SATU
BERLARI kira-kira dua puluh tombak, orang tua berambut putih jabrik mendadak berhenti. Di belakangnya, Pendekar 131 Joko Sableng yang mengejar karena penasaran dengan orang serta ucapan-ucapannya, hentikan pula larinya. Si orang tua berambut putih jabrik tersenyum lalu putar diri menghadap murid Pendeta Sinting.
“Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar 131?!” Si orang tua angkat bicara.
Pendekar 131 perhatikan sesaat pada orang. Lalu berucap. “Orang tua. Sebelum aku menanyakan sesuatu, sudi sebutkan diri?!”
“Permintaanmu memberi petunjuk kecurigaan hati!” kata si orang tua seraya tertawa pendek. “Jika aku tidak memenuhi permintaanmu, apakah kau urung bertanya?!”
“Bukan begitu. Kau telah mengenaliku walau aku percaya kita belum pernah bertemu. Rasanya....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan ucapan, si orang tua berambut jabrik telah memotong. “Kau nanti akan mengetahuinya!Sekarang katakan apa yang hendak kau tanyakan!”
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting memperhatikan orang dengan seksama. Seperti diketahui, setelah berpisah dengan Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan, serta meninggalkan Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk, Joko melihat satu sosok berkelebat. Sebenarnya dia tak mau ambil peduli.
Namun karena kawasan hutan di mana kini dia berada adalah tempat yang diduga beberapa orang adalah kawasan orang yang dicari, lebih dari itu karena sosok yang berkelebat sepertinya sengaja membuat Joko penasaran, akhirnya murid Pendeta Sinting ikut berkelebat mengejar.
Ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih dipotong sangat pendek hingga rambutnya tegak-tegak. Dia mengenakan pakaian putih diselempangkan mirip pakaian para biksu yang bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya memegang sebuah tasbih pendek dari butiran kayu warna coklat.
Dia juga mengenakan kalung panjang dari butiran kayu berwarna coklat pula. Pendekar 131 yakin belum pernah bertemu dengan si orang tua berambut putih jabrik itu. Anehnya, si orang tua sudah mengenalinya. Dan yang menambah Joko penasaran serta mengejar lagi begitu si orangtua berkelebat adalah ucapan-ucapannya.
“Orang tua!” kata murid Pendeta Sinting setelah perhatikan orang untuk yang kesekian kalinya seolah ingin yakinkan kalau dia memang belum pernah berjumpa. “Aku tidak mengerti dengan ucapan-ucapanmu tadi. Kau mau memberi penjelasan?!”
“Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! Tapi satu hal yang pasti, saat ini kau laksana sudah menebar darah di laut. Dan itu berarti ikan hiu akan mengejarmu!”
“Orang tua! Kau pasti sudah tahu kalau aku tengah mencari seseorang! Adalah aneh ucapanmu itu! Mengapa aku kau ibaratkan sudah menebar darah dan dikejar?! Justru sekarang aku tengah mengejar!”
Si orang tua tertawa. “Itulah mengapa aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Penjelasan apa pun tak akan kau mengerti! Dan justru nanti akan kau mengerti sendiri bila tiba saatnya!”
“Baiklah! Sekarang apa kau masih tak mau sebutkan diri?!”
“Selain alasan aku sudah mengenalimu walau kita belum pernah bertemu, apakah kau punya alasan lain hingga kau begitu bernafsu?!”
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. “Rupanya orang tua itu tak mau dikenali! Untuk sebutkan diri saja minta beberapa alasan! Siapa pun dia aku tak peduli. Yang jelas dia bukan orang yang kucari! Mana ada laki-laki tua seperti dia bisa bunting?!” kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
“Orang tua! Dari pertanyaanmu sebenarnya justru kau yang punya curiga padaku! Tak apalah... Aku akan percaya pada ucapanmu jika kelak aku akan tahu siapa dirimu dan apa maksud ucapanmu!”
Murid Pendeta Sinting tidak menunggu sahutan orang. Dia cepat balikkan tubuh. Namun entah karena apa dia tidak segera berkelebat walau sejenak tadi kakinya sudah bergerak. Sebaliknya dia segera buka mulut ajukan tanya.
“Orang tua! Kalau aku tanya kau hendak ke mana, apakah kau juga akan tanyakan beberapa alasan?!”
“Tergantung....”
“Apanya yang tergantung?! Maksudku... Tergantung apa?!” tanya Joko tanpa putar diri menghadap orang.
“Tergantung apa maksud keinginanmu hendak bertanya aku akan pergi ke mana!”
“Itu namanya alasan!”
“Terserah mau kau bilang apa! Yang pasti begitulah adanya!”
“Orang tua!” kata Joko dengan nada agak tinggi namun diseling tertawa. “Kau tahu artinya ‘busyet’?!”
Kali ini lagi-lagi murid Pendeta Sinting tidak menunggu jawaban orang. Dia segera berkelebat seraya tertawa bergelak-gelak. Namun sebenarnya gelakan tawa itu hanya untuk menutupi rasa penasaran dan kecewa. Diam-diam dia membatin. “Jangan-jangan orang tua itu adalah Kigali yang pernah diceritakan Datuk Wahing. Bukankah Nyai Tandak Kembang berkata pernah bertemu dengan Kigali?!”
Kebimbangan yang kembali melanda dada Joko membuat gerakan kakinya terhenti. Lalu sosoknya cepat memutar. Di depan sana si orang tua tetap tegak memperhatikan dengan bibir tersenyum dan tangan memutar-mutar tasbih pendeknya.
“Orang tua itu benar-benar bikin hati orang penasaran! Apakah aku harus mengikutinya? Tapi untuk apa?! Pitaloka yang kucari, bukan dia! Namun siapa tahu dia orang yang menyembunyikan Pitaloka?! Ah...!”
Joko terus membatin dan berperang dengan kebimbangan. Sementara si orang tua berambut putih jabrik di depan sana tetap diam tegak namun kini pandangan matanya mengarah ke jurusan lain.
“Akan kucoba sekali lagi bertanya padanya! Siapa tahu dia mau buka mulut!” Akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan setelah agak tema termenung. Namun belum sampai dia bergerak mendekati, si orang tua berambut jabrik putih sudah memutar tubuh lalu tanpa berkata-kata lagi berkelebat tinggalkan tempat itu.
Pendekar 131 tidak urungkan niat. Dia berkelebat mengejar. Namun baru saja hendak bergerak, ekor matanya menangkap satu bayangan yang berhari di sebelah samping sana.
“Ada orang lain lagi di tempat ini!”
Belum sampai habis gumaman murid Pendeta Sinting, berjarak dua belas langkah di seberang samping sana telah tegak satu sosok tubuh. Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Sesaat sepasang matanya membeliak. Dia melihat seorang nenek berambut putih lebat yang dikelabang dua dan ujungnya diberi pita. Sementara rambut bagian depannya diponi dan digeraikan di depan kening. Mengenakan baju tanpa lengan dan amat cingkrang berwarna merah hingga ketiak dan pusarnya kelihatan.
Pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut, membuat pahanya yang berkulit hitam tampak nyata. Nenek ini membedaki wajahnya dengan tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya diberi warna merah muda. Tangan kanannya memegang sebuah bumbung bambu. Sedang tangan kirinya memegang sebuah rumput ilalang agak panjang.
“Bibi Dayang Sepuh!” gumam Joko mengenali siapa adanya si nenek berdandan mencorong. “Untuk apa dia membawa bumbung bambu dan ilalang?!”
“Setan geblek!” Tiba-tiba si nenek berbaju tanpa lengan dan bercelana pendek warna merah perdengarkan suara seraya melompat ke depan dan tegak enam langkah di hadapan Joko. “Mana nyai setan dan putri setan itu?!”
Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Sebaliknya arahkan pandang matanya ke arah berkelebatnya si orang tua berambut jabrik putih. Ternyata sosok si orang tua sudah tidak kelihatan lagi. Si nenek berdandan mencorong dan bukan lain memang Dayang Sepuh adanya tampak geregetan mendapati orang yang ditanya tidak segera menjawab malah arahkan pandangan ke jurusan lain. Dia segera buka mulut lagi. Tapi Joko keburu mendahului.
“Bibi... Kau melihat orang tua itu tadi?!”
“Setan! Ditanya bukannya memberi jawaban tapi balik bertanya!” Dayang Sepuh mendelik sembari membentak.
Karena sudah tahu watak si nenek, Joko tidak hiraukan bentakan Dayang Sepuh. Malah dia tersenyum namun dalam hati berkata. “Rupanya dia tidak mengetahui adanya si orang tua itu tadi!” Lalu buka mulut menjawab pertanyaan si nenek.
“Bibi... Mereka berdua entah ke mana. Kami berpisah di sebelah utara sana!”
“Memang lebih baik kau berpisah dengan kedua setan perempuan itu! Kalau tidak, aku khawatir kau berubah jadi manusia setan yang bisu dan tidak kuasa berbuat apa-apa!”
“Harap maafkan kalau tempo hari aku tidak menyambutmu. Karena aku telah terikat perjanjian dengan Nyai Tandak Kembang!”
Seperti dituturkan dalam episode Nyai Tandak Kembang, murid Pendeta Sinting yang saat itu bersama Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang sempat bertemu dengan Dayang Sepuh yang saat itu bersama Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
Pendekar 131 memang tidak berkata apa-apa saat pertemuan itu, karena dia telah dipesan Nyai Tandak Kembang untuk tidak melakukan atau berkata selain yang diperintahkan si nyai. Joko terpaksa mengikuti aturan Nyai Tandak Kembang, karena dia yakin Nyai Tandak Kembang akan menemukan Pitaloka dan dia sendiri ingin terus bersama Putri Kayangan.
Di lain pihak, Dayang Sepuh sendiri tampak jengkel pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Karena saat mengintai Pendekar 131, Putri Kayangan, dan Nyai Tandak Kembang, dan munculnya Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk, ternyata Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun sudah pergi tanpa memberi tahu. Hingga dengan membawa dada yang dongkol, Dayang Sepuh berkelebat pergi untuk mencari Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Aku mencium aroma seperti di sekitar tanah ketinggian itu!” Tiba-tiba murid Pendeta Sinting berkata dalam hati dengan hidung kembang-kempis dan kepala berputar mencari sumber aroma. “Bau kencing...! Aroma sedap ini tadi tidak ada, tapi bersamaan dengan munculnya nenek itu, hidungku menciumnya! Jangan-jangan nenek itu terkencing di celana tanpa disadari! Jelas bau ini berasal dari sana!”
Joko angkat kepalanya lurus ke arah Dayang Sepuh. Matanya bukan menatap ke arah paras wajah si nenek, melainkan pada celana pendeknya.
“Celananya tidak kelihatan basah! Atau aku sendiri yang terkencing-kencing?!” Pendekar 131 kini gerakkan kepala menunduk dan memperhatikan bagian bawah pakaiannya. “Pakaianku juga tidak basah! Lalu siapa yang kencing di sekitar tempat ini...? Atau jangan-jangan....”
Entah karena khawatir, tangan murid Pendeta Sinting segera bergerak ke bagian bawah pakaiannya dan mengusap berulang kali lalu tangannya ditarik ke depan hidungnya. Dia mengendus tangannya beberapa kali.
Di depan sana Dayang Sepuh tegak mengawasi dengan mata melotot namun bahunya berguncang menahan tawa. Dan saat itu juga ilalang di tangan kanannya dimasukkan ke dalam bumbung bambu di tangan kirinya. Lalu ditarik dan dikibas-kibaskan. Bau aroma kencing makin santer. Joko yang masih mengendus tangannya tampak kernyitkan dahi. Tampangnya sedikit tegang dan merah padam.
“Aroma itu makin gila! Jangan-jangan memang aku yang terkencing di pakaian tanpa sadar! Busyet betul!”
Dia sudah hendak usapkan tangannya ke pakaian bagian bawahnya lagi untuk meyakinkan. Namun diurungkan ketika tiba-tiba tawa Dayang Sepuh meledak keras! Karena ledakan tawanya, bahu si nenek makin berguncang, membuat tangan kanannya yang memegang ilalang ikut bergerak-gerak, ilalang di tangan kanan Dayang Sepuh muncratkan percikan air.
Pendekar 131 memperhatikan. Kejap itu juga dia mendelik. “Busyet! Jadi dia biang bau kencing ini! Berarti bumbung bambu itu terisi air kencing! Hem... Aku tahu sekarang. Aroma kencing di sekitar tanah ketinggian itu pasti berasal dari dia! Berarti dia berada di sekitar tempat itu! Tapi ke mana Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun? Tempo hari dia bersama kedua kakek itu! Lalu untuk apa dia membawa-bawa air kencing?!”
Selagi murid Pendeta Sinting membatin, Dayang Sepuh mendadak putuskan ledakan tawanya. Lalu bertanya dengan suara keras. “Setan geblek! Kau tidak melihat dua setan tua bangka itu?!”
“Bibi! Kau ini aneh... Bukankah mereka berdua bersamamu? Mengapa sekarang kau bertanya padaku?!”
“Setan-setan itu memisahkan diri tanpa pamit!”
“Kalian bertengkar?!”
“Setan! Apa yang masih sedap dari kedua setan itu hingga menimbulkan pertengkaran?! Kau jangan bicara tak karuan!”
“Ah.... Aku hanya menduga!”
“Hem... Kau tadi menanyakan orang tua! Orang tua mana yang kau maksud?!” Tanya Dayang Sepuh se-raya edarkan pandangan matanya berkeliling.
“Dia sudah pergi begitu melihat kemunculanmu...”
“Kau tak mengenalinya?!”
“Kalau aku kenal, tak mungkin aku bertanya padamu! Anehnya, dia telah mengenaliku bahkan mengenalimu juga!” ujar Joko berdusta.
Tiba-tiba Dayang Sepuh berkelebat dan tegak tiga langkah di depan Joko. Joko terkesiap. Entah karena khawatir si nenek marah mendengar ucapannya, murid Pendeta Sinting segera surutkan langkah satu tindak. Namun dugaan Joko meleset. Dayang Sepuh bukannya marah, sebaliknya tersenyum lebar. Lalu tangan kanannya mengambil kelabangan rambutnya sementara tangan kiri merapikan poni di kening. Lalu berkata.
“Bagaimana tampang orang itu? Masih tampan dan gagah? Menurutmu apakah serasi dengan diriku?!”
“Edan!” kata Joko dalam hati lalu tertawa ngakak.
Dayang Sepuh lepaskan kelabangan rambutnya dengan kepala sedikit disentakkan hingga kelabangan rambutnya meliuk dan perdengarkan desiran. “Katakan padaku bagaimana tampang orang yang kau katakan telah mengenalku itu!” pinta Dayang Sepuh.
“Berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Parasnya masih lumayan. Rambutnya putih pendek dan begini-begini!” Joko angkat tangan kanannya. Telunjuk jarinya ditegakkan lalu digerakkan pulang balik ke bawah ke atas. “Pokoknya jabrik!” kata Joko menerangkan isyarat telunjuk tangannya. “Dia mengenakan pakaian selempang warna putih yang terbuka bagian dada kanannya. Tangannya memegang tasbih warna coklat pendek. Di lehernya melingkar kalung panjang juga berwarna coklat!”
Mendengar keterangan Joko tiba-tiba kembali Dayang Sepuh perdengarkan tawa bergelak. “Kau mengenalinya, Bibi... Siapa dia?!”
Dayang Sepuh putuskan gelakan tawanya. “Kau tidak berkata dusta, Setan Geblek!”
“Berkata denganmu, mana aku berani bicara tidak benar?! Siapa dia, Bibi?!”
“Aku tidak kenal! Dan baru kali ini aku melihat orang yang ciri-cirinya seperti baru saja kau katakan!”
Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. “Lagaknya saja tadi seperti kenal orang! Tak tahunya sama dengan diriku!” ujar Joko dalam hati dengan perasaan kecewa dan sedikit jengkel.
“Aku merasa ada yang tak beres di dalam hutan ini! Sudah dua setan manusia yang tiba-tiba mengenaliku padahal aku tidak kenal pada mereka!” gumam Dayang Sepuh seperti berkata pada diri sendiri. Lalu bertanya.
“Apa pula yang dikatakan padamu?!”
“Aku diibaratkan sudah menebar darah di lautan. Berarti ikan hiu akan mengejarku!” kata Joko menerangkan apa yang didengarnya dari si orang tua berambut putih jabrik. “Kau bisa menangkap arti ucapannya itu, Bibi?!”
“Ucapan setan begitu mana bisa ditangkap orang?!” jawab Dayang Sepuh. “Tentang diriku, apa saja yang sempat dikatakan?!” Si nenek kembali ajukan tanya.
“Dia tak bicara apa-apa tentang dirimu. Hanya dia menyinggung-nyinggung jika kau tentu masih tetap bergaya dan makin cantik!”
“Hem.... Begitu?!”
“Ya.... Begitu!”
“Ke mana dia perginya?!”
“Ke arah sana!” Tangan kanan Joko menunjuk ke satu arah.
“Kau di sini sedang menunggu seseorang?!”
Dengan kening berkerut, murid Pendeta Sinting memberi isyarat jawaban dengan gelengan kepalanya.
“Bagus! Sekarang kita kejar setan jabrik itu!”
“Tunggu, Bibi!” tahan Joko melihat Dayang Sepuh hendak bergerak. “Kurasa tak ada perlunya mengejar setan jabrik itu! Karena jelas dia tidak bisa bunting dan berarti bukan dia orangnya yang perlu dicari!”
“Memang betul! Tapi aku curiga padanya! Lebih-lebih aku ingin membungkam mulutnya yang mengatakan padamu bahwa aku masih tetap bergaya dan makin cantik! Jelas meski seperti memuji tapi sebenarnya dia menghinaku!”
“Walah.... Ini akan jadi masalah! Padahal orang tua itu tadi tidak mengatakan demikian!” kata Joko dalam hati. Lalu berucap. “Bibi.... Lebih baik kita teruskan saja mencari Pitaloka! Waktu purnama sudah tidak lama lagi. Kalau kita kedahuluan orang, tentu akan berbahaya!”
“Itu alasan yang masuk akal! Tapi aku menangkap ucapan lain di balik alasanmu itu!”
“Maksudmu...?!”
“Kau takut aku membuktikan apa yang diucapkan setan jabrik itu padamu!”
Walau dalam hati membenarkan ucapan si nenek, namun Joko tak mau kehilangan muka. Maka dia se gera gelengkan kepala seraya berkata. “Bukan begitu, Bibi! Dia mengatakan padaku, suatu saat nanti pasti akan bertemu denganku lagi! Jadi tanpa dicari pun mungkin kita kelak akan menemukannya! Sementara Pitaloka tidak akan ditemukan jika tidak dicari!”
“Hem.... Kau pintar juga beralasan! Baiklah... Sekarang kita teruskan perjalanan. Tapi kita mengikuti jejak setan jabrik itu! Kemunculannya di hutan ini pasti masih ada sangkut-pautnya dengan urusanmu!”
“Tapi seandainya kita nanti bertemu lebih dahulu dengan setan jabrik itu, kuharap Bibi bisa menahan diri sementara! Kita tidak usah mencari masalah sebelum urusan Pitaloka rampung!”
“Ucapanmu meyakinkan dugaanku, Setan Geblek! Tapi usulmu sementara ini kuterima! Kau tahu mana arah yang diambil setan jabrik itu, sekarang kau yang ada di depan!”
Joko anggukkan kepala. Namun belum juga dia berkelebat. Dayang Sepuh sudah melotot. Namun sebelum bentakannya terdengar, Joko sudah perdengarkan pertanyaan.
“Bibi.... Boleh aku tanya?! Untuk apa bumbung bambu berisi air setan itu?!” Joko ikut-ikutan menyebut kata setan seperti kebiasaan si nenek.
“Nanti saja kuterangkan sambil jalan! Jika tidak, jejak setan jabrik itu akan lenyap! Lekas lari!”
Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting segera berkelebat disusul kemudian oleh Dayang Sepuh.
***
DUA
SEMENTARA di tempat lain di dalam hutan sebelah barat, tampak dua sosok tubuh melangkah cepat menerabas semak belukar dan sela jajaran pohon. Sesekali kedua orang ini hentikan langkah lalu lanjutkan perjalanan dengan pandangan selalu curiga pada setiap jengkal tanah yang dilewati.
Berjalan di bagian depan adalah seorang kakek berambut putih dan bermata sedikit sayu malah tak jarang sepasang matanya keluarkan air mata. Mengenakan pakaian agak lusuh berwarna putih. Sementara orang di belakang si kakek adalah seorang gadis muda berparas cantik namun tampak murung.
Rambutnya hitam dan tampak tidak teratur. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah. Kala berhenti, gadis muda ini sesekali tengadah dengan menggigit bibirnya dan perdengarkan keluhan pendek. Kedua tangannya menakup perutnya yang ternyata telah membesar, satu tanda kalau gadis muda ini tengah mengandung.
Pada satu tempat, si kakek yang melangkah di depan hentikan tindakannya. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berpaling pada gadis di belakangnya. “Pitaloka.... Kuharap kau bertahan....”
Si gadis yang perutnya besar dan bukan lain adalah Pitaloka adanya, anggukkan kepala dengan menggigit bibirnya. Dia berusaha untuk tidak perdengarkan keluhan meski perutnya terasa melilit sakit bukan main.
“Kakek.... Apakah perjalanan ini masih jauh?! Dan ke manakah sebenarnya yang hendak kita tuju?!” Bertanya Pitaloka setelah dapat kuasai rasa melilit pada perutnya.
Si kakek yang tidak lain adalah Kigali, tersenyum sembari menghela napas dalam. Dia tahu, walau Pitaloka anggukkan kepalanya tapi sebenarnya dia paksakan diri untuk tidak membuat kecewa dirinya. Kigali melangkah mendekati Pitaloka yang kini duduk bersandar pada batangan pohon dengan selonjorkan kedua kakinya. Lalu duduk di samping si gadis dan berkata pelan.
“Pitaloka.... Pada mulanya aku berencana pergi ke sebuah dusun tidak jauh dari hutan ini. Namun firasatku tidak enak. Lagi pula kau tampaknya merasa keberatan jika harus bertemu orang dalam keadaan begini! Maka dari itu kuputuskan untuk pergi ke satu tempat di bagian ujung hutan ini di sebelah barat. Di sana ada sebuah lembah....”
“Kau pernah ke sana?!” tanya Pitaloka seraya paksakan diri tersenyum.
Kigali gelengkan kepala. “Aku tidak pernah sampai ke lembah itu. Tapi aku sering berjalan sampai perbatasan lembah!”
“Kek.... Sebenarnya ada apa kau tiba-tiba mengajakku pergi?! Kurasa tempat kita semula sudah aman. Atau barangkali kau punya musuh?!”
Kigali tidak segera menjawab pertanyaan Pitaloka. Dia tengadahkan kepala memandang rimbun dedaunan. “Hem.... Aku tak boleh mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi di hutan sebelah sana! Itu akan membuat pikirannya kalut!” Kigali berkata dalam hati. Lalu berkata.
“Anakku.... Separo dari masa hidupku terdahulu memang penuh dengan tindakan jahat hingga aku banyak punya urusan dengan beberapa orang! Namun separonya lagi masa hidupku hingga kini, kuhabiskan di dalam hutan tanpa melibatkan diri dengan dunia luar.
Kalaupun masih ada beberapa orang yang dahulu pernah punya urusan denganku, kurasa mereka telah melupakannya. Malah mungkin mereka sudah tidak mengenaliku lagi dan menduga aku sudah binasa ditelan tanah. Jadi jangan beranggapan kepergian kita ini karena menghindari musuh!”
“Lalu apa masalahnya?!”
Kigali tampak bimbang. Hingga untuk beberapa saat dia terdiam. Pitaloka merasa curiga. Lalu berucap seraya tatap Kigali.
“Kek.... Katakanlah terus terang padaku. Kau sudah kuanggap sebagai kakekku sendiri. Kau sudah menyelamatkan hidupku bahkan kehidupan bayi dalam perutku ini! Demi kau, nyawa pun akan kukorbankan! Jadi jangan menyimpan masalah sendiri!”
“Pitaloka...,” kata Kigali dengan suara bergetar karena haru mendengar ucapan Pitaloka. “Sebenarnya aku telah bertemu dengan beberapa orang di hutan saat itu... Adalah aneh jika mendadak beberapa orang mendatangi hutan yang berpuluh-puluh tahun tidak menarik minat orang! Tentu mereka punya maksud dengan kedatangannya!”
“Kek.... Kau kemarin telah mengatakan itu. Mau kau mengatakan siapa mereka?!”
“Anakku... Aku tidak mengenalnya!” jawab Kigali berbohong.
Seperti dituturkan dalam episode Nyai Tandak Kembang, Kigali sempat bertemu dengan Nyai Tandak Kembang juga dengan Datuk Wahing, Dayang Sepuh, dan Gendeng Panuntun. Dari pembicaraan mereka, Kigali rupanya dapat menangkap apa maksud tujuan mereka datang ke hutan. Malah Kigali sempat mengetahui kemunculan Putri Kayangan bersama Pendekar 131 Joko Sableng. Hanya saja Kigali tidak berusaha untuk menemui keduanya.
“Kek... Kau telah bertemu mereka dan kau tidak mengenali mereka. Sekarang coba kau katakan bagaimana ciri-ciri mereka yang sempat kau temui!” ujar Pitaloka karena gadis ini dapat menangkap jika Kigali masih menyembunyikan sesuatu padanya.
Permintaan Pitaloka membuat Kigali tersentak kaget. Namun orang tua yang pada tiga puluhan tahun silam memasukkan Maladewa alias Setan Liang Makam ke dalam makam batu di Kampung Setan ini cepat kuasai diri dan berkata.
“Anakku... Untuk sementara ini kau tak usah terlalu banyak berpikir. Itu akan kurang baik bagi pertumbuhan bayi dalam perutmu! Nanti bila kau telah melahirkan, semuanya akan kujelaskan padamu!”
“Lalu apakah kau menduga mereka mengenaliku?!” kejar Pitaloka.
“Mereka memang tidak menyebut-nyebut namamu. Tapi....”
“Tapi apa, Kek?!” sahut Pitaloka seakan tak sabar mendapati Kigali putuskan ucapannya.
“Dari pembicaraan mereka, mereka tengah mencari seseorang! Aku tidak bisa memastikan siapa yang mereka cari. Namun daripada mereka membuat masalah dengan kita, kuputuskan untuk mengajakmu pergi!”
Paras wajah Pitaloka tampak berubah. “Siapa gerangan mereka? Beda Kumala? Eyang Guru atau keparat manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad itu? Atau Jangan-jangan Pendekar 131.... Ah! Apa mungkin?! Bagaimana mereka bisa menduga aku berada di hutan ini?! Kalau benar Pendekar 131, apa yang harus kulakukan...?!”
Pitaloka menduga-duga dalam hati. Entah sadar atau tidak tiba-tiba Pitaloka bergumam. “Pendekar 131....”
Kigali berpaling dengan air muka sedikit heran. “Pitaloka.... Kau sepertinya pernah sebut-sebut nama itu Pendekar 131.... Siapa dia sebenarnya? Kekasihmu...?”
Pitaloka terlengak. Dia tidak dapat lagi sembunyikan keterkejutan. Namun kepalanya segera menggeleng. “Kek.... Bagi orang seperti diriku, tidak ada kesempatan lagi untuk mengharapkan seseorang!”
“Anakku.... Tidak semua orang memandang perempuan dari segi jeleknya! Apalagi musibah yang menimpamu bukanlah kau yang menghendaki! Jadi kau jangan terlalu memojokkan diri sendiri!”
Pitaloka angkat kepalanya dengan dada naik turun. Entah apa yang dirasakan gadis saudara kembar Putri Kayangan ini, yang jelas dia segera berucap. “Kek.... Selagi hari belum begitu terik, lebih baik kita lanjutkan perjalanan!”
Kigali tersenyum lalu beranjak bangkit dan buru- buru menolong Pitaloka untuk berdiri. Saat lain kedua orang ini telah melangkah menyusuri hutan menuju ke arah barat.
***
Karena sudah sering menujuke arah lembah yang dikatakan pada Pitaloka, Kigali bisa mencari jalan yang selain cepat juga aman. Hingga begitu matahari tergelincir dari titik tengahnya, Kigali dan Pitaloka sudah sampai pada sebidang tanah terbuka. Memandang agak jauh ke depan, terlihat sebuah lembah agak luas yang dihiasi aneka bunga berwarna-warni. Di ujung lembah tampak bentangan kaki langit cerah. Sementara di bagian samping kiri kanan lembah terlihat jajaran pohon besar seakan membentengi.
“Indah sekali lembah itu, Kek...!” kata Pitaloka seraya arahkan pandang matanya ke lembah di depan sana.
“Kalau menjelang purnama, aku sering berada di tempat ini! Pemandangannya terlihat makin indah! Di sinilah kadangkala aku merenungi diri. Di sini pulalah aku kemudian sadar tentang segala perbuatanku di masa lalu! Di sekitar ciptaan Yang Maha Pencipta ini aku seakan menemukan diriku kembali....”
“Tapi mengapa kau tidak pernah sampai ke lembah itu?!”
Kigali gelengkan kepala. “Aku sendiri tak tahu jawabannya. Kadangkala aku juga bertanya-tanya. Namun setiap kali keinginan untuk ke lembah itu muncul, seolah ada sesuatu yang membuatku urungkan niat! Aku tak tahu apa itu! Mungkin hari inilah keinginanku terlaksana....”
“Atau barangkali kau punya firasat ada sesuatu di lembah itu?!”
“Menurutku itu tak mungkin, Anakku! Selain pemandangan yang indah, kurasa lembah itu tidak menyimpan apa-apa! Kalau memang ada sesuatu di dalamnya, tentu hutan ini sudah dirambah banyak orang! Kau tahu sendiri, dalam rimba persilatan orang-orangnya pantang menyerah jika memperebutkan sesuatu! Dengan tidak munculnya orang di hutan ini, satu bukti bahwa lembah itu tidak ada apa-apanya!”
“Tapi bukankah kau telah bertemu dengan beberapa orang di hutan ini?! Jangan-jangan tanpa sepengetahuanmu di luar telah beredar kabar tentang sesuatu yang tersimpan dalam lembah ini! Lalu mereka mulai mencari!”
“Ah.... Kau terlalu jauh berpikir. Kalau memang ada sesuatu, seharusnya bukan sekarang lembah ini jadi berita! Sebaliknya harus sudah tersebar pada ratusan tahun yang lalu! Seperti misalnya kabar tentang Kampung Setan!”
“Kek! Dari pembicaraan-pembicaraanmu selama ini sepertinya kau mengenal betul Kampung Setan. Siapa kau sebenarnya, Kek?! Dari pembicaraanmu, aku menduga kau masih ada kaitannya dengan Kampung Setan. Apa benar dugaanku?!”
“Pitaloka... Sebenarnya hal ini kurahasiakan dan aku pernah berpikir tak akan kubuka pada siapa saja. Kalaupun aku terpaksa mengatakannya padamu, aku percaya kau akan menyimpannya sendiri!”
Pitaloka sempat terperangah mendengar ucapan Kigali. Ucapannya tadi sebenarnya hanya terdorong agar Kigali mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Karena selama berdua hampir kurang satu setengah purnama, Kigali selalu sembunyikan siapa dirinya. Dan kalaupun Pitaloka coba mendesak, Kigali selalu alihkan pembicaraan.
“Kek.... Aku berjanji akan merahasiakan apa yang akan kau katakan!” ujar Pitaloka setelah berpikir agak lama.
Sementara di sebelahnya Kigali tampak menatap jauh ke hamparan lembah. Namun pandangannya sebenarnya lebih jauh melampaui hamparan lembah ketika dia mulai angkat bicara.
“Anakku.... Seperti yang sering kukatakan padamu, separo dari masa usiaku bergelimang dengan kejahatan. Di masa itulah mulai tersiar kabar tentang Kampung Setan yang katanya menyimpan sebuah senjata sakti bernama Kembang Darah Setan. Kampung Setan memang pernah membuat gempar kalangan jagat persilatan pada puluhan tahun sebelumnya.
Namun kegemparan itu lenyap begitu para tokoh dari golongan hitam dan golongan putih bersatu menumpasnya. Namun begitulah dunia dan watak manusianya, di balik penumpasan itu ada pula niat tertentu dari sebagian tokoh. Dan niatan itu sebenarnya tak lebih daripada untuk mendapatkan Kembang Darah Setan serta senjata lainnya yang pada akhirnya kuketahui sebagai Jubah Tanpa Jasad.”
Sesaat Kigali hentikan penuturan ceritanya. Lalu melangkah ke sebuah pohon dan tegak bersandar dengan pandangan terus ke arah hamparan lembah. Di sebelahnya Pitaloka ikut melangkah mendekati Kigali dan duduk berselonjor.
“Tapi niatan sebagian tokoh itu menemui kegagalan. Karena ternyata ada dua orang dari kerabat Kampung Setan yang selamat dari penumpasan. Pada akhirnya kuketahui kedua orang itu adalah Maladewa dan seorang nenek bernama Nyai Suri Agung!
Entah bagaimana caranya mereka berdua dapat selamat, yang jelas setelah peristiwa penumpasan itu tanpa diketahui oleh siapa pun kedua cucu dan nenek ini segera membangun kembali Kampung Setan secara diam-diam. Malah tak lama kemudian, Nyai Suri Agung mengambil murid dari kalangan orang di luar Kampung Setan. Orang beruntung itu bernama Galaga.”
Untuk kedua kalinya Kigali hentikan ceritanya seraya gerakkan kedua tangannya dan dirangkapkan di depan dada. Lalu lanjutkan ucapan.
“Beberapa tahun kemudian, terjadi beda pendapat antara Maladewa dengan Nyai Suri Agung. Sebenarnya beda pendapat itu karena Maladewa tidak suka sama neneknya yang ternyata telah menurunkan sebuah ilmu langka pada Galaga. Hingga akhirnya Maladewa menuntut pada Nyai Suri Agung agar nenek itu memberikan semua warisan leluhur Kampung Setan padanya. Karena terus didesak, Nyai Suri Agung akhirnya memberikan Kembang Darah Setan pada Maladewa. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Maladewa mulai bertingkah.
Dan sasaran utamanya tidak lain adalah saudara seperguruannya sendiri yakni Galaga dan tentu Nyai Suri Agung yang menurut Maladewa bisa jadi batu sandungan. Namun tindakan Maladewa menemui jalan buntu, karena Galaga dan Nyai Suri Agung tiba-tiba lenyap. Saat itulah Maladewa mulai panjangkan tangan merambah keluar Kampung Setan. Dia mulai membunuh beberapa orang dan menarik beberapa orang untuk dijadikan sebagai anak buahnya!”
Kigali menghela napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan. “Saat itulah aku bersama sahabat baikku bernama Dadaka bertemu dengan Maladewa. Tidak berapa lama, aku dan Dadaka sudah menjadi orang kepercayaan Maladewa. Tugas kami berdua adalah menemukan Galaga dan Nyai Suri Agung sekaligus untuk membunuh keduanya.
Namun setelah sekian lama mencari, kami berdua gagal mendapatkan apalagi membunuh Galaga dan Nyai Suri Agung! Hal ini tampaknya membuat Maladewa tidak bisa menerima. Malah dia hendak menghukum aku dan Dadaka dengan tangan mautnya!”
“Aku dan Dadaka tidak menyerah begitu saja, apalagi kami berdua sudah mengerti seluk beluk Kampung Setan. Di lain pihak, sebenarnya kami berdua menerima menjalankan tugas dan menjadi orang kepercayaan Maladewa dengan niat semata-mata untuk merebut Kembang Darah Setan! Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi. Kemampuan kami memang jauh di bawah Maladewa yang saat itu menggenggam Kembang Darah Setan.
Namun dengan cara kami, pada akhirnya aku dan Dadaka berhasil memasukkan Maladewa ke dalam sebuah batu di Kampung Setan. Namun aku sangat kecewa dan terpukul. Karena Kembang Darah Setan gagal kuperoleh! Kembang Darah Setan ikut amblas masuk ke dalam makam batu bersama sosok Maladewa!”
Kembali Kigali hentikan keterangannya. Kali ini dia terdiam agak lama. Sementara Pitaloka tak berusaha berucap. Dia menunggu Kigali lanjutkan ucapan.
“Setelah peristiwa itu aku dan Dadaka berpisah. Aku tak tahu ke mana dia pergi dan apakah dia masih hidup. Sementara aku sendiri pergi ke hutan ini karena merasa kecewa dengan kegagalanku mendapatkan Kembang Darah Setan. Di hutan inilah akhirnya aku menemukan jati diriku hingga akhirnya aku dipertemukan denganmu!”
“Kek....” Untuk pertama kalinya Pitaloka angkat bicara. “Saat ini dalam rimba persilatan ada seorang tokoh bergelar Setan Liang Makam yang mengatakan bahwa dirinyalah sebenarnya pemilik Kembang Darah Setan! Aku pernah bertemu dan bertarung dengannya. Apakah mungkin dia cucu Nyai Suri Agung yang bernama Maladewa dan pernah berhasil kau masukkan ke dalam makam batu?!”
“Menurut perhitungan manusia biasa, sebagai manusia adalah satu keajaiban jika Maladewa masih bisa hidup selama puluhan tahun dalam makam batu. Namun segala sesuatu akan terjadi bila Yang Maha Kuasa menghendaki!”
“Tapi, Kek... Dari tampangnya memang masuk akal kalau dia baru saja bangkit dari makam batu!”
Kigali kerutkan kening. “Bagaimana tampangnya?!”
Pitaloka terdiam sesaat. “Sebenarnya aku pernah menyinggung ini, tapi mungkin dia lupa,” kata Pitaloka dalam hati lalu menjawab. “Sosok tubuhnya tinggal susunan kerangka tanpa daging!”
“Hem.... Aku tak bisa memastikan dia Maladewa atau bukan sebelum aku bertemu dengan orangnya! Hanya saja aku bisa memastikan satu hal. Saudara seperguruan Maladewa yang bernama Galaga itu masih hidup!”
“Dari mana kau tahu?!” Tanya Pitaloka sedikit terkejut dan palingkan kepala.
“Salah satu dari beberapa orang yang kutemui di hutan ini beberapa waktu yang lalu adalah Galaga! Saudara seperguruan Maladewa sekaligus murid Nyai Suri Agung.”
Sekali lagi Pitaloka tampak tersentak kaget. “Bagaimana kau tahu dia adalah Galaga?! Apakah dia mengatakannya padamu?! Padahal bersama berlalunya waktu, paras wajah orang pasti berubah. Apalagi sudah lama tak bertemu!”
“Dalam rimba persilatan, yang kutahu hanya dua orang yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’. Dia adalah Nyai Suri Agung dan Galaga....”
“Jadi orang yang kau duga sebagai Galaga itu sempat menunjukkan ilmu ‘Pantulan Tabir’ saat bertemu denganmu?!”
“Aku sendiri tak tahu. Dia memperlihatkan ilmu itu untuk pamer atau hanya untuk memberi tahu padaku kalau dia adalah Galaga karena sebenarnya dia telah mengetahui dahulu siapa aku sebenarnya!”
“Kau bisa mengatakan bagaimana ilmu ‘Pantulan Tabir’ itu?!”
“Baik suara atau pukulannya akan pantul- memantul tiada henti ke seluruh penjuru mata angin!”
“Astaga! Apakah orang yang kau katakan itu sering perdengarkan bersinan dan kepalanya selalu bergerak-gerak ke depan ke belakang?!” tanya Pitaloka.
“Kau pernah bertemu dengannya?!” Kigali balik bertanya setelah anggukkan kepala.
“Benar! Dia adalah tokoh yang kini bergelar Datuk Wahing!”
Setelah berkata begitu, tiba-tiba paras wajah Pitaloka berubah. Kigali tampaknya dapat menangkap perubahan orang. Namun dia coba menahan diri untuk tidak buka mulut bertanya.
***
TIGA
"KALAU Datuk Wahing sudah berada di hutan ini, kemungkinan besar Pendekar 131 juga ada di sekitar hutan ini pula. Dan barangkali Beda Kumala ada juga di antara mereka. Siapa yang dicari mereka?! Aku...? Atau lainnya?!” Diam-diam Pitaloka bertanya-tanya dengan hatinya sendiri. Di pelupuk matanya terbayang paras murid Pendeta Sinting lalu wajah saudara kembarnya Beda Kumala alias Putri Kayangan.
“Mungkin Beda Kumala lebih beruntung dariku! Sikapnya saat bertemu dengan murid Pendeta Sinting itu menunjukkan kalau dia tertarik dengan pemuda itu! Ah... Memang tak pantas bagiku mengharapkan cinta! Aku sudah bukan Pitaloka yang dulu lagi. Aku manusia kotor!”
Dada Pitaloka tampak berguncang. Dan tanpa disadari air matanya jatuh membasahi pipi kanan kirinya. Kigali tampak menarik napas.
“Kau teringat seseorang, Anakku?” tanya Kigali dengan suara dipelankan.
Pitaloka coba menahan isakan. Lalu berpaling pada Kigali dengan kepala menggeleng. Saat lain dia sudah ajukan tanya. “Kek... Sekarang apa kau dapat menduga siapa gerangan sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu?!”
“Kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa dan kini tidak lagi menggenggam Kembang Darah Setan, aku yakin orang di balik Jubah Tanpa Jasad adalah orang di luar kerabat Kampung Setan! Herannya... Bagaimana dia bisa tahu rahasia di balik Kampung Setan, bahkan tahu pula bagaimana bisa mengeluarkan Maladewa dari makam batu!”
“Apa kira-kira bukan sahabatmu yang kau sebut sebagai Dadaka itu?! Bukankah dia tahu banyak rahasia Kampung Setan?!”
Kigali terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap. “Kurasa tak mungkin Dadaka melakukan ini sendirian! Apalagi harus mengeluarkan Maladewa dari makam batu! Itu sangat berbahaya! Maladewa pasti punya rasa dendam dan tentu dia tak akan tinggal diam! Kalaupun ada orang luar yang tahu rahasia Kampung Setan, pasti orang itu mendapat keterangan dari Galaga atau Dadaka. Namun mereka berdua tak mungkin memberi keterangan pada orang lain!”
“Tapi buktinya orang itu telah mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Berarti ada orang yang memberi keterangan!”
“Itulah yang membuatku masih merasa aneh.... Tapi masalah itu tak usah kita pikirkan terlalu jauh! Lambat laun orang pasti bisa mengetahui siapa sebenarnya sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu! Kau tahu, Anakku.... Sebagai manusia biasa sosok di balik Jubah Tanpa Jasad pasti ingin dikenali siapa dia sebenarnya! Apalagi dia hidup dalam lingkaran jagat persilatan! Yang mana di dunia ini nama orang sudah menjadi jaminan!”
“Kek.... Apakah di antara beberapa orang yang kau temui ada seorang gadis yang pernah kuceritakan padamu?!”
“Maksudmu saudara kembarmu itu?!” tanya Kigali.
“Benar! Kau melihatnya?!”
Kigali coba menekan perasaan ketika kepalanya bergerak menggeleng. “Sudahlah, Pitaloka. Kau tak usah cemaskan urusan itu! Mereka katanya memang tengah mencari seseorang, tapi aku yakin bukan kau yang dicari!” Kigali tarik punggungnya dari batangan pohon. “Sekarang kita lanjutkan perjalanan....”
Pitaloka perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu melangkah mengikuti Kigali yang sudah melangkah di depan. Setelah melangkah berjarak lima puluh tombak, Kigali berhenti. Tepat di depannya telah membentang sebuah lembah agak luas yang banyak dihiasi aneka bunga.
Di antara kerapatan tumbuhan bunga tampak beberapa jalan setapak yang ditumbuhi rumput tebal dan tinggi, tanda jika jalanan setapak itu tidak pernah diinjak telapak kaki manusia. Sementara di sana-sini terlihat luruhan aneka bunga yang sudah mengering. Kigali berpaling pada Pitaloka yang telah tegak disampingnya.
“Pitaloka, untuk sementara ini tahan keinginanmu memetik bunga atau melakukan sesuatu! Lembah ini masih asing bagi kita. Pengalaman bertahun-tahun dalam hutan telah membuatku mengerti jika kita harus waspada saat memasuki kawasan yang masih asing!”
Pitaloka tersenyum dan anggukkan kepala. Lalu berkata. “Tempat mana yang kita tuju, Kek...?”
Kigali arahkan pandang matanya pada salah satu gundukan batu agak besar di depan sana. “Mungkin di balik batu itu ada tempat untuk berlindung! Tapi ingat, kita harus tetap berhati-hati...!”
Setelah berucap begitu Kigali mulai gerakkan kaki dan mengambil jalan setapak berumput tebal dan tinggi. Pitaloka berjalan di belakangnya. Baru saja melangkah lima tindak di atas rumput tebal, tiba-tiba terdengar suara umpatan diseling jeritan menyayat. Suara itu laksana diperdengarkan dari tempat yang sangat jauh dan dalam.
Kigali dan Pitaloka sama tersentak kaget. Serentak keduanya hentikan langkah masing-masing dan saling berpandangan. Mereka belum bisa menentukan arah sumber suara. Namun mereka bisa memastikan jika suara itu diperdengarkan oleh seorang perempuan.
“Aneh.... Suara itu tadi tidak terdengar dari perbatasan lembah! Dan aku pun baru kali ini mendengarnya! Padahal aku sering berada di sekitar tempat ini bertahun-tahun lamanya! Tak kusangka sama sekali jika lembah ini berpenghuni! Atau jangan-jangan suara itu tadi hanya tipuan pendengaran kusaja!”
Seolah ingin meyakinkan, Kigali kembali pandangi Pitaloka. Namun orang tua bekas orang kepercayaan Maladewa ini tidak ajukan tanya. Sikap Pitaloka sudah cukup membuatnya yakin kalau suara yang baru saja terdengar bukan tipuan pendengarannya.
“Kek...!”
Kigali segera gelengkan kepala dengan telunjuk dilintangkan di depan bibir lalu berbisik. “Jangan tanyakan padaku! Aku tak akan bisa menjawabnya. Bertahun-tahun aku sering mengunjungi kawasan sekitar lembah ini. Tapi baru hari ini aku mendengar suara itu! Kita harus makin waspada. Suara itu membuktikan kita tidak berada sendirian di lembah ini!”
“Kek! Bukannya aku takut. Tapi kalau kau menduga bakal ada urusan, sebaiknya kita cari tempat lain. Dengan perut besar begini, aku akan kesulitan bergerak jika terjadi apa-apa! Setelah kelahiran anak ini, baru kita selidiki ada apa dikawasan lembah ini!”
“Pitaloka.... Coba kau dengar sekali lagi suara perempuan itu!” ujar Kigali dengan suara dipelankan. Saat itu suara makian dan jeritan menyayat memang terus terdengar.
“Dari suaranya jelas perempuan itu tengah mengalami kesengsaraan! Siapa pun dia adanya, kita harus menolong!”
“Tapi, Kek! Bagaimana kalau suara itu hanya tipuan orang untuk memancing kita?!”
“Kita memang harus waspada, Pitaloka. Tapi dalam hal ini kurasa dia tidak menipu! Lagi pula untuk apa dia menipu kita? Tidak ada yang bisa diperoleh dari kita berdua! Dan kalaupun dia memancing kita, apa gunanya? Lembah ini hanya ditumbuhi bunga, ke mana pun orang sembunyi akan mudah ditemukan...!”
Kigali putar kepalanya berkeliling dengan mata menyiasati keadaan. Sementara suara makian dan jeritan menyayat terus terdengar.
“Pitaloka! Kau menunggu di luar jalan setapak itu. Aku akan menyelidik!”
“Kek....” Lagi-lagi sebelum Pitaloka teruskan ucapannya, Kigali sudah menukas.
“Pitaloka, perutmu sudah besar. Kau perlu banyak istirahat! Jangan cemaskan diriku. Aku bisa melakukannya sendiri!”
Sebenarnya Pitaloka enggan menuruti permintaan Kigali. Namun begitu si orang tua tersenyum dan anggukkan kepala, Pitaloka perlahan-lahan bergerak mundur. Begitu kaki Pitaloka berada di luar jalanan setapak, tiba-tiba gadis ini berkerut. Laksana dirobek setan, suara makian dan jeritan menyayat sekonyong-konyong lenyap! Pitaloka coba tajamkan pendengaran dan menunggu. Tapi suara makian dan jeritan memang tidak terdengar lagi!
“Apa dia hentikan makian dan jeritannya? Tapi mengapa diputus mendadak?!”
Karena penasaran, akhirnya Pitaloka angkat bicara. “Kek! Kau masih mendengar suara itu?!”
Kigali yang saat itu tengah pusatkan pendengaran untuk menentukan di mana sumber suara, berpaling dengan wajah heran campur terkejut. Namun karena tak mau buang-buang waktu, dia segera menjawab.
“Suara itu malah semakin keras!”
Kali ini ganti Pitaloka yang terkejut dan heran. Dia melihat bagaimana mulut Kigali membuka. Anehnya dia tidak mendengar suara! Pitaloka sesaat pandangi Kigali yang telah kembali pusatkan pendengarannya. Karena masih penasaran, akhirnya kembali Pitaloka berteriak.
“Kek! Kau mendengar suaraku?!”
Untuk kedua kalinya Kigali berpaling dengan wajah makin heran. Untuk beberapa saat dia pandangi Pitaloka. Di depan sana, Pitaloka tersenyum lalu berteriak lagi.
“Kek! Aku tidak mendengar suara itu lagi! Jawablah.... Apa kau masih mendengarnya?!”
“Aneh.... Apa dia tidak mendengar ucapanku tadi?!” Kigali tak mau terus bertanya-tanya. Dia segera buka mulut dan berteriak.
“Aku masih mendengarnya! Aku juga dengar pertanyaanmu!”
Pitaloka makin kerutkan kening. Lagi-lagi dia bisa melihat gerakan mulut Kigali, namun dia tidak mendengar suara apa-apa!”
“Jangan-jangan dia bercanda! Pura-pura buka mulut tapi tidak perdengarkan suara! Namun rasanya dia tidak pernah bercanda dalam menghadapi satu urusan!” Pitaloka membatin. Lalu berseru lagi.
“Kek! Aku tidak mendengar suaramu!”
“Aneh.... Main-main atau bagaimana anak itu?! Aku sudah berteriak keras. Tapi dia mengatakan tidak mendengar suaraku!”
Karena sama-sama merasa heran dan salah satu menduga jika di antaranya bercanda, Pitaloka memutuskan berteriak lagi. “Kek! Aku tidak berdusta. Aku tidak lagi mendengar suara itu juga suaramu!”
Tanpa berkata menyahut, Kigali berkelebat. Baru saja kakinya tegak di samping Pitaloka, orang bekas kepercayaan Maladewa ini terkesiap. Suara makian dan jeritan sirna dari pendengarannya!
“Benar! Di sini aku juga tidak mendengar suara itu lagi!” gumam Kigali seraya tajamkan pendengaran. “Ada yang aneh di lembah ini!”
Entah karena ingin buktikan, Kigali kembali berkelebat dan tegak di antara jalan setapak. Dia tersentak. Suara makian dan jeritan terdengar lagi. Bahkan makin keras!
