SATU
PENDEKAR 131 Joko Sableng picingkan mata beberapa saat. Lalu dipentang besar-besar. Saat lain dia bergerak bangkit dan memperhatikan perahu yang terus meluncur deras dimainkan gelombang ombak.
“Hem.... Rupanya perahu itu memang tidak berpenumpang! Apakah perahu nelayan yang penumpangnya terhantam gelombang?! Tapi... Itu tidak mungkin! Di sekitar sini tidak ada nelayan yang menangkap ikan. Di sini ombaknya terlalu besar. Para nelayan pasti sudah memperhitungkan dan tak mungkin berani melaut di sekitar tempat ini! Jangan-jangan inilah awal kebenaran ucapan Kakek Gendeng Panuntun....”
Murid Pendeta Sinting teringat akan ucapan Kakek Gendeng Panuntun saat berada di kawasan Kampung Setan. Seperti diceritakan dalam episode Pengadilan Neraka ketika bentrok antara Setan Liang Makam, Kiai Laras, dan Joko telah usai, Gendeng Panuntun memberi isyarat pada murid Pendeta Sinting jika tidak lama lagi mereka akan berpisah untuk beberapa saat lamanya. Untuk itu Gendeng Panuntun minta agar Joko mengucapkan selamat jalan pada Putri Kayangan.
Namun karena di situ ada Nyai Tandak Kembang dan beberapa orang lainnya, Joko tidak enak untuk bicara. Hingga akhirnya dia tidak kuasa untuk mengatakan apa-apa. Hanya saja Pendekar 131 sudah memutuskan akan pergi menyusul ke lereng Gunung Semeru begitu dia selesai bertemu dengan eyang gurunya Pendeta Sinting guna menjernihkan persoalannya dengan Putri Kayangan.
Seperti juga dituturkan, Putri Kayangan sempat kecewa dan cemburu ketika mengetahui Pendekar 131 bermesraan dengan Saraswati di dekat Bukit Kalingga. Hingga kala Pendekar 131 hendak bicara ketika Putri Kayangan akan pergi meninggalkan Kampung Setan, gadis jelita cucu Nyai Tandak Kembang itu sempat menunjukkan tampang tidak senang.
Apalagi tiba-tiba saat itu di Kampung Setan muncul pula Saraswati dan Dewi Seribu Bunga. Begitu Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga, dan Saraswati berkelebat meninggalkan Kampung Setan, Pendekar 131 sudah hendak pergi guna menemui Pendeta Sinting.
Namun Gendeng Panuntun mencegah, malah memerintahkan pada murid Pendeta Sinting untuk pergi ke pesisir Laut Utara. Gendeng Panuntun tidak mau menjelaskan ada apa di pesisir Laut Utara. Kakek buta itu justru mengatakan bahwa jawabannya akan diperoleh Joko jika sudah tiba di pesisir Laut Utara.
Walau dada dibuncah dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Joko turuti juga ucapan Gendeng Panuntun untuk pergi ke pesisir Laut Utara. Beberapa saat setelah tiba di pesisir Laut Utara, ternyata Joko tidak menemukan siapa-siapa. Akhirnya Joko memutuskan akan meninggalkan pesisir Laut Utara jika hari telah gelap.
Namun belum sampai hari gelap, mendadak pandang matanya menangkap sebuah perahu yang meluncur dimainkan alunan gelombang ombak. Joko sedikit merasa heran, karena dia yakin jika perahu itu tak berpenumpang! Dia juga yakin, jika perahu itu bukanlah milik seorang nelayan yang diterjang gelombang ombak, karena di pesisir Laut Utara di mana sekarang Joko berada, gelombangnya terlalu ganas untuk para nelayan yang mencari ikan.
Kecurigaan Joko membuat dia segera berkelebat mendekati perahu. Lagi pula saat itu tiba-tiba dia teringat akan ucapan Gendeng Panuntun. Pendekar 131 tegak di tepian dengan mata memandang tak berkesip. Berjarak dua puluh lima tombak di depan sana, perahu tanpa penumpang terus terombang-ambing dialun gempuran ombak yang makin menggila karena air laut sudah mulai pasang.
“Ah.... Kenapa aku tertarik dengan sebuah perahu?! Ucapan Gendeng Panuntun pasti ada hubungannya dengan seseorang! Bukan dengan sebuah perahu! Apalagi perahu tidak...,” gumaman murid Pendeta Sinting mendadak terputus. Matanya membelalak ketika menangkap sebuah tangan menggapai bagian samping perahu!
“Perahu itu berpenumpang!” desis Joko seraya melompat ke depan. Air laut membasahi celananya karena dia kini tegak sepuluh langkah memasuki air. Dia masih belum berani mengarungi gelombang menuju perahu karena selain amukan gelombang itu makin menggila, dia masih ingin yakinkan penglihatannya.
Sementara perahu di depan sana makin terombangambing dan makin tenggelam dalam amukan gelombang, hingga makin sulit bagi Joko untuk yakinkan pandang matanya. Setelah agak lama berpikir, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk berkelebat ke arah perahu, karena gulungan ombak bukannya membawa perahu mendekat ke arah pesisir, namun kini makin menjauh.
“Siapa pun dia, pasti dia dalam keadaan tidak berdaya!” gumam Joko lalu berkelebat menembus hempasan gelombang.
Setelah melewati gempuran ombak dan berenang, akhirnya Joko bisa menggapai bagian samping perahu. Mulutnya tampak megap-megap. Setelah sentakkan kepala ke samping kiri kanan, dia melompat memasuki perahu. Sementara perahu terus melaju ke tengah laut. Begitu kaki Pendekar 131 menginjak kabin perahu, saat itulah pandangannya membentur satu sosok tubuh yang tergeletak menelungkup dengan kedua tangan menggapai-gapai. Dari sikap orang, murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau orang itu terluka!
Tanpa pikir panjang, Joko segera mendekat. Kedua tangannya segera menelentangkan orang. Joko tersentak. Dugaannya tidak meleset. Orang di atas perahu memang dalam keadaan terluka. Namun bukan karena terjangan gelombang, melainkan karena perbuatan tangan orang. Orang di dekat Joko adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Kepalanya gundul.
Pada kepalanya terlihat titik-titik warna putih. Dia mengenakan pakaian warna kuning panjang tanpa leher. Pada pundaknya sebelah kiri menyelempang kain warna merah yang terus diikatkan pada bagian pinggangnya. Dari pakaian dan ciri-ciri orang, jelas bila orang ini adalah seorang biksu Budha.
Laki-laki berkepala gundul itu berparas agak bulat. Dari mulutnya masih kucurkan darah. Di hidungnya juga terlihat gumpalan darah yang menyumbat hingga laki-laki ini sulit mengambil napas. Pakaian di bagian dada dan lambungnya tampak robek menganga dan alirkan darah. Pada lengan kiri kanannya tampak luka memanjang goresan pedang yang juga semburkan darah!
Setelah melihat keadaan orang sejurus, murid Pendeta Sinting cepat hendak telungkupkan kembali tubuh orang agar bisa salurkan tenaga dalam lewat punggung orang. Namun begitu kedua tangan Joko pegang pundak orang, laki-laki berkepala gundul buka sepasang matanya. Tangan kiri kanannya coba menggapai kedua tangan Joko. Bersamaan dengan itu kepalanya bergerak menggeleng perlahan.
“Kita harus berusaha...,” gumam Joko tahu isyarat orang.
Namun kembali kepala gundul milik laki-laki itu bergerak menggeleng. Mulutnya yang masih kucurkan darah membuka. Saat lain terdengar ucapannya perlahan. “Amitaba.... Kita memang harus berusaha.... Tapi ada yang lebih penting dari itu....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, laki-laki berkepala gundul lepaskan gapaian kedua tangannya pada kedua tangan Joko. Perlahan dan gemetar, tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat ditarik keluar, tangan kanannya memegang sebuah kantong dari kain agak besar berwarna putih. Mata laki-laki itu sesaat pandangi paras wajah Pendekar 131. Bibirnya yang tertutup kucuran darah coba tersenyum sebelum akhirnya tangan kanannya yang memegang kantong putih menjulur ke arah Joko.
Karena ingin segera memberi pertolongan, tanpa banyak tanya lagi, Pendekar 131 menerima kantong putih. Lalu diletakkan. Saat lain kedua tangan Joko kembali hendak balikkan tubuh orang seraya berkata. “Sekarang aku akan salurkan tenaga dalam....”
Namun laki-laki berkepala gundul tarik kedua tangannya lalu ditakupkan di depan dada. “Amitaba.... Mudah-mudahan kau mendapat anugerah atas niat baikmu.... Tapi masih ada yang harus kukatakan padamu, Anak Muda.... Aku tak mau terlambat mengatakannya....”
“Itu bisa kau katakan nanti....”
“Jangan membuang kesempatan selagi kesempatan itu ada...,” sahut laki-laki berkepala gundul. “Manusia diciptakan sudah pasti akan kembali pada Sang Pencipta. Namun satu kesempatan tidak akan terulang untuk kedua kalinya....”
“Tapi ini juga kesempatanmu untuk berusaha hidup...,” kata Joko.
“Benar.... Tapi apalah artinya bila nyawa satu orang harus ditebus dengan beberapa nyawa....”
“Apa maksudmu...?”
“Aku tak bisa memberi keterangan banyak. Hanya kumohon kau sampaikan isi dalam kantong itu pada seseorang bernama Guru Besar Pu Yi.... Dia adalah salah seorang Guru di Kuil Shaolin.... Ingat.... Kumohon jangan berikan kantong itu pada siapa saja selain
Guru Besar Pu Yi....”
“Tapi di mana kuil itu berada...?!”
“Dia berada di perbatasan Tibet dan Tiongkok.... Jika kau nanti sampai ke pesisir tanah Tibet, pergilah ke Gunung Sim Yao In. Dari gunung itu pergilah ke arah barat. Setelah melewati lima kawasan hutan, kau akan menemukan kawasan tanah lapang. Tanah lapang itu dibelah sebuah sungai. Itulah perbatasan Tibet dan Tiongkok. Di perbatasan itu nanti kau akan menemukan sebuah kuil.”
“Baiklah.... Sekarang waktunya aku memberimu pertolongan....”
“Amitaba.... Bukan aku tak mau menerima pertolongan. Tapi kesanggupanmu merupakan pertolongan besar bagiku.... Mudah-mudahan.... Kau diberkati dalam... perjalananmu....” Mulut laki-laki berkepala gundul coba membuka lagi. Tapi suaranya sudah tidak terdengar. Saat lain perlahan-lahan sepasang matanya meredup.
Joko tidak lagi hiraukan ucapan orang yang dari tadi terus mencegahnya. Dia cepat gerakkan bahu orang untuk ditelungkupkan. Saat lain kedua tangannya ditempelkan pada punggung orang. Namun baru saja kedua tangannya menempel, Pendekar 131 menarik napas panjang.
“Dia sudah meninggal...,” gumam Joko ketika merasakan kedua telapak tangannya tidak lagi dialiri hawa hangat.
Pendekar 131 kembali balikkan tubuh orang. Lalu untuk meyakinkan, kedua tangannya ditempelkan pada dada orang. Detak dan denyutan dada laki-laki berkepala gundul itu memang sudah terhenti.
“Bagaimana ini?! Aku belum tahu arah mana daratan yang diucapkannya! Sementara aku telah menyanggupi permintaannya...,” Joko bergumam sendiri seraya memperhatikan sekujur tubuh orang yang kini terbujur kaku.
Saat itulah matanya melihat kantong putih yang tadi diletakkan di kabin perahu. Joko julurkan tangan kanan mengambil kantong putih. Sesaat kantong itu diperhatikan dengan seksama. Perturutkan rasa hati yang penasaran, ingin rasanya dia membuka kantong itu. Tapi setelah dipikir-pikir, akhirnya dia masukkan kantong putih ke baik pakaiannya tanpa dibuka terlebih dahulu.
“Apa pun yang akan terjadi, aku sudah telanjur menyanggupi permintaannya.... Mudah-mudahan perahu ini membawaku ke tempat yang dikehendaki orang!”
Pendekar 131 letakkan sosok mayat laki-laki berkepala gundul ke tepi kabin perahu. Lalu dia mulai memeriksa di bagian belakang perahu. Di sana murid Pendeta Sinting menemukan bekal bahan makanan.
“Hem.... Tampaknya dia memang bertujuan pergi jauh... tapi mengapa sampai terluka begitu rupa?! Tak mungkin dia terluka di daratan. Pasti dia terlibat bentrok di atas laut....” Pendekar 131 kembali pandangi wajah orang. “Hem.... Aku sampai lupa bertanya siapa namanya.... Tapi yang jelas dia adalah dari Perguruan Shaolin!”
Joko terus menduga-duga dan bertanya pada diri sendiri. Sementara perahu yang ditumpangi terus melaju menembus gelombang. Pendekar 131 tidak tahu ke mana arahnya sekarang, apalagi hari sudah mulai gelap. Yang dia tahu, dari arah matahari terbenam, dia tengah melaju ke arah selatan.
***
DUA
MASIH untung di dalam perahu ada bekal makanan, hingga meski Pendekar 131 sudah empat hari lima malam berada di tengah laut, namun soal makanan dia tidak perlu merasa kebingungan. Justru yang membuatnya bingung adalah arah tujuan melajunya perahu. Dia tak tahu harus dibawa ke mana perahu itu. Hingga dia hanya menurut saja ke mana gelombang laut membawanya. Hanya saja saat hari kelima, dia melihat gugusan beberapa gunung nun jauh di sana. Lalu terlihat beberapa perahu.
“Hem.... Aku harus mendekat ke sana. Aku nanti bisa bertanya pada seorang nelayan...,” kata Joko. Kepalanya berputar memandang ke arah sosok mayat di belakangnya. Sekujur tubuh laki-laki itu telah mulai membiru.
“Tibet.... Hem.... Nyatanya ucapan Gendeng Panuntun benar. Dari perjalanan ini rasanya aku untuk sementara waktu harus lama meninggalkan tanah Jawa. Hanya saja mudah-mudahan aku tidak menghadapi halangan berarti sampai bertemu dengan orang yang bernama Guru Besar Pu Yi.... Jika tidak, rasanya urusanku dengan Putri Kayangan tidak akan kunjung jernih!”
Ingat akan hal itu, ditambah dengan terlihatnya beberapa perahu di depan sana, Pendekar 131 cepat ambil dayung yang sudah beberapa hari tidak digunakan. Saat lain kedua tangannya telah bergerak mendayung. Perahu tumpangannya melaju ke arah beberapa perahu yang terlihat. Beberapa saat berlalu.
Harapan murid Pendeta Sinting untuk segera bertanya rupanya akan tercapai. Karena bukan saja perahunya yang melaju mendatangi beberapa perahu yang tadi terlihat, namun ada dua perahu agak besar dan satu lagi perahu besar melaju cepat ke arahnya.
Pendekar 131 merasa lega namun juga mulai khawatir begitu matanya dapat melihat ke arah tiga perahu yang melaju ke arahnya. Dua perahu agak besar yang melaju mengapit perahu besar, baik warna maupun modelnya mirip persis dengan perahu yang kini ditumpangi! Murid Pendeta Sinting pentangkan mata tembusi gelombang ombak yang sesekali halangi pandang matanya.
Dia belum bisa dengan jelas melihat wajah orang di atas perahu. Dia hanya dapat melihat dua sosok tubuh di masing-masing perahu yang mengapit perahu besar. Sementara di perahu besar, terlihat beberapa sosok tubuh.
“Aku tak mau membuat urusan dengan kematian orang itu! Untuk sementara dia harus kututupi! Jika tidak, mungkin mereka akan menuduh macam-macam....”
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting yang saat itu masih mengenakan Jubah Tanpa Jasad segera lepaskan jubah peninggalan kerabat Kampung Setan yang kini kesaktiannya sudah punah akibat bentrok dengan benda merah yang diambil Joko dari pusar bayinya Pitaloka. Jubah hitam segera ditutupkan rapi ke tubuh laki-laki berkepala gundul. Saat lain dia kembali ke bagian depan perahu. Sementara tiga perahu di depan sana sudah makin mendekat.
Begitu jarak tinggal dua puluh lima tombak, dan murid Pendeta Sinting mulai dapat melihat sosok-sosok di atas perahu, tiba-tiba dua perahu yang mengapit perahu besar bergerak menjauhi perahu besar yang di apit. Saat lain dua perahu itu melaju dari sebelah kanan kiri perahu Joko.
Sementara perahu besar terus melaju lurus dari arah depan. Gerakan tiga perahu di depan mulai membuat murid Pendeta Sinting rasakan gelagat tidak baik. Apalagi sesaat kemudian terdengar teriakan lantang dari perahu yang melaju dari bagian sisi samping kanan.
“Berhenti!”
Pendekar 131 yang sesaat tadi terus perhatikan perahu besar yang melaju lurus dari arah depan segera berpaling. Karena jaraknya kini makin dekat, Joko bisa melihat tampang-tampang orang di atas perahu yang menyusur dari arah samping kiri kanannya. Di sebelah kanan, di mana baru saja terdengar teriakan, tegak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Rambutnya panjang berkibar-kibar ditiup angin laut.
Laki-laki ini mengenakan pakaian keprajuritan. Di punggungnya terlihat sembulan gagang pedang. Pada lengan laki-laki berusia empat puluh lima tahunan ini terlihat melilit ban kain berwarna merah. Di sebelah laki-laki ini duduk sambil ayunkan dayung seorang laki-laki yang juga mengenakan pakaian keprajuritan. Di lengan tangannya melilit ban kain berwarna kuning. Usianya tidak beda jauh dengan laki-laki yang tegak.
Pendekar 131 arahkan pandang matanya ke perahu satunya. Di sana dia melihat pula dua orang laki-laki. Yang satu tegak memperhatikan ke arah Joko, satunya lagi juga mengawasi seraya gerakkan dayung. Kedua laki-laki ini usianya juga kira-kira empat puluhan tahun. Hanya saja kedua orang ini mengenakan pakaian panjang mirip jubah berwarna hitam dan putih.
Kini murid Pendeta Sinting luruskan pandangannya ke depan. Ke arah perahu besar. Di bagian depan perahu besar tampak tegak empat sosok tubuh mengenakan seragam keprajuritan. Pada lengan masing-masing orang melilit juga ban kain warna merah. Joko hanya sekilas memperhatikan keempat orang di bagian perahu besar.
Matanya terus memandang melalui pundak masing-masing orang ke arah satu anjungan di belakang keempat laki-laki. Di sana terlihat sebuah kursi agak besar. Duduk di atasnya seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian kebesaran seorang panglima.
“Berhenti!” Kembali terdengar teriakan garang dari laki-laki di perahu sebelah kanan yang di lengannya melilit ban kain warna merah.
Pendekar 131 Joko Sableng kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Perahu yang ditumpangi seketika berhenti dan terayun-ayun dimainkan gelombang. Ekor matanya melirik ke samping kanan dari mana suara teriakan terdengar. Lalu melirik ke kiri dan ke depan. Murid Pendeta Sinting tahu, beberapa orang di atas perahu hanya memandang sekilas ke arahnya. Lalu sama memperhatikan ke arah lantai perahu yang ditumpanginya.
“Katakan siapa kau adanya! Beri juga penjelasan bagaimana kau dapatkan perahu itu!” Laki-laki yang tadi berteriak kembali buka mulut ajukan tanya serta minta keterangan. Seperti halnya Joko, masing-masing orang di atas perahu kerahkan tenaga dalam hingga perahu masing-masing orang juga berhenti melaju dan diam terapung-apung dimainkan gelombang.
“Aku hanyalah seorang nelayan biasa.... Perahuku terhantam badai dan hancur porak-poranda. Beberapa temanku tenggelam. Aku berhasil selamat dengan bantuan serpihan kayu dari perahuku yang hancur. Sehari semalam aku terapung-apung di atas laut hingga akhirnya aku menemukan perahu ini....”
Pendekar 131 angkat suara. Dia sengaja tidak mau berterus terang karena belum tahu maksud orang. Lagi pula dia mendapat gelagat tidak baik. Apalagi ketika ingat pesan laki-laki berkepala gundul yang memberikan kantong putih kepadanya.
Laki-laki yang tadi buka mulut, sesaat pandangi Joko dari atas hingga bawah. Saat lain dia kembali angkat bicara. “Kami tidak akan berpanjang lebar. Jawab dengan jujur pertanyaanku! Ingat, bila kau coba berani menutupi sesuatu, bentangan laut telah menanti mayatmu! Kau paham?!”
“Ah.... Apalah untungnya bagiku berani menutupi sesuatu. Bisa selamat saja aku sudah banyak-banyak ucapkan terima kasih.... Apalagi jika kalian mengizinkan aku meneruskan perjalanan ke pantai sana! Terus terang.... Aku sekarang sudah ngeri berada di atas laut....”
“Bagus! Kau bukan saja akan kami izinkan meneruskan perjalanan. Namun kami akan mengiringi perjalananmu dan memberi hadiah padamu! Bukankah begitu, Panglima Muda Lie?!” kata laki-laki yang lengannya dililit ban kain warna merah yang tadi buka suara. Kepala laki-laki ini berpaling pada perahu besar.
Matanya tertuju pada laki-laki yang duduk di atas kursi di bagian anjungan perahu. Laki-laki setengah baya di atas kursi yang mengenakan pakaian panglima anggukkan kepala. Bibirnya sunggingkan senyum. Namun matanya tertuju jauh ke tengah laut.
“Mudah-mudahan ini tidak ada hubungannya dengan...,” gumaman Joko belum berlanjut, tiba-tiba laki-laki yang tadi bicara kembali perdengarkan suara.
“Kau menemukan seseorang di atas perahu yang kini kau tumpangi?!”
“Celaka!” desis murid Pendeta Sinting. Namun dia tidak berani membuat curiga orang dengan tidak segera menjawab. Seraya sunggingkan senyum, Joko gelengkan kepala dan menjawab. “Pada mulanya aku memang berharap bisa menemukan orang di perahu ini! Dengan begitu aku bisa bertanya sekaligus menumpang. Tapi nyatanya aku tidak menemukan siapa-siapa! Perahu ini terombang ambing tanpa penumpang!”
Seraya berkata, ingin rasanya Joko berpaling ke arah sosok mayat yang ditutup dengan jubah hitam. Dia khawatir jubah hitam itu tidak bisa menutupi keberadaan orang, apalagi ayunan gelombang bisa saja membuat jubah hitam berubah letaknya. Namun Joko berusaha keras menahan keinginan. Dia tidak mau sikapnya akan membuat orang jadi menaruh curiga. Malah mungkin agar tidak dicurigai, Joko segera sambungi ucapannya.
“Kalian tengah mencari seseorang?! Siapa...?!”
Laki-laki yang lengannya dililit ban kain merah tidak segera menjawab. Sebaliknya menatap tajam pada jubah hitam di lantai perahu. Untung jarak antara kedua perahu itu agak jauh dan bagian samping perahu agak tinggi. “Anak muda! Benar ucapanmu?!” Akhirnya si laki-laki yang dari tadi angkat bicara ajukan tanya.
“Sudah kukatakan, tak ada untungnya menutupi sesuatu! Karena keselamatan adalah hal paling penting bagiku saat ini!”
“Hem.... Lalu apa di bawah jubah hitam itu?!”
Dada murid Pendeta Sinting berdebar. Namun dia tetap bertahan tak hendak membuat orang merasa curiga. Lagi pula ini adalah kesempatan baginya memeriksa. Maka semberi tersenyum, kepala Joko berpaling ke arah jubah hitam di lantai perahu. Dia sedikit merasa lega karena sosok tubuh orang di bawah jubah hitam tetap tertutup.
“Ini adalah bekal makanan yang kutemukan di perahu. Karena aku takut terkena muncratan gelombang air, aku menutupnya dengan jubahku. Lagi pula, dengan mengenakan jubah, kurasa akan menghambat laju perahu karena jubah itu akan menahan hembusan angin!”
“Buka jubah hitam itu!” Terdengar suara perintah. Kali ini datangnya dari perahu sebelah kiri.
Kepala Joko berpaling ke kiri. Tengkuknya diam-diam terasa dingin. Namun dia masih coba menutupi dengan sunggingkan senyum dan buka mulut. “Kurasa lebih baik kita bicara di pesisir sana. Nanti akan kujelaskan semuanya. Kalian tahu, badai gelombang yang menghancurkan perahuku dan menenggelamkan beberapa temanku membuat aku terus-menerus dihantui perasaan ngeri berada di atas laut!”
“Kau dengar perintah! Buka jubah hitam itu!” Lakilaki di perahu sebelah kiri kembali perdengarkan perintah dengan bentakan keras.
“Aku masih memerlukan bekal makanan itu. Karena di daratan sana pasti belum ada orang yang kukenali jika sampai bekal itu terkena air, berarti aku selamat di laut tapi celaka di darat! Sebab aku akan mati kelaparan!” kata Joko lalu ambil dayung. Enak saja Joko hendak ayunkan dayung di tangannya seraya berucap menyambungi kata-katanya. “Kalian tadi belum jawab pertanyaanku. Kalian tengah mencari seseorang?!”
“itu bukan urusanmu! Turuti saja perintah yang kau dengar jika kau ingin sampai daratan dengan selamat!”
Kali ini suara itu diperdengarkan laki-laki di perahu sebelah kanan yang lengannya terlilit ban kain warna merah.
“Kalian tak mau menjawab pertanyaanku. Bagaimana mungkin kalian bisa memerintah orang?! Aku juga sudah menawarkan pembicaraan nanti di darat sana, tapi kalian rupanya memaksakan kehendak! Padahal aku sudah ketakutan....” Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting selesai, orang di perahu sebelah kiri sudah membuat gerakan dengan kelebatkan kedua tangannya.
"Wuuutt! Wuuttt!" Air laut yang berada di antara perahu orang dan perahu Joko tampak bergelombang dahsyat. Saat lain terdengar deruan keras.
"Byurrr! Byuurr!" Air laut muncrat ke udara setinggi tiga tombak. Perahu yang ditumpangi Joko tampak naik turun diterpa gelombang akibat pukulan orang ke arah air laut. Joko berteriak-teriak ngeri. Kedua tangannya ditadangkan di atas kepala menahan muncratan air yang mengguyur ke arahnya.
“Apa yang kalian lakukan padaku?!” tanya murid Pendeta Sinting seraya mengusap wajahnya yang basah. Lalu kedua tangannya kibas-kibaskan pakaian yang dikenakan yang ternyata telah basah kuyup.
Karena tidak mau dicurigai, Joko tidak berusaha kerahkan tenaga dalam untuk hentikan gerakan perahu yang naik turun akibat terpaan gelombang. Malah dia juga tidak kuasai diri dengan pengerahan tenaga dalam, hingga sosoknya tampak terhuyung-huyung di lantai perahu. Kesempatan ini dipergunakan Joko.
Dia sengaja arahkan huyungan tubuhnya mendekati jubah hitam. Lalu kedua kakinya menginjak jubah yang menutupi sosok orang. Hingga meski terpaan gelombang air laut membuat perahu bergerak naik turun dengan keras, tapi jubah hitam tidak bergerak dari tempatnya.
“Kalian membuatku makin takut! Padahal aku telah mengatakan apa yang kulihat dan kalian tanyakan!” seru Joko begitu gerakan perahu agak mereda.
“Itu adalah satu peringatan! Jika kau masih tidak turuti perintah, tidak sulit bagi kami menghancurkan perahu itu!” bentak orang di perahu sebelah kiri.
“Hem.... Tak mungkin mereka akan menghancurkan perahu ini selama mereka masih belum mendapat kepastian! Aku hampir yakin, mereka mencari laki-laki berkepala gundul itu! Hem.... Kalau tak salah, ini pasti masih ada kaitannya dengan kantong putih itu! Rupanya aku harus menghadapi beberapa aral....
Apa hendak dikata. Aku telah telanjur menyanggupi permintaan orang.... Sedapat mungkin aku tidak akan membuat urusan. Tapi kalau keadaan terpaksa, apa pun akan kulakukan! Apalagi tampang-tampang mereka memberi isyarat jika mereka bukan orang baik-baik!” Joko diam-diam membatin.
“Orang asing tak dikenal! Kami masih memberi waktu! Singkapkan jubah hitam itu atau kusingkap selembar nyawamu!” Laki-laki di perahu sebelah kiri kembali perdengarkan perintah.
“Apa yang ada di balik jubah itu adalah nyawaku! Aku tidak akan membukanya! Namun aku berjanji akan membuka bila nanti telah tiba di pesisir! Dengan begitu bekal makanan itu tidak akan terkena air! Bagaimana?!”
Sebenarnya, seraya berkata diam-diam Joko mencari jalan bagaimana caranya bila nanti orang-orang di atas perahu menuruti kehendaknya. Sementara begitu mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, orang di perahu sebelah kanan perdengarkan tawa panjang lalu berucap.
“Anak muda! Soal makanan kau tak usah khawatir! Kami nanti akan menggantinya berapa banyak yang kau minta!”
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Aku adalah orang kecil yang telah kenyang dengan pengalaman pahit. Banyak orang yang memberi janji-janji padaku. Tapi kebanyakan janji tinggal hanya janji! Aku bukannya tidak percaya pada janji ucapan kalian, tapi sebenar-nya aku khawatir pengalaman pahit akan terulang! Jadi....”
“Kau manusia kecil yang keras kepala! Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?!” kata laki-laki di perahu sebelah kanan.
“Bagiku, lebih penting apa yang akan kumakan kelak, daripada siapa yang saat ini kuhadapi!”
“Berarti kau lebih sayang makanan daripada nyawamu!”
“Terserah bagaimana penilaianmu. Yang jelas tanpa makanan, nyawaku akan melayang! Maka dari itu makanan adalah yang utama dan lebih penting daripada nyawa!”
Laki-laki di perahu sebelah kanan rupanya tidak dapat lagi menahan kesabaran, tanpa menyahut ucapan Joko kedua tangannya bergerak!
***
TIGA
SATU deruan keras terdengar. Bersamaan dengan itu dua gelombang tampak berkiblat menyusur satu tombak di atas air laut. Air laut kembali bergolak. Namun kali ini tidak sedahsyat pukulan dari laki-laki di perahu sebelah kiri karena pukulan laki-laki di perahu sebelah kanan sengaja diarahkan langsung pada sosok Pendekar 131!
Karena tahu jika pukulan itu diarahkan pada dirinya bukan pada lambung perahu, murid Pendeta Sinting segera sentakkan tubuhnya ke depan. Sosoknya melengkung lalu terjerembab sama rata dengan lantai perahu. Gelombang angin pukulan orang menderu ganas di atas tubuhnya lalu terus menerabas melewati perahu.
Dua orang laki-laki yang berada di perahu sebelah kiri sesaat sama terkesiap. Karena gelombang pukulan yang berhasil dihindari Joko melaju deras ke arah mereka! Terlambat bagi kedua orang ini untuk gerakkan perahu menghindar. Hingga satu-satunya jalan adalah menghadang pukulan dengan pukulan pula. Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri serta merta angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan.
"Bummm!" Terdengar ledakan. Air laut di bawah mana gelombang pukulan bertemu bergolak muncrat. Perahu di sebelah kiri Joko tampak terangkat bagian depannya. Untung kedua penumpangnya cepat kerahkan tenaga dalam masing-masing hingga dalam beberapa saat mereka segera dapat kuasai perahunya.
Bentroknya pukulan tak luput pula membuat perahu yang ditumpangi murid Pendeta Sinting bergerak naik turun dengan keras. Namun kali ini Joko cepat kerahkan tenaga dalam hingga gerakannya segera terhenti. Pendekar 131 nongolkan kepalanya di bibir perahu. Dengan unjuk tampang ketakutan dia berseru.
“Mengapa kalian mempermainkan orang yang benar-benar ketakutan?! Tampaknya kalian ingin aku mati ketakutan di atas laut!”
“Anak muda itu punya ilmu!” Laki-laki di perahu sebelah kanan yang duduk dengan memegang dayung bergumam pada laki-laki yang tegak, yang di lengannya ada lilitan ban kain warna merah.
“Tapi kalau langsung kita hantam perahunya, aku khawatir buruan kita lolos! Aku curiga pada sesuatu yang ditutup jubah hitam itu!”
“Yang Kui Tan sudah terluka parah! Sebagai seorang anak murid Perguruan Shaolin yang dipercaya mengemban tugas penting, kurasa dia rela mati tanpa diketahui jejaknya daripada gagal melaksanakan tugas!” Laki-laki yang duduk menyahut. “Di sini ada Panglima Muda Lie, sebaiknya kau minta pendapat padanya!”
Kalau kedua laki-laki berseragam prajurit di perahu sebelah kanan berbincang demikian, tidak begitu halnya dengan kedua laki-laki yang berada di perahu sebelah kiri. Kedua laki-laki yang tidak mengenakan seragam prajurit ini saling pandang. Laki-laki yang tegak dengan mengenakan jubah warna putih ini buka suara pelan.
“Tampaknya ada yang tidak beres! Pukulan tadi sengaja diarahkan pada kita! Kita harus berlaku waspada! Siapa tahu anak buah Panglima Muda Lie akan menghabisi kita begitu tujuan mereka tercapai!”
“Jangan mudah terbawa prasangka buruk! Kurasa pukulan tadi diarahkan pada orang muda di atas perahu itu! Hanya saja mereka tidak menduga kalau orang di atas perahu itu bisa berkelit hindari pukulan! Mereka sengaja tidak langsung menghantam ke arah perahu karena takut Yang Kui Tan masih berada di perahu itu! Jika benar dan perahunya hancur, maka semua rencana perburuan ini akan gagal total!”
“Hem.... Meski demikian, kita harus tetap hati-hati! Kita tahu siapa Panglima Muda Lie!”
“Kita tak usah terlalu pikirkan hal itu! Justru kita harus berhati-hati pada orang-orang dari Perguruan Shaolin. Sekali penyamaran kita diketahui, kegemparan besar akan terjadi! Perguruan Shaolin akan bergolak!”
Laki-laki berjubah hitam yang duduk dengan pegang dayung sudah hendak menyahut. Namun belum sampai suaranya terdengar, dari arah perahu sebelah kanan Joko terdengar teriakan.
“Panglima Muda Lie! Harap beri keputusan apa yang harus kami lakukan!” Yang berteriak ternyata laki-laki yang di lengannya ada lilitan ban kain warna merah.
Laki-laki yang duduk di atas kursi dengan pakaian kebesaran seorang panglima dan dipanggil dengan Panglima Muda Lie bergerak turun dari kursi. Empat orang yang berada di bagian depan perahu besar bergerak geser tubuh masing-masing ke samping. Panglima Muda Lie adalah laki-laki berusia setengah baya. Wajahnya dingin. Alisnya tebal sedikit mencuat ke atas bagian ujung sampingnya. Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat tahi lalat agak besar.
Panglima Muda Lie tegak di tengah-tengah empat orang berseragam prajurit yang berada di bagian depan perahu besar. Pandang matanya sejenak menyusur ke arah gelombang laut di depan perahunya. Lalu terus lurus ke arah murid Pendeta Sinting yang masih telungkup di atas lantai perahu dengan kepala terangkat ke bibir lambung perahu.
“Anak muda!” Panglima Muda Lie buka suara. Kini pandangannya beralih jauh ke tengah laut. “Aku adalah wakil Penguasa Daratan Tibet. Urusan makanan jangan kau cemaskan! Aku bisa menjamin hidupmu sampai kau tua! Tapi.... Satu permintaanku. Dan permintaan ini adalah satu dari dua pilihan yang harus kau ambil!”
Panglima Muda Lie sesaat hentikan ucapannya. Kini pandang matanya menusuk tajam pada Pendekar 131 yang simak ucapan orang dengan seksama meski sesekali ekor matanya melirik pada jubah hitam penutup sosok mayat laki-laki berkepala gundul.
“Buka jubah hitam itu atau kau akan mampus di tengah laut!” Panglima Muda Lie sambungi ucapannya. Nadanya keras memerintah.
“Maaf.... Aku bukannya tidak percaya dengan ucapan seorang panglima. Namun kalau kalian semua yang ada di sini tidak percaya pada keteranganku, bagaimana mungkin aku bisa percaya?! Padahal aku hanya minta kesempatan untuk membuka jubah hitam itu di pesisir sana! Bukankah jaraknya sudah tidak jauh lagi?!
Di sini ada beberapa prajurit dan wakil Penguasa Daratan Tibet. Kurasa tidak ada yang perlu ditakutkan, bukan?!” Pendekar 131 angkat suara lalu perlahan bergerak bangkit Kaki kanannya tetap injak ujung jubah hitam yang menutupi sosok mayat orang.
“Kami tidak bisa menunggu!” kata Panglima Muda Lie.
“Aneh.... Ada apa ini sebenarnya?! Hem.... Tak kusangka sama sekali. Pada mulanya aku gembira mendapat tumpangan perahu dan bekal makanan banyak! Tak tahu kalau semua ini akan membawa urusan!” Pendekar 131 berkata seolah menyesali diri sendiri. Lalu seperti sikap Panglima Muda Lie, Joko bukannya memandang ke arah sang Panglima, melainkan pada gelombang laut jauh di sana. Saat lain Joko telah sambungi ucapannya.
“Kalau aku boleh dengar. Apa sebenarnya yang kalian cari?! Seseorang atau hanya bekal makanan?! Kalau hanya bekal makanan bukankah kau telah punya banyak?! Tentu dugaanku yang pertama yang tak keliru. Kalian tengah mencari seseorang dan menduga aku yang menyembunyikannya! Benar, bukan?!”
“Anak muda! Kami memang tengah mencari seseorang!” Akhirnya Panglima Muda Lie berterus terang.
Meski dada murid Pendeta Sinting makin berdebar, namun dia coba sembunyikan rasa kejutnya. Dia tersenyum lebar lalu berkata. “Boleh aku dengar juga, mengapa kalian menduga aku menyembunyikan orang yang tengah kalian cari?!”
“Perahu yang kau tumpangi, Anak Muda!” ujar Panglima Muda Lie. Laki-laki ini berkata dengan suara agak rendah meski sebenarnya dadanya sudah mulai diamuk dengan hawa amarah.
“Panglima! Kau harus percaya padaku. Aku menemukan perahu ini dalam keadaan kosong!”
“Anak muda! Aku baru pertama kali ini memberi kesempatan pada orang! Tapi sayang.... Kau tak mau mempergunakan kesempatan yang kuberikan! Sekali lagi kuperintahkan kau untuk membuka jubah hitam itu!”
Pendekar 131 tersenyum lebar walau dadanya makin berdebar dan tengkuknya mulai dingin. Lalu kepalanya menggeleng perlahan dan berkata. “Aku baru akan membukanya setelah perahu mendarat di pesisir!”
Panglima Muda Lie sentakkan tangan kirinya ke bawah. Lalu putar diri. Bersamaan dengan itu laki-laki yang tegak di perahu sebelah kanan dan laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri sudah sentakkan kedua tangan masing-masing. Dua gelombang dahsyat menderu dari sebelah kanan dan kiri perahu tumpangan murid Pendeta Sinting.
Kali ini pukulan orang tidak langsung diarahkan pada tubuh Pendekar 131 Joko Sableng. Namun langsung ke arah perahu. Namun bersamaan dengan menderunya gelombang pukulan, Panglima Muda Lie yang telah balikkan tubuh berbisik pada keempat orang prajurit di sampingnya.
“Perhatikan apa yang ada di bawah jubah hitam! Kalian harus siap menyelam untuk mendapatkannya jika perahu itu hancur!”
Keempat laki-laki di samping Panglima Muda Lie anggukkan kepala lalu pentang mata masing-masing ke arah jubah hitam. Di lain pihak, Joko tidak lagi berusaha hindarkan diri karena dia tahu persis pukulan orang yang kini melabrak ke arahnya bukan saja ditujukan pada dirinya, namun juga pada perahu tumpangannya. Sementara dia tak mau sosok mayat yang ada di perahu ikut porak-poranda. Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke samping kanan kiri.
Bummm! Bummm!
Terdengar gelegar bentroknya pukulan di tengah suara bergemuruhnya gelombang ombak. Air laut bertabur muncrat. Tiga perahu tampak berguncang keras. Laki-laki yang tadi lepaskan pukulan jarak jauh di perahu sebelah kanan dan kiri tampak terhuyung dan hampir saja roboh karena bias bentroknya pukulan dan guncangan perahu.
Sementara karena tidak mau orang makin curiga, meski tidak mengalami cedera apa-apa oleh bentroknya pukulan, Joko langsung jatuhkan diri di lantai perahu seraya perdengarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya ditakupkan menutupi kepalanya!
“Kau lihat! Dia berhasil menghadang pukulan!” Berkata laki-laki yang duduk di perahu sebelah kanan. “Kurasa dia hanya berpura-pura! Kita akan celaka jika meremehkan dia!”
Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kanan cepat lipat gandakan tenaga dalam. Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri tak tinggal diam. Dia segera pula siapkan pukulan. Malah laki-laki yang duduk di sebelahnya ikut bergerak bangkit. Di perahu besar, Panglima Muda Lie picingkan mata. Dia sedikit terkejut melihat Joko mampu menghadang pukulan orang. Kemarahannya tidak bisa dibendung lagi. Kedua tangannya disentakkan pada tanganan kursi seraya berteriak.
“Hancurkan perahu itu beserta penumpangnya!” Tapi setelah membentak begitu, Panglima Muda Lie berkata pelan pada keempat orang di hadapannya. “Lihat dengan seksama jubah hitam itu! Awasi jangan ada sesuatu yang lolos!”
Keempat laki-laki di depan Panglima Muda Lie lagilagi hanya anggukkan kepala dengan mata makin dipentang besar-besar ke arah jubah hitam di lantai perahu Joko. Sementara begitu mendengar perintah sang Panglima, laki-laki di perahu sebelah kanan segera hantamkan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh. Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kiri juga segera lepaskan pukulan.
Ganasnya pukulan yang datang membuat murid Pendeta Sinting tidak bisa berbuat lain kecuali harus siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Karena jika tidak, perahu yang ditumpanginya akan porak-poranda! Apalagi Panglima Muda Lie telah keluarkan perintah.
"Wuuttt! Wuuttt!" Dua tangan Pendekar 131 mendorong ke samping kanan kiri. Dua sinar kuning melesat hamparkan gelombang dahsyat dan hawa panas luar biasa. Inilah tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’.
Blammm! Blammm!
Byuurr! Byuurr! Brakkk! Brakkk!
Terdengar ledakan dahsyat. Tiga gelombang yang datang dari perahu sebelah kiri kanan langsung berhamburan semburat. Air laut bergolak. Lalu terdengar suara derakan. Dua laki-laki yang berada di perahu sebelah kiri langsung mencelat mental.
Perahu yang ditumpangi pecah jadi dua dan terpelanting diterjang amukan gelombang akibat bias bentroknya pukulan. Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kanan juga mencelat lalu meluncur amblas ke dalam air laut. Perahu yang ditumpangi porak-poranda lalu hanyut terbawa alunan gelombang!
Gelombang laut yang bergerak turun naik tampak berubah warna disemburati semburan darah. Empat sosok tubuh tampak timbul tenggelam di sela amukan gelombang. Kedua tangan masing-masing orang menggapai-gapai. Terdengar suara jeritan namun tiba-tiba terputus karena kepala orang tenggelam kembali ditelan gelombang. Saat lain keempat sosok tadi tidak muncul lagi! Keempat prajurit di bagian depan perahu besar sama bergerak hendak terjun. Namun satu suara menahan.
“Tetap di tempat kalian masing-masing! Lakukan saja apa yang kuperintahkan! Awasi terus jubah hitam itu!” Yang perdengarkan suara adalah Panglima Muda Lie.
Keempat laki-laki di perahu besar urungkan niat. Lalu tegakkan kepala masing-masing menatap pada jubah yang ada di lantai perahu tumpangan Pendekar 131. Sementara murid Pendeta Sinting sendiri tetap masih tegak meski sesaat tadi terhuyung hendak jatuh akibat bentroknya pukulan dan gerakan perahu karena bergolaknya gelombang air laut. Panglima Muda Lie turun dari kursi dan membuat satu gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di bagian depan perahu. Sepasang matanya menyengat tajam pada sosok Joko.
“Anak muda! Kau telah membunuh empat anak buahku! Tapi aku masih bisa menahan diri! Aku tahu siapa yang ada di balik jubah hitam itu! Empat nyawa anak buahku bukan menjadi hitungan kalau kau menyerahkan orang di balik jubah hitam itu!”
“Panglima....”
“Aku tak minta penjelasan apa-apa! Kau telah dengar apa yang kumau! Tinggalkan perahu itu tanpa orang di balik jubah hitam!”
“Panglima Muda! Aku tak bisa berenang. Bagaimana aku harus menuju pesisir pantai sana jika kau memerintahku tinggalkan perahu?! Bukankah tawaranku tadi lebih baik?! Kita akan bicara baik-baik saat mendarat di pesisir!”
Panglima Muda Lie menyeringai dingin. Kepalanya berpaling. Namun tiba-tiba tangan kiri kanannya bergerak!
***
EMPAT
TERDENGAR dua deruan luar biasa keras. Dua gelombang berkiblat ganas ke arah Pendekar 131. Air laut di depan perahu tumpangan Joko untuk kesekian kalinya bergelombang laksana diterjang badai. Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dan mungkin berpikir bukan saja dirinya yang harus menyelamatkan diri dari pukulan maut yang dilepas sang Panglima, namun Pendekar 131 harus pula menyelamatkan sosok mayat di bawah jubah hitam, maka Joko segera lepas pukulan ‘Lembur Kuning’.
Sinar yang disemburati warna kuning membawa gelombang dahsyat dan hawa panas menyengat menderu menghadang gelombang yang dilepas sang Panglima. Air laut makin bergolak hebat. Perahu yang ditumpangi murid Pendeta Sinting melambung sampai satu tombak ke udara. Sementara perahu besar yang ditumpangi sang Panglima dan keempat anak buahnya yang masih hidup, tampak bergoyang-goyang keras.
"Bummm! Bummm!" Gelegar dahsyat terdengar saat dua pukulan bentrok di udara. Sosok tubuh sang Panglima langsung terjajar tujuh langkah ke belakang. Paras wajahnya berubah pucat pasi. Kedua tangannya bergetar keras. Kedua lututnya hampir saja menekuk. Namun sang Panglima cepat sentakkan kaki kanan. Tubuhnya melenting setengah tombak ke udara lalu tegak di lantai perahu dengan kedua tangan langsung menakup di depan dada.
Di lain pihak, tubuh murid Pendeta Sinting terhuyung tiga langkah ke belakang. Paras wajahnya juga berubah pias. Namun dia tidak mengalami cedera berarti meski dadanya terasa sesak. Panglima Muda Lie pejamkan sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain saat matanya dibuka lagi. Mendadak dia berkelebat ke depan. Kedua tangannya bergerak ke kiri kanan pada punggung dua orang anak buahnya.
Wuutt! Wuutt!
Dua benda putih berkilat melesat ke arah murid Pendeta Sinting perdengarkan desingan tajam. Ternyata Panglima Muda Lie telah menyambar dua pedang di punggung anak buahnya dan serta-merta disentakkan ke depan. Begitu dua pedang melesat, sang Panglima segera angkat kedua tangannya ke depan dada. Tangan kanan dibuka lalu diluruskan ke depan.
Sementara telapak tangan kiri dibuka lalu dilapis di bawahnya dengan telapak menghadap ke atas. Saat lain tiba-tiba dia tarik pulang kedua tangannya sedikit ke belakang. Lalu ketika melihat Joko bergerak hindarkan diri dari kelebatan dua pedang, kedua tangan sang Panglima mendorong ke depan. Tampaknya lesatan dua pedang tadi hanya untuk mengalihkan perhatian murid Pendeta Sinting.
Di depan sana, Joko memang sempat terkesiap melihat dua gelombang asap putih mencuat begitu dia hindarkan diri dari lesatan dua pedang Murid Pendeta Sinting tidak menunggu sampai dia mendarat di lantai perahu. Begitu dia bisa selamatkan diri dari kelebatan pedang dengan melenting ke udara, saat itu juga dia segera dorong kedua tangannya lepas lagi pukulan ‘Lembur Kuning’!
Kembali terdengar ledakan di atas laut. Karena Joko menghadang pukulan orang dengan tubuh di atas udara, maka begitu terdengar ledakan, sosoknya langsung mencelat mental lalu menghantam bagian belakang perahu. Di seberang depan, sosok sang Panglima terjengkang roboh. Keempat laki-laki anak buahnya berpelantingan ke belakang lalu berkaparan di lantai perahu.
Satu di antaranya langsung muntahkan darah. Panglima Muda Lie cepat kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Lalu bergerak bangkit. Namun baru saja sosoknya naik ke atas, dari mulutnya semburkan darah. Saat lain sosoknya terhuyung ke belakang. Untung di belakangnya ada kursi. Hingga huyungan tubuhnya tertahan.
Kesempatan ini tak disia-siakan Joko. Setelah memeriksa diri dan tidak mengalami cedera dalam yang begitu berarti, murid Pendeta Sinting cepat melompat ke depan. Dayung di lantai perahu disambar. Saat lain dia hujamkan dayung ke air laut yang masih bergolak. Perahu yang ditumpangi Pendekar 131 menepi dari depan perahu besar yang ditumpangi sang Panglima. Saat lain melesat menerjang hempasan gelombang melewati perahu besar.
“Kejar!” teriak sang Panglima.
Keempat prajurit segera terhuyung bangkit. Masing-masing orang segera berhamburan menyambar dayung. Saat lain perahu besar itu putar haluan lalu menerjang gelombang mengejar perahu yang ditumpangi Pendekar 131. Panglima Muda Lie pentangkan mata. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Saat lain laki-laki setengah baya ini tekuk sedikit kedua lututnya.
Sekonyong-konyong kedua tangannya disentakkan ke arah Joko yang terus mendayung dengan kerahkan tenaga dalam agar laju perahunya makin cepat. Dua gelombang asap putih menderu dari sentakan kedua tangan Panglima Muda Lie. Air laut di belakang perahu Joko bergelombang ganas.
Suara deruan dan makin menggilanya gelombang cukup membuat murid Pendeta Sinting maklum. Dia cepat lemparkan dayung di tangannya. Saat lain dia berbalik lalu lepaskan lagi pukulan ‘Lembur Kuning'. Untuk yang kesekian kalinya buncahan suara gelombang ditingkahi dengan suara gelegar. Sosok sang Panglima mental menghantam lambung perahu.
Darah kembali muntah dari mulutnya. Keempat prajurit yang mendayung ikut pula mencelat. Dayung di tangan masing-masing orang semburat bermentalan lalu amblas masuk ke dalam laut. Perahu besar yang ditumpangi Panglima Muda Lie tertahan lajunya bahkan tampak terayun-ayun keras.
Di depan, sosok Pendekar 131 terhuyung dan hampir saja tubuhnya terbanting masuk ke dalam air laut tatkala kedua kakinya menghantam bagian depan perahu yang ada di belakangnya. Namun begitu tubuh bagian atasnya tertekuk ke belakang, kedua tangannya cepat berkelebat berpegangan pada kayu ujung depan perahu. Hingga gerakan tubuhnya tertahan. Saat lain murid Pendeta Sinting sentakkan tubuhnya kembali ke depan.
Parasnya makin pias dan kedua tangannya bergetar keras. Mulutnya megap-megap dan dadanya berdenyut nyeri. Namun murid Pendeta Sinting tidak begitu pedulikan keadaan dirinya. Dia cepat melompat ke depan untuk rapikan jubah hitam yang ternyata telah berserakan hingga sosok mayat laki-laki berkepala gundul terlihat jelas.
Seraya rapikan jubah hitam, Joko tembusi golakan gelombang untuk melihat ke arah perahu besar. Begitu gelombang turun dan Joko bisa melihat keadaan di perahu besar, dia cepat melompat lagi ke depan. Dayung disambarnya lalu dengan kerahkan tenaga dalam dia hujamkan dayung ke air laut. Perahu yang ditumpangi Joko melaju deras menuju pesisir.
Belum sampai perahu mencapai pesisir, Pendekar 131 telah melompat ke belakang. Sekali gerak, sosok mayat di lantai perahu yang tertutup jubah hitam telah berada di pundaknya. Saat lain laksana dikejar setan, dia berkelebat menyusuri pesisir, lalu lenyap di antara batu-batu karang yang banyak bertebaran.
***
Pendekar 131 duduk bersimpuh di antara dua gugusan batu karang di samping hamparan pasir putih yang agak menggunung panjang. Saat itu matahari telah lama tenggelam. Namun pancaran sinar bulan yang menggantung di atas bentangan laut membuat ke mana arah mata memandang, maka suasana tampak terang benderang.
“Hem.... Aku masih belum tahu pasti mengapa orang ini dicari seorang panglima! Hanya saja mungkin masih ada kaitannya dengan kantong putih yang diberikannya padaku....”
Tanpa sadar tangan kanan murid Pendeta Sinting menyelinap ke balik pakaiannya. Saat itu dia telah mengenakan kembali jubah hitam yang tadi siang dibuat menutupi sosok mayat laki-laki berkepala gundul yang baru saja dimakamkan di sampingnya. Murid Pendeta Sinting terpaksa menunggu hari gelap untuk menguburkan mayat orang. Dia masih khawatir beberapa prajurit akan mencarinya. Dan begitu keadaan dirasa aman dan suasana mulai gelap, Joko segera kuburkan mayat orang.
“Dari ucapan orang-orang di perahu tadi siang, berarti aku kini telah berada di daerah Tibet! Dan menurut laki-laki yang terluka itu, aku harus mencari Gunung Sim Yao In. Lalu pergi ke arah barat. Melewati lima kawasan hutan dan menemukan kawasan tanah lapang yang dibelah sebuah sungai. Di sana aku akan menemukan sebuah kuil. Dan aku harus menemui seorang bernama Guru Besar Pu Yi! Hem....
Urusan apa sebenarnya yang tengah kujalani ini?! Di daerah ini belum ada orang yang kukenal. Ke mana aku harus bertanya?! Sementara mungkin Panglima itu tidak akan tinggal diam!” Pendekar 131 bergerak bangkit. Lalu melangkah mondar-mandir di samping pasir putih yang agak menggunung karena baru saja ditanami mayat seorang manusia.
“Aku harus segera menemukan Gunung Sim Yao In. Dengan suasana malam, gerakanku akan lebih leluasa...! Tapi mana arah yang harus kuambil?!” Pendekar 131 melangkah keluar dari tengah apitan dua batu karang. Pandang matanya mengedar berkeliling. “Ah.... itu urusan nanti. Aku akan tanya orang di tengah jalan!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko memutuskan untuk berkelebat. Namun belum sampai sosoknya bergerak, sekonyong-konyong terdengar satu suara.
“Langkah dan sikapmu menunjukkan kebimbangan hati. Kau ragu menentukan arah! Berarti kau bukan orang daerah sini!”
Kepala Joko berpaling ke satu gugusan batu karang. Parasnya tampak sedikit tegang. Matanya samarsamar melihat satu sosok tubuh duduk bersila di atas gugusan batu karang membelakangi.
“Hem.... Kehadirannya tak bisa kuketahui. Walau dia tidak memandang ke arahku, tapi dia dapat menangkap sikapku dan menduga dengan benar! Siapa pun dia, yang pasti dia bukan orang berilmu rendah!” Membatin Joko. Dia hendak berkelebat untuk melihat tampang orang yang duduk bersila membelakangi. Tapi belum sampai Joko membuat gerakan, orang yang duduk bersila di atas gugusan batu karang telah putar diri!
Pendekar 131 pentangkan mata. Dia melihat seorang kakek berwajah agak bulat bermata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak menggantung sebuah anting-anting agak besar. Kakek ini mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher berwarna putih. Murid Pendeta Sinting makin besarkan mata ketika mendapati si kakek ini ternyata hanya memiliki satu tangan sebelah kiri dan juga satu kaki sebelah kiri.
“Katakan padaku mana daerah yang akan kau kunjungi, Anak Muda!” Si kakek angkat suara. Namun sepasang matanya yang sipit bukannya memperhatikan Joko melainkan mengatup rapat!
Pendekar 131 tidak segera menjawab. Dalam hati dia berkata. “Aku tak boleh mengatakan tujuanku pada orang yang belum kukenal dan kuketahui memiliki kepandaian tinggi! Bukan tak mungkin orang itu adalah orang-orang yang diperintah untuk mencariku.... Aku baru akan bertanya pada penduduk biasa yang tak tahu menahu soal ilmu silat....”
Mendapati Joko tidak menjawab ucapannya, si kakek di atas gugusan batu karang perdengarkan tawa panjang dengan mata masih mengatup. Lalu berkata. “Aku ikut belasungkawa atas kematian temanmu.... Kini kau sendirian. Kau tentu butuh orang tempat bertanya. Mengapa kau bimbang mengatakannya padaku?!”
Ucapan orang membuat Joko tersentak kaget. “Hem.... Berarti dia sudah lama berada di sini! Apakah aku harus bertanya padanya?! Tapi....” Joko masih dilanda keragu-raguan. Hingga akhirnya dia angkat bicara.
“Kek.... Aku memang butuh orang tempat bertanya. Tapi kurasa saat ini belum waktunya aku bertanya! Mungkin lain saat aku akan bertanya padamu. Hem... Boleh aku bertanya siapa, kau adanya?!”
Si kakek kembali perdengarkan tawa panjang. Masih dengan mata terkatup rapat, dia selingi suara tawanya dengan angkat bicara. “Kau ini aneh, Anak Muda.... Kau baru saja bilang saat ini belum waktunya bertanya. Tapi baru saja kau ajukan satu pertanyaan.... Apakah menurutmu aku harus buka mulut menjawab?!”
Murid Pendeta Sinting cengar-cengir. Tangan kirinya diangkat sejajar telinga. Lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke lobang telinganya. Kedua telapak kakinya bergerak berjingkat lalu kepalanya pulang balik ke samping keenakan. “Kek.... Maksudku, saat ini belum waktunya aku bertanya soal ke mana daerah yang akan kukunjungi! Soal tanya lain dari itu, kurasa boleh-boleh saja dan tentu aku memerlukannya saat ini!”
“Hem.... Begitu?!” gumam si kakek. Kali ini sepasang mata orang tua ini bergerak membuka. Namun bukannya untuk memandang ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan ke arah hamparan pasir. Saat kemudian kepalanya tengadah melihat bulan.
“Sayang sekali, Anak Muda...,” si kakek lanjutkan ucapannya. “Saat ini aku hanya bisa memberi jawaban jika kau bertanya tentang daerah yang akan kau kunjungi! Pertanyaan yang lain dari soal itu, kurasa kau tidak akan mendapatkan jawaban!”
“Hem.... Begitu?!” Joko ikut-ikutan bergumam seperti halnya si kakek tadi. Lalu kepalanya berpaling dan sedikit didongakkan memandang ke arah rembulan. Saat lain dia sambungi ucapannya. “Hari makin larut. Aku harus segera pergi....”
“Benar kau tidak mau mengatakan padaku daerah mana yang akan kau kunjungi?!” Si kakek menahan kepergian Joko dengan satu pertanyaan.
“Kau boleh bertanya seribu pertanyaan. Tapi kalau soal tadi itu, belum saatnya aku bertanya dan mengatakannya pada siapa saja!”
“Baiklah.... Aku juga akan pergi. Tapi sebelum kita berpisah, kau mau mendengarkan syairku?!”
“Hem.... Rupanya kau seorang penyair! Sebenarnya aku harus segera pergi, tapi untuk kali ini aku akan penuhi permintaanmu!”
Tanpa berpaling pada Joko dan tetap arahkan pandang matanya pada sang rembulan si kakek di atas gugusan batu karang buka mulut perdengarkan syair.
‘Wahai sang Pengembara di bawah lintasan rembulan. Kau datang membawa amanat yang terpisah. Ke mana kakimu melangkah, di sana akan kau dapatkan aral. Darah telah kau alirkan di atas permukaan laut. Darah itu akan terus mengalir sampai sebelah barat Gunung Sim Yao In. Darah itu tak akan terhenti sebelum amanat disatukan. Berlalulah menembus kabut. Di sana nanti akan kau dapatkan satu jawaban’
Pendekar 131 melengak kaget mendengar syair si kakek yang sebut-sebut Gunung Sim Yao In. Keningnya berkerut. “Syair orang tua itu tampaknya melambangkan apa yang tengah kulakukan! Siapa dia?!”
Joko berpaling pada si kakek. Meski tadi sudah mendengar pernyataan orang kalau tidak akan menjawab pertanyaan selain ke mana daerah yang akan dikunjungi Joko, namun murid Pendeta Sinting memutuskan akan bertanya juga siapa adanya si kakek. Tapi Sebelum Pendekar 131 buka mulut mengutarakan maksudnya, si kakek di atas gugusan batu karang telah bergerak bangkit. Joko sekali lagi pentangkan mata. Ternyata bukan hanya tangannya saja yang tinggal sebelah, kaki orang tua itu juga hanya satu, yakni kaki sebelah kiri!
“Anak muda.... Syairku hanya ungkapan hati dan tidak ada hubungannya dengan orang lain! Selamat tinggal....”
“Kek! Tunggu!” teriak Joko. Namun si orang tua di atas gugusan batu telah balikkan tubuh lalu melesat turun. Joko mengejar. Namun dia hanya bisa melihat sosok bayangan si kakek berjarak lima belas tombak. Selebihnya dia tidak bisa melihat apa-apa lagi!
***
LIMA
MATAHARI sudah beranjak dari titik kaki langit sebelah timur. Satu sosok tubuh tampak berkelebat menuju bangunan biara shaolin. Setelah melewati pelataran luas halaman shaolin, dia terus berlari menuju ruang persembayangan. Orang ini sesaat melirik kanan kiri. Saat lain tangan kanannya bergerak mendorong pintu di hadapannya.
Memandang ke depan, tampak beberapa orang tegak berjajar. Mereka adalah beberapa laki-laki berkepala gundul mengenakan seragam berupa pakaian selempang warna abu-abu. Kepala mereka sama tertunduk. Di bagian paling depan, terlihat dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian selempang warna kuning. Pada pundak tampak kain warna merah yang melapis dan dililitkan pada pinggangnya.
Meski terbukanya pintu tidak perdengarkan suara, namun dua orang laki-laki yang tegak paling depan segera palingkan kepala ke belakang. Saat lain keduanya putar diri. Lalu melangkah melewati beberapa laki-laki berkepala gundul yang mengenakan seragam abu-abu. Orang yang berada di ambang pintu cepat angkat kedua tangannya menakup di depan dada. Kepalanya menunduk. Lalu terdengar suaranya.
“Amitaba.... Harap kakak berdua maafkan.... Aku datang agak terlambat!”
Dua laki-laki yang mengenakan pakaian warna kuning sama sunggingkan senyum. Lalu sama takupkan kedua tangan di depan dada dengan kepala menunduk. Yang sebelah kanan angkat suara.
“Amitaba.... Memang ada beberapa hal yang harus kau lakukan. Jadi kami maklum atas keteranganmu....”
Orang di ambang pintu anggukkan kepala. Dia adalah laki-laki berusia lima puluh tahunan. Sosoknya kekar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik putih di batok kepalanya. Paras wajahnya agak besar. Dia mengenakan pakaian selempang tanpa leher berwarna kuning yang dilapis kain warna merah diletakkan di atas pundak dan bagian bawahnya dililitkan pada pinggangnya.
“Bagaimana keadaan Maha Guru Besar...?” tanya laki-laki yang berada di ambang pintu seraya melangkah masuk.
Dua laki-laki yang tadi menyambut sejenak saling pandang. Yang berada di sebelah kanan adalah lakilaki berkepala gundul. Pada batok kepalanya juga terdapat beberapa titik putih. Wajahnya agak bulat. Sosoknya juga kekar. Usianya tidak jauh beda dengan laki-laki yang baru saja masuk. Orang ini tidak memelihara kumis juga jenggot. Hanya saja pada bagian samping mata kanannya terlihat sebuah tahi lalat yang ditumbuhi empat rambut agak panjang.
Sementara orang yang berada di sebelah kiri adalah laki-laki yang juga berkepala gundul dan terdapat beberapa titik putih pada batok kepalanya. Usianya lebih muda dari laki-laki yang ada di sebelah kanannya. Paras wajahnya bulat telur. Air mukanya bersih. Sepasang matanya agak sipit tapi tajam. Hidungnya mancung dan sosoknya agak kurus.
“Guru Besar Pu Yi.... Bagaimana keadaan Maha Guru Besar?!” Laki-laki yang baru masuk kembali ajukan tanya dengan mata memandang pada laki-laki berkepala gundul yang pada samping mata kanannya terdapat tahi lalat ditumbuhi rambut yang tegak di sebelah kanan.
Laki-laki di sebelah kanan yang dipanggil dengan Guru Besar Pu Yi menghela napas dalam. Dia tidak segera menjawab. Melainkan putar kepala ke arah beberapa laki-laki berseragam abu-abu. Saat lain orang ini berujar pelan. “Kalian semua harap tinggalkan ruangan persembayangan....”
Beberapa laki-laki berkepala gundul mengenakan seragam abu-abu sama angkat tangan masing-masing ditakupkan di depan dada dengan kepala bergerak menunduk. Tanpa ada yang buka suara atau memandang pada laki-laki yang tadi dipanggil Guru Besar Pu Yi, beberapa laki-laki berseragam abu-abu segera balikkan tubuh lalu melangkah keluar.
Guru Besar Pu Yi balikkan tubuh lalu melangkah diikuti laki-laki yang tadi tegak di sebelah kirinya. Laki-laki yang tadi baru muncul ikut gerakkan kaki mengikuti dari belakang. Dapat enam langkah, Guru Besar Pu Yi kembali putar diri menghadap Laki-laki yang baru masuk. Memandang sesaat sebelum akhirnya buka mulut.
“Adik Liang San.... Tampaknya tidak ada perkembangan berarti pada Maha Guru Besar....”
“Boleh aku menemuinya?!” tanya laki-laki berkepala gundul yang tadi baru masuk dan dipanggil dengan Liang San.
“Amitaba.... Dalam keadaan sakit begitu rupa, kurasa Maha Guru Besar perlu banyak istirahat. Kalau ada sesuatu yang hendak kau utarakan, kita bisa bicarakan bertiga.”
Liang San tersenyum seraya gelengkan kepala. “Aku hanya ingin melihat keadaannya....”
“Aku dan adik Wu Wen She punya keinginan sama,” kata Pu Yi sembari memandang pada laki-laki berkepala gundul yang usianya paling muda dan tegak di sebelah kirinya. “Namun kami berdua tidak berani masuk menemuinya tanpa ada permintaan dari Maha Guru Besar....”
“Amitaba.... Memang demikian, Kakak Liang San.” Laki-laki yang berada di sebelah Guru Besar Pu Yi dan disebut dengan nama Wu Wen She sambuti ucapan Guru Besar Pu Yi.
“Hem.... Bagaimana kalau kita mencari tabib dari luar shaolin?!” Liang San angkat suara.
“Amitaba.... Kuhargai usil adik Liang San. Aku juga punya maksud demikian. Tapi Maha Guru Besar menolak.... Bahkan ramuan obat dari tabib shaolin sendiri sudah dua hari tidak disentuh.... Ini memang membuat keadaannya lemah. Namun aku tidak berani memaksa....” Guru Besar Pu Yi berkata.
Wu Wen She sudah buka mulut. Namun bersamaan itu sebuah pintu yang ada di sebelah kanan terbuka. Pu Yi, Liang San, dan Wu Wen She serentak berpaling. Terlihat seorang anak tanggung berkepala gundul tegak dengan kedua tangan menakup di depan dada lalu perdengarkan suara.
“Maha Guru Besar memanggil Guru Besar Pu Yi....”
Guru Besar Pu Yi takupkan kedua tangan di depan dada. Berpaling pada Liang San dan Wu Wen She dengan kepala mengangguk lalu bergegas melangkah ke arah pintu yang baru saja terbuka. Begitu Guru Besar Pu Yi masuk, anak tanggung berkepala gundul tutupkan pintu lalu tegak di balik pintu dengan mata memandang ke arah satu ranjang agak besar di mana Guru Besar Pu Yi telah tegak di sampingnya dengan kepala menunduk dan kedua tangan tetap menakup di depan dada.
Sepasang mata Guru Besar Pu Yi menatap ke arah ranjang agak besar. Di atas ranjang tampak tergolek satu sosok tubuh kurus berusia sangat lanjut. Kepalanya gundul. Kumis dan jenggotnya tebal serta panjang. Sepasang matanya terpejam rapat dengan dada bergerak turun naik keras.
“Pu Yi....” Mulut orang tua di atas ranjang membuka perdengarkan suara. Saat bersamaan sepasang matanya dibuka memandang ke arah Guru Besar Pu Yi. “Kau adalah yang paling tua di biara shaolin ini! Usiaku tampaknya sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus memegang kepemimpinan shaolin....”
“Maha Guru Besar Su Beng Siok.... Harap tidak berkata begitu....”
“Pu Yi.... Setelah aku tiada nanti, harap kau pimpin biara shaolin. Kau sudah tahu apa saja yang harus dan tidak boleh kau lakukan! Jagalah keutuhan dan kebersamaan....” Orang tua yang dipanggil dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok sudah angkat suara memotong ucapan Guru Besar Pu Yi.
“Amitaba.... Terima kasih atas kepercayaan Maha Guru Besar. Tapi hal ini harus kubicarakan dahulu dengan adik Liang San dan adik Wu Wen She.... Kalau ada di antara mereka berdua yang ingin memimpin shaolin, kurasa lebih baik di antara mereka saja yang kelak memimpin biara shaolin....”
“Pu Yi.... Liang San dan Wu Wen She memang layak juga memimpin shaolin. Namun aku khawatir mereka berdua tidak mampu menjaga keutuhan. Untuk itulah mengapa aku secara diam-diam menyuruhmu mencari seorang yang kau percaya untuk mengambil peta wasiat itu.... Sekarang aku ingin dengar bagaimana kabar berita orang kepercayaanmu itu?!”
Guru Besar Pu Yi tundukkan kepala dengan menarik napas panjang. Lalu berkata pelan. “Seharusnya Yang Kui Tan sudah tiba kembali.... Tapi....”
“Kau tidak salah mengatakan di mana harus mengambil peta wasiat itu?!” Maha Guru Besar Su Beng Siok menukas dengan satu pertanyaan.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala. “Aku khawatir dia mendapat halangan dalam perjalanannya....”
Maha Guru Besar Su Beng Siok perdengarkan batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya tampak muncratan darah. Guru Besar Pu Yi cepat mendekat. Namun Maha Guru Besar segera gelengkan kepala dengan pegangi dadanya sembari berkata. “Kau harus segera mencari tahu kabar tentang orang kepercayaanmu itu. Sejak kerajaan jatuh ke tangan Ku Nang, situasi tidak begitu aman.... Aku tidak berprasangka buruk pada Ku Nang, namun jika sampai peta wasiat itu jatuh ke tangan orang lain, aku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi....”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Maha Gua Besar Su Beng Siok teruskan ucapan. “Pesanku juga.... Hindari hubungan yang erat dengan pihak kerajaan. Kau harus mempertahankan tradisi shaolin yang tidak memihak pada siapa saja!”
Kembali Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Namun kini dia sorongkan kepalanya mendekat ke arah Maha Guru Besar Su Beng Siok. Dia buka mulut dengan mata melirik pada anak tanggung yang tegak di dekat pintu. “Maha Guru Besar.... Bagaimana dengan putra mahkota Oh Lui Hong itu?”
“Selama ini kukira tidak ada orang yang tahu selain kita berdua siapa sebenarnya Oh Lui Hong.... Malah dia mungkin juga tidak merasa kalau dia sebenarnya adalah putra mahkota yang haknya telah diambil oleh Ku Nang. Simpan baik-baik rahasia ini. Juga jangan ceritakan pada anak itu siapa dia sebenarnya. Itu bukan saja akan membawa celaka pada Oh Lui Hong, tapi juga pada Perguruan Shaolin!” Maha Guru Besar Su Beng Siok melirik pada anak tanggung di dekat pintu. Lalu dengan suara tersendat-sendat, dia sambungi kata-katanya.
“Aku menyelamatkan dia bukannya aku ikut campur urusan kerajaan. Namun semata-mata demi menyelamatkan nyawa seorang anak manusia! Perlahanlahan kau bimbing dia. Hingga kalau saja nanti takdir menuliskan dia tahu siapa dirinya sebenarnya, maka dalam dadanya telah tertanam bahwa rasa balas dendam itu percuma dan tidak baik.... Dia harus bisa menerima apa yang telah dijalaninya.... Sekarang kau harus cepat cari kabar tentang orang kepercayaanmu itu. Dan tempatkan beberapa orang untuk berjaga di sekitar ruang penyimpanan!”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala lagi lalu mundur satu langkah. “Bagaimana dengan sakitmu? Apa tidak sebaiknya kita menerima kehadiran tabib di luar shaolin?”
Maha Guru Besar Su Beng Siok gelengkan kepala. “Rasa sakit, bahkan kematian bukanlah sesuatu yang kutakutkan.... Yang lebih kukhawatirkan adalah jatuhnya peta wasiat itu ke tangan orang lain. Karena bila itu terjadi, bencana besar dan pertumpahan darah tidak bisa kita hindarkan lagi.... Ingat, Pu Yi. Hanya kau yang tahu peta wasiat itu! Sekarang semuanya berada di pundakmu. Kelak bakal terjadi bencana atau tidak, itu langkahmu yang menentukan!”
Guru Besar Pu Yi hanya anggukkan kepala. Lalu melangkah dari sisi ranjang ke arah pintu. Su Beng Siok pejamkan sepasang matanya kembali lalu mengatur napas.
“Oh Lui Hong.... Jaga Maha Guru Besar.... Kalau ada apa-apa cepat temui aku....” Guru Besar Pu Yi berkata pada anak tanggung di dekat pintu.
Oh Lui Hong takupkan kedua tangan di depan dada seraya anggukkan kepala. “Baik Guru Besar Pu Yi....”
Habis berkata begitu, Oh Lui Hong balikkan tubuh lalu membuka pintu. Guru Besar Pu Yi arahkan pandang matanya sejenak pada sosok Su Beng Siok. Saat kemudian dia putar diri lalu melangkah keluar dari ruangan. Liang San cepat sengatkan pandangannya pada ranjang di dalam ruangan. Tapi belum sampai pandang matanya dapat melihat sosok Su Beng Siok, Oh Lui Hong telah tutupkan kembali pintu ruangan.
“Bagaimana keadaan Maha Guru Besar?!” Liang San langsung ajukan tanya pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi sesaat memandang pada Liang San. “Dia tetap menolak untuk menerima kehadiran tabib dari luar shaolin.... Dia hanya berpesan agar memperketat penjagaan pada ruang penyimpanan....”
Liang San tampak kerutkan dahi. “Kurasa hal itu sangat berlebihan. Bertahun-tahun hidup di Perguruan Shaolin, belum pernah kudengar ada orang yang hendak mencuri sesuatu dari ruang penyimpanan! Justru yang sekarang perlu kita pikirkan adalah bagaimana memulihkan keadaan Maha Guru Besar....”
“Itu adalah pesan, Adik Liang San.... Bagaimanapun juga harus kita turuti permintaannya! Lagi pula ruang
penyimpanan sangat berarti bagi Perguruan Shaolin....”
“Hem.... Pesan itu seakan memberi isyarat ada seseorang yang hendak bermaksud buruk...,” ujar Liang San sembari melirik pada Pu Yi dan Wu Wen She.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala dan tersenyum. Lalu berkata. “Kita tidak pernah membuat urusan dengan pihak luar. Jadi tidak mungkin ada orang yang hendak membuat urusan dengan kita. Pesan itu mungkin semata-mata sebagai hal biasa untuk mengingatkan kita....!”
Guru Besar Pu Yi arahkan pandang matanya keluar ruangan. Dia sebenarnya ingin mengutarakan apa yang baru saja dibicarakan dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok tentang masa depan kepemimpinan shaolin. Namun setelah dipikir agak panjang, ia memutus-kan untuk menunda pembicaraan itu.
“Hem.... Maha Guru Besar masih ada. Tidak pantas rasanya kalau saat ini aku membicarakan masa depan kepemimpinan shaolin. Lagi pula biarlah Maha Guru Besar nanti yang akan mengatakannya sendiri.... Aku merasa tidak enak jika harus mengutarakan pada adik Liang San dan adik Wu Wen She.... Aku khawatir di antara mereka menduga aku terlalu punya milik pada kepemimpinan shaolin.... Sekarang aku harus cepat mencari tahu kabar Yang Kui Tan....”
Berpikir begitu, akhirnya Guru Besar Pu Yi buka mulut. “Kalau tidak ada yang ingin kalian bicarakan, aku akan mengutus beberapa orang untuk laksanakan pesan Maha Guru Besar....”
Guru Besar Pu Yi memandang silih berganti pada Liang San dan Wu Wen She. Karena kedua orang ini tidak ada yang buka suara, akhirnya Guru Besar Pu Yi takupkan kedua tangan di depan dada seraya mengangguk. Saat lain dia melangkah keluar diikuti Liang San dan Wu Wen She. Di luar ruangan, Guru Besar Pu Yi berbelok ke kanan.
Wu Wen She ke arah kiri. Liang San tetap tegak dengan mata sesekali memperhatikan pada sosok Guru Besar Pu Yi dan Wu Wen She. Begitu kedua orang ini lenyap masuk ke salah satu ruangan di depan sana, Liang San berkelebat lurus ke depan.
Sampai pintu gerbang bangunan yang tegak kokoh di depan, Liang San hentikan larinya. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Terlihat beberapa orang berkepala gundul tegak berjaga-jaga. Liang San arahkan pandang matanya ke depan. Di hadapannya terlihat tangga menurun.
Empat pemuda berkepala gundul tampak pula tegak dengan tangan masing-masing membawa tongkat. Liang San terlihat bimbang. Saat lain dia putar diri lalu berkelebat kembali dari mana dia tadi datang. Saat kemudian dia lenyap masuk ke dalam satu ruangan.
***
ENAM
SENJA perlahan-lahan turun. Cahaya sang matahari sudah berganti warna kekuningan. Bangunan megah Perguruan Shaolin yang terletak di perbatasan Tibet dan Tiongkok pantulkan bayang keemasan terjilat warna kuning cahaya matahari. Bangunan itu terdiri atas dua bagian. Di sebelah depan, tegak kokoh pintu gerbang yang dilatari halaman sangat luas.
Pada bagian bawah pintu gerbang terdapat tangga naik dari batu. Di belakang pintu gerbang membentang pula halaman luas. Lalu terlihat bangunan besar yang di bawah pintu masuknya juga terdapat tangga dari batu.
Inilah bangunan utama tempat murid Perguruan Shaolin melatih ilmu silat. Di sebelah kanan kiri bangunan utama, terdapat deretan ruangan. Lalu di sebelah kanan berjarak dua puluh sembilan tombak dari bangunan utama, berdiri satu bangunan agak besar. Bangunan ini dijaga beberapa orang pada pintunya. Inilah bangunan yang disebut ruang penyimpanan.
Tiba-tiba salah satu pintu di deretan ruangan yang ada di sebelah kanan bangunan utama, terkuak sedikit. Lalu terlihat satu mata memperhatikan keluar bangunan. Saat lain mata itu mengawasi matahari yang hampir tenggelam. Kejap kemudian memperhatikan lagi ke seantero halaman di depan bangunan utama. Lalu perlahan-lahan beralih pada beberapa orang yang tegak berjaga-jaga di sekitar halaman dan pojok ruangan.
Namun cuma sekejap. Baru ketika matanya memandang ke ruang penyimpanan, mata itu memandang berlama-lama tak berkesip pada beberapa pemuda berkepala gundul yang tegak berjaga-jaga. Pemuda yang tidak lain adalah beberapa murid Perguruan Shaolin itu berjumlah delapan orang. Tangan masingmasing orang memegang tongkat panjang. Mereka tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
Mata di celah pintu yang terbuka, menyipit. Lalu perlahan-lahan menjauh dari celah sebelum akhirnya pintu itu tertutup kembali. Bersamaan dengan itu, pada salah satu ruangan di deretan sebelah kiri bangunan utama juga bergerak membuka. Kali ini terlihat sepasang mata memperhatikan ke halaman di depan bangunan utama. Lalu beralih ke arah ruang penyimpanan. Saat berikutnya memandang ke arah matahari yang sudah mulai tenggelam. Lalu pintu ruangan itu menutup.
Beberapa saat berlalu. Matahari sudah tenggelam. Suasana sudah gelap. Beberapa pemuda murid Perguruan Shaolin tampak melangkah hilir mudik untuk nyalakan beberapa ruangan kecuali ruangan penyimpanan. Saat itulah ruangan di deretan sebelah kanan bangunan utama, yang tadi terkuak dan terlihat satu mata, terbuka perlahan. Satu sosok tubuh menyelinap keluar lalu buru-buru tutupkan kembali pintu ruangan.
Suasana gelap dan hilir mudiknya beberapa murid Perguruan Shaolin membuat gerakan sosok ini tampak leluasa. Dia hanya perlu memperhatikan sejenak pada deretan ruangan di sebelah kiri bangunan utama. Saat lain dia hentakkan kedua kaki. Sosoknya melesat ke udara dan tahu-tahu telah tegak di atas ruangan dari mana dia tadi menyelinap keluar. Dia mengawasi seantero tempat di bawahnya sejenak, lalu membuat satu kali gerakan lagi. Sosoknya berkelebat ke belakang sebelum akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok tubuh di atas ruangan sebelah kanan bangunan utama, salah satu pintu ruangan di sebelah kiri bangunan yang tadi terbuka sedikit dan terlihat sepasang mata, kembali terbuka. Satu sosok tubuh perlahan-lahan keluar. Setelah menutup pintu, tanpa memandang kiri kanan, sosok ini seperti halnya sosok di ruangan sebelah kanan bangunan utama, melenting ke atap ruangan dari mana dia baru saja keluar. Saat lain sosoknya berkelebat lalu melayang turun lewat belakang dan lenyap ditelan suasana malam.
Sosok yang menyelinap keluar pertama, berkelebat laksana kesetanan ke arah selatan. Sementara sosok yang menyelinap kedua berkelebat ke arah utara. Sosok yang ke arah selatan sesekali putar pandangan berkeliling perhatikan tempat yang dilewati dan tak jarang berpaling ke belakang. Setelah melewati sebuah kawasan rawa dan padang rumput luas, sosok tubuh ini memperlambat larinya.
Ketika di depan sana terlihat jembatan bambu yang melintang di atas sungai agak besar, baru sosok ini hentikan langkah. Dia tegak dengan kepala tengadah pandangi sang rembulan. Lalu kepalanya diluruskan ke arah jembatan di hadapannya dan terus tembusi padang ilalang tinggi yang ada di seberang.
Saat itulah mendadak dari kawasan ilalang luas di seberang sana terlihat cahaya obor menyala. Tapi cuma sekejap. Saat lain cahaya obor itu padam kembali. Sosok yang berada di padang rumput luas putar tubuh perlahan-lahan memperhatikan kawasan padang rumput. Saat lain dia kembali menghadap jembatan. Lalu berkelebat melewati jembatan bambu dan berhenti tidak jauh dari cahaya obor yang tadi menyala sebentar.
“Terima kasih kau mau datang....” Mendadak terdengar suara pelan. Lalu satu sosok tubuh keluar dari ranggasan ilalang tinggi. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahunan. Wajahnya garang. Kumisnya lebat dengan jenggot panjang. Sepasang matanya tajam. Kedua alis matanya mencuat ke atas. Rambutnya lebat dan masih hitam serta panjang dan digelung ke atas. Orang ini mengenakan pakaian warna hitam-hitam. Di tangannya terlihat bumbung bambu yang dibuat sebagai obor.
“Tuan Baginda Ku Nang.... Kita tak punya waktu banyak!” Sosok yang tadi menyeberangi jembatan angkat bicara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian warna kuning tanpa leher. Paras wajahnya agak sulit dikenali karena di atas kepalanya mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam hingga dari paras mukanya yang terlihat hanyalah bagian bawah wajahnya. Orang ini berkumis tipis dan berjenggot panjang tapi agak jarang.
“Guru Besar Liang San...!” kata orang yang memegang bumbung obor dan tadi dipanggil dengan Tuan Baginda Ku Nang. “Kau tak perlu khawatir. Beberapa orang sudah kutempatkan pada jalan masuk menuju padang rumput dan kawasan ilalang ini. Jika ada seseorang yang mencurigakan, kita akan segera tahu....”
Laki-laki bercaping lebar yang ternyata adalah Liang San, angkat tangan kirinya. Telunjuk jarinya didorongkan pada bagian depan caping lebarnya. Kini terlihat jelas paras wajah orang ini.
“Tuan Baginda Ku Nang.... Walau kau telah menempatkan beberapa orang, tapi kita harus tetap berhati-hati. Dan seharusnya kau tidak perlu menempatkan beberapa orang, karena....”
Belum sampai Liang San teruskan ucapan, Baginda Ku Nang telah perdengarkan tawa pendek lalu berucap. “Guru Besar Liang San tak usah cemas. Orangorangku tidak akan pernah ada yang berkhianat! Mereka adalah orang-orang pilihan! Lagi pula mereka tidak tahu siapa kau sebenarnya! Mereka hanya tahu bahwa mereka harus menghadang orang yang ciricirinya lain dari yang kau kenakan!”
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya di depan dada. “Baiklah.... Mudah-mudahan dugaanmu tidak meleset!”
Baginda Ku Nang lagi-lagi tertawa pendek mendengar ucapan Guru Besar Liang San. “Semua sudah kuperhitungkan masak-masak, Guru Besar Liang San. Aku tak ingin mengalami kegagalan untuk kedua kalinya!”
Dahi di balik caping lebar Guru Besar Liang San bergerak mengerut. “Maksudmu...?!”
“Yang Kui Tan gagal ditemukan.... Malah yang berhasil kembali dengan selamat hanya Panglima Muda
Lie!”
“Apa yang terjadi?!” Guru Besar Liang San cepat menyahut.
“Perahu yang ditumpangi Yang Kui Tan memang ditemukan. Namun sosoknya lenyap! Ada seorang pemuda berilmu tinggi tidak dikenal yang menumpang perahu yang tadinya ditumpangi Yang Kui Tan! Hanya saja, menurut Panglima Muda Lie, pemuda itu menyembunyikan Yang Kui Tan!”
“Berarti....”
“Peta wasiat itu gagal kita peroleh!” Baginda Ku Nang menyahut. “Tapi Guru Besar Liang San tak perlu terlalu khawatir. Pemuda asing itu berada di daerah Tibet. Dan aku telah memerintahkan pencarian pada seluruh prajurit kerajaanl Tidak lama lagi pemuda tak dikenal itu pasti kita temukan!”
“Ah.... Tidak ada gunanya mencari pemuda asing itu! Kita harus terus memburu Yang Kui Tan! Karena aku yakin, dia tak akan memberikan peta wasiat itu pada siapa saja apalagi pada pemuda asing yang belum dikenal!”
“Tapi Panglima Muda Lie yakin kalau Yan Kui Tan disembunyikan pemuda asing itu! Kalau kita mendapatkan pemuda itu, berarti mudah pula bagi kita mendapatkan Yang Kui Tan!”
Guru Besar Liang San gelengkan kepala dengan wajah kecewa, “Tidak semudah itu, Tuan Baginda.... Yang Kui Tan orangnya cerdik. Bisa saja dia mempengaruhi pemuda asing itu untuk mengalihkan perhatian kita!”
Mendengar kata-kata Guru Besar Liang San ganti Baginda Ku Nang yang gelengkan kepala. “Yang Kui Tan telah terluka parah, Guru Besar! Bahkan Panglima Muda Lie memperkirakan Yang Kui Tan telah mampus!”
“Amitaba.... Urusan ini jadi makin sulit.... Dan itu mengharuskan kita mengubah rencana semula!”
“Maksud, Guru Besar Liang San...?!”
“Semula kita berencana mendapatkan peta wasiat yang berada di tangan Yang Kui Tan dahulu, baru kemudian mengambil yang ada di ruang penyimpanan! Tapi sekarang harus kita rubah. Kita dapatkan dahulu yang ada di ruang penyimpanan, lalu seraya jalan kita memburu Yang Kui Tan dan pemuda asing itu! Dan harap kau perintahkan beberapa orangmu untuk menutup jalan menuju biara shaolin! Jangan biarkan orang tak dikenal menerobos masuk sebelum rencana kita berjalan!”
Baginda Ku Nang tersenyum seraya anggukkan kepala. “Lalu kapan rencana ini kita lakukan?!”
“Dua hari di muka! Harap siapkan beberapa orang pilihan! Semuanya harus mengenakan penutup wajah. Hindarkan semua yang dapat membuat orang curiga jika orang-orang itu masih ada hubungannya dengan kerajaan! Tepat tengah malam bergeraklah dari arah kiri bangunan utama. Aku tahu apa yang akan kulakukan sebelum orang-orang itu datang!” Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San balikkan tubuh.
Namun sebelum dia bergerak, Baginda Ku Nang buka suara. “Tunggu!”
Guru Besar Liang Sang urungkan niat namun tidak perdengarkan suara. Sepasang matanya tembusi ilalang tinggi lalu menebar ke kawasan rumput luas di seberang sana. “Bagaimana dengan Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar Wu Wen She?!”
“Urusan di dalam sana, serahkan saja padaku! Tapi harap Baginda nanti tidak menyalahi perjanjian yang kita sepakati! Aku harus segera pergi!”
Tanpa menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang San berkelebat. Baginda Kunang memperhatikan sesaat. Lalu berbalik dan berkelebat di antara ranggasan ilalang tinggi.
***
Sementara sosok yang menyelinap keluar dari Perguruan Shaloin dan berkelebat ke arah utara, baru hentikan larinya tatkala sampai di sebuah bukit. Dia memandang berkeliling sesaat. Kejap lain telah bergerak mendaki. Tidak berapa lama sosoknya telah tegak di puncak bukit. Dia tengadahkan kepala pandangi sang rembulan. Lalu arahkan pandang matanya ke hamparan gelap di bawahnya. Nun jauh di sana terlihat beberapa titik cahaya.
“Hem.... Apa yang terjadi hingga Yang Kui Tan tidak muncul sampai hari ini...? Adakah dia mendapat halangan?! Tapi bagaimana bisa terjadi? Bukankah urusan ini tidak ada yang tahu selain aku, Maha Guru Besar, dan Yang Kui Tan? Ataukah dia salah jalan...? Namun itu tak mungkin!” Sosok di puncak bukit perdengarkan gumaman.
Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahunan. Sosoknya kekar dengan paras wajah agak bulat. Pada sebelah samping mata kanannya terdapat tahi lalat yang ditumbuhi beberapa rambut agak panjang. Orang ini berkepala gundul, la mengenakan pakaian selempang warna kuning yang dilapis kain warna merah di atas pundaknya dan terus dililitkan pada pinggangnya. Orang tua ini bukan lain adalah Guru Besar Pu Yi. Guru Besar Pu Yi edarkan pandang matanya berkeliling di puncak bukit.
“Puncak bukit ini belum berubah. Ini satu bukti jika Yang Kui Tan memang belum sampai.... Menurut rencana, empat hari yang lalu dia sebenarnya harus sudah menunggu di sini! Ke mana aku harus mencari? Tak mungkin aku meninggalkan shaolin untuk mencarinya! Selain kesehatan Maha Guru Besar mengkhawatirkan, kepergianku ini akan membawa dugaan yang tidak-tidak....
Hem.... Ataukah aku harus mencari orang yang dapat kupercaya untuk mencari Yang Kui Tan?! Namun bukankah itu akan membawa urusan makin panjang seandainya nanti Yang Kui Tan salah tanggap? Karena selama ini aku dan dia telah sepakat untuk tidak memberitahukan urusan ini pada siapa-siapa! Hemmm....”
Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. “Kalau sampai terjadi sesuatu pada Yang Kui Tan, alamat akan muncul bencana.... Ah. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Atau jangan-jangan Yang Kui Tan.... Amitaba.... Mengapa aku punya prasangka buruk padanya? Dia adalah orang yang paling kupercaya! Kalau sampai hari ini dia belum datang, pasti ada sesuatu yang menghadang di luar perhitungan!”
Guru Besar Pu Yi kembali arahkan pandang matanya ke hamparan tanah luas di bawah sana. Tapi mendadak matanya cepat melirik ke samping kanan kiri. Saat lain dia takupkan kedua tangan di depan mata.
“Ada orang di sekitar tempat ini.... Siapa dia? Tak mungkin Yang Kui Tan! Bagaimana dia sampai berada di sekitar tempat ini? Apakah kehadirannya di bukit ini ada sangkut pautnya dengan keterlambatan Yang Kui Tan?!”
Guru Besar Pu Yi perlahan-lahan balikkan tubuh. Lalu kepalanya memutar setengah lingkaran dengan mata memandang ke satu batangan pohon agak besar. Walau tadi sudah menduga, namun begitu matanya dapat menangkap satu sosok tubuh yang duduk bersandar pada batangan pohon, dia sempat pula terkesiap!
***
TUJUH
GURU Besar Pu Yi melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher berwarna putih. Paras wajahnya agak bulat dengan mata sipit. Rambutnya yang putih di kelabang dan dililitkan melingkar pada lehernya. Pada daun telinga kirinya terlihat menggantung sebuah anting-anting agak besar. Kakek ini hanya memiliki satu tangan yang diangkat dengan telapak terbuka lurus menghadap ke depan sejajar dengan dada.
“Amitaba.... Bukankah dia Tiyang Pengembara Agung?” Guru Besar Pu Yi bergumam. Lalu angkat kedua tangannya sejajar dada dengan kepala mengangguk dan buka mulut. “Amitaba.... Kalau tak salah lihat, bukankah yang duduk di hadapanku adalah seorang tokoh yang tak asing lagi bagi kalangan dunia persilatan bergelar Tiyang Pengembara Agung?!”
Orang yang duduk bersandar pada batangan pohon perdengarkan tawa. Lalu gerakkan kepala menunduk. “Guru Besar Pu Yi.... Kau terlalu memuji orang. Aku jadi tidak enak hati.... Lama kita tidak berjumpa. Kuharap kau baik-baik saja.... Bagaimana keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok?!”
Pertanyaan orang tua yang dipanggil dengan Tiyang Pengembara Agung membuat Guru Besar Pu Yi sempat terperanjat. Diam-diam dalam hati dia berkata. “Ternyata dia memang memiliki ilmu langka. Selama ini semua murid dan penghuni Shaolin telah dipesan agar merahasiakan keadaan Maha Guru Besar. Tapi nyatanya dia berhasil mengetahuinya.... Hem... Apa kehadirannya saat ini ada kaitannya dengan Yang Kui Tan?!”
Karena tak ada gunanya lagi sembunyikan kenyataan, Guru Besar Pu Yi menjawab. “Maha Guru Besar sedang sakit....”
“Ah.... Seandainya ada waktu, aku ingin menengoknya. Cuma aku terbentur pada peraturan shaolin....”
“Amitaba.... Kalau Tiyang Pengembara Agung berkehendak melihatnya, aku tawarkan diri untuk mengantar. Siapa tahu pula dengan kehadiran Tiyang Pengembara Agung, Maha Guru Besar Su Beng Siok berubah pikiran....”
“Hem.... Dia dahulu adalah sahabatku meski tidak terlalu dekat. Aku tahu bagaimana sifatnya. Dia sangat teguh pendirian. Tak seorang pun bisa merubah pikirannya. Tapi harap kau tidak memaksakan diri terhadapnya. Dia telah tahu apa yang dilakukannya....”
“Maaf...,” kata Guru Besar Pu Yi. “Bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Tapi kehadiranmu di tempat ini kurasa bukanlah satu kebetulan semata. Ada seseorang yang hendak kau temui di tempat ini?!”
Tiyang Pengembara Agung bergerak bangkit. Selain hanya memiliki satu tangan, orang tua ini juga hanya memiliki satu kaki. Dia tengah memandang rembulan lalu sandarkan punggungnya kembali ke batangan pohon di belakangnya. Saat kemudian dia sambuti ucapan Guru Besar Pu Yi.
“Aku juga tak hendak menyinggung perasaanmu. Kalau aku boleh berterus terang, sebenarnya bukan aku yang tengah menunggu atau hendak menemui seseorang di tempat ini. Tapi yang hendak menemui seseorang adalah dirimu....”
“Amitaba.... Ternyata dia juga telah tahu mengapa aku berada di sini! Berarti dia juga tahu urusan Yang Kui Tan....” Guru Besar Pu Yi berkata dalam hati.
“Guru Besar Pu Yi.... Aku tak hendak mendahului ketentuan yang telah ditulis dan akan kita jalani. Namun rasanya aku bisa memberi satu saran padamu. Tinggalkan saja bukit ini. Dan jangan pernah datang lagi ke sini. Orang yang selama ini kau tunggu tidak akan muncul! Lebih baik sekarang kau pusatkan perhatian ke dalam lingkungan shaolin!”
Guru Besar Pu Yi tak dapat menyimpan rasa kejutnya. Walau selama ini dia telah mendengar siapa Tiyang Pengembara Agung dan baru saja membuktikan kalau orang itu dapat mengetahui keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok padahal selama ini semua murid Perguruan Shaolin tidak ada yang membocorkan, namun kali ini Guru Besar Pu Yi rasanya masih meragukan ucapan Tiyang Pengembara Agung.
“Harap kau jelaskan bagaimana mungkin orang yang kutunggu tidak akan muncul?” tanya Guru Besar Pu Yi.
Tiyang Pengembara Agun tertawa. “Sayang sekali, Guru Besar Pu Yi. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Mungkin kelak akan datang seorang tamu tak dikenal yang dapat menjelaskannya!”
“Amitaba.... Aku tidak akan memaksakan untuk menjelaskannya. Tapi untuk pertanyaanmu yang memberi saran agar aku memusatkan perhatian ke dalam lingkungan shaolin, apakah ini ada kaitannya dengan urusan orang yang kutunggu ini?!”
“Segala kemungkinan bisa saja terjadi!”
“Berarti aku harus mencurigai orang di lingkungan shaolin?!”
“Siapa pun manusia di permukaan bumi ini, pasti tak luput dari kehendak ingin memiliki sesuatu yang lebih. Tak terkecuali orang lingkungan shaolin sendiri!”
“Amitaba.... Harap maafkan aku. Rasanya aku tak bisa melakukan saranmu! Ucapanmu memang benar. Namun kalangan shaolin telah diajarkan untuk menerima apa adanya tanpa harus punya keinginan memiliki sesuatu yang lebih, apalagi dengan jalan salah...”
“Tidak berprasangka buruk pada orang memang baik. Tapi jika tanda-tanda telah muncul dan kita tetap berpendirian semua orang pasti baik, maka kita akan terlambat untuk sadari. Dan keterlambatan sadar ini mungkin saja akan mengakibatkan timbulnya satu malapetaka besar!”
“Terima kasih atas saranmu.... Mudah-mudahan malapetaka itu tak akan terjadi. Sekarang boleh aku tahu, siapa yang kau maksud dengan seorang tamu tak dikenal?!”
“Aku hanya tahu wajahnya tapi tak tahu namanya! Aku hanya sempat bertemu satu kali dan tak bicara banyak. Karena itu, harap kau segera tinggalkan bukit ini. Siapa tahu tamu itu akan segera muncul. Kalau kau tidak berada di tempat, bukan saja akan merasa menyesal, namun akan menimbulkan kecurigaan orang!”
“Mau mengatakan bagaimana ciri-ciri tamu itu?!” tanya Guru Besar Pu Yi.
“Seorang pemuda berwajah tampan. Melihat dari sosok dan penampilannya, dia datang dari seberang laut....”
“Aneh.... Bagaimana ini? Seorang pemuda tak dikenal datang dari seberang laut. Namun menurutnya pemuda itu nanti dapat menjelaskan perihal Yang Kui Tan. Hem.... Bagaimana bisa hal ini terjadi?!” Guru Besar Pu Yi membatin.
“Guru Besar Pu Yi.... Kadang-kadang ada satu peristiwa yang menurut perhitungan kita tidak mungkin. Tapi kenyataannya benar-benar terjadi! Begitu pula sebaliknya!”
“Amitaba.... Dia seakan-akan tahu apa yang ada dalam pikiranku! Ucapannya benar.... Sebaiknya aku segera kembali ke shaolin!” Guru Besar Pu Yi masih membatin begitu mendengar ucapan Tiyang Pengembara Agung. “Kau masih ingin menengok Maha Guru Besar Su Beng Siok?” tanya Guru Besar Pu Yi.
“Hasrat hati memang demikian. Tapi biarlah untuk sementara waktu hasratku kutunda dahulu. Aku tidak mau kau nanti mendapat tudingan tak enak kalau sampai mengajakku menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Hanya saja sampaikan salamku padanya....”
Lagi-lagi kening Guru Besar Pu Yi berkerut mendengar ucapan Tiyang Pengembara Agung. Namun kali ini dia tak mau mengutarakan apa yang mengganjal dalam hatinya walau sebenarnya hatinya mulai tidak enak. “Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas saranmu. Aku tetap menunggu kehadiranmu di shaolin. Selamat malam....”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Lalu melangkah tujuh tindak. Saat lain sosoknya telah melesat menuruni bukit.
***
Begitu tiba di ruangannya kembali, Guru Besar Pu Yi tampak resah. Dia melangkah mondar-mandir dengan pikiran tak karuan. Terngiang kembali di telinganya semua ucapan Tiyang Pengembara Agung. Hatinya makin cemas dan khawatir kala mengingat bahwa Yang Kui Tan tidak akan muncul lagi.
“Ucapan Tiyang Pengembara Agung memberi isyarat kalau anak itu mendapat halangan.... Amitaba.... Apa yang harus kulakukan sekarang? Memberitahukan urusan ini pada Maha Guru Besar?! Kurasa itu tidak layak. Dia tengah sakit keras.... Hem.... Peta wasiat itu.... Bagaimana kalau sampai jatuh ke tangan orang lain?!
Lalu siapa? Pemuda tampan tak dikenal yang dikatakan Tiyang Pengembara Agung?! Ah.... Urusan ini tampaknya akan jadi panjang. Hem.... Penjagaan ruang penyimpanan memang harus dilipatgandakan. Kalau peta wasiat itu benar-benar jatuh ke tangan orang lain, pasti dia akan mencari pasangannya di ruang penyimpanan!”
Berpikir sampai ke sana, mendadak Guru Besar Pu Yi melangkah menuju pintu ruangan. Perlahan-lahan dia membuka pintu. Lalu melangkah ke arah bangunan di seberang yang merupakan ruang penyimpanan. Namun langkahnya tertahan saat sepasang matanya menangkap satu sosok kekar muncul dari pojok ruangan di samping bangunan ruang penyimpanan. Guru Besar Pu Yi sesaat perhatikan orang yang juga tengah melangkah.
“Adik Liang San...,” gumam Guru Besar Pu Yi begitu matanya dapat mengenali siapa adanya orang yang melangkah dari pojok ruangan di samping ruang penyimpanan.
Orang yang melangkah muncul dari pojok ruangan sempat terkejut melihat kemunculan Guru Besar Pu Yi. Namun orang ini yang ternyata memang Liang San segera bergegas mendekati Guru Besar Pu Yi dan berujar pelan. “Aku mendapat firasat tidak enak. Untuk itulah aku keluar melihat-lihat keadaan....”
Guru Besar Pu Yi tersenyum. “Amitaba.... Mudah-mudahan firasatmu tidak menjadi kenyataan. Namun begitu aku berterima kasih kau masih menyempatkan diri untuk keluar melihat-lihat!”
Liang San takupkan kedua tangannya di depan dada. Kepalanya menunduk meski sepasang matanya melirik tajam pada Guru Besar Pu Yi. Tanpa berkata apa-apa lagi dia teruskan langkah lalu memasuki ruangannya di salah satu deretan ruangan di sebelah kanan bangunan utama. Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu teruskan langkah pula ke ruang penyimpanan. Beberapa pemuda berkepala gundul yang tegak berjaga-jaga di depan ruang penyimpanan tampak anggukkan kepala.
“Kalian harus lebih waspada. Awasi setiap gerak gerik orang yang mencurigakan. Dan segera laporkan kalau terjadi apa-apa!” Guru Besar Pu Yi berkata dengan memperhatikan pintu ruang penyimpanan.
“Semua perintah akan kami laksanakan!” Salah seorang pemuda yang tampak sebagai pimpinan penjagaan di ruang penyimpanan sambuti ucapan Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu melangkah lagi ke ruangan dari mana tadi dia keluar. Saat lain orang ini telah lenyap masuk. Tanpa sepengetahuan orang, dari ruangannya, Guru Besar Liang San tampak memperhatikan dengan seringai dingin!
***
DELAPAN
SETELAH bertanya kian kemari pada beberapa orang penduduk, akhirnya Pendekar 131 sampai juga di kaki Gunung Sim Yao In. Dia tegak dengan tadangkan tangan di depan kening untuk hindari silaunya matahari. Saat itu matahari sudah mulai bergerak dari titik tengahnya. Sementara murid Pendeta Sinting tegak menghadap ke arah barat, karena menurut laki-laki gundul yang ditemuinya di atas perahu, dia harus menuju arah barat dari Gunung Sim Yao In.
“Aku akan melewati lima kawasan hutan.... Berarti aku belum bisa menentukan kapan sampai di tempat tujuan! Mudah-mudahan aku bisa segera menemukan orang yang bernama Guru Besar Pu Yi. Dengan demikian, urusan ini cepat selesai dan aku bisa segera kembali ke tanah Jawa! Sebelum jumpa dengan Putri Kayangan dan menjernihkan persoalan dengannya, rasanya hatiku masih tidak enak!
Setelah itu aku harus mencari Dewi Seribu Bunga. Bagaimanapun juga aku harus memberi keterangan padanya. Dia sekarang adalah murid Dewi Es yang juga adalah saudara seperguruan beberapa sahabatku! Kalau sampai terjadi kesalahpahaman, bukan tak mungkin persoalannya akan jadi besar dan melibatkan beberapa orang tua!
Habis itu baru aku akan mencari Saraswati.... Ah.... Terlibat urusan dengan para gadis ternyata lebih susah cara menyelesaikannya....” Pendekar 131 Joko Sableng tersenyum sendiri. Lalu mulai gerakkan kaki melangkah meninggalkan kaki Gunung Sim Yao In. Namun baru saja mendapat beberapa langkah, terdengar satu bentakan.
“Berhenti!”
Beberapa sosok tubuh berkelebat. Saat murid Pendeta Sinting putar kepala ke samping kanan kiri, terlihat lima orang laki-laki berseragam prajurit tegak mengitarinya dengan tangan masing-masing orang menghunus pedang.
“Hem.... Ini pasti ada hubungannya dengan peristiwa di tengah laut kemarin!” kata Joko dalam hati lalu perhatikan satu persatu pada lima laki-laki yang tegak mengelilinginya. Seraya cengar-cengir, murid Pendeta Sinting buka suara. “Ada sesuatu yang hendak kalian utarakan?!”
“Kau bisa teruskan perjalanan!” kata salah seorang yang tegak tepat di hadapan Joko. Tampaknya laki-laki ini adalah pimpinan dari kelima orang prajurit.
“Terima kasih!” sahut Joko meski dia tahu jika ucapan laki-laki di hadapannya belum selesai, karena mulutnya masih terbuka dan jelas hendak terus? ucapan. Habis berkata, murid Pendeta Sinting enak saja hendak teruskan langkah. Namun laki-laki di hadapannya segera luruskan pedang di tangannya seraya membentak.
“Ucapanku belum selesai! Jangan berani melangkah dari tempatmu!”
Pendekar 131 hentikan langkah. “Apa lagi yang ingin kalian katakan?!”
“Kau bisa teruskan perjalanan. Tapi jawab dulu dua pertanyaan kami!”
“Aduh.... Banyak sekali permintaan kalian! Seharusnya justru aku yang ajukan dua pertanyaan pada kalian! Karena terus terang saja, aku belum paham dengan daerah sekitar sini! Jadi bagaimana kalau kalian jawab dahulu pertanyaanku?!”
Lima laki-laki yang mengepung Joko tampak saling pandang dengan mata mendelik. Saat kemudian sama arahkan pandang mata masing-masing ke arah murid Pendeta Sinting. “Dengar, Orang Asing!” Laki-laki yang tegak tepat di hadapan Joko kembali buka suara. “Kau telah memasuki daerah kekuasaan kami. Kau tak punya hak untuk ajukan tanya!”
“Ah.... Kalian tentu salah bicara! Ada yang lebih berkuasa atas daerah ini!”
“Jahanam! Siapa dia?!” bentak laki-laki yang dari tadi buka mulut.
Murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya ke atas kepala. Jari telunjuknya diacungkan lurus ke atas menunjuk langit. Lima prajurit di sekeliling Joko sama tengadahkan kepala mengikuti arah telunjuk tangan kanan Pendekar 131.
“Yang di atas sana kurasa lebih berkuasa atas daerah ini.... Bukankah begitu? Jadi kalau kalian berhak ajukan tanya di daerah ini, aku pun punya hak yang sama!”
Salah seorang dari lima laki-laki yang tampaknya tidak sabaran, maju dua langkah dengan pedang ditarik ke belakang siap dibabatkan.
“Tahan!” Laki-laki di hadapan Joko mencegah dengan tangan kiri disentakkan ke bawah. Orang yang baru saja hendak babatkan pedang urungkan niat lalu luruhkan kembali pedangnya.
“Siapa kalian sebenarnya?! Dan apa maksud kalian menghadangku?!” Pendekar 131 telah dahului ajukan tanya.
“Keparat! Kau tak akan mendapat jawaban dari pertanyaanmu!” hardik laki-laki yang jadi pemimpin rombongan kelima orang. Lalu dia teruskan ucapan. “Di mana kau sembunyikan Yang Kui Tan?! Dan ke mana kau akan pergi?!”
“Hem.... Yang Kui Tan.... Yang dimaksud pasti laki-laki berkepala gundul yang kutemukan terluka di atas perahu!” Joko membatin. Lalu dengan tersenyum dia angkat suara. “Jadi dua pertanyaan yang harus kujawab adalah pertanyaan yang baru saja kalian ucapkan itu?!”
“Jangan banyak mulut! Bisa saja kami tambah lagi dengan beberapa pertanyaan kalau keteranganmu tidak jelas! Dan jika kau tidak menjawab, bukan saja kau tidak akan teruskan perjalanan, tapi kau akan terkubur jauh dari daerah asalmu!”
Pendekar 131 angguk-anggukkan kepala. “Kalian tahu aku adalah orang yang datang dari jauh. Adalah aneh bukan kalau aku mengenal orang yang bernama Yang Kui Tan?! Siapa dia...? Dari mana asalnya? Bagaimana kalian menanyakan dia padaku...? Apa hubungan orang itu denganku?! Dan bagaimana pangkal sebabnya kalian menduga aku menyembunyikan orang itu?!” Joko ajukan rentetan pertanyaan.
Kelima orang yang mengelilingi Joko kembali saling pandang. Salah seorang di antaranya mendekati pimpinan rombongan lalu berbisik. “Jelaskan saja padanya siapa Yang Kui Tan agar urusan ini tidak berlarut-larut dan cepat selesai! Kau telah dengar sendiri, walau tampak cengengesan, pemuda itu mampu lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa orang pengawal kerajaan! Aku bukannya takut, tapi kalau urusan bisa selesai tanpa pertumpahan darah, kurasa itu lebih baik!"
Pimpinan rombongan tampak menyeringai namun diam-diam membenarkan ucapan salah seorang anak buahnya. Hingga tak lama kemudian dia berkata. “Yang Kui Tan adalah salah seorang utusan dari Perguruan Shaolin!”
“Hem.... Begitu?! Lalu apa hubungan orang itu denganku?! Kurasa aku tak pernah mengenalnya!”
“Mengenal atau tidak, itu bukan urusanku! Yang jelas kau telah membawa dan menyembunyikannya!”
“Dari mana kalian tahu?!”
“Kau datang ke sini menggunakan perahu yang sebelumnya ditumpangi Yang Kui Tan!”
“Kalian teman-temannya Yang Kui Tan?!”
“Itu bukan urusanmu! Jawab saja di mana Yang Kui Tan!”
“Baiklah.... Aku akan menjawab pertanyaanmu. Tapi aku ingin tahu dahulu, mengapa kalian mencari Yang Kui Tan?!” tanya murid Pendeta Sinting.
“Dia mencuri benda milik kerajaan!”
Mimik Pendekar 131 sedikit berubah. Hatinya bimbang. “Benarkah...? Apakah yang dimaksud benda milik kerajaan itu kantong putih yang diberikannya padaku?! Au harus tahu urusan ini dengan jelas!” kata Joko dalam hati. Lalu buka mulut. “Benda apa yang dicurinya?!”
“Itu rahasia kerajaan! Sekarang jawab pertanyaan kami tadi!” kata pimpinan rombongan.
“Hem.... Bagaimana mungkin orang dari Perguruan Shaolin bisa mencuri benda milik kerajaan?!” tanya Joko tanpa pedulikan permintaan orang.
“Itu bukan sesuatu yang harus kau ketahui!”
“Apa selama ini terjadi silang sengketa antara kerajaan dan Perguruan Shaolin?” Murid Pendeta Sinting masih juga ajukan tanya, membuat kelima orang tampak kesal.
“Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Jangan buat kami habis kesabaran!” pimpinan rombongan mengancam lalu tarik pedang di tangan kanannya sedikit ke belakang. Keempat orang lainnya ikut membuat gerakan yang sama.
“Aku harus segera bertemu dengan Guru Besar Pu Yi! Tak enak kalau hanya mendengar keterangan dari satu pihak!” gumam murid Pendeta Sinting dalam hati. “Karena menurut apa yang pernah kudengar, Perguruan Shaolin sangat taat pada peraturan!”
“Aku memang sempat bertemu Yang Kui Tan!” Akhirnya Joko buka suara. “Pertemuan itu terjadi di tengah laut, karena aku adalah seorang nelayan! Saat itu dia terluka parah dan tak lama kemudian dia meninggal!”
“Lalu di mana mayatnya?!” Pimpinan rombongan bertanya.
“Sebelum meninggal, dia menghadiahkan perahunya padaku namun dengan satu permintaan!”
“Apa permintaannya?!”
“Dia minta diceburkan ke dalam laut!”
“Kau jangan berani berkata dusta pada kami! Panglima Muda Lie tahu kalau Yang Kui Tan masih ada di perahu!”
Pendekar 131 gelengkan kepala seraya tersenyum. “Dia salah pandang. Yang dikira Yang Kui Tan adalah bekal makanan yang kututup dengan jubah hitam yang kupakai ini. Karena saat itu gelombang sedang naik pitam, terpaksa aku menutup bekal makanan Yang Kui Tan dengan jubah hitam ini. Sebab bagaimanapun juga aku masih memerlukan bekal makanan dalam perjalanan!
Apalagi saat itu aku tak tahu harus ke mana, karena aku sendiri sebenarnya tengah menyelamatkan diri dari hantaman gelombang yang tengah memporak-porandakan perahu milikku dan telah menenggelamkan beberapa teman nelayanku!”
Pimpinan rombongan memandang pada keempat orang anak buahnya. Orang yang tadi berbisik kembali sorongkan wajahnya ke dekat telinga pimpinan rombongan lalu berbisik lagi. “Kita harus menggeledahnya! Sekalian membawa dia menghadap Panglima Muda Lie!”
Pimpinan rombongan anggukkan kepala. Lalu berkata. “Aku percaya pada keteranganmu! Namun satu lagi pertanyaan kami. Ke mana tujuanmu sekarang?!”
“Ini adalah daerah asing bagiku! Sementara karena aku semula tidak pernah punya niat untuk datang ke daerah ini, aku akan menurut saja ke mana kakiku bergerak! Tapi kalau bisa aku ingin segera kembali ke kampung halamanku sendiri! Aku meninggalkan beberapa istri cantik-cantik! Belum lagi beberapa gadis simpanan! Aku tak bisa hidup tanpa didampingi perempuan cantik! Sementara sudah dua hari di daerah ini, aku belum pernah bertemu dengan gadis cantik! Apa daerah ini memang tidak pernah melahirkan perempuan cantik?!”
“Orang asing! Kami dengan senang hati akan memberimu beberapa gadis cantik!”
Murid Pendeta Sinting buru-buru angguk-anggukkan kepala dan dengan cepat segera menyahut. “Ah.... Terima kasih. Terima kasih....”
“Tapi kami harus menggeledahmu terlebih dahulu!” Pimpinan rombongan sambungi ucapannya membuat gerakan kepala Joko terhenti laksana dipacak tangan setan.
“Apa yang hendak kalian lakukan?! Mengapa kalian harus menggeledahku dahulu sebelum memberikan beberapa gadis cantik?! Kalian tidak percaya kalau aku laki-laki tulen?! Atau kalian khawatir barang orang dari seberang lain dengan barang orang-orang di sini?!” Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. “Percayalah.... Semuanya pasti tidak ada bedanya! Kalaupun ada perbedaan, kukira itu hanya masalah warna!”
“Dari tadi kau terlalu banyak bicara!” bentak pimpinan rombongan yang tak tahan lagi menindih rasa geram. Dia maju beberapa langkah. “Turuti saja permintaan kami!”
Pendekar 131 julurkan kedua tangannya ke depan dan digerak-gerakkan pulang balik ke kanan kiri memberi isyarat agar orang tidak lakukan ucapannya. “Kuharap jangan lakukan itu padaku.... Kalian tahu, aku geli sekaligus ngeri jika diraba-raba tangan laki-laki!”
“Kalau kau menolak, terpaksa kami akan menggeledahmu dengan pedang ini!” Pimpinan rombongan angkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Murid Pendeta Sinting celingukan ke kanan kiri. Keempat orang lainnya ikut-ikutan angkat pedang masing-masing ke atas kepala. Joko takupkan kedua tangan di atas kepalanya dengan tampang tegang. “Bagaimana kalau kalian carikan saja beberapa gadis cantik untuk menggeledahku?! Terus terang bulu kudukku sudah meremang, padahal tangan kalian belum menyentuh!”
"Wuutt!" Pimpinan rombongan yang sudah habis kesabaran tidak menyahut dengan ucapan. Melainkan segera babatkan pedang di tangannya. Keempat orang lainnya tidak tinggal diam. Mereka segera pula gerakkan pedang di tangan masing-masing! Hingga saat itu terdengar lima desingan tajam ke arah sosok murid Pendeta Sinting. Lima cahaya putih berkiblat!
Masih dengan takupkan kedua tangan di atas kepala dan wajah tegang, Pendekar 131 hentakkan kedua kakinya. Sosoknya melenting tiga tombak ke udara lalu melesat dan jatuh bergedebukan sepuluh langkah dari lima orang yang tadi sama babatkan pedang!
Craakk! Crakk! Crakk! Trangg! Trangg!
Terdengar tiga suara pedang menghantam. Lalu disusul terdengarnya bentrok antara pedang. Tanah muncrat ke udara. Lalu terlihat percikan api. Kelima orang langsung mendelik besar tatkala mengetahui tiga pedang mereka hanya menghantam tanah, sementara dua lainnya sama berbenturan!
Laksana dikomando, kepala masing-masing orang sama menyentak ke samping dan ke depan kala telinga mereka mendengar suara benda jatuh bergedebukan. Mereka melihat sosok orang yang tadi dihantam duduk berselonjor dengan tangan kiri kanan memijit-mijit pantatnya!
“Kalian benar-benar tega membuatku jatuh tak karuan begini rupa!” ujar murid Pendeta Sinting. Namun diam-diam dia berkata dalam hati. “Mereka harus segera kuselesaikan! Jika tidak, perjalanan ini akan tertunda-tunda!”
Lima orang prajurit sama tegak berjajar. Sebenarnya nyali mereka sudah mulai ciut melihat orang berhasil lolos dari serangan lima pedang yang berkelebat menghajar. Apalagi sebelumnya sudah mendengar kalau orang itu berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan yang ilmunya di atas mereka.
Namun sebagai prajurit yang menjalankan perintah, meski dengan hati ragu-ragu akhirnya mereka berlari ke arah Joko dengan pedang diangkat. Murid Pendeta Sinting tarik pulang kedua tangannya yang memijit-mijit pantat. Saat kemudian kedua tangannya didorong ke depan.
Wuutt! Wuuttt!
Dua gelombang dahsyat menghampar. Gerak langkah kelima prajurit mendadak terhenti. Saat lain kelima sosok ini mencelat balik ke belakang. Kelima pedang di tangan masing-masing orang lepas mental. Lalu terdengar suara bergedebukan lima kali berturut-turut. Pendekar 131 bergerak bangkit dan segera melompat ke depan lalu tegak berjarak sepuluh langkah dari lima sosok yang terkapar di atas tanah. Joko menyeringai dengan tampang dibuat garang. Kedua tangannya diangkat ke atas.
“Kalian telah ingkari janji yang hendak memberiku beberapa gadis cantik! Sekarang kalian harus menerima hukuman!”
Kelima orang prajurit sama tegang dan melirik satu sama lain. “Kita harus cepat tinggalkan tempat ini!” kata pimpinan rombongan.
“Tapi kita akan menerima hukuman lebih berat dari kerajaan!” bisik satunya.
“Itu nanti bisa kita atur! Kita lapor tidak bertemu orang yang kita cari!”
“Tapi....”
“Kerajaan masih bisa kita bohongi! Tapi tindakan pemuda itu tidak mungkin bisa kita halangi! Jangan banyak bicara di sini! Ayo kita segera lari!” bisik pimpinan rombongan. Dia beranjak dahulu dengan mata terus memperhatikan pada kedua tangan Joko. Saat berikutnya dia berbalik lalu menghambur lari. Melihat pimpinan rombongannya telah kabur, keempat anak buahnya sama saling lirik dengan tubuh tergetar. Hampir bersamaan, mereka bergerak bangkit lalu lari tunggang langgang!
“Kalian bisa lari sampai ujung dunia, tapi jangan harap bisa lolos!” teriak Joko lalu sentakkan kedua tangannya. Namun Joko sengaja arahkan pukulannya pada hamparan tanah di belakang keempat orang yang lari.
Bummm! Bummm!
Terdengar dua ledakan keras. Tanah bertabur ke udara. Keempat orang yang lari belakangan makin percepat larinya. Namun karena suasana berubah gelap akibat taburan tanah, keempat prajurit ini tidak bisa lagi melihat ke depan. Dua orang sama bertabrakan lalu jatuh bergulingan. Dua lainnya menabrak pohon lalu mental dan jatuh berkaparan dengan mulut dan hidung kucurkan darah karena berbenturan dengan batangan pohon.
Begitu tanah telah luruh kembali dan suasana terang, keempat prajurit perlahan-lahan sama buka kelopak mata masing-masing dengan wajah makin tegang. Namun keempatnya sama menghela napas lega tatkala mata mereka tidak lagi melihat orang lain di tempat itu. Tapi mungkin masih kurang yakin dan tidak mau membuat urusan lebih panjang, begitu tidak melihat orang lain, keempatnya saling pandang. Saat lain mereka cepat beranjak bangkit lalu menghambur lari!
“Dasar manusia-manusia pengecut!” Tiba-tiba terdengar satu suara bergumam dari balik salah satu batangan pohon. Lalu satu sosok tubuh keluar. Dia memandang ke arah empat orang prajurit yang terus berlari laksana dikejar setan dan tidak pedulikan kanan kiri. Malah di antaranya ada yang jatuh bangun. Namun segera berlari kembali!
Orang yang baru muncul dari batangan pohon putar kepala. “Hem.... Apa yang kudengar benar adanya. Pemuda itu memiliki ilmu tinggi! Namun dia tidak jahat. Terbukti, kalau saja dia mau, tidak sulit baginya membunuh kelima prajurit tadi! Padahal kelima prajurit tadi telah memperlakukannya dengan kasar! Hem.... Siapa dia sebenarnya?! Apakah benar dia telah menyembunyikan Yang Kui Tan...?! Aku belum mengerti dengan jelas apa sebenarnya yang dicari kerajaan hingga memerintahkan seluruh orang kerajaan mencari Yang Kui Tan atau pemuda itu!”
Orang yang tadi keluar dari balik batangan pohon arahkan pandang matanya ke arah mana tadi dia melihat Pendekar 131 berkelebat. “Menurut arah yang diambil, pasti dia tengah menuju Perguruan Shaolin! Berarti dia memang berhubungan dengan Yang Kui Tan. Apa yang harus kulakukan?! Dia pasti tidak tahu kalau arah jalan yang menuju Perguruan Shaolin telah dikepung dengan beberapa orang kerajaan berilmu tinggi!” Orang ini sesaat bimbang.
“Aku harus memberi tahu padanya.... Tapi bagaimana kalau nanti.... Ah. Itu bisa kuatur!” orang ini tersenyum sendiri namun tiba-tiba senyumnya pupus. Dia bergumam lagi. “Aneh.... Mengapa aku tak tega melihat dia nanti mendapat celaka?! Ada apa dengan diriku?!” orang ini gelengkan kepala perlahan seraya menarik napas.
Dia adalah seorang gadis berparas jelita berkulit putih kekuningan. Sepasang matanya bulat. Rambutnya panjang digeraikan dan diberi pita di atas. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah muda.
“Dia belum jauh.... Aku harus segera menyusul!” Gadis berbaju merah muda berkata dalam hati. Dengan senyum mengembang di bibirnya yang merah, dia segera berkelebat ke arah yang tadi diambil murid Pendeta Sinting.
***
SEMBILAN
SEMENTARA sambil berlari, Pendekar 131 terus dibuncah berbagai pertanyaan dalam hati. “Apakah benar kantong putih ini benda milik kerajaan yang dicuri oleh Yang Kui Tan?! Melihat yang memburu bukan saja beberapa prajurit, namun Panglima Muda Lie ikut turun tangan, berarti benda ini sangat berharga!
Tapi mengapa Yang Kui Tan berpesan agar memberikan benda ini pada Guru Besar Pu Yi?! Hem.... Kalau benar benda ini milik kerajaan, berarti ada apa-apa antara kerajaan dengan Perguruan Shaolin! Aku harus segera jumpa dengan Guru Besar Pu Yi.... Hem.... Sebenarnya apa isi kantong putih ini?!”
Terusik akan pertanyaannya sendiri, murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Dia putar kepala sesaat. Lalu tangan kanannya diselinapkan ke balik pakaiannya. Saat ini dia masih mengenakan Jubah Tanpa Jasad yang kesaktiannya telah lenyap. (Mengenai Jubah Tanpa Jasad, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Jubah Tanpa Jasad).
Dia sesaat menimang-nimang kantong putih yang diberikan Yang Kui Tan. Kedua tangannya sudah bergerak untuk membuka kantong. Namun tiba-tiba dia urungkan niat. “Ah.... Rasanya tak pantas kalau membuka kantong orang! Lebih baik aku nanti bertanya pada Guru Besar Pu Yi. Karena aku yang membawa, mungkin dia tak akan keberatan memberitahukan padaku!”
Pendekar 131 selinapkan kembali kantong putih ke balik pakaiannya. Saat lain dia berkelebat lagi menuju ke arah barat seperti pesan Yang Kui Tan. Namun belum sampai sosoknya bergerak, satu suara menahan.
“Tunggu!”
“Suara perempuan! Hem.... Baru kali ini aku jumpa dengan perempuan. Mudah-mudahan paras dan bentuk tubuhnya tidak mengecewakan dan enak dipandang! Tapi bagaimana kalau dia adalah salah seorang utusan kerajaan yang juga tengah memburuku? Apakah aku harus teruskan perjalanan saja?!” Joko urungkan niat seraya berpikir namun belum juga balikkan tubuh melihat siapa adanya orang yang baru saja berseru.
“Boleh aku tahu, hendak ke mana kau?!”
Suara itu kini terdengar agak dekat. Menunjukkan bahwa orangnya tidak berada jauh. Namun pertanyaan itu membuat dada murid Pendeta Sinting jadi tak enak. Masih tanpa balikkan tubuh dia berkata menjawab. “Aku cuma ingin jalan-jalan! Kau sendiri hendak ke mana?!”
“Hem.... Orang ini aneh...,” kata orang di belakang Joko pelan seraya pandangi punggung Joko. Lalu berkata. “Jalan-jalan ke mana?!”
“Kau tahu di mana ada aliran sungai?!”
“Kau hendak ke sungai?!”
Pendekar 131 menjawab dengan anggukkan kepala. “Perutku dari tadi mulas! Rasanya aku hampir tak tahan lagi! Harap tunjukkan padaku ke mana arah menuju sungai!”
Terdengar suara tawa merdu tertahan. Sebenarnya Joko ingin berpaling begitu mendengar suara tawa merdu orang. Namun khawatir orang di belakangnya adalah salah seorang yang tengah memburunya, Joko menahan keinginannya.
“Pergilah ke arah selatan. Dua puluh lima tombak dari sini kau akan menemukan sebuah sungai kecil!” terdengar suara jawaban dari belakang.
“Terima kasih.... Kau mau ikut?!” tanya Joko.
Tidak terdengar sahutan. Joko sudah memutuskan untuk berkelebat pergi. Namun kali ini dia tak kuasa menahan diri untuk mengetahui orang di belakangnya. Hingga seraya hendak berkelebat, dia berpaling ke belakang.
Murid Pendeta Sinting hentikan gerakannya. Saat lain justru dia balikkan tubuh. Sepasang matanya sedikit dibeliakkan. Dia melihat seorang gadis berparas jelita dengan rambut digerai dan diberi pita di bagian atasnya. Gadis itu mengenakan pakaian warna merah muda.
Dipandangi orang begitu rupa, membuat gadis di hadapan Joko jadi salah tingkah dan tundukkan kepala. Wajahnya bersemu merah. Tapi ingat akan hadangan beberapa orang dan ingat pula bahwa pertanyaan si gadis sama dengan beberapa orang yang sempat menghadangnya, membuat murid Pendeta Sinting memutuskan untuk pergi meski hatinya ingin sejenak berbincang-bincang.
“Benar di sebelah selatan ada sungai?!” Joko ajukan tanya.
Si gadis anggukkan kepala tanpa memandang. Joko balikkan tubuh. Namun entah mengapa dia tidak segera berkelebat. Sebaliknya putar diri lagi menghadap si gadis dan bertanya. “Kau sendiri hendak ke mana?!”
Si gadis berpakaian merah muda angkat kepalanya memandang wajah murid Pendeta Sinting. Lalu kepalanya menggeleng.
“Jadi kau tak punya tujuan? Kau tersesat...?!”
Lagi-lagi gadis jelita di hadapan Joko gelengkan. Lalu bergumam. “Ditanya hendak ke mana menggeleng. Ditanya tidak punya tujuan menggeleng. Ditanya tersesat menggeleng....”
“Kau bilang perutmu mulas.... Mengapa masih juga tidak segera ke sungai?!” Gadis di hadapan Joko buka suara.
“Tadinya memang begitu. Tapi demi melihat wajahmu, perutku tidak mulas lagi! Tidak keberatan mengatakan siapa dirimu?!”
Paras wajah si gadis kembali bersemu merah. Mulutnya sudah membuka, namun suaranya tidak juga terdengar.
“Aku Joko.... Joko Sableng!” Murid Pendeta Sinting mendahului memperkenalkan diri.
“Dari namamu.... Pasti kau bukan berasal dari daerah sini! Kalau orang datang dari seberang jauh dan mengadakan perjalanan di sini, pasti bukan semata untuk mencari sebuah sungai karena perut mulas!” Gadis berpakaian merah muda berujar.
“Hem.... Gadis ini bukan hanya berwajah cantik, namun juga cerdik!” kata Joko dalam hati. Lalu berkata. “Dugaanmu benar.... Tapi tidak seluruhnya! Aku tadi benar-benar tengah mencari sungai karena perutku mulas....”
Si gadis tertawa pendek. “Aku tahu ke mana sebenarnya tujuanmu!”
Murid Pendeta Sinting kerutkan kening. “Siapa gadis cantik ini sebenarnya...? Kemarin malam aku jumpa dengan orang tua yang ucapannya seakan ingin tahu apa tujuanku. Orang tua itu sebut-sebut Gunung Sim Yan In dalam syairnya. Padahal aku belum mengatakan pada siapa-siapa ke mana aku hendak melangkah. Sekarang juga aku jumpa dengan gadis cantik yang mengatakan dia tahu ke mana sebenarnya tujuanku! Heran.... Jangan-jangan daerah ini tempat berkumpulnya beberapa tukang ramal....”
Mungkin karena penasaran dengan ucapan si gadis, Joko segera buka mulut bertanya. “Coba katakan ke mana tujuanku!”
Gadis di hadapan Joko sesaat memandang pada paras wajah murid Pendeta Sinting. Lalu alihkan pandang matanya ke arah bergeraknya sang matahari. Saat kemudian dia berkata. “Kau hendak menuju Perguruan Shaolin!”
Joko sempat tersentak. Namun dia coba menutupi rasa kejutnya dengan tertawa panjang. Lalu menyusuli suara tawanya dengan ucapan. “Kau salah tebak.... Aku sampai di daerah ini karena terbawa perahu. Jadi sebenarnya aku tidak punya tujuan pasti! Kalaupun aku punya tujuan, itu bagaimana aku bisa pulang ke kampung halamanku lagi!”
Kini gadis di hadapan Joko yang ganti kernyitkan kening. Murid Pendeta Sinting tersenyum. Lalu sambungi ucapannya. “Aku memang tidak sepandai kau, tapi aku mungkin bisa menebak ke mana sebenarnya tujuanmu!” Karena penasaran juga, si gadis bertanya. “Coba katakan!”
“Kau pasti akan melangkah mengikutiku!”
Paras wajah si gadis berubah merah padam. Sementara Joko sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena mendapati si gadis tahu ke mana sebenarnya dia hendak pergi. “Kau juga salah tebak!” Mendadak si gadis buka suara. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku hanya ingin....” Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Melainkan putar kepalanya dengan mata menyelidik.
“Ingin apa? Ingin ikut ke sungai?!”
Si gadis gelengkan kepala. “Aku tahu kau berdusta.... Kau akan pergi ke Perguruan Shaolin. Kau tak usah khawatir kalau aku akan terus mengikutimu. Aku hanya ingin menyarankan agar kau berhati-hati....”
Murid Pendeta Sinting melompat. Tanpa sadar kedua tangannya memegang kedua lengan si gadis. “Siapa kau sebenarnya?! Dan ada apa...?!”
“Beberapa orang telah menutup jalan masuk menuju Perguruan Shaolin. Mereka bukan orang sembarangan! Kalau kau masih berniat menuju shaolin, lebih baik kau tunda dulu keinginanmu sampai suasana agak aman!”
“Siapa kau sebenarnya?!” Joko ulangi pertanyaannya.
Si gadis gelengkan kepala dengan mata memandang ke arah kedua tangan Joko yang memegang kedua lengannya. Murid Pendeta Sinting buru-buru sadar dan lepaskan pegangan kedua tangannya.
“Aku.... Namaku Mei Hua....”
“Kau tahu banyak tentang diriku. Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku tidak punya waktu banyak.... Silakan kau pergi ke sungai. Di sana nanti kau bisa merenung apa yang baru kukatakan!” Habis berkata begitu, gadis yang sebutkan diri Mei Hua balikkan tubuh.
Namun Joko cepat pegang lengan kanan si gadis. “Tunggu! Bagaimana....”
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Mei Hua telah menukas. “Kalau kita terus bicara di sini, bukan saja kau yang akan mendapat celaka, tapi aku juga akan ikut terlibat!”
“Lalu di mana kita bisa bicara?!” tanya Joko.
“Untuk sementara ini keadaan tidak memungkinkan. Mungkin kelak kita akan punya banyak waktu.... Aku harus segera pergi....” Tangan kanan Mei Hua mencekal tangan murid Pendeta Sinting yang memegang lengannya. Perlahan-lahan tangan gadis ini lepaskan tangan Joko. Saat lain si gadis berpaling dengan tersenyum. Lalu anggukkan kepala dan berkelebat pergi.
Pendekar 131 pandangi punggung Mei Hua hingga lenyap di depan sana. “Hem.... Ucapannya kuyakin pasti benar.... Apakah aku harus turuti ucapannya untuk menunda pergi ke Perguruan Shaolin?! Lalu aku hendak ke mana?! Daerah ini masih asing bagiku.... Ah, lebih baik aku cepat menemui Guru Besar Pu Yi.... Aku akan memasuki shaolin saat hari telah gelap. Dengan begitu aku tidak punya beban lagi....”
Berpikir begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan perjalanan ke arah barat. Namun kali ini dia makin waspada dan sengaja memperlambat larinya dengan maksud menunggu hari gelap. Sementara Mei Hua terus berlari. Namun begitu mendapat dua puluh tombak, mendadak gadis berwajah cantik ini hentikan larinya.
Saat lain dia berbalik dan kembali berkelebat dari arah mana dia tadi berlari. Ketika matanya dapat menangkap kembali sosok murid Pendeta Sinting, Mei Hua memperlambat larinya dan berkelebat dengan secara sembunyi-sembunyi mengikuti Pendekar 131 Joko Sableng dengan wajah sedikit tegang dan cemas!
***
SEPULUH
SETELAH melakukan perjalanan satu hari dan melewati lima kawasan hutan, akhirnya Pendekar 131 Joko Sableng tiba di satu kawasan tanah lapang. Saat itu matahari hampir tenggelam tapi suasana belum gelap. Memandang jauh ke depan, Joko melihat aliran sungai yang membelah kawasan tanah lapang. Dan ketika murid Pendeta Sinting palingkan kepala ke kanan, tampaklah sebuah bangunan tinggi berbentuk kuil. Joko anggukkan kepala. Lalu putar kepala menyiasati keadaan.
Dalam perjalanannya Joko memang sengaja berkelebat secara hati-hati dan sembunyi-sembunyi. Dia akhirnya juga membuktikan kebenaran Mei Hua. Karena dia sempat melihat beberapa orang yang mendekam sembunyi di balik pohon.
Namun sejauh ini dia tidak sadar kalau secara diam-diam pula Mei Hua terus mengikuti di belakangnya. Paras wajah Mei Hua tampak semakin cemas dan gelisah ketika tahu jika jarak antara Pendekar 131 dan Perguruan Shaolin tidak jauh lagi. Dan dia hentikan larinya ketika di depan sana terlihat murid Pendeta Sinting hentikan kelebatan.
Murid Pendeta Sinting tampak putar kepala menembusi suasana yang hampir, gelap. Dia masih bisa melihat keadaan sekeliling karena meski malam sudah menjelang, namun sang rembulan tampak pancarkan cahayanya dari arah sebelah timur. “Hem.... Banyak orang di depan sana.” gumam Joko ketika matanya bisa menangkap beberapa orang di keremangan malam. “Terpaksa aku harus jalan memutar!” putus Joko. Saat lain dia balikkan tubuh itu berlari balik.
Melihat hal ini Mei Hua terkesiap kaget karena Joko berlari menuju ke arahnya. Dia segera turunkan tubuh dan langsung telungkup sejajar tanah. Gadis cantik ini tidak berani membuat suara atau membuat gerakan. Hanya sepasang matanya yang tampak bergerak-gerak memperhatikan arah kelebatan murid Pendeta Sinting. Gadis ini sempat menahan napas ketika Joko berkelebat hanya berjarak tujuh langkah di sebelah sampingnya. Namun ketegangan gadis cantik ini pupus tatkala melihat Joko teruskan kelebatannya.
Mei Hua tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba murid Pendeta Sinting berkelebat balik. Namun kelebatan ini membuat dada Mei Hua sedikit merasa lega. Dia menduga Joko urungkan niat untuk pergi ke Perguruan Shaolin. Hingga dengan bibir tersenyum, Mei Hua segera bangkit begitu melihat sosok murid Pendeta Sinting sudah berada jauh di depan sana. Namun mata Mei Hua sedikit menyipit ketika tiba-tiba melihat sosok murid Pendeta Sinting membelok dan berkelebat kembali ke arah Perguruan Shaolin.
“Hem.... Tampaknya dia cuma menghindari ketatnya penjagaan orang! Dia akan teruskan niat menuju Perguruan Shaolin!” Ketegangan di wajah Mei Hua kembali terbayang. Dengan cepat gadis cantik ini segera berkelebat mengikuti larinya Joko. Dugaan Mei Hua ternyata tidak meleset.
Murid Pendeta Sinting memang teruskan niat menuju Perguruan Shaolin hanya dengan mengambil jalan di sisi lain. Pada satu tempat kembali Joko hentikan larinya. “Busyet! Rupanya memang tidak ada jalan yang lowong tanpa orang!” gumamnya saat matanya menangkap tiga orang tengah mendekam sembunyi. “Apa boleh buat. Aku harus melewatinya meski harus membuat sedikit urusan!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko teruskan larinya. Namun baru saja dia hendak berkelebat, satu sosok bayangan melesat di sebelah samping sana. Karena suasana agak gelap dan sosok itu berkelebat amat cepat, Joko tidak bisa menentukan siapa adanya orang. Dia hanya bisa melihat berkelebatnya satu bayangan. Sosok bayangan itu terus berkelebat menuju tiga orang yang sembunyi di depan sana.
Saat lain mendadak bayangan itu angkat kedua tangannya. Terdengar deruan keras. Dua gelombang berkiblat ke arah tiga orang yang mendekam sembunyi. Tiga orang yang mendekam sembunyi sama berkelebat keluar dari tempat masing-masing lalu melompat hindarkan diri. Begitu dua gelombang lewat, salah seorang di antaranya segera berteriak.
“Kejar!”
Tiga orang berkelebat. Karena ternyata begitu lepaskan satu pukulan, si bayangan langsung berkelebat.
“Hem.... Apa maksud orang tadi?! Kalau dia berniat menyerang tentu tidak akan terus berlari begitu lepas pukulan. Ah.... Itu urusan mereka. Yang jelas sekarang aku agak leluasa bergerak!”
Joko sempat memikirkan tindakan si bayangan. Namun karena tak mau sia-siakan kesempatan, dia cepat berkelebat dan melewati tempat di mana tiga orang tadi mendekam sembunyi. Murid Pendeta Sinting terus berkelebat. Karena sadar tempat di sekitarnya banyak orang, dia sengaja kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya.
Dengan bantuan suasana malam, akhirnya murid Pendeta Sinting tiba di tempat yang dari tempat itu terlihat bangunan megah shaolin tanpa rintangan berarti. Empat pemuda berkepala gundul segera menyongsong begitu mereka melihat satu sosok tubuh melangkah cepat ke arah pintu gerbang.
“Amitaba....” Salah seorang dari keempat murid Perguruan Shaolin takupkan kedua tangan di depan dada seraya melangkah dua tindak lebih maju dari tiga temannya yang tegak di belakang. “Harap terangkan apa tujuanmu datang ke shaolin...!”
Joko ikut-ikutan takupkan kedua tangan di depan dada. Lalu anggukkan kepala dan berkata. “Aku ingin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!”
Salah seorang dari Perguruan Shaolin yang tegak paling depan sesaat pandangi Pendekar 131 dari atas hingga bawah. “Sebutkan siapa dirimu dan apa keperluanmu hendak bertemu Guru Besar Pu Yi!”
“Wah.... Peraturan di sini terlalu ketat! Padahal aku harus segera bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!” kata Joko dalam hati. Lalu enak saja dia buka mulut. “Aku Han Ko.... Dan harap dimaafkan. Aku tak bisa memberi tahu apa keperluanku bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!”
“Amitaba.... Mohon dimaafkan juga. Kami tidak bisa memberimu izin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi. Kau kembalilah besok pagi....”
“Amitaba....” Joko ikut-ikutan buka mulut. “Aku tak bisa menunggu! Malam ini juga aku harus bisa bertemu dengan Guru Besar Pu Yi! Ada masalah penting yang harus kubicarakan dengannya!”
“Guru Besar Pu Yi sedang berada di kamar persembayangan. Dia tidak bisa diganggu! Harap maafkan kami....”
“Katakan saja ada masalah penting! Pasti dia dapat memaklumi!”
Pemuda berkepala gundul yang tampaknya jadi pimpinan regu jaga gelengkan kepala. “Amitaba.... Menurut peraturan yang berlaku, masalah apa pun tidak bisa mengganggu jika Guru Besar telah masuk ruang persembayangan!”
“Sial! Bagaimana sekarang?! Aku tidak bisa menunggu lagi! Malam ini juga aku harus lepaskan beban!” kata Joko dalam hati. Dia berpikir sesaat lalu berkata. “Kapan dia akan keluar dari kamar persembayangan?!”
“Tak bisa ditentukan waktunya. Kadang-kadang dia baru keluar setelah tiga hari tiga malam!”
“Busyet! Ini tidak boleh terjadi!” batin Joko lalu kembali bertanya. “Kalau Guru Besar Pu Yi tidak bisa ditentukan kapan keluarnya dari kamar persembayangan, mengapa kau menyuruhku untuk kembali ke sini besok?!”
“Siapa tahu Guru Besar Pu Yi sudah keluar. Lagi pula kau nanti bisa bertemu dengan Guru Besar Liang San dan Guru Besar Wu Wen She jika Guru Besar Pu Yi belum juga keluar dari kamar persembayangan....”
“Amitaba.... Aku hanya hendak bertemu dengan Guru Besar Pu Yi! Bukan Guru Besar lainnya!” kata Joko.
“Itu urusanmu. Yang jelas kalau kau ingin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, kau harus menunggu sampai dia keluar dari kamar persembayangan! Waktunya kami tidak bisa menentukan!”
“Bagaimana kalau sekali ini saja kalian beri tahu pada Guru Besar Pu Yi?!”
“Amitaba.... Kami tidak berani melakukannya!”
“Kalian takut dihukum?!”
“Bukan hukuman yang kami takutkan. Tapi kami tidak mau melanggar peraturan!”
“Kalau begitu, antar saja aku ke tempat kamar persembayangan. Aku nanti yang akan memberi tahu maksud kedatanganku!”
“Harap dimaafkan. Kami juga tidak berani melakukan tindakan itu!”
“Apa boleh buat.... Terpaksa aku harus menerobos!” kata Joko dalam hati. Lalu memperhatikan suasana sebentar. Saat lain dia buka mulut. “Baiklah.... Aku akan kembali besok pagi! Amitaba....” Joko anggukkan kepala lalu putar diri dan melangkah perlahan meninggalkan halaman Perguruan Shaolin.
“Selamat jalan.... Silakan kau datang besok pagi!” sahut pemuda yang tegak di sebelah depan seraya ikut anggukkan kepala. Keempat pemuda berkepala gundul ini segera balikkan tubuh lalu melangkah kembali ke arah pintu gerbang.
Namun keempat pemuda ini tersentak tatkala matanya melihat satu sosok bayangan berkelebat melewatinya dari sebelah samping. Tanpa ada yang buka suara, keempat pemuda segera mengejar. Namun karena sadar tidak bisa mengejar orang, salah seorang dari keempat pemuda ini segera berteriak.
“Ada tamu menerobos masuk! Semua harus siap!”
Joko tidak pedulikan teriakan orang. Dia teruskan kelebatan. Namun baru saja hendak melewati tangga di bawah pintu gerbang, mendadak satu bayangan kuning berkelebat dari dalam pintu gerbang dan tahutahu tegak menghadang. Tangan kanannya diangkat memberi isyarat. Keempat pemuda berkepala gundul yang masih berada di halaman pintu gerbang sama hentikan larinya. Lalu takupkan kedua tangan masingmasing dan mengangguk.
“Amitaba.... Harap katakan perlumu, Anak Muda....” Orang yang tegak menghadang Joko anggukkan kepala dengan bibir tersenyum. Namun matanya memperhatikan orang di hadapannya dengan seksama.
Murid Pendeta Sinting yang berhenti ketika melihat munculnya orang, segera pula mengawasi orang. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahunan. Sosoknya kekar. Kepalanya gundul dan terdapat beberapa titik putih. Paras wajahnya agak bulat. Pada sebelah samping kanan matanya terdapat tahi lalat yang ditumbuhi helaian beberapa rambut panjang. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna kuning tanpa leher. Pada pundaknya melapis kain warna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya.
Karena Joko tidak segera menjawab, laki-laki di hadapannya kembali buka mulut. “Amitaba.... Mau sebutkan siapa dirimu, Anak Muda?!”
“Namaku Han Ko.... Aku ingin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi! Mereka itu tidak mengizinkan aku masuk. Maka terpaksa aku berusaha menerobos!” kata Joko berterus terang.
Laki-laki di hadapan murid Pendeta Sinting sekali lagi perhatikan orang di hadapannya lebih seksama. Keningnya berkerut. Mulutnya bergumam perlahan. “Ucapan Tiyang Pengembara Agung jadi kenyataan! Akhirnya aku kedatangan tamu tak dikenal!
Hem.... Dia sebutkan diri bernama Han Ko.... Rasanya baru kali ini aku mendengar nama itu!” Kepala orang ini berpaling ke kanan kiri lalu ke belakang. “Tak mungkin aku mengajaknya masuk.... Urusan ini sangat rahasia jika benar masih ada hubungannya dengan tidak kembalinya Yang Kui Tan....”
“Anak muda...,” kata laki-laki di hadapan Joko seraya menuruni tangga mendekat ke arah murid Pendeta Sinting. “Aku tahu kau akan datang.... Aku adalah orang yang kau cari! Tapi kita tak bisa bicara di sini....Kita harus cari tempat di luar shaolin....”
“Amitaba.... Kau tidak berdusta?!”
Orang di hadapan Joko dan bukan lain memang Guru Besar Pu Yi angkat tangan kanannya seraya berkata pelan. “Bagi kalangan shaolin, berdusta adalah tindakan tidak terpuji!”
“Bagaimana aku bisa mempercayai kalau kau adalah Guru Besar Pu Yi?!” tanya Joko dengan suara pelan pula hingga keempat pemuda di halaman pintu gerbang tidak bisa mendengar percakapan mereka berdua.
“Itu akan kujelaskan nanti, Anak Muda....”
“Lalu kenapa kau takut untuk bicara di sini?!”
“Amitaba.... Keadaan saat ini sangat rawan. Aku tak mau ambil risiko terjadi keributan....”
“Baik.... Lalu di mana kita bisa bertemu?! Namun kuharap pertemuan itu berlangsung malam ini juga. Aku tidak bisa menunggu sampai besok!”
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. “Pergilah ke sebelah utara berjarak tiga puluh tombak dari sini!”
Joko gelengkan kepala. “Kurasa itu tak bisa kulakukan!”
“Mengapa?!” tanya Guru Besar Pu Yi sambil kerutkan dahi.
Orang ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura?” tanya Joko dalam hati. Lalu berkata. “Di perbatasan menuju tempat ini, kulihat beberapa orang mendekam sembunyi!”
Guru Basar Pu Yi terkejut. “Amitaba.... Benar ucapanmu, Anak Muda?!”
“Walau aku bukan dari kalangan shaolin, namun bagiku berkata dusta tetaplah hal yang tak patut dilakukan!”
“Hem.... Baiklah.... Tunggu saja di sebelah utara lima belas tombak dari sini!”
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Tanpa berkata apa-apa lagi dia balikkan tubuh lalu berkelebat. Keempat pemuda yang tadi berjaga di pintu gerbang segera melangkah mendekati Guru Besar Pu Yi. Guru Besar Pu Yi menuruni tangga lalu berkata.
“Salah satu dari kalian masuk ke dalam. Beri peringatan seluruh regu jaga agar lebih waspada. Aku akan mengikuti ke mana anak muda itu tadi!”
Keempat pemuda di hadapan Guru Besar Pu Yi sama anggukkan kepala. Dan begitu Guru Besar Pu Yi berkelebat, pemuda yang menjadi pimpinan regu jaga segera berlari masuk untuk laksanakan perintah Guru Besar Pu Yi.
Sementara itu di perbatasan jalan menuju Perguruan Shaolin, terdengar makian orang. Lalu tiga sosok tubuh berkelebat dan tegak berjajar dengan mata terpentang tembusi kegelapan. “Jahanam! Manusia itu lenyap!” maki salah seorang.
“Siapa dia?! Mengapa tiba-tiba membokong kita dari belakang!” salah seorang lainnya buka mulut perdengarkan tanya.
“Siapa pun adanya jahanam itu, yang jelas kita telah terkecoh!”
“Terkecoh bagaimana?!”
“Aku sempat menangkap berkelebatnya seseorang begitu kita mengejar orang yang telah membokong kita! Jadi jelas orang tadi itu sebagai umpan untuk mengalihkan perhatian kita! Sialnya orang itu ciri-cirinya hampir seperti orang yang harus kita buru dan kita hadang!”
“Kita harus mengejarnya!”
“Tak mungkin lagi. Kita hanya bisa bergerak di perbatasan ini, kecuali besok malam! Itu pun harus kita tunggu perintah!”
“Lalu...?!” Terdengar lagi pertanyaan.
“Apa hendak dikata. Daripada kita mendapat celaka, kita pura-pura tidak tahu jika ada orang yang telah berhasil menerobos melewati kita!”
Setelah terdengar ucapan itu, tiga orang ini segera berkelebat lalu kembali mendekam sembunyi dengan mata masing-masing diarahkan jauh ke depan, di mana terlihat tegak hitam bangunan utama Perguruan Shaolin. Berjarak dua puluh lima langkah dari tempat mendekamnya tiga orang yang baru saja berbicara, Mei Hua tampak menarik napas lega.
“Hem.... Siasatku berhasil. Pemuda itu bisa lewat dengan selamat! Tapi aku tak bisa terus-terusan berada di sini! Aku harus segera kembali!”
Mei Hua arahkan pandang matanya ke tempat di mana tiga orang bersembunyi. Perlahan-lahan dia keluar dari tempat mendekamnya. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
SEBELAS
BARU saja Pendekar 131 tegak di tempat agak terlindung lima belas tombak dari halaman Perguruan Shaolin, dia merasakan desiran angin dari sebelah belakang. Dengan cepat, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Ternyata Guru Besar Pu Yi telah tegak di belakangnya dengan tersenyum dan kedua tangan menakup di depan dada.
“Harap buktikan kalau kau adalah Guru Besar Pu Yi!” Joko langsung angkat suara.
“Amitaba.... Semua orang pasti menjalani takdirnya, Anak Muda! Kau telah ditulis untuk bertemu denganku meski sebelumnya kita tak pernah jumpa! Aku memang tak bisa membuktikan dengan jelas kalau aku adalah orang yang kau cari! Tapi mungkin kau bisa menerima keteranganku....”
“Keterangan apa?!”
“Sebelum kukatakan, harap kau mau berjanji untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapa saja. Karena kaulah satu-satunya orang di luar shaolin yang tahu!”
“Baik.... Katakanlah...!” kata Joko seraya anggukkan kepala.
“Pada beberapa waktu lalu, aku mengutus salah seorang kepercayaanku. Seharusnya dia sudah datang enam hari yang lalu. Tapi hingga kini dia tidak juga kunjung muncul.... Dia bernama Yang Kui Tan....” Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. Lalu teruskan ucapan. “Namun kini aku tidak mengharapkan kehadirannya lagi.... Seorang sahabat telah mengatakan padaku jika dia tidak akan kembali!”
“Dari mana sahabatmu tahu kalau orang kepercayaanmu tidak akan kembali?!”
“Aku tidak tahu.... Tapi yang jelas semua ucapannya banyak yang jadi kenyataan. Dia adalah seorang tokoh di daratan Himalaya yang ilmunya sulit dijajaki! Bukan itu saja.... Dia memiliki ilmu langka yang tak bisa dipelajari orang biasa.... Siapa nama sebenarnya sampai kini tidak ada orang yang tahu. Dia hanya dikenal dengan julukan Tiyang Pengembara Agung.... Kalau tidak salah, dia pernah bertemu denganmu....”
“Astaga! Jangan-jangan orang tua bertangan dan berkaki satu itu!” gumam Joko lalu dia mengatakan ciri-ciri orang yang pernah ditemuinya setelah menguburkan mayat Yang Kui Tan.
“Amitaba.... Memang dialah orangnya...,” kata Guru Besar Pu Yi.
“Hem.... Makanya orang tua itu tahu apa yang ada dalam benakku meski dia ucapkan lewat syairnya...,” Joko terus membatin begitu mendengar ucapan Guru Besar Pu Yi.
“Anak muda.... Aku juga tahu akan kedatanganmu dari Tiyang Pengembara Agung.... Sayang dia tak mau memberi penjelasan lebih jauh soal maksud kedatanganmu! Kalau kau tidak keberatan, harap, kau katakan apa perlumu menemuiku....”
Keterangan Guru Besar Pu Yi membuat Joko jadi yakin kalau orang di hadapannya adalah Guru Besar Pu Yi. Maka tanpa bicara lagi, dia segera selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Kantong putih dikeluarkan lalu diberikan pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi terbelalak. “Amitaba.... Ternyata Sang Pencipta masih menyelamatkan peta wasiat itu dari tangan orang yang tidak bertanggung jawab!” kata Guru Besar Pu Yi. Namun sejauh ini dia belum juga ulurkan tangan untuk menerima.
“Aku bertemu Yang Kui Tan di tengah laut. Dia dalam keadaan terluka parah. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia sempat memberikan kantong putih ini padaku. Dia berpesan agar memberikan kantong ini pada Guru Besar Pu Yi. Terimalah!”
“Amitaba...,” ujar Guru Besar Pu Yi. Kedua tangannya yang menakup di depan dada diturunkan. Lalu dengan sedikit bergetar dia ambil kantong putih dari tangan Joko. “Terima kasih, Anak Muda.... Tapi seharusnya ucapan itu belum cukup kalau dibandingkan dengan jasamu!”
“Aku bisa bertemu dan memberikan kantong itu pada orang yang berhak, merupakan satu kebahagiaan tersendiri bagiku. Tanpa itu, mungkin kita tak akan bertemu dan aku tidak akan bisa melihat indahnya daratan Himalaya!”
Guru Besar Pu Yi memperhatikan sejenak kantong putih di tangan kanannya. Dia tampak bimbang. Murid Pendeta Sinting dapat menangkap kebimbangan orang.
“Guru Besar Pu Yi.... Aku belum membuka kantong itu!”
“Amitaba.... Jangan salah sangka, Anak Muda. Terlalu tak pantas kalau aku menuduhmu yang bukan-bukan. Bahkan seandainya kau telah membuka kantong ini, aku merasa maklum....”
Pendekar 131 tersenyum. “Guru Besar Pu Yi.... Aku telah memberikan kantong pesanan itu padamu. Berarti urusanku telah selesai.... Aku harus segera kembali!”
“Anak muda ini dapat dipercaya.... Hem.... Keadaan di shaolin tampaknya tidak aman lagi. Aku tak tahu apa yang akan terjadi.... Tapi dari ucapan Tiyang Pengembara Agung, aku mendapat firasat akan terjadi sesuatu....”
“Anak muda...,” kata Guru Besar Pu Yi setelah berpikir beberapa saat. “Kuharap kau mau membantuku sekali lagi! Kau tak keberatan, bukan?!”
“Membantu apa?!”
Guru Besar Pu Yi memberikan kantong putih di tangannya pada Joko. “Simpan ini baik-baik!”
Pendekar 131 gelengkan kepala. “Aku tak mau membawa sesuatu yang belum kuketahui apa isinya dan untuk apa....”
“Amitaba.... Anak Muda, aku akan memberi keterangan padamu! Tapi terimalah kantong ini terlebih dahulu!”
Murid Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan untuk menerima kantong putih kembali dari tangan Guru Besar Pu Yi.
“Anak muda.... Perguruan Shaolin memiliki sebuah peta wasiat. Peta itu tertulis dalam dua kain yang berbeda. Salah satunya adalah yang berada di kantong putih itu. Sementara setengahnya lagi berada di ruang penyimpanan. Semua kalangan dunia persilatan telah mendengar tentang itu. Beberapa orang memang ada yang coba mencari peta itu. Namun karena kerahasiaannya sangat dijaga, maka sampai sekarang peta itu masih utuh meski tempatnya berlainan....”
“Lalu mengapa peta ini berada di tangan Yang Kui Tan?!”
“Peta itu baru bisa dibuka pada hari ganda sepuluh bulan ini! Untuk itulah aku memerintahkan pada Yang Kui Tan untuk mengambil dari tempat penyimpanannya di luar shaolin....”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Aku sendiri kurang tahu. Yang pasti dua peta terpisah itu baru bisa terlihat gambarnya saat hari ganda sepuluh nanti! Berarti waktu itu tinggal sepuluh hari lagi.”
“Lalu mengapa kau memberikan ini padaku?!”
“Aku mendapat firasat kurang baik. Apalagi menurutmu ada beberapa orang bersembunyi di perbatasan menuju Perguruan Shaolin. Kuharap kau menyimpan kantong itu sampai menjelang hari ganda sepuluh. Jika sampai menjelang hari itu, tidak terjadi apa-apa, kuharap kau menemuiku lagi di Perguruan Shaolin!”
“Ah.... Bukankah lebih baik kau yang menyimpannya?!”
“Tidak, Anak Muda.... Tindakanmu telah membuatku percaya bahwa kaulah yang harus menyimpannya!”
“Ah.... Ini membuatku harus lebih lama lagi di tempat ini!” kata Joko dalam hati. Namun dia tidak bisa menolak permintaan Guru Besar Pu Yi. Apalagi dia pikir hal itu masih ada hubungannya dengan urusan rimba persilatan.
“Anak muda.... Aku harus segera kembali! Terima kasih atas kesediaanmu membantuku.... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu kembali. Aku belum mengenal betul siapa dirimu. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya.... Kuharap kau nanti tak keberatan untuk menceritakannya padaku. Sekarang aku harus pergi....”
Tanpa menunggu sahutan Joko, Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala seraya takupkan kedua tangannya di depan dada. Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat. Pendekar 131 masukkan kembali kantong putih ke balik pakaiannya. Dia memandang sampai sosok Guru Besar Pu Yi lenyap di depan sana. Saat kemudian dia berkelebat pula tinggalkan tempat itu.
***
DUA BELAS
SATU malam kemudian....
Awan Hitam sudah tampak berarak begitu matahari akan tenggelam. Saat bersamaan angin kencang bertiup. Ketika matahari benar-benar tenggelam, di sebelah utara bentangan langit berkiblat kilatan warna kuning sekejap. Disusul terdengarnya petir. Sang rembulan yang tadi sempat hendak muncul lenyap seketika ditelan awan hitam yang laksana dimuntahkan dari seantero bentangan langit. Gelapnya suasana karena tenggelamnya matahari makin membuat dataran bumi hitam pekat.
Tidak berapa lama kemudian, hujan pun datang mengguyur meningkahi suara petir dan bertiupnya angin. Di tengah cuaca yang sedang menggila, satu sosok tubuh tampak berkelebat melayang dari salah satu atap ruangan yang berderet di sebelah kanan bangunan utama Perguruan Shaolin. Sosok ini menerobos curahan hujan dan salakan petir menuju arah timur. Pada satu tempat, si sosok bayangan hentikan larinya. Belum sampai dia bergerak lebih jauh, dari balik sebatang pohon muncul satu sosok tubuh. Lalu terdengar suara.
“Kau Guru Besar Liang San...?!”
Sosok yang tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin memandang sesaat pada sosok yang baru keluar dari balik batangan pohon. “Benar, Yang Mulia Baginda Ku Nang...!” sosok yang tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin angkat suara menjawab.
Sosok bayangan yang muncul dari balik batangan pohon melangkah mendekat. Dia adalah seorang lakilaki berpakaian hitam-hitam. Seluruh anggota tubuhnya tertutup. Yang terlihat hanya sepasang mata dan kedua telapak tangan serta kakinya. Sementara orang yang tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin juga laki-laki yang seluruh anggota tubuhnya juga tertutup pakaian hitam-hitam.
Dari orang ini, yang terlihat juga hanya sepasang mata dan kedua telapak tangannya. Meski kedua laki-laki berpakaian hitam-hitam, ini tidak bisa dikenali wajahnya, namun dari ucapan mereka jelas jika orang yang berkelebat dari Perguruan Shaolin adalah Guru Besar Liang San. Sementara laki-laki yang muncul dari balik batangan pohon adalah Baginda Ku Nang.
“Bagaimana...? Apakah rencana itu kita laksanakan sekarang juga?!” Bertanya Baginda Ku Nang.
“Kita tak boleh lagi membuang-buang waktu. Cuaca begini membantu kita untuk lebih enak bergerak! Aku akan kembali dahulu. Kau atur beberapa anak buahmu. Pancing beberapa penjaga di pintu gerbang. Sebagian langsung masuk melalui pagar samping dan belakang. Aku akan memberi isyarat dengan suitan kapan waktunya masuk ke sasaran utama. Kau langsung ke ruang Maha Guru Besar.
Beberapa orang lainnya menerobos ke ruang Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar Wu Wen She. Aku akan menelusup ke ruang penyimpanan! Begitu kau selesaikan tugas, segera kau sambut aku di pojok ruangan sebelah ruang penyimpanan! Setelah itu kita berpencar dan bertemu tiga hari kemudian di tempat biasa!” Guru Besar Liang San memberi keterangan.
Baginda Ku Nang anggukkan kepala. Dia angkat tangannya. Sat itu juga dari balik beberapa batangan pohon muncul beberapa orang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam. Yang terlihat dari mereka juga hanya mata dan telapak tangannya. Guru Besar Liang San memandang sesaat pada beberapa orang yang baru muncul. Lalu berujar pelan.
“Aku tak mengenal mereka. Tapi aku yakin kau tidak akan salah memilih orang!”
“Ini adalah peristiwa berbahaya karena menyangkut harkat! Aku tak mau mengalami kegagalan!” Baginda Ku Nang perdengarkan suara lalu mengusap wajahnya yang tertutup kain. Sekujur tubuh orang ini telah basah kuyup.
“Aku harus segera kembali. Begitu aku bergerak, kau bisa memulai!” kata Guru Besar Liang San. Tanpa menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang San berkelebat dari arah mana dia tadi datang.
Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar Liang San, Baginda Ku Nang bertepuk lima kali. Kali ini muncul beberapa orang lagi dari balik ranggasan semak. Baginda Ku Nang sapukan pandang matanya. Meski suasana gelap gulita, namun seakan dia tahu di mana tegaknya beberapa orang itu. Lalu dia buka mulut.
“Lima di antara kalian langsung menyongsong dari arah pintu gerbang. Lima lainnya berjaga-jaga di setiap sudut luar halaman. Begitu terdengar suitan, kalian semua langsung melompat dan menerobos masuk lewat atas. Setelah itu rencana berjalan seperti yang telah kita atur!”
“Titah tang Mulia akan kami laksanakan!” Terdengar suara sahutan hampir bersamaan.
“Tapi ingat! Ini adalah tugas kerajaan! Lebih baik mati daripada harus menjadi tawanan! Kalian dengar itu?!”
“Kami dengar, Yang Mulia!”
“Bagus! Kita berangkat sekarang!”
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang berkelebat diikuti beberapa orang. Begitu halaman dan bangunan Perguruan Shaolin sudah terlihat, beberapa orang ini berpencar. Hanya lima sosok hitam yang terus berkelebat lurus menuju pintu gerbang. Di lain pihak, begitu samar-samar dapat menangkap gerakan orang di halaman depan, empat penjaga pintu gerbang segera menyongsong. Namun baru saja mereka injakkan kaki di halaman, lima orang berpakaian hitam-hitam telah menyambut dengan sentakkan tangan masing-masing.
Lima gelombang dahsyat melabrak ganas menerabas curahan hujan. Mungkin karena tidak menduga, keempat penjaga terlambat untuk menghadang pukulan atau membuat gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi, keempat orang penjaga pintu gerbang langsung mental dan jatuh menghantam tangga. Terdengar beberapa seruan tertahan. Lima orang yang datang tidak memberi kesempatan. Begitu sosok para penjaga mental, mereka lepas lagi pukulan!
Mendapati hal demikian, salah seorang penjaga yang sigap segera berteriak. “Kita diserbu!”
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, keempat penjaga yang sudah terlambat untuk menghadang pukulan orang ini kembali mencelat. Dua di antaranya langsung lewat pintu gerbang dan jatuh terkapar di halaman depan bangunan utama. Beberapa saat kemudian terdengar suara hirukpikuk. Beberapa sosok pemuda gundul segera berlarian. Saat itulah terdengar suara suitan beberapa kali.
Kejap lain beberapa sosok hitam telah melayang dari tembok samping lalu melayang turun ke halaman depan bangunan utama. Tiga orang tampak berkelebat menuju ruang persembayangan. Setelah menghantam dua penjaga, pintu ruang persembayangan didobrak. Ketiga orang ini seakan sudah tahu situasi ruangan, segera berkelebat ke sebuah pintu. Orang sebelah depan segera hantamkan kedua tangannya.
"Brakkk!" Pintu di sebelah ruang persembayangan terhantam porak-poranda. Tanpa banyak bicara, ketiganya langsung menerobos masuk dan mendekati sebuah ranjang agak besar di mana terbaring satu sosok tubuh. Lagi-lagi tanpa buka suara, orang yang tadi menghantam pintu segera sentakkan kedua tangannya ke arah sosok yang terbaring di atas ranjang. Dua gelombang melesat ganas.
Sosok yang terbaring di atas ranjang dan bukan lain adalah Maha Guru Besar Su Beng Siok buka kelopak matanya. Kedua tangannya yang tampak lemah digerakkan. Hebatnya, gerakan yang lemah itu mampu melesatkan dua gelombang ganas!
Bummm! Bummm!
Ruang kamar tempat Maha Guru Besar Su Beng Siok bergetar keras. Sosok hitam yang tadi melepas pukulan ke arah Maha Guru Besar Su Beng Siok terpental dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak muncratkan darah. Di lain pihak, sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok langsung mencelat dan terguling jatuh dari ranjang. Mulutnya juga semburkan darah. Dua sosok hitam lainnya segera memburu.
Saat lain sama sentakkan tangan masing-masing ke arah Maha Guru Besar Su Beng Siok. Karena dalam keadaan sakit, terlambat bagi Maha Guru Besar Su Beng Siok untuk menghadang pukulan yang datang. Hingga saat itu juga sosoknya terbang sebelum akhirnya menghantam dinding dan jatuh bergedebukan dengan nyawa melayang.
Orang yang melepas pukulan pertama kali segera memberi isyarat lalu mereka bertiga berkelebat keluar. Di ruang lain, Guru Besar Pu Yi tampak terkesiap mendengar kegaduhan di luar. Namun baru saja dia hendak buka pintu, pintu ruangannya telah dilabrak satu pukulan hingga hancur porak-poranda. Saat lain enam sosok hitam berkelebat masuk dan sekonyongkonyong lepaskan pukulan ke arah Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi tak tinggal diam. Dia angkat kedua tangannya lalu dipukulkan dengan tubuh diputar. Terdengar beberapa kali ledakan keras. Tiga sosok hitam yang menerobos masuk terpental keluar ruangan. Sementara tiga lainnya terjengkang menghantam dinding ruangan. Namun Guru Besar Pu Yi tak luput dari bias bentroknya pukulan. Apalagi dia harus menghadang pukulan enam orang. Hingga begitu terdengar ledakan, sosok Guru Besar Pu Yi terlempar ke belakang dan jatuh terkapar dengan mulut kucurkan darah.
Saat itulah tiga orang yang keluar dari ruangan Maha Guru Besar Su Beng Siok menerabas masuk. Dengan cepat ketiga orang ini segera pula lepaskan pukulan ke arah Guru Besar Pu Yi. Dengan posisi duduk, Guru Besar Pu Yi pejamkan mata. Kedua tangan diangkat sejajar dada. Lalu dibuka dan didorong ke depan.
Blammm! Blammm! Blammm!
Ruangan Guru Besar Pu Yi laksana dilanda gempa luar biasa. Langit-langitnya runtuh. Dinding ruangan rengkah. Sosok Guru Besar Pu Yi kembali terpental lalu jatuh ke atas lantai setelah terlebih dahulu menghantam dinding hingga jebol. Darah makin banyak mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun orang tua ini segera menotok jalan darahnya hingga saat itu juga kucuran darahnya terhenti.
Namun sekonyong-konyong tiga orang yang tadi menghantam dinding segera berkelebat. Disusul dengan berkelebatnya tiga sosok yang tadi mencelat keluar. Keenam sosok ini berkelebat ke arah Guru Besar Pu Yi. Kali ini mereka tidak lepaskan pukulan jarak jauh. Namun arahkan kelebatan tangan masing-masing ke arah sosok Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi jatuhkan diri sama rata dengan lantai ruangan. Saat bersamaan kakinya diangkat. Lalu diputar dengan gerakkan tubuhnya terputar. Kedua tangannya pun ikut berkelebat. Terdengar beberapa kali benturan keras. Putaran tubuh Guru Besar Pu Yi tampak tersentak-sentak. Lalu kembali mental. Saat yang sama keenam sosok yang menghujani sosok Guru Besar Pu Yi dengan hantaman, tersapu ke belakang dan sama jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah.
Saat itulah ketiga sosok yang menerabas belakangan segera berkelebat maju setelah tadi sama terkapar akibat bentrok pukulan dengan Guru Besar Pu Yi. Walau sudah terluka agak parah, namun Guru Besar Pu Yi tidak begitu saja mengalah. Dengan sisa tenaga dalam yang dimiliki, dia angkat kedua tangannya. Ketiga orang yang menyergap maju, tak berani bertindak ayal meski mereka tahu Guru Besar Pu Yi telah terluka parah. Malah mereka bertiga urungkan niat untuk teruskan kelebatan. Namun kini lepas pukulan jarak jauh.
Kembali terdengar gelegar ledakan. Untuk kesekian kalinya sosok Guru Besar Pu Yi mencelat mental dan jatuh kembali ke atas lantai setelah menghantam dinding. Namun karena telah terluka dalam cukup parah, kali ini Guru Besar Pu Yi tak kuasa lagi untuk bergerak bangkit. Saat itulah keenam orang yang tadi terjengkang roboh sama lepaskan pukulan dengan posisi duduk.
Walau tenaga dalam keenam orang ini sudah tidak sedahsyat yang pertama, namun karena pukulan itu gabungan dari enam orang, sementara Guru Besar Pu Yi tidak kuasa lagi untuk menghadang, maka tanpa ampun lagi sosok Guru Besar Pu Yi terlempar. Lalu roboh ke atas lantai dengan jiwa melayang!
Di tempat ruang penyimpanan, satu sosok tubuh hitam itu dengan mudah dapat melumpuhkan enam penjaga. Saat lain dia mendobrak pintu lalu berkelebat masuk. Dia putar pandangan sesaat. Lalu melompat ke arah sebuah almari agak besar dari kayu. Sekali sentak almari kayu porak-poranda dan terbuka. Orang ini cepat mengambil sebuah kotak dari kulit. Saat lain berkelebat keluar lalu berlari ke arah pojok ruangan di samping ruang penyimpanan.
Saat itulah kesembilan orang keluar dari ruangan Guru Besar Pu Yi. Salah seorang di antaranya memberi isyarat. Lalu sendirian orang ini berkelebat ke arah sosok yang memegang kotak dan tegak di pojok ruangan dekat ruang penyimpanan. Tanpa banyak bicara, orang yang memegang kotak memberikan kotak kulit pada sosok hitam yang datang.
Saat lain orang ini berkelebat lalu menerobos ke bagian belakang sebelum akhirnya lenyap. Orang yang baru memberikan kotak kayu berkelebat ke sebuah ruangan lalu lenyap. Sementara hirukpikuk masih terdengar di seluruh penjuru ruangan ditingkahi suara seruan tertahan dan jeritan.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suitan panjang. Beberapa sosok hitam yang masih melepas pukulan menghadang beberapa murid Perguruan Shaolin, segera lepas pukulan sekali lagi. Saat berikutnya mereka berkelebat berpencar. Ada sebagian yang berkelebat dengan melewati pagar. Sebagian lagi tampak berkelebat melewati pintu gerbang di depan. Beberapa murid Perguruan Shaolin ada yang terus lari mengejar. Namun suasana gelap dan curahan hujan membuat murid Perguruan Shaolin akhirnya kehilangan jejak orang yang mereka kejar.
Ketika hujan telah reda dan matahari mulai pancarkan warna kekuningan di bentangan sebelah timur, terlihat pemandangan lain di Perguruan Shaolin. Aroma hawa kematian menebar di mana-mana hampir di setiap ruangan...!
S E L E S A I