SATU
DAYANG Sepuh pasang tampang tidak senang. Apalagi mendapati pertanyaannya tidak memperoleh jawaban dan Datuk Wahing nimbrung campur tangan.

“Hentikan bersinan mu, Setan!” Dayang Sepuh langsung perdengarkan bentakan keras membahana kala dilihatnya Datuk Wahing terus-menerus perdengarkan bersinan.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang bergerak pulang balik ke depan ke belakang mengikuti bersinannya. “Nek.... Jangan kau membuat orang jadi heran! Sudah kukatakan, lihat dengan teliti siapa adanya perempuan yang di hadapanmu!”

Walau dengan meredam rasa geram, akhirnya si nenek yang rambutnya dikelabang dua dan bagian depannya diponi serta mengenakan pakaian cingkrang tanpa lengan hingga pusar dan ketiaknya kelihatan ini sekali lagi memperhatikan perempuan berpakaian putih sebatas dada yang tegak di hadapannya.

“Aku tidak bisa mengenali setan perempuan itu! Katakan saja terus-terang! Dia orang baik-baik atau manusia dari golongan setan!”

“Bruss! Brusss! Kau benar-benar membikin aku heran! Meski dia sekarang makin cantik dan membuatmu lupa, seharusnya kau masih ingat akan beberapa kembang di rambut serta di sela jari kedua tangannya. Itulah tanda jika orang di hadapanmu adalah Nyai Tandak Kembang!”

“Nyai Tandak Kembang....” Dayang Sepuh bergumam mengulangi nama yang baru saja diucapkan Datuk Wahing dengan sibakkan poni di depan keningnya. Kening si nenek tampak berkerut tanda dia sedang mengingat. “Astaga! Jadi kaulah manusianya yang pernah membuat tergila-gila Pendeta Sinting pada beberapa puluh tahun yang lalu itu?! Pantas.... Di usia yang begini saja wajahmu masih cantik! Apalagi di masa lalu....” Dayang Sepuh berucap.

Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang paras rupanya masih kelihatan cantik walau tidak muda lagi itu tampak tersipu. Namun dia segera menyahut. “Semua itu hanya kabar yang tidak benar, Nek.... Antara aku dengan Pendeta Sinting tidak lebih daripada sekadar hubungan bersahabat!”

“Kau salah mengucapkan itu kalau dengan sesama perempuan! Aku tahu bagaimana sifat perempuan! Malah tak jarang perempuan mengatakan tidak, walau dalam hatinya mengucapkan ya!” sambut Dayang Sepuh.

Perempuan cantik di hadapan Dayang Sepuh yang tadi diperkenalkan Datuk Wahing dengan nama Nyai Tandak Kembang tersenyum. Namun ekor matanya melirik ke seantero tempat itu. Dalam hati dia bergumam. “Aku masih dapat mencium aroma orang lain selain mereka berdua! Orang itu tidak berada jauh dari tempat ini....”

Seperti diceritakan pada episode Titisan Pamungkas, Nyai Tandak Kembang meninggalkan lereng Gu- nung Semeru setelah mendapat keterangan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tentang Putri Kayangan dan Pitaloka serta keadaan yang kini tengah terjadi dalam rimba persilatan.

Begitu sampai di kawasan yang berbatasan dengan sebuah hutan lebat, Nyai Tandak Kembang yang memiliki keahlian dapat mengetahui adanya orang dengan penciuman dapat menduga kalau kedua orang yang tengah dicari, yakni Pitaloka dan Beda Kumala alias Putri Kayangan berada di sekitar tempat itu. Namun begitu dia hendak melangkah, muncul seorang nenek berbedak tebal berbibir merah polesan yang rambutnya dikelabang dua dan diponi bagian depannya. Nenek ini tidak lain adalah Dayang Sepuh.

Dayang Sepuh mengajukan beberapa pertanyaan pada Nyai Tandak Kembang. Karena terlalu banyak pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya Nyai Tandak Kembang memutuskan untuk tinggalkan tempat itu dan tidak meladeni Dayang Sepuh. Rupanya si nenek tidak membiarkan Nyai Tandak Kembang pergi sebelum menjawab pertanyaannya. Hingga Dayang Sepuh sempat lepaskan pukulan. Pukulan pertamanya dapat dihindari Nyai Tandak Kembang. Begitu Dayang Sepuh hendak susul pukulan, mendadak muncul Datuk Wahing, seorang tokoh yang selalu bersin-bersin.

“Brusss! Brusss! Nyai.... Sebenarnya aku tak mau membuatmu heran dengan pertanyaanku. Namun daripada aku harus menanggung heran terus-menerus, kuharap kau mau untuk memberi penjelasan padaku....” Datuk Wahing hentikan ucapannya sesaat untuk bersin. Lalu berucap lagi. “Kau tadi mengatakan tengah mencari dua orang cucumu. Yang kau maksud gadis bergelar Putri Kayangan, bukan?!”

Nyai Tandak Kembang sedikit terkejut. Dia melirik pada Dayang Sepuh. Namun dia tidak buka mulut untuk beberapa saat. Sebaliknya paras wajah perempuan ini jelas membayangkan kebimbangan. Apalagi dia yakin bahwa tidak jauh dari tempat itu ada orang yang belum tunjukkan diri.

“Datuk.... Kuharap kau tidak menyesal atau kecewa jika aku tidak dapat menjelaskan padamu....”

“Putri Kayangan.... Aku sepertinya pernah mendengar nama setan itu!” gumam si nenek. “Sepertinya masih terngiang ditelingaku.... Tapi sialan benar! Aku lupa ingat tampangnya!”

“Brusss! Aku tidak heran dengan jawabanmu!” kata Datuk Wahing. “Mungkin kau takut ada orang lain yang mendengarnya!” Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu dipalingkan ke kanan. “Nyai... Kau tak usah khawatir apalagi heran. Dia adalah sahabat kita juga....”

Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, tiba-tiba dari balik sebatang pohon arah mana Datuk Wahing berpaling, muncul satu sosok laki-laki bertubuh gemuk besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau. Pada pinggangnya melilit ikat pinggang besar yang tepat di depan perutnya menggantung sebuah cermin bulat. Kepala laki-laki ini menghadap lurus ke arah Nyai Tandak Kembang. Sepasang matanya mengerjap. Bukan karena mengagumi kecantikan orang, melainkan karena sudah terlalu lama memejam. Selain itu karena ternyata sepasang mata laki-laki ini berwarna putih. Tanda jika dia orang buta.

“Gendeng Panuntun!” bisik Nyai Tandak Kembang mengenali siapa adanya laki-laki tambun bermata buta. 

Laki-laki bermata buta bertubuh tambun dan memang Gendeng Panuntun adanya melangkah ke arah Datuk Wahing seraya berujar. “Aromamu makin menusuk hidung saja. Tanda semakin tambah umur, kau makin tambah cantik menarik! Bagaimana kabarmu, Nyai...?!”

“Ucapannya jelas membuktikan kalau dia tahu aku bisa mengetahui kehadirannya di sekitar tempat ini dengan penciumanku....” Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati. Lalu tersenyum sembari berkata. “Aku baik-baik saja, Kek...!”

“Huh! Dasar setan laki-laki! Tidak bisa melihat pun masih bisa berkata memuji!” desis Dayang Sepuh dengan monyongkan mulut mendengar ucapan Gendeng Panuntun.

“Itulah setan laki-laki, Nek! Jelek pun kalau ada maunya pasti dikatakan cantik! Bahkan tidak ada pun harus diada-adakan!” sahut Gendeng Panuntun.

“Brusss! Herannya, perempuan sering kali takluk dengan pujian dan terpikat dengan sesuatu yang diada-adakan!” Datuk Wahing sambungi ucapan Gendeng Panuntun.

“Itu hanya akan dilakukan perempuan dungu dan perempuan setan!” seru Dayang Sepuh dengan sengit.

Gendeng Panuntun hentikan langkah disamping Datuk Wahing. Tangan kanannya mengusap cermin bulat di depan perutnya. Lalu berkata. “Nyai.... Sebaiknya kita saling berterus terang. Dengan keberadaanmu di sini, pasti kedua gadis yang kau cari itu ada di sekitar tempat ini! Dan kalau benar salah seorang gadis itu bergelar Putri Kayangan, kuharap kau nantinya tabah..."

Nyai Tandak Kembang terkesiap. Walau belum mengenal betul Dayang Sepuh, namun karena telah tahu siapa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun, kebimbangan Nyai Tandak Kembang jadi sirna. Hingga akhirnya dia buka mulut.

“Salah seorang yang kucari bernama Beda Kumala dan di luaran dia memang dikenal dengan Putri Kayangan! Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?”

“Brusss! Dan kau pasti tidak heran bila kukatakan yang satunya adalah Pitaloka!” kata Datuk Wahing.

“Benar, Datuk...,” jawab Nyai Tandak Kembang dengan dada makin gelisah. “Ada apa dengan kedua anak itu?! Ucapan Gendeng Panuntun mengisyaratkan akan terjadi sesuatu musibah. Apa yang dilakukan keduanya?!” Nyai Tandak Kembang menghela napas dalam. Dan seolah tidak sabar menunggu jawaban, perempuan dari lereng Gunung Semeru ini kembali ajukan tanya. “Harap kalian memberi keterangan padaku ada apa sebenarnya dengan gadis itu?”

“Dia hamil!” Yang menjawab adalah Dayang Sepuh.

Telinga Nyai Tandak Kembang laksana mendengar gelegar petir di tengah hari. Wajahnya berubah dengan dada berdebar dan sosok bergetar. Untuk beberapa lama dia coba kuasai guncangan jiwanya dengan tengadahkan kepala dan memejamkan mata. Di hadapan Nyai Tandak Kembang, Datuk Wahing berpaling pada Dayang Sepuh. Saat yang sama Gendeng Panuntun hadapkan wajahnya pula pada si nenek. Dayang Sepuh tampaknya dapat menangkap maksud gerakan kedua orang ini. Hingga dia segera saja berucap dengan suara ketus.

“Aku tak suka berbasa-basi! Bukankah kenyataannya memang demikian?! Gadis itu hamil!”

“Tak mungkin!” Mendadak Nyai Tandak Kembang menyahut. “Beda Kumala belum lama meninggalkan lereng Semeru! Selama ini aku tidak pernah mendengar dan tahu dia punya hubungan tertentu dengan seorang laki-laki! Bagaimana mungkin dia bisa hamil begitu cepat? Lagi pula. Apakah di antara kalian benar-benar sudah membuktikannya?!”

“Nyai.... Sebenarnya kami belum bisa memastikan siapa yang hamil!” Yang perdengarkan suara Gendeng Panuntun. “Namun satu hal yang pasti, satu di antara kedua gadis itu mengandung!”

Nyai Tandak Kembang menggigit bibirnya. Dalam hati dia berkata. “Apakah Pitaloka? Kepergiannya terakhir kali dari lereng Semeru enam purnama yang lalu. Tapi apakah mungkin...?! Dia memang anak yang kurang hati-hati dan ceroboh! Tapi aku tahu benar siapa dia!Tak mungkin dia berani bermain api dengan laki-laki! Hem.... Mereka bertiga pasti salah duga!”

Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya pada Gendeng Panuntun. Dia sebenarnya tahu bahwa ucapan Gendeng Panuntun jarang yang meleset. Namun dalam keadaan seperti saat ini, tampaknya Nyai Tandak Kembang lebih percaya pada apa yang diketahuinya. Karena dia telah hidup bertahun-tahun dengan Pitaloka dan Putri Kayangan.

“Kakek Gendeng Panuntun!” kata Nyai Tandak Kembang setelah agak lama terdiam dan bergulat dengan batinnya sendiri. “Dan kau Datuk Wahing serta Nenek.... Kalian boleh menduga, tapi aku bisa pastikan jika dugaan kalian salah! Tak mungkin salah satu di antara kedua gadis Ku mengandung! Aku tahu siapa mereka!”

Kepala Gendeng Panuntun manggut-manggut. “Kau memang berhak memastikan! Namun kau mau dengar sedikit cerita dariku?!”

Gendeng Panuntun tidak menunggu jawaban orang. Dia segera buka mulut lagi. “Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan Raja Tua Segala Dewa. Kau tentunya tahu siapa dia! Apa yang tadi kukatakan mengenai kedua gadis itu adalah penjabaran ucapannya! Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi setidaknya kau nanti tidak merasa terkejut....”

“Aku tahu siapa Raja Tua Segala Dewa! Untuk urusan lain mungkin aku percaya. Tapi dalam urusan ini, rasanya sulit bagiku untuk begitu saja percaya tanpa melihat dahulu buktinya!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya silih berganti pada ketiga orang dihadapannya. “Aku melihat keanehan.... Kalian sepertinya tahu benar urusan kedua gadis itu. Apa sebenarnya hubungan kalian dalam urusan ini?!”

Bruss! Brusss! Saat ini telah muncul seorang manusia yang kesaktiannya sulit dijajaki! Adalah mengherankan kalau kita harus berdiam diri walau hanya sedikit yang bisa kita perbuat!”

“Hem.... Lalu hubungannya dengan kedua gadis itu?!” Nyai Tandak Kembang kembali ajukan tanya.

“Kelak bayi dari salah seorang gadis itu yang dapat menghentikan manusia itu!” Yang menjawab adalah Gendeng Panuntun.

“Jadi kalian juga tengah mencari kedua gadis itu?!”

“Brusss! Betul! Hanya....”

Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Nyai Tandak Kembang telah menukas. “Harap kalian tidak kecewa. Hidup matinya kedua gadis itu berada di tanganku. Jadi... Setan pun tak akan kubiarkan untuk terlibat urusan dengan kedua gadis itu!”

Mendengar kata-kata Nyai Tandak Kembang yang sedikit agak keras, Gendeng Panuntun tertawa pelan. Lalu berujar. “Jangan berpikir terlalu jauh, Nyai.... Yang kami perbuat hanya sekadar memberi tahu sekaligus menyelamatkan gadis itu....”

“Menyelamatkan bagaimana maksudmu?!”

“Kalau sampai ada orang lain tahu jika bayi itu bukan bayi sembarangan, tentu keselamatan gadis itu setiap saat jadi incaran orang! Dan kami bertiga cuma sebatas itu bisa berbuat!”

“Aku belum paham maksudmu!” ujar Nyai Tandak Kembang.

“Kami hanya bisa menjaga keselamatan gadis itu sampai bayi dalam kandungannya lahir. Setelah itu hanya ada satu orang yang bisa bertindak dengan bayi itu!”

Nyai Tandak Kembang kembali menghela napas dalam. “Kalian pernah bertemu dengan kedua gadis itu?!”

“Brusss! Kami bertemu dengan keduanya kira-kira satu setengah purnama yang lalu! Seandainya kami tidak berjumpa saat keduanya sama-sama muncul,pasti kami akan dibuat terheran-heran! Karena tentu kami tidak bisa membedakan antara satu dengan lainnya!”

“Ketika kalian bertemu satu setengah purnama yang lalu, apakah kalian melihat tanda-tanda jika salah satu dari mereka tengah mengandung?!”

“Aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa memastikan saat itu tidak ada yang tengah mengandung!” jawab Gendeng Panuntun.

“Brusss! Kalau aku bisa melihat. Herannya aku tidak bisa memastikan apakah di antara mereka ada yang sedang mengandung. Mungkin pandangan nenek cantik ini lain, soalnya dia perempuan dan sangat banyak pengalaman! Bagaimana menurutmu, Nek?!” tanya Datuk Wahing seraya berpaling pada Dayang Sepuh yang sejak tadi hanya diam.

“Aku tidak tahu soal kandung-mengandung! Karena aku belum pernah mengalaminya!” jawab si nenek masih dengan nada ketus.

“Nyai.... Saat itu kami memang tidak terlalu memperhatikan, karena persoalan ini baru kami ketahui setelah pertemuan dengan kedua gadis itu!”

“Tapi kalian bisa memastikan bukan kalau saat itu keduanya tidak ada yang tengah mengandung?!”

“Setidak-tidaknya demikian...,” kata Gendeng Panuntun.

“Hem.... Kalau satu setengah purnama yang lalu Gendeng Panuntun bisa memastikan keduanya tidak ada yang tengah mengandung, tentu kejadiannya tidak lama berselang.... Ah, mengapa aku jadi ikut-ikutan percaya! Tidak mungkin mereka melakukannya! Aku harus segera mendapatkan mereka! Aku bisa memastikan mereka berdua ada di sekitar tempat ini. Setidaknya tidak berada di luar kawasan hutan!” Nyai Tandak Kembang bicara dengan diri sendiri. Lalu berkata.

"Terima kasih atas penjelasan kalian... Sekarang aku harus pergi!”

“Nyai.... Apakah tidak lebih baik kalau kita pergi bersama-sama?! Kedua gadis itu sangat dekat denganmu. Kau tentu akan lebih bisa memberi pengertian...,” kata Gendeng Panuntun.

“Brusss! Benar.... Terlalu mengherankan kalau sampai kita yang memberi pengertian. Sebab kami khawatir kalau mereka nantinya tidak mau mengerti.... Lagi pula sebenarnya kami takut jika hal ini akan menyinggung perasaannya!”

“Betul!” Dayang Sepuh menyahut. “Karena mereka gadis-gadis setan yang keras kepala!”

Nyai Tandak Kembang geleng kepala. “Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Karena aku tidak percaya dengan semua ini!”

“Hem.... Nenek dan cucu ternyata sama-sama setannya!” desis Dayang Sepuh.

Datuk Wahing menoleh pada Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun sendiri gerakkan kepala menghadap sang Datuk. Saat bersamaan Nyai Tandak Kembang berkata.

“Maaf.... Bukannya aku memandang sebelah mata dengan keterangan kalian. Tapi dalam urusan ini, kurasa apa yang kuketahui tentang kedua gadis itu lebih banyak daripada yang kalian tahu! Lebih dari itu, aku yakin mereka berdua tak mungkin melakukan tindakan sejauh yang kalian duga!”

“Nyai.... Apa yang kami lakukan hanya sekadar memberi tahu. Terserah padamu untuk percaya atau tidak! Tapi kalau seandainya nanti benar-benar terjadi, kuharap kau mau memberi pengertian...,” ujar Gendeng Panuntun.

“Aku tidak mau berjanji. Karena aku masih belum membuktikannya!” kata Nyai Tandak Kembang seraya memandang ke arah hutan lebat di depan sana. “Kalau boleh tahu. Kapan bayi itu akan dilahirkan?!”

“Bruss! Brusss! Terlalu mengherankan kalau kami bisa menentukan! Yang jelas dia akan lahir saat bulan purnama!”

“Berarti percuma kalian mencari kedua gadis itu kalau tidak tahu kapan waktu kelahirannya! Seratus tahun lagi mungkin masih ada bulan purnama!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah- kan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya. “Masih ada yang hendak kalian utarakan?!”

“Kedua cucumu itu sudah ada yang bersuami?!” Yang bertanya Dagang Sepuh.

“Itulah salah satu sebab mengapa aku belum percaya! Jangankan suami, kekasih pun kurasa mereka belum punya! Jadi adalah satu keanehan kalau mereka bisa hamil!”

Mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, mendadak Dayang Sepuh tertawa bergelak. “Kau rupanya lupa.... Kalau mau, tanpa suami atau kekasih pun seorang perempuan bisa mengandung!”

Tampang Nyai Tandak Kembang berubah merah padam. Namun perempuan ini masih memiliki perasaan. Seraya tertawa pendek dia berkata. “Perbuatan itu hanya akan dilakukan perempuan konyol! Dan kedua gadis itu bukan perempuan konyol! Dan perlu kalian ketahui, seandainya salah satu dari mereka mengandung dengan jalan konyol, aku tak segan-segan membunuhnya!”

“Itu akan membuat suasana makin keruh, Nyai...,” kata Gendeng Panuntun. “Rimba persilatan akan ditimpa malapetaka besar!”

“Persetan dengan itu semua! Itu juga bukan urusanku!”

“Nyai.... Kuharap kau mengerti. Dan tentunya kau tak ingin dunia persilatan ditimpa angkara murka!”

“Kurasa semua orang tahu jika kalian adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Tanpa melibatkan kedua gadis itu, aku yakin kalian mampu mengatasinya! Apalagi kudengar kalian tadi sebut-sebut tokoh Raja Tua Segala Dewa! Kalau tokoh seperti dia sudah ikut turun tangan, tentu tidak ada hal yang sulit!”

“Brusss! Brusss! Menurut hitungan mungkin ucapanmu ada benarnya! Tapi akan mengherankan jika semua hitungan pasti benar! Kalau Raja Tua Segala Dewa ikut turun tangan dan mengatakan bagaimana cara menghadapi, jelas menunjukkan hanya ada satu jalan! Dan itu sudah cukup bagi kami untuk sadar bilavkami tidak bisa berbuat banyak! Lagi pula kami malum, apa yang kami miliki hanyalah setetes air dari lautan yang luas! Kami selalu punya batas. Salah satunya adalah dalam menghadapi urusan sekarang ini!”

Nyai Tandak Kembang terdiam. Namun diam-diam dadanya makin tidak enak. “Apakah nasib buruk itu benar-benar akan menimpa Pitaloka dan Beda Kumala?! Hem.... Sebelum terlambat, aku harus cepat mendapatkan keduanya!”

Berpikir sampai di situ, akhirnya Nyai Tandak Kembang gerakkan kaki sembari berkata. “Aku harus segera pergi. Tapi sebelumnya aku berharap agar kalian justru mau mengerti akan diriku dengan tidak melibatkan kedua gadis itu dalam urusan ini! Jika urusanku telah selesai, tentu aku tidak keberatan untuk membantu kalian sesuai dengan kemampuanku....”

Tanpa menunggu sambutan dari ketiga orang di situ, Nyai Tandak Kembang berkelebat menuju arah hutan lebat di depan sana.

“Kehadirannya di sini jelas menguatkan petunjuk kalau kedua gadis itu berada di sekitar tempat ini!” Berkata Gendeng Panuntun.

“Tapi kemunculan setan itu akan menambah urusan baru!” Dayang Sepuh menyahut.

“Brusss! Seandainya manusia sinting dari Jurang Tlatah Perak hadir di sini, tidak heran jika Nyai Tandak Kembang akan mudah diatur!”

“Ah! Bagaimana mungkin! Justru kalau dia muncul, urusan akan makin sinting!” ujar si nenek sambil rapikan geraian poni rambutnya.

“Kita harus segera menyelidik hutan di depan itu!” kata Gendeng Panuntun. Saat bersamaan kakek bertubuh tambun ini membuat gerakan melompat-lompat. Dalam beberapa kejap sosok besarnya telah lenyap di antara kerapatan hutan di depan sana.

Dayang Sepuh dan Datuk Wahing saling pandang. Tanpa ada yang buka mulut, keduanya membuat gerakan. Saat lain kedua kakek-nenek ini telah lenyap masuk di antara kerapatan pohon dan semak hutan.

***
DUA
DI SATU tempat di tengah rimbun jajaran pohon dalam hutan, Nyai Tandak Kembang tegak bersandar dengan kepala tengadah. Terngiang kembali dalam telinganya semua ucapan Datuk Wahing, Gandeng Panuntun, dan Dayang Sepuh. Dada perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berdegup kencang. Sosoknya bergetar. Tiba-tiba kaki kanannya menghentak keras. Hingga tanah di bawahnya langsung terbongkar.

“Aku tak peduli! Siapa pun di antara keduanya yang berani membuat malu, akan kubunuh! Persetan dengan urusan dunia persilatan!”

“Tapi.... Apakah mungkin Pitaloka dan Beda Kumala melakukan hal yang tidak senonoh itu?!” Nyai Tandak Kembang kembali dibuncah kebimbangan setelah agak lama berpikir.

“Hem.... Hatiku belum tenang kalau belum bertemu dengan keduanya! Aku harus segera menemukannya sebelum ketiga orang itu mendahuluiku!” Nyai Tandak Kembang takupkan kedua tangannya yang pada sela jari telunjuk dan tengahnya menyelinap sekuntum bunga. Sepasang matanya dipejamkan. Lalu menarik napas beberapa kali. Saat lain perempuan ini tarik kedua tangannya yang menakup kedepan hidungnya. Dia mengendus beberapa kali. Lalu mendongak dengan kepala bergerak memutar dengan hidung terus mengendus-endus.

“Hem.... Satu berada di arah utara. Satunya lagi di selatan! Berarti mereka tidak bersama-sama. Dan aku mencium kehadiran orang di sekitar tempat ini! Apa ketiga orang tadi mengikuti langkahku?!” Nyai Tandak Kembang arahkan kepalanya pada satu jurusan. Hidungnya mengendus lalu menarik napas dalam-dalam.

“Bukan! Yang ada di sekitar tempat ini hanya satu orang, Dan bukan salah satu dari ketiga orang tadi! Hem.... Ternyata di hutan ini telah muncul beberapa orang! Apakah ini masih ada hubungannya dengan urusan Pitaloka dan Beda Kumala?!”

Baru saja Nyai Tandak Kembang membatin begitu, mendadak satu kejutan membuat si nyai melengak kaget. Ada orang perdengarkan suara dari arah samping.

“Berada sendirian di hutan yang begini sepi dan lebat tentu bukan tanpa maksud! Bukankah begitu?!”

Nyai Tandak Kembang palingkan kepala ke samping kanan. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian lusuh.

“Orang tua.... Siapa kau?!” tanya Nyai Tandak Kembang seraya memperhatikan orang di hadapannya dengan seksama.

Di lain pihak, orang yang baru muncul juga tengah mengawasi orang di hadapannya dengan hati bertanya-tanya. “Sejak Pitaloka berada di sini bersamaku, ini adalah orang ketiga yang kutemui. Dua lainnya adalah seorang gadis dan pemuda. Walau aku belum bertemu muka dengan gadis dan pemuda itu, namun jelas kemunculan keduanya di hutan ini bukan tanpa tujuan. 

Karena sudah berhari-hari mereka berdua berada di hutan ini! Hem.... Sebelum Pitaloka muncul, tidak seorang pun yang merambah hutan ini. Apa kemunculan orang-orang ini masih ada kaitannya dengan Pitaloka?!” Si orang tua di hadapan Nyai Tandak Kembang membatin. Lalu menjawab pertanyaan Nyai Tandak Kembang.

“Aku adalah salah seorang penghuni hutan ini. Namaku Kigali. Kau sendiri?”

“Dari sorot mata dan ucapannya, tampaknya orang tua ini berkata jujur. Tidak enak rasanya kalau aku berdusta...” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati. Lalu buka mulut. “Aku Nyai Tandak Kembang....”

“Apakah aku pernah mendengar nama yang baru saja diucapkan perempuan ini?” Orang tua di hadapan Nyai Tandak Kembang dan bukan lain adalah Kigali, orang yang telah menolong dan menyadarkan Pitaloka bertanya pada diri sendiri. “Ah.... Hidup berpuluh- puluh tahun di hutan ini membuatku lupa segalanya....” (Tentang pertemuan Kigali dan Pitaloka harap baca serial Joko Sableng dalam episode Titisan Pamungkas)

“Jangan anggap aku lancang kalau aku berani menanyakan sesuatu...,” kata Kigali dengan sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. “Kau tidak secara kebetulan bukan berada di hutan ini?!”

“Aku tengah mencari seseorang, Kek....”

Dada Kigali mulai berdebar. Seolah tak sabar dia segera ajukan tanya lagi. “Boleh aku tahu. Siapa yang kau cari?!”

“Dua orang gadis. Murid sekaligus cucuku.”

“Debaran dada Kigali makin keras. Paras wajahnya yang telah mengeriput berubah sedikit tegang. Nyai Tandak Kembang tampaknya dapat membaca perubahan orang. Hingga dia segera sambungi ucapannya.

“Kalau benar kau salah seorang penghuni hutan ini, harap kau sudi mengatakan padaku dengan terus terang. Apakah kau pernah bertemu dengan seorang gadis atau bahkan keduanya?!”

“Mengapa kau bertanya begitu? Apa kau yakin gadis itu berada di hutan ini?” Kigali balik bertanya.

Nyai Tandak Kembang menjawab dengan anggukkan kepala. Lalu kembali ajukan tanya. “Kau pernah bertemu?!”

Entah karena apa, Kigali menjawab pula dengan isyarat gelengan kepala. Lalu bertanya. “Kau bisa memberitahukan ciri-ciri atau nama gadis itu?”

Nyai Tandak Kembang sesaat merenung. Dia coba menyelami sikap orang. Diam-diam dia membatin. “Sikapnya berubah.... Kurasa dia menyembunyikan sesuatu!”

“Mereka berdua adalah saudara kembar. Paras mereka boleh dibilang cantik. Mereka sama mengenakan pakaian warna merah. Yang satu bernama Beda Kumala atau lebih dikenal dengan Putri Kayangan. Satunya lagi bernama Pitaloka!”

Kalau saja tidak sadar tengah berhadapan dengan siapa, pasti Kigali sudah surutkan langkah mendengar keterangan Nyai Tandak Kembang. Untung Kigali segera sadar dan langsung sunggingkan senyum seraya sambuti ucapan Nyai Tandak Kembang.

“Beberapa hari yang lalu, aku memang bertemu dengan seorang gadis. Namun dari ciri apalagi namanya, diabukanlah gadis yang kau cari....”

Nyai Tandak Kembang balas tersenyum. “Orang tua.... Kau telah lama menghuni hutan ini?!”

“Hampir setengah dari hidupku ku habiskan di tempat ini! Apa boleh buat. Karena aku tidak memiliki sanak saudara lagi!” Sambil menjawab begitu, sebenarnya Kigali berkata juga dalam hati.

“Gadis yang bersama pemuda itu kukenali juga berpakaian merah. Apakah dia yang bernama Putri Kayangan?! Sayang aku belum sempat melihat parasnya. Apakah perempuan ini telah tahu apa yang kini tengah dialami Pitaloka?! Menurut keterangan Pitaloka, sudah beberapa purnama dia tidak pulang ke tempat tinggal eyang gurunya. 

Berarti kalau benar perempuan ini yang dimaksud Pitaloka dengan eyang gurunya, maka dia pasti belum tahu apa yang saat ini menimpa Pitaloka! Hem.... Apakah aku harus mengatakannya terus terang?! Tapi.... Aku telah berjanji pada Pitaloka untuk tidak mengatakan semua ini pada siapa saja! Rahasia ini hanya aku dan Pitaloka yang tahu....”

“Ditinggal sanak saudara memang sangat menyedihkan! Tapi akan menyedihkan lagi kalau ditinggal cucu dengan satu urusan yang belum diketahui!”

“Ah.... Jadi kedua gadis itu punya satu urusan?” tanya Kigali ingin tahu apakah Nyai Tandak Kembang mengerti nasib yang menimpa Pitaloka.

Nyai Tandak Kembang menghela napas panjang. “Kukira setiap manusia tak lepas dari urusan,Orang Tua! Hanya aku kadang-kadang merasa heran dengan seseorang yang coba menyembunyikan sesuatu padahal orang itu tahu dan bisa membantu urusan orang!”

Paras muka Kigali tampak berubah mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. “Rupanya dia menyindirku.... Tapi aku tetap akan pegang janjiku pada Pitaloka! Lebih dari itu aku harus cepat membawa Pitaloka pergi jauh-jauh dari sini! Gadis berbaju merah serta pemuda itu pasti juga tengah mencari Pitaloka!”

Setelah berpikir begitu, Kigali berucap. “Harap jangan menduga kalau aku tahu urusanmu dan tidak bersedia membantu! Aku benar-benar tidak pernah bertemu dengan gadis yang kau cari....”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Namun senyum itu di mata Kigali tampak lain. “Orang tua.... Aku harus segera pergi...,” kata Nyai Tandak Kembang. Lalu dia membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah berkelebat dan ditelan rimbunnya jajaran pohon serta semak belukar di sekitar tempat itu.

“Sebenarnya aku tadi hendak menanyakan urusannya dengan Pitaloka. Namun hal itu mungkin akan menambah kecurigaannya! Tanpa kutanyakan saja ucapannya telah mengandung kecurigaan. Hem.... Aku harus cepat menyingkir bersama Pitaloka! Hutan ini sudah tidak aman lagi...,” gumam Kigali lalu balikkan tubuhdan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Sepasang mata bulat tampak memperhatikan gerak-gerik Kigali. Dan begitu Kigali berkelebat, si pemilik mata segera lakukan gerakan. Semak belukar menyibak. Lalu muncul satu sosok tubuh. “Aku harus mengikutinya.... Kurasa dia tahu di mana Pitaloka atau Beda Kumala berada!” gumam si pemilik mata yang ternyata Nyai Tandak Kembang.

Perempuan dari lereng Gunung Semeru ini rupanya tidak berkelebat jauh. Dia menyelinap di kerapatan semak belukar dan mencari posisi yang dapat mengawasi gerak-gerik Kigali. Dia merasa curiga dengan sikap Kigali. Maka begitu Kigali berkelebat, Nyai Tandak Kembang segera keluar dari kerapatan semak lalu ikut berkelebat ke arah mana tadi Kigali pergi.

***

Walau belum mengenal betul hutan di mana dia berada, namun dengan jalan penciumannya Nyai Tandak Kembang tidak kesulitan mengikuti jejak Kigali. Hingga meski jarak antara Nyai Tandak Kembang dan Kigali terpaut agak jauh, namun jalan yang ditempuh Nyai Tandak Kembang tidak meleset dari orang yang diikuti.

Di lain pihak, diam-diam sebenarnya Kigali tahu kalau diikuti orang dan dapat menduga siapa adanya orang yang berada dibelakangnya. Namun Kigali teruskan larinya seolah tidak merasa curiga. Namun Nyai Tandak Kembang tidak tahu, jika Kigali tidak menuju tempat di mana Pitaloka berada! Nyai Tandak Kembang pun seakan tenggelam mengikuti jejak Kigali. Hingga dia lupa jika dengan jalan penciumannya, tadi sudah bisa menentukan arah di mana Pitaloka atau Beda Kumala berada.

Sementara saat itu dia tengah berlari mengikuti Kigali yang menuju arah timur! “Hem... Bagaimana ini?! Sebenarnya mudah saja menyesatkan perempuan itu dengan cara terus berputar-putar. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan! Aku tak bisa meninggalkan Pitaloka terlalu lama. Bukan tak mungkin gadis dan perempuan itu nanti akan menemukan di mana Pitaloka berada. Belum lagi kalau masih ada orang lain! Sebaiknya aku menemui dia!” Kigali akhirnya memutuskan setelah berlari agak jauh dan merasa Nyai Tandak Kembang terus mengikutinya.

Di lain pihak, sebenarnya Nyai Tandak Kembang mulai sadar. “Ke mana dia berlari?! Sepertinya dia berputar-putar tak tentu yang ditujui. Jangan-jangan dia tahu kalau sedang kuikuti! Tapi akan kuikuti dahulu sementara waktu. Siapa tahu dia coba menyesatkan jalan orang....”

Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang hentikan larinya. “Hem... Sepertinya dia tengah berbalik arah menuju kemari! Apa maksudnya?!” seraya terus bertanya-tanya dalam hati dengan tindakan orang, Nyai Tandak Kembang cepat berkelebat mendekam di balik rumpun semak belukar.

Dan baru saja sosok Nyai Tandak Kembang lenyap mendekam, muncul sosok Kigali tidak jauh dari mendekamnya Nyai Tandak Kembang. Dada Nyai Tandak Kembang berdebar tidak enak melihat bagaimana Kigali tampak bergerak berputar dengan mata memperhatikan sekeliling.

“Rupanya dia tahu....” Selagi Nyai Tandak Kembang berkata begitu dalam hati, tiba-tiba Kigali sudah angkat suara.

“Nyai Tandak Kembang.... Aku tahu kau berada tidak jauh dari tempat ini! Harap kau tunjukkan diri! Kita harus bicara agar tidak ada saling curiga di antara kita!”

Di balik tempat persembunyiannya, Nyai Tandak Kembang menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan keluar. Raut wajahnya tampak sedikit berubah.

“Katakanlah apa maumu Nyai Tandak Kembang! Tak enak rasanya harus berputar-putar dengan dada saling dipenuhi kecurigaan!”

“Aku menduga kau tahu di mana gadis yang kucari!” Nyai Tandak Kembang berterus terang.

Kepala Kigali menggeleng. “Kau keliru menduga, Nyai! Aku tak tahu apa-apa dengan gadis itu!”

“Perubahan sikapmu mengatakan lain!”

“Itu bukan petunjuk kalau aku tahu gadis yang kau cari! Dan kuperingatkan padamu. Kau hanya akan buang-buang waktu kalau terus mengikutiku!”

Untuk kesekian kalinya Nyai Tandak Kembang menghela napas. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia tinggalkan Kigali.

“Harap kau tidak kecewa dengan ucapanku, Nyai! Aku tentu akan mengatakannya padamu jika sewaktu-waktu aku bertemu dengan gadis yang kau cari!” kata Kigali seraya memandang kepergian Nyai Tandak Kembang.

Nyai Tandak Kembang hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berujar. “Seharusnya hal itu kau katakan sekarang, Orang Tua! Tapi aku tak mau memaksa jika kau keberatan!”

Kigali gelengkan kepala perlahan. Tanpa buka mulut lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Hem.... Memang tidak seharusnya aku andalkan bantuan orang lain!” gumam Nyai Tandak Kembang. Lalu takupkan kedua tangannya di depan hidung. Saat lain perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berkelebat ke arah utara.

“Dia menuju ke utara.... Tapi sebaiknya aku tunggu dahulu! Siapa tahu ini hanya tipuan!” Kigali bergumam dari balik batangan sebuah pohon.

Ternyata laki-laki ini tidak berkelebat terlalu jauh. Dia sengaja menyelinap lalu memperhatikan Nyai Tandak Kembang. Kali ini dia tidak mau lagi diikuti. Maka dia sengaja menunggu agak lama sampai yakin Nyai Tandak Kembang tidak sedang melakukan tipuan dengan berpura- pura pergi tapi sebenarnya memutar jalan lalu mengikuti secara diam-diam. Setelah agak lama menunggu dan yakin Nyai Tandak Kembang tidak memutar jalan, Kigali balikkan tubuh lalu berkelebat ke arah selatan.

***
TIGA
DUA orang itu sama duduk bersandar pada satu batangan pohon dengan wajah sedikit muram. Tidak ada yang buka mulut. Malah mata masing-masing mengarah pada jurusan yang berlawanan. Namun tak lama kemudian, orang yang duduk di sebelah kanan tampak cengengesan sendiri dan berpaling pada orang satunya. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya panjang sebahu dililit ikat kepala berwarna putih pula.

“Kalau sedang bersedih, parasnya makin cantik saja...,” gumam si pemuda seraya terus pandangi orang yang duduk tidak jauh di sebelah kirinya.

Yang dipandang tampaknya maklum kalau dirinya tengah diperhatikan orang. Dia buru-buru gerakkan kepala sedikit. Dia adalah seorang gadis berparas luar biasa jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya hitam lebat dengan hidung mancung.

“Sejak semula aku sudah ragu! Nyatanya keraguanku terbukti! Sudah beberapa hari kita berada di hutan ini. Tapi Pitaloka tidak juga kita temukan! Sebaiknya kita pergi dari sini, Pendekar 131!” Berkata si gadis berbaju merah tanpa memandang.

Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Tanpa alihkan pandang matanya dari wajah si gadis, dia berkata. “Kuharap kau bersabar, Putri Kayangan.... Memang tidak mudah mencari seseorang di dalam hutan yang lebat dan luas begini! Tapi setidaknya kita sudah mendapat petunjuk tentang keberadaan Pitaloka di dalam hutan ini! Dan kalaupun kita mencari di tempat lain, tentunya kita masih meraba-raba!”

“Itu lebih baik daripada kita diberi petunjuk tapi nyatanya tidak terbukti, Pendekar 131!”

“Panggil saja Joko, Putri...,” ujar murid Pendeta Sinting seraya melangkah mendekati si gadis yang ternyata adalah Putri Kayangan, saudara kembar Pitaloka.

Seperti diketahui, saat Putri Kayangan terlibat bentrok dengan Setan Liang Makam, muncullah Dewi Ayu Lambada bersama Iblis Ompong. Tak lama kemudian muncul pula murid Pendeta Sinting. Begitu Setan Liang Makam sadar siapa yang tengah dihadapi, cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini segera pergi.

Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Pendekar 131 lalu menceritakan terus-terang apa yang didengarnya dari Raja Tua Segala Dewa dan Dewa Uuk. Namun Putri Kayangan tidak bisa menerima ucapan Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta murid Pendeta Sinting. Saat itulah muncul Dewa Uuk yang juga adik kandung Dewi Ayu Lambada.

Pada akhirnya Dewa Uuk memberi petunjuk di mana arah keberadaan Pitaloka. Walau tidak percaya, namun dengan keyakinan yang dikatakan Pendekar 131, akhirnya Putri Kayangan pergi juga bersama murid Pendeta Sinting ke arah yang ditunjukkan Dewa Uuk. Namun begitu menemukan hutan lebat yang menurut dugaan Joko adalah tempat yang dimaksud oleh Isyarat Dewa Uuk, Putri Kayangan dan Pendekar 131 belum juga menemukan Pitaloka.

Putri Kayangan menoleh. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pandang. Putri Kayangan rasakan dadanya berdebar setiap beradu pandang. Hingga dia tidak berani terlalu lama memandang dan segera alihkan pandangan. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati.

“Seandainya tidak bersama dengan dia.... Tak mungkin aku menuruti petunjuk itu! Apakah benar antara dia dengan Saraswati ada hubungan tertentu? Gadis itu sangat khawatir dan selalu mencemburuiku! Ah....”

“Kau memikirkan sesuatu?!” Tiba-tiba murid Pendeta Sinting ajukan tanya membuat Putri Kayangan tersentak. Lalu gelengkan kepala dan berucap.

“Tak ada yang memenuhi benakku selain bagaimana caranya menemukan Pitaloka! Bukan untuk membuktikan semua dugaan-dugaan yang mustahil itu. Melainkan semata-mata itu perintah yang ku emban dari Eyang Guru!”

“Selain mencari Pitaloka kau juga pernah mengatakan hendak menemui eyang guruku. Boleh aku tahu siapa eyang gurumu?”

“Dia Guru sekaligus eyangku sendiri! Dia dikenal dengan sebutan Nyai Tandak Kembang!”

“Sepertinya eyang guruku pernah sebut-sebut nama itu,” ujar Joko pelan. “Kau tahu sampai di mana hubungan antara eyangmu dengan eyang guruku?”

“Aku tak tahu.... Mengapa kau tanyakan hal itu?!”

“Siapa tahu diantara mereka berdua ada hubungan tertentu! Dengan begitu kita bisa jadi saudara...!”

“Maksudmu?!” tanya Putri Kayangan dengan mata sedikit membelalak.

“Seandainya eyang guruku ada jodoh dengan eyangmu....”

Putri Kayangan tertawa. “Jangan berharap yang tidak-tidak! Eyangku memang hidup sendirian. Tapi kukira jauh dari memikirkan soal perjodohan! Apalagi akhir-akhir ini selalu disibukkan dengan urusan Pitaloka!”

“Pitaloka.... Aku tak habis pikir, mengapa dia berada di hutan ini! Padahal....” Gumaman murid Pendeta Sinting belum selesai, Putri Kayangan telah menyahut.

“Itulah salah satu sebab mengapa aku tambah yakin petunjuk dan dugaan tentang Pitaloka tidak benar! Sudah berhari-hari kita berada di hutan ini. Sejauh ini kita tidak bertemu dengan seorang pun! Sepertinya hutan ini jarang sekali dirambah manusia. Adalah hal aneh kalau Pitaloka berada di sini! Untuk apa?! Lebih aneh lagi dia akan melahirkan pada purnama mendatang! Padahal purnama sudah tidak lama lagi. Sementara waktu kita bertemu satu purnama lebih yang lalu, aku yakin Pitaloka belum apa-apa!”

“Tapi siapa tahu Pitaloka punya seorang kekasih tanpa sepengetahuanmu?”

“Itu mungkin saja. Tapi aku tetap kurang yakin kalau Pitaloka sampai berani berbuat terlalu jauh. Selain harus menanggung beban dengan diri sendiri, dia tentu memperhitungkan eyangku! Dan Pitaloka tak mungkin berani ambil risiko! Dia tahu bagaimana sifat Eyang....”

Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Putri.... Kau pernah jatuh cinta?!”

Pertanyaan Joko membuat Putri Kayangan terkesiap. Air mukanya berubah. Dadanya berdebar lalu memandang tajam pada Joko. Namun cuma sekejap. Saat lain kepalanya bergerak memaling. Diam-diam dalam hati dia berkata.

“Aku tak tahu pernah jatuh cinta atau tidak! Yang jelas aku selalu damai begitu berada di sisinya! Dan sebenarnya aku tidak suka dengan sikap gadis bernama Saraswati yang....” Belum sampai Putri Kayangan sempat teruskan kata hatinya, murid Pendeta Sinting telah perdengarkan suara lagi.

“Putri.... Menurut orang yang pernah mengalami jatuh cinta, hal apa pun tidak dapat menghalanginya! Dan risiko apa pun akan diambilnya! Jangankan hanya hidup di hutan begini rupa atau menghadapi eyangmu, mati pun mungkin bukan halangan yang berarti!”

“Kau pernah mengalaminya?!” Putri Kayangan balik bertanya.

Pendekar 131 bukannya menjawab, sebaliknya pandangi Putri Kayangan. Di lain pihak, karena agak lama tidak terdengar jawaban, Putri Kayangan segera berpaling. Saat itulah murid Pendeta Sinting berucap.

“Rasanya aku belum pernah merasa bahagia sebagaimana saat ini! Aku tidak tahu. Apakah perasaan ini awal dari sebuah rasa jatuh cinta....”

Dada Putri Kayangan berdegup keras. Wajahnya merah. Untuk beberapa lama dia memandang ke dalam bola mata murid Pendeta Sinting. Mulutnya sebenarnya sudah hendak membuka. Namun tiba-tiba terlintas bayangan Saraswati di pelupuk matanya. Hingga dia kancingkan mulut kembali seraya berpaling ke jurusan lain.

Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu mendekati Putri Kayangan. Tangan kiri kanannya mengambil kedua tangan si gadis lalu digenggamnya. Putri Kayangan bergetar. Namun tak berusaha menarik pulang kedua tangannya. Entah karena apa, tiba-tiba dia bergumam tanpa berani memandang.

“Saraswati.... Kau masih ingat gadis cantik itu?!”

Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, mendadak satu bayangan putih berkelebat. Putri Kayangan dan Pendekar 131 segera palingkan kepala. Memandang ke depan, sekonyong-konyong paras Putri Kayangan berubah tegang. Pada saat yang sama kedua tangannya ditarik pulang dari genggaman kedua tangan murid Pendeta Sinting. Di lain pihak, Joko sesaat memperhatikan orang di depan sana.

“Usianya tidak muda lagi. Tapi rupanya masih cantik. Siapa dia?!” Joko berkata dalam hati melihat seorang perempuan berusia empat puluh tahunan mengenakan pakaian putih sebatas dada. Wajahnya kelihatan masih cantik. Rambutnya hitam digelung ke belakang. Pada rambutnya tampak beberapa tangkai kembang. Demikian pula pada sela jari telunjuk dan tengah pada kedua tangannya.

Karena sesaat terkesima dengan perempuan yang baru muncul, murid Pendeta Sinting tidak sempat melihat perubahan pada Putri Kayangan. Malah tarikan kedua tangan Putri Kayangan diduga hanya karena malu dengan hadirnya perempuan berpakaian putih. Hingga dengan, tersenyum lebar Joko segera buka mulut.

“Rasanya kita pernah jumpa.... Hanya sayang aku lupa di mana. Tidak keberatan mengingatkan aku?!”

Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Bahkan hanya memandang sekilas pada murid Pendeta Sinting. Lalu menatap tajam pada Putri Kayangan. Masih dengan tersenyum lebar dan tanpa melihat pada Putri Kayangan, Pendekar 131 berbisik.

“Putri.... Seorang perempuan saja lebih tertarik melihatmu daripada melihat tampangku!”