“Hem.... Suara perempuan itu tidak bisa ditangkap dari luar kawasan lembah. Demikian pula dengan suaraku!” Kigali bergumam lalu berkelebat lagi ke arah Pitaloka.
“Anakku.... Kau tunggu di sini! Aku akan memberi isyarat jika menemukan sesuatu! Jangan alihkan pandanganmu dari tubuhku! Karena suaraku tak mungkin kau dengar!”
“Jadi....”
“Ada kelainan di lembah ini! Suara yang keluar dari kawasan lembah tidak bisa ditangkap di luar! Itulah sebabnya mengapa aku tidak pernah mendengar suara walau aku sering berada di sekitar kawasan ini!”
Habis berkata begitu, Kigali kembali berkelebat. Dalam beberapa saat sosoknya telah tegak di sebelah gugusan batu agak besar di depan sana. Pitaloka terus perhatikan dengan mata tak berkesip dan dada dilanda keheranan. Kigali tegak dengan sedikit tengadahkan kepala. Sepasang matanya yang sayu dipejamkan lalu menarik napas dalam-dalam.
“Aneh.... Suara itu jelas dari sekitar tempat ini! Tapi di sini tak ada tempat terbuka untuk berlindung orang! Suara itu sepertinya dari tempat yang amat dalam! Padahal di sekitar sini tidak ada jurang atau lobang!” gumam Kigali. Dia kembali pusatkan pendengaran.
“Benar! Suara itu bersumber dari sini! Tapi di mana?!” Kigali meneliti sekitar gugusan batu agak besar. “Jangan-jangan di bawah batu ini ada lobang!”
Kigali memperhatikan gugusan batu didepannya. Lalu perlahan-lahan mendekat. Dia tempelkan telinga kanannya ke batu. Namun secepat kilat dia tarik pulang kepalanya. Saat telinganya bersatu dengan permukaan batu, orang tua ini rasakan getaran hebat, malah gendang telinganya laksana ditusuk!
Namun hal ini memberi keyakinan padanya, jika suara itu benar-benar berasal dari bawah batu. Tanpa menunggu lama lagi, kedua tangan Kigali segera ditempelkan pada permukaan batu lalu mendorong. Namun gugusan batu itu tidak bergeming. Kigali melangkah mundur. Kedua tangannya diangkat.
“Apa boleh buat! Akan kuhancurkan batu itu!”
Di seberang luar lembah, Pitaloka tampak melotot makin besar melihat gerakan Kigali. Dia sudah hendak berteriak. Namun diurungkan ketika melihat kedua tangan Kigali sudah bergerak menyentak ke arah batu.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang angin deras melesat diiringi suara deruan. Saat lain terdengar ledakan. Gugusan batu langsung ambyar porak-poranda! Kalau Kigali dapat mendengar deruan angin yang melesat dari kedua tangannya serta ledakan batu, tidak demikian halnya dengan Pitaloka. Dia tidak mendengar apa-apa. Dia hanya bisa melihat ambyarnya batu dan kepingan-kepingan yang menebar keudara.
Begitu gugusan batu ambyar, Kigali melihat lobang menganga. Namun bersamaan itu suara makian dan jeritan tidak terdengar lagi! Dengan waspada, Kigali melangkah mendekati lobang di mana tadi tertutup oleh gugusan batu. Perlahan-lahan orang tua itu gerakkan kepala melongok ke bawah.
Berjarak lima tombak di bawah lobang yang terlihat adalah tempat berbatu. Kigali melangkah mengitari lobang dengan kepala terus memperhatikan ke bawah. Namun sejauh ini dia tidak menangkap adanya sosok manusia.
“Tempat di bawah itu terlalu luas kalau dilihat dari sekitar lobang ini. Aku harus turun!”
Kigali angkat kepalanya dan berpaling ke arah Pitaloka. Saat bersamaan terdengar Pitaloka sudah berteriak.
“Kek! Kau menemukan sesuatu?!”
Kigali tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat dengan lambaian tangannya. Pitaloka segera melangkah cepat ke arah Kigali. Dan langsung longokkan kepala begitu berada di sekitar lobang.
“Kek... Suara itu tidak terdengar lagi! Apa kau juga tidak mendengarnya?!” tanya Pitaloka khawatir kalau hanya dia yang tidak menangkap suara.
“Sejak batu itu terbongkar, suara perempuan itu terputus! tapi aku merasa yakin sumbernya dari tempat di bawah itu! Aku harus turun! Kau tetaplah di atas!”
“Kek! Lobang ini tidak terlalu dalam. Aku bisa melewatinya!”
“Aku tahu. Tapi kita belum tahu siapa yang kita hadapi! Begitu keadaan aman, aku akan memberi tahu!”
Tanpa menunggu Pitaloka menyahut, Kigali sudah berkelebat masuk ke bawah lobang dengan kedua tangan terangkat. Sementara diam-diam Pitaloka kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, lalu memperhatikan sosok Kigali.
***
EMPAT
KITA tinggalkan dulu Kigali dan Pitaloka yang berada di tengah lembah. Kita kembali pada murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, dia bertemu dengan Dayang Sepuh. Lalu keduanya meneruskan perjalanan mencari Pitaloka. Namun Dayang Sepuh mengusulkan mencari dengan jalan mengikuti jejak orang tua berambut putih jabrik yang diceritakan murid Pendeta Sinting.
Sebenarnya Joko agak enggan memenuhi usul Dayang Sepuh. Namun setelah Dayang Sepuh berjanji tidak akan membuat urusan dengan orang yang diikuti, akhirnya murid Pendeta Sinting berkelebat juga mengikuti arah yang diambil orang tua berambut jabrik putih. Pada satu tempat mendadak Pendekar 131 yang berkelebat di depan hentikan larinya. Dayang Sepuh segera pula berhenti namun sambil membentak.
“Setan geblek! Mengapa berhenti?!”
Yang dibentak tidak segera menjawab. Melainkan edarkan pandangannya berkeliling. Baru buka mulut menjawab. “Bibi... Kita gagal mendapatkan jejak orang tua berambut jabrik itu! Kau tahu sendiri. Dia raib laksana ditelan bumi! Sebaiknya kita teruskan perjalanan tanpa harus mengikuti jejak orang itu!”
Dayang Sepuh ikut edarkan pandang matanya. Dia memang tidak menangkap adanya sosok orang yang dikejar. Apalagi hutan di mana mereka berada sangat lebat diranggasi semak belukar dan batangan-batangan pohon besar berdaun rindang.
“Lalu ke mana kita sekarang?!” tanya Dayang Sepuh. Matanya terus jelalatan ke seantero tempat di mana dia tegak.
“Aku sendiri bingung! Tapi daripada harus diam, kita berlari saja ke mana kaki ini bergerak! Siapa tahu hari ini adalah rejeki besar bagi kita. Kita bisa menemukan orang yang kita cari dan....”
Pendekar 131 putuskan ucapan. Kepalanya berpaling ke samping kanan dengan mata mendelik. Di samping kanannya Dayang Sepuh menoleh ke arah Joko dengan melotot angker dan langsung membentak garang.
“Mengapa mata setanmu memandangku melotot, begitu rupa, hah?!” Walau membentak begitu rupa, namun saat itu juga si nenek rapikan poni di depan keningnya.
“Lihat di sebelah sana!” bisik Joko tanpa alihkan pandang matanya lurus melewati pundak si nenek.
Meski dengan mengomel, akhirnya Dayang Sepuh berpaling juga ke arah kanan. Tiba-tiba sepasang mata nenek berdandan mencorong ini membelalak. Berjarak sepuluh tombak di depan sana terlihat satu sosok tubuh tegak membelakangi. Dari rambutnya yang putih tegak dan pakaian selempang putih serta untaian kalung di atas punggungnya, baik Joko maupun Dayang Sepuh sudah bisa menduga siapa orang itu.
“Setan itu yang kau katakan sebagai setan jabrik berambut putih?!” tanya Dayang Sepuh seolah ingin meyakinkan.
“Benar! Tampaknya dia sengaja memancing kita!” gumam Joko. “Pasti dia ada maunya! Jika tidak, tak mungkin dia tunjukkan diri dengan cara begitu rupa! Atau barangkali dia tertarik padamu, Bibi...!”
Dayang Sepuh cibirkan mulut namun segera rapikan kembali geraian poni rambutnya dan berkata agak pelan. “Kita ikuti dia! Aku ingin tahu bagaimana tampang setannya!”
“Tapi, Nek.... Eh, Bibi....”
“Aku akan tetap memegang janji untuk tidak membuat urusan! Aku hanya ingin lihat tampang setannya! Dan Jangan khawatir aku akan tertarik pada setan itu!”
Seolah mendengar percakapan orang, orang yang tegak membelakangi di depan sana mendadak putar diri menghadap murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh.
“Bibi... Sekarang kau perhatikan... Dia memandang mu” bisik Joko.
Dayang Sepuh benar-benar pentang matanya. Lalu bergumam pelan. “Masih lumayan! Diajak jalan-jalan pun tidak membuat malu bila bertemu teman-teman!”
“Kau mengenalnya, Bibi?!”
“Tidak! Tapi apa benar dia mengenalku seperti keteranganmu?!” Dayang Sepuh balik bertanya.
Belum sampai Joko buka mulut menjawab, orang di depan sana yang ternyata bukan lain adalah orang tua berambut putih jabrik mengenakan pakaian selempang putih yang dada kanannya terbuka dan tangannya memegang tasbih pendek, sudah balikkan tubuh.
“Setan! Tunggu!” Dayang Sepuh sudah berteriak melihat gelagat orang hendak berkelebat lagi. Bersamaan itu si nenek pun sudah melompat ke depan.
Namun si orang tua berambut jabrik putih seolah tidak mendengar teriakan Dayang Sepuh. Begitu dia balikkan tubuh, dia segera pula berkelebat.
“Setan!” maki Dayang Sepuh lalu percepat kelebatan mengejar. Sesaat murid Pendeta Sinting ragu-ragu. Antara mengikuti berkelebat atau teruskan perjalanan sendirian. Namun karena masih dilanda penasaran dengan sikap orang tua berambut jabrik putih, akhirnya Joko memutuskan untuk berkelebat mengejar pula. Setelah sekian lama saling kejar-kejaran, akhirnya pada satu tempat Dayang Sepuh berhenti seraya mengomel dengan mulut megap-megap. Di sampingnya murid Pendeta Sinting tegak dengan wajah basah oleh keringat.
“Mana dia, Bibi?!”
“Mengapa masih bertanya! Apa kau lihat sosok setannya?!”
“Bibi! Kita hanya dipermainkan orang! Rupanya dia tahu kawasan hutan ini hingga dia bisa leluasa bergerak!”
“Peduli setan dia tahu atau tidak kawasan hutan ini! Yang jelas sikapnya membuatku curiga!”
“Curiga atau tertarik?!” tanya Joko dengan tersenyum namun tak berani memandang pada si nenek.
“Dia memang masih gagah dan tampan meski usianya sudah lanjut. Tapi hatiku ini hanya milik seseorang!”
“Ah... Jadi Bibi masih punya kekasih?!”
Dayang Sepuh berpaling dengan bibir sunggingkan senyum lebar. “Jangan kaget bila kukatakan kekasihku masih sebaya denganmu bahkan lebih tampan dari paras setanmu!”
“Hem.... Begitu?! Dia dari golongan manusia biasa atau setan?!”
“Sialan! Mana mungkin aku bercinta dengan setan?! Lagi pula mana ada setan bertampang keren?!”
Baru saja Dayang Sepuh selesai berucap, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara deruan-deruan dahsyat. Saat lain satu gelombang ganas menggebrak. Rimbun dedaunan tampak tersapu bertaburan. Hebatnya luruhan dedaunan yang tersapu gelombang bukannya melayang ke udara lalu turun ke tanah, melainkan membentuk gumpalan dan laksana bola besar, gumpalan dedaunan itu melesat ke arah murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh!
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh cepat berpaling. Keduanya melengak kaget. Joko cepat angkat tangan kanannya. Namun sebelum tangan kanannya menyentak, si nenek telah mendahului dengan lemparkan bumbung bambu di tangan kirinya.
"Wuutt!" Bumbung bambu yang masih berisi air kencing itu melesat cepat dan tampak berputar-putar di udara. Anehnya air kencing di dalamnya tidak tumpah.
"Brakkk!" Gumpalan besar dari dedaunan perdengarkan suara berderak ketika lesatannya tertahan bumbung bambu. Gumpalan dedaunan langsung hancur berkeping-keping dan bertabur ke udara. Sementara bumbung bambu langsung meledak pecah muncratkan air di dalamnya!
Mungkin karena sudah menduga apa yang akan terjadi, begitu sentakkan bumbung bambu di tangan kirinya, Dayang Sepuh segera berkelebat ke samping. Namun tidak demikian halnya dengan murid Pendeta Sinting. Dia tetap tegak di tempatnya semula dengan mata memandang berkeliling ingin tahu siapa gerangan yang membuat ulah.
"Pyurrr!" Tidak ada kesempatan lagi bagi murid Pendeta Sinting untuk berkelebat menghindari muncratan air kencing. Hingga tanpa ampun lagi sebagian air kencing di dalam bumbung yang telah pecah membasahi sebagian pakaian dan wajahnya!
“Busyet! Kalau air kencing gadis cantik masih lumayan! Ini air kencing nenek-nenek! Kulitnya hitam lagi!” Joko mengumpat dalam hati lalu melompat mundur dan cepat usap wajahnya dengan pakaiannya yang tidak terkena muncratan air.
Di seberang samping, Dayang Sepuh tak bisa lagi menahan ledakan tawanya. “Kau makin tampan saja begitu terpercik air kebanggaan itu! Hik Hik Hik...!”
“Jangan tertawa terus, Bibi! Kau nanti bisa terkencing-kencing di celana!” kata Joko setengah mendongkol lalu memandang pada si nenek.
Tiba-tiba Joko terlonjak dengan mata dipentang. “Astaga! Celanamu sudah basah, Bibi!”
Dayang Sepuh putuskan ledakan tawanya. Kepalanya cepat menunduk perhatikan celana pendeknya. “Setan! Mana yang basah?!” bentak si nenek.
Murid Pendeta Sinting usap-usap kedua matanya. “Hem... Kalau tidak dibohongi begitu dia akan terus ngakak tak ada putusnya!” kata Joko dalam hati lalu tertawa dan berucap. “Astaga ternyata aku salah pandang!”
“Dasar mata setan!” maki Dayang Sepuh lalu pentangkan mata dan jelalatan menebar berkeliling. Saat yang sama Joko ikut-ikutan pentang mata dan edarkan pandang matanya juga. Namun setelah lama kedua orang ini tidak juga menemukan sosok orang di sekitar tempat itu. Karena tak sabar, Dayang Sepuh sudah berteriak keras.
“Keluarlah dari persembunyianmu, Setan! Atau akan kuobrak-abrik hutan ini!”
Dayang Sepuh menunggu sahutan. Namun tidak juga terdengar suara jawaban atau adanya orang yang muncul di sekitar tempat itu.
“Apa mungkin ini ulah kakek berambut putih jabrik itu?!” gumam murid Pendeta Sinting.
“Di sekitar tempat ini tadi tidak ada setan lain selain setan tua berambut putih jabrik itu! Siapa lagi biangnya kalau bukan dia! Dia telah berani kurang ajar padaku, berarti perjanjian kita batal, Setan Geblek!”
“Batal bagaimana, Bibi set...” Pendekar 131 cepat katupkan mulut lalu tertawa tertahan.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik angker mendengar Joko hendak sebut dirinya Bibi setan. Tapi tak lama kemudian justru nenek ini ikut tertawa tertahan dan berkata. “Aku akan membuat perhitungan dengan setan berambut putih jabrik itu! Dua kali dia bertindak kurang ajar padaku! Pertama menghinaku di depan hidungmu. Kedua dia berani menyerang dari belakang!”
Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, mendadak mereka berdua dikejutkan dengan terdengarnya suara orang batuk-batuk berulang kali. Laksana disentak setan, kepala Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting segera berpaling. Memandang ke depan, berjarak lima belas tombak terlihat kakek berambut putih jabrik tegak menghadap ke arah mereka dengan kepala sedikit bergerak-gerak karena perdengarkan batuk.
“Setan itu di sana! Kali ini dia tak akan kubiarkan lolos!”
“Bibi.... Jangan tergesa-gesa menuduh orang! Pukulan tadi datangnya dari arah belakang. Secepat apa pun kelebatan orang, mungkin aku masih bisa menangkapnya kalau waktu itu ada yang membuat gerakan! Sementara orang tua itu sudah berada di sana!”
“Hem.... Jadi kau kira ada setan lain yang melakukannya?!”
"Mungkin begitu, Bibi!”
“Aku tak percaya ada setan lain di tempat ini! Dialah biang pelakunya!”
“Bibi! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting ketika melihat Dayang Sepuh sudah berkelebat ke arah orang tua berambut putih jabrik. Namun si nenek tidak pedulikan lagi teriakan Joko. Dia teruskan berkelebat. Karena khawatir terjadi sesuatu, Joko cepat pula berkelebat menyusul si nenek.
Kali ini orang tua berambut putih jabrik tidak berusaha menghindar dengan berlari. Dia tetap tegak dan seolah malah menunggu! Bahkan dia segera angkat bicara begitu Dayang Sepuh tegak lima langkah di depannya.
“Dayang Sepuh! Ada sesuatu yang hendak kau utarakan?!”
Si nenek rapikan dulu geraian poni rambutnya. Saat lain dia sudah perdengarkan bentakan keras. “Kau pandai mengenali orang, Setan! Siapa kau sebenarnya?!”
Orang tua berambut putih jabrik sunggingkan senyum. Kepalanya menggeleng seraya berucap. “Tentunya kau telah diberi tahu siapa diriku oleh kekasihmu itu!” Mata orang berambut putih jabrik mengarah pada murid Pendeta Sinting yang telah tegak di samping Dayang Sepuh.
“Setan sialan! Pemuda macam begini belum layak mendampingiku sebagai kekasih!” Tangan kanan si nenek menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang sudah tertawa mendengar ucapan Dayang Sepuh.
“Jangan bikin habis kesempatan dan kesabaranku, Setan Berambut Putih! Katakan siapa dirimu sebenarnya?!”
“Aku juga tak punya kesempatan banyak, Dayang Sepuh! Tapi satu hal yang pasti kau tak mungkin mendapat jawaban sekarang! Kau kelak akan tahu siapa diriku!”
Si nenek mendengus. “Aku tak mau menunggu kelak! Sekarang katakan atau...” Si nenek tidak lanjutkan ucapan. Melainkan tertawa pendek seraya memilin salah satu poni rambutnya. Lalu teruskan ucapan. “Kau akan kubuat mampus tanpa dikenali!”
“Aku tidak suka dipaksa, Dayang Sepuh! Dan urusan antara kita rasanya belum saatnya dimulai! Bersabarlah. Kita nanti pasti akan bertemu untuk selesaikan satu urusan!”
“Orang tua!” Kali ini Joko angkat bicara. “Kau punya urusan dengan kekasihku ini?!”
Dayang Sepuh sudah membelalak. Namun murid Pendeta Sinting tidak ambil peduli. Dia menatap tajam pada orang tua berambut putih jabrik.
“Urusannya bukan hanya dengan kekasihmu itu saja, Pendekar 131! Namun termasuk dengan dirimu juga! Tapi bukan sekarang saat yang tepat membuka urusan itu! Tidak lama lagi. Segalanya akan terjadi!”
Habis berkata begitu, mendadak si orang tua berambut putih jabrik jejakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat dua tombak ke udara. Di atas udara kakek ini membuat gerakan sekali. Kejap itu juga sosoknya melesat laksana kilat tinggalkan tempat itu!
Anehnya, begitu melayang turun berjarak enam tombak di sebelah depan sana, si orang tua berambut putih jabrik melangkah perlahan-lahan malah sesekali berpaling pada Dayang Sepuh dan Pendekar 131 Joko Sableng!
“Setan itu sepertinya sengaja ingin diikuti! Aku jadi penasaran!” desis Dayang Sepuh.
“Ah... Mungkin Bibi tertarik saja padanya dan ingin mengikutinya!” gumam murid Pendeta Sinting.
Namun Joko cepat berkelebat mengejar si orang tua mendahului Dayang Sepuh. Dayang Sepuh mencibir lalu seraya mengomel dia melompat dan ikut mengejar.
***
LIMA
TAHU kalau dirinya dikejar orang, si orang tua berambut putih jabrik tiba-tiba hentikan langkah. Sosoknya berputar seolah menyongsong kedatangan orang. Dan belum sampai Pendekar 131 dan Dayang Sepuh mendekat, dia telah perdengarkan suara.
“Jangan memaksakan diri untuk membuka urusan sebelum waktunya! Itu akan membuat rencana kalian gagal di tengah jalan!”
Murid Pendeta Sinting yang mendekat terlebih dahulu belum angkat suara, dari tempat agak jauh Dayang Sepuh sudah menyambut dengan bentakan keras.
“Kau sudah membuka urusan denganku, Setan Jabrik!”
Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepala dengan senyum dingin. Lalu tanpa memandang pada murid Pendeta Sinting atau Dayang Sepuh yang kini telah tegak tidak jauh dari Joko, dia berucap.
“Bukan aku yang melakukannya, Dayang Sepuh!
Karena aku tahu saatnya belum sampai!”
“Di sini tidak ada setan lain yang gentayangan! Jangan takut mengakui perbuatan!”
“Kalau aku mau, tak mungkin aku bermain-main dengan gumpalan daun tak berguna itu! Lagi pula seandainya aku takut, mudah bagiku membuat kalian berdua kehilangan jejakku!”
“Orang tua! Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, kuharap kau mau menjelaskan apa maksudmu sebenarnya?!” kata Joko berusaha menengahi.
“Tidak semua urusan harus dikatakan pada orang lain, Pendekar 131! Tapi jangan kira aku tidak tahu apa maksud dan tujuan kalian berada di hutan ini!”
“Apa urusanmu ada kaitannya dengan urusan kami?!” Joko mengejar.
“Kita lihat saja nanti! Tak ada gunanya sekarang dibicarakan kalau urusan itu belum jelas benar!”
“Setan! Kau seolah tahu banyak urusan orang!” Mendengar ucapan Dayang Sepuh, si orang tua berambut putih jabrik tertawa pendek. “Kau lupa, Dayang Sepuh! Kalau aku tidak tahu banyak urusan orang, mana mungkin aku tahu siapa kalian meski kita belum pernah bertemu sebelumnya!”
“Aku tak percaya sebelum kau bisa katakan apa urusanku berada di hutan ini!” sahut Dayang Sepuh.
“Kau tengah mencari seorang gadis yang perutnya besar, bukan?!”
Dayang Sepuh menoleh pada murid Pendeta Sinting. “Kau mengatakan padanya?!”
“Bibi... Dia sudah tahu sebelum kita bertemu dengannya!”
“Hem... Ini rahasia yang hanya diketahui orang tertentu. Kalau orang lain sampai tahu, pasti ada yang membocorkan rahasia ini! Mungkin setan Wahing atau setan buta itu yang memberi tahu!” gumam Dayang Sepuh.
Yang dimaksud setan Wahing dan setan buta oleh si nenek bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Karena dua orang itu salah satu dari beberapa orang yang mengerti rahasia itu. Si orang tua berambut putih jabrik rupanya dapat mendengar gumaman Dayang Sepuh. Hingga dia segera buka mulut.
“Dayang Sepuh! Aku tahu... Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun ada di dalam hutan ini! Namun aku belum bertemu dengan mereka berdua!”
“Hem... Kalau begitu mungkin setan-setan lainnya!”
Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepala. “Aku Juga tahu jika Dewa Uuk, Iblis Ompong, dan Nenek Dewi Ayu Lambada juga berada di hutan ini! Tapi jangankan mereka memberi tahu, bertemu pun aku belum pernah!”
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh tampak terkesiap mendengar ucapan orang. Namun Dayang Sepuh segera berkata dengan suara agak keras.
“Jadi kau tahu semuanya dari Nyai Tandak Setan itu! Apa hubunganmu dengan setan perempuan itu?! Semula aku sudah menduga kalau setan perempuan itu terlalu buat masalah! Setan betul!”
Pendekar 131 sudah mau buka mulut, namun si nenek sudah membentak. “Jangan kau berani membela perempuan setan itu meski aku tahu kau tertarik dengan cucunya!”
Murid Pendeta Sinting akhirnya kancingkan mulut dan tertawa panjang. Sementara orang tua berambut putih jabrik segera angkat suara.
“Kau terlalu mudah mengumbar tuduhan, Dayang Sepuh! Perempuan dari lereng Gunung Semeru dan cucunya bergelar Putri Kayangan memang tengah mencari salah seorang cucunya yang raib entah ke mana! Namun jangankan punya hubungan, mimpi bertemu dengan mereka pun aku belum pernah!”
Dayang Sepuh mencibir lalu berujar keras. “Siapa percaya ocehan mulut setan sepertimu!”
“Itulah sebabnya tadi kukatakan, sekarang belum waktunya membuka urusan!”
“Lalu kapan urusan akan dibuka, hah?!” tanya si nenek.
“Purnama tidak akan lama lagi, bukan?!” ujar orang berambut putih jabrik. Dia tidak lagi menunggu orang angkat bicara. Saat itu juga dia balikkan tubuh lalu enak saja melangkah tinggalkan murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh.
“Rupanya dia tahu banyak urusan yang tengah kita hadapi, Bibi! Sebaiknya memang kita tunggu sampai waktunya datang! Namun secara diam-diam kita ikuti terus ke mana dia pergi! Aku menduga dia tahu di mana Pitaloka berada!” bisik Joko seraya terus memperhatikan gerakan langkah-langkah orang tua berambut putih jabrik.
“Siapa sebenarnya setan jabrik itu?! Dia tahu banyak urusan orang bahkan mengenali orang yang dalam mimpi pun belum sempat muncul!” gumam Dayang Sepuh.
“Percuma kita urus hal itu, Bibi! Kau dengar ucapannya tadi. Kelak kita akan tahu siapa dia sebenarnya!” kata Joko lalu mulai melangkah mengikuti jejak si orang tua berambut putih jabrik.
Dayang Sepuh anggukkan kepala lalu ikut melangkah. Baik murid Pendeta Sinting maupun Dayang Sepuh tidak tahu kini tengah menuju ke mana dan arah mana yang diambil. Namun begitu Joko melihat sinar matahari, dia tahu bahwa mereka kini tengah menuju ke arah barat.
Begitu matahari mulai pancarkan sinar kekuningan pertanda tak lama lagi akan segera turun di bentangan kaki langit sebelah barat, orang tua berambut putih jabrik hentikan langkah. Di belakang sana Pendekar 131 dan Dayang Sepuh ikut pula berhenti. Mereka mengikuti tidak secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Tapi herannya, si orang tua yang diikuti seolah tidak peduli. Dia terus saja melangkah bahkan tidak pernah berpaling kebelakang!Padahal Joko yakin si orang tua tahu kalau dirinya diikuti orang.
Begitu hentikan langkah, si orang tua berambut putih jabrik untuk pertama kalinya gerakkan kepala berpaling ke belakang pada murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa buka mulut. Saat lain dia telah putar kembali kepalanya menghadap ke depan. Berjarak lima tombak di seberang depan, terlihat hamparan lembah agak luas ditumbuhi aneka macam bunga. Matahari senja membuat lembah makin terlihat indah.
Untuk beberapa lama si orang tua berambut putih jabrik arahkan pandang matanya pada hamparan lembah. Namun orang ini tidak menikmati indahnya pemandangan. Karena sepasang matanya hanya tertuju pada satu tempat. Mendadak kepala si orang tua berambut putih jabrik bergerak mengangguk. Bibirnya sunggingkan senyum. Lalu terdengar gumamannya pelan.
“Gugusan batu itu telah lenyap hancur. Berarti buruan telah masuk perangkap! Ternyata waktunya lebih cepat dari perhitungan! Sayang sekali. Terpaksa aku harus menunggu beberapa saat lagi di sini! Tapi kedua orang itu tidak boleh tahu ada apa di dalam lembah ini! Aku akan memancingnya keluar dari kawasan lembah!”
Si orang tua berambut putih jabrik sipitkan sepasang matanya. “Berubahnya perhitungan membuat aku harus merubah rencana pula! Tapi lebih cepat kurasa akan makin baik!”
Setelah bergumam begitu, si orang tua berambut putih jabrik balikkan tubuh menghadap Pendekar 131 dan Dayang Sepuh yang terus perhatikan orang dari belakang. Begitu orang yang diawasi putar diri, murid Pendeta Sinting dan si nenek sama arahkan pandang mata masing-masing ke orang tua berambut putih jabrik. Namun sebaliknya begitu balikkan tubuh, si kakek berambut putih jabrik bukannya memandang ke arah Joko dan Dayang Sepuh, melainkan edarkan pandangannya berkeliling. Lalu bergumam lagi.
“Kuharap anak itu datang tepat pada waktunya! Bukan karena aku tak mampu menghadapi kedua orang di depan itu, namun dengan kedatangannya mungkin semuanya akan berjalan makin cepat! Tapi seharusnya dia sudah ada di tempat ini! Karena beberapa saat yang lalu dia telah berada membayangi kedua orang itu! Tapi mengapa dia belum tunjukkan diri?! Aku pun tak menangkap kehadirannya di sekitar tempat ini! Ke mana dia?!”
Selagi si kakek berambut putih jabrik bergumam begitu, tiba-tiba Dayang Sepuh yang terlihat tidak sabaran segera buka suara. “Setan berambut jabrik! Kurasa waktunya sudah tiba! Kalaupun belum, aku sudah tak mau menunggu lagi!”
“Sebenarnya waktu tibanya masih kurang dua belas hari lagi, Dayang Sepuh! Karena malam purnama masih kurang dua belas hari! Namun tampaknya keadaan berubah. Dan waktu itu kurasa hampir tiba!” ujar kakek berambut putih masih tanpa memandang pada Dayang Sepuh atau murid Pendeta Sinting melainkan terus edarkan pandang matanya berkeliling.
“Bibi... Matanya memberi tanda kalau dia tengah mencari seseorang! Setidaknya ada seseorang yang ditunggu!”
Mendengar bisikan Joko, tanpa pikir panjang lagi si nenek segera perdengarkan tawa panjang lalu berucap keras. “Setan jabrik! Kau menunggu seseorang?!”
Untuk pertama kalinya si kakek tampak sedikit terkejut. Namun dia segera tersenyum. Tapi sejauh ini dia masih kancingkan mulut tidak menyahut. “Hem... Aku masih belum bisa menebak apa ke- mauan kakek ini! Mengapa dia menempatkan harinya dengan bulan purnama, saat mana diduga bayi itu akan lahir?!”
Diam-diam murid Pendeta Sinting mem- batin. Sementara di sebelahnya, mendapati kakek berambut putih jabrik tidak menyambuti ucapannya, Dayang Sepuh kembali angkat suara.
“Dengar, Setan Jabrik! Aku sekarang tak peduli kau bilang saat itu hampir tiba atau sudah tiba karena perubahan keadaan! Yang jelas kau sudah berani kurang ajar padaku! Lebih-lebih kau bertindak pengecut membokongku dari belakang!”
Si kakek berambut putih jabrik belum juga menyahut. Namun kali ini matanya menatap tajam pada Dayang Sepuh. Saat lain mendadak tangan kanannya bergerak berkelebat.
"Wuuttt!" Terdengar satu deruan keras. Saat yang sama satu gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh hentakkan kaki. Sambil membentak dia berkelebat ke depan menyongsong datangnya pukulan. Berjarak dua tombak lagi sosoknya melabrak gelombang ganas, si nenek angkat tangan kanan. Lalu disentakkan.
Wuuutt! Byuurr!
Gelombang ganas dari tangan kanan kakek berambut putih jabrik ambyar berkeping-keping. Di lain pihak sosok Dayang Sepuh terus berkelebat ke depan. Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di tempat mana tadi si kakek berambut putih berdiri. Namun Dayang Sepuh segera mendengus.
“Setan! Dia lenyap!” Dayang Sepuh pentangkan mata.
Sosok kakek berambut putih jabrik memang sudah tidak kelihatan lagi di sekitar tempat tegaknya si nenek. Joko sendiri tampak celingukan. Dia tadi memang tidak perhatikan gerakan si kakek. Matanya hanya tertuju pada sosok si nenek yang menyongsong pukulan orang. Hingga dia sendiri tak tahu ke mana berkelebatnya si kakek berambut putih jabrik!
Selagi kedua orang ini tengah mencari-cari, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk tiga kali. Dayang Sepuh cepat berpaling ke kanan, sementara murid Pendeta Sinting menoleh ke samping kiri. Di depan sana, si kakek berambut putih terlihat tegak membelakangi dengan kepala tengadah. Kejap lain terdengar suara tawanya. Tanpa pikir panjang lagi Dayang Sepuh berkelebat. Bukan hanya itu saja. Dari jarak empat tombak kedua tangannya segera dikelebatkan melepas satu pukulan!
Wuutt! Wuutt!
Angin menggidikkan berkiblat. Semak belukar yang terlewati terlihat bergerak-gerak. Saat lain tanahnya rengkah. Ranggasan semak muncrat ke udara! Hebatnya ranggasan semak belukar langsung melesat pula mengikuti kiblatan angin ke arah kakek berambut putih jabrik!
Di depan sana, kakek berambut putih jabrik putuskan tawanya. Saat bersamaan dia membuat satu kali gerakan. Sosoknya membal ke udara. Membuat gerakan jungkir balik satu kali. Begitu sosoknya melayang turun dan membalik menghadap Dayang Sepuh, saat itu juga kedua tangannya bergerak. Dari kedua tangan si kakek melesat gelombang kabut tipis berwarna putih.
"Blammm!" Terdengar gelegar keras tatkala angin menggidikkan dihadang kabut tipis. Saat yang sama, ranggasan semak yang ikut melesat porak-poranda ambyar! Sosok Dayang Sepuh yang masih berkelebat di atas udara laksana ditahan kekuatan luar biasa. Hingga kalau saja si nenek tidak segera melayang turun, niscaya sosoknya akan terpental dan jatuh dengan punggung di atas rengkahan semak belukar!
Sementara sosok si kakek berambut putih jabrik terjajar satu setengah tindak ke sebelah samping. Walau sosoknya sedikit berguncang, tapi kakek ini sunggingkan senyum. Malah saat lain sosoknya sudah melompat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
"Wuuttt!" Satu lingkaran berwarna coklat tampak berputar-putar melesat ke arah Dayang Sepuh dengan perdengarkan desingan tajam. Dayang Sepuh mendelik perhatikan lingkaran coklat yang ternyata adalah tasbih pendek milik si kakek. Saat lain si nenek sentakkan kepalanya kesamping.
"Betttt!" Kelabangan rambut Dayang Sepuh berkelebat angker. Pita warna merah di ujung rambutnya terlepas. Bukannya luruh ke bawah, melainkan mencuat menyongsong putaran tasbih pendek!
"Trakkk!" Putaran tasbih pendek terhenti saat disongsong pita merah. Tasbih pendek dan pita warna merah sama melayang deras menghujam tanah. Namun dua jengkal lagi tasbih pendek menghantam tanah, kakek berambut putih jabrik dorong tangan kanannya. Tasbih pendek warna coklat tertahan dua jengkal di atas rengkahan tanah semak belukar. Saat lain kembali menderu ke arah Dayang Sepuh!
Mendapati hal demikian, si nenek tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera diangkat lalu membuat putaran dua kali di depan dada. Tiba-tiba kedua tangannya disentakkan ke atas.
"Wuuttt!" Pita merah yang sudah terhampar di atas rengkahan tanah semak sekonyong-konyong laksana disentak setan dan membubung kembali ke udara. Hebatnya saat itu juga ikatan pita merah lepas. Lalu melesat ke belakang mengejar tasbih pendek. Dayang Sepuh tertawa. Tangan kirinya segera mendorong. Tasbih pendek tertahan di udara. Saat itulah tiba-tiba pita merah yang melesat laksana ekor ular membelit tasbih pendek!
Si kakek berambut putih pendek ganti tertawa. Saat bersamaan kedua tangannya berputar-putar. Tasbih pendek di depan sana ikut berputar-putar keras seolah ingin lepaskan diri dari libatan pita merah. Dayang Sepuh membentak. Sosoknya melesat ke arah tasbih pendek dengan tangan kiri kanan terangkat siap melepas pukulan. Si kakek terlengak sesaat. Namun segera pula jejakkan kaki. Sosoknya ikut pula berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya diangkat.
Setengah depa lagi mendekati tasbih pendek, tangan kanan Dayang Sepuh berkelebat dari atas menghantam tasbih pendek. Sementara tangan kiri melesat dari arah bawah hendak menarik pita merahnya yang masih melibat tasbih pendek coklat. Si kakek tidak berdiam diri. Dia juga cepat kelebatkan tangan kanan untuk menghadang pukulan tangan kanan si nenek. Sementara tangan kiri meng- hantam ke arah pita merah yang hendak ditarik si nenek.
Prakkk! Brettt!
Hantaman tangan kanan Dayang Sepuh tepat men- genai tasbih pendek. Namun bersamaan itu tangan si kakek tepat menghantam pita merah si nenek. Tasbih pendek warna coklat milik si kakek berambut putih jabrik langsung pecah semburat. Di lain pihak, pita merah milik Dayang Sepuh luruh ke bawah. Sesaat memang tampak utuh, tapi belum sampai pita merah terhampar di atas rengkahan tanah semak, pita merah telah hancur dan semburat terkena bias hantaman tangan kanan Dayang Sepuh dan pukulan tangan kiri kakek berambut putih jabrik!
“Setan! Kau hancurkan pita merahku!” teriak Dayang Sepuh. Masih berada di atas udara, kaki kanannya membuat gerakan menendang ke arah si kakek yang juga masih di atas udara. Si kakek berambut jabrik putih tidak mau menunggu. Saat itu juga kaki kanannya bergerak!
"Bukkk!" Sosok Dayang Sepuh terputar di atas udara. Namun si nenek begitu sosoknya menghadap kembali ke depan, kaki kirinya melesat melepas tendangan!
Si kakek yang juga terputar, cepat pula angkat kaki kirinya. Lalu menghadang tendangan dengan sentakkan kaki kiri!
"Bukkk!" Untuk kedua kalinya terjadi saling tendang di atas udara. Sosok Dayang Sepuh kali ini mental lalu jatuh terduduk di atas rengkahan tanah. Di lain pihak, sosok si kakek mencelat lalu jatuh dengan kaki tertekuk! Paras kedua kakek-nenek ini sama berubah pias.
Murid Pendeta Sinting yang sejak tadi hanya diam melihat, segera melompat hendak mendekat ke arah Dayang Sepuh. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak terdengar orang perdengarkan suara laksana bersyair.
***
ENAM
"AKU datang bersama angin. Aku datang dengan naungan matahari dan rembulan. Aku datang dari lembah kegelapan. Hamparan bumi akan jadi saksi mati. Saksi dari tumpahnya darah anak manusia!"
Ucapan bersyair belum selesai, satu sosok tubuh te-lah berkelebat dan di hadapan murid Pendeta Sintingtelah tegak seorang pemuda berparas tampan berambut panjang lebat dengan dagu kokoh dan mata tajam. Pemuda ini mengenakan mantel besar berwarna hitam.
“Anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!” kata si pemuda yang bukan lain adalah pemuda yang beberapa waktu lalu sebutkan diri sebagai Malaikat Berkabung. (Kemunculan pertama kali pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Nyai Tandak Kembang).
“Kepastian yang ditentukan padaku mengharuskan kita berjumpa lagi! Ini berarti takdir telah sampai!”
Sembari berkata, Malaikat Berkabung bukannya memandang ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan berpaling pada Dayang Sepuh yang masih terduduk di atas rengkahan tanah semak belukar. Namun cuma sekejap. Saat lain si pemuda arahkan pandang matanya pada kakek berambut putih jabrik yang Juga masih di atas tanah. Untuk beberapa saat si pemuda memperhatikan. Lalu tersenyum.
“Anak setan ini sudah berada di sini pula!” desis Dayang Sepuh melihat kehadiran Malaikat Berkabung. “Dari senyumnya pada setan Jabrik tadi, tampaknya mereka berdua sudah saling kenal!”
Dayang Sepuh arahkan pandangan pada murid Pendeta Sinting. “Mengapa Setan geblek satu itu hanya diam seperti setan tolol?!” Entah karena tak sabaran melihat murid Pendeta Sinting yang hanya diam dengan mulut terkancing, si nenek cepat bangkit lalu menghardik.
“Setan geblek! Kenapa kau diam saja, hah?!”
Pendekar 131 baru tersenyum. Lalu angkat bicara tanpa memandang pada Malaikat Berkabung yang kini telah hadapkan wajah ke arahnya. “Apa yang harus dikatakan pada setan Malaikat seperti dia, Bibi?!”
Rahang Malaikat Berkabung mengembung besar. “Memang tak ada gunanya kau mengatakan sesuatu! Tapi bukan berarti kau harus kancingkan mulut tidak jawab pertanyaanku!”
“Hem.... Jadi kau mau bertanya padaku?! Tentang apa...?! Takdirmu?!” tanya murid Pendeta Sinting lalu buka telapak tangan kirinya dan didekatkan pada wajah. Saat lain Pendekar 131 sudah berucap lagi.
“Wah.... Takdirmu jelek, Malaikat! Pertama. Kau akan menemui kegagalan untuk kedua kalinya dalam mendapatkan gadis yang kau cari! Kedua....” Murid Pendeta Sinting gerak-gerakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri dengan kening berkerut. Lalu memandang pada Malaikat Berkabung dan lanjutkan ucapan.
“Kedua. Kelak kau akan beristri seorang nenek-nenek. Ketiga. Ini yang paling tidak enak. Kelak kau akan mati sengsara karena nenek-nenek istrimu punya kekasih baru! Dan satu lagi. Kau....”
“Setan! Mengapa kau sebut-sebut diriku dalam ramalan setanmu itu!” Dayang Sepuh menukas dengan bentakan.
“Ah.... Yang kumaksud nenek-nenek bukan kau, Bibi! Tapi nenek-nenek bangsa setan seperti dia!” kepala murid Pendeta Sinting bergerak ke arah Malaikat Berkabung.
“Oh.... Begitu?!” ujar si nenek seraya melongo. Lalu rapikan geraian poni rambutnya dan lanjutkan uca-pan. “Kasihan juga nasibnya kelak... Mati mengenaskan karena ditinggal bercinta oleh istrinya yang nenek-nenek! Hik Hik Hik...!” Kepala Dayang Sepuh menghadap pada Malaikat Berkabung. Lalu beralih pada Joko dan bertanya.
“Kau tahu mengapa dia ditinggal bercinta istri nenek-neneknya?! Coba lihat di tanganmu apa pangkal sebabnya!”
Murid Pendeta Sinting nyengir pada Malaikat Berkabung lalu berpaling pada tangan kirinya. Sementara tangan kanan bergerak menggurat di atas telapak tangan kiri dengan kening mengkerut. Saat lain dia angkat kepalanya menghadap Malaikat Berkabung dan berkata.
“Wah... Tak baik bila dikatakan di sini, Bibi! Karena jika ada orang lain mendengar dan sampai tersebar, takdirnya akan makin buruk saja!”
“Hem.... Di sini tak ada orang lain! Katakan saja terus terang! Kalaupun ada yang mendengar, mungkin hanya setan beneran yang tidak kelihatan mata!”
Pendekar 131 mendongak. “Dia... Dia tidak bisa diajak bermesraan....”
“Hem.... Maksudmu dia main sambar saja, begitu?!” tanya Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan.
“Bukan, bukan itu maksudku! Maksudku... Buyung... Buyung kecilnya tak mau diajak bersenang- senang!”
“Setan! Kau pikir dia sudah punya anak? Lalu apa hubungan anak dan senang-senang dengan istri nenek-neneknya yang kelak akan meninggalkannya?!”
“Ah.... Maksudku bukan anak, Bibi! Buyung kecil adalah tongkat ajaib yang suka bersenang-senang jika melihat perempuan mulus!”
“Setan betul! Seandainya kau katakan senjata begitu saja aku tak akan kebingungan!” ujar Dayang Sepuh sambil cekikikan. “Kalau buyung kecilnya tak mau diajak senang-senang berarti buyung kecilnya....”
“Harap tidak teruskan, Bibi! Jika didengar orang, nenek-nenek pun kelak tidak ada yang akan mau dipersunting!”
“Benar juga... Nenek-nenek pun mana ada yang mau diambil istri kalau buyungnya sekarat?! Hik Hik Hik...!”
Mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh, sejak tadi pelipis kanan kiri Malaikat Berkabung tampak bergerak-gerak. Namun pemuda ini masih coba menahan diri untuk tidak buka mulut atau membuat gerakan. Tapi begitu didengarnya ucapan-ucapan kedua orang itu ngelantur, Malaikat Berkabung tak dapat lagi menahan ledakan dadanya. Hingga begitu si nenek selesai berucap, Malaikat Berkabung angkat tangan kanannya dengan telapak dikembangkan. Lalu jari tengah kedua tangannya ditemukan.
Saat lain, seraya perdengarkan bentakan dahsyat, kedua tangannya didorong kearah Pendekar 131! Kabut hitam tipis melesat perdengarkan deruan angker. Ranggasan semak yang tersapu tampak membubung ke udara. Hebatnya ranggasan semak itu tiba-tiba berputar-putar, saat lain melesat mengikuti kabut tipis dan sudah membentuk bundaran!
“Hem.... Jadi yang membuat ulah di sebelah sana tadi adalah dia!” gumam Joko melihat bundaran dari ranggasan semak yang ikut berkelebat mengikuti kabut hitam tipis.
“Setan sialan! Jadi kau yang tadi berlaku kurang ajar membokongku!” Dayang Sepuh sudah berteriak mendapati apa yang terjadi.
Di seberang depan sana, murid Pendeta Sinting cepat angkat kedua tangannya. Melihat ganasnya puku-lan orang, Joko tak mau bertindak ayal. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat itu juga mendadak kedua tangannya berubah warna menjadi semburat kekuningan. Pertanda jika dia hendak melepas pukulan ‘Lembur Kuning’.
Wuutt! Wuuuut!
Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak ke depan. Satu sinar kuning berkiblat, lalu satu gelombang luar biasa dahsyat menggebrak dibarengi menghamparnya hawa panas menyengat.
"Blammm!" Kesunyian hutan disentak dengan gelegar hebat. Tanah hutan di sekitar bentroknya pukulan bergetar keras. Udara yang mulai temaram seketika laksana ditelan malam karena hamburan tanah dan dedaunan. Disusul terdengarnya derakan dan tumbangnya beberapa pohon.
Kabut hitam tipis berserakan di udara. Bundaran ranggasan semak langsung pecah. Sementara gelombang dan sinar kuning ambyar berantakan. Sosok murid Pendeta Sinting dan Malaikat Berkabung sama-sama terpental lima langkah ke belakang. Paras keduanya sama berubah pucat pasi. Namun belum sampai semburatan tanah luruh sirna, kedua tangan Malaikat Berkabung bergerak sibakkan mantel hitamnya. Saat itu juga sosoknya melesat menerobos luruhan tanah.
Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera jejakkan kedua kakinya. Sosoknya tiba-tiba melayang ke depan menyongsong sosok Malaikat Berkabung. Karena suasana masih pekat, tidak terlihat apa yang terjadi di udara. Hanya saja, begitu sosok murid Pendeta Sinting melesat menghadang, terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Kejap kemudian dari luruhan tanah yang menghambur turun, terlihat sosok Malaikat Berkabung dan Pendekar 131 mencelat lalu sama jatuh terduduk!
Murid Pendeta Sinting tampak pejamkan sepasang matanya dengan mulut megap-megap dan dada bergerak keras turun naik. Kedua tangannya bergetar. Wajahnya laksana tidak berdarah. Di seberang depannya, Malaikat Berkabung kancingkan mulut rapat-rapat namun kedua tangannya memegangi perutnya dengan tubuh sedikit ditekuk ke depan. Jelas pemuda ini bertahan agar dia tidak muntah. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Malaikat Berkabung perdengarkan dengusan keras. Lalu bergerak bangkit dengan mata nyalang ke arah murid Pendeta Sinting yang juga tengah beranjak tegak.
“Setan geblek! Kau tidak apa-apa?!” tanya Dayang Sepuh merasa khawatir dengan keadaan Pendekar 131.
Joko tersenyum meski dadanya masih terasa nyeri. Lalu berujar. “Bibi... Aku tahu dan merasa jika takdirku bukan sekarang waktunya! Kalaupun aku terluka parah, kemungkinan hidup masih ada! Namun tidak demikian halnya dengan sahabat kita satu itu. Aku khawatir tanpa terluka pun dia tidak punya kemungkinan untuk hidup! Jadi sebenarnya percuma saja dia melakukan ini! Lagi pula sebelumnya tidak ada pangkal sengketa!”
“Setan! Kau bilang tidak ada pangkal sengketa?! Dia telah berlaku kurang ajar membokongku dengan mainan bolanya.. Dia telah membuka pangkal sengketa denganku!”
Malaikat Berkabung putar diri menghadap Dayang Sepuh. Matanya berkilat-kilat. Saat lain dia telah membentak garang. “Aku menyesal tidak membunuhmu saat itu juga, Nenek Muka Badak! Namun aku tak mau menyesal dua kali! Lagi pula kepastianmu sudah tiba!”
Dayang Sepuh tertawa cekikikan panjang. “Aku tahu apa sebabnya kau sejak tadi selalu marah-marah dan ingin membunuh orang! Kau kecewa dengan buyung kecilmu bukan? Hik Hik Hik...! Seharusnya kau bersabar, Setan! Itulah kepastian nyata yang harus kau terima! Dan jangan cemas. Walau aku tahu buyungmu tidak bisa bersenang-senang, tapi aku akan merahasiakan ini! Hik Hik Hik...! Kau juga tak perlu khawatir. Karena sebenarnya aku tahu ba- gaimana cara menyembuhkan buyung kecilmu! Kau mau tanya bagaimana caranya?!”
Malaikat Berkabung tidak menyahut. Sebaliknya cepat angkat kedua tangannya dengan telapak dikembangkan. Namun sebelum bergerak lebih jauh, orang tua berambut putih jabrik yang sedari tadi hanya memandang dan mendengarkan, segera angkat suara.
“Dia bagianku! Selesaikan saja anak manusia satunya!”
Dayang Sepuh putar diri setengah lingkaran menghadap kakek berambut putih jabrik. Matanya jelalatan pandangi orang dari rambut sampai kaki seolah belum pernah bertemu sebelumnya. “Kau sejak semula juga menginginkan nyawa orang. Jangan-jangan buyung kecilmu juga sudah sekarat! Atau barangkali kau sejak lahir tak punya buyung kecil untuk mainan hingga kau hendak membuat mainan nyawa orang, he?!”
“Bukan begitu, Bibi!” sahut murid Pendeta Sinting seraya pandangi tangan kirinya. “Menurut yang terlihat di sini, sebenarnya dia punya buyung kecil, namun terlalu kecil sekali bahkan hampir tidak kelihatan....” Murid Pendeta Sinting tertawa sebentar sebelum akhirnya melanjutkan ucapan. “Sementara telurnya sungguh amat besar! Hingga bentuknya lucu! Herannya dia tidak mensyukuri kelucuan langka itu. Hingga dia tidak mengambil istri. Padahal kalau dia mau beristri, istrinya pasti akan gemas dan tiap hari akan selalu tertawa menangis!”
Tampang si kakek berambut putih jabrik langsung berubah garang. Tanpa berkata apa-apa lagi dia melompat ke arah Dayang Sepuh. Bersamaan itu, Malaikat Berkabung juga membuat gerakan dan tahu-tahu telah tegak hanya sejarak empat langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
“Sebenarnya apa maumu, Malaikat?!” Murid Pendeta Sinting berucap seraya diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
“Kau terlambat untuk bertanya! Jadi jawabannya akan kau dapatkan begitu nyawamu putus!”
“Kau percaya nyawaku akan putus hari Ini?!”
Malaikat Berkabung tidak menjawab. Dia tersenyum dingin. Lalu mendadak dia tekuk sedikit kedua lututnya. Saat lain sosoknya menyergap ke arah Joko dengan kedua tangan menghantam. Tangan kanan berkelebat ke arah lambung, tangan kiri melesat ganas ke arah pelipis. Bukan sampai di situ, bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan, kaki kiri kanannya membuat gerakan menendang!
Mendapat serangan empat pukulan sekaligus, murid Pendeta Sinting cepat sentakkan tubuhnya ke bela-kang hingga punggungnya sama rata dengan tanah. Dalam posisi telentang begitu rupa, kedua kaki Joko cepat bergerak ke atas. Sementara kedua tangannya yang bebas segera lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh!
Malaikat Berkabung sempat terkesiap. Dia mungkin masih bisa menghadapi gerakan kedua kaki Joko. Namun mungkin dia akan kesulitan untuk menghadang pukulan jarak jauh. Maka dengan cepat dia tarik pulang kedua tangannya. Kejap lain dia sentakkan lagi menghadang pukulan tangan kosong jarak jauh Joko.
Bukkk! Bukkk!
Tendangan kedua kaki Malaikat Berkabung menghantam kedua kaki Joko. Saat bersamaan terdengar derakan keras ketika pukulan jarak jauh murid Pendeta Sinting bentrok dengan pukulan jarak jauh Malaikat Berkabung. Karena bentroknya pukulan terlalu dekat, sosok Malaikat Berkabung yang berada di atas udara langsung terbang setinggi lima tombak. Di lain pihak, sosok Joko mental bergulingan sampai dua tombak. Darah segar tampak mengucur dari mulut Pendekar 131.
Di atas udara, sosok Malaikat Berkabung melayang berputar ke bawah. Sebelum tubuhnya jatuh ke atas tanah, mulutnya mengembung lalu muncratkan darah! Namun begitu sosoknya terjerembab, laksana tidak mengalami luka dalam, sembari usap lelehan darah dimulutnya, Malaikat Berkabung bergerak bangkit. Sejenak memang terhuyung-huyung. Tapi begitu keduatangannya sibakkan mantel hitamnya, sosoknya telah tegak laksana dipacak! Matanya makin garang berkilat. Kedua tangannya yang bergetar mengepal.
Murid Pendeta Sinting sesaat terkesiap melihat Malaikat Berkabung sudah bangkit. Padahal dia masih merasakan dadanya sesak dan aliran darahnya laksana tersumbat. Namun mendapati orang sudah bangkit bahkan sudah siap lepaskan pukulan, murid Pendeta Sinting tidak pedulikan lagi luka dalamnya. Dia cepat pula berdiri. Baru saja Joko bangkit berdiri, di seberang samping terdengar benturan keras. Malaikat Berkabung yang sudah hendak lepaskan pukulan urungkan niat dan berpaling. Pendekar 131 ikut-ikutan menoleh.
Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar kembali benturan keras bertubi-tubi. Ternyata Dayang Sepuh dan kakek berambut putih jabrik tengah saling tendang dan adu tangan di atas udara. Hebatnya, begitu sosok masing-masing orang mental ke belakang, keduanya segera sentakkan bahu masing-masing. Hingga saat itu juga sosok keduanya kembali melesat ke depan. Lalu kembali saling tendang. Begitu seterusnya hingga untuk beberapa saat tempat itu dibuncah dengan suara benturan berkali- kali. Suara benturan baru lenyap ketika sosok keduanya mencelat jauh. Lalu sama melayang limbung dari jatuh di atas ranggasan semak.
Dayang Sepuh coba bergerak-gerak bangkit dengan berusaha katupkan mulut agar erangannya tidak terdengar. Namun tak urung, karena sakitnya bukan alang kepalang, si nenek akhirnya tak kuasa katupkan mulut. Tapi karena tak mau terdengar mengerang, meski terasa sakit luar biasa pada sekujur tubuh apalagi kedua kaki dan tangannya, si nenek menyumpah-nyumpah.
“Setan! Setan! Setan!”
Di seberang lain, kakek berambut putih jabrik mulai tegak terbungkuk-bungkuk dengan kedua tangan menakup mulutnya. Dari sela jarinya terlihat rembesan darah!
Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting, ekor mata Malaikat Berkabung melirik ke arahnya. Saat bersamaan tiba-tiba kedua tangan Malaikat Berkabung telah menyentak ke depan. Hingga saat itu juga kabut hitam tipis kembali menyeruak dan melesat menggidikkan ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting sesaat terlengak kaget. Terlambat baginya untuk menghadang pukulan orang. Kalaupun dia masih sempat bergerak dan menghadang, maka dia tak akan dapat menghindar dari bias bentroknya pukulan yang lebih dekat ke arahnya. Murid Pendeta Sinting tak mau ambil risiko lebih besar dengan tanpa membuat hadangan, meski dia sadar tak mungkin lagi dapat menghindar dari bias bentroknya pukulan. Maka dengan cepat dia sentakkan kedua tangannya melepas kembali pukulan ‘Lembur Kuning’.
Namun belum sampai sinar kuning dan gelombang dahsyat yang disertai hawa panas melesat keluar dari kedua tangan Joko, mendadak terdengar orang bersin tiga kali berturut-turut. Lalu tiga gelombang angin deras mencuat dari semak belukar.
Bummm! Bummm! Bummm!
Kabut hitam tipis dari Malaikat Berkabung porak-poranda. Sosok Malaikat Berkabung terjajar enam langkah dan terhuyung hampir roboh.
“Bruss! Brusss! Heran... Heran... Ada apa ini?! Semua mulut sama belepotan darah! Sementara yang di sana sama main petak umpet di semak-semak!” Ter-dengar orang bersin lalu disusul dengan terdengarnya ucapan.
Ucapan orang belum selesai, dua sosok tubuh tampak melangkah terbungkuk-bungkuk dari balik semak. Tangan kiri masing-masing orang ini memegang bumbung bambu. Sedangkan tangan kanan memegang ilalang!
***
TUJUH
KITA kembali sejenak pada lembah sebelum kedatangan orang tua berambut putih jabrik, serta Dayang Sepuh, dan Pendekar 131 yang mengikuti si kakek. Seperti diketahui, begitu menemukan lobang di bawah gugusan batu di tengah lembah, Kigali meminta Pitaloka untuk menunggu di sekitar lobang sementara dirinya masuk ke dalam lobang. Begitu jejakkan kaki di bawah lobang, Kigali cepat pentangkan mata lalu melirik dengan kepala diputar perlahan-lahan. Dia memang sudah tidak mendengar suara makian atau jeritan menyayat. Namun dia masih bisa menangkap desahan napas berat.
Tempat di mana sekarang Kigali berada adalah sebuah ruangan agak luas yang di sana-sini terlihat banyak tonjolan batu. Di sebelah pojok kanan terlihat pancuran air kecil. Disekitarnya tampak dua batang pohon tidak begitu tinggi berdaun agak lebat. Di bagian kiri air pancuran, terdapat tempat agak terbuka yang ditumpuki jerami kering. Untuk beberapa saat Kigali perhatikan tumpukan jerami.
“Bagian tengah jerami itu tampak melesak ke bawah. Pertanda jerami itu ditempati orang! Hem... Beberapa puluh tahun silam berkeliaran di sekitar tempat ini, tidak kuduga kalau di tempat ini ada penghuninya! Siapa dia...?!” Kigali terus perhatikan tempat di sekitar pancuran air.
Dan diam-diam sepasang mata besar tampak mendelik dari balik lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air mengawasi gerak-gerik Kigali. Pemilik mata ini menahan diri untuk tidak perdengarkan suara atau membuat gerakan. Bahkan dia sengaja menahan napas.
“Kek.... Bagaimana?! Aku bisa turun?!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dari atas.
Kigali melangkah agar bisa melihat Pitaloka. Lalu tengadah. Dia sebenarnya sedikit bimbang. Karena dia belum tahu siapa penghuni tempat di bawah lobang. Namun karena khawatir ada orang lain di lembah, akhirnya Kigali memutuskan untuk menyuruh Pitaloka turun ke bawah. Tapi baru saja Kigali hendak buka mulut, satu suara terdengar.
“Siapa kau, Orang Asing?!”
Kigali cepat berpaling. Walau dia tadi sudah menduga adanya orang di tempat itu, namun tak urung Kigali merasa terkejut. Matanya segera perhatikan ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air dari mana suara tadi terdengar. Meski Kigali belum bisa jelas melihat sosok orang yang perdengarkan suara, dia segera berucap dengan nada rendah.
“Maafkan jika kedatangan kami mengganggumu!
Aku adalah Kigali....”
“Kau manusia suruhan bangsat keparat itu bukan?! Jangan pikir aku menyerah begitu saja! Kalaupun aku harus tewas, namun aku tak mau mampus sendiri! Kau akan kubawa serta!” Suara itu terdengar bergetar dan makin keras.
Kigali berpikir sesaat. Dari ucapan orang dia sedikit banyak telah tahu apa yang dialami orang. Seraya terus arahkan pada lebatnya dedaunan, dia angkat suara. “Maaf. Aku bukan suruhan siapa-siapa. Kalaupun aku sampai datang ke tempat ini, itu adalah satu kebetulan belaka! Karena begitu aku memasuki...”
Belum selesai Kigali teruskan ucapan, terdengar suara memotong. “Kau jangan berkata dusta! Mengapa bangsat keparat itu tidak datang sendiri mengantar nyawanya?! Dia takut?!” Lalu terdengar suara tawa panjang.
Pitaloka yang masih berada di sekitar lobang atas tampak tajamkan telinga untuk simak percakapan orang. Dia sesekali rundukkan tubuh untuk melihat siapa orang yang bicara dengan Kigali. Namun tidak melihat sosok lain di bawah walau dia sudah beberapa kali melangkah mengitari lobang dengan kepala merunduk. Hingga akhirnya gadis saudara kembar Putri Kayangan ini duduk di bibir lobang sambil mendengarkan.
“Dengarlah, Sahabat!” kata Kigali. “Aku tidak tahu menahu urusanmu. Sekali lagi kami datang hanya karena kebetulan. Dan kalau kau keberatan atas kedatanganku, aku akan tinggalkan tempat ini!”
Sesaat tak ada sahutan suara. Kigali tengadahkan kepala ke arah lobang. Lalu diluruskan lagi ke arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air. Saat lain dia berkata lagi.
“Aku datang bersama anak perempuanku... Sebenarnya kami tengah mencari tempat untuk berlindung. Sebelum ini kami bertempat di hutan sebelah timur lembah ini.”
“Katakan siapa kau sebenarnya?!” Terdengar lagi suara dari lebatnya dedaunan.
“Aku hanyalah orang tua biasa.... Terlalu tolol jika orang seusiaku masih harus menjadi suruhan orang apalagi dalam urusan yang berkaitan dengan nyawa manusia. Dan kalaupun aku menjadi suruhan orang, tak mungkin hal itu akan kulakukan!”
“Lalu mengapa kau cari tempat untuk berlindung?! Sebagai orang biasa tak mungkin kau punya urusan dengan orang hingga sampai mencari tempat berlindung! Lalu caramu menghancurkan batu penutup di atas sana membuatku belum percaya dengan keteranganmu!”
“Setiap manusia tak bisa lepas dari urusan. Baik itu orang biasa atau orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan. Bahkan tak jarang orang harus terlibat urusan padahal orang itu tidak membuat urusan! Tentang bagaimana caraku menghancurkan batu di atas sana, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan!”
“Apa sebenarnya urusanmu?!”
Kigali terdiam beberapa lama. Kembali dia tengadah seolah minta persetujuan dari Pitaloka. Rupanya Pitaloka yang bisa melihat gerak-gerik Kigali dan mendengarkan pembicaraan dapat menangkap maksud orang. Hingga dia segera berkata.
“Kek! Katakan saja apa urusan kita!”
Kigali menghela napas sebelum akhirnya berkata. “Anak perempuanku itu sekarang tengah mengandung. Dia perlu istirahat. Sementara akhir-akhir ini di dalam hutan sana, yang biasanya tidak pernah dirambah orang entah apa sebabnya tiba-tiba banyak orang bermunculan. Karena kami tak mau terlibat urusan, apalagi kulihat orang yang muncul adalah dari kalangan orang persilatan, terpaksa kami harus mencari tempat baru yang lebih tenang, sekaligus agar tidak ikut terlibat urusan orang! Karena biasanya, kemunculan beberapa orang rimba persilatan pasti membawa urusan!”
“Rupanya saatnya telah tiba!”
Tiba-tiba terdengar gumaman pelan dari lebatnya dedaunan membuat Kigali merasa heran namun juga terkejut. Dia belum bisa menjabarkan apa maksud ucapan orang. Hingga dia segera berucap. “Apa maksud ucapanmu?”
Tidak terdengar sahutan, sebaliknya lebatnya dedaunan bergerak-gerak. Saat lain muncullah satu sosok tubuh. Kigali perhatikan dengan seksama. Sosok yang muncul dari balik lebatnya dedaunan adalah seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya putih panjang dan awut-awutan. Sepasang matanya besar dan tampak berwarna agak merah. Dia mengenakan jubah yang sudah sangat kumal. Parasnya cekung dan putih pucat laksana mayat. Kuku jari kedua tangan dan kakinya panjang dan hitam-hitam.
Kigali memperhatikan dengan mata membeliak tak berkesip. Dadanya berdebar keras. Bukan karena tampang dan sosok si perempuan yang pancarkan keangkeran, namun pada gerak-gerik orang. Begitu muncul dari lebatnya dedaunan, si nenek bukannya tegak berdiri dan melangkah, namun dia muncul dengan menyeret tubuhnya dengan pantat dijadikan sebagai tumpuan. Nenek ini baru hentikan seret tubuhnya di dekat pancuran air karena tempat itu menurun dan ditonjoli batu-batu tak beraturan.
Si nenek memandang pada Kigali dengan seksama. Lalu menoleh pada jerami di seberang. Untuk mencapai jerami, si nenek harus melompat berjarak tiga tombak karena dipisahkan oleh pancuran air. Entah karena mengerti apa arti pandangan orang, Kigali hendak melangkah mendekat bermaksud menolong si nenek untuk sampai pada tempat yang ditumpuki jerami kering. Namun belum sampai Kigali teruskan tindakan, si nenek sudah perdengarkan suara.
“Jangan bergerak dari tempatmu! Suruh saja anak perempuanmu turun!” Bersamaan dengan itu si perempuan berjubah kumal gerakkan bahunya ke bawah. Tiba-tiba sosoknya melesat dan saat lain telah duduk di atas tumpukan jerami Kering.
Kigali menatap sejenak. “Bukan orang sembarangan...” katanya dalam hati lalu tengadah.
Baru saja kepala Kigali mendongak, Pitaloka yang dapat mendengar suara orang segera melompat turun dengan kedua tangan menakup menahan perutnya yang telah membesar. Kigali terkesiap kaget. Dia buru-buru melompat untuk menahan layangan tubuh Pitaloka. Dan menyergap seraya bergumam.
“Seharusnya kau berhati-hati, Anakku!”
Pitaloka hanya tersenyum lalu anggukkan kepala. Saat lain gadis cucu Nyai Tandak Kembang yang juga saudara kembar Putri Kayangan ini arahkan pandang matanya ke depan. Dia sempat terkesiap dan hendak surutkan langkah melihat keangkeran wajah orang yang duduk di atas jerami kering.
Sementara si nenek langsung sengatkan sepasang matanya pada perut Pitaloka. Baru kemudian memperhatikan paras wajah si gadis. Dia perdengarkan gumaman tak jelas. Lalu perdengarkan tanya.
“Sudah berapa bulan kandunganmu, Anak Gadis?!”
Mungkin masih terkesima melihat paras orang, Pitaloka tidak segera menjawab pertanyaan orang.
Kigali putar tubuh lalu buka mulut. “Sebenarnya masih dua bulan kurang... Namun aku sendiri tak tahu mengapa sudah begitu besar...”
“Aku tahu...” ujar si nenek pelan dengan manggut- manggut. “Mendekatlah kalian kemari! Ada yang harus kita bicarakan!”
Pitaloka dan Kigali saling pandang. Namun begitu Kigali anggukkan kepala dan mulai melangkah mendekati si nenek, Pitaloka ikut melangkah di belakang Kigali dengan dada dipenuhi pertanyaan tak terjawab.
“Untung kalian datang ke tempat yang benar...” Berkata si nenek sambil terus memandang ke arah Pitaloka.
Pitaloka makin tak enak dipandangi begitu rupa, namun dia teruskan juga melangkah.
“Kau duduklah di atas batu itu,” kata si nenek pada Kigali. “Dan kau duduklah di atas jerami!” sambung si nenek dengan arahkan pandang matanya kembali pada Pitaloka.
Tanpa berkata menyahut, Kigali turuti permintaan orang. Dia mengambil tempat di atas batu di sebelah tumpukan jerami. Sementara Pitaloka sempat hentikan langkah dan memandang silih berganti pada Kigali dan nenek di atas jerami.
“Tak usah curiga.... Tampangku memang sudah harus begini meski aku juga sebenarnya tak menginginkan! Keadaanlah yang membuat semuanya berubah....” Berkata si nenek dengan suara bergetar. Ada nada kecewa di dalam suaranya, membuat Pitaloka tak ragu lagi untuk teruskan langkah lalu perlahan-lahan duduk diatas jerami tidak jauh dari si nenek.
“Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?!” tanya Kigali membuka pembicaraan.
“Nanti akan kujelaskan semuanya! Sekarang harap kau Jawab pertanyaanku tanpa sembunyikan sesuatu!” kata si nenek dengan suara pelan. Nadanya sangat beda dengan ketika menegur Kigali untuk pertama kalinya saat Kigali turun melalui lobang. “Kurasa kita bernasib sama walau urusannya berbeda....”
Si nenek sesaat hentikan ucapan sebelum akhirnya berkata lagi. “Betul dia adalah anakmu?” tanya si nenek sambil berpaling pada Kigali.
“Hem... Rasanya tidak ada gunanya menutup-nutupi urusan ini! Siapa pun dia adanya yang pasti dia orang yang tengah menghadapi nasib kurang baik! Tak mungkin dalam keadaan begitu orang akan mencelakakan orang lain...”
Berpikir begitu, akhirnya Kigali buka mulut menjawab. “Dia sebenarnya bukan anakku. Kira-kira dua purnama yang lalu aku bertemu dengannya di hutan sebelah timur lembah ini.”
“Apakah dia sudah bersuami?!”
Paras wajah Pitaloka tampak berubah merah padam. Sementara Kigali sedikit merasa kaget mendengar pertanyaan orang. Dia terdiam untuk beberapa lama. Dia melirik pada Pitaloka. Namun yang dilirik tengah perhatikan kuku-kuku panjang dan hitam kedua tangan dan kaki si nenek. Pitaloka sebenarnya tidak benar-benar memperhatikan kuku-kuku itu, namun coba mengalihkan wajahnya dari pandangan orang untuk sembunyikan perasaan.
Tiadanya sahutan membuat si nenek maklum. Lalu berkata. “Maaf. Bukannya aku mau menyinggung. Tapi aku perlu kejelasan. Jika tidak, kau nanti juga tidak akan mendapatkan keterangan berarti!”
“Dia memang belum punya suami!” Akhirnya Kigali menjawab.
Si nenek alihkan pandangan matanya pada Pitaloka. “Siapa namamu, Nak?”
Perlahan-lahan Pitaloka angkat kepalanya. Agak lama dia baru menjawab.“Pitaloka...”
“Kau punya saudara kembar?!”
Baik Kigali maupun Pitaloka tersentak kaget. Pitaloka anggukkan kepala. Untuk pertama kalinya bibir si nenek tampak tersenyum. Lalu berujar pelan namun membuat Kigali dan Pitaloka makin heran.
“Aku dapat menduga apa yang telah terjadi... Namun masih ada yang harus kuketahui sebelum aku memberi keterangan pada kalian tentang diriku!” Si nenek arahkan pandangan pada Kigali. “Kau mengatakan telah beberapa orang kalangan rimba persilatan yang tiba-tiba muncul di hutan sebelah timur. Kau sempat bertatap muka dengan mereka?!”
Dada Kigali berdebar. Diam-diam dia membatin. “Bagaimana harus kujawab? Pitaloka akan mengetahui kebohonganku jika sampai si nenek ini bertanya siapa saja orang yang sempat kutemui...!”
Seperti diketahui, selama ini Kigali memang berdusta pada Pitaloka tentang siapa saja yang sempat dijumpainya. Dia hanya sempat mengatakan bertemu dengan Datuk Wahing. Dan menyembunyikan pertemuannya dengan Nyai Tandak Kembang, Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, dan juga tidak mengatakan pernah melihat seorang gadis berbaju merah dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Putri Kayangan dan Pendekar 131 Joko Sableng walau Kigali sendiri tak sempat bertatap muka dengan keduanya. Setelah dipikir agak lama, akhirnya Kigali berkata juga.
“Aku memang bertemu dengan beberapa orang dari kalangan rimba persilatan. Namun rasanya aku tidak mengenali siapa mereka! Mungkin hanya seorang yang kukenali. Itu saja Pitaloka yang memberi keterangan siapa dia adanya!”
“Tapi kau sempat melihat mereka bukan?!”
Dada Kigali makin berdebar. Dia khawatir kalau si nenek minta penjelasan ciri-ciri orang yang dijumpainya. Namun setelah memutuskan akan menyimpan orang yang ada hubungannya dengan Pitaloka, Kigali angkat bicara.
“Aku memang sempat melihat mereka....” Mata Kigali melirik pada Pitaloka dengan dada makin tak enak. Dia menunggu ucapan si nenek dengan gelisah.
“Apa di antara mereka kau melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian selempang putih dengan dada kanan terbuka?! Orang ini memakai kalung panjang dari butiran kayu warna coklat. Tangan kanannya memegang tasbih pendek juga berwarna coklat. Rambutnya putih pendek dan tegak-tegak! Biasanya dia bersama seorang pemuda bermantel hitam!”
Mendengar pertanyaan si nenek, Kigali menarik napas lega. Lalu dengan cepat dia menjawab. “Aku tidak bertemu dengan orang yang kau sebut!”
Si nenek anggukkan kepala namun raut mukanya berubah. Matanya sedikit mendelik. Kigali dapat menangkap bayangan kemarahan di wajah orang. Hingga buru-buru ia berujar. “Aku mengatakan apa adanya! Aku memang tak pernah bertemu dengan orang yang ciri-cirinya kau katakan tadi!”
“Aku percaya... Tapi bangsat keparat itu pasti akan datang!”
“Siapa mereka...?! Mengapa kau bisa memastikan mereka pasti datang?! Apa ini ada kaitannya dengan kedatanganku di sini?!” tanya Kigali. Kembali dadanya dibuncah dengan perasaan tidak enak. Apalagi tatkala teringat ucapan si nenek jika mereka beruntung datang ketempat yang benar dan waktunya sudah tiba.
“Kedatangan mereka tentu ada kaitannya dengan kedatangan kalian! Bahkan mereka sudah lama menunggu kedatangan kalian!”
Kigali dan Pitaloka kembali dibuat terkesiap kaget. “Apa maksud mereka menunggu kami?!” Kali ini yang angkat pertanyaan adalah Pitaloka. “Sepertinya kami berdua tidak pernah punya urusan dengan mereka! Di luar hutan pun aku tidak pernah bertemu dengan orang yang kau ceritakan!”
“Kalian memang tidak pernah punya urusan. Aku pun merasa yakin kalian belum pernah bertemu dengan mereka. Tapi mereka telah tahu siapa kalian dan tahu ke mana kalian akan datangi. Lebih dari itu mereka mengerti apa yang harus dilakukan dengan bayi dalam kandunganmu!”
Kali ini Pitaloka tak bisa lagi menahan perasaan. “Katakan siapa mereka! Dan apa yang akan dilakukan dengan kandunganku ini?!”
“Mereka berdua adalah bangsat keparat yang membuat diriku jadi begini! Merekalah manusia-manusia yang membuat derita panjang hidupku! Lihat diriku... Kedua tangan dan kakiku hilang kekuatannya! Otakku hampir mereka buat gila! Tapi semua ini juga karena kebodohanku. Aku menjunjung perasaan cinta di atas segalanya! Aku berpikir, untuk cinta segalanya harus dikorbankan!”
Si nenek tiba-tiba sesenggukan. Kigali menghela napas lalu alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Pitaloka tak berani buka mulut.
“Nek...,” kata Kigali setelah agak lama berlalu dan dilihatnya si nenek sudah dapat kuasai diri. “Apa hubungannya peristiwa yang menimpamu dengan kedatangan kami? Sekaligus dengan bayi dalam kandungan Pitaloka?!”
“Ceritanya panjang.... Aku akan menerangkan bagian yang penting saja pada kalian...,” ujar si nenek dengan mata dibeliakkan nyalang ke arah dinding batu di depan sana. Namun sebenarnya pandangannya terus menembus dinding batu dan bahkan memandang jauh tanpa batas pandang!
***
DELAPAN
"AKU adalah seorang anak yatim piatu. Karena tidak ada yang merawat, aku hidup terlunta-lunta. Namun pantang bagiku yang saat masih berusia sembilan tahun untuk meminta belas kasihan orang. Aku bekerja apa saja untuk bisa makan. Malah tak jarang aku pergi ke hutan untuk mencari makanan. Beberapa orang sempat memperingatkan agar aku tidak memasuki hutan. Karena selain angker dan banyak binatang buas, hutan itu jarang sekali bahkan tidak pernah dirambah orang.
Namun aku tidak peduli dengan peringatan orang. Karena mereka hanya memperingatkan tanpa memikirkan apa yang menjadi bebanku! Lebih lagi karena selama ini aku tidak pernah mengalami hal-hal yang dibicarakan orang di dalam hutan. Hingga bukan saja aku menjadi takut, sebaliknya makin betah di dalam hutan, karena makanan tinggal mencari tanpa harus meminta.
Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang perempuan berusia enam puluh tahunan. Pada mulanya memang ada rasa takut dalam hatiku, apalagi berada di hutan sepi. Namun setelah berbicara, ternyata nenek itu orangnya baik. Lalu kami saling tukar cerita. Pada akhirnya si nenek mengajakku ikut bersamanya. Namun aku menolak. Aku tak mau menjadi beban orang lain, apalagi kulihat si nenek juga mencari hidup di hutan.
Pada awalnya si nenek mau menerima keberatan ku. Sejak itulah aku dan si nenek sering bertemu di dalam hutan dan mencari makanan bersama-sama. Aku sempat dibuat kagum. Karena nenek itu berilmu sangat tinggi. Hingga dengan mudah dia bisa mendapatkan makanan. Tidak seperti aku yang harus memanjat dan tidak jarang jatuh terpeleset dari atas pohon.
Rupanya si nenek sengaja memperlihatkan ilmunya padaku agar aku tertarik dan ikut dengannya. Hal ini kuketahui begitu kami berbincang-bincang. Dia menerangkan padaku bagaimana enaknya memiliki ilmu silat. Namun sejauh ini aku belum tertarik. Hingga pada satu waktu, aku dihadang kawanan binatang buas. Tak mungkin bagiku untuk lolos menyelamatkan diri. Ketika nyawaku berada di ujung tanduk, muncullah si nenek menyelamatkan jiwaku!
Peristiwa itu membuatku luluh, hingga pada akhirnya aku mau diajak si nenek. Ternyata dia tinggal di lembah sebelah barat hutan. Lembah itu sangat indah dengan ditumbuhi bermacam-macam aneka bunga. Pada akhirnya selain diambil sebagai anak, aku juga diangkat sebagai murid. Sejak itu pula aku hidup dalam bimbingan si nenek. Aku pernah bertanya pada nenek yang juga adalah guruku tentang apa sebabnya dia hidup menyendiri di lembah sunyi berdekatan hutan yang selain sepi juga jarang dirambah manusia.
Ternyata dia dahulu adalah seorang pendekar muda. Saat berkelana mencari pengalaman, dia bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berdua saling menyayangi dan akhirnya memutuskan hidup di lembah dengan tujuan agar tidak terlibat urusan rimba persilatan yang dapat memisahkan mereka.
Pada satu hari, tiba-tiba muncul rombongan orang yang ternyata punya maksud meneruskan urusan dengan kekasih Guru. Sebagai pemuda yang juga orang persilatan, tampaknya dia pernah punya masalah. Namun kekasih Guru sebenarnya sudah melupakan semua masalah dan tak ingin lagi terlibat. Namun rombongan yang datang tak ambil peduli. Untuk mempertahankan diri, akhirnya terjadilah perkelahian. Rupanya saat itu adalah hari naas. Kekasih Guru akhirnya harus tewas. Namun rombongan yang datang juga tidak bersisa.
Sejak itulah Guru hidup menyendiri. Pengalaman yang terjadi membuatnya makin enggan untuk melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan. Lebih-lebih dia tak mau meninggalkan kekasihnya, meski sang kekasih telah tiada. Dia begitu tulus menyayangi kekasihnya dan bersumpah tak akan meninggalkan lembah di mana kekasihnya dikubur. Karena lembah itulah yang memutuskan kasih sayangnya, akhirnya Guru menamakan lembah itu Lembah Patah Hati.
Tanpa terasa aku sudah menginjak dewasa. Saat itu kira-kira aku seusia Pitaloka. Guru sudah menurunkan semua ilmunya padaku. Dalam waktu senggang Guru selalu menceritakan kekasihnya, seolah sang kekasih masih hidup. Dan kadang-kadang Guru menyindirku tentang kekasih. Aku memang tak jarang diberi kesempatan untuk keluar dari lembah.
Meski Guru telah mengalami peristiwa kurang baik, namun dia tak mau mencegah dan membunuh masa dewasaku. Dia mengerti, aku kelak harus punya seorang pendamping. Malah Guru menyarankan agar aku segera memiliki kekasih. Dengan begitu kehidupan di lembah tidak akan sepi lagi, malah dia sudah sering sebut-sebut ingin punya seorang cucu.
Sebenarnya aku masih takut berdekatan dengan pemuda walau ketika aku keluar dari lembah banyak pemuda yang coba mendekatiku. Namun cinta memang tidak bisa diduga kapan datangnya. Dan cinta itu akhirnya singgah juga di hatiku saat aku bertemu dengan seorang pemuda gagah dan tampan. Dari sikapnya aku merasa yakin pemuda itu orang baik-baik dan punya dasar ilmu silat.
Namun sejauh ini aku belum berani bercerita pada Guru. Aku menyimpannya rapat-rapat. Tapi herannya, Guru seolah mengerti dan dapat menebak dengan pasti. Aku tidak bisa mungkir ketika akhirnya Guru menyarankan agar mengajak si pemuda berkunjung ke Lembah Patah Hati.
Permintaan Guru akhirnya kupenuhi. Aku mengajak pemuda itu ke Lembah Patah Hati. Kami bertiga bicara panjang lebar. Sejak saat itu si pemuda sering berkunjung. Dan entah karena apa, Guru memutuskan untuk mengambil si pemuda sebagai muridnya juga. Aku sangat gembira mendengar keputusan Guru.
Dengan begitu kami akan sering bertemu. Jadi sejak itulah si pemuda juga menetap di Lembah Patah Hati. Tapi Guru selalu menasihati aku agar berhati-hati meski kami berdua tinggal di satu tempat dan saling mencintai. Dalam waktu tidak berapa lama, kekasihku yang memang sudah punya dasar ilmu silat sudah menguasai ilmu yang diberikan Guru. Guru tampaknya sangat bahagia demikian juga aku.
Tapi perasaan bahagia itu mendadak sirna tatkala suatu malam Guru mendatangiku dan mengajakku berjalan-jalan di Lembah Patah Hati. Mula-mula Guru menanyakan bagaimana hubunganku dengan kekasihku. Aku menjawab apa adanya. Guru tampak berubah murung dan sikapnya lain. Aku bertanya apa ada yang salah denganku? Dia menghela napas berulang kali tanpa menjawab. Aku mendesaknya.
Dan jawaban yang kuperoleh seakan membuatku disambar petir di siang bolong. Guru meragukan itikad baik kekasihku! Malah dia menyarankan agar aku berusaha melupakannya! Aku penasaran dan mendesak apa alasan Guru meragukan kekasihku. Tapi Guru tidak mau menjelaskan. Dia hanya memberi bayangan bahwa kelak aku akan menderita jika meneruskan hubungan!
Sejak saat itu aku sering merenung dan mencari kebenaran ucapan Guru. Namun sejauh ini aku tidak mengatakan pada kekasihku apa sebenarnya yang telah terjadi. Malah aku berusaha menyelidik pada kekasihku. Tapi aku tidak menemukan apa yang menjadi dugaan Guru. Aku sudah mengatakannya pada Guru. Namun Guru tetap pada dugaannya. Anehnya Guru tidak mau menerangkan alasannya! Itulah yang membuatku bingung.
Hingga terbetik dugaan jelek pada diriku terhadap Guru. Selain itu sikap Guru pada kekasihku juga lain. Guru jarang sekali mau menemui kekasihku. Dia lebih suka mengurung diri di ruangannya. Malah perlahan-lahan dia juga berubah sikap padaku walau perubahan itu hanya yang ada kaitannya dengan kekasihku.
Karena tidak juga memperoleh jawaban pasti dari guruku, akhirnya aku bertanya pada kekasihku apakah dia pernah berlaku yang tidak semestinya pada Guru. Aku melihat dia terkejut. Dan balik bertanya apa saja yang dikatakan Guru padaku. Sebenarnya aku tidak mau menjelaskan. Namun terdorong oleh perasaan cinta dan sesungguhnya aku sudah tak mau dipisahkan lagi, akhirnya aku menceritakan juga apa yang dikatakan Guru.
Dia malah terkejut dan heran mendengar keteranganku. Dia juga mengatakan tidak pernah bertindak yang bukan-bukan. Aku coba mengingatkan padanya mungkin dia bertindak di luar kesadaran. Tapi dia bersikeras menyangkal. Hal ini membuatku tambah bingung. Apalagi tatkala kekasihku mengatakan hendak pergi kalau memang Guru sudah tidak menyukai keberadaannya di Lembah Patah Hati.
Aku dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di satu pihak, Guru adalah orang yang menyelamatkan jiwaku dan mendidikku, di pihak lain hatiku sudah tak mungkin diajak kompromi untuk bisa berpisah dengan kekasihku! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mempertemukan Guru dengan kekasihku. Namun usulku ditolak olehnya. Malah dia mengajakku untuk sementara waktu keluar dari Lembah Patah Hati sambil mencari jalan keluar yang baik.
Aku minta izin pada Guru. Ternyata dia tidak mencegah. Hanya dia berpesan agar aku waspada dan hati-hati. Saat itu juga aku keluar dari Lembah Patah Hati. Seandainya tidak ada persoalan, tentu saat itu aku sangat bahagia. Namun persoalan yang tiba-tiba menghadang membuatku tak bisa tenang meski berada di samping kekasihku. Kami berdua mencari tempat di dalam hutan. Karena hutan itu adalah tempatku bermain sejak kecil, aku paham benar kawasan hutan itu.
Tiga hari aku dan kekasihku berada di luar Lembah Patah Hati. Namun sejauh ini kami berdua belum juga mendapatkan jalan keluar yang baik. Hingga pada suatu malam, aku merasakan sekujur tubuhku terasa panas bukan alang kepalang. Mula-mula aku menduga hanya panas biasa atau karena aku banyak berpikir.
Namun lambat laun panas tubuhku makin tinggi. Aku berusaha menahan dengan kerahkan tenaga dalam. Tapi tak membawa hasil. Aku coba berteriak memanggil kekasihku yang katanya ingin mencari udara di luar. Tapi hingga suaraku serak dan tak terdengar, tidak ada orang yang datang. Aku memutuskan untuk mencari.
Namun betapa terkejutnya aku, begitu aku melangkah, kekuatan kedua kakiku laksana lenyap. Aku terjatuh dan tak kuasa bangun lagi. Aku berusaha menggapai. Lagi-lagi aku tersentak. Kedua tanganku juga hilang kekuatannya. Aku berusaha kerahkan tenaga dalam. Namun tidak bisa membantu banyak. Sekuat tenaga aku kembali berteriak. Tapi suaraku laksana lenyap dan hanya sampai tenggorokan. Keadaan begitu belum juga membuatku berprasangka buruk pada kekasihku.
Hanya aku menyesal mengapa teriakanku tidak juga didengar. Setelah hampir dini hari dan kekasihku tidak juga kunjung muncul, aku mulai gelisah. Perasaanku mengatakan ada yang tak beres dengan dirinya. Aku mulai percaya pada ucapan Guru. Ingat hal itu dengan susah payah aku menyeret tubuh menuju Lembah Patah Hati. Karena keadaanku tidak memungkinkan, aku baru sampai Lembah Patah Hati kala matahari sudah terbit.
Dengan sisa-sisa tenagaku aku kembali berteriak memanggil Guru. Namun tidak terdengar sahutan. Entah karena suaraku sudah serak atau memang Guru tidak ada, yang jelas aku tidak mendapat jawaban. Aku berusaha merangkak dengan pantatku ke ruangan Guru. Aku terkesima dan hampir tak percaya. Guru tergeletak tak bergerak-gerak di atas lantai batu dengan ceceran darah di sebelahnya. Laksana hendak terbang aku melompat ke arah Guru. Aku sepertinya lupa akan keadaanku. Namun aku tak bisa melakukannya. Hingga dengan menyeret tubuh aku bergerak mendekat.
Aku melolong begitu melihat keadaan Guru. Dari mulutnya terus keluar darah kehitaman. Matanya terpejam dan dadanya tidak berdetak. Sekuat tenaga aku berusaha menyadarkan Guru. Ternyata usahaku berhasil. Guru membuka matanya lalu memandangku dan bertanya dengan suara tersendat-sendat bagaimana keadaanku.
Aku tidak kuasa menceritakannya. Yang penting adalah keselamatan Guru. Aku kembali berusaha salurkan tenaga dalam. Namun keadaanku tampaknya tidak memungkinkan. Lagi pula pada saat itu, Guru gelengkan kepalanya perlahan dan berucap pelan bahwa tidak ada gunanya apa yang kulakukan!
Tanpa kutanya, guru segera menceritakan apa yang telah terjadi. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Ternyata semua itu adalah tindakan kekasihku! Menurut Guru, pada mulanya dia memang memandang baik pada kekasihku. Namun pada suatu malam ternyata Guru sempat memergoki kekasihku berada di ruangannya.
Pada malam-malam tertentu, Guru memang keluar dari Lembah Patah Hati. Entah ke mana dia pergi dia tak pernah mau mengatakannya. Guru menegur dan memperingati. Namun hal itu terulang lagi hingga sampai tiga kali. Sejak saat itulah Guru berubah sikap dan mengatakan padaku agar melupakan pemuda itu.
Pada akhir penuturannya, Guru mengatakan kalau selama ini sebenarnya dia tengah membuat sebuah kitab. Entah bagaimana awalnya, yang jelas di dalam kitab itu katanya termuat juga apa yang akan terjadi di Lembah Patah Hati. Dia juga menyebut-nyebut nama Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Nyai Tandak Kembang, Iblis Ompong, Dewa Uuk, Dewi Ayu Lambada, juga seorang pendekar bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131.
Sebelum menutup mata, Guru sedikit bercerita, bahwa kelak akan terjadi peristiwa besar berkaitan dengan Kampung Setan. Di dalam Kampung Setan terdapat dua senjata mustika Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Senjata mustika itu tak bisa dihadapi selain dengan mutiara merah yang ada pada pusar seorang bayi yang kelak akan lahir di Lembah Patah Hati. Dan bayi itu akan lahir dari salah seorang gadis kembar. Cuma saja bayi itu lahir tanpa didampingi ayahnya. Karena..."
Si nenek tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya berpaling pada Kigali dan Pitaloka yang sedari tadi menyimak cerita orang dengan seksama.
“Kami sudah tahu, Nek... Sekarang ceritakan bagaimana dengan kekasihmu itu!” ujar Kigali dengan melirik pada Pitaloka yang sosoknya tiba-tiba tampak bergetar.
“Aku sempat bertanya di mana kitab Guru disimpan! Tapi dia gelengkan kepala dan mengatakan tak ada gunanya dicari. Karena ternyata kitab itu telah diambil oleh pemuda jahanam itu! Jadi selama ini dia diam-diam menyelidik apa yang dilakukan Guru. Aku tak menyangka sama sekali. Tapi semuanya sudah terlambat.
Saat Guru menutup mata, muncullah jahanam itu! Dia kemudian membeberkan siapa dia sebenarnya! Dan tanpa belas kasihan lagi, dia menyeretku lalu memasukkan aku ke dalam ruangan ini! Bertahun-tahun aku berusaha memulihkan keadaan. Namun racun yang sudah merasuk dalam diriku tidak bisa diobati lagi!
Sejak itulah penderitaan panjang itu mulai. Aku sudah tak ingat berapa tahun berada di sini. Dan bagaimana keadaan di Lembah Patah Hati di atas sana. Yang jelas begitu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini, aku mendengar suara ledakan gelegar beberapa kali. Tanah di sini pun porak-poranda. Aku hanya berpikir, mungkin pemuda jahanam itu telah menghancurkan kediaman Guru...”
Si nenek hentikan ucapannya sambil menyeka air mata. Tak lama kemudian dia berucap lagi. “Tidak berselang lama, kira-kira setengah purnama yang lalu, jahanam itu datang lagi ke sini! Dia bersama seorang pemuda memakai mantel hitam. Kukira pemuda itu adalah muridnya! Walau telah berpuluh tahun tidak berjumpa, namun aku masih dapat mengenalinya.
Rupanya dia sudah memperhitungkan bahwa waktu yang dinantikan akan segera tiba! Rupanya dia tergiur dengan dua senjata mustika yang tersimpan di Kampung Setan. Dengan mutiara di pusar bayi yang akan lahir di Lembah Patah Hati ini dia pikir dengan mudah akan mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad!”
“Tapi, Nek....”
“Panggil saja aku Umbu Kakani. Usia kita mungkin tidak jauh berbeda!” sahut si nenek memotong ucapan Kigali.
Kigali anggukkan kepala lalu berucap lagi. “Sekarang Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad telah keluar dari Kampung Setan. Kini kedua senjata mustika itu di tangan orang yang belum bisa dikenali siapa sebenarnya!”
Umbu Kakani gelengkan kepala. “Kurasa itu tak jadi masalah! Dan mungkin akan lebih mudah merebutnya! Tapi... Kuharap kalian nanti mau membantuku. Setidaknya untuk tidak memberikan mutiara merah itu kelak pada jahanam bangsat yang telah menipu sekaligus menghancurkan hidupku!”
“Aku akan membantumu, Nek!” sahut Pitaloka. “Dan mutiara merah itu akan ku pertahankan. Karena justru manusia keparat yang membuatku begini ini adalah orang di balik Jubah Tanpa Jasad yang di tangannya juga menggenggam Kembang Darah Setan!”
“Nasibmu memang tidak baik, Pitaloka! Tapi kuharap kau bersabar menerima kenyataan ini! Percayalah, di balik suatu peristiwa terdapat pelajaran yang sangat berharga dan tak mungkin kita lupakan!”
“Umbu Kakani... Demi keselamatan mutiara merah itu, bagaimana kalau kita untuk sementara waktu mencari tempat yang aman?!”
Umbu Kakani kembali gelengkan kepala. “Bayi itu harus lahir di Lembah Patah Hati ini! Apa pun nanti yang akan terjadi, kita harus siap menghadapinya!”
Baru saja Umbu Kakani berucap begitu, mendadak terdengar suara gelegar keras. Dan tak lama kemudian kembali terdengar dentuman. Saat lain kembali terdengar gelegar. Umbu Kakani, Kigali, dan Pitaloka saling pandang satu sama lain.
“Tampaknya telah terjadi bentrokan di luar sana. Namun mendengar suaranya, tempat itu masih berada di luar Lembah Patah Hati. “Hemmm... Ini satu bukti bahwa bukan hanya keparat bangsat itu yang tahu persoalan. Ada orang lain yang mengetahuinya!” kata Umbu Kakani.
“Benar...,” sahut Kigali. “Sekarang aku berterus terang. Pada mulanya aku merahasiakan pada Pitaloka tentang beberapa orang yang kujumpai di dalam hutan. Hal itu kulakukan karena aku tak mau melihat Pitaloka selalu berpikir. Kuharap kau mengerti, Anakku...,” kata Kigali seraya memandang pada Pitaloka. Pitaloka anggukkan kepala.
“Beberapa orang yang sempat kutemui di dalam hutan itu sebenarnya tengah mencari Pitaloka! Bahkan Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun terus terang menyebut-nyebut kandungan dan bayi! Bahkan kalau tak salah dia juga sebut-sebut malam purnama!”
“Kapan malam purnama itu?!” tanya Umbu Kakani.
“Kira-kira sebelas hari di muka!”
“Kurasa belum sampai purnama depan bayi itu akan lahir! Yang menjadi pikiranku sekarang, bagaimana cara menghadapi beberapa orang itu! Dengan terdengarnya gelegar barusan, berarti mereka sudah tidak jauh dari tempat ini! Hem... Seandainya keadaanku normal, mungkin saja aku bisa berbuat banyak! Tapi apa pun yang nanti akan terjadi, kita harus berusaha menyelamatkan mutiara merah itu! Sekaligus aku ingin membayarkan nyawa Guru!”
“Oohh... Ohh...!” Tiba-tiba Pitaloka perdengarkan keluhan. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya menakup pada perutnya. Tubuhnya bagian atas nampak menekuk ke bawah.
Umbu Kakani segera melompat menjauh. “Kigali... Harap letakkan Pitaloka telentang di atas jerami! Setelah itu kuharap kau agak menjauh!”
Tanpa banyak bicara lagi, Kigali segera melakukan ucapan Umbu Kakani. Lalu cepat balikkan tubuh dan melangkah agak menjauh. Namun diam-diam dia membatin. “Dia masuk ke tempat ini dalam usia yang masih muda. Apakah dia nanti mengerti bagaimana merawat orang akan melahirkan?! Ah... Sebagai perempuan, walau belum pernah melahirkan, tapi mungkin dengan firasatnya dia tahu bagaimana caranya!”
Walau telah berpikir begitu, namun perasaan khawatir masih juga melanda dada Kigali. Hingga perlahan-lahan dia berpaling. Namun saat itu tepat Umbu Kakani juga tengah menoleh. Dengan muka merah padam, Kigali cepat palingkan kepalanya lagi seraya berujar.
“Maaf... Aku hanya khawatir. Karena kurasa kau belum pernah....”
“Aku memang belum pernah melahirkan. Tapi Guru pernah bercerita padaku! Mungkin dia sudah punya firasat bahwa kelak aku akan menolong gadis yang akan melahirkan! Jadi kau tidak usah gelisah....”
Kigali angguk-anggukkan kepala seraya melangkah ke arah lobang dari mana dia tadi masuk. Namun dadanya mulai berdebar. “Tidak kusangka kalau aku masih saja berurusan dengan masalah Kampung Setan! Padahal aku tidak pernah membayangkan!”
***
SEMBILAN
KITA kembali ke tempat tidak jauh dari Lembah Patah Hati. Seperti diketahui, saat Malaikat Berkabung lepaskan pukulan pada murid Pendeta Sinting, dan murid Pendeta Sinting dalam keadaan tidak menguntungkan, mendadak terdengar bersinan. Lalu satu gelombang menghadang pukulan Malaikat Berkabung. Saat lain terlihat dua sosok keluar dari semak belukar. Keduanya melangkah terbungkuk-bungkuk.
Di sebelah kanan adalah seorang kakek berambut tipis. Tangan kirinya memegang bumbung bambu. Tangan kanan memegang ilalang. Kakek ini kepalanya selalu bergerak-gerak pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik seperti orang hendak bersin. Di sebelah kiri adalah seorang kakek bertubuh tambun besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau.
Rambutnya disanggul ke atas. Pada pinggangnya yang besar melilit ikat pinggang yang tepat di depan perutnya menggantung sebuah cermin bulat. Kakek ini terbungkuk-bungkuk dengan sedikit angkat kepalanya seolah tengah melihat langit. Padahal sepasang matanya berwarna putih, satu tanda jika orang ini buta.
“Setan-setan tua! Dari mana saja kalian?!” Dayang Sepuh sudah membentak melihat kemunculan orang yang bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran, Nek! Justru seharusnya kami yang bertanya ke mana saja kau! Kami telah mencarimu ke seluruh hutan! Ujung-ujungnya bertemu di sini tengah main petak umpet dengan seorang kakek gagah!” kata Datuk Wahing lalu hentikan gerakan kepalanya dan memandang pada Pendekar 131.
“Bruss! Bruss! Aku juga heran padamu, Anak Muda! Mau-maunya kau bermain-main dengan orang sejenis! Padahal kau biasanya lebih suka main-main dengan gadis cantik! Apa kau kira enak main-main dengan sesama jenis!”
“Lagi pula seharusnya kau mengerti, Anak Muda!” Kali ini yang angkat bicara adalah Gendeng Panuntun. “Kau tidak boleh main-main di dekat sini! Itu akan mengganggu bibimu! Kau lihat sendiri, bagaimana saking takutnya bibimu sampai ngumpet-ngumpet di balik semak!”
“Seharusnya memang begitu, Kek! Tapi aku khawatir Bibi tidak bisa menahan diri! Tapi begitu aku mengerti keadaan sebenarnya, kini aku tidak cemas lagi!”
“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran dengan ucapanmu, Anak Muda! Bisa menjelaskan sedikit?!”
“Menurut yang kulihat di tangan, kakek gagah itu buyungnya sangat kecil sekali. Sebaliknya sarang telurnya sangat besar sekali. Hingga bentuknya menggelikan. Sementara sahabat muda itu, buyungnya memang normal. Sayang... Sudah sejak lama sekarat, hingga tak mau diajak bersenang-senang! Makanya aku mengajaknya bermain-main agar dapat menghiburnya!”
“Tutup mulut setanmu, Geblek!” Dayang Sepuh membentak dengan mata mendelik angker.
“Bruss! Bruss! Jangan terburu-buru marah, Nek! Kami semua heran dan maklum akan tindakanmu! Yang membuatku heran hanyalah mengapa kau memilih kakek gagah yang punya mainan lucu itu?! Apa sebelumnya kau belum tahu?!”
“Kalau mulut setan kalian tak bisa diam, jangan menyesal!” hardik Dayang Sepuh. Si nenek sudah hendak bergerak. Namun dia urungkan tatkala tiba-tiba Gendeng Panuntun buka suara.
“Tahan, Nek! Sebaiknya kau jelaskan saja apa sebenarnya yang terjadi! Selain main petak umpet tentu kau punya acara lain....”
“Setan jabrik itu telah membuka urusan denganku! Dia juga berpura-pura sok tahu tentang urusan kita!”
Kakek berambut putih jabrik tertawa. “Silakan kau bicara seenakmu, Nenek Slebor! Yang pasti aku tahu semuanya. Aku juga tahu siapa kedua temanmu itu!” Si kakek arahkan pandang matanya pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Bukankah dia Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun?! Dan tak lama lagi mungkin rombongan Iblis Ompong akan muncul juga disini!”
“Bruss! Bruss! Terima kasih kau telah mengenaliku, Sahabat! Tapi akan mengherankan bila kau tak mau perkenalkan diri!”
Kakek berambut putih jabrik gelengkan kepala. “Rasanya belum saatnya kalian tahu siapa diriku! Lagi pula tidak ada gunanya kalian tahu. Karena sebentar lagi kalian akan menghadap alam lain!”
“Dan kepastian itu ada tanganku!” Yang menyahut adalah Malaikat Berkabung.
“Hebat! Hebat.... Ternyata selain kalian sudah mengerti urusan orang, juga tahu dan bisa memastikan kematian orang!” kata Gendeng Panuntun. “Kalau boleh tanya, apakah kalian juga tahu apa kepastian yang kelak akan kalian alami?!” Sambil bertanya tangan kanan Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.
Kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berkabung tidak ada yang buka mulut menjawab. Gendeng Panuntun mendongak lalu berkata lagi. “Kau, Anak Muda... Kepastianmu mungkin masih lebih baik! Tapi sahabatku kakek berambut putih itu akan mengalami nasib yang kurang baik! Dia akan mengambil buah dari tindakannya di masa lalu!
Dia memang berilmu tinggi, namun karma akan tetap membelenggunya! Dan itu akan datang tidak lama lagi. Kalau mau kusarankan....” Gendeng Panuntun luruskan kepalanya pada Malaikat Berkabung. Lalu teruskan ucapan. “Tinggalkan saja tempat ini, Anak Muda! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain perasaan kecewa dan pulang dengan dendam membara!”
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan wajahnya pada kakek berambut putih jabrik. “Sahabat... Sebenarnya aku tidak mau bicara lancang menasihatimu karena usia kita tidak jauh berbeda. Namun demi kebaikan, ini harus kukatakan. Sebaiknya kau minta maaf pada orang yang telah berjasa padamu dan kau khianati! Mungkin mereka tidak akan memaafkan, tapi setidaknya kau telah memintanya! Hal itu akan melepaskan karma dari dirimu! Siapa tahu dengan tindakanmu itu, nasibmu akan berubah...”
“Manusia itu ternyata bisa membaca apa yang pernah kulakukan! Tapi siapa percaya dengan ramalannya?! Dengan terbongkarnya gugusan batu di Lembah Patah Hati, berarti gadis yang akan melahirkan itu mungkin telah berada di sana! Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Ramalannya tadi mungkin hanya untuk menakut-nakuti agar aku urungkan niat dan menggagalkan rencanaku mengambil mutiara merah! Hemm... Dikira aku manusia bodoh yang mudah digertak dengan ramalan busuk!” Diam-diam si kakek berambut putih jabrik membatin. Lalu berkata lantang.
“Gendeng Panuntun! Aku tahu apa maksud ucapanmu! Tapi jangan kira aku takut dan bodoh dengan turuti ucapanmu! Justru sebaiknya kalian segera tinggalkan tempat ini!”
“Benar! Tapi tanpa satu pun yang menyandang nyawa!” Malaikat Berkabung menimpali.
Baru saja Malaikat Berkabung sambuti ucapan kakek berambut putih jabrik, tiba-tiba terdengar suara lain yang datang dari arah samping agak jauh. “Nah... Kalian dengar apa katanya?! Kita akan mampus jika ikut-ikutan bergabung ke sana! Bukankah lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini sebelum terlambat?!”
Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Pendekar 131 sama mendongak. Dayang Sepuh melirik ke arah sumber suara. Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik cepat sentakkan kepala masing-masing ke samping dari mana suara lain tadi terdengar. Belum ada yang tahu siapa adanya orang yang baru saja berucap, dan belum juga ada di antara mereka yang menyahut, terdengar suara sahutan dari tempat di mana suara tadi terdengar.
“Mengapa kau takut dengan suara orang?! Dia memang bernama Malaikat, tapi bukan malaikat beneran yang bertugas mencabut nyawa orang! Dan kalian dengar tadi...? Dia punya buyung yang tengah sekarat. Sementara temannya punya buyung sangat kecil berbentuk menggelorakan, eh... Maksudku berbentuk menggelikan.
Aku jadi penasaran untuk melihatnya! Hik Hik Hik...! Belum melihat saja aku sudah geregetan dan gemas! Lihat... Bulu kudukku meregang, eh... Maksudku meremang!” Suara sahutan ini jelas diperdengarkan oleh perempuan.
“Uuuukk! Uuukkk! Uuuukkk!” Saat lain terdengar sahutan suara tanpa kata.
“Ah... Bicara sama dia repot! Harus berteriak! Padahal kita tengah mengintip orang!” terdengar lagi suara. Sepertinya suara ini adalah suara orang yang pertama.
“Kalian tak usah sembunyi-sembunyi! Tunjukkan saja tampang kalian!” Malaikat Berkabung membentak.
Dari balik semak muncul dua kepala. Kali ini Datuk Wahing dan Pendekar 131 ikut hadapkan wajah ke arah semak dari mana muncul dua kepala. Sementara Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik makin mendelik tak berkesip. Dayang Sepuh komat-kamit dan urungkan bentakan. Dua kepala itu ternyata milik dua orang perempuan.
Sebelah kanan berambut lebat dihiasi beberapa bunga. Sementara di sebelah kiri dibiarkan bergerai. Yang dihiasi bunga adalah perempuan berusia empat puluhan tahun namun parasnya masih kelihatan cantik. Sementara yang rambutnya digeraikan adalah seorang gadis muda berparas luar biasa cantik.
Tanpa ada yang buka suara, kedua orang perempuan ini perlahan-lahan keluar dari balik semak. Yang berusia agak lanjut ternyata mengenakan pakaian warna putih sebatas dada mirip pakaian para penari. Kedua tangannya merangkap di depan dada. Pada sela jari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya terlihat sekuntum bunga. Sementara gadis di sampingnya mengenakan pakaian warna merah.
“Nyai Tandak Kembang! Putri Kayangan!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua orang yang baru muncul. “Mengapa mereka yang muncul?! Padahal suara tadi jelas bukan suara mereka! Mengapa bisa begini?! Atau mereka berdua bisa menirukan suara orang?!” Diam-diam Joko membatin.
Dayang Sepuh tak kalah kagetnya melihat siapa gerangan yang muncul karena di luar dugaannya. “Setan betul! Mengapa setan-setan perempuan ini yang nongol?! Seharusnya bukan mereka!”
“Bruss! Bruss!” Datuk Wahing perdengarkan bersinan dua kali namun tanpa disusuli ucapan. Dia memandang dengan kepala disorongkan ke depan seolah belum percaya dengan pandangannya.
Yang tak kalah kaget dan terkesima adalah Malaikat Berkabung dan kakek serambut jabrik putih. Untuk beberapa saat kedua orang ini memandangi kedua orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan dari atas hingga bawah. Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-tenang saja dan kepala terus mendongak.
“Beda Kumala! Kau tak usah ikut bicara!” gumam Nyai Tandak Kembang seraya melirik pada Beda Kumala alias Putri Kayangan yang tegak di sampingnya.
Yang diajak bicara tampak terkejut. Bukan karena suara Nyai Tandak Kembang namun karena saat itu si gadis tengah memandang pada Pendekar 131 Joko Sableng! Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu.Lalu pandang matanya beralih kearah rimbunan semak belukar agak jauh ke samping kanan. Dia berkata sendiri dalam hati.
“Aku tahu mereka bersembunyi di balik semak itu! Mereka tadi sengaja memindahkan suara ke tempat mana aku dan Beda Kumala berada. Hingga semua orang memandang ke tempatku! Hem... Sebenarnya aku tidak akan keluar tunjukkan diri. Namun karena semua orang sudah memandang ke tempatku, percuma saja aku bersembunyi! Tapi mereka pun juga harus keluar dari persembunyiannya!”
Membatin begitu, tak lama kemudian Nyai Tandak Kembang buka mulut. “Kalian yang ada di balik semak! Mengapa takut tunjukkan diri namun berani menunjukkan tempat di mana kami berada?!”
“Nah... Bagaimana sekarang?! Ini gara-gara rencanamu! Kau mengajakku memindahkan suara!” Terdengar gumaman seseorang. Meski semua orang tahu bahwa suara yang baru terdengar adalah suara orang yang pertama kali tadi menyeruak, namun suara itu datangnya dari tempat lain!
“Kalau sudah telanjur begini apa hendak dikata! Tak ada gunanya main intip-intipan lagi! Terlebih-lebih aku ingin segera beradu tampang dengan anak manusia yang katanya punya barang lucu tadi! Hik Hik Hik...! Ayo kita keluar!” sambut suara seorang perempuan ditingkah dengan suara cekikikan.
“Uuukkk! Uuuukk! Uuukkk!” Lalu disusul dengan suara lain lagi tanpa kata.
“Dia tidak mau ikut keluar!” kata orang yang pertama. Suara ini adalah suara laki-laki.
“Dasar anak bendel! Kita seret saja kalau masih bandel tak mau tunjukkan muka! Lagi pula apa yang perlu ditakutkan?! Perlu kita cuma melihat wajah-wajah orang yang memiliki barang antik lucu!”
Setelah terdengar suara sahutan begitu, dari semak di mana Nyai Tandak Kembang tengah memandang, muncul tiga sosok tubuh. Dua orang melangkah di depan dengan tangan masing-masing menyeret satu sosok tubuh yang melangkah terseok-seok di belakangnya! Orang di depan sebelah kanan adalah seorang kakek berpakaian agak lusuh bermuka tirus.
Rambutnya putih panjang. Orang ini melangkah dengan kepala sedikit didongakkan meski sebenarnya dia tidak memiliki leher hingga sosoknya agak tertarik sedikit ke belakang. Sambil tengadah mulutnya terbuka lebar. Dan ternyata kakek ini tidak mempunyai gigi!
Sementara di sebelah kakek ompong yang bukan lain adalah Iblis Ompong, adalah seorang nenek berpakaian agak gombrong berambut putih panjang. Paras wajahnya hanya terlihat sebagian, karena selain tertutup dengan sebagian rambutnya, nenek ini juga mengenakan kerudung hitam panjang menjulai sampai perut di atas kepalanya. Hingga bagian samping wajahnya tertutup. Nenek ini melangkah dengan sedikit berlenggak-lenggok laksana orang akan melakukan sebuah tarian. Nenek ini tidak lain adalah Dewi Ayu Lambada.
Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada menyeret satu sosok tubuh yang terseok-seok. Dia adalah seorang kakek yang juga berpakaian agak kumal. Rambutnya tipis. Seraya terseok-seok kakek ini perdengarkan suara Uuukk! Uuukk! Uukkk! berulang kali. Dari suara dan sikapnya semua orang bisa menebak jika kakek ini adalah orang bisu. Dia bukan lain adalah Dewa Uuk. Ketiga orang ini berhenti tidak jauh dari Dayang Sepuh. Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada lepaskan cekalan tangan masing-masing yang menyeret kedua tangan Dewa Uuk.
“Urusan akan jadi kesetanan dengan munculnya setan-setan gila ini!” desis Dayang Sepuh. Ekor matanya melirik tajam pada ketiga orang yang telah tegak tidak jauh darinya.
“Temanku, Dayang Sepuh... Mana tampang orang yang katanya memiliki buyung lucu Itu?! Kau tampaknya sangat gembira hari ini. Apakah karena baru main-main dengan barang lucu tadi?!” Yang angkat bicara adalah Dewi Ayu Lambada.
Walau agak jengkel mendengar kata-kata Dewi Ayu Lambada, namun tak lama kemudian Dayang Sepuh tertawa bergelak. Dewi Ayu Lambada tidak tinggal diam. Tawanya segera pula meledak. Dan entah karena apa, tiba-tiba Iblis Ompong ikut pula perdengarkan suara tawa. Saat yang sama, mendadak Dewa Uuk lorotkan diri dan duduk menjeplok di atas tanah. Lalu perdengarkan suara Uukkk! Uukk! Uuukkk! beberapa kali dengan kedua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya.
Datuk Wahing kernyitkan dahi. Namun sesaat kemudian kepalanya telah bergerak pulang balik ke depan ke belakang. Lalu terdengar bersinannya beberapa kali bahkan bersinan itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin dan terus pantul memantul ke seantero tempat itu! Hingga tempat itu dibuncah suara-suara riuh rendah tak karuan bercampur aduk!
“Tutup jalan pendengaranmu, Beda Kumala!” bisik Nyai Tandak Kembang ketika menyadari bahwa suara-suara yang terdengar bukanlah suara sembarangan. Melainkan telah dialiri tenaga dalam kuat.
“Hem.... Tampaknya mereka mau unjuk kebolehan! Mereka belum tahu siapa yang dihadapi kali ini!” gumam kakek berambut putih jabrik. Lalu memberi isyarat pada Malaikat Berkabung.
Tanpa banyak bicara, Malaikat Berkabung melesat dan tegak dua langkah di samping kakek berambut putih jabrik.
“Rupanya perhitungan kita meleset! Seharusnya mereka tidak boleh bertemu jadi satu begini! Bukannya aku keder menghadapi mereka. Tapi kita harus lebih banyak keluarkan tenaga!” Si kakek berambut putih jabrik berbisik pada Malaikat Berkabung.
“Kita masih punya banyak waktu. Apa untuk sementara ini kita permainkan mereka agar mereka terpisah satu sama lain?!”
Si kakek gelengkan kepala. “Tak ada gunanya itu dilakukan! Walau kita belum mengenal betul siapa mereka, dari kabar yang selama ini kuketahui, mereka bukan orang yang mudah dibodohi! Lagi pula waktu kita tidak banyak lagi! Gugusan batu penutup itu telah lenyap porak-poranda. Berarti ada orang yang telah memasuki tempat itu! Aku sudah bisa menebak siapa orangnya! Buku warisan itu telah menjelaskan semuanya! Apa yang kita cari telah di depan mata. Kita tak boleh menyia-nyiakan! Kita hadapi mereka!” kata kakek berambut putih jabrik lalu anggukkan kepala.
Malaikat Berkabung melirik pada Dewi Ayu Lambada, Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk yang telah hentikan suara masing-masing. Saat lain pemuda ini melangkah dan tegak satu langkah di depan kakek berambut putih jabrik. Kakek berambut putih jabrik segera angkat kedua tangannya dengan telapak terbuka lalu disentakkan dan ditempelkan pada punggung Malaikat Berkabung. Saat bersamaan kedua orang ini putar diri menghadap Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada serta Iblis Ompong dan Dewa Uuk.
Dua nenek dan dua kakek saling pandang satu sama lain. Kejap lain Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya. Dayang Sepuh rapikan poni rambutnya. Lalu Dewi Ayu Lambada melompat dan tegak di belakang Dayang Sepuh. Seperti halnya kakek berambut putih jabrik, Dewi Ayu Lambada segera angkat kedua tangannya dengan telapak terbuka lalu ditempelkan pada punggung Dayang Sepuh.
Iblis Ompong tak tinggal diam, dia melompat pula ke belakang Dewi Ayu Lambada lalu tegak di belakang si nenek. Namun bukan menghadap ke arah Dewi Ayu Lambada, melainkan tegak membelakangi! Saat lain dia bungkukkan tubuh menungging. Pantatnya ditempelkan pada pantat Dewi Ayu Lambada.
Melihat apa yang dilakukan ketiga orang di sampingnya, Dewa Uuk celingukan sebentar. Lalu sentakkan kedua tangannya ke tanah. Sosoknya yang menjeplok berkelebat dan duduk lagi menjeplok di depan Iblis Ompong yang menungging!
“Ah... Kau ikut-ikutan juga!” kata Iblis Ompong lalu letakkan kedua tangannya di pundak kanan kiri Dewa Uuk. Sementara kepalanya memperhatikan Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik dari sela kedua kakinya yang direnggangkan!
“Jurus ‘Jalur Bertangga’!” Tiba-tiba Gendeng Panuntun berseru.
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik tampak terkejut namun tidak gerakkan ketika berpaling. “Manusia buta itu tahu jurus yang kita lakukan!” bisik kakek berambut putih jabrik.
“Dan keempat tua bangka itu tampaknya juga akan melakukan hal yang sama seperti kita!” Malaikat Berkabung menyahut.
“Setan!” Mendadak Dayang Sepuh membentak. “Jangan keras-keras menekan punggungku! Geser kedua tanganmu sedikit. Kelabangan rambutku bisa rusak!”
Dewi Ayu Lambada cekikikan lalu menggeser sedikit kedua tangannya yang menempel di punggung Dayang Sepuh. Namun tiba-tiba orang ini putuskan cekikikannya seraya berpaling sedikit ke belakang dan berseru keras. “Setan! Pantatmu jangan terus menggeser-geser begitu! Aku geli!”
Walau berseru begitu, tapi nenek berkerudung ini lenggak-lenggokkan pantatnya hingga pantat Iblis Ompong yang menempel ke pantatnya ikut bergerak-gerak.
“Sialan! Siapa yang menggeser-geser! Kau yang dari tadi melenggak-lenggok tak karuan!” sahut Iblis Ompong. Karena pantatnya bergerak-gerak kedua tangannya yang memegang pundak kanan kiri Dewa Uuk Ikut bergoyang-goyang. Hingga sosok Dewa Uuk doyong ke samping kiri kanan!
“Uuukkk! Uuukk! Ukkkk!” Dewa Uuk buka mulut dengan kedua tangan bergerak pulang balik ke samping memberi isyarat agar Iblis Ompong hentikan gerakannya.
“Bukan aku yang bergerak! Tapi yang di depan!” teriak Iblis Ompong dengan keras.
Datuk Wahing tampak terpingkal-pingkal melihat keempat orang di depan sana. Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala dan sesekali melirik pada Putri Kayangan. Gendeng Panuntun tetap tengadah tanpa buka mulut lagi. Hanya Nyai Tandak Kembang yang memperhatikan orang dengan mata tak berkesip. Di sebelahnya, Putri Kayangan tampak gelisah dan tak jarang melirik juga pada Pendekar 131.
Di depan sana, tiba-tiba kakek berambut putih jabrik perdengarkan bentakan garang yang kemudian disambut bentakan pula oleh Malaikat Berkabung. Saat bersamaan Malaikat Berkabung angkat kedua tangannya saling menakup di depan dada lalu dibuka dan didorong kedepan. Tanah di sekitar tempat itu laksana dilanda gempa. Daun-daun berguguran. Di seberang sana, Dayang Sepuh yang tegak paling depan mengikuti gerakan yang dilakukan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya lalu didorong.
Tanah di tempat itu makin bergetar. Daun-daun makin banyak berluruhan. Namun belum sampai dari tangan Malaikat Berkabung dan Dayang Sepuh lesatkan gelombang yang tentu saja sangat dahsyat karena terdiri dari gabungan beberapa tenaga dalam, tiba-tiba mereka disentakkan oleh terdengarnya tangisan bayi dari arah lembah!
***
SEPULUH
MALAIKAT Berkabung cepat tarik pulang kedua tangannya. Dayang Sepuh ikut-ikutan urungkan niat dorongkan kedua tangannya. Dan laksana disentak setan, kepala semua orang di tempat itu berpaling ke arah lembah di depan sana.bNamun yang paling tampak tersentak adalah Nyai Tandak Kembang dan kakek berambut putih jabrik. Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.
“Aneh... Dengan terdengarnya suara bayi itu, aku dapat mencium lagi aroma tubuh Pitaloka! Dia berada di lembah itu!” Paras wajah perempuan dari lereng Gunung Semeru ini tampak berubah. Matanya mendelik. Dagunya mengembang dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak. “Pitaloka... Kau benar-benar melahirkan bayi! Kau benar-benar mengandung! Bagaimana hal ini sampai kau lakukan? Kau benar-benar tak tahu diri! Membuat malu!” Mungkin saking geramnya, sosok Nyai Tandak Kembang tampak bergetar keras.
Putri Kayangan yang berada di sebelah Nyai Tandak Kembang tampaknya dapat menangkap apa yang ada dalam benak neneknya. Dia segera berbisik. “Eyang... Harap tidak berprasangka dahulu. Siapa tahu dia bukan bayinya Pitaloka!”
“Jangan bicara, Beda Kumala! Aku dapat mencium lagi aroma tubuh Pitaloka!”
“Tapi kita belum melihat sendiri buktinya! Siapa tahu itu bayi orang lain!”
Di seberang sana, kakek berambut putih jabrik diam-diam juga membatin. “Luar biasa sekali bayi itu. Beberapa tahun mengenali Lembah Patah Hati, baru kali ini ada suara dari Lembah Patah Hati yang bisa didengar dari kawasan luar lembah!”
Habis membatin begitu, kakek berambut putih jabrik segera berbisik pada Malaikat Berkabung. “Kita harus mendahului mereka mendapatkan bayi itu!”
Malaikat Berkabung anggukkan kepala seraya melirik pada Dayang Sepuh dan ketiga orang di belakangnya. Saat lain dia dan kakek berambut putih sudah bergerak. Namun tiba-tiba Nyai Tandak Kembang putar diri menghadap lembah dan angkat suara.
“Harap tidak ada yang bertindak! Ini adalah urusanku!”
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih urungkan niat berkelebat. Sementara Gendeng Panuntun segera mendekati Murid Pendeta Sinting dan berbisik.
“Anak muda! Kalau kau tidak ingin rimba persilatan ditelan bencana, kau harus segera mendahului untuk mendapatkan apa yang pernah kau dengar!”
“Tapi... Nyai Tandak Kembang adalah neneknya...”
“Jangan pedulikan urusan itu! Urusan dia adalah
urusan antara nenek dan cucu yang nakal! Urusanmu adalah urusan rimba persilatan!”
“Tapi tentu dia tak akan tinggal diam!” kata Joko pula.
Melihat dua orang saling berbisik, Datuk Wahing segera pula mendekati Pendekar 131. Tanpa perdengarkan bersinan dahulu, kakek ini ikut berbisik. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan! Jangan membuat heran dunia persilatan! Jangan hiraukan ucapan perempuan cantik itu! Lekaslah bertindak!”
Di depan Malaikat Berkabung, Dayang Sepuh berpaling ke belakang, ke arah Dewi Ayu Lambada. Saat yang sama Dewi Ayu Lambada menoleh ke belakang, ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong sendiri angkat kepalanya lalu memandang ke arah Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk menggeser sedikit tubuhnya dan memandang jauh kedepan, kearah Dayang Sepuh!
“Setan berkerudung hitam!” kata Dayang Sepuh pada Dewi Ayu Lambada. “Bagaimana sekarang?!”
Dewi Ayu Lambada gerakkan kepala menghadap ke arah Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa buka mulut menjawab. Saat lain nenek berkerubung hitam itu berpaling lagi ke belakang pada Iblis Ompong dan berkata.
“Setan Ompong! Bagaimana sekarang?!”
Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Dewi Ayu Lambada. Karena kakek ini tidak punya leher, terpaksa dia harus lepaskan satu tangannya dari pundak Dewa Uuk. Namun Iblis Ompong juga hanya sesaat pandangi wajah Dewi Ayu Lambada dan tanpa buka mulut pula untuk menjawab. Kejap lain dia berpaling lagi ke arah Dewa Uuk yang duduk menjeplok di hadapannya. Sambil terus gerakkan pantatnya pada pantat Dewi Ayu Lambada yang terus melenggak-lenggok, iblis Ompong buka mulut dengan suara keras.
“Setan Uuk! Bagaimana sekarang?!”
Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinga. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut. “Uuuukk! Uuuukk! Uuukkkk!”
Iblis Ompong ikut anggukkan kepalanya. Lalu berpaling pada Dewi Ayu Lambada dan buka mulut.
“Uukkkk! Uuukkk! Uuuukkk!”
Dewi Ayu Lambada sesaat kerutkan kening. Lalu berpaling pada Dayang Sepuh yang masih memandang ke arahnya. Nenek berkerudung hitam ini buka mulut.
“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukkk!”
“Setan! Kalian setan semua!” hardik Dayang Sepuh sambil sentakkan kepalanya ke depan. Namun saat itu juga tawanya meledak. Disusul oleh Dewi Ayu Lambada kemudian disahut oleh Iblis Ompong dan ditingkahi suara Ukkk! Ukkk! Ukkk! oleh Dewa Uuk.
Putri Kayangan yang sempat melirik keempat orang ini menahan tawa. Sementara Pendekar 131 dan Datuk Wahing serta Gendeng Panuntun tampak terus berbisik-bisik. Hanya Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik yang sama kancingkan mulut dengan mata sama mengarah pada sosok Nyai Tandak Kembang yang membelakangi karena saat itu tengah menghadap ke arah Lembah Patah Hati.
“Kita hantam dahulu perempuan itu!” Malaikat Berkabung berbisik pada si kakek seraya gerakkan bahunya ke arah Nyai Tandak Kembang.
Namun belum sampai mendapat jawaban, tiba-tiba di depan sana Nyai Tandak Kembang telah berkata pada Putri Kayangan. “Beda Kumala, kau ikut aku!”
Saat bersamaan dan tanpa menunggu sahutan Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang telah berkelebat ke arah Lembah Patah Hati. Putri Kayangan segera pula mengikuti dari belakang.
“Bruss! Brusss! Sekali kesempatan ini lewat, Anak Muda... Kau akan heran dan menyesal seumur-umur!” ujar Datuk Wahing dan seolah tak sadar, kedua tangannya segera mendorong sosok murid Pendeta Sinting. Saat yang sama tiba-tiba Gendeng Panuntun juga sentakkan kedua tangannya ke arah Pendekar 131.
Joko sempat terkesiap. Belum sampai dia buka suara, sosoknya telah melenting laksana anak panah bahkan mendahului kelebatan Nyai Tandak Kembang yang bergerak lebih dahulu! Nyai Tandak Kembang sempat tersentak merasakan deruan angin deras di atas kepalanya. Menduga dirinya dipukul, perempuan berwajah cantik ini segera angkat kedua tangannya sambil mendongak. Dia sesaat terkejut dan mengikuti gerakan sosok di atas kepalanya yang bukan lain adalah sosok murid Pendeta Sinting.
“Kau telah kuperingatkan. Tapi kau keras kepala!” teriak Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya segera dihantamkan ke atas.
Putri Kayangan yang berkelebat di belakangnya sudah hendak buka mulut. Namun ingat dengan siapa dia kini berada, dia segera urungkan niat dengan wajah gelisah. Bahkan kedua tangannya sudah bergerak. Gadis ini tiba-tiba sudah memutuskan untuk memotong pukulan Nyai Tandak Kembang jika Joko tidak siap.
Sementara di atas udara, murid Pendeta Sinting yang sesaat belum sadar karena sentakan tangan Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun, terkesiap kaget tatkala mendapati gelombang yang dahsyat sudah melabrak kearahnya. Sekejap Joko jadi bimbang begitu tahu siapa adanya orang yang lepaskan pukulan. Kalau dia menghadang dengan pukulan, pasti akan terjadi masalah dengan Nyai Tandak Kembang, namun jika tidak maka dia akan terhantam pukulan.
Akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk menghindar. Hingga dengan cepat dia sentakkan bahunya. Sosoknya menukik deras. Gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang lewat dua jengkal di sampingnya. Namun tak urung bias gelombang masih menyambar. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya terbanting di udara lalu jatuh bergulingan di atas tumbuhan bunga di Lembah Patah Hati.
Melihat pukulannya hanya biasnya saja yang menyambar dan justru malah membuat sosok murid Pendeta Sinting sudah berada di depan sana, Nyai Tandak Kembang mulai jengkel. Sekali lagi dia sentakkan kedua tangannya sambil terus berkelebat. Putri Kayangan yang tadi sempat takupkan kedua tangan ke mulut agar tidak terdengar jeritannya melihat sosok murid Pendeta Sinting terbanting di udara dan jatuh bergulingan di atas tanah, kini tak dapat lagi menahan suara. Dia berseru tertahan. Namun Nyai Tandak Kembang tidak peduli. Dia teruskan sentakan kedua tangannya! Hingga saat itu juga kembali satu gelombang deras melabrak ke arah Joko yang masih terus bergulingan.
“Celaka! Dia menyerangku lagi!” gumam murid Pendeta Sinting dengan mata dipentang besar. “Kalau saja cucunya tidak cantik dan menarik hatiku....” Joko tidak bisa lanjutkan gumaman. Karena gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang sudah satu tombak di depannya. Joko berpaling ke kanan kiri untuk mencari tempat berlindung menghindar dari pukulan Nyai Tandak Kembang. Namun dia tak melihat sesuatu yang cukup baik untuk berlindung. Saat itulah matanya menangkap lobang agak besar yang di kanan kirinya tampak berserakan batu.
“Hem.... Hanya lobang itu satu-satunya tempat berlindung! Mudah-mudahan tidak terlalu dalam!”
Berpikir begitu, akhirnya tanpa bangkit berdiri, Joko sentakkan kedua tangannya. Gulingannya makin cepat dan begitu berada dua tombak dari lobang, kembali Joko sentakkan kedua tangannya. Sosoknya mental ke udara dan melesat ke depan mengarah pada lobang.
"Wuusss!" Gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang menyergap ganas di bawah sosok Pendekar 131. Namun kali ini menghantam tempat kosong. Begitu gelombang lewat, karena khawatir Nyai Tandak Kembang akan menghantam lagi, Joko cepat berkelebat ke arah lobang sebelum akhirnya lenyap masuk.
"Bukkk!" Karena terlalu khawatir akan hantaman Nyai Tandak Kembang, murid Pendeta Sinting tidak memikirkan keadaan dirinya yang tengah melayang masuk ke dalam lobang. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya menghantam lantai batu di bawah lobang!
Jauh di seberang belakang di tempat mana kini murid Pendeta Sinting berada, dua kepala langsung berpaling ke arah sosok Pendekar 131 yang tergeletak di lantai. Dua kepala ini kemudian saling berhadapan dan mata mereka saling pandang. Pemilik kepala sebelah kanan adalah seorang kakek dan satunya lagi milik seorang nenek berambut putih awut-awutan. Mereka berdua bukan lain adalah Kigali dan Umbu Kakani.
“Bagaimana Umbu Kakani?!” ujar Kigali seraya melirik ke alas jerami di mana seorang gadis berbaju merah tengah telentang dengan sekujur tubuh basah kuyup oleh keringat. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya mencengkeram alas jerami dengan kuat-kuat. Sepasang matanya terpejam rapat dengan bibir saling menggigit. Napasnya berhembus panjang-panjang. Pada bagian bawah tubuhnya tampak agak banyak tetesan darah. Gadis ini tidak lain adalah Pitaloka.
Umbu Kakani gelengkan kepala. Wajahnya murung. Lalu kepalanya menatap tajam pada satu sosok tubuh kecil berlumur darah di samping Pitaloka. Dengan suara tersendat, Umbu Kakani berujar pelan. “Nyawa bayi ini tidak bisa diselamatkan. Mungkin umurnya belum mencukupi! Tapi untungnya Pitaloka tidak apa-apa...”
“Bagaimana dengan mutiara merah di pusarnya?!” Kigali kembali bertanya. Kali ini pandang matanya tertuju pada sosok bayi di samping Pitaloka yang teronggok diam.
“Aku telah berusaha mencabutnya. Tapi sepertinya ada satu kekuatan yang menahan. Aku tak sanggup melakukannya! Bagaimana kalau kau yang mencobanya?! Waktu kita tidak banyak. Lihat seseorang telah berada di tempat ini! Tak lama lagi mungkin akan ada orang lain yang muncul! Kau mengenal siapa pemuda yang baru muncul itu?!”
“Jangan pedulikan dulu siapa adanya orang yang muncul! Kita harus mengambil mutiara itu secepatnya!”
Habis berkata begitu, Kigali melangkah memutar ke arah samping kanan di mana bayi merah itu berada. Untuk beberapa saat lamanya Kigali pandangi sosok bayi merah dengan tubuh sedikit bergetar. Lalu matanya tertuju pada pusar bayi. Di situ ternyata terlihat sinar merah menyala sebesar ujung jari kelingking berbentuk bulat.
Kigali julurkan tangan kanannya yang bergetar ke arah pusar bayi. Lalu perlahan-lahan mencabut bundaran merah pada pusar si bayi. Meski hanya menempel, namun Kigali mengalami kesulitan untuk mencabut butiran merah di pusar bayi meski dia telah keluarkan segenap tenaga dalam dan luarnya!
“Aneh.... Kelihatannya hanya menempel biasa. Tapi aku tak kuasa juga mengambilnya!” ujar Kigali pelan seraya memandang pada Umbu Kakani yang saat itu terus memperhatikannya.
“Hem.... Kita telah berusaha, Kigali. Namun nyatanya kita tak berhasil. Ini mungkin saja satu bukti jika kita berdua tidak punya bagian dalam urusan ini!”
Kigali anggukkan kepala seraya menarik tangan kanannya dari pusar bayi. Lalu berkata pelan. “Bayi ini adalah anak Pitaloka. Barangkali dia bisa melakukannya!”
Umbu Kakani tidak menunggu lama. Begitu mendengar ucapan Kigali, dia segera menggoyang-goyangkan sosok Pitaloka. Pitaloka perlahan-lahan membuka kelopak matanya.
“Nek... Kek... Bagaimana dengan....”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Umbu Kakani telah menyahut dengan coba tersenyum. “Anakku... Kau harus tabah menerima kenyataan. Kau juga harus bersyukur karena kau masih selamat...”
“Maksud Nenek...?”
“Anakmu... Anakmu tidak berumur panjang, Pitaloka. Dia ada di sampingmu!”
Tanpa pedulikan rasa sakit yang masih terasa menghujam tubuhnya, Pitaloka geser tubuhnya ke atas lalu perlahan-lahan beranjak duduk. Matanya langsung tertuju pada bayi merah di sebelah kanannya. Saat itu juga tangisnya meledak!
“Anakku...,” ujar Umbu Kakani. “Tidak ada gunanya kau menangis. Ini sudah jadi perjalanan yang harus kau alami. Sekarang ada sesuatu yang harus segera kau lakukan! Kau lihat bundaran merah pada pusar bayimu. Aku dan Kigali telah berusaha sekat tenaga untuk mengambilnya. Tapi kami berdua gagal! Sekarang mungkin kaulah yang bisa mengambilnya! Kau tahu apa arti benda itu nantinya!”
Dengan masih sesenggukan, Pitaloka mendekati bayi di sampingnya. Tangannya yang gemetaran langsung mengangkat orok merah itu. Lalu perlahan-lahan tangan kanannya bergerak ke arah bundaran merah di pusar bayi. Pitaloka berusaha mengambilnya. Namun hingga agak lama, tampaknya Pitaloka gagal untuk mengambilnya.
“Letakkan kembali bayimu, Anakku....” Umbu Kakani berkata. Lalu memandang pada Kigali. “Kita tinggal menunggu kenyataan. Namun satu hal, jangan sampai benda merah itu jatuh ke tangan manusia keparat berambut putih yang sebentar lagi pasti akan muncul di tempat ini!”
Pitaloka letakkan bayinya kembali di atas jerami kering. Saat dia angkat kepalanya, matanya menangkap sosok yang tegak di depan sana. Sesaat matanya membelalak. Saat lain bibirnya bergetar perdengarkan suara tersendat. “Pendekar 131....”
Kigali dan Umbu Kakani sama berpaling ke arah depan. Dia melihat seorang pemuda berpakaian putih berambut panjang sedikit acak-acakan yang dililit ikat kepala warna putih pula. Parasnya tampan.
“Hem... Jadi inikah anak manusianya yang bergelar Pendekar 131?!” gumam Umbu Kakani.
Murid Pendeta Sinting yang telah tegak sunggingkan senyum lebar. Namun sepasang matanya bukan pandangi ketiga orang di depan sana, melainkan pada orok merah yang diam di samping Pitaloka. Dia tadi sempat melihat bagaimana Pitaloka berusaha mengambil benda bulat merah di pusar si bayi dan tidak berhasil. Dia juga mendengar bisik-bisik Kigali dan Umbu Kakani.
“Maaf jika kedatanganku mengejutkan kalian...” kata Joko. “Terus terang saja. Aku datang dengan satu maksud....”
“Kau menginginkan mutiara merah itu bukan?!” Umbu Kakani telah menyahut.
“Terima kasih kau telah mengerti, Nek! Harap kalian tidak punya prasangka buruk. Saat ini rimba persilatan tengah mengalami ancaman dari seorang tokoh yang di tangannya menggenggam Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Menurut beberapa sahabatku, tokoh tersebut hanya bisa dihadapi dengan mutiara merah itu! Jadi harap beri kesempatan padaku untuk mengambilnya! Kalian boleh bertanya siapa aku pada Pitaloka. Kami telah saling kenal....”
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya pada Umbu Kakani dan Kigali sebelum akhirnya memandang pada Pitaloka. Pitaloka tampak makin pucat dan saat lain gadis ini berpaling. Saat itu juga kembali tangisnya terdengar! Pendekar 131 geleng-geleng kepala sambil menarik napas dalam.
Sebenarnya dalam hatinya masih terbersit ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya. Dia juga masih bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan laki-laki dari bayi yang telah dilahirkan Pitaloka. Dia tahu bagaimana perasaan Pitaloka saat itu. Hingga dia segera alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani dan Kigali. Lalu berucap.
“Nek... Kek... Kita memang belum saling kenal. Tapi sekali lagi kuharap kalian tidak berprasangka yang bukan-bukan. Semua ini kulakukan karena demi damainya rimba persilatan! Kuharap kalian memberi kesempatan padaku!”
Umbu Kakani dan Kigali saling pandang. Lalu sama arahkan pandang matanya pada Pitaloka. Pitaloka tampak sesenggukan bahkan kini tutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“Kek! Nek! Waktuku tidak banyak... Di luar sana beberapa orang telah menunggu dengan maksud yang sama namun sebagian bertujuan lain...!”
Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sinting. “Anak muda! Bayi ini dilahirkan Pitaloka. Kami tidak bisa memutuskan karena haknya berada di Pitaloka!”
“Bukan dia yang berhak memutuskan! Tapi aku!” Tiba-tiba satu suara menyahut. Lalu satu sosok tubuh melayang turun dari lobang dan tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting. Tidak berapa lama kemudian satu sosok tubuh kembali melayang turun dan tegak di sebelah sosok yang baru muncul!
***
SEBELAS
SOSOK yang tadi perdengarkan suara dan melayang turun pertama adalah seorang perempuan berwajah cantik meski usianya tidak muda lagi. Dia bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang. Lalu sosok yang menyusul muncul adalah seorang gadis berpakaian merah juga berparas cantik dan tidak bukan adalah Putri Kayangan, saudara kembar Pitaloka. Begitu injakkan kaki di lantai bawah lobang, Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan segera hujamkan mata masing-masing ke depan.
Tiba-tiba sosok Nyai Tandak Kembang bergetar keras. Bagian atas dadanya yang terbuka tampak bergerak turun naik dengan hebat. Sepasang matanya mendelik angker dengan pelipis kanan kiri bergerak-gerak. Jelas perempuan dari lereng Gunung Semeru ini telah dilanda hawa amarah luar biasa! Hingga untuk beberapa saat dia tidak kuasa berkata meski mulutnya bergetar membuka!
Di sebelah Nyai Tandak Kembang. Putri Kayangan tampak berubah paras. Dia tak kuasa lagi melihat keadaan saudara kembarnya. Ditambah lagi tidak dapat menahan rasa malu pada murid Pendeta Sinting. Hingga dia tidak berani melirik atau memandang pada Pendekar 131 maupun pada Pitaloka. Malah tak lama kemudian dia palingkan kepala dengan mata merebak merah dan teteskan airmata.
“Peristiwa ini benar-benar terjadi! Pitaloka cucuku melahirkan bayi!” Nyai Tandak Kembang bergumam. “Pitaloka... Mengapa ini kau lakukan? Mengapa?! Mengapa?! Ataukah ini sengaja kau lakukan untuk membuatku malu di hadapan orang?!”
Di seberang sana, Kigali dan Umbu Kakani kembali saling pandang. “Yang berpakaian putih sebatas dada adalah Nyai Tandak Kembang. Menurut pengakuannya dia adalah nenek Pitaloka!” ujar Kigali pelan. “Sementara yang gadis aku tidak tahu siapa. Namun dari paras wajahnya, aku bisa menebak jika dia adalah saudara kembar Pitaloka!”
Umbu Kakani sambuti ucapan Kigali dengan anggukan kepalanya. Lalu memandang pada Pitaloka yang masih tutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Entah karena masih tenggelam dalam kesedihan dan bingung, Pitaloka tidak mendengar suara Nyai Tandak Kembang sebelum sosoknya melayang turun dari lobang. Dia juga tidak mendengar ucapan Kigali yang berucap pada Umbu Kakani memberi tahu siapa adanya kedua orang yang muncul.
“Anakku Pitaloka.... Kau harus mengatakan terus terang apa yang terjadi pada orang yang muncul itu! Tampaknya dia tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa dirimu!”
Mungkin karena menduga yang dimaksud orangyang baru muncul adalah murid Pendeta Sinting, tanpa buka kedua tangannya dari wajah, Pitaloka berkata. “Percuma aku mengatakan padanya! Aku sekarang sadar siapa diriku! Dia pasti memandang kotor padaku! Tapi katakan padanya. Aku rela dia mengambil benda merah pada pusar bayi ini....”
Kigali dan Umbu Kakani sama kerutkan dahi. Mereka berdua tampaknya mengerti perasaan Pitaloka. Umbu Kakani gelengkan kepala dengan perasaan trenyuh. Lalu berkata lagi. “Anakku... Lihat dulu siapa yang datang... Maksudku, selain Pendekar 131 telah muncul lagi dua orang. Kukira kau mengenalinya. Dan kau harus mengatakan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi!”
Pitaloka sempat terkejut. Perlahan-lahan wajahnya digerakkan menghadap ke depan. Lalu dengan masih sesenggukan kedua tangannya diturunkan dari wajah-nya. Pitaloka seketika rasakan nyawanya melayang. Wajahnya berubah sulit dibayangkan. Matanya membelalak dengan mulut terkancing rapat. Begitu Pitaloka turunkan kedua tangan dari wajahnya, mendadak Nyai Tandak Kembang sudah berkelebat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan Pitaloka.
“Eyang....” Akhirnya Pitaloka bisa juga bergumam.
Dagu Nyai Tandak Kembang terangkat. Matanya menyengat tajam pada sosok Pitaloka. Lalu mulutnya terbuka perdengarkan bentakan keras. “Pitaloka! Kau tak pantas lagi memanggilku Eyang! Kau tahu apa yang kau lakukan? Kau tahu?!”
Pitaloka bergerak bangkit meski dengan menahan rasa sakit. Umbu Kakani serta Kigali hanya diam dan memandang. “Eyang...,” jerit Pitaloka sambil jatuhkan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya menggapai kedua kaki Nyai Tandak Kembang dengan perdengarkan tangis. Namun sebelum kedua tangan Pitaloka sempat menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah gerakkan kakinya. Bukan untuk menghindar, melainkan melakukan tendangan!
"Bukkk!" Sosok Pitaloka terangkat lalu terjengkang ke belakang. Namun Pitaloka tidak peduli. Dia cepat tarik pulang tubuhnya lalu merangkak tertatih-tatih mendekati eyangnya. Lagi-lagi begitu tangan Pitaloka hendak menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah lepaskan tendangan.
"Buuuukk!" Untuk kedua kalinya sosok Pitaloka terjengkang kebelakang. Umbu Kakani tampaknya tak kuasa menahan iba. Dia segera melompat dengan posisi duduk. Namun baru saja sosoknya duduk di samping Pitaloka, Nyai Tandak Kembang telah menyemprot.
“Jangan melibatkan diri dalam urusan ini! Membunuh pun aku berhak atas dirinya!”
“Nyai Tandak Kembang!” kata Umbu Kakani. “Kau memang neneknya. Kau berhak melakukan apa saja pada gadis ini! Tapi adalah tidak bijaksana tindakan seorang nenek yang tanpa menanyakan dahulu mengapa....”
Belum sampai selesai Umbu Kakani berkata, Nyai Tandak Kembang sudah memotong. “Bukti sudah di depan mata! Apa masih perlu bertanya?!”
“Benar, Nyai.... Tapi ini semua adalah akibat! Dan pasti ada sebabnya!”
“Mana ada bayi lahir dari seorang gadis yang belum punya suami kalau sebabnya tidak karena ulah dan tindakan cerobohnya?!”
Umbu Kakani gelengkan kepala. “Di sinilah kesalahanmu, Nyai... Tidak semua bayi lahir dari gadis yang belum bersuami sebab ulah dan tindakan ceroboh gadis itu! Ada sebab lain yang bisa saja terjadi dan mungkin bisa menimpa perempuan manapun!”
Kemarahan Nyai Tandak Kembang makin memuncak mendengar ucapan Umbu Kakani. Dengan suara keras setengah menjerit dia berkata. “Kuperingatkan kau agar tidak mencampuri urusanku! Aku tidak mau dengar lagi segala macam alasan! Pitaloka telah terbukti melahirkan anak padahal dia belum punya suami! Hanya gadis tak tahu diri yang bisa melakukan hal itu! Gadis seperti dia tak pantas lagi ada di atas permukaan bumi!”
“Aku bukannya turut campur urusanmu, Nyai... Aku hanya akan mengatakan apa sebab sebenarnya yang menimpa cucumu!”
Nyai Tandak Kembang tidak acuhkan ucapan Umbu Kakani. Dia mendelik pada Pitaloka dan membentak. “Pitaloka! Karena bayi itu lahir bukan saja karena dirimu sendiri, maka bukan hanya kau saja yang tidak pantas hidup! Sekarang katakan, siapa laki-laki ayah dari bayi itu!” sambil berkata membentak entah karena apa tiba-tiba Nyai Tandak Kembang melirik pada Kigali yang masih tegak di sebelah tumpukan jerami dekat bayi. Diam-diam dada Nyai Tandak Kembang berdebar dan gelisah.
“Astaga... Jangan-jangan laki-laki itu adalah dia... Tapi apa mungkin?! Ketika jumpa di hutan tempo hari, aku sudah curiga padanya. Ternyata memang dia tahu di mana Pitaloka berada. Di hutan sana tidak ada orang laki-laki selain dia yang bersama Pitaloka. Apakah mungkin dia?!”
Mendengar pertanyaan Nyai Tandak Kembang, Pitaloka tidak segera menjawab bahkan tidak berani memandang. Mendapati hal demikian, Umbu Kakani buka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Nyai Tandak Kembang sudah mendahului.
“Aku hanya minta jawaban dari mulut Pitaloka! Karena dia yang melakukan dan pasti tahu siapa laki-laki pengecut itu!”
Di sebelah belakang, Pendekar 131 hanya bisa diam. Tak jauh di sampingnya Putri Kayangan masih palingkan kepala dengan air mata terus menetes.
“Anakku...,” ujar Umbu Kakani pada Pitaloka. “Katakan terus terang padanya!”
Perlahan-lahan dengan wajah takut Pitaloka angkat kepalanya. Mulutnya membuka. “Eyang... Aku tak tahu siapa laki-laki itu. Karena....”
“Dasar gadis tolol!” bentak Nyai Tandak Kembang seraya bantingkan kaki. “Kau yang melakukan. Adalah aneh kalau kau tak tahu siapa laki-laki itu! Kau masih juga menutup-nutupi laki-laki pengecut itu!”
“Eyang.... Aku tak berdusta. Aku tak tahu siapa laki-laki itu....”
“Keparat!” maki Nyai Tandak Kembang saking marahnya. “Siapa percaya pada ucapanmu! Mana mungkin kau sampai mengandung dan melahirkan anak tanpa tahu dengan siapa kau melakukannya! Kau jangan berlaku bodoh untuk kedua kalinya, Pitaloka!” seraya berkata begitu, mata Nyai Tandak Kembang kembali melirik pada Kigali. Saat lain tiba-tiba tangan kanan Nyai Tandak Kembang terangkat dan lurus menunjuk pada Kigali. “Atau dia laki-laki itu?!”
Kigali hanya tersenyum tanpa buka mulut. Sementara Pendekar 131 memandang tajam pada Kigali dengan dada terus menduga-duga. Putri Kayangan segera pula palingkan kepala begitu mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. Dia sebenarnya ingin tahu siapa laki-laki yang dikatakan Nyai Tandak Kembang.
“Eyang.... Bukan dia...,” jawab Pitaloka dengan suara tetap bergetar.
“Hem.... Kau bisa memastikan bukan dia. Berarti kau bisa memastikan pula siapa laki-laki itu!” bentak Nyai Tandak Kembang.
Pitaloka gelengkan kepala. Nyai Tandak Kembang tak bisa menahan marah. Kedua tangan diangkat. “Rupanya kau rela mati hanya demi menutupi seorang laki-laki pengecut! Kau lebih suka menabur malu di mukaku hanya demi sembunyikan seorang laki-laki!”
Kedua tangan Nyai Tandak Kembang bergerak. Putri Kayangan sudah hendak melompat untuk cegah gerakan Nyai Tandak Kembang. Di lain pihak, Pendekar 131 Joko Sableng tak tinggal diam. Dia segera pula berkelebat.
“Tahan!” seru Umbu Kakani. “Aku akan menjelaskan semuanya!” seraya berkata begitu, Umbu Kakani bergerak satu kali. Sosoknya tahu-tahu duduk di depan Pitaloka halangi tindakan Nyai Tandak Kembang. “Apa yang dikatakan Pitaloka benar adanya! Dia tidak tahu siapa laki-laki yang melakukannya! Dia diperkosa....”
Nyai Tandak Kembang tahan gerakannya meski kedua tangannya tetap berada di atas udara. Pendekar
131 dan Putri Kayangan juga urungkan niat berkelebat. “Aku tak percaya! Kalaupun benar diperkosa, setidaknya dia tahu siapa laki-laki itu!”
“Di sinilah masalahnya, Nyai... Si pemerkosa adalah bukan orang sembarangan! Dia memegang Kembang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa Jasad hingga siapa orangnya tak bisa dikenali wajahnya!”
Nyai Tandak Kembang terkesiap kaget. Putri Kayangan tak kalah terkejutnya. Tapi yang paling terlihat melengak kaget adalah Pendekar 131 Joko Sableng...!
S E L E S A I