengan apa sebenarnya yang tengah menjadi pikirannya.
“Hem.... Kau ingin selesaikan urusan dengan pemuda tampan itu?!”
Paras Dewi Bunga Asmara langsung berubah. Bahkan dia segera berpaling jauh ke depan dengan dada berdebar. “Aku ingin selesaikan soal kematian guruku!” kata Dewi Bunga Asmara.
Dewa Cadas Pangeran tertawa. “Aku memang tidak pandai menduga. Tapi firasatku mengatakan apa yang baru kau katakan bukanlah hal yang akan segera kau lakukan!”
Dewi Bunga Asmara berpaling lagi. Dia ingin sekali melihat bagaimana tampang Dewa Cadas Pangeran. Namun hingga beberapa kali Dewi Bunga Asmara pulang balikkan kepalanya ke samping, dia gagal memenuhi keinginannya. Karena bersamaan dengan itu Dewa Cadas Pangeran gerakkan kepala seolah mengikuti gerakan kepala Dewi Bunga Asmara, hingga batu putih di depan wajahnya terus bergerak menutupi.
“Dewi.... Aku bersedia menunggumu sampai kau selesaikan urusanmu dengan pemuda di depan sana itu...! Kalau kau malu mengatakan padanya, aku juga bersedia membantu untuk mengatakannya!”
Tanpa menunggu sambutan Dewi Bunga Asmara, Dewa Cadas Pangeran bergerak bangkit lalu melangkah ke arah pendekar 131.
“Tunggu!” Dewi Bunga Asmara menahan sambil melangkah mengejar dan berkata. “Biar aku yang mengatakannya sendiri!”
Dewa Cadas Pangeran hentikan langkahnya, lalu berbalik dan melangkah lagi ke arah mana sosok mayat Ratu Selendang Asmara berada. Dewi Bunga Asmara mengikuti dari belakang dengan wajah bersemu merah.
“Kau yakin mampu mengatakan urusanmu dengan pemuda itu!” Dewa Cadas Pangeran bertanya seraya bungkukkan sedikit tubuhnya di samping mayat Ratu Selendang Asmara. Sekali membuat gerakan sosok mayat Ratu Selendang Asmara telah berada di pangkuan kedua tangannya.
“Akan kau bawa ke mana?!” Dewi Bunga Asmara berseru agak keras.
“Bagi orang mati, sudah ditentukan di mana tempatnya! Sekarang aku akan menunggumu....”
Dewi Bunga Asmara tergagu diam. Dia dilanda kebingungan. Di satu sisi dia memang ingin bicara dengan murid Pendeta Sinting, namun di sisi lain dia kebingungan bagaimana memulai. Karena di situ ada Mei Hua. Sementara dari gelagat dan sikapnya, Dewi Bunga Asmara tahu bagaimana perasaan Mei Hua pada Pendekar 131.
“Kau butuh bantuanku?!” Dewa Cadas Pangeran bertanya.
Dewi Bunga Asmara tekan perasaan. Lalu buka mulut, tapi bukannya menjawab pertanyaan orang. “Kita harus segera menguburkan mayat Guru....”
“Kau tidak kecewa...?!”
Dewi Bunga Asmara lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Dewa Cadas Pangeran, sebaliknya segera melangkah mendahului tinggalkan puncak bukit. Dewa Cadas Pangeran tidak lagi angkat bicara. Dia segera pula melangkah di belakang Dewi Bunga Asmara. Namun begitu hendak menuruni bukit, Dewa Cadas Pangeran berteriak.
“Pendekar 131! Setelah urusanmu nanti selesai, kau harus segera menemuiku! Soal di mana kau bisa bertemu denganku, tanyalah pada sahabatku Dewa Asap Kayangan! Kau tak usah bertanya. Yang pasti kau punya janji dengan gadis cantik muridku ini! Kalau kau tak berani datang sendirian, kau boleh ajak serta sahabatku itu! Bahkan aku lebih suka kalau dia kau angkat sebagai orangtua untuk sekaligus melamar muridku!”
Dewi Bunga Asmara sentakkan kepalanya berpaling pada Dewa Cadas Pangeran. Air mukanya sulit dilukiskan. Antara malu, senang, dan geram, hingga dia tidak kuasa lagi untuk buka mulut, meski dia ingin sekali berkata.
Di seberang sana, Pendekar 131 menoleh. Bukannya memandang pada Dewa Cadas Pangeran yang tegak dengan membopong mayat Ratu Selendang Asmara, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara yang saat itu juga tengah memandangnya. Jika saja saat itu tidak ada orang lain yang mendengar, tentu Dewi Bunga Asmara akan terus tegak sambil menunggu jawaban Joko. Di lain pihak, jika saja di tempat itu tidak ada Mei Hua, Bidadari Bulan Emas, dan Siao Ling Ling, pasti murid Pendeta Sinting sudah berkelebat dan coba menjelaskan.
“Dewi.... Percayalah! Dia pasti akan datang menemuiku! Kau nanti bisa habiskan waktu ngobrol bersamanya.... Sekarang kita harus cepat menguburkan mayat gurumu!”
Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat Dewi Bunga Asmara tersadar. Dia menghela napas panjang. Lalu dengan kaki berat dia berbalik setelah tersenyum pada Pendekar 131. Saat lain kedua orang ini teruskan langkah menuruni Bukit Toyongga.
***
SEBELAS
"Pendekar 131.... kurasa sudah waktunya kau selesaikan tugas yang kau emban.” Guru Besar Wu Wen She berkata membuat murid Pendeta Sinting berpaling.
Setelah terdiam sejenak Joko angkat bicara. “Guru Besar.... Karena tugas itu bukan hakku lagi. Peta wasiat adalah milik Perguruan Shaolin...!” Habis berkata begitu, kedua tangan Joko menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar, di tangan kanannya terlihat satu kantong putih dan gelang baja. Sementara di tangan kirinya tampak satu kantong putih.
“Guru Besar...,” kata Joko seraya ulurkan tangan kapannya yang memegang kantong putih dan gelang baja. “Kantong dan gelang ini pemberian Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Aku tak tahu apa isinya!”
Joko hentikan ucapannya seraya melirik pada Dewa Asap Kayangan. Saat lain dia ulurkan tangan kirinya yang memegang kantong putih. “Ini adalah kantong yang tadi berada di tangan Hantu Pesolek. Aku masih yakin, kantong inilah yang diambilnya dariku beberapa hari yang lalu....”
“Anak muda....” Dewa Asap Kayangan berucap. “Kantong dan gelang pemberianku dan pemberian Dewa Cadas Pangeran adalah palsu!”
Mendengar ucapan Dewa Asap Kayangan, Joko segera luruhkan kantong dan gelang di tangan kanannya hingga jatuh di atas tanah. Lalu berkata. “Aku tidak bisa menduga, tapi dari apa yang telah terjadi, kupikir gelang yang ada di Guru Besar Liang San adalah yang asli!” Kantong putih di tangan kirinya yang tadi diambil dari tangan Hantu Pesolek dipindah ke tangan kanan, lalu dijulurkan pada Guru Besar Wu Wen She.
Guru Besar Wu Wen She gelang kepala. “Kau yang mendapat tugas! Aku tidak berani menerima!”
“Tapi ini adalah milik Perguruan Shaolin!”
“Benar. Tapi kau telah mendapat tugas dari Kakak Guru Besar Pu Yi. Berarti urusannya tidak lagi ada kaitannya dengan Perguruan Shaolin...!”
“Kalau terus bicara, urusan ini akan ruwet. Apalagi menghadapi orang macam dia!” kata Joko dalam hati. Tanpa buka mulut lagi Joko melangkah mendekati Guru Besar Liang San.
Karena tidak dapat menggerakkan tubuhnya, Guru Besar Liang San tidak berusaha buka mulut meski dalam hati memaki habis-habisan saat Pendekar 131 jongkok di sampingnya lalu gerakkan tangan kiri ke balik pakaiannya mengambil gelang baja. Murid Pendeta Sinting memperhatikan gelang yang baru diambilnya dari balik pakaian Guru Besar Liang San. Lalu putar diri dan mendekati Guru Besar Wu Wen She. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
“Gelang dan kantong ini kuserahkan padamu. Terimalah!”
Guru Besar Wu Wen She tersenyum seraya gelengkan kepala. “Aku tidak berani menerimanya.... Bukan karena apa, aku tak mau peristiwa yang sama akan terjadi menimpa Perguruan Shaolin jika peta wasiat itu masih tersimpan di Perguruan Shaolin....” Habis berkata begitu Guru Besar Wu Wen She tengadah melihat bulan yang sudah tersuruk di bagian langit sebelah timur. Lalu berkata.
“Pendekar 131.... Malam hampir saja berujung. Peta wasiat itu tidak akan ada artinya lagi jika belum disatukan hingga pagi hari nanti datang. Sekarang aku harus segera pergi. Sekali lagi kuucapkan terima kasih padamu... Juga pada sahabat Dewa Asap Kayangan...”
Guru Besar Wu Wen She putar tubuhnya seraya menjura hormat pada Pendekar 131 dan Dewa Asap Kayangan. Tanpa menunggu sambutan orang, Guru Besar Wu Wen She mendekati sosok Guru Besar Liang San. Dan tanpa buka mulut, Guru Besar Wu Wen She segera mengangkat tubuh Guru Besar Liang San ke atas pundak kirinya.
“Amitaba...,” kata Guru Besar Wu Wen She sambil takupkan kedua tangannya di depan dada dan tundukkan sedikit kepalanya. “Selamat tinggal, Sahabat-sahabat sekalian.... Kalau ada waktu luang, aku akan senang jika kalian mau singgah ke Perguruan Shaolin.”
Guru Besar Wu Wen She anggukkan kepala seraya tersenyum. Dan sekali dia membuat gerakan, sosoknya berkelebat lalu lenyap turun dari puncak Bukit Toyongga.
“Anak muda.... Aku juga harus segera pergi!” Dewa Asap Kayangan berkata seraya hendak melangkah.
“Kek! Tunggu!”
Tanpa berpaling Dewa Asap Kayangan buka suara. “Kalau kau ingin memenuhi janji pada gadis cantik yang tadi bersama Dewa Cadas Pangeran, datanglah ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Aku menunggumu di sana dan siap mengantarmu melamar gadis itu!”
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berkelebat seraya perdengarkan tawa bergelak panjang hingga Mei Hua dan Siao Ling Ling kaget dan berpaling. Di lain tempat, Bidadari Bulan Emas yang ternyata sudah berdiri dengan membopong sosok mayat gurunya dan hendak melangkah tinggalkan puncak bukit juga menoleh.
Karena yang masih tegak di tempat itu adalah Pendekar 131, Mei Hua, Bidadari Bulan Emas, dan Siao Ling Ling sama arahkan pandang mata masing-masing pada Joko. Dipandangi orang begitu rupa, murid Pendeta Sinting jadi serba salah. Ingin berkata tak tahu apa yang harus dikatakan dan canggung untuk memulai, ingin segera pergi tapi dia masih ingin bicara dengan Mei Hua untuk menjelaskan agar nantinya tidak lagi terjadi salah paham antara gadis itu dengan Dewi Bunga Asmara.
Hingga akhirnya Joko hanya diam dan memandang silih berganti pada Mei Hua, Siao Ling Ling, serta Bidadari Bulan Emas. Di lain pihak, diam-diam antara Mei Hua, Siao Ling Ling, dan Bidadari Bulan Emas sama lontar pandangan.
“Seandainya tidak ada orang lain... Tapi pantaskah aku berkata terus terang padanya? Ah... Mengapa aku harus memikirkan soal itu? Bukankah gadis murid Ratu Selendang Asmara adalah kekasihnya bahkan Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan telah sepakat untuk mempertemukan mereka?!” Diam-diam Mei Hua membatin. Lalu membungkuk dan mengangkat mayat ayahnya.
Sebelum melangkah tinggalkan puncak bukit, Mei Hua masih sempat arahkan pandangannya pada Pendekar 131. Jelas mulutnya terbuka hendak bicara, namun tiada sepatah kata pun yang terdengar hingga gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini melangkah perlahan meninggalkan puncak Bukit Toyongga.
Pendekar 131 kuatkan hati untuk angkat bicara. Namun yang terdengar hanya gumamannya yang tidak jelas hingga akhirnya sosok Mei Hua turun dari puncak bukit. Semua orang di tempat itu tidak tahu, ketika mulai melangkah turun, Mei Hua segera berkelebat dengan perdengarkan isakan tangis! Begitu sosok Mei Hua lenyap dari puncak bukit, Bidadari Bulan Emas tersenyum pada Pendekar 131. Diam-diam murid Hantu Bulan Emas ini berkata dalam hati.
“Aku tak mungkin mengharapkan dirinya.... Banyak gadis muda dan cantik yang mengharapkan dirinya! Ah.... Mengapa semua ini harus terjadi?!” Habis membatin begitu, Bidadari Bulan Emas anggukkan kepala ke arah Joko lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah meninggalkan puncak bukit.
“Bidadari! Tunggu!” Akhirnya Joko berhasil juga angkat suara.
Bidadari Bulan Emas berpaling. Dia menghela napas panjang. Saat bersamaan kepalanya menggeleng.
“Bidadari....” Hanya itu suara yang terdengar dari mulut murid Pendeta Sinting dan tidak dilanjutkan, karena di seberang sana Bidadari Bulan Emas sudah berkelebat menuruni puncak bukit. Pendekar 131 menghela napas. Saat itulah dia menangkap gerakan Siao Ling Ling yang melangkah hendak tinggalkan puncak bukit.
“Hem.... Apa yang harus kukatakan padanya?! Lagi pula pantaskah aku bicara dalam keadaan dia belasungkawa begini rupa?!” Karena terus bergelut dengan pikirannya sendiri, Joko baru tersadar saat kaki Siao Ling Ling yang membopong tubuh mayat Baginda Ku Nang mulai menuruni bukit, hingga ketika dia akan buka mulut, sosok Siao Ling Ling sudah tidak kelihatan lagi.
“Ah.... Aku masih punya waktu untuk menjelaskan pada mereka....” Akhirnya Joko bergumam untuk menenangkan dirinya yang dibuncah dengan berbagai pikiran yang tak bisa dipecahkannya. Dan saat itulah pandangannya membentur pada bulan di bagian timur langit.
“Malam ganda sepuluh hampir saja lewat! Aku harus segera membuka peta wasiat ini!”
Joko duduk di atas tanah. Sesaat dia pandangi kantong dan gelang baja di tangannya. Setelah menghela napas berulang kali, perlahan-lahan tangan kanannya meletakkan kantong putih di atas pangkuannya. Kini kedua tangannya memegang gelang baja. Dengan tangan bergetar, Joko segera menarik gelang itu dari kedua sisi. Gelang baja terbelah.
Lalu tampaklah gulungan kain putih di atas batangan gelang. Dengan hati-hati Joko menarik gulungan kain dari batangan gelang. Lalu dibuka perlahan-lahan. Ternyata gulungan kain putih itu kosong. Kain putih diletakkan di atas pangkuannya. Kini dia mengambil kantong putih dan membukanya. Ternyata kantong itu juga berisi gulungan kain yang mirip sekali dengan gulungan kain di batangan gelang. Kain ini juga kosong.
“Menurut Bu Beng La Ma, peta itu baru tertera jika kain ini dihadapkan pada rembulan....”
Pendekar 131 segera sambung kain yang tadi berada di batangan gelang dan kain yang diambilnya dari kantong putih. Lalu dengan kedua tangannya, kain putih itu direntangkan di depan wajahnya tepat menghadap sinar bulan. Ada satu keanehan. Tiba-tiba sinar rembulan laksana ditutup awan hingga untuk beberapa saat suasana jadi gelap gulita. Namun cuma sekejap. Di lain saat suasana kembali terang. Joko merasakan kain yang direntangkan laksana didorong kekuatan dahsyat. Tapi juga sekejap. Tatkala suasana terang, kekuatan yang seolah mendorong rentangan kain di tangannya lenyap.
Joko arahkan pandangannya pada rentangan kain. Matanya membelalak. Pada rentangan kain itu sekarang tertera goresan-goresan warna hitam membentuk gambar peta! Di salah satu gambar peta terlihat bundaran agak besar. Di tengah bundaran terlihat gambar sebuah peti yang tepat di tengahnya menancap sebilah pedang. Perlahan-lahan Joko turunkan kedua tangannya. Lalu pandangi gambar peta di rentangan kain.
“Hm.... Dari gencarnya beberapa tokoh yang menginginkan peta ini, jelas pedang ini bukan pedang sembarangan! Sementara isi peti itu bukan tak mungkin adalah harta karun....” Joko bergumam menduga-duga gambar dalam bundaran peta.
“Sayang, aku belum paham benar daerah yang tergambar di peta. Aku butuh seseorang untuk bertanya. Mungkin Dewa Cadas Pangeran atau Dewa Asap Kayangan bisa memberi penjelasan.”
Habis membatin begitu, Joko lipat kain ditangannya. Lalu perlahan-lahan memasukkannya ke balik pakaiannya. Saat lain ia bergerak bangkit dan sapukan pandangannya berkeliling. Saat itulah samar-samar terlihat bias cahaya warna kekuningan di ufuk timur, tanda sebentar lagi matahari akan segera muncul. Pendekar 131 menghela napas panjang. Di pelupuk matanya tergambar paras Mei Hua, Siao Ling Ling, Bidadari Bulan Emas, dan terakhir Dewi Bunga Asmara. Namun saat lain terbayang raut wajah Pendeta Sinting.
“Kapan aku bisa pulang?!” Tiba-tiba Joko teringat tengah berada di mana saat itu. Dia menghela napas sekali lagi, lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan puncak Bukit Toyongga yang telah ditelan kesunyian...
S E L E S A I