Putri Kayangan seolah tidak mendengar bisikan Joko. Dia terpaku dengan mulut terkancing rapat. Paras wajahnya jelas membayangkan ketakutan dan tidak berani memandang pada Nyai Tandak Kembang. Dadanya gelisah tak karuan. Dia tak tahu harus berbuat apa dan berkata bagaimana.

“Bibi cantik...,” kata Joko setelah memperhatikan sekali lagi pada Nyai Tandak Kembang. “Perjumpaan kita memang sudah lewat terlalu lama. Jadi harap mengerti kalau aku....”

“Siapa kau, Anak Muda?!” Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang bertanya menukas ucapan murid Pendeta Sinting. Namun sejauh ini Nyai Tandak Kembang masih arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan.

“Ah.... Ternyata bukan hanya aku yang lupa! Kau juga tidak ingat padaku! Tapi apakah kau ingat di mana terakhir kali kita bertemu?!”

“Jangan berani bicara lancang, Anak Muda! Kita belum pernah bertemu! Dan lekas katakan siapa kau adanya!” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara agak keras. Kali ini ekor matanya melirik pada murid Pendeta Sinting.

Pendekar 131 kembali tersenyum lalu berkata. “Aku Joko.... Joko Sableng. Gadis cantik di sampingku ini Putri Kayangan....”

“Dari mana asalmu?!” Kembali Nyai Tandak Kembang ajukan tanya. Sekarang matanya menatap tajam pada murid Pendeta Sinting.

Joko tidak segera menjawab, sebaliknya berpaling pada Putri Kayangan. Sesaat dia mengernyit melihat perubahan pada sosok Putri Kayangan. “Putri.... Kau tak usah cemas.... Dari parasnya dia bukan orang jahat!”

Putri Kayangan sudah hendak buka mulut. Namun murid Pendeta Sinting sudah berpaling lagi memandang ke arah Nyai Tandak Kembang dan berkata menjawab. “Aku lahir di Kampung Anyar.... Kau sendiri siapa?! Juga dari mana asalmu, Bibi Cantik?!”

“Kau punya gelar?!” Nyai Tandak Kembang bukannya menjawab melainkan ajukan tanya lagi.

“Ah.... Banyak benar pertanyaanmu!” gumam murid Pendeta Sinting lalu berkata. “Aku memang punya gelar. Tapi aku tak akan mengatakan padamu. Takut jangan-jangan kau akan lebih banyak tanya. Lebih dari itu mungkin kau tak akan percaya!”

“Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda! Katakan saja siapa gelarmu!” ujar Nyai Tandak Kembang. Kini pandangannya beralih lagi pada Putri Kayangan.

“Beda Kumala.... Sungguh aku hampir tak percaya dengan semua ini!” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati dengan dada berdebar kencang. Matanya beralih dari wajah Putri Kayangan ke perut si gadis. Bahu perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berguncang.

“Apakah keberadaan Beda Kumala dengan pemuda itu satu petunjuk jika dugaan orang-orang itu akan menjadi kenyataan?! Beda Kumala mengandung?! Ah.... Aku tak menduga sama sekali! Tapi mengapa Beda Kumala? Bagaimana secepat itu bisa terjadi? Bagai- mana aku bisa salah duga pada Beda Kumala selama ini?! Ah.... Itu tak penting! Yang jelas sekarang Beda Kumala telah menyia-nyiakan kepercayaanku!”

“Anak muda! Kau dengar pertanyaanku! Jangan membuat aku habis kesabaran!” kata Nyai Tandak Kembang setelah ditunggu agak lama tidak juga terdengar jawaban dari mulut murid Pendeta Sinting.

“Gelarku.... Siluman Lembah Cinta....”

Nyai Tandak Kembang mendelik. Tampaknya dia tahu kalau ucapan Joko berdusta. Sementara Putri Kayangan masih salah tingkah dan tampak makin takut. “Beda Kumala! Mendekatlah kemari!” Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang berteriak.

Putri Kayangan terkesiap. Dia memandang silih berganti pada Nyai Tandak Kembang dan Pendekar 131. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting terkejut mendapati orang tahu nama asli Putri Kayangan.

“Putri.... Kau mengenal Bibi Cantik itu?!”

Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya melangkah takut-takut ke arah Nyai Tandak Kembang.

“Cepat, Beda Kumala!” sentak Nyai Tandak Kembang. Dan seolah tak sabar, Nyai Tandak Kembang melompat ke depan. Lalu diseretnya Putri Kayangan menjauh.

“Beda Kumala! Katakan apa yang telah kau lakukan dengan pemuda itu!” Nyai Tandak Kembang sudah menghardik seraya pandangi perut Putri Kayangan.

“Bibi.... Siapa kau sebenarnya?! Harap tidak ikut campuri urusanku dengan gadis itu! Dia....”

Nyai Tandak Kembang berpaling. “Tetap di tempatmu! Jangan berani mendekat atau kugebuk kepalamu! Dan jangan buka mulut tanpa kutanya!”

“Lekas katakan, Beda Kumala! Apa yang kau lakukan dengan pemuda itu! Jangan berani berdusta atau tanganku akan membunuhmu!” Nyai Tandak Kembang kembali perdengarkan bentakan keras.

“Eyang.... Kami.... Kami tak melakukan apa-apa....”

“Astaga! Jadi dia adalah eyangnya...,” gumam murid Pendeta Sinting. Lalu buru-buru melangkah hendak mendekat.

“Tetap di tempatmu!” Nyai Tandak Kembang membentak tanpa berpaling, membuat Pendekar 131 hentikan langkah. Belum sempat Joko buka mulut, terdengar Nyai Tandak Kembang sudah membentak.

“Beda Kumala! Aku masih memberimu kesempatan!”

“Eyang.... Kami hanya bersahabat.... Harap Eyang tidak menduga yang bukan-bukan....”

Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala dengan dada bergerak turun naik. Sepasang matanya terpejam. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas taklama kemudian dia luruskan kepala dengan mendelik angker pada Putri Kayangan.

***
EMPAT
"BEDA kumala! Dugaanku selama ini padamu ternyata meleset! Pantas kau menyuruh Tokoh-tokoh Penghela Tandu untuk pulang dahulu!” Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. “Kau telah pergunakan kepercayaanku untuk hal yang tidak semestinya!”

“Eyang....”

“Jangan berdalih!” potong Nyai Tandak Kembang. “Aku melihat dengan mata kepala sendiri! Dan sekarang jawab. Berapa bulan kandunganmu?!”

Putri Kayangan terlengak. Murid Pendeta Sinting tak kalah kagetnya. Dia sudah buka mulut, tapi Putri Kayangan mendahului.

“Eyang.... Kami tak melakukan apa-apa! Aku tidak mengandung!”

Nyai Tandak Kembang tertawa pendek. “Berada bersama seorang pemuda di dalam hutan yang sepi begini, mana mungkin kau tidak melakukan apa-apa! Aku sungguh menyesal menugaskanmu mencari Pitaloka kalau kenyataannya justru kau yang terjerumus! Tapi itu semua tidak ada gunanya lagi. Semua sudah terjadi. Dan kau harus menerima hukuman! Aku tak mau punya murid dan cucu yang membuat malu!”

“Eyang.... Kami....”

“Ucapan apa pun tak akan membuatku luluh. Beda Kumala!” tukas Nyai Tandak Kembang lalu tanpa pedulikan pada Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang berpaling pada Pendekar 131. “Kau laki-laki pengecut! Kau membuat malu!” Nyai Tandak Kembang berteriak setengah menjerit dengan kedua tangan diangkat.

“Eyang.... Tahan!” seru Putri Kayangan lalu jatuhkan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang.

“Hem.... Apa pun yang akan kau lakukan, jangan mimpi aku bisa memaafkan perbuatanmu, Beda Kumala! Sebaliknya kau dan pemuda itu harus mampus sekarang juga!”

“Eyang....” Joko ikut-ikutan memanggil Eyang pada Nyai Tandak Kembang. “Harap kau dengar dulu penjelasanku!” katanya dengan suara bergetar.

“Aku tak butuh penjelasan! Apa yang kulihat sudah cukup memberi penjelasan!”

“Tapi kau salah paham! Bukannya Beda Kumala yang tengah mengandung, tapi....” Joko tak teruskan ucapannya, sebaliknya memandang pada Putri Kayangan yang saat itu angkat tangannya seolah memberi isyarat.

“Teruskan ucapanmu!” bentak Nyai Tandak Kembang. “Dia tidak mengandung, tapi apa?! Dia hamil, begitu?!”

“Susah! Apa bedanya mengandung dengan hamil?!” gumam murid Pendeta Sinting. Kalau saja tidak tengah berhadapan dengan Nyai Tandak Kembang yang masih dibalut salah paham, tentu tawa Joko sudah meledak.

“Eyang.... Aku memang belum tahu pasti. Hanya menurut dugaan beberapa orang, Pitaloka yang sekarang tengah mengandung...,” kata Putri Kayangan sambil angkat wajahnya memandang pada eyang gurunya.

“Kau jangan memutar balik kenyataan, Beda Kumala! Kau yang tengah berduaan dengan pemuda asing, mengapa Pitaloka yang kau jadikan kambing hitam! Di mana Pitaloka sekarang?!”

“Kami tengah mencarinya, Eyang....”

Nyai Tandak Kembang kembali perdengarkan tawa pelan. “Tugasmu memang mencarinya. Tapi bukan di hutan begini dan tidak bersama pemuda asing!”

“Tapi menurut petunjuk, Pitaloka berada di sekitar hutan ini....” Yang menyahut murid Pendeta Sinting.

“Itu petunjuk konyol! Kau hanya cari tempat yang sepi agar bisa melakukan apa saja tanpa ada orang yang tahu!”

“Eyang.... Kalau Eyang masih tak percaya, aku tak bisa berkata apa-apa lagi! Tapi sebelum Eyang menjatuhkan hukuman, Eyang boleh periksa diriku!” kata Putri Kayangan seraya beranjak bangkit.

Nyai Tandak Kembang perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Matanya menatap berkilat-kilat pada Putri Kayangan. Lalu beralih pada Pendekar 131 yang tersenyum sambil anggukkan kepala. Nyai Tandak Kembang menggumam tak jelas. Saat lain tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke arah perut Putri Kayangan.

Untuk beberapa saat kedua tangan Nyai Tandak Kembang menakup pada perut si gadis. Lalu diangkat dan didekatkan pada hidungnya. Nyai Tandak Kembang menarik napas berulang kali. Sementara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting sama memperhatikan dengan seksama, dengan dada sama berdebar.

“Hem.... Aku tidak mencium aroma bayi dalam kandungannya! Berarti anak ini tidak hamil!” Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati sembari menarik napas lega. Siapa pemuda asing itu, Beda Kumala?!” Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang ajukan tanya dengan suara setengah berbisik.

Putri Kayangan tersenyum. Nada suara eyangnya sudah cukup membuat sang Putri maklum kalau kemarahan eyangnya sudah sirna. Namun dia belum juga segera menjawab. Bagaimanapun juga Putri Kayangan merasa malu diketahui eyangnya bersama seorang pemuda. Apalagi saat itu dia tengah saling bergenggaman tangan.

“Beda Kumala.... Siapa pemuda itu?!” Kembali Nyai Tandak Kembang bertanya. “Aku yakin dia tadi berdusta sebutkan gelarnya padaku!”

“Dia adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting....”

Nyai Tandak Kembang sesaat terkejut. Dia segera alihkan pandangannya pada Joko dan seolah baru saja melihat, dia tatapi orang lebih seksama. “Hem.... Sikapnya menghadapi orang memang tak jauh berbeda dengan Pendeta Sinting....”

“Bagaimana kau bisa bersama dengannya?!” Nyai Tandak Kembang ajukan tanya lagi dengan suara masih direndahkan.

“Ceritanya panjang, Eyang.... Yang jelas saat ini aku dan dia tengah mencari Pitaloka.”

“Siapa yang memberi petunjuk padamu?!”

“Seorang laki-laki bergelar Dewa Uuk. Saat itu dia bersama seorang nenek bernama Dewi Ayu Lambada dan Kakek Iblis Ompong....”

“Hem.... Kalau tokoh-tokoh seperti mereka turun lagi dalam kancah rimba persilatan, tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi! Munculnya Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun memperkuat hal ini! Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Apakah ini ada kaitannya dengan bayi yang disebut-sebut itu?!” Nyai Tandak Kembang membatin. “Beda Kumala tidak mengandung.... Apa mungkin Pitaloka?!”

“Beda Kumala. Kau sudah bertemu dengan Pitaloka?!” tanya Nyai Tandak Kembang setelah berpikir agak lama.

“Aku pernah bertemu dengannya. Namun sayang saat itu aku tak berhasil membawanya...”

“Apa dia bersama seorang laki-laki?!”

“Pertanyaan dan sikapnya yang tadi mencurigaiku hamil menunjukkan kalau Eyang telah tahu apa yang saat ini tengah terjadi. Setidaknya telah bertemu dengan orang yang selama ini menduga akan lahir seorang bayi!” kata Putri Kayangan dalam hati lalu berkata.

“Dia memang sendirian. Tapi saat kutinggalkan, dia bersama Setan Liang Makam, dan beberapa orang lainnya.”

“Apa saat itu kau dapat melihat tanda-tanda kalau dia tengah mengandung?!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Eyang percaya dengan dugaan itu?!”

Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Dia kembali pandangi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata. “Beda Kumala.... Aku memang tidak begitu saja percaya. Tapi sebagai nenek dan Pitaloka adalah perempuan, kekhawatiran itu jelas ada!” Saat itulah tiba-tiba Nyai Tandak Kembang teringat pertemuannya dengan Kigali.

“Beda Kumala. Kau pernah bertemu dengan seorang kakek bernama Kigali?!”

Putri Kayangan menatap sesaat pada eyangnya lalu menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Sementara murid Pendeta Sinting yang mendengar pertanyaan Nyai Tandak Kembang tampak kerutkan dahi.

“Kigali.... Aku pernah mendengar nama itu! Betul aku pernah mendengarnya!” gumam Joko lalu merenung. “Hem.... Aku ingat. Nama itu pernah disebut- sebut Datuk Wahing!”

“Eyang.... Aku tahu orang yang namanya baru kau sebut!” Pendekar 131 segera berujar, membuat Nyai Tandak Kembang sedikit heran.

“Kigali mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di dalam hutan ini! Dia juga mengatakan tidak pernah bertemu dengan siapa pun! Anak itu masih muda. Adalah aneh kalau dia tahu.... Siapa yang berdusta? Anak itu atau si orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali?!”

Berpikir begitu, akhirnya Nyai Tandak Kembang buka mulut bertanya. “Kau pernah bertemu dengannya, Pendekar 131?!”

“Ah... Panggil saja dengan Joko, Eyang...”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Lalu ulangi pertanyaannya.

“Aku tidak pernah bertemu dengan Kigali. Tapi aku pernah dengar ceritanya dari seorang sahabat!”

“Siapa yang bercerita?!”

“Kakek Datuk Wahing!”

“Hem.... Lalu siapa dia sebenarnya?!”

“Menurut Kakek Datuk Wahing, dia dahulu adalah orang kepercayaan seorang tokoh dari generasi Kampung Setan bernama Maladewa yang sekarang bergelar Setan Liang Makam. Datuk Wahing menduga, Kigali bersama seorang temannya yang juga orang kepercayaan Maladewa adalah orang yang memasukkan Maladewa ke dalam makam batu di Kampung Setan!”

“Hem.... Mungkin inilah pangkal sebab munculnya beberapa tokoh itu! Kudengar Datuk Wahing bersama Gendeng Panuntun tadi juga sebut-sebut Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Lalu mereka mengaitkannya dengan bayi! Aku sekarang dapat menebak....”

“Eyang mengenal Kigali?! Apa dia masih hidup?!” Joko ajukan tanya.

“Aku baru saja bertemu dengannya. Aku menduga dia tahu di mana Pitaloka berada saat ini!”

“Bagaimana Eyang bisa menduga begitu?!” Yang bertanya kali ini Putri Kayangan.

“Dari perubahan sikapnya. Serta ucapannya yang mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di hutan ini. Padahal aku yakin Pitaloka berada di hutan ini!”

“Bagaimana Eyang bisa yakin Pitaloka berada di hutan ini?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang pasti kalau aku yakin Beda Kumala dan kau berada di sini dan kenyataannya demikian, tentu keyakinanku tentang Pitaloka tidak akan meleset!”

“Apakah kau juga yakin tentang dugaan beberapa sahabatku?!”

“Niatku pertama kali memang hanya mencari Pitaloka! Tapi kali ini sekaligus ingin membuktikan dugaan itu! Beda Kumala sudah terbukti tidak mengandung. Kuharap Pitaloka demikian juga!”

Murid Pendeta Sinting memandang silih berganti pada Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang. Lalu bertanya. “Eyang.... Sekarang aku boleh melangkah dari tempat ini,bukan?!”

Nyai Tandak Kembang tersenyum. Putri Kayangan melirik malu-malu lalu memandang pada eyang gurunya. Joko gerakkan kaki mendekat ke arah Nyai Tandak Kembang yang tegak di samping Putri Kayangan.

“Beda Kumala.... Walau aku mengenal gurunya, namun aku belum tahu benar muridnya! Kau harus tetap berhati-hati!” bisik Nyai Tandak Kembang, membuat Putri Kayangan tersipu.

“Kau kutemukan di bagian utara hutan ini. Berarti Pitaloka yang berada di bagian selatan! Kita harus segera menuju ke selatan!” kata Nyai Tandak Kembang. Tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang berteriak seraya berkelebat. “Ikuti aku!”

Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Pendekar 131 yang melangkah dengan keheranan melihat kelebatan Nyai Tandak Kembang. Belum sempat Joko tahu apa maksud Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan telah berkelebat seraya berseru.

“Joko! Kita ikuti Eyang Guru!”

Walau masih bertanya-tanya, namun akhirnya murid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan.

***
LIMA
KIGALI kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Hingga kelebatan sosoknya hanya laksana bayang-bayang. Namun belum sampai jauh berlari, tiba-tiba laki-laki ini hentikan larinya lalu laksana dikejar setan, dia melompat masuk ke balik kerapatan semak belukar dan mendekam tanpa membuat suara atau gerakan! Hanya sepasang matanya yang berputar liar memandang ke satu arah.

Pada arah mana mata Kigali memandang liar, mendadak satu sosok bayangan berkelebat dan tegak di depan sana. Baru saja sosok ini tegak, dua sosok bayangan berlari dari belakangnya lalu tegak di samping kanan kiri sosok yang pertama tegak. Sepasang mata Kigali makin membelalak tak berkesip perhatikan ketiga orang di depan sana dengan dada berdebar.

Orang yang tegak di tengah dan orang yang pertama muncul adalah seorang nenek berwajah putih tebal. Bibirnya merah menyala dipoles. Rambutnya yang putih lebat dikelabang dua dan pada ujungnya diberi pita. Rambut bagian depannya diponi menutupi kening. Nenek ini mengenakan pakaian warna merah berupa baju tanpa lengan dan cingkrang hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sedangkan pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut yang berwarna merah.

Di sebelah kanan si nenek yang tidak lain adalah Dayang Sepuh, tegak seorang kakek mengenakan pakaian putih kusam. Rambutnya sudah memutih dan tipis. Kepala kakek ini terus bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik seperti orang akan bersin. Kakek ini bukan lain adalah Datuk Wahing.

Sementara di sebelah kiri si nenek adalah seorang laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang pada pinggangnya melilit ikat pinggang besar yang pada bagian depannya tepat di depan perut terlihat sebuah cermin bulat. Kepala kakek tambun ini sedikit tengadah dengan mata mengerjap beberapa kali. Dan ternyata sepasang mata si kakek berwarna putih, menunjukkan kalau dia buta. Kakek ini tak lain adalah Gendeng Panuntun.

“Hem.... Makin banyak orang-orang yang muncul di hutan ini! Aku tak tahu pasti apa tujuan mereka, hanya mungkin saja masih ada hubungannya dengan Pitaloka! Mengapa Pitaloka begitu dicari banyak orang?! Kalau perempuan cantik yang menamakan dirinya Tandak Kembang mungkin saja alasannya bisa kuterima! 

Tapi yang ini pasti punya maksud lain! Hem.... Pitaloka tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Dia juga tidak membawa benda mustika yang pantas diperebutkan! Kalaupun dia memiliki modal, itu hanyalah wajahnya yang cantik!” Kigali diam-diam membatin dengan mata terus perhatikan pada ketiga orang di depan sana.

“Jangan-jangan mereka tengah memperebutkan bayi dalam kandungan Pitaloka.... Ah! Tapi untuk apa?! Hem.... Peduli dengan maksud mereka, yang jelas aku harus segera membawa Pitaloka dari hutan ini!”

Berpikir begitu, Kigali segera gerakkan kepala pelan dengan mata melirik ke samping kiri kanan. Namun sebelum Kigali sempat bergerak keluar, sekonyong-konyong terdengar bersinan tiga kali, membuat Kigali urungkan niat dan memandang ke depan. Saat bersamaan tiba-tiba terdengar suara.

“Sahabat... Apakah tampang kami bertiga mengherankanmu sampai kau memandang sembunyi-sembunyi?!”

Kigali simak ucapan orang dengan seksama. Dia rupanya maklum kalau telah diketahui tengah sembunyi. Namun dia belum membuat gerakan atau perdengarkan suara.

“Sahabat...,” Kali ini yang buka mulut Gendeng Panuntun. “Kami hanya perlu sedikit keterangan. Harap suka tunjukkan diri....”

Di balik tempat mendekamnya, Kigali masih bimbang hingga untuk sementara dia belum bergerak atau menyahuti ucapan orang. Namun dari sikap orang, Kigali tampaknya sadar tengah berhadapan dengan orang-orang yang berilmu tidak rendah.

Karena ditunggu-tunggu tidak juga adanya tanda-tanda akan munculnya orang, Dayang Sepuh yang tidak sabaran segera buka mulut berteriak keras. “Setan sekalipun kau adanya, mengapa malu tunjukkan tampang?! Kami tahu kau ada di sana! Apa kau perlu bahasa selain ucapan?!”

“Daripada cari urusan yang membuat langkahku terhambat, lebih baik ku turuti permintaan mereka...!” Akhirnya Kigali memutuskan lalu melangkah keluar dari kerapatan semak belukar.

“Setan laki-laki!” desis Dayang Sepuh sambil melotot pandangi orang.

Gendeng Panuntun melangkah menghampiri Datuk Wahing. Lalu berbisik. “Datuk.... Aku tak mengenal orang itu. Tapi kurasa kau mengenalnya betul! Siapa dia?!”

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya dan memandang sekilas pada Kigali. Saat lain kepalanya telah bergerak kembali pulang balik ke depan ke belakang. “Bruss! Bruss! Jangan anggap aku membuatmu heran. Tapi sesungguhnya aku tidak kenal sahabat itu...”

“Perhatikan sekali lagi, Datuk.... Ingat-ingat paras wajahnya!” kata Gendeng Panuntun.

Untuk kedua kalinya Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu perhatikan orang agak lama. “Bruss! Aku heran.... Sepertinya aku memang pernah bertemu dengan sahabat ini! Tapi aku lupa siapa dia...!” ujar Datuk Wahing lalu berpaling pada Dayang Sepuh.

“Nek.... Kau mengenali siapa adanya sahabat yang baru keluar dari semak itu?”

“Setan! Kau kira aku kenal dengan semua laki-laki, hah?!”

“Bruss! Brusss! Aku tanya baik-baik, herannya kau selalu marah-marah! Mungkin inilah salah satu sebab mengapa banyak setan laki-laki heran padamu dan terbirit-birit...”

“Dalam hidup, aku tak butuh setan laki-laki! Dia hanya akan membuat banyak urusan dan menyusahkan!” sahut Dayang Sepuh.

Gendeng Panuntun tertawa. “Tidak selamanya begitu, Nek! Kau lupa, justru setan laki-laki bisa membuat bahagia dan bisa membikin orang menikmati surga dunia! Kalau tidak ada setan laki-laki mana mungkin perempuan bisa mengandung?”

“Bruss! Belum lagi kalau kandungannya istimewa! Maka tak heran akan banyak orang yang memperebutkannya!”

Diam-diam Kigali tersentak mendengar ucapan Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. “Mereka menyinggung-nyinggung kandungan. Apa ini isyarat?! Kakek bertubuh besar itu matanya buta. Tapi dia seakan bisa melihat. Dan mengapa dia mengatakan kakek yang selalu bersin-bersin mengenaliku?! Sepertinya aku belum pernah bertemu dengan salah satu dari ketiga orang itu. Atau aku pernah jumpa namun lupa?!”

Mungkin untuk meyakinkan, Kigali perhatikan sekali lagi pada ketiga orang di hadapannya lebih teliti. Namun tampaknya dia yakin belum pernah bertemu salah satu dari mereka. Selagi Kigali berpikir dan coba mengingat-ingat, Datuk Wahing perdengarkan bersinan lalu disusul dengan ucapan.

“Sahabat.... Tidak keberatan bukan kalau sebutkan diri pada kami? Jangan heran. Tampang-tampang kami memang demikian adanya. Sahabat perempuan kami ini pun akan selalu sebut-sebut nama setan. Tapi kami bukanlah bangsanya setan....”

“Aku Kigali.... Aku tinggal tak jauh dari hutan ini!”

Datuk Wahing adalah satu-satunya orang yang terkejut. Hingga dia perdengarkan bersinan beberapa kali! Lalu berpaling pada Gendeng Panuntun namun tidak buka suara.

“Aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa pada kalian,” Kigali lanjutkan ucapan. “Aku harus segera pergi!” Kigali balikkan tubuh laluberkelebat.

“Bruss! Brusss!”

Datuk Wahing bersin dua kali. Bersamaan itu dua gelombang berdesir. Tanah dua langkah di hadapan Kigali langsung terbongkar dan muncrat ke udara, membuat Kigali urungkan kelebatannya. Tanpa berpaling lagi, Kigali berucap.

“Di antara kita tidak ada urusan, harap tidak membukanya dengan hal yang memalukan! Katakan saja apa maksud kalian sebenarnya! Aku tidak punya waktu banyak!”

“Bruss! Bruss! Harap maafkan kalau itu tadi kau anggap hal yang memalukan! Kami hanya berharap kau tidak segera tinggalkan tempat ini! Kau mungkin heran, tapi kau nanti akan memahaminya....”

“Kalian telah dengar. Aku tidak punya waktu banyak! Katakan saja apa kemauan kalian!” Kigali berucap lagi. Kali ini suaranya agak keras karena orang tua ini agak jengkel dengan tindakan orang.

“Bruss! Brusss!”

Datuk Wahing bersin dua kali. Namun kali ini tidak disambung dengan ucapan. Namun suara bersinan itu ternyata tidak terhenti. Sebaliknya terus terdengar dan pantul memantul ke segenap penjuru mata angin! Padahal Datuk Wahing tidak bersin lagi!

“Ilmu ‘Pantulan Tabir’!” gumam Kigali lalu secepat kilat dia balikkan tubuh dan memandang tajam pada Datuk Wahing. Datuk Wahing berdehem dua kali. Laksana direnggut setan, suara bersinan yang pantul memantul lenyap!

“Dalam kancah rimba persilatan, hanya dua orang yang memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’! Nyai Suri Agung dari Kampung Setan dan Galaga! Dari sosoknya tak mungkin ia Nyai Suri Agung. Berarti dia Galaga! Apa kemunculannya di hutan ini sengaja mencariku untuk melanjutkan urusan lama?!” Kigali membatin.

“Bruss! Sahabatku Kigali....” Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Kigali telah menukas.

“Aku tahu siapa kau sebenarnya! Apa kedatanganmu untuk lanjutkan urusan lama?!”

“Bruss! Bruss! Sahabatku Kigali... Jangan membuatku heran. Aku tahu apa yang kau lakukan saat itu. Aku juga paham apa maksudmu waktu itu! Semuanya sudah berlalu... Dan aku telah melupakan semuanya! Justru aku merasa gembira dan heran bisa bertemu denganmu lagi. Sekarang ada sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau tidak heran mendengarnya!”

Kigali menarik napas lega. Namun dadanya makin tak enak. Seraya tersenyum dia berkata. “Terima kasih kau mau mengerti apa yang kulakukan saat itu, Sahabat! Sekarang katakan saja apa yang hendak kau beri tahukan!”

Seperti diketahui, kira-kira tiga puluh enam tahun yang lalu Kigali bersama Dadaka pernah menjadi orang-orang kepercayaan Maladewa yang saat itu sudah menggenggam Kembang Darah Setan. Bahkan Kigali dan Dadaka adalah dua orang yang mendapat tugas dari Maladewa yang sekarang bergelar Setan Liang Makam, untuk mencari jejak Nyai Suri Agung dan Galaga saudara seperguruan Maladewa. Namun Kigali dan Dadaka gagal melakukan perintah Maladewa.

Ketika Maladewa hendak jatuhkan hukuman karena kegagalannya, Kigali dan Dadaka lakukan rencana yang sebenarnya telah mereka susun jauh sebelumnya. Hingga pada akhirnya Kigali dan Dadaka berhasil memasukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setannya ke dalam makam batu di Kampung Setan. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan)

“Bruss! Bruss! Sebelum aku beri tahukan, ada sesuatu yang membuatku heran dan kuharap kau mau mengatakannya. Ke mana kau selama ini?!” tanya Datuk Wahing.

“Setelah peristiwa di Kampung Setan, aku dan Dadaka memutuskan untuk berpisah. Aku tak tahu ke mana Dadaka pergi. Sementara aku menghabiskan hidup di sekitar hutan ini. Aku tidak pernah lagi keluar. Jadi aku tidak tahu apa yang terjadi selama kira-kira tiga puluh enam tahun terakhir ini!”

“Brusss! Tak heran jika aku tak mendengar lagi beritamu, Sahabat! Sekarang ketahuilah. Cucu Nyi Suri Agung ternyata masih hidup. Kini dia bergelar Setan Liang Makam. Namun Kembang Darah Setan lepas dari tangannya. Bahkan Jubah Tanpa Jasad juga lenyap dari Kampung Setan. Bersamaan itu, sekarang muncul seseorang yang di tangannya membekal Kembang Darah Setan dan dia juga mengenakan Jubah Tanpa Jasad!”

Kigali tidak terkejut mendengar keterangan Datuk Wahing karena sebenarnya dia telah mendengar hal itu dari Pitaloka. Namun agar tidak membuat orang curiga, Kigali tampakkan tampang kaget. Lalu bertanya.

“Kau tahu siapa kira-kira orang yang telah mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad itu?!”

“Brusss! Itulah yang mengherankan. Aku bersama beberapa sahabat lainnya, hanya bisa menduga-duga siapa gerangan orang itu tanpa dapat memastikan!”

Kepala Kigali mengangguk perlahan. Lalu berkata seakan pada dirinya sendiri. “Menurutku.... Orang yang tahu rahasia Kampung Setan hanya lima orang. Kau, aku, Dadaka, Maladewa, serta Nyai Suri Agung. Kalau aku, kau, dan Maladewa bukan orangnya, tentu tinggal dua orang. Yakni Dadaka dan Nyai Suri Agung....”

“Brusss! Jangan heran kalau kukatakan tinggal satu orang. Karena Nyai Suri Agung telah dibunuh orang!” 

Kali ini Kigali benar-benar terkejut. Bukan saja karena mendengar kematian Nyai Suri Agung, tapi juga tidak menduga jika Dadaka yang kini telah mendapatkan Kembang Darah Setan juga Jubah Tanpa Jasad. “Jadi Dadaka orangnya!” ujar Kigali.

“Kurasa bukan dia orangnya!” Mendadak Gendeng Panuntun menyahut dengan tangan kanan mengusap cermin bulat di depan perutnya. “Sahabat kalian bernama Dadaka kukira sudah mendahului kita menghadap Sang Pencipta. Malah mungkin dia mendahului orang yang kalian sebut-sebut sebagai Nyai Suri Agung!”

Kigali tersentak dan berubah kecut serta tegang. “Dadaka sudah tewas. Begitu pula Nyai Suri Agung. Mereka adalah orang-orang yang tahu rahasia Kampung Setan. Bukan tak mungkin pembunuh kedua orang ini akan mencariku! Hem... Aku ingat ucapan seseorang. Kelak kalau aku dipertemukan seorang perempuan, itulah tandanya kematianku sudah dekat! Aku telah bertemu dengan Pitaloka. Ah... Tapi biarlah kalau waktu memang sudah berakhir bagiku. Tapi setidaknya aku harus menyelamatkan Pitaloka terlebih dahulu. Aku telah terjanji...”

Berpikir sampai ke sana, setelah dapat kuasai hati. Kigali berkata. “Sahabat sekalian. Terima kasih atas keterangannya. Sekarang aku harus pergi.”

“Brusss! Brusss! Masih ada sesuatu yang harus kau ketahui, Sahabat!” kata Datuk Wahing bernada menahan kepergian Kigali.

“Sahabat kita itu sepertinya seorang suami yang terburu-buru karena istrinya akan melahirkan. Padahal kukira dia belum beristri!” Yang berkata adalah Gendeng Panuntun.

“Lagi pula siapa perempuan yang mau diambil istri oleh laki-laki setan macam dia!” Dayang Sepuh yang sejak tadi hanya diam bergumam pelan. Lalu tertawa cekikikan.

Di lain pihak, mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Kigali melengak kaget. Diam-diam dia membatin lagi. “Jangan-jangan mereka tahu kalau aku tengah menunggui Pitaloka yang tengah mengandung....”

Selagi Kigali membatin, Datuk Wahing bersin dua kali, lalu menyambungi dengan ucapan. “Sahabatku.... Orang yang saat ini tengah membekal Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad mulai menebar maut dan tampaknya hendak tancapkan kekuasaan tunggal di permukaan bumi! Ini tidak mengherankan, karena dengan dua senjata sakti di tangannya, memang terlalu tangguh untuk dihadapi siapa saja! Hanya saja.... Menurut beberapa sahabatku, ada satu jalan untuk menghentikan ulahnya!”

“Dan satu jalan itu kaulah yang dapat menunjukkannya!” sahut Gendeng Panuntun.

“Maka dari itu berkatalah terus terang! Jangan sembunyikan sesuatu pada kami!” timpa! Dayang Sepuh.

“Bruss! Sahabatku Kigali. Orang yang membekal Kembang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa Jasad hanya dapat dihadapi dengan sesuatu yang ada pada diri seorang bayi!”

“Dan perempuan yang mengandung bayi itu kurasa dekat denganmu!” sambut Gendeng Panuntun.

“Maka katakan di mana perempuan itu!” Dayang Sepuh ikut bicara.

Kigali tak bisa lagi menutupi rasa kaget dan kesimanya mendapati orang telah tahu kalau dirinya dekat dengan seorang perempuan yang sedang mengandung. Beberapa saat laki-laki yang pernah jadi orang kepercayaan Maladewa ini tercenung diam. Dia dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Di satu pihak dia sebenarnya ingin membantu karena dia sendiri tak senang melihat rimba persilatan ditebari maut seperti yang pernah terjadi pada puluhan tahun yang silam. Namun di sisi lain, dia telah terlanjur berjanji pada Pitaloka untuk melindungi dan menyimpan rahasia tentang kandungannya. Lebih dari itu dia menginginkan seorang anak!

“Bruss! Brusss! Sahabat... Kau pernah bertemu dengan seorang perempuan yang sedang mengandung, bukan?!”

Dengan tabahkan hati, akhirnya Kigali jawab ucapan Datuk Wahing dengan gelengan kepalanya sembari berkata. “Aku memang pernah jumpa dengan perempuan di dalam hutan ini. Tapi kurasa dia bukan perempuan yang tengah kalian cari!”

“Sahabat!” ujar Gendeng Panuntun. “Aku tahu kau salah seorang yang pernah berkecimpung dalam dunia persilatan. Aku juga tahu, kau tidak menginginkan rimba persilatan diamuk angkara dengan bertebarannya maut di mana-mana tanpa pandang siapa! Sekarang kau juga mengerti, hanya bayi itulah yang kelak dapat menghentikannya. Jadi kuharap kau lupakan dahulu keinginan diri sendiri. Pikirkan ancaman yang kini mulai mengincar siapa saja! Termasuk dirimu sendiri....”

“Hem.... Orang buta itu seakan tahu apa yang ada dalam benak orang!” kata Kigali dalam hati. “Tapi...l. Ah, apa yang harus kulakukan? Ucapan orang buta itu benar. Namun aku tak bisa menarik janji yang telah kuucapkan pada Pitaloka! Dan kalaupun Pitaloka sampai tahu urusan ini, bukan tak mungkin dia akan melakukan bunuh diri seperti yang hendak dilakukan tempo hari...”

“Katakan saja di mana perempuan itu!” Yang membentak Dayang Sepuh, tak sabar melihat orang belum juga buka mulut.

“Sahabat sekalian... Sebenarnya aku ingin membantu. Tapi dugaan kalian keliru. Aku tidak tahu menahu perempuan mengandung!”

“Brusss! Brusss! Aku heran... Apa sebenarnya yang membuatmu menutupi urusan ini, Sahabat?”

“Aku tidak menutupi apa-apa! Aku memang tidak tahu tentang perempuan itu!”

Gendeng Panuntun perdengarkan tawa dengan kepala menggeleng-geleng. “Ada sesuatu yang kau inginkan dari bayi itu?!”

Kigali ganti yang geleng kepala. “Bagaimana aku menginginkan sesuatu pada bayi kalau perempuannya yang mengandung saja tidak tahu?”

“Setan! Katakan saja kau minta imbalan! imbalan apa yang kau mau, hah?!” teriak Dayang Sepuh mulai geram.

Meski hatinya mulai panas mendengar ucapan Dayang Sepuh, tapi Kigali coba menindihnya. Seraya tersenyum dia berkata. “Dalam usia senja begini, hanya manusia tak tahu diri yang inginkan sesuatu imbalan demi kedamaian jagat persilatan!”

“Lalu apa maumu sampai kau tak mau memberitahukan perempuan itu?!” Kembali Dayang Sepuh bertanya.

“Kau bertanya pada orang yang salah! Dan tentu kau tak mau mendengar jawaban dari orang yang salah pula!” Habis berucap begitu, kembali Kigali putar diri. “Apa kalian menduga perempuan itu berada di hutan ini?!”

Kigali tidak menunggu jawaban orang. Selesai ajukan tanya dia segera berucap lagi. “Aku tahu Kalian orang-orang hebat. Tapi kali ini kalian salah sasaran jika mencari perempuan itu di hutan ini!”

Dayang Sepuh sudah hendak buka suara. Namun entah karena apa tiba-tiba Kigali balikkan tubuhnya lagi menghadap ketiga orang yang tadi di belakangnya. Setelah menatap satu persatu orang dia tersenyum dan berkata.

“Aku lupa, Sahabat... Maafkan! Orang tua seperti aku memang sudah dijangkiti penyakit lupa! Aku memang bertemu dengan seorang perempuan berwajah cantik. Namun jangan kalian tanyakan padaku perempuan itu tengah mengandung atau tidak! Pergilah ke arah utara!”

“Tunggu!” tahan Gendeng Panuntun ketika merasakan Kigali sudah hendak putar diri lagi. “Kau bisa mengatakan bagaimana ciri-ciri perempuan itu?!”

Kigali mengernyit sambil tengadah lalu berkata. “Dia berusia muda. Berbaju merah. Berambut hitam lebat!”

Kigali memandang sesaat pada ketiga orang di hadapannya. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya dan saling pandang dengan Dayang Sepuh. Sementara Gendeng Panuntun mendongak dengan mulut menggumam. Dengan hati perih Kigali arahkan pandang matanya jauh ke depan melewati pundak beberapa orang di hadapannya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia memutar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Ciri yang diucapkan setan itu sepertinya cocok! Kita segera kearah utara!” kata Dayang Sepuh.

“Aku pun merasa ada orang di sebelah utara! Dan salah satu di antaranya adalah gadis yang dikatakan Kigali!”

“Brusss! Kau katakan gadis itu salah satu! Berarti ada orang bersamanya! Heran... Dengan siapa gadis itu?!”

“Ah.... Kalian terlalu banyak mulut seperti setan! Kita buktikan saja! Kalau setan laki-laki tadi berkata dusta, dia akan tahu rasa nanti!”

Habis berkata begitu, Dayang Sepuh mendahului berkelebat disusul Datuk Wahing. Gendeng Panuntun adalah orang terakhir yang bergerak tinggalkan tempat itu dengan mulut terus menggumam sesuatu yang tak jelas.

***
ENAM
KIGALI berlari laksana kalap. Dia tidak pedulikan ranggasan semak dan duri. la berlari dan berlari sekuat kemampuannya. Dia baru memperlambat larinya tatkala di hadapannya terlihat sebuah tanah tinggi yang hampir-hampir saja tidak kelihatan karena tertutup rimbun daun pepohonan dan rumput tebal.

Kigali hentikan langkah berjarak sepuluh tombak dari tanah ketinggian. Sepasang matanya dipejamkan. Telinganya ditajamkan. Lalu perlahan sepasang matanya dibuka. Kepalanya bergerak memutar berkeliling. Matanya liar tak berkesip menyusuri setiap sudut dan sela pepohonan.

Dua kali Kigali membuat putaran kepala. Saat lain dia membuat gerakan melompat. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di depan tanah ketinggian. Kigali balikkan tubuh, kejap lain dia putar diri lalu melesat menembus rimbun dedaunan dan rumput tebal.

Rimbun dedaunan bergerak menyibak. Ternyata itu adalah sebuah lobang agak besar. Begitu sosok Kigali lenyap, rimbun dedaunan bergerak lagi. Saat bersamaan lobang di balik rimbun dedaunan tidak kelihatan lagi. Di balik rimbun dedaunan itu ternyata sebuah ruangan agak besar. Pada sisi kanan tampak sebuah ranjang dari bambu yang beralas rumput kering. Pada bagian sisi atas ranjang terlihat sebuah meja dari kayu yang di atasnya terdapat kendi dari tanah dan buah-buahan.

Begitu Kigali masuk, matanya langsung memandang tajam pada ranjang. Wajahnya seketika berubah. Matanya membeliak memandang berkeliling. Saat itulah lobang yang tertutup rimbun dedaunan menyibak. Satu sosok berkelebat muncul di dalam ruangan. Kigali cepat berpaling dengan tangan siap lepaskan pukulan. Namun segera diurungkan. Bibirnya tersenyum, ketegangan wajahnya lenyap.

Di sampingnya telah tegak seorang gadis berparas cantik mengenakan pakaian warna merah. Raut wajahnya agak pucat. Kigali sesaat menelusuri wajah si gadis lalu turun dan matanya terhenti pada perut si gadis. Ternyata perut itu tampak membesar!

“Pitaloka... Aku khawatir saat melihatmu tidak ada di atas ranjang! Perutmu sudah besar, tidak baik kau terlalu banyak bergerak!”

Si gadis yang bukan lain adalah Pitaloka tersenyum walau tampak kaku. Lalu melangkah ke arah ranjang bambu dan duduk seraya berkata. “Aku tadi curiga yang muncul bukan kau, Kek... Terpaksa aku keluar dahulu untuk meyakinkan...”

“Firasatmu bertambah peka, Pitaloka...”

“Berkat bimbinganmu,Kek....”

Kigali tersenyum. Kembali pandangannya tertuju pada perut Pitaloka. “Aku merasa heran. Menurutnya kejadian pemerkosaan itu kurang dari dua purnama yang lalu. Tapi anehnya perut itu seperti orang mengandung tujuh bulan! Hem... Apakah ini keajaiban bayi itu hingga beberapa orang menduga kelak sesuatu dalam bayi itu yang bisa menghadapi orang yang kini memegang Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad?”

Kigali menghela napas. Pandangannya kini ke arah wajah Pitaloka. “Gadis malang... Semuda ini sudah harus memikul cobaan yang berat. Hem... Aku tak mau menambah beban cobaan di pundaknya dengan melibatkan dirinya dalam urusan orang-orang di luaran sana. Aku harus segera membawanya pergi dari hutan ini! Bukan tak mungkin rahasia di mana Pitaloka berada sudah diketahui banyak orang. Kalau aku terlalu lama menunggu, akan sulit keluar dari hutan ini. Apalagi perut Pitaloka tidak mungkin lagi bisa disembunyikan!”

“Kek... Kau memikirkan sesuatu?! Dari tadi sikapmu lain. Kau tampak gelisah!”

Kigali melangkah mendekat. “Pitaloka... Kita harus segera tinggalkan tempat ini!”

Pitaloka terkejut. Dia beranjak tegak. “Kek... Katakanlah. Ada apa sebenarnya?”

“Aku melihat beberapa orang memasuki hutan ini! Padahal puluhan tahun lamanya hal seperti itu tidak pernah terjadi!”

"Kau mengenal mereka?!”

Kigali memandang tajam ke dalam bola mata Pitaloka. “Aku tidak boleh mengatakan apa yang sebenarnya terjadi! Hal itu akan menambah kalut pikirannya,” kata Kigali dalam hati. Lalu berkata.

“Pitaloka. Kau sendiri tahu. Setengah dari hidupku berada di hutan ini. Jadi aku tidak mengenali mereka. Namun kedatangan mereka yang diluar kebiasaan pasti punya tujuan tertentu! Kita memang tidak tahu apa maksud mereka. Tapi aku sudah tidak mau lagi terlibat urusan dengan orang lain! Pengalaman hidupku sudah cukup jadi pelajaran. Aku tak mau mengulangi kejadian yang sama! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!”

Dada Pitaloka berdebar. “Apa mereka orang-orang jahanam keparat yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad itu?! Dari mana mereka tahu aku berada di hutan ini?!”

“Kek... Apa tidak sebaiknya kita di sini saja?! Kita belum tahu siapa mereka dan apa maksudnya! Lagi pula tempat kita ini terlindung. Tak mungkin mereka tahu!”

“Pitaloka.... Walau aku tidak mengenali mereka, tapi dari sikap mereka aku yakin mereka bukan orang biasa! Dan tidak tertutup kemungkinan mereka tahu tempat ini!”

Pitaloka terdiam dengan kepala berpaling ke arahlobang yang tertutup rimbun dedaunan. Wajahnya sedikit muram dan tegang. Tanpa sadar kedua tangannya bergerak menakup pada perutnya yang membesar. Kigali tampaknya dapat menangkap perasaan si gadis. Orang tua ini melangkah mendekati. Tangan kanannya bergerak membelai rambut Pitaloka seraya berkata.

“Anakku... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau tentu tak ingin dilihat orang dengan perut besar begitu. Tapi... Pikirkanlah bayi dalam kandunganmu...”

Seketika Pitaloka berpaling. “Kek! Kau menduga kedatangan mereka ada hubungannya dengan kandunganku ini?! Dari mana mereka tahu aku tengah mengandung?!”

“Anakku... Dalam keadaan seperti sekarang ini, sesuatu yang paling jeleklah yang harus kita pikirkan! Dari itulah mengapa aku mengajakmu untuk sementara ini pergi dari sini!”

“Tapi... Ah!” Pitaloka mendesah dengan gelengkan kepala. “Rasanya aku belum siap menghadapi pandangan mata orang!”

“Itu sudah kupikirkan, Anakku! Kita akan meninggalkan tempat ini saat matahari tenggelam. Dan kita cari tempat jauh dari penduduk....”

“Sungguh jelek nasibku...,” entah sadar atau tidak Pitaloka menggumam.

“Tidak, Anakku! Kalau kita tidak memandang orang lain, kadangkala kita memang punya anggapan begitu. Namun kalau kita mau sedikit menoleh pada orang lain, masih banyak orang-orang yang lebih menderita daripada kau. Dan lebih dari itu, Sang Maha Pencipta tidak mungkin memberikan cobaan pada makhluk ciptaannya melebihi kekuatan sang makhluk!”

“Tapi....” Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Kigali sudah menyambuti.

“Nasib tidak perlu dibicarakan, Anakku. la akan berjalan sesuai yang mengatur. Kita hanya tinggal menjalani! Jadi tak ada gunanya kita sesali apa yang telah terjadi!”

Pitaloka memandang dengan mata berkaca-kaca dan tak kuasa buka mulut berkata. Kigali anggukkan kepala dengan bibir tersenyum. Lalu berkata pelan.

“Anakku... Kita keluar sekarang. Kita pelan-pelan menyusuri bagian hutan yang tak mungkin dijangkau orang sambil menunggu tenggelamnya matahari!”

Tanpa menunggu sahutan Pitaloka, Kigali menggandeng tangan si gadis lalu perlahan-lahan melangkah menuju lobang dari mana tadi Kigali masuk.

***

Sementara di belahan hutan sebelah utara, Nyai Tandak Kembang terus berkelebat disusul oleh Putri Kayangan dan Pendekar 131. Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting berpaling pada Putri Kayangan seraya berkata pelan.

“Putri.... Hendak ke mana eyang gurumu ini?”

Putri Kayangan memperlambat larinya. Kepalanya berpaling. Senyumnya mengembang lalu menjawab dengan suara pelan pula. “Ke mana lagi kalau bukan mencari Pitaloka!”

“Dia seakan-akan sudah tahu di mana Pitaloka berada!”

“Itulah kelebihannya. Dia tahu di mana orang dengan cara penciumannya! Apalagi dia sudah hafal benar dengan aroma Pitaloka!”

“Ah.... Kalau begitu susah!” gumam murid Pendeta Sinting.

“Apanya yang susah?!” tanya Putri Kayangan seraya terus berlari.

“Kalau aroma Pitaloka sudah dihafal benar, tentu aromamu demikian juga. Itu berarti di mana kau berada selalu akan diketahuinya! Dan itu akan membuatku selalu khawatir jika mengajakmu! Siapa tahu kita lagi asyik, tiba-tiba eyangmu muncul!”

Putri Kayangan bersemu merah dan segera alihkan pandangannya ke jurusan lain. Teringat kembali bagaimana saat dia dan murid Pendeta Sinting saling bergenggaman tangan mendadak muncul Nyai Tandak Kembang. Namun Putri Kayangan sedikit merasa lega karena Nyai Tandak Kembang tidak melarang hubungan antara dia dan Pendekar 131.

Di depan sana, mendadak Nyai Tandak Kembang hentikan larinya. Putri Kayangan dan Pendekar 131 saling pandang lalu sama hentikan larinya pula tujuh langkah di belakang Nyai Tandak Kembang.

“Jangan-jangan eyangmu tahu apa yang kita bicarakan tadi...!” bisik Joko.

“Pasti dia tahu. Dan dia paling tidak suka kalau dibicarakan!”

“Lalu?!” tanya murid Pendeta Sinting dengan raut berubah.

“Lihat saja sendiri nanti! Yang jelas kau yang mulai membicarakannya. Bukan aku!”

“Wah.... Mengapa kau tidak dari tadi mengatakannya padaku?!”

“Itu berarti aku yang mulai membicarakannya!”

Murid Pendeta Sinting sudah hendak berucap. Namun tiba-tiba di hadapannya Nyai Tandak Kembang sudah putar diri menghadap mereka. Joko langsung merinding ketika dilihatnya mata Nyai Tandak Kembang langsung menatap tajam padanya.

“Anak muda!” kata Nyai Tandak Kembang. “Siapa pun nanti yang muncul, jangan kau tunjukkan diri! Jangan bicara apa-apa! Kau mengerti?!”

Belum sampai murid Pendeta Sinting mengerti apa maksud Nyai Tandak Kembang, eyang Putri Kayangan ini memberi isyarat agar keduanya mengikuti. Nyai Tandak Kembang melompat dan menyelinap masuk ke balik semak. Joko memandang pada Putri Kayangan. Si gadis hanya melirik lalu melompat ke semak di mana Nyai Tandak Kembang menyelinap lenyap. Tanpa pikir panjang, murid Pendeta Sinting ikut-ikutan melompat lalu menyelinap.

Terlihat Nyai Tandak Kembang duduk mendekam dengan mata tertuju ke satu jurusan. Putri Kayangan yang ikut mendekam di sampingnya juga arahkan pandang matanya ke jurusan mana Nyai Tandak Kembangmemandang. Seraya ikut duduk mendekam, Joko ikut pula arahkan pandang matanya ke jurusan mana kedua orang cucu dan nenek tengah memandang. Baru saja Joko arahkan pandangannya, tiba-tiba laksana setan gentayangan terlihat tiga sosok tubuh berkelebat saling susul menyusul.

Begitu cepatnya kelebatan ketiga bayangan itu, Joko tidak bisa mengenali siapa adanya ketiga bayangan. Yang dia lihat hanya bayangan warna merah, hijau, dan putih. Ketiga sosok bayangan itu terus berkelebat dan saat lain telah lenyap di depan sana. Murid Pendeta Sinting memandang pada Nyai Tandak Kembang yang gerakkan kepala mengikuti ke mana arah berkelebatnya ketiga sosok bayangan.

“Hem.... Dia tahu kalau ada orang yang hendak muncul! Tapi mengapa dia melarangku untuk bicara dan tunjukkan diri?!”

Sambil terus berpikir, murid Pendeta Sinting berge- rak bangkit. Namun belum sampai tegak, Nyai Tandak Kembang sudah berpaling dengan mata mendelik.

“Turunkan tubuhmu!” perintah Nyai Tandak Kembang dengan suara pelan namun nadanya sengit.

Dengan angkat bahu dan melirik pada Putri Kayangan, Joko turunkan tubuhnya. Saat itulah mendadak dari arah mana tadi tiga sosok bayangan berkelebat, kembali muncul tiga sosok bayangan yang berkelebat.

“Mereka berbalik!” gumam Joko dalam hati. Lalu pentangkan mata.

Tiga sosok bayangan mendadak sama hentikan kelebatannya hanya sejarak lima belas langkah dari tempat Joko, Putri Kayangan, dan Nyai Tandak Kembang mendekam sembunyi. Tiga sosok itu ternyata seorang nenek dan dua orang kakek. Si nenek mengenakan pakaian warna merah. Kakek yang satu mengenakan pakaian warna hijau, sedangkan kakek satunya mengenakan pakaian warna putih kusam.

“Dayang Sepuh! Gendeng Panuntun! Datuk Wahing!” kata Joko mengenali ketiga orang yang kini telah tegak berjajar di depan sana. Dia lupa akan peringatan Nyai Tandak Kembang. Sembari berkata dia bergerak bangkit.

Nyai Tandak Kembang tampak mendelik lalu berpaling. Namun karena pandangan Joko sedang tertuju pada ketiga orang di depan sana, murid Pendeta Sinting tidak melihat pelototan mata Nyai Tandak Kembang.

“Turunkan tubuhmu!” Terpaksa Nyai Tandak Kembang berucap. Malah bukan hanya sampai di situ. Khawatir Joko telanjur tegak, Nyai Tandak Kembang gerakkan tangan kirinya. Satu deruan pelan terdengar.

Pendekar 131 tersentak kaget. Buru-buru dia turunkan tubuhnya. Bukan karena mengikuti perintah Nyai Tandak Kembang melainkan karena saat itu satu gelombang deras menyambar ke arah kepalanya! Kalau dia tidak segera turunkan tubuh, niscaya kepalanya akan terhajar gelombang!

“Kau dengar kata-kataku! Jangan berkata apa-apa atau tunjukkan diri apa pun nanti yang terjadi!” ben-ltak Nyai Tandak Kembang dengan suara ditahan.

Walau belum mengerti apa maksud Nyai Tandak Kembang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala dengan bibir tersenyum. Padahal hatinya deg-degan. Sementara Nyai Tandak Kembang menggerutu dalam hati melihat sikap Joko.

Di depan sana, tiga sosok tubuh yang ternyata bukan lain adalah Dayang Sepuh, Datuk Wahing, dan Gendeng Panuntun sama gerakkan kepala. Dayang Sepuh menghadap Datuk Wahing yang tegak di sebelah kirinya, Datuk Wahing sendiri berpaling ke arah Dayang Sepuh. Sedangkan Gendeng Panuntun yang tegak di sebelah kanan Dayang Sepuh tengadahkan kepala.

***
TUJUH
SETAN-SETAN tua! Mengapa kalian mengajakku putar-putar tak karuan?!” Tiba-tiba Dayang Sepuh perdengarkan bentakan. Kepalanya segera dialihkan pada Gendeng Panuntun.

“Nek.... Aku mencium aroma kembang lain daripada yang lain! Apa kau tidak merasakannya?” tanya Gendeng Panuntun seraya terus mendongak.

Walau dengan mencibir tapi tak urung juga si nenek kembang-kempiskan hidung beberapa kali dengan kepala berputar. Sementara tangan kanannya bergerak rapikan poni di keningnya. Di balik semak, Nyai Tandak Kembang melirik pada Putri Kayangan. Lalu memandang angker pada Pendekar 131 yang membalasnya dengan senyum.

“Dasar hidung setan! Hanya karena mencium aroma bunga kembang ini kau mengajakku pulang balik tak karuan, hah?!”

“Bruss! Bruss! Rasanya kita juga akan membuktikan ucapan sahabat yang baru saja kita temui. Herannya, aku tak bisa tahu apakah hanya cirinya yang sesuai tapi makhluknya berbeda!”

“Hem.... Jadi makhluk setan yang kita cari itu ada di sekitar sini?!” ujar Dayang Sepuh. Tanpa menunggu sahutan dari Datuk Wahing ataupun Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh sudah berteriak dengan suara keras membahana. “Kalau kalian bukan setan, mengapa takut tunjukkan diri?!”

Di balik semak, Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala pada Putri Kayangan. Lalu berbisik. “Mereka telah tahu keberadaan kita! Kita segera keluar!” Nyai Tandak Kembang alihkan pandangan pada murid Pendeta Sinting. “Kau jangan berani tunjukkan diri atau bicara!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang memberi isyarat pada Putri Kayangan untuk mengikutinya keluar dari balik semak. Sambil melirik dan tersenyum menahan tawa pada murid Pendeta Sinting, Putri Kayangan bergerak bangkit lalu melangkah keluar dari balik semak mengikuti eyangnya yang sudah mendahului.

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu memandang ke depan. Bukan ke arah Nyai Tandak Kembang melainkan pada Putri Kayangan. Juga tidak ke arah wajah si gadis namun pada perutnya. Sementara Dayang Sepuh segera pentangkan mata. Dia juga tidak melihat pada Nyai Tandak Kembang, melainkan melotot pada perut Putri Kayangan.

“Setan betul! Aku tak bisa membedakan wajahnya! Apakah menurutmu gadis itu yang kita cari?!” tanya Dayang Sepuh pada Datuk Wahing.

“Rasanya bukan dia yang kita cari...,” bisik Gendeng Panuntun. “Sahabat yang kita jumpa tadi memang mengatakan sesuai dengan ciri-ciri di depan itu, tapi tampaknya dia menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya! Dia mengecoh kita!”

“Ada yang ingin kalian katakan?!” Mendadak Nyai Tandak Kembang buka pertanyaan.

“Bruss! Bruss! Sebenarnya banyak. Tapi agar kau tidak merasa heran apalagi jengkel, untuk sementara ini biarlah segalanya tersimpan dahulu! Suatu saat nanti pasti akan kita bicarakan bersama-sama.... Maaf bila kami mengganggu keasyikkan kalian!”

“Sebelum kami pergi, mau perkenalkan sahabat satunya lagi yang masih malu-malu?!” kata Gendeng Panuntun.

Di balik semak, mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko tampak gelisah. Dari ucapan orang dia telah maklum kalau Gendeng Panuntun sudah mengetahui keberadaan dirinya. Pendekar 131 sendiri sebenarnya ingin keluar karena masih ada hal yang ingin dibicarakan. Namun ingat akan pesan Nyai Tandak Kembang, ia jadi bimbang.

Di lain pihak, meski merasa terkejut, namun Nyai Tandak Kembang bisa sembunyikan rasa kejutnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Kayangan. Gadis ini tersentak kaget. Dan tanpa sadar berpaling ke arah semak di mana Jokovbersembunyi.

“Hem.... Jadi masih ada setan lagi di balik semak itu! Jangan-jangan makhluk itu yang tengah kita cari!” desis Dayang Sepuh mendapati sikap Putri Kayangan. Lalu tanpa pedulikan pandangan Nyai Tandak Kembang, si nenek berambut poni ini berseru. “Setan di balik semak! Keluarlah!”

Pendekar 131 makin bingung. Dia sibakkan sedikit semak belukar di hadapannya. Lalu memandang satu persatu pada beberapa orang di depan sana. “Apa aku harus keluar mengikuti ucapan nenek Dayang Sepuh?! Tapi bagaimana kalau nanti Nyai Tandak Kembang marah-marah?! Aku tak tahu mengapa Nyai Tandak Kembang melarangku tunjukkan diri atau berucap! Hem... Bagaimana ini?!”

“Eyang....”

“Kau juga jangan ikut bersuara!” Nyai Tandak Kembang telah menukas ucapan Putri Kayangan yang hendak bicara.

Dayang Sepuh berpaling pada Gendeng Panuntun. “Kau bisa merasakan, siapa setan di balik semak itu? Setan perempuan atau laki-laki?!”

Gendeng Panuntun usap cermin bulat di depan perutnya. “Aku tak bisa memastikan. Tapi kurasa sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini!”

“Bagaimana dengan setan satu di balik semak yang belum unjuk tampang itu?!” tanya Dayang Sepuh.

“Kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang itu! Kita harus berbalik arah lagi!” jawab Gendeng Panuntun lalu luruskan kepalanya menghadap Nyai Tandak Kembang dan berkata.

“Nyai.... Seperti ucapan sahabatku Datuk Wahing, sebenarnya masih banyak yang harus kita bicarakan. Namun karena kita kelak masih berjumpa lagi, kurasa pembicaraannya kita tuntaskan kelak saja! Sekarang aku dan sahabat-sahabatku akan pamit dahulu....” Gendang Panuntun anggukkan kepala dua kali.

Bersamaan dengan itu Datuk Wahing gerakkan Kepala ke depan mengangguk-angguk lalu bersin tiga kali tanpa disusul dengan ucapan. Dayang Sepuh masin arahkan pandang matanya ke arah semak. Namun begitu mendapati Gendeng Panuntun berkelebat disusul kemudian oleh Datuk Wahing, si nenek segera berpaling. Dengan perdengarkan gumaman tak jelas, akhirnya si nenek berkelebat mengikuti Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing.

“Hem.... Tampaknya mereka telah tahu pula di mana arah Pitaloka berada!” gumam Nyai Tandak Kembang. “Kita harus terlebih dahulu mendapatkannya!”

Nyai Tandak Kembang menoleh ke arah semak. Ternyata Pendekar 131 sudah tegak dengan kepala mengarah pada berkelebatnya Dayang Sepuh.

“Bersama pemuda itu akan membuat gerakan kita sulit kembali Nyai Tandak Kembang bergumam. “Bagaimana kalau dia kita tinggalkan?!”

Pertanyaan Nyai Tandak Kembang tidak segera dijawab oleh Putri Kayangan. Namun perubahan wajah si gadis telah membuat perempuan dari lereng Gunung Semeru ini maklum apa yang ada dalam benak cucunya.

“Baiklah... Dia kita ajak serta. Tapi harus melakukan segala yang kukatakan! Akhirnya Nyai Tandak Kembang berkata seraya menghela napas.

“Eyang...,” kata murid Pendeta Sinting seraya melompat dan tegak tidak jauh dari Putri Kayangan. “Boleh aku tahu mengapa kau melarangku menemui mereka dan bicara dengan mereka! Mereka adalah sahabat-sahabatku...”

“Aku tahu, Anak Muda...,” jawab Nyai Tandak Kembang dengan suara pelan dan bibirnya tersenyum. “Namun sementara ini aku tak bisa jawab pertanyaanmu! Selain itu, kau punya dua pilihan. Terus bersama kami atau berpencar!”

Hampir bersamaan kepala Pendekar 131 dan Putri Kayangan bergerak saling menghadap. Sesaat mereka saling berpandangan.

“Aku ikut bersamamu, Eyang...,” kata Joko.

“Kalau itu pilihanmu, ada beberapa hal yang harus kau lakukan! Kau sanggup?”

Meski dengan hati masih bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. “Apa yang harus kulakukan?!”

“Ikuti semua ucapanku!” jawab Nyai Tandak Kembang pendek.

“Kalau hanya itu tak susah aku melakukannya! Sekarang apa ucapanmu yang harus kulakukan, Eyang?!”

Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Sementara Putri Kayangan tersenyum seraya gelengkan kepalanya perlahan. Nyai Tandak Kembang arahkan pandangannya ke jurusan selatan. Lalu berkata.

“Anak muda! Kau benar-benar sanggup melakukan apa yang kuucapkan?!”

“Demi bisa bersama denganmu dan Putri Kayangan....”

Putri Kayangan tersentak mendengar ucapan terus-terang murid Pendeta Sinting. Namun dadanya berdebar senang.

“Ikuti saja aku! Bila nanti tiba saatnya aku akan mengatakan apa yang harus kau lakukan!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berkelebat ke arah selatan. Putri Kayangan dan Pendekar 131 saling pandang. Sebenarnya Joko hendak berkata, namun Putri Kayangan keburu berkelebat mengikuti Nyai Tandak Kembang.

“Aneh... Apa sebenarnya kemauan eyang cantik itu. Hem.... Masih begitu muda dan cantik sudah dipanggil eyang! Apa benar Putri Kayangan dan Pitaloka adalah cucu-cucunya?!” sembari terus bertanya-tanya dan tersenyum sendiri, murid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan.

***

Pada satu tempat tiba-tiba Gendeng Panuntun hentikan kelebatannya. Datuk Wahing dan Dayang Sepuh ikut-ikutan berhenti. Gendeng Panuntun dongakkan kepala seraya usap cermin bulatnya.

“Aneh... Aku tak dapat menjajaki di mana beradanya orang yang kita cari! Ada tabir yang menghalangi! Bagaimana dengan kalian berdua? Bisa menjajaki arah di mana sahabat Kigali dan orang yang kita cari?”

“Bruss! Bruss! Aku juga merasa heran. Sejak memasuki kawasan selatan hutan ini, aku tak bisa mendapatkan petunjuk apa-apa!” Datuk Wahing menyahut.

“Bagaimana dengan dirimu, Nek...?” tanya Gendeng Panuntun.

“Kalau setan-setan seperti kalian tidak dapat, bagaimana mungkin aku bisa?!” Dayang Sepuh edarkan pandang matanya berkeliling. Lalu memandang satu persatu pada Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing. “Celaka! Bagaimana bisa begini! Rasanya kita bakal kehilangan jejak!”

Gendeng Panuntun geleng kepala. “Aku tak tahu harus mengatakan bagaimana. Aku benar-benar merasakan ada tabir penghalang yang sangat kuat hingga tak mampu menjajaki di mana beradanya orang! Ini satu tanda jika ada sesuatu yang sangat luar biasa! Aku tidak bisa memastikan apa sesuatu itu. Mungkin saja inilah salah satu keanehan yang dimiliki bayi itu...”

“Brusss! Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Adalah mengherankan kalau kita hanya tegak bengong disini!”

“Perempuan setan bernama Nyai Tandak Kembang itu rasanya juga menuju ke arah selatan,” ujar Dayang Sepuh. “Tampaknya dia juga tahu di mana beradanya orang yang kita cari! Bagaimana kalau kita ikuti dia?! Barangkali dia bisa menembus tabir penghalang itu! Apalagi perempuan setan itu mengaku sebagai neneknya!”

“Hem.... Itu usul yang baik! Tapi aku merasa dia memiliki daya penciuman yang sangat hebat. Kalau kita mengikuti dia, tentu dia akan tahu!”

“Bruss! Bruss! Nyai satu itu memang punya daya cium luar biasa. Tapi jangan heran kalau kukatakan aku bisa mematahkan daya penciumannya hingga dia tidak dapat mengendus aroma tubuh kita!”

“Cepat katakan apa yang harus kita lakukan!” kata Dayang Sepuh.

Datuk Wahing tertawa dahulu lalu bersin tiga kali. Baru kemudian berucap. “Kita butuh air kencing sebanyak-banyaknya....”

“Edan! Kau tak bisa membedakan kapan saatnya main-main dan sungguh-sungguh!” semprot Dayang Sepuh.

“Bruss! Aku tidak main-main, Nek! Segala sesuatu adalah mengherankan jika tak memiliki kelemahan! Dan satu-satunya kelemahan nyai cantik itu adalah air kencing! Daya penciumannya akan hilang bila mencium aroma air kencing! Lebih dari itu untuk menjaga segala kemungkinan, kita harus mengikuti dengan mengambil tempat yang berlawanan dengan arah angin!”

“Jadi kita harus kencing terus-terusan?!” tanya Dayang Sepuh. “Lebih baik kita urungkan saja! Bagaimana aku harus kencing melulu kalau aku mengenakan celana begini rupa?!” Dayang Sepuh arahkan pandangannya pada Gendeng Panuntun. “Kalau dengan dia aku tak merasa sungkan, karena bagaimanapun juga dia tak bisa melihat meski matanya melotot!” Dayang Sepuh alihkan pandang matanya pada Datuk Wahing. “Yang ku khawatirkan adalah mata setanmu!”

Datuk Wahing tertawa bergelak. Gendeng Panuntun ikut-ikutan tertawa. Dan entah karena apa Dayang Sepuh tiba-tiba juga ikut perdengarkan tawa!

“Brusss! Kau tak perlu terus-terusan kencing, Nek! Kita hanya perlu persediaan. Air kencing itu kita tabur-taburkan di depan kita begitu kita mendekati Nyai Tandak Kembang! Sekarang kita cari bumbung bambu dan daun ilalang! Masukkan air kencing masing-masing ke dalam bumbung bambu. Daun ilalang untuk menaburkan jika kita mulai mendekati Nyai Tandak Kembang!”

“Datuk...,” kata Gendeng Panuntun. “Untuk urusan bumbung bambu dan ilalang, aku menyerahkan padamu. Aku hanya bisa kencing saja dan menunggu di sini!”

“Aku juga!” sahut Dayang Sepuh.

Datuk Wahing bersin dua kali. Tanpa menyusuli dengan ucapan, kakek ini berkelebat meninggalkan Dayang Sepuh dan Gendeng Panuntun.

“Dasar datuk setan! Mainannya aneh-aneh!” gumam Dayang Sepuh lalu berpaling pada Gendeng Panuntun.

“Kau percaya dengan ucapan datuk setan itu?!”

“Kurasa ucapannya benar!”

“Huh! Dasar sama-sama setannya! Mungkin saja ini hanya permainan konyol datuk setan itu! Dia ingin melihat pantatku!”

“Jangan berprasangka buruk, Nek!”

“Ini bukan prasangka! Kau tahu sendiri, aku mengenakan celana pendek. Bagiku tak mungkin bisa kencing tanpa menurunkan celana! Dan itu pasti akan membuat pantatku kelihatan!”

“Kita tengah mencari orang yang sangat penting demi rimba persilatan. Kurasa kalau hanya memperlihatkan pantat bukanlah satu pengorbanan yang besar!”

“Memang bukan besar! Yang kutakutkan dia nanti menyiarkan kabar soal pantatku ini!”

Gendeng Panuntun tertawa bergelak. “Memang ada apa dengan pantatmu, Nek?!”

Belum sampai Dayang Sepuh menjawab, terdengar bersinan dua kali. Lalu muncullah Datuk Wahing dengan tangan membawa tiga bumbung bambu sepanjang masing-masing dua jengkal. Datuk Wahing ulurkan tangan kanannya pada Dayang Sepuh.

“Ambil satu untukmu!” Lalu mendekati Gendeng Panuntun dan memberikan satu bumbung bambu.

“Brusss! Sekarang terserah kalian. Mau kencing di sini atau mencari tempat yang enak! Yang jelas semakin banyak air kencing di dalam bumbung, semakin leluasa nantinya kita mengikuti langkah Nyai Tandak Kembang!” Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tubuh. Putar kepalanya sebentar lalu berkelebat dan lenyap di balik satu batangan pohon.

Dayang Sepuh pandangi bumbung bambu di tangannya. Lalu beralih pada bumbung bambu di tangan Gendeng Panuntun. Tiba-tiba si nenek perdengarkan tawa cekikikan. Saat lain dia berkelebat ke balik semak dengan perdengarkan suara keras.

“Jika kulihat salah satu dari kalian mengintip, jangan menyesal kalau kalian berdua akan mandi dengan air setan ini!”

Gendeng Panuntun tertawa seraya melangkah ke salah satu pohon. Disambut dengan gelakan tawa Datuk Wahing dari balik batangan pohon. Tak berapa lama kemudian, Dayang Sepuh sudah berkelebat muncul dari balik semak dengan mendelik jelalatan. Karena bersamaan dengan itu suara gelakan tawa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun lenyap!

“Di mana kalian?!” teriak Dayang Sepuh lalu arahkan sepasang matanya ke tempat di mana dia tadi menyelinap. Jelas nenek ini khawatir Datuk Wahing serta Gendeng Panuntun berada tak jauh dari tempatnya tadi menyelinap kencing.

“Aku di sini, Nek!” Yang menyambut adalah suara Gendeng Panuntun.

“Brusss! Aku heran.... Tampaknya kau takut sekali!” Datuk Wahing perdengarkan suara lalu sosoknya muncul dari balik batangan pohon. Tangan kiri memegang bumbung bambu tangan kanan pencet hidungnya.

Bersamaan dengan munculnya sosok Datuk Wahing, Gendeng Panuntun melangkah keluar pula dari balik pohon. Bumbung bambu tampak diselipkan pada ikat pinggangnya.

“Celaka!” Mendadak Datuk Wahing berseru dengan suara sengau karena hidungnya terpencet tangan kanannya.

“Kemauanmu sudah dituruti, tapi kau masih juga bilang celaka!” bentak si nenek.

“Brusss! Brusss! Bagaimana tidak celaka! Dengan air di dekatku, berarti aku tidak bisa menahan bersin! Dan itu akan membuat Nyai Tandak Kembang mengetahui kalau sedang diikuti orang! Heran... Mengapa aku tadi lupa kalau aku tidak bisa menahan bersin bila mencium aroma air kencing....”

“Setan! Kau benar-benar mempermainkan aku!” sentak Dayang Sepuh. Tangan kirinya yang memegang bumbung bambu diangkat ke atas.

“Tahan, Nek!” seru Datuk Wahing tatkala melihat bagaimana si nenek hendak tumpahkan bumbung bambu yang telah berisi air kencing. “Karena sudah telanjur, apa boleh buat! Untuk sementara ini aku harus menyumbat hidungku dengan dedaunan! ini untuk mengurangi aroma air kencing.”

Setelah berkata begitu, Datuk Wahing membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat dan lenyap di balik kerapatan semak. Tak berselang lama, Datuk Wahing sudah muncul lagi. Dayang Sepuh tiba-tiba perdengarkan gelakan tawa panjang. Sementara Datuk Wahing melangkah bersungut-sungut dengan tangan kiri memegang bumbung bambu sementara pada kedua lobang hidungnya terlihat daun sirih yang dibuat sumbatan oleh sang Datuk.

“Kita harus segera jalan memutar! Orang yang hendak kita ikuti sudah tidak jauh dari sini!” Yang berujar Gendeng Panuntun.

Dayang Sepuh putuskan gelakan tawa. Datuk Wahing hentikan langkahnya. Hampir bersamaan ketiga orang ini membuat gerakan. Kejap lain ketiganya berkelebat.


***
DELAPAN
TIGA sosok bayangan itu hentikan lari masing-masing ketika orang yang berlari di sebelah depan memberi isyarat dengan angkat tangannya seraya berhenti. Mereka tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan, dan Pendekar 131. Nyai Tandak Kembang yang berada di sebelah depan turunkan tangannya. Kepalanya bergerak berpaling ke arah timur.

“Hem... Aku dapat mencium aroma sosok tiga orang itu! Tapi mereka menuju ke arah timur! Sementara aku masih bisa menjajaki aroma Pitaloka di sebelah selatan dan tak jauh dari tempat ini!” kata Nyai Tandak Kembang setelah menghirup udara agak lama.

“Rupanya mereka kehilangan jejak! Mudah- mudahan kali ini aku tidak gagal!” gumam Nyai Tandak Kembang. Kepala perempuan ini berpaling ke arah Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. “Sebenarnya tanpa pemuda itu ikut serta, aku makin leluasa bertindak! Tapi.... Apa hendak dikata! Beda Kumala rupanya keberatan....” Nyai Tandak Kembang kembali membatin. Lalu memberi isyarat pada kedua orang di belakangnya untuk teruskan langkah.

Ketiga orang ini kembali berkelebat tanpa ada yang buka suara. Hanya sesekali tampak Putri Kayangan dan Pendekar 131 saling berpandangan. Pada satu tempat, Nyai Tandak Kembang kembali hentikan larinya. Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting ikut berhenti dan tegak empat langkah di belakang Nyai Tandak Kembang.

“Aroma itu terhenti di sini!” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati dengan dada mulai berdebar. Kepalanya kembali memutar dengan menyiasati keadaan sekeliling.

Saat itu matahari sudah menggelincir agak jauh dari titik tengahnya. Namun ke mana mata memandang masih jelas bisa melihat. Ketiga orang itu ternyata berada pada satu tempat agak terbuka. Di kanan kirinya terlihat jajaran beberapa pohon besar. Berjarak dua puluh langkah ke depan terlihat sebuah tanah agak tinggi yang tertutup rimbun dedaunan dan rumput tebal.

“Aroma itu berasal dari tanah tinggi di depan itu!” gumam Nyai Tandak Kembang.

Setelah meyakinkan sekali lagi dengan kembang-kempiskan hidung, Nyai Tandak Kembang berpaling pada Pendekar 131. “Pendekar 131! Apa pun yang nanti kulakukan,jangan ikut buka mulut atau bertindak! Kau dengar?”

Walau masih juga belum mengerti apa maksud ucapan orang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Nyai Tandak Kembang alihkan pandang matanya pada Putri Kayangan. “Dan kau, Beda Kumala. Jangan pula ikut bicara atau bertindak!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang putar diri dengan mata tak berkesip memandang ke sela-sela jajaran pohon. Hidungnya mengembang mengempis berulang kali. Nyai Tandak Kembang baru hentikan tindakannya ketika tubuhnya telah kembali menghadap tanah agak tinggi di depan sana.

“Aku tidak mencium aroma tubuh orang lain. Anehnya tiba-tiba saja aku mencium aroma lain... Padahal aroma itu tadi tidak ada! Ah... Aku tak perlu khawatir, yang jelas aroma ini bukan aroma manusia! Berarti tidak ada orang lain di sekitar tempat ini!”

Nyai Tandak Kembang sesaat tadi tampak bimbang. Namun kejap lain kebimbangannya telah sirna. Di belakang Nyai Tandak Kembang, tiba-tiba Pendekar 131 merasa gelisah. Ekor matanya melirik ke arah Putri Kayangan. Namun bukan ke arah wajah si gadis melainkan pada bagian bawah tubuh sang Putri. Lalu kepalanya menunduk perhatikan bagian bawah tubuhnya sendiri. Kejap lain dia arahkan pandang matanya ke arah bagian bawah sosok Nyai Tandak Kembang yang tegak di depannya.

“Aneh.... Aku tidak merasa kencing walau dari tadi aku sudah menahannya. Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang juga tidak basah pakaian bawahnya. Tapi... Aku mencium santernya air kencing! Apakah mungkin seorang perempuan akan tercium bau kencingnya jika dia menahan kencing?! Jangan-jangan Putri Kayangan dan eyangnya menahan kencing!”

Murid Pendeta Sinting tertawa dalam hati hingga bahunya sedikit berguncang. Lalu dia arahkan kembali pandangannya silih berganti pada Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang. Namun kali ini dia tidak bisa menahan tawa. Hingga tanpa ampun lagi terdengar juga tawanya!

Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan hampir bersamaan palingkan kepala. Saat yang sama tiba-tiba tawa murid Pendeta Sinting meledak! Putri Kayangan sudah hendak bertanya. Namun didahului Nyai Tandak Kembang.

“Apa yang membuatmu tertawa, Anak Muda?”

Joko putuskan ledakan tawanya. “Dari gerak- eriknya dia sangat mengandalkan daya ciumnya. Adalah hal aneh kalau dia tidak bisa mencium bau kencing yang sangat santer ini!” kata Joko dalam hati. “Atau karena bau ini bersumber dari dirinya sendiri hingga dia tidak bisa menciumnya?!”

“Anak muda! Aku memang melarangmu untuk bicara! Tapi itu tidak berlaku kalau aku bertanya padamu...,” kata Nyai Tandak Kembang mengira Joko tidak mau menjawab karena dia tadi sudah mengatakan agar Joko tidak buka mulut.

“Eyang... Kau tidak mencium sesuatu yang aneh?”

“Aku menciumnya... Tapi itu hanya bau kencing! Bukan bau manusia!”

Tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah tegak di tanah agak terbuka, berjarak kira-kira lima tombak di balik kerapatan semak, tiga sosok tubuh tampak mengendap-endap. Tangan kanan masing- masing orang ini memegang satu ilalang yang sesekali dimasukkan ke dalam bumbung bambu di tangan kiri masing-masing. Ketika ilalang ditarik keluar, ketiganya sama kibaskan ilalang. Terlihat muncratan air berwarna kekuningan yang tebarkan aroma tak sedap!

“Rupanya setan perempuan itu takluk juga dengan air kencing! Hik Hik...!” bisik suara perempuan yang bukan lain adalah Dayang Sepuh.

Datuk Wahing tidak menyahut. Karena selain harus tebarkan ilalang, dia juga harus menahan agar bersinarnya tidak keluar. Di hidungnya memang masih terlihat sumbatan daun sirih, namun karena tebaran air kencing itu berasal dari air tiga orang, mau tak mau Datuk Wahing masih harus berusaha keras bertahan.

“Tampaknya dia sudah menemukan yang dicari!” Kali ini yang berbisik adalah Gendeng Panuntun.

“Untungnya pemuda setan itu berada di sini! Jika tidak pasti kita masih kebingungan!” ujar Dayang Sepuh dengan suara ditahan tatkala melihat Pendekar 131 tegak di depan sana.

“Nek... Jangan terus-terusan kau tebarkan airmu! Kalau habis kau akan kelabakan sendiri! Aku tak mungkin bisa memberikan airku padamu! Itu akan mengherankan!” bisik Datuk Wahing tatkala melihat berulang kali si nenek celupkan ilalang pada bumbung bambu di tangan kirinya dan dikibas-kibaskan.

“Setan! Apa kau kira aku juga mau menadah di bawah celanamu, hah?! Siapa mau lihat singkong hitam keriput milikmu?!” sentak Dayang Sepuh dengan suara direndahkan lalu tertawa tertahan-tahan.

“Ah... Kau sudah tahu kalau singkongnya hitam dan sudah mengeriput! Jangan-jangan kau tadi mengintipnya!” sahut Gendeng Panuntun.

“Gila! Tanpa diintip pun semua pasti sudah menduga kalau singkongnya sudah mengeriput! Dan dari kulit wajahnya siapa pun pasti bisa menebak kalau singkongnya hitam!” sambut Dayang Sepuh seraya teruskan tertawa tertahan-tahan.

“Jangan terus bicara tak karuan, Nek!” kata Datuk Wahing. “Lihat mereka mulai bergerak!”

Di depan sana. Nyai Tandak Kembang memang mulai melangkah ke arah tanah agak tinggi. Putri Kayangan dan Pendekar 131 ikut membuntuti di belakangnya. Nyai Tandak Kembang hentikan langkah lima tindak dari tanah ketinggian.

“Aroma itu benar-benar berasal dari tanah di depan itu. Tapi aku tak melihat tempat yang pantas untuk berlindung! Yang terlihat hanya tanah tertutup rumput tebal dan dedaunan! Hem... Mungkin di balik dedaunan dan rumput tebal itu ada tempat tersembunyi!”

Berpikir begitu, Nyai Tandak Kembang teruskan langkah seraya berkata. “Beda Kumala dan kau, Anak Muda! Telusuri tanah tinggi ini! Sibakkan dedaunan dan rumput tebalnya!”

Pendekar 131 Joko Sableng menoleh pada Putri Kayangan. “Eyangmu ini orangnya aneh.... Untuk apa kita menelusuri dedaunan dan rumput tebal?!”

“Jangan bertanya padaku.... Kalau berani bilang saja sama Eyang!” sahut Putri Kayangan sambil tersenyum.

Kedua orang ini segera lakukan ucapan Nyai Tandak Kembang. Putri Kayangan melangkah dari arah kiri, sementara murid Pendeta Sinting menelusuri dari arah kanan. Nyai Tandak Kembang mengambil arah paling tengah.

“Apa yang hendak dilakukan setan-setan itu?!” kata Dayang Sepuh dari balik semak.

“Kita lihat saja! Aku juga masih heran!” jawab Datuk Wahing.

Di depan sana mendadak murid Pendeta Sinting berteriak. “Aku menemukan lobang!”

Nyai Tandak Kembang segera melompat mendekati Joko. Lalu perhatikan sibakan dedaunan di hadapannya. Saat lain kedua tangannya bergerak ikut sibakkan dedaunan.
Nyai Tandak Kembang dan Joko melihat sebuah lobang agak besar. Nyai Tandak Kembang menghirup udara beberapa kali. Lalu berpaling pada Joko dan berkata.

“Kuharap kau masih ingat pesanku tadi, Anak Muda!”

Tanpa menunggu jawaban, Nyai Tandak Kembang melangkah memasuki lobang. Pendekar 131 mengikuti di belakangnya. Putri Kayangan menyusul.

“Apa yang kita lakukan sekarang?! Setan-setan itu lenyap masuk ke dalam tanah tinggi!” kata Dayang Sepuh.

“Sebaiknya kita menunggu di sini! Mereka pasti akan keluar!” jawab Gendeng Panuntun.

“Benar! Sebaiknya kita menunggu! Apalagi murid Pendeta Sinting sudah ikut masuk! Kukira dia tahu apa yang harus dilakukan!” Datuk Wahing berucap sambuti ucapan Gendeng Panuntun.

“Aku punya firasat lain! Pemuda setan itu tampaknya tidak berdaya menghadapi kedua setan perempuan di sampingnya! Kau dengar dan lihat sendiri bagaimana pemuda setan seperti kerbau dicocok hidungnya!” Dayang Sepuh mengomel.

“Aku tahu...,” kata Datuk Wahing. “Namun jangan kau heran, Nek. Pemuda itu pasti akan bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan! Setan perempuan akan selalu mendahulukan perasaan. Sementara setan laki-laki akan mengedepankan pikiran! Dalam urusan sekarang ini, bagaimanapun juga pikiran akan menang! Sekarang kita harus pindah tempat. Dari tempat ini angin berhembus ke arah tanah ketinggian itu. Walau mengherankan, tapi siapa tahu mereka akan mengendus kehadiran kita!”

Setelah berkata begitu, Datuk Wahing beranjak bangkit lalu berkelebat dan mendekam di kerapatan semak sebelah kanan tanah ketinggian.

“Nek.... Sebaiknya kau ke sebelah kiri tanah itu. Sementara aku akan sedikit ke samping dari tempat ini! Dengan begitu Nyai Tandak Kembang tidak akan terlalu curiga dengan santernya bau kencing!” kata Gendeng Panuntun begitu merasakan Dayang Sepuh bangkit berdiri dan hendak berkelebat.

“Lagi pula, dengan mengambil tempat sendiri-sendiri, kita leluasa jika hendak mengisi bumbung bambu!” Gendeng Panuntun sambungi ucapannya seraya tertawa pelan.

Dayang Sepuh menyeringai seraya rapikan poni di keningnya. Saat lain si nenek berkelebat ke samping kiri. Sementara Gendeng Panuntun melangkah perlahan-lahan tidak jauh dari tempatnya semula.

***
SEMBILAN
BEGITU memasuki lobang, Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri Kayangan segera disambut kegelapan. Setelah agak terbiasa, baru ketiganya sadar kalau tengah berada di sebuah ruangan agak besar. Ketiganya sama pentang mata masing-masing lalu mengedar berkeliling. Namun sejauh ini mereka tidak melihat seseorang. Yang terlihat hanyalah sebuah ranjang dari bambu beralas rumput kering serta meja yang di atasnya terdapat kendi dari tanah serta buah-buahan.

“Aneh... Aromanya masih ku cium di sini. Tapi orangnya tidak kutemukan!” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati seraya terus edarkan pandangan.

“Kendi dan buah-buahan satu tanda jika tempat ini dihuni orang!” pikir Joko. “Tapi benarkah penghuninya Pitaloka?”

Selagi Joko berpikir begitu, tiba-tiba Nyai Tandak Kembang yang sudah tidak sabaran perdengarkan suara berteriak.

“Pitaloka! Aku tahu kau berada di sini.... Mengapa kau sembunyikan diri. Cucuku? Aku eyangmu.... Keluarlah...!”

Nyai Tandak Kembang menunggu. Namun sampai sekian jauh tidak juga ada jawaban atau tanda-tanda akan munculnya orang di tempat itu.

“Pitaloka.... Aku datang untuk menjemputmu! Keluarlah...!” Nyai Tandak Kembang kembali berteriak. Namun belum juga ada sahutan. Nyai Tandak Kembang menghela napas. Lalu berpaling pada murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan. “Kalian berdua, telusuri dinding ruangan ini! Dan beri tahu jika ada yang mencurigakan!"

Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera melang- kah berlawanan. Murid Pendeta Sinting mulai menelusuri dinding ruangan dari sebelah kanan, sementara Putri Kayangan dari sebelah kiri. Nyai Tandak Kembang sendiri memperhatikan langit-langit ruangan dengan melangkah mondar-mandir berkeliling. Namun hingga murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan saling bertemu, mereka berdua tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di bagian dinding. Nyai Tandak Kembang sendiri tidak menangkap tanda- tanda rahasia pada bagian langit-langit ruangan.

Nyai Tandak Kembang melangkah ke arah lobang dari mana dia tadi masuk. Untuk beberapa saat perempuan ini tegak dengan mata terpejam dan kedua tangan saling menakup di depan wajah.

“Aneh.... Aroma itu terputus di sini! Bagaimana ini bisa terjadi?!” gumam Nyai Tandak Kembang lalu buka matanya dan kedua tangannya diluruhkan.

“Percuma kita cari di sini! Pitaloka sudah keluar. Dan kita kehilangan jejaknya!”

“Bagaimana bisa begitu, Eyang?!” tanya Putri Kayangan.

“Aku sendiri tak tahu.... Yang jelas aroma itu terpu-tus dan seolah ada tabir yang memutus aromanya!” jawab Nyai Tandak Kembang.

“Eyang.... Kau yakin itu adalah aroma Pitaloka?!” Joko ingin meyakinkan.

“Sejak bayi Pitaloka dan Beda Kumala berada dalam tanganku! Sejauh mana pun mereka pergi, aku dapat mengendusnya! Tapi kali ini ada yang lain pada tubuh Pitaloka hingga aku tak mampu mengendus keberadaannya! Ini memang aneh dan luar biasa!”

“Jangan-jangan karena bayi dalam kandungannya!” kata Joko. Namun ucapan itu disimpannya dalam hati. Selain karena dia belum bisa memastikan Pitaloka tengah mengandung atau tidak, dia juga merasa yakin Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang belum percaya dengan dugaan kehamilan Pitaloka.

“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Eyang?” tanya Putri Kayangan.

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Lalu memandang pada murid Pendeta Sinting seakan minta pertimbangan. Namun Pendekar 131 nyatanya belum bisa mendapatkan jalan keluar. Hingga meski dia tahu arti pandangan Nyai Tandak Kembang, tapi murid Pendeta Sinting tetap kancingkan mulut. Saat itulah mendadak dari arah luar terdengar orang berucap.

“Kau yakin dia berada di sekitar tempat ini?!”

Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri Kayangan tersentak. Mereka saling pandang satu sama lain. Mereka bisa memastikan bahwa suara yang baru terdengar dari luar adalah suara seorang perempuan.

“Jangan-jangan Dayang Sepuh!” gumam Joko. “Hem.... Ternyata mereka mengikuti aku! Aku harus bicara terus-terang pada mereka! Karena ini adalah urusanku! Pitaloka adalah cucuku! Tak seorang pun akan kubiarkan terlibat!” kata Nyai Tandak Kembang lalu segera berkelebat menerobos lobang diikuti murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan.

Begitu tegak di luar, Nyai Tandak Kembang langsung buka mulut. Namun buru-buru ditakupkan kembali. Sepasang matanya membelalak. Murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan ikut pentangkan mata memandang ke depan. Mereka bertiga melihat tiga sosok tubuh. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tapi mereka bukanlah Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh.

Yang perempuan adalah seorang nenek mengenakan pakaian gombrong. Rambutnya putih. Di sebelah kanan si nenek tegak seorang kakek mengenakan pakaian putih agak lusuh. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan. Namun karena kakek ini tidak memiliki leher, sosoknya tampak sedikit melengkung ke belakang. 

Dan mulutnya selalu terbuka walau dia tidak perdengarkan suara. Dan ternyata kakek ini tidak mempunyai gigi alias ompong. Di sebelah kiri si nenek tegak seorang kakek yang juga berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih awut-awutan. Kedua tangannya selalu ditadangkan pada bagian belakang kedua telinganya.

“Kakek Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada, dan Dewa Uuk!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya ketiga orang di depan sana.

“Hem.... Mereka bertiga ternyata menyusul sampai di sini!” Putri Kayangan berkata pula dalam hati. Dari kata hatinya jelas kalau si gadis telah pula mengenali siapa adanya ketiga orang yang bukan lain memang Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk.

Sementara dari tempat persembunyiannya, melihat munculnya ketiga orang, Dayang Sepuh sempat terkejut. Dia sudah hendak buka suara. Namun diurungkan tatkala matanya melihat munculnya Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, serta Putri Kayangan.

“Setan! Untuk apa setan-setan tua itu muncul di tempat ini?!” Akhirnya Dayang Sepuh hanya bisa mendesis seraya arahkan pandang matanya ke depan.

Di tempat lain Datuk Wahing tak kalah terkejutnya. Malah hampir saja kakek ini perdengarkan bersinan. Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-tenang saja.

“Ternyata si Ompong muncul pula di sini! Hem.... Mudah-mudahan dengan kemunculannya bisa dapat membantu...,” gumam Gendeng Panuntun.

“Harap katakan apa maksud kedatangan kalian...,” kata Nyai Tandak Kembang mulai angkat bicara setelah perhatikan pada ketiga orang di hadapannya.

Dewi Ayu Lambada tidak segera menjawab. Sebaliknya berpaling pada Iblis Ompong. Sementara Iblis Ompong sendiri tetap mendongak dengan mulut terbuka lebar-lebar tanpa perdengarkan suara. Di sebelah kiri si nenek, Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinga lalu mulutnya bergerak-gerak perdengarkan suara.

“Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukk!” Tangan kanannya diturunkan lalu menunjuk pada murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan.

“Hem.... Yang satu ini aku belum pernah bertemu dan tidak mengenalnya! Dari sikapnya sepertinya dia bisu dan tuli! Tapi dari isyarat tangannya, dia mengenal murid Pendeta Sinting dan Beda Kumala! Apa kemunculan mereka ini masih ada sangkut pautnya dengan Pitaloka?! Mengapa kabar ini begitu cepat tersiar?! Adakah ini satu petunjuk kalau Pitaloka benar-benar tengah mengandung?! Hem....” Nyai Tandak Kembang berkata sendiri dalam hati. Dadanya dibuncah dengan berbagai hal.

“Eyang.... Aku mengenal mereka!” ujar Joko pelan. “Mereka adalah sahabat-sahabatku!”

“Hem.... Tapi harap kau ingat pesanku, Anak Muda! Jangan ikut bicara atau bertindak!” kata Nyai Tandak Kembang.

“Harap kalian terangkan maksud kedatangan kalian ke tempat ini!” Nyai Tandak Kembang kembali angkat suara.

“Kalau tak keliru, bukankah yang di hadapanku ini Nyai Tandakan? Eh, maksudku Nyai Tandak Kembang?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada.

“Terima kasih kau tidak lupa, Nenek Dewi Ayu Lambada...” sambut Nyai Tandak Kembang. “Datang jauh-jauh ke tempat ini pasti ada sesuatu yang sangat penting. Mudah-mudahan kau tak keberatan mengatakannya padaku!”

“Kau tidak lupa pada nenek ini. Apa kau lupa padaku?!” yang bertanya adalah Iblis Ompong tanpa luruskan kepala.

Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Kakek Iblis Ompong.... Aku masih mengingatmu!”

“Ah.... Terima kasih! Tampangku ternyata masih terkenang oleh perempuan berparas cantik!” kata Iblis Ompong lalu tertawa.

“Uukk! Ukkkk! Uuuukk!” Dewa Uuk tiba-tiba tunjukkan jari tangannya pada wajahnya lalu tersenyum dan menunjuk pada Nyai Tandak Kembang. Saat lain kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telinganya. Kepalanya disorongkan ke depan.

“Aku Nyai Tandak Kembang...,” Nyai Tandak Kembang berkata mengerti isyarat Dewa Uuk.

Namun karena suara Nyai Tandak Kembang begitu pelan, Dewa Uuk tidak bisa mendengarnya hingga dia memberi isyarat dengan buka tutup tangannya.

“Dia Nyai Tandak Kembang!” teriak Dewi Ayu Lambada dengan suara keras membahana membuat Nyai Tandak Kembang sedikit terkejut. Dewa Uuk sendiri tampak terlonjak kaget namun segera tertawa dan angguk-anggukkan kepala.

“Boleh aku tanya, Nyai?!” tanya Dewi Ayu Lambada. “Ada hubungan apa antara gadis itu dengan dirimu?!” Mata sang Dewi mengarah pada Putri Kayangan.

“Dia cucuku!”

Dewi Ayu Lambada tersentak. Iblis Ompong ikut terkejut dan luruskan kepala dengan mulut terbuka menganga.

“Pemuda itu juga cucumu?!” tanya Dewi Ayu Lambada. Kini matanya beralih pada murid Pendeta Sinting. 

Nyai Tandak Kembang tersenyum. “Dia tak ada hubungan apa-apa denganku! Dan tentunya kau sudah tahu siapa dia sebenarnya!”

Dewi Ayu Lambada anggukkan kepala. Lalu perhatikan sekali lagi pada Pendekar 131 sebelum akhirnya berkata. “Anak muda! Bagaimana dengan hasil yang kau dapatkan?!"

“Dewi Ayu.... Harap kau tanya saja padaku! Semua urusan di sini akulah yang bertanggung jawab!” Nyai Tandak Kembang sudah menyahut sebelum murid Pendeta Sinting buka suara.

Dewi Ayu Lambada kernyitkan kening. Iblis Ompong terdongak dengan mulut makin menganga lebar. Di balik semak, Dayang Sepuh menyumpah habis-habisan.

“Sudah kuduga! Sudah kuduga! Pemuda setan itu pasti takluk di bawah ketiak setan cantik itu! Jika ini dibiarkan bisa berbahaya!” Tangan Kanan Dayang Sepuh mengepal dengan pelipis bergerak-gerak.

Di lain tempat, Datuk Wahing sempat pula terlengak mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. “Bagaimana ini bisa terjadi! Mengapa pemuda itu diam saja?! Jangan-jangan firasat Dayang Sepuh jadi kenyataan! Ada yang tak beres dalam hal ini!”

“Nyai.... Aku perlu bicara dengan pemuda itu!” kata Dewi Ayu Lambada.

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. “Untuk saat ini, harap kau mengerti.... Diam dan aku telah ada perjanjian! Jadi kuharap kau katakan saja padaku apa yang hendak kau bicarakan!”

Pendekar 131 sendiri tampak gelisah dan bingung. Dia memandang berganti-ganti pada Dewi Ayu Lambada dan Nyai Tandak Kembang. Mulutnya membuka mengatup. Namun sejauh ini tidak terdengar juga ucapan. Karena lama tak juga terdengar ucapan lagi dari Dewi Ayu Lambada, Nyai Tandak Kembang yang tampaknya sudah dapat menangkap maksud kedatangan orang segera perdengarkan suara.

“Kau hendak menanyakan tentang gadis mengandung itu, bukan?!”

Belum sampai Dewi Ayu Lambada menjawab, Nyai Tandak Kembang sudah mendahului. “Harap lupakan urusan gadis itu! Gadis itu tidak ada di tempat ini! Dan satu hal lagi, harap tidak melibatkan gadis itu dalam urusanmu!”

“Hem.... Syukur kau telah mengetahuinya!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Namun ucapanmu terdengar aneh di hidungku, eh.... Maksudku di telingaku! Rimba persilatan membutuhkan gadis itu!”

“Semua itu masih dugaan, Dewi! Dan aku tak mau main-main dengan dugaan! Terkadang dugaan itu menyesatkan! Lebih dari itu, aku tahu persis siapa dan bagaimana sifat gadis yang kau duga tengah hamil itu! Aku tidak percaya dia hamil!”

“Ini bukan dugaan, Nyai! Ini firasat beberapa orang kerabat! Eh.... Maksudku firasat beberapa orang sahabat!”

“Siapa pun sahabat yang berfirasat, selama ini yang ku tahu sebuah firasat akan membuat orang tersesat!” 

“Tapi....” Iblis Ompong hendak buka suara.

Namun Nyai Tandak Kembang sudah menukas. “Aku tidak ingin berdebat urusan sesuatu yang belum ada kenyataan! Itu hanya buang-buang waktu!Sementara waktuku tidak banyak! Untuk saat ini kami tak mau diganggu. Kalau tidak ada yang akan kau utarakan, kuharap kau mau tinggalkan tempat ini!”

“Hem.... Jadi kau mengusirku?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

Nyai Tandak Kembang tersenyum seraya gelengkan kepala. “Bukan itu maksudku, Dewi.... Hanya saja, untuk sementara waktu ini kami punya urusan yang tak mau melibatkan orang lain!”

“Nyai! Setiap urusan harus ada orang lain yang terlibat!”

“Tapi tidak untuk urusan satu ini, Dewi! Aku ingin selesaikan sendiri! Lagi pula ini urusan keluarga...!”

“Betul! Tapi masih ada kaitannya dengan keselamatan rimba persilatan!”

Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala seraya tersenyum. Urusan keluarga sudah jelas, sementara urusan dunia persilatan masih sekadar dugaan! Kuharap kau tidak begitu saja percaya dengan kabar burung itu....”

“Setan! Perempuan itu benar-benar bengal dan keras kepala! Tanganku jadi gatal ingin menggebuknya!” Dayang Sepuh merasa jengkel mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. Dia arahkan pandang matanya pada tempat di mana Gendeng Panuntun mendekam sembunyi. Lalu pada tempat di mana Datuk Wahing mengendap-endap.

“Kedua setan laki-laki itu tidak coba menengahi urusan agar segera selesai! Apa aku harus keluar untuk menyelesaikannya?!”

Dayang Sepuh memikir sesaat. Kejap lain tiba-tiba dia bergerak bangkit. Namun belum sampai nenek berambut poni ini bergerak lebih jauh, satu bayangan hitam berkelebat. Tahu-tahu tidak jauh di belakang Dewi Ayu Lambada telah tegak satu sosok tubuh!

***
SEPULUH
NYAI Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri Kayangan segera arahkan pandang mata masing-masing ke arah sosok yang baru muncul. Dewi Ayu Lambada cepat balikkan tubuh. Dayang Sepuh yang tadi hendak berkelebat ke arah Dewi Ayu Lambada buru-buru urungkan niat lalu mendekam kembali dengan mata melotot tak berkesip. Hanya Iblis Ompong dan Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja laksana tidak ada orang lain yang muncul. Iblis Ompong tengadahkan kepala dengan mulut makin dibuka lebar. Sementara Dewa Uuk justru memandang tajam pada murid Pendeta Sinting.

Sosok yang baru muncul ternyata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya tampan namun keras. Rahangnya kokoh, matanya tajam. Kumisnya lebat. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan bergerai menutupi sebagian paras wajahnya. Orang muda ini mengenakan mantel hitam panjang sebatas lutut. Pemuda yang baru muncul pasang tampang menyeringai tanpa memandang pada orang dihadapannya. Saat lain kepalanya mendongak. Mulutnya terbuka.

“Aku datang bersama angin. Aku datang bernaung matahari dan rembulan. Aku datang dari lembah kegelapan. Lintasan bumi akan jadi saksi mati. Saksi dari aliran darah anak manusia.”

Dewi Ayu Lambada perhatikan sesaat pada pemuda di hadapannya. Lalu melangkah maju dua tindak dan berkata. “Lagakmu..., eh maksudku, lagumu bagus, Anak Muda. Tentu kau memiliki gelar yang bagus pula. Siapa gelarmu, Anak Muda?!”

Si pemuda luruskan kepala memandang pada Dewi Ayu Lambada. “Aku Malaikat Berkabung!”

“Kau pernah mendengar gelar itu sebelum ini, Putri?!” tanya murid Pendeta Sinting pada Putri Kayangan yang tegak disampingnya.

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tampaknya dia pemuda yang baru muncul dalam kancah dunia persilatan! Kau lihat dia seolah memandang sebelah mata pada orang-orang di hadapannya! Dia belum tahu siapa adanya mereka yang kini dihadapi!”

“Aku jadi heran.... Bagaimana tempat ini bisa diketahui beberapa orang!”

“Itu bukan hal penting, Joko. Yang aku tak habis pikir justru bagaimana Pitaloka bisa memutus aroma dirinya hingga Eyang kehilangan jejak! Ini tak mungkin dilakukan Pitaloka sendiri. Pasti ada orang lain di sampingnya yang tahu kemampuan Eyang!”

“Ini juga satu bukti jika dugaan itu benar! Jika tidak, mengapa Pitaloka harus melakukannya? Seakan dia takut berhadapan dengan orang! Padahal yang dihadapi adalah eyangnya sendiri. Kalau tidak ada apa-apa, tak mungkin dia melakukan ini!”

“Aku masih ragu dengan dugaan itu, Joko! Mungkin ada maksud lain mengapa Pitaloka takut menghadapi Eyang!”

“Putri... Rasanya aku harus segera tinggalkan tempat ini!”

Putri Kayangan cepat berpaling. “Kau hendak mencari Pitaloka sendiri?!”

“Mungkin. Yang pasti sudah tidak ada yang kuharapkan di tempat ini! Lagi pula ikut bersama dengan eyangmu membuatku seperti patung! Sementara sebenarnya masih banyak yang harus kukatakan dan kutanyakan pada beberapa orang!”

“Tapi....” Belum sampai Putri Kayangan lanjutkan ucapan, Nyai Tandak Kembang sudah berkata.

“Biarkan dia pergi, Beda Kumala!”

“Terima kasih, Eyang....”

“Kau tak usah berterima kasih. Tidak ada budi yang tertanam di antara kita! Hanya satu hal yang harus kau ketahui, Anak Muda! Lupakan urusan gadis itu! Jangan libatkan dia dengan urusan yang belum pasti! Kau tahu sendiri akibatnya, bukan...? Banyak orang tak dikenal muncul dengan membawa maksud yang sama! Sementara urusannya sendiri belum jelas! Ini akan menambah kesulitanku untuk menemukan Pitaloka!”

Walau dalam hati tidak setuju dengan ucapan Nyai Tandak Kembang, namun akhirnya murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Saat lain dia melirik pada Putri Kayangan. Yang dilirik tampak murung.

“Putri.... Percayalah. Kita nanti pasti akan bertemu lagi. Dan kuharap, saat itu sudah tidak ada lagi urusan!” kata Joko dengan suara dipelankan agar tidak terdengar Nyai Tandak Kembang.

Putri Kayangan menghela napas dalam-dalam. Lalu memandang tajam ke arah Pendekar 131 yang mulai melangkah menyisi hendak tinggalkan tempat itu. Namun belum sampai jauh melangkah, tiba-tiba pemuda yang sebutkan diri Malaikat Berkabung angkat bicara.

“Jangan harap ada yang tinggalkan tempat ini sebelum takdir menentukan apa yang akan terjadi!”

Pendekar 131 hentikan langkah lalu memandang tajam ke arah Malaikat Berkabung. “Apa maksud ucapanmu, Sobat?!”

“Sudah menjadi kepastian. Setiap Malaikat Berkabung datang, berarti ada anak manusia yang diantar menuju tempat perkabungan!”

Malaikat Berkabung memandang satu persatu pada beberapa orang yang tegak di hadapannya. “Hari ini entah takdir siapa di antara kalian yang harus kuantar ke tempat perkabungan! Jadi jangan tinggalkan tempat ini sebelum acara perkabungan berlangsung!”

“Sobat.... Aku punya urusan. Kuharap kau mau mengerti. Dan kukira beberapa orang di sini cukup untuk menikmati acaramu! Lebih dari itu, aku percaya takdirku bukan hari ini!”

“Manusia tidak bisa membaca takdir! Hanya saja sudah jadi kepastian, setiap aku datang, pasti ada anak manusia yang menjalani takdirnya untuk mampus!”

“Walah.... Kau layaknya utusan pencabut nyawa saja!” Yang berkata adalah Iblis Ompong sembari putar diri menghadap Malaikat Berkabung namun dengan kepala tetap tengadah tanpa melihat orang.

Saat bersamaan Dewa Uuk juga balikkan tubuh. Kakek bisu dan tuli ini juga tidak memandang ke arah Malaikat Berkabung melainkan arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting yang telah tegak di sebelah samping sana.

“Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Dewa Uuk dan Kakek Iblis Ompong, tapi dalam keadaan seperti ini kurasa percuma! Lebih baik aku teruskan perjalanan mencari Pitaloka! Kakek Gendeng Panuntun tentunya masih berada di sekitar hutan ini...!” kata Joko dalam hati.

“Itu memang tugasku, Iblis Ompong!” kata Malaikat Berkabung membuat semua orang di tempat itu jadi melengak mendapati orang telah mengenali Iblis Ompong.

“Hem.... Rupanya pengetahuanmu banyak juga, Anak Muda! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!” tanya Dewi Ayu Lambada seraya gerakkan tubuh sedikit melenggak-lenggok.

Malaikat Berkabung angkat tangan kirinya, jari telunjuknya diluruskan ke arah Dewi Ayu Lambada. “Sebagai orang yang akan mengantar perkabungan setiap anak manusia, aku pasti mengenalimu. Kau adalah nenek bernama Dewi Ayu Lambada!”

Jari telunjuk Malaikat Berkabung beralih pada Dewa Uuk. “Dia adalah adikmu bergelar Dewa Uuk!”

Malaikat Berkabung menyeringai. Kini telunjuknya mengarah pada Nyai Tandak Kembang. “Dan kau adalah Nyai Tandak Kembang, sementara gadis di belakangmu adalah perempuan yang bergelar Putri Kayangan!”

Malaikat Berkabung turunkan tangan kirinya. Kini wajahnya menghadap ke arah Joko. “Dan kau adalah anak manusia bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!”

Semua orang yang ada di tempat itu kembali dibuat tersentak kaget mendapati si pemuda telah tahu siapa adanya beberapa orang di tempat itu. Hanya Dewa Uuk yang biasa-biasa saja. Malah orang tua ini yang memang adik kandung Dewi Ayu Lambada menoleh pada Iblis Ompong. Tangan kanannya membuat isyarat membuka menutup lalu menunjuk-nunjuk pada Malaikat Berkabung. Saat lain dia tadangkan kedua tangannya di belakang telinga dengan kepala disorongkan mendekat ke wajah Iblis Ompong.

“Dia malaikat!” teriak Iblis Ompong. “Dia telah kenal siapa saja di tempat ini termasuk dirimu!”

Entah terkejut karena teriakan Iblis Ompong di depan telinganya atau tersentak dengan pemberitahuan Iblis Ompong, Dewa Uuk berjingkrak. Lalu tangannya menunjuk pada Malaikat Berkabung dan pada dirinya. Saat lair tangannya bergerak-gerak ke samping kiri kanan pulang balik.

Iblis Ompong dekatkan wajahnya ke telinga Dewa Uuk, lalu berteriak lagi. “Walau kau berkata tak kenal, yang pasti dia tahu siapa dirimu!”

Kali ini Dewa Uuk baru tunjukkan tampang terkejut. Dia sorongkan kepalanya ke depan lalu pandangi Malaikat Berkabung tanpa berkesip. Di lain pihak melihat tampang semua orang jadi terkejut karena tebakannya, Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Diam-diam dalam hati pemuda ini membatin.

“Hem.... Ciri-ciri yang dikatakan Guru ternyata benar. Perubahan wajah orang-orang itu menunjukkan kalau tebakanku tidak meleset! Namun urusan dengan mereka bukanlah yang paling penting saat ini! Yang lebih utama adalah menanyakan pada perempuan cantik berpakaian mirip penari itu di mana Pitaloka berada!”

Malaikat Berkabung sudah hendak buka mulut, namun Pendekar 131 mendahului. “Sobat!” kata murid Pendeta Sinting. “Kau telah kenal semua orang yang ada di tempat ini! Jadi kuharap kau tidak mengganggu mereka! Mereka akan membicarakan sesuatu! Kalau masih ada yang hendak kau bicarakan, lekas katakanlah!”

Malaikat Berkabung arahkan pandangannya pada Nyai Tandak Kembang. Lalu berkata. “Nyai Tandak Kembang! Serahkan Pitaloka padaku saat ini juga!”

Untuk kesekian kalinya orang di tempat itu terkesiap. Karena Malaikat Berkabung berteriak, Dewa Uuk bisa mendengarnya hingga orang tua ini ikut terkejut. Namun yang paling tampak kaget adalah Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan.

“Siapa pemuda asing ini?! Aku belum pernah dengar gelarnya selama ini! Namun dia telah mengenaliku bahkan semua orang di sini! Lebih-lebih dia telah mengenali Pitaloka dan tampaknya tahu urusannya! Sudah demikian jauhkah berita ini tersebar?! Pitaloka.... Kau benar-benar telah membuat malu besar padaku!” Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin. Lalu dengan menahan perasaan, dia berkata menyambuti ucapan Malaikat Berkabung.

“Anak muda! Ada urusan apa antara kau dan Pitaloka?!”

“Aku belum pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi bukannya tidak ada urusan antara aku dengan dia!” ujar Malaikat Berkabung.

“Katakanlah apa urusannya!” kata Nyai Tandak Kembang meski sedikit heran.

Malaikat Berkabung gerakkan kepala menggeleng. “Aku tidak bisa mengatakannya di sini! Serahkan saja Pitaloka padaku!”

“Hem.... Rupanya dia tahu juga urusan Pitaloka! Heran... Bagaimana dia bisa tahu?!” gumam Pendekar 131 tak habis pikir.

Sementara mendengar ucapan-ucapan Malaikat Berkabung, di balik semak Dayang Sepuh tak henti-hentinya geleng kepala dengan menyumpah-nyumpah dalam hati. Dia sesekali arahkan pandangannya ke tempat di mana Gendeng Panuntun dari Datuk Wahing mendekam sembunyi. Si nenek makin geram saja mendapati kedua orang itu tidak juga memberi isyarat atau muncul.

“Ke mana dua setan tua itu?! Apa ketiduran hingga tidak tahu apa yang tengah terjadi?! Seharusnya mereka segera muncul dan menyelesaikan urusan agar tidak berlarut-larut. Apalagi kini telah datang manusia setan yang baru kali ini kujumpai, tapi nyatanya dia telah mengenal banyak orang! Dan tahu urusan yang tengah terjadi! Hem.... Aku harus ke tempat mereka!”

Berpikir begitu akhirnya Dayang Sepuh mulai bergerak perlahan-lahan menjauh seraya kibas-kibaskan air dalam bumbung bambu. Saat lain dia berkelebat lalu memutar haluan dan berlari menuju tempat di mana Gendeng Panuntun tadi mendekam sembunyi.

“Setan! Di mana dia?! Dia tadi berada di sini! Tapi sekarang tidak kelihatan batang hidungnya!” kata Dayang Sepuh dalam hati begitu sampai di tempat mana tadi Gendeng Panuntun berada dan tidak mendapati orang.

“Jangan-jangan dia bergabung dengan setan bersin itu!” Tanpa menunggu lama lagi, kembali Dayang Sepuh berkelebat. Setelah memutar jalan, dia mengendap-endap ke arah tempat di mana tadi Datuk Wahing sembunyi.
Namun kembali si nenek dibuat geram. Ternyata dia juga tidak menemukan sosok Datuk Wahing. “Setan! Mereka meninggalkan diriku tanpa pamit! Pasti mereka pergi berdua! Ke mana?! Apa mereka pikir karena Pitaloka tidak ada di sini lalu melanjutkan perjalanan?! Setan betul!” Dayang Sepuh memaki-maki sendiri. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Sementara di depan sana, Nyai Tandak Kembang tampak tersenyum mendengar ucapan Malaikat Berkabung. Lalu berkata. “Anak muda! Pitaloka tidak berada bersamaku!”

“Jangan bicara dusta dihadapanku!” bentak Malaikat Berkabung. “Aku tahu di mana Pitaloka kau sembunyikan!”

“Kau bukan saja pandai mengenali orang, tapi juga pintar menduga! Aku memberimu kesempatan untuk menemukan Pitaloka!”

“Bagus! Kau seorang nenek yang baik!” kata Malaikat Berkabung lalu melangkah ke depan.

Namun Dewi Ayu Lambada segera rentangkan kedua tangannya menghadang. Sementara Dewa Uuk terus tadangkan kedua tangan dibelakang telinganya seakan ingin mendengar apa yang dibicarakan orang.

“Dewi Ayu... Harap tidak halangi langkahnya!” Nyai Tandak Kembang berkata.

Dewi Ayu Lambada berpaling. Nyai Tandak Kembang tersenyum seraya gelengkan kepala. “Kau tak usah khawatir! Lagi pula ini urusan cucuku!”

“Hem.... Kalau begitu putusanmu, apa boleh buat!” ujar Dewi Ayu Lambada seraya tarik pulang kedua tangannya lalu mendekati Dewa Uuk dan Iblis Ompong. Sementara Malaikat Berkabung teruskan langkah ke arah tanah ketinggian.

Tiga langkah di depan tanah ketinggian yang tertutup dedaunan dan rumput tebal, Malaikat Berkabung hentikan tindak. Sosoknya berputar menghadap beberapa orang yang ada di tempat itu. Namun pemuda ini hanya memandang pada satu persatu orang tanpa buka mulut. Saat lain kembali dia balikkan tubuh. Membuat satu gerakan, dan tiba-tiba sosoknya melesat ke depan menerobos dedaunan dan rumput tebal.

“Luar biasa! Dia tahu di mana lobang itu berada!” gumam Nyai Tandak Kembang begitu melihat sosok Malaikat Berkabung lenyap masuk ke tanah ketinggian melalui lobang di mana tadi Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan, dan Pendekar 131 muncul.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok Malaikat Berkabung, Pendekar 131 segera berkelebat tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Karena semua orang tengah memperhatikan tindakan Malaikat Berkabung, mereka tidak mengetahui kepergian murid Pendeta Sinting.

“Beda Kumala! Kita tinggalkan tempat ini! Tak ada gunanya meladeni orang itu!” Mendadak Nyai Tandak Kembang berbisik pada Putri Kayangan. “Aku yakin Pitaloka sudah meninggalkan tempat ini!”

Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berkelebat. Putri Kayangan arahkan pandang matanya ke tempat di mana tadi murid Pendeta Sinting tegak. Dia sesaat jadi kaget mendapati sang Pendekar sudah tidak kelihatan lagi. Tanpa berkata-kata gadis cantik ini segera pula berkelebat menyusul eyangnya.

“Hai! Tunggu!” tahan Dewi Ayu Lambada.

Namun Putri Kayangan seolah tidak dengarkan teriakan orang. Dia terus berkelebat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan pohon di depan sana.

“Kalau mereka pergi, berarti gadis itu tidak ada di sini!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Jadi tak ada gunanya kita di tempat ini!” Tanpa menunggu sahutan orang, Dewi Ayu Lambada segera menggaet tangan Dewa Uuk lalu diseretnya berkelebat tinggalkan tempat itu.

Iblis Ompong mendongak dengan manggut-manggut. Lalu ikut berkelebat. Baru saja Iblis Ompong berlalu, mendadak dari arah timur terlihat satu bayangan berlari kencang. Kejap lain berjarak lima belas langkah dari tanah ketinggian di mana tadi Malaikat Berkabung melesat masuk, telah tegak satu sosok tubuh!

***
SEBELAS
"JAHANAM! Kau simpan di mana gadis itu, hah?!”

Tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat dari dalam tanah ketinggian. Saat lain satu sosok tubuh melesat menerobos dedaunan dan rumput tebal dan muncul di tanah agak terbuka. Dia tidak lain adalah pemuda yang sebutkan diri sebagai Malaikat Berkabung. Sesaat Malaikat Berkabung edarkan matanya yang berkilat ke Seantero tempat itu. Mendadak rahangnya terangkat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak ketika mendapati yang ada di situ hanya tinggal satu orang. Apalagi orang itu bukan orang yang tadi berada di tempat itu.

“Siapa kau?!” Yang ajukan tanya adalah orang di hadapan Malaikat Berkabung.

Malaikat Berkabung memandang angker ke depan. Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan setengah baya berwajah cukup cantik. Rambutnya dikuncir. Dia mengenakan pakaian warna abu-abu yang. di bagian dada dibuat membelah agak ke bawah. Hingga lembahan dua payudaranya terlihat nyata. Pinggulnya besar dibalut dengan kain tipis ketat, hingga cuatannya membuat dada berdebar. Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Kepalanya mendongak. Lalu terdengarlah ucapannya yang seperti bersyair. 

“Aku datang bersama angin. Aku datang bernaung matahari dan rembulan. Aku datang dari lembah kegelapan. Lintasan bumi akan jadi saksi mati. Saksi dari aliran darah anak manusia!”

Si perempuan tertawa merdu. Sepasang matanya yang bulat dipejamkan sesaat lalu dibuka lagi. Bibirnya kembangkan satu senyum.

“Takdir mereka masih baik! Tapi takdirmu buruk, Anak Manusia! Kau datang menggantikan takdir mereka!” kata Malaikat Berkabung.

“Kau bicara takdir! Apa kau tahu kita ditakdirkan bertemu lalu bercinta?!”

“Dewi Gita! Sayang sekali.... Hari perkabunganmu telah tiba! Tapi sebelum kau kuantar ke tempat perkabungan, jawab dulu tanyaku! Ke mana mereka pergi?!”

Si perempuan tersentak kaget. Bukan saja oleh pertanyaan orang, melainkan juga mendapati orang tahu siapa dirinya. “Baru kali ini akan bertemu dengannya! Tapi dia telah mengenaliku! Padahal sudah hampir sepuluh thun aku tidak berkecimpung dalam belantara persilatan! Siapa pemuda ini?! Siapa pula yang dimaksud dengan mereka?! Dia tadi sebut-sebut gadis! Apa yang dimaksud adalah gadis yang tengah mengandung itu?!”

Selagi perempuan yang dipanggil Dewi Gita membatin, Malaikat Berkabung telah berucap lagi.

“Dengan tidak menjawab tanyaku, berarti kau mempercepat saat perkabungan itu, Dewi Gita!”

Ancaman orang bukannya membuat Dewi Gita takut. Sebaliknya perempuan ini tersenyum dengan kedipkan sebelah mata. Lalu melangkah perlahan-lahan kedepan. “Kau tadi belum jawab pertanyaanku! Dan aku tidak biasa menjawab pertanyaan orang yang belum kukenal meski kau telah tahu siapa aku!”

“Aku manusia dari lembah kegelapan! Aku Malaikat Berkabung!”

“Ah.... Rupanya kita berselera sama. Aku juga senang yang gelap-gelap! Kulihat kau tadi muncul dari tanah ketinggian itu. Apa di sana ada tempat yang enak untuk bicara?!”

“Tempatmu bukan di sana! Aku tahu di mana, dan akan segera kutunjukkan padamu!” kata Malaikat Berkabung.

Dewi Gita makin percepat langkah sambil terus tertawa. Berjarak delapan langkah tiba-tiba perempuan ini kelebatkan kedua tangannya melepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!

Wuutt! Wuuuutt!

Dua gelombang angin dahsyat menghampar ganas ke arah Malaikat Berkabung. Mendapat serangan mendadak, Malaikat Berkabung bukannya terkejut, melainkan tertawa panjang. Saat bersamaan dia kebutkan mantel hitamnya.

"Weeerr!" Mantel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung berkelebat angker perdengarkan deruan keras. Gelombang angin berkiblat.

Desss! Dessss!

Terdengar benturan keras perdengarkan suara mendesis. Dewi Gita terkesiap dan buru-buru melompat mundur dengan paras berubah. Sosoknya bergetar dengan kedua tangan gemetar. Di depan sana Malaikat Berkabung tengadah sambil teruskan gelakan tawa! Kelebatan mantel yang mampu menghadang pukulannya sudah cukup membuat Dewi Gita sadar tengah berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi. Hal ini membikin Dewi Gita makin penasaran akan siapa adanya orang.

“Pemuda tampan! Kau tengah mencari seorang gadis?!” tanya Dewi Gita seraya diam-diam kerahkan tenaga dalam.

“Itu urusanku! Dan kau tak tahu apa-apa dalam urusan ini!”

“Kau salah duga! Yang kau cari gadis yang tengah hamil, bukan?!”

Malaikat Berkabung menyeringai. “Aku tidak bodoh! Kau bukannya memberi keterangan. Sebaliknya kau akan mengorek keterangan dariku! Jangan kira aku tak tahu apa yang ada dalam benakmu!”

Dewi Gita diam-diam terkejut. “Dia tahu...! Sebaiknya aku tinggalkan tempat ini! Aku tak akan membuat perkara sebelum aku mendapatkan apa yang kucari!”

Habis membatin begitu, Dewi Gita tersenyum pada Malaikat Berkabung. Saat bersamaan sekonyong-konyong kedua tangannya berkelebat melepas satu pukulan lagi! Kejap lain Dewi Gita berbalik lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

Malaikat Berkabung menyingkir dengan melompat ke samping. Gelombang angin dari kedua tangan Dewi Gita menyambar empat jengkal di sebelah samping Malaikat Berkabung. Lalu menghantam tanah ketinggian di belakang sana.

Brakkk!

Tanah ketinggian yang tertutup dedaunan dan rumput tebal langsung terbongkar. Dedaunan dan rumput tampak semburat. Lalu terlihat lobang menganga!

Malaikat Berkabung tegak pandangi kelebatan sosok Dewi Gila. Saat lain pemuda ini kibaskan mantel hitamnya. Sosoknya melesat dan lenyap di depan sana.Sementara Dewi Gita teruskan berkelebat laksana dikejar setan. Bukannya takut menghadapi Malaikat Berkabung karena dia sendiri yakin akan kekuatannya, namun dia tidak mau terlibat perkara dengan orang. Dewi Gita baru berhenti larinya tatkala sampai pada satu tempat yang dirasa cukup aman. Apalagi saat itu matahari hampir tenggelam hingga suasana agak gelap.

“Hem.... Pemuda Edan! Tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba inginkan nyawa orang! Kalau saja aku tidak tengah....” Dewi Gita putuskan gumamannya. Ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan.

Dan belum sempat perempuan ini melakukan gerakan, tahu-tahu dihadapannya telah tegak satu sosok tubuh. Saat bersamaan terdengar Ucapan bersyair.

“Aku datang dari lembah kegelapan. Lintasan bumi akan jadi saksi mati. Saksi dari aliran darah anak manusia.”

Dewi Gita terkesiap kaget mendengar syair yang diucapkan lelaki di hadapannya.

“Kau kira takdir buruk itu bisa lolos dari tubuhmu, Perempuan?! Tidak...! Setiap Malaikat Berkabung muncul, harus ada anak manusia yang darahnya jadi saksi! Itu adalah kepastian!”

Tengkuk Dewi Gita semakin dingin. Tapi perempuan ini cepat kuasai diri. Dia sadar, tak mungkin lagi bisa menghindar. Maka seraya lipat gandakan tenaga dalam, dia berucap. “Di antara kita tidak ada silang perkara. Aku pun tak ingin membuat urusan denganmu! Tapi jangan kau kira aku takut!Katakan apa maumu sebenarnya!”

“Memutus takdirmu! Itu adalah kepastian yang harus kulakukan!”

“Hem.... Aku tak percaya dengan ucapanmu! Kau disuruh orang?! Berapa imbalan yang kau terima?! Atau imbalan itu lebih molek dariku?!”

“Aku datang dari lembah kegelapan! Tak ada manusia di sana! Aku hanya ingin disaksikan bumi bahwa setiap aku muncul, harus ada aliran darah anak manusia! Kau dengar, itu adalah kepastianku!”

Belum selesai ucapan Malaikat Berkabung, tangan pemuda ini telah bergerak. Mantel hitamnya berkelet dari arah kiri kanan. Terdengar dua deruan angker. Dua gelombang deras berkiblat ganas ke arah Dewi Gita. Dewi Gita tidak tinggal diam. Bersamaan dengan bergeraknya tangan Malaikat Berkabung, kedua tangan perempuan ini lepaskan satu pukulan jarak jauh.

Bummm!

Terdengar ledakan menggelegar. Suasana kelam karena matahari telah tenggelam mendadak dipecah dengan terlihatnya muncratan laksana bara api ke udara. Tanah di tempat itu bergetar keras. Sosok Dewi Gita terhuyung dua tindak ke belakang dengan wajah berubah pias. Dewi Gita segera meneliti. Merasa tidak mengalami cedera terlalu berat, dia segera berkelebat ke depan. Kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah kepala dan dada Malaikat Berkabung. Malaikat Berkabung tertawa pendek. Saat lain dia jejakkan kaki. Sosoknya melesat menyongsong hantaman kedua tangan Dewi Gita.

Bukkk! Bukkk!

Dua benturan keras terdengar. Dewi Gita terdorong sambil perdengarkan seruan tertahan. Hampir saja kedua lutut perempuan ini menekuk kalau saja dia tidak segera hentakkan telapak kakinya hingga sosoknya tegak laksana terpacak. Dewi Gita tadi sengaja hendak menjajaki tenaga dalam orang. Karena dia khawatir sapuan gelombang yang datang ke arahnya hanya karena kesaktian mantel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung. Setelah terjadi benturan, Dewi Gita kini maklum kalau tenaga dalam orang memang luar biasa! 

“Hem.... Sebenarnya aku tak ingin membuat urusan, tapi apa hendak dikata. Rupanya manusia ini memang punya keanehan!” gumam Dewi Gita dalam hati. Lalu angkat kedua tangannya. Sosoknya tampak bergetar keras tanda perempuan ini telah kerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

Di depan sana, Malaikat Berkabung angkat pula kedua tangannya dengan telapak sama dikembangkan. Lalu kedua jari tengah masing-masing tangan ditemukan dan ditarik tepat di depan mata.

“Dari tadi kau bicara soal takdir. Mungkin itu satu tanda takdirmu sudah tiba!” bentak Dewi Gita. Kedua tangannya segera disentakkan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang ganas disertai menghamparnya hawa panas luar biasa mencuat lurus ke arah Malaikat Berkabung. Malaikat Berkabung dorong kedua telapak tangannya ke depan perlahan saja. Namun hebatnya, dari kedua telapak tangannya yang jari tengahnya saling bertemu itu melesat kabut hitam laksana tabir.

Wusss! Wuuuss! Blammmm!

Hawa panas menyengat yang sesaat tadi menyungkup tempat itu bersamaan dengan melesatnya gelombang dari kedua tangan Dewi Gita laksana diguyur hujan es. Bahkan saat itu juga suasana berubah dingin. Tak lama kemudian terdengar gelegar hebat.bDewi Gita perdengarkan jeritan melengking. Sosoknya terpental sejauh satu tombak lalu jatuh nyangsrang di balik semak. Dari mulutnya mengucur darah. Sementara sosoknya menggigil kedinginan meski ia merasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang!

Di seberang depan, sosok Malaikat Berkabung terdorong empat langkah. Walau sempat terhuyung hendak jatuh, namun pemuda ini cepat dapat kuasai diri. Malah begitu sosok Dewi Gita jatuh di balik semak, Malaikat Berkabung telah melesat ke depan dan tahu- tahu telah tegak tiga langkah di belakang Dewi Gita.

Dewi Gita rasakan nyawanya seolah melayang ketika tiba-tiba satu tendangan berkelebat ke arahnya sementara dia belum sempat bergerak bangkit. Namun perempuan ini tak mau berdiam diri. Dia segera angkat kaki kanannya menghadang tendangan yang datang.

Bukkk!

Untuk kedua kalinya Dewi Gita menjerit. Sosoknya yang belum bangkit berguling-guling di balik semak. Kakinya yang baru saja menghadang tendangan langsung mengembung besar dan laksana tak bisa digerakkan. Malaikat Berkabung rupanya tak ambil peduli dengan keadaan orang. Dia segera memburu. Saat lain kembali kakinya bergerak lepaskan satu tendangan menyusur tanah ke arah kepala Dewi Gita. Dalam keadaan demikian rupa, nyatanya Dewi Gita tak mau menyerah. Kini dengan sisa tenaganya dia angkat kaki kirinya lalu dihantamkan menghadang tendangan orang.

Bukkk!

Sosok Dewi Gita mencelat sebelum akhirnya menghantam satu batangan pohon dan jatuh terkapar dengan mulut makin banyak kucurkan darah. Malaikat Berkabung tidak mau menunggu. Begitu sosok Dewi Gita mencelat, dia cepat mengejar. Saat sosok Dewi Gita terkapar di atas tanah, kedua tangannya membuat gerakan mendorong. Dua gelombang angin menderu. Dewi Gita hanya bisa membelalak tanpa dapat membuat gerakan apa-apa. Hingga tanpa ampun lagi gelombang yang melesat dari kedua tangan Malaikat Berkabung menghantam telak pada sosoknya!

Dewi Gita hanya sempat perdengarkan pekikan pendek kala sosoknya terpental lalu kembali menghantam batangan pohon. Dan saat sosok Dewi Gita melayang jatuh, nyawa perempuan ini sudah putus. Malaikat Berkabung pandangi sosok Dewi Gita yang terkapar bersimbah darah. Senyumnya terkembang. Lalu kepalanya tengadah.

“Pitaloka tidak ada di tempat itu. Ke mana kira-kira anak manusia itu?! Berhari-hari aku mengikuti perjalanan mereka tanpa mereka ketahui. Nyatanya usahaku sia-sia! Hem... Ke mana pun mereka saat ini pergi, yang pasti masih berada dalam hutan ini. Aku harus segera mendapatkan mereka! Malam purnama sudah tidak lama lagi....”

Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Berkabung pandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba saja dia berteriak dengan bersyair. “Anak manusia di pelataran jagat.
Manusia dari lembah kegelapan telah datang. Datang dengan membawa satu kepastian.
Sampai bumi berubah jadi lautan darah!”

Suara teriakan Malaikat Berkabung belum lenyap, ternyata sosok si pemuda sudah tidak ada lagi di tempatnya semula!

***
DUA BELAS
SATU sosok tubuh berselimut dedaunan tampak menggeliat di bawah satu batangan pohon besar di suasana dingin menjelang dini hari. Beberapa kali orang ini buka mulut menguap namun sepasang matanya belum juga dibuka. Malah tak lama kemudian dia meringkuk dan perdengarkan dengkuran keras. Ketika matahari mulai merangkak dari arah timur, orang berselimut dedaunan di bawah pohon kembali gerakkan tubuh menggeliat. Kini kedua matanya dibuka lalu diusap-usap dengan kedua punggung lengan. Kejap lain dia bergerak duduk dan sandarkan punggung pada batangan pohon.

“Seandainya Putri Kayangan ada bersamaku...” tiba-tiba orang di bawah pohon bergumam sendiri seraya cengengesan. “Tentu tidak ada rasa dingin semalaman! Ke mana dia sekarang pergi? Waktu aku meninggalkan tanah ketinggian itu, kulihat Nyai Tandak Kembang juga pergi. Ah! Percuma aku sekarang memikirkan soal itu! Pitaloka gagal kutemukan sementara saat purnama sudah tidak berapa lama lagi! Aneh... Nyai Tandak Kembang merasa aroma penciumannya terputus! Sementara hal itu katanya tidak pernah terjadi! 

Hem... Ada keanehan pada diri Pitaloka! Atau jangan-jangan ada seorang berilmu tinggi yang menolong Pitaloka dan dapat memutus daya cium Nyai Tandak Kembang. Hem.... Lalu ke mana Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk? Dengan munculnya mereka tepat di tempat mana Nyai Tandak Kembang menduga Pitaloka berada, berarti mereka juga kehilangan jejak Pitaloka! Lalu ke mana sekarang aku harus mencari gadis itu?!”

Orang yang duduk bersandar di batangan pohon dan tidak lain adalah murid Pendeta Sinting beranjak bangkit. Dia edarkan pandangan berkeliling. Kepalanya menggeleng perlahan.

“Urusan di mana Pitaloka belum terjawab, kini muncul lagi seorang pemuda aneh. Dia seolah tahu dan kenal setiap orang! Padahal melihat paras keterkejutan orang, aku dapat menebak jika Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Nyai Tandak Kembang belum pernah bertemu dengan pemuda itu! Malaikat Berkabung. Hem... Gelar yang bagus. Sayang aku tak tahu siapa dia sebenarnya! Tapi dari ucapannya, maksudnya tidak meleset jauh dari pencarian Pitaloka! Mengapa kabar kehamilan gadis itu begitu cepat menebar? Siapa pula yang menebarkan?!”

Selagi Pendekar 131 membatin dan bertanya-tanya pada diri sendiri, mendadak berjarak dua puluh langkah di depan sana satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat Joko dapat melihat siapa adanya orang, bayangan putih telah lenyap. Joko tegak menunggu dengan mata dipentang tak berkesip memandang ke arah sirnanya orang. Dia belum bergerak karena ingin yakinkan dahulu pandangannya. Mendadak bayangan putih di depan sana terlihat lagi. Murid Pendeta Sinting makin pentangkan mata.

Sementara orang di depan sana seolah tahu keraguan orang, hingga kali ini dia tidak segera berkelebat lagi, melainkan tegak membelakangi Joko. Namun cuma sekejap. Saat lain dia putar diri menghadap Pendekar 131. Karena agak jauh, Joko belum dapat menatap dengan seksama wajah orang. Namun yang pasti, dia yakin belum mengenal orang itu. Yang dapat dilihatnya adalah orang itu berambut putih dipotong pendek hingga rambutnya menjadi tegak-tegak. Dia mengenakan pakaian warna putih.

Setelah agak lama memandang ke arah murid Pendeta Sinting, orang berambut pendek jabrik dan berpakaian putih lorotkan tubuh dan lenyap dari pandangan Joko karena terhalang semak dan batangan beberapa pohon. Namun murid Pendeta Sinting masih juga belum bergerak dari tempatnya. Dia sebenarnya bimbang. Di satu sisi tindakan orang membuatnya jadi penasaran, tapi dalam situasi seperti saat ini dia harus waspada terhadap siapa saja apalagi orang yang belum dikenalnya.

Dalam kebimbangannya, tiba-tiba orang berambut jabrik putih di depan sana kelihatan lagi. Ternyata orang itu tidak beranjak dari tempatnya semula. Kali ini agak lama dia memandang ke arah Pendekar 131.

“Apa maksudnya orang itu?!” gumam murid Pendeta Sinting dengan terus perhatikan sikap orang. Namun dia belum bisa dengan jelas melihat wajah orang.

Sementara di depan sana, setelah agak lama memandang akhirnya orang berambut jabrik putih balikkan tubuh dan berkelebat. Entah apa yang terpikir dalam benak murid Pendeta Sinting, begitu orang berambut jabrik putih berkelebat, Joko ikut pula membuat gerakan dan sosoknya melesat ke arah orang berambut jabrik putih.

Ternyata orang berambut jabrik putih tidak hentikan kelebatan meski dia tahu murid Pendeta Sinting tengah berkelebat mengejarnya. Malah dia seakan mempercepat larinya.

“Hai! Tunggu!” seru Pendekar 131 seraya terus mengejar.

Orang berambut jabrik putih tidak pedulikan teriakan Joko. Dia terus berkelebat sebelum akhirnya menyelinap lenyap di balik kerapatan semak. Murid Pendeta Sinting hentikan larinya begitu mendapati orang yang dikejar tidak kelihatan lagi.

“Heran... Apa maunya orang itu?! Dia tadi seolah ingin dikenali, tapi begitu dikejar dia menghilang!”

“Kau mencariku, Pendekar 131?!” Tiba-tiba satu suara mengejutkan Joko. Bersamaan itu satu sosok bayangan melayang turun dari atas sebuah pohon.

Murid Pendeta Sinting gerakkan kepala mengikuti sosok yang melayang turun. Dan perhatikan orang dengan seksama saat sosok itu telah tegak di atas tanah. Ternyata dia adalah seorang kakek. Rambutnya putih jabrik. Sepasang matanya agak sipit namun tajam. Kumisnya putih dan lebat. Dia mengenakan pakaian warna putih mirip pakaian seorang biksu yang bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya juga memegang sebuah tasbih pendek warna coklat. Di lehernya melingkar kalung panjang dari untaian butiran warna coklat pula.

“Hem.... Dua kali aku bertemu orang yang telah mengenaliku padahal aku belum pernah berjumpa! Siapa pula orang tua ini?!” Joko bertanya-tanya dalam hati. Lalu angkat bicara.

“Orang tua... Kau telah tahu aku. Sekarang mau kau katakan siapa dirimu?!”

Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tangan kanan. Tasbih pendek di tangannya bergerak memutar. “Hutan belantara sepi. Bertahun-tahun tak dirambah telapak kaki manusia! Tapi hari-hari terakhir ini kulihat banyak telapak kaki menginjaknya. Sebelum kujawab pertanyaanmu, katakanlah dahulu apa maksudmu berada di hutan ini, Pendekar 131!”

“Rasanya tak ada gunanya aku berdusta! Pertanyaannya itu mungkin hanya berpura-pura! Padahal dia sebenarnya sudah tahu!”

Berpikir sampai di situ, akhirnya murid Pendeta Sinting buka mulut menjawab. “Aku tengah mencari seorang gadis! Dan harap jangan tanyakan lanjutannya, karena kurasa kau telah tahu, Orang Tua!”

Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tubuh memutar sedikit. Seraya tersenyum dia berucap pelan. “Alur aliran darah memang akan selalu membawa ikan hiu untuk mengikutinya!”

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Agak lama dia coba menyimak ucapan si orang tua. Namun karena dia lebih tertarik dengan siapa dia sedang berhadapan, akhirnya Joko ajukan tanya lagi.

“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa dirimu?!”

Yang ditanya tengadahkan kepala. “Pendekar 131! Lihatlah ke langit!”

Walau masih heran, murid Pendeta Sinting akhirnya mendongak juga.

“Apa yang kau lihat?!”

“Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa! Hanya ada sedikit awan!”

Si orang tua gelengkan kepala. “Perhatikan sekali lagi, Pendekar 131!”

Pendekar 131 melirik pada si orang tua. Lalu tengadah lagi. “Orang tua! Aku tidak melihat apa-apa!”

“Aku melihat darah! Darah itu menebar sampai ke hamparan bumi!”

“Orang tua! Apa maksudmu sebenarnya?!”

“Kau akan segera tahu, Pendekar 131!”

Habis berkata begitu, si orang tua berambut jabrik putih berkelebat. Anehnya dia tidak coba menyelinap sembunyikan diri. Malah di depan sana dia melangkah pelan-pelan dan sesekali berpaling pada murid Pendeta Sinting dengan tersenyum. Namun kali ini senyumnya lain.

“Ada yang aneh dengan orang tua itu!” gumam murid Pendeta Sinting lalu berkelebat mengejar...

S E L E S A I

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar