SATU
TERDENGAR suara deruan dahsyat. Saat yang sama dua gelombang luar biasa ganas melabrak ke arah laki-laki bercaping lebar. Yang diserang sesaat terkesiap. Kaki kanannya yang hendak melangkah melewati mulut goa segera disentakkan. Laksana kilat sosok laki-laki bercaping lebar melesat keluar dari goa.

Begitu sosok laki-laki bercaping lebar tegak di depan mulut goa, terdengar suara bergemuruh. Si laki-laki bercaping putar tubuh. Memandang ke depan, tampak mulut goa dari mana dia tadi melesat keluar, bergetar keras. Kejap lain mulut goa itu longsor. Batu dan debu bertaburan keluar.

Taburan batu dan debu belum sirna, satu sosok tubuh telah menyeruak. Dua tindak di depan mulut goa tampak berdiri tegak seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya lebat. Sepasang matanya tajam dan melotot angker. Orang tua ini bukan lain adalah Kiai Laras.

Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya, seorang laki-laki bercaping lebar yang wajahnya sukar dikenali karena tertutup oleh sebagian caping pandan lebar yang masukkan dalam-dalam, bertemu dengan Saraswati yang saat itu tengah tenggelam dalam perasaan kecewa dan geram akibat perlakuan pemuda yang menurut pandangannya bukan lain adalah Pendekar 131. Dari mulut Saraswati, si laki-laki bercaping lebar mendapat keterangan panjang lebar tentang di mana adanya Pendekar 131. Si laki-laki akhirnya menuju ke tempat yang dikatakan Saraswati.

Di kaki Bukit Kalingga, akhirnya si laki-laki bercaping lebar berjumpa dengan Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampaknya tidak suka dengan kehadiran laki-laki bercaping lebar. Hingga bukan saja Kiai Laras segera memerintahkan pada si laki-laki untuk segera angkat kaki dari goa di samping Bukit Kalingga, namun begitu si laki-laki bercaping lebar hendak melangkah pergi.

Kiai Laras segera lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Untuk beberapa saat laki-laki bercaping lebar perhatikan sosok Kiai Laras di depan sana. Yang diperhatikan rangkapkan kedua tangan di depan dada dengan kepala sedikit didongakkan.

“Manusia tak dikenali. Hanya satu cara kau bisa angkat kaki dari tempat ini dengan nyawa selamat!” Berkata Kiai Laras.

Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum. “Orang tua! Sebenarnya ada apa ini?! Aku telah turuti ucapanmu untuk pergi. Tapi sekarang kau minta syarat dengan kepergianku!”

Kiai Laras tidak menjawab pertanyaan orang. Sebaliknya dia balik ajukan tanya. “Katakan siapa kau sebenarnya!”

“Baik! Aku akan katakan siapa diriku. Tapi kuharap jawabanku nanti sudah cukup menjadi syarat bagi kepergianku!” Laki-laki bercaping lebar sekali lagi perhatikan orang di depan sana. Lalu lanjutkan ucapan. “Aku Kiai Tung-Tung! Orang tua bernasib buruk karena dalam usia senja begini rupa masih belum punya tempat berpijak yang pasti.”

Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar yang sebutkan diri Kiai Tung-Tung gerakkan tubuh membalik. Dengan tekan caping lebarnya hingga wajahnya makin tak bisa dikenali, Kiai Tung-Tung ayunkan kaki.

Kiai Laras sesaat luruskan kepala memandang pada gerakan kedua kaki Kiai Tung-Tung. “Aku yakin ada yang tidak beres dengan manusia itu! Gerak-geriknya jelas menunjukkan kalau dia mencari sesuatu di sini! Meski aku yakin dia tidak tahu rahasia di dalam goa, tapi setidaknya dia telah mengetahui aku berada di sini! Ini tidak boleh terjadi! 

Dan aku menduga manusia ini mendapat keterangan dari Saraswati! Sebelum semua ini tersiar di luar, aku harus membungkam mulutnya! Lagi pula, dia dapat selamat dari pukulanku, berarti dia bukan manusia tidak berilmu. Padahal aku tidak pernah dengar manusia bernama Kiai Tung-Tung dalam rimba persilatan! Pasti dia berkata dusta!”

Berpikir begitu, Kiai Laras segera angkat suara membentak. “Dengar, Manusia! Kau boleh angkat kaki dari sini! Tapi hanya raga kasarmu! Nyawamu harus tetap tinggal di sini!”

“Kau pasti bercanda dengan ucapanmu!” kata Kiai Tung-Tung tanpa balikkan tubuh. “Lagi pula untuk apa nyawa tua bangka sepertiku ini buatmu?!”

“Nyawamu memang tak ada gunanya untukku! Tapi lebih tak berguna lagi di luaran sana! Maka lebih baik kau tewas di sini daripada di luar sana!”

“Hem.... Orang tua ini menyembunyikan sesuatu! Tempat yang dikatakan Saraswati pasti goa itu. Tapi di mana pemuda yang dikatakan Saraswati sebagai Pendekar 131?! Anehnya yang kutemui bukannya Pendekar 131 yang sudah pasti Pendekar 131 palsu, tapi Kiai Laras.... Apa hubungan orang tua itu dengan Pendekar 131 palsu?!”

Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Orang tua! Ucapanmu benar! Nyawaku tidak ada gunanya untukmu juga di luaran sana! Tapi.... Itu kata orang! Dan kata orang pasti berbeda dengan Sang Pencipta nyawaku....”

Kiai Laras tertawa mengejek. “Malaikat maut datangnya tidak terduga! Kalau kukatakan nyawamu sudah tidak berguna, berarti Sang Pencipta sudah menggariskan saat tercabutnya nyawamu!”

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala dengan bibir tersenyum. “Tidak seorang pun tahu apa yang tengah digariskan Sang Pencipta sebelum hal itu terjadi!”

“Akan kutunjukkan padamu jika aku tahu garismu!” Kiai Laras buka rangkapan kedua tangannya. Lalu diangkat tinggi-tinggi.

“Tahan!” teriak Kiai Tung-Tung. “Kurasa tidak ada perlunya kau tunjukkan padaku garis takdir yang akan ku alami! Itu membuatku ngeri.... Soalnya, terus terang saja aku baru saja melamar seorang gadis cantik! Dan untuk mendapatkan gadis itu aku telah banyak berkorban.... Korban harta dan perasaan.... Kau bisa bayangkan bagaimana kecewanya hatiku jika aku gagal mengawini gadis itu....”

“Siapa percaya tua bangka sepertimu melamar seorang gadis cantik! Kau jangan kira bisa menipuku! Aku tahu.... Semua ucapanmu tadi hanya bohong belaka!”

“Hai.... Bagaimana kau bisa berkata begitu?!” kata Kiai Tung-Tung.

“Itu urusanmu! Kau telah tahu sendiri jawabannya!”

“Aneh...,” gumam Kiai Tung-Tung seraya gelengkankepala. “Kau berkata semua ucapanku bohong. Padahal aku telah berkata sejujurnya!”

“Kau terlalu banyak mulut!” hardik Kiai Laras. “Jangan kira aku tidak tahu dari mana kau tahu tempat ini! Kau juga jangan duga aku tidak tahu apa maksud tujuanmu datang ke sini! Semua itu harus kau bayar mahal!”

“Hem.... Mendengar ungkapan ucapannya, aku makin yakin orang ini ada hubungannya dengan Pendekar 131palsu!”
Baru saja Kiai Tung-Tung membatin begitu, di depan sana Kiai Laras telah gerakkan kedua tangannya.

Wuutt! Wuutt!

Terlambat bagi Kiai Tung-Tung untuk berteriak mencegah tindakan Kiai Laras. Hingga dia terpaksa juga angkat kedua tangannya tatkala dua gelombang ganas menggebrak ke arahnya dari sentakan kedua tangan Kiai Laras.

Wuutt! Wuuutt!

Kedua tangan Kiai Tung-Tung mendorong ke depan. Saat itu juga tampak semburatan sinar berwarna kuning membawa gelombang luar biasa deras serta hawa panas.

Blaamm!

Dua gelombang dari masing-masing tangan orang beradu di udara. Terdengar suara ledakan dahsyat. Tanah di sekitar goa bergetar keras. Mulut goa yang sudah berantakan akibat terhantam pukulan Kiai Laras berderak makin longsor. Sosok Kiai Laras tampak tersapu tiga langkah ke belakang dengan raut muka berubah. 

Tubuhnya bergetar hebat tersandar pada samping mulut goa yang longsor. Orang tua ini rasakan kedua tangannya laksana baru saja menghantam tembok tebal hingga begitu terdengar ledakan, kedua tangannya langsung mental balik ke belakang dengan darah seperti tersumbat dan menyentak-nyentak.

Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung terjajar dua langkah. Karena raut wajahnya tertutup sebagian cap- ing lebarnya, maka perubahan air mukanya tidak jelas. Namun kedua tangannya yang bergetar sudah cukup membuktikan kalau laki-laki ini juga mengalami hal yang sama dengan Kiai Laras. Begitu dapat kuasai diri, sepasang mata Kiai Laras mementang angker pandangi Kiai Tung-Tung. Tiba-tiba dahi orang tua ini berkerut.

“Aku sepertinya pernah melihat pukulan yang baru saja dilepas manusia itu! Sialnya aku lupa kapan dan di mana!” Kiai Laras dongakkan kepala seolah mengingat.

“Boleh aku tanya sesuatu?!” Kiai Tung-Tung angkat bicara seolah tidak terjadi apa-apa. Malah orang ini sunggingkan senyum dan anggukkan kepala.

Entah karena ingin mengetahui siapa adanya orang, Kiai Laras menjawab. “Apa yang akan kau tanyakan?!”

“Kau pasti masih ada hubungan dengan seorang pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Apa betul?!”

“Aku makin yakin manusia ini baru saja bertemu dengan Saraswati!” Diam-diam Kiai Laras membatin begitu mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Setelah agak lama terdiam, dia buka mulut.

“Aku memang pernah mendengar pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Namun aku tak ada hubungan apa-apa dengannya!”

Kiai Tung-Tung angguk-anggukkan kepala. “Apa di sekitar tempat ini masih ada goa lagi?!” Kiai Tung-Tung bergumam sendiri dalam hati. “Kalau orang tua itu tidak ada hubungannya dengan Joko palsu, pasti dia yang disebut-sebut Saraswati sebagai seorang yang memberi nasihat! Hem.... Berarti aku harus mencari ke tempat lain....”

Kiai Tung-Tung melirik pada Kiai Laras. Lalu berkata dengan suara pelan. “Kurasa tidak ada gunanya kita teruskan urusan ini. Kita sama-sama sudah tua. Lagi pula terlalu sepele jika kita harus korbankan nyawa tanpa urusan yang jelas. Lebih-lebih aku masih ingin menikmati kekasihku yang masih gadis.... Kuharap kau mengerti!” Kiai Tung-Tung tertawa. Lalu bergerak balikkan tubuh. Namun sebelum tubuh Kiai Tung-Tung membalik, Kiai Laras telah angkat suara.

“Mengapa kau tanya pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng?! Kau mencarinya?!”

Kiai Tung-Tung urungkan niat untuk putar diri. "Aku yakin kau adalah kalangan orang rimba persilatan. Aku bisa memastikan kau tahu banyak tentang sebuah senjata bernama Kembang Darah Setan dan seluk beluknya! Itu berarti....”

“Dugaanku tepat!” Kiai Laras memotong ucapan Kiai Tung-Tung. “Kau pasti mencari pemuda itu untuk merebut Kembang Darah Setan yang menurut beberapa orang senjata dahsyat itu sekarang di tangan Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Dugaanmu salah!” Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Kalaupun aku mencarinya, tidak ada sangkut pautnya dengan Kembang Darah Setan! Lagi pula aku belum percaya benar dengan kabar yang selama ini sudah tersiar dalam rimba persilatan!”

Kiai Laras tersenyum dingin. “Lalu apa tujuanmu mencarinya?!”

“Ada seseorang menitipkan pesan padaku untuk Pendekar 131! Sebenarnya aku enggan untuk menyanggupinya, namun karena pesan itu diucapkan saat orang itu menjelang ajal, terpaksa aku berjanji untuk menyampaikan pesanitu!”

“Siapa orang itu?!”

Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa mengatakan siapa orang itu!”

Kiai Laras sipitkan sepasang matanya. Keningnya berkerut. Kiai Tung-Tung rupanya dapat menangkap apa yang ada dalam benak orang. Hingga sebelum Kiai Laras buka suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.

“Aku tidak bisa mengatakan siapa adanya orang itu karena dia sendiri tidak mau sebutkan siapa dirinya” Aku pun tidak mau memaksa orang yang menjelang ajal untuk bicara banyak!”

Kiai Laras palingkan kepala dengan perdengarkan dengusan. “Apa pesan yang kau bawa?!”

“Aku telah berjanji tidak akan mengatakan pesan itu pada orang lain! Yang jelas, pesan itu tidak ada hubungannya dengan Kembang Darah Setan!”

“Mengapa kau mencari Pendekar 131 di sini?! Kau kira dia berada di sekitar tempat ini?!”

“Bagi pencari sepertiku, setiap tempat mengandung dua kemungkinan! Ada dan tidak ada! Tidak terkecuali tempat ini!”

Kiai Laras arahkan pandang matanya kembali pada Kiai Tung-Tung. “Aku bersedia membantumu mencari Pendekar 131 asal kau mau katakan dahulu apa pesan itu!”

“Orang tua sepertiku sudah tidak layak lagi ingkari ucapan yang telah dijanjikan pada orang yang berpesan menjelang ajal.... Kuharap kau mengerti! Aku pun tidak memaksamu untuk membantuku. Aku akan berusaha. Kalau tidak berhasil, setidaknya aku telah lakukan apa yang bisa kulakukan!”

“Kau tak akan pernah bisa lakukan apa yang kau katakan!” ujar Kiai Laras dingin.

“Apa maksud ucapanmu?!”

“Kau tak akan kubiarkan angkat kaki dari sini sebelum kau katakan apa pesan yang kau bawa!"

“Heran.... Apa hubungannya pesan itu denganmu?!”

“Kau tak perlu bertanya! Kau hanya perlu mengatakan pesan itu!”

Kiai Tung-Tung tertawa panjang. “Kalaupun aku mengatakan pesan itu, kukira tidak ada gunanya bagimu....”

“Setan alas! Berguna atau tidak bukan urusanmu!”

“Betul. Itu memang urusanmu! Tapi kalau kukira tidak ada gunanya untuk apa kukatakan padamu?!”

“Jahanam!” Kiai Laras tampaknya sudah hilang kesabaran. Sambil memaki kedua tangannya diangkat. “Kau katakan pesan itu, atau kau akan mampus disini!”

Kiai Tung-Tung angkat bahu seraya gelengkan kepala. “Sebenarnya aku tak boleh ingkar janji! Tapi kalau kau memaksa, daripada membuat silang sengketa, aku akan mengatakan pesan itu! Tapi dengan syarat.”

Kiai Laras tertawa pendek. “Aku tidak pernah meminta dengan syarat!”

Kiai Tung-Tung balik tertawa mendengar ucapan Kiai Laras. “Kau boleh mengatakan hal demikian. Tapi untuk yang satu ini urusannya lain! Kalau kau tidak mau menerima syarat ku, jangan harap kau akan mendengar apa yang kau minta!”

“Hem.... Aku hanya perlu mendengar saja syarat yang diucapkan! Dan tidak akan melakukannya!” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu perdengarkan suara. “Katakan apa syaratmu!”

“Kau yang menanggung dosa akibat ingkar janji ku!”Kiai Laras sesaat kerutkan dahi. Kejap lain orang tua ini meledak tawanya dan berkata di sela-sela gelakan tawanya.

“Syarat gampang! Malah setinggi apapun dosa yang kau punya, aku akan menanggungnya!”

Kiai Tung-Tung menunggu hingga Kiai Laras hentikan tawanya sambil sesekali edarkan pandangan berkeliling. “Sudah puas?!” tanya Kiai Tung-Tung begitu Kiai Laras hentikan gelakan tawanya.

Pertanyaan Kiai Tung-Tung membuat kening Kiai Laras kembali mengernyit. Namun belum sampai Kiai Laras dapat menduga apa di balik ucapan orang, Kiai Tung-Tung telah angkat bicara. “Harap tidak tertawa dahulu! Aku belum mengata- kan semua syarat ku! Yang kukatakan tadi baru syarat pertama....”

***
DUA
SOSOK Kiai Laras tegak dengan mata mendelik angker. Orang tua ini sudah merasa kesal dengan ucapan Kiai Tung-Tung yang ternyata mengajukan beberapa syarat. Sementara Kiai Tung-Tung sendiri pura-pura tidak tahu perubahan sikap orang dengan alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Namun setelah berpikir, akhirnya Kiai Laras berkata.

“Kau boleh katakan apa syarat lainnya! Tapi jangan mimpi aku akan melakukan jika syaratmu terlalu banyak!”

“Kau harus mengatakan apa hubunganmu dengan orang tua bernama Kiai Lidah Wetan! Lalu kau harus mengatakan apakah kau pernah bertemu dengan Pendekar 131! Terus kau juga harus katakan siapa saja yang pernah datang ke tempat ini!”

Pelipis kiri kanan Kiai Laras bergerak-gerak. Tangannya mengepal. Sepasang matanya berputar liar.

“Sahabat.... Kupikir syarat ku tidak sulit! Kau hanya tinggal buka mulut, imbalannya kau akan men- dengar pesan yang akan kusampaikan pada Pendekar 131!” Berkata Kiai Tung-Tung.

Kiai Laras coba menindih gelegak di dadanya. Lalu berpaling seraya berkata. “Aku baru kali ini mendengar orang bernama Kiai Lidah Wetan!”

“Hem.... Kuharap kau tidak berkata dusta, Sahabat....”

“Keparat! Kau ingin dengar atau ingin membuat urusan panjang, hah?”

“Aku pernah bertemu dengan orang bernama Kiai Lidah Wetan. Percaya atau tidak, kau harus percaya kalau kukatakan jika siapa pun yang pernah bertemu denganmu akan mengatakan kau punya hubungan dengan Kiai Lidah Wetan!” Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan. “Wajahmu.... Sama persis!”

“Berarti manusia ini pernah jumpa dengan Kiai Lidah Wetan...,” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu sambil tertawa perlahan dia berujar. “Aku tanya. Apa orang yang wajahnya persis berarti punya hubungan?!”

“Memang tidak selalu. Namun kemungkinannya sangat besar!”

“Baik! Tapi persetan dengan kemungkinan itu! Yang pasti aku tidak mengenal Kiai Lidah Wetan apalagi punya hubungan!”

“Hem.... Bagaimana dengan syarat ku selanjutnya?!” tanya Kiai Tung-Tung.

“Aku memang pernah bertemu dengan Pendekar 131 di dekat sebuah sendang pada beberapa waktu yang lalu!”

Kiai Tung-Tung tampak sedikit terkesiap. “Astaga....Jadi saat itu dia telah mengenaliku....”

“Sikapmu menunjukkan kau terkejut. Kau masih juga meragukan ucapanku?!” tanya Kiai Laras yang dapat menangkap perubahan pada Kiai Tung-Tung.

Kiai Tung-Tung buru-buru sunggingkan senyum. Dan cepat pula angkat bicara. “Syarat selanjutnya....”

“Memang ada beberapa orang yang mampir ke tempat ini!”

“Apakah di antara beberapa itu ada seorang pemuda tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam?!”

“Hem....” Kiai Laras menggumam. “Berarti memang dia telah bertemu dengan Saraswati!” kata Kiai Laras dalam hati. Lalu berucap. “Kalau tidak salah lihat, ucapanmu benar! Aku pernah bertemu dengan pemu- da yang cirinya kau katakan! Malah kalau tidak salah, aku pernah memberi nasihat padanya...!”

“Hem.... Orang ini tampaknya tidak berdusta dengan ucapannya! Tapi aku harus tetap waspada. Di balik ucapan jujurnya mungkin dia punya maksud tersembunyi!” Kiai Tung-Tung membatin.

“Aku telah penuhi syarat yang kau pinta! Sekarang saatnya bagiku menagih imbalannya!” Kiai Laras berkata seraya melangkah maju dua tindak.

Kiai Tung-Tung sejenak tampak kebingungan. KiaiLaras memperhatikan dengan mata menyengat angker.“Telingamu telah dengar ucapanku! Katakan pesan itu!” teriak Kiai Laras.

“Pendekar 131 disuruh datang ke satu tempat....”

“Jahanam! Teruskan ucapanmu!” teriak Kiai Laras saat Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya.

“Dia disuruh datang ke pesisir utara bagian barat dekat dengan teluk!”

“Kapan waktunya?!” tanya Kiai Laras dengan suara tetap tinggi.

“Dia tidak mengatakan kapan waktunya...!”

“Apa maksudnya?!”

“Seperti halnya dirimu saat ini, saat itu pun aku mendesaknya! Namun sampai ajal menjemput, orang itu tetap bungkam!”

“Apa ucapan orang ini bisa dipercaya?! Hem.... Tapi tak ada salahnya aku coba lakukan apa yang dikatakan!” kata Kiai Laras dalam hati. “Aku akan memperpanjang nyawanya sampai aku bisa buktikan benar tidaknya! Jika ucapannya dusta, nyawanya akan ku putus dua kali!”

“Kau masih sayang nyawamu?!” ucap Kiai Laras membuat Kiai Tung-Tung terkejut.

“Aneh.... Bukankah kau tadi....”

Sebelum Kiai Tung-Tung teruskan ucapannya, Kiai Laras telah menukas. “Kalau kau masih sayang nyawamu, apalagi yang kau tunggu?! Lekas angkat kaki dari hadapanku!”

Kiai Tung-Tung menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bercaping lebar ini balikkan tubuh lalu perlahan-lahan melangkah meninggalkan tempat itu.

“Seseorang menyuruh Pendekar 131 datang kesatu tempat dan tidak mau mengatakan apa maksudnya.... Tentu ada satu rahasia! Dan kalau Pendekar 131 yang diberi pesan, rahasia ini tentu bukan sembarang rahasia! Jangan-jangan masih ada hubungannya dengan sebuah kitab atau senjata sakti!” Kiai Laras tersenyum seraya pandangi sosok Kiai Tung-Tung.

“Kembang Darah Setan telah berada di tanganku! Dengan tambahan senjata atau kitab sakti, maka semua urusanku akan bertambah lancar! Ha Ha Ha...!”

Kalau Kiai Laras membatin begitu, Kiai Tung-Tung juga membatin seraya melangkah. “Aku jadi curiga! Mengapa dia memaksaku untuk mengatakan pesan itu! Kalau dia tidak ada hubungannya dengan Pendekar 131 yang palsu, tentu dia tidak akan berbuat begitu! Aku harus mengawasinya....”

Kiai Tung-Tung hentikan langkah. Kepalanya men- dongak. Tangan kanannya diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan ke lobang telinga. Sambil bersiul lagi, laki-laki bercaping lebar ini perlahan-lahan memutar tubuh. Dan perlahan-lahan pula kepalanya digerakkan lurus ke depan.

“Busyet! Ke mana dia?! Masuk lagi ke dalam goa atau....” Kiai Tung-Tung edarkan pandang matanya berkeliling. Dan mungkin untuk memperjelas penglihatan, tangan kanannya digerakkan ke depan. Caping le- bar bagian depan diangkat sedikit, hingga dia bisa menangkap sesuatu yang berada di atas tanpa harus ten- gadah.

Namun sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat sosok Kiai Laras. Kiai Tung-Tung tarik lagi caping lebarnya ke bawah. Saat bersamaan sosoknya bergerak memutar. Lalu perlahan-lahan teruskan langkah. Sejauh dua puluh lima tombak, Kiai Tung-Tung hentikan langkah. Sesaat dia tegak dengan mata melirik ke samping kanan kiri. Kejap lain orang ini membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah melesat dan lenyap di balik rimbun semak belukar di kaki bukit.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok Kiai Tung-Tung, semak belukar di sekitar kaki bukit tampak bergerak-gerak. Gerakan semak ini membentuk jalur ke arah goa di kaki Bukit Kalingga di mana tadi Kiai Tung-Tung dan Kiai Laras bertemu. Tiba-tiba kesunyian kaki Bukit Kalingga dipecah dengan terdengarnya gelakan suara tawa panjang membahana. Gerakan semak belukar sekonyong-konyong terhenti. Lalu terdengar suara di sela suara gelakan tawa.

“Rupanya ada manusia yang belum tahu bahasa kata! Manusia macam ini harus diajari bahasa tangan!”

Suara itu belum lenyap, tiba-tiba terdengar satu deruan keras. Saat bersamaan dua gelombang menghajar ganas ke arah terhentinya gerakan semak belukar.

“Busyet!” terdengar keluhan dari semak belukar di mana saat itu gelombang ganas mengarah! Lalu tampak satu bayangan melesat keluar dari semak belukar. Bayangan ini terlihat membuat gerakan dengan mendorong kedua tangannya.

Blaamm!

Kaki Bukit Kalingga kembali dibuncah suara ledakan keras. Tanahnya laksana dilanda gempa dan muncrat ke udara bersama ranggasan semak. Sosok yang tadi melesat keluar dari balik semak belukar tegak lima langkah di samping semak yang telah porak-poranda. Sesaat setelah bayangan dari semak tegak, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak sejarak empat langkah di hadapan sosok yang keluar dari ba-lik semak.

“Rupanya takdir nyawamu harus tercabut di sini, Manusia! Terbukti kau berani kembali dengan sembunyi-sembunyi!” Berkata orang yang muncul belakangan. Orang ini ternyata Kiai Laras. Kedua tangan-nya bergerak terangkat.

“Tunggu!” seru orang di seberang yang tadi melesat dari balik semak belukar. Orang ini bukan lain ternyata Kiai Tung-Tung. “Aku lupa sesuatu....” Kiai Tung-Tung angkat pula kedua tangannya. Bukannya siap lepaskan pukulan seperti gerakan yang dibuat Kiai Laras. Melainkan kedua tangannya digerak-gerakkan ke samping kiri kanan memberi isyarat agar orang tidak lanjutkan niat.

Sepasang mata Kiai Laras menatap tajam. Mulutnya membuka. “Beraninya kau membuat alasan! Kau kira aku tidak tahu gerak-gerik mu, hah?!”

“Tenang, Sahabat.... Aku bukannya membuat alasan. Aku memang melupakan sesuatu! Tentang pesan itu....”

“Hem.... Begitu?! Cepat katakan apa yang kau lupa!” hardik Kiai Laras tanpa menurunkan kedua tangannya.

“Kuharap kau tidak mengatakan pesan itu pada siapa pun! Bahkan pada Pendekar 131 jika kau nanti sempat bertemu dengannya!”

Kiai Laras sempat menduga-duga dengan ucapan Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung rupanya dapat menangkap arti pandangan orang. Hingga dia buru-buru susuli ucapan.

“Pesan itu disampaikan orang padaku! Jadi akulah satu-satunya orang yang harus mengatakannya pada orang yang diberi pesan.... Jika tidak, aku khawatir orang yang diberi pesan tidak percaya lagi pada pesan itu!”

“Hem.... Hanya itu?!” ujar Kiai Laras setelah Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya.

Yang ditanya sesaat terdiam. Kepalanya berpaling namun ekor matanya melirik. “Kuharap kau juga merahasiakan semua ini! Aku khawatir akan banyak orang berbondong-bondong ke pesisir utara kalau sampai berita ini tersiar! Apalagi kau tahu, saat ini Pendekar 131 sedang menjadi incaran banyak kalangan karena tersiar kabar Kembang Darah Setan telah berada ditangannya!”

“Hanya itu?!” Kembali Kiai Laras bertanya.

“Benar! Hanya itu...,” ujar Kiai Tung-Tung.

Kiai Laras tertawa pendek. “Kau telah kuberi kesempatan untuk tinggalkan tempat ini! Tapi kau kembali.... Maka untuk bisa angkat kaki lagi dari sini, kau harus menerima syarat ku!”

Kiai Tung-Tung terkesiap. “Sahabat....”

“Jangan menyela ucapanku!” bentak Kiai Laras sebelum Kiai Tung-Tung lanjutkan kata-katanya. “Kau terima syarat ku berarti kau bisa tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, itu adalah nasib buruk bagimu!”

“Aku tadi kembali karena masih ada sesuatu yang harus kukatakan padamu! Maka, tidak adil rasanya kalau kembali ku harus kubayar dengan syarat lagi!”

“Persetan!” teriak Kiai Laras. “Buka caping lebar mu!”

Kiai Tung-Tung terkejut mendengar permintaan orang. Dia kembali palingkan wajahnya lurus menghadap Kiai Laras. “Sahabat.... Bukannya aku tidak mau lakukan apa yang kau minta. Tapi....” Hanya sampai di situ ucapan Kiai Tung-Tung. Karena mendadak saja Kiai Laras telah gerakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat.

“Manusia sepertimu layak diperintah dengan tangan!” teriak Kiai Laras.

Kiai Tung-Tung rasakan dua desiran angin menderu ke arah kepalanya. Cepat-cepat orang bercaping ini angkat kedua tangannya. Tangan kiri ditekankan pada caping lebarnya, tangan kanan menghadang di depan kepala. Saat bersamaan kepalanya ditarik sedikit ke belakang.

Bukkk!

Tangan kiri Kiai Laras yang hendak menyambar caping di kepala Kiai Tung-Tung menerpa udara. Sementara tangan kanannya beradu dengan tangan kanan Kiai Tung-Tung. Tangan masing-masing orang yang beradu tampak sama mental ke belakang. Kiai Laras naik pitam. 

Tubuhnya membuat gerakan memutar. Saat sosoknya kembali menghadap Kiai Tung-Tung, kaki kanannya telah lepaskan tendangan dahsyat. Bukan itu saja, bersamaan kaki kanannya yang membuat gerakan menendang, kedua tangannya pun bergerak lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi!

Mendapati serangan beruntun, Kiai Tung-Tung tidak berani main-main. Apalagi pukulan itu dilepas orang dari jarak dekat. Hingga tanpa pikir panjang lagi, Kiai Tung-Tung cepat-cepat tarik kedua tangannya sedikit ke belakang. Saat lain didorong ke depan. Kedua tangan Kiai Tung-Tung sesaat tadi tampak berubah menjadi berwarna kekuningan. Saat kedua tangannya bergerak mendorong, tampak sinar kuning melesat dengan membawa gelombang luar biasa berhawa panas menyengat.

Kiai Laras tersentak. Kaki kanannya yang menendang laksana dihantam gelombang dahsyat hingga terpental dan tubuhnya sedikit terhuyung. Dalam keadaan begitu rupa, Kiai Laras tampaknya maklum akan bahaya yang mengancam. Hingga bersamaan dengan terpentalnya kaki kanannya, orang tua ini lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangannya. Gelombang yang mencuat dari kedua tangannya melesat makin menggidikkan!

Blaarr!

Semburatan warna kuning yang membawa gelombang dahsyat berhawa panas beradu dengan gelombang dari kedua tangan Kiai Laras. Muncratan bunga api tampak membubung di kaki Bukit Kalingga, lalu menebar datar sampai dua tombak berkeliling merambah pepohonan setelah terlebih dahulu perdengarkan suara gelegar keras. Kaki Bukit Kalingga laksana ditelan kepulan asap dan hamburan dedaunan yang telah hangus.

Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya mencelat menghantam sebatang pohon lalu mental lagi sejauh dua tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar di balik semak belukar. Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung tersapu ke udara. Orang ini cepat berusaha imbangi diri tatkala rasakan tubuhnya melayang deras ke bawah. 

Tapi bentrokan pukulan serta gelegar suara dentuman membuat laki-laki bercaping lebar ini laksana disentak-sentak. Hingga meski dia sempat himpun tenaga dan membuat gerakan, namun sudah sangat terlambat dengan luncuran tubuhnya. Dan tanpa ampun lagi so- soknya terbanting di atas tanah.

Kiai Laras memaki panjang pendek. Lalu cepat- cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain orang tua ini berusaha bangkit berdiri. Namun dia merasakan sekujur tubuhnya kehilangan tenaga. Sosoknya terhuyung dan oleng. Saat bersamaan kedua lututnya melipat. Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk. Rahangnya terangkat membatu dengan raut mengetam. 

Bukan saja karena hawa amarah yang melanda dadanya namun lebih dari itu karena sama sekali tidak menduga jika pukulan lawan yang menghadangnya mampu membuat sosoknya tidak mampu bergerak bangkit. Ini menunjukkan kalau orang bercaping lebar memiliki ilmu yang tidak berada dibawahnya!

“Aku harus mengetahui siapa manusia itu sebenarnya! Dia tidak akan kubiarkan lolos!”

Berpikir begitu, Kiai Laras himpun segenap kemam- puan yang ada. Begitu merasakan dapat kuasai diri, tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya. Saat itulah dia baru sadar kalau dari mulutnya telah keluar cairan darah! Jelas menandakan kalau dia sudah terluka bagian dalam.

“Bangsat itu harus mampus! Persetan siapa dia sebenarnya!” kertak Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan bangkit.

Sementara di bagian lain, Kiai Tung-Tung keluarkan gumaman tidak jelas. Namun orang ini bisa segera bergerak bangkit meski sesaat terhuyung-huyung. Sambil lebih tekankan caping lebarnya dalam-dalam ke kepalanya, laki-laki ini edarkan pandang matanya ke semak belukar di mana Kiai Laras jatuh terkapar. Sesaat tadi dia sempat terlengak ketika matanya melihat gerakan semak belukar dan disusul dengan non- golnya kepala berambut putih.

“Sungguh luar biasa.... Dia mampu segera bangkit! Padahal aku tadi telah melepas pukulan ‘Lembur Kuning’!” kata Kiai Tung-Tung perlahan dengan mata tak berkesip.

Namun tiba-tiba sepasang mata Kiai Tung-Tung menyipit. Caping lebarnya bagian depan tampak bergerak-gerak tanda kening orang ini mengernyit. Ternyata nongolan kepala Kiai Laras cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian, kepala itu bergerak ke samping. Kejap lain kepala itu lenyap di balik semak belukar.

“Hem....” Kiai Tung-Tung menggumam. “Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini....” Dia membuat gerakan melompat dua kali dengan kepala tetap berpaling ke arah di mana tadi kepala Kiai Laras nongol, dan lenyap. Begitu dia injakkan kaki dari dua kali lompatannya, laki-laki bercaping lebar ini luruskan kepala ke depan. Saat lain sosoknya berkelebat tinggalkan tempat itu.

Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Kiai Tung- Tung, Kiai Laras bergerak bangkit. Mata orang tua ini langsung membeliak melihat berkelebatnya Kiai Tung-Tung. Laksana disentak setan, Kiai Laras hentakkan sepa- sang kakinya. Sosoknya melesat mengejar. 

Bersamaan dengan lesatan tubuhnya, tangan kanannya yang menyelinap ke balik pakaiannya disentakkan keluar. Tampaklah cahaya tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Kiai Laras angkat tangannya yang ternyata telah menggenggam tangkai Kembang Darah Setan. Serta merta tangan kanannya digerakkan ke depan.

Wuttt!

Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Namun bagaimanapun hebatnya sinar yang keluar dari Kembang Darah Setan, sosok Kiai Tung-Tung sudah terlalu jauh untuk dapat dijangkau. Hingga yang menjadi sasaran kiblatan sinar yang mencuat dari Kembang Darah Setan adalah ranggasan semak belukar serta jajaran beberapa pohon didepan sana. Semak belukar langsung bertabur ke angkasa. Disusul dengan terdengarnya suara derakan tumbangnya beberapa pohon.

Kiai Laras hentikan kelebatannya. Matanya menatap liar berkeliling. Sosok Kiai Tung-Tung sudah tidak kelihatan lagi. Saking marahnya, kaki kanan Kiai Laras bergerak menghentak. Tanah di bawahnya bergetar dan langsung membentuk lobang menganga! Dengan tubuh bergetar, tangan kanan Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan diselinapkan kembali ke balik pakaiannya. Lalu putar tubuh dan melangkah lebar-lebar ke arah goa di depan sana.


***
TIGA
Pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam itu berlari-lari kecil. Sesekali kepalanya bergerak berpaling ke samping kanan kiri. Sepasang matanya waspada menatapi tempat yang dilewati. Raut wajah dan sikapnya jelas menunjukkan kalau pemuda ini berhati-hati. Pada satu tempat, si pemuda berkumis tipis yang bukan lain adalah Saraswati, gadis cantik anak Lasmini dengan Panjer Wengi alias tokoh rimba persilatan yang pada akhirnya dikenal sebagai Tengkorak Berdarah, yang selama ini tetap mengenakan penyamaran sebagai seorang pemuda berkumis tipis hentikan langkahnya. Tangan kanannya diangkat lalu ditadangkan di depan kening untuk hindari silau sengatan sinar matahari.

Sesaat sepasang mata Saraswati membelalak. Dari tempatnya tegak, dia melihat empat orang berkelebat cepat. Gerakan keempatnya laksana dikomando. Dua orang berada di sebelah depan saling berjajar sejarak tujuh langkah. Sementara dua lainnya berada di belakang dengan jarak yang sama. Di atas pundak masing-masing orang ini tampak dua batang bambu agak besar. Tepat di tengah-tengah batang bambu, tampak sebuah tandu tertutup kain merah.

“Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Yang di dalam tandu tertutup itu pasti Putri Kayangan!” gumam Saraswati mengenali siapa adanya keempat orang yang memanggul tandu. Sesaat Saraswati alihkan pandangan matanya ke arah samping kiri kanan.

“Tak ada tempat untuk berlindung...,” gumamnya. Tempat di mana saat itu Saraswati tengah tegak memang sebuah tempat terbuka. Hanya ada beberapa pohon namun batangnya terlalu kecil untuk dapat lindungi tubuhnya dari pandangan mata orang.

“Menurut yang pernah kudengar, Putri Kayangan dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukan manusia baik-baik! Dan mereka berilmu tinggi! Bagaimanapun juga aku harus menghindar.... Aku tak ingin membuat sengketa baru!”

Berpikir begitu, meski sudah yakin beberapa batangan pohon di sekitar tempat itu tidak akan mampu lindungi tubuhnya, namun Saraswati tetap saja berkelebat ke arah salah satu pohon. Namun baru saja Saraswati membuat gerakan, tiba-tiba di hadapannya telah tegak empat orang laki-laki bertelanjang dada, berkepala gundul. 

Raut wajah empat laki-laki ini hampir mirip. Namun bukan kemiripan wajah keempatnya yang membuat orang merinding. Sepasang mata masing-masing orang ini bukannya melebar ke samping kanan kiri, melainkan ke bawah. Demikian juga mulutnya. Bentuk wajahnya pun tidak seperti kebanyakan orang. Sebaliknya lonjong ke bawah!

Laki-laki sebelah depan bagian kanan mengenakan celana kolor warna merah. Di sebelahnya memakai celana kolor warna hitam. Sementara di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana kolor warna kuning. Di sebelah orang ini memakai celana kolor warna hijau. Mereka bukan lain memang empat laki-laki yang dikenal dalam rimba persilatan dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Karena ke mana mereka pergi, mereka selalu menggotong sebuah tandu tertutup kain merah. Dan kalangan dunia persilatan pun tahu siapa adanya orang yang berada di dalam tandu. Dia tidak lain adalah Putri Kayangan.

“Terlambat.... Gerakan mereka luar biasa cepat! Sejenak tadi kulihat masih berada di depan sana. Tapi tahu-tahu sekarang sudah di depanku.... Hem.... Apa boleh buat!” gumam Saraswati dalam hati seraya perhatikan empat laki-laki di hadapannya.

Keempat laki-laki pemanggul tandu balas memandang. Lalu secara bersamaan mereka gerakkan kepala masing-masing saling pandang satu sama lain. Saraswati memperhatikan dengan dada sedikit bergetar. Tengkuknya dingin melihat keangkeran paras wajah orang-orang di hadapannya. 

Hingga hampir bersamaan dengan gerakan kepala keempat orang di hadapannya, gadis yang masih menyaru sebagai pemuda berkumis tipis ini alihkan pandangan matanya ke jurusan lain. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tangan kanannya. Mulutnya yang membelah ke bawah bergerak membuka.

“Kami datang dari jauh. Kami hendak menuju Jurang Tlatah Perak! Kalau tak keberatan, mau tunjukkan pada kami arah mana yang harus kami tempuh?!”

Dahi Saraswati berkerut. Kepalanya perlahan-lahan bergerak menghadap lurus ke arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu. “Untuk apa orang-orang ini mencari Pendeta Sinting?! Hem.... Pendeta Sinting tidak kutemui di Jurang Tlatah Perak, tapi aku belum yakin kalau orang tua itu berada di bukit di mana aku berjumpa dengan muridnya! Apa aku harus mengatakan pada mereka jika Pendeta Sinting tidak ada?! Atau....”

“Kalau kau merasa keberatan, kami tidak memaksa!” Laki-laki bercelana kolor warna merah telah berucap lagi hingga Saraswati putuskan kata hatinya. Habis berkata begitu, si celana kolor warna merah memberi isyarat pada ketiga saudaranya.

Namun sebeulum mereka bergerak, Saraswati buka mulut. “Tentu kalian hendak ke tempat Pendeta Sinting! Benar?!”

“Kami tak bisa mengatakan hendak ke tempat siapa! Yang jelas kami hendak menuju Jurang Tlatah Perak. Dan kami membutuhkan petunjuk!”

“Hem.... Sikap mereka.... Mengapa lain dengan apa yang selama ini kudengar? Mereka tidak memaksa meski tetap merahasiakan tujuannya!” membatin Saraswati seraya sekali lagi memperhatikan keempat tampang laki-laki di hadapannya. Lalu angkat kepalanya lurus ke arah tandu yang tertutup kain merah.

“Mau kalian mengatakan apa urusannya dengan Pendeta Sinting?!” tanya Saraswati. Gadis ini sebenarnya masih ingin tahu kenapa Tokoh-tokoh Penghela Tandu mencari Pendeta Sinting meski para Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak mau mengatakan apa tujuannya ke Jurang Tlatah Perak. Karena Saraswati tahu, Jurang Tlatah Perak hanya dihuni oleh Pendeta Sinting.

Laki-laki bercelana kolor warna merah gelengkan kepala. “Menyesal sekali. Kami tidak bisa mengatakan apa-apa padamu! Sekali lagi kami hanya perlu petunjuk arah mana yang harus kami tempuh menuju Jurang Tlatah Perak!”

“Aku akan katakan ke mana arahnya! Tapi kalian harus katakan dahulu apa maksud kalian ke Jurang Tlatah Perak!” kata Saraswati.

Bersamaan dengan selesainya ucapan Saraswati, kain penutup tandu perlahan-lahan bergerak membuka. Saraswati tengadahkan sedikit kepalanya.

“Ini pasti Putri Kayangan! Selama ini aku hanya bisa melihatnya dari jauh.... Ternyata dia benar-benar cantik jelita...,” gumam Saraswati dalam hati tatkala dapat melihat satu sosok tubuh duduk pada bangku bambu di dalam tandu. Dia adalah seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. Gadis ini tidak lain memang Putri Kayangan adanya.

Putri Kayangan sesaat perhatikan Saraswati dari ujung rambut sampai kaki. Lalu tersenyum tanpa berkata. Saraswati sejenak bimbang. “Apa diabtahu tentang diriku yang menyamar sebagai seorang pemuda?!” Entah sadar atau tidak, Saraswati tampak tundukkan kepala perhatikan dirinya sendiri, khawatir ada sesuatu yang membuat penyamarannya diketahui orang. Begitu yakin tidak ada sesuatu yang membuat orang mengetahui siapa dia sebenarnya, Saraswati angkat kembali kepalanya dan balas tersenyum. Diam-diam dia juga membatin.

“Dia sepertinya ramah.... Tidak sama seperti apa yang kuduga! Tapi aku harus tetap berhati-hati.... Perubahan sikap orang pasti ada apa-apanya!”

“Kau mengenal Pendeta Sinting?!” Tiba-tiba Putri Kayangan angkat bicara.

“Aku tidak bisa menjelaskannya! Yang pasti aku harus tahu setiap orang yang hendak bertemu dengan Pendeta Sinting!” jawab Saraswati.

“Hem.... Selama ini yang kudengar Pendeta Sinting hanya punya murid tunggal.... Aku juga tahu kalau orang tua itu tidak punya sanak saudara! Adalah aneh hubungannya bila dikaitkan dengan ucapanmu....”

“Hem.... Terserah kau bilang aneh atau tidak arti ucapanku! Yang pasti demikianlah kenyataannya!” enak saja Saraswati sambuti ucapan Putri Kayangan.

“Jika begitu, mau katakan siapa kau adanya?!” Saraswati tersenyum. “Aku tahu siapa kau.... Bukankah kau Putri Kayangan?! Dan keempat orang di bawahmu itu Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!” Saraswati gelengkan kepala.

“Sayangnya.... Untuk sementara ini kau harus mengenaliku seperti adanya yang kau lihat!”

Putri Kayangan tidak menunjukkan sikap terkejut atau marah mendengar kata-kata Saraswati. Sebaliknya gadis berparas cantik ini sunggingkan senyum. Lalu tangan kanannya bergerak. Saat yang sama kain penutup tandu menutup. Lalu terdengar ketukan pelan tiga kali. Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak bergerak melangkah tanpa memandang atau berkata-kata lagi pada Saraswati, membuat gadis yang menyamar sebagai pemuda ini kernyitkan dahi dan berucap.

“Kalian sudah tidak memerlukan petunjuk?!”

“Kami memang perlu petunjuk! Tapi sekarang kami tidak akan percaya padamu lagi meski kau mengatakannya tanpa kami harus mengatakan apa tujuan kami!” Suara itu terdengar dari dalam tandu.

“Tunggu!” tahan Saraswati begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu terus melangkah.

Terdengar lagi ketukan tiga kali. Tokoh-tokoh Penghela Tandu hentikan langkah. “Ada yang ingin kau katakan?!” kembali terdengar pertanyaan dari dalam tandu.

“Apa maksud ucapanmu tadi?!” tanya Saraswati.

Terdengar suara tawa dari dalam tandu. “Kalau seseorang sembunyikan diri dalam baju orang lain agar tidak dikenali dan dapat menipu pandangan orang, apakah ucapan orang begitu bisa dipercaya?!”

Saraswati tersentak. Dia maklum kalau orang telah mengetahui penyamarannya. Dia angkat kepala memandang ke arah tandu. Kain merah penutup tandu perlahan membuka. Lalu tampak kepala Putri Kayangan melongok keluar dan berpaling pada Saraswati. Sesaat sepasang mata Putri Kayangan memperhatikan sosok Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum.

“Aku tidak bermaksud membuka apa yang kau sembunyikan dari pandang mata orang. Aku tahu.... Barangkali hal itu kau lakukan dengan satu maksud. Tapi hal demikian telah membuatku tidak percaya pada apa yang kau ucapkan....” Putri Kayangan sejenak hentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan.

“Aku juga tidak bermaksud menunjukkan siapa kami sebenarnya.... Aku tahu, kau punya prasangka buruk pada kami...? Itu dapat kami maklumi. Tapi percayalah, prasangka itu tidak benar! Kami bukanlah orang-orang yang selama ini kau dengar!” Putri Kayangan arahkan pandangan matanya lurus ke depan. Gadis ini tampak menghela napas panjang. “Ada yang masih hendak kau utarakan?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama terdiam.

Saraswati memandang lekat-lekat pada Putri Kayangan. Entah apa yang dipikirkan gadis ini, yang pasti dia angkat tangan kanannya menunjuk ke satu arah sambil berkata. “Terserah kau percaya atau tidak! Kalau kau ingin keJurang Tlatah Perak, kau teruslah kearah timur!”

Putri Kayangan arahkan pandangannya ke jurusan yang ditunjuk Saraswati. Seraya tersenyum dia berujar. “Kulihat kau juga baru dari arah timur.... Apa kau juga baru saja berkunjung ke Jurang Tlatah Perak?!”

Saraswati tarik pulang tangan kanannya. Sesaat dia terdiam dan hanya memandangi Putri Kayangan. “Apa aku akan berterus terang padanya?! Dari sikapnya, apa yang diucapkan sepertinya benar....”

Setelah membatin begitu dan berpikir sesaat, akhirnya Saraswati angkat bicara. “Aku memang baru saja dari Jurang Tlatah Perak.... Dan kau boleh percaya atau tidak, aku tidak bertemu dengan Pendeta Sinting! Melihat tempat kediamannya, aku menduga orang tua itu sudah agak lama meninggalkan Jurang Tlatah Perak!”

Putri Kayangan tersenyum sekali lagi. “Rupanya kali ini dia berkata benar.... Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia menyamar sebagai seorang pemuda?! Dan mengapa pula dia ke Jurang Tlatah Perak...?!”

Baru saja Putri Kayangan hendak utarakan apa yang menjadi pertanyaannya, Saraswati telah putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu. “Tunggu!” seru Putri Kayangan menahan kelebatan sosok Saraswati. Gadis berparas cantik ini segera melesat turun dan tegak di hadapan Saraswati.

“Aku percaya pada ucapanmu...,” ujar Putri Kayangan. “Aku juga berterima kasih atas petunjukmu. Kalau kau tidak keberatan, boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?!”

Saraswati gelengkan kepala. “Untuk permintaanmu itu, aku belum bisa mengatakannya sekarang....” Saraswati menatap berlama-lama pada gadis di hadapannya. Lalu lanjutkan ucapan. “Mau memberi keterangan padaku apa tujuanmu hendak mencari Pendeta Sinting?!”

“Aku mendapat pesan dari seseorang yang harus kusampaikan pada Pendeta Sinting. Selain itu aku juga ingin tanya banyak hal padanya....”

“Kau mengenal dengan baik orang tua itu?!” tanya Saraswati.

“Sebenarnya yang mengenal baik Pendeta Sinting adalah guruku! Ada apa rupanya?”

”Mendengar kabar bahwa Pendeta Sinting sedang dalam perawatan akibat luka dalam. Mula-mula aku tidak percaya dengan berita itu, namun setelah aku berkunjung ke tempatnya dan tidak menemukan dia, mau tak mau aku mulai percaya dengan berita itu!”

“Ah.... Seharusnya hal itu kutanyakan saat bertemu dengan pemuda itu...,” gumam Putri Kayangan seolah berkata dengan dirinya sendiri.

“Siapa yang kau maksud dengan pemuda itu?!” tanya Saraswati dengan dahi berkerut.

Putri Kayangan sesaat tersentak kaget mendengar pertanyaan Saraswati. Dia sama sekali tidak mengira kalau telah bergumam. Hingga mungkin masih kuasai rasa kejutnya, untuk beberapa saat Putri Kayangan tidak segera menjawab pertanyaan orang.

“Kau telah bertemu dengan pemuda murid Pendeta Sinting?!” tanya Saraswati seolah tidak sabar menunggu jawaban pertanyaannya.

“Nada suaranya lain! Jangan-jangan dia kekasih pemuda itu.... Hem.... Melihat raut penyamarannya, tentu dia seorang gadis berwajah jelita....” Putri Kayangan diam-diam membatin. Lalu berkata.

“Aku memang sempat bertemu dengan pemuda murid Pendeta Sinting.... Sayangnya aku buru-buru dan tak sempat menanyakan keadaan gurunya!”

“Di mana kau bertemu?!”

Putri Kayangan tersenyum. “Kau juga mencarinya?!”

Yang ditanya tidak menyahut. Namun Putri Kayangan dapat melihat jelas perubahan pada air muka Saraswati. Hal ini menguatkan dugaan Putri Kayangan. Namun hal ini pula membuat Putri Kayangan seolah menyesal. Putri Kayangan sendiri tak tahu. Mengapa tiba-tiba saja dia merasakan kehilangan sesuatu begitu merasa yakin kalau Saraswati adalah kekasih murid Pendeta Sinting.

“Aku tidak mencarinya!” kata Saraswati dengan nada agak tinggi. Lalu wajahnya dipalingkan sedikit seraya lanjutkan ucapan. “Aku tahu di mana dia berada! Kalaupun suatu saat aku mencarinya, itu untuk memutus selembar nyawanya!”

***
EMPAT
UCAPAN Saraswati menambah kuat dugaan Putri Kayangan. Dan entah karena apa gadis cantik berbaju merah ini akhirnya menanyakan juga apa yang menjadi dugaannya. “Kau kekasih murid Pendeta Sinting? Dan saat ini kalian sedang berselisih?”

Saraswati terdiam untuk beberapa lama. Tiba-tiba gadis yang menyamar sebagai pemuda ini perdengarkan tawa panjang. Lalu hadapkan wajahnya pada Putri Kayangan.

“Apa kalau seseorang sudah memutuskan untuk memutus nyawa seseorang masih pantas di antara keduanya disebut kekasih?!”

Kali ini balik Putri Kayangan yang terdiam mendengar pertanyaan Saraswati. Saraswati seolah sudah tenggelam dalam perasaan geramnya apalagi di pelupuk matanya terbayang kembali apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting pada ibunya juga terhadap dirinya. Hingga dia tidak lagi menunggu jawaban orang, malah segera susuli ucapannya.

“Aku bukan kekasih pemuda keparat itu! Justru dia sekarang musuh besarku!”

Putri Kayangan heran dengan dirinya sendiri. Gadis ini merasa lega mendengar pernyataan Saraswati. Dan sambil sunggingkan senyum dia berujar. “Apakah tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak masih ada hubungannya dengan urusan ini?”

Saraswati gelengkan kepala. “Aku bisa membedakan urusan! Meski muridnya kuanggap sebagai manusia yang harus tewas di tanganku, bukan berarti aku punya silang sengketa dengan gurunya!”

“Dunia ini terkadang menyimpan sesuatu yang aneh....”

“Maksudmu?!” tanya Saraswati.

“Apa yang terdengar belum pasti sesuai dengan kenyataan.... Aku telah agak lama mendengar tentang seluk beluk murid Pendeta Sinting. Namun begitu mendengar keteranganmu, aku jadi ragu tentang apa yang selama ini kudengar!”

“Selama ini aku juga tertipu!” timpal Saraswati. “Dari sikap dan cara bicaranya aku bahkan terkadang belum percaya bahwa pemuda itu buaya jahanam yang bukan saja tidak pandang bulu, tapi juga tidak punya perasaan!”

“Kau tentu pernah mengalami sesuatu yang hebat!”

“Bukan saja hebat! Tapi menjijikkan! Tapi jangan kau bertanya apa yang pernah ku alami! Aku tak akan memberi keterangan!”

“Apa semua ini kau katakan bukan karena kau sakit hati padanya akibat cemburu?”

“Dia memang pemuda tampan dan berilmu tinggi hingga wajar kalau banyak gadis yang berusaha merebut hatinya! Tapi urusanku tidak ada hubungannya dengan semua itu! Bahkan kalaupun seandainya dia kekasihku, aku tak segan-segan membunuhnya! Apalagi dia dan aku tak ada hubungan apa-apa!”

“Hem.... Apa urusan sebenarnya orang ini dengan pemuda itu? Dari keterangannya jelas menunjukkan kalau pemuda itu telah lakukan tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Hem.... Apa benar semua keterangannya? Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan pemuda itu. Dia mengatakan kehilangan Pedang Tumpul 131 dan dari keterangannya aku bisa menduga yang mengambilnya adalah Pitaloka! Sikapnya baik.... Lalu kalau dikaitkan dengan ucapan orang ini, bagaimana mungkin pemuda itu melakukan tindakan yang tidak termaafkan?!”

Selagi Putri Kayangan membatin begitu, Saraswati telah angkat suara lagi. “Aku harus segera pergi. Kelak jika kau jumpa dengan pemuda jahanam itu, aku titip pesan kematian padanya!”

“Kalau kau sekarang tahu di mana dia berada, mengapa tidak sekarang saja kau lakukan apa yang menjadi tujuanmu?” tanya Putri Kayangan coba menyelidik.

Saraswati tertawa pendek sambil gelengkan kepala. “Aku tahu kapan saatnya harus bertindak!”

“Dari keteranganmu aku menduga saat ini kau sendiri masih bimbang dengan apa yang kau lakukan! Terbukti kau masih menunda waktu dan berusaha mencari Pendeta Sinting...,” ujar Putri Kayangan membuat Saraswati sedikit melengak kaget.

“Kau boleh menduga! Tapi bukan berarti dugaanmu benar! Lebih dari itu kau kelak dapat buktikan ucapanku!”

“Tunggu!” seru Putri Kayangan begitu dilihatnya Saraswati hendak berkelebat. “Boleh aku tanya sekali lagi?!”

Meski nada ucapan Putri Kayangan bertanya, namun gadis cantik jelita ini tidak menunggu jawaban. Sebaliknya dia telah angkat bicara lagi. “Apa benar orang yang melakukan tindakan tak termaafkan padamu itu adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?”

“Aku telah kenal lama dengan pemuda itu!” jawab Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini putar diri. Namun anehnya dia tidak segera berkelebat atau melangkah tinggalkan tempat itu. Malah tak lama kemudian terdengar dia berucap. “Mengapa kau meragukan kalau pemuda itu Pendekar 131?!”

“Aku tak bisa menerangkan sekarang. Hanya kuharap kau waspada dan teliti! Ini kukatakan bukan berarti aku mempengaruhi mu. Tapi justru aku telah mengalaminya sendiri! Banyak kalangan orang persilatan menganggapku sebagai manusia jahat! Padahal tindakan itu bukan aku yang melakukannya! Tapi orang yang wajahnya mirip denganku!”

“Siapa percaya dengan keteranganmu!” Tiba-tiba satu suara lain menyeruak. Suara itu berat bergetar. Putri Kayangan dan Saraswati dapat rasakan dengungan pada telinganya. Tanda bahwa siapa pun adanya orang yang perdengarkan suara memiliki tingkat tenaga dalam tinggi.

Putri Kayangan dan Saraswati cepat sama paling- kan kepala ke arah sumber suara yang tiba-tiba menyahut. Dan begitu memandang ke depan, dua orang ini langsung surutkan langkah dengan mata mendelik dan kuduk merinding!

Sementara di seberang samping, begitu mendengar ada suara lain yang terdengar, Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan percakapan Putri Kayangan dengan Saraswati sama-sama gerakkan kepala menoleh. Keempat orang berkepala gundul bertelanjang dada ini sesaat sama pentang mata masing-masing, hingga mata masing-masing orang yang membentuk ke bawah tampak menakutkan.

“Aku hampir tak percaya kalau dia manusia jika saja tidak kudengar suaranya!” gumam Putri Kayangan dengan mata terus memandang tak berkesip kedepan.

“Apa mataku tidak berdusta?!” Saraswati menggumam seolah masih belum percaya dengan apa yang ditangkap matanya.

Sementara Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak kancingkan mulut meski air muka masing-masing orang dipenuhi keheranan. Dan saat lain keempat laki-laki ini saling pandang satu sama lain.

Semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki berambut putih awut-awutan tegak bersandar pada sebatang pohon tidak begitu besar. Laki-laki ini hampir saja tidak bisa dikatakan manusia seandainya tadi tidak perdengarkan suara sahutan dan bergerak-gerak. Karena ternyata anggota tubuh laki-laki ini hanya merupakan kerangka!

“Siapa kau?!” Putri Kayangan yang lebih cepat dapat kuasai rasa kaget segera bertanya.

“Orang bertanya harus dijawab! Aku Setan Liang Makam!” jawab laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka tanpa tertutup daging sama sekali. Habis menjawab pertanyaan orang, laki-laki yang hanya terdiri dari kerangka dan memang Setan Liang Makam adanya gerakkan kepala. Sepasang matanya yang besar berputar liar memperhatikan satu persatubpada Saraswati, Putri Kayangan, dan terakhir pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di hadapan Saraswati dan Putri Kayangan sejarak tujuh langkah. Tangan kirinya bergerak terangkat dan menunjuk lurus pada Saraswati. Saraswati merinding dengan mata membelalak. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dari sikap orang, tampaknya Saraswati sudah bisa menangkap gelagat tidak baik.

Setan Liang Makam buka kerangka mulutnya. Sementara tangan kiri terus menunjuk lurus pada Saraswati. “Aku dengar ucapanmu jika kau tahu di mana Pendekar 131 murid Pendeta Sinting berada! Aku tanya satu kali dan tak akan ku ulangi! Katakan dimana dia berada!”

Saraswati sesaat memandang tajam pada Setan Liang Makam. Lalu melirik pada Putri Kayangan. Paras wajahnya jelas membayangkan kebimbangan.

“Kau dengar ucapanku! Orang bertanya harus dijawab!” Berkata Setan Liang Makam. Tangan kirinya ditarik pulang dengan kepala sedikit didongakkan.

“Untuk apa kau mencari pemuda jahanam itu?!” Saraswati balik bertanya.

“Manusia itu telah mengambil barangku!”

“hem.... Apa berupa pedang sakti?!” Yang angkat bicara adalah Putri Kayangan. Dia teringat akan pertemuannya dengan murid Pendeta Sinting dan menyatakan barangnya berupa pedang telah diambil Pitaloka.

Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Barang ku lebih berharga daripada sebuah pedang sakti! Bahkan lebih berharga dari beberapa kitab sakti!”

Saraswati kerutkan dahi. Tiba-tiba dia teringat akan sekuntum bunga yang sempat dilihatnya dipakai oleh murid Pendeta Sinting saat berkelahi dengan ibunya di Bukit Kalingga.

“Apa barang mu berupa sekuntum bunga bersinar tiga warna?!” Saraswati langsung saja utarakan apa yang ada dalam benaknya.

Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang Makam digerakkan menghadap Saraswati. “Bagus! Kau bukan saja tahu di mana manusia jahanam itu, tapi tahu juga barang apa yang diambilnya! Ini membuktikan ucapanmu tidak dusta! Sekarang lekas katakan tempat di mana keparat itu berada!”

“Hem.... Pasti yang dimaksud orang ini Kembang Darah Setan.... Apa orang yang menyamar itu benar-benar telah melihat Kembang Darah Setan di tangan murid Pendeta Sinting?!” Diam-diam Putri Kayangan membatin. “Kalau benar, mengapa dia tidak menyebut kehilangan Kembang Darah Setan saat bertemu tempo hari? Padahal seandainya pedangnya benar-benar diambil Pitaloka, pasti Pitaloka tak akan sia-siakan kesempatan untuk mengambil Kembang Darah Setan sekalian! Ada yang janggal dalam masalah ini! Aku harus memberitahukan pada pemuda itu....”

Putri Kayangan segera melangkah mendekati Saraswati. Begitu dekat dia tidak segera mengutarakan isi hatinya pada Saraswati. Sebaliknya dia buka mulut bertanya pada Setan Liang Makam.

“Apa barang mu itu benda yang dikenal dengan Kembang Darah Setan?!”

Kembali Setan Liang Makam perdengarkan gelakan tawa keras membahana. “Rupanya pengetahuan kalian berdua luas juga! Barang ku memang Kembang Darah Setan!”

Saat Setan Liang Makam perdengarkan gelakan tawa dan menjawab pertanyaan, kesempatan ini digunakan Putri Kayangan untuk berbisik pada Saraswati. “Kuharap kau tidak mengatakan di mana murid Pendeta Sinting berada pada manusia itu! Aku melihat ada sesuatu yang janggal!”

“Apanya yang janggal?! Aku benar-benar melihat dia menggenggam sekuntum bunga bersinar tiga warna!” Saraswati menyahut dengan berbisik pula.

“Nanti kita bicarakan setelah laki-laki itu pergi! Yang pasti kau harus tidak mengatakan yang sebenarnya di mana murid Pendeta Sinting berada!”

“Kau mengkhawatirkan keselamatan jahanam itu?!” tanya Saraswati dengan tertawa pelan bernada mengejek.

“Jangan salah sangka! Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang aneh!”

“Apa yang kalian bicarakan?!” tiba-tiba Setan Liang Makam menghardik.

Putri Kayangan segera menyambuti hardikan Setan Liang Makam dengan sunggingkan senyum lalu berkata. “Kami berdua ingin meyakinkan apakah benar Kembang Darah Setan adalah milikmu yang diambil murid Pendeta Sinting...!”

“Aku tak peduli kalian yakin atau tidak! Itu urusan kalian! Sekarang aku menunggu jawaban!”

Putri Kayangan melirik pada Saraswati dengan dada berdebar. Gadis cantik jelita ini sangat khawatir jika Saraswati tidak menuruti ucapannya. Sementara Saraswati sendiri sejenak tampak dilanda keraguan. Setelah berpikir sesaat, akhirnya ia buka suara.

“Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan pemuda itu di sebuah kaki bukit!”

“Jangan potong ucapanmu!” bentak Setan Liang Makam.

Putri Kayangan yang dadanya makin gelisah berpaling pada Saraswati. Saraswati sendiri tampak melirik pada Putri Kayangan dengan dada bertanya-tanya. Kebencian dan kegeramannya pada murid Pendeta Sinting entah kenapa tiba-tiba perlahan-lahan sirna. Yang muncul sekarang justru perasaan cemburu.

“Dari tadi gadis ini sepertinya membela Pendekar 131. Dia juga sangat khawatir akan keselamatan pemuda itu.... Apa di antara mereka berdua ada hubungan tertentu?!”

“Sialan! Kenapa kau diam, hah?!” tiba-tiba Setan Liang Makam berteriak. Bola matanya yang terpuruk dalam kerangka rongga mata yang dalam bergerak liar melotot angker menatap pada Saraswati.

“Aku bertemu dia di kaki Bukit Wonoayu....” “Tunjuk arah tempatnya dari sini!” sahut Setan Liang Makam.

“Apa dia tunjuk tempat yang sebenarnya?” Putri Kayangan berkata dalam hati.

“Pergilah ke arah barat. Kira-kira perjalanan setengah hari dari sini kau akan menemukan sebuah sungai. Di seberang sungai ada sebuah bukit kecil. Itulah Bukit Wonoayu!” kata Saraswati.

“Kau berkata jujur?!” tanya Setan Liang Makam. “Aku berkata seperti apa yang kulihat!” jawab Saraswati. 

“Bagus! Tapi jika ternyata nantinya kau berkata tidak seperti kenyataan, kau akan menyesal! Setan Liang Makam akan membuat hamparan bumi tempat yang sempit bagimu!”

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam bukannya segera beranjak pergi, melainkan putar tubuh sedikit menghadap Putri Kayangan. Setelah memandang sejenak, Setan Liang Makam membentak. “Sekarang giliranmu jawab pertanyaanku!”

Putri Kayangan pandangi Setan Liang Makam. Gadis ini belum dapat menduga apa yang hendak ditanyakan orang. Namun dia kancingkan mulut tidak ajukan tanya.

“Apa pesan yang hendak kau sampaikan pada Pendeta Sinting?!”

Sesaat Putri Kayangan tersentak mendengar pertanyaan Setan Liang Makam. Dari pertanyaan orang, gadis ini maklum kalau sebenarnya Setan Liang Makam sudah lama berada di sekitar tempat itu dan mendengarkan apa yang diperbincangkannya dengan Saraswati. Dan kehadiran Setan Liang Makam yang tidak diketahui baik oleh dirinya maupun Saraswati serta Tokoh-tokoh Penghela Tandu telah cukup membuat Putri Kayangan sadar jika orang yang kini tengah dihadapi memiliki ilmu sangat tinggi.

Di lain pihak, begitu mendengar pertanyaan Setan Uang Makam, Saraswati sedikit merasa lega, karena sebenarnya dari tadi dia penasaran dengan pesan yang kata Putri Kayangan harus disampaikan pada Pendeta Sinting.

Sementara itu, mendengar pertanyaan serta sikap Setan Liang Makam terhadap Putri Kayangan, Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama pentang mata. Saat lain keempat laki-laki bertelanjang dada ini telah membuat gerakan yang membawa sosok mereka tahu-tahu telah tegak berjajar di samping Putri Kayangan.

Setan Liang Makam alihkan pandang matanya pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Bersamaan itu tangan kirinya terangkat. Jari telunjuknya yang hanya merupakan kerangka bergerak lurus dan menunjuk satu persatu pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

***
LIMA
”KUDENGAR kalian ada yang buka mulut, akan kujadikan mulut kalian membelah ke samping! Kalian dengar?!”

Tokoh-tokoh Penghela Tandu memang kancingkan mulut. Namun bersamaan dengan selesainya ucapan Setan Liang Makam, keempatnya langsung saja bergerak membentuk barisan. Dua berada di sebelah depan dan dua lainnya di sebelah belakang.

Melihat gelagat, Putri Kayangan segera berpaling dan memberi isyarat dengan gelengkan kepala. Hingga Tokoh-tokoh Penghela Tandu urungkan niat untuk lakukan serangan. Namun keempat orang ini tetap bersiap-siap dengan mata sama-sama mendelik ke arah Setan Liang Makam.

“Bagus! Nyatanya kau bukan gadis tolol! Mengerti tingginya langit dalamnya lautan! Tidak seperti anjing- anjing gundul itu! Ha Ha Ha...! Mereka tidak mau tengadah mengukur tingginya langit! Mereka tidak mau menyelam melihat dalamnya laut! Hingga dia tidak mengerti dengan siapa saat ini sedang berhadapan!” Setan Liang Makam tertawa bekakakan.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu seperti hendak terbang mendengar ucapan Setan Liang Makam. Namun Putri Kayangan segera palangkan tangan kanannya.

“Sahabat-sahabat.... Kuasai diri! Jangan termakan ucapannya! Kita tidak butuh permusuhan....”

Meski dengan dada panas dan berdebar keras, pada akhirnya Tokoh-tokoh Penghela Tandu kembali urungkan niat. Laki-laki bercelana kolor warna merah yang rupanya jadi pimpinan angkat tangan kanannya dan menunjuk pada Setan Liang Makam seraya buka mulut.

“Persetan siapa kau adanya! Saat ini kau beruntung. Namun lain saat jangan harap aku akan membiarkan mulutmu terbuka seenaknya! Dan ingat, sebaiknya kau menghindar bertemu denganku! Karena begitu kita bertemu, kau bernasib malang!”

Ancaman orang membuat Setang Liang Makam makin perkeras gelakan tawanya. Namun mendadak saja, laksana dirobek setan, Setan Liang Makam putuskan gelakan tawanya. “Kita memang tidak akan bertemu lagi. Karena saat ini kalian akan segera kukirim ke neraka!”

Belum habis suara Setan Liang Makam, laki-laki yang tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka ini telah sentakkan kedua tangannya.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ganas ke arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Terlambat bagi Putri Kayangan untuk mencegah. Karena bersamaan dengan melesatnya gelombang dari kedua tangan Setan Liang Makam, Tokoh-tokoh Penghela Tandu telah angkat kedua tangan masing-masing. Lalu keempatnya bergerak saling bersilangan dengan tangan sama melepas pukulan.

Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!

Empat gelombang angin mencuat dari dua laki-laki di sebelah depan. Tak lama kemudian empat gelombang datang menyusul. Inilah jurus pertama dari ‘Barisan Naga Iblis’. Dua orang menghadang terlebih dahulu serangan lawan kemudian dua lainnya segera menyusul. Dua pukulan yang menyusul ini selain untuk membendung pukulan lawan yang tidak bisa dihadang dua orang yang pertama, namun juga untuk membuat lawan tidak punya kesempatan untuk lakukan susulan pukulan! Hingga jika lawan tidak memiliki kecepatan luar biasa, maka jelas lawan akan mengalami akibat fatal.

Blamm!

Terdengar letupan keras tatkala gelombang pukulan Setan Liang Makam bertemu dengan pukulan dua orang di bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Dua orang dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak berseru. Saat bersamaan sosok keduanya tersapu ke belakang hingga lima langkah. Sosok keduanya, yang ternyata adalah si celana kolor warna merah dan hitam terlihat bergetar keras dengan dada turun naik tak karuan serta mulut megap-megap.

Di seberang, Setan Liang Makam hanya bergoyang- goyang sambil umbar tawa bergelak. Namun tawa Setan Liang Makam tiba-tiba terputus. Sosoknya dilanda gelombang angin dahsyat hingga terpental sejauh dua tombak dan jatuh terduduki.

Setan Liang Makam rupanya memandang remeh lawan. Hingga selain hanya kerahkan sedikit tenaga dalam untuk lepas pukulan, dia juga tidak memperhatikan gerakan dua orang di belakang dan dua orang yang lepas pukulan di bagian depan. Kelengahannya ini membuat dirinya sangat terlambat untuk menghadang pukulan yang menyusuli pukulan dua orang di bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya terhantam gelombang dari dua orang di bagianbelakang!

Si celana kolor warna merah dan hitam segera kerahkan tenaga dalam kembali. Mereka tampaknya sudah dilanda kemarahan akibat ucapan Setan Liang Makam. Hingga begitu melihat Setan Liang Makam jatuh terduduk, laksana hendak terbang, kedua orang ini segera melesat.

“Tahan!” Tiba-tiba Putri Kayangan melompat dan memotong kelebatan sosok celana kolor warna merah dan hitam.

“Jangan menambah permusuhan! Kita selesaikan urusan ini dengan bicara baik-baik....”

Si celana kolor warna merah dari hitam memandang sesaat pada Putri Kayangan. “Aku tahu bagaimana menyelesaikan urusan ini tanpa harus ada....” Ucapan Putri Kayangan belum selesai, tiba-tiba terdengar suara dahsyat.

Si celana kolor warna merah mendelik. Tangan kanannya segera mendorong tubuh Putri Kayangan, hingga sosok gadis cantik ini terjajar beberapa langkah ke samping. Saat yang sama, si celana kolor warna merah dan hitam telah melesat ke depan. Dari atas udara kedua orang ini sentakkan tangan masing-masing ke depan, karena saat itu ternyata Setan Liang Makam telah melepas kembali satu pukulan!

Malah mungkin karena tidak mau ulangi lagi kesalahan, begitu lepas pukulan ke arah celana kolor warna merah dan hitam, Setan Liang Makam melompat ke samping. Kedua tangannya kembali bergerak lepaskan pukulan ke arah celana kolor warna kuning dan hijau yang baru saja membuat tubuhnya terpental dan jatuh terduduk.

Si celana kolor warna kuning dan hijau tidak tinggal diam. Dia segera pula lepas pukulan untuk menghadang.
Untuk beberapa saat tempat itu dibuncah suara deruan dahsyat melesatnya beberapa gelombang. Saat lain suara deruan berubah menjadi suara gelegar dua kali berturut-turut.

Sosok Setan Liang Makam tersurut satu langkah dan terhuyung-huyung oleng. Namun di seberang sana, keempat laki-laki bertelanjang dada sama terpelanting sebelum akhirnya sama terkapar di atas tanah. Darah tampak mengucur dari mulut masing-masing orang.

Tampaknya kali ini Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang lengah. Karena melihat Setan Liang Makam bisa mereka buat jatuh terduduk dalam satu kali gebrakan, membuat keempatnya lepas pukulan hanya dengan setengah tenaga dalam yang mereka miliki. Di lain pihak, Setan Liang Makam tidak lagi berani main-main. Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu terkapar, Setan Liang Makam perdengarkan tawa panjang. Sosoknya bergerak melesat ke depan.

“Tunggu!” satu suara menahan. Bersamaan dengan itu satu bayangan melompat dan tegak menghadang lesatan sosok Setan Liang Makam.

“Tak ada gunanya hal ini diteruskan! Kita bicara baik-baik!”

Setan Liang Makam hentikan kelebatannya. Memandang tajam pada orang yang menghadang yang ternyata bukan lain adalah Putri Kayangan. “Baik! Kuampuni nyawa anjing-anjingmu itu! Tapi lekas jawab pertanyaanku tadi! Pesan yang harus kau sampaikan pada Pendeta Sinting!”

“Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pesan itu...,” ujar Putri Kayangan.

“Setan alas! Aku butuh dengar pesan itu! Jangan berani menilai!” sentak Setan Liang Makam.

Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera bangkit lalu kembali tegak berjajar dengan posisi dua di depan dan dua lainnya di belakang. Setan Liang Makam memperhatikan dengan sinis. Putri Kayangan segera memberi isyarat dengan angkat tangan kanannya.

“Guruku memberi pesan agar Pendeta Sinting datang ke tempatnya! Hanya itu perlu ku menemui Pendeta Sinting!”

“Di mana tempat gurumu?!” tanya Setan Liang Makam.

“Lereng Gunung Semeru!”

Setan Liang Makam melotot memandang pada Putri Kayangan. “Kau!” katanya seraya menunjuk lurus pada Putri Kayangan. “Akan kubuktikan ucapanmu!” Lalu tangannya bergerak ke arah Saraswati yang sedari tadi hanya diam. “Kau juga!” kata Setan Liang Makam. “Aku akan ke tempat yang kau tunjuk!” Lalu Setan Liang Makam arahkan telunjuk tangannya silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. “Jika ucapan kalian tidak benar, itu nasib buruk bagi kalian berdua!”

Habis berkata begitu, Setan Liang Makam arahkan tangannya pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu. “Anjing- anjing gundul! Kalian telah membuat lobang dengan Setan Liang Makam! Lobang itu tak akan tertutup sebelum tubuh anjing kalian masuk ke dalamnya!”

Rupanya Putri Kayangan sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan Tokoh-tokoh Penghela Tandu begitu mendengar ucapan Setan Liang Makam. Hingga gadis cantik ini segera putar diri dan langsung berkata. “Sahabat-sahabat.... Kuharap kalian bersabar!”

Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ternyata telah angkat tangan masing-masing sesaat saling berpandangan. Lalu dengan menghela napas dalam mereka turunkan tangan. Setan Liang Makam memperhatikan sekali lagi pada beberapa orang di tempat itu. Kejap lain, tanpa berkata apa-apa, dia berkelebat sambil perdengarkan suara tawa panjang.

“Mengapa Putri mengatakan pesan serta tempat kediaman Eyang Guru?!” Bertanya si celana kolor warna merah.

“Pesan dan tempat kediaman Guru tidak ada gunanya bagi Setan Liang Makam! Karena bukan pesan atau tempat itu sebenarnya yang dicari!”

“Tapi kalau dia tidak menemukan Pendeta Sinting, dia akan datang ke lereng Semeru!” Kali ini yang angkat bicara adalah laki-laki bercelana hitam.

“Guru pasti dapat menyelesaikannya! Dan aku akan memberitahukan kejadian ini jika kelak berjumpa dengan Pendeta Sinting! Dengan begitu dia pasti akan menunda menemui Guru....”

Putri Kayangan melangkah mendekati Saraswati. “Kau mengatakan yang sebenarnya pada orang itu tadi?!”

Kecemburuan Saraswati semakin dalam begitu mendengar pertanyaan Putri Kayangan. “Dia seolah menganggap sepele apa yang baru saja menimpa para pembantunya. Dan sangat mengkhawatirkan sekali akan keselamatan pemuda itu! Aku ingin tahu sampai di mana hubungan antara mereka!” Saraswati membatin. Lalu berkata.

“Kematian pemuda jahanam itu akan mengobatiku meski sebenarnya aku masih merasa kecewa jika bukan tanganku sendiri yang memutus selembar nyawanya!”

“Gila! Jadi kau mengatakan yang sesungguhnya tentang tempat murid Pendeta Sinting berada?!” tanya Putri Kayangan dengan wajah berubah.

Saraswati tersenyum seraya anggukkan kepala. “Apa boleh buat!”

Putri Kayangan menghela napas panjang dengan wajah dipalingkan. “Seharusnya kau tadi menuruti permintaanku!”

“Permintaanmu lain dengan tujuanku! Dan kurasa tidak ada yang perlu disesalkan dalam hal ini!”

“Benar! Tapi aku menangkap ada kejanggalan dalam hal ini!”

“Tapi aku tidak melihat adanya hal itu! Aku bertemu dengan pemuda jahanam itu dan mata kepalaku melihat sendiri di tangannya menggenggam sekuntum bunga bersinar tiga warna! Apanya yang janggal?”

Putri Kayangan gelengkan kepala perlahan. “Kau tak tahu apa sebenarnya yang terjadi....”

Saraswati tertawa panjang. “Aku mengalaminya sendiri! Bagaimana mungkin kau mengatakan aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi?! Kau ini aneh.... Aku menduga ada apa-apa antara kau dengan pemuda keparat itu!”

Putri Kayangan terkejut. “Kau cemburu padaku?!”

Saraswati tidak menjawab atau memberi isyarat sebagai jawaban atas pertanyaan Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri sebenarnya menunggu jawaban. Hatinya gelisah. Namun setelah ditunggu agak lama Saraswati tidak juga memberi jawaban, akhirnya Putri Kayangan angkat bicara.

“Aku akan cerita padamu. Kau boleh percaya boleh juga tidak!” Putri Kayangan alihkan pandang matanya jauh ke depan sana seraya lanjutkan ucapan. “Aku punya seorang saudara kembar yang wajah maupun pakaiannya persis denganku! Dia juga bersama empat orang laki-laki sahabatnya yang juga adalah saudara empat sahabatku itu!”

Sesaat Putri Kayangan hentikan keterangannya. Saraswati sejenak tampak terkesima mendengar penuturan Putri Kayangan. Namun sejauh ini dia belum menyahut. Hingga Putri Kayangan lanjutkan keterangan.

“Aku tahu bagaimana tindakan saudara kembar ku itu! Itulah salah satu tujuanku turun dari lereng Semeru. Beberapa waktu berselang, aku sempat berjumpa dengan murid Pendeta Sinting! Dia bersama seorang tokoh yang kukenal dengan gelar Datuk Wahing. Ternyata murid Pendeta Sinting baru kehilangan Pedang Tumpul 131! Anehnya begitu aku muncul, dia langsung menuduh akulah yang mengambil pedangnya!”

Kembali Putri Kayangan hentikan keterangan. Sementara Saraswati tampak makin bingung. Namun belum berusaha mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Dia tetap menunggu sampai nanti Putri Kayangan selesaikan keterangannya.

“Setelah murid Pendeta Sinting menerangkan duduk persoalannya, aku baru bisa menebak siapa gerangan yang mengambil senjata miliknya! Dia bukan lain adalah saudaraku sendiri!”

Putri Kayangan hentikan ucapan. Kali ini dia agak lama tak berkata lagi. Hingga Saraswati akhirnya buka mulut. “Dari keteranganmu, kurasa tidak ada yang janggal! Kau telah menduga pedang itu diambil oleh saudara kembar mu sendiri! Berarti orangnya sudah jelas!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Ada yang belum kukatakan....” Putri Kayangan alihkan pandang matanya pada Saraswati. “Saat ini hampir semua kalangan rimba persilatan telah mendengar jika Kembang Darah Setan berada di tangan murid Pendeta Sinting....”

“Aku bukan hanya mendengar! Tapi aku telah melihatnya sendiri!” Saraswati menyahut.

“Di sinilah kejanggalan itu!”

“Maksudmu...?!”

“Kalau benar Kembang Darah Setan telah berada di tangan murid Pendeta Sinting, tentu saudara kembar ku tidak sia-siakan kesempatan hanya dengan mengambil pedangnya dan meninggalkan Kembang Darah Setan! Siapa pun tahu, Kembang Darah Setan adalah sebuah senjata dahsyat! Kalau saudaraku bisa mengambil Pedang Tumpul 131 aku yakin dia tidak akan kesulitan mengambil Kembang Darah Setan!”

Putri Kayangan kembali alihkan pandangan. Lalu berkata lagi. “Kalau benar murid Pendeta Sinting memiliki Kembang Darah Setan, saat itu juga pasti dia terus terang akan mengatakan juga jika Kembang Darah Setan di tangannya juga lenyap! Anehnya, murid Pendeta Sinting tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Setan! Ini membuatku yakin bahwa sebenarnya dia tidak memiliki Kembang Darah Setan!”

“Bisa saja dia tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Setan! Karena takut akan banyak orang memburu saudara kembar mu!” ujar Saraswati.

“Dalam keadaan panik kehilangan pedangnya, tidak mungkin murid Pendeta Sinting mampu menyembunyikan rasa kecewanya dengan hilangnya Kembang Darah Setan jika benda itu memang ada di tangannya!”

“Dia pandai bicara dan bersikap pura-pura! Banyak orang yang selama ini tertipu dengan sikapnya! Tidak terkecuali aku! Lebih dari itu, mataku tidak mungkin berdusta! Aku benar-benar melihatnya menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Itulah yang ku maksud dengan kejanggalan itu! Kau melihatnya menggenggam Kembang Darah Setan! Sementara aku yakin dia tidak memiliki Kembang Darah Setan!Jadi ada yang tidak beres disini!”

“Aku tidak menganggap itu sebagai satu hal yang janggal! Aku melihat dengan mata sementara kau hanya dengan keyakinan! Melihat dengan mata pasti benar! Tapi melihat dengan keyakinan belum tentu benar!”

Putri Kayangan akhirnya terdiam. Sementara Saraswati tersenyum lalu berkata. “Kulihat dari tadi kau selalu mengkhawatirkan jiwa pemuda itu! Kau tahu di mana dia berada! Sementara saat ini ada orang yang menginginkan jiwanya! Mengapa kau tidak segera ke sana?!”

Habis berkata begitu, Saraswati berkelebat. Kali ini Putri Kayangan tidak lagi menahan Saraswati. Dia hanya memandang dengan perasaan gundah. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke tempat pemuda itu sesuai petunjuk dari pemuda berkumis tipis yang menyamar itu?! Perjalanan ke Jurang Tlatah Perak rasanya tidak perlu lagi karena orangnya tidak ada.... Hem.... Sebaiknya....” Putri Kayangan balikkan tubuh. Lalu melangkah mendekati Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

“Kita batalkan ke Jurang Tlatah Perak. Kita menuju ke Bukit Wonoayu!”

“Putri.... Kau percaya dengan ucapan pemuda itu tadi?!” tanya si celana kolor warna merah.

“Kita ke sana untuk membuktikan benar tidaknya ucapannya!”

Putri Kayangan melompat. Saat lain gadis cantik ini telah masuk ke dalam tandu yang diletakkan di atas tanah. Begitu Putri Kayangan masuk ke dalam tandu, Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat. Tak lama kemudian, keempat laki-laki berkepala gundul bertelanjang dada ini telah berlari-lari dengan pundak masing-masing memanggul dua batangan bambu yang tepat di tengahnya terdapat tandu berkain merah.

***
ENAM
BAYANGAN putih itu hentikan kelebatannya di tepi sebuah sungai. Memandang ke depan dia hanya melihat hamparan sungai beriak yang di sana sini terdapat beberapa tonjolan batu. Di seberang sungai tampak sebuah bukit kecil. Jauh di sebelah barat terlihat lembah luas gersang. Si bayangan putih angkat tangannya mengusap wajah.

Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lanjut. Seluruh wajahnya telah mengeriput dan hanya dibungkus lapisan daging tipis. Hingga yang tampak menonjol adalah tengkorak wajahnya. Sepasang matanya besar. Dan mungkin demikian tuanya, rambut nenek ini hanya tinggal merupakan bulu-bulu halus berwarna putih. Hingga jika tidak dilihat secara seksama, kepala nenek ini seperti gundul plontos. Dia mengenakan pakaian putih panjang.

“Aku belum bisa memutuskan langkah apa yang kulakukan sekarang. Maladewa ternyata diberi takdir baik. Dia bisa selamat keluar dari Kampung Setan. Hanya saja aku merasa menyesal.... Mengapa Kembang Darah Setan kudengar raib dari tangannya!” Si nenek membatin.

Dia memandang riakan air sungai seraya menghela napas dalam. “Siapa sebenarnya yang memegang Kembang Darah Setan saat ini? Kabar tentang Pendekar 131 yang katanya memegang Kembang Darah Setan nyatanya hanya omong kosong! Aku telah bertemu dengan pemuda itu. Dari pancaran tubuhnya, aku sudah bisa memastikan kalau dia tidak memiliki Kembang Darah Setan! 

Hem.... Sayangnya aku belum bisa bertemu dengan Maladewa! Cucuku malang.... Seandainya kau tidak keburu nafsu dan menunggu sampai upacara penyerahan, tentunya peristiwa ini tidak akan terjadi! Dan nama Kampung Setan sudah pasti akan menjulang seperti pada beberapa puluh tahun silam....”

Si nenek yang tidak lain adalah Nyai Suri Agung, nenek Maladewa yang sekarang telah bergelar Setan Liang Makam arahkan kepala menghadap lembah gersang di seberang barat. “Usiaku sudah begini lanjut. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan ini sendiri! Dan ini memang bukan menjadi hakku! Ini hak Maladewa untuk melakukannya! Tapi tanpa Kembang Darah Setan apa bisa?!”

Nyai Suri Agung kembali menghela napas panjang. Paras wajahnya jelas membayangkan perasaan menyesal dan kecewa. “Ah.... Apa hendak dikata. Takdir memang sudah mengharuskan demikian! Tanpa atau dengan Kembang Darah Setan di tangannya, aku harus menyampaikan amanat ini pada Maladewa! Aku akan merasa berdosa kalau tidak mengatakannya! Terserah setelah itu apa yang hendak dilakukan Maladewa! Yang penting aku sudah menyampaikan amanat nenek moyang.... Secepat mungkin aku harus menemukan Maladewa!”

Membatin sampai di situ, akhirnya Nyai Suri Agung berniat meninggalkan tepian sungai. Namun belum sampai nenek ini lakukan apa yang telah diputuskan, telinganya yang tajam bisa met ungkap kelebatan seseorang menuju arah sungai di mana saat itu si nenek berada. Tanpa gerakkan kepala berpaling pada arah datangnya orang, Nyai Suri Agung angkat kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. 

Saat yang sama sepasang matanya dipejamkan. Nyatanya Nyai Suri Agung tidak menunggu lama. Baru saja sepasang matanya memejam, dari arah timur tampak satu bayangan berlari cepat. Hanya beberapa saat bayangan itu telah berada sejarak lima belas langkah di belakang Nyai Suri Agung dan tegak dengan mata memandang tak berkesip.

“Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikenakan manusia itu! Apakah memang dia?!” Orang yang baru muncul di belakang sana membatin.

Dan baru saja orang di belakang membatin, Nyai Suri Agung telah perdengarkan suara. “Katakan siapa kau dan apa gelarmu jika punya!” Suara si nenek terdengar berat dan parau. Malah suara itu seperti menggema ke seantero tempat itu!

Orang di belakang sana terkesiap dan langsung surutkan langkah satu tindak. Bukan karena teguran orang, melainkan suara itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenal!

“Dari suaranya aku hampir yakin memang dia! Apa dia sengaja menungguku di sini?! Dari mana dia tahu aku akan datang ke tempat ini?! Hem.... Tapi ini satu rezeki besar bagiku....”

“Kau dengar perintahku, Manusia! Lekas jawab!” Nyai Suri Agung kembali perdengarkan teguran.

“Aku Setan Liang Makam! Dan siapa aku tentu kau telah mengenalnya!” jawab orang di belakang sana yang ternyata adalah seorang laki-laki berambut awut-awutan dengan sekujur tubuh hanya merupakan kerangka tanpa dilapis daging sama sekali dan tidak lain memang Setan Liang Makam adanya.

Suara jawaban orang belum selesai, Nyai Suri Agung telah putar diri. Namun ia belum buka kelopak matanya meski telah beberapa saat menghadap orang. Dia sengaja ingin memberitahukan pada orang siapa dirinya! Walau sudah dapat menduga, namun begitu Nyai Suri Agung putar diri menghadap, tak urung Juga Setan Liang Makam masih terkesima. Perlahan-lahan Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Bola mata itu untuk beberapa lama memperhatikan orang dari atas hingga bawah.

“Aku tidak mengenalmu! Tapi aku memang pernah dengar suaramu! Katakan siapa kau sesungguhnya!” kata Nyai Suri Agung.

Setan Liang Makam bukannya menjawab pertanyaan orang, melainkan melangkah perlahan-lahan mendekati Nyai Suri Agung.

“Jangan berani mendekat sebelum kau katakan siapa kau sebenarnya!”

Setan Liang Makam tidak pedulikan ancaman si nenek. Dia teruskan langkah dan berhenti empat langkah dihadapan Nyai Suri Agung. Setan Liang Makam sengaja tegak dengan kancingkan mulut dan hanya memandang pada si nenek.

“Kalau kau tak mengerti bahasa ucapan, aku akan mengajarimu bahasa tangan!” kata Nyai Suri Agung sudah mulai geram melihat sikap orang.

“Kau lupa padaku?!” tanya Setan Liang Makam.

“Kau telah dengar! Aku memang mengenali suaramu tapi aku tidak kenal siapa dirimu!”

“Kau pernah merasa punya seorang cucu?!” kembali Setan Liang Makam bertanya.

“Hem.... Suaranya jelas dia. Tapi rupanya.... Dan ucapannya tadi.... Apakah yang di hadapanku ini Maladewa?!” Nyai Suri Agung menduga-duga.

“Aku memang punya cucu, tapi namanya bukan Setan Liang Makam!”

Setan Liang Makam kembali melangkah. Dan tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut di hadapan Nyai Suri Agung. “Eyang Guru.... Aku adalah Maladewa.... Murid dan cucumu....”

Nyai Suri Agung laksana tersedak. Dia arahkan pandang matanya ke bawah memperhatikan pada sosok Setan Liang Makam yang duduk berlutut. Kepalanya menggeleng perlahan. Dan seolah tidak sadar mulutnya membuka. “Apakah benar kau cucuku si Maladewa...?”

“Aku minta maaf atas tindakanku padamu pada puluhan tahun silam.... Kini aku baru sadar akan kekeliruan ku....” Suara Setan Liang Makam terdengar serak.

Nyai Suri Agung bungkukkan sedikit tubuhnya lalu menarik pundak Setan Liang Makam hingga laki-laki ini berdiri. “Kau tak perlu minta maaf. Aku maklum akan apa yang kau lakukan! Kau saat itu masih muda dan mendengar hasutan dari kanan kiri sebelum kau siap menerimanya! Hanya sebenarnya aku sangat menyesal sekali. Mengapa hal itu harus terjadi.... Padahal kau telah dipersiapkan sejak lama untuk menjunjung kembali harkat kebesaran keluarga! Tapi sudahlah.... Semuanya sudah terjadi....”

Nyai Suri Agung arahkan pandang matanya pada riakan air di depan sana. “Aku tidak menduga kalau kita dipertemukan di sini! Lebih-lebih aku tidak menduga kalau kau sudah sangat berubah....”

“Ini karena keadaanku yang terkubur di makam batu itu!”

“Maladewa.... Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu! Sebenarnya hal ini harus kukatakan padamu pada beberapa tahun silam. Namun karena keadaan tak memungkinkan, terpaksa baru saat ini kukatakan! Tapi sebelumnya aku ingin tanya padamu!”

Maladewa alias Setan Liang Makam sedikit kaget dan menduga-duga. Sementara Nyai Suri Agung berpaling dan angkat suara lagi.

“Di mana Kembang Darah Setan?!”

Setan Liang Makam tampak gelagapan. Nyai Suri Agung memperhatikan dengan mata menyipit. “Benda itu diambil seorang pemuda....”

“Aku ingin mendengar bagaimana sampai Kembang Darah Setan bisa diambil orang!” kata Nyai Suri Agung dengan suara agak tinggi. Nadanya jelas mengandung kemarahan.

“Sebagaimana yang kau ucapkan, setelah aku masuk kedalam makambatu, ternyata semuanya benar! Begitu aku berada di dalam makam batu selama ham-pir tiga puluh enam tahun, pada satu saat, tiba-tiba saja ada seseorang yang muncul dan mau membebaskan aku! Aku bertanya padanya. Ternyata dia tahu rahasia bagaimana caranya membongkar makam batu! Hanya saja, sebagai imbalannya, dia meminta Kembang Darah Setan! 

Karena aku masih ingin hidup, terpaksa aku menyetujui permintaannya!” Setan Liang Makam memberi keterangan tanpa berani memandang ke arah Nyai Suri Agung. (Lebih jelasnya tentang bagaimana Maladewa bisa keluar dari makam batu, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kembang Darah Setan).

“Siapa pemuda yang mengambil Kembang Darah Setan itu?!”

“Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!”

Nyai Suri Agung mendengus. “Kau jangan berdusta padaku, Maladewa!”

“Nek! Aku memang bukan cucu yang baik! Tapi dalam hal ini aku berkata jujur!”

“Kau masih dusta, Maladewa!”

“Nek! Dalam keadaan seperti sekarang ini tak ada untungnya berkata dusta padamu! Pemuda itu adalah Pendekar 131 Joko Sableng!”

Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku telah bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Dari pancaran tubuhnya aku sudah bisa mengatakan dengan pasti jika pemuda itu tidak memegang Kembang Darah Setan! Maladewa! Katakan dengan jujur, siapa yang mengambil Kembang Darah Setan!”

“Nek! Terserah kau mau percaya atau tidak! Bangsat itu adalah Pendekar 131!”

Nyai Suri Agung menghela napas dalam. “Dalam rimba persilatan memang tersiar kabar jika Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Maladewa pun seakan yakin kalau pemuda itu yang mengambilnya! Tapi aku tetap pada keyakinanku kalau pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Setan! Hem.... Bagaimana hal ini bisa terjadi?!” Nyai Suri Agung berkutat dengan batinnya sendiri.

“Cucuku, Maladewa.... Kau pernah berjumpa dengan pemuda itu?!”

“Semenjak keluar dari makam batu, aku pernah sekali berjumpa dengannya! Sayang saat itu dia bisa lolos! Tapi aku telah bersumpah untuk mencarinya! Dan kini aku tahu di mana dia berada!”

“Coba katakan di mana dia berada!” kata Nyai Suri Agung.

Setan Liang Makam angkat tangan kanannya lalu ditunjukkan pada bukit di seberang sungai. Nyai Suri Agung tampak sedikit heran. “Dari mana kau dapatkan keterangan jika Pendekar 131 berada di bukit itu?!” 

“Dari seorang pemuda yang sempat kutemui tidak jauh dari tempat ini!” Setan Liang Makam lalu menceritakan pertemuannya dengan Saraswati dan Putri Kayangan.

“Kau terlalu percaya pada orang yang belum kau kenal, Cucuku! Kau lupa. Dunia di mana kita sekarang berada adalah dunia persilatan. Dunia yang seharusnya tidak boleh begitu saja percaya pada orang! Karena di dalamnya kebohongan dan fitnah merupakan hal yang lumrah! Seharusnya kau belajar dari apa yang pernah kau alami! Kau pernah dikhianati oleh orang yang kau percaya hingga kau sendiri akhirnya terjerumus masuk ke dalam makam batu! Kau tahu, Cucuku.... Tanpa ke bukit itu, aku sudah bisa memastikan kalau disana tidak ada seorangpun!”

“Hem.... Aku mengenal betul siapa dia! Ucapannya tidak pernah melesat!” kata Setan Liang Makam dalam hati. Mendadak saja paras wajah Setan Liang Makam berubah. Sepasang matanya mendelik angker. Tulang pelipisnya bergerak-gerak.

“Jahanam itu telah berkata dusta padaku! Dia tidak tahu! Dia tidak tahu dengan siapa dia berani main- main! Lebarnya dunia akan kubuat sempit bagi langkahnya! Dalamnya laut akan kubuat sejengkal bagi tempat persembunyiannya!” Setan Liang Makam hentakkan kaki. Tanah di tempat itu kontan bergetar keras dan tanahnya muncrat!

Nyai Suri Agung menggeleng. “Percuma kau menyumpah-nyumpah, Cucuku! Semuanya sudah telanjur! Yang penting, mulai saat ini kau tidak boleh percaya pada siapa pun! Bahkan pada keyakinanmu sendiri jika kau belum melihat dengan mata kepalamu!”

Setan Liang Makam coba menindih gejolak hawa kemarahan. Lalu berkata dengan dada masih bergerak turun naik pertanda belum sepenuhnya dia dapat kuasai diri. “Nek! Kau tadi mengatakan hendak menyampaikan sesuatu...!”

“Cucuku.... Sebenarnya hal ini kusampaikan ketika Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Namun mengingat usiaku sudah terlalu tua, dan jika menunggu Kembang Darah Setan aku khawatir terlambat, maka meski dengan tanpa Kembang Darah Setan di tanganmu, hal ini harus kusampaikan....” Nyai Suri Agung sesaat hentikan ucapannya Setelah menarik napas dia teruskan ucapan. “Kau kembalilah ke Kampung Setan. Hancurkan altar batu putih di dekat makam batu di mana kau pernah terkubur!”

Setan Liang Makam mendengarkan dengan seksama. Begitu Nyai Suri Agung hentikan ucapan, dia angkat bicara. “Nek.... Bukankah altar itu hanya sebagai pembuka makam batu?!”

“Itu jika diinjak! Tapi kalau dihancurkan, kau akan menemukan hal lain! Tapi ada satu hal yang harus kau ingat, Maladewa! Lakukan apa yang kukatakan jika kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah Setan! Jika tidak, kau hanya akan mengalami kecewa! Karena kau tak akan mendapatkan apa-apa!”

“Nek.... Sebenarnya ada apa di sana?!”

Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Aku tidak bisa mengatakannya! Kau sendiri kelak akan mengetahuinya! Hanya aku bisa memastikan, jika kau telah berhasil maka kejayaan Kampung Setan akan kembali! Dan kaulah satu-satunya tumpuan dalam urusan ini!”

Nyai Suri Agung putar tubuh. “Cucuku.... Sekarang kau harus cepat mendapatkan kembali Kembang Darah Setan! Dan kau harus ingat. Jangan termakan dengan berita yang kini tersebar dalam rimba persilatan! Setiap orang harus kau curigai! Sekarang aku harus pergi....”

“Nek! Tunggu!” tahan Setan Liang Makam, membuat Nyai Suri Agung urungkan niat untuk tinggalkan pinggiran sungai.

“Boleh aku minta sesuatu padamu?!”

“Aku sudah tidak punya sesuatu yang pantas kuberikan padamu, Cucuku! Dan keterangan yang baru saja kau dengar sudah lebih berharga dari segalanya!”

“Kau masih memiliki ilmu ‘Pantulan Tabir’...!”

“Kau ingin aku mampus sekarang?!” tanya Nyai Suri Agung.

“Nek.... Apa maksudmu?!”

“Ilmu itu hanya bisa diwariskan pada satu orang! Begitu diwariskan pada orang kedua, maka yang mewariskan akan menemui ajal!”

Setan Liang Makam memaki dalam hati. Lalu berujar pelan dengan nada marah. “Kalau begitu, berarti nenek telah berbuat ceroboh! Nenek telah mewariskan ilmu langka itu pada Galaga yang sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan kita!”

Nyai Suri Agung sedikit belalakkan mata. Masih tanpa memandang pada Setan Liang Makam, si nenek berkata. “Kau jangan menyalahkan aku, Maladewa! Galaga memang tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Namun sebenarnya dia kupersiapkan untuk membantumu jika saatnya datang! 

Aku mewariskan ilmu ‘Pantulan Tabir’ padanya karena aku yakin kau akan mendapatkan yang lebih daripada yang kuberikan pada Galaga! Sayangnya.... Semua rencana itu harus buyar akibat nafsumu yang tidak mau bersabar! Seandainya kau saat ini tidak tergesa-gesa, tentu saat ini kita tidak begini!”

“Nek.... Apa Galaga juga telah tahu apa yang baru kau katakan tadi?!”

“Cucuku...! Hubungan ku dengan Galaga hanya terbatas sebagai murid dan guru! Sementara kau adalah cucuku! Aku dapat memisahkan mana yang harus kukatakan pada murid dan mana yang harus kukatakan pada cucuku sendiri!”

“Berarti dia tidak tahu tentang rahasia batu altar itu! Tapi bukan berarti aku akan membiarkannya hidup!” ujar Setan Liang Makam.

“Maladewa.... Kau tahu, jika begini perjalanan yang harus kita tempuh, sebenarnya aku merasa menyesal mewariskan ilmu itu pada Galaga. Tapi sudahlah.... Semuanya sudah terjadi! Aku menyerahkan semuanya padamu! Kalau kau anggap Galaga sebagai perintang, kau tahu apa yang harus kau lakukan, begitu pula sebaliknya!”

“Nek.... Apa tidak sebaiknya kita bersama-sama mencari Kembang Darah Setan?!”

“Kembang Darah Setan telah kuserahkan padamu! Kau yang harus menjaga sekaligus mendapatkannya kembali jika benda itu lolos dari tanganmu! Aku semata-mata hanya sebagai perantara dan penunjuk!”

Dada Setan Liang Makam kembali bergerak turun naik. Nyai Suri Agung rupanya bisa menangkap apa yang melanda dada cucunya.

“Maladewa.... Aku tahu, kau mungkin merasa tidak suka dengan perkataan ku tadi! Tapi kau harus maklum, itu adalah yang harus kukatakan! Dan kau jangan menganggap ucapanku tadi sebagai isyarat aku cuci tangan! Tidak, Cucuku.... Aku akan tetap membantumu sekuat apa yang ku bisa! Dan kau harus paham. Demi keluarga, apa pun akan kulakukan! Meski harus membunuh murid sendiri!”

Nyai Suri Agung tengadahkan kepala. “Lekas dapatkan kembali Kembang Darah Setan! Kita bangun kembali puing kehancuran Kampung Setan agar bisa tegak jaya sebagaimana puluhan tahun silam!”

Masih dengan mendongak, Nyai Suri Agung perlahan-lahan melangkah. Setan Liang Makam melompat dan tegak di samping neneknya. “Nek! Sekarang hendak ke mana kau pergi?!”

“Kau punya urusan yang harus segera kaulakukan! Aku pun punya urusan yang juga harus kulaksanakan!”

Habis berkata begitu, Nyai Suri Agung luruskan kepala. Saat bersamaan nenek ini gerakkan kaki. Sosoknya melesat dan kejap lain telah berada di depan sana sebelum akhirnya lenyap dari pandangan Setan Liang Makam. Setan Liang Makam putar kepala ke arah bukit di seberang sungai. Dadanya tiba-tiba bergetar keras.

“Aku tidak akan lagi percaya pada mulut orang! Semuanya penipu busuk! Penipu busuk!” Saking marahnya, Setan Liang Makam hantamkan kedua tangannya ke aliran sungai di hadapannya.

Byurr! Byurr!

Air sungai muncrat sampai dua tombak ke udara. Lamping tanah pinggiran sungai longsor terkena gelombang riak air tatkala muncratan air itu menghempas kembali. Dan begitu aliran sungai telah mengalir tenang kembali, sosok Setan Liang Makam sudah tidak kelihatan lagi.


***
TUJUH
Dua orang itu duduk bersila saling berhadapan di sebuah tempat sepi di pinggiran hutan. Saat itu matahari sudah lama tenggelam. Bentangan langit hanya disemaraki titik-titik bintang tanpa cahaya sang rembulan, hingga dua orang yang duduk bersila di pinggiran hutan itu laksana bayang-bayang hitam pantulan batangan pohon yang banyak berjajar di sekitar jalanan menujuhutan.

Walau suasana kelam dan sepi, namun sesekali dua orang itu tampak gerakkan kepala ke samping kanan kiri dengan mata mementang. Jelas memberi tanda kalau keduanya waspada dan sepertinya mereka tidak ingin diketahui orang lain.

“Pasti ada satu hal yang amat penting hingga kau mengajakku bertemu di sini di luar rencana kita!”

Orang yang duduk di sebelah kanan angkat bicara dengan suara pelan setengah berbisik setelah yakin tempat dimana mereka berada aman dari mata dan telinga orang lain. Orang yang duduk di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna hitam. Rambutnya putih panjang sebahu. Sepasang matanya besar agak sayu. Pada cuping laki-laki ini tampak melingkar anting-anting dari benang berwarna merah. Kumis dan jenggotnya yang lebat juga telah berwarna putih.

“Benar! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!” sahut orang satunya dengan suara pelan pula. Orang ini juga adalah laki-laki berusia lanjut. Pakaian yang dikenakan juga berwarna hitam. Rambutnya telah pula berwarna putih dan panjang sebahu.

Seandainya saat itu ada orang yang melihat, pasti orang itu cepat bisa menebak jika dua laki-laki yang duduk bersila masih ada hubungan darah. Karena paras wajah kedua laki-laki itu hampir tak bisa dibedakan. Kalaupun ada yang menunjukkan jika keduanya berlainan, itu hanyalah anting pada cuping hidung salah satu dari mereka. Laki-laki yang duduk di sebelah kanan mengenakan anting pada cuping hidungnya, sementara laki-laki yang duduk di hadapannya tidak mengenakan anting pada cuping hidungnya.

Laki-laki sebelah kanan memandang jauh lalu buka suara. “Meski tempat ini sepi dan aman, namun setiap waktu kita tidak boleh lengah! Kuharap kau segera mengatakan apa yang harus kita bicarakan!”

“Lidah Wetan.... Beberapa waktu berselang, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Kiai Tung-Tung. Walau aku yakin dia berdusta tentang namanya, tapi keterangannya tidak bohong....”

Laki-laki yang dipanggil Lidah Wetan, dan ternyata bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, berpaling menatap pada laki-laki di hadapannya. “Laras.... Kau jangan mudah mempercayai keterangan orang apalagi kau menduga dia berkata dusta tentang siapa namanya! Tapi.... Coba kau katakan keterangan apa yang kau peroleh dari orang itu...,” ujar Kiai Lidah Wetan.

Orang yang disebut Laras, dan tidak lain adalah Kiai Laras edarkan pandang matanya sesaat sebelum akhirnya bersuara. “Dia membawa pesan yang harus disampaikan pada Pendekar 131 Joko Sableng!”

Kiai Lidah Wetan sedikit terkejut. “Apa pesannya?!”

Kiai Laras gelengkan kepala. “Dia tidak mau mengatakan isi pesan itu....”

“Lalu apa gunanya kita bicarakan kalau dia tidak mau mengatakan isi pesan itu?!” kata Kiai Lidah Wetan menukas ucapan Kiai Laras. (Tentang Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kembang Darah Setan)

“Orang itu tidak mau mengatakan isi pesan itu karena dia sendiri tak tahu apa isi pesan yang harus disampaikannya pada Pendekar 131! Dia hanya perlu memberi tahu pada Pendekar 131, jika dia harus pergi ke pesisir utara bagian barat dekat dengan sebuah teluk!”

“Kukira hal itu tidak begitu penting, Laras...! Rencana kita sudah sampai di pertengahan jalan! Jangan masukkan rencana baru yang pada akhirnya dapat merusak rencana yang hampir berhasil ini! Sekarang kita tinggal mencari siapa gerangan yang saat ini dicari Setan Liang Makam yang tentu ada hubungannya dengan rahasia di balik Kembang Darah Setan!”

“Lidah Wetan! Kalau seorang pendekar mendapat pesan, tentu di dalamnya ada satu hal yang penting! Dan jangan lupa, saat ini berita tentang Kembang Darah Setan sudah jadi buah bibir. Siapa tahu pesan itu nanti masih ada kaitannya dengan rahasia dibalik Kembang Darah Setan!”

Kiai Lidah Wetan berpikir sejenak. Lalu angkat bicara. “Seandainya kau dapat mengenali siapa adanya la-ki-laki bernama Kiai Tung-Tung itu, mungkin aku tidak ragu-ragu! Aku khawatir laki-laki itu menjebak kita!”

Kiai Laras tertawa pendek. “Kembang Darah Setan berada di tanganku! Tak ada yang perlu dicemaskan! Sekali dia berani mempermainkan kita, berarti dia sia-siakan selembar nyawanya!”

Mendengar ucapan Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan balik tertawa. “Kembang Darah Setan memang senjata luar biasa dahsyat! Namun kau jangan berani menentang peruntungan! Boleh saja manusia memiliki ilmu setinggi langit bahkan dengan senjata luar biasa sakti namun sampai saat ini belum ada manusia yang bisa menang jika harus berhadapan dengan nasib!”

“Hem.... Jadi kau kira ini pekerjaan untung-untungan?!” tanya Kiai Laras.

“Aku tak bisa mengatakan apa namanya. Namun yang pasti kita belum tahu apa yang ada di sana! Jangan kita bernafsu memburu ular kecil kalau harus merelakan lolosnya ular besar yang sudah ada di genggaman tangan!”

“Hem.... Jadi kau tidak setuju dengan rencanaku yang hendak menyelidik ke sana?!”

Kiai Lidah Wetan tidak segera menjawab. Kiai Laras alihkan pandang matanya ke depan menembusi kepekatan malam. “Lidah Wetan.... Pada mulanya aku memang punya pikiran sama denganmu. Namun setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya kita berdua lakukan penyelidikan ke tempat itu! Kita memang masih buta dengan apa yang ada di sana. Namun hal ini bukanlah untung-untungan! Karena satu pesan untuk seorang pendekar pasti bukan pesan sembarangan!”

“Hem.... Baiklah! Tapi sebaiknya penyelidikan itu kita lakukan setelah semua rencana kita selesai!”

“Tidak, Lidah Wetan! Penyelidikan ini harus segera kita lakukan! Saat ini Pendekar 131 tengah berkeliaran. Hal ini tentu sangat memudahkan bagi Kiai Tung-Tung untuk menemukannya!”

Kiai Lidah Wetan tidak menyahut. Sebenarnya laki-laki ini yang juga adalah kakak kandung Kiai Laras tidak setuju dengan jalan pemikiran adiknya. Tapi setelah agak lama menimbang-nimbang, dia berkata. “Aku turut saja apa kemauanmu. Namun untuk menjaga hal yang tidak kita inginkan, kita harus sama-sama menyamar! Dan yang pasti, siapa pun nanti yang kita temukan di sana, dia harus kita buat bungkam selamanya!”

Kiai Laras tersenyum. Laki-laki ini perlahan beranjak bangkit. Tanpa memandang ke arah Kiai Lidah Wetan yang masih duduk bersila, dia berucap. “Kudengar saat ini Lasmini juga mencari Pendekar 131 dan Pendeta Sinting. Apa kau sempat bertemu dengannya?!”

Paras wajah Kiai Lidah Wetan berubah. Dadanya berdebar. Namun laki-laki ini cepat sembunyikan rasa kejutnya dengan segera buka mulut. “Setelah putusnya hubungan ku dengannya, sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengannya! Dan kukira wajar saja kalau dia mencari Pendekar 131 dan gurunya. Peristiwa besar gegernya Istana Hantu mungkin masih menorehkan dendam di dadanya!”

Kiai Laras tertawa dalam hati. Lalu menyahut. “Bagaimana kau tahu dia masih memendam dendam setelah peristiwa gegernya Istana Hantu?!”

Kembali raut muka Kiai Lidah Wetan berubah tegang. Entah untuk menutupi ketegangan, dia beranjak bangkit seraya berkata. “Siapa pun tahu dan mendengar peristiwa itu! Aku hanya menduga-duga!”

“Lidah Wetan.... Kau masih punya niat untuk jumpa dengannya?!”

Kiai Lidah Wetan kerutkan kening. “Pertanyaannya aneh.... Ada apa sebenarnya? Apakah Lasmini telah mengatakan semua ini pada Laras?!”

Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan angkat bicara. “Kau sempat bertemu dengannya?!”

Yang ditanya gelengkan kepala masih tanpa memandang. “Aku hanya mendengar!”

“Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi?!”

“Kalian dahulu adalah pasangan kekasih. Siapa tahu kau ingin jumpa dengannya.”

Kiai Lidah Wetan tertawa. “Masa yang lalu bagiku tidak ada! Apalagi perempuan itu telah membuat hatku kecewa!”

“Kalau begitu, apakah kau ingin membunuhnya?!” tanya Kiai Laras.

Kiai Lidah Wetan tampak semakin heran dengan pertanyaan adiknya. Namun karena dia tak mau apa yang telah dilakukannya bersama Lasmini diketahui orang lain, Kiai Lidah Wetan bersuara. “Saat aku baru saja dikhianati, aku memang berniat membunuhnya! Malah aku akan menguburnya hidup-hidup! Tapi saat ini kupikir tidak ada gunanya hal itu kulakukan! Aku masih bisa mencari perempuan lain yang tentu lebih muda dan lebih cantik daripada dia!”

Kiai Laras putar tubuh menghadap Kiai Lidah Wetan. Namun sepasang matanya hanya melirik, membuat sang kakak tidak enak dan gelisah. “Lidah Wetan.... Kudengar Pendeta Sinting juga raib dari tempat tinggalnya! Apa kau tahu hal itu?!”

“Hem.... Ternyata dia telah banyak mengetahui apa yang terjadi! Sialan betul! Aku terlambat...,” pikir Kiai Lidah Wetan. “Tapi aku tidak boleh berterus terang!” “Laras.... Aku bukan saja mendengar tentang raibnya Pendeta Sinting. Tapi aku telah membuktikannya sendiri! Manusia tua itu memang tidak ada di tempatnya!”

“Lalu apakah kau tahu di mana kira-kira dia sekarang?!” tanya Kiai Laras.

“Tidak mudah mencari keterangan di mana beradanya manusia seperti Pendeta Sinting! Namun dengan apa yang saat ini terjadi dalam dunia persilatan, aku menduga tak lama lagi dia akan muncul!”

Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. “Aku sudah tak sabar ingin melunaskan hutang itu!” gumamnya seraya angkat kedua tangannya yang mengepal.

“Saatnya akan tiba, Laras.... Kuharap kau bersabar!”

Kiai Laras tengadahkan kepala dengan tangan masih mengepal. Entah apa yang dirasakan laki-laki ini. Yang pasti sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak.

“Laras! Apa ada yang masih harus kita bicarakan!” Kiai Laras kancingkan mulut. Kiai Lidah Wetan melangkah mondar-mandir dengan mata liar memandang berkeliling. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, sebaiknya kita segera berpisah! Besok malam kita bertemu di sebelah timur pesisir utara!”

Kiai Laras berpaling. “Besok malam kita bertemu. Dan kuharap kau mengenakan penyamaran seperti diriku!”

Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. Memandang sejurus pada adiknya lalu berkelebat tinggalkan pinggiran hutan.

“Lidah Wetan.... Kau berdusta padaku.... Aku tahu kau telah menyusun rencana tersendiri dengan perempuan itu! Kau terlambat.... Dan jangan mimpi kau bisa berbuat macam-macam di belakangku! Ha Ha Ha...! Kekasih lamamu saat ini sedang mengadakan perjalanan ke neraka. Dan tak lama lagi kau akan segera menyusul! Ha Ha Ha...!”

Kiai Laras tertawa mengekeh dalam hati. Setelah sosok kakaknya lenyap, Kiai Laras putar pandangan. Saat lain dia berlari tinggalkan pinggiran hutan yang makin sunyi dan gelap.

Di satu tempat, Kiai Lidah Wetan berhenti. Kepalanya berpaling sesaat ke belakang. Lalu tengadah. “Apa yang terjadi dengan Lasmini?! Pandangan Laras tampak berubah tatkala menceritakan tentang perempuan itu! Hem.... Setelah penyelidikan besok malam, aku harus tahu apa sebenarnya yang telah terjadi!”

Setelah berpikir begitu, Kiai Lidah Wetan kembali menoleh ke belakang. Kejap lain dia teruskan kelebatannya.

***
DELAPAN
LAKI-LAKI bercaping lebar dari daun pandan itu duduk di bibir tebing tinggi dengan dua kaki diuncang-uncang ke bawah. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas antara nyanyian dan ucapan biasa. Tangan kirinya diletakkan di atas caping lebarnya dan ditekankan dalam-dalam seolah khawatir caping di atas kepalanya lenyap disambar angin. Padahal meski dia duduk di tempat ketinggian, tempat itu tidak dihembus angin kencang.

Sementara tangan satunya lagi tampak sesekali diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan, hingga seraya bergumam, kadang-kadang tubuh bagian atas laki-laki ini bergerak berjingkat. Lalu cengar-cengir meringis sendirian!

Tempat di mana laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai Tung-Tung berada adalah satu tebing agak tinggi. Siapa pun yang berada di situ, maka ia akan dapat melihat dengan jelas bila ada orang yang lewat di bawah sana. Karena tempat itu tepat membelah jalur tiga jalan dari arah barat, timur, dan utara.

“Aku harus secepatnya menuju pesisir utara bagian barat di dekat teluk! Siapa tahu Kiai Laras masih ada kaitannya dengan Joko palsu! Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikan orang tua itu!” Kiai Tung-Tung bergumam.

Baru saja Kiai Tung-Tung bergumam, tiba-tiba sepasang matanya menangkap gerakan satu sosok tubuh dari sebelah barat. Kiai Tung-Tung hentikan gerakan kedua kakinya. Tangan kirinya makin ditekankan dalam-dalam pada caping lebarnya hingga raut wajahnya makin tenggelam tidak kelihatan. Sementara sepasang matanya dipentang besar-besar tak berkesip memperhatikan gerakan orang di sebelah bawah sana.

“Sepertinya aku mengenali orang itu...,” desis Kiai Tung-Tung seraya sorongkan wajahnya ke depan dengan tangan kanan berpegangan erat-erat pada bibir tebing.

“Ah.... Betul, Memang dia...!” akhirnya Kiai Tung-Tung dapat memastikan setelah orang di bawah sana teruskan langkah dan membawanya berada tidak jauh dari tebing.

Begitu merasa yakin, Kiai Tung-Tung tarik pulang sorongan wajahnya. Kedua tangannya serta merta diangkat lalu dirangkapkan di depan dada. Bersamaan dengan itu sepasang matanya dipejamkan. Lalu tiba-tiba dia buka mulut perdengarkan suara keras.

“Mencari barang yang hilang tentu makam waktu dan tenaga. Namun bila tidak disertai dengan bertanya, waktu dan tenaga akan hilang percuma! Bahkan mungkin akan membawa sengsara!”

Tiba-tiba orang yang berjalan di bawah sana hentikan langkah. Perlahan-lahan kepalanya bergerak mendongak ke arah tebing. Sepasang matanya yang besar dan liar memperhatikan sesaat. Lalu kepalanya kembali diluruskan.

“Ucapan manusia itu sepertinya ada hubungannya dengan diriku! Siapa dia sebenarnya?!” desis orang di bawah yang ternyata adalah seorang laki-laki yang paras wajah serta sekujur tubuhnya hampir tidak dapat disebut sebagai manusia karena wajah dan seluruh anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka. 

Orang di bawah yang tidak lain adalah Maladewa alias Setan Liang Makam kembali tengadah seolah ingin yakinkan pandangan dengan apa yang baru saja didengar. Di lain pihak, Kiai Tung-Tung tampak buka sedikit kelopak matanya. Lalu mulutnya kembali perdengarkan suara keras.

“Barang yang hilang seharusnya didapatkan kembali! Tapi kalau tidak bertanya, mana mungkin hal itu bisa terjadi?! Ha Ha Ha...! Jalan telah kubuka, hanya manusia tolol jika tidak mengerti apa yang ku ucapkan!”

“Jahanam!” maki Setan Liang Makam. “Ucapannya benar-benar menyindir ku!” Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke bawah tebing. Saat lain cucu dari Nyai Suri Agung ini berkelebat.

“Ke mana dia?! Apa menuju kemari?!” gumam Kiai Tung-Tung dalam hati begitu dia buka sedikit kelopak matanya dan tidak lagi melihat sosok Setan Liang Makam. Kepalanya digerakkan dengan mata dibuka lebar-lebar meneliti keadaan di bawah tebing.

“Manusia! Siapa kau sebenarnya?!” Tiba-tiba satu suara mengejutkan Kiai Tung-Tung.

“Busyet! Dia telah berada di belakangku!” ujar Kiai Tung-Tung dalam hati. Perlahan-lahan kepalanya ditengadahkan. Tanpa berpaling ke belakang dia angkat suara. “Aku biasa dipanggil orang Kiai Tung-Tung! Dan kau pasti anak manusia yang bergelar Setan Liang Makam...!”

Setan Liang Makam sedikit terkesiap mendapati orang telah mengenalinya. Dia coba menduga-duga dengan mata dijerengkan memandangi orang. Namun karena dia berada di belakang, apalagi Kiai Tung-Tung mengenakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya, Setan Liang Makam bukan saja gagal mengenali siapa adanya orang, namun juga tidak bisa melihat jelas raut wajah orang.

“Dengar, anak manusia bergelar Setan Liang Makam!” kata Kiai Tung-Tung masih tanpa putar tubuh dan kedua tangan tetap merangkap di depan dada. “Aku tahu, saat ini kau tengah mencari barang mu yang lenyap diambil orang. Ha Ha Ha...! Aku tanya dahulu, apa Kembang Darah Setan sudah kau dapatkan kembali?!”

Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam terkejut. “Siapa kau sebenarnya?!” bentaknya seraya melangkah mendekat.

“Kau perlu Kembang Darah Setan atau perlu bertanya siapa aku?!” Kiai Tung-Tung balik bertanya.

Setan Liang Makam kancingkan mulut tidak menjawab. Sebaliknya dia terus melangkah mendekat.

“Harap tidak teruskan langkah! Percuma kau ingin tahu siapa aku sebenarnya!” ujar Kiai Tung-Tung membuat Setan Liang Makam mau tak mau hentikan langkah berjarak tujuh tindak dari belakang Kiai Tung-Tung.

Kiai Tung-Tung tertawa bergelak. Lalu setelah agak lama Setan Liang Makam tidak juga memberi jawaban, laki-laki bercaping lebar ini angkat bicara lagi. “Kalau aku dapat mengatakan siapa kau, aku juga bisa memberi keterangan di mana Kembang Darah Setan!”

Saking bernafsunya, laksana hendak terbang Setan Liang Makam melompat ke depan seraya berteriak keras. “Di mana?!”

“Harap kau mundur dahulu!” ujar Kiai Tung-Tung yang sebenarnya khawatir jika tiba-tiba Setan Liang Makam membuat gerakan yang tidak diduga.

Setan Liang Makam yang seolah tak sabar tampak menghela napas lalu perlahan-lahan melangkah mundur. Begitu dia tegak di tempat mana tadi berdiri, dia segera berteriak lagi. “Katakan di mana Kembang Darah Setan itu!”

Dari suara Setan Liang Makam, Kiai Tung-Tung sudah bisa melihat jika laki-laki cucu dari Nyai Suri Agung itu telah turuti ucapannya. Hingga dia segera pula buka mulut. “Sebelum kukatakan di mana, kau perlu tahu lebih dahulu jika Kembang Darah Setan saat ini berada di tangan seorang pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Sialan keparat! Aku sudah tahu itu!” sentak Setan Liang Makam.

Mendengar sentakan orang, Kiai Tung-Tung tertawa ngakak. Puas tertawa dia berkata. “Harap jangan terlalu terburu marah, Sahabat! Dan harusnya kau bersyukur bisa bertemu denganku.... Karena walau kau tidak akan mendapat keterangan apa-apa mengenai diriku, tapi kau akan mendapat keterangan berharga tentang apa yang selama ini kau cari-cari....”

“Mengapa kau akan memberi keterangan padaku?!” tanya Setan Liang Makam utarakan keheranan yang sejak tadi melanda dadanya.

Kiai Tung-Tung gerakkan kepala menggeleng. “Hal itu tidak usah kau tanyakan! Karena jawabannya akan membuatmu bingung!”

“Siapa percaya pada ucapanmu! Kau mungkin hanya manusia yang mendengar dari beberapa orang lalu sengaja menghadangku dan berpura-pura tahu akan urusanku! Tapi justru sebenarnya kau ingin tahu lebih dalam tentang Kembang Darah Setan!” Setan Liang Makam mendengus keras sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Kau manusia bernasib buruk! Karena bukan keterangan yang akan kau dapatkan, tapi tangan maut yang akan kau terima!”

“Ha Ha Ha...! Kau terlalu jauh bicara, Sahabat! Aku tidak perlu keterangan banyak darimu urusan Kembang Darah Setan! Aku tahu bagaimana ceritanya dari awal hingga akhir! Malah mungkin aku tahu lebih banyak dari apa yang kau ketahui!”

Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya sejenak, lalu melanjutkan. “Coba kau dengar ucapanku. Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan. Kau masih punya seorang nenek yang sekaligus adalah gurumu. Dia bernama Nyai Suri Agung! Dan lebih dari itu, sebenarnya kau juga punya saudara seperguruan yang diangkat nenekmu dari kalangan orang di luar Kampung Setan. Kau pernah dikhianati oleh orang kepercayaanmu hingga kau akhirnya masuk ke dalam sebuah makam batu! Bagaimana?! Dari keteranganku tadi apa ada yang salah?!”

Setan Liang Makam tegak dengan mulut terkancing dan mata mementang besar. Dia tak habis pikir bagaimana rahasia dirinya bisa diketahui oleh orang! Padahal dia yakin orang yang dihadapinya saat itu bukanlah saudara seperguruannya yang jelas tahu banyak tentang dirinya. Di lain pihak, sebenarnya Kiai Tung-Tung tampak cemas dan dadanya berdebar keras. Diam-diam dia membatin.

“Mudah-mudahan du- gaanku tidak meleset! Datuk Wahing memang tidak mau mengatakan siapa dirinya. Namun dari keterangannya, aku bisa menduga jika dia adalah saudara seperguruan manusia di belakang itu! Dan nenek yang pernah kutemui tempo hari adalah orang yang dimaksud Datuk Wahing sebagai Eyang Guru sekaligus nenek orang di belakang itu....”

Kiai Tung-Tung beberapa lama menunggu sahutan dari Setan Liang Makam dengan perasaan gundah dan khawatir. Karena apa yang baru saja diucapkan adalah dugaannya setelah mendengar keterangan dari Datuk Wahing. Dan itu jelas menunjukkan kalau si laki-laki bercaping lebar ini bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang tengah menyamar.

Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, murid Pendeta Sinting ini pernah mendapat cerita dari Datuk Wahing perihal Kembang Darah Setan serta perihal Kampung Setan. Walau saat itu Datuk Wahing tidak menjelaskan secara gamblang, namun Joko sudah bisa menarik kesimpulan. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan).

“Dari mana kau tahu cerita itu?!” Setan Liang Makam akhirnya ajukan tanya setelah terdiam beberapa lama.

Pertanyaan Setan Liang Makam membuat Kiai Tung-Tung menghela napas lega. Karena dari pertanyaan orang dia sudah maklum kalau dugaannya tidak salah! “Sahabat!” ujar Kiai Tung-Tung. “Soal dari mana cerita itu, bukan masalah besar yang harus kita bicarakan di sini! Yang jadi masalah sekarang justru bagaimana kau bisa mendapatkan kembali Kembang Darah Setan yang lepas dari tanganmu! Bukankah begitu?!”

“Sialan benar! Siapa manusia ini sebenarnya?!” kembali Setan Liang Makam didera perasaan ingin tahu. Namun ingat akan ucapan Kiai Tung-Tung yang tak ingin diketahui, akhirnya dia urungkan niat untuk bertanya.

“Sahabat! Kalau kau ingin mendapatkan kembali Kembang Darah Setan, pergilah ke pesisir utara bagian barat dekat dengan sebuah teluk! Dan ingat, apa yang kau cari adalah benda sakti warisan leluhur mu. Jadi hal itu membutuhkan kesabaran....”

“Maksudmu?!” tanya Setan Liang Makam.

“Kau harus bersabar menunggu!”

“Apa yang kutunggu?!”

“Aku tidak bisa mengatakannya.... Kau kelak bisa melihat sekaligus membuktikannya!”

“Apa ucapannya manusia ini tidak menipu?! Jangan-jangan dia semacam manusia-manusia yang selama ini pernah menipuku!” Setan Liang Makam didera kebimbangan begitu ingat akan penipuan yang dilakukan oleh Saraswati.

“Apakah manusia jahanam Pendekar 131 akan berada di sana?!” Bertanya Setan Liang Makam setelah agak lama berpikir.

“Ada dua kemungkinan! Tapi aku tidak bisa memberi keterangan secara jelas. Yang pasti dua kemungkinan itu masih berhubungan dengan Kembang Darah Setan!”

“Jahanam! Kalau kau tak bisa memberi kepastian, kau sama saja dengan manusia lainnya!”

“Jangan salah menduga, Sahabat! Aku memang tidak bisa memastikan! Tapi kemungkinan itu jelas ada hubungannya dengan Kembang Darah Setan! Dan kau harus ingat! Tidak penting kau nanti akan bertemu dengan Pendekar 131 atau tidak! Yang penting kau mendapatkan Kembang Darah Setan itu kembali!”

“Bagaimana mungkin akan kudapatkan kembali jika pemuda jahanam itu tidak muncul disana!”

“Sahabat!” kata Kiai Tung-Tung dengan suara keras bernada marah. “Aku telah memberimu keterangan tanpa kau minta! Seharusnya kau berterima kasih! Dan kalaupun seandainya aku mau, aku tidak akan memberitahukan hal ini padamu! Aku akan pergi ke pesisir sendirian dan mendapatkan Kembang Darah Setan!”

“Mengapa hal itu tidak kau lakukan?!” tanya Setan Liang Makam balik membentak.

Kali ini Kiai Tung-Tung tertawa panjang terlebih dahulu sebelum berkata. “Aku tidak mau memiliki benda yang sudah menjadi hak seseorang! Justru kalau bisa, aku harus membantu agar benda di tangan orang yang tidak berhak bisa beralih ke tangan orang yang berhak untuk memilikinya! Dalam hal ini kaulah orang yang berhak, dan aku hanya bisa membantu dengan keterangan, mengingat hanya hal itu yang bisa kulakukan!”

Setan Liang Makam tergagu diam mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Dan Kiai Tung-Tung sendiri tampaknya tak mau memberi kesempatan bicara. Begitu dia selesai berucap, laki-laki bercaping lebar ini telah sambung ucapannya. “Kau telah dengar keterangan. Dalam keadaan seperti saat ini, kau dituntut untuk bertindak cepat! Dan kurasa sudah tidak ada yang bisa kuberikan lagi padamu!”

Habis berkata begitu, enak saja Kiai Tung-Tung uncang-uncang kedua kakinya lagi ke lamping tebing. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada dibuka. Tangan kanan ditekankan pada caping lebarnya sementara tangan kiri diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan ke dalam lobang telinga dan digerak-gerakkan. Bersamaan dengan itu kepalanya bergerak teleng dengan tubuh berjingkat-jingkat keenakan!

Setan Liang Makam memandang berlama-lama dengan mata dibeliakkan. Dia tetap masih merasa ragu dengan keterangan orang. Hal itu terlihat dari ucapannya kemudian. “Untuk membuktikan kalau ucapanmu tidak dusta, kau harus ikut aku!”

Kiai Tung-Tung seolah tidak mendengar perkataan orang. Dia seakan asyik dengan permainannya sendiri. Malah kini dari mulutnya terdengar gumaman tidak jelas. Setan Liang Makam mulai marah. Dia melangkah maju dua tindak. Namun sebelum mulutnya perdengarkan suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.

“Sahabat! Kalau kau mau mengajakku ikut serta, aku punya syarat!”

“Katakan apa syaratmu!”

“Kelak Kembang Darah Setan harus kau serahkan padaku!”

“Jahanam! Kau harus langkahi dulu mayatku kalau ingin memiliki Kembang Darah Setan!”

“Sahabat! Tadi sudah kubilang. Seandainya aku mau, tidak sulit bagiku mendapatkan Kembang Darah Setan! Malah tanpa harus melangkahi mayatmu! Kalau kau ingin bukti, tunggulah di sini sampai tujuh hari di muka! Tapi sekali lagi, begitu Kembang Darah Setan di tanganku, kau tidak berhak untuk mengambilnya!Bagaimana, kau setuju?!”

“Ucapan gila!” maki Setan Liang Makam dengan dada makin menggelegak.

Kiai Tung-Tung tertawa terbahak. “Dalam beberapa hal, kadang-kadang manusia dituntut untuk berbuat dan bicara gila-gilaan! Apalagi jika urusannya berkaitan dengan senjata sakti!”

“Kalau kau tidak mau ikut, aku tidak akan pergi ke pesisir utara!” ujar Setan Liang Makam. “Aku sudah kenyang dengan ucapan dusta manusia!”

“Terserah! Aku hanya memberi keterangan. Soal kau mau menerima atau tidak bukan lagi urusanku” seraya berucap, Kiai Tung-Tung hentikan gerakan kedua kakinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak bangkit. Namun meski sekarang telah tegak, dia belum juga putar diri menghadap Setan Liang Makam yang tegak dibelakangnya.

“Aku menunggu jawaban persetujuan mu, Sahabat!” kata Kiai Tung-Tung.

Setan Liang Makam tidak juga mau menyahut. Dia hanya memandang liar. Sementara Kiai Tung-Tung perlahan-lahan balikkan tubuh. Mata Setan Liang Makam makin dipentang besar-besar. Namun karena caping itu dimasukkan dalam-dalam, dan sebagian rambut menutupi bagian samping wajah Kiai Tung-Tung, sampai demikian jauh Setan Liang Makam tidak bisa mengenali raut wajah orang.

“Sahabat! Waktuku tidak banyak!” ujar Kiai Tung- Tung.

Setan Liang Makam mendengus. Sikap dan ucapan Kiai Tung-Tung perlahan-lahan membuat kebimbangan Setan Liang Makam sirna. Tanpa buka suara, Setan Liang Makam balikkan tubuh.

“Kau telah gantungkan nyawamu pada tanganku! Begitu ucapanmu dusta, maka tak ada tempat layak bagimu untuk sembunyi!”

“Sahabat, Untuk adilnya, boleh aku tanya?!” kata Kiai Tung-Tung.

“Apa yang akan kau tanyakan?!” sentak Setan Liang Makam.

“Bagaimana kalau ucapanku nanti benar?!”

Setan Liang Makam tertawa pendek. “Itu nanti terserah pada takdir yang tertulis untukmu! Mungkin aku akan memberi hadiah untukmu. Dan tak tertutup kemungkinan aku akan membunuhmu!”

Setan Liang Makam tertawa bergelak panjang. Lalu melangkah perlahan tinggalkan tebing. Kiai Tung-Tung putar tubuh. Melihat ke bawah tampak Setan Liang Makam telah berlari menuju ke arah utara.

***
SEMBILAN
WAKTU itu hampir menjelang malam. Bundaran matahari tampak menggantung sejengkal di atas hamparan air laut sebelah barat. Warnanya yang telah berubah kekuningan membuat seluruh permukaan air laut berkilat keemasan. Gulungan ombak yang melamun dahsyat pancarkan sinar pelangi. Beberapa batu karang yang banyak bertebaran di pesisir perlahan-lahan berubah warna. Dan begitu sang mentari benar-benar tenggelam, beberapa jajaran batu karang laksana paku-paku besar yang ditancapkan kokoh di hamparan bumi.

Di pesisir sebelah barat, di mana terlihat sebuah teluk, suasana menjelang malam itu tampak dibuncah dengan suara bergemuruh menghempasnya gelombang yang abadi menghantam samping teluk. Suasana teluk pun sudah berubah menghitam meski jika mata dilayangkan, orang masih bisa melihat keadaan sekitar. Kira-kira lima puluh tombak dari teluk, satu sosok tubuh tampak duduk mendekam di balik satu gugusan batu karang agak tinggi hingga sosok orang ini tidak kelihatan jelas.

“Hari sudah malam! Kenapa dia terlambat muncul?! Atau dia memang tidak akan muncul di sini?!” Orang di balik batu karang mendesis. Sepasang mata diarahkan lurus pada satu jurusan. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putih- putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan ikat kepala warna putih pula. Kalau orang pernah berjumpa dengan Pendekar 131 Joko Sableng, maka orang itu pasti menyangka jika si pemuda di balik batu karang adalah murid Pendeta Sinting.

Baru saja si pemuda yang paras wajahnya mirip dengan Pendekar 131 mendesis, tiba-tiba sepasang matanya menangkap gerakan satu bayangan putih di depan sana. Si pemuda di balik batu karang segera gerakkan tubuh makin merunduk. Namun sepasang matanya makin dipentang. Bayangan putih yang berlari menuju arah teluk tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya liar memandang dengan kepala digerakkan berputar. Jelas sikapnya menandakan dia tengah mencari-cari.

“Hai! Aku di sini!” Pemuda di balik batu karang buka mulut seraya angkat tangannya memberi isyarat tempatnya berada.

Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan tangan orang dengan wajah tegang. Dia tampak ragu-ragu. Mulutnya bergerak membuka. Namun sebelum suaranya terdengar, pemuda di balik batu karang telah berkata lagi.

“Lidah Wetan! Aku Laras!”

Orang yang baru muncul menatap sekali lagi pada tangan yang masih terangkat di balik batu karang. Saat lain laksana terbang, dia berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tiga langkah di depan batu karang di mana tadi terlihat satu tangan terangkat memberi isyarat.

Pemuda di balik batu karang bergerak bangkit. Sesaat dia pandangi orang yang tegak di hadapannya. Ternyata dia adalah seorang pemuda yang baik pakaian maupun paras wajahnya tidak beda dengan pemuda yang ada di balik batu karang. Yang membedakan keduanya hanyalah lobang pada caping hidung orang. Pemuda yang tadi berada di balik batu karang cuping hidungnya tidak berlobang, sementara pemuda yang baru muncul tampak berlobang pada cuping hidungnya, jelas menandakan jika cuping hidung itu bekas mengenakan anting-anting.

Kedua pemuda yang paras wajahnya mirip dengan Pendekar 131 Joko Sableng ini sama tersenyum. “Lidah Wetan.... Kita harus segera menuju teluk!” kata pemuda yang cuping hidungnya tidak berlobang dan tadi sebutkan diri sebagai Laras. Dia memang bukan lain adalah Kiai Laras yang menyamar sebagai Pendekar 131 Joko Sableng.

“Kau melihat orang lain?!” tanya pemuda yang dipanggil Lidah Wetan. Dia bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan yang juga mengenakan penyamaran sebagai Pendekar 131.

Kiai Laras gelengkan kepala. “Tapi kita harus tetap berhati-hati!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat seraya memberi isyarat pada Kiai Lidah Wetan untuk mengikuti. Mereka bergerak dengan berkelebat dari satu batu karang ke batu karang lainnya tanpa timbulkan suara. Malah mereka berdua tampak kerahkan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, hingga kelebatan mereka sulit ditangkap mata biasa.

Begitu mereka sampai batu karang paling ujung berada di teluk, kedua laki-laki kakak beradik yang menyamar ini hentikan kelebatan tubuh. Kepala Kiai Laras bergerak ke kanan, sedang kepala Kiai Lidah Wetan bergerak ke kiri. Sepasang mata mereka menyiasati keadaan dengan tanpa buka mulut. Ketika agak lama dan mereka tidak menemukan tanda-tanda adanya orang di teluk, Kiai Laras berpaling pada Kiai Lidah Wetan yang tegak membungkuk di sampingnya.

“Kau menangkap seseorang?!” tanya Kiai Laras dengan suara berbisik.

Kiai Lidah Wetan menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Namun kedua pemuda ini tampaknya masih ragu. Keduanya kembali putar kepala masing-masing. “Hanya kita berdua yang ada di sini!” bisik Kiai Lidah Wetan begitu merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain selain mereka berdua. “Jangan-jangan kita tertipu....”

Kiai Laras luruskan tubuhnya. “Kita cari!” katanya seraya mulai melangkah.

“Apa yang kita cari?!” tanya Kiai Lidah Wetan.

Kiai Laras sesaat terdiam. Dia sendiri bingung apa yang harus dikatakannya pada Kiai Lidah Wetan. Rupanya Kiai Lidah Wetan dapat menangkap kebingungan pada adiknya. Dia melangkah mendekat dan berbisik.

“Bukankah menurut pesan ini, Pendekar 131 hanya diperintahkan datang ke tempat ini tanpa perintah mencari sesuatu?!”

Kiai Laras anggukkan kepala. “Tapi aku menduga pesan itu mengandung arti dia akan menemukan sesuatu di sini!”

“Kau juga dapat menduga kira-kira apa sesuatu itu?!”

Kembali Kiai Laras terdiam. Dan setelah agak lama tak menemukan jawaban, akhirnya Kiai Laras berujar. “Peduli setan apa yang hendak kita temukan di sini! Yang jelas kita sudah sampai dan harus pulang dengan membawa hasil!”

Belum selesai ucapannya, Kiai Laras telah bergerak melangkah mengitari teluk. Kiai Lidah Wetan tersenyum. Lalu ikut-ikutan melangkah meski dengan hati enggan. Beberapa saat berlalu. Kiai Laras sudah tampak geram. Parasnya berubah mengelam dan kedua tangannya mengepal. Sementara Kiai Lidah Wetan tampak tersenyum-senyum. Kiai Lidah Wetan sejak semula memang sudah merasa kalau tidak ada gunanya menuruti ucapan orang.

“Laras.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini! Kau telah buktikan sendiri tidak ada apa-apa di sini!”

“Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Kiai Laras dengan suara agak keras.

“Apa yang kita tunggu?!” tanya Kiai Lidah Wetan.

“Jangan banyak mulut! Kalau kau tak mau, enyalah kau dari sini!”

Kiai Lidah Wetan mendelik. Dadanya agak panas mendengar ucapan Kiai Laras. Namun orang ini masih coba menindih gelegak dadanya. Tanpa berkata menyahut, Kiai Lidah Wetan melangkah ke arah satu batu karang agak datar. Lalu duduk sambil arahkan pandang matanya pada gulungan ombak di depan sana yang telah berwarna hitam namun lambat laun suara gemuruhnya makin menggelegar.

Di lain pihak, Kiai Laras tampak melangkah mondar-mandir dengan rahang terangkat dan mulut menyeringai buas. Beberapa kali dia memaki sendiri dan tak henti-hentinya liarkan pandangan ke sekeliling. Karena setelah agak lama tak menemukan sesuatu, pada akhirnya Kiai Laras mendekati Kiai Lidah Wetan. Sambil arahkan pandang matanya ke lamunan gelombang, dia buka mulut.

“Kuharap kau sabar menunggu sampai esok hari....”

Kiai Lidah Wetan tengadahkan kepala menatap pada Kiai Laras yang tegak tidak jauh dari sampingnya. Namun dia hanya memandang dengan mulut terkancing.

Saat itulah samar-samar dari arah jauh di belakang terlihat satu bayangan hitam berlari cepat menuju pesisir. Hanya beberapa saat saja, bayangan hitam ini telah mencapai kawasan teluk. Dan begitu sepasang matanya menangkap dua sosok putih di depan sana, si bayangan hitam segera berkelebat menyelinap ke balik salah satu batu karang. Orang ini ternyata tidak lain adalah Setan Liang Makam.

“Siapa mereka?!” gumamnya dalam hati seraya memandang tak berkesip ke seberang depan. Lalu kepalanya bergerak memutar memandang berkeliling.

“Dari ciri-cirinya aku dapat menduga! Tapi mengapa keduanya hampir sama?! Atau jangan-jangan ini satu jebakan! Ah, persetan!”

Setan Liang Makam keluar dari balik batu karang. Kini dia melangkah tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Sepasang matanya tak beranjak dari dua sosok putih di depan sana. Begitu Setan Liang Makam mulai melangkah, dari arah belakang samar-samar terlihat satu bayangan berlari ke arah teluk.

Dari caranya berlari, jelas orang yang muncul terakhir kali ini tidak mau diketahui kehadirannya. Karena dia sengaja melompat dari satu batu karang ke batu karang lainnya. Dan setelah memandang berkeliling sesaat, dia berkelebat kebatu karang agak besar yang dari tempat itu dia rasa bisa melihat apa yang ada di teluk.

Begitu sampai ke batu karang agak besar, orang yang muncul terakhir kali dan ternyata adalah laki-laki bercaping lebar dan bukan lain adalah Kiai Tung-Tung, arahkan pandang matanya ke arah teluk. Yang pertama-tama terlihat adalah sosok Setan Liang Makam yang melangkah. Lalu mata Kiai Tung-Tung menangkap dua sosok putih yang berada di ujung teluk. Sesaat mata Kiai Tung-Tung membelalak.

“Astaga! Mengapa ada dua?!” desisnya demi melihat dua sosok putih. “Ciri-cirinya sama.... Apakah....”

Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan kata hatinya, tiba-tiba dari arah bawah sana terdengar teriakan keras Setan Liang Makam.

“Kalian sudah lama menungguku?!”

Teguran orang membuat Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan terkesiap. Keduanya tidak ada yang buka mulut menyahut. Mereka diam laksana patung. Namun diam-diam kedua orang ini telah kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan masing-masing.

“Rupanya kita terjebak!” bisik Kiai Lidah Wetan. “Semuanya sudah terlambat! Kita hadapi semua kenyataan ini!”

Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan bergerak bangkit. Lalu laksana kilat, dia balikkan tubuh. Darah Kiai Lidah Wetan laksana sirap. Kalau saja tidak ingat keadaan, barangkali kakinya akan tersurut! Di depan sana, Setan Liang Makam tak kalah kagetnya meski hatinya merasa lega. Dan yang paling terkejut adalah Kiai Tung-Tung yang mendekam sembunyi di balik batu karang.

Kiai Laras tampaknya bisa membaca gelagat keterkejutan saudaranya. Maka perlahan-lahan dia putar diri. Sama halnya dengan Kiai Lidah Wetan, begitu melihat siapa adanya orang di seberang depan, Kiai Laras tampak tersentak. Di lain pihak, Setan Liang Makam terkesima. Hingga mulutnya yang sejenak tadi hendak membuka tampak melongo tanpa perdengarkan suara.

Di balik batu karang, Kiai Tung-Tung cepat tekap mulutnya dengan mata mendelik. “Bagaimana mungkin?! Keduanya sama persis! Aku tak bisa membedakan meski keduanya palsu?!” Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. “Siapa mereka sebenarnya...? Apakah ini semua ulah Kiai Laras?!”

Di bawah sana, Setan Liang Makam untuk beberapa lama memandang silih berganti pada dua pemuda di hadapannya. “Sulit bagiku membedakan mana jahanam yang pernah mengambil Kembang Darah Setan! Tapi bukan berarti aku kesulitan untuk mengambil nyawa keduanya! Aku tak peduli mana si jahanam asli dan mana yang bukan!”

Setelah membatin begitu, Setan Liang Makam angkat bicara dengan suara keras. “Aku tak punya banyak waktu untuk bertanya siapa adanya kalian! Yang jelas salah satu dari kalian telah mengambil Kembang Darah Setan!” Tangan kiri Setan Liang Makam bergerak menjulur membuat sikap meminta. “Serahkan kembali Kembang Darah Setan itu!”

Kiai Lidah Wetan tampak melirik pada Kiai Laras dengan tengkuk merinding. Dia telah tahu bagaimana tingginya ilmu Setan Liang Makam. Sementara Kembang Darah Setan berada di tangan Kiai Laras. Sementara Kiai Laras sendiri tampak tenang-tenang saja. Malah dia sunggingkan senyum dan berkata.

“Kembang Darah Setan memang berada di tangan kami berdua! Dan benda itu akan kami serahkan padamu!”

Setan Liang Makam tertawa ngakak. “Bagus! Itu lebih baik bagi kalian daripada mampus percuma!” Setan Liang Makam teruskan langkah dengan tangan kiri tetap membuat sikap meminta. Berjarak delapan langkah, Setan Liang Makam berhenti. “Lekas serahkan!”

“Sebelum kuserahkan, aku ingin kau jawab pertanyaanku dahulu....”

“Keparat! Setan Liang Makam tak mau diberi syarat!”

“Kalau begitu, kau tak akan memperoleh apa-apa!” kata Kiai Laras.

“Kalian telah berani main-main dengan Kembang Darah Setan! Berarti kalian akan mampus dengan Kembang Darah Setan itu!”

“Kembang Darah Setan ada apa kami! Kau yang akan mampus dengan benda milikmu sendiri!” sahut Kiai Laras. Sementara Kiai Lidah Wetan makin tampak cemas. Dia hanya memandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan Kiai Laras.

Entah karena apa, setelah diam sejenak, pada akhirnya Setan Liang Makam bertanya. “Apa yang kau tanyakan?!”

“Dari mana kau tahu tempat ini?!” tanya Kiai Laras.

Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung menghela napas. Sementara Setan Liang Makam melirik lalu buka mulut menjawab. “Aku tak kenal siapa dia. Dia hanya sebutkan nama Kiai Tung-Tung!”

Kiai Laras bergumam pada Kiai Lidah Wetan. “Dugaanmu benar. Kita dijebak! Tapi ini adalah rezeki besar bagi kita!”

“Bagaimana kau katakan ini sebuah rezeki besar?!”

“Kau lihat saja nanti....”

“Kalian bicara apa?! Lekas berikan Kembang Darah Setan padaku!” hardik Setan Liang Makam.

Kiai Laras sunggingkan senyum. “Perlu kau tahu.... Sebenarnya kami bukanlah Pendekar 131! Kami adalah dua orang suruhan Kiai Tung-Tung! Dan kau perlu tahu juga. Tugas kami berdua adalah membunuhmu!”

“Jahanam! Kau kira aku bisa kau kelabui, hah?! Aku tahu, salah satu di antara kalian adalah Pendekar 131! Aku tak perlu mengatakan yang mana, yang jelas kalau salah satu di antara kalian mau serahkan Kembang Darah Setan, nyawa kalian berdua akan kuam-lpuni. Jika tidak, kalian berdua akan kubunuh sekalian!”

“Kami berdua telah berani menjadi orang suruhan untuk menghadapimu! Berarti kami tahu sampai di mana bekal ilmu yang kau miliki!” ujar Kiai Laras sambil melirik pada Kiai Lidah Wetan dan berbisik. “Kau jangan ikut bicara.... Kau nanti hanya perlu bertahan.... Dan jangan bersungguh-sungguh jika terjadi bentrok!”

Setan Liang Makam tegak dengan tulang pelipis bergerak-gerak. Tangan kirinya ditarik pulang seraya berkata. “Aku meminta sekali lagi! Atau....”

“Kau tak akan mendapatkan apa-apa!” potong Kiai Laras.

Setan Liang Makam perdengarkan bentakan dahsyat. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Lalu membuat putaran sekali. Kaki kanannya menendang ke arah Kiai Lidah Wetan, sementara tangan kiri kanannya menghantam ke arah kepala Kiai Laras.

Wuutt! Wuutt!

Terdengar deruan angker tatkala tendangan dan hantaman kedua tangan itu menggebrak. Jelas hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kiai Lidah Wetan cepat angkat kedua tangannya dipalangkan di depan dada. Sementara Kiai Laras tarikbke belakang kepalanya lalu kelebatkan kedua tangannya menghadang kedua tangan Setan Liang Makam.

Dess! Dess!

Dua benturan keras terdengar. Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras tampak mundur satu tindak. Sebaliknya Setan Liang Makam terdorong ke belakang. Namun belum sampai dorongan akibat bentroknya hantaman itu menyapu, Setan Liang Makam telah jejakkan kaki kirinya yang tadi dibuat sebagai tumpuan tubuh. Sosok manusia yang hanya terdiri dari kerangka ini membal keudara.

Di atas udara, Setan Liang Makam membuat gerakan jungkir balik satu kali. Saat sosoknya meluncur, kedua tangannya bergerak lepas satu pukulan dahsyat ke arah Kiai Lidah Wetan yang berada dekat dengannya. Kiai Lidah Wetan tak tinggal diam. Begitu gelombang dahsyat melabrak, kedua tangannya segera didorong ke atas. Dari arah samping, Kiai Laras pun tiba-tiba melepas satu pukulan.

Blammm!

Suara gelombang ombak terdengar ditingkah oleh suara dentuman dahsyat hingga saat itu laksana terjadi serangan badai yangdisertai gemuruh guntur. Sosok Setan Liang Makam tampak terpelanting ke udara sampai tiga tombak. Laki-laki ini perdengarkan seruan tertahan. Untuk beberapa saat tubuhnya tampak melayang ke bawah. Hebatnya, dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu kuasai diri. Satu tombak lagi tubuhnya sampai di bawah, dia sentakkan kedua tangannya kesamping.

Wuutt! Wuutt!

Secara aneh, tiba-tiba sosok Setan Liang Makam laksana ditahan tembok besar. Hingga sosoknya terhenti di atas udara. Dia hanya melirik sebentar. Kejap lain tubuhnya melesat ke arah sosok Kiai Lidah Wetan yang terlihat terhuyung-huyung. Kiai Lidah Wetan tampak terkesiap. Dia melirik pada Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampak memberi isyarat. Kiai Lidah Wetan angkat kedua tangannya sambil coba kuasai huyungan tubuhnya. Namun gerakan Kiai Lidah Wetan kalah cepat denan lesatan sosok Setan Liang Makam. Hingga baru saja kedua tangannya terangkat, kaki kanan Setan Liang Makam telah datang menyapu.

Dess!

Kiai Lidah Wetan melolong kesakitan. Sosoknya langsung terbanting. Dan belum sempat dia bergerak bangkit, Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya dengan seringai ganas. Tangan kanan kirinya cepat diangkat.

***
SEPULUH
TAHAN!” Tiba-tiba Kiai Laras berteriak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi tanda setiap saat dia bisa lepaskan satu pukulan.

Setan Liang Makam urungkan gerakan tangannya. Namun kakinya bergerak dan tahu-tahu kaki kanannya telah menginjak perut Kiai Lidah Wetan. Saat bersamaan kepalanya berpaling pada Kiai Laras.

“Sebelum teman bangsat mu ini kubuat mampus, ada yang hendak kau katakan?!”

“Kau bisa membunuhnya. Tapi apa kau mampu menghadang pukulanku?!” tanya Kiai Laras. Sosoknya melompat ke depan dan tegak hanya lima langkah di depan Setan Liang Makam. Kedua tangannya bergetar hebat, tanda tenaga dalam yang telah disalurkan pada kedua tangannya sudah pada tingkat tinggi.

Setan Liang Makam tertawa bergelak. Di bawahnya, Kiai Lidah Wetan tampak meringis dengan dada cemas. Dia bukannya melirik pada Setan Liang Makam, namun matanya tertuju pada Kiai Laras. Tiba-tiba Setan Liang Makam putuskan gelakan tawanya.

“Buka matamu lebar-lebar, Jahanam! Untuk membunuh teman keparatmu ini, aku hanya perlu gerakkan kaki. Dan kedua tanganku ini bukan saja mampu menghadang pukulanmu, tapi sekaligus mengantarmu ke neraka bersama jahanam keparat ini!” Setan Liang Makam tekankan kaki kanannya.

Kiai Lidah Wetan mengaduh dengan kaki melejang-lejang. Setan Liang Makam kembali tertawa bergelak.

“Baik! Kembang Darah Setan akan kuserahkan padamu! Tapi lepaskan dulu temanku itu!” kata Kiai Laras. 

Setan Liang Makam gelengkan kepala. “Kau kira bisa menipuku lagi, hah?! Serahkan Kembang Darah Setan itu dahulu, baru kulepaskan temanmu ini!”

Kiai Laras balik tertawa mendengar ucapan Setan Liang Makam. “Harga nyawa seorang teman tidak ada apa-apanya dibanding dengan Kembang Darah Setan! Dan kalau kau tidak setuju dengan syarat ku, silakan bunuh temanku itu! Tapi kau tak akan mendapatkan apa yang kau minta!”

Kiai Lidah Wetan makin khawatir dan tegang. “Kau!” katanya dengan suara tersendat. “Mengapa tega korbankan nyawaku! Kau menipuku!”

“Keadaan mengharuskan demikian, Sahabat!” enak saja Kiai Laras menyahut. Lalu berpaling dan teruskan ucapan. “Setan Liang Makam! Aku tanya sekali lagi padamu. Kau masih ingin Kembang Darah Setan atau tidak?!”

“Tunjukkan dahulu barangnya!” teriak Setan Liang Makam.

Kiai Laras turunkan tangan kirinya. Sementara tangan kanan tetap berada di atas. Tangan kirinya terus bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Tatkala tangan itu ditarik keluar, tampak sinar berwarna merah, hitam, dan putih memancar dari setangkai kembang berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih. Sementara kuncupnya yang juga berwarna merah tampak lesatkan cahaya mencorong ke atas.

“Kembang Darah Setanku...,” gumam Setan Liang Makam.

“Lepaskan dia, atau kembang ini akan mengantarmu ke neraka!” bentak Kiai Laras sambil acungkan Kembang Darah Setan di tangan kirinya.

Setan Liang Makam melirik pada gerakan tangan kiri Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan. Dia tahu bagaimana kedahsyatan kembang yang pernah dimilikinya itu. Perlahan-lahan kini dadanya dilanda kecemasan. Dia yakin dengan mudah dapat mengatasi kedua orang pemuda itu. Namun dengan Kembang Darah Setan di tangan salah satunya, dia menjadi bimbang.

“Keinginanmu ku penuhi, Keparat! Tapi jangan mimpi kau dapat menipuku lagi! Dan jangan anggap aku tak mampu mencabut selembar nyawamu meski kau menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Setan Liang Makam! Turunkan kakimu dan biarkan dia bangkit!” kata Kiai Laras ketika dilihatnya Setan Liang Makam belum juga turunkan kaki kirinya dari perut Kiai Lidah Wetan.

“Hem.... Tampaknya nyawa pemuda ini begitu berharga bagi dirinya...,” gumam Setan Liang Makam dalam hati. Lalu sambil tertawa dia berkata. “Lemparkan dahulu Kembang Darah Setan itu!”

“Jahanam keparat!” maki Kiai Laras. “Aku mendapatkan Kembang Darah Setan ini dengan perjanjian kau kubebaskan dari makam batu! Itu berarti aku mendapatkannya dengan cara jujur! Kau sebenarnya yang hendak menipuku saat itu!”

“Lalu apa maumu sekarang?!” tanya Setan Liang Makam.

“Lepaskan dia dahulu!”

“Baik! Tapi kalian akan menyesal jika menipuku!”

“Aku belum pernah menipumu! Kau sendiri yang saat itu menyetujui persyaratan ku!” sahut Kiai Laras sambil memandang tajam.

Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kaki kirinya dari perut Kiai Lidah Wetan. Kiai Lidah Wetan sendiri segera bergerak bangkit. Namun baru saja kakinya akan melangkah, tangan kiri Setan Liang Makam telah bergerak mencekal lengannya.

“Kembang Darah Setan itu serahkan dahulu!”

Kiai Laras gelengkan kepala. “Kau yang hendak menipuku! Bebaskan dia dahulu! Dan biarkan dia melangkah mendekat kemari! Atau kau tak akan mendapat apa-apa malah nyawamu akan putus saat ini juga!”

Setan Liang Makam ikut-ikutan gelengkan kepala. “Begini saja! Letakkan Kembang Darah Setan itu dahulu! Temanmu akan kulepaskan!”

Tanpa pikir panjang lagi, Kiai Laras lorotkan tubuh. Dan perlahan diletakkan Kembang Darah Setan di bawahnya.

“Bagus! Sekarang kau mundur!” kata Setan Liang Makam sambil melangkah maju dengan tangan kiri masih mencekal lengan Kiai Lidah Wetan.

Kiai Laras menatap angker pada Setan Liang Makam. Lalu dia surutkan langkah ke belakang. Kiai Lidah Wetan kernyitkan dahi.

“Apa dia sudah gila hendak memberikan begitu saja Kembang Darah Setan?! Apa yang ada dalam benaknya?! Percuma bertahun-tahun menanti kalau pada akhirnya harus begini! Dan tahu begini apa yang akan terjadi, aku tidak akan turuti ucapannya!” kata Kiai Lidah Wetan dalam hati seraya terus arahkan pandang matanya pada Kembang Darah Setan yang ada dibawah.

“Bagus! Terus mundur!” teriak Setan Liang Makam sambil terus maju.

Kiai Laras teruskan langkahnya ke belakang. Sementara kedua tangannya berada di atas kepala siap lepaskan pukulan. Begitu dua langkah dari Kembang Darah Setan, laksana terbang Setan Liang Makam melompat dan serta-merta menyambar Kembang Darah Setan. Di lain pihak, begitu Setan Liang Makam melompat, Kiai Lidah Wetan segera berkelebat.

Sebenarnya Kiai Lidah Wetan sudah punya rencana hendak mendahului gerakan Setan Liang Makam. Namun karena sadar gerakannya sudah terlambat, akhirnya dia memutuskan untuk berlari ke arah Kiai Laras.

“Kau gila! Mengapa kau berikan begitu saja?!” desis Kiai Lidah Wetan begitu sosoknya berada di samping Kiai Laras.

“Jangan banyak bertanya! Sekarang kita tinggalkan tempat ini!” Kiai Laras tidak menunggu sahutan. Begitu suaranya selesai, sosoknya telah berkelebat.

“Ada apa dengan dia?! Kembang Darah Setan telah berada di tangan Setan Liang Makam, hanya serahkan nyawa kalau tetap berada disini!”

Berpikir begitu, akhirnya Kiai Lidah Wetan segera berkelebat mengejar Kiai Laras. Sementara begitu Kembang Darah Setan telah tergenggam di tangannya, Setan Liang Makam tertawa bergelak. Dia tidak lagi pedulikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras yang terus berkelebat menjauh. Puas tertawa, baru Setan Liang Makam teringat akan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras. Namun sosok dua pemuda itu sudah tidak kelihatan lagi.

‘“Kalian boleh saja lolos! Tapi jangan harap kalian dapat tempat untuk sembunyi! Kalian telah membuat satu perhitungan dengan Setan Liang Makam. Dan itu tidak akan pernah selesai!”

Habis berkata begitu, cepat-cepat Setan Liang Makam masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. Sekali membuat gerakan, sosok Setan Liang Makam melesat tinggalkan teluk.

Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung tampak masih belum bisa kuasai rasa terkesimanya melihat apa yang baru saja terjadi. Sejak Kembang Darah Setan dikeluarkan Kiai Laras, sepasang matanya terus membelalak tak berkesip. Dia baru kedipkan mata begitu melihat Setan Liang Makam berkelebat tinggalkan teluk.

“Aneh.... Mengapa dia enak saja serahkan Kembang Darah Setan?! Padahal dengan benda itu pemuda yang tadi memegang Kembang Darah Setan tentu mampu melawan Setan Liang Makam! Dan kulihat mereka berdua juga tidak bersungguh-sungguh memberikan perlawanan ketika bentrok! Ada yang tidak beres.... Aku harus mengikuti....”

Kiai Tung-Tung segera keluar dari balik batu karang. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berkelebat.

***

Agak jauh dari kawasan teluk, Kiai Laras yang berkelebat di sebelah depan hentikan larinya.

“Kau telah gila! Mengapa Kembang Darah Setan kaubberikan padanya?!” Kiai Lidah Wetan sudah menyemprot begitu berhenti di sebelah Kiai Laras. Dan belum sempat Kiai Laras buka mulut, Kiai Lidah Wetan sudah teruskan ucapannya.

“Rupanya akan sia-sia penantian kita selama ini! Lebih dari itu kau telah membuat jalan malapetaka bagi kita berdua! Sejak semula aku sudah ragu-ragu.... Nyatanya keraguan ku terbukti! Kita dijebak orang!”

Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya dia memandang ke jurusan dari mana dia tadi datang. Sepasang matanya menatap tak berkesip menembusi kepekatan malam.

“Aneh.... Dia sepertinya tidak merasa menyesal dengan berpindahnya Kembang Darah Setan ke tangan Setan Liang Makam.... Ada apa sebenarnya ini?!” Diam-diam Kiai Lidah Wetan membaca sikap Kiai Laras. 

“Lidah Wetan.... Kita ikuti ke mana Setan Liang Makam pergi...,” bisik Kiai Laras tanpa melihat pada orang.

“Kau benar-benar gila! Untuk apa kita mengikutinya?! Kita hanya akan cari mati percuma! Dia membekal Kembang Darah Setan!”

Kiai Laras berpaling. Bibirnya sunggingkan senyum. “Aku tak peduli apa bekal setan itu! Yang jelas kesempatan ini tidak boleh kita sia-siakan!”

“Aku tak mengerti jalan pikiranmu!” ujar Kiai Lidah Wetan.

“Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti aku!” Seolah tidak sabar, Kiai Laras segera tarik tangan Kiai Lidah Wetan dan diseretnya berlari tinggalkan tempat itu.

Meski dengan menduga-duga akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti ke mana Kiai Laras berlari. Namun ketika dia melihat Kiai Laras mengikuti berkelebatnya satu sosok tubuh di depan sana, Kiai Lidah Wetan tak bisa lagi menahan dugaan. Apalagi ia mulai dapat menangkap siapa adanya sosok yang diikuti.

“Laras.... Aku tak akan mengikuti langkahmu sebelum kau jelaskan semua ini!”

Sambil terus berlari, Kiai Laras berkata dengan suara direndahkan. “Aku tidak sebodoh yang dikira manusia setan yang kita ikuti itu! Kau tak usah khawatir! Kita tidak akan membuat urusan dengannya. Kita hanya perlu tahu ke mana dia hendak pergi!”

“Tapi itu sangat berbahaya. Kembang Darah Setan telah di tangannya...!”

Kiai Laras menoleh. “Aku tanya. Kau mau apa tidak?!”

“Tapi kita harus memperhitungkan diri!”

“Kalau aku tidak memperhitungkan diri, apa kau kira aku berani melakukan ini?!”

Kiai Lidah Wetan tergagu diam. Dan tanpa berkata apa-apa lagi akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti berkelebatnya Kiai Laras yang terus berlari seraya tak henti-hentinya memperhatikan kelebatan sosok di depan sana yang bukan lain adalah Setan Liang Makam. Kiai Laras sendiri tampak berhati-hati. Dia sengaja menjaga jarak agar Setan Liang Makam tidak merasa kalau dirinya sedang diikuti. Bahkan sesekali Kiai Laras menyelinap ke balik batangan pohon begitu dilihatnya Setan Liang Makam memperlambat larinya.

Ketika malam menjelang berujung, dan samar-samar langit disemaraki warna kemerahan, Kiai Laras mulai dapat menduga ke mana arah yang dituju Setan Liang Makam.

“Aku tidak lupa! Ini adalah arah menuju Kampung Setan.... Hem.... Rupanya rahasia itu masih berada di sana....”

Di lain pihak, Kiai Lidah Wetan pun tampaknya bisa membaca arah Setan Liang Makam. Orang ini segera buka mulut. “Laras.... Tentunya kita sudah bisa menebak ke mana arah orang yang kita ikuti! Sebaiknya kita kembali dari sini!”

“Kita akan kembali begitu kita tahu ke mana dia sebenarnya!”

“Ini adalah jalan menuju Kampung Setan!” kata Kiai Lidah Wetan.

“Aku tahu! Tapi bukan itu maksudku! Aku ingin tahu Kampung Setan sebelah mana yang ditujunya!”

Apa yang dipercakapkan Kiai Laras dengan Kiai Lidah Wetan benar adanya. Karena Setan Liang Makam memang tengah menuju Kampung Setan. Entah mungkin saking gembiranya telah mendapatkan Kembang Darah Setan kembali, Setan Liang Makam tidak merasa kalau dirinya diikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia terus berlari dengan sesekali perdengarkan tawa.

Setan Liang Makam baru memperlambat langkahnya tatkala memasuki sebuah kawasan sepi di ujung hutan di mana terlihat jajaran beberapa julangan batu karang tinggi yang melingkari sebuah tanah terbuka. Tempat ini tidak lain adalah sebuah tempat yang dikenai orang dengan Kampung Setan. (Tentang Kampung Setan silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan).

Setan Liang Makam memandang berkeliling. Lalu melangkah perlahan-lahan memasuki tanah terbuka. Dia hentikan langkah dekat lobang menganga yang terbongkar.

“Makam sialan!” maki Setan Liang Makam. Dia teringat bagaimana dia terjerumus masuk ke makam itu pada tiga puluh enam tahun silam dan harus hidup menderita hingga sekujur tubuhnya sekarang hanya tinggal merupakan susunan kerangka tanpa daging. Ingat akan hal itu, tiba-tiba di kelopak matanya terbayang wajah seseorang. Sepasang mata Setan Liang Makam serta-merta mendelik angker. Kepalanya ditengadahkan dengan mulut mendesis.

“Kigali.... Hidupku belum tenang kalau tanganku belum merancah dan mengantarmu menyusul Dadaka ke liang neraka! Tunggulah Kigali...! Hidupmu tidak akan lama lagi! Kau boleh sembunyi, tapi jangan kira aku tak bisa menemukanmu! Ha Ha Ha...!”

Setan Liang Makam tertawa bergelak. Hingga untuk beberapa saat, tempat sunyi itu dipecah dengan gelakan tawa membahana. Agak jauh dari tempat Setan Liang Makam di tempat tersembunyi, Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan tekap telinga masing-masing untuk membendung suara gelakan tawa. Namun mata masing-masing orang terus memandang tak berkesip setiap gerakan Setan Liang Makam.

Tanpa diketahui oleh Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan, diam-diam sejak tadi sepasang mata tampak mendelik memperhatikan dari satu tempat. Mata ini sesekali mengarah pada gerak-gerik Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Lalu saat lain memperhatikan gerakan Setan Liang Makam.

“Hem.... Sepertinya kedua pemuda itu sengaja memberikan Kembang Darah Setan, lalu secara diam-diam mengikuti.... Ketidak beresan itu makin terlihat...,” gumam si pemilik mata yang terus memperhatikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras serta Setan Liang Makam.

Si pemilik mata ini ternyata bukan lain adalah Kiai Tung-Tung. Sejak dari kawasan teluk, Kiai Tung-Tung secara diam-diam memang mengikuti Setan Liang Makam. Mula-mula dia dilanda kebimbangan antara mengikuti kelebatan Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat itu menyamar sebagai Pendekar 131. Dia sebenarnya ingin menguak siapa sebenarnya dua pemuda itu. Namun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Setan Liang Makam.

Namun belum sampai berlari jauh, tiba-tiba Kiai Tung-Tung yang sebenarnya tidak lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng, menangkap gerakan dua bayangan putih yang berlari mengikuti Setan Liang Makam. Meski saat itu suasana gelap, namun dari pakaian yang dikenakan dua sosok putih, Kiai Tung-Tung dengan mudah bisa mengenali siapa adanya dua sosok yang mengikuti Setan Liang Makam.

Kiai Tung-Tung tidak bisa menduga ke mana dan apa yang hendak dilakukan Setan Liang Makam serta Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Hingga dia hanya berlari dengan berusaha agar dirinya tidak diketahui oleh beberapa orang yang dikuntitnya. Dan begitu Setan Liang Makam hentikan larinya pada tempat terbuka serta Kiai Lidah Wetan serta Kiai Laras sembunyi mendekam di satu tempat, Kiai Tung-Tung hentikan juga larinya lalu mencari tempat tersembunyi yang dapat melihat jelas gerak-gerik orang yang diikuti.

Sementara di tempat terbuka sana, Setan Liang Makam tampak tegak dengan kepala tengadah. Gelakan tawanya sudah terhenti. Tempat yang dikenal orang dengan Kampung Setan itu kembali dicekam kesunyian menyentak. Sementara perlahan-lahan langit di atas sana sudah mulai terang, hingga semua gerakan Setan Liang Makam makin jelas kelihatan. Orang yang tubuhnya merupakan susunan kerangka ini gerakkan kepala berpaling ke kanan. Di sana terlihat sebuah batu altar.

Setan Liang Makam melangkah dua tindak ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan memperhatikan dengan dada berdebar. Sementara Kiai Tung-Tung masih juga belum bisa mengetahui apa yang hendak dilakukan orang. Beberapa saat berlalu. Mendadak Setan Liang Makam sentakkan kedua tangannya. Terdengar deruan dahsyat. Bersamaan dengan itu tampak dua gelombang angin luar biasa kencang melesat.

Brakkk! Brakkk!

Terdengar derakan keras dua kali. Lalu tampak muncratan keping-keping batu ke udara setinggi dua tombak. Ketika muncratan kepingan batu luruh kembali, altar batu sudah tidak kelihatan lagi. Berubah menjadi sebuah lobang menganga besar! Setan Liang Makam memperhatikan sesaat pada lobang menganga. Lalu putar tubuh dengan mata memperhatikan pada julangan beberapa batu karang tinggi. Begitu tubuhnya kembali ke arah semula, dia melangkah mendekati lobang.

“Gelap...,” gumam Setan Liang Makam begitu kepalanya bergerak melongok. “Apa aku harus masuk?! Apa ucapan Nyai Suri Agung tidak bermaksud menjebakku dengan niat balas dendam akan apa yang pernah kulakukan terhadapnya?!”

Untuk beberapa lama Setan Liang Makam berpikir dan menimbang-nimbang. “Hem.... Kembang Darah Setan telah berada di tanganku kembali! Dengan benda ini tak ada yang perlu ditakutkan! Sekalipun harus berhadapan dengan Nyai Suri Agung!”

Memutuskan begitu, pada akhirnya Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali. Saat itu juga sosoknya melesat masuk ke dalam lobang menganga! “Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Kiai Lidah Wetan begitu sosok Setan Liang Makam lenyap masuk ke dalam lobang.

Kiai Laras tidak segera menjawab. Dia hanya memperhatikan ke lobang di mana tadi Setan Liang Makam melesat masuk. Dalam hati diam-diam dia berkata. “Tak kusangka jika di situ rahasianya! Hem... Lidah Wetan tidak boleh tahu apa rencanaku! Itu akan kulakukan sendiri!”

“Kita tinggalkan tempat ini!” Kiai Laras buka suara. Dan tanpa menunggu sambutan dari Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras keluar dari tempat persembunyiannya dan saat lain dia berkelebat.

“Aneh.... Apa sebenarnya yang ada dalam benaknya?! Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu padaku! Dia memberikan begitu saja Kembang Darah Setan. Lalu diam-diam mengikuti jejak Setan Liang Makam. Tapi tanpa melakukan sesuatu.... Hem.... Aku harus segera mengetahui ada apa di balik semua ini!”

Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan mengawasi ke arah lobang sejenak, lalu berkelebat menyusul Kiai Laras yang sudah berlari jauh di depan sana.

Di tempat lain, Kiai Tung-Tung kembali dilanda kebimbangan. Antara mengikuti dua pemuda yang menyamar sebagai Pendekar 131 dan menguntit apa yang dilakukan Setan Liang Makam. “Hem.... Kembang Darah Setan sudah kembali pada pemiliknya. Berarti urusan Setan Liang Makam kurasa sudah selesai. Sekarang aku harus tahu siapa sebenarnya dua pemuda itu!”

Kiai Tung-Tung gerakkan kepala dengan mata mengawasi seantero di mana dia berada. Sesaat dia masih dilanda keragu-raguan. Namun setelah berpikir lagi, dia akhirnya keluar dari tempat mendekamnya lalu berlari mengikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan.


***
SEBELAS
KETIKA sudah jauh dari Kampung Setan dan matahari sudah menggantung tinggi di belahan langit timur, Kiai Laras tiba-tiba hentikan larinya. Begitu sosoknya berhenti, laksana kilat dia putar tubuh. Sepasang matanya menyengat tajam memperhatikan ke depan. Telinganya dipasang baik-baik. Kiai Lidah Wetan serta-merta ikut berhenti. Dan seperti halnya Kiai Laras, ia juga cepat balikkan tubuh. Kepalanya bergerak memutar. Sepasang matanya liar melihat berkeliling.

“Aku merasa ada jahanam yang mengikuti kita!” gumam Kiai Laras tanpa alihkan pandang matanya.

Kiai Lidah Wetan sambuti gumaman Kiai Laras dengan anggukkan kepala. Lalu berbisik. “Kita belum tahu siapa yang kita hadapi! Untuk lebih amannya, kita harus berpencar dan segera berganti wajah!”

Kiai Lidah Wetan berucap begitu sebenarnya dengan maksud agar dia segera bisa menyelidik apa yang selama ini jadi tanda tanya besar tentang sikap Kiai Laras. Di lain pihak, Kiai Laras pun sebenarnya ingin segera menyelidik apa yang akan dilakukan Setan Liang Makam. Maka begitu mendengar bisikan Kiai Lidah Wetan, dia berbalik berbisik.

“Kita berpisah di sini! Di tempat yang telah kita tentukan, kita nanti bertemu sesuai waktu yang telah kita atur!”

Kiai Lidah Wetan memandang sesaat pada adiknya. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia tersenyum lalu berkelebat menuju arah selatan. Bersamaan dengan melesatnya sosok Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras pun berkelebat ke arah utara.

Berjarak lima belas tombak dari tempat di mana tadi Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan berhenti, Kiai Tung-Tung yang tampak telungkup sejajar tanah bergumam sendiri. “Hampir saja.... Terlambat sedikit, pasti mereka akan melihatku”

Habis bergumam, Kiai Tung-Tung arahkan pandang matanya pada Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diperbincangkan kedua orang ini. Dia hanya bisa melihat gerakan orang. Dan tiba-tiba keningnya berkerut tatkala mendadak saja salah satu pemuda yang diikutinya berkelebat ke arah selatan. Belum bisa menduga dan belum tahu apa yang harus dilakukan, kembali dia terbelalak demi melihat pemuda satunya membuat gerakan berkelebat ke arah utara.

“Busyet! Mereka berpencar! Tampaknya mereka curiga kalau kuikuti! Hem.... Siapa yang harus kuikuti sekarang?! Yang ke arah selatan atau utara?!”

Kiai Tung-Tung bergerak bangkit. Setelah merasa yakin keadaan aman, tanpa pikir panjang lagi dia segera berlari ke arah selatan, arah yang diambil oleh Kiai Lidah Wetan.

Kalau tadi Kiai Tung-Tung mengikuti secara diam-diam, kini dia berlari tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Dia berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menangkap kelebatan orang yang dikejar.

“Hai! Tunggu” Kiai Tung-Tung berteriak begitu jarak antara dia dengan orang yang dikejar hanya terpaut beberapa tombak.

Kiai Lidah Wetan rupanya sudah merasa kalau dirinya diikuti. Namun dia seolah tidak dengar teriakan orang. Malah dia mempercepat larinya. Dan diam-diam dia salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya.

“Hai! Tunggu” kembali Kiai Tung-Tung berteriak.

Di depan sana, Kiai Lidah Wetan tiba-tiba saja berhenti. Malah langsung putar tubuh. Namun bersamaan dengan berputarnya tubuh, kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang angker melesat ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tampak sedikit tersentak kaget karena tidak menduga sama sekali. Namun laki-laki bercaping lebar ini cepat melompat ke samping. Kedua tangannya dikelebatkan ke arah gelombang yang melesat dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan.

Bummm!

Terdengar ledakan keras saat dua gelombang pukulan Kiai Lidah Wetan disambut gelombang yang menyambar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung. Meski Kiai Tung-Tung tidak arahkan pandangannya lurus ke arah Kiai Lidah Wetan, namun bentroknya dua tenaga dalam membuat sosok Kiai Lidah Wetan bergoyang- goyang dan kedua tangannya bergetar. Paras wajahnya seketika berubah. Antara marah dan rasa menyentak-nyentak pada aliran jalan darahnya.

Di seberang samping, Kiai. Tung-Tung tampak tegak dengan tangan satu di atas kepala menekan caping lebarnya yang hendak lepas terbang. Sementara tangan satunya dikibas-kibaskan dengan mulut meringis!

“Apa maumu?!” bentak Kiai Lidah Wetan sambil angkat kedua tangannya kembali.

“Tahan, Sahabat!” sahut Kiai Tung-Tung. “Aku cuma ingin bertanya....”

Kiai Lidah Wetan pandangi sekujur tubuh orang dari atas hingga bawah seolah ingin mengenali. Namun karena caping lebar itu masuk hampir menutupi separuh dari paras muka Kiai Tung-Tung, apalagi rambutnya yang panjang sengaja digeraikan di bagian samping kanan kiri wajahnya, membuat Kiai Lidah Wetan sulit untuk mengenali siapa adanya orang ini.

“Apa manusia ini yang mengikuti langkahku dan Laras sejak keluar dari kawasan hutan dekat Kampung Setan tadi?!” Kiai Lidah Wetan diam-diam menduga. Lalu ajukan tanya dengan suara keras.

“Siapa kau?!”

“Namaku Bim-Bim...,” ujar Kiai Tung-Tung setelah agak lama terdiam. “Bukankah aku sedang berhadapan dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng?!”

Sesaat Kiai Lidah Wetan kerutkan dahi. “Kau telah mengenalku! Sekarang katakan apa maumu!”

Tiba-tiba Kiai Tung-Tung perdengarkan tawa bergelak panjang. Namun laksana dirobek setan, Kiai Tung-Tung putuskan gelakan tawanya. Kejap lain dia perdengarkan suara bentakan.

“Bagus! Aku mendapat tugas untuk meminta sesuatu darimu! Kalau kau turuti permintaanku, nyawamu akan selamat! Jika tidak, aku akan mengambil apa yang kuminta beserta nyawamu sekalian!”

“Jahanam! Pasti yang dimaksud adalah Kembang Darah Setan.... Hem.... Rupanya dia tidak memiliki ilmu rendah! Aku harus dapat segera menyelesaikannya! Jika tidak, dia akan menunda pekerjaanku....”

“Apa yang kau minta?!” Kiai Lidah Wetan bertanya dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dia coba kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki, karena dari bentrok pukulan tadi, dia sudah maklum jika orang yang dihadapi punya kekuatan yang tidak rendah.

Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan kekehan tawa. “Serahkan Kembang Darah Setan padaku!”

Entah karena merasa mungkin urusan akan selesai dengan bicara baik-baik, Kiai Lidah Wetan yang saat itu menyamar sebagai murid Pendeta Sinting sunggingkan senyum sambil berkata. Nadanya kalem. “Aku maklum jika kau minta benda itu padaku, karena rimba persilatan saat ini memang telah beredar berita jika Kembang Darah Setan ada padaku! Namun perlu kau ketahui.... Berita ini sebenarnya fitnah dan omong kosong! Kembang Darah Setan tidak ada di tanganku!”

“Manusia ini pandai juga berdalih.... Sayangnya aku tadi tak bisa membedakan mana yang memberikan Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam.... Tapi itu tidak penting! Yang penting aku harus tahu siapa di balik kedoknya!” Diam-diam Kiai Tung-Tung berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.

“Seandainya aku jadi kau, tentu aku akan menjawab dengan ucapan yang sama! Tapi sayangnya aku lebih percaya pada berita yang saat ini beredar! Kembang Darah Setan berada ditanganmu! Dan kau telah dengar apa permintaanku!” Kiai Tung-Tung maju melangkah tiga tindak. 

“Sahabat Muda.... Duniamu masih panjang dibanding duniaku yang hanya tinggal menunggu saat-saat terakhir panggilan ajal! Kau tentu masih bisa memperoleh sesuatu yang lebih dahsyat dari pada Kembang Darah Setan. Maka dari itu, aku....” Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan, Kiai Lidah Wetan telah memotong.

“Telingamu telah dengar penjelasanku! Kuperintahkan kau angkat kaki dari hadapanku jika kau tak ingin ajal itu menjemput mu sekarang!”

Kiai Tung-Tung tersenyum sambil gelengkan kepala. “Tadi sudah kukatakan, aku adalah orang yang mendapat tugas untuk meminta darimu! Bagiku.... Daripada pulang dengan tangan hampa lebih baik pulang tanpa nama! Karena pulang pun aku harus menerima kematian juga!”

Karena sadar tidak bisa menyelesaikan urusan dengan bicara baik-baik, tanpa pikir panjang lagi Kiai Lidah Wetan segera tarik kedua tangannya ke belakang. “Aku peringatkan kau sekali lagi! Angkat kaki atau mampus di sini!”

“Keduanya tidak ada yang ku pilih! Aku minta Kembang Darah Setan!” jawab Kiai Tung-Tung.

Wuutt! Wuutt!

Suara jawaban Kiai Tung-Tung belum selesai, Kiai Lidah Wetan telah sentakkan kedua tangannya ke depan. Hingga bersamaan dengan itu dua gelombang menggidikkan menggebrak. Dan samar-samar tampak semburatan warna hitam menyertai gelombang yang datang. Kiai Tung-Tung maklum jika pukulan yang dilepas orang kali ini bertenaga dalam tinggi. Dia tidak mau bertindak ayal. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Serta-merta kedua tangannya berubah menjadi kekuningan. Menunjukkan kalau dia hendak hadang pukulan orang dengan lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’.

Wuutt! Wuutt!

Kedua tangan Kiai Tung-Tung bergerak. Terlihat sinar kuning melesat membawa serta gelombang dahsyat dan hawa luar biasa menyengat panas.

Blaarr!

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat. Gelombang yang samar-samar disemburati warna hitam dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan buyar. Sinar kuning yang melesat dari kedua tangan Kiai Tung-Tung tampak pula ambyar. Sosok Kiai Lidah Wetan terjengkang jatuh di atas tanah. Dari mulutnya mengucurkan darah. 

Tanda jika telah terluka dalam. Namun Kiai Lidah Wetan tampaknya sadar akan apa yang hendak dilakukan orang, hingga meski merasakan aliran darah sekujur tubuhnya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak, Kiai Lidah Wetan segera salurkan tenaga dalam kembali, lalu dengan cepat bergerak bangkit.

Sementara di depan sana, Kiai Tung-Tung tampak terdorong deras ke belakang dan hampir saja lututnya terlipat. Tapi dia cepat dapat kuasai diri meski dengan tubuh terhuyung-huyung. Sosoknya bergetar keras. Sepasang matanya mengerjap beberapa kali. Caping lebarnya mencelat dan melayang-layang di atas udara. Karena mungkin tidak mau dikenali dengan melayangnya caping di kepalanya, Kiai Tung-Tung segera berkelebat menyambar capingnya. Dan cepat-cepat pula dikenakan.

Kiai Lidah Wetan sesaat tampak sipitkan mata tatkala melihat gerakan Kiai Tung-Tung yang menyambar caping lebarnya. Dia tadi coba mengenali wajah orang. Namun karena dia masih pikirkan keadaan dirinya dan kelebatan Kiai Tung-Tung sangat cepat, membuat Kiai Lidah Wetan belum bisa dengan jelas melihat raut muka orang.

“Siapa jahanam ini sebenarnya?! Rasanya aku tak mungkin menghadapinya!” Kiai Lidah Wetan rupanya maklum akan gelagat. Dia melirik ke samping kiri kanan. Kejap lain dia sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan ke arah Kiai Tung-Tung.

Kembali dua gelombang angin dahsyat menggebrak ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Bersamaan dengan menggebraknya gelombang, Kiai Lidah Wetan berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Serahkan dulu Kembang Darah Setan! Baru kau bisa pergi dengan tenang!” teriak Kiai Tung-Tung sambil dorong kedua tangannya lepaskan lagi pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya mendorong, Kiai Tung-Tung segera pula berkelebat mengejar.

Bummm!

Bentroknya dan pukulan menimbulkan gelegar dahsyat. Tanah di mana pukulan bertemu tampak semburat ke udara menutupi pemandangan. Meski sosok Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung sudah berkelebat ketika gelegar terdengar, namun bias bentroknya dua pukulan tak bisa dihindari. Hingga kelebatan sosok Kiai Lidah Wetan terlihat bergoyang-goyang. Demikian pula sosok Kiai Tung-Tung. Namun Kiai Lidah Wetan tak hendak hentikan larinya.

“Aku harus menghentikannya!” Kiai Tung-Tung angkat kedua tangannya. Dia sengaja arahkan pukulan ke bawah. Namun baru saja Kiai Tung-Tung hendak lepaskan pukulan, dari arah samping melesat sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih!

Kiai Tung-Tung sempat terkesiap. Tapi dia cepat sadar. Kedua tangannya buru-buru disentakkan ke arah datangnya sinar tiga warna. Kiai Tung-Tung terkesima kaget. Gelombang angin dari kedua tangannya serta-merta buyar. Sementara sinar tiga warna laksana tak terbendung dan terus melabrak. Malah saat itu juga sosok Kiai Tung-Tung terdorong deras ke belakang!

“Jangkrik! Siapa orang yang menghadang ini?!” omel Kiai Tung-Tung seraya angkat kembali kedua tangannya dan kali ini lepas pukulan ‘Lembur Kuning’ ke arah sinar tiga warna.

Tass! Tasss!

Sinar tiga warna tampak meletup pancarkan pijaran api. Pijaran api itu meletup lalu menebar dua tombak keudara. Sosok Kiai Tung-Tung terhempas ke belakang. Meski tidak sampai jatuh, namun dia merasakan sekujur tubuhnya laksana dipanggang. Hingga untuk beberapa saat dia harus kerahkan hawa murni. Begitu dapat kuasai diri, Kiai Tung-Tung cepat melompat ke depan. Kepalanya berpaling ke arah dari mana tadi sinar tiga warna melesat. Sementara matanya melirik juga ke depan, arah kelebatan Kiai Lidah Wetan.

Namun Kiai Tung-Tung tidak melihat siapa-siapa. Dan begitu arahkan pandang matanya ke depan, sosok Kiai Lidah Wetan pun sudah lenyap! Kiai Tung-Tung tak mau begitu saja lepaskan buruan. Dia coba mengejar ke arah kelebatan Kiai Lidah Wetan. Namun sampai dia berlari kira-kira dua puluh lima tombak, dia sadar jika buruannya dapat meloloskan diri, karena sampai sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat sosok Kiai Lidah Wetan!

Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. “Siapa orang yang lepaskan pukulan tadi?! Baru kali ini aku melihat pukulan bersinar tiga warna! Berarti aku belum pernah mengenalnya....” Kiai Tung-Tung membatin. Tiba-tiba dahinya berkerut. “Sinar tiga warna... Tadi kulihat Kembang Darah Setan juga pancarkan sinar tiga warna saat tergenggam salah seorang di teluk.... Apakah Setan Liang Makam?! Tapi mungkinkah?! Bukankah Setan Liang Makam setidaknya punya urusan dengan orang yang kukejar?! Berarti ada orang lain.... Siapa...?!”

Sambil terus membatin, Kiai Tung-Tung melangkah dengan mata menyelidik ke tiap jengkal tanah yang dilewati. Tapi sejauh ini dia tidak melihat siapa-siapa!

***

Sementara itu di Kampung Setan, Setan Liang Makam sejurus tampak terkejut begitu tubuhnya memasuki lobang bekas bongkaran altar batu. Ternyata lobang menganga itu hanya delapan tombak. Dan tempat dimana sekarang berpijak adalah batu cadas. Setan Liang Makam cepat pentangkan mata. Memandang ke depan, terlihat tangga menurun dari batu cadas. 

Dengan hati-hati Setan Liang Makam mulai melangkah menuruni tangga dengan kedua tangan siap lepaskan pukulan sewaktu-waktu. Tangga menurun itu berakhir pada sebuah tempat terbuka yang bersinar terang. Setan Liang Makam tegak dengan mata tetap mementang besar.

“Sama sekali tak kuduga...,” desis Setan Liang Makam. Dia kini putar kepalanya memandang berkeliling. Ternyata tempat itu diterangi sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih! Dan memandang ke depan, terlihat sebuah bangunan yang membuat sepasang mata Setan Liang Makam tak berkesip.

Bangunan itu dari batu cadas biasa. Anehnya, bangunan itu pancarkan sinar tiga warna. Dan anehnya lagi, ternyata bangunan itu membentuk setangkai bunga! Pada sisi kanan tampak sayap bangunan yang pancarkan sinar putih. Sedang pada sisi kiri tampak sayap bangunan yang pancarkan warna hitam. Di antara sayap bangunan ini masih terlihat satu sayap bangunan lagi yang pancarkan sinar warna merah. Sementara pada bagian atas bangunan tampak bangunan membentuk kerucut yang juga pancarkan sinar warna merah!

“Bentuknya mirip Kembang Darah Setan...,” gumam Setan Liang Makam. Lalu mulai melangkah mendaki bangunan yang pancarkan sinar tiga warna.

Begitu lima langkah di depan bangunan, Setan Liang Makam hentikan langkah. Dia baru bisa melihat dengan jelas. Ternyata bangunan itu berpintu satu dan terlihat terbuka menganga.

“Apa yang akan kutemui di sini?!” Setan Liang Makam menduga-duga. Lalu teruskan langkah setelah terlebih dahulu memeriksa Kembang Darah Setan yang berada di balik pakaiannya.

Setan Liang Makam rasakan debaran keras pada dadanya tatkala kakinya mulai melangkah memasuki pintu bangunan. Dan diam-diam dia selinapkan tangan kirinya ke balik pakaiannya. Ternyata bangunan di mana kini Setan Liang Makam masuk hanya ruangan membentuk bundaran memanjang ke atas. Pada bagian sudut kanan terlihat tangga ke atas.

Setan Liang Makam memandang sekeliling sesaat. Lalu melangkah ke arah tangga. Dan tanpa pikir panjang namun dengan tetap waspada, Setan Liang Makam menaiki tangga. Tangga itu membawa sosok Setan Liang Makam ke satu ruangan berbentuk kerucut yang merupakan bagian paling atas dari bangunan itu.

Ruangan berbentuk kerucut itu pancarkan sinar merah menyala. Hingga begitu menyalanya, membuat Setan Liang Makam harus mengerjap beberapa kali untuk menahan silau. Begitu telah terbiasa, Setan Liang Makam mulai arahkan pandang matanya berkeliling. Dan gerakan mata Setan Liang Makam terhenti pada satu batu datar yang di atasnya tampak menggantung sebuah jubah hitam. Mata Setan Liang Makam kembali mementang besar. Karena jubah itu menggantung pada satu sosok kerangka manusia!

“Siapa dia?! Diakah nenek moyang ku pendiri Kampung Setan?!” seraya membatin, Setan Liang Makam melangkah mendekat.

Bukkk!

Setan Liang Makam tersentak. Tubuhnya laksana membentur dinding tebal dan tersurut satu langkah ke belakang! “Aneh.... Mataku tidak melihat apa-apa. Tapi aku seperti membentur tembok! Aku tak percaya!” Setan Liang Makam kembali maju melangkah.

Bukkk!

Kembali tubuh Setan Liang Makam laksana membentur tembok. Hingga untuk kedua kalinya sosoknya tersurut ke belakang. “Aneh.... Akan ku coba dengan pukulan!” Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. Dia mundur beberapa langkah. Lalu kedua tangannya bergerak.

"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat melesat.

"Blaarr!" Terdengar gema gelegar. Setan Liang Makam terkesiap. Gelombang pukulannya bukan saja laksana dibendung tembok berkekuatan luar biasa, namun juga mental balik! Dan karena tidak menyangka sama sekali, terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar oleh pukulannya sendiri yang mental. Sosoknya tersapu dan jatuh menghempas ke bagian belakang dinding bangunan di mana dia berada.

Setan Liang Makam memaki dalam hati. Seraya meringis perlahan-lahan dia bangkit. Karena penasaran, kembali Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya.

“Kau telah dapatkan kembali Kembang Darah Setan?!” Tiba-tiba satu suara mengejutkan Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam sentakkan kepala ke samping kanan. “Nyai Suri Agung!” desis Setan Liang Makam. Dia melihat satu sosok tubuh duduk bersila di pojok ruangan. Dia adalah seorang nenek yang kepalanya hampir-hampir saja plontos. Wajahnya sudah sangat keriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. Nenek ini tidak lain memang Nyai Suri Agung adanya.

“Bagaimana dia bisa sampai di sini?! Mengapa aku tadi tidak bisa melihatnya?!”

Selagi Setan Liang Makam masih bertanya-tanya, Nyai Suri Agung sudah perdengarkan suara lagi. “Maladewa! Kau sudah dapatkan kembali Kembang Darah Setan?!”

Setan Liang Makam memperhatikan sesaat. Lalu anggukkan kepala. Nyai Suri Agung sunggingkan senyum. Lalu berkata.

“Bagus.... Kau baru bisa melewati dinding tak tembus pandang itu jika dinding itu kau hantam dengan Kembang Darah Setan!” Nyai Suri Agung bergerak bangkit, lalu lanjutkan ucapan.

“Cucuku.... Kau saat ini berada di Istana Sekar Jagat! Jubah hitam itu adalah Jubah Tanpa Jasad! Kau nanti akan tahu sendiri bagaimana hingga jubah hitam itu dinamakan demikian! Dan orang yang mengenakan jubah itu adalah generasi pertama pendiri Kampung Setan! Sekarang buka dahulu dinding tidak tembus pandang itu! Nanti akan kuceritakan semuanya!”

Setan Liang Makam sunggingkan senyum. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia palingkan kepalanya ke depan. Saat yang sama, tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya. Ketika tangan kanannya ditarik keluar, dia telah menggenggam setangkai bunga berwarna tiga. Merah, hitam, dan putih.

Nyai Suri Agung tampak memperhatikan kembang di tangan Setan Liang Makam dengan kening berkerut. Sementara Setan Liang Makam tampaknya sudah tidak sabaran. Dia segera angkat Kembang Darah Setan dan tangannya disentakkan.

Wuutt!

Setan Liang Makam terkesiap. Dari tangannya yang memegang Kembang Darah Setan tidak lepaskan sinar tiga warna! Yang mencuat justru satu gelombang tidak begitu deras.

Blummm!

Terdengar dentuman tidak begitu keras. Lalu gelombang tadi mental. Setan Liang Makam tidak berusaha menghindar saking kagetnya. Hingga mentalan gelombang itu menyambar ke arahnya. Namun karena gelombang itu tidak begitu keras, sosok Setan Liang Makam hanya bergoyang-goyang.

“Ada yang aneh.... Aku tidak melihat kedahsyatan kembang ini!” Setan Liang Makam tarik tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan. Untuk beberapa lama dia meneliti.

“Maladewa! Dari mana kau dapatkan kembali kembang di tanganmu itu?!” Nyai Suri Agung ajukan tanya.

Sambil terus meneliti kembang di tangannya. Setan Liang Makam ceritakan dengan singkat bagaimana dia memperoleh kembali Kembang Darah Setan. Nyai Suri Agung gelengkan kepala. “Kau tertipu, Cucuku....” 

Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang Makam berpaling ke arah Nyai Suri Agung. “Tak mungkin! Ini Kembang Darah Setan!” Setan Liang Makam acungkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan.

Nyai Suri Agung kembali gelengkan kepala. “Bentuk bisa sama. Tapi belum tentu barangnya tidak beda! Kau tahu, Maladewa?! Mengapa aku tadi bertanya padamu apakah kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah Setan?! Itu karena aku tidak melihat pancaran kembang itu pada tubuhmu! Dan itu telah cukup membuatku yakin jika kembang di tanganmu itu palsu! Dan bukti kepalsuannya makin tampak begitu kau gunakan kembang itu! Tidak ada tiga warna yang keluar yang justru sebenarnya tiga warna itulah yang bisa menembus dinding tak tembus pandang di depanmu itu!”

“Aku tak percaya! Aku tak percaya!” teriak Setan Liang Makam.

“Silakan kau buktikan sekali lagi!” kata Nyai Suri Agung.

Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam angkat tangannya yang memegang kembang. Lalu disentakkan kedepan.

Wuutt!

Satu gelombang melesat tanpa disertai mencuatnya tiga sinar. Lalu terdengar gelegar saat gelombang dari tangan Setan Liang Makam membentur dinding tak tembus pandang. Gelombang itu mental balik. Kali ini Setan Liang Makam sudah bergerak menghindar hingga dia selamat dari mentalan gelombang.

“Kau masih belum percaya?!” tanya Nyai Suri Agung.

Setan Liang Makam angkat tangannya yang memegang Kembang Darah Setan sejajar dengan matanya. Untuk beberapa saat dia memandang dengan mata mendelik angker. Dadanya bergerak turun naik dengan keras. Rahangnya terangkat dan pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Tiba-tiba Setan Liang Makam bantingkan kembang di tangannya ke bawah. Kembang itu langsung hancur berkeping-keping.

“Bangsat jahanam! Mereka menipuku! Mereka menipuku! Aku bersumpah akan membunuh mereka dengan tubuh kupotong-potong!”

Saking marahnya, Setan Liang Makam bantingkan kedua kakinya. Lalu tanpa berkata lagi pada Nyai Suri Agung, Setan Liang Makam berkelebat menuruni tangga dengan mulut terus perdengarkan makian dan sumpah...!

S E L E S A I

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar