SATU
PEMUDA berparas tampan mengenakan pakaian putih, berambut panjang sedikit acak-acakan yang rautnya mirip sekali dengan Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng itu berlari laksana kesetanan. Hingga sosok tubuhnya hanya mirip dengan bayang-bayang dan hampir tidak bisa dilihat dengan pandang mata biasa.

Begitu memasuki kawasan hutan belantara sepi, si pemuda baru memperlambat larinya sebelum akhirnya berkelebat menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Untuk beberapa saat si pemuda tidak membuat gerakan apa-apa atau perdengarkan suara. Dia hanya arahkan pandang matanya ke arah dari mana tadi berlari. 

“Hem.... Dia tidak mengejarku...!” 

Untuk pertama kalinya si pemuda perdengarkan desisan. Namun sejauh ini dia belum juga alihkan pandang matanya. Sikapnya pun masih waspada. Tiba-tiba si pemuda tengadahkan kepala. Rahangnya terangkat membesi. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. Mulutnya yang menyeringai kembali perdengarkan desisan marah, 

“Kiai Tung-Tung keparat! Ternyata kau manusianya yang berani mengikuti langkahku! Kalau saja tidak khawatir Kiai Lidah Wetan tahu kalau Kembang Darah Setan yang kuberikan pada Setan Liang Makam itu palsu, kau sudah kubuat berkalang tanah!” 

Si pemuda mendengus seraya menghela napas. Pemuda ini bukan lain adalah Kiai Laras yang menyamar sebagai Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, Kiai Laras dan kakak kandungnya Kiai Lidah Wetan datang menyelidik ke pesisir utara sebelah barat dekat dengan sebuah teluk menuruti keterangan Kiai TungTung yang sempat bertemu dengan Kiai Laras. Tanpa diduga sama sekali, ternyata Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat datang ke teluk mengenakan samaran sebagai Pendekar 131 berjumpa dengan Setan Liang Makam yang muncul ke teluk juga atas keterangan Kiai Tung-Tung. 

Setan Liang Makam langsung meminta Kembang Darah Setan, karena dia tahu jelas kalau orang yang mengambil Kembang Darah Setan adalah Pendekar 131. Meski saat itu Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan mengenakan samaran, namun Setan Liang Makam yakin salah satu di antara keduanya adalah orang yang mengambil Kembang Darah Setan. 

Pada akhirnya, Kiai Laras memberikan Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu Setan Liang Makam lanjutkan perjalanan ke Kampung Setan menuruti petunjuk neneknya Nyai Suri Agung. Sementara Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan terus mengikuti Setan Liang Makam. Setelah mengetahui Setan Liang Makam masuk ke dalam lobang menganga di bawah hancuran altar batu, Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan meninggalkan Kampung Setan. 

Namun keduanya tidak tahu kalau sejak dari teluk, Kiai Tung-Tung terus mengikuti. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan baru sadar jika langkahnya diikuti orang tatkala sudah agak jauh meninggalkan Kampung Setan. Namun baik Kiai Laras maupun Kiai Lidah Wetan tidak tertarik untuk mengetahui siapa gerangan adanya orang yang mengikuti, karena secara diam-diam kedua orang ini punya rencana tersendiri. Keduanya lantas berkelebat berpencar. 

Kiai Tung-Tung memutuskan untuk berkelebat mengejar salah satunya. Ternyata yang dikejar adalah Kiai Lidah Wetan. Kedua orang ini sempat terjadi bentrok. Kiai Lidah Wetan merasa orang yang dihadapi berilmu tinggi, hingga dia segera berkelebat loloskan diri. Kiai Tung-Tung berusaha mengejar. Saat itulah Kiai Tung-Tung dihadang oleh pukulan sinar tiga warna yang bukan saja membuat Kiai Tung-Tung terkejut namun juga kehilangan jejak Kiai Lidah Wetan. 

Di lain pihak, saat berkelebat berpencar untuk hindarkan diri dari penguntitan orang, Kiai Laras berniat teruskan perjalanan ke Kampung Setan. Namun setelah berlari dua puluh lima tombak dan yakin dirinya tidak diikuti orang, tiba-tiba ia didera perasaan ragu-ragu. Dia sudah bisa menebak, kalau orang yang tadi menguntitnya mengikuti Kiai Lidah Wetan. Walau Kiai Laras belum tahu siapa adanya orang yang mengikuti langkahnya, namun dia dapat menangkap gelagat kalau orang itu memiliki kepandaian tinggi. 

Karena khawatir Kiai Lidah Wetan tidak mampu menghadapi orang, dan lebih-lebih takut kalau sampai Kiai Lidah Wetan buka kedok mereka berdua, akhirnya Kiai Laras berlari balik ke arah mana tadi Kiai Lidah Wetan berkelebat pisahkan diri. Ketika Kiai Tung-Tung hendak lepaskan satu pukulan menyusur tanah untuk hentikan gerakan Kiai Lidah Wetan yang berlari kencang di depan sana, Kiai Laras segera hantamkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan. Hingga gerakan Kiai Tung-Tung terhenti dan kehilangan jejak Kiai Lidah Wetan yang terus berlari. 

Kiai Laras langsung marah besar begitu tahu siapa gerangan orang yang mengejar Kiai Lidah Wetan. Namun dia masih berpikir cepat. Dia tidak mau Kiai Lidah Wetan tahu kalau Kembang Darah Setan yang diberikan pada Setan Liang Makam adalah palsu. Maka dia tindih perasaan marah dan segera berkelebat pergi. 

“Kiai Tung-Tung.... Siapa jahanam itu sebenarnya?! Sekarang aku yakin kalau semua ucapannya dusta! Dia berusaha menjebak! Tapi dia tidak tahu, justru jebakannya membawa rezeki besar bagiku! Aku sekarang tahu harus ke mana pergi tanpa butuhkan keterangan orang! Ha Ha Ha...!” 

Kiai Laras yang saat itu masih menyamar sebagai Pendekar 131 tertawa dalam hati. “Sebaiknya aku lepaskan penyamaran ini atau terus mengenakannya?!” 

Kiai Laras sesaat bimbang. Setelah agak lama berpikir akhirnya dia memutuskan tetap mengenakan samaran. Lalu melangkah dari balik batangan pohon dan kejap lain sudah berkelebat. Waktu keluar dari kawasan hutan dan jauh di depan sana terlihat julangan beberapa batu karang yang berjajar membentuk pagar berkeliling, Kiai Laras hentikan larinya. Dia berusaha sembunyikan diri di semak belukar pinggiran hutan. Sepasang matanya menatap lurus ke sela julangan batu karang di mana terdapat tanah terbuka yang di tengahnya terbongkar. 

“Apa aku harus ke sana sekarang?! Atau menunggu jahanam Setan Liang Makam keluar dan melihat apa yang terjadi?” Kiai Laras bertanya pada diri sendiri. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak ke balik pakaiannya. Dia tersenyum. “Kembang Darah Setan masih di tanganku! Tak ada yang perlu ku takutkan meski berhadapan dengan setan sekalipun! Aku harus ke sana!” 

Baru saja Kiai Laras memutuskan begitu, tiba-tiba sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh melesat dari lobang menganga di tengah tanah terbuka. Kiai Laras rundukkan tubuh sejajar tanah. Mulutnya terkancing rapat dan matanya dipentang besar-besar. 

Sementara di depan sana, sosok yang baru saja melesat keluar dari lobang dan tidak lain adalah Setan Liang Makam, sentakkan kepala berputar dengan mulut perdengarkan makian panjang pendek. Sepasang matanya mendelik beringas. Saat lain Setan Liang Makam membuat gerakan tubuh satu kali. Sosoknya melesat berlari tinggalkan tanah terbuka. 

Kiai Laras makin rundukkan tubuh. Namun diam-diam juga gerakkan tangan ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kembang Darah Setan. Dadanya sedikit berdebar. Namun begitu Setan Liang Makam berlalu dan tidak mengetahui kalau dirinya diperhatikan orang, Kiai Laras tarik pulang tangannya seraya sunggingkan senyum. 

Walau tidak jelas benar makian Setan Liang Makam, dari sikap dan gelagatnya, Kiai Laras rupanya sudah maklum kalau Setan Liang Makam telah tahu jika Kembang Darah Setan di tangannya adalah palsu. Kiai Laras bergerak bangkit. Memandang ke arah Setan Liang Makam berlari lalu melangkah menuju tanah terbuka di tengah julangan beberapa batu karang. 

“Dia tidak mengalami apa-apa saat masuk ke lobang ini.... Mengapa aku tidak?!” 

Kiai Laras tenangkan diri tatkala dadanya mulai dilanda kekhawatiran begitu hendak masuk lobang di mana tadi Setan Liang Makam melesat keluar. Kiai Laras kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu melompat masuk ke lobang bekas bongkaran altar. Di bawah sana, dia menemukan sebuah tangga menurun. Kiai Laras mulai menapaki tangga menurun dengan mata tak berkesip dan kedua tangan sewaktu-waktu siap lepas pukulan. 

“Luar biasa...,” desis Kiai Laras begitu kakinya sampai ujung tangga dan kini di depan sana terlihat sebuah bangunan dari batu yang membentuk setangkai bunga berdaun tiga dengan kuncup membuat bentuk kerucut. Sayap bangunan yang seperti daun itu pancarkan warna merah, hitam, dan putih. Sementara kerucut bangunan biaskan sinar merah. 

“Bentuknya mirip sekali dengan Kembang Darah Setan di tanganku! Jadi inilah rahasianya mengapa Setan Liang Makam mati-matian merebut kembali....” Kiai Laras teruskan langkah. Namun dia lebih bersikap waspada. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Sementara sepasang matanya terpentang tak berkesip. 

“Kosong...,” gumam Kiai Laras begitu langkahnya tepat berada di depan pintu bangunan yang terbuka dan setelah menyiasati keadaan di ruangan dengan longokkan kepala. 

Dengan masih waspada penuh, Kiai Laras gerakkan kaki memasuki bangunan. Setelah memandang berkeliling ruangan dan melihat ada satu tangga batu di sebelah pojok ruangan, Kiai Laras teruskan langkah menuju tangga batu. Lalu perlahan-lahan bergerak naik. Tangga batu ke atas itu berakhir di sebuah ruangan kerucut yang pancarkan sinar merah. Kiai Laras untuk beberapa lama siasati keadaan dengan tadangkan tangan di depan kening untuk menghadang silau. Sepasang matanya disipitkan. 

Saat itulah matanya melihat rancahan kembang di dekat kakinya. Bibirnya tersenyum. Namun senyumnya lenyap tatkala dia melihat sebuah jubah hitam dikenakan oleh satu kerangka yang duduk berjarak lima tombak di hadapannya. 

“Dia kerangka tanpa nyawa atau kerangka bernyawa seperti Setan Liang Makam...? Dan siapa dia?! Melihat sosoknya yang hampir mirip dengan Setan Liang Makam, tentu dia masih ada hubungan! Dan jangan-jangan inilah akhir dari rahasia Kembang Darah Setan! Hem.... Akhirnya semua rencanaku berjalan tanpa halangan.... Dan jubah hitam itu tentu bukan jubah sembarangan!” Kiai Laras mulai melangkah maju. Namun mendadak dia hentikan langkah. “Tapi mengapa Setan Liang Makam tidak mengambil jubah itu?!” Karena tak menemukan jawaban pasti, Kiai Laras kembali gerakkan kakinya teruskan langkah. 

Bukkk! 
Kiai Laras tersentak. Sosoknya laksana menghantam tembok besar. Karena tidak menduga, Kiai Laras sempat tersurut balik tiga tindak dengan sosok limbung. Dia hampir saja lepaskan pukulan kalau saja tidak segera sadar bahwa apa yang baru menghadang langkahnya bukan pukulan orang! Kiai Laras jerengkan mata. Dia tidak melihat sesuatu yang baru saja menghalangi langkahnya. Dada orang tua yang menyamar sebagai pemuda murid Pendeta Sinting ini mulai berdebar keras. Tengkuknya merinding dingin. 

“Aneh.... Jangan-jangan aku tengah berhadapan dengan lawan yang tidak kelihatan! Tapi aku belum percaya!” Kiai Laras kembali hendak melangkah. Namun dia sengaja melangkah ke samping dahulu. Lalu gerakkan kaki. 

"Bukkk!" Untuk kedua kalinya Kiai Laras terkesiap. Namun karena sudah waspada, sosoknya tidak sampai limbung. 

“Benar-benar aneh....” Kiai Laras coba arahkan pandang matanya dari samping kanan lurus ke samping kiri. Namun tetap tidak melihat apa-apa! 

“Akan ku coba memukulnya!” Kiai Laras ambil keputusan. Kedua tangannya diangkat dan serta-merta didorong ke depan. Dua gelombang angin menderu. 

Blaumm! 

Ruangan berbentuk kerucut itu perdengarkan gema gelegar. Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terlengak. Bukan saja oleh gema akibat gelombang pukulannya tapi juga karena pantulan gelombang pukulannya yang membalik dan menghantam dirinya yang tidak menyangka sama sekali. Hingga sosoknya tersapu ke belakang menghajar dinding. 

“Keparat! Setan apa yang menghadang ini?!” maki Kiai Laras. Dia kembali maju. Tenaga dalamnya dilipatgandakan. Lalu kembali tangannya disentakkan ke depan. Namun bersamaan dengan itu dia berkelebat ke samping. Dia tidak mau membuat kesalahan yang sama. 

Untuk kedua kalinya ruangan kerucut bersinar merah bergetar dan keluarkan gema menggelegar dahsyat. Gelombang pukulan Kiai Laras membalik lalu menghantam dinding di belakang sana. Kembali gema gelegar terdengar di ruangan itu saat pantulan gelombang menghajar dinding. 

“Mungkin ini alasannya mengapa Setan Liang Makam tidak mengambil jubah di kerangka manusia itu! Anehnya lagi, kerangka itu tidak bergerak-gerak! Kalau sebuah benda dipagari dengan hal aneh, pasti benda itu benda sakti!” 

Sekali lagi Kiai Laras memandang berlama-lama pada jubah hitam yang dikenakan kerangka manusia di depan sana. “Pukulanku tidak mampu menerobos halangan keparat tak kelihatan itu! Tapi aku masih punya Kembang Darah Setan! Mungkin inilah senjata pembukanya!” 

Berpikir begitu, Kiai Laras gerakkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar, tampak Kembang Darah Setan telah tergenggam dan diangkat di atas kepala. Sesaat Kiai Laras atur napas. Kejap lain tangan kanan yang menggenggam Kembang Darah Setan disentakkan ke depan. 

“Tidak ada yang berhak menggunakan Kembang Darah Setan selain generasi keluarga Kampung Setan!”

Darah Kiai Laras laksana sirap. Bukan saja oleh suara yang tiba-tiba terdengar, namun dia tidak bisa menentukan sumber terdengarnya suara. Karena suara itu laksana diperdengarkan dari segenap ruangan! Kiai Laras hanya bisa menebak jika suara yang sangat berat itu keluar dari mulut seorang perempuan. 

Kiai Laras urungkan niat sentakannya. Malah tenaga dalam segera dikerahkan pada tangan kirinya, dan dengan mata membelalak dia putar tubuh sambil tangan kanan siap sentakkan Kembang Darah Setan sementara tangan kiri siaga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. 

Namun walau Kiai Laras sudah putar tubuh dua kali dengan mata tak berkesip, dia tetap tidak menangkap siapa-siapa! Kuduknya laksana diguyur es. Dia mulai sadar jika saat ini tengah berhadapan dengan lawan aneh. Tiba-tiba Kiai Laras mengernyit. 

“Aku sepertinya pernah mengenali orang yang bisa perdengarkan suara seperti suara yang baru saja kudengar! Suara yang laksana datang dari delapan penjuru mata angin.... Datuk Wahing! Benar.... Datuk Wahing memiliki ilmu seperti itu! Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa hubungan antara Datuk Wahing dengan orang yang baru saja perdengarkan suara?! Atau jangan-jangan justru Datuk Wahing yang baru saja perdengarkan suara dengan cara menyarukan suaranya mirip suara seorang perempuan! Tapi di mana dia...?!” 

Baru saja Kiai Laras membatin begitu, tiba-tiba kembali terdengar suara. “Kau telah masuk Istana Sekar Jagat! Dan kau bukan dari keluarga Kampung Setan! Kau harus bayar mahal semua ini!” 

Gema suara orang yang laksana diperdengarkan dari segenap ruangan itu belum sirna, satu bayangan melayang dari bagian atas ruangan dan tahu-tahu di hadapan Kiai Laras telah berdiri tegak satu sosok tubuh! 

***

DUA
KIAI Laras tegak dengan tubuh sedikit gemetar, Matanya yang membeliak besar memperhatikan seorang perempuan berusia amat lanjut hingga kepalanya hampir-hampir saja tidak ditumbuhi rambut sama sekali. Raut mukanya pucat mengeriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. 

“Siapa kau?!” Kiai Laras buka mulut menghilangkan rasa kejutnya. Namun suaranya yang bergetar parau menunjukkan kalau dia belum bisa kuasai diri. 

Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Suri Agung, nenek kandung Maladewa alias Setan Liang Makam gerakkan kedua tangannya merangkap di depan dada. Dia hanya memperhatikan sesaat pada Kiai Laras. Lalu alihkan pandang matanya seraya membatin. 

“Apa mungkin dia lupa jika pernah berjumpa denganku?! Hem.... Tapi itu tak penting! Yang jelas dia harus serahkan Kembang Darah Setan padaku!” 

Berpikir begitu si nenek segera buka mulut. “Kau tak perlu tahu siapa aku. Aku hanya perlu bilang, letakkan Kembang Darah Setan!” Kali ini suara Nyai Suri Agung seperti diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin. Bahkan suara itu menggema memantul beberapa kali! 

“Hem.... Mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki Datuk Wahing! Pasti ada hubungan antara nenek ini dengan Datuk Wahing.... Tapi hubungan apa?! Selama ini aku tidak pernah dengar Datuk Wahing punya seorang guru atau saudara seperguruan! Tapi itu tidak penting! Yang kuperlukan sekarang adalah jubah hitam itu! Siapa pun dia adanya akan kubunuh jika berani menghalangi! Apalagi Kembang Darah Setan ada di tanganku!” Kiai Laras membatin. Kepercayaan dirinya berangsur-angsur kembali. Dia kini tatapi orang di hadapannya dengan seringai. Lalu buka suara. 

“Aku juga tak akan banyak bicara! Aku hanya perlu bilang, tinggalkan tempat ini kalau kau tak ingin kematian sia-sia!” 

“Sikapnya berubah.... Saat pertama kali jumpa tempo hari, dia laksana orang bodoh! Malah sepertinya suka bercanda! Kali ini lain.... Tempo hari juga aku bisa menebak kalau dia tidak membawa Kembang Darah Setan! Apakah saat itu Kembang Darah Setan sedang tidak dibawa?! Tapi mana mungkin sebuah senjata sakti diletakkan di satu tempat? Padahal kalangan rimba persilatan telah tahu kalau Kembang Darah Setan berada ditangannya yang berarti dia juga harus sadar kalau sewaktu-waktu jiwanya terancam! Hem....

Kalau benar saat itu dia bisa mengelabui aku, berarti manusia ini pula yang memalsukan Kembang Darah Setan dan diberikan pada Maladewa! Ini petunjuk jelas kalau dia manusia cerdik! Aku harus tetap berhati-hati....” Nyai Suri Agung mengaitkan apa yang pernah dialami. Lalu perdengarkan suara. 

“Dengar anak manusia! Dalam usia sepertiku, kematian cara apa pun tak ada bedanya! Lain halnya dengan usia sepertimu! Jadi seharusnya kau yang berpikir agar tidak menemui kematian percuma! Dan itu bisa kau alami jika kau letakkan Kembang Darah Setan! Jika sebaliknya....” Nyai Suri Agung sesaat hentikan ucapannya. “Kau bukan hanya akan menemui kematian sia-sia, tapi kau akan menyesal sampai kau berkalang tanah!” 

Tiba-tiba Kiai Laras tertawa bergelak panjang. “Kau boleh memandangku seperti yang kau katakan, namun perlu diingat, usia bukan menjamin seseorang belum merasakan nikmat dunia! Dan kalaupun aku harus mampus sekarang, aku malah bisa tertawa di dalam tanah!” 

Habis berkata begitu, Kiai Laras makin keraskan gelakan tawanya. Dan perlahan-lahan kerahkan tenaga dalamnya kembali ke tangan kiri, sementara tangan kanan yang menggenggam Kembang Darah Setan siap disentakkan. 

Rupanya Nyai Suri Agung bisa membaca gelagat. Sebelum Kiai Laras sempat gerakkan tangan kanan kirinya, dia berucap. “Kau sudah berpikir, Anak Muda?!!" 

“Rupanya dia pandai juga melihat keadaan!” Kiai Laras membatin. Lalu sambuti ucapan Nyai Suri Agung. “Aku sudah berpikir seribu kali hingga sampai datang ke tempat ini! Kalaupun aku tidak perlu berpikir meski satu kali, itu bila hanya perlu mengantarmu pada kematian sia-sia!” 

“Hem.... Kau pikir dengan Kembang Darah Setan di tanganmu, kau bisa mengantarku dengan enak?!” Nyai Suri Agung tertawa pendek sambil geleng-geleng kepala. “Buang jauh-jauh mimpimu itu, Anak Muda! Kau boleh membawa seratus Kembang Darah Setan! Tapi bukan berarti kau bisa mengantarku pada kematian!” 

Meski belum percaya pada ucapan Nyai Suri Agung, namun ucapan itu mau tak mau membuat Kiai Laras berpikir. “Kembang Darah Setan adalah senjata sakti. Namun dia sepertinya memandang sebelah mata.... Hem.... Apakah ucapannya hanya sekadar menggertak?! Akan kubuktikan ucapannya!” 

“Dengar, Tua Bangka! Untuk membunuhmu aku tidak perlu membawa seratus Kembang Darah Setan! Bahkan Kembang Darah Setan di tanganku ini tidak akan kugunakan! Aku cukup menggunakan sebelah tanganku!” Bersamaan dengan selesainya ucapan, Kiai Laras sudah gerakkan tangan kirinya. 

"Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu dahsyat ke arah Nyai Suri Agung. 

Kiai Laras tampak sunggingkan senyum karena di depannya, si nenek tidak membuat gerakan apa-apa. Padahal gelombang dahsyat itu telah membuat pakaiannya berkibar-kibar. Namun laksana direnggut setan, senyum Kiai Laras putus. Malah sepasang matanya membelalak besar tatkala melihat bagaimana saat sejengkal lagi gelombang angin dahsyat menghantam, si nenek hanya goyangkan bahu kanan kirinya. 

Hebatnya, goyangan bahu kanan kiri itu bukan saja mampu menghadang datangnya gelombang, namun dapat membalikkan gelombang! Hingga gelombang dahsyat itu kini menderu ganas ke arah Kiai Laras! Walau sempat terkesima, namun Kiai Laras tidak sampai lengah. Dia cepat sentakkan tangan kirinya kembali karena sudah sangat terlambat baginya untuk bergerak menghindar. 

Blaarr! 

Terdengar gema ledakan saat pukulan Kiai Laras yang membalik bentrok dengan gelombang pukulan yang dilepas Kiai Laras untuk menghadang. Sosok Kiai Laras terlihat miring meski kakinya tidak sampai bergerak mundur. 

“Anak muda! Aku membaca kematian pada tubuhmu! Dan tanda-tandanya baru saja kau alami! Apa kau masih juga ingin kenyataan?!” 

Dada Kiai Laras laksana dipanggang mendengar ucapan Nyai Suri Agung. Tanpa sambuti ucapan orang, Kiai Laras cepat masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. Saat lain sekonyong-konyong kedua tangannya sudah bergerak lepaskan satu pukulan. 

Wuutt! Wuutt! 

Kali ini gelombang yang datang tiga kali lipat dari pukulan yang pertama. Malah bersamaan dengan itu Nyai Suri Agung rasakan pijakannya bergetar, tanda pukulan itu dilepas dengan tenaga dalam sangat tinggi. 

Mendapati pukulan ganas, tampaknya Nyai Suri Agung tidak mau bertindak ayal. Begitu kedua tangan Kiai Laras bergerak lepas pukulan, si nenek telah buka rangkapan kedua tangannya. Lalu didorong ke depan dengan telapak terbuka. 

Bummm! 

Ruangan berbentuk kerucut itu laksana dihantam gempa hebat. Lalu terdengar ledakan dahsyat. Sosok Kiai Laras terdorong keras dan tersandar di dinding belakangnya. Paras wajahnya berubah dengan tangan gemetar keras. Mulutnya membuka menutup dengan dada bergerak tak teratur. Sementara di sebelah depan, sosok Nyai Suri Agung hanya tersurut satu tindak. Meski tubuhnya bergetar namun bibir nenek ini sunggingkan senyum! Jelas menunjukkan kalau bias bentroknya pukulan tidak begitu mempengaruhi. Dan ini jelas menandakan jika tingkat tenaga dalam Kiai Laras masih setingkat di bawah Nyai Suri Agung. 

Dan belum sempat Kiai Laras lakukan gerakan, Nyai Suri Agung telah mendahului membuat gerakan. Tahu-tahu sosok si nenek sudah melesat ke arah Kiai Laras. Tangan kiri kanannya bergerak. Bukan lepaskan pukulan, namun menyambar ke arah perut sang Kiai dari sebelah samping kiri kanan. 

Kiai Laras maklum apa yang hendak dilakukan orang. Namun karena sudah sangat terlambat baginya untuk menghadang tangan orang dengan pukulan, akhirnya sang Kiai cepat lorotkan tubuh hingga pantatnya menghantam lantai ruangan. Saat bersamaan kedua kakinya digerakkan membuka ke samping kanan kiri. 

Nyai Suri Agung hendak hindarkan diri dari bentrokan kaki. Namun karena kedua tangannya sudah telanjur bergerak ke depan, membuatnya tidak bisa menghindar. Hingga mau tak mau dia harus sapukan kaki untuk menghadang kedua kaki Kiai Laras. 

"Dess!" Karena sosok Kiai Laras bersandar pada dinding dengan posisi duduk, meski terjadi benturan kaki, sosoknya tidak bergeming sama sekali. Sementara di hadapannya, karena harus imbangi diri menahan tubuh sebab kedua tangannya tidak mengenai sasaran, begitu terjadi benturan kaki, sosok Nyai Suri Agung tampak terhuyung-huyung ke samping. 

Melihat hal itu, Kiai Laras ganti tak mau lepaskan kesempatan. Dia cepat bergerak bangkit. Dan sebelum si nenek kuasai diri, sang Kiai telah melesat ke depan dengan kedua tangan berkelebat angker mengarah pada kepala si nenek. Nyai Suri Agung cepat angkat kedua tangannya. Lalu menyongsong hantaman tangan orang. 

Bukkk! Bukkk! 

Terdengar benturan keras. Sosok Kiai Laras mental balik tiga langkah ke belakang. Di lain pihak, sosok Nyai Suri Agung tersurut satu langkah. Namun bergoyang- goyang keras. 

“Kalau terus-menerus begini, waktuku akan terbuang percuma!” kata Kiai Laras dalam hati. “Tua bangka ini harus cepat kusingkirkan!” 

Kiai Laras kembali gerakkan tangan kanan menyelinap ke balik pakaiannya menarik keluar Kembang Darah Setan. Rupanya Nyai Suri Agung tidak ingin Kiai Laras dapat menggunakan benda itu hingga sebelum sang Kiai sempat menarik tangan kanannya, si nenek telah lepaskan satu pukulan jarak jauh. 

Wuutt! Wuutt! 

Terdengar gemuruh luar biasa dahsyat. Gelombang angin laksana gulungan ombak bergulung-gulung menerjang ke arah Kiai Laras. Kiai Laras tidak pedulikan gelombang yang datang. Dia cepat melesat mundur, tangan kanan cepat ditarik. Dan begitu setengah tombak lagi gelombang ganas menyapu, sang Kiai hantamkan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan sentakkan Kembang Darah Setan. 

Wuutt! Wuutt! 

Dari tangan kiri Kiai Laras melesat satu gelombang angin kencang. Sementara dari tangan kanannya mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih. 

Blaarr! Blaarr! 

Dua ledakan keras terdengar berturut-turut. Gelombang pukulan Nyai Suri Agung langsung ambyar berkeping-keping. Hebatnya, sinar tiga warna yang baru saja memporak-porandakan gelombang pukulan Nyai Suri Agung masih mampu melesat lurus walau sinar tiga warna itu telah pecah semburat! 

Nyai Suri Agung yang telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan tidak mau bertindak ceroboh. Dia sadar, meski yang melesat ke arahnya kini hanya semburatan sinar tiga warna, namun semburatan sinar itu masih mampu membuat tubuh orang hangus menghitam! Hingga begitu sosoknya terhempas ke belakang, dia cepat pula putar-putar kedua tangannya di depan. Untuk beberapa saat tubuh Nyai Suri Agung seperti lenyap ditelan gelombang bergulung-gulung yang keluar dari gerakan putaran kedua tangannya. Saat bersamaan, semburatan sinar tiga warna bermentalan ke udara. 

“Ha Ha Ha...! Menghadapi satu Kembang Darah Setan kau telah kelabakan! Tapi mulut besarmu berkoar terlalu tinggi! Tanda-tanda kematian telah di depan matamu, Nenek Jahanam!” teriak Kiai Laras lalu melangkah tiga tindak ke depan. 

Nyai Suri Agung hentikan putaran kedua tangannya. Sosoknya telah basah kuyup oleh keringat. Mulutnya megap-megap dengan mata menyipit kemudian membesar. “Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, sulit memang memutus nyawanya. Tapi setidaknya aku mampu menghadang tindakannya!

Jelas dia menginginkan Jubah Tanpa Jasad itu! Dan itu tidak boleh terjadi! Dengan membekal Kembang Darah Setan saja kelakuannya tidak mudah dibendung, apalagi jika sampai mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Bukan hanya Istana Sekar Jagat yang akan hancur, tapi dunia persilatan akan geger!” 

Nyai Suri Agung berkata dalam hati. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Nyai Suri Agung tidak mau didahului. Hingga tanpa buka suara sambuti ucapan orang, dia serta-merta hantamkan kedua tangannya. Saat itu juga ruangan berbentuk kerucut bagian atas dari Istana Sekar Jagat laksana didera badai luar biasa.

Suara deruan dahsyat terdengar pantul memantul ke seluruh ruangan. Dan gelombang yang melesat dari kedua tangan si nenek tampak datang bergelombang dan pantul-memantul ke delapan penjuru mata angin. Inilah tanda kalau si nenek telah kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’. 

Untuk beberapa saat Kiai Laras tampak kebingungan. Bukan hanya pandang matanya saja yang seolah tertutup gelombang yang datang pantul-memantul, namun telinganya juga seperti disentak-sentak! Hingga untuk sesaat sang Kiai harus alirkan tenaga menutupi jalan pendengarannya. Dan saat lain dia harus berkelebat hilir mudik hindari gelombang yang datang dari delapan penjuru mata angin! 

“Keparat sialan! Nenek jahanam ini benar-benar merepotkan!” umpat Kiai Laras lalu angkat tinggi-tinggi Kembang Darah Setan. 

Namun baru saja tangannya hendak bergerak, satu gelombang lagi datang lurus ke arahnya. Rupanya Nyai Suri Agung benar-benar tak mau memberi kesempatan pada Kiai Laras untuk leluasa gerakkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan. Hingga begitu lepaskan pukulan yang disertai jurus ‘Pantulan Tabir’, dia terus perhatikan setiap gerakan sang Kiai. Dan begitu Kiai Laras dapat berkelit dari pantulan gelombang pukulannya dan hendak gerakkan tangan kanan, Nyai Suri Agung telah lepaskan pukulan! 

Kiai Laras mendengus keras. Dia cepat sentakkan tangan kiri untuk menghadang pukulan lurus si nenek. Namun begitu pukulan si nenek dapat dihadang, pukulan susulan telah datang lagi. 

“Jahanam!” teriak Kiai Laras saking marahnya. Dia tidak lagi pedulikan gelombang yang terus memantul dan gelombang yang kini mengarah tepat padanya. Dia cepat sentakkan tangan kanan lurus ke depan dua kali berturut-turut. 

Wuutt! Wuutt! 

Tiga sinar mencuat saling susul menyusul. Gelombang yang datang dari arah depan langsung buyar. Sementara gelombang yang terus memantul sesaat tertahan di udara, namun saat lain ambyar dengan perdengarkan gelegar dahsyat. Sosok Nyai Suri Agung terhempas menghantam dinding di belakangnya dan jatuh terduduk dengan mulut keluarkan darah. Di lain pihak, sosok Kiai Laras terpelanting sebelum akhirnya jatuh telungkup. Sudut mulutnya pun tampak kucurkan darah! 

Nyai Suri Agung cepat takupkan kedua tangan di depan dada dengan mata dipejamkan. Kedua kakinya ditarik lalu membuat sikap duduk bersila. Saat lain si nenek buka takupan kedua tangannya, lalu didorong ke depan dengan mata tetap memejam. Gema gelegar di dalam ruangan belum benar-benar sirna, kini telah dibuncah lagi dengan terdengarnya deruan keras. Dan kembali ruangan itu dirancah deruan gelombang yang memantul terus menerus! 

Mendapati Nyai Suri Agung sudah lepaskan pukulan dengan kerahkan jurus ‘Pantulan Tabir’, Kiai Laras tidak tinggal diam. Begitu deruan pertama menggebrak, dia cepat bangkit lalu kelebatkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan! 

***
TIGA
SINAR merah, hitam, dan putih berkiblat dengan perdengarkan gemuruh keras. Ruangan berbentuk kerucut kembali bergetar hebat dengan buncahan suara deru gelombang yang terus memantul serta gemuruh dan kiblatan sinar tiga warna. Saat lain ledakan keras terdengar laksana gunung meletus. 

Sosok Nyai Suri Agung mencelat mental menghantam dinding ruangan, lalu mental lagi ke depan sebelum akhirnya jatuh terkapar. Pakaian putih yang dikenakannya tampak hangus menghitam. Kucuran darah dari mulutnya makin banyak. Untuk beberapa saat lamanya dia diam tak bergerak-gerak. 

Di seberang depan, sosok Kiai Laras tersapu deras. Tubuhnya juga menghantam dinding ruangan sebelum akhirnya melorot jatuh. Kedua tangannya bergetar keras dan Kembang Darah Setan di tangan kanannya tampak jatuh dari genggamannya. Darah makin banyak juga keluar dari mulutnya. 

Meski tenaga dalam yang dimiliki Kiai Laras masih setingkat di bawah Nyai Suri Agung, namun karena sang Kiai menghadang pukulan si nenek dengan Kembang Darah Setan, maka kekurangan sang Kiai bisa tertutupi.

Malah cedera dalam yang dialami sang Kiai lebih ringan daripada yang dialami Nyai Suri Agung. Usia lanjut si nenek juga sangat berpengaruh tatkala sosoknya harus menghantam dinding. Hingga ketika Kiai Laras sudah mulai bergerak-gerak bangkit, Nyai Suri Agung masih tampak berusaha keras pulihkan tenaga tanpa membuat gerakan apa-apa! 

Dan begitu Kiai Laras mendapati si nenek belum juga membuat gerakan tatkala dirinya sudah bergerak duduk, dia cepat ambil Kembang Darah Setan yang tergeletak di sampingnya. Lalu bangkit dengan sandarkan lurus punggungnya pada dinding untuk menghindari huyungan tubuhnya. Karena Kiai Laras maklum jika kedua lututnya masih goyah. 

Kiai Laras angkat tangan kanannya yang sudah menggenggam Kembang Darah Setan. Bibirnya sunggingkan seringai maut. Sepasang matanya menatap angker pada Nyai Suri Agung. Saat lain tangannya sudah bergerak. Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Tahu apa yang hendak dilakukan Kiai Laras, si nenek cepat buka mulut seraya bergerak duduk. 

“Sekali kau berani gerakkan tangan, kita akan mati bersama!” Nyai Suri Agung telah buka kedua telapak tangannya dan siap didorong ke depan. 

Mendengar ucapan Nyai Suri Agung, Kiai Laras terlihat bimbang. Matanya lurus memandang ke arah kedua tangan si nenek yang saat itu perlahan-lahan disemburati sinar tiga warna. 

Nyai Suri Agung menatap dingin. Lalu berujar dengan suara berat dan dingin. “Boleh saja kau membunuhku dengan Kembang Darah Setan! Tapi apa kau pikir bisa selamat dari pukulan Telapak Sinar Setan’ di kedua tanganku ini?!” 

Kening Kiai Laras mengernyit. Kedua telapak tangan Nyai Suri Agung makin pancarkan sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Sang Kiai memang belum pernah saksikan kehebatan pukulan yang disebut si nenek dengan Telapak Sinar Setan’. Tapi melihat pukulan itu baru akan dikeluarkan saat terjepit, sang Kiai rupanya sudah bisa memaklumi.

Kalau jurus ‘Pantulan Tabir’ saja sulit baginya untuk menghadang seandainya tanpa Kembang Darah Setan, tentu akan lebih sulit lagi baginya jika si nenek benar-benar hendak lepaskan pukulan ‘Telapak Sinar Setan’. Hal ini tak urung membuat dada Kiai Laras didera keraguraguan. Malah rasa kecut mulai hinggap kala teringat ucapan si nenek yang rupanya sudah nekat untuk mati bersama-sama. 

Kiai Laras melirik pada jubah yang dikenakan kerangka manusia di depan sana. Keyakinannya makin kuat jika jubah hitam itu adalah bukan jubah sembarangan. Karena meski ruangan itu baru saja dibuncah bentroknya pukulan bertenaga dalam sangat tinggi dan bergetar hebat, kerangka manusia yang mengenakan jubah hitam tidak bergeming sama sekali! Malah muncratan pukulan dan sinar tiga warna yang berbenturan tidak mampu menjangkau kerangka manusia berjubah hitam. 

“Apa yang harus kulakukan sekarang?!” Kiai Laras terus berpikir. “Ah, peduli setan dengan ucapannya! Mungkin saja dia menggertak ku!” 

Berpikir begitu, Kiai Laras maju dua tindak. Lalu berucap. “Aku tahu.... Pukulan sakti macam apa pun yang kau miliki, tak mungkin mampu menghadang Kembang Darah Setan di tanganku! Apalagi kau telah terluka berat! Jadi jangan harap aku urungkan niat! Lebih-lebih harus kau tahu, jangan kira aku takut mati!” 

Nyai Suri Agung tertawa. “Jika begitu, aku menunggu!” Tantang si nenek seraya tarik sedikit telapak tangannya. Pancaran sinar tiga warna makin terang mencuat dari kedua telapak tangannya. 

Ucapan si nenek kembali membuat Kiai Laras bimbang. Setelah berpikir lagi dia berkata. “Baik! Sekarang apa maumu?!” 

“Kalau kau tak ingin mati bersama-sama, tinggalkan tempat ini! Kembang Darah Setan boleh kau bawa!” 

Kiai Laras mendengus. Lalu kepalanya menggeleng. “Aku tak akan tinggalkan tempat ini dengan tanpa memperoleh apa-apa!” 

“Maksudmu?!” tanya Nyai Suri Agung. 

“Aku inginkan jubah hitam itu! Setidaknya selembar nyawamu kalau kau berani menghadang!” 

“Anak manusia ini benar-benar keparat! Aku heran.... Bagaimana dia bisa tahu cara mengeluarkan Maladewa dari makam batu?! Dan bagaimana pula dia tahu tempat ini?!” Nyai Suri Agung membatin. Lalu menghela napas. “Apakah akan sampai di sini riwayat Kampung Setan?! Ini karena tindakan Maladewa yang sembrono! Tapi semuanya sudah terjadi. Dan kenyataannya memang sudah begini! Apa hendak dikata! Tapi aku akan tetap menghadang keinginannya!” 

“Anak muda!” ujar Nyai Suri Agung dengan suara agak direndahkan. “Dengan Kembang Darah Setan di tanganmu, kurasa kau akan jadi manusia yang sulit dicari tandingannya! Kau tentu tahu, sebenarnya Kembang Darah Setan bukan hakmu untuk memilikinya! Sekarang apa kau masih juga inginkan milik orang lain?!” 

“Bagiku, kalau aku mampu mengambilnya, maka benda itu adalah hakku! Tak ada bedanya sekalipun benda itu milik setan! Jadi, cepatlah angkat kaki dari hadapanku! Jangan berani ikut campur!” 

“Aneh! Kau yang campuri urusanku!” 

“Hem.... Begitu?! Jadi kau tentu ada hubungannya dengan keparat Setan Liang Makam itu! Hubungan apa?! Gundik?! Istri?! Atau pelayan?!” 

Tampang keriput Nyai Suri Agung berubah mengetam. “Mulutmu terlalu lancang berkata!” 

Kiai Laras tertawa panjang. “Perempuan sialan biasanya pasang sikap sok suci di hadapan orang! Tapi jangan kira aku tak tahu....” Kiai Laras perkeras gelakan tawanya. 

Walau darahnya menggelegak, Nyai Suri Agung belum berani lepaskan pukulan, la menyadari dalam keadaan terluka begitu rupa adalah tindakan bodoh jika terlalu banyak umbar tenaga. Apalagi untuk melepas pukulan Telapak Sinar Setan’ dibutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Hingga meski ucapan sang Kiai sudah sangat keterlaluan, si nenek masih coba menekan perasaan. 

Di pihak lain, Kiai Laras makin yakin akan kekuatannya dan makin kuat pula dugaannya jika jubah hitam itu jubah sakti. Hanya dia mulai terusik dengan hubungan antara Setan Liang Makam dengan si nenek. 

“Siapa sebenarnya tua bangka ini?! Dari pancaran sinar pada telapak tangannya tentu dia masih ada kerabat dengan penghuni Kampung Setan! Dan kalau benar, mengapa dia tidak mengambil jubah hitam itu?! Apa karena tidak bisa menembus dinding keparat tak terlihat mata itu?! Kalau dia tidak mampu, apakah aku bisa?!” 

Kiai Laras kembali melirik pada kerangka manusia yang mengenakan jubah hitam. Entah apa yang terpikir dalam benak sang Kiai, tiba-tiba orang tua yang mengenakan samaran sebagai pemuda murid Pendeta Sinting ini putar tubuh setengah lingkaran menghadap kerangka manusia berjubah hitam di depan sana. Saat lain dia mulai gerakkan kaki melangkah maju tiga tindak. Kiai Laras angkat kedua tangannya. 

Di seberang samping, Nyai Suri Agung tampak kernyitkan dahi lalu berkata sebelum sang Kiai teruskan gerakan kedua tangannya. “Kalau kau inginkan jubah itu, kau harus langkahi dulu mayatku!” 

Kiai Laras tak pedulikan ucapan orang. Dia gerakkan kedua tangannya menyentak. Namun bersamaan dengan itu tubuhnya memutar. Hingga gelombang dan cuatan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang Darah Setan bukannya menggebrak ke arah depan, melainkan lurus ke arah Nyai Suri Agung! 
Karena sejak tadi sudah waspada, begitu kedua tangan Kiai Laras bergerak, si nenek cepat dorong kedua telapak tangannya. 

Wuuss! Wusss! 

Dari kedua telapak tangan Nyai Suri Agung berkiblat gelombang api berwarna tiga. Merah, hitam, dan putih! Gelombang api itu menebar berkeliling sejauh dua tombak dan menyongsong gelombang serta hamparan sinar merah, hitam, dan putih yang melesat keluar dari kedua tangan Kiai Laras. 

Ruangan berbentuk kerucut bagian atas dari Istana Sekar Jagat itu laksana dilalap si jago merah. Gelombang api tiga warna serta sinar tiga warna sama-sama tertahan beberapa saat menggantung di udara. Lalu laksana disentak kekuatan luar biasa dahsyat, gelombang api dan sinar tiga warna sama-sama membubung tinggi ke udara. 

Blaarr! 

Begitu bumbungan gelombang api dan sinar tiga warna mencapai bagian atas bangunan, terdengar gelegar dahsyat. Bagian ujung kerucut bangunan langsung ambrol! Keping-kepingan batu luruh menutupi ruangan. 
Nyai Suri Agung berseru tertahan. Sosoknya langsung terbanting tengkurap di atas lantai ruangan. Pakaian yang dikenakan si nenek telah hangus bercampur warna merah kucuran darah dari mulut dan hidungnya. 

Sosok Kiai Laras sendiri tampak terkapar. Kain putih pengikat rambutnya lepas dan terbakar. Sebagian rambutnya terpangkas. Untuk kedua kalinya Kembang Darah Setan terlepas dari genggaman tangan kanannya dan mencelat jatuh berjarak lima langkah dari tempatnya terkapar. 

Beberapa saat berlalu. Baik Nyai Suri Agung maupun Kiai Laras masih sama-sama belum membuat gerakan meski mata masing-masing orang telah terbuka dan saling pandang. Namun, begitu mata Nyai Suri Agung menangkap Kembang Darah Setan tergeletak agak jauh dari Kiai Laras, nenek ini coba menghimpun sisa tenaga dalamnya. Saat lain ia melirik ke belakang. Dia mengukur jarak antara dirinya dengan dinding ruangan. 

Tanpa diduga sama sekali oleh Kiai Laras, mendadak Nyai Suri Agung putar tubuhnya yang masih telungkup. Kedua tangannya menekan ke lantai. Sosok si nenek memutar dengan bergerak mundur. Begitu kakinya menjangkau dinding ruangan, tiba-tiba si nenek sentakkan kedua kakinya ke dinding di belakangnya. 

Dukk! Dukk! 

Sosok Nyai Suri Agung kini melesat telungkup ke depan dengan kedua tangan terangkat. Sepasang matanya silih berganti memandang ke arah Kiai Laras dan Kembang Darah Setan. 

“Jahanam! Dia hendak mengambil Kembang Darah Setan!” desis Kiai Laras. Dia cepat gulingkan tubuh mendekati Kembang Darah Setan. 

Nyai Suri Agung sesaat ragu-ragu. Langsung menyambar Kembang Darah Setan atau menghadang dahulu gerakan Kiai Laras. Setelah berpikir cepat, akhirnya si nenek putuskan untuk langsung menyambar Kembang Darah Setan karena dalam keadaan luka dalam cukup parah, akan berbahaya bila terjadi benturan keras. Hingga akhirnya Nyai Suri Agung luruhkan kembali kedua tangannya dan kini kedua tangan itu menyusur di atas lantai. 

Di pihak lain, meski juga telah terluka, namun sang Kiai tidak begitu saja mendiamkan gerakan kedua tangan si nenek yang hendak menjangkau Kembang Darah Setan. Namun karena lesatan sosok Nyai Suri Agung lebih cepat, mau tak mau Kiai Laras harus membuat gerakan berputar di atas lantai lalu kedua kakinya bergerak membuat gerakan menendang. 

Tak ada pilihan lain bagi Nyai Suri Agung selain harus menyongsong tendangan orang dengan kedua tangannya. Karena jika tidak, bukan saja kedua tangannya akan mental namun tidak tertutup kemungkinan kepalanya akan terkena tendangan! 

Bukk! Bukk! 

Terdengar benturan tatkala tendangan kedua kaki Kiai Laras terhadang kedua tangan Nyai Suri Agung. Walau benturan itu tidak terlalu keras, tapi karena keduanya sudah sama terluka, membuat sosok masing-masing sama terguling ke samping. Kiai Laras tidak pedulikan diri. Begitu gulingan tubuhnya terhenti, dia segera gulingkan kembali tubuhnya mendekati Kembang Darah Setan yang tampak bergeser karena bias angin benturan. 

Di lain pihak, karena lukanya lebih parah, sudah terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk menghentikan gerakan Kiai Laras. Namun nenek ini tidak begitu saja menyerah. Begitu dilihatnya kedua tangan Kiai Laras bergerak hendak menyambar Kembang Darah Setan, dia cepat dorong telapak tangannya. Kiai Laras yang sudah bertekad mempertahankan Kembang Darah Setan tidak hiraukan suara deruan yang kini menggebrak ke arahnya. Dia teruskan gerakan kedua tangannya menyambar Kembang Darah Setan. 

Saat tangan kanan Kiai Laras berhasil meraih Kembang Darah Setan, deruan yang membawa gelombang menyongsong. Tidak ada kesempatan lagi bagi Kiai Laras untuk bergerak menghindar. Hingga tanpa ampun lagi sosok Kiai Laras tersapu dan membentur dinding. Bersamaan itu tampak rambut di kepalanya lepas dan jatuh. Kini kepalanya berubah menjadi berambut putih. 

Nyai Suri Agung terkesiap kaget. “Firasat ku selama ini benar! Dia bukan Pendekar 131! Tapi apa bedanya?! Pendekar 131 atau bukan yang jelas dia harus dihadang! Jubah Tanpa Jasad harus diselamatkan dari tangan orang selain generasi Kampung Setan!” 

Nyai Suri Agung melirik pada Kembang Darah Setan yang ternyata dipegang erat-erat oleh tangan kanan Kiai Laras meski orang ini belum membuat gerakan. Beberapa saat si nenek menunggu. Tapi Kiai Laras tetap diam tak bergerak-gerak. 

“Apakah dia tewas?!” gumam si nenek seraya terhuyung bangkit. Mungkin untuk memastikan, Nyai Suri Agung bersabar menunggu seraya pulihkan tenaga. 

Setelah ditunggu agak lama Kiai Laras tidak juga membuat gerakan, dengan waspada Nyai Suri Agung melangkah mendekati. Dan begitu jarak antara keduanya tinggal empat langkah sementara sang Kiai tidak juga bergerak, si nenek agaknya mulai yakin kalau Kiai Laras sudah mampus. Seolah tidak sabar, Nyai Suri Agung cepat melompat. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Tangan kanan bergerak menyambar. 

***
EMPAT
BERSAMAAN dengan berkelebatnya tangan Nyai Suri Agung, Kembang Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras laksana dihantam gelombang setan bergerak cepat bergeser ke samping. Pertanda kalau tangan yang memegang masih bernyawa. Namun Nyai Suri Agung tak hendak urungkan niat. Dia cepat pula kelebatkan tangan mengejar tangan Kiai Laras. Namun kali ini gerakan tangan sang Kiai lebih cepat. Hingga begitu tangan si nenek bergerak, Kembang Darah Setan telah terangkat dan serta-merta bergerak ke depan. 

Terlambat bagi Nyai Suri Agung untuk membuat hadangan atau hindarkan diri tatkala pada saat yang sama mencuat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Nenek kandung Setan Liang Makam perdengarkan jeritan menyayat.

Sosoknya tersapu deras hingga menghantam dinding di belakang sana. Tatkala sosoknya jatuh di atas lantai ruangan, suara erangan dari mulutnya terputus. Pakaian yang dikenakannya robek menganga di sana-sini dan hangus terbakar. Malah darah yang mengucur dari mulut dan lobang hidungnya langsung mengering! 

Di seberang sana, perlahan-lahan Kiai Laras jerengkan sepasang matanya. Memperhatikan sesaat pada sosok si nenek yang sudah tak bernyawa lalu bergerak bangkit dengan mulut sunggingkan seringai dingin.  

“Melihat keadaannya, aku yakin kalau dia sudah mampus! Tapi aku perlu membuktikannya! Siapa tahu dia balik akan menipuku seperti yang baru saja kulakukan!” 

Kiai Laras melangkah dengan kedua tangan terangkat. Tangan kiri siap lepaskan pukulan, tangan kanan siap hantamkan Kembang Darah Setan. Kiai Laras hentikan langkah tiga tindak dari sosok Nyai Suri Agung. Memperhatikan sesaat lalu kaki kanannya bergerak ke arah tangan si nenek yang terkulai di atas lantai.

Dengan sekali tempelkan kaki sudah cukup bagi sang Kiai untuk mengetahui jika nyawa Nyai Suri Agung benar-benar telah melayang. Kiai Laras usap darah pada mulutnya. Lalu putar tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah sosok kerangka yang mengenakan jubah hitam di depan sana. 

“Tenagaku benar-benar telah habis.... Tapi akan ku coba menjebol dinding keparat itu dengan Kembang Darah Setan!” 

Kiai Laras angkat tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan. Saat lain tangannya telah bergerak. Sinar tiga warna melesat angker ke depan. Saat yang sama Kiai Laras cepat melompat ke samping, khawatir kalau sinar tiga warna membalik. 

Blarr! Blarr! Blarr! 

Ruangan itu perdengarkan ledakan keras tiga kali berturut-turut. Walau Kiai Laras tidak melihat adanya tembok yang jebol, namun saat itu telinganya bisa menangkap laksana ada tembok yang ambrol dan perdengarkan suara bergemuruh dahsyat. Saat yang sama sepasang matanya juga bisa melihat bagaimana kerangka berjubah hitam di sana bergoyang-goyang keras. Hebatnya, meski hanya tinggal kerangka, didera getaran begitu keras tidak rontok atau tanggal! 

“Aku berhasil! Aku berhasil!” teriak Kiai Laras girang. Dia seakan melupakan pada luka bagian dalam yang dialaminya. Dia segera melompat ke depan. Hatinya makin girang tatkala dia tahu tubuhnya tidak lagi terhalang sesuatu yang tidak terlihat mata biasa. Kiai Laras tegak dengan mata mementang tepat di depan kerangka berjubah hitam.

Untuk beberapa lama dia meneliti dari atas sampai bawah. Setelah selinapkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya, dia melangkah dua tindak ke depan. Tangan kanan dan kirinya menjulur ke arah jubah hitam yang dikenakan kerangka manusia. 

Namun cepat-cepat sang Kiai tarik pulang kedua tangannya ketika merasakan hawa luar biasa dingin menyungkup di ruangan itu. Laksana disentak setan dia cepat putar kepala dengan tangan satunya masuk ke balik pakaiannya siap menarik Kembang Darah Setan. Tapi meski dia telah putar kepala dengan mata menyelidik, dia tidak melihat siapa-siapa. 

“Aneh.... Udara di ruangan ini tiba-tiba berubah! Jangan-jangan ada manusia usil....” Untuk yakinkan diri, Kiai Laras melompat. Lalu menuju anak tangga. Namun sampai dia menuruni anak tangga dan tiba di ruangan bawah, dia tetap tidak melihat adanya orang lain. 

Kiai Laras kembali melangkah menaiki tangga dan langsung melompat ke arah kerangka berjubah hitam. Dia coba tabahkan hati meski kuduknya mulai meremang tatkala kedua tangannya mulai bergerak ke arah jubah hitam. Malah kedua tangannya tampak bergetar keras ketika tangan itu menyentuh jubah hitam. 

“Astaga! Apa yang terjadi?!” Tiba-tiba Kiai Laras terlengak. Kedua tangannya yang menyentuh jubah hitam terasa panas laksana dipanggang. Padahal udara di ruangan itu makin dingin! 

“Apa pun yang terjadi, aku harus mengambilnya!” putus Kiai Laras. Dia tidak pedulikan rasa panas yang memanggang kedua tangannya. Dia cepat lepaskan jubah hitam dari kerangka. Mungkin tak sabar dan tak kuasa menahan rasa panas, Kiai Laras sentakkan jubah hitam yang telah terpegang tangannya. Namun dia tersentak sendiri. Jangankan terpuruk jatuh, kerangka manusia itu bergeming pun tidak! 

“Jahanam!” Kiai Laras mulai geram. Dia tarik pulang kedua tangannya karena tidak kuasa lagi menahan panas. Dia cepat memeriksa. Kembali dia terbelalak. Ternyata kedua tangannya tidak apa-apa! Padahal dia sudah menduga jika kedua tangannya sudah melepuh dengan kulit mengelupas! Kiai Laras arahkan pandang matanya pada kerangka berjubah hitam. 

“Apa boleh buat! Aku harus bertahan. Lagi pula rasa panas itu tidak mencederai!” 

Berpikir begitu, kembali Kiai Laras julurkan kedua tangannya. Perlahan-lahan dia mulai tanggalkan jubah hitam pada kerangka meski dengan bertahan dari rasa panas luar biasa yang memanggang sekujur tubuhnya. Begitu jubah hitam tinggal di bagian yang diduduki kerangka, seolah sudah tidak ssbaran, Kiai Laras cepat sentakkan jubah yang sebagian besar telah berada di tangannya. Namun kembali sang Kiai terkesima. Kerangka itu tidak juga bergeming! 

“Sialan keparat!” umpat Kiai Laras lalu letakkan jubah yang terpegang tangannya. Dia melangkah mundur seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

“Aku membutuhkan jubah hitamnya, bukan kerangka sialan jahanam itu!” Kiai Laras angkat kedua tangannya. Sekonyong-konyong kedua tangannya disentakkan ke arah kerangka. 

Wuutt! Wuutt! 

Karena kondisinya terluka dalam, gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan Kiai Laras tidak begitu deras. Namun demikian, karena sentakan kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam, gelombang itu masih mampu menghancurkan batu besar. 

Buss! Buss! 

Kiai Laras tersentak. Gelombang angin yang mencuat dari kedua tangannya laksana menerabas tempat kosong dan lewat begitu saja pada kerangka! Hebatnya, begitu gelombang melewati kerangka, gelombang itu lenyap tak berbekas! 

“Aku akan membuang waktu sia-sia jika turuti keanehan ini!” ujar Kiai Laras lalu tarik keluar Kembang Darah Setan dari balik pakaiannya. Tanpa pikir panjang lagi, Kembang Darah Setan segera dihantamkan ke arah kerangka di depannya. 

Daar! Darr! Daarr! 

Tiap sinar yang melesat dari Kembang Darah Setan perdengarkan ledakan ketika menghantam kerangka. Bersamaan dengan itu kerangka yang tadi mengenakan jubah hitam langsung pecah berkeping-keping. Jubah hitam yang sebagian tadi masih diduduki tampak tersambar lalu melayang ke belakang.

Seolah takut kehilangan, Kiai Laras cepat sentakkan kaki ke lantai. Sosoknya melesat mengejar jubah hitam yang masih melayang di udara. Begitu kakinya kembali menginjak lantai ruangan, jubah hitam telah berada di tangan sang Kiai. 

“Aneh.... Sekarang hawa panas itu sirna!” desis Kiai Laras sambil memperhatikan jubah hitam di tangannya. Dia cepat mengenakan jubah hitam. Setelah melihat sejenak pada kepingan kerangka yang telah terhantam Kembang Darah Setan, sang Kiai gerakkan kaki tinggalkan tempat itu. 

Namun baru bergerak dua tindak, Kiai Laras hentikan gerakannya. “Aku rasakan gerakanku amat ringan. Dan rasanya kakiku tidak menyentuh lantai.... Pasti jubah ini penyebabnya! Tapi aku perlu membuktikan kesaktiannya!” 

Kiai Laras teruskan langkah. Kiai Laras tidak tahu, jika begitu jubah hitam dikenakan ke tubuhnya, sosoknya tidak kelihatan! Hingga yang tampak saat itu adalah jubah hitam yang bergerak melayang tanpa terlihat adanya sosok manusianya! Inilah mengapa jubah hitam itu dinamakan Jubah Tanpa Jasad. 

Hanya beberapa saat saja, Kiai Laras sudah melesat keluar dari lobang di mana tadi dia mulai masuk. Dia arahkan pandangannya berkeliling pada julangan beberapa batu karang yang seolah memagari tempat terbuka di mana saat ini dia tegak di tengah-tengahnya. 

“Rahasia di balik Kembang Darah Setan sudah kutemukan! Kini saatnya aku melakukan pembalasan itu! Pendeta Sinting. Kau adalah manusia pertama yang akan kucari!” 

Kiai Laras tengadahkan kepala. Dari mulutnya terdengar gelakan tawa panjang. Lalu sambil terus umbar gelakan tawa, sang Kiai mulai melangkah tinggalkan Kampung Setan. Kiai Laras tetap belum sadar jika saat itu sosoknya tidak bisa dilihat dengan pandangan mata biasa! Yang terlihat adalah bergeraknya jubah hitam tanpa adanya sosok yang menggerakkan! 

***

Sosok bercaping lebar itu melewati hutan belantara sepi dengan berlari kencang. Ketika keluar dari kawasan hutan dan dari tempatnya terlihat jajaran beberapa batu karang yang membentuk lingkaran, si sosok bercaping lebar hentikan larinya. Kini dia melangkah perlahan-lahan dengan memperhatikan sekeliling. 

“Sebenarnya hal ini tak ada gunanya kulakukan! Dengan telah diserahkannya kembali Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam, kurasa urusannya akan selesai.... Tapi aku merasa ada yang tidak beres! Mengapa enak saja salah seorang yang menyamar sebagai diriku itu menyerahkan begitu saja Kembang Darah Setan! Anehnya, setelah itu dia mengikuti Setan Liang Makam! Aku ingin tahu ada apa ini...!" gumam laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai Tung-Tung alias Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang sedang lakukan penyamaran. 

“Hem.... Seandainya tidak ada tangan usil yang ikut-ikutan menghadang pukulanku, pasti aku sudah bisa membuka kedok siapa adanya orang yang menyamar sebagai diriku itu! Tapi setidaknya aku curiga pada Kiai Laras.... Tapi mengapa dia mengenakan penyamaran?! Padahal tidak ada silang sengketa antara aku dengannya. Ah. Itu urusan nanti. Sekarang aku ingin tahu apa yang dilakukan Setan Liang Makam....” 

Kiai Tung-Tung percepat langkahnya. Begitu tegak di dekat lobang bekas altar batu yang dibuat porakporanda oleh Setan Liang Makam, dengan sikap hatihati Kiai Tung-Tung longokkan kepala. Setelah mengukur jarak, dia segera melesat masuk. Dengan mata terpentang besar, Kiai Tung-Tung mulai menapaki tangga menurun yang ada di dalam lobang.

Seperti halnya Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang pernah memasuki lobang, Kiai Tung-Tung sempat terkesima begitu melihat sebuah bangunan yang membentuk sekuntum bunga berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih. 

Dengan terus waspada, Kiai Tung-Tung mulai gerakkan langkah memasuki bangunan yang disebut sebagai Istana Sekar Jagat. Dan begitu yakin pada ruangan bagian bawah tidak menemukan sosok Setan Liang Makam, Kiai Tung-Tung melangkah dan menapaki tangga yang ada di bagian pojok ruangan.

Kiai Tung-Tung mulai merasa ada keanehan tatkala sampai pada bangunan berbentuk kerucut yang merupakan bagian atas dari Istana Sekar Jagat. Tampak beberapa kepingan batu berserakan di lantai. Kiai Tung-Tung cepat kerahkan tenaga dalam. Sepasang matanya nanar mengelilingi ruangan. 

“Melihat keadaannya, pasti baru saja terjadi bentrokan.... Siapa?! Setan Liang Makam...?! Tapi dengan siapa?!” 

Baru saja Kiai Tung-Tung menduga-duga, matanya menangkap sosok yang tergeletak dengan pakaian robek tak karuan dan hangus menghitam. Kiai TungTung edarkan pandang matanya sekali lagi. Namun sejauh ini dia tidak melihat seorang pun. Kiai Tung-Tung perlahan-lahan mendekati sosok yang tergeletak. Sepasang matanya dibeliakkan memperhatikan. 

“Astaga! Bukankah ini Nyai Suri Agung...?! Siapa yang melakukannya?!” Kembali Kiai Tung-Tung putar kepala. Namun tetap tak menemukan siapa-siapa. Dia coba melangkah berkeliling ruangan. 

“Hem.... Ada kepingan batu bercampur kepingan kerangka manusia.... Apakah ini sosoknya Setan Liang Makam?!” Kiai Tung-Tung terus menduga-duga kala matanya melihat hamburan batu serta kepingan kerangka yang ada di lantai bangunan. Setelah mondar-mandir agak lama dan tidak juga menemukan orang, akhirnya Kiai Tung-Tung memutuskan untuk keluar dari ruangan berbentuk kerucut. 

“Aku tak bisa menduga apa sebenarnya yang telah terjadi! Yang jelas bagiku, baru saja terjadi bentrokan dahsyat di ruangan itu...,” gumam Kiai Tung-Tung begitu kakinya menginjak kembali ke bagian bawah lobang di mana tadi dia mulai masuk. 

Setelah melongok lagi ke bawah tangga dan tetap tidak menangkap adanya orang, Kiai Tung-Tung melesat keluar dari dalam lobang. Belum sampai Kiai Tung-Tung injakkan kakinya di luar lobang, satu kejutan bukan saja membuat Kiai Tung-Tung tersentak kaget namun harus belokkan lesatan tubuhnya karena tiba-tiba ada orang perdengarkan suara. 

“Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?!” 

Begitu injakkan kaki, Kiai Tung-Tung langsung palingkan kepala ke samping kanan dari jurusan mana tadi suara terdengar. 

“Bruss! Bruss!” Terdengar bersinan dua kali. Disusul dengan terdengarnya suara. 

“Ada hal yang mengherankan pada diriku, Anak Muda?! Pandang matamu lain...! Atau barangkali mataku yang heran melihatmu?!” 

Dari tempatnya tegak, Kiai Tung-Tung melihat seorang kakek duduk bersimpuh dengan tangan kanan memegang tongkat kayu butut. Sementara tangan kirinya diletakkan di atas pahanya. Kakek ini mengenakan pakaian lusuh. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan raut muka meringis seperti orang hendak perdengarkan bersinan. 

***
LIMA
DATUK Wahing...!” seru Kiai Tung-Tung mengenali siapa adanya si kakek. “Dari panggilannya tadi jelas dia telah tahu kalau aku tengah menyamar! Dan dengan kemunculannya di sini, berarti dia memang masih ada hubungan dengan Setan Liang Makam dan Nyai Suri Agung....” 

Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng melangkah mendekat ke arah si kakek yang memang Datuk Wahing adanya. Namun baru saja kakinya bergerak dua tindak, mendadak terdengar suara cekikikan lalu disusul suara orang berucap. 

“Cucuku.... Raut wajahmu terlihat muram! Apa sebenarnya yang kau temukan di sana?! Pasti bukan seorang gadis cantik!” 

“Dari suaranya, rasa-rasanya aku bisa menduga siapa adanya orang yang baru saja berkata! Tapi mengapa dia ada bersama Datuk Wahing?!” seraya membatin Kiai Tung-Tung palingkan kepalanya ke kiri. 

Sepasang matanya membentur pada satu sosok tubuh seorang perempuan berusia lanjut. Namun agaknya perempuan ini tidak mau dikatakan sebagai perempuan tua. Karena paras wajahnya dibedaki tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pada pipi kiri kanannya tampak pemerah. Rambutnya yang putih panjang dikelabang dua. Pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita kain berwarna merah. 

Nenek ini mengenakan pakaian berupa baju tanpa lengan berwarna merah yang dibuat cingkrang. Hingga bukan saja ketiaknya yang terlihat jelas, namun orang juga bisa melihat pada pusarnya. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut juga berwarna merah. Karena warna kulit si nenek ini berwarna hitam, maka dandanannya yang seronok bukannya membuat tampangnya sedap dipandang, melainkan juga menakutkan! 

“Dayang Sepuh!” desis Kiai Tung-Tung. “Rupanya dia telah tahu juga siapa aku sebenarnya!” 

“Bruss! Bruss! Kau jangan membuatku heran dengan tidak segera jawab pertanyaanku, Anak Muda!” Berkata Datuk Wahing. 

“Kek! Kau tadi bertanya apa?!” tanya Kiai Tung-Tung. 

“Ah.... Kau sama saja dengan kakekmu! Tidak perhatikan ucapan orang kalau tidak ada kaitannya dengan perempuan! Hik Hik Hik...!” Menyahut perempuan berpakaian merah-merah yang tidak lain adalah Dayang Sepuh. 

Kiai Tung-Tung sesaat pandang silih berganti pada Datuk Wahing dan Dayang Sepuh. Lalu buka suara. “Sebenarnya aku tengah mengikuti Setan Liang Makam. Namun kedatanganku rupanya terlambat!” 

“Bruss! Bruss! Jangan membuatku makin heran tanpa teruskan keterangan, Anak Muda!” Datuk Wahing kembali perdengarkan suara dengan kepala terus bergerak-gerak ke depan ke belakang ketika Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya. 

“Aku menemukan nenek yang pernah perkenalkan diri padaku dengan sebutan Nyai Suri Agung telah tidak bernyawa lagi! Sementara tidak jauh dari mayat si nenek kutemukan kerangka manusia yang telah hancur berkeping-keping. Kuduga kerangka itu adalah sosok Setan Liang Makam!” 

Mendadak sontak, gerakan kepala Datuk Wahing terhenti. Kepalanya lurus menghadap Kiai Tung-Tung dengan mata membelalak dan dahi berkerut. Untuk beberapa lama kakek ini kancingkan mulut. Sementara bersamaan dengan selesainya ucapan Kiai Tung-Tung, Dayang Sepuh tiba-tiba melompat dan tegak dua langkah di samping Kiai Tung-Tung. Namun, si nenek bukannya langsung buka mulut, melainkan hanya memandang dari atas ke bawah pada Kiai Tung-Tung. Saat lain dia ambil kepangan rambutnya. Seraya memilin-milin pita pada ujung kelabangan rambutnya dia mulai buka mulut. 

“Cucuku.... Kau jangan membuat hatiku deg-degan tak karuan! Apa benar keteranganmu tadi?!” 

“Untuk apa aku berdusta pada kalian?! Kalian bisa melihatnya sendiri di bawah sana!” 

Ucapan Kiai Tung-Tung belum selesai, masih dengan duduk bersimpuh, Datuk Wahing membuat gerakan. Serta-merta sosoknya melesat ke depan dan kejap lain tubuhnya lenyap masuk ke lobang di mana Kiai Tung-Tung baru saja keluar. Hampir bersamaan dengan lenyapnya sosok Datuk Wahing, Dayang Sepuh melompat dua kali. Sosoknya pun laksana ditelan bumi. Lenyap masuk ke dalam lobang. Di luar lobang, Kiai Tung-Tung tampak kebingungan. Saat itulah terdengar suara. 

“Kenapa kau masih bengong di situ, Cucuku?!” 

Kiai Tung-Tung melangkah ke arah lobang. Saat melongok, sosok Dayang Sepuh sudah tidak kelihatan lagi. Kiai Tung-Tung sejenak berpikir. Lalu melompat masuk lagi ke dalam lobang. Baru saja Kiai Tung-Tung melewati pintu bangunan paling bawah, matanya melihat Datuk Wahing dan Dayang Sepuh melangkah menuruni tangga di pojok ruangan. Pada pundak kanan Datuk Wahing tampak satu sosok tubuh mengenakan pakaian yang hangus terbakar. Kedua orang ini sama kancingkan mulut tidak ada yang bersuara. Malah wajah Datuk Wahing terlihat murung. 

“Dari sikapnya, aku sekarang yakin siapa adanya Datuk Wahing.... Dia adalah orang bernama Galaga, murid Nyai Suri Agung yang berarti juga adalah saudara seperguruan Setan Liang Makam.... Yang masih jadi tanda tanya adalah siapa adanya Dayang Sepuh!” Diam-diam Kiai Tung-Tung membatin kala teringat akan cerita Datuk Wahing pada beberapa waktu yang lalu. 

Datuk Wahing dan Dayang Sepuh berhenti sejenak di hadapan Kiai Tung-Tung. Keduanya hanya memandang, belum ada yang buka suara. Lalu masih tanpa berkata apa-apa, kedua kakek nenek itu teruskan langkah melewati Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung maklum akan sikap Datuk Wahing. Tanpa buka suara pula dia mengikuti di belakang Datuk Wahing dan Dayang Sepuh yang terus melangkah hingga akhirnya keluar dari lobang bekas bongkaran altar batu di atas sana. 

Pada satu tempat di belakang salah satu julangan batu karang, perlahan-lahan Datuk Wahing turunkan sosok di pundak kanannya yang bukan lain adalah sosok mayat Nyai Suri Agung. Dengan gerak cepat, Datuk Wahing menggali tanah memakai tongkat kayunya. Dalam beberapa saat, telah terlihat sebuah lobang sedalam satu tombak membentuk persegi panjang satu setengah tombak berkeliling. 

Dengan tanpa banyak mulut, Datuk Wahing angkat mayat Nyai Suri Agung lalu dimasukkan ke dalam lobang dan menimbunnya kembali. Untuk beberapa saat Datuk Wahing duduk bersimpuh di samping makam Nyai Suri Agung. Sementara Dayang Sepuh dan Kiai Tung-Tung memperhatikan dari jarak delapan langkah tanpa ada yang perdengarkan suara. 

“Anak muda...,” tiba-tiba Datuk Wahing bersuara setelah beberapa lama terdiam. “Aku harap kau tidak merasa heran jika aku bertanya padamu. Lebih-lebih aku mengharap jawaban yang tidak mengherankan diriku!” 

Datuk Wahing memberi isyarat dengan lambaian tangannya agar Kiai Tung-Tung alias murid Pendeta Sinting mendekat. “Siapa saja yang kau lihat masuk ke tempat ini?!” Datuk Wahing bertanya begitu Kiai Tung-Tung telah tegak di sampingnya. 

“Aku hanya melihat Setan Liang Makam...!” 

“Lainnya?!” 

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak melihat orang lain! Kedua pemuda yang sempat mengikuti Setan Liang Makam tidak memasuki tempat ini. Karena aku mengikuti mereka!” 

“Bruss! Keterangan terakhirmu membuatku heran. Ceritakan siapa yang kau maksud dengan kedua pemuda itu!” 

Kiai Tung-Tung lalu menceritakan dengan singkat pengintaiannya di pesisir utara dekat teluk sampai dia kembali lagi ke Kampung Setan. Datuk Wahing mendengarkan keterangan Kiai Tung-Tung dengan kepala bergerak pulang balik ke depan ke belakang. Namun dia tidak perdengarkan bersinan meski raut mukanya jelas kalau dia ingin bersin! 

“Kau duga ada orang lain masuk ke tempat ini, Kek?!” tanya Kiai Tung-Tung seolah mengakhiri ceritanya dan dilihatnya Datuk Wahing masih juga belum memberi sambutan.

“Bruss! Bruss! Kau jangan heran kalau aku bukan saja menduga, namun bisa memastikan jika ada orang lain masuk ke tempat itu!” 

“Bagaimana kau bisa memastikan?!” Kali ini yang buka suara adalah Dayang Sepuh yang ternyata sudah tegak di belakang Kiai Tung-Tung seraya memilin kelabangan rambutnya. 

Datuk Wahing merogoh ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik, terlihat serpihan daun yang telah hangus. 

Seraya angkat serpihan daun dan ditaburkan, Datuk Wahing berucap. “Dari sini aku dapat memastikan! Dan kalian tidak usah heran bila aku dapat juga memastikan kalau Kembang Darah Setan yang diberikan pada Setan Liang Makam di teluk adalah Kembang Darah Setan palsu! Kembang Darah Setan asli tak mungkin bisa hangus!” 

“Aku belum mengerti bagaimana kau dapat memastikan ada orang lain!” ujar Dayang Sepuh. 

“Terbunuhnya Nyai Suri Agung dan berserakannya kerangka!” 

“Mungkin saja Setan Liang Makam yang melakukannya! Bukankah kalau dihubungkan dengan ceritamu dahulu masuk akal?!” kata Kiai Tung-Tung. 

Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang bergerak ke depan ke belakang. Kini kepala itu bergerak ke samping kiri kanan menggeleng. “Dengan Kembang Darah Setan palsu, aku akan jadi heran jika Setan Liang Makam mampu melakukannya! Sekalipun seandainya Setan Liang Makam memiliki ilmu tinggi! Pastinya, ada orang lain yang melakukannya, dan orang itu membekal Kembang Darah Setan asli!” 

“Hem.... Jangan-jangan salah satu pemuda yang menyamar itu...!” gumam Kiai Tung-Tung. “Dia sengaja memberikan Kembang Darah Setan palsu lalu diam-diam mengikuti Setan Liang Makam. Dan.... Tapi apakah mungkin?! Aku tahu mereka berkelebat jauh dari Kampung Setan....” 

“Dugaanmu itu yang masuk akal, Anak Muda!” ujar Datuk Wahing. “Nyai Suri Agung hanya bisa dihadapi dengan Kembang Darah Setan! Itu pun yang menggenggam Kembang Darah Setan harus cerdik. Jika tidak, dia tetap tidak akan mampu menghadapi Nyai Suri Agung! Dan dengan terbunuhnya Nyai Suri Agung, berarti si pembawa Kembang Darah Setan adalah orang cerdik!” 

“Lalu apakah kerangka yang berserakan itu sosok Setan Liang Makam yang juga terbunuh?!” tanya Kiai Tung-Tung. 

Datuk Wahing perdengarkan bersinan dahulu sebelum buka suara. “Kurasa Setan Liang Makam masih bernyawa....” 

“Kerangka itu...?!” ujar Kiai Tung-Tung. 

“Itu adalah kerangka pendiri Istana Sekar Jagat. Nenek moyang para generasi Kampung Setan,” jawab Datuk Wahing. Kakek ini menghela napas panjang. Lalu perdengarkan suara lagi. “Dunia persilatan akan menghadapi bencana besar. Dan aku sangsi, apakah ada seseorang yang kelak dapat menghentikannya!” 

“Maksudmu?!” Kali ini yang bertanya adalah Dayang Sepuh. 

“Pendiri Istana Sekar Jagat itu mengenakan sebuah jubah hitam yang dinamakan Jubah Tanpa Jasad. Sebuah jubah sakti yang luar biasa! Dan orang yang telah membunuh Nyai Suri Agung telah mendapatkannya!” 

“Setan Liang Makam sendiri ke mana?!” Kembali Dayang Sepuh ajukan tanya. 

“Mungkin dia telah pergi begitu tahu kembang di tangannya adalah Kembang Darah Setan palsu....” 

“Kek.... Kau tahu banyak tentang tempat itu. Aku sekarang jadi yakin, kaulah orang yang dalam ceritamu dahulu kau sebut sebagai Galaga. Saudara seperguruan Maladewa dan murid Nyai Suri Agung! Betul?!” kata Kiai Tung-Tung. 

“Bruss! Itu bukan hal yang mengherankan dan penting untuk dibicarakan saat ini, Anak Muda! Yang mengherankan adalah jika kita tidak segera tahu siapa adanya pemegang Kembang Darah Setan dan sekarang telah juga mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Kalau kita terlambat, kiamat besar akan terjadi dalam rimba persilatan! Dan mungkin saja hal itu sekarang telah mulai!” 

“Aku curiga pada seseorang...,” ucap Kiai Tung-Tung. 

“Siapa?!” tanya Dayang Sepuh. 

“Kiai Laras!” 

“Bruss! Curiga boleh. Tapi jangan membuat orang heran dengan curiga tanpa membuktikan!” 

“Aku hampir saja bisa membuktikan. Sayang mendadak ada orang yang usil menghadang...,” kata Kiai Tung-Tung dalam hati ingat akan pengejarannya pada Kiai Lidah Wetan. Lalu bergumam. “Aku hanya merasa aneh. Kalau memang Kiai Laras yang melakukannya, mengapa dia menyamar?!” 

“Bruss! Bruss! Seharusnya kau tidak boleh merasa aneh apalagi heran, Anak Muda! Justru hal itulah yang harus kau selidiki! Mengapa dia mengenakan penyamaran dan melakonkan diri sebagai sosok dirimu!” 

“Mungkin ada kaitannya dengan hilangnya kakekmu!” Yang menyahut Dayang Sepuh. 

“Nek.... Aku....” 

Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapannya, Dayang Sepuh telah angkat tangan kirinya. Kiai Tung-Tung putuskan ucapan dengan dahi mengernyit. Namun kejap lain dia tersenyum dan buka mulut. 

“Bibi.... Aku sekarang akan berterus terang padamu! Yang kucari itu sebenarnya bukan kakekku. Melainkan eyang guruku, Pendeta Sinting....” 

Dayang Sepuh turunkan tangan kirinya lalu membuat seulas senyum dingin. Belum sampai dia buka suara, Datuk Wahing telah bergerak bangkit. Bersin dua kali lalu berkata. “Kurasa sudah tidak ada sesuatu yang mengherankan di tempat ini!” 

Habis berkata begitu, sang Datuk mulai melangkah tinggalkan gundukan tanah di mana baru saja Nyai Suri Agung dikebumikan. 
Dayang Sepuh memandang sesaat, lalu berpaling pada Kiai Tung-Tung. Dia hanya lambaikan tangan lalu melangkah mengikuti Datuk Wahing. Kiai Tung-Tung angkat bahu, lalu bergerak mengikuti di belakang. Namun baru saja melangkah, di depan sana Datuk Wahing bersin-bersin lalu berkata. 

“Jangan lakukan sesuatu yang mengherankan dengan ikuti langkah kami, Anak Muda. Tujuan kita memang tidak beda. Tapi akan mengherankan jika kita berbondong-bondong!” 

Kiai Tung-Tung menghentikan langkahnya. Lalu menunggu sampai Datuk Wahing dan Dayang Sepuh lenyap di depan sana. 

***
ENAM
DI SATU tempat agak jauh dari Kampung Setan, Kiai Tung-Tung hentikan langkahnya ketika matanya dapat menangkap satu bayangan berlari menuju ke arahnya. Begitu cepatnya sosok bayangan itu hingga belum sampai Kiai Tung-Tung melompat menyelinap si bayangan tadi tahu-tahu sudah tegak berjarak sepuluh langkah di hadapannya.

Untuk beberapa saat sepasang mata orang di depan sana pandangi Kiai Tung-Tung dari atas hingga bawah. Namun karena Kiai Tung-Tung masih mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya, si orang rupanya merasa kesulitan untuk mengenali raut wajahnya. Hingga dia segera buka mulut. 

“Boleh aku tahu siapa kau adanya, Orang Tua?!” 

Kiai Tung-Tung kerutkan dahi. “Aku sepertinya pernah dengar suara orang ini! Tapi mengapa wajahnya lain?! Apa memang suara mirip tapi lain orangnya?!” Kiai Tung-Tung angkat sedikit kepalanya lalu memperhatikan orang di seberang depan. 

Dia adalah seorang laki-laki yang seperti halnya Kiai Tung-Tung, mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya tidak mudah dikenali. Mengenakan pakaian gombrong warna hitam sebatas betis berlengan panjang. Hingga dari anggota tubuhnya yang kelihatan hanyalah telapak kedua tangannya, bagian betis ke bawah lalu sebagian dari paras wajahnya. Tangan kanannya memegang buntalan kain yang disampirkan pada pundaknya. 

“Aku Kiai Tung-Tung...,” Kiai Tung-Tung alias murid Pendeta Sinting yang tengah menyamar menjawab pertanyaan orang. Lalu balik bertanya. “Kau sendiri siapa, Orang Tua?!” 

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya angkat kepalanya sedikit. Lalu pandangi Kiai Tung-Tung dengan seksama. Diam-diam dalam hati dia membatin. “Suaranya tidak mungkin ku lupa! Apa benar-benar dia?! Kurang ajar betul, Sontoloyo ini! Kudengar dia telah melakukan beberapa hal yang tak terpuji setelah peristiwa di Kedung Ombo!

Sontoloyo seperti ini harus diberi pelajaran dan kalau perlu dibunuh jika benar melakukan hal yang mengotori dunia persilatan! Aku memang belum yakin benar akan berita yang saat ini tersebar, namun melihat arah datangnya, mungkin dia baru dari Kampung Setan. Sementara berita yang terdengar, mengaitkan dirinya dengan perihal Kampung Setan. Benar-benar celaka kalau apa yang tersiar sekarang benar-benar kenyataan....” 

“Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa dirimu?!” Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan suara ketika agak lama si orang yang ditanya tidak segera menjawab. 

Tiba-tiba orang di seberang depan perdengarkan tawa ngakak. Namun laksana dirobek setan, orang ini putuskan tawanya dan mendadak buka mulut membentak. “Aku Malaikat Jagal Manusia! Kau tidak beruntung, Manusia! Karena harus bertemu denganku!” 

“Maksudmu...?!” tanya Kiai Tung-Tung dengan palingkan kepala melirik. 

“Telingamu telah dengar gelarku. Malaikat Jagal Manusia! Jadi tak ada makhluk bernama anak manusia yang lewat begitu saja bila jumpa denganku! Termasuk kau sendiri!” 

“Tapi.... Bukankah di antara kita tidak ada perkara apa-apa?! Lagi pula rasanya tidak...” 

“Anak manusia!” Orang yang sebutkan diri sebagai Malaikat Jagal Manusia telah menukas sebelum Kiai Tung-Tung selesaikan ucapan. “Bagi Malaikat Jagal Manusia, tidak butuh perkara jika hendak menjagal manusia! Yang jelas, siapa pun anak manusia yang bertemu denganku, maka saat itulah nasibnya ditentukan!” 

“Hem.... Berarti hanya suaranya saja yang mirip.... Orangnya lain!” gumam Kiai Tung-Tung dalam hati. Lalu berkata. “Kalau setiap kali kau selalu menjagal manusia, jangan-jangan kau melakukan hal ini atas suruhan orang lain! Benar?!” 

Mendengar ucapan Kiai Tung-Tung, Malaikat Jagal Manusia tertawa bergelak panjang. “Malaikat Jagal Manusia pantang mendapat perintah orang! Penjagalan ini adalah tugas sejak aku dilahirkan! Ha Ha Ha...! Masih ada yang hendak kau tanyakan sebelum nyawamu terjagal tanganku, Anak Manusia?!” 

Kiai Tung-Tung anggukkan kepala. “Boleh aku tahu, apa kau dapat menduga siapa gerangan kira-kira yang dapat menjagal dirimu sekaligus menentukan akhir nasibmu?!” 

Malaikat Jagal Manusia putuskan tawanya. Sepasang matanya mendelik angker. Setelah mendengus keras dia berkata. “Aku sendiri yang menentukan nasibku!” 

Kali ini ganti Kiai Tung-Tung yang balik tertawa panjang. Lalu kepalanya kembali menggeleng. “Kau salah, Malaikat Jagal Manusia! Bukan kau yang tentukan akhir nasibmu. Tapi tanganku! Ha Ha Ha...!” 

Malaikat Jagal Manusia gerakkan tangan kiri tekankan pada caping lebarnya. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini melompat ke depan. Tangan kirinya yang telah terangkat ke atas berkelebat lepaskan satu pukulan ke arah kepala Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tidak mau menunggu. Dia menyongsong pukulan tangan orang dengan angkat tangan kanannya. Namun bukan untuk lepaskan pukulan, melainkan dipalangkan pada kepalanya. 

Bukkk! 

Tangan kiri Malaikat Jagal Manusia membentur tangan Kiai Tung-Tung. Saat bersamaan mendadak tangan kanan Malaikat Jagal Manusia telah pula berkelebat. Kiai Tung-Tung tidak tinggal diam. Tangan kirinya cepat menyambut. 

Bukkk! 

Kembali terjadi benturan. Masing-masing orang sama tersurut satu langkah ke belakang dengan dahi sama mengernyit. Namun itu cuma sesaat. Kejap lain, Malaikat Jagal Manusia telah menyergap ke depan. Kini kedua tangannya bergerak bersamaan lepaskan pukulan. 

“Ah.... Manusia ini nyatanya tidak main-main.... Apa sebenarnya kemauan orang ini?! Apa ucapannya benar kalau dia akan menjagal setiap anak manusia yang ditemuinya?!” 
Sambil membatin begitu, Kiai Tung-Tung angkat kedua tangannya menghadang kedua tangan Malaikat Jagal Manusia. 

Bukk! Bukkk! 

Baik Kiai Tung-Tung maupun Malaikat Jagal Manusia sama surutkan langkah dua tindak ke belakang. Dari benturan tangan kali ini, rupanya masing-masing orang sudah mulai dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lainnya. 

“Tenaga dalamnya sangat kuat. Jangan-jangan bukan Sontoloyo itu!” Malaikat Jagal Manusia mulai ragu dengan dugaannya melihat bagaimana tingkat tenaga dalam orang. “Atau ini karena dia telah memperoleh kitab kedua itu...?” 

“Ada sesuatu yang ingin kau utarakan?!” tanya Kiai Tung-Tung melihat perubahan sikap orang. Namun Kiai Tung-Tung tidak menunggu jawaban. Begitu selesai berkata dia sudah melompat seraya kelebatkan tangan kiri kanan ke caping Malaikat Jagal Manusia. 

“Sialan! Dia ingin tahu siapa diriku! Ini tidak boleh terjadi sebelum aku dapat yakin siapa dia adanya!” desis Malaikat Jagal Manusia. Dia cepat mundur dan serta-merta menyongsong sosok tubuh Kiai Tung-Tung dengan lepaskan pukulan jarak jauh. 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Kiai TungTung terkesiap. Dia buru-buru tarik pulang kedua tangannya yang hendak menyambar caping Malaikat Jagal Manusia. Kedua tangannya serta-merta disentakkan ke depan. 

Blamm! 

Gelegar keras terdengar saat gelombang dari ke dua tangan Malaikat Jagal Manusia bentrok dengan gelombang yang keluar dari kedua tangan Kiai TungTung. Sosok Malaikat Jagal Manusia tersurut satu tindak. Demikian juga sosok Kiai Tung-Tung. Paras masingmasing orang berubah. 

“Ternyata kau memiliki ilmu juga, Anak Manusia! Tapi jangan harap apa yang kau miliki bisa merubah nasib yang ku tentukan!” sentak Malaikat Jagal Manusia. Habis berkata begitu, Malaikat Jagal Manusia berkelebat ke depan. Setengah jalan, dia sudah dorong kedua tangannya. 

Wuutt! Wuutt! 

Tempat itu seketika disemburati cahaya kuning. Lalu satu gelombang berhawa panas luar biasa menggebrak ganas. 

“Pukulan ‘Lembur Kuning’! Jadi memang....” Kiai Tung-Tung tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia buka mulut berteriak. “Tahan, Eyang....” 

Tapi teriakan Kiai Tung-Tung terlambat. Karena gelombang yang disemburati cahaya kuning dan membawa hawa panas menyengat itu telah mencuat. Kiai Tung-Tung sesaat bimbang. Kalau dia tidak menyambut pukulan yang kini datang, dia bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Sebaliknya kalau dia sambuti pukulan itu, paling tidak akan membawa akibat pada kedua belah pihak. Padahal pukulan itu sudah menderu makin dekat dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berpikir. 

Pada puncak kebimbangannya, akhirnya Kiai TungTung berkelebat ke belakang. Lalu dorong kedua tangannya ke depan lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Dari kedua tangan Kiai Tung-Tung yang tiba-tiba berubah menjadi kuning melesat cahaya kekuningan disertai gelombang dan hawa panas. 

Blaammm! 

Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa dahsyat. Tanahnya muncrat ke udara setinggi lima tombak lalu menebar berhamburan mendatar di atas udara sepanjang delapan tombak berkeliling. Hingga untuk beberapa saat udara di tempat itu laksana ditelan gelap malam. Begitu hamburan tanah sirap kembali, di sebelah kanan tampak sosok Kiai Tung-Tung jatuh terduduk dengan tubuh bergetar keras. Caping lebarnya mencelat. Parasnya berubah pucat pasi. Mulutnya menganga lalu menutup dengan dada bergerak keras turun naik. 

Sementara di seberang depan sana, sosok Malaikat Jagal Manusia duduk bersimpuh. Sepasang matanya mendelik menyipit. Caping yang dikenakannya juga mencelat amblas. Hingga raut wajahnya terlihat jelas. 

“Benar-benar si Sontoloyo itu!” desis Malaikat Jagal Manusia begitu bisa melihat paras wajah Kiai Tung-Tung. Dia bergerak bangkit. Mendadak sepasang matanya melotot besar. Tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya terangkat. 

“Eyang.... Tunggu! Aku Joko!” teriak Kiai Tung-Tung menduga kalau Malaikat Jagal Manusia belum mengetahui siapa dirinya. 

Malaikat Jagal Manusia yang ternyata adalah Pendeta Sinting tegak lima langkah di hadapan Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng dengan tangan tetap terangkat dan mata mendelik angker. Mulutnya tiba-tiba perdengarkan suara keras. 

“Sejak tadi aku tahu siapa kau, Sontoloyo!” 

Joko Sableng berdiri lalu membungkuk memberi hormat sambil berkata. “Kalau Eyang sudah tahu, mengapa memukulku?!” 

“Hem.... Rupanya kau belum sadar akan tindak tandukmu selama ini! Dan kau kira aku tidak tahu, hah?!” 

“Eyang.... Tunggu.... Sebenarnya ada apa ini?!” 

Pendeta Sinting perdengarkan dengusan keras. “Kau masih juga berpura-pura!” 

“Busyet! Jangan-jangan Eyang termakan kabar fitnah ini! Bisa celaka...,” gumam Joko lalu buka mulut. “Eyang.... Harap jelaskan semuanya! Aku....” 

“Apa lagi yang perlu ku jelaskan?!” potong Pendeta Sinting dengan membentak. Tangan kanan kirinya sudah bergerak. 

“Eyang.... Tahan dulu! Biar aku yang menjelaskan!” ujar Joko dengan mata memperhatikan pada gerakan kedua tangan eyang gurunya. “Tentu Eyang mendengar sesuatu yang kurang baik tentang diriku....” 

“Bukan kurang baik! Tapi perbuatanmu sudah melampaui batas! Mampus sudah layak menjadi bagianmu! Dan karena aku yang memberimu ilmu, adalah lebih layak jika tanganku sendiri yang harus menghentikan ulah mu!” 

Joko Sableng menghela napas panjang. “Eyang.... Sebagai murid aku rela tanganmu yang mencabut nyawaku. Namun sebelumnya harap Eyang dengar dahulu penjelasanku.” 

Pendeta Sinting turunkan kedua tangannya. “Cepat katakan penjelasan apa yang akan kau berikan!” 

“Sesuai dengan permintaanmu di Kedung Ombo, tiga hari setelah peristiwa itu, aku ke Jurang Tlatah Perak. Namun kau tidak ada. Aku menunggu hampir setengah purnama. Namun kau tidak muncul juga. Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku berniat mencarimu....” 

Lalu Joko mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Dayang Sepuh di kedai, kemudian pertemuannya dengan Datuk Wahing, Setan Liang Makam, Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, dan Putri Kayangan. Dia juga menceritakan bagaimana fitnah itu tiba-tiba menebar. Terakhir Joko menceritakan soal penyamaran dirinya sebagai Kiai Tung-Tung hingga pemakaman Nyai Suri Agung. 

“Kau tidak mengarang cerita itu?!” tanya Pendeta Sinting begitu Joko hentikan ceritanya. 

“Kelak jika kau bertemu dengan salah seorang yang kuceritakan, kau bisa membuktikannya, Eyang....” 

“Kiai Laras.... Hem....” Pendeta Sinting bergumam. 

“Eyang.... Kalau boleh ku tahu. Eyang mengenal dia?!” 

“Dia siapa?!” 

“Kiai Laras.... Karena gerak-geriknya mencurigakan!” 

Pendeta Sinting berpaling. “Kau berpikir dalang di balik semua ini adalah dia?!” 

“Aku hanya mengaitkan apa yang pernah terjadi. Tapi semua itu masih perlu dibuktikan....” 

“Tapi apa mungkin?! Dari apa yang ku tahu, rasanya mustahil dia bisa menerobos Kampung Setan dan tahu banyak tentang rahasia tempat itu!” kata Pendeta Sinting perlahan. 

“Eyang.... Masalahnya sekarang bukan bagaimana dia bisa menerobos Kampung Setan meski hal itu patut ditanyakan. Yang lebih penting adalah, kalau memang benar-benar Kiai Laras, mengapa dia mengenakan penyamaran sebagai diriku?! Padahal aku tidak pernah punya urusan dengannya! Kalau seseorang melakonkan orang lain dengan maksud jahat, tentu orang itu punya sesuatu yang terpendam. Sementara kalau aku dan dia tidak punya urusan apa-apa, pasti urusannya ada di antara dia dengan orang yang dekat denganku. Sedang orang satu-satunya yang paling dekat denganku adalah kau.... Apa Eyang pernah punya urusan dengan Kiai Laras?!” 

“Hem.... Aku memang pernah punya urusan dengan dia. Tapi kukira urusannya terlalu sepele jika harus diselesaikan dengan cara begini! Lagi pula urusan itu sudah tuntas dan kulupakan!” 

“Eyang.... Seseorang akan berbeda dalam menghadapi satu urusan. Bisa saja kau menganggapnya sudah tuntas malah sudah melupakannya dan bahkan menghitungnya sebagai persoalan sepele! Namun mungkin saja orang lain beranggapan urusan belum tuntas malah menghitungnya sebagai urusan besar dan tidak bisa dilupakan sepanjang hidupnya!” 

“Hem Sontoloyo ini sudah pandai pula bicara...,” kata Pendeta Sinting dalam hati. “Tapi ucapannya ada juga benarnya.... Hanya saja, mungkinkah Kiai Laras?!” 

Selagi Pendeta Sinting masih membatin, Joko sudah buka mulut lagi. “Eyang.... Mau katakan apa urusan antara Eyang dengan Kiai Laras?” 

Untuk beberapa lama Pendeta Sinting terdiam. Sepasang matanya memandang jauh. Joko menunggu. Dan pada akhirnya Pendeta Sinting angkat bicara. 

***
TUJUH
"PADA beberapa puluh tahun yang lalu, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap beberapa tokoh rimba persilatan. Selain dilakukan oleh orang-orang yang menamakan diri dari Kampung Setan, ada pihak lain yang ikut menyusup lakukan pembantaian. Orang ini memanfaatkan keadaan yang keruh. Hingga sulit dicari siapa dia adanya.

Setelah aku mencari dan menyelidik, akhirnya aku dapat memastikan jika dalang di belakang pembunuhan itu adalah Kiai Laras. Beberapa tokoh yang ada saat itu tidak percaya pada ucapanku. Karena selama ini Kiai Laras memang diketahui tidak memiliki ilmu tinggi. Namun orang-orang rupanya lupa. Kiai Laras memang tidak memiliki ilmu tinggi. Tapi dia mempunyai akal cerdik!” 

Sejenak Pendeta Sinting hentikan ucapannya. Setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan. “Begitu cerdiknya, sampai dia lolos. Bukan saja dari maut, juga dari dugaan orang! Namun di mataku, dia tetaplah duri! Itulah sebabnya suatu saat aku menemuinya. Ku coba menyadarkannya. Tapi usahaku gagal. Sejak itulah dia beberapa kali mencoba membunuhku dengan tangan orang lain....” 

Kembali Pendeta Sinting hentikan keterangan. Lalu kepalanya berpaling pada Joko. “Urusan itu telah berlalu beberapa puluh tahun. Keadaan pun telah berubah. Aku telah melupakan semuanya. Bahkan tentang Kiai Laras. Sekarang aku jadi heran kalau Kiai Laras tidak bisa melupakan urusan itu....” 

“Eyang.... Mungkin ada hal lain selain yang Eyang katakan yang ada hubungannya dengan Kiai Laras....” 

Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Kurasa aku tidak punya urusan lain selain apa yang baru kuceritakan!”  

“Eyang pernah dengar Kiai Laras punya seorang saudara?!” tanya Joko begitu ingat akan kemiripan paras wajah Kiai Laras dengan Kiai Lidah Wetan. 

“Aku tidak terlalu peduli dengan semua itu! Yang jelas bagiku, dia punya akal cerdik! Dan aku telah buktikan hal itu!” 

“Eyang.... Boleh aku tahu ke mana Eyang setelah peristiwa Kedung Ombo?!” 

“Aku ke tempat seorang sahabat....” 

“Sendirian?!” 

Pendeta Sinting mendelik. “Apa maksudmu, hah?!” 

“Bukankah saat berpisah di Kedung Ombo Eyang bersama....” Joko tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya melirik pada eyang gurunya. 

Tiba-tiba Pendeta Sinting perdengarkan tawa bergelak. “Yang kau maksud tentu Ni Luh Padmi! Kau tahu, Sontoloyo.... Justru karena nenek itu aku terpaksa pergi ke tempat seorang sahabat.... Jika tidak, tentu kau sudah tidak akan jumpa denganku lagi. Tapi aku tidak menyalahkan nenek itu! Apa yang dilakukannya mungkin sudah harus jadi bagianku! Kau pernah jumpa dengannya setelah peristiwa di Kedung Ombo?!” 

Joko gelengkan kepala. Pendeta Sinting balikkan tubuh. “Saat ini kau menghadapi urusan berat! Aku tak bisa banyak membantu! Yang jelas, kau harus segera selesaikan urusan ini! Jika tidak, bukan namamu saja yang bakal tertulis hitam, namun namaku juga ikut! Dan satu hal lagi, jika benar di belakang semua ini adalah Kiai Laras, maka kau harus lebih berhati-hati!” 

Habis berkata begitu, Pendeta Sinting melangkah. Namun Joko cepat melompat dan tegak menghadang. Belum sampai Joko buka mulut berucap, Pendeta Sinting sudah sambung ucapannya. 

“Dan kuperingatkan, untuk sementara ini hindari hubungan dengan seorang gadis! Kau dengar?!” 

Joko anggukkan kepala. Namun lagi-lagi belum sampai Joko buka mulut, Pendeta Sinting sudah buka suara lagi. “Aku telah mengalami. Perempuan hanya akan menambah masalah! Anehnya jarang sekali laki-laki yang bisa lepas daripadanya walau dia tahu apa risikonya!” 

Pendeta Sinting teruskan langkah tanpa pedulikan muridnya yang hendak angkat bicara. Membuat Joko menghela napas dan buru-buru berucap. 

“Eyang.... Kau mengenali siapa sebenarnya nenek yang sebutkan diri Dayang Sepuh?!” 

Tanpa hentikan langkah, Pendeta Sinting menjawab. “Nenek itu memang bergaya aneh! Tapi dua hal yang harus kau ketahui. Pertama, kau harus berhati-hati padanya! Kedua, jangan sampai kau tertarik apalagi jatuh cinta padanya!” 

Joko menahan tawanya. Namun begitu sosok Pendeta Sinting sudah berada jauh di depan sana, tawanya meledak keras. Hingga bahunya berguncang keras dan sepasang matanya terpejam-pejam. Namun tiba-tiba laksana ditelan setan, murid Pendeta Sinting putuskan tawanya ketika sadar dia tidak sendirian di tempat itu. Dan dia yakin orang lain itu bukan Pendeta Sinting. 

“Puas?!” Satu suara tiba-tiba terdengar. 

Pendekar 131 cepat berpaling. Dia melihat seorang gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu. Sepasang matanya bulat. Hidungnya mancung ditingkah kulit putih bersih. Gadis ini mengenakan pakaian warna kuning. Beberapa lama murid Pendeta Sinting pandangi si gadis. Yang dipandang balas memandang dengan tatapan dingin lalu sentakkan wajahnya menoleh ke jurusan lain. 

“Saraswati...!” gumam Joko ketika sadar dari rasa kesimanya mengenali siapa yang saat itu tegak. 

Si gadis yang bukan lain memang Saraswati sunggingkan senyum galak. Gadis cantik yang biasanya mengenakan samaran sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan memakai pakaian hitam-hitam ini rupanya telah tanggalkan samarannya. 

“Aku tak menyangka jika kau pandai juga mengelabui pandang mata orang! Apakah kau kira hal ini akan membuatmu selamat?!” ujar Saraswati dengan suara bergetar tanda dadanya sudah sesak dilanda kemarahan. 

“Saraswati.... Kuharap kau mengerti kalau aku sampai melakukan ini! Hal ini satu-satunya jalan untuk mengetahui siapa adanya orang yang memfitnahku!” 

Saraswati tertawa pendek bernada mengejek. “Kau salah besar, Pendekar! Justru tindakanmu ini lebih meyakinkan ku kalau kau tidak sedang mencari siapa adanya orang yang memfitnah mu! Karena sebenarnya kau sendirilah yang memfitnah diri sendiri!” 

Saraswati hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak menghadap murid Pendeta Sinting. “Kau ingin menutupi semua kelakuanmu, bukan?! Aku menyesal bicara panjang lebar dengan seorang laki-laki tua mengenakan caping lebar membawa tongkat butut jika ku tahu orang itu adalah kau adanya!” 

Seperti diketahui, Saraswati yang saat itu masih menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis sempat jumpa dengan murid Pendeta Sinting yang juga tengah menyamar sebagai laki-laki mengenakan caping lebar. Saraswati sempat bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Liang Maut di Bukit Kalingga). 

“Celaka! Bagaimana aku harus menjelaskan padanya?! Ah, daripada jadi masalah besar, lebih baik dia ku hindari. Bicara panjang lebar pun belum tentu dia percaya!” Membatin begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berkata. “Saraswati.... Untuk saat ini kurasa aku belum bisa memberi keterangan karena kau tak mungkin percaya! Kuharap....” 

Saraswati sudah menyahut. “Aku memang tidak butuh keterangan apa-apa! Semua sudah cukup jelas bagiku! Yang kuminta sekarang kau ikut denganku kembali ke Bukit Kalingga. Dan selanjutnya kau tahu apa yang harus kau lakukan!” 

“Saraswati! Percuma saja kita ke sana! Di sana tidak ada apa-apa!” 

Saraswati mendelik. Tubuhnya bergetar keras. “Pendekar 131! Apa ucapanmu memberi arti jika....” Saraswati tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia segera melompat dan tegak di hadapan Joko. “Apa yang kau lakukan pada ibuku?!” Suara gadis berwajah cantik ini bergetar parau. Kedua tangannya yang gemetar telah terangkat. 

Diam-diam murid Pendeta Sinting mengeluh dalam hati. “Bagaimana urusannya bisa sampai begini jauh?!”  

“Jawab, Pendekar 131! Apa yang kau perbuat pada ibuku?!” teriak Saraswati setengah menjerit. 

“Dengar, Saraswati.... Aku belum pernah berjumpa dengan ibumu semenjak pertemuan terakhir di depan Istana Hantu! Aku pun tahu Bukit Kalingga dari keteranganmu!” 

“Manusia busuk! Kau masih juga bicara tak karuan!” Bersamaan dengan berucap, kedua tangan Saraswati yang telah terangkat bergerak. 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang melesat menghantam ke arah murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 cepat melompat ke samping hingga gelombang dari kedua tangan Saraswati menggebrak tempat kosong. 

“Saraswati.... Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua ini!” 

“Terlambat, Pendekar 131! Penjelasan apa pun tak mungkin dapat merubah! Yang kuinginkan sekarang kau ikut denganku ke Bukit Kalingga!” 

“Aku memang tak akan menjelaskan urusan ini dengan kata-kata!” 

“Hem.... Lalu?!” sentak Saraswati. Kedua tangannya kembali telah terangkat. Matanya membelalak. 

“Aku perlu waktu! Dan kuharap kau bersabar menunggu!” 

Saraswati tersenyum dingin. “Waktuku hanya memberimu kesempatan untuk menambah korban!” 

“Saraswati.... Kita tak perlu bicara! Itu hanya akan menambah urusan jadi tak karuan!” Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting menatap sejenak pada Saraswati, tanpa berkata apa-apa lagi dia gerakkan kaki tinggalkan tempat itu. 

“Kau kira hanya cukup begitu?!” ujar Saraswati. Lalu tegak menghadang. 

Joko Sableng perhatikan gadis dihadapannya. Belum sampai dia buka mulut, Saraswati telah angkat bicara. 

“Pendekar 131! Untuk menuju Bukit Kalingga tidak perlu penjelasan kata-kata!” 

“Benar! Tapi jika kita ke sana sekarang, urusan ini bukannya jadi selesai, tapi akan malah makin panjang!” 

“Bagaimana bisa begitu?!” kata Saraswati dengan tertawa perlahan. “Aku hanya akan menjemput ibuku! Dan kau tak usah khawatir. Aku nanti mungkin bisa mencegah tindakan Ibu terhadapmu!” 

“Itulah masalahnya, Saraswati.... Aku takut kita tidak akan menemukan orang yang kau cari!” 

“Jahanam!” maki Saraswati saking geramnya. “Berarti kau telah membunuh ibuku!” 

"Tahan!” seru murid Pendeta Sinting kala melihat kedua tangan Saraswati akan bergerak lepaskan pukulan. “Ibumu memang punya ganjalan padaku. Namun bagiku semuanya sudah berakhir. Jadi tidak ada untungnya membuat urusan baru dengan ibumu apalagi sampai membunuhnya!” 

“Lalu apa maksud ucapanmu kita tak akan menemukan orang yang kucari?!” 

“Aku tak bisa memberi jawaban. Karena aku sendiri belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi pada ibumu!” 

“Kau benar-benar manusia brengsek! Di depan mataku kau perlakukan ibuku dengan seenakmu! Sekarang kau masih bisa mengatakan tak tahu apa yang terjadi padanya!” 

“Itulah mengapa tadi kukatakan beri aku waktu! Dan kita tak perlu bicara karena akan menambah urusan jadi makin tak karuan!” 

“Kau hanya cari alasan! Aku tanya sekali lagi. Kau ikut ke Bukit Kalingga atau....” 


“Dia memang perlu waktu dan kesempatan!” Tiba-tiba satu suara menyeruak menyambuti suara Saraswati. 

Saraswati kancingkan mulut. Kepalanya tersentak ke samping kanan menghadap ke arah dari mana datangnya suara terdengar. Sementara Pendekar 131 meski terkejut, namun belum juga gerakkan kepala berpaling. Dari suara orang, dia jelas bisa menebak jika orang yang baru muncul adalah seorang perempuan. Sesaat Saraswati sipitkan mata. Memandang ke depan, dia melihat seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. 

“Putri Kayangan...,” kata Saraswati dalam hati mengenali siapa adanya si gadis. Dia hanya memandang sejenak, lalu matanya memutar berkeliling. “Aneh.... Biasanya dia bersama empat laki-laki yang disebut sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Tapi kali ini dia muncul sendirian! Hem.... Bagaimana dia bisa berada di sini?! Dari ucapannya saat bertemu beberapa waktu yang lalu, serta kata-katanya yang baru saja terdengar, pasti dia berpihak pada Pendekar 131! Pasti ada apaapa di antara kedua manusia itu!” 

Dada Saraswati perlahan-lahan dirasuki perasaan cemburu. Hingga tanpa memandang pada orang yang baru muncul dan bukan lain memang Putri Kayangan adanya, dia angkat bicara dengan nada dingin. 

“Siapa pun adanya kau, harap tidak ikut turut campur! Lebih dari itu harap segera angkat kaki dari sini!” 

Putri Kayangan sunggingkan senyum. Lalu tanpa sambuti ucapan Saraswati, gadis cantik ini melangkah mendekat. Namun belum sampai melangkah terlalu jauh, kembali Saraswati telah buka mulut dengan nada ketus. 

“Harap tidak beranjak dari tempatmu sebelum urusanku selesai!” seraya berkata, Saraswati berpaling memandang pada Putri Kayangan dengan tatapan tidak senang. 

Sementara murid Pendeta Sinting segera gerakkan kepala ke samping. Sesaat dia pandangi Putri Kayangan lalu beralih pada Saraswati. Lalu matanya kembali tertuju lama pada Putri Kayangan. Diam-diam dalam hati dia berkata. 

“Dia muncul sendirian! Jangan-jangan dia Pitaloka!” Tiba-tiba sepasang mata murid Pendeta Sinting mendelik. Saat lain dia melompat dan tegak hanya berjarak lima langkah dari gadis berpakaian merah. 

“Kembalikan pedangku!” bentak Pendekar 131 dengan suara keras membahana. Tangan kanannya sudah terulur ke depan membuat gerakan meminta. 

Saraswati perhatikan sikap murid Pendeta Sinting dengan dahi berkerut. Dia coba menduga-duga. Namun belum sampai mendapat jawaban dari dugaannya, Putri Kayangan telah buka mulut. 

“Pendekar 131.... Aku bukan Pitaloka! Berarti aku tidak membawa pedangmu....” 

Murid Pendeta Sinting sekali lagi perhatikan gadis di hadapannya dengan seksama. “Edan! Aku tak bisa membedakan! Tapi apa betul memang ada dua Putri Kayangan?!” 

Selagi Joko membatin begitu, Putri Kayangan telah angkat tangannya dengan telapak dibuka. “Kau tentu masih ingat dengan keteranganku tempo hari, Pendekar 131.” 

“Tahi lalat pada ibu jarinya...,” gumam murid Pendeta Sinting begitu melihat tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Putri Kayangan dan ingat akan keterangan si gadis saat berjumpa beberapa waktu yang lalu. Putri Kayangan turunkan tangannya sambil tetap tersenyum. Gadis ini rupanya dapat menangkap apa yang ada dalam benak Saraswati dan Pendekar 131. Hingga tak lama kemudian dia telah angkat bicara lagi. 

“Beberapa sahabatku kali ini memang tidak Ikut bersama. Ada sesuatu yang harus mereka selesaikan....” Putri Kayangan menoleh pada Saraswati. Belum sampai Putri Kayangan berkata lagi, Saraswati telah mendahului. 

***
DELAPAN
"AKU tak peduli kau Pitaloka atau Putri Kayangan. Aku juga tak mau tahu ke mana perginya dan apa yang diselesaikan para sahabatmu! Aku pun tak akan ulangi ucapanku. Kau tadi telah mendengarnya! Harap segera lakukan apa yang kuminta!” 

Putri Kayangan melirik pada Pendekar 131. Namun cuma sekejap. Begitu dilihatnya sang Pendekar memandang ke arahnya, gadis berparas luar biasa cantik ini segera alihkan pandangannya. Entah apa yang dirasakan, yang jelas sikapnya berubah. Raut wajahnya sedikit bersemu merah. Dia merasakan dadanya berdebar. Hingga untuk beberapa saat dia tidak sambuti kata-kata Saraswati meski sebenarnya dia telah berniat untuk angkat bicara. 

Mendapati sikap Putri Kayangan, dada Saraswati mulai terbakar. Dugaan kalau di antara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting ada hubungan makin kuat. Hingga rasa cemburu lebih kuat menguasai dirinya daripada urusan yang ada kaitannya dengan ibunya. 

Seperti diketahui, Saraswati sempat menyaksikan bagaimana ibunya diseret masuk ke dalam goa oleh Pendekar 131 di Bukit Kalingga. Dan dia sendiri sempat pula ditotok oleh Pendekar 131 yang sebenarnya adalah Kiai Laras yang saat itu sedang menyamar sebagai murid Pendeta Sinting. 
Saraswati arahkan pandangan matanya pada Putri Kayangan. Lalu berkata. 

“Aku tanya. Kau punya urusan dengan pemuda itu?!” 

Putri Kayangan terdiam sesaat. Dia bimbang apa yang harus diutarakan. Karena sebenarnya dia tidak ada urusan apa-apa dengan murid Pendeta Sinting. 

“Baik! Aku tak memaksamu untuk bicara! Tapi aku menawarkan dua pilihan padamu!” 

Saraswati hentikan ucapannya. Matanya memandang tak senang. Sementara Putri Kayangan belum juga buka suara. Saraswati alihkan pandang matanya lalu teruskan bicara. 

“Kau segera angkat kaki dari sini atau menunggu aku selesaikan urusan! Tapi ingat, jangan berani buka mulut bicara apalagi ikut turun tangan! Kalau itu kau lakukan, kau membuka urusan denganku!” 

“Hem.... Aku sekarang yakin kalau gadis ini adalah pemuda berkumis yang tempo hari jumpa denganku. Dari bicaranya dia memang punya silang sengketa dengan murid Pendeta Sinting. Namun nada suaranya lebih menunjukkan kalau dia cemburu....” Putri Kayangan membatin dalam hati. 

Saat muncul tadi, dia masih menduga-duga siapa adanya Saraswati. Namun setelah menyimak ucapan Saraswati dan memperhatikan paras wajahnya lebih seksama, pada akhirnya Putri Kayangan bisa menebak siapa adanya Saraswati yang beberapa waktu lalu pernah jumpa dengannya. Hanya saja saat itu Saraswati tengah menyamar sebagai pemuda berkumis tipis. Setelah membatin begitu, Putri Kayangan yang tetap saja sunggingkan senyum walau nada ucapan Saraswati terdengar ketus, melangkah dua tindak ke belakang seraya berujar. 

“Kau tak usah khawatir aku akan ikut campur urusanmu. Namun kalau boleh, aku hanya ingin bicara! Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin melihat urusan berkembang jadi besar dengan salahnya turun tangan!”  

“Hem.... Kau sepertinya tahu banyak semua urusan orang! Padahal apa kau tahu dengan mata kepalamu sendiri apa yang dilakukan pemuda itu, hah?!” 

Putri Kayangan gelengkan kepala. Matanya sesekali melirik pada Pendekar 131 yang masih tegak tanpa buka mulut. 

“Bagus! Kau tidak melihat apa yang dilakukannya. Sementara aku melihat di depan mataku sendiri apa yang dilakukannya! Jadi aku tidak butuh ucapanmu! Dan jangan berdalih dengan mengatakan tidak mau melihat urusan jadi berkembang besar dengan salah turun tangan!” 

Saraswati tertawa sesaat. Lalu lanjutkan ucapan dengan suara makin keras. “Aku tidak gila hingga sampai salah turun tangan! 
Pemuda macam dia bukan saja pantas dihajar dengan tangan, namun adalah salah besar jika membiarkannya hidup!” 

“Apa yang kau lihat dengan mata belum tentu benar...,” ujar Putri Kayangan dengan suara kalem. 

“Kalau yang melihat dengan mata belum tentu benar, lalu bagaimana yang tidak melihat sendiri, hah?!” sahut Saraswati. 

“Maksudku bukan begitu....” 

“Lalu?!” bentak Saraswati. 

“Yang kau lihat saat itu mungkin saja dia. Namun itu hanyalah wajahnya saja! Orangnya lain.... Bukankah kau sendiri ketika bertemu denganku mengenakan wajah orang lain?!” 

Saraswati terdiam. Namun dadanya makin menggelegak panas. Sambil alihkan pandang matanya dia berkata. “Sekarang kutanya. Apa maumu sebenarnya?!” 

“Aku hanya ingin bicara....” 

“Bicara sama siapa?! Aku atau pemuda itu?!” 

“Sama kau dan dia....” 

“Dengar! Aku tak butuh bicara denganmu! Kalau kau mau bicara dengan dia, silakan! Tapi tunggu sampai urusanku dengannya selesai! Kau mengerti?!” 

“Urusanmu tak akan selesai kalau kau bersikap bermusuhan begitu rupa....” 

Saraswati tertawa mendengar kata-kata Putri Kayangan. “Aku tidak merasa bermusuhan! Aku hanya tak ingin kau ikut campur! Tapi kalau kau ikut campur, aku bersedia melayani apa maumu!” 

Ucapan tantangan Saraswati bukannya membuat Putri Kayangan marah, sebaliknya gadis ini gelengkan kepala perlahan. Lalu berujar. “Kau jangan salah paham. Aku tahu kau memiliki ilmu tinggi. Sementara aku hanya orang biasa tak punya kepandaian apa-apa! Aku hanya bisa bicara. Dan mungkin hanya itulah yang bisa kuperbuat!” 

“Kau sok merendah agar orang menjadi tertarik padamu! Hem.... Kau jangan khawatir kalau dia tertarik padaku! Mustahil itu terjadi, karena dia adalah salah satu manusia yang harus kulenyapkan!” 

Putri Kayangan tergagap dan salah tingkah dengan ucapan Saraswati. Wajahnya berubah dan tidak berani memandang pada murid Pendeta Sinting. Dia merasa seolah-olah Saraswati sudah tahu apa yang ada dalam benaknya. Di lain pihak, Pendekar 131 sendiri tampak terkejut dengan ucapan Saraswati. Dia hendak berucap, namun Saraswati sudah mendahului berkata. 

“Sekarang mungkin kau sudah lega! Namun jangan salahkan aku kalau saat ini juga kau sudah menjadi hitungan musuhku!” 

“Saraswati...,” sahut murid Pendeta Sinting yang sudah tidak sabar mendengar ucapan-ucapan keras Saraswati. “Yang kau temui di bukit itu bukan aku! Namun seseorang yang menyamar sebagai diriku!” 

“Silakan bicara panjang lebar, Pendekar! Tapi jangan harap ucapanmu bisa merubah apa yang akan kulakukan padamu! Dan jangan kira aku mundur meski kalian maju bersama!” 

“Saraswati...,” kata Putri Kayangan. “Kau terlalu jauh menduga padaku.... Aku tahu, ucapanmu tadi semata-mata hanya karena kau cemburu padaku!” Putri Kayangan kembali gelengkan kepala. “Tahu begini akhirnya, aku sangat menyesal berada di sini. Seandainya tidak ada aku, mungkin urusan ini bisa kalian selesaikan dengan cara baik-baik....” 

Saraswati kembali perdengarkan tawa panjang. “Perlu kau tahu. Urusan ini tidak akan pernah selesai hanya dengan bicara baik-baik! Dia atau aku yang nanti mampus, itulah yang menentukan selesai tidaknya urusan ini! Jadi kau salah besar jika mengatakan ucapanku karena cemburu! Adalah manusia biadab yang masih menaruh perasaan cemburu pada orang yang telah melakukan tindakan semena-mena pada ibunya!”  

“Hem.... Benar juga pesan Eyang Guru. Perempuan hanya mendatangkan masalah....” Diam-diam murid Pendeta Sinting teringat akan ucapan Pendeta Sinting. “Urusan satu belum selesai, kini timbul lagi masalah baru....” 

“Saraswati...,” kata Pendekar 131 setelah agak lama tidak ada yang buka mulut. “Kalau kau masih menganggap aku yang melakukannya, baiklah! Tapi kuharap kau memberi ku kesempatan beberapa lama. Kelak aku akan datang mencarimu dan kau bisa lakukan apa yang kau mau padaku!” 

“Enak saja kau bicara! Apa kau lupa? Bagaimana saat itu aku merengek-rengek agar kau melepaskan ibuku. Tapi apa yang kau lakukan?! Kau pura-pura tuli! Bahkan semakin kau buat-buat!” Saraswati berpaling pada murid Pendeta Sinting. “Tidak! Kesempatanmu sudah terlalu lama! Dan waktu itu kini sudah habis! Kecuali jika kau bersedia ikut ke Bukit Kalingga dan ibuku dalam keadaan baik!” 

Pendekar 131 menghela napas seraya memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri saat itu tengah memandang ke arahnya. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling berpandangan. Namun Putri Kayangan buru-buru alihkan pandangannya kala Saraswati menoleh. 

“Saraswati! Permintaanmu tidak bisa kulakukan!” kata murid Pendeta Sinting. “Karena aku telah tahu jika ibumu tidak ada di Bukit Kalingga!” 

“Itu berarti di antara kita tidak akan ada yang angkat kaki dari sini sebelum mampus salah satunya!” 

Selesai berucap begitu, Saraswati telah melompat dan langsung menyergap ke arah Joko dengan lepaskan pukulan ke arah kepala. Putri Kayangan berkelebat mundur. Sementara karena tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk menghindar, terpaksa dia angkat kedua tangannya menghadang pukulan Saraswati. 

Bukkk! Bukkk! 

Saraswati berseru tertahan. Sosoknya tersurut tiga langkah dengan paras berubah. Kedua tangannya yang baru saja berbenturan dengan kedua tangan murid Pendeta Sinting tampak bergetar keras. Di hadapannya, Joko meringis namun sosoknya hanya bergoyang-goyang. Saraswati lipat gandakan tenaga dalam. Sosoknya makin bergetar. Tanda tenaga dalam yang dikerahkan sudah sangat kuat. 

“Saraswati, tunggu!” seru Putri Kayangan. “Kita semua nanti akan menyesal karena termakan fitnah!” 

Saraswati memandang angker pada Putri Kayangan. “Siapa yang kau maksud kita?! Dengar, hanya manusia dungu yang merasa menyesal dengan kematiannya! Dan aku bukan manusia dungu! Aku bukan termakan fitnah! Tapi kau yang termakan perasaan!” 

“Dari tadi ucapanmu tidak enak....” 

“Hem.... Lalu kau mau apa?! Kau kuberi kesempatan untuk maju bersama-sama!” 

Putri Kayangan coba menekan perasaannya yang mau tak mau mulai jengkel. Di lain pihak, Saraswati makin dibuncah rasa cemburu. Sementara Pendekar 131 belum juga menemukan jalan untuk menyadarkan Saraswati. Ketika ditunggu sesaat Putri Kayangan tidak menyahut ucapannya juga tidak membuat gerakan, Saraswati arahkan pandang matanya pada Joko. Kedua tangannya diangkat. Dia melirik pada Putri Kayangan. Saat lain kedua tangannya bergerak. 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang angin dahsyat melesat ganas ke arah murid Pendeta Sinting. Kali ini Joko tidak tinggal diam. “Gadis keras kepala begini sesekali perlu diberi peringatan. Meski sebenarnya sayang ini harus terjadi!” Pendekar 131 angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyongsong gelombang angin yang datang. 

Wuutt! Wuutt! 

Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting mencuat dua gelombang yang perdengarkan deruan keras. Saat lain terdengar ledakan kala gelombang angin dari kedua tangan Saraswati bentrok dengan dua gelombang dari tangan Joko. Sesaat Saraswati rasakan pijakannya goyah. Kejap lain sosoknya mencelat mental hingga satu setengah tombak ke belakang. Gadis ini coba imbangi diri, namun gagal. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya melaju deras. 

Tapi dua jengkal lagi sosoknya terbanting di atas tanah, satu bayangan berkelebat dan menyambar pundak Saraswati. Meski sambaran ini tidak bisa menahan gerakan Saraswati hingga jatuh terduduk, namun setidaknya mampu menahan Saraswati dari terbanting di atas tanah. Saraswati cepat berpaling. Namun saat itu juga kembali kepalanya disentakkan ke lain jurusan dengan mulut perdengarkan suara ketus dan dingin. 

“Aku tak butuh bantuanmu! Dan jangan mimpi tindakanmu ini bisa menghalangi apa yang akan kulakukan padanya!” 

“Kau masih juga berprasangka buruk padaku. Padahal aku hanya tak ingin melihatmu terluka....” Yang menyahut dan baru saja menyelamatkan Saraswati ternyata adalah Putri Kayangan. 

“Cukup!” sentak Saraswati seraya bergerak bangkit. “Kalau kau tak ingin melihatku terluka, aku juga tak ingin mendengar kau bicara manis di depanku! Aku muak melihat dan mendengarnya! Kau dengar, aku muak!” 

Putri Kayangan menghela napas lalu melangkah menjauh sambil berkata perlahan. “Baiklah.... Tidak susah menuruti apa yang kau inginkan! Silakan kau lakukan apa yang kau mau....” 

Tanpa menyambuti ucapan Putri Kayangan, Saraswati kembali kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sementara di seberang sana, murid Pendeta Sinting terlihat ragu-ragu. Di satu sisi, kalau dia tidak menghadang pukulan Saraswati tentu dia akan terluka. Sementara kalau dia terpaksa menyambuti pukulan Saraswati, dia maklum apa yang akan terjadi pada gadis itu. Padahal dia tidak mau Saraswati terluka. 

Karena bukan saja akan menambah urusan, namun akan semakin menorehkan dendam di dada Saraswati. Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan, tiba-tiba di depan sana Saraswati telah membuat gerakan melompat. Kedua tangannya berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. 

“Biarkan dia hidup untuk buktikan ucapannya!” Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Satu bayangan berkelebat. Saat yang sama satu gelombang yang disertai pijakan bunga-bunga api melesat menghadang pukulan Saraswati. 

"Blamm!" Terdengar ledakan keras membuat tempat itu bergetar. Di atas udara terlihat hamburan gelombang bercampur tanah dan percikan bunga-bunga api. 

Saraswati terkesiap. Belum sempat dia melihat siapa adanya orang yang baru saja berteriak dan menghadang pukulannya, sosoknya telah terdorong deras ke belakang tapi tidak sampai terjatuh. Begitu dapat kuasai diri, Saraswati cepat berpaling sambil mendengus. Putri Kayangan dan Pendekar 131 ikut pula gerakkan kepala masing-masing ke kanan. 

“Siapa dia?!” desis Saraswati sambil memandang tajam ke depan. 

Putri Kayangan tampak pula kernyitkan dahi dengan dada bertanya-tanya. Sementara murid Pendeta Sinting terlihat angkat bahu dengan paras muka tegang. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. 

“Celaka.... Aku bisa kaku sendiri kalau tidak segera angkat kaki!” 

“Orang tak dikenal! Siapa kau?!” Saraswati sudah membentak dengan mata terus perhatikan pada sosok yang tegak diseberang depan. 

***
SEMBILAN
DIA adalah seorang gadis yang juga mengenakan pakaian warna merah. Wajahnya cantik. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi hingga lehernya yang putih jenjang terlihat jelas. Gadis berpakaian merah yang rambutnya dikuncir ini gerakkan kepala memandang pada Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Tapi cuma sesaat. Lalu alihkan pandang matanya pada Putri Kayangan. 

Agak lama dia memperhatikan. Sukar ditebak arti pandangannya. Namun Putri Kayangan sempat tidak enak tatkala gadis yang baru muncul alihkan pandangannya pada Saraswati yang seraya tersenyum agak sinis. Begitu pandang matanya beradu dengan mata Saraswati, gadis yang baru datang langsung buka suara. 

“Siapa diriku tidaklah begitu penting untuk kita bicarakan saat ini! Yang jelas kita punya urusan dengan orang yang sama!” 

“Dewi Seribu Bunga.... Rupanya dia belum juga percaya!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati mengenali siapa adanya gadis berpakaian merah yang baru saja muncul. 

Gadis ini bukan lain memang Dewi Seribu Bunga. Seorang gadis bekas murid tunggal seorang tokoh beraliran hitam bergelar Maut Mata Satu yang kemudian diambil murid oleh Dewi Es setelah terjadinya peristiwa di Pulau Biru. Seperti diketahui pula, Dewi Seribu Bunga punya ganjalan urusan dengan murid Pendeta Sinting karena dia pernah hampir saja diperkosa oleh Kiai Laras yang saat itu juga tengah menyamar sebagai Pendekar 131. Meski Dewi Seribu Bunga pernah diberi penjelasan oleh Dayang Sepuh dan Datuk Wahing jika bukan murid Pendeta Sinting yang melakukannya, namun gadis ini tampaknya belum percaya betul. 

“Apa urusanmu?!” Kembali Saraswati ajukan tanya. 

Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala sambil berucap. “Urusannya terlalu tidak pantas diucapkan di tempat ini!” 

Jawaban Dewi Seribu Bunga membuat Saraswati mulai geram. “Kau tidak mau sebutkan diri. Kau juga tak mau katakan urusannya! Jangan-jangan kau hanya manusia yang cari-cari alasan untuk bisa campuri urusanku! Terbukti kau sengaja menghalangi tanganku yang hendak membunuhnya!” 

“Kalau tindakanku kau anggap menghalangi niatmu, aku minta maaf! Tapi untuk sementara ini aku akan menghalangi siapa saja yang hendak membunuhnya!” 

“Hem.... Berarti kau tidak punya urusan dengannya! Justru kau membuat urusan denganku!” 

“Kalau aku akan menghalangi siapa saja yang hendak membunuhnya, bukan berarti aku tidak punya urusan dengannya! Aku hanya ingin dia hidup untuk sementara waktu dan membuktikan semua ucapannya! Setelah itu baru tanganku sendiri yang akan bertindak! Dan kalau kau masih punya urusan dengannya, kita bisa berbagi satu nyawanya!” 

“Hem.... Rasanya percuma aku bicara kalau keadaannya sudah begini!” gumam murid Pendeta Sinting pada dirinya sendiri. “Lebih baik aku segera menyingkir!” Joko melirik ke samping kanan kiri lalu memandang dengan ekor matanya pada ketiga gadis di seberang sana. 

“Kita perlu bicara sebentar, Pendekar 131” Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga sudah menegur tatkala dia menangkap gelagat. 

Pendekar 131 Joko Sableng urungkan niat yang hendak berkelebat. Namun dia tidak berusaha buka mulut. 

“Kau punya waktu untuk buktikan bahwa bukan kau yang melakukannya! Tapi jangan main-main dengan kesempatan ini! Hampir semua orang rimba persilatan sekarang telah tahu tentang dirimu! Kalaupun kau lolos dari tanganku dan tangan gadis berbaju kuning itu, kau tak akan lolos dari tangan orang yang kini mengincar nyawamu!” 

“Hem.... Hanya itu yang perlu kau bicarakan?! Atau masih ada peringatan lagi?” tanya Joko tanpa memandang pada Dewi Seribu Bunga atau Saraswati. Sebaliknya dia arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. Membuat Putri Kayangan tidak enak pada Saraswati maupun Dewi Seribu Bunga. Namun diam-diam gadis ini juga merasa gembira diperhatikan begitu rupa. 

Karena Dewi Seribu Bunga tidak menjawab, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tubuh dan melesat pergi. Bersamaan itu Saraswati melompat ke arah Dewi Seribu Bunga seraya berkata. 

“Terlalu enak jika dia dibiarkan pergi begitu saja! Dan aku tak akan tinggal diam!” 

Dewi Seribu Bunga mencekal lengan Saraswati yang hendak berkelebat mengejar. “Untuk saat ini biarkan dia pergi! Ini tak akan lama! Mula-mula aku memang punya perasaan sama sepertimu. Tapi sekarang aku mulai percaya pada ucapannya meski masih perlu bukti nyata!” 

Entah apa yang terpikir dalam benak Saraswati. Yang jelas dia tidak lagi berniat mengejar murid Pendeta Sinting yang sudah melangkah jauh. “Kurasa sekarang saatnya kau mengatakan siapa dirimu!” Tiba-tiba Saraswati buka mulut dengan mata memandang jauh ke arah lenyapnya sosok Pendekar 131. 

“Aku harus segera pergi. Kelak kalau ada kesempatan yang baik, kita akan lanjutkan pembicaraan ini!” sahut Dewi Seribu Bunga seraya melangkah tinggalkan tempat itu. 

Namun gadis ini mendadak hentikan langkah. Kepalanya memutar. Saat yang sama Saraswati membuat gerakan seperti Dewi Seribu Bunga. Karena ternyata Putri Kayangan juga sudah pergi tinggalkan tempat itu. 

“Siapa gadis itu?!” Yang ajukan tanya Dewi Seribu Bunga. 

“Kelak kau akan mengetahui sendiri!” jawab Saraswati. 

Dewi Seribu Bunga berpaling memandang pada Saraswati. Saraswati balas memandang. Namun keduanya sama kancingkan mulut. Tanpa buka suara, akhirnya Dewi Seribu Bunga teruskan langkah tinggalkan tempat itu. Saraswati pandangi bagian belakang sosok Dewi Seribu Bunga. Seraya tersenyum dingin dia berlalu dengan mengambil jurusan berlawanan. 

***

Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting dan ketiga gadis cantik yang dalam hati masing-masing sebenarnya punya perasaan hampir sama, yakni tertarik pada Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan Setan Liang Makam yang dadanya dilanda gemuruh luar biasa saat mengetahui Kembang Darah Setan yang diberikan padanya oleh Kiai Laras yang saat itu menyamar sebagai Pendekar 131 adalah Kembang Darah Setan palsu. 

Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan larinya dengan mulut megap-megap karena dia baru saja berlari laksana orang kesetanan. Sambil berlari, dia terus berpikir, ke mana harus mencari Pendekar 131 yang menurutnya sudah membuat dua kesalahan besar dan tak mungkin diampuni. 

“Hem.... Sialan keparat betul! Rahasia Kampung Setan sudah kuketahui! Tapi nyatanya aku belum bisa menggenggam semuanya! Ini gara-gara ulah Pendekar 131 keparat itu! Bisa-bisanya dia memalsu Kembang Darah Setan! Ke mana sekarang aku harus mencari bangsat sialan itu?!” 

Selagi Setan Liang Makam berpikir, agak jauh di belakang sana, satu sosok tubuh tampak berkelebat lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Dia adalah seorang gadis berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah. Begitu berada di balik batangan pohon, si gadis segera pentangkan mata dan memandang tak berkesip ke arah Setan Liang Makam. Karena saat itu Setan Liang Makam tegak membelakangi, si gadis belum bisa menebak dan melihat bagaimana raut wajah orang. Dia hanya bisa memastikan jika orang itu adalah seorang laki-laki. 

“Sikap orang itu sepertinya sedang kalut.... Siapa dia sebenarnya?! Hem.... Apa aku harus bertanya padanya ke mana arah yang harus kuambil jika ingin ke Kampung Setan?! Kampung Setan.... Aku tetap harus segera ke sana! Kembang Darah Setan yang dikabarkan orang berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng ternyata omong kosong!

Pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Setan. Dan pasti Kembang Darah Setan masih berada di Kampung Setan seperti keterangan yang selama ini kudengar.... Dengan membekal pedang sakti, tentu aku lebih mudah memasuki Kampung Setan...!” Tangan gadis berpakaian merah bergerak ke balik pakaiannya. Dia merasakan tangannya menyentuh sebuah pedang. Bibirnya tersenyum. 

“Pedang Tumpul 131 tentu bukan senjata sembarangan. Benda ini kudengar pernah menjadi rebutan orang dunia persilatan! Dan pedang ini kini berada di tanganku.... Hem.... Sebaiknya aku bertanya pada orang itu! Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk arah Kampung Setan....” 

Memikir sampai di situ gadis berpakaian merah segera beranjak dari balik batangan pohon. Namun tiba-tiba Setan Liang Makam yang berada di depan sana tengadahkan kepala dan memutar tubuh. Hingga si gadis urungkan niat dan buru-buru rapatkan tubuh ke batangan pohon. 

“Aku harus berhati-hati dalam urusan ini.... Aku harus yakinkan dahulu siapa adanya orang!” kata si gadis dalam hati lalu arahkan pandang matanya kembali ke arah Setan Liang Makam. Mendadak paras muka gadis berpakaian merah berubah. Matanya mementang besar. 

“Setan Liang Makam!” desis gadis berpakaian merah mengenali siapa adanya orang yang tegak di depan sana. “Apakah aku harus bertanya padanya?!” 

Setelah memikir agak lama, akhirnya dengan tabahkan hati si gadis memutuskan untuk keluar dari balik batangan pohon. Saat yang sama, di depan sana Setan Liang Makam kembali telah putar tubuh hingga sosoknya membelakangi si gadis. Gadis berpakaian merah melangkah dari balik pohon ke arah Setan Liang Makam dengan mata tak berkesip. Namun hingga jarak antara dia dengan orang yang didekati tinggal tujuh langkah, si gadis tidak melihat Setan Liang Makam membuat gerakan atau perdengarkan suara. 

“Dari cara berkelebatnya tadi, adalah aneh kalau dia tidak merasakan kehadiranku di belakangnya! Atau ini karena pikirannya sedang dalam keadaan kalut?!” seraya menduga-duga, gadis berpakaian merah hentikan langkah. Dia menunggu beberapa saat dengan dada makin berdebar teringat akan keangkeran paras wajah orang. 

Namun setelah ditunggu lama orang di depannya tidak juga perdengarkan teguran, gadis berpakaian merah habis kesabaran. Apalagi dia mengira orang itu pasti tahu kehadirannya. Gadis berpakaian merah buka mulut. Namun belum sampai perdengarkan suara, tiba-tiba Setan Liang Makam telah balikkan tubuh seraya membentak garang. 

“Siapa kau?! Mengapa dari tadi mengintip ku?!” 

Gadis berpakaian merah tersentak kaget. Mulutnya yang menganga, mengatup, dan terkancing rapat. Hanya sepasang matanya yang pandangi orang. Sementara itu begitu melihat gadis di hadapannya, Setan Liang Makam mendengus keras. Matanya yang melotot memperhatikan sesaat lalu mengedar berkeliling. 

“Ke mana empat anjing-anjing gundulnya?! Apa mereka telah mampus?!” kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu angkat suara. 

“Kau tentu masih ingat ucapanku, Gadis Sialan! Hamparan bumi akan kubuat sempit untuk tempatmu bersembunyi!” Tiba-tiba Setan Liang Makam tertawa ngakak. Lalu lanjutkan ucapan. “Kau sekarang bisa buktikan sendiri ucapanku! Kau harus jumpa denganku lagi!” 

Gadis berpakaian merah kernyitkan kening. “Aku memang pernah bertemu dengan manusia ini, tapi dari nada ucapannya jelas dikiranya aku adalah Beda Kumala.... Hem.... Pasti ada ganjalan antara dia dengan Beda Kumala. Bagaimana sekarang? Apakah aku akan bertanya padanya tentang di mana Kampung Setan?! Ah.... Sudah telanjur. Aku akan bertanya. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan! Dan aku akan berpura-pura sebagai Putri Kayangan!” 

Setelah membatin begitu, gadis berpakaian merah yang sebenarnya bukan lain adalah Pitaloka, gadis yang telah berhasil membawa Pedang Tumpul 131 milik murid Pendeta Sinting, buka suara. “Senang bisa bertemu denganmu lagi. Tidak keberatan kalau kau memberi satu keterangan padaku?!” 

Pertanyaan Pitaloka membuat Setan Liang Makam kembali perdengarkan suara gelakan tawa panjang seraya berucap. “Keterangan telah membuat hidupku sengsara!” 

“Itu karena kau salah memberi keterangan pada orang!” sahut Pitaloka. “Aku minta keterangan bukan demi kepentingan sendiri. Mungkin kau nanti bisa juga mengambil keuntungan!” 

“Aku tak butuh tawar menawar keuntungan!” 

“Kau yakin tidak akan menyesal?!” 

“Jahanam! Kau yang minta keterangan, mengapa aku harus menyesal?!” 

“Ah, sudahlah.... Kalau kau keberatan memberi keterangan, aku tidak memaksa. Hanya saja aku perlu memberi penjelasan padamu!” 

“Penjelasan apa?!” 

“Kita memang pernah bertemu di Bukit Kalingga! Tapi kau jangan kaget bila bertemu orang sepertiku, tapi bukan aku!” ujar Pitaloka seraya tersenyum. 

Kening Setan Liang Makam bergerak-gerak, tanda dia tengah berpikir. “Sikapnya memang lain.... Aneh.... Beberapa saat ini aku menemukan orang yang wajahnya hampir sama...! Satunya lagi si keparat jahanam pemuda itu! Kini gadis ini...! Tapi apa peduliku?! Dia gadis yang kutemui beberapa waktu lalu atau bukan yang jelas gadis itu....” Belum sampai Setan Liang Makam teruskan membatin, Pitaloka telah angkat suara lagi.

“Kulihat kau tadi tengah memikirkan sesuatu. Mau katakan apa yang membuatmu kalut?!” 

Setan Liang Makam sudah hendak membentak. Namun diurungkan saat terlintas pikiran jika saat ini dia tengah mencari Pendekar 131. 

“Kau tengah mencari seseorang?!” Entah karena apa, tiba-tiba Pitaloka ajukan tanya begitu. Gadis ini hanya berpikir, jika seorang berilmu tengah dilanda kekalutan, maka urusannya adalah dia punya ganjalan dengan seseorang yang belum bisa diselesaikan. 

“Bukan hanya seorang yang kucari!” Setan Liang Makam menyahut. 

“Hem.... Jawabannya membuktikan kalau dia punya beberapa orang yang dianggapnya musuh.” Pitaloka simpulkan ucapan Setan Liang Makam lalu bertanya. “Mau sebutkan siapa mereka?!” 

“Apa urusanmu hendak ikut campur?!” 

“Aku hanya bertanya.... Siapa tahu aku mengetahui orang yang tengah kau cari!” 

“Sayang.... Aku sudah tidak percaya lagi pada mulut orang!” 

“Itu hanya akan membuatmu makin kalut dan menemui jalan buntu! Dan perlu kau tahu, aku bukanlah manusia yang suka bicara dusta!” 

“Aku sudah sering mendengar sumpah busuk!” 

Pitaloka tersenyum. “Baiklah.... Kau tidak mau mengatakannya. Berarti tak ada gunanya kita teruskan pembicaraan ini!” Pitaloka putar diri. 

Namun bersamaan dengan itu mendadak Setan Liang Makam tertawa pendek sambil berkata. “Kau kira bisa pergi begitu saja?!” 

Pitaloka urung langkahkan kaki. Lalu perdengarkan suara agak keras. “Di antara kita tidak ada silang sengketa! Kuharap kau tidak memulai silang sengketa itu!” 

“Silang sengketa telah kau mulai beberapa waktu yang lalu!” 

“Hem.... Lalu apa maumu sekarang?!” 

“Nyawamu!” 

Seakan maklum dengan siapa kini berhadapan, Pitaloka tidak mau bertindak ayal. Dia cepat selinapkan tangan ke balik pakaiannya. Saat tangan itu ditarik keluar, tampak sebuah pedang bersarung warna kuning yang pancarkan cahaya. Pitaloka cepat balikkan tubuh menghadap Setan Liang Makam. 

“Kau kira pedang butut itu mampu menyelamatkan nyawamu?! Ha Ha Ha...! Daripada kau rasakan bagaimana sakitnya sedang sekarat, lebih baik kau cabut pedang itu dan bunuh diri! Itu akan menyelamatkanmu dari merasakan nikmatnya sekarat!” 

Pitaloka tersenyum dingin. Perlahan-lahan tangan kirinya bergerak mencekal sarung pedang. Pada saat yang sama tangan kanannya bergerak menarik gagang pedang keluar dari sarungnya. Melihat apa yang dilakukan Pitaloka, Setan Liang Makam makin keraskan tawanya. Sambil gerakkan kepala tengadah, dia berkata. 

“Bagus! Gadis cantik dan muda sepertimu memang terlalu sayang jika harus rasakan nikmatnya meregang nyawa! Bunuh diri adalah satu-satunya jalan terbaik!” 

“Adalah tindakan bodoh jika turuti ucapanmu! Aku mengeluarkan pedang ini bukan untuk bunuh diri! Tapi dengan pedang ini aku akan tentukan nasibmu!” 

Setan Liang Makam terus tertawa dan berkata. “Kau tidak mau tahu tingginya langit dalamnya lautan! Kau tidak melihat siapa yang tengah tegak di hadapanmu!” 

“Justru matamu yang buta tidak mau melihat pedang apa yang ada di tanganku! Kau boleh punya ilmu setinggi langit selebar lautan! Tapi pedang di tanganku jangan kira tak mampu menghadangnya!” 

Sepasang mata Setan Liang Makam yang memandang ke hamparan langit tiba-tiba melihat cahaya berkilau kekuningan semburat di udara. Laksana disentak setan, kepala Setan Liang Makam berpaling ke arah Pitaloka. Pitaloka tegak dengan tangan kiri memegang sarung pedang sementara tangan kanan menghunus tinggi-tinggi sebuah pedang berwarna kekuningan yang pancarkan cahaya berkilau hingga untuk beberapa saat cucu Nyai Suri Agung itu harus sipitkan mata. 

“Buka matamu lebar-lebar! Lihat pedang di tanganku!” 

Entah karena apa, Setan Liang Makam turuti ucapan Pitaloka. Dia perhatikan dengan seksama pedang yang pancarkan cahaya kekuningan di tangan Pitaloka. Sebuah pedang bergagang hijau dari batu giok yang tidak begitu panjang dan bagian ujungnya tampak tumpul. Tiba-tiba Setan Liang Makam pentang mata makin besar ketika melihat angka 131 yang terdapat pada kerangka pedang. 

***
SEPULUH
PEDANGNYA tumpul. Pada kerangkanya terdapat angka 131. Pasti pedang itu masih ada hubungannya dengan pemuda jahanam itu!” Berpikir begitu, Setan Liang Makam segera perdengarkan bentakan keras. “Apa hubunganmu dengan Pendekar 131 keparat itu, hah?!” 

“Bagus! Berarti kau telah mengenalinya!” ujar Pitaloka. “Sebenarnya aku ingin memberi keterangan padamu. Namun kupikir tidak ada gunanya memberi keterangan pada manusia yang nasibnya hampir sampai!” 

Setan Liang Makam mendengus. Tulang rahangnya terangkat. Saat lain cucu Nyai Suri Agung ini melesat ke udara. Di atas udara kedua tangannya bergerak. 

Wuutt! Wuutt! 

Pitaloka merasakan dorongan gelombang angin dahsyat hingga sosoknya sesaat bergoyang-goyang. Pitaloka rupanya sadar, kalau gelombang sebenarnya belum sampai tapi biasnya telah membuat sosoknya bergoyang, tentu orang yang dihadapi memiliki tenaga dalam luar biasa tinggi. Sadar begitu, Pitaloka cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu didahului bentakan garang, sosoknya melesat ke depan menyongsong tubuh Setan Liang Makam dengan tangan kanan babatkan Pedang Tumpul 131. 

Namun gerakan Pitaloka tertahan karena saat itu gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan Setan Liang Makam telah memburu ke arahnya. Pitaloka tak hendak urungkan niat. Dia tetap kelebatkan tangan kanan yang menggenggam pedang. 

Wuutt! 

Terdengar gemuruh hebat. Cahaya kuning berkiblat angker. Gelombang angin yang datang dari arah depan Pitaloka laksana ditebas kekuatan dahsyat. Hingga gelombang itu langsung buyar semburat. Setan Liang Makam terbelalak dan merasakan sosoknya terdorong. Dia cepat kuasai diri lalu melayang turun dengan menyeringai. Namun sejauh ini dia masih kancingkan mulut. Hanya matanya yang memandang tak berkesip pada pedang di tangan Pitaloka. 

Pitaloka tersenyum mengejek. “Kau sekarang tahu siapa yang kau hadapi! Membunuhmu saat ini semudah membalik telapak tangan! Tapi kau tak akan rasakan kematian kalau kau mengatakan silang sengketa apa antara kau dan Pendekar 131!” 

“Bicaramu terlalu tinggi, Keparat! Aku jadi ingin bukti apa benar pedang butut ini mampu melukai ku!” Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. 

“Tahan!” Pitaloka berseru namun tangan kanannya yang memegang pedang tetap diacungkan ke atas. “Perlu kau tahu. Pemuda pemilik pedang ini punya urusan besar denganku! Dari makianmu tadi, kurasa dia salah seorang yang kau cari! Benar?!” 

“Kau tak akan mendapat jawaban!” hardik Setan Liang Makam. 

Pitaloka sunggingkan senyum. “Kalau aku dengan mudah bisa mengambil pedangnya, bagiku mudah pula mengambil selembar nyawanya! Kalau kau memang mencarinya, aku bisa tunjukkan!” 

Sesaat Setan Liang Makam terdiam. Sementara Pitaloka terus membatin. “Kalau benar manusia ini mencari Pendekar 131 pasti masih ada kaitannya dengan Kembang Darah Setan. Hem.... Siapa tahu dari mulutnya aku mendapat keterangan berharga....” 

Memikir begitu, akhirnya Pitaloka buka mulut setelah ditunggu Setan Liang Makam tidak juga perdengarkan suara. “Saat ini, siapa pun juga pasti tengah mencari pemuda itu! Dan aku tahu pasti apa alasan mereka mencarinya! Apa kau mencari dengan alasan yang sama seperti mereka?!” 

Walau dengan mimik marah dan seolah enggan buka mulut, namun akhirnya Setan Liang Makam jawab juga pertanyaan Pitaloka. “Mereka hanya orang-orang dungu yang hendak memiliki benda orang lain!” 

“Ucapanmu aneh.... Apa maksudmu?!” tanya Pitaloka tak mengerti maksud ucapan Setan Liang Makam. 

“Mereka yang mencari pemuda itu bermaksud memiliki benda yang kini di tangannya! Tapi aku tidak! Aku mencarinya justru ingin mengambil benda milikku yang sekarang ada di tangannya!” 

Pitaloka kerutkan dahi. Namun tak lama kemudian tertawa panjang. “Kau tidak salah ucap?!” 

Setan Liang Makam arahkan telunjuk jari tangan kirinya tepat ke arah Pitaloka seraya berdesis tajam. “Sekali lagi kau tertawakan diriku, lidahmu akan ku cabut!” 

Namun percaya pedang di tangannya mampu mengatasi orang, Pitaloka tidak pedulikan ancaman Setan Liang Makam. Malah dia makin keraskan tawanya. Lalu berujar. “Mau katakan benda apa yang sekarang kau katakan berada di tangan Pendekar 131?” 

“Kembang Darah Setan!” 

Pitaloka sesaat putuskan tawanya. Namun cuma sekejap. Lain saat kembali tawanya meledak. Malah kini ganti tangannya yang menunjuk pada Setan Liang Makam seraya berkata. “Canda mu terlalu berlebihan.... Siapa percaya dan mana mungkin Kembang Darah Setan itu milikmu?!”p 

“Diam!” teriak Setan Liang Makam. 

Namun lagi-lagi Pitaloka tak hiraukan teriakan Setan Liang Makam. Dengan terus menunjuk dia kembali berkata. “Namamu memang ada setannya, namun jangan kau hubungkan itu dengan Kembang Darah Setan! Wajahmu memang pantas dikatakan keturunan setan, namun terlalu lucu jika kau mengaku Kembang Darah Setan adalah milikmu!” 

Setan Liang Makam tak bisa menahan sabar. Tangan kirinya yang tadi menjulur ke depan ditarik pulang. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan melepas satu pukulan. 

“Tunggu!” seru Pitaloka tetap siap babatkan pedang. “Kalau kau memang benar-benar pemilik Kembang Darah Setan, tentu kau tahu mana arah Kampung Setan!” 

Setan Liang Makam urungkan lepas pukulan. Namun dia melangkah mendekat seraya berkata. “Aku bukan saja tahu mana arah Kampung Setan! Tapi aku tahu seluk beluk Kampung Setan! Karena aku lahir di sana!” 

Pitaloka ragu-ragu. Lalu coba mengorek. “Semua orang bisa mengatakan tahu Kampung Setan malah tahu seluk beluknya. Namun tidak satu pun dari mereka yang bisa buktikan ucapannya! Jangan-jangan kau salah seorang dari mereka...!” 

Setan Liang Makam tertawa pendek bernada mengejek. “Aku tahu apa maksud ucapanmu! Kau memancingku untuk mengatakan tentang Kampung Setan! Aku bukan orang bodoh. Aku akan mengatakannya padamu tapi kau harus penuhi dua permintaanku!” 

Pitaloka tersenyum. Sarung pedang di tangan kirinya dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu perlahanlahan tangan itu bergerak ke dadanya. Sepasang matanya melirik ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam besarkan matanya demi melihat bagaimana perlahan-lahan tangan kiri Pitaloka bergerak membuka kancing pakaiannya, hingga tak berapa lama kemudian, sembulan kedua payudaranya yang mencuat kencang terlihat jelas. 

Dada Setan Liang Makam berdegup kencang. Darahnya mulai menggelegak. Apalagi saat Pitaloka teruskan gerakan tangan kirinya singkapkan pakaian bagian kiri dadanya yang telah terbuka. Hingga untuk sesaat Setan Liang Makam bisa melihat dada si gadis yang putih mulus dan kencang. 

Namun Pitaloka rupanya bisa membuat penasaran orang. Karena begitu pakaian bagian dadanya tersingkap dan dadanya sebelah kiri tidak tertutup lagi, telapak tangan kirinya segera bergerak menakup. Lalu tangan kanannya yang masih menggenggam pedang ikut pula bergerak menutup. Hingga meski dadanya telah tersingkap, Setan Liang Makam tidak bisa melihat dada kencang milik si gadis. Tapi hal itu makin membuat darahnya bergemuruh. 

Saking tidak bisa menahan gelegak, Setan Liang Makam melangkah mendekat. Pitaloka diam dan hanya memandang dengan kepala sedikit di tengadahkan dan mulut setengah terbuka. Begitu Setan Liang Makam berjarak lima langkah, Pitaloka pejamkan mata seraya berujar pelan. 

“Kau bisa menikmati yang lebih dari apa yang kau lihat. Tapi ceritakan dahulu tentang Kembang Darah Setan serta tunjukkan padaku arahnya Kampung Setan...!” 

Setan Liang Makam hentikan gerakan kakinya. Mulutnya membuka. Pitaloka pasang telinga baik-baik. Bibirnya sunggingkan senyum. “Dua permintaanku bukan apa yang kau perlihatkan!” 

Senyum Pitaloka pupus. Sepasang matanya serentak terbuka. Dia sama sekali tidak menduga ucapan Setan Liang Makam. Dia tadi menyangka jika permintaan Setan Liang Makam pasti tak akan jauh dari apa yang kini diperlihatkan pada cucu Nyai Suri Agung itu. Namun Pitaloka masih juga belum percaya. Dengan sedikit membuka takupan telapak tangannya yang menutupi dadanya, dia berucap. 

“Kau mungkin masih malu-malu. Percayalah, di sini tidak ada orang lain!” 

“Keterangan yang kau minta terlalu tinggi jika imbalannya hanya dada dan tubuhmu!” 

Pitaloka tersentak kaget. Belum sampai dia buka mulut bertanya, Setan Liang Makam telah mendahului. “Karena kau telah membuatku menginginkan mu, permintaanku bertambah satu lagi kalau kau ingin keteranganku!” Setan Liang Makam arahkan pandang matanya pada telapak tangan Pitaloka yang menutup dadanya. Lalu lanjutkan ucapan. “Pertama, kau harus katakan di mana Pendekar 131. Kedua, kau harus serahkan pedang di tanganmu. Dan ketiga, kau harus melayaniku sekarang juga!” 

“Gila!” desis Pitaloka. Paras wajah gadis yang sebenarnya adalah saudara kembar Beda Kumala yang dalam kancah rimba persilatan dikenal sebagai Putri Kayangan ini berubah merah padam. Tapi Pitaloka cepat berpikir dan berkata. 

“Ketiga permintaanmu tidak sulit dipenuhi.... Tapi kau yang harus terlebih dahulu penuhi permintaanku.... Kau tak usah khawatir aku akan ingkar janji. Sebagai buktinya, aku akan letakkan pedang ini....” Pitaloka tutupkan kembali dadanya yang terbuka. Lalu memandang pada Setan Liang Makam. “Kuharap kau tidak berlaku licik!” 

Habis berkata begitu, Pitaloka ayunkan Pedang Tumpul 131 ke atas tanah. Pedang itu perdengarkan deruan angker. Tanah semburat ke udara dan bergetar. Tatkala semburatan tanah telah luruh, pedang itu tampak tegak menancap di atas tanah yang di kanan kirinya terbongkar. 

“Sekarang saatnya kau menjelaskan apa yang kuinginkan!” kata Pitaloka seraya melirik pada Setan Liang Makam. 

Setan Liang Makam memandang silih berganti pada si gadis dan Pedang Tumpul 131 yang menancap di atas tanah. Setelah tepis perasaan ragu-ragu, dia akhirnya berkata juga. “Kalau kau ingin ke Kampung Setan, pergilah lurus ke jurusan timur. Di sana akan kau temukan hutan belantara. Kau harus melewati hutan itu hingga perbatasan. Di sana kau akan melihat beberapa batu karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka. Itulah Kampung Setan!” 

Setan Liang Makam sesaat hentikan keterangan. Matanya kembali memandang pada pedang yang menancap di atas tanah. Seolah tak sabar, dia maju mendekat. Namun sebelum kakinya bergerak melangkah, Pitaloka sudah buka mulut. 

“Kau belum menerangkan semua yang kuinginkan! Harap tidak bergerak dahulu!” 

“Tapi jangan coba-coba berlaku licik padaku!” ucap Setan Liang Makam seraya urungkan niat melangkah.  

Pitaloka hanya tersenyum tanpa sambuti ucapan Setan Liang Makam. Setan Liang Makam melirik lalu mulai perdengarkan suara. “Aku adalah generasi terakhir penghuni Kampung Setan. Jadi jelas kalau Kembang Darah Setan adalah milikku! Hanya saja saat itu aku bertindak ceroboh. Dua orang kepercayaan ku berkhianat.

Hingga pada akhirnya aku masuk ke dalam lobang makam selama hampir tiga puluh enam tahun! Namun hari kematianku rupanya belum datang. Karena pada saat yang ditentukan, muncul seorang penolong yang mengeluarkan aku dari tempat celaka itu! Sayangnya si penolong meminta imbalan terlalu tinggi! Dia meminta Kembang Darah Setan.” 

Setan Liang Makam hentikan penuturannya sejenak. Kepalanya tengadah lalu sambung keterangan. “Karena aku tak mau mati sia-sia, terpaksa aku menyetujui imbalan yang diminta orang! Aku bisa keluar dari makam terkutuk namun Kembang Darah Setan lepas dari tanganku!” 

“Siapa penolongmu itu?!” 

“Siapa lagi kalau bukan pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng!” 

Pitaloka tertawa lirih, membuat Setan Liang Makam tak enak. “Kau tidak mengarang cerita?!” 

“Kau lihat tubuhku! Ini gara-gara terkubur di makam celaka itu!” 

“Bukan itu maksudku.... Benar si penolong yang meminta Kembang Darah Setan itu adalah Pendekar 131?!” 

“Rimba persilatan sekarang sudah tahu siapa yang memegang Kembang Darah Setan! Dan memang pemuda jahanam itu yang mengambilnya!” 

“Bagaimana ini?! Aku telah meneliti sekujur tubuhnya. Tapi aku tidak menemukan Kembang Darah Setan! Apa dia sengaja meletakkan benda itu di satu tempat?! Tapi itu tak mungkin! Lalu bagaimana dia bisa mengatakan kalau Pendekar 131 yang mengambilnya?!” 

Diam-diam Pitaloka membatin. Seperti diketahui, dengan caranya sendiri, Pitaloka berhasil membuat pendekar murid Pendeta Sinting itu lemas tak bisa bergerak. Lalu gadis cantik ini mencari Kembang Darah Setan pada tubuh Pendekar 131. Tapi dia tidak menemukan Kembang Darah Setan. Hingga pada akhirnya dia hanya mengambil Pedang Tumpul 131. 

“Aku ragu pada keteranganmu!” ujar Pitaloka begitu terlihat Setan Liang Makam kembali hendak melangkah ke arah pedang. 

Setan Liang Makam menatap angker dengan rahang terangkat. “Persetan kau percaya atau tidak! Yang jelas aku telah menerangkan apa adanya! Dan jangan berani cari alasan setelah kau dengar apa yang kau inginkan!” 

Pitaloka gelengkan kepala. “Aku orang yang pegang janji. Namun perlu kau ketahui. Aku telah mendapatkan Pedang Tumpul 131! Kalau seandainya Kembang Darah Setan berada di tangannya tentu aku tahu. Tapi aku tidak melihatnya!” 

“Itu urusanmu! Yang jelas dialah manusianya yang mengambil Kembang Darah Setan dari tanganku! Da kau jangan lupa! Pemuda itu bukan saja berilmu tinggi tapi berakal cerdik!” 

“Hem.... Kau menduga Kembang Darah Setan di simpannya di satu tempat?!” 

“Bukan itu saja. Tapi dia juga membuat Kembang Darah Setan palsu! Dan aku telah berhasil dikecohnya!” Mata Setan Liang Makam melotot merah. Tulang pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Amarahnya kembali menggelegak teringat bagaimana dia dikecoh oleh Kembang Darah Setan palsu. Hingga begitu matanya kembali menumbuk pada pedang yang menancap di tanah, dia segera melompat. 

Namun Pitaloka tidak tinggal diam. Hampir bersamaan, dia juga melompat. Setan Liang Makam berseru marah namun teruskan lompatannya dan serta-merta tangan kanannya bergerak menyambar ke arah Pedang Tumpul 131. Pitaloka tak mau ketinggalan. Begitu sosoknya bergerak, tangan kanan kirinya segera pula berkelebat menyambar ke arah pedang. 

Kini tampak tiga buah tangan sama bergerak cepat ke arah pedang. Karena kelebatan tangan itu bukan kelebatan biasa, biasnya sempat membuat bagian atas Pedang Tumpul 131 bergoyang-goyang pulang balik dengan pancarkan cahaya angker kekuningan serta suara deru dahsyat. Karena merasa kedua tangan Pitaloka akan mendahului, Setan Liang Makam berubah pikiran.

Dia urungkan niat mengambil pedang, sebaliknya dihantamkan pukulan ke arah kedua tangan Pitaloka. Di lain pihak, Pitaloka sendiri khawatir kalau tangan Setan Liang Makam mendahului. Hingga dia cepat alihkan arah kelebatan kedua tangannya. Apalagi saat mengetahui Setan Liang Makam hendak menghadang kedua tangannya. 

Bukkk! Bukkk! 

Dua benturan keras terdengar. Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya tersurut lima langkah ke belakang dengan kedua tangan bergetar dan tampak merah. Di seberang sana, Setan Liang Makam terjajar tiga langkah. Paras wajahnya yang angker makin tampak menakutkan. 

"Ternyata mulutmu tidak beda bahkan lebih busuk dari yang lainnya!” teriak Setan Liang Makam. Kedua tangannya kini telah siap melepas pukulan. 

“Aku masih meragukan keteranganmu! Karena aku tidak melihat Kembang Darah Setan di tangan Pendekar 131! Dan tidak mungkin benda seperti Kembang Darah Setan disimpan di satu tempat! Kau masih tidak jujur dalam hal ini! Mungkin kau sengaja menebar berita bohong ini dengan tujuan agar orang yang sebenarnya kau cari tidak banyak yang memburunya! Karena semua orang sudah keburu percaya jika Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar 131!” 

“Keparat jahanam!” teriak Setan Liang Makam makin marah. 

Namun cucu Nyai Suri Agung ini tidak mau lengah. Dia kini telah tahu bagaimana kedahsyatan Pedang Tumpul 131. Maka dia lebih tertarik untuk segera menyambar pedang itu daripada melayani Pitaloka. Karena dia maklum, dengan pedang di tangan Pitaloka, setidaknya akan makin sulit menghadapi si gadis. Meski dia percaya, ilmu yang dimilikinya masih mampu menghadang lawan yang bersenjatakan Pedang Tumpul 131. 

Setan Liang Makam melirik pada Pedang Tumpul 131. Rupanya Pitaloka dapat menangkap gelagat orang. Hingga dia tidak pedulikan pada kedua tangan Setan Liang Makam yang masih membuat gerakan seperti hendak lepaskan pukulan. Sebaliknya dia kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk bisa berkelebat mendahului Setan Liang Makam. 

Selagi pikiran kedua orang ini tengah tertuju bagaimana bisa berkelebat mendahului lainnya, tiba-tiba terdengar orang tertawa. Pitaloka terkesiap. Setan Liang Makam tersentak. Kepala masing-masing bergerak bersamaan menoleh. 

***

SEBELAS
PITALOKA langsung tercekat. Bulu kuduknya seketika meremang dan dingin. Kedua lututnya tanpa sadar bergerak mundur. Betapa tidak. Dia melihat sebuah jubah hitam tegak menggantung di atas udara. Hebatnya, di dalam jubah itu tidak kelihatan sosok yang mengenakannya! Anehnya, justru dari jubah hitam itu terdengar gelakan tawa! 

“Hampir mustahil! Bagaimana mungkin sebuah jubah bisa perdengarkan tawa! Atau jangan-jangan mata dan telingaku yang menipu!” 

Berpikir begitu, Pitaloka melirik pada Setan Liang Makam. Dia ingin yakinkan diri melihat bagaimana sikap Setan Liang Makam. Sementara itu, begitu berpaling Setan Liang Makam bukan main kagetnya! Dia segera pentang mata besarbesar seolah ingin membuktikan jika pandang matanya benar-benar melihat kenyataan. Setelah agak lama dan bisa kuasai rasa kaget, Setan Liang Makam mundur satu tindak. 

“Jubah Tanpa Jasad...,” desisnya mengenali jubah yang tegak menggantung di depan sana. “Siapa gerangan yang memakainya?! Nenek Nyai Suri Agung...?!” 

“Hem.... Dia juga tampak berubah tegang. Berarti pandang mata dan telingaku tidak menipu!” kata Pitaloka begitu melihat sikap Setan Liang Makam. Namun gadis ini tidak bisa menduga malah menemui jalan buntu ketika memikirkan bagaimana sebuah jubah bisa menggantung sendiri di udara tanpa adanya sosok yang mengenakan, malah perdengarkan tawa! 

Selagi Pitaloka dilanda rasa heran, Setan Liang Makam yang menduga jika sosok tidak kelihatan yang mengenakan jubah hitam yang bukan lain memang Jubah Tanpa Jasad, adalah neneknya sendiri Nyai Suri Agung, Setan Liang Makam bergerak maju dua langkah seraya berkata. 

“Nek...!” 

Jubah Tanpa Jasad di depan sana bergerak menyibak perdengarkan deruan keras. Namun tak ada suara orang yang terdengar. Sebenarnya, si pemakai Jubah Tanpa Jasad yang tidak lain adalah Kiai Laras merasa heran dengan dirinya sendiri. Keheranan itu dimulai dengan rasa kaget yang terlihat dari Pitaloka dan Setan Liang Makam. Lalu ucapan Setan Liang Makam yang menyebutnya Nek. 

“Aneh.... Ada apa ini?!” batin Kiai Laras. “Aku saat ini masih menyamar sebagai Pendekar 131. Hanya saja kini aku mengenakan jubah hitam ini. Tapi pandangan mereka sepertinya tidak mengenalku. Apakah wajahku telah berubah?!” 

Kiai Laras coba perhatikan dirinya sendiri. Lalu tangan kanannya bergerak ke arah wajahnya mengusap. “Kulit tipis penyamaran ini masih melekat. Jadi rupa ku masih mirip dengan Pendekar 131. Tapi mengapa setan ini memanggilku Nenek...?! Ada yang tidak beres. Atau jangan-jangan setan satu itu sengaja mengejek ku?! Jahanam betul!” 

Kiai Laras mulai geram. Laki-laki yang selama ini menyamar sebagai Pendekar 131 murid Pendeta Sinting ini belum menyadari jika dengan mengenakan Jubah Tanpa Jasad yang ditemukannya di Istana Sekar Jagat, maka sosok tubuhnya tidak kelihatan! Kiai Laras memandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan Pitaloka. 

“Sekarang sudah tiba saatnya bagiku menunjukkan siapa aku sebenarnya! Kembang Darah Setan di tanganku. Sementara jubah ini pasti bukan jubah sembarangan!” 

Tanpa berkata apa-apa, Kiai Laras kembali gerakkan tangan kiri kanannya ke arah bagian atas lehernya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak menarik kulit tipis yang melekat di bagian atas leher sampai wajahnya. Kini terlihat jelas wajah di balik raut muka yang tadi mirip dengan Pendekar 131 Joko Sableng. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Lalu kedua tangan Kiai Laras terus bergerak ke atas. Tangan kanannya ditekankan pada rambutnya lalu ditarik perlahan- lahan. Rambut yang semula hitam panjang sebahu itu tertarik. Dan di bawahnya terlihat geraian rambut panjang berwarna putih. 

Kiai Laras tersenyum lalu campakkan kulit tipis dan rambut palsunya ke atas tanah. Dia melirik pada Pitaloka dan Setan Liang Makam. Kiai Laras mendelik dengan menyeringai membayangkan perasaan marah. Namun sebenarnya justru rasa kaget lebih terbayang di parasnya! Karena ternyata Pitaloka dan Setan Liang Makam tidak menunjukkan rasa terkejut melihat bagaimana dia bersalin rupa! 

“Bangsat sialan! Apa mereka telah tahu sebelumnya jika aku menyamar?! Hem.... Jangan-jangan Lidah Wetan yang membocorkan rahasia ini! Tapi peduli setan dengan semua itu.... Aku telah mendapat apa yang kuinginkan! Mereka berdua harus mampus saat ini juga! Mereka pasti tengah mencari-cari Kembang Darah Setan. Dan siapa pun yang punya niat begitu, harus segera kusingkirkan!” 

Kiai Laras sudah akan angkat bicara. Namun tiba-tiba mulutnya mengatup lagi kala sepasang matanya melihat sebuah pedang menancap di atas tanah. Waktu pertama kali muncul tadi, laki-laki ini memang tidak begitu memperhatikan. Dia puri hanya mendengar sepintas percakapan antara Pitaloka dan Setan Liang Makam. Yang menarik perhatiannya adalah Setan Liang Makam. Sebagai pemilik Kembang Darah Setan, Setan Liang Makam pasti selamanya tidak akan tinggal diam. Untuk itulah Kiai Laras sudah memutuskan hendak menyingkirkan Setan Liang Makam. 

“Melihat angkanya, pasti pedang itu milik Pendekar 131! Hem.... Ternyata nasibku baik! Aku bisa memperoleh barang sakti....” 

Sementara itu di seberang sana, Pitaloka dan Setan Liang Makam tampak masih diam mematung. Pitaloka tak tahu harus berbuat apa. Hingga untuk beberapa lama dia hanya pandangi jubah hitam yang tampak bergerak-gerak. Namun sedikit banyak dia mulai merasa gelagat tidak baik. Apalagi ketika mendengar Setan Liang Makam perdengarkan sapaan pada jubah hitam dengan sebutan Nenek. Di lain pihak, Setan Liang Makam juga menunggu. Karena sapaannya belum juga mendapat sambutan. 

“Kalian berdua ingin selamat?!” Tiba-tiba terdengar suara dari jubah hitam. 

Pitaloka terdiam dengan dada berdebar. Di lain pihak, Setan Liang Makam tercengang. Telinganya laksana disambar petir begitu mengenali jika suara yang baru saja terdengar adalah suara seorang laki-laki! Tanpa sadar, Setan Liang Makam segera berteriak. “Siapa kau?!” 

Kiai Laras tersenyum. “Matamu telah melihat siapa aku! Aku perlu jawaban dari kau dan kau!” Kiai Laras arahkan telunjuk jari tangannya pada Setan Liang Makam dan Pitaloka. Kiai Laras tidak sadar kalau baik Setan Liang Makam maupun Pitaloka tidak bisa melihat gerakan tangannya. 

“Jawab! Kalian berdua ingin selamat?!” Kembali Kiai Laras ulangi pertanyaan. 

Setan Liang Makam tidak segera menjawab. Dadanya masih dibuncah dengan berbagai tanya dan duga. Namun satu hal yang pasti, jubah hitam di depan sana diyakininya adalah Jubah Tanpa Jasad milik nenek moyangnya. Sementara Pitaloka bisa menangkap ke mana gerangan arah pertanyaan orang. Hingga tanpa berusaha buka mulut menjawab pertanyaan orang, mata melirik pada pedang yang menancap di atas tanah. 

“Aku harus segera mengambilnya! Siapa pun adanya manusia di balik jubah aneh itu, pasti dia menginginkan pedang itu!” 

“Baik! Mulut kalian tidak ada yang berani bersuara! Kalian dengar baik-baik! Kalau kalian berdua ingin selamat, jangan ada yang berani lakukan gerakan! Tetap di tempat kalian masing-masing! Jika kulihat kalian ada yang berani lakukan gerakan, itu pertanda nasib buruk!” 

“Siapa manusia di baliknya?! Jangan-jangan pendekar jahanam itu! Bukankah dia masih memegang Kembang Darah Setan asli?! Tapi bagaimana mungkin dia bisa tahu tempat Jubah Tanpa Jasad?! Dan seandainya dia tahu, apakah Nyai Suri Agung tidak berusaha menghalanginya?!” 

Setan Liang Makam pura-pura turuti ucapan orang tidak terlihat di balik sosok jubah hitam dengan terus menduga-duga. Namun diam-diam dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Di seberang samping, Pitaloka juga pura-pura turuti perintah orang. Namun dia telah mengukur jarak dan tahu kapan harus bergerak jika dugaannya tidak meleset. 

Sementara di seberang sana, begitu selesai berucap, Kiai Laras melangkah maju perlahan-lahan dengan mata melirik pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Pedang Tumpul 131. Baik Pitaloka maupun Setan Liang Makam hanya melihat gerakan jubah yang melayang terapung di udara. Kiai Laras hentikan langkah delapan tindak dari Setan Liang Makam. 

“Kau!” kata Kiai Laras pada Setan Liang Makam seraya tunjukkan jari tangan. “Mundurlah ke belakang!” 

Meski tidak melihat gerakan jari serta wajah orang, tapi Setan Liang Makam tahu jika dirinya yang diperintah orang. 

“Kau dengar ucapanku! Atau kau ingin cari mampus?!” ujar Kiai Laras. 

Perlahan-lahan Setan Liang Makam gerakkan kaki menyurut. Tapi sekonyong-konyong dia menghentak. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak lepas pukulan. 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Gelombang itu membawa serta semburatan warna hitam serta hawa luar biasa panas. Meski Kiai Laras sudah waspada, namun karena kali ini Setan Liang Makam kerahkan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki, maka lesatan gelombang itu laksana sambaran kilat. Hingga baru saja Kiai Laras sentakkan kedua tangannya. Gelombang dari Setan Liang Makam sudah menggebrak! 

Kiai Laras perdengarkan lolongan tinggi. Sosoknya langsung mental mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di atas tanah. Namun ada keanehan. Meski Kiai Laras rasakan sosoknya terhantam gelombang, namun dia merasakan ada tabir yang menghalanginya. Hingga walau tubuhnya mencelat namun dia tidak mengalami luka berarti! 

Di depan sana, Setan Liang Makam tercekat. Gelombang pukulan yang baru saja melabrak Kiai Laras laksana menghantam tembok. Lalu memantul dan kini berbalik melabrak ganas ke arahnya! Setan Liang Makam sadar apa yang akan terjadi padanya jika pukulan yang tadi dilepas melabrak ke tubuhnya. Maka begitu tahu pukulannya mental balik, dia cepat-cepat hantamkan kembali kedua tangannya. 

Bummm! 

Serta-merta tempat itu dirancah gelegar luar biasa keras. Pedang Tumpul 131 kembali bergoyang-goyang pulang balik pantulkan cahaya angker dan deruan ganas. Sosok Setan Liang Makam langsung tersapu dan jatuh terduduk dengan mulut berseru tertahan. Tangan kanannya yang bergetar bergerak ke atas mengusap darah yang ternyata mengucur dari mulutnya. 

“Luar biasa.... Ini pasti akibat jubah yang kupakai!” gumam Kiai Laras mendapati apa yang terjadi. Hatinya bersorak. Dan dengan cepat dia bergerak bangkit. Lalu melompat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di mana dia tadi berdiri. 

Di depan sana, Setan Liang Makam menatap tegang pada Jubah Tanpa Jasad. Dia kini maklum kalau terlalu berat jika berhadapan dengan orang yang menggunakan Jubah Tanpa Jasad. Dia tahu, dengan mentalnya sosok si pemakai Jubah Tanpa Jasad, menunjukkan jika si pemakai ilmunya tidak berada di atasnya. Kalaupun si pemakai tidak mengalami cedera yang berarti malah pukulannya mental, semata-mata karena orang itu mengenakan Jubah Tanpa Jasad. 

“Kau telah kuberi peringatan, Setan Alas! Tapi kau ingin nasib itu ditentukan sekarang! Aku akan turuti kemauanmu!” Kiai Laras angkat kedua tangannya. 

Walau tidak melihat gerakan orang, tapi Setan Liang Makam seakan tahu apa yang tengah dilakukan Kiai Laras. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. Dalam keadaan seperti itu, Setan Liang Makam tidak pikirkan lagi kehebatan Jubah Tanpa Jasad. Yang terpikir adalah bagaimana bisa menghadang pukulan orang! 

Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan Pitaloka. Begitu sadar dari kesimanya melihat apa yang baru saja terjadi, dia segera melompat ke arah Pedang Tumpul 131! Namun belum sampai kedua tangan Kiai Laras bergerak, dan belum sempat Pitaloka berkelebat, sekonyong-konyong terdengar orang bersin beberapa kali lalu disambut suara tawa cekikikan seorang perempuan! 

***
DUA BELAS
PITALOKA, Setan Liang Makam, dan Kiai Laras sama tersentak. Namun Pitaloka adalah orang pertama yang palingkan kepala. Dia melihat seorang kakek berpakaian agak lusuh duduk bersimpuh dengan satu tangan memegang tongkat kayu. Sedang tangan satunya diletakkan di atas pahanya. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan raut muka seperti orang hendak bersin. 

Di sebelah si kakek tegak berdiri seorang perempuan berusia lanjut. Sesaat Pitaloka sempat menahan tawa melihat bagaimana dandanan si nenek. Karena meski telah nenek-nenek, dandanan perempuan ini laksana gadis muda saja. Dia membedaki mukanya tebal sekali. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya pun tampak diberi polesan pewarna merah muda. Rambutnya yang telah putih dikelabang dua dan pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita. Bagian depan rambutnya diponi dan digeraikan di depan kening. 

Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Nenek ini berkulit hitam, hingga dandanannya yang seronok tidak menambah kecantikan wajahnya, namun justru membuat sosok tampangnya jadi angker menakutkan! 

“Aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan mereka! Dengan kemunculan mereka pasti membuat urusan di tempat ini makin tidak karuan! Aku harus segera mendapatkan pedang itu kembali....” Pitaloka segera palingkan kepalanya ke arah Pedang Tumpul 131. 

Setan Liang Makam adalah orang kedua yang berpaling. Matanya langsung mendelik tak berkesip tatapi dua sosok yang baru muncul. “Aku pernah bertemu dengan laki-laki yang duduk bersimpuh di dekat Jurang Tlatah Perak. Dia memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’. Pasti dia bukan lain adalah Galaga. Hem.... Sayangnya Kembang Darah Setan tidak berada di tanganku. Tapi bukan berarti aku tidak bisa membunuhnya. Bukan tak mungkin kebocoran rahasia Kampung Setan dialah biang keroknya!” 

Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke perempuan yang tegak di samping si kakek yang duduk bersimpuh yang bukan lain memang Galaga alias Datuk Wahing. Orang luar dari generasi Kampung Setan yang sempat diambil murid oleh Nyai Suri Agung, nenek dari Maladewa alias Setan Liang Makam sendiri yang juga saudara seperguruan Setan Liang Makam. 

“Waktu yang habis terkubur di tempat makam celaka itu membuatku tidak banyak mengenal orang. Aku tidak mengenali siapa adanya nenek berdandan slebor itu! Namun dari gelagatnya, dia bukan manusia sembarangan....” 

Orang ketiga yang palingkan kepala adalah Kiai Laras. Namun karena sosok laki-laki ini tidak kelihatan, semua orang tidak tahu bagaimana sikap Kiai Laras. Ternyata laki-laki ini adalah orang yang tidak begitu terkejut meski kemunculan kedua orang tadi sempat membuatnya tersentak. Kiai Laras pandangi kedua orang di seberang sana dengan bibir tersenyum. 

“Datuk Wahing dan Dayang Sepuh... Kemunculannya yang bersamaan tentu bukan satu kebetulan! Dan itu menunjukkan kalau mereka punya satu maksud tertentu! Mereka berdua boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi saat sekarang ini akulah yang paling berhak dianggap sebagai manusia yang paling tinggi! Dan mereka berdua akan membuktikannya! Mereka berdua termasuk orang yang harus kusingkirkan! Orang seperti mereka dapat menjadi batu sandungan!” 

Setelah membatin begitu, Kiai Laras yang kini merasa yakin pada dirinya, segera buka mulut merobek kesunyian yang agak lama menggantung di tempat itu. “Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Kalian datang tepat pada waktunya! Dan kuharap kalian telah menikmati kebersamaan kalian selama ini. Dengan begitu mati pun kalian sudah tidak merasa menyesal lagi!” 

Mendengar ucapan orang, Dayang Sepuh berpaling ke arah Datuk Wahing. Saat muncul tadi, Dayang Sepuh sempat terkesima melihat jubah hitam yang menggantung di udara tanpa melihat sosok orang yang mengenakannya. Namun rasa kesimanya lenyap ketika Datuk Wahing segera berbisik pelan. 

“Nek.... Itulah Jubah Tanpa Jasad yang lenyap dari Istana Sekar Jagat di Kampung Setan....” 

“Kau dapat menduga siapa di balik jubah hitam itu?!” tanya Dayang Sepuh begitu kepalanya berpaling dengan suara direndahkan. 

Dengan tanpa hentikan gerakan kepalanya yang pulang balik ke depan ke belakang, Datuk Wahing menggumam. “Sulit mengetahui siapa yang berada di balik jubah hitam itu. Tapi melihat Jubah Tanpa Jasad hanya bisa ditembus dengan Kembang Darah Setan, pasti orang di balik jubah itu sekarang membekal pula Kembang Darah Setan. Sekarang kita tinggal memastikan siapa adanya orang yang memegang Kembang Darah Setan. Karena pasti orang itulah di balik Jubah Tanpa Jasad itu....” 

“Waktu di dekat sendang beberapa waktu yang lalu, aku memang bisa mencium aroma kembang. Sayangnya orang itu mengenakan samaran sebagai pemuda geblek itu! Seandainya tidak, tentu aku dapat memastikan orang itu...,” ujar Dayang Sepuh teringat akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang mengaku sebagai Joko Sableng namun Dayang Sepuh bisa melihat jika orang itu bukan Joko Sableng. 

“Sebenarnya sedikit banyak aku bisa menduga. Namun keadaan bisa saja berubah!” kata Datuk Wahing menyambut ujaran Dayang Sepuh. 

“Siapa dugaanmu?! Dia sepertinya mengenali kita. Pasti aku juga mengenalnya!” kata Dayang Sepuh. 

“Tidak jauh dari sendang itu, sebenarnya aku juga berjumpa dengan Kiai Laras. Saat itu aku yakin jika Kiai Laras membekal Kembang Darah Setan. Namun mungkin saja Kiai Laras memberikan Kembang Darah Setan pada orang lain. Dan orang lain itulah yang mungkin mengenakan jubah hitam itu....” 

“Tapi mana mungkin benda sakti begitu rupa diserahkan pada orang lain?!” 

“Kemungkinannya memang sangat kecil bahkan hampir tak mungkin. Tapi apa pun di dunia ini adalah serba mungkin! Yang jelas kita harus berhati-hati. Dia tidak suka dengan kehadiran kita. Kalau terjadi apa-apa, kau perhatikan pedang yang menancap di tanah itu!” 

“Dari angkanya, pasti pedang itu milik pemuda geblek Pendekar 131 Joko Sableng!” 

“Benar.... Dan perhatikan gadis berbaju merah itu. Gelagatnya dia seperti sedang menunggu kesempatan untuk mengambilnya!” 

“Bagaimana pedang itu bisa jatuh ke tangan orang lain?!” tanya Dayang Sepuh. “Pasti pemuda itu telah bertindak tolol!” 

“Itulah... Segala sesuatu serba mungkin. Bahkan terhadap hal yang bagi kita sepertinya mustahil...” 

Selagi Datuk Wahing sedang berbisik-bisik dengan Dayang Sepuh, tiba-tiba Kiai Laras telah angkat bicara lagi. 

“Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Tunggulah sampai giliran kalian datang! Aku akan selesaikan urusan dengan manusia setan itu!” Kiai Laras tunjukkan jarinya ke arah Setan Liang Makam. 

“Bruss! Brusss! Jangan membuatku tambah heran, Sobat! Kedatanganku bersama sahabatku ini bukan cari perkara! Lagi pula di antara kita tidak ada sesuatu yang mengherankan yang disebut silang sengketa...” 

“Hem.... Apa kau kira membunuh seseorang diharuskan ada silang sengketa?!” tanya Kiai Laras lalu tertawa panjang. 

“Bruss! Memang tidak. Tapi hal itu akan membuat siapa pun terheran-heran!” 

“Simpan dahulu keheranan mu, Datuk Wahing! Dan kau harus hadapi keheranan mu sebagai kenyataan! Karena bagiku, tidak aneh lagi membunuh tanpa adanya silang sengketa!” 

“Brusss! Brusss! Permintaanmu yang mengherankan akan kuterima dengan baik! Cuma kalau kau tidak keberatan apalagi merasa heran, harap kau sudi katakan siapa dirimu!” 

Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Untuk kedua kalinya dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. “Aneh... Tadi Setan Liang Makam memanggilku Nenek. Sekarang dia ingin tahu siapa diriku! Bagaimana ini...?! Padahal aku telah lama mengenalnya! Demikian pula sebaliknya. Atau dia sedang bercanda?!” 

“Datuk Wahing! Aku tak akan jawab pertanyaan tololmu itu! Kau telah melihat sendiri siapa aku!” kata Kiai Laras. 

“Bruss! Itu benar! Yang masih membuatku heran, siapa kau sebenarnya?!” 

Kiai Laras tertawa panjang mendengar ucapan Datuk Wahing. Sambil berkacak pinggang dan kepala mendongak, dia berucap. “Setiap manusia tidak selalu ingin diketahui siapa dia sebenarnya! Apalagi jika manusia itu hidup dalam kancah rimba persilatan! Jadi kau tidak akan bisa mendapat keterangan yang kau minta! Kau bisa mengenaliku sebatas apa yang kau lihat dan kau dengar!” 

Saat itulah mendadak di seberang sana Pitaloka telah membuat gerakan. Dia melesat ke arah Pedang Tumpul 131 dan dengan cepat kedua tangannya berkelebat menyambar. Dayang Sepuh yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Pitaloka cepat sentakkan tangan kanannya. Sementara Setan Liang Makam dan Kiai Laras cepat berpaling. Kedua orang ini juga tidak tinggal diam. Tangan masing-masing orang sama bergerak, karena sudah tidak mungkin lagi menghadang laju sosok Pitaloka dengan berkelebat. 

Wuutt! Wuutt! Wuutt! 

Wuss! Wuss! Wuuss! 

Hampir bersamaan, tiga gelombang dahsyat menggebrak ganas ke arah sosok Pitaloka. Pitaloka terkesiap. Namun karena lebih dekat pada gagang pedang, dia tidak hiraukan lagi gelombang yang datang menggebrak. Dia teruskan gerakan kedua tangannya menyambar Pedang Tumpul 131. Gagang pedang telah tersentuh tangan kanan Pitaloka. 

Namun belum sempat gadis ini membuat gerakan menarik, gelombang yang melesat dari tangan kanan Dayang Sepuh sudah datang menghempas. Pitaloka menjerit. Tangan kanannya yang sudah menyentuh gagang pedang terpental ke belakang. Sosoknya tersapu hingga satu tombak dan jatuh terjengkang di atas tanah! 

Namun terjengkangnya gadis ini menyelamatkannya dari gelombang susulan yang dilepas oleh Setan Liang Makam dan Kiai Laras. Gelombang dahsyat itu lewat dua jengkal di atas kepala Pitaloka! Lalu menghantam tanah agak tinggi jauh di belakang sana. Terdengar dentuman keras. Tanah agak tinggi di belakang sana langsung muncrat ke udara porak poranda. Tanah bergetar keras dan sesaat pemandangan tertutup oleh hamburan tanah. 

“Gadis binal! Kau telah kuberi peringatan! Jangan berani membuat gerakan! Tapi nyatanya kau sama tololnya dengan manusia setan ini! Kau akan menerima nasib sama dengannya!” teriak Kiai Laras. 

Pitaloka tidak pedulikan ancaman Kiai Laras. Dadanya bergemuruh marah melihat Dayang Sepuh menghalangi gerakannya. Hingga begitu dia bergerak bangkit, dia segera arahkan pandang matanya pada Dayang Sepuh. 

“Nenek slebor! Aku tak peduli siapa kau adanya! Yang jelas kau telah berani membuat urusan denganku! Aku siap melayani apa keinginanmu!” 

“Hem.... Begitu?!” ujar Dayang Sepuh. Bersamaan dengan itu si nenek melesat ke depan dan tahu-tahu sosoknya telah tegak lima langkah di hadapan Pitaloka. “Aku tidak punya keinginan apa-apa, Anak Gadis. Kalaupun aku masih punya keinginan dan sampai saat ini belum juga terpenuhi, itu adalah keinginanku kawin lagi dengan seorang pemuda gagah putra seorang pangeran. Apa kau kira-kira bisa melayani keinginanku...?!” 

Pitaloka menyeringai. “Keinginan gila! Aku bertanya. Kau sudah sering berkaca dan melihat keadaan sendiri?!” 

Tangan kiri Dayang Sepuh bergerak terangkat mengambil satu kelabangan rambutnya dan dipilin-pilin. Sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas menata poni di depan keningnya. 

“Dalam sehari, aku berkaca dua puluh lima kali. Dan kurasa, keinginanku adalah wajar-wajar saja! Tidak sampai pada tingkat gila. Yang gila adalah keinginan untuk mengambil milik orang lain. Bukankah begitu, Gadis Cantik nan Jelita?!” 

Sesaat Pitaloka tergagu diam. Tapi saat lain dia telah membentak garang. “Kau mengira pedang itu milik orang lain, begitu?!” 

Masih dengan memilin kelabangan rambutnya dan melirik, Dayang Sepuh anggukkan kepala seraya berucap kalem. “Apa kau mengira pedang itu milikmu...?!” 

“Aku memang bukan pemiliknya! Namun aku yang membawanya! Dan aku harus menjaganya dari tangan-tangan jahil yang hendak mengambilnya termasuk tanganmu! Bukankah kau juga menginginkannya?!” 

“Pedang itu bukan milikmu. Tapi kau bisa membawanya! Jadi tidak salah bukan, kalau aku punya niat yang sama denganmu?! Aku tidak menginginkannya, aku cuma ingin membawanya! Dan kurasa aku bisa menjaganya....” 

“Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada dalam benakmu, Nenek Slebor!” 

“Hem.... Rupanya kau pandai juga melihat hati orang! Mau katakan padaku apa sebenarnya yang ada dalam benakku?!” tanya Dayang Sepuh seraya melirik pada Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad. 

“Kau ingin memiliki pedang itu!” sahut Pitaloka dengan suara lantang. 

Dayang Sepuh tertawa pendek. “Kau harus belajar lagi soal tebak menebak isi hati orang, Anak Gadis....” 

“Setiap orang berkeinginan busuk, mana mungkin mau mengaku!” 

“Hem.... Begitu?! Aku sekarang tanya padamu. Seandainya kau punya benda keramat, apa mungkin kau memberikannya pada orang lain?!” 

“Lihat dulu siapa yang diberi! Dan itu mungkin saja!” 

“Bagus.... Sekarang jawab lagi satu pertanyaanku. Apa hubunganmu dengan pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng?!” 

Paras wajah Pitaloka berubah. Dia terdiam beberapa lama tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun pada akhirnya dia berujar. “Dia adalah sahabatku....” 

“Betul?!” tanya Dayang Sepuh sambil tersenyum. 

“Persetan kau percaya atau tidak!” sahut Pitaloka. 

“Anak gadis.... Sekarang ini sahabatmu itu sedang menghadapi urusan besar. Apakah mungkin dalam keadaan begini dia memberikan pedangnya padamu?! Meski seandainya kau adalah kekasihnya!” 

“Itu tak mungkin terjadi! Ha Ha Ha...!” 

Tiba-tiba satu suara jawaban terdengar. Namun bukan dari mulut Pitaloka. Juga bukan diperdengarkan oleh Setan Liang Makam atau Kiai Laras. Datuk Wahing pun tampak kancingkan mulut. Semua orang di situ tampaknya maklum jika ada orang yang hadir lagi di tempat itu. Hingga hampir bersamaan, semua kepala berpaling... 

S E L E S A I

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar