SATU
LASMINI tegak dengan sosok bergetar keras. Mulutnya menganga tak lanjutkan ucapan. Sepasang matanya berkilat mendelik angker. Dadanya langsung dibuncah kemarahan luar biasa. Di matanya kembali terkenang peristiwa yang terjadi di depan Istana Hantu pada beberapa waktu silam.
Seperti dituturkan dalam episode Rahasia Kampung Setan, atas saran Kiai Lidah Wetan yang ternyata adalah kekasih Lasmini di masa muda, Lasmini mendatangi Jurang Tlatah Perak tempat kediaman Pendeta Sinting. Ternyata Lasmini tidak berjumpa dengan Pendeta Sinting. Justru dia berjumpa dengan Setan Liang Makam yang punya tujuan sama.
Saat Lasmini dan Setan Liang Makam keluar dari Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan Datuk Wahing. Setan Liang Makam marah tatkala mendapati Lasmini tidak mengenali Datuk Wahing, dan menyadari siapa adanya Datuk Wahing. Padahal beberapa saat yang lalu Lasmini mengatakan banyak mengenal beberapa tokoh rimba persilatan. Setan Liang Makam akhirnya memerintahkan pada Lasmini untuk pisahkan diri.
Dengan perasaan kecewa, Lasmini meninggalkan Setan Liang Makam. Dia sempat jumpa dengan Datuk Wahing. Tapi Datuk Wahing tetap bungkam tak mau sebutkan siapa dirinya. Akhirnya Lasmini tinggalkan Datuk Wahing. Saat itulah dia berjumpa dengan Kiai Laras. Pada akhirnya Kiai Laras mau menunjukkan di mana Pendeta Sinting berada.
Dan saat sampai pada tempat yang ditunjukkan Kiai Laras, mendadak di hadapannya muncul seorang pemuda yang dikenal betul oleh Lasmini, karena pemuda itulah yang pernah menggagalkan usahanya dalam merebut Kitab Sundrik Cakra di depan Istana Hantu. Si pemuda di hadapannya bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
“Kalau bangsat kecil ini ada di sini, berarti si keparat gurunya juga berada di sini!” desis Lasmini dalam hati. “Hari ini besar sekali rezeki ku. Yang kucari satu, yang kudapat dua! Tapi... Aku harus berhati-hati pada bajingan ini! Bagaimanapun juga pasti dia sudah mempelajari kitab di tangannya! Kemampuannya telah terbukti dari berita kegegeran di Kedung Ombo belum lama berselang...”
Sementara itu pemuda yang tegak di seberang senyum-senyum. Seolah tidak pedulikan kemarahan orang, Joko angkat bicara. “Kalau tidak salah, bukankah yang tegak di hadapanku saat ini adalah...”
Ucapan Joko belum selesai, Lasmini sudah menukas dengan suara keras. “Syukur matamu masih mengenaliku!” Lasmini alihkan pandangan. “Kau hari ini masih beruntung, Jahanam! Karena aku tak mau tanganku kotor dengan simbahan darahmu! Tapi bukan berarti nyawamu akan tetap di tubuhmu!”
Joko kerutkan dahi. “Apa maksud ucapanmu?!”
“Aku ingin kau sendiri yang memutus nyawamu!”
Pendekar 131 tertawa pendek. “Itu soal mudah! Tapi sebelumnya aku tanya. Apakah kedatanganmu hanya ingin menyaksikan nyawaku putus dengan tanganku sendiri?!”
“Aku tahu, si keparat gurumu berada di sini! Untuknya tanganku sendiri yang akan cabut nyawanya!”
“Ah... Bagaimana kau bisa membeda-bedakan begitu?! Apakah harga nyawaku dan nyawa guruku berbeda?!”
“Itu urusanku! Kau tak usah banyak mulut!”
Joko gelengkan kepala. “Aku tak akan lakukan permintaanmu sebelum kau jelaskan perbedaan ini!”
Lasmini sentakkan kepala menghadap Joko. Dia sengaja memerintahkan si pemuda untuk cabut nyawanya sendiri karena dia sadar, bahwa kepandaian si pemuda pasti sudah jauh meningkat dibanding beberapa saat yang lalu. Lasmini tak mau bertindak ayal untuk hamburkan tenaga, karena dia berpikir masih harus berhadapan dengan Pendeta Sinting.
“Kau tak akan mendengar keterangan apa-apa dari mulutku, Keparat! Dan kalau kau tak mau lakukan ucapanku, apa kau kira nyawamu bisa selamat?!”
“Aku tidak bisa pastikan! Yang jelas aku yakin masih bisa hidup lebih lama!”
“Hem... Begitu?!” ujar Lasmini.
Belum sampai suaranya usai, sosok perempuan ini telah melesat ke depan. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam segera dikelebatkan melepas satu pukulan ke arah dada. Joko tidak tinggal diam. Dua jengkal lagi tangan Lasmini menghantam dadanya, kedua tangannya diangkat melintang di depan.
Bukk! Bukkk!
Benturan tak bisa dihindari. Sosok Lasmini mundur satu tindak. Di hadapannya, Joko surut satu langkah. Tangan masing-masing orang yang baru saja beradu tampak bergetar. Lasmini makin berang namun perempuan ini sedikit bisa merasa lega, karena dari benturan tadi telah cukup membuatnya maklum jika tenaga dalamnya tidak berada di bawah lawan. Hingga keragu-raguan seketika sirna dari dadanya.
“Sepertinya tak ada perubahan pada manusia ini!” gumam Lasmini.
Saat itu juga dia telah lipat gandakan tenaga dalamnya, dan serta-merta merangsek ke depan. Kali ini dengan bertumpu pada kaki kirinya, tubuhnya berputar. Saat yang sama kaki kanannya membuat gerakan menendang. Melihat orang lakukan tendangan, Joko mundur dua langkah. Kaki kanannya diangkat menghadang tendangan yang datang.
Desss!
Lasmini tersentak. Kaki kanannya mental balik. Kaki kirinya yang dibuat tumpuan tubuh tampak menekuk dan bergerak memutar mengikuti mentalan kaki kanannya. Sadar akan apa yang terjadi jika lawan susuli hadangan kakinya dengan pukulan, Lasmini mendahului. Kedua tangannya segera disentakkan ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat melesat deras ke arah Joko. Di depan, si pemuda yang masih coba kuasai diri cepat jejakkan kaki kiri yang tadi juga dipakai tumpuan. Saat itu juga sosoknya mengudara. Gelombang pukulan Lasmini lewat satu jengkal di bawah kakinya menghantam udara kosong!
Lasmini menggeram. Dia teruskan putaran tubuh. Begitu menghadap kembali ke depan, serta-merta kedua tangannya dihantamkan kembali. Lasmini sengaja arahkan pukulan ke atas dan ke bawah. Dengan begitu lawan tak mungkin menghindar. Di atas udara, Joko tarik kedua tangannya ke belakang. Saat berikutnya disentakkan. Karena gelombang yang datang menyongsong dari arah atas dan bawah, Joko arahkan kedua tangannya ke bawah dan ke atas.
Bummm! Bummm!
Terdengar dua kali ledakan keras di udara. Sosok tubuh Joko tampak terdorong di atas udara. Di bawah sana, Lasmini terhuyung-huyung. Tapi perempuan ini cepat bisa kuasai diri. Sebelum Joko sempat jejakkan kaki, Lasmini telah hantamkan kembali kedua tangannya. Entah karena apa, meski dua gelombang yang siap menyapu telah mencuat dari kedua tangan Lasmini, Joko tidak membuat gerakan untuk hadang pukulan orang. Sebaliknya dia berpaling ke arah timur.
Lasmini tersenyum dingin melihat pukulannya tidak dihadang lawan. Dia sudah dapat menduga apa yang akan terjadi kalau pukulannya benar-benar telak menghantam! Mendadak senyum Lasmini putus. Dari arah mana kepala Joko berpaling mendadak melesat dua gelombang menghadang pukulan Lasmini.
Bummm!
Lamping Bukit Kalingga kembali dicercah dentuman keras. Sosok Lasmini tersurut dua langkah dengan dada bergetar keras. Di depan sana, Joko turun ke atas tanah dengan bibir sunggingkan senyum. Lasmini berpaling. Memandang ke depan, sepasang matanya langsung membeliak besar. Wajahnya berubah antara geram dan terkejut. Mulutnya membentak.
“Saraswati! Apa yang kau lakukan?!”
Dari arah mana tadi kepala Joko berpaling, tampak tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam. Pemuda ini bukan lain adalah Saraswati, anak perempuan Lasmini yang masih kenakan samaran sebagai seorang pemuda. Yang ditanya tidak menjawab. Malah arahkan pandangannya ke jurusan lain. Mulutnya bergerak membuka. Namun tidak terdengar suaranya!
“Saraswati...” Joko buka suara lalu seraya melirik pada Lasmini dia melangkah mendekat.
“Tetap di tempatmu, Jahanam!” hardik Lasmini. Saat yang sama perempuan ini membuat gerakan satu kali. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak disamping Saraswati. Sesaat matanya memperhatikan sikap anaknya.
“Saraswati! Cepat tinggalkan tempat ini!”
Saraswati gerakkan kepala lalu memandang pada Lasmini. Kepalanya menggeleng perlahan. “Ibu...” Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Saraswati. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini tak kuasa lanjutkan ucapannya.
“Saraswati! Kau dengar ucapanku?! Tinggalkan tempat ini! Cepat!”
Saraswati kembali gelengkan kepala. “Maaf, Ibu...Bukan aku tidak mau turuti ucapanmu, tapi...”
“Kau jangan ikut campur urusan ini! Dan perlu kau dengar, meski kau anakku, bukan berarti kau bisa selamatkan nyawanya!”
Habis berkata begitu, Lasmini menoleh pada Joko yang masih tegak dengan mata memandang pada Saraswati. Dada Lasmini makin bergolak panas. Dia cepat angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya bergerak, Saraswati telah melompat dan tegak di hadapan Lasmini, hingga mau tidak mau Lasmini urungkan niat.
“Ibu... Urusan yang lalu tidak usah diperpanjang lagi! Anggap semuanya sudah berakhir!”
“Saraswati! Keputusan sudah kuambil! Nyawa anjing keparat itu harus putus di tanganku! Tidak seorang pun bisa menghalangi meski kau!”
Lasmini gerakkan tangan menarik lengan Saraswati untuk menyingkir dari hadapannya. Saat lain keduanya telah berkelebat sambil Lasmini lepaskan pukulan ke arah Joko. Saraswati tidak berdiam diri. Dia cepat melompat ke depan. Kedua tangannya mendorong gerakan kedua tangan Lasmini. Hingga meski dari kedua tangan Lasmini melesat dua gelombang angin luar biasa dahsyat, tapi arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran!
Kalau tadi hanya menggertak, kali ini rupanya Lasmini sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan melihat tindakan Saraswati. Tampangnya berubah mengelam. Sepasang matanya mendelik angker. Kedua tangannya yang baru saja lepaskan pukulan ke arah Joko cepat ditarik pulang dan diangkat tinggi-tinggi ke atas.
“Kau telah berlaku bodoh, Saraswati!” Kedua tangan Lasmini sudah bergerak.
Di hadapannya, Saraswati tegak dengan kancingkan mulut dan memandang tajam pada gerakan kedua tangan ibunya. Gadis ini tidak membuat gerakan apa-apa. Baru setengah jalan, mendadak Lasmini sentakkan kedua tangannya kembali ke belakang. Sepasang matanya memandang ke jurusan lain dengan dada bergerak turun naik tak teratur dengan keras.
“Saraswati!” kata Lasmini dengan suara bergetar dan parau. “Kau harus tahu... Siapa manusia jahanam itu, siapa dirimu, lebih-lebih siapa aku!” Lasmini hadapkan wajah pada Saraswati. “Kau jangan tertipu dengan perasaan! Perasaan hanya akan membawamu tenggelam dalam ketololan! Tak tahu mana benar, mana salah! Tak bisa membedakan mana yang harus kau lakukan dan mana yang tidak harus kau laksanakan!”
Saraswati menentang pandangan ibunya. Namun sejauh ini dia belum buka mulut menyahut. Sementara di seberang sana, Joko memandang kedua ibu dan anak itu dengan senyum.
“Saraswati! Kuharap kau mengerti dan turuti permintaan ibumu!”
“Ibu... Menurutku, antara Ibu dengan pemuda itu tidak ada urusan! Kalaupun ada, bisa diselesaikan tanpa harus mengadu jiwa!”
Lasmini tertawa perlahan mendengar ucapan anaknya. “Itu bukti bahwa kau belum tahu siapa dirimu, siapa pemuda bangsat itu serta siapa aku!”
“Kalau boleh tahu, apakah ada silang sengketa lain antara Ibu dengan pemuda itu selain urusan yang terjadi di Istana Hantu beberapa waktu silam?!” tanya Saraswati.
“Hem... Jadi urusan di Istana Hantu itu kau anggap persoalan sepele yang bisa diselesaikan dengan ucapan, begitu?!”
“Kalau diselesaikan dengan kekerasan, apa Ibu kira bisa tuntas?!” Saraswati balik bertanya. Lalu kepala gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini menggeleng. “Tidak, Ibu... Justru kalau urusan ini diselesaikan dengan cara Ibu, akan timbul urusan baru...”
“Kau tak tahu, Saraswati! Dalam dunia persilatan, semua ujung persoalan baru tuntas jika salah seorang sudah tewas! Kalaupun nantinya timbul urusan baru, itu urusan lain. Inilah sebuah risiko yang harus ditanggung manusia yang terjun dalam kancah persilatan!”
“Ibu... Anggaplah itu satu yang lazim dalam dunia persilatan! Tapi sebagai manusia biasa, bukankah kita bisa ambil jalan yang terbaik?! Kalau urusan bisa diselesaikan dengan baik-baik, untuk apa harus melakukan pembunuhan?!”
“Kau belum bisa melihat dalamnya urusan, Anakku!” ujar Lasmini pelan dengan menarik napas dalam. “Baiklah... Kali ini aku turut saranmu. Kau mengatakan persoalan bisa diatasi dengan baik-baik! Sekarang coba kau minta kitab yang ada ditangannya! Kalau dia memberikan apa yang kau minta, berarti ucapanmu benar dan urusan selesai!”
Saraswati pandangi ibunya dengan paras bimbang. Untuk beberapa saat gadis ini diam. Lasmini tertawa. Lalu berkata.
“Mengapa kau diam, Anakku?! Bukankah kau bilang urusan ini bisa tuntas dengan ucapan? Tanpa harus saling bunuh?!”
“Ibu... Kitab itu sudah menjadi haknya! Tak mungkin...”
Belum selesai Saraswati berucap, Lasmini telah menyahut. “Sebuah kitab diciptakan bukan untuk di hak-i seseorang! Dan urusan ini adalah urusan kitab itu!” Lasmini sunggingkan senyum. “Sekarang aku tanya padamu, kalau kau bimbang, apa kau masih berpikir urusan ini bisa diselesaikan dengan baik- baik?!”
Mungkin untuk buktikan ucapannya, atau karena khawatir terjadi lagi saling baku hantam antara ibunya dengan Joko, pemuda yang secara diam-diam telah merebut hatinya, Saraswati berpaling pada Joko. Namun sebelum Saraswati berucap, dari seberang sana Joko telah angkat bicara.
“Sebuah kitab diciptakan memang bukan untuk dimiliki seseorang! Namun siapa pun manusianya yang telah mendapatkan sebuah kitab sakti, maka adalah tindakan bodoh jika begitu saja diberikan pada orang yang meminta! Dan siapa pun manusianya akan lebih baik mampus daripada harus menyerahkan kitab di tangannya!”
Lasmini tertawa. “Anakku... Kau dengar ucapannya?! Dengar, Saraswati! Dalam urusan dunia persilatan, kalau kita memakai perasaan maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa! Malah apa yang sudah kita dapat bisa saja lepas ketangan orang lain!”
Lasmini sorongkan kepalanya mendekat ke arah kepala Saraswati lalu berbisik. “Dan kau harus tahu, Anakku! Pemuda macam dia tidak patut diberi perasaan! Kalau dia punya perasaan padamu dan memandangku, pasti dengan suka rela apa yang kau minta akan diberikan! Apa kau masih menaruh perasaan pada jahanam macam itu?! Aku telah merasakan betapa pahitnya dikecewakan, Anakku...”
Saraswati makin bimbang. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mau terjadi saling bunuh antara ibunya dengan Joko. Namun dari ucapan ibunya serta kata-kata Joko, sepertinya baku hantam tak bisa dihindarkan lagi.
“Anakku... Aku tahu bagaimana perasaanmu pada jahanam keparat itu! Kau tidak usah membohongi Ibu!Kau jatuh cinta padanya kan?! Tapi apakah kau tahu perasaannya? Apakah kau tahu dia juga tertarik padamu?! Melihat peristiwa di Istana Hantu, rasanya aku menyangsikan keparat itu!
Kalaupun saat itu dia mengatakan tertarik padamu, mungkin dia punya maksud tertentu, karena kau adalah anak dari penguasa Istana Hantu di mana tersimpan kitab sakti! Kau jangan terbawa pada ucapan laki-laki, Anakku! Setiap laki-lakiyang punya maksud tersembunyi, dia akan bermukabmanis dan berkata muluk-muluk! Tapi begitu maksudnya tercapai, akan kelihatan siapa dia sebenarnya!”
Paras wajah Saraswati tampak berubah memerah. Gadis ini tidak berani berpaling pada ibunya. Lasmini melirik pada Joko, lalu lanjutkan ucapannya.
“Saraswati... Kau masih ingin hidup bersamaku, bukan?!”
Saraswati gerakkan kepala menoleh tanpa buka suara. Lasmini arahkan pandang matanya ke jurusan lain seraya berkata. “Kalau ya, kuharap kau tinggalkan tempat ini dan menungguku di tempat yang telah kau sebutkan! Kalau tidak, aku tanya apa maumu sekarang!”
Saraswati sungguh tidak menduga kalau dihadapkan dengan pilihan yang amat sulit. Di satu pihak, dia memang ingin hidup berdampingan dengan ibunya yang telah lama terpisah. Di lain pihak, bagaimanapun juga dia tidak mau Joko terbunuh! Karena Saraswati tidak juga menjawab, Lasmini angkat bicara lagi.
“Kau harus dapat memberi ku ketegasan, Saraswati!”
Karena masih dalam keadaan bingung, Saraswati menggeleng. Sementara sepasang matanya melirik pada Joko. Lasmini mulai jengkel melihat sikap Saraswati. Dadanya sesak. Ini menambah kegeramannya pada Joko. Hingga tak lama kemudian dia berkata.
“Baik! Aku telah memberimu kesempatan untuk memberi ketegasan, tapi kau tidak mau! Sekarang kuharap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan persilatan! Bukan urusan antara ibu dan anak!”
Habis berkata begitu, Lasmini melompat ke depan. Saraswati masih tampak diam karena dilanda kebimbangan. Sementara di seberang sana, Joko sudah angkat kedua tangannya. Lasmini yang sudah tidak sabaran segera pula angkat kedua tangannya.
“Tahan!” Tiba-tiba Saraswati berteriak. Lalu berkelebat dan tegak dihadapan Lasmini.
***
DUA
SARASWATI hanya tegak tanpa berkata apa-apa. Saat lain gadis ini balikkan tubuh membelakangi Lasmini menghadap Joko. Untuk beberapa saat Saraswati memandang dengan dada berdebar. Setelah kuatkan hati, akhirnya mulutnya membuka perdengarkan suara.
“Pendekar 131! Demi kebaikan bersama, kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!”
“Gila!” teriak Lasmini setengah menjerit. Sosoknya melesat ke depan menjajari Saraswati. Dengan mata berkilat dia menghardik. “Saraswati! Kuperintahkan kau sekali lagi untuk tinggalkan tempat ini dan tidak turut campur! Kalau kau membangkang, jangan kira aku tidak tega menggebukmu!”
Saraswati tidak hiraukan ucapan ibunya. Kembali gadis ini berteriak pada Joko tanpa berpaling pada Lasmini. “Pendekar 131! Cepat tinggalkan tempat ini!”
Di depan sana, Joko tampak tersenyum seraya gelengkan kepala. “Aku tegak di sini bukan sekadar untuk diri sendiri! Di dalam sana ada eyang guruku yang terbaring sakit! Apakah aku akan enak begitu saja tinggalkan tempat ini sementara nyawa eyang guruku terancam tangan maut?!”
Dalam keadaan kebingungan, tanpa pikir panjang lagi Saraswati berkata. “Keselamatan eyang gurumu serahkan padaku! Kau tak usah khawatir!”
“Tutup mulutmu, Saraswati!” bentak Lasmini. “Kau benar-benar sudah gila hendak selamatkan dan lindungi manusia-manusia yang seharusnya kau bunuh!”
Saraswati putar tubuh setengah lingkaran menghadap Lasmini. “Ibu! Harap maafkan aku! Bukankah Ibu tadi sudah bilang, ini urusan dunia persilatan! Bukan urusan antara ibu dan anak!”
“Aku menyesal sekali. Saraswati! Selama ini aku selalu membayangkan bisa sependapat denganmu dalam segala hal! Tak tahunya, bukannya kau menolongku, tapi justru hendak membantu musuhku! Tapi apa boleh buat! Kau telah dewasa. Lagi pula kau menganggap urusan ini bukan ada hubungannya antara seorang ibu dan anak!”
Saraswati menarik napas panjang. Lasmini alihkan pandangan dengan menyeringai. Lalu berkata. “Saras- wati! Melangkahlah ke jahanam itu! Kita butakan mata kita masing-masing! Dan anggap di antara kita tidak ada kaitan apa-apa!”
“Ibu... Kau tega...?!”
“Ini bukan urusan tega atau tidak! Bukankah kalau kau membantu musuhku, berarti kau juga tega hendak membunuhku?!”
“Ibu! Maksudku bukan...”
Belum selesai teruskan ucapan, Lasmini telah menukas. “Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama bicara! Dan kau perlu dengar keputusanku sekali lagi! Nyawa anjing jahanam itu harus ku cabut! Dan siapa pun yang berani menghalangi, maka dia akan berhadapan denganku! Tidak peduli siapa saja termasuk kau sendiri!”
Habis berkata begitu, perlahan saja Lasmini melangkah menjauh dari Saraswati. Saat lain tiba-tiba kedua tangannya telah berkelebat lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah Joko. Saraswati tidak tinggal diam. Dia segera melompat ke arah Lasmini untuk mencegah tindakan ibunya. Namun baru saja tangannya bergerak hendak mendorong, kaki kiri Lasmini bergerak lepaskan tendangan kesamping.
Bukkk!
Saraswati terjengkang duduk di atas tanah. Lasmini teruskan kelebatan kedua tangannya, hingga saat itu juga dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak deras ke arah Joko! Joko cepat pula sentakkan kedua tangannya ke depan untuk menghadang serangan. Malah begitu kedua tangannya bergerak, sosoknya ikut melesat ke depan.
Bummm!
Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu. Ledakan dahsyat terdengar. Sosok Lasmini tampak tersapu sampai lima langkah. Wajahnya seketika beru- bah. Di sampingnya Saraswati tampak terdorong dengan duduk. Di seberang depan, tubuh Joko mental, namun belum sampai tiga langkah, tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat lain tiba-tiba tangan kanannya berkelebat kedepan.
Wuutt!
Lasmini tersentak. Dari arah depan mencuat tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih. Rasa kejut Lasmini membuat perempuan ini bergerak lamban. Hingga baru saja tangannya bergerak hendak mendorong lepaskan pukulan, tiga sinar yang berkiblat telah datang menggebrak! Saraswati berseru. Kedua tangannya cepat menyentak. Sementara meski terlambat, Lasmini masih hantamkan kedua tangannya!
Bummm! Bummm!
Untuk kesekian kalinya kembali Bukit Kalingga direncah dentuman keras. Namun baik Lasmini maupun Saraswati terhenyak. Sinar tiga warna yang berkiblat ternyata hanya mental ke belakang beberapa saat. Di lain kejap tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih itu melaju deras ke arah Lasmini!
Terlambat bagi Saraswati untuk menghadang kiblatan tiga sinar, karena bersamaan dengan terdengarnya ledakan, sosoknya mencelat menghantam satu batang pohon. Hingga tatkala dia hendak angkat kedua tangannya, terhalang oleh batangan pohon. Di lain pihak, Lasmini masih sedikit beruntung.
Karena begitu pukulannya menghadang tiga sinar dan terdengar ledakan, sosoknya tersapu. Hal ini menyelamatkan dirinya dari tiga sinar yang kini berkiblat kembali, juga memberi kesempatan pada Lasmini untuk menghadang kiblatan sinar meski dengan tubuh laksana disentak-sentak dan mulut megap-megap!
Wuutt! Wuutt! Busss!
Tiga sinar yang menerjang ke arah Lasmini terpen- car kena hadangan pukulannya. Satu ke samping kanan, satunya ke samping kiri. Namun satunya lagi justru lurus ke arah sosok Lasmini! Tak ada kesempatan lagi bagi Lasmini untuk membuat gerakan sentakkan kedua tangannya. Hingga satu-satunya jalan adalah menghindar. Perempuan ini cepat gulingkan tubuh. Walau gerakannya laksana kilat, namun salah satu sinar itu masih mampu menyambar bahunya!
Lasmini menjerit. Sosoknya terbanting dan bergulingan di atas tanah dengan pakaian di bagian bahu langsung terbakar hangus! Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, Joko telah melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di samping sosok Lasmini dengan kedua tangan terangkat. Bibirnya sunggingkan senyum.
“Jahanam! Ilmu apa yang dilepas pemuda keparat ini tadi?! Sekilas tadi aku melihat sinar tiga warna di tangan kanannya. Tapi sekarang tangannya tidak bersinar lagi! Apakah ini kehebatan kitab yang pernah hampir kudapatkan dahulu?!”
Lasmini diam-diam membatin dengan mata melirik ke atas. Kedua tangan Joko memang tidak lagi menggenggam Kembang Darah Setan yang sejenak tadi sempat digunakan dan buru-buru dimasukkan kembali ke balik pakaiannya begitu melihat Lasmini roboh terbanting. Lasmini memang tidak sempat melihat apa yang tergenggam di tangan Joko. Yang dia tahu, saat itu tiba-tiba melesat tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih.
Kalau Lasmini tidak sempat melihat apa yang tergenggam di tangan kanan Joko, tidak demikian halnya dengan Saraswati. Saat gadis ini tadi tidak berdaya untuk selamatkan ibunya, dia berpaling pada Joko dan hendak berteriak agar Joko urungkan niat. Saraswati menduga, Joko akan susuli pukulannya. Namun mulut Saraswati tidak kuasa untuk bersuara. Saat itulah dia melihat tangan kanan Joko menggenggam setangkai kembang berdaun tiga warna! Merah, hitam, dan putih.
“Setangkai kembang berwarna tiga! Aku tidak pernah mendengar cerita tentang senjata hebat berbentuk kembang...” gumam Saraswati. Gadis ini tidak lanjutkan gumamannya. Dia segera bergerak bangkit. Begitu dia melihat Joko telah tegak dengan kedua tangan terangkat di samping ibunya, Saraswati cepat berkelebat seraya berteriak.
“Harap tidak bertindak lebih jauh!”
Walau Joko tidak berpaling, namun kedua tangannya terhenti di atas udara. Lasmini tidak sia-siakan kesempatan. Begitu dia dapat bergerak duduk, tiba- tiba kedua tangannya bergerak melepas pukulan sambil mendorong tubuhnya kedepan. Karena jaraknya terlalu dekat, tak ada kesempatan bagi Joko untuk selamatkan diri selain menghadang dengan pukulan pula. Hingga seraya membentak garang, sosoknya melompat setengah tombak ke udara. Dengan membuat gerakan berputar, kedua kakinya bergerak menghadang kedua tangan Lasmini.
Bukkk!
Kedua tangan Lasmini langsung mental. Sementara tubuh Joko memutar balik. Karena bahu Lasmini telah cedera, maka benturan dengan kaki Joko membuat perempuan ini menjerit. Dia rasakan bahunya laksana hendak tanggal. Namun maklum kalau bahaya belum lenyap, Lasmini coba kerahkan tenaga dalam seraya melirik pada Saraswati. Sementara itu hanya kira-kira sejarak lima langkah di hadapan Lasmini, Joko tegak dengan bibir sunggingkan senyum dingin. Sejurus dia pandangi Lasmini lalu beralih pada Saraswati.
Saraswati coba tersenyum. Namun Joko menanggapi dengan dingin. Malah cepat-cepat alihkan pandangan.
“Aku tahu... Dia pasti kecewa dengan tindakanku ini! Tapi apa boleh buat... Aku tak mau kehilangan salah satu dari mereka!” kata Saraswati dalam hati. Lalu arahkan pandangannya pada Lasmini.
“Seharusnya Ibu tidak menggunakan kesempatan tadi untuk memukul!”
Saraswati perlahan melangkah ke arah ibunya. “Ibu... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!”
Lasmini tersenyum sinis. “Kau kira aku bisa terbunuh di tangannya?!” kata Lasmini seraya bangkit. Saat itulah mendadak Joko membuat satu gerakan. Sosoknya berkelebat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Saraswati terkesiap. Dia merasakan sambaran angin melesat ke arah lambungnya. Belum tahu apa yang hendak dilakukan Joko, dan belum sempat dia bergerak, satu totokan dahsyat telah bersarang di lambungnya hingga tubuhnya melorot jatuh dalam keadaan tegang kaku!
Lasmini tersentak. Keterkejutannya membuat dirinya lengah. Hingga saat Joko berkelebat dengan tangan kiri lepas pukulan, dia hanya bisa menghadang tangan kanan Joko. Hingga tak ampun lagi tangan kiri Joko telak menghantam dada kanannya! Lasmini terpekik. Sosoknya terhuyung tiga tindak. Saat bersamaan lututnya menekuk. Di lain kejap sosok Lasmini jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah!
Joko tak menunggu. Dengan satu kali lompatan, sosoknya telah tepat berada di samping Lasmini. Lasmini coba bergerak hendak bangkit. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba kaki kanan Joko sudah membuat gerakan menyapu. Meski Lasmini sudah gerakkan tangan, namun karena sudah terluka, maka sapuan kaki Joko tidak bisa dihindarkan lagi.
Bukkk!
Sosok Lasmini yang hendak bangkit terbanting ke atas tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang menjerit.
“Aku tak mau dia mampus begitu saja! Dia juga harus merasakan bagaimana nikmatnya tewas perlahan- lahan!” desis Joko lalu maju mendekat.
“Pendekar 131! Cukup! Jangan sentuh lagi ibuku!” teriak Saraswati. Gadis ini hanya bisa berteriak tanpa dapat bergerak.
Joko hanya berpaling sejurus. Lalu menghadap lagi pada Lasmini. Tanpa berkata apa-apa lagi tangan kanannya bergerak. Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Lasmini sadar apa yang hendak dilakukan orang. Dengan segenap kemampuannya, dia gerakkan tangannya untuk menghadang gerakan tangan kanan Joko. Namun Lasmini tertipu. Begitu tangan mereka hampir saja bentrok, Joko cepat tarik pulang tangan kanannya. Saat bersamaan justru tangan kirinya yang bergerak. Lasmini berteriak. Namun tangan kiri Joko sudah berkelebat lakukan totokan ke arah bahunya!
“Pendekar 131! Kau dengar ucapanku! Jangan sentuh ibuku!” Saraswati kembali berteriak.
Joko seolah tidak dengar teriakan orang. Enak saja tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lasmini. Saat lain dia melangkah dengan tangan tetap menjambak rambut Lasmini. Lasmini berteriak memaki panjang pendek. Sementara Saraswati ikut berteriak. Namun Joko tak peduli. Dia terus melangkah ke arah goa.
Joko hentikan langkah empat tindak dari kayu perapian di sebelah sudut ruangan goa. Tangan kanannya bergerak sentakkan rambut Lasmini hingga kepala perempuan ini menghantam lantai ruangangoa.
Dengan menahan rasa sakit, Lasmini coba memandang berkeliling. Dia tidak melihat Pendeta Sinting. Hatinya mulai ragu.
“Hem... Jangan-jangan tua bangka yang menunjukkan tempat itu sudah bersekongkol dengan pemuda keparat ini!” kata Lasmini dalam hati seraya melirik pada Joko yang saat itu telah tegak di dekat perapian. Lasmini tidak tahu apa yang dilakukan Joko. Yang terlihat, kaki kanan Joko tampak menekan sesuatu di kayu perapian.
“Apa yang hendak dilakukan jahanam itu?!” Baru saja Lasmini membatin begitu, tiba-tiba telinganya mendengar suara berderit. Sepasang mata Lasmini membeliak. Pada bagian pojok ruangan goa, tiba- tiba dindingnya bergerak. Lalu tampaklah sebuah tangga batu.
“Apa yang akan dilakukan jahanam ini?! Itu pasti tempat rahasia!” Lasmini membatin seraya terus memperhatikan ke arah tangga di balik dinding yang terbuka.
Joko balikkan tubuh lalu melangkah tiga tindak mendekati Lasmini. Untuk beberapa lama dia pandangi Lasmini tanpa berkata apa-apa. “Lepaskan totokan celaka ini kalau kau manusia jantan!” teriak Lasmini demi melihat Joko hanya memandang tanpa berkata atau membuat gerakan apa-apa.
“Permintaanmu akan segera terkabul! Tapi bukan berarti kau bisa lolos dari kematian! Kau tadi mengatakan tanganmu tak mau kotor oleh simbahan darahku! Sekarang aku pun tak mau bersusah payah mencabut nyawamu! Aku ingin melihat kau mampus secara perlahan-lahan tanpa mengotori tanganku!”
“Apa yang hendak kau lakukan?!”
Joko tersenyum. “Jangan terlalu gusar! Kau akan menikmati perjalanan maut dengan perlahan-lahan! Ha Ha Ha...!”
Tengkuk Lasmini menjadi dingin. Belum sampai dia bisa menebak apa yang hendak dilakukan orang, tiba-tiba Joko telah bungkukkan tubuh. Sekali kedua tangannya bergerak, sosok Lasmini telah terangkat.
“Jahanam! Lepaskan diriku!”
Joko tidak pedulikan makian dan teriakan Lasmini. Dia melangkah seraya mengangkat tubuh Lasmini. Begitu sampai di ambang dinding yang terbuka, tangan kiri Joko bergerak. Lasmini merasa sedikit lega, karena totokannya buyar. Namun kelegaan Lasmini hanya sekejap. Bersamaan dengan buyarnya totokan pada tubuhnya, tiba-tiba kedua tangan Joko bergerak.
Wuuutt! Wuuutt!
Sosok Lasmini melayang melewati tangga di balik dinding yang terbuka. Lasmini coba kuasai diri. Namun perempuan ini tak bisa berbuat banyak. Karena begitu tubuhnya melewati tangga, di sana dia disambut dengan lobang besar yang menganga! Karena belum tahu tempat apa, dan merasa sosoknya melayang ke bawah, Lasmini pejamkan sepasang matanya.
Bukkk!
Lasmini merasakan tubuhnya menghantam lantai. Dengan mengerang, perlahan-lahan dia buka kelopak matanya. Yang pertama-tama dirasakan perempuan ini adalah hawa dingin. Lalu matanya menangkap cahaya obor. Dia coba kerahkan tenaga dalam.
“Jangan teruskan kalau kau tak ingin mati dengan cepat!” Tiba-tiba satu suara terdengar.
Laksana disentak setan, Lasmini cepat berpaling. “Aku belum pernah melihat perempuan ini! Tapi mengapa dia berada di sini?! Apa dia juga mengalami nasib seperti diriku?!” Lasmini membatin seraya memandang tak berkesip pada satu sosok tubuh yang duduk bersila di dinding ruangan di mana dia berada.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut, meski wajahnya masih membayangkan kecantikan. Rambutnya putih disanggul. Pada sanggulan rambutnya tampak menyelinap satu tusuk konde besar ber- warna hitam. Nenek ini bukan lain adalah Ni Luh Padmi. Seperti halnya Lasmini, Ni Luh Padmi termakan oleh ucapan dusta Kiai Laras. Dan pada akhirnya dia terjerumus masuk ke ruangan di balik dinding goa. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca serial Joko Sableng dalam episode Geger Topeng Sang Pendekar).
“Siapa kau?!” Lasmini bertanya.
Ni Luh Padmi katupkan sepasang matanya. “Bukan sekarang saatnya untuk bertanya jawab! Kau harus pulihkan tenagamu dahulu tanpa harus kerahkan tenaga dalam! Ruangan ini beracun! Setiap kau kerahkan tenaga dalam, racun di ruangan ini akan masuk aliran darahmu! Dan itu akan mempercepat kematianmu!”
Meski merasa sedikit jengkel, namun sekali mencium, Lasmini sudah maklum kalau ucapan orang ada benarnya. Dia perlahan-lahan menyeret tubuhnya lalu duduk bersandar. Dia memperhatikan berkeliling. Dia hendak buka mulut bertanya pada Ni Luh Padmi. Namun mengingat ucapan orang, dia urungkan niat. Lalu perlahan-lahan dipejamkan sepasang matanya. Tak jelas apa yang dilakukan perempuan ini. Mungkin tengah pulihkan tenaga tanpa harus kerahkan tenaga dalam, mungkin juga sedang tenggelam meratapi nasibnya yang buruk karena tertipu orang!
Di lain pihak, begitu sosok Lasmini amblas masuk ke dalam lobang di balik dinding, Joko putar tubuh, menekan sesuatu di bawah tumpukan kayu perapian. Dia menunggu sejenak. Begitu terdengar suara berderit, pemuda ini sunggingkan senyum lalu sekali membuat gerakan, sosoknya melesat keluar goa.
***
TIGA
SARASWATI pentang matanya besar-besar tatkala melihat Joko muncul dari dalam goa. Saraswati bisa maklum akan perasaan Joko. Namun tindakannya terhadap Lasmini di depan mata Saraswati sudah keterlaluan! Hingga dada gadis ini mulai didera dengan rasa geram.
“Pendekar 131! Apa yang kau lakukan pada ibu-ku?!” teriak Saraswati.
Joko hentikan langkah empat tindak dihadapan Saraswati. Untuk beberapa lama, dia memandang tanpa berkata apa-apa. Namun sesaat kemudian dia buka mulut. Bukan jawab pertanyaan Saraswati melainkan tertawa bergelak-gelak!
“Pendekar 131! Harap suka bebaskan aku!”
Joko putuskan gelakan tawanya. “Aku akan turuti permintaanmu! Tapi dengan satu syarat!”
Saraswati pandangi si pemuda dengan dada dipenuhi berbagai perasaan. “Apa yang kau inginkan?!”
“Kau harus angkat kaki dari tempat ini!”
“Pendekar 131! Apa maumu sebenarnya?!”
Joko tersenyum. “Kau tak usah khawatirkan keselamatan ibumu! Dia hanya perlu mendapat sedikit pelajaran! Kelak kalian akan bertemu begitu pelajaran selesai!”
“Aku tak akan pergi dari sini tanpa ibuku!”
“Itu kemauanmu?!”
Saraswati menghela napas panjang. “Pendekar 131! Aku tahu... Ibuku memang melakukan tindakan salah! Tapi kuharap kau mengerti mengapa dia sampai berbuat begitu!”
Joko maju dua tindak. “Aku tahu dan mengerti! Maka dari itu aku memberinya pelajaran agar nanti tidak melakukan tindakan yang sama untuk kedua kalinya!”
“Pendekar 131! Ku mohon... Bebaskan dia! Kalaupun kau ingin memberi pelajaran, biarlah aku yang menggantikannya!”
Joko gelengkan kepala. “Tidak pantas menghukum orang yang tidak melakukan kesalahan!” Joko teruskan langkah mendekat. Begitu tepat di hadapan Saraswati, dia berujar perlahan. “Bagaimana?! Kau terima syaratku?!”
“Pendekar 131! Untuk kali ini ku mohon agar kau biarkan aku pergi bersama ibuku! Percayalah... Peristiwa ini tidak akan terulang lagi! Ibu pasti sudah sadar akan tindakannya!”
“Saraswati! Kadangkala ada manusia yang harus digebuk dahulu sebelum diajak bicara baik-baik! Dan ibumu termasuk manusia ini! Aku menunggu jawabanmu, Saraswati! Kau tahu... Aku harus segera merawat eyang guruku! Waktuku tidak banyak!”
“Baiklah... Tapi beri aku kepastian kapan Ibu kau bebaskan!”
“Aku tak bisa memberi kepastian saatnya!”
“Berarti kau tidak hanya...”
“Saraswati!” tukas Joko. “Kau telah dengar ucapanku. Aku tidak punya waktu banyak! Atau kau ingin berkumpul dengan ibumu, hah?!” bentak Joko dengan suara garang.
Saraswati sempat terlengak melihat sikap si pemuda. “Mengapa dia begitu berubah?! Apakah ini gara-gara kejengkelannya pada tindakan Ibu?! Atau ada hal lain?!”
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Saraswati berkata. “Aku terima syaratmu! Tapi aku akan kembali dalam waktu tiga hari di depan! Kalau sampai ibuku mengalami hal yang tidak-tidak, jangan kau kira aku akan diam saja meski aku tahu kau telah jadi seorang berilmu tinggi!”
Joko sunggingkan senyum. Kepalanya bergerak menggeleng. “Kalau kau akan muncul pada tiga hari di depan, berarti kau belum terima syarat ku! Ku ingin kau menunggu sampai ibumu menemuimu!”
“Hem... Ada yang tak beres dengan ucapannya! Dia menghalangiku datang lagi ke tempat ini! Namun dia tak memberi batasan waktu kapan Ibu dibebaskan! Berarti keselamatan Ibu terancam!” Diam-diam Saraswati membatin. Lalu berkata.
“Baik! Aku akan menunggu sampai ibuku datang menemuiku!”
Ucapan Saraswati belum selesai, Joko telah gerakkan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya bergerak. Saat itu juga Saraswati rasakan aliran darahnya mengalir kembali. Dan perlahan-lahan anggota tubuhnya bisa digerakkan. Saraswati coba kerahkan tenaga dalam. Sekonyong-konyong tanpa bergerak bangkit terlebih dahulu, gadis ini gerakkan kedua tangannya menghantam ke arah Joko.
Dari tadi tampaknya Joko sudah dapat membaca apa yang ada dalam benak Saraswati. Hingga dia tidak merasa terkejut tatkala tiba-tiba Saraswati lepaskan pukulan ke arahnya. Hingga bukan saja dia bisa hindarkan diri, namun saat itu juga kedua kakinya membuat gerakan menendang ke arah tangan kiri kanan Saraswati!
Bukkk! Bukkk!
Saraswati terpekik. Sosoknya mental sampai lima langkah terkapar di atas tanah. Belum sampai dia membuat gerakan bangkit, Joko telah bergerak dan tegak hanya berjarak dua langkah di hadapannya dengan mata mendelik angker.
“Jangan mimpi bisa menipuku, Saraswati!” Tangan kanan kiri Joko bergerak ke depan.
Saraswati tidak tinggal diam. Dia gulingkan tubuh lalu dengan kedua kakinya dia menghadang kedua tangan Joko. Joko tertawa bergelak panjang. Kedua tangannya cepat ditarik pulang sedikit. Saat lain dikelebatkan lagi ke depan dengan jari-jari terbuka.
Tapp!
Kaki kiri Saraswati menghantam tempat kosong. Namun kaki kanannya yang bergerak menyusuli tiba-tiba tertahan di udara. Gadis ini berteriak, karena ternyata kakinya telah tertangkap kedua tangan Joko!
Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang kaki Saraswati hingga mau tak mau celana yang dikenakan Saraswati turun ke bawah membuat pahanya terlihat jelas! Bukan sampai di situ saja, begitu celana Saraswati turun, tangan kanan Joko bergerak ke bawah hendak mengelus paha sigadis. Saraswati mendengus. Dadanya jadi panas. Dengan didahului bentakan keras, kaki kirinya diangkat lalu disapukan ke arah Joko.
Joko tarik pulang tangan kanannya lalu digerakkan ke kanan. Bukan untuk menghadang tendangan Saraswati melainkan untuk menangkap kaki kiri si gadis. Saraswati terpekik. Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang kedua kaki Saraswati. Lalu kedua tangannya menyentak ke bawah.
Karena sentakan itu bukan sentakan biasa, melainkan telah dialiri tenaga dalam, maka saat itu juga kedua kaki Saraswati menghujam deras menghantam tanah. Begitu derasnya hujaman itu. hingga tubuh bagian atasnya terangkat! Untuk kesekian kalinya dari mulut Saraswati terdengar pekikan. Suara pekikannya belum sirna, kedua tangan Joko sudah bergerak lagi.
Brett! Brett!
Pakaian Saraswati robek menganga pada bagian dadanya hingga payudaranya terlihat sebagian! Saraswati menjerit tinggi. Gadis ini sudah tidak bisa menahan perasaan geram. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Saat itu juga kedua tangannya disentakkan ke arah perut Joko yang masih tegak dihadapannya.
Wuutt! Wuutt!
Joko sunggingkan senyum. Kedua tangannya segera menyambut dua pukulan Saraswati.
Bukk! Bukkk!
Saraswati buka mulut perdengarkan keluhan tinggi. Sosoknya yang masih terduduk langsung terbanting ke atas tanah. Darah mengalir dari mulutnya. Wajahnya pucat pasi. Sementara Joko tidak bergeming dari hadapannya, malah kini tertawa tergelak.
“Saraswati! Aku telah berbaik hati memberimu kesempatan! Dan kesempatan itu masih berlaku untukmu sekarang juga! Tapi kalau kau keras kepala, bukan aku tidak tega mengantarmu ke alam baka!”
Seraya berkata, sepasang mata Joko mendelik kearah dada Saraswati. Yang dipandang baru sadar, dan buru-buru angkat kedua tangannya untuk menutup dadanya.
“Jahanam! Ternyata kau bukan seperti manusia yang kubayangkan!” desis Saraswati dengan mata berkilat-kilat. Kalau saja tidak maklum dengan keadaan dirinya, tentu dia sudah bergerak lepaskan pukulan. Dengan tubuh bergetar menahan geram dan kecewa, Saraswati perlahan-lahan bangkit. Sepasang matanya memandang tajam pada bola mata Joko. Gadis ini merasa masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan si pemuda pada dirinya.
“Aku salah menilai orang. Tapi... Aku rasanya tidak bisa untuk... Ah, mungkinkah aku masih mengharapkan manusia macam dia?!”
“Pendekar 131! Hari ini kau menang!” kata Saraswati setelah agak lama terdiam. “Tapi bukan untuk slamanya! Aku tetap akan datang ke tempat ini! Dan ingat, kalau kau berbuat yang macam-macam pada ibuku. Apa pun akan kulakukan untuk membunuhmu!”
“Aku akan buktikan kebenaran ucapanmu, Saraswati! Kapan kau akan datang?!”
Saraswati tidak menyahut. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Sepasang matanya basah. Dadanya panas dan sesak. Rasa geram dan kecewa membuncah jadi satu. Dia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukannya.
Joko pandangi kepergian Saraswati dengan bibir tersenyum. Begitu sosok Saraswati lenyap, dia balikkan tubuh lalu berkelebat ke balik salah satu pohon besar. Beberapa saat kemudian, dari balik pohon di mana tadi Joko menyelinap, perlahan-lahan muncul satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih panjang. Dia bukan lain adalah Kiai Laras! Kiai Laras arahkan pandangannya berkeliling. Kepalanya bergerak mengangguk. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
Saraswati terus berkelebat. Namun sekonyong-konyong satu suara terdengar. “Aku menyesal mengatakannya, Saraswati! Tapi ibumu memaksaku...”
Saraswati tersentak. Dia hentikan larinya lalu berpaling. Karena tidak melihat siapa-siapa, akhirnya Saraswati berteriak dengan tangan menangkup tutupi dadanya.
“Siapa kau?! Mengapa tidak tunjukkan diri?!”
Satu sosok tubuh tampak melayang dari atas se- buah pohon. Dan tegak tujuh langkah di hadapan Saraswati. Saraswati memperhatikan sejenak. Diam-diam gadis ini kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya yang berada didepan dadanya. Lalu berkata.
“Orang tua! Katakan siapa dirimu!”
Orang yang tegak di depan Saraswati ternyata adalah Kiai Laras. Orang ini angkat bahu seraya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata.
“Kau tentunya sudah dengar dari percakapan ku dengan ibumu! Jadi kurasa tidak ada gunanya aku menerangkan lagi...”
“Hem... Jadi sebenarnya dia telah mengetahui kehadiranku saat dia bercakap-cakap dengan Ibu... Aku harus mendapat kepastian darinya. Rupanya dia tahu banyak tentang Pendekar 131 dan gurunya! Dan bukan tertutup kemungkinan kalau dia adalah teman sekongkol murid dan guru itu!”
Berpikir begitu, Saraswati berkata, “Orang tua! Apa benar Pendeta Sinting berada dalam goa itu?!”
“Aku tidak pernah berkata dusta! Malah bukan cuma Pendeta Sinting yang berada di dalam goa! Tapi juga ada seorang perempuan bekas kekasihnya!”
“Hem... Kau rupanya tahu banyak tentang mereka! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku bukan siapa-siapa! Aku...”
“Kalau kau bukan temannya mereka, tidak mungkin kau tahu begitu banyak!” Saraswati sudah memotong ucapan Kiai Laras.
“Saraswati... Semua orang adalah temanku! Dan itu pun sudah pernah kukatakan pada ibumu! Hanya saja. Ibumu tidak mau turuti saran ku! Bahkan dia memaksaku dan mengancam keselamatanku. Jadi terpaksa aku mengatakan apa adanya! Dengan keadaanmu yang begitu rupa, aku sedikit banyak bisa menduga apa yang telah terjadi!Sayang sekali, aku tadi tidak melihat kemunculanmu di sekitar tempat ini! Jika aku mengetahuinya, tentu aku akan menghalangimu...”
Saraswati makin rapatkan kedua tangannya yang menutup dadanya. Malah sesekali matanya melirik ke bawah khawatir kalau-kalau sekitar dadanya masih ada yang terbuka. Melihat sikap Saraswati, Kiai Laras tersenyum lalu berujar.
“Saraswati... Aku tak bisa menduga apa yang dialami ibumu. Hanya kalau kau mau kusarankan, lebih baik kau tak usah datang lagi ke Bukit Kalingga! Tempat itu masih terlalu berat untuk dihadapi selama Pendekar 131 dan gurunya masih berada di situ!”
“Orang tua! Bukannya aku tak mau turuti saran mu, tapi demi selamatkan nyawa ibuku, apa pun akan kulakukan!”
“Aku hanya sekadar memperingatkan. Tapi kalau kau sudah memutuskan, terserah padamu. Dan ada satu hal yang perlu kuberitahukan padamu! Ini semata-mata karena aku juga punya seorang anak gadis sebaya denganmu...”
Saraswati kerutkan kening. Kiai Laras melirik sebentar lalu berkata. “Ucapan ibumu tentang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng benar adanya! Dia bukan pemuda yang patut diberi perasaan! Bagi pemuda macam dia, mampus adalah satu hal yang tepat! Aku tahu benar siapa dia sebenarnya, Saraswati. Kalau selama ini dunia persilatan dan banyak gadis cantik mengaguminya, itu karena mereka tidak tahu! Kalau tidak salah pandang, aku menduga kau juga tertarik pada pemuda itu! Benar?!”
“Orang tua! Harap kau tidak sangkut pautkan urusan ini dengan urusan pribadiku!”
Kiai Laras menggeleng. “Tidak bisa begitu, Saraswati! Bagaimanapun juga nantinya urusan pribadimu akan ikut terlibat! Malah mungkin urusan pribadimu inilah yang akan menjadi pangkal sebab urusan menjadi besar dan berlarut-larut! Maka dari itu, kusarankan padamu untuk melupakan pemuda itu!”
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh. Sebelum dia bergerak pergi, orang tua ini masih buka mulut. “Kalau kau memang hendak lakukan apa saja, kuharap kau berhati-hati! Jangan percaya pada ucapannya! Bukan tidak mungkin satu saat nanti dia akan mungkir bila jumpa denganmu! Aku bisa berkata begini, karena aku telah lihat buktinya!”
“Orang tua! Tunggu!” seru Saraswati tatkala melihat Kiai Laras berkelebat pergi. Namun Kiai Laras tidak pedulikan teriakan Saraswati. Dia terus berkelebat dan lenyap di depan sana.
“Tanpa saran orang tua itu pun aku sudah tahu siapa Pendekar 131 sebenarnya! Dan sekarang aku pun tahu apa yang harus kulakukan!”
Saraswati menghela napas sejenak dengan mata dipejamkan. Gadis ini tersentak sendiri. Karena tiba-tiba muncul bayangan Pendekar 131! Saraswati buru-buru buka kelopak matanya. Lalu teruskan kelebatan tubuhnya.
***
EMPAT
Empat bayangan itu berlari laksana dikomando. Mereka berlari dengan sebelah tangan luruh ke bawah, sementara tangan satunya ke atas. Keempatnya berlari dengan dua orang berada di depan, sedang dua lainnya berjajar di belakang. Tepat di tengah antara dua orang yang berjajar di depan dan di belakang, tampak kain merah mengapung berkibar-kibar di udara.
Pada satu tempat, mendadak orang di sebelah depan yang berada di sisi kanan angkat tangan kirinya. Serempak keempatnya hentikan larinya masing-masing. Saat bersamaan, kepala masing-masing orang bergerak tengadah. Lamat-lamat telinga masing- masing mendengar senandung nyanyian tidak jelas.
Keempat orang ini tidak menunggu lama. Beberapa saat kemudian, dari arah depan tampak satu sosok tubuh sedang melangkah perlahan-lahan seraya berjingkat. Keempat orang serempak gerakkan kepala masing-masing lurus ke depan dengan mata sama membeliak tak berkesip.
Orang di depan sana, tiba-tiba putus nyanyiannya seraya berhenti. Kepalanya terangkat. Sepasang matanya memandang ke depan. Orang ini ternyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya agak panjang, sedikit acak-acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Tangan kirinya terangkat sejajar kepala dengan jari kelingking masuk ke dalam lobang telinganya.
Si pemuda sesaat pandangi keempat orang yang tegak di seberang depan. Namun seolah tidak melihat apa-apa, pemuda ini tengadahkan kepala. Saat yang sama kedua kakinya bergerak teruskan langkah dengan jari ditusuk-tusukkan ke lobang telinganya, hingga saat dia melangkah, terlihat wajahnya meringis dan kakinya berjingkat-jingkat seolah geli keenakan!
Keempat orang yang berada di seberang si pemuda tampak saling gerakkan kepala saling pandang satu sama lain. Empat orang ini ternyata adalah empat orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajah masing-masing orang hampir mirip satu dengan lainnya. Keempat orang ini bermuka lonjong ke bawah hingga mulut mereka laksana tidak membelah ke samping, melainkan ke bawah!
Mata masing-masing orang pun tidak membentuk ke samping melainkan membujur ke bawah. Kepala mereka gundul. Keangkeran tampang orang-orang ini makin terlihat karena mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor!
Lelaki di sebelah depan bagian kanan mengenakan celana kolor warna merah. Sementara yang di sebelah depan bagian kiri memakai celana kolor warna hitam. Di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana kolor warna kuning, sedang yang di sebelah kiri memakai celana kolor berwarna hijau.
Tangan masing-masing orang yang terangkat ke atas ternyata memegangi sebatang bambu besar yang dilintangkan pada pundak masing-masing membujur dari depan ke belakang. Di tengah dua batangan bambu besar, tampak sebuah tandu tertutup kain berwarna merah. Dalam rimba persilatan, keempat laki-laki pemanggul tandu ini dikenal dengan Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Ketika si pemuda telah berada sejarak lima langkah di depan Tokoh-tokoh Penghela Tandu, empat orang ini sama gerakkan kepala memandang ke depan. Herannya, si pemuda seolah acuh saja. Dia teruskan langkah sambil berjingkat-jingkat kegelian! Malah dia tidak memandang pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu meski saat melintas lewat di samping Tokoh-tokoh Penghela Tandu!
Masing-masing dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan mulut hendak angkat bicara. Namun laki-laki bercelana kolor merah yang berada di depan bagian kanan yang tampaknya menjadi pemimpin angkat tangan kirinya kembali memberi isyarat hingga masing-masing orang urungkan niat untuk buka suara. Begitu laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tangan kirinya, orang ini langsung perdengarkan suara.
“Pemuda tak dikenal! Hentikan langkahmu!”
Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng putar tubuh setengah lingkaran seraya hentikan langkah. Namun begitu, kepala masih tengadah dengan mata memandang ke langit. Paras wajahnya meringis! Karena jadi kelingkingnya masih masuk ke lobang telinganya!
“Katakan siapa kau dan sebut apa gelarmu!” Laki-laki bercelana kolor warna merah kembali perdengarkan suara membentak. Pendekar 131 tarik pulang tangan kirinya dari telinga. Kepala lurus menghadap keempat orang dihadapannya. Bibirnya tersenyum sebelum akhirnya buka suara.
“Kalau tidak salah lihat, bukankah orang-orang yang di hadapanku ini adalah orang-orang hebat yang dikenal dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela Tandu?!”
Laki-laki bercelana kolor warna merah melirik pada ketiga orang di samping dan belakangnya. Lalu berkata. “Kau telah mengenali kami! Sekarang tiba giliranmu jawab pertanyaanku!”
“Kau bertanya. Pasti akan kujawab! Tapi katakan dahulu mengapa kau tanya siapa diriku?! Apakah hal itu ada perlunya bagi kalian?!”
Keempat orang di hadapan Joko sama putar diri hingga keempatnya menghadap tepat ke arah murid Pendeta Sinting. “Kau tak usah banyak bicara! Jawab saja pertanyaanku!”
Laki-laki bercelana kolor merah kembali te- lah menyahut dengan suara makin keras. Joko gelengkan kepala. “Setiap sesuatu ada sebabnya. Kalau kalian tak ada yang mau sebut apa sebabnya kalian bertanya, akibatnya kalian tak akan mendapat jawaban pertanyaan!” Murid Pendeta Sinting kembali gerakkan kepala tengadah.
“Melihat tampang dan cirinya, jangan-jangan dia orangnya!” gumam si celana kolor warna merah. Dia melirik ke samping. Ketiga orang di depan dan di sebelahnya sama berpaling dan anggukkan kepala masing-masing. Karena agak lama tidak ada yang buka suara, murid Pendeta Sinting angkat tangan kirinya. Jari kelingking dimasukkan ke lobang telinga. Saat bersamaan tubuhnya berputar. Lalu enak saja dia bergerak hendak melangkah.
Laki-laki bercelana kolor warna merah sudah buka mulutnya yang membujur ke bawah. Tapi sebelum suaranya terdengar, terdengar ketukan tiga kali dari dalam tandu yang tertutup tirai kain warna merah. Laki-laki bercelana kolor warna merah kancingkan mulut kembali. Saat yang sama keempat orang ini gerakkan bahu masing-masing. Tangan mereka yang memegangi bambu di pundak perlahan mendorong ke atas.
Dua lintangan bambu besar yang di tengahnya terdapat tandu tiba-tiba terangkat ke udara. Tokoh-tokoh Penghela Tandu serempak membuat gerakan. Dan tahu-tahu mereka telah tegak berjajar sejarak empat langkah dari tempat tadi mereka berada. Dua lintangan bambu yang membawa tandu perlahan-lahan melayang turun ke bawah. Bersamaan dengan sampainya lintangan bambu di atas tanah, tirai tandu terbuka. Satu sosok tubuh melesat keluar dan tegak di hadapan murid Pendeta Sinting dengan tatapan berkacak pinggang.
“Siapa pun adanya kau, harap sebutkan diri sebelum tinggalkan tempat ini!” Orang yang baru melesat keluar dari dalam tandu sudah perdengarkan suara.
Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya lurus. Mendadak sepasang matanya bergerak membesar ke atas ke bawah menelusuri sekujur tubuh orang yang kini tengah tegak dihadapannya. “Luar biasa...” gumam murid Pendeta Sinting.
Orang yang dipandang sesaat terkesiap. Wajahnya serentak berubah. Tapi kejap lain sepasang matanya mendelik angker menatap balik pada Joko. Dia adalah seorang gadis berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah tipis dan ketat. Rambutnya panjang diikat dengan pita yang juga berwarna merah.
“Melihat kecantikannya, tak salah kalau dunia persilatan menggelarinya Putri Kayangan...” Entah sadar atau tidak, Pendekar 131 bergumam dengan kepala digelengkan seakan kagumi orang. Malah mulutnya sempat berdecak!
Gadis berparas luar biasa cantik yang selalu berada di dalam tandu dan dipanggul Tokoh-tokoh Penghela Tandu memang sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan. Gadis ini digelari orang Putri Kayangan.
“Dia mengenaliku meski belum sempat berjumpa! Dia juga mengenali Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Itu satu bukti kalau dia salah seorang dari kalangan persilatan!”
Diam-diam Putri Kayangan membatin seraya perhatikan sosok pemuda di hadapannya. Tiba-tiba Putri Kayangan kerutkan dahi. “Apakah dia... Hem, orang kadangkala punya ciri dan tampang sama! Aku harus dapat mengetahui siapa dia!” kata Putri Kayangan dalam hati, lalu berkata.
“Pemuda asing! Sekali lagi kuminta kau sebutkan siapa kau sebenarnya!”
Pendekar 131 kerdipkan sepasang matanya. Mulutnya membuka hendak jawab pertanyaan si gadis. Tapi sebelum suaranya terdengar, mendadak satu suara lain terdengar.
“Ada sesuatu yang lebih penting daripada sekadar tahu siapa adanya pemuda itu!”
Suara yang tiba-tiba terdengar belum sirna, satu sosok bayangan telah berkelebat lalu tegak di seberang Pendekar 131. Pendekar 131, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-masing. Mereka melihat seorang perempuan berusia lanjut berwajah cekung dengan kulit mengeriput. Nenek ini berambut putih lebat dengan mata jereng besar. Dia mengenakan pakaian kain panjang berwarna biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat sebuah sapu tangan besar berwarna merah.
Pendekar 131 perhatikan dengan seksama nenek yang baru muncul. “Menurut keterangan Saraswati waktu di depan Istana Hantu, nenek ini bukan lain adalah Ratu Pewaris Iblis! Kemunculannya disini pasti hendak lanjutkan urusannya dengan Putri Kayangan...”
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Joko sempat jumpa dengan Saraswati yang waktu itu masih menyamar dan perkenalkan diri sebagai Raka Pradesa. Saat itu Joko sedang menyelidik Istana Hantu. Raka Pradesa alias Saraswati memberi keterangan siapa adanya keempat orang penghela tandu juga siapa gadis berparas cantik yang berada di dalam tandu. Juga menerangkan siapa adanya si nenek yang pada saku pakaiannya membekal sapu tangan besar berwarna merah.
Hingga tak heran kalau Joko sudah mengenali siapa saja orang yang kini berada dihadapannya meski mereka belum pernah bertemu. Pendekar 131 juga tahu kalau antara Putri Kayangan dengan Ratu Pewaris Iblis punya silang sengketa. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
“Ratu Pewaris Iblis!” desis Putri Kayangan. “Bagaimana tahu-tahu dia muncul di sini?! Apakah selama ini tanpa sepengetahuanku dia selalu mengikuti langkahku? Padahal setelah kegagalan memasuki Istana Hantu pada beberapa waktu yang lalu, aku tidak punya perjanjian apa-apa dengannya lagi! Hem... Lalu apa maksud ucapannya tadi...?! Apa yang dikatakannya lebih penting?!”
“Ratu Pewaris Iblis!” kata Putri Kayangan. “Setelah kegagalan kita dahulu, kurasa di antara kita sudah tidak ada perjanjian apa-apa! Tapi ucapanmu tadi membuatku sedikit heran! Harap kau mau terangkan apa maksud ucapanmu tadi!”
Ratu Pewaris Iblis menyeringai lalu tertawa mengekeh. Namun mendadak si nenek putus suara tawanya. Sepasang matanya menatap satu persatu pada orang yang berada di tempat itu. Saat matanya memandang Putri Kayangan, nenek ini langsung angkat bicara.
“Putri Kayangan! Saat ini di antara kita tidak ada perjanjian apa-apa! Maka jangan menyesal kalau aku tidak bisa terangkan apa maksud ucapanku kalau kau tidak mengerti!”
Habis berkata begitu, Ratu Pewaris Iblis tersenyum dingin. Lalu arahkan pandangan matanya pada murid Pendeta Sinting. “Aku yakin manusia inilah Pendekar 131! Anak manusia yang telah mendapatkan beberapa kitab sakti dan baru saja menggegerkan Kedung Ombo! Lebih-lebih lagi dia baru saja mendapatkan senjata dahsyat milik bekas penguasa Kampung Setan!” Ratu Pewaris Iblis mendongak. “Dari pertanyaan Putri Kayangan, gadis itu rasanya belum mengenal siapa pemuda ini! Aku memerlukan pemuda itu! Dan itu berarti Putri Kayangan dan kambratnya harus enyah dari sini!”
Ratu Pewaris iblis memandang pada Putri Kayangan yang saat itu tengah berpikir dan bertanya-tanya apa maksud ucapan Ratu Pewaris Iblis. Saat lain si nenek telah berujar, “Putri Kayangan! Kurasa kau tidak sengaja berhenti di sini!”
“Ucapanmu aneh!” sahut Putri Kayangan. “Katakan terus terang apa maumu sebenarnya!”
Ratu Pewaris Iblis tertawa pendek. Seraya alihkan pandangan matanya, dia berkata. “Teruskan perjalananmu!”
Putri Kayangan balik tertawa. Sementara Joko hanya diam sambil tidak alihkan pandangan matanya dari sosok Putri Kayangan. Di seberang sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu sudah merasa geram mendengar ucapan Ratu Pewaris Iblis. Malah secara serempak keempat orang ini telah kerahkan tenaga dalam.
“Ratu Pewaris Iblis!” ujar Putri Kayangan. “Boleh aku tahu kenapa kau mengusirku dari tempat ini?! Bukankah selama ini kita saling bersahabat dan tidak ada silang sengketa?!”
“Ini dunia persilatan! Kau boleh menganggapku se-bagai sahabat, tapi tak ada yang menyalahkan ku kalau aku menganggapmu sebaliknya! Dan jangan kauharap bisa tahu mengapa harus pergi dari sini! Kauhanya perlu lakukan ucapanku tanpa harus bertanya!”
Meski sudah merasa geram dengan ucapan si nenek, namun Putri Kayangan masih menindihnya. Dia berpaling pada Pendekar 131. “Tampaknya nenek itu ada urusan dengan pemuda ini tanpa harus diketahuiorang lain! Hem... Kalau pemuda ini seperti dugaanku,
aku tahu pasti apa urusannya!”
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan angkat suara. Ratu Pewaris Iblis! Kau punya urusan dengan pemuda ini?!” Putri Kayangan lirikkan matanya pada murid Pendeta Sinting.
Ratu Pewaris Iblis bantingkan kaki kanan seraya membentak garang. “Kau tak perlu bertanya! Kau hanya perlu angkat kaki dari sini!”
“Nenek sialan! Kurobek mulutmu!” Tiba-tiba laki-laki bercelana kolor warna merah berteriak. Saat lain sosoknya berkelebat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan Ratu Pewaris Iblis.
Tiga orang laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak tinggal diam. Ketiganya serentak berkelebat dan tegak berjajar di sebelah si celana kolor merah.
Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang.
“Rupanya kalian anjing-anjing yang setia! Aku tanya, apa imbalan yang kalian terima hingga begitu setia?! Tubuh montoknya?!”
Paras wajah Putri Kayangan seketika berubah merah mengelam. Tubuhnya bergetar dengan tenggorokan turun naik. Sepasang matanya mendelik berkilat. “Nenek gila! Tak kusangka jika mulut tuamu begitu kotor!”
Mendengar ucapan Putri Kayangan, Ratu Pewaris Iblis bukannya marah. Sebaliknya makin perkeras gelakan tawanya sebelum akhirnya berujar. “Ini dunia persilatan! Banyak hal yang tidak diduga sangka tiba-tiba terjadi! Kalau kau tidak segera angkat kaki, kematian yang sebelumnya juga tidak kau sang-ka akan menjadi bagianmu!”
“Jahanam setan!” teriak laki-laki bercelana kolor merah. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan.
“Tak ada gunanya aku berada di sini! Mereka pasti tidak tahu apa yang saat ini sedang kuselidiki!” Pendekar 131 melirik pada Putri Kayangan dan Ratu Pewaris Iblis. Saat bersamaan dia gerakkan kaki melangkah tinggalkan tempat itu.
“Kita masih punya urusan, Anak Muda! Jangan berani melangkah!” Tiba-tiba Ratu Pewaris Iblis membentak. Kedua tangannya terangkat lalu dihantamkan ke depan menghadang kedua tangan si celana kolor merah yang telah sampai di depan hidungnya!
***
LIMA
BUKK! Bukkk!
Terdengar benturan keras tatkala tangan kiri kanan laki-laki bercelana kolor merah bentrok dengan kedua tangan Ratu Pewaris Iblis. Laki-laki salah satu dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu itu tersurut dua langkah ke belakang. Dadanya yang terbuka terlihat turun naik dengan keras. Tampangnya yang angker berubah makin menyeramkan!
Di hadapannya si nenek tampak mundur satu langkah dengan menyeringai. Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tampak hentikan langkah. Memandang sekilas pada Ratu Pewaris Iblis lalu berpaling pada Putri Kayangan. Dia tersenyum seraya angkat bahu. Di seberangnya, Putri Kayangan tampak hendak paksakan untuk balas senyuman. Namun diurungkan tatkala mendadak terdengar bentakan tiga kali berturut-turut.
Berpaling, tampaklah tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu telah melesat ke depan. Belum sampai lesatan tubuh masing-masing orang sampai di hadapan Ratu Pewaris Iblis, ketiganya sudah lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. Terdengar beberapa kali desingan keras. Saat lain tampak beberapa gelombang dahsyat menghampar ganas ke arah Ratu Pewaris Iblis. Sesaat Ratu Pewaris Iblis tampak terkesiap. Namun di lain kejap kedua tangannya telah tertarik ke belakang. Didahului bentakan keras, kedua tangan si nenek bergerak mendorong kedepan.
Bummm! Bummm!
Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa. Beberapa pukulan yang saling beradu di udara menciptakan muncratan nyala api sebelum akhirnya bertabur lenyap. Sosok Ratu Pewaris Iblis terdorong sampai tiga langkah dengan terhuyung-huyung. Paras wajahnya yang mengeriput makin melipat dan pias laksana tidak berdarah. Untuk sesaat si nenek periksa keadaan dirinya. Begitu sadar kalau tidak mengalami cedera dalam, dia cepat kerahkan tenaga dalam.
Di depan sana, tiga laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak tegak dengan tubuh hampir melorot jatuh setelah terseret tujuh langkah. Tampang ketiganya pias. Sejurus ketiganya saling berpandangan lalu memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Putri Kayangan tampak mendengus geram melihat apa yang telah dialami beberapa pembantunya. Dia segera berkelebat. Namun Pendekar 131 telah melompat memotong gerakan si gadis.
“Putri Kayangan. Kuharap kau mau lakukan apa yang dikehendaki nenek itu!”
Putri Kayangan berpaling ke jurusan lain seraya berkata. “Ini urusanku! Harap kau tidak buka suara memberi saran!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala perlahan meski dia tahu si gadis tidak melihatnya. “Kau telah dengar. Dia tidak punya urusan apa-apa denganmu! Malah dia bilang punya urusan denganku...”
“Hem... Lalu apa sebenarnya hubunganmu dengan nenek gila itu?!” tanya Putri Kayangan tanpa berpaling.
“Aku sendiri tidak tahu! Aku baru mengenalnya disini! Aku menduga dia salah lihat! Mungkin dia punya urusan dengan orang yang mirip denganku! Tapi bisa saja ucapannya tadi hanya alasan. Sementara tujuan sebenarnya dia ingin kenal denganku dan naksir padaku! Itulah nasib jelekku... Di mana-mana yang naksir cuma nenek-nenek!”
Kepala Putri Kayangan berpaling. Untuk beberapa lama gadis cantik ini pandangi Joko dengan mata menyipit membelalak. Diam-diam dalam hati dia berkata.
“Siapa sebenarnya pemuda ini?! Dia seakan tidak peduli dengan apa saja! Malah menganggap remeh urusan!”
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan berujar. “Kalau nenek gila itu benar-benar naksir kau, kau sendiri bagaimana?!”
Belum sampai murid Pendeta Sinting menjawab, dari arah seberang Ratu Pewaris Iblis telah membentak. “Apa yang kalian bicarakan, hah?!!"
“Aku bilang padanya, meski kau sudah berusia lanjut, tapi tetap kelihatan cantik!” jawab Joko lalu anggukkan kepala pada Putri Kayangan.
Putri Kayangan diam saja meski bahunya sedikit berguncang menahan geli. Sebaliknya raut wajah Ratu Pewaris Iblis tampak mengelam. Saat lain tiba-tiba nenek ini melesat ke depan. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan menyongsong ke arah laki-laki bercelana kolor merah yang tegak sendirian terpisah dari tiga Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Si laki-laki bercelana kolor merah rupanya sadar, dia tidak mungkin mampu hadapi Ratu Pewaris Iblis sendirian. Karena Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini baru bisa tangguh jika lakukan serangan berempat. Hal ini rupanya telah diketahui oleh Ratu Pewaris Iblis. Hingga begitu melihat si celana kolor merah terpisah, dia segera melesat. Dengan begitu, tiga lainnya nanti akan mudah diatasinya.
Laki-laki bercelana kolor merah cepat berkelebat ke samping. Belum sampai kakinya menginjak tanah, tangan kirinya melambai. Tiga laki-laki dari Tokoh- tokoh Penghela Tandu segera melesat berbarengan. Laki-laki bercelana kolor hitam tahu-tahu telah tegak di belakang si celana kolor merah. Sementara laki-laki bercelana kolor warna kuning tegak di samping si celana kolor merah. Sementara si celana kolor hijau sendiri di belakang si celana kolor kuning.
“Barisan Naga Iblis!” tiba-tiba si laki-laki bercelana kolor merah berteriak. Saat bersamaan keempat laki-laki berkepala gundul ini serempak bergerak membentuk jalur ke kanan dan kiri saling bersilangan. Inilah jurus andalan Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang terkenal dengan jurus ‘Barisan Naga Iblis’.
Hanya beberapa tokoh saja yang mampu menghindar dari jurus ‘Barisan Naga Iblis’, karena jika lawan lolos dari sergapan orang yang paling depan, maka orang di belakangnya akan segera menggebrak. Demikian seterusnya berputar-putar hingga jika lawan lengah sedikit, maka tak ampun lagi nyawanya akan putus!
Melihat apa yang dilakukan Tokoh-tokoh Penghela Tandu, Ratu Pewaris Iblis urungkan niat untuk teruskan kelebatannya. Dia cepat jejakkan kaki. Sosoknya melesat mundur. Saat bersamaan tangan kanannya menyambar sapu tangan pada saku pakaian panjangnya. Sapu tangan warna merah agak besar inilah yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Sapu Tangan Iblis.
Ratu Pewaris Iblis angkat tangan kanannya yang memegang Sapu Tangan Iblis. Sepasang matanya memandang tak berkesip dengan mulut menyeringai ke arah ‘Barisan Naga Iblis’ yang terus bergerak cepat ke arahnya. Begitu berada satu tombak dihadapan Ratu Pewaris Iblis, tiba-tiba Tokoh-tokoh Penghela Tandu percepat kelebatan tubuh masing-masing. Hingga sosok keempatnya hanya merupakan bayangan yang bergerak saling bersilangan.
Ratu Pewaris Iblis tidak berani bertindak ayal. Dia juga tidak berani menerobos masuk ‘Barisan Naga Iblis’. Karena nenek ini maklum, untuk menerobos ‘Barisan Naga Iblis’, diperlukan tenaga dalam berlipat-lipat untuk menghadang setiap pukulan yang datang susul menyusul dan bergelombang. Ratu Pewaris Iblis menunggu. Begitu ‘Barisan Naga Iblis’ berada empat langkah dihadapannya, dia melesat mundur. Saat bersamaan tangan kanannya yang memegang Sapu Tangan Iblis menyentak.
Wuutt!
Satu warna merah menderu angker ke arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Tokoh-tokoh Penghela Tandu cepat angkat tangan masing-masing, lalu serempak mereka sentakkan ke depan.
Wuuut! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Empat gelombang luar biasa dahsyat bergelombang menyongsong ke depan dari empat jurusan!
Blamm! Blamm! Blamm! Blamm!
Terdengar empat kali ledakan keras. Sosok Ratu Pewaris Iblis mental ke belakang dengan tangan kanan yang memegang Sapu Tangan Iblis tersentak dan terputar keras ke belakang. Malah kalau saja nenek ini tidak segera dapat kuasai diri niscaya Sapu Tangan Iblis akan lepas dari genggaman tangannya! Sosoknya terhuyung-huyung dan bergetar keras.
Sementara di seberang depan, begitu terdengar ledakan pertama, si laki-laki bercelana kolor warna merah tampak mencelat lalu terkapar di atas tanah dengan mulut kucurkan darah! Saat lain laki-laki yang bercelana kolor warna hitam tersapu deras ke belakang sampai beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh terjengkang dengan mulut megap-megap keluarkan darah! Kemudian disusul dengan melayangnya sosok laki-laki bercelana kolor warna kuning sebelum akhirnya juga jatuh bergulingan jauh di belakang.
Yang terakhir adalah sosok laki-laki bercelana kolor warna hijau. Laki-laki ini terdorong ke belakang. Karena di belakang sana sudah tiga sosok yang terkapar, saat sosoknya terdorong ke belakang, kakinya tampak menyambar laki-laki bercelana kolor warna kuning, hingga tak ampun lagi sosok laki-laki bercelana hijau terhenti dengan terbanting tidak jauh dari si celana kolor warna kuning!
Ratu Pewaris Iblis tampaknya tidak mau menunggu lama. Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama berkaparan, sosok si nenek membuat satu gerakan. Tubuhnya melesat ke udara. Dari atas udara, tangan kanannya yang menggenggam Sapu Tangan Ib- lis kembali berkelebat mengibas. Yang dituju adalah si celana kolor warna merah.
Wuutt!
Untuk kedua kalinya warna merah berkiblat angker. Saat bersamaan, Ratu Pewaris Iblis tarik pulang tangan kanannya, lalu serta-merta tangan kanannya dikebutkan ke arah laki-laki bercelana hitam. Begitu warna merah telah berkiblat, si nenek terus kebutkan Sapu Tangan Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor warna kuning. Dan terakhir kalinya, bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki si nenek diatas tanah,tangan kanannya bergerak mengibaskan Sapu Tangan Iblis ke arah laki-laki bercelana kolor warna hijau!
Hingga saat itu juga empat warna merah tampak berkiblat susul menyusul ke arah masing-masing Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Masing-masing Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak tersentak kaget karena mereka sedang hendak bergerak bangkit dan belum kerahkan tenaga dalam. Namun melihat bahaya sudah di depan mata, mereka sekuat tenaga cepat kerahkan tenaga dalam lalu sama menghadang warna merah pukulan si nenek dengan angkat kedua tangan masing-masing.
Dari tangan masing-masing Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak menghampar gelombang angin. Namun karena masing-masing orang telah terluka bagian dalam, gelombang yang melesat dari tangan masing- masing orang ini tidak begitu dahsyat.
“Celaka!” desis Putri Kayangan. Gadis ini tampak kebingungan. Tidak mungkin baginya menghadang empat warna merah yang datang ke arah masing-masing laki-laki Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Dalam puncak kebingungannya, Putri Kayangan akhirnya melesat ke depan. Karena yang dilabrak terlebih dahulu oleh pukulan si nenek adalah laki-laki bercelana kolor warna merah, gadis ini akhirnya sentakkan kedua tangannya menghadang pukulan yang mengarah pada si celana kolor warna merah.
Murid Pendeta Sinting sendiri sejenak tampak bimbang. Dia tidak tahu harus berbuat apa! Namun begitu melihat Putri Kayangan telah melepas pukulan menghadang warna merah yang mengarah pada si celana kolor warna merah, akhirnya Joko ikut melesat ke depan. Kedua tangannya disentakkan.
Wuuutt! Wuutt!
Joko sadar, sapuan warna merah yang melesat dari Sapu Tangan Iblis tidak bisa dihadang dengan tenaga sembarangan. Maka begitu kedua tangannya bergerak, dia langsung lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Hingga saat itu juga keadaan di tempat itu disemburati warna merah yang menghampar dari Sapu Tangan Iblis dan warna kuning yang melesat dari kedua tangan murid Pendeta Sinting!
Blarr! Blaarr! Blarr! Blarr!
Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat empat kali susul menyusul. Sosok Ratu Pewaris Iblis seketika tersapu deras ke belakang dan jatuh terjengkang di atas tanah dengan mulut semburkan darah!
Putri Kayangan sendiri terhuyung-huyung dan hampir saja melorot jatuh. Dadanya bergerak keras turun naik. Di sebelahnya, laki-laki bercelana kolor warna merah bergulingan setelah memekik tinggi. Dari mulut dan hidungnya tampak belepotan darah. Jelas laki-laki ini terluka dalam cukup parah! Malah seandainya saja Putri Kayangan tidak segera menghadang pukulan yang mengarah padanya, mungkin nyawanya sulit ditolong.
Sementara tiga laki-laki Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak terseret sampai satu tombak ke belakang. Beruntung bagi laki-laki bercelana kolor warna hitam dan kuning karena pukulan yang dilepas murid Pendeta Sinting masih menghadang, hingga meski ke- duanya tetap terluka, namun nyawanya masih selamat! Namun tidak demikian halnya dengan si celana kolor warna hijau. Dia harus menghadang pukulan Sapu Tangan Iblis dengan tenaga dalamnya sendiri karena warna merah itu tidak sempat terpangkas pukulan ‘Lembur Kuning’ yang dilepas Pendekar 131!
Hingga begitu terdengar ledakan, sosok laki-laki bercelana kolor warna hijau tampak melenting jauh ke belakang sebelum akhirnya jatuh bergedebukan di atas tanah dengan nyawa melayang! Pendekar 131 sendiri tampak tersurut dua langkah. Tangan kiri kanannya yang baru saja menghadang pukulan sapu tangan si nenek tampak bergetar. Dia merasakan kedua tangannya laksana baru saja bentrok dengan tembok tebal yang dialiri hawa panas luar biasa. Hingga untuk beberapa saat Joko merasakan darahnya laksana mendidih dan menyentak-nyentak!
Ketiga laki-laki berkepala gundul dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera kerahkan tenaga dalam masing-masing. Ketiganya lalu sama berpaling. Mereka berniat akan lakukan penyerbuan lagi pada si nenek. Namun begitu melihat si celana kolor warna hijau tidak bergerak-gerak lagi, ketiganya menjadi kalap. Tanpa pedulikan keadaan dari masing-masing yang telah terluka cukup parah, ketiganya serentak bangkit. Saat berikutnya, tanpa diduga sama sekali oleh Putri Kayangan, ketiganya sama melesat ke arah Ratu Pewaris Iblis yang telah tegak dengan mengangkat tangan kanan acung-acungkan Sapu Tangan Iblis.
“Tahan serangan!” teriak Putri Kayangan. Namun teriakan si gadis terlambat. Ketiga orang itu telah sentakkan tangan masing-masing walau mereka sadar, tenaga dalam mereka sudah hampir habis.
Ratu Pewaris Iblis hadapi serangan ketiga orang di hadapannya dengan tersenyum dingin. Saat lain tangan kanannya bergerak tiga kali di udara kebutkan Sapu Tangan Iblis. Sudah sangat terlambat bagi Putri Kayangan untuk lepaskan pukulan, karena ketiga orang pembantunya itu telah lepaskan pukulan masing-masing dari arah dekat! Malah kalau saja Putri Kayangan lepas pukulan, tidak tertutup kemungkinan pukulannya akan menghantam salah satu dari ketiga orang Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang masih hidup itu. Hingga akhirnya gadis ini hanya bisa berteriak tanpa membuat gerakan apa-apa!
Di belakang sana, murid Pendeta Sinting juga tampak terlengak kaget melihat tindakan ketiga laki-laki pembantu Putri Kayangan. Dia sama sekali tidak menduga kalau ketiga orang itu akan berbuat nekat. Hingga sudah sangat terlambat sekali bagi Joko untuk lepaskan pukulan hadangan!
Begitu warna merah berkiblat, tiga gelombang yang melesat lemah dari tangan masing-masing Ketiga Tokoh-tokoh Penghela Tandu menyibak bertaburan ke samping kiri kanan. Saat yang sama ketiga laki-laki ini berseru tertahan. Sosok ketiganya sesaat laksana tegang kaku. Namun kejap lain sosok ketiganya mencelat tersapu dengan saling bertubrukan di atas udara.
Begitu sosok mereka bertiga jatuh terkapar di atas tanah, ketiga orang ini terlihat bergerak menggeliat. Tapi laksana disentak tangan setan, sosok ketiganya tiba-tiba tegang kaku! Mulut masing-masing orang yang telah berhamburan darah tampak menganga. Ketiga laki-laki dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu ini putus nyawanya dengan tubuh hampir hangus.
Ratu Pewaris Iblis tengadahkan kepala. Mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa kekehan panjang. Nenek ini masukkan sapu tangan merah ke dalam saku pakaiannya. Lalu melesat ke hadapan Putri Kayangan. Begitu sepasang kaki Ratu Pewaris Iblis menginjak tanah, tangan kirinya diangkat lurus ke arah Putri Kayangan.
“Saat ini aku masih memandang mu sebagai sahabat. Tapi pandanganku akan berbalik kalau kau tidak segera enyah dari sini!”
“Empat pembantuku telah kau bunuh! Aku tak akan tinggalkan tempat ini tanpa nyawamu melayang sebagai tebusan nyawa keempat pembantuku!”
Ratu Pewaris Iblis tertawa panjang. “Berarti kau ingin menyusul keempat anjingmu itu! Aku tak segan untuk mengantarmu menyusul mereka!”
Putri Kayangan kertakkan rahang. Saat itu juga dia berkelebat. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba satu tangan telah melintang di hadapannya.
“Putri... Aku tahu kau berilmu tinggi dan mampu menghadapi nenek itu! Tapi untuk saat ini kurasa bukan saat yang baik untuk menghadapinya! Harap kau suka tinggalkan tempat ini!”
Putri Kayangan berpaling. Tampak Pendekar 131 tersenyum sambil anggukkan kepala. Tangan kanannya yang melintang menghalangi gerakan si gadis ditarikbpulang.
“Pemuda tak dikenal! Harap kau tidak ikut urusanku! Aku akan tinggalkan tempat ini setelah mengambil nyawa nenek gila itu sebagai imbalan keempat nyawa pembantuku!”
“Tapi... Kau dalam keadaan tegang! Itu akan membahayakan keselamatanmu! Biarlah nenek itu kuhadapi! Aku tahu bagaimana caranya menghadapi seorang nenek! Lagi pula dia telah mengatakan punya urusan denganku!”
Putri Kayangan menyeringai. Kepalanya menggeleng. “Nyawa harus dibayar nyawa! Dan bayaran itu tidak harus menunggu!” Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat ke depan. Kedua tangannya serta-merta bergerak melepas satu pukulan!
“Bagus! Kau akan mengalami kenyataan yang sebelumnya tidak kau duga!” desis Ratu Pewaris Iblis. Tangan kanannya segera menyelinap ke dalam sakunya. Saat tangan kanannya diangkat, tampak Sapu Tangan Iblis telah berkibar-kibar di atas udara. Saat bersamaan, Ratu Pewaris Iblis telah kebutkan tangan kanannya!
***
ENAM
SEBENARNYA Pendekar 131 tak mau ikut campur urusan antara Ratu Pewaris iblis dengan Putri Kayangan. Karena urusannya sendiri belum bisa diselesaikan. Apalagi Ratu Pewaris iblis mengatakan ada urusan dengannya. Kalau dia ikut-ikutan, bukan tidak mungkin Ratu Pewaris Iblis akan makin marah. Itu akan menambah kesulitan baginya. Namun begitu melihat kedahsyatan Sapu Tangan Iblis yang ada di tangan si nenek, dia jadi khawatir akan keselamatan Putri Kayangan. Maka begitu Ratu Pewaris Iblis telah kebutkan sapu tangannya, tanpa pikir panjang lagi murid Pendeta Sinting segera berkelebat sambil lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.
Blaar! Blaar!
Warna merah yang berkiblat dari sapu tangan Ratu Pewaris Iblis membentur gelombang dahsyat yang mencuat dari kedua tangan Putri Kayangan dan gelombang serta warna sinar kuning yang melesat dari kedua tangan murid Pendeta Sinting hingga akibatkan ledakan luar biasa dahsyat. Tempat itu kembali laksana disapu topan. Tanahnya muncrat ke udara menutupi pemandangan. Beberapa jajaran pohon yang berada sekitar lima tombak dari tempat bentroknya pukulan bergetar keras. Beberapa diantaranya langsung terbongkar lalu tumbang.
Dua pukulan yang menghadang warna merah dari sapu tangan Ratu Pewaris Iblis membuat nenek ini terpelanting ke udara. Dari mulutnya sudah tampak kucurkan darah tanda dia telah terluka cukup dalam. Dalam keadaan seperti itu tubuh si nenek jatuh setelah terlebih dahulu menghantam tanah agak tinggi yang berada dibelakangnya. Di bagian seberang, sosok Putri Kayangan tampak jatuh terduduk dengan tubuh tegang laksana tidak bisa digerakkan. Aliran darahnya seperti disumbati hingga untuk beberapa saat gadis ini diam kaku dengan mata sedikit membeliak!
Tidak jauh dari tempat Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting coba kuasai diri dari huyungan tubuh serta kedua lututnya yang goyah. Meski Joko selamat dari cedera, namun bukan berarti tidak mengalami akibat dari bentroknya pukulan. Karena bersamaan dengan itu dia merasakan dadanya sesak dan aliran darahnya panas serta menyentak- nyentak!
Ratu Pewaris Iblis cepat mengatur jalan darahnya. Hingga kucuran darah yang menyembur dari mulutnya mampu ditahan. Saat lain nenek ini telah lipat gandakan tenaga dalam lalu bergerak bangkit dengan mata jereng besar memandang angker ke depan. Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam pula. Lalu melompat dan tegak di samping Putri Kayangan yang coba himpun tenaga murni untuk menguasai diri dari luka dalamnya.
“Putri... Bukankah lebih baik kau menghindar dahulu?! Kau telah terluka”
“Kalaupun aku harus mampus, aku rela! Asal bersama-sama nenek gila itu!”
“Putri...! Kau hanya sia-siakan nyawa kalau bertindak nekad!”
“Aku tak kenal siapa kau! Harap jangan terus menerus menghalangiku!”
“Baiklah! Aku akan katakan siapa diriku! Tapi bukan di sini tempatnya! Tunggulah aku kira-kira seratus tombak sebelah barat dari tempat ini! Aku akan selesaikan nenek itu lalu menyusulmu!”
Putri Kayangan memandang sejenak pada murid Pendeta Sinting. “Hem... Dari sikap dan pukulannya, aku hampir yakin akan siapa dia sebenarnya! Sayang sekali nenek gila itu tiba-tiba muncul di sini! Untuk sementara, lebih baik aku turuti ucapan pemuda ini! Urusan dengan nenek gila itu bisa kuurus nanti!”
Membatin begitu, akhirnya Putri Kayangan berkata pelan. “Baik! Aku akan turuti ucapanmu! Aku menunggumu di sebelah barat! Tapi kalau kau berkata dusta, kelak aku akan mencarimu!” Habis berkata, Putri Kayangan putar diri. Saat lain setelah memandang satu persatu pada mayat empat pembantunya, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mendapati hal demikian, Ratu Pewaris Iblis tidak tinggal diam. Dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi siap kebutkan sapu tangan. Pendekar 131 segera menghadang.
“Nek! Dia telah lakukan apa yang kau minta... Harap tidak teruskan tindakan!”
Ratu Pewaris Iblis memandang Pendekar 131 Joko Sableng dengan mata mendelik. Lalu beralih pada sosok Putri Kayangan yang terus berkelebat. Meski tangan kanannya urung bergerak kebutkan sapu tangannya, namun nenek ini buka suara dengan keras.
“Putri Kayangan! Kau telah membuat satu urusan denganku! Kalau saat ini nyawamu lolos, itu hanya tertundanya kematianmu beberapa saat!” Ratu Pewaris Iblis lalu tertawa panjang.
Namun laksana disabet setan, mendadak si nenek putuskan tawanya. Matanya yang jereng kini menatap murid Pendeta Sinting. Kejap lain mulutnya terkuak perdengarkan bentakan garang. “Pemuda sialan! Kau murid Pendeta Sinting bukan?!”
“Kalau aku tidak berterus terang, mungkin urusan ini jadi panjang! Lagi pula aku ingin tahu apa sebenarnya kemauan nenek ini!” pikir Joko dalam hati, lalu berkata. “Ucapanmu benar, Nek!”
“Hem.... Bagus! Aku tahu... Kau telah memperoleh kitab sakti! Tapi untuk saat ini aku tidak tertarik dengan kitab itu!” Ratu Pewaris Iblis hentikan ucapannya. Bibirnya tersenyum. Dia sengaja hentikan ucapannya untuk melihat bagaimana sikap orang begitu mendengar ucapannya.
Pendekar 131 sesaat terdiam dengan dahi berkerut. Namun belum sampai dia dapat menentukan arah bicara orang, Ratu Pewaris Iblis telah buka mulut lagi.
“Pendekar 131! Kau telah memperoleh banyak rezeki! Bagaimana kalau kau berikan padaku salah satunya?! Tidak baik bukan, seseorang serakah memiliki banyak rezeki?!”
“Nek! Kita baru kali ini bertemu. Adalah mengherankan kalau kau mengatakan aku punya banyak rezeki! Apa kau tidak salah ucap? Atau jangan-jangan kau salah meminta!”
“Mataku tidak buta! Telingaku masih bisa mendengar! Kau tak usah banyak bicara!”
“Hem... Begitu?! Mau katakan rezeki apa yang hendak kau minta dariku?!”
“Aku hanya minta Kembang Darah Setan!”
Meski sedikit banyak bisa menduga sebelumnya, begitu mendengar ucapan si nenek, tak urung murid Pendeta Sinting tersentak juga. “Berarti kabar tentang Kembang Darah Setan itu telah menebar dalam kalangan rimba persilatan! Edan betul! Aku kena getahnya!” Diam-diam Joko membatin. Lalu berkata pelan.
“Nek...! Aku jadi sangsi. Apakah telingaku tidak salah dengar dengan ucapanmu?”
“Terserah telingamu salah dengar atau tidak! Yang pasti kau telah dengar permintaanku!” Ratu Pewaris Iblis melangkah sambil angkat tangan kanannya yang menggenggam Sapu Tangan Iblis. Begitu mendapat tiga tindak, tangan kirinya menjulur ke depan membuat gerakan meminta.
“Kembang Darah Setan! Serahkan padaku! Jika tidak... Kau akan mengalami nasib seperti empat anjing-anjing pembantu itu!” Tangan kiri Ratu Pewaris Iblis bergerak menunjuk pada empat mayat Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
“Nek...”
“Diam!” hardik si nenek. “Jangan berani buka mulut lagi!”
Pendekar 131 tidak hiraukan ancaman orang. Dia lanjutkan ucapannya. “Nek... Terus terang saja! Aku tidak memiliki barang yang kau minta! Aku memang punya beberapa kembang, tapi Kembang Darah Setan tidak ada padaku!”
“Setan! Kau lancang bicara! Kalau kau memiliki beberapa kembang, sekarang kuminta semuanya!”
“Wah.... Mana bisa begitu? Kembang-kembang ini harus kuserahkan pada beberapa orang! Tapi kalau kau meminta, aku bersedia mencarikan untukmu!”
Ratu Pewaris Iblis menyeringai. “Aku tahu, Anak Muda! Kau hanya mempermainkan diriku! Dan perlu kau tahu, adalah tindakan tolol kalau kau berani pertaruhkan nyawa demi sebuah kembang!”
“Ucapanmu benar, Nek! Adalah tindakan tolol kalau pertaruhkan nyawa demi sebuah kembang! Tapi kalau aku tidak membawa kembang itu bagaimana?! Apakah tindakan orang yang meminta pada orang yang tidak punya bukan lebih tolol lagi?!”
Ratu Pewaris Iblis perdengarkan dengusan keras. Dengan masih acungkan tangan kanan, dia berteriak. “Aku bicara satu kali lagi! Serahkan kembang itu secara baik-baik atau kau inginkan aku mengambilnya dengan caraku sendiri!”
“Ah... Cara bagaimana yang akan kau lakukan, Nek?! Aku bisa menduga, sebagai orang yang berusia lanjut, tentu kau banyak pengalaman dan pasti caramu asyik...”
Ratu Pewaris Iblis tak dapat menahan perasaan mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. “Kau rupanya sudah bosan hidup!” teriak si nenek. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Tangan kanannya bergerak kebutkan sapu tangan, sementara tangan kirinya ikut menyentak ke depan.
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin dahsyat disertai menghamparnya warna merah menderu ganas dengan keluarkan suara bergemuruh angker. Murid Pendeta Sinting tidak berani bertindak ayal. Ganasnya gelombang yang datang menunjukkan kalau si nenek telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya! Apalagi masih ditambah dengan berkiblatnya warna merah yang kedahsyatan akibatnya telah diketahui murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam hampir seluruhnya pada kedua tangannya. Saat itu juga kedua tangannya berubah menjadi kuning. Saat lain kedua tangannya didorong kedepan.
Blaarrr!
Ledakan kali ini sungguh luar biasa dahsyat. Sosok Ratu Pewaris Iblis langsung terpental sampai tiga tombak dengan mulut perdengarkan pekikan tinggi. Sosoknya jatuh berlutut dengan hidung dan mulut keluarkan darah. Rupanya cedera dalam yang dialami si nenek waktu menghadapi Tokoh-tokoh Penghela Tandu serta bentrokan pukulannya dengan Putri Kayangan serta murid Pendeta Sinting sebelum ini membuat Ratu Pewaris Iblis harus menerima kenyataan pahit. Karena luka dalamnya makin parah dan kucuran darahnya makin deras.
Murid Pendeta Sinting sendiri tampak jatuh terduduk. Namun dia bisa segera bangkit berdiri. Memang masih terhuyung-huyung dan wajahnya pucat pasi serta dadanya berdenyut sakit. Namun dia tidak mengalami cedera terlalu parah.
“Tidak ada gunanya melayani dia! Aku harus segera tahu urusan pelik ini! Jika tidak, aku akan makin diburu orang, padahal aku tidak tahu urusannya!”
Joko melirik sejenak pada Ratu Pewaris Iblis. Saat lain dia putar tubuh lalu berlari tinggalkan si nenek. Ratu Pewaris Iblis sebenarnya tahu akan kepergian murid Pendeta Sinting. Namun si nenek masih berpikir panjang. Adalah berisiko besar dalam keadaan terluka begitu rupa jika berkelebat mengejar dan lakukan serangan. Hingga si nenek hanya memandang dengan hati panas dan memaki panjang pendek.
***
TUJUH
DI BALIK lindungan satu batang pohon besar berjarak seratus tombak sebelah barat tempat di mana Pendekar 131 dan Ratu Pewaris Iblis bertempur, Putri Kayangan mulai tampak cemas. Apalagi tidak berselang lama telinganya lamat-lamat masih bisa mendengar ledakan. Gadis berparas luar biasa cantik ini sebentar-sebentar arahkan pandangannya ke arah timur. Kedua tangannya saling meremas dengan dada berdebar.
Entah mengapa tiba-tiba gadis ini sangat mengkhawatirkan keselamatan murid Pendeta Sinting. Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya dia segera menghambur kembali ke tempat Pendekar 131. Tapi mengingat ucapan dan janji murid Pendeta Sinting yang segera akan menyusulnya, gadis ini akhirnya tabahkan hati bersabar menunggu meski kian lama perasaan cemas itu makin mendera lebih dalam. Setelah ditunggu agak lama dan yang ditunggu belum juga muncul, kekhawatiran Putri Kayangan makin menjadi-jadi.
“Apa yang terjadi dengan pemuda itu?! Mengapa dia tidak segera muncul di sini? Mendengar ledakan tadi, pasti mereka selesaikan urusan dengan jalan kekerasan. Hem... Apa benar dia adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 yang menurut sebagian orang saat ini telah mendapatkan Kembang Darah Setan...? Kalau benar, apa aku harus teruskan niat untuk mengambil kembang itu dari tangannya?!”
Putri Kayangan menghela napas panjang. “Mengapa kau selalu khawatir dengan dirinya? Apa yang terjadi dengan diriku?! Aku... Aku tak pernah mengkhawatirkan orang seperti saat ini!” Gadis cantik ini kembali arahkan pandang matanya ke arah timur. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus menunggu tanpa kepastian jelas? Ataukah aku harus menyusulnya ke sana?!”
Putri Kayangan melangkah mondar-mandir dengan mata tak berkesip memandang ke jurusan timur. Dan setelah lama menunggu tidak juga muncul orang yang ditunggu, akhirnya Putri Kayangan bergumam sendiri.
“Firasat ku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres! Terpaksa aku harus kembali kesana?!”
Putri Kayangan segera keluar dari balik batang po- hon. Lalu berlari ke arah timur. Namun belum sempat si gadis gerakkan tubuh berkelebat, satu sosok bayangan berkelebat dan tegak diseberang depan sana. Putri Kayangan terkesiap. Sepasang kakinya bergerak mundur satu tindak dengan paras berubah ngeri. Sepasang matanya membelalak besar memperhatikan tak berkesip.
“Rasanya aku hampir tidak percaya ada manusia macam dia!” desis Putri Kayangan. Sekali lagi dia perhatikan dengan seksama seolah belum percaya dengan pandangannya.
Orang di seberang depan gerakkan kepala. Mulutnya perdengarkan suara. “Kau menunggu seseorang?! Dari tadi kulihat sikapmu gelisah!”
Putri Kayangan makin terkejut mendapati ucapan orang yang jelas menunjukkan jika dia telah memperhatikan si gadis sejak tadi tanpa diketahuinya.
“Siapa kau?!” Putri Kayangan angkat bicara.
Orang di seberang sana yang ternyata adalah seorang laki-laki gerakkan kepala menggeleng. Dia adalah laki-laki yang usianya bisa dipastikan lanjut. Rambutnya putih awut-awutan. Mengenakan pakaian besar kedodoran. Sepasang matanya besar. Namun bukan itu saja yang membuat Putri Kayangan hampir tidak percaya pada pandang matanya. Malah kalau saja orang ini tidak perdengarkan suara, mungkin Putri Kayangan masih belum percaya kalau yang dihadapinya saat itu masih manusia adanya.
Karena ternyata sekujur tubuh laki-laki ini tidak dilapis daging sama sekali. Sosoknya hanya merupakan kerangka! Dia bukan lain adalah Setan Liang Makam. Seorang tokoh yang dahulu bernama Maladewa. Generasi terakhir dari Kampung Setan yang terpendam selama tiga puluh enam tahun di makan batu.
“Siapa yang kau tunggu?!” Setan Liang Makam ajukan tanya.
Putri Kayangan tidak segera menjawab. Setan Liang Makam menyeringai lalu tertawa bergelak. Puas tawanya dia perdengarkan suara lagi.
“Aku bertanya padamu! Kau pernah melihat seorang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!”
Putri Kayangan terkesiap kaget. Wajahnya langsung berubah. “Pasti urusannya sama dengan nenek gila itu!”
Diam-diam dada gadis cantik ini makin cemas. Dan tanpa sengaja pandangannya beralih ke jurusan timur. Kalau tadi dia mengharap munculnya murid Pendeta Sinting, kali ini dia mengharap sebaliknya. Sedikit banyak rupanya Putri Kayangan sudah dapat menebak apa maksud Setan Liang Makam. Dia juga merasa maklum kalau orang di hadapannya bukan orang sembarangan. Kehadirannya yang tak bisa diketahui membuktikan semua itu!
“Mengapa kau tanya padaku?!” tanya Putri Kayangan.
“Kau adalah seorang gadis cantik jelita! Kudengar, pemuda bergelar Pendekar 131 selalu dikagumi beberapa gadis. Siapa tahu kau adalah salah satunya. Maka, mungkin kau tahu dimana dia berada!”
Wajah Putri Kayangan sekilas berubah merona merah mendengar pujian orang. Namun mengingat kecemasannya, rona merah sirna seketika berganti dengan wajah membayangkan kekhawatiran.
“Aku tidak pernah mengagumi seorang pemuda! Karena aku telah punya pilihan! Jadi kau mungkin salah bertanya padaku!”
Setan Liang Makam arahkan pandangannya pada Putri Kayangan. “Kau tidak perlu khawatir. Aku mencarinya bukan ada masalah! Justru aku ingin memberi saran padanya!”
Putri Kayangan sejenak tampak bimbang. “Aku belum pernah mengenalnya! Dia juga belum katakan siapa dirinya! Mana mungkin aku harus percaya pada ucapannya...? Apalagi urusan Kembang Darah Setan adalah urusan dunia persilatan. Jadi tak mungkin maksudnya hanya sekadar memberi peringatan!” membatin Putri Kayangan. Lalu berkata dengan bibir sunggingkan senyum untuk tutupi keterkejutannya.
“Kalau aku tahu, aku akan katakan padamu meski aku belum tahu siapa kau! Aku tidak peduli kau hendak memberi saran atau membunuhnya!”
“Aku Setan Liang Makam!” ujar Setan Liang Makam. “Kau benar-benar tidak tahu?!”
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku memang pernah mendengar nama orang yang kau cari! Tapi aku belum pernah jumpa dengannya!”
“Baik...” ujar Setan Liang Makam seraya balikkan tubuh. “Tapi kau ingat, jika ucapanmu tadi kelak kenyataannya terbalik, kau akan menyesal!”
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam berkelebat ke arah utara. Putri Kayangan cepat berkelebat ke arah timur dengan dada makin cemas. Namun baru saja sosoknya bergerak, samar-samar matanya menangkap bayangan berkelebat dari arah depan. Putri Kayangan serta-merta hentikan kelebatannya dengan menarik napas panjang. Matanya membesar dengan bibir tersenyum. Dadanya yang tadi dilanda kecemasan tiba-tiba sirna. Dan seolah tak sabar, begitu matanya merasa yakin siapa adanya orang yang berlari dari arah depan, dia segera lanjutkan lari menyongsong.
“Pendekar 131! Kau...” Putri Kayangan tidak lanjutkan ucapannya. Mungkin karena terlalu cemas, begitu dekat dengan sosok yang berlari di depan, Putri Kayangan segera menghambur dan pegangi lengan orang yang ternyata bukan lain adalah murid Pendeta Sinting. Namun begitu sadar akan tindakannya, gadis cantik ini lepaskan pegangan tangannya malah dia tidak lanjutkan ucapan.
Murid Pendeta Sinting sendiri sejurus tampak kaget dengan sikap Putri Kayangan. “Ternyata dia telah tahu siapa diriku! Jadi dia tadi hanya pura-pura! Dasar perempuan. Di depan orang pura-pura tak kenal! Tapi...”
“Kau tidak apa-apa?!” tanya Putri Kayangan membuat Joko putus kata hatinya.
Murid Pendeta Sinting tersenyum. “Sudah kubilang tadi, aku tahu bagaimana caranya menghadapi seorang nenek-nenek!”
Putri Kayangan hadapkan wajah ke jurusan lain. Tiba-tiba wajahnya kembali cemas. Joko tampak kernyitkan dahi. “Parasmu berubah! Ada apa?!”
“Kita harus segera tinggalkan tempat ini!”
“Hai! Kau belum mengatakan ada apa?!”
“Bukan di sini tempatnya bertanya!” Putri Kayangan balikkan tubuh. Lalu melangkah.
Namun merasa murid Pendeta Sinting belum juga beranjak dari tempatnya, Putri Kayangan berpaling. “Harap kau suka turuti ucapanku! Karena aku tadi telah ikuti saran mu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan cepat berlari. Meski tidak tahu apa yang dimaksud Putri Kayangan, akhirnya Joko berlari menyusul di belakang si gadis.
“Kau Pendekar 131, bukan?!” Putri Kayangan sudah ajukan tanya begitu gadis ini berhenti pada satu tempat. Lalu putar tubuh menghadap Joko yang tadi tegak dibelakangnya.
“Dari pertanyaanmu, berarti kau tadi hanya menduga-duga!” ujar murid Pendeta Sinting. “Kalau seandainya aku bukan, bagaimana?! Dan kalau aku benar orang yang kau duga, bagaimana?!”
Putri Kayangan menghela napas dalam. Sesaat dia tatapi murid Pendeta Sinting. “Kalau seandainya kau bukan, aku hampir tak percaya! Seandainya dugaanku benar, maka berhati-hatilah!”
“Apa maksud ucapanmu?!”
“Sebelum kujawab, jawab dahulu pertanyaanku. Kau Pendekar 131 atau bukan!”
Sejurus murid Pendeta Sinting berpikir. Lalu anggukkan kepala seraya berkata. “Dugaanmu benar!”
Putri Kayangan sekali lagi memperhatikan dengan seksama. Namun sejauh ini dia tidak buka mulut, membuat murid Pendeta Sinting jadi gelisah.
“Apakah dia meragukan diriku? Apakah dia sebelumnya pernah melihat orang yang mirip denganku seperti yang pernah dialami Dewi Seribu Bunga?!” Joko berpikir dalam hati. Dia hendak menanyakan pada Putri Kayangan. Namun setelah dipikir sekali lagi, murid Pendeta Sinting urungkan niat. Hingga untuk beberapa lama dia menunggu sambil memandang pada gadis di hadapannya.
“Kau mengenal orang bergelar Setan Liang Makam?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama terdiam.
Saking kagetnya, Joko hampir saja surutkan langkah. “Apa hubunganmu dengan orang itu?!” Joko balik ajukan tanya dengan dada berdebar.
Putri Kayangan gelengkan kepala. “Aku bertanya! Jangan kau balik bertanya sebelum menjawab pertanyaanku!”
“Aku pernah jumpa dengannya satu kali! Aku tidak paham benar siapa dia adanya! Justru aku heran dibuatnya!”
“Dia meminta sesuatu darimu?!” tanya Putri Kayangan lagi.
“Gadis ini rupanya tahu banyak!” batin Joko seraya anggukkan kepala.
“Hem... Dugaanku tidak salah!” gumam Putri Kayangan. “Berarti Setan Liang Makam tadi berkata dusta padaku!”
“Apakah nenek gila tadi juga melakukan hal sama?!”
Sekali lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Lalu berujar pelan. “Apa kau juga hendak meminta sesuatu dariku seperti apa yang mereka minta?!”
Putri Kayangan terdiam. Rupanya murid Pendeta Sinting dapat membaca sikap si gadis. “Sebelum terjadi apa-apa antara kita, kusarankan padamu untuk tidak meminta apa-apa dariku! Aku tidak memiliki apa yang selama ini orang pikir berada padaku!”
“Hem... Aku merasa aneh dengan diriku...” kata Putri Kayangan dalam hati. “Sebelum bertemu dengannya, aku sudah bertekad untuk mendapatkan Kembang Darah Setan! Tapi begitu aku jumpa dengannya, tiba-tiba pikiranku berubah. Kembang Darah Setan sepertinya bukan barang berharga lagi buatku. Aku... Aku lebih senang pertemuan ini dibanding dengan mendapatkan Kembang Darah Setan. Ucapan Setan Liang Makam ada benarnya. Pemuda ini banyak dikagumi beberapa gadis! Apakah aku sebenarnya juga tertarik padanya...?!”
“Pendekar 131! Aku....”
Sebelum Putri Kayangan teruskan ucapannya, murid Pendeta Sinting telah menukas. “Panggil saja Joko! Namaku Joko Sableng...”
Putri Kayangan tersenyum. Lalu lanjutkan ucapannya yang tadi terputus. “Aku tidak akan meminta apa-apa darimu! Tapi tak ada salahnya bukan aku bertanya?!”
“Sepanjang aku bisa menjawab, aku akan buka suara!”
“Saat ini rimba persilatan telah banyak yang tahu kalau Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Aku jadi heran kalau kau mengatakan tidak memilikinya!”
“Kalau kau heran, aku malah heran tiga kali! Itulah sebenarnya yang saat ini menjadi beban pikiranku! Banyak orang menduga aku memiliki Kembang Darah Setan! Padahal, melihatnya pun aku belum pernah! Dan justru dengan kabar yang tersiar itu, aku beberapa kali harus mengalami nasib buruk dan hampir-hampir saja celaka!”
“Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku tak bisa jawab pertanyaanmu ini! Karena saat ini aku sedang cari jawaban pertanyaanmu itu! Melihat saja belum pernah tapi kabar yang tersiar, aku telah memiliki Kembang Darah Setan”
Murid Pendeta Sinting melangkah lalu bertanya. “Apa kau tahu cerita tentang Kembang Darah Setan?!”
“Aku hanya mendengar jika Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat yang pernah dimiliki oleh seorang tokoh dari Kampung Setan! Dan Kembang Darah Setan itu sekarang ada di tanganmu!”
Pendekar 131 hentikan langkahnya. “Putri Kayangan. Harap kau percaya padaku! Aku tidak memiliki Kembang Darah Setan! Apa yang saat ini tersiar adalah berita bohong!”
Habis berkata begitu, Pendekar 131 berpaling. “Aku harus segera pergi!”
“Tunggu!” teriak Putri Kayangan seraya melompat menjajari. “Aku percaya padamu. Dan kusarankan padamu agar kau berhati-hati! Aku baru saja jumpa dengan Setan Liang Makam! Dia mencarimu!”
Murid Pendeta Sinting sejenak tampak terkejut. Belum sampai dia bertanya, Putri Kayangan telah berkata. “Kau tak keberatan bukan kalau aku ikut denganmu?! Kurasa kau akan menyelidiki urusan ini!”
“Putri... Ini bukan urusan biasa! Apalagi jika kabar telah tersiar ke mana-mana. Setiap saat nyawaku terancam bahaya! Harap kau tidak ikut melibatkan diri!”
“Aku telah tahu dan mengerti risikonya! Semuanya sudah ku pikirkan! Harap kau tidak menghalangiku dan tidak merasa keberatan!”
“Tapi...”
“Kalau kau merasa keberatan, berarti kau telah mendapatkan Kembang Darah Setan”
“Baiklah!” kata Joko akhirnya. “Tapi kuharap kau nanti tidak menyesal!”
Wajah Putri Kayangan berubah. Bibirnya tersenyum. Dadanya berbunga. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. Sambil melangkah perlahan dia bergumam sendiri. “Mudah-mudahan dia nanti tidak membuat urusan makin runyam. Aku sebenarnya menyesal. Mengapa aku baru bisa bertemu dengannya saat menghadapi masalah pelik begini?!”
“Kau memikirkan sesuatu?!” Putri Kayangan ajukan tanya begitu melangkah di samping Joko.
“Aku kecewa... Mengapa kita harus bertemu saat aku menghadapi urusan sulit! Jika tidak, sudah tadi-tadi aku mengajak mu ikut serta!”
Dada Putri Kayangan berdebar. Jika saja dia tidak ingat kalau si pemuda baru dikenalnya, mungkin dia sudah menggandeng tangan si pemuda dan menggenggam tangannya.
“Putri... Kau tahu ke mana arah Setan Liang Makam?!”
Putri Kayangan sedikit tersentak kaget karena saat itu dia sedang dalam lamunan. Hingga dia hanya angkat tangan kanan menunjuk arah utara. Sementara wajahnya tampak merona merah.
“Kita harus menghindari dia sementara waktu!”
“Lalu ke mana sekarang kita melangkah?!”
“Itulah yang selalu membuatku bingung. Sampai saat ini aku belum bisa menentukan langkah pasti! Semua jalan laksana buntu! Padahal keadaanku sudah terpojok!”
“Kau mau menceritakan padaku semuanya?! Setelah itu mungkin kita bisa bicarakan langkah yang harus kitalakukan!”
Mendengar ucapan Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting memandang berkeliling. “Kalau Setan Liang Makam baru saja berada di sini, berarti tempat ini tidak aman untuk bicara! Kita harus cari tempat yang aman! Aku akan ceritakan padamu!”
“Aku tahu tempat yang aman untuk bicara!” ujar Putri Kayangan.
“Apa ucapan gadis ini bisa dipercaya?!” Sesaat Joko meragu. “Ah... Kalau dia berlaku macam-macam, apa boleh buat! Lagi pula daripada menghadapi si nenek itu, lebih baik menghadapi dia!”
“Rupanya kau masih meragukan diriku...” Pendekar 131 melengak kaget mendengar kata-kata Putri Kayangan. Belum sempat Joko buka suara, si gadis telah lanjutkan ucapannya.
“Terus terang. Pada mulanya aku memang berniat membuat perhitungan denganmu! Tapi setelah men- dengar keteranganmu, niatku berubah! Jadi harap kau lenyapkan prasangka buruk terhadapku! Dan kalaupun kau masih menduga jelek, aku akan pergi tak jadi ikut denganmu!”
Habis berkata begitu, Putri Kayangan berkelebat. Namun kelebatannya sengaja dipelankan. Karena sebenarnya gadis ini hanya berkata memancing dan in- gintahu.
Begitu melirik dan terlihat murid Pendeta Sinting berkelebat menyusul dirinya, baru Putri Kayangan percepat kelebatan tubuhnya dengan bibir sunggingkan senyum!
***
DELAPAN
DI SEBUAH lereng bukit yang sepi dan berpemandangan indah, Pendekar 131 Joko Sableng tampak tegak dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Sementara tidak jauh dari tempat tegaknya Joko, Putri Kayangan duduk berlutut dengan mata terus memperhatikan pada sang Pendekar. Bibirnya terus sunggingkan senyum.
“Pemuda ini benar-benar tampan. Terus terang aku jatuh hati padanya! Namun apakah hal ini harus mengorbankan apa yang selama ini kucita-citakan?! Dan apakah keterangannya bisa kupercaya kalau Kembang Darah Setan memang tidak berada padanya? Ah... Aku harus lakukan sesuatu. Ini adalah kesempatan baik!” Putri Kayangan membatin dalam hati.
“Joko... Mendengar semua keteranganmu, kupikir aku juga punya pendapat sama! Ada seseorang yang memerankan sebagai dirimu dalam urusan ini!”
Joko berpaling. Mendadak sepasang mata murid Pendeta Sinting sedikit membesar. Karena dilihatnya Putri Kayangan telah rebah dengan sikap menggoda. Kaki sebelahnya ditekuk ke atas hingga pakaian bawahnya menyingkap dan pahanya yang kencang serta putih mulus terlihat jelas. Anehnya, si gadis seolah tidak peduli. Malah enak saja dia mainkan kedua tan- gannya. Sementara sepasang matanya melirik pada Joko.
“Kau punya pendapat apa yang harus kulakukan sekarang?!”
“Itu kita pikirkan nanti. Aku punya seorang kenalan yang mungkin bisa memecahkan urusanmu!”
“Siapa?!” Joko langsung ajukan tanya.
“Ku sebut pun kau tak akan mengenalinya! Karena memang jarang orang yang mengenalinya meski dia berilmu sangat tinggi! Tapi lupakan dahulu soal itu...” seraya berkata, Putri Kayangan angkat kaki satunya lagi. Karena kedua kakinya telah terangkat, maka tidak ampun lagi pakaian bawahnya luruh hingga paha kedua kakinya terlihat jelas.
“Busyet! Dia sengaja atau tidak?!” kata Joko dalam hati seraya berpaling dengan dada berdebar.
Putri Kayangan melirik sekali lagi. Lalu gerakkan tubuhnya miring. Kaki kanan ditekuk di atas tanah sementara kaki kiri tetap menekuk di atas. Lalu kepalanya diangkat dan ditopangkan pada tangan kanannya yang ditekuk sebatas lengan.
“Joko... Kau sudah punya kekasih?!” Putri Kayangan bertanya.
Perlahan-lahan murid Pendeta Sinting gerakkan kepala menoleh. Karena saat itu Putri Kayangan menghadap ke arahnya, maka terpaksa Joko hentikan edaran matanya pada wajah si gadis, meski sedikit dia sudah dapat melihat posisi tubuh Putri Kayangan yang membuat dadanya makin berdebar. Sambil tersenyum menutupi gejolak hatinya, Pendekar 131 buka suara.
“Aku memang kenal beberapa orang gadis, namun selama ini aku belum...”
“Semua laki-laki tentu akan berkata begitu! Aku sudah menduga apa lanjutan ucapanmu...!” Putri Kayangan memotong kata-kata Joko.
Sambil terus tersenyum, perlahan-lahan Putri Kayangan bergerak bangkit. Lalu melangkah mendekati murid Pendeta Sinting. Yang didekati tegak diam laksana patung. Putri Kayangan berhenti dua langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
“Kau berwajah tampan dan berilmu tinggi! Aku tak heran bila kenalan mu banyak gadis-gadis cantik! Dan terus terang saja, sejak pertemuan kita tadi, aku tertarik padamu...”
Ucapan terus terang Putri Kayangan membuat murid Pendeta Sinting tergagu. Dia hanya tegak dengan mulut terkancing. Namun Joko merasa ada keanehan. Tiba-tiba saja hidungnya mencium aroma sangat harum.
“Aku harus berhati-hati dengan perempuan ini! Ada yang aneh dengan sikapnya...”
“Ada sesuatu yang membuatmu gelisah?!” tanya Putri Kayangan masih dengan bibir tersenyum.
Murid Pendeta Sinting ikut tersenyum seraya gelengkan kepala. Putri Kayangan angkat tangannya lalu diulurkan ke depan. “Kita hanya berdua di sini! Kau tak usah gelisah...” Putri Kayangan maju satu tindak.
Kedua tangannya kini merangkul pinggang Joko membuat murid Pendeta Sinting makin berdebar.
“Putri... Kita di sini perlu bicara urusan yang sedang kuhadapi...”
“Benar... Tapi tidak salah bukan kalau kita lua-ngkan waktu sedikit untuk bersenang-senang?! Lagipula aku tahu bagaimana nanti selesaikan urusanmu!”Sambil berkata begitu Putri Kayangan tarik kedua tangannya hingga tubuh Joko maju ke depan. Keduanya kini saling bersentuhan. Joko makin rasakan aroma bau harum.
Putri Kayangan sejenak memandang ke dalam bola mata murid Pendeta Sinting. Saat lain gadis ini telah dorong wajahnya ke depan. Joko tersedak kaget tatkala bibir Putri Kayangan telah menyentuh bibirnya. Entah karena apa, tiba-tiba Joko lupa akan kewaspadaannya. Malah begitu merasakan bibirnya tersentuh bibir Putri Kayangan, dia segera menyambut. Kedua tangannya pun segera bergerak memeluk pinggang si gadis.
Pendekar 131 tidak ingat berapa lama dia saling peluk cium dengan Putri Kayangan. Yang pasti dirasakannya, perlahan-lahan kepalanya pening. Dia coba membuka kelopak matanya dengan menarik wajah dari wajah si gadis. Namun kepalanya laksana dipantek tak bisa digerakkan. Dia masih mencoba gerakkan kedua tangannya yang memeluk pinggang Putri Kayangan. Kedua tangannya memang lepas. Namun secara aneh luruh lunglai ke bawah. Bahkan bersamaan dengan luruhnya kedua tangannya, lututnya terasa goyah. Kejap lain tubuh Joko melorot jatuh dengan mata terpejam rapat!
Murid Pendeta Sinting memang tidak pingsan. Dia masih dapat merasakan hembusan napas orang di sampingnya. Bahkan dia masih merasakan ada tangan yang meraba-raba pada sekujur tubuhnya. Anehnya, dia tidak bisa membuka matanya. Dan sekujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan! Joko coba pusatkan pikiran. Namun sia-sia. Hingga akhirnya dia pusatkan perhatian pada apa yang bisa dirasakan. Karena perlahan-lahan bajunya terasa dibuka. Lalu ada tangan menyelinap ke balik pakaiannya yang terbuka. Dia juga mendengar gumaman. Namun tidak begitu jelas dan layaknya diperdengarkan dari tempat yang sangat jauh sekali.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Joko mendengar suara bersinan berturut-turut panjang dan menggema. Bersamaan dengan terdengarnya suara bersinan, rabaan tangan pada tubuhnya terhenti. Joko masih merasakan ada sesuatu yang tertarik dari dalam pakaiannya.
“Pedang Tumpul 131!” Joko membatin. Dia hendak berteriak. Namun mulutnya kelu. Dia baru bisa buka mulut tatkala suara bersinan lenyap.
“Putri...” hanya itu suara yang diucapkan mulut murid Pendeta Sinting. Pada saat yang sama sepasang matanya terbuka dan mementang besar.
“Apa yang terjadi dengan diriku?!” Joko cepat bergerak duduk. Kepalanya cepat berputar. Dia tidak melihat lagi Putri Kayangan.
“Ke mana gadis itu?! Ada yang tidak beres! Aku mencium aroma harum. Lalu aku merasakan ciuman gadis itu. Tapi setelah itu aku hanya bisa merasakan tanpa bisa buka mulut dan mata! Malah tubuhku lemas. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Apa yang dilakukan Putri Kayangan?!”
“Bruss! Bruss! Bruss!”
Terdengar orang bersin tiga kali. Joko terlengak. “Aku ingat... Dengan terdengarnya suara bersinan, tiba-tiba aku bisa bergerak dan buka mulut serta buka mata!”
Murid Pendeta Sinting cepat gerakkan kepala ke arah suara orang bersin. Di bawah sebatang pohon, tampak duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut dengan tangan berpegangan pada satu tongkat butut yang ditancapkan di sampingnya. Sementara tangan kirinya diletakkan di atas paha. Kepala orang ini bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik meringis. Jelas kalau gerakan orang tua ini menunjukkan kalau dia hendak bersin. Namun sejauh ini dia tidak perdengarkan bersinan lagi.
“Datuk Wahing!” desis Joko mengenali siapa adanya orang tua di seberang sana. Namun Joko hanya sekilas memandang ke arah si kakek. Dia teringat kembali pada Putri Kayangan. Dia kembali gerakkan kepala dengan mata mengedar berkeliling. Karena tak menemukan orang yang dicari, Joko segera bergerak bangkit. Namun buru-buru Joko tahan gerakannya dan kembali jatuhkan diri duduk di atas tanah dengan mengomel.
“Busyet! Siapa yang melepas tali celana ku?!” ujar Joko seraya mengikat tali celananya. Saat itulah dia baru sadar. Matanya mendelik mengedar ke sekelilingnya.
“Pedang Tumpul 131 lenyap!” gumam Joko. Lalu meraba-raba sampai lututnya. Tapi dia benar-benar tidak menemukan pedang itu. “Apakah Putri Kayangan...”
Joko cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat mengitari tempat lereng bukit. Tapi sejauh ini dia tidak melihat sosok Putri Kayangan!
“Aku harus bertanya padanya!” Joko akhirnya memutuskan dan melangkah ke arah orang tua yang duduk di bawah pohon dan bukan lain adalah Datuk Wahing adanya.
“Kek! Kau melihat seseorang di sini tadi?!”
Datuk Wahing hentikan gerakan pulang balik kepalanya. Sepasang matanya menatap Joko sekilas. Lalu kembali kepalanya telah bergerak pulang balik malah kali ini seraya perdengarkan bersinan tiga kali.
“Bruss! Bruss! Bruss! Yang kau tanyakan laki-laki apa perempuan?!” kata Datuk Wahing.
“Seorang perempuan, Kek!”
“Gadis atau nenek-nenek?!”
“Gadis muda, Kek...!”
“Cantik atau jelek?!”
“Luar biasa cantik, Kek...!”
“Apa pakaian yang dikenakannya. Hijau, putih, kuning, atau hitam?!”
“Dia memakai baju warna merah...”
“Terlambat, Anak Muda! Dia telah pergi...”
“Celaka! Ke mana dia pergi, Kek...?!”
“Sayang... Dia tidak mengatakannya padaku. Bruss! Bruss! Bruss!”
“Tapi kau bisa menunjukkan arahnya!”
“Pada mulanya dia pergi ke arah selatan! Tapi aku tak yakin dia akan terus ke satu arah! Ada apa sebenarnya, Anak Muda?! Wajahmu tampak berubah! Dari celana mu tadi kurasa kau baru saja bersenang-senang. Mengapa kini jadi berbalik?!”
Tampang Joko merah padam. Dia cepat balikkan tubuh. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat.
“Bruss! Bruss! Bruuss! Percuma, Anak Muda! Aku yakin kau tidak akan bisa menemukannya!”
Murid Pendeta Sinting tahan gerakannya. Tanpa berpaling pada Datuk Wahing dia berkata. "Kau boleh merasa yakin, tapi aku juga yakin bisa menemukannya!”
“Bruss! Kau salah menilai orang, Anak Muda! Pandanganmu masih kurang jeli! Dan kau harus siap menerima kenyataan!”
Joko balikkan tubuh. “Kau mengenal gadis itu?!”
“Kau jangan heran. Aku tidak mengenalnya! Tapi aku tahu siapa dia! Dan kuharap kau tidak merasa heran pula kalau aku tanya adakah sesuatu yang hilang darimu?!”
“Pedangku lenyap! Aku hampir yakin gadis itu telah mengambilnya! Aku harus segera mengejar!”
Joko balikkan tubuh lagi, lalu berkelebat. Namun bersamaan itu satu benda tiba-tiba melayang dan menancap tepat di hadapan Joko. Tongkat butut Datuk Wahing!
“Bruss! Bruss! Aku yakin kau berilmu tinggi! Tapi adalah mengherankan kalau kau berhasil mengejar gadis itu!”
Joko terpaksa urungkan niat berkelebat karena gerakannya terhalang oleh tongkat Datuk Wahing. Joko putar diri dan memandang lekat-lekat pada Datuk Wahing. Sebelum dia berkata, Datuk Wahing sudah mendahului.
“Agar nantinya kau tidak lebih heran, ada sesuatu yang harus kau ketahui, Anak Muda!”
Mungkin sudah merasa agak jengkel, Joko segera sambuti ucapan Datuk Wahing. “Untuk saat ini aku tidak perlu tahu apa-apa! Aku memerlukan pedang itu!”
“Bruss! Bruss! Pedang bisa dicari! Tapi pengetahuan sukar diperoleh! Kalau kau sia-siakan pengetahuan ini, jangan heran kalau nantinya kau tertipu untuk kedua kalinya!”
“Apa maksudmu, Kek...?!”
“Bruss! Bruss! Kalau mulutku yang berucap, aku takut nanti kau tidak percaya dan heran! Lebih baik kau tunggu sebentar...”
Habis berkata begitu, Datuk Wahing gerakkan kedua tangannya merangkap di depan dada. Saat bersamaan, sepasang matanya terpejam. Anehnya, orang tua ini masih gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik seolah hendak bersin!
Karena merasa yakin orang tua itu berniat baik, malah sebelum ini memberi keterangan pada murid Pendeta Sinting, meski sedikit merasa jengkel, Joko akhirnya putuskan hati untuk turuti ucapan si kakek. Tapi setelah agak lama menunggu dan dilihatnya Datuk Wahing tetap bersikap seperti semula, kesabaran Joko habis. Dia memandang berkeliling lalu angkat bicara.
“Kek! Rasanya aku tak bisa menunggu!”
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Namun matanya tetap memejam. Murid Pendeta Sinting menunggu sejenak berharap si kakek akan buka mulut. Namun ternyata Datuk Wahing tidak juga perdengarkan suara. Hingga tanpa berkata lagi, Joko melangkah tinggalkan tempat itu.
“Bruss! Bruss! Anak muda! Tidak sabar adalah pangkal terjerumusnya orang!”
“Tapi kurasa aku sudah sabar menunggu! Hanya saja kalau aku tidak tahu pasti apa yang kutunggu, apa gunanya?! Malah dengan penantian ini aku kehilangan jejak!”
“Bruss! Penantian mu tidak sia-sia, Anak Muda! Namun kuharap kau jangan heran!”
Habis berkata begitu, Datuk Wahing angkat tangannya menunjuk ke satu arah. Murid Pendeta Sinting putar diri setengah lingkaran mengikuti arah tangan Datuk Wahing.
Memandang ke depan, sepasang mata murid Pendeta Sinting mementang besar tak berkesip. Malah saking terkejutnya, kedua kakinya melangkah mundur satu tindak!
“Aku tidak percaya...!” desis Joko.
“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau jangan heran! Dan kau jangan heran juga kalau kukatakan ini adalah kenyataan!”
Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, Joko telah berkelebat ke depan dan tegak di depan sana dengan mata semakin membelalak tak percaya!
***
SEMBILAN
"AKU tak percaya! Aku tak percaya!” Berkali-kali Pendekar 131 mendesis dengan mata dikedipkan lalu dipentang besar-besar.
“Keempatnya sudah jadi mayat ketika ku tinggalkan! Aku tahu pasti mereka terhantam Sapu Tangan Iblis milik nenek itu! Bagaimana mungkin mereka bisa hidup lagi?!”
Hanya sejarak tujuh langkah dari tempat murid Pendeta Sinting berada, tampak empat orang laki-laki bertelanjang dada. Kepala mereka plontos. Paras wajah keempatnya hampir sama dan sangat angker. Karena sepasang mata mereka berempat tidak membentuk ke samping melainkan ke bawah. Demikian juga mulut masing-masing orang. Tidak membujur ke samping tapi ke bawah mengikuti bentuk wajahnya yang lonjong!
Mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor. Di sebelah depan bagian kanan mengenakan celana kolor warna merah. Di samping orang ini memakai celana kolor warna hitam. Di belakang si celana kolor warna merah tampak laki-laki yang mengenakan celana kolor warna kuning. Sementara di sebelahnya tampak memakai celana kolor warna hijau!
Dari ciri dan tampang masing-masing orang, siapa pun yang melihatnya pasti mengatakan mereka adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Karena di pundak masing-masing orang ini terlihat melintang dua bambu besar yang di tengahnya terdapat sebuah tandu tertutup kain berwarna merah!
“Siapa kalian?!” Murid Pendeta Sinting langsung bertanya dengan mata terus memandang tak berkesip pada masing-masing orang di hadapannya.
Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tangan kirinya seolah memberi isyarat pada ketiga orang lainnya. Ini juga membuktikan kalau si celana kolor warna merah adalah yang menjadi pimpinan.
“Kau bertanya,” kata si celana kolor warna merah buka mulutnya yang membujur ke bawah. “Kami akan menjawab! Kami adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu!”
“Urusan gila apa lagi yang kuhadapi saat ini?!” gumam murid Pendeta Sinting begitu mendengar jawaban orang. Matanya kini beralih pada tandu di atas lintangan bambu yang tertutup kain merah. Joko coba tembusi kain penutup seolah ingin melihat orang didalamnya. Namun dia gagal mengetahuinya, hingga diakembali arahkan pandangannya pada satu persatu orang di hadapannya seraya berucap.
“Bukankah kalian telah jadi mayat?! Bagaimana mungkin kalian bisa hidup lagi?!”
“Setiap manusia hanya punya satu nyawa! Tidak mungkin kami hidup lagi setelah jadi mayat!” Yang berkata adalah si celana kolor warna merah.
“Tapi aku melihatnya sendiri! Kalian bertempur melawan nenek bernama Ratu Pewaris Iblis!”
“Kami baru saja mengadakan perjalanan jauh! Selama ini kami belum pernah terlibat sengketa dengan siapa pun!” Kembali si celana kolor warna merah menyahut membuat murid Pendeta Sinting tambah kebingungan.
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?! Apa penglihatanku yang salah?! Atau apa yang ku alami hanya mimpi?!”
Berpikir sampai di situ Joko ingat bahwa sejenak tadi dia mengalami keanehan. Dia seolah tidak bisa buka mata dan mulutnya, bahkan dia merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan.
“Apa dalam Keadaan begitu itu aku bermimpi?!”
Joko ingat pada pedangnya. Dia meraba ke balik pakaiannya. Dia kembali tersentak ketika mendapatkan Pedang Tumpul 131 tidak ada di balik pakaiannya. “Berarti aku tidak mimpi! Pedangku tidak ada!”
“Siapa yang ada di dalam tandu?!” Joko akhirnya ajukan tanya.
Keempat laki-laki yang baru saja sebutkan diri sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-masing saling pandang. Belum sampai ada yang buka suara, mendadak tirai kain penutup tandu bergerak membuka. Murid Pendeta Sinting jerengkan mata besar-besar. Yang terlihat pertama kali adalah sebuah tangan mulus yang baru saja bergerak singkapkan kain penutup tandu.
“Putri Kayangan!” desis Joko mengenali siapa adanya pemilik tangan yang baru saja membuka kain penutup tandu.
Murid Pendeta Sinting segera melompat ke depan. Dia lupa akan keheranannya melihat keempat laki-laki yang dilihatnya sudah tewas di tangan Ratu Pewaris Iblis. Dadanya sudah bergemuruh mendapati pedangnya lenyap dan dia sudah dapat menduga siapa gerangan yang mengambilnya. Maka seraya melompat, dia berseru.
“Putri Kayangan! Harap kau kembalikan pedangku!”
Orang di dalam tandu sesaat terkejut. Dia adalahseorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang dengan mata bulat.
“Jangan lancang bicara!” Tiba-tiba laki-laki bercelana kolor warna merah membentak. Tangan kirinya diangkat siap hendak lepas pukulan. Sementara ketiga lainnya serentak pula angkat tangan satu masing-masing.
“Putri Kayangan! Kau dengar ucapanku! Kembalikan pedang itu!” Joko kembali berteriak tanpa pedulikan keempat laki-laki yang sudah siap lepas pukulan.
Gadis di dalam tandu sesaat pandangi Joko dari bawah ke atas. Bibirnya sunggingkan senyum. Tangan kanannya bergerak. Terdengar ketukan halus tiga kali. Bersamaan dengan itu keempat laki-laki pemanggul tandu luruhkan tangan masing-masing.
“Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” Gadis di dalam tandu buka mulut.
“Kau telah tahu siapa aku! Jangan berlagak tidak kenal!”
“Baiklah! Aku tidak memaksamu untuk mengatakan siapa kau. Boleh aku tahu pedang apa yang kau suruh kembalikan?!”
“Kau masih juga berpura-pura!”
“Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan menuduh sembarangan!” Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat bicara lagi.
Mendengar sahutan orang, dada Joko jadi panas. Dia arahkan matanya pada keempat laki-laki di hadapannya. “Kalian boleh memiliki nyawa rangkap tiga! Tapi jangan kau kira aku tak bisa memutus ketiga rangkapan nyawa kalian!” Seraya berkata, murid Pendeta Sinting sudah kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu saling pandang. Lalu masing-masing orang gerakkan tangan masing-masing turunkan lintangan bambu di pundaknya. Begitu lintangan bambu telah di atas tanah, mereka segera tegak berjajar.
“Kami tidak pernah membuat urusan! Tapi kami tidak akan tinggal diam jika kau berkata yang bukan-bukan!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah.
“Apa kalian kira aku juga suka membuat urusan?! Justru junjungan mu itu yang bikin ulah! Dia mengajakku ke sini, lalu merayu ku. Ujung-ujungnya dia mengambil pedangku!”
“Sekali lagi kuperingatkan kau! Jangan bicara sembarangan!”
Murid Pendeta Sinting tertawa panjang. “Apa kalian kira lenyapnya pedangku urusan main-main, hah?!”
“Itu urusanmu! Yang jelas kami baru kali ini jumpa denganmu! Jadi adalah aneh kalau kau tiba-tiba menuduh macam-macam! Jangan-jangan kau hanya pura-pura!”
“Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang apa mau kalian?!” kata Joko seolah tidak sabar.
“Kau telah dengar! Kami tidak suka bikin urusan. Tapi kalau kau memaksa, kami akan meladeni kemauan mu!"
“Hem... Begitu?! Aku ingin tahu, apakah kalian memang punya rangkapan nyawa!”
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya dan langsung siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Seketika itu kedua tangannya disemburati warna kuning tanda dia telah kerahkan tenaga dalam.
Di depan sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak tinggal diam. Mereka segera bergerak membentuk barisan. Dua di depan dua lagi berada di belakang. Tangan masing-masing sudah pula terangkat.
Sesaat Joko pandangi gerakan orang. Di seberang sana Tokoh-tokoh Penghela Tandu juga memandang tak berkesip. Saat lain, Joko sudah gerakkan kedua tangannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera pula bergerak maju dengan membentuk barisan saling menyilang. Saat bersamaan tangan masing-masing orang juga bergerak.
“Tahan serangan!” Tiba-tiba terdengar seruan dari dalam tandu. Satu sosok tubuh melesat dan kini tegak menghalangi antara Joko dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Murid Pendeta Sinting menatap tajam pada gadis yang tegak di hadapannya. Matanya menelurusi sekujur tubuh si gadis seolah ingin mengetahui di mana pedangnya disembunyikan. Namun Joko tidak bisa menduga-duga, karena matanya tidak menangkap pedang miliknya.
“Tidak kusangka sama sekali kalau gadis cantik ini punya maksud buruk! Tapi aku harus berhati-hati. Dengan hidupnya keempat manusia itu, berarti mereka dan gadis ini punya ilmu langka!”
Baru saja Joko membatin begitu, gadis di hadapan murid Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Putri Kayangan sudah angkat bicara.
“Kira harus bicara! Ada yang tidak beres dalam urusan ini”
“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan! Dan yang tidak beres adalah kau sendiri! Kalau kau ingin bicara, serahkan dahulu pedangku!”
Putri Kayangan tersenyum. “Kau harus percaya! Aku dan teman-temanku baru kali ini bertemu denganmu. Maka kita perlu bicara dahulu dan menunda urusan pedangmu!”
Murid Pendeta Sinting tertawa pendek. “Aku perlu pedang itu! Aku tidak perlu bicara panjang lebar yang tidak adagunanya!”
“Pembicaraan kita masih ada hubungannya dengan pedangmu! Dan dari pembicaraan ini kuharap nantinya urusan bisa selesai!”
“Tak ada yang bisa selesai di sini tanpa kau serahkan kembali pedangku!”
“Bruss! Bruss! Bruss! Anak muda. Jangan turutkan kekesalan hati! Ucapan gadis itu benar. Jadi beri kesempatan padanya untuk bicara! Kalau tidak, kau nanti akan merasa heran dan tambah kesal!” Tiba-tiba Datuk Wahing menyela.
Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Datuk Wahing lalu menjura hormat seraya berkata. “Gembira sekali hari ini aku bisa berjumpa dengan tokoh besar. Datuk Wahing terimalah hormatku...”
Pada saat Putri Kayangan menjura hormat, keempat laki-laki di belakangnya membuat gerakan sama dengan Putri Kayangan. Mereka bungkukkan sedikit tubuh masing-masing. Pendekar 131 berpaling pada Datuk Wahing.
“Kek! Kiranya tak ada yang perlu dibicarakan antara aku dengan dia! Jelas-jelas aku bersamanya di sini sebelum kau datang! Dia yang mengajakku ke sini! Dia meminta ku bercerita. Aku turuti permintaannya. Lalu dia merayu ku. Dan akhirnya aku terlelap! Ketika kau datang, tiba-tiba aku siuman! Dia sudah tidak ada di sini! Dan pedangku lenyap! Apa lagi yang perlu dibicarakan?! Semuanya sudah jelas!”
“Bruss! Bruss! Gadis cantik. Kau jangan membuatku heran dengan ucapan sanjungan yang berlebihan!” ujar Datuk Wahing sambuti ucapan Putri Kayangan. Lalu arahkan pandangan matanya pada Pendekar 131. Dia tersenyum lalu berkata.
“Anak muda... Kau jangan heran jika kukatakan, ucapanmu benar menurut pandang matamu! Tapi keliru jika nanti kau telah dengar keterangan gadis cantik itu! Jadi, tabahkan hati untuk menunda urusan pedang dan bicaralah baik-baik dahulu...”
“Kek! Kau sepertinya membela gadis ini! Apa hubunganmu dengannya?!”
“Brusss! Heran... Bagaimana kau bisa mengatakan aku membelanya?! Aku cuma memberi saran! Ini juga untuk kebaikanmu kelak agar kau tidak lagi merasa heran jika bertemu dengan urusan yang sama!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Urusan gila macam apa pula ini?!”
“Ini bukan urusan gila...” ujar Putri Kayangan. “Kau mau katakan dahulu siapa kaua danya?!”
Joko menoleh pada Putri Kayangan. Dengan enggan dia akhirnya berucap. “Aku Joko Sableng!”
“Melihat sikapmu tadi, tentu pedang yang kau kira kuambil adalah senjata sakti...”
“Bukan hanya sakti, tapi aku bisa celaka kalau pedang itu hilang!”
“Bisa sebutkan nama pedang itu?!”
Joko menghela napas sejenak untuk menindih perasaan. Lalu berkata menjawab. “Pedang Tumpul 131!”
Tiba-tiba Putri Kayangan membuat gerakan bungkukkan sedikit tubuhnya dan berkata. “Jika demikian saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Terimalah hormatku...”
Kali ini meski Putri Kayangan membuat sikap menjura, namun Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak mengikuti gerakan Putri Kayangan. Mereka hanya tegak sambil menatap lekat-lekat pada murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 sendiri tidak sambuti gerakan Putri Kayangan. Dia hanya memandang sambil tertawa. Dalam hati dia berkata. “Ulah apa lagi yang hendak dilakukan gadis ini?! Tapi jangan kira aku bisa percaya lagi denganmu...!”
“Pendekar 131! Aku tidak menyalahkanmu kalau kau menuduhku! Aku...”
“Kau telah mengaku! Serahkan saja pedang itu!” Joko sudah memotong ucapan Putri Kayangan.
“Ucapanku belum selesai...” ujar Putri Kayangan. “Kau telah mengenaliku juga teman-temanku padahal kita baru saja bertemu. Aku bisa menduga jika sebelum ini kau jumpa dengan seorang gadis berbaju merah yang juga bersama empat laki-laki!Betul?”
Pendekar 131 tidak menjawab. Putri Kayangan tidak marah. Malah sunggingkan senyum lalu lanjutkan ucapannya. “Aku menduga kau baru saja bertemu dengan Pitaloka dan teman-temannya...”
“Kau jangan mengada-ada! Pandanganku masih normal! Aku tidak bertemu dengan Pitaloka! Aku bertemu denganmu!”
Putri Kayangan masih juga sambuti ucapan murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. “Pandanganmu memang masih normal, Pendekar 131! Namun kau salah pandang. Yang baru kau jumpai bukan aku, tapi Pitaloka! Dia adalah saudara kembar ku! Dia juga punya empat teman laki-laki yang juga saudara keempat temanku itu!”
Pendekar 131 tegak dengan tubuh sedikit bergetar. Matanya mendelik perhatikan lama-lama sekujur tubuh gadis di hadapannya. Lalu beralih pada satu persatu dari empat laki-laki di belakang Putri Kayangan.
“Sebenarnya aku dan teman-teman tidak ingin terlibat dalam dunia persilatan! Namun akhir-akhir ini kami banyak mendapat tuduhan jelek! Padahal selama ini kami tidak pernah berbuat macam-macam! Kami masih coba bersabar, namun tudingan orang nampaknya sudah sangat keterlaluan! Akhirnya kami sepakat untuk menjernihkan masalah ini! Dan kami tahu siapa adanya orang yang melakukannya! Untuk itulah kami mengadakan perjalanan!” Putri Kayangan memberi keterangan.
“Bruss! Bruss! Anak muda... Kuharap penjelasan gadis itu tidak membuatmu heran dan lebih-lebih bisa kau terima!” Datuk Wahing angkat suara.
Mungkin masih kaget, untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting terdiam. Hanya bola matanya yang bergerak memandang silih berganti pada Putri Kayangan dan keempat laki-laki di belakang si gadis.
***
SEPULUH
GILA! Aku benar-benar bisa jadi gila menghadapi urusan ini!" gumam Pendekar 131 setelah agak lama menatapi Putri Kayangan dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Karena bagaimanapun juga dia menelusuri sekujur tubuh orang-orang di hadapannya, dia tetap tidak bisa membedakan dengan orang-orang yang baru saja ditemuinya beberapa waktu yang lalu.
“Bruss! Bruss! Kau tak usah jadi gila menghadapi urusan ini, Anak Muda! Semua adalah kenyataan. Justru kau harus bersyukur, karena kau tidak akan dibuat heran di kelak kemudian hari!”
Murid Pendeta Sinting berpaling pada Datuk Wahing. Lalu bertanya. “Kek! Aku baru saja bertemu dengan gadis yang dikatakan gadis ini sebagai Pitaloka! Padahal aku tidak bisa membedakan antara gadis ini dengan Pitaloka! Sekarang aku tanya. Bagaimana kau bisa membedakan keduanya?!”
“Bruss! Aku sendiri heran bagaimana bisa membedakan. Tapi sebaiknya kau tanyakan saja keheranan mu itu pada gadis cantik didepanmu!”
Murid Pendeta Sinting hadapkan wajahnya pada Putri Kayangan. Putri Kayangan sunggingkan senyum lalu berkata.
“Aku dan Pitaloka adalah saudara kembar. Kalau orang tidak teliti, pasti akan keliru!” Putri Kayangan angkat tangan kirinya sambil dikembangkan kelima jarinya. “Pada ibu jari tangan kiriku ada satu tahi lalat! Tapi tidak ada tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Pitaloka! Itulah yang bisa membedakan antara kami berdua!”
Putri Kayangan tarik pulang tangan kirinya. Lalu lanjutkan ucapan. “Untuk keempat temanku itu, mungkin tidak ada gunanya lagi kusebutkan apa tanda yang bisa membedakan dengan teman-teman Pitaloka, karena menurutmu mereka sudah tewas!”
“Hem... Kau kira-kira dapat menduga ke mana saudara kembar mu itu pergi?!” tanya Joko.
Putri Kayangan menggeleng. “Sukar ditebak ke mana dia pergi! Tapi kami akan tetap mencarinya!”
“Aku ikut!” sahut Pendekar 131.
“Kami tidak bisa mengajak mu ikut serta!”
“Tapi pedangku dibawanya!”
“Itu urusanmu dengan Pitaloka! Kami hanya ingin membawa Pitaloka pulang dan menyadarkannya! Dan kami tidak mau terlibat urusanmu dengannya!”
Habis berkata begitu Putri Kayangan melangkah satu tindak ke belakang. Lalu balikkan tubuh. Sekali membuat gerakan, sosoknya melesat masuk ke dalam tandu. Bersamaan dengan itu terdengar ketukan halus tiga kali dari dalam tandu. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera berkelebat. Saat lain keempat laki-laki ini telah angkat lintangan bambu di mana tandu berada. Lalu melintangkannya membujur di pundak masing-masing orang.
“Putri Kayangan! Saat ini kau dan teman-temanmu boleh pergi. Tapi jangan kira urusan ini selesai! Aku akan buktikan ucapanmu bahwa kau memang punya saudara kembar!”
Tirai kain merah penutup tandu terbuka. “Usulmu baik. Kau masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan! Dan sebelum aku pergi, boleh aku tanya sesuatu padamu?!”
“Kau mau tanya apa?!”
“Apakah benar berita yang kini tersebar dalam rimba persilatan jika kau telah mendapatkan Kembang Darah Setan?!”
“Aku tidak pernah melihat barang yang kau tanyakan! Jadi kau tentu sudah bisa menduga maksud ucapanku!”
“Terima kasih! Aku cuma ingin kepastian tentang kabar itu...” ujar Putri Kayangan. Lalu memandang ke arah Datuk Wahing dengan kepala digerakkan menunduk sedikit.
“Kakek Datuk Wahing... Kami harus pergi...”
“Bruss! Bruss! Kalau tidak ada hal yang mengherankan lagi, memang lebih baik kalian segera lanjutkan perjalanan...”
Putri Kayangan angkat kepalanya. Bola matanya sejenak memandang ke arah Pendekar 131 yang saat itu juga tengah memandangnya. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pandang. Tidak ada yang buka suara. Namun Putri Kayangan merasakan dadanya berdebar. Paras wajahnya yang cantik jelita sesaat merona merah. Lalu cepat-cepat gadis ini gerakkan tangan untuk menutup kain tandu. Bersamaan dengan tertutupnya kain tandu, Tokoh-tokoh Penghela Tandu bergerak melangkah tinggalkan tempat itu.
“Rasanya sulit dipercaya! Kedua-duanya sama cantik! Dan mungkin aku masih belum bisa membedakan mana yang sempat ku cium dan mana yang belum! Sayangnya, salah satu dari mereka telah berani membuat ulah tidak benar! Hm... Urusan Kembang Darah Setan belum selesai, kini ditambah lagi dengan urusan ini!”
“Bruss! Ada yang masih membuatmu merasa heran, Anak Muda?!” Bertanya Datuk Wahing.
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu melangkah ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing sendiri tampak bergerak bangkit lalu melangkah ke arah tongkatnya yang tadi dilemparkan untuk menghalangi kepergian Joko Sableng.
“Kek! Kau bisa tunjukkan padaku di mana Kampung Setan berada?!”
“Tidak ada gunanya, Anak Muda! Kau hanya akan menemui keheranan berlipat ganda! Yang penting bagimu, carilah orang yang selama ini berperan sebagai dirimu! Caranya tentu saja kau bisa berpikir sendiri bagaimana! Yang pasti kau harus tanggalkan dulu siapa dirimu!”
Datuk Wahing cabut tongkatnya. Setelah bersin dua kali, kakek ini perlahan-lahan melangkah meninggalkan Pendekar 131. Saat itulah Joko baru teringat akan pertemuannya dengan seorang nenek berusia lanjut yang sebutkan diri sebagai Nyai Suri Agung. Joko buru-buru melompat dan menghadang jalan Datuk Wahing seraya berkata.
“Kek! Kau pernah kenal dengan seorang nenek bernama Nyai Suri Agung?!”
Datuk Wahing yang hendak bersin tiba-tiba diurungkan. Sepasang matanya menatap Joko lekat- lekat. “Kau pernah bertemu dengannya?!” Datuk Wahing balik bertanya.
“Setelah kepergianmu beberapa saat yang lalu, aku sempat jumpa dengan seorang nenek yang katakan dirinya sebagai Nyai Suri Agung!” Lalu Joko katakan pula ciri-ciri orang yang dijumpainya.
Raut wajah Datuk Wahing sesaat berubah. Namun kejap lain kakek ini telah perdengarkan bersinan beberapa kali lalu berucap. “Aku harus segera pergi, Anak Muda...”
“Kau belum jawab pertanyaanku, Kek! Kulihat wajahmu berubah! Ada yang mengherankan tentang nenek yang kukatakan tadi?!”
“Bruss! Bruss! Terus terang, Anak Muda! Aku memang mengenal nenek itu! Tapi jangan heran kalau aku tak bisa mengatakan siapa dia adanya!”
“Ah... Jangan-jangan dia kekasihmu. Wajahmu sepertinya mengungkapkan perasaan suka dan rindu...!”
“Bruss! Kau masih harus belajar banyak untuk menduga orang dari perubahan wajahnya! Karena itu jangan merasa heran kalau kukatakan dugaanmu salah!”
“Busyet! Dia tidak bisa dipancing!” kata Joko dalam hati. Lalu berkata. “Aku tidak mungkin salah duga! Kau yang berpura-pura! Kau malu padaku!”
Datuk Wahing tertawa bergelak mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. Anehnya di tengah gelakan tawanya, Datuk Wahing masih menyelanya dengan bersinan beberapa kali! “Aku tidak pernah berpura-pura apalagi malu! Kalaupun aku merasa malu, itu kalau aku tidak heran dengan sesuatu! Bruss!”
Joko ikut-ikutan tertawa mendengar kata-kata Datuk Wahing. “Bagaimana kau bisa mengatakan begitu kalau nenek itu mengatakan kau adalah kekasihnya?!”
“Jangan bicara mengherankan, Anak Muda!”
“Aku berkata apa adanya! Dia mengaku sebagai kekasihmu dan kini tengah mencarimu!”
Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting menangkap perubahan pada wajah si Datuk. Namun sejauh ini sebenarnya Joko belum bisa menebak secara pasti apa hubungan antara Datuk Wahing dengan Nyai Suri Agung. Dia hanya dapat meraba-raba dengan menghubungkan keterangan Datuk Wahing pada bebe- rapa waktu yang lalu. (Soal keterangan Datuk Wahing pada Joko silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan)
“Anak muda! Aku tahu... Bicaramu ada yang kau tambah! Dia mengaku mencariku mungkin bisa kuterima! Tapi kalau dia mengaku kekasihku, itu yang membuatku heran! Dan aku tak sungkan mengatakan kalau itu adalah tambahan mu sendiri!”
“Kek! Kalau dia mencarimu, apakah kau punya urusan dengannya?!”
“Kau telah bertemu dengannya. Adalah satu hal yang mengherankan kalau sekarang kau tanya padaku!”
“Aku tidak sempat menanyakannya!”
“Itulah kekeliruan mu! Kalau kau ingin jawabannya, tanyakan padanya mengapa dia mencariku! Tentu dia telah mengatakan padamu di mana dia bertempat tinggal!”
“Aku juga tidak sempat menanyakannya!”
“Bruss!”
“Itu kekeliruan mu yang kedua! Dan itu menunjukkan kalau kalian berdua hanya bicara sebentar!”
“Kau keliru, Kek! Aku...”
“Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau masih harus belajar banyak untuk urusan tipu menipu, Anak Muda! Kau tahu... Aku bisa menebak apa yang dikatakan nenek itu padamu!”
Joko terdiam. Datuk Wahing bersin dua kali lalu buka mulut. “Dia pasti menanyakan apakah Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Benar atau mengherankan ucapanku ini, Anak Muda?!”
Murid Pendeta Sinting makin terdiam. Datuk Wahing bersin-bersin seraya tertawa ngakak. Kali ini suara bersinan yang ditingkah suara gelakan tawa laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Malah Joko harus angkat kedua tangannya untuk menutupi telinga karena suara bersinan dan gelakan tawa itu menyentak-nyentak gendang telinga!
Datuk Wahing putuskan suara tawa dan bersinannya. Memandang sejurus pada Joko lalu teruskan langkah. Hebatnya, suara bersinan dan tawa terus saja terdengar menggema di tempat itu dan laksana datang dari delapan penjuru! Murid Pendeta Sinting coba salurkan tenaga untuk menutup pendengarannya. Begitu berhasil, ternyata sosok Datuk Wahing sudah tidak kelihatan lagi!
“Aku kena batunya! Tapi satu hal yang pasti aku sedikit banyak bisa menduga siapa adanya Datuk Wahing dan siapa pula nenek itu! Dan kalau dugaanku benar, aku sudah bisa memastikan siapa sebenarnya Setan Liang Makam!” gumam Joko seraya memandang berkeliling.
"Turut ucapan orang tua itu, sebaiknya aku sekarang memang tanggalkan siapa diriku! Dengan demikian, nantinya hanya ada satu Joko Sableng! Dan aku dengan mudah bisa menangkap basah!” Joko tengadahkan kepala. Lalu menepuk jidatnya sendiri.
“Heran! Mengapa aku tidak berpikir begitu sejak dahulu?! Bukankah dengan demikian hanya ada satu Joko Sableng dan yang pasti itu adalah Joko yang palsu!”
Sambil senyum-senyum sendiri akhirnya murid Pendeta Sinting melangkah tinggalkan tempat itu.
***
SEBELAS
MATAHARI sudah melambung jauh hampir mencapai titik tengahnya. Udara panas menyengat bukan alang kepalang. Satu sosok tubuh mengenakan topi pandan lebar tampak melangkah perlahan-lahan melewati sebuah dataran berumput tebal yang di sebelah ujung sananya terlihat beberapa jajaran pohon besar.
Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya tidak bisa dikenali karena wajahnya hampir sebagian tertutup oleh lebarnya caping pandan di kepalanya yang sengaja dipakai masuk ke dalam. Rambutnya pun sengaja digeraikan ke depan menutupi kanan kiri wajahnya. Kumisnya lebat berwarna putih. Dia mengenakan pakaian putih-putih.
Sambil melangkah sesekali orang ini perdengarkan gumaman tak jelas. Saat lain dia dendangkan nyanyian. Dan kadang-kadang tangan kanannya diangkat ke telinga. Entah apa yang dilakukan, begitu tangannya terangkat sejajar telinga, langkahnya berubah menjadi berjingkat-jingkat. Laki-laki ini berjalan dengan kepala selalu menunduk namun sepasang matanya tak henti-hentinya memperhatikan dengan seksama setiap tempat yang dilewati.
“Busyet benar! Kepalaku jadi pening terus-terusan merunduk!” gumam si laki-laki.
Kepalanya lalu bergerak ke kiri kanan dengan mata melirik. Tiba-tiba dia angkat kepalanya tengadah. Lalu kepalanya digerakkan teleng ke pundak kiri kanannya.
Kretekk! Kreteekk!
“Hem... Asyik rasanya bisa menekuk leher!” Laki-laki ini untuk beberapa lama mendongak sambil menghirup udara banyak-banyak. Tapi mendadak, laksana disentak tangan setan, kepalanya disentakkan ke bawah merunduk lagi. Saat yang sama sepasang matanya melirik jauh kedepan.
“Ada orang... Melihat dari bentuk tubuh dan pakaiannya dia adalah laki-laki! Sialan benar! Mengapa yang kutemui laki-laki?! Bukannya seorang gadis. Tapi siapa tahu laki-laki itu bisa membantu...”
Si laki- laki berkata sendiri dalam hati lalu lanjutkan langkah dengan kepala menunduk. Begitu hampir sampai pada jajaran pohon, si laki-laki bercaping lebar hentikan langkah. Matanya melirik ke depan. Dari tempatnya tegak, dia melihat satu sosok tubuh sedang bersandar di balik satu batang pohon. Laki-laki ini belum bisa melihat raut wajah orang karena orang itu berada di balik pohon. Dia hanya bisa melihat orang itu mengenakan pakaian hitam-hitam. Mendadak si laki-laki bercaping lebar tersentak. Telinganya lamat-lamat mendengar orang terisak.
“Heran... Sosok tubuhnya seperti laki-laki tapi mengapa menangis?! Hem... Kalau laki-laki yang menangis, sebabnya pasti ulah asmara...”
Si laki-laki bercaping lebar gelengkan kepala. Lalu lanjutkan langkah. Dia sengaja melewati pohon dimana orang bersandar seraya menangis terisak. Malah begitu lewat, si laki-laki sengaja perdengarkan deheman beberapa kali. Orang yang bersandar sekonyong-konyong putuskan isakan tangisnya. Secepat kilat diaputar tubuh lalu menghadap ke arah sumber deheman. Ternyata dia adalah seorang pemuda berparas sangat tampan berkulit putih bersih. Rambutnya hitam lebat dengan sepasang mata bulat. Ketampanannya masih ditingkahi dengan kumis tipis di atas bibirnya yang sedikit berwarna merah.
Mungkin karena tenggelam dengan perasaan, pemuda berpakaian hitam-hitam ini tidak bisa menyiasati kedatangan si laki-laki bercaping lebar, kalau saja si laki-laki bercaping tidak perdengarkan deheman. Malah saking terkejutnya, si pemuda yang baru saja perdengarkan isakan tangis tidak sempat mengusap air matanya. Hingga dengan jelas si laki-laki bercaping masih bisa melihat air mata si pemuda.
Untuk beberapa saat si pemuda berkumis tipis memandangi laki-laki bercaping lebar. Namun sejauh ini dia belum buka mulut berkata. Sebaliknya si laki-laki bercaping lebar mendadak tersentak kaget. Malah saking kagetnya, kepalanya yang menunduk terangkat. Sepasang matanya membesar. Namun kejap lain laki-laki ini tundukkan kepalanya lagi.
“Aku tak salah lihat. Aku masih mengenalinya. Dia mengenakan samaran seperti dahulu” kata si laki-laki bercaping lebar. “Tapi mengapa dia berada di sini?! Lebih-lebih, apa yang membuatnya menangis terisak?!” Si laki-laki bercaping menduga-duga dalam hati.
Setelah melirik sejurus dan dilihatnya si pemuda berkumis tetap memandangnya tanpa buka suara, akhirnya si laki-laki bercaping angkat bicara.
“Maaf kalau kedatanganku membuatmu terkejut. Aku hanya lewat! Dan tidak sengaja mengejutkanmu...”
Si pemuda berkumis tipis gelengkan kepala dan coba tersenyum meski jelas dipaksakan. Lalu buka mulut sambuti ucapan si laki-laki bercaping. “Tidak apa... Aku juga minta maaf karena kulihat kau juga kaget...”
“Mudah-mudahan dia tidak...” Si laki-laki bercaping belum sempat lanjutkan kata hatinya, si pemuda berkumis sudah angkat suara lagi.
“Orang tua... Boleh aku tanya padamu?!”
Si laki-laki bercaping lebar tersenyum. Lalu angkat tangannya mengelus kumisnya yang lebat seraya berkata pelan. “Kau mau tanya apa?!”
“Kau tahu letak Jurang Tlatah Perak...?!”
Yang ditanya melengak kaget. Namun cepat-cepat tersenyum dan berkata. “Anak muda. Jurang Tlatah Perak berada jauh dari sini! Kira-kira perjalanan dua hari satu malam ke jurusan timur...”
“Terima kasih...”
“Anak muda. Sekarang boleh aku tanya padamu?!”
Pemuda berkumis tipis sesaat pandangi orang dihadapannya lalu anggukkan kepala.
“Mau katakan apa tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak?! Karena kudengar jurang itu sangat angker dan jarang dikunjungi manusia!”
“Orang tua... Untuk pertanyaanmu, harap kau tidak menyesal karena aku tidak bisa katakan apa tujuanku kesana!”
“Ah... Aku ingat sekarang!” Tiba-tiba laki-laki bercaping lebar berujar seolah berkata pada dirinya sendiri. “Dari pertanyaanmu, aku bisa menduga kau adalah dari kalangan persilatan!”
“Orang tua! Bagaimana kau bisa menduga demikian?!”
“Menurut cerita yang pernah kudengar, entah benar atau salah, Jurang Tlatah Perak dihuni oleh seorang tokoh dunia persilatan yang pada beberapa puluh tahun silam namanya pernah menggegerkan dunia persilatan! Kalau tidak salah dengar, tokoh itu bernama...” Si laki-laki bercaping tidak lanjutkan ucapan. Dia seolah sedang mengingat-ingat. Sementara sepasang matanya melirik tajam pada si pemuda dihadapannya.
“Yang kau maksud Pendeta Sinting?!” kata si pemuda berkumis tipis.
“Ah... Benar! Pendeta Sinting!” ujar si laki-laki bercaping lebar. “Apa kau hendak menemuinya?!”
Sesaat yang ditanya diam. Namun tak lama kemudian menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya.
“Hem... Ingat akan Pendeta Sinting aku juga jadi ingat pada cerita orang yang akhir-akhir ini membicarakan tentang seorang pemuda murid Pendeta Sinting! Apa kau juga pernah mendengarnya?!”
Tampang si pemuda berkumis tipis mendadak berubah tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Sambil palingkan wajah, dia berucap. Suaranya bergetar. “Aku pernah mendengar! Malah aku mengenalnya!”
“Ah... Kau beruntung bisa kenal dengannya...”
Si pemuda mendengus. Entah karena tak dapat menahan perasaan, akhirnya pemuda ini enak saja berkata. “Kau salah, Orang Tua! Bukannya beruntung dapat mengenalnya! Justru celaka yang kudapatkan!”
Si laki-laki terkejut lagi. “Bagaimana bisa begitu, Anak Muda?!”
“Ternyata dia bukan pemuda seperti yang selama ini dibicarakan orang! Orang-orang tidak tahu siapa sebenarnya pemuda murid Pendeta Sinting itu!”
“Hem... Lantas siapa dia sebenarnya?!”
“Dia adalah manusia menjijikkan! Manusia yang tidak punya perasaan!”
“Anak muda! Kau bicara soal perasaan. Padahal yang biasa membicarakan soal perasaan adalah seo- rang perempuan! Kulihat kau tadi juga sedang terisak, apa sebenarnya yang terjadi?! Sebab, yang biasanya menangis terisak juga adalah seorang perempuan...”
Si pemuda berkumis berpaling dengan wajah terkejut. Sebelum pemuda ini buka mulut, si laki-laki bercaping telah mendahului.
“Aku tidak pandai menduga. Tapi dari ucapan dan sikapmu, aku melihat kau menutupi sesuatu...”
Si pemuda berkumis menghela napas panjang dan dalam. “Orang tua... Terus terang... Sebenarnya aku adalah seorang gadis...”
Si laki-laki bercaping tertawa panjang hingga bahunya berguncang-guncang. “Sekarang aku baru bisa menduga terusannya! Kau tentu baru saja dikecewakan oleh pemuda murid Pendeta Sinting itu. Benar bukan dugaanku?!”
Pelipis kiri kanan si pemuda berkumis yang bukan lain adalah Saraswati bergerak-gerak. Tubuhnya sedikit bergetar. “Dia bukan hanya mengecewakanku, tapi perbuatannya sudah tidak pantas lagi dilakukan oleh seorang yang bergelar pendekar!”
Si laki-laki bercaping sekali lagi tampak tersentak kaget. “Boleh aku tahu apa yang dilakukannya terhadapmu?!”
“Tak pantas untuk diceritakan pada orang lain! Yang pasti tindakannya sudah di luar batas dan patut diganjar dengan selembar nyawanya!”
Si laki-laki bercaping tertawa. “Anak muda. Ah, maaf. Anak gadis... Aku tahu... Biasanya seorang gadis menggunakan perasaan dalam segala hal. Mungkin saat ini kau masih tenggelam dalam perasaan! Hingga urusan yang sepele jadi tampak besar! Dan tindakan yang bisa diselesaikan dengan baik-baik harus dibayar dengan nyawa. Hem... Ada gadis lain yang membuatmu cemburu?!”
“Aku bicara ini bukan karena cemburu!”
“Jadi...”
“Aku tak bisa mengatakan padamu, Orang Tua! Yang jelas aku akan membalas sakit hati ini!”
“Jadi tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak untuk membalas sakit hatimu?!”
Saraswati gelengkan kepala. “Aku hanya ingin yakinkan apakah benar tempat itu dihuni Pendeta Sinting!”
“Kau ini aneh... Siapa pun kalangan rimba persilatan pasti sudah yakin kalau tempat itu dihuni Pendeta Sinting!”
“Kabar perlu pembuktian! Aku baru saja mengalami kejadian yang tidak beres! Aku perlu bukti apakah Pendeta Sinting berada di sana!”
“Kau bisa menjelaskan kejadiannya?!”
Saraswati gelengkan kepala. “Aku tidak mau orang lain terlibat dalam urusan ini! Dan kuharap kau merahasiakan apa yang kau ketahui tentang diriku. Sekarang aku harus pergi!”
Seperti diketahui, Saraswati sempat bertemu dengan ibunya yang saat itu sedang berbincang dengan Kiai Laras. Ibu Saraswati, yang bukan lain adalah Lasmini saat itu sedang mencari jejak Pendeta Sinting dan muridnya. Kebetulan Kiai Laras mengetahui di mana beradanya orang yang dicari Lasmini. Dengan diantar Kiai Laras, akhirnya Lasmini sampai ke lereng Bukit Kalingga. Karena merasa curiga dengan Kiai Laras, diam-diam Saraswati mengikuti ke mana ibunya dan Kiai Laras mencari Pendeta Sinting dan Pendekar 131.
Di Bukit Kalingga ternyata Lasmini disambut oleh seorang pemuda yang Lasmini mengenalnya sekali karena dia bukan lain adalah Pendekar 131. Terjadi perkelahian antara Lasmini dan Pendekar 131. Akhirnya Lasmini dapat dikalahkan Pendekar 131. Saraswati coba membantu dan melerai. Namun baik Lasmini maupun Pendekar 131 tidak ada yang saling mengalah. Hingga pada akhirnya Lasmini dibawa masuk ke dalam goa oleh Pendekar 131. Saraswati tidak bisa berkutik karena dia dalam keadaan tertotok.
Pada akhirnya Saraswati dibebaskan oleh Pendekar 131 tapi dengan syarat Saraswati harus segera pergi dari Bukit Kalingga. Saraswati menolak. Dia baru mau meninggalkan Bukit Kalingga jika bersama ibunya. Akhirnya terjadi perkelahian. Pendekar 131 sempat merobek pakaian di bagian dada Saraswati. Saraswati marah.
Namun dia sadar, ilmu yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar 131 hingga seraya membawa rasa kecewa dan geram, Saraswati tinggalkan Bukit Kalingga. Saraswati terus berpikir. Dan pada akhirnya dia memutuskan untuk menuju Jurang Tlatah Perak. Dia ingin buktikan ucapan Kiai Laras apakah benar Pendeta Sinting berada di Bukit Kalingga. Karena dia merasa curiga dengan Kiai Laras.
“Tunggu” tahan laki-laki bercaping lebar. Saraswati hentikan langkah.
“Kau mengatakan kecewa dengan murid Pendeta Sinting. Itu berarti kau telah bertemu dengannya. Kau mau mengatakan padaku di mana kau bertemu dengan murid Pendeta Sinting Itu?!”
“Orang tua! Kuharap kau tidak ikut campur urusan ini...!”
“Bukan maksudku ikut campur! Apalagi aku ini orang tua yang tidak punya kepandaian apa-apa! Tapi sekadar ingin tahu tidak apa-apa, bukan?! Siapa tahu kelak aku bisa mencegah setiap orang yang akan menuju tempat yang...”
Belum sampai si laki-laki bercaping lebar lanjutkan ucapan, Saraswati telah menukas. “Dia berada di kaki Bukit Kalingga!”
“Terima kasih, Anak Gadis... Dengan keteranganmu ini aku bisa mencegah orang yang hendak menuju Bukit Kalingga agar tidak mengalami nasib sama denganmu!”
“Orang tua! Satu hal yang harus kau ingat baik-baik! Kuharap kau melupakan apa yang pernah kita bicarakan ini!”
“Tapi itu tidak berarti aku harus boleh melupakanmu, bukan?!”
Saraswati berpaling. Sepasang matanya sedikit membelalak. Si laki-laki bercaping lebar tertawa. “Jangan berprasangka buruk terhadap ucapanku! Aku tahu siapa diriku! Tua bangka bau tanah. Dan kau seorang gadis muda berparas cantik jelita! Adalah satu hal aneh dan gila kalau aku mengharapkan sesuatu darimu! Kalaupun baru saja aku berkata tidak harus melupakanmu, itu ungkapan ku sebagai orang tua pada anaknya...”
Saraswati tersenyum. Si laki-laki bercaping lebar balas tersenyum. Lalu berkata. “Apa kau akan teruskan perjalanan ke Jurang Tlatah Perak?!”
“Aku perlu bukti! Aku harus ke sana!”
“Kenapa kau perlu bukti?!”
“Seseorang mengatakan Pendeta Sinting tidak berada di Jurang Tlatah Perak!”
“Tapi di Bukit Kalingga! Begitu bukan lanjutan ucapanmu?!”
Saraswati anggukkan kepala. Si laki-laki bercaping lebar buka mulut lagi. “Apakah waktu di Bukit Kalingga kau tidak sempat berjumpa dengan Pendeta Sinting?!”
“Aku tidak jumpa dengannya di sana! Yang kutemui hanya muridnya yang gila itu!” Habis berkata begitu, Saraswati berpaling ke depan. Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.
Si laki-laki bercaping lebar menghela napas panjang. Dia terus pandangi langkah-langkah si gadis sampai sosoknya lenyap jauh di depan sana. Begitu sosok Saraswati tidak kelihatan lagi, si laki-laki bercaping berkelebat cepat dan berlari laksana setan tinggalkan tempat itu.
***
DUA BELAS
LAKI-LAKI bercaping lebar itu terus berlari laksana dikejar setan. Dia sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya pada orang yang lewat. Saat lain dia telah lanjutkan berlari. Ketika saat telah menjelang dini hari, laki-laki bercaping lebar telah sampai pada kawasan sebuah bukit yang menurut beberapa orang yang sempat ditanyai adalah Bukit Kalingga.
“Mumpung hari belum terang, aku punya banyak waktu untuk menyiasati keadaan!” gumam laki-laki bercaping seraya arahkan pandangannya berkeliling. Dia harus tajamkan mata karena keadaan di sekitar tempat dia berada sangat gelap.
Laki-laki bercaping lebar mulai melangkah mengitari lereng bukit. Dia bergerak hati-hati. Malah sesekali menyelinap sembunyi di balik batangan pohon. Namun karena keadaan gelap dan tempat itu belum dikenalnya, laki-laki ini tidak dapat menemukan apa yang dicari.
“Di mana goa itu?! Apa Saraswati berkata dusta?! Aku tidak menemukan sebuah lobang goa! Atau jangan-jangan karena keadaan gelap dan mataku tidak bisa melihatnya...?! Hem... Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana terang...”
Laki-laki bercaping lebar melangkah ke arah sebuah batangan pohon besar. Lalu duduk bersandar. Sesaat kemudian laki-laki ini telah pejamkan sepasang matanya. Ketika sang matahari mulai pancarkan sinar terang di langit sebelah timur, perlahan-lahan laki-laki bercaping lebar buka kelopak matanya. Sesaat dia tersentak. Kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata liar memandang berkeliling. Saat yang sama dia bergerak bangkit. Lalu berkelebat mengitari bukit dengan mata terpentang besar.
Pada satu tempat, mendadak laki-laki bercaping lebar hentikan kelebatan tubuhnya. Memandang ke depan, sepasang matanya makin mendelik. Sejarak dua belas langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah lobang goa yang di sana-sini tertutup oleh rimbun dedaunan. Hingga kalau orang tidak seksama, pasti tidak akan bisa melihat lobang goa itu. Laki-laki bercaping lebar memandang ke sekitar lobang goa. Lalu melompat menyelinap. Dia menunggu beberapa saat. Yakin tak ada orang lain, dia segera melompat. Sosoknya kini hanya empat langkah dari lobang goa.
“Tak ada tanda-tanda adanya orang...” gumam laki-laki bercaping lebar seraya tak henti-hentinya memandang berkeliling. Saat lain dia telah membuat satu gerakan dan membuat sosoknya telah berada di bibir lobang goa. Dia hanya melongok sejenak ke dalam goa. Kejap lain dia telah melesat masuk.
“Tak ada orang...” ujar laki-laki bercaping lebar begitu edarkan pandangannya ke ruangan goa. “Jangan-jangan Saraswati berkata dusta. Tapi untuk apa dia berkata dusta?!”
Selagi laki-laki bercaping lebar membatin begitu, tiba-tiba satu suara terdengar. “Kuharap kedatanganmu ke tempat ini bukan karena sengaja seperti diriku, sahabat!”
Satu sosok bayangan melesat dan tegak di hadapan laki-laki bercaping lebar. Laki-laki bercaping lebar terkesiap. Dan lebih terkesiap lagi tatkala mengetahui siapa adanya orang yang tegak di hadapannya. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih panjang. Kumisnya lebat.
“Kiai Laras!” ujar laki-laki bercaping lebar dalam hati. “Bagaimana dia berada di sini?! Apakah seperti ucapannya tadi dia tidak sengaja datang ke tempat ini?!”
“Sahabat! Boleh aku tahu siapa kau adanya?!” Orang dihadapan laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai Laras ajukan tanya dengan tersenyum.
Laki-laki bercaping lebar tundukkan kepala seraya sedikit berpaling. Lalu buka mulut menyahut. “Aku hanya orang yang tidak sengaja datang ke tempat ini...”
“Lalu kau hendak ke mana sebenarnya?!”
“Aku orang tua yang tidak pernah punya tujuan pasti. Aku hanya selalu mengikuti ke mana kakiku ini bergerak...”
“Hem... Begitu?! Berarti kita orang tua yang punya nasib sama...”
“Mau katakan siapa kau sebenarnya?!”
Kiai Laras gelengkan kepala. “Sayang, Sahabat! Aku selalu mengikuti ke mana kakiku melangkah, tapi aku tidak selalu mengikuti apa permintaan orang! Dan perlu kau tahu, Sahabat! Aku suka menyendiri dan tak mau diganggu! Kuharap kau mengerti dan segera tinggalkan tempat ini!” Suara Kiai Laras terdengar meninggi.
Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum. “Sahabat! Bukankah kau tadi mengatakan datang ke tempat ini tanpa sengaja. Adalah aneh kalau sekarang kau menyuruhku meninggalkan tempat ini!”
“Kau telah dengar ucapanku! Aku suka menyendiri dan tak mau diganggu! Tidak peduli aku sengaja atau tidak sengaja datang ke tempat ini!”
“Hem... Ada keanehan pada orang ini! Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuruti permintaannya?!” Laki-laki bercaping lebar membatin.
“Sahabat! Aku tidak suka bicara berulang kali! Kau turuti ucapanku atau tanganku yang akan menyeret mu keluar dari sini!”
“Sahabat... Terus terang saja! Sebenarnya kedatanganku ke sini untuk mencari seseorang...”
Dahi Kiai Laras mengernyit. Tapi sebelum orang tua ini sempat buka mulut, laki-laki bercaping lebar telah angkat bicara lagi. “Apakah kau pernah melihat seorang kakek di sekitar tempat ini?!”
“Tiap laki-laki berusia lanjut disebut kakek! Katakan siapa nama orang yang kau cari!” hardik Kiai Laras.
“Namanya Pendeta Sinting!”
“Hem... Orang yang tahu tempat ini hanyalah Saraswati! Pasti manusia ini tahu dari gadis sialan itu! Aku harus melenyapkan manusia ini! Dia bisa merusak semua rencanaku! Tahu begini akibatnya, menyesal aku membiarkan gadis itu masih bernyawa!”
“Kau pernah melihatnya?! Dari sikapmu aku menduga kau adalah orang rimba persilatan. Jadi tak usah kukatakan bagaimana orang yang kucari! Sebab kau mungkin sudah tahu!”
“Kau punya silang sengketa dengan Pendeta Sinting?!” tanya Kiai Laras.
“Bukan hanya silang sengketa! Tapi dendam berkarat! Kau tahu bukan apa artinya dendam berkarat?! Dendam yang tidak bisa lenyap sebelum salah satu tewas!”
“Dari mana kau tahu Pendeta Sinting berada di sini?!” kembali Kiai Laras ajukan tanya.
“Aku selalu melangkah ke mana-mana! Sambil melangkah tak tentu tujuan, aku selalu mencari tahu! Karena tujuan hidupku hanyalah tuntaskan dendam berkarat ini”
“Kau berkata dusta, Sahabat! Kau hanya bertanya pada satu orang! Dan dia adalah seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda! Benar?!”
Laki-laki bercaping lebar gelengkan kepala. “Selama perjalanan, aku selalu menghindari bertanya pada perempuan! Karena aku tahu, ucapan seorang perempuan tidak dapat dipercaya!”
Kiai Laras tertawa pendek. “Sayang sekali, Sahabat! Aku tidak berjumpa dengan orang yang kau cari!”
Laki-laki bercaping lebar memandang berkeliling. “Kau sudah lama berada di sini?!”
“Kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!” kata Kiai Laras tidak sambuti ucapan laki-laki bercaping lebar.
“Baik! Aku akan turuti kemauanmu. Tapi sebelum aku pergi, kau mau jawab lagi satu pertanyaanku?!”
“Di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab.”
Laki-laki bercaping lebar angkat bahu, memandang sekilas pada Kiai Laras lalu putar diri dan perlahan-lahan melangkah menuju ke mulut goa. Saat laki-laki bercaping lebar langkahkan kaki melewati lobang goa, dibelakang sana, mendadak Kiai Laras membuat gerakan. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya serta-merta bergerak lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi...
S E L E S A I