SATU
SEPASANG mata Ni Luh Padmi mementang liar menatap tajam pada raut wajah di antara ranggasan semak belukar. Raut wajah itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut yang telah dihiasi keriputan. Sepasang matanya agak besar. Kumis dan jenggotnya lebat berwarna putih. Bibir raut wajah yang berada di antara ranggasan samak belukar bergerak tersenyum. Sepasang matanya balas memandang ke arah Ni Luh Padmi. Namun mulutnya belum membuka perdengarkan suara.
"Siapa kau?!" Untuk kedua kalinya Ni Luh Padmi keluarkan bentakan keras. Malah kini si nenek telah maju dua tindak.
Seperti yang dituturkan dalam episode Kembang Darah Setan, Ni Luh Padmi sempat jumpa dengan Joko setelah berbincang dengan Dewi Seribu Bunga. Dari mulut si pemuda, Ni Luh Padmi memperoleh keterangan kalau Pendeta Sinting kemungkinan besar berada di sebuah goa di samping Bukit Kalingga, tempat tinggal seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai Nyai Tandak Kembang.
Ni Luh Padmi yang memendam dendam pada Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Saat itu juga dia lakukan perjalanan menuju Bukit Kalingga yang ditunjukkan si pemuda. Namun begitu sampai pada tempat yang diduganya sebagai Bukit Kalingga, si nenek dikejutkan dengan satu suara sebelum dirinya memasuki goa. Si nenek terkejut besar.
Karena yang kini tampak dihadapannya adalah raut wajah seorang laki-laki. Padahal menurut keterangan si pemuda, tempat yang di tunjukkan ini dihuni seorang perempuan bernama Nyai Tandak Kembang. Karena Ni Luh Padmi yakin belum mengenal siapa adanya wajah laki-laki di antara ranggasan semak belukar, si nenek langsung membentak.
Yang dibentak malah sunggingkan senyum. Lalu arahkan pandangannya ke jurusan lain. Dan seolah tidak pedulikan kehadiran orang di hadapannya serta tidak dengarkan bentakan orang, laki-laki di antara ranggasan semak belukar gerakkan kepala. Lalu perlahan-lahan orang ini yang ternyata duduk bersila di antara ranggasan semak belukar bergerak bangkit. Kedua tangannya dikebut-kebutkan pada pakaian yang dikenakan lalu melangkah keluar dari ranggasan semak.
Merasa kehadirannya tidak dipandang orang, Ni Luh Padmi maju satu tindak dan tegak menghadang. Tanpa memandang pada tampang orang di hadapannya, si nenek kembali perdengarkan bentakan.
"Aku tanya sekali lagi! Siapa kau?!"
Si laki-laki menyeringai. "Kau adalah tamu di tempat ini! Kau yang harus perkenalkan diri!"
"Hem... Jadi kau penghuni tempat ini?!" tanya Ni Luh Padmi. Sepasang matanya kini perhatikan orang dari atas hingga bawah.
"Kau orang yang tersesat jalan atau memang hendak ke tempat ini?!" Yang ditanya balik ajukan tanya.
Ni Luh Padmi coba menekan rasa geram yang mulai melanda dadanya. Di satu pihak dia sudah merasa diberi keterangan dusta oleh pemuda murid Pendeta Sinting, di pihak lain dia merasa disambut dengan sebelah mata!
"Siapa pun adanya manusia laki-laki itu, dia pasti bukan orang sembarangan! Jelas-jelas tadi dia tidak ada di tempat ini! Tapi tiba-tiba dia nongol begitu saja! Sudah telanjur sampai di sini, apa boleh buat...!" Membatin Ni Luh Padmi, lalu berkata,
"Aku tidak tersesat jalan! Aku memang sengaja datang ke tempat ini!"
"Kalau begitu, harap kau perkenalkan diri!" sahut si kakek. Kali ini sepasang matanya memandang pada Ni Luh Padmi.
"Aku Ni Luh Padmi!"
"Kalau kau tidak tersesat jalan, pasti kau punya tujuan!" Si kakek kembali menyahut.
"Aku mencari Nyai Tandak Kembang!" jawab si nenek dengan suara keras.
"Tujuan mencari?!" tanya si kakek membuat Ni Luh Padmi mendelik.
"Itu urusanku! Sekarang kau telah tahu siapa aku, giliranmu kini sebutkan diri!"
"Aku penghuni tempat ini!"
Sepasang mata Ni Luh Padmi makin membelalak. "Aku ingin dengar kau sebutkan diri! Persetan kau penghuni tempat ini atau bukan!" hardik si nenek.
Mendengar hardikan orang, si kakek bukannya berang, sebaliknya sunggingkan senyum lalu berkata. Suaranya pun kini direndahkan. "Aku Kiai Laras...!"
"Aku tanya. Apa kau benar-benar penghuni goa ini?!" kata Ni Luh Padmi.
"Nek! Kau tadi telah dengar keteranganku. Mengapa bertanya lagi?!" ujar si kakek yang bukan lain ternyata Kiai Laras.
Ni Luh Padmi mendongak. Dari mulutnya terdengar gumaman tidak jelas. Namun air mukanya membayangkan kemarahan yang ditahan. Diam-diam si nenek membatin. "Jangan-jangan aku datang ke tempat yang salah..."
"Kiai Laras!" kata Ni Luh Padmi setelah agak lama terdiam. "Di mana Bukit Kalingga?!"
"Dari pertanyaanmu, kuduga kau bukan orang daerah sekitar sini! Bahkan mungkin kau datang dari jauh..." kata Kiai Laras.
"Aku datang dari seberang pulau! Aku mencari Bukit Kalingga!"
Kiai Laras gerakkan kepala mengangguk. "Nek! Tempat di mana kau kini berada adalah Bukit Kalingga!"
"Hem... Berarti aku sudah datang ke tempat yang benar. Tapi mengapa penghuninya adalah dia? Bukan Nyai Tandak Kembang...?! Atau... Aku harus menyelidik ke dalam. Siapa tahu laki-laki ini hanya sebagai penjaga!"
Memikir sampai di situ tanpa berkata apa-apa lagi, Ni Luh Padmi cepat putar tubuh lalu sekali bergerak sosoknya telah melesat dan lenyap masuk ke dalam goa. Kiai Laras hanya memandang dengan bibir sunggingkan senyum. Kakek ini tidak berkata apa-apa, bahkan tidak bergerak dari tempatnya.
Sementara begitu memasuki goa, Ni Luh Padmi segera tegak dengan mata mengedar ke seantero ruangan goa. Goa itu tidak begitu besar. Di sebelah pojok tampak onggokan kayu hitam bekas perapian. Tidak ada celah atau tonjolan batu-batu. Sekeliling ruangan goa itu hanya merupakan dinding lurus dari batu padas berwarna coklat yang disamaki lumut.
"Anak sinting itu akan menyesal! Dia telah menipuku mentah-mentah!" desis Ni Luh Padmi. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat keluar. Namun gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-tiba di mulut goa Kiai Laras tahu-tahu telah tegak seraya berkata pelan.
"Nek... ini tempatku! Kalau kau perlu apa-apa, harap katakan! Aku akan menjawab dengan senang hati!"
Ni Luh Padmi sejurus tatapi sekujur tubuh Kiai Laras seolah baru saja berjumpa. Lalu angkat bicara. "Kau kenal dengan seorang perempuan bernama Nyai Tandak Kembang?!"
"Heh... Dari pertanyaan mu, aku dapat menduga. Pertama. Kau bukan mencari Nyai Tandak Kembang. Kedua. Yang kau cari sebenarnya adalah Pendeta Sinting!"
Ni Luh Padmi sesaat tampak terkesiap. Namun diam-diam dia merasa lega. Setidaknya dia akan dapat keterangan dari orang dihadapannya. Karena apa yang menjadi dugaan orang benar adanya. Hanya si nenek masih sedikit merasa curiga. Bagaimana orang bisa menduga dengan tepat apa tujuan sebenarnya. Tapi karena sudah tidak sabaran, Ni Luh Padmi tepiskan perasaan curiga. Dia segera buka mulut.
"Rupanya kau pandai menduga. Tapi perlu kau ketahui, aku mencari keduanya!"
"Ucapanku tadi belum selesai, Nek!" ujar Kiai Laras. "Dua dugaan telah ku sebut. Dugaan lainnya, urusanmu pasti urusan asmara! Dan kau ingin membunuh Pendeta Sinting!"
Ni Luh Padmi tergagu diam. Paras wajahnya seketika berubah tatkala mendapati orang telah tahu apa urusannya. Dan merasa orang sudah tahu, si nenek langsung saja bertanya.
"Di mana si jahanam Pendeta Sinting dan gendaknya si Nyai Tandak Kembang?!"
Kiai Laras sunggingkan senyum lalu tengadah. "Nek! Imbalan apa kelak akan kau berikan padaku kalau aku tunjukkan di mana beradanya orang yang kau cari?!"
Mendengar pertanyaan Kiai Laras, Ni Luh Padmi tertawa panjang. "Menyesal sekali... Aku datang hanya membawa ini!" Si nenek angkat kedua tangannya yang mengepal. "Dan tangan ini pula yang akan kau rasakan kalau kau tak mau katakan di mana dua pasangan keparat itu berada!"
Kiai Laras tersentak. Namun laki-laki ini buru-buru tutupi rasa kagetnya dengan senyum. Di lain pihak, melihat perubahan pada sikap orang, Ni Luh Padmi makin garang. Dia segera melompat dan tegak lima langkah di hadapan Kiai Laras yang masih berdiri di mulut goa. Lalu membentak.
"Sekarang kau harus katakan di mana pasangan itu!"
Kepala Kiai Laras bergerak perlahan dengan mata melirik ke samping kiri kanan. "Aku tak bisa mengatakan padamu, Nek!"
"Hem... Orang ini seolah ketakutan. Dari ucapannya tadi, jelas kalau dia tahu di mana pasangan jahanam itu berada!" Diam-diam Ni Luh Padmi membaca sikap Kiai Laras. Bibirnya tersenyum menyeringai. Lalu berujar.
"Kalau kau tidak mau katakan, berarti kau inginkan ini!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi melesat ke depan. Kedua tangannya serta-merta berkelebat lakukan pukulan ke arah kepala Kiai Laras. Kiai Laras tidak tinggal diam. Dia cepat pula angkat kedua tangannya dipalangkan di atas kepala menghadang pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Ni Luh Padmi hanya sempat bergoyang-goyang. Di lain pihak, sosok Kiai Laras langsung tersurut empat langkah hingga tubuhnya berada di luar goa. Paras wajahnya berubah pucat. Malah kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kedua tangan si nenek tampak bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak cepat kuasai diri, niscaya lututnya akan tertekuk dan sosoknya roboh!
Melihat apa yang baru saja terjadi, Ni Luh Padmi tidak menunggu lama. Belum sampai Kiai Laras kuasai diri sepenuhnya, dia sudah menerjang dengan sapukan kaki kanan. Sementara bersamaan itu tangan kiri kanannya berkelebat menghantam.
Kiai Laras melengak. Cepat sekali dia segera angkat kaki kanannya untuk menyambut tendangan kaki kanan si nenek. Namun laki-laki ini tertipu. Setengah depa lagi kaki kanan keduanya bentrok, tiba-tiba si nenek tarik pulang kaki kanannya. Sebaliknya langsung hantamkan tangan kiri ke arah kaki kanan Kiai Laras yang telah terangkat. Mungkin sudah tak ada kesempatan lagi tarik pulang kaki kanannya, Kiai Laras teruskan tendangannya.
Desss!
Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya berputar. Namun sebelum sampai setengah lingkaran, tangan kanan Ni Luh Padmi sudah menggebrak dengan telapak terbuka ke arah pipi.
Plaakk!
Sosok Kiai Laras kembali terputar balik arah. Bersamaan itu kepalanya tersentak kena tamparan tangan Ni Luh Padmi. Saat lain sosok Kiai Laras terhuyung sebelum akhirnya jatuh di atas tanah dengan mulut keluarkan darah.
Ni Luh Padmi melompat dan tegak satu langkah di samping sosok Kiai Laras dengan kedua tangan berkacak pinggang. "Kau telah tahu imbalan apa yang akan kau terima! Kau masih inginkan imbalan itu?!" Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya dari pinggang.
Takut-takut, Kiai Laras memandang pada sosok Ni Luh Padmi. Dan orang ini buru-buru buka suara tatkala matanya menangkap gerakan pada kedua tangan si nenek. "Baik... Aku akan katakan di mana orang yang kau cari..."
"Bagus!" ujar Ni Luh Padmi. Tubuhnya sedikit membungkuk. Enak saja dijambaknya rambut Kiai Laras lalu ditariknya ke atas. Hingga sosok si kakek terangkat berdiri.
"Aku tak mau ditipu orang! Aku tidak butuh ucapanmu! Kau sendiri yang harus tunjukkan tempat itu!"
"Baik... Baik...! Tapi lepaskan dulu tanganmu!" kata Kiai Laras dengan suara bergetar dan tersendat.
"Jangan banyak mulut meminta! Ayo jalan! Di mana tempat pasangan itu!" hardik Ni Luh Padmi tanpa lepaskan jambakan pada rambut orang.
"Mereka ada di dalam goa..."
"Jahanam! Aku tak butuh keterangan ucapanmu! Kau harus jalan tunjukkan tempatnya!" sentak Ni Luh Padmi sambil melangkah dengan tangan menjambak rambut orang.
Kiai Laras mau tak mau tersaruk-saruk mengikuti langkah si nenek yang melangkah ke arah goa. Kedua tangannya tampak menggapai-gapai seolah hendak lepaskan diri. Namun Ni Luh Padmi tampak gerak-gerakkan tangannya yang menjambak ke bawah ke atas, hingga gapaian kedua tangan Kiai Laras selalu luput. Begitu enam langkah memasuki ruangan goa, Ni Luh Padmi sentakkan tangannya. Sosok Kiai Laras tersuruk ke depan. Namun sejengkal lagi sosoknya menghantam lantai goa, kaki si nenek bergerak menghadang.
Wuuttt! Desss!
Kaki Ni Luh Padmi yang berada di bawah sosok Kiai Laras bergerak terangkat ke atas. Tubuh Kiai Laras kembali tersentak ke atas. Dan sebelum limbung, tangan kiri si nenek sudah menahan dengan mencekal bahunya.
"Jangan coba menipu! Lekas tunjukkan di mana tempatnya!"
Kiai Laras angkat tangan kanannya menunjuk pada satu arah tepat di belakang onggokan kayu bekas perapian. Ni Luh Padmi pentang mata memandang ke arah yang ditunjuk Kiai Laras. Namun di sana dia tidak melihat siapa-siapa. Belum sampai si nenek bertanya, Kiai Laras telah buka mulut.
"Singkirkan perapian itu... Kau akan menemukan tonjolan batu. Tekan tonjolan batu itu..."
Ni Luh Padmi kini arahkan pandangannya pada onggokan kayu bekas perapian. Namun karena tertutup kayu, dia tidak bisa melihat apakah benar di bawahnya ada tonjolan batu seperti ucapan Kiai Laras.
"Kau yang harus lakukan!" Tiba-tiba Ni Luh Padmi membentak. Tangannya yang memegang bahu orang bergerak. Sementara kakinya melangkah. Sosok Kiai Laras terseret ke depan.
Ni Luh Padmi hentikan langkah di dekat kayu bekas perapian. "Lakukan!" bentaknya seraya lepaskan cekalan pada bahu Kiai Laras.
Kiai Laras melirik pada si nenek. Lalu perlahan-lahan kakinya bergerak sibakkan kayu perapian. Dan kejap kemudian, Ni Luh Padmi melihat satu tonjolan batu berwarna hitam.
"Tekan tonjolan batu itu!" perintah si nenek.
Kiai Laras tampak terkejut. Dia berpaling.Namun sebelum sempat matanya melihat wajah si nenek, Ni Luh Padmi sudah perdengarkan bentakan lagi.
"Jangan buang-buang waktu!" Sambil membentak tangan si nenek berkelebat. Namun kali ini Kiai Laras cepat menghindar dengan bungkukkan tubuh. Tangan kanannya segera menekan batu hitam di sekitar perapian.
***
DUA
TERDENGAR suara batu bergeser. Saat bersamaan ruangan goa bergetar hebat. Ni Luh Padmi cepat mundur sambil kedua tangannya waspada. Sepasang matanya memperhatikan gerak-gerik Kiai Laras dengan seksama.
Getaran di ruangan goa terhenti. Namun karena belum melihat apa-apa, si nenek sudah buka mulut Tapi sebelum suaranya terdengar, mendadak pojok ruangan goa tidak jauh dari perapian bergerak-gerak. Saat lain dinding pojok ruangan goa laksana membelah. Dinding samping kiri kanannya bergeser. Dan tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu! Di belakang pintu terlihat batu padas yang membentuk tangga keatas.
"Nek... Kau tunggu apa lagi?! Orang yang kau cari berada di sana..." Berkata Kiai Laras sambil melangkah mundur. "Aku tak bisa mengantarmu! Karena dengan terbukanya pintu rahasia ini, nyawaku tidak mungkin diampuni. Harap kau mengerti, Nek! Aku harus segera pergi jauh-jauh dari sini..."
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh dan perlahan-lahan melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkah si kakek tertahan, tatkala tiba-tiba Ni Luh Padmi telah menyambar lengannya dan menyeretnya ke arah pintu yang terbuka.
"Jangan kau kira dapat menjerumuskan aku! Kau harus ikut!" teriak Ni Luh Padmi sambil melangkah menyeret sosok Kiai Laras.
Ni Luh Padmi tampak sedikit terkejut tatkala merasakan hawa dingin saat memasuki pintu pojok ruangan goa. Si nenek kerahkan tenaga dalam untuk tutup penciumannya. Lalu dengan mata liar dan teruskan langkah dan perlahan-lahan naiki tangga di balik pintu dengan tangan terus menyeret sosok Kiai Laras yang tergontai-gontai.
"Nek... Harap kau mengerti. Aku... Aku..."
Ni Luh Padmi hentikan langkah pada undakan ketiga. Matanya memandang angker pada Kiai Laras. "Kalau kau merengek lagi, mulutmu akan kuhancurkan!"
Kiai Laras kancingkan mulut. Melirik sekilas pada si nenek, lalu anggukkan kepala sambil tertatih-tatih naiki tangga. Undakan tangga itu sampai tiga belas. Pada undakan ketiga belas, tampaklah sebuah pelataran sepanjang satu setengah tombak. Pelataran ini membentuk lingkaran berkeliling. Pada tengah lingkaran terlihat sebuah lobang menganga besar kira-kira empat puluh tombak berkeliling dengan kedalaman dua puluh lima tombak. Dari bagian bawah lobang besar ini tampak cahaya terang. Ni Luh Padmi sesaat perhatikan berkeliling. Namun sampai saat ini dia belum melihat adanya orang.
"Hem... Tidak disangka kalau di dalam ruangan goa, ada ruang rahasia yang begini besar. Tapi aku belum melihat adanya gerakan orang..."
Ni Luh Padmi coba melangkah ingin melihat lobang menganga yang kini berada di hadapannya. Namun si nenek segera urungkan niat. Dia melirik pada Kiai Laras yang tegak di sampingnya dengan tubuh bergetar dan mata memandang ke lobang besar. Tanpa melihat pada si nenek, Kiai Laras berujar
pelan.
"Nek... Mereka berdua ada di bawah sana! Pendeta Sinting sedang dirawat oleh Nyai Tandak Kembang..."
"Hem... Berarti ucapan orang ini benar! Mungkin dia masih terluka akibat gebukanku beberapa waktu yang lalu...!" membatin Ni Luh Padmi. Namun orang ini tidak mau bertindak ayal. Dia kembali sambar lengan Kiai Laras dan diseretnya ke bibir lobang besar.
Kiai Laras coba meronta. Namun percuma. Seretan si nenek lebih kuat hingga mau tak mau sosoknya tertarik ke depan mendekati bibir lobang yang membentuk lingkaran. Sambil terus pegangi lengan orang, Ni Luh Padmi pandangi lobang menganga besar di bawahnya. Cahaya terang yang memancar dari bawah ternyata dipantulkan oleh cahaya empat obor besar yang ditancapkan pada pojok ruangan di sebelah bawah. Ruangan itu hanya berupa lantai batu padas. Dan di sana tidak seorang pun terlihat!
Ni Luh Padmi berpaling pada Kiai Laras dengan mata berkilat-kilat. "Kau berani berkata dusta padaku! Kau harus..."
Ucapan Ni Luh Padmi terputus. Karena tiba- tiba tangan kiri Kiai Laras bergerak tepiskan tangan Ni Luh Padmi yang mencekal lengannya. Si nenek tersentak kaget, karena tepisan tangan si kakek mengandung tenaga dalam kuat sekali. Hingga saat itu juga pegangan tangannya pada lengan orang lepas! Malah sosoknya tampak bergoyang-goyang. Dalam kekagetannya, Ni Luh Padmi menjadi lengah. Hingga tatkala Kiai Laras lorotkan tubuh dengan kaki menyapu ke arah kaki si nenek, Ni Luh Padmi tidak dapat hindarkan diri.
Bukkk!
Sosok Ni Luh Padmi tersentak lalu jatuh menghantam batu padas di bawahnya. Sinenek terpekik. Dalam keadaan demikian, dia baru maklum, kalau Kiai Laras tadi hanya pura-pura mengalah. Karena sapuan kakinya telah mampu membuat sosoknya langsung terjatuh. Pertanda tenaga dalam si kakek sangat tinggi. Merasa maklum, buru-buru Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya. Namun Kiai Laras telah mendahului bergerak. Hingga belum sampai si nenek sampai lepaskan pukulan, untuk kedua kalinya si kakek telah sapukan kaki kanannya.
Karena tak ada kesempatan untuk lepaskan pukulan sementara untuk menghindar sudah tidak mungkin sebab dirinya berada di samping lobang menganga, maka satu-satunya jalan adalah menghadang sapuan kaki orang dengan kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Untuk kedua kalinya pula Ni Luh Padmi terpekik. Kedua tangannya yang menghadang sapuan kaki orang mental balik. Bersamaan dengan itu sosoknya terseret. Karena di belakangnya lobang menganga, maka tak ampun lagi sosok Ni Luh Padmi melayang masuk ke lobang besar di belakangnya! Dalam keadaan demikian, secara luar biasa Ni Luh Padmi memang masih sempat lepaskan pukulan jarak jauh. Namun karena sosoknya telah melayang ke bawah, membuat pukulannya bukan saja melenceng jauh dari sasaran, namun dia tidak dapat kuasai diri lagi, hingga tubuhnya jatuh bergedebukan di lantai batu padas di bawah sana!
Terdengar suara tawa mengekeh panjang menggaung di tempat itu. Ni Luh Padmi cepat kerahkan tenaga dalam lalu tergontai-gontai bangkit. Memandang ke atas, tampak Kiai Laras tegak di tepi lobang dengan kedua tangan di atas pinggang.
"Jahanam! Aku tertipu! Laki-laki itu pasti kaki tangannya Anak Sinting murid jahanam Pendeta Sinting!" desis Ni Luh Padmi dengan rahang terangkat dan pelipis kanan kiri bergerak gerak. "Kau tak akan kubiarkan hidup Anak Sinting!"
Ni Luh Padmi memandang berkeliling. Ternyata tempat di mana dia berada hanya merupakan ruangan tanpa pintu. Pada keempat pojok ruangan menancap sebuah obor besar. Anehnya meski di tempat itu dipanasi obor, si nenek rasakan hawa dingin menyengat!
"Hawa aneh... Jangan-jangan ini hawa beracun!" desis Ni Luh Padmi dengan kuduk mulai merinding. Dia segera kerahkan tenaga dalam untuk menutup pernafasannya. Lalu tengadah kembali memandang ke arah Kiai Laras yang masih tegak di bibir lobang. Perlahan-lahan Ni Luh Padmi angkat tangan kirinya lalu mencabut tusuk konde besar berwarna hitam di kepalanya. Namun si nenek tampak bimbang.
"Tusuk konde ini aku yakin mampu sampai ke atas sana! Tapi bagaimana kalau keparat itu mampu berkelit dan bahkan menyambar senjata itu?! Keparat betul! Aku bodoh! Aku lengah!" Ni Luh Padmi memaki sendiri.
"Nenek bangsat!" Tiba-tiba terdengar suara Kiai Laras. "Tempat di mana kau berada telah ditebari hawa beracun yang bisa membunuhmu perlahan-lahan! Dan jangan coba-coba kerahkan tenaga dalam kalau kau tak ingin hawa beracun itu langsung masuk ke dalam aliran darahmu!"
Ni Luh Padmi tegak bergetar. Sosoknya telah basah kuyup. Namun si nenek masih buka mulut "Bangsat sialan! Kelak kau akan ku kuliti!"
Kiai Laras tertawa panjang. "Simpan impian mu itu, Nenek! Yang harus kau lakukan sekarang adalah banyak berdoa untuk menyongsong ajal! Dan kau jangan terlalu menyalahkan padaku! Aku semata-mata hanya jalankan tugas!"
"Siapa yang memberimu tugas?!" teriak Ni Luh Padmi.
"Siapa lagi junjungan ku kalau bukan pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Dan kau tidak usah berkecil hati.Beberapa hari lagi kau mungkin akan mendapatkan teman seperjalanan menuju neraka! Dan kau mesti tahu pula, bahwa junjunganku Pendekar 131 telah mendapat amanat perintah dari eyang gurunya seorang tokoh besar bergelar Pendeta Sinting dalam urusan ini! Ha Ha Ha...!"
"Keparat! Kalian semua nanti akan menyesali"
"Percuma kau berteriak mengancam, Nenek Tua! Nyatanya kau kini tinggal menunggu saat-saat kematian!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh lalu melangkah ke arah tangga dengan tinggalkan suara tawa panjang. Begitu berada di ruangan goa bagian depan, tangan kanan Kiai Laras tampak menekan tonjolan batu hitam. Ruangan goa bergetar. Lalu terdengar gesekan batu. Saat lain pojok goa yang terbuka perlahan-lahan menutup. Kiai Laras tersenyum menyeringai. Lalu menata kayu perapian diatas tonjolan batu hingga jika dipandang sekilas orang tidak akan melihat kalau di bawah tumpukan kayu perapian itu ada batu hitam sebagai pembuka pintu lain di pojok ruangan. Kiai Laras memandang sejenak keluar goa. Saat lain sosoknya telah berkelebat tinggalkan ruangan goa.
Di bagian dalam lobang, Ni Luh Padmi tampakpentangkan mata dengan kepala memutar. Saat lain dia tengadah dengan mata berkaca-kaca. "Sialnya diriku ini! Mengapa aku bertindak lengah! Hingga bukan saja aku tertipu, namun harus mengalami nasib mengenaskan! Ucapan tua bangka keparat tadi pasti benar jika tempat ini telah ditebari racun yang bisa membunuh perlahan-lahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku paksakan diri kerahkan tenaga dalam, bukan tak mungkin tebaran racun jahanam ini akan memasuki aliran darahku! Dan itu akan mempercepat kematianku!"
Pada puncak penyesalannya, akhirnya Ni Luh Padmi hanya bisa sesenggukan seraya duduk bersimpuh dengan kedua tangan mendekap wajahnya. Terbayang satu persatu paras muka Pendeta Sinting, Pendekar 131, dan Kiai Laras.
***
Kita tinggalkan dahulu Ni Luh Padmi yang menyesali diri di ruangan dalam goa. Kita ikuti kembali perjalanan Pendekar 131. Seperti dituturkan dalam episode Kembang Darah Setan, Pendekar 131 sempat jumpa dengan nenek berdandan menor yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh. Murid Pendeta Sinting berdusta pada si nenek kalau dirinya sedang mencari kakeknya yang sudah hampir satu purnama tidak kunjung pulang. Namun Joko harus menelan kecewa, karena di luar dugaan, si nenek bersikeras hendak ikut.
Joko jadi kebingungan. Tapi pada akhirnya Joko terpaksa tidak dapat menolak keinginan si nenek, apalagi saat murid Pendeta Sinting mengetahui kalau si nenek sedang menunggu Pendekar 131! Seraya melangkah, murid Pendeta Sinting coba mengorek keterangan dari mulut si nenek mengapa dia menunggu Pendekar 131. Di samping itu dia juga cari akal untuk dapat pisah dari si nenek.
Nenek itu berambut kelabangan dikepang dua. Pada ujung kepangan rambutnya diberi pita. Sementara bagian depan diponi menggerai ke keningnya. Sepasang matanya agak besar. Pipi kiri kanannya dironai pemerah. Sementara bibirnya dipoles merah tebal. Karena kulit wajahnya berwarna gelap, tak urung rona merah di pipi dan bibir si nenek membuat tampangnya lucu dan angker! Nenek ini mengenakan pakaian warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang, hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian bawahnya berupa celana pendek warna merah yang panjangnya berada di atas lutut, hingga pahanya yang juga berwarna gelap terlihat jelas.
Si nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh tampak melangkah perlahan sambil sesekali mengerling pada orang di sampingnya. Dia adalah seorang pe- muda berparas tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Si pemuda bukan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
Untuk beberapa lama kedua orang ini melangkah tanpa ada yang buka mulut. Hanya saja si nenek tampak sesekali berpaling sambil kerlingkan mata. Bibirnya yang merah lemparkan senyum. Sedangkan murid Pendeta Sinting terlihat acuh, meski kadangkala melirik ke arah si nenek dengan kepala digelengkan.
"Nek...! Sekarang kita hendak ke mana?!" Murid Pendeta Sinting akhirnya membuka percakapan karena si nenek terus melangkah seolah tanpa tujuan.
Dayang Sepuh hentikan langkah. Kedua tangannya rapikan poni pada keningnya. Lalu berkata. "Kau ini aneh. Bukankah kita mencari kakekmu yang hilang tanpa kabar?!"
"Betul! Tapi tujuannya ke mana?! Kau tadi bilang, dapat menduga di mana kakekku berada! Tapi langkah mu sepertinya tanpa tujuan..."
Si nenek ambil satu kepangan rambutnya. Sambil mainkan kepangan rambutnya dia berkata. "Cucuku... Kau jangan menduga yang tidak-tidak! Aku melangkah ini bukan atas kehendak sendiri! Tapi suara alam yang menuntun ku! Jadi jangan banyak tanya ke mana, pokoknya kita cari kakekmu!"
"Nek... Bagaimana kalau kita berpencar saja seperti usulku semula?! Dengan cara begitu, kukira kita bisa menjelajah dua tempat pada waktu bersamaan..."
Dayang Sepuh gelengkan kepala. "Kita tetap akan bersama-sama! Dan kunasihatkan padamu, Cucuku. Kau boleh memanggilku Nenek, dan aku akan memanggilmu Cucu kalau kita sedang berdua saja! Di depan orang lain, kau harus memanggilku Bibi! Kau mengerti?!"
Murid Pendeta Sinting nyengir seraya menahan tawa. "Dasar nenek menor! Sudah tua masih juga ingin dikira muda..."
Dayang Sepuh tersenyum, lalu lanjutkan langkah. Joko tampak menghela napas. "Bagaimana aku harus pisah dari nenek ini?! Apa aku langsung berlari saja?! Tapi kalau dia mengejar dan marah-marah...?!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu, Dayang Sepuh tiba-tiba berjingkrak, membuat Joko terkejut.
"Ada apa, Nek?!"
"Dengar..." kata Dayang Sepuh sambil tengadahkan kepala. "Kau dengar bukan?"
Murid Pendeta Sinting kernyitkan dahi. "Aku tidak mendengar apa-apa!"
"Dasar Cucu tuli! Apa kakekmu tidak mengajarkan bagaimana caranya mendengar?!"
Murid Pendeta Sinting sedikit geram mendengar ucapan Dayang Sepuh. Dia kerahkan tenaga dalam pada gendang telinganya agar bisa menangkap suara yang sulit ditangkap pendengaran biasa. Namun sejauh ini Joko tidak menangkap suara.
"Heran! Apa pendengarannya yang salah?! Atau jangan-jangan dia bercanda!"
"Bagaimana? Kau dengar bukan?!" Bertanya Dayang Sepuh tanpa berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Ku lihat kau memakai tenaga, apa kini kau telah dengar?!"
"Hem... Dia tidak melihatku, tapi dia tahu kalau aku berusaha menangkap suara dengan kerahkan tenaga dalam! Siapa sebenarnya nenek ini?!" diam-diam Joko membatin. Lalu terus terang dia berkata.
"Aku tidak mendengar apa-apa..."
Dayang Sepuh berpaling. Memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu seraya melangkah dia berkata. "Ayo kutunjukkan apa yang kudengar!"
Entah karena ingin buktikan ucapan si nenek, murid Pendeta Sinting segera pula melangkah. Namun Joko terkesiap. Si nenek tampak melangkah perlahan saja. Namun hingga dia berlari, jarak antara dirinya dengan si nenek tidak juga menjadi dekat!
"Jangkrik! Dia seperti hendak tunjukkan kehebatan!" gumam Joko dengan dada agak panas. Dia cepat kerahkan ilmu peringan tubuh. Lalu berkelebat. Dalam beberapa saat, murid Pendeta Sinting telah dapat menjajari langkah si nenek. Namun cuma sekejap. Karena begitu si nenek berpaling dan Joko ikut berpaling ingin tunjukkan diri, tiba-tiba Dayang Sepuh gerakkan bahunya. Sosoknya saat itu juga melesat laksana angin!
Karena tak mau merasa malu, murid Pendeta Sinting kerahkan segenap ilmu peringan tubuh. Lalu berkelebat menyusul. Namun sampai sekujur tubuhnya basah kuyup oleh keringat, jangankan mendahului, menjajari kelebatan tubuh si nenek saja Pendekar 131 tidak mampu!
"Busyet! Ilmu peringan tubuhnya benar-benar luar biasa!" kata Joko dalam hati. "Tapi hendak ke mana sebenarnya nenek ini?! Apa sebenarnya yang baru saja didengar?"
Selagi Joko berpikir begitu, di depan Sana tiba- tiba Dayang Sepuh hentikan larinya. "Lihat!" kata Dayang Sepuh begitu Joko berada di belakangnya. Tangannya menunjuk ke satu arah.
Joko arahkan pandangannya pada tempat yang ditunjuk si nenek dengan dada turun naik dan mulut megap-megap. Ternyata mereka berada di satu tempat ketinggian. Memandang ke bawah tampak sebuah sendang berair jernih yang di sebelah sampingnya terda- pat pancuran air. Di sekitar sendang, tampak beberapa batu.
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangan ke bawah. Lalu berpaling ke belakang. "Hem... Jaraknya begitu jauh, tapi pendengarannya mampu menangkap suara pancuran air..." kata Joko dalam hati.
"Cucuku... aku ingin mandi. Kuharap kau menungguku! Cari tempat yang enak untuk istirahat! Dan jangan berani mengintip!"
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh berkelebat ke bawah.
Joko sejurus pandangi kelebatan sosok si nenek. "Siapa ingin melihat nenek berbugil ria! Lumayan kalau kulitnya putih mulus..." gumam Joko lalu memandang berkeliling.
"Hem... Rasanya ini saat yang tepat aku memisahkan diri! Tapi aku harus yakinkan dulu kalau dia sudah benar-benar telanjang dan mandi..."
Mungkin agar tidak dicurigai, Joko pura-pura melangkah turun, lalu memilih sebuah batu besar. Sambil melangkah turun, sepasang matanya melirik ke samping kiri kanan melihat keadaan. "Sebelah barat dan timur banyak ditumbuhi tumbuhan rapat. Aku tinggal memilih menyelinap ke salah satunya..."
"Cucu...! Kau di mana?!" Tiba-tiba terdengar teriakan Dayang Sepuh.
"Di sini, Nek! Di samping batu besar!" sahut Joko seraya terus putar kepala.
Setelah dapat yakinkan diri ke sebelah mana nanti hendak berkelebat. Joko arah kan pandangannya ke sendang. Dayang Sepuh tampak tegak di samping sendang. Lalu perlahan-lahan nenek menor ini buka pakaiannya.
Murid Pendeta Sinting cepat merunduk lalu duduk bersandar pada batu. Matanya kembali memandang pada tumbuhan rapat di sebelah barat. Ketika agak lama dan yakin si nenek sudah buka pakaiannya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh. Namun dia tampak bimbang.
"Hem... Aku harus yakin dulu... Aku harus dengar suara kecipak air..."
Murid Pendeta Sinting menunggu dengan dada berdebar. Dia mulai merasa was-was, karena sejauh ini dia belum mendengar suara kecipak air yang memberi tanda jika si nenek telah ceburkan diri ke dalam air sendang. Malah dia seolah tak sabar dan hendak melihat seandainya tidak buru-buru sadar kalau si nenek diyakininya telah telanjang.
Byurrr!
Tiba-tiba terdengar suara kecipak air. Joko menarik napas lega. Dia buru-buru berkelebat. Namun gerakannya tertahan, karena bersamaan dengan terdengarnya suara kecipak air, satu hembusan angin menderu di atas batu di mana dia berada. Murid Pendeta Sinting cepat mendongak. Satu buntalan besar tiba-tiba telah melayang di atas kepa- lanya. Belum sampai Joko tahu, buntalan itu telah jatuh tepat di atas kepalanya!
Plukkk!
Joko cepat meraih. Sepasang matanya mendelik besar. Buntalan itu ternyata pakaian si nenek. Pada saat bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan Dayang Sepuh.
"Cucu! Simpan dahulu pakaianku!"
"Busyet! Sepertinya dia tahu kalau aku hendak pisahkan diri! Tapi aku harus cepat bergerak! Kalau tidak, urusan tak berguna ini tambah jadi panjang..."
"Baik, Nek... Puaskanlah mandi. Aku akan menunggumu di sini sambil tiduran!" sahut Joko. Lalu letakkan buntalan pakaian Dayang Sepuh di dekat batu. Saat lain ia membuat posisi merangkak. Lalu,...
Wuuttt!
Joko berkelebat ke salah satu batu dan diam menunggu. Tidak ada suara teriakan dari Dayang Sepuh, kembali Joko membuat posisi merangkak. Lalu kembali melompat dan sembunyi di balik batu sa-tunya. Demikian terus hingga hampir mencapai tumbuhan rapat di sebelah barat. Begitu jarak antara batu di mana kini dia berada dan tumbuhan rapat hanya dua tombak, Joko berpaling ke arah sendang. Saat lain dia berkelebat lalu menyelinap lenyap di antara tumbuhan rapat.
Ketika Joko sudah berada jauh, telinganya menangkap teriakan-teriakan Dayang Sepuh yang memanggil-manggil. Joko celingukan sebentar. Lalu berkelebat laksana dikejar setan menuju arah barat. Sadar kalau Dayang Sepuh memiliki ilmu peringan tubuh luar biasa, Joko berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya!
Sementara di bagian sendang, begitu tiga kali teriakan panggilannya tidak mendapat sambutan, Dayang Sepuh cepat melesat keluar dari dalam sendang. Tahu-tahu sosoknya telah berada di samping batu besar di mana tadi murid Pendeta Sinting berada. Dengan perlahan-lahan Dayang Sepuh mengenakan pakaiannya. Lalu kibas-kibaskan dua kepangan rambutnya. Saat lain nenek ini ambil dua bungkusan dari saku pakaiannya. Seraya sandarkan pantat pada batu, si nenek ronai pipi serta bibirnya dengan serbuk yang ada dalam bungkusan kecil.
"Cucu... Suara alam mengatakan kita berjodoh! Jadi ke mana pun kau pergi, kita tetap akan bertemu...!" kata Dayang Sepuh. Lalu nenek ini perlahan-lahan melangkah tinggalkan sendang. Herannya, meski dia tidak mengetahui ke mana arah berlarinya Pendekar 131, namun arah langkahan kakinya jelas tepat ke arah mana tadi murid Pendeta Sinting berkelebat pergi!
***
TIGA
PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya tatkala yakin jaraknya sudah jauh dari sendang di mana Dayang Sepuh mandi. Dan telah yakin pula kalau si nenek pasti tidak bisa menemukan jejaknya, karena dia sengaja berkelebat dengan mengambil jalan berputar-putar dan melewati jalan-jalan setapak.
"Hemm... Kali ini aku berhadapan dengan beberapa orang aneh! Ada apa sebenarnya ini?! Apa raibnya Eyang Guru masih ada kaitannya dengan urusan gila ini?! Kembang Darah Setan, Kampung Setan..."
Murid Pendeta Sinting ulangi ucapan Setan Liang Makam dan Kiai Lidah Wetan yang sempat dijumpainya beberapa waktu lalu. "Namanya hampir sama... Apa masih ada hubungannya?! Herannya, selama ini aku belum pernah mendengar nama itu selain dari manusia yang sebutkan diri Setan Liang Lahat dan Kiai Lidah Wetan... Sialnya, dalam keadaan begini, muncul pula nenek menor yang tingkahnya masih seperti gadis muda saja. Tapi, dari orang-orang yang kutemui, satu hal yang pasti adalah mereka semua berilmu tinggi! Kalau beberapa orang aneh muncul, di baliknya pasti ada sesuatu! Tapi apa...?! Dan mengapa mengaitkan aku yang tidak tahu urusan apa-apa?! Hem..."
Murid Pendeta Sinting terus melangkah dengan benak disarati berbagai pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Saat itulah tiba-tiba terdengar orang bersin beberapa kali.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Joko terkesiap. Karena suara bersin jelas terdengar sangat dekat sekali dengan dirinya, maka Joko pikir percuma saja berkelebat sembunyikan diri. Dia segera putar kepala berpaling ke arah mana suara bersin barusan terdengar. Namun hingga tiga kali kepalanya berputar, matanya tidak melihat siapa-siapa!
"Heran. Suara bersin tadi begitu dekat, anehnya tidak kelihatan batang hidungnya!"
Merasa kurang yakin, kembali Joko putar kepalanya. Kali ini matanya dipentang besar-besar dan meneliti setiap sudut pandangannya. Karena belum juga menangkap orang, kuduknya mulai dingin.
"Jangan-jangan nenek tadi berhasil menyusul ku. Atau di tempat ini ada hantu penghuninya?! Tapi mana ada hantu yang bisa bersin-bersin? Lagi pula di tempat ini tidak ada bau yang membuat hidung ingin bersin..."
Joko membatin. Saat itulah mendadak ekor mata kirinya menangkap sesuatu. Dengan mata makin dibeliakkan, murid Pendeta Sinting segera berpaling ke kiri. "Aku yakin tadi telah melihat tempat itu sampai tiga kali! Tapi aku sungguh-sungguh tidak melihatnya! Adalah aneh kalau tiba-tiba sekarang ada orang di situ!"
Murid Pendeta Sinting cepat membuat satu kali lompatan. Gerakannya ini serta-merta membawa dirinya tegak di belakang satu batangan pohon tidak begitu besar. Dari sini Joko segera memperhatikan ke depan. Kira-kira sejarak empat belas langkah dari tempatnya tegak, terlihat seorang kakek duduk berlutut dengan tangan kanan memegangi sebuah tongkat kayu butut.
Sementara tangan kirinya diletakkan di atas pahanya. Kakek ini berambut putih tipis hingga batok kepalanya terlihat jelas. Sepasang matanya sipit. Hidungnya tampak mengembung besar di bagian depan, hingga kedua lobang hidungnya tampak menganga besar. Dia mengenakan pakaian lusuh warna putih kusam. Kepala kakek yang duduk berlutut itu tampak bolak-balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis. Dan sesekali kepalanya digelengkan ke samping kanan kiri.
Murid Pendeta Sinting diam-diam menahan tawa. Karena jelas dia dapat menduga kalau si kakek ingin bersin tapi tidak kesampaian. Hingga kepalanya pulang balik ke depan ke belakang dengan air muka meringis.
"Bruss! Bruss! Bruss!"
Tiba-tiba si kakek bersin. Joko tersentak kaget. Bukan karena suara bersin orang, melainkan bersamaan dengan terdengarnya suara bersin, tanah di depan mana si kakek duduk berlutut laksana disapu gelombang angin kencang hingga berhamburan! Anehnya, meski telah bersin tiga kali, kepala si kakek tetap saja pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis, jelas pertanda kalau si kakek ingin bersin lagi!
"Angin yang keluar dari hidungnya mampu membuat tanah berhamburan. Kakek yang selalu ingin bersin ini pasti bukan orang sembarangan!" Joko hendak keluar dari balik batangan pohon. Namun teringat akan beberapa peristiwa yang terjadi, Joko jadi urungkan niat.
"Daripada mencari penyakit sementara penyakit lainnya belum beres. lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini..."
Setelah memandang sekilas pada si kakek yang selalu ingin bersin, murid Pendeta Sinting berkelebat tinggalkan batangan pohon di mana dia mengintip orang. Dia berlari cepat menuju arah barat. Sesekali telinganya masih mendengar bersin orang di belakang sana. Namun tak lama kemudian dia sudah tidak mendengar lagi karena jaraknya sudah makin jauh.
Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting berhenti karena lelah, dia duduk bersandar pada sebatang kayu kering. Belum lama duduk istirahat, tiba-tiba dia mendengar suara gemerisik di semak-semak tidak jauh dari tempatnya. Belum sampai Joko melihat apa yang baru saja menimbulkan suara gemerisik, mendadak terdengar...
"Bruss! Brusss! Brussss!"
Joko terkesiap. Laksana disentak setan, kepalanya berpaling ke arah semak-semak yang tadi berisik dan dari situ pula suara bersinan terdengar. Semak-semak tidak jauh dari tempat murid Pendeta Sinting terlihat bergerak-gerak menyibak. Dari bagian dalam sibakan semak, samar-samar mata Joko menangkap satu sosok tubuh duduk berlutut dengan tangan kanan memegang tongkat. Kepalanya bergerak-gerak pulang balik ke depan ke belakang!
"Kakek itu!" desis Joko mengenali siapa adanya orang di balik sibakan semak. "Rupanya kakek ini akan menambah deretan orang-orang aneh yang harus kujumpai! Hal ini membuatku makin yakin ada sesuatu..."
Joko perhatikan si kakek. "Dia tampaknya sudah tahu diriku, tak ada gunanya lagi berlari atau sembunyi..."
Membatin begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah tempat si kakek.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Si kakek bersin lagi. Joko sekonyong-konyong hentikan langkah. Karena merasa dirinya didorong kekuatan dahsyat. Hingga kalau saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam, niscaya sepasang kakinya akan tersurut mundur! Saat yang sama, semak-semak bergerak menyibak. Satu sosok berkelebat keluar. Dan tahu-tahu si kakek telah tegak di hadapan Pendekar 131 dengan kepala pulang balik ke depan ke belakang sambil meringis membuat gerakan seperti orang hen- dak bersin! Namun hingga agak lama, tidak juga orang ini perdengarkan suara bersin!
"Anak muda! Harap maafkan... Beginilah keadaan ku kalau hidungku membaui tubuh manusia. Harap kau tidak..." Si kakek tidak lanjutkan ucapannya. Kepalanya tertarik ke belakang.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Tapi kali ini hembusan angin yang melesat keluar dari hidungnya tidak akibatkan apa-apa pada murid Pendeta Sunting meski jarak antara keduanya tidak jauh.
Pendekar 131 pandangi dengan seksama orang tua di hadapannya lama-lama. Diam-diam perasaannya mulai waswas dan bimbang. Di satu pihak ingin tahu siapa sebenarnya adanya si kakek, dan mengapa sepertinya mengikuti terus langkahnya. Sementara di lain pihak. dia merasa yakin kalau ada yang tak beres dengan orang tua di hadapannya. Karena sikapnya jelas selalu mengikuti ke mana dirinya pergi meski dia tak habis pikir bagaimana si kakek itu tahu-tahu sudah berada didekatnya.
Merasa dirinya dipandangi orang, masih dengan tarik pulang kepalanya yang hendak bersin dan tanpa memandang ke arah murid Pendeta Sinting, si kakek berkata.
"Pandangan mu curiga, Anak Muda! Apa ada yang salah dengan diriku?! Kalau soal hidungku, sudah ku katakan padamu tadi. Selalu kumat kalau membaui tubuh manusia!"
Joko alihkan pandangannya seraya menggeleng perlahan. "Tidak ada yang salah, Kek... Hanya aku heran. Sebentar tadi kau kulihat masih duduk jauh di sana. Tapi tiba-tiba sekarang sudah berada disini..."
Si kakek coba hentikan gerakan kepalanya yang pulang balik ke belakang ke depan. Sepasang matanya yang sipit membuka besar. "Heran... Ya, heran. Seharusnya aku yang merasa heran. Sepertinya aku tidak ke mana-mana. Sejak kemarin pagi aku sudah berada di sini! Bagaimana mungkin kau melihatku di sana...?! Kau tidak salah lihat, Anak Muda?!"
Seakan termakan ucapan orang, murid Pendeta Sinting beliakkan sepasang matanya pandangi sekali lagi orang tua di hadapannya. "Tak mungkin aku salah lihat! Orangnya sama, sikapnya tidak berbeda! Pakaian dan tongkat kayu bututnya persis!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Kek... Apa kau punya saudara kembar?!"
"Heran... Bagaimana kau bisa berkata begitu?! Aku nongol ke dunia sendirian! Bahkan aku tak punya adik atau kakak. Mengherankan kalau kau bertanya aku punya saudara kembar..."
"Hem... Atau kau pernah tahu orang yang mirip denganmu?!"
"Hem... Heran! Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang yang mirip?! Anak muda. Adalah mungkin kalau Yang Maha Kuasa menciptakan orang yang mirip! Tapi adalah mengherankan kalau tak bisa dibedakan!"
"Tapi, Kek! Aku baru saja melihat orang yang sama persis denganmu di sana!" Joko menunjuk ke satu arah.
Si kakek arahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk murid Pendeta Sinting. "Heran... Bagaimana bisa begitu?! Ucapanmu membuatku heran..."
"Hem... Dugaanku tidak meleset lagi! Aku berhadapan dengan orang aneh..." Joko membatin seraya menarik napas panjang. "Aku akan coba tanyakan padanya tentang urusan yang saat ini kuhadapi. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan! Orang begini biasanya tahu banyak tentang urusan aneh..."
Membatin begitu, lalu murid Pendeta Sinting angkat bicara. "Kek... Boleh aku tanya sesuatu padamu?!"
"Heran... Kurasa saat ini adalah jumpa kita yang pertama kali. Aku heran, Anak Muda... Apakah aku pernah melarangmu untuk bertanya?!!"
Joko tidak pedulikan ucapan orang. Dia segera saja ajukan tanya. "Kek... Kau pernah dengar sebuah kampung yang disebut Kampung Setan?!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Lalu kernyitkan dahi sam- bil berujar. "Aku heran, mengapa baru kali ini mendengar nama kampung itu?!"
Ucapan si kakek telah membuat murid Pendeta Sinting maklum kalau orang yang ditanya tidak tahu tentang Kampung Setan. Tapi Joko lanjutkan pertanyaan. "Kau pernah tahu sesuatu yang disebut Kembang Darah Setan?!"
Yang ditanya dongakkan kepala seolah berpikir. Joko menunggu dengan perasaan agak lega, karena sikap si kakek seolah membayangkan dia kali ini tahu apa yang ditanyakan orang.
"Brusss!"
Joko memekik sendiri dalam hati. Karena ternyata si kakek dongakkan kepala tidak sedang berpikir, tapi karena ingin bersin.
"Anak muda... Aku heran. tujuh hari terakhir ini sudah tujuh orang yang sebut-sebut Kembang Darah Setan di depanku! Aku jadi bingung dan heran. Bagaimana orang-orang menanyakan itu padaku?! Padahal aku bukan penjual kembang! Atau jangan-jangan kau meledek ku, Anak Muda..."
Murid Pendeta Sinting kali ini rasanya kehilangan akal. Hingga untuk beberapa saat dia tidak sahuti ucapan orang. Sementara si kakek di hadapannya lanjutkan ucapan.
"Kau tahu, Anak Muda... Sekali aku mencium bau kembang, sehari semalam aku tak henti-hentinya bersin-bersin!"
Joko gelengkan kepala. Tapi entah karena apa, murid Pendeta Sinting ini lanjutkan juga bertanya. "Kek... Kau kenal dengan seorang laki-laki yang bergelar Setan Liang Makam?!"
"Heran... Kudengar dari tadi kau selalu sebut-sebut Setan. Kau jangan..."
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin. Lalu lanjutkan ucapan. "Kau jangan menakut-nakuti aku! Penyakit ku makin menjadi-jadi kalau aku ketakutan..."
Habis berkata begitu, si kakek beberapa kali bersin-bersin. Joko tidak acuhkan ucapan dan bersinan orang. Dia kembali buka mulut.
"Kek... Apa kau masih juga merasa heran kalau aku tanya apa kau pernah bertemu orang yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh?!"
Tiba-tiba si kakek menindih keinginannya untuk bersin. "Heran... Di mana kau bertemu dengan orang itu?!"
Paras wajah Pendekar 131 berubah cerah. Sambil senyam-senyum dia berkata. "Aku jumpa dengannya di sebuah kedai! Aku sempat bicara panjang lebar dengannya. Dari ucapan-ucapannya aku menduga dia sedang mencari seseorang. Dan dari ciri-ciri orang yang dicari, aku bisa memastikan kalau kaulah orangnya!"
"Hem... Apa yang dibicarakan tentang diriku, Anak Muda...?!" tanya si kakek seraya maju dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Dia menghubung-hubungkan dirimu dengan Kembang Darah Setan, Kampung Setan, malah kau dikait-kaitkan dengan Setan Liang Makam! Maka dari itu jangan heran kalau aku tadi bertanya padamu..."
"Heran... Mengapa aku dihadapkan dengan urusan mengherankan ini?! Apakah memang sudah nasibku harus selalu merasa heran?!" gumam si kakek. Kepalanya kembali pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis ingin bersin.
"Kau tak usah merasa heran, Kek... Dan kuharap kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Kalau tidak..." Joko tersenyum dahulu sebelum akhirnya lanjutkan. "Nenek itu berada tidak jauh dari sini... Tidak sulit aku memberitahukan padanya... Dan perlu kau ketahui, dari nada ucapannya, aku bisa menebak apa yang hendak dilakukannya padamu..."
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin-bersin. Lalu tertawa bergelak-gelak. Namun hingga suara gelakan tawanya berhenti, si kakek tidak juga buka mulut.
"Kek... Kau masih tak mau memberi keterangan?!"
"Anak muda... Mengherankan kalau aku memberi keterangan sesuatu yang tidak kuketahui! Dan jangan heran kalau kukatakan, aku tidak kenal dengan Dayang Sepuh. Kalau tadi aku bertanya padamu, aku tadi hanya merasa heran, bagaimana mungkin dia mengenal ku bahkan mencariku?!"
Murid Pendeta Sinting melengak. Namun dia buru-buru buka mulut. "Kau jangan pura-pura! Dari perubahan sikapmu tadi, apa kau kira aku tak dapat menduga?!"
"Menduga boleh-boleh saja. Hanya... Brusss! Brusss! Adalah mengherankan kalau kau menduga dengan melihat perubahan sikap orang! Kau tahu, Anak Muda. Manusia itu pandai berpura-pura. Tidak sulit dia mengubah sikap hanya karena ingin agar dapat mengubah dugaan orang! Kalau kau selalu menduga orang dengan perubahan sikapnya, tidak heran kalau kau akan mudah dikecoh.... Brusss! Brusss!"
"Busyet! Dia tidak mudah dikibuli. Sekarang aku harus tahu siapa dia!" kata Joko dalam hati. Namun sebelum dia lakukan apa yang ada dalam benaknya, si kakek telah angkat bicara.
"Anak muda... Biar rasa heran ku hilang, coba kau katakan siapa nama yang disebut-sebut si nenek itu untukku?!"
"Hem... Dia seolah tahu kalau aku ingin menanyakan namanya...." Membatin Joko. Lalu dengan sedikit gelagapan dia berujar. "Dia tidak sebut-sebut namamu. Dia hanya sebut-sebut ciri-ciri orang! Tapi jelas ciri-ciri yang disebut ada padamu!"
"Hem... Meski aku percaya, tapi bukan berarti rasa heran ku jadi hilang..." gumam si kakek.
"Kek! Kau sudi katakan siapa dirimu sebenarnya?!" tanya Joko yang sudah kehabisan akal untuk mengorek keterangan dari kakek di hadapannya.
"Mengherankan. Kau tadi bilang sudah bicara panjang lebar dengan si nenek. Sekarang kau masih juga bertanya padaku..."
"Dayang Sepuh memang bicara panjang lebar tentang dirimu. Tapi dia tidak sebut-sebut namamu..."
"Hem... Jadi kau ingin tahu namaku?! Bruss! Bruss!"
Pendekar 131 anggukkan kepala. Si kakek bersin lagi sebelum menjawab.
"Mungkin di sini ada orang yang bisa menjawab pertanyaanmu, Anak Muda... Tapi bukan aku..."
Murid Pendeta Sinting sipitkan mata dengan kening berkerut. Belum sampai Joko menduga-duga, si kakek telah berucap lagi.
"Aku tahu, kau pura-pura merasa heran. Padahal kau juga tahu kedatangannya..." Si kakek bersin lagi. Lalu arahkan wajahnya ke satu jurusan. Mulutnya membuka.
"Sahabat... Jangan membuatku makin heran dengan datang tanpa tunjukkan diri..."
Terdengar orang bergumam dari jurusan mana si kakek menghadap. Paras Joko berubah tegang. "Bagaimana kalau orang yang muncul adalah nenek menor itu?!"
"Anak muda... Aku heran. Mengapa kau tegang begitu rupa?! Bukankah kau tadi ingin tahu namaku...?! Kurasa ada seorang sahabat yang akan menjawab keingintahuan mu..." bisik si kakek tanpa memandang pada murid Pendeta Sinting.
"Apa hendak dikata..." Akhirnya Joko angkat bahu dan palingkan wajah ke jurusan mana si kakek menghadap. Dadanya makin berdebar juga heran. Si kakek dapat menangkap kedatangan orang, sedangkan dirinya belum mengetahui.
"Sahabatku, Datuk Wahing... Aku hanya kebetulan lewat. Makanya aku sengaja tidak tunjukkan diri... Tapi kalau kau..."
Terdengar suara orang dari jurusan mana si kakek hadapkan wajah. Namun sebelum ucapan orang yang belum kelihatan tampangnya ini selesai, si kakek yang selalu bersin-bersin dan baru saja disebut orang dengan Datuk Wahing telah buka mulut menukas.
"Sahabatku, harap kau sudi tunjukkan diri. Di sini ada seorang muda yang ingin berkenalan. Kurasa kau bisa menjawab keinginannya...."
Mendengar ucapan-ucapan orang, murid Pendeta Sinting bisa sedikit merasa lega. Karena dari ucapan orang, dia sudah memastikan yang baru saja berkata dan belum tampakkan diri bukanlah Dayang Sepuh. Hingga dia balikkan tubuh dengan mata memandang tak berkesip. Sejarak kira-kira sepuluh tombak, satu sosok tubuh keluar dari balik kerapatan pohon. Sekali bergerak, sosok ini telah tegak hanya tujuh langkah di hadapan Joko dan si kakek.
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang matanya dibeliakkan besar-besar. Sementara si kakek yang disebut Datuk Wahing dongakkan kepala lalu bersin-bersin beberapa kali.
***
EMPAT
PENDEKAR 131 Joko Sableng pandangi orang di hadapannya dengan mulut terkancing tapi hati bertanya-tanya. "Kalau saja pada hidungnya ada anting-anting benang berwarna merah, pasti aku bisa mengenali kalau orang ini tidak lain adalah kakek yang sebutkan diri Kiai Lidah Wetan yang kutemui beberapa waktu lalu..."
Orang di hadapan murid Pendeta Sinting memang seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih sebahu. Sepasang matanya agak besar dan menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya lebat juga berwarna putih. Kalau orang pernah bertemu dengan Kiai Lidah Wetan, mungkin orang akan menebak jika orang di hadapan Joko adalah saudara kembar Kiai Lidah Wetan, atau setidak-tidaknya masih ada hubungan darah.
Karena baik wajah maupun sosoknya sama. Yang membedakan antara orang di hadapan murid Pendeta Sinting dengan Kiai Lidah Wetan adalah anting-anting dari benang berwarna merah. Orang yang kini di hadapan Joko tidak mengenakan anting-anting benang pada kedua cuping hidungnya, sementara Kiai Lidah Wetan mengenakan anting-anting benang.
Begitu orang tegak di hadapannya, Datuk Wahing tampak tengadahkan kepala lalu bersin beberapa kali. Setiap kali baru bersin, kepalanya yang sedikit merunduk ditundukkan makin dalam seolah membuat gerakan seperti orang menjurahormat.
"Hatiku senang sekali bertemu denganmu, sahabatku Kiai Laras... Tapi dibanding rasa gembiraku, nyatanya rasa heran ini makin banyak! Brusss!Brusss!" ujar Datuk Wahing dengan air muka meringis.
Orang yang baru muncul dan ternyata bukan lain memang Kiai Laras, sunggingkan senyum. Memandang sejurus pada Datuk Wahing lalu pada murid Pendeta Sinting.
"Aku tak heran, Datuk Wahing. Sesuatu yang tidak mengherankan bagi orang, akan mengherankan bagimu..."
"Hem...." Murid Pendeta Sinting memandang silih berganti pada si kakek dan orang yang baru muncul. "Kakek bersin-bersin itu bernama Datuk Wahing. Dan kakek satu ini bernama Kiai Laras. Dugaanku, dari wajah dan namanya, kemungkinan besar kakek ini masih ada hubungannya dengan Kiai Lidah Wetan. Mudah-mudahan dia nanti bisa membuka sedikit jalan buntu yang kuhadapi selama ini...! Dan mudah-mudahan pula kakek ini bukan jadi tambahan orang aneh yang kutemui..."
Datuk Wahing memandang sejurus pada Kiai Laras. "Sahabatku... Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak muda ini yang kurasa sangat membuatku heran. Harap kau sudi menjawabnya kalau kau tidak heran dengan pertanyaannya dan bisa...!"
Kiai Laras arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting. Joko balas memandang seraya bungkukkan sedikit tubuh. "Anak muda... Siapa namamu?!" Bertanya Kiai Laras.
"Joko Sableng, Kek..."
"Hem... Kakek sahabatku ini tadi sudah mengatakan siapa aku. Jadi aku tidak usah perkenalkan diri..." kata Kiai Laras. Melirik sebentar pada Datuk Wahing lalu lanjutkan ucapannya. "Apa yang ingin kau ketahui, Anak Muda?!"
"Sebelum aku bertanya, aku ingin tahu. Apakah Kakek masih ada hubungan dengan orang tua bernama Kiai Lidah Wetan?!"
"Aku sudah menduga sejak kau memandangi ku tadi. Aku juga tidak kaget. Karena bukan pertama ini orang yang baru kukenal menanyakan seperti yang kau tanyakan... Cuma perlu kau ketahui, aku tidak pernah jumpa dengan orang tua yang namanya baru saja kau sebut! Aku sekarang ingin tanya. Mengapa kau menduga aku ada hubungan dengan orang tua yang kau katakan sebagai Kiai Lidah Wetan?!" Kiai Laras balik bertanya.
"Wajahmu, Kek..."
"Kenapa wajahku...?!"
"Hampir sama! Dan nama depanmu pun sama..."
"Hem... Tapi kau masih bisa membedakan, bukan?!"
Murid Pendeta Sinting menjawab dengan anggukan kepala. Sementara sepasang matanya tak henti terus menerus pandangi dengan seksama sekujur tubuh orang tua di hadapannya.
"Bagus! Berarti aku tak usah terangkan lagi urusan hubungan ku dengan orang tua bernama Kiai Lidah Wetan itu! Sekarang apa kau ingin tanya sesuatu yang menurut sahabatku ini mengherankan?!"
"Kek... Kau pernah dengar tentang Kembang Darah Setan?!" Joko langsung sajaajukan tanya.
"Aku bukan hanya dengar. Tapi aku tahu seluk beluk mengenai Kembang Darah Setan!"
Saking girangnya, murid Pendeta Sinting cepat melangkah maju mendekati Kiai Laras. "Harap kau sudi terangkan padaku, Kek!"
Seolah acuh dengan kegirangan orang, malah tanpa memandang, Kiai Laras berkata. "Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat. Senjata itu dimiliki seorang tokoh berilmu sangat tinggi yang dikenal dengan Maladewa. Orang itu terakhir kali diberitakan tinggal di Kampung Setan! Sayangnya sudah hampir tiga puluh tahunan orang itu tidak terdengar lagi kabar beritanya..."
"Kau pernah bertemu dengan orang yang bergelar Setan Liang Makam?!"
Masih tanpa memandang, Kiai Laras buka mulut menyahut. "Siapa pun orang rimba persilatan saat ini, pasti tidak akan tahu orang yang gelarnya baru saja kau katakan! Karena selama ini dalam kancah dunia persilatan, tidak ada orang yang bergelar Setan Liang Makam! Kalaupun ada, tentu seorang yang baru saja muncul...!"
"Tapi orang itu tahu tentang Kembang Darah Setan juga sebut-sebut Kampung Setan. Berarti dia adalah seorang tokoh dunia persilatan..." ujar Joko.
"Betul! Tapi seperti kataku tadi, pasti dia orang yang baru saja muncul! Dan kalau dia sebut-sebut Kembang Darah Setan serta Kampung Setan, itu adalah hal biasa, Anak Muda..."
"Bruss! Bruss! Sahabatku, kau orang yang beruntung. Hal demikian hebat yang menurutku sangat mengherankan kau sebut suatu yang biasa..." Datuk Wahing menyahut lalu pulang balikkan kepalanya ke depan ke belakang dengan wajah meringis.
"Kek... Satu lagi pertanyaanku. Apa kau kenal dengan seorang nenek bergelar Dayang Sepuh?!" tanya murid Pendeta Sinting.
Kali ini Kiai Laras langsung sentakkan kepalanya memandang pada Pendekar 131. Parasnya sedikit berubah. Namun sesaat kemudian bibir orang tua ini sunggingkan senyum. "Kusarankan padamu, Anak Muda! Berhati-hatilah kalau kau bertemu dengan nenek itu! Dia seorang nenek berilmu tinggi yang sangat licik! Dia tak akan lepaskan mangsanya sebelum tujuannya berhasil!
Dan terbetik kabar akhir-akhir ini dia sedang menyelidik Kembang Darah Setan. Beberapa tokoh tinggi di sebelah barat banyak yang tewas tanpa diketahui siapa yang melakukan. Tapi orang mulai menduga-duga jika semua pembunuhan itu didalangi Dayang Sepuh! Mungkin beberapa orang yang tewas tidak mau memberi keterangan yang diminta Dayang Sepuh..."
Diam-diam dada murid Pendeta Sinting berde- bar. "Hem... Jangan-jangan nenek itu memang punya tujuan tertentu hingga bersikeras ikut dengan ku! Aku pernah mengatakan padanya urusan Kembang Darah Setan serta Kampung Setan! Mungkin dari keteranganku ini dia menduga aku tahu banyak tentang Kem- bang Darah Setan serta Kampung Setan. Lalu dia pura-pura hendak ikut mencari kakekku yang kukatakan hilang. Hem... Benar-benar licik nenek itu..."
"Anak muda... Apakah kau menginginkan Kembang Darah Setan?!" Kiai Laras bertanya seraya alihkan pandangannya pada Datuk Wahing.
Meski merasa tidak dipandang orang, murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berkata. "Mendengar namanya saja aku sudah ngeri, Kek... Bagaimana mungkin aku menginginkannya?! Lagi pula untuk apa?!"
"Bruss! Bruss! Bruss! Kalau kau sudah ngeri mendengar namanya, aku justru heran mendengar namanya! Jadi pasti mengherankan pula kalau aku menginginkan pula barang itu! Lagi pula kembang adalah barang yang sedapat mungkin ku jauhi! Aku sendiri heran, mengapa penyakit ku akan menjadi-jadi kalau membaui kembang..." Datuk Wahing tiba-tiba menyahut meski Kiai Laras tidak bertanya padanya. Anehnya begitu selesai bicara, orang tua ini langsung saja bersin-bersin takputus-putus!
Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Diam-diam laki-laki ini berkata dalam hati. "Hem... Tampaknya dia dapat mencium kembang di balik pakaianku. Bukan saat ini waktu yang baik untuk menundukkan manusia-manusia ini!"
Habis membatin begitu, Kiai Laras memandang pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda. Walau kau tidak inginkan Kembang Darah Setan, tapi tak ada jeleknya kau tahu di mana beradanya kembang itu saat ini. Siapa tahu suatu saat pikiranmu berubah..."
Belum sampai Joko buka mulut menyahut, Kiai Laras telah lanjutkan ucapannya. Sementara di sebelah samping Datuk Wahing terus bersin-bersin.
"Anak muda... Menurut kabar yang akhir-akhir ini tersiar, Kembang Darah Setan dimiliki oleh seorang pemuda yang oleh kalangan rimba persilatan dikenal dengan Pendekar Pedang Tumpul 131! Benar tidaknya aku tidak tahu..." Kiai Laras memandang ke arah Datuk Wahing. Lalu berkata.
"Aku tak bisa lama-lama di sini, Sahabat!"
Tanpa menunggu sahutan orang, Kiai Laras berkelebat tinggalkan tempat itu. Entah masih terkesima dengan ucapan yang baru didengar dari Kiai Laras, Joko hanya tegak diam dengan mata memandang ke jurusan lain.
"Bruss! Bruss! Bruss! Mengherankan... Bagaimana bisa penyakit ku mendadak kumat menjadi-jadi? Jangan-jangan kau membawa kembang, Anak Muda!"
Joko tersentak. "Jangan-jangan dia hendak mulai..." Murid Pendeta Sinting mulai curiga dan khawatir dengan ucapan Datuk Wahing. "Daripada melayaninya, lebih balk aku cari tempat yang tenang seraya kaitkan hubungan ucapan-ucapan orang tua tadi!"
"Kek... Aku juga harus pergi!" Joko balikkan tubuh.
"Heran... Apa kau kira aku mencegahmu...?!" kata Datuk Wahing. Lalu bersila lagi.
Pendekar 131 angkat bahu lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun karena takut kalau diikuti orang, sejarak sepuluh tombak, dia palingkan kepala ke arah di mana Datuk Wahing berada. Joko jadi terkejut. Suara bersinan masih saja terus terdengar. Namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan di tempatnya semula! Bahkan hingga Joko balikkan tubuh dan memandang berkeliling, dia tak melihat siapa-siapa padahal suara bersinan terus saja terdengar!
Entah ingin tahu sampai di mana suara bersinan itu akan terus terdengar, Pendekar 131 sengaja tegak tidak bergeming dari tempatnya seraya tajamkan telinga untuk mengetahui di mana sebenarnya adanya Datuk Wahing. Herannya, meski murid Pendeta Sinting dapat tentukan dari mana arah sumber suara bersinan, namun begitu matanya mencari, dia tidak melihat sosok si kakek!
"Percuma kau mencari orangnya, Anak Muda! Karena dia sudah tidak ada di sini! Yang kini terdengar adalah gaung suaranya saja yang akan terus memantul dan tak akan ada habisnya! Datuk Wahing memiliki ilmu yang disebut 'Pantulan Tabir'!" Satu suara tiba- tiba terdengar, membuat Joko palingkan kepala.
"Hem... Rupanya dia belum pergi dari sini...!" gumam murid Pendeta Sinting begitu matanya mengenali siapa adanya orang yang bersuara.
***
LIMA
TIDAK jauh dari tempat tegaknya murid Pendeta Sinting, Kiai Laras tampak tegak dengan sunggingkan senyum. Dan belum sampai Pendekar 131 buka mulut, Kiai Laras sudah angkat bicara lagi.
"Anak muda. Waktu aku akan pergi, tiba-tiba aku ingat sesuatu... Kalau tidak salah, sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini..."
"Hem... Seingatku, bahkan aku yakin. Baru kali ini bertemu. Adalah aneh kalau dia berkata pernah jumpa denganku..." Joko membatin dalam hati. Lalu berkata.
"Kek... Orang terkadang memang lupa! Bisa katakan di mana kira-kira kita pernah jumpa?!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Jangan salah, Anak Muda. Aku tidak katakan pernah jumpa. Tapi aku pernah melihatmu..."
"Di mana, Kek?!"
"Di sebuah kedai. Kalau tak salah, kau bersama seorang gadis cantik!"
Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak. "Kau jangan bercanda, Kek! Nenek-nenek begitu masih juga kau katakan gadis cantik! Dandanannya memang boleh. Ketiak dan pusar kelihatan. Celana pendek di atas lutut dengan paha terpampang jelas. Lalu rambut di poni dan pipi serta bibir dipoles merah. Sayangnya semua itu tidak dipadu dengan warna kulit yang memadai!" Murid Pendeta Sinting masih menduga bahwa yang dimaksud gadis cantik oleh Kiai Laras adalah si nenek Dayang Sepuh.
"Hem... Berarti anak ini telah bertemu dengan nenek itu!" kata Kiai Laras dalam hati. Sambil tetap sunggingkan senyum, dia lalu berujar.
"Aku tidak bercanda, Anak Muda. Jelas kau waktu itu bersama seorang gadis cantik berpakaian warna merah..."
"Dia memang berpakaian warna merah, Kek!" sahut Joko sebelum Kiai Laras teruskan ucapannya. Lalu tertawa bergelak lagi.
"Ah, kau terburu memotong, Anak Muda. Dia berpakaian merah. Rambutnya dikuncir tinggi. Bibirnya merah tanpa polesan. Dan kulitnya putih bersih..."
Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. Dahinya mulai berkerut. "Kek! Jangan-jangan kau salah lihat! Selama ini aku belum pernah jumpa dengan seorang gadis! Apalagi yang rambutnya dikuncir tinggi, bibir merah tanpa polesan, dan berkulit putih bersih seperti yang baru saja kau katakan. Aku justru ketiban sial berjumpa dengan nenek berdandan seronok itu..."
Kiai Laras kembali gelengkan kepala. "Aku memang sudah tua, Anak Muda. Tapi mataku tidak mungkin salah pandang!"
"Ah... Bagaimana bisa begitu, Kek?! Padahal aku sendiri tidak pernah jumpa dengan seorang gadis meski kau benar mengatakan melihatku di sebuah kedai!"
"Hem... Mungkin benar juga ucapanmu, Anak Muda. Aku salah lihat!" ujar Kiai Laras pada akhirnya setelah agak lama terdiam. "Kau tadi mengatakan jumpa dengan nenek berdandan seronok. Dari ciri-ciri yang kau katakan, sedikit banyak aku dapat menduga siapa adanya nenek itu. Kau harus bersyukur, Anak Muda..."
"Bersyukur bagaimana, Kek?!"
"Kau bisa lepaskan diri dari cengkeraman nenek itu! Karena jarang sekali ada orang yang bisa lolos dari cengkeramannya..."
"Aku meninggalkannya sewaktu dia mandi di sebuah sendang!"
"Mau turut saran ku, Anak Muda?!" tanya Kiai Laras. Namun orang tua ini tampaknya tidak menunggu jawaban orang. Karena dia sudah lanjutkan ucapannya. "Segeralah tinggalkan tempat ini jauh-jauh! Ku yakin nenek itu memerlukan sesuatu darimu! Entah apa itu, aku tak bisa mengatakannya! Yang pasti, begitu dia mendapat sesuatu yang diharapkan, maka nyawamu tak mungkin dibiarkan begitu saja..."
"Dari gelagat dan sikap nenek itu, rupanya benar juga ucapan orang tua ini..." Joko diam-diam membatin. Lalu dia berkata.
"Kek... Sebelum aku pergi, mau sedikit memberi keterangan tentang kakek bernama Datuk Wahing tadi?"
"Dia adalah sahabatku. Aku tahu dan kenal betul dengannya. Kau juga harus merasa bersyukur sekali lagi, Anak Muda. Karena biasanya orang tua itu tidak mudah diajak bicara! Sebaliknya kalau orang tidak mau jawab pertanyaannya, dia tidak segan-segan untuk membunuh! Kalangan rimba persilatan tidak senang dengan dia! Karena pada beberapa puluh tahun silam, dia berada di belakang tokoh bernama Maladewa yang merajalela tebarkan kematian di mana-mana! Kalaupun sampai saat ini dia masih hidup, itu hanya karena dia berilmu tinggi..."
"Kek! Bukankah kau tadi mengatakan kalau Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat milik Maladewa. Lalu kau menerangkan Datuk Wahing berada di belakang Maladewa. Tapi mengapa Datuk Wahing sepertinya tidak tahu saat aku sebut-sebut Kembang Darah Setan?!"
"Anak Muda. Mana ada orang yang belangnya ingin ditunjukkan pada orang lain? Dan kau tahu, aku tadi terpaksa buru-buru pergi begitu menjawab pertanyaan mu karena aku tidak mau terlibat sengketa dengan dia! Aku pun terpaksa menuruti keinginannya untuk menjawab pertanyaanmu. Sebab jika tidak, pasti dia akan membuat masalah!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. "Kek... Kira-kira di mana Kampung Setan itu?!"
Kiai Laras tertawa pendek mendengar pertanyaan Pendekar 131. "Anak muda. Bukankah kau tadi mengatakan tidak berniat dengan Kembang Darah Setan? Adalah aneh, kalau kau sekarang menanyakan Kampung Setan..."
Paras muka murid Pendeta Sinting sedikit merah. Tapi dia buru-buru tersenyum dan berujar. "Sekadar ingin tahu tak ada salahnya bukan, Kek?!"
"Hem... Anak Muda. Pada beberapa puluh tahun silam, nama Kampung Setan memang dikenal orang. Namun hingga sekarang, tidak seorang pun yang bisa tunjukkan di mana beradanya kampung itu. Hingga siapa pun pasti ragu akan kebenaran adanya Kampung Setan!"
"Tapi Kembang Darah Setan benar-benar ada, bukan?!" tanya Joko.
"Menurut beberapa orang memang ada. Tapi aku tidak pernah melihatnya..."
"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan kalau Kembang Darah Setan saat ini telah dimiliki seorang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"
"Anak muda. Kembang Darah Setan adalah benda yang ada hubungannya dengan dunia persilatan. Benda macam begitu akan selalu menjadi incaran orang. Ke mana dan di mana pun beradanya, pasti akan segera menyebar!"
"Heran... Bagaimana bisa?!" gumam Joko tak habis pikir.
"Anak muda. Kau rupanya sudah tertular ucapan Datuk Wahing. Selalu heran... Apa yang membuatmu heran?!"
Joko sedikit tersentak. Lalu geleng-geleng kepala. "Kek. Turuti ucapanmu, aku harus cepat pergi dari sini. Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas semua keteranganmu..."
Joko bungkukkan sedikit tubuhnya. Lalu berkelebat tinggalkan Kiai Laras. Kiai Laras sunggingkan senyum tanpa berkata apa-apa lagi. Begitu dilihatnya sosok murid Pendeta Sinting lenyap, Kiai Laras balikkan tubuh.
"Di sekitar tempat ini hanya ada satu sendang. Kalaupun dia mengejar pemuda itu tadi, aku dapat menduga di mana dia akan lewat..." Sekali membuat gerakan, sosok Kiai Laras telah melesat kencang.
***
Nenek Dayang Sepuh tiba-tiba hentikan langkahnya. Tanpa berpaling atau membuat gerakan lain, dia buka mulut. "Cucu... Kaukah itu?! Mengapa kau sembunyi? Bukankah sudah kukatakan suara alam mengatakan aku ada jodoh dengan kakekmu?!"
Seorang pemuda berambut panjang acak- acakan diikat dengan ikat kepala warna putih yang duduk mendekam hanya sejarak sepuluh langkah dari tempat tegaknya Dayang Sepuh kerutkan dahi. Namun belum sempat dia berpikir, Dayang Sepuh telah buka mulut lagi.
"Cucu... Daripada main petak umpet, bukan- kah lebih baik kita teruskan perjalanan mencari kakekmu?!"
Meski tahu kalau dirinya yang dimaksud, namun si pemuda yang mendekam tak juga menyahut atau membuat gerakan memberi isyarat keberadaannya. Di lain pihak, karena tahu siapa adanya orang yang mendekam dan tak mau buka mulut, si nenek mulai geram. Dia angkat bicara lagi. Tapi suaranya keras membahana.
"Kalau kau tidak juga keluar..." Ucapan Dayang Sepuh belum selesai, terdengar suara tertawa. Lalu satu sosok tubuh berkelebat dari balik pohon dan tegak tidak jauh dari hadapan si nenek.
"Nek... Bukan maksudku meninggalkanmu. Aku tadi tertarik pada sesuatu. Aku mengejarnya sampai di sini..." kata orang yang tegak dihadapan Dayang Sepuh. Seorang pemuda yang kalau orang pernah berjumpa dengan murid Pendeta Sinting, maka ia pasti tak akan bisa membedakan.
Dayang Sepuh diam mendengarkan dengan seksama. Namun sebenarnya orang tua ini bukan me-nyimak ucapan orang, melainkan perhatikan pemuda yang tegak di hadapannya. "Apa yang menarik hatimu, Cucu...?! Seorang gadis...?!"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan karena sedang cari alasan untuk jawab pertanyaan orang, melainkan coba menduga-duga arti pandangan Dayang Sepuh. "Apakah dia tahu aku bukan yang asli? Atau ada yang salah dengan diriku?!" Diam-diam si pemuda yang menyamar sebagai Joko Sableng bertanya sendiri dalam hati. Lalu melirik anggota tubuhnya sendiri.
Mendadak Dayang Sepuh tertawa bergelak. "Aneh... Kau kutanya apa yang menarik hatimu hingga kau meninggalkan ku, tapi kau melihat pada dirimu sendiri! Apa yang menarik pada dirimu, Cucu...?! Kau tampan benar. Kau disukai gadis-gadis tidak bisa disangkal. Tapi di depan mataku, kau bukan apa-apa! Kau dengar itu?!"
Joko tergagu diam. Dia kini pandangi Dayang Sepuh dengan paras berubah. Sebaliknya yang dipandang ambil kepangan rambutnya, sementara tangan satunya menata poni di depan keningnya. Saat bersamaan, dia berkata. Suaranya ketus.
"Semula aku ingin mengajak mu cepat-cepat mencari kakekmu. Tapi suara alam mengatakan aku harus pergi dari sini!"
"Nek..."
Dayang Sepuh sentakkan kepangan rambut di tangannya ke belakang. Terdengar deruan. Lalu serangkum angin menghampar ke arah Joko. Seolah sudah menangkap gelagat, Joko buru-buru melompat sebelum rangkuman angin melesat.
"Nek... Apa sebenarnya maksudmu?!" teriak Joko.
"Kau yang harus jawab tanya ku! Bukan kau yang bertanya!" hardik Dayang Sepuh. Sepasang mata nenek ini mendelik angker. Lalu lanjutkan hardikannya. "Mengapa bau mu lain? Apa yang telah kau kerjakan, hah?"
"Nek..."
"Diam!" tukas Dayang Sepuh. "Jawab pertanyaan ku! Jangan hanya panggil Nak! Nek! Nak! Nek!"
"Aku tak mengerjakan apa-apa..."
"Jangan berani berdusta padaku! Aku mencium bau lain di tubuhmu!"
Air muka lelaki yang menyamar sebagai Joko berubah tegang. Namun cuma sekejap. Saat lain pemuda ini telah tertawa. "Kau ini aneh, Nek! Bau apa yang kau katakan lain dalam tubuhku?!"
"Aku tanya padamu. Kau sedang jatuh cinta?!" tanya Dayang Sepuh.
Joko tertawa bergelak meski dahinya sempat berkerut. Tapi dia segera putuskan gelakan tawanya tatkala dilihatnya si nenek mendongak lalu membentak.
"Jangan tertawa bekakakan! Jawab tanya ku tadi!"
"Nek! Aku memang laki-laki. Dan di sini pun ada perempuan. Tapi apakah mungkin dan pantas aku jatuh cinta?!"
"Hem... Apakah kau tadi mengejar seorang gadis?!"
"Mana mungkin di tempat begini ada seorang gadis?!"
Dayang Sepuh arahkan pandangan ke jurusan lain. Dengan sedikit tengadahkan kepala dia berucap. "Kau mengatakan tidak sedang jatuh cinta. Kau juga mengatakan tidak mengejar seorang gadis. Aku sekarang tanya. Untuk apa kembang itu kau bawa-bawa?!"
Saking kagetnya, lelaki itu sempat surutkan langkah satu tindak. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Dayang Sepuh dengan mulut terkancing rapat. Dayang Sepuh sendiri tampak terus tengadah diam seolah menunggu jawaban orang.
"Nek..." kata Joko palsu setelah agak lama berdiam diri. "Aku tadi tertarik pada sekuntum bunga. Lalu aku memetiknya. Apakah ini kau anggap salah?! Apa orang yang sedang jatuh cinta atau sedang mengejar gadis saja yang boleh membawa kembang?!"
"Aku tak akan jawab pertanyaanmu! Aku hanya ingin memastikan kalau kau membawa kembang! Dan kau telah menjawabnya!" Dayang Sepuh arahkan pandangan matanya pada Joko. Lalu bertanya.
"Kau masih ingin pergi bersama denganku?!"
"Kalau kau tidak keberatan!"
"Baik. Aku urungkan niat harus pergi dari sini walau itu suara alam yang mengatakannya. Tapi aku tidak mau pergi dengan orang muda yang bau kakek-kakek sepertimu! Kau lihat... Aku sudah segar habis mandi! Air sendang tidak jauh dari sini... Sebelum kita pergi bersama-sama, kau harus mandi dahulu! Biar kau tidak bau kakek-kakek!"
Kali ini Joko palsu tidak dapat lagi sembunyikan keterkejutannya. Namun dalam keadaan seperti itu, si pemuda masih cepat berpikir Dia segera balikkan tubuh lalu melangkah ke arah sendang sambil berkata. "Kalau hanya itu kemauanmu, aku tak keberatan melakukannya. Lagi pula aku sudah ingin mandi..."
"Senang aku mendengarnya..." ujar Dayang Sepuh seraya ikut melangkah di belakang Joko, membuat Joko hentikan langkah dan berkata.
"Kau hendak ke mana, Nek?!"
"Aku sampai di sini tadi terus mandi. Sekarang sambil menunggu kau mandi, aku ingin lihat pemandangan sendang itu!"
"Ah... Bagaimana aku bisa mandi kalau kau melihat?!"
"Aku bukan ingin melihatmu mandi. Aku hanya ingin melihat pemandangan sendang. Apa keinginanku ini kau anggap salah?!"
"Dari sikap dan dandanan mu, aku tidak percaya kalau kau hanya ingin melihat pemandangan sendang! Kau pasti ingin melihatku mandi! Aku tak akan mandi kalau kau tidak menunggu jauh!"
Dayang Sepuh tertawa. "Kalau hanya itu keinginan mu, aku tak keberatan memenuhinya! Lagi pula apa untungnya melihat kakek-kakek telanjang bulat?! Hik Hik Hik...!"
Joko palsu tidak acuhkan ucapan si nenek. Setelah melirik sekilas, dia berkelebat cepat ke arah sendang. Di lain pihak, begitu Joko melesat, Dayang Sepuh balikkan tubuh lalu sambil perdengarkan tawa mengekeh panjang, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Rupanya Joko palsu tidak melesat menuju sendang, pemuda itu berputar di satu tempat lalu berlari kembali ke arah semula dengan mengambil jalan lain. Namun dia tersentak tatkala sampai di tempat mana Dayang Sepuh tadi berada, ternyata dia sudah tidak melihat si nenek. Bahkan setelah dia berputar di sekitar tempat itu hingga beberapa kali!
***
ENAM
SOSOK tubuh itu berlari tidak begitu cepat. Namun dalam beberapa saat saja sosoknya sudah jauh melesat ke depan sana. Pada satu tempat yang cukup tinggi di sebuah lembah si sosok hentikan larinya. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya panjang juga berwarna putih. Sepasang matanya agak besar dan sayu. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar anting-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini tidak lain adalah Kiai Lidah Wetan. Kakak kandung Kiai Laras.
Si kakek sejurus gerakkan kepala berputar. Lalu kepalanya terhenti saat pandang matanya menangkap satu sosok tubuh yang duduk bersila dengan kedua tangan merangkap di dada dan sepasang mata terpejamrapat. Kiai Lidah Wetan memandang berlama-lama. Dia tahu, meski sosok yang duduk bersila tampak pejamkan sepasang matanya dan diam tak bergerak, malah seolah tidak tahu akan kemunculan orang, tapi sebenarnya sosok itu telah mengetahui kedatangannya. Sosok yang duduk bersila adalah seorang perempuan tidak muda lagi namun wajahnya masih bayangkan kecantikan. Jelas pertanda saat mudanya perempuan ini adalah seorang gadis berparas cantik jelita. Rambutnya sudah berwarna dua.
"Kau hanya sia-siakan umur kalau tetap pada pendirianmu, Lasmini!" Tiba-tiba Kiai Lidah Wetan buka mulut. Saat bersamaan dia melompat. Dan tahu-tahu telah tegak empat langkah di hadapan perempuan yang baru saja dipanggilnya Lasmini.
Si perempuan perlahan-lahan buka kelopak matanya. Memandang sejurus pada Kiai Lidah Wetan tanpa sunggingkan senyum. Malah si perempuan hanya sekejap saja memandang. Saat lain dia arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Dia menghela napas panjang. Dan pandang matanya, jelas orang mudah menduga kalau perempuan ini sedang mengalami tekanan batin luar biasa. Dan sikapnya yang duduk bersila dengan kedua tangan merangkap di depan dada bukannya untuk bersemadi, melainkan sedang tenggelam pada pikirannya sendiri!
"Lasmini..." Kiai Lidah Wetan kembali angkat bicara saat ditunggu agak lama si perempuan tidak juga buka suara. "Aku rela menerima kehadiranmu kembali meski kalau ingat masa lalu itu rasanya sulit dan tak kupercaya aku bisa melakukannya. Tapi mengingat keadaanmu juga kisah-kisah kita dahulu, bagaimanapun juga kuakui aku masih tetap menyayangi dan membutuhkan kehadiranmu. Tapi apalah arti semua itu kalau kau tetap tidak bisa melupakan duka derita dan penyesalan mu. Selama ini kau hanya tenggelam dengan pikiranmu sendiri tanpa memandang sebelah matapadaku!"
Kiai Lidah Wetan menghela napas dengan hentikan ucapannya. Sepasang matanya menatap tajam pada si perempuan. Namun yang dipandang belum juga membuka mulut. Malah dia masih arahkan pandangannya ke jurusan lain.
"Lasmini... Sampai kapan semua ini berlang- sung? Sampai kapan kau mau buka mulut dan kita bisa bicara sebagaimana dahulu?! Rasanya sudah cukup kesabaranku untuk menunggu..."
"Kiai Lidah Wetan!" Si perempuan yang dipanggil Lasmini tiba-tiba angkat bicara. "Kalau kau masih tidak mau menerima kehadiranku dalam keadaan begini, aku tak keberatan tinggalkan tempat ini!"
Kiai Lidah Wetan buru-buru melangkah maju seraya berucap. "Kau selalu salah sangka dengan ucapanku, Lasmini! Bagaimanapun keadaanmu aku akan rela menerimanya! Berapa pun waktu yang kau habiskan tanpa acuhkan kedatanganku, aku akan sabar menunggu! Hanya saja, bukankah akan lebih baik kalau kita bisa bicara seperti waktu-waktu kita muda dahulu?! Kau kecewa dan sakit hati, aku tahu! Tapi apakah rasa kecewa dan sakit hatimu akan selesai dengan sikapmu sekarang ini?! Tidak, Lasmini!
Perasaan kecewa dan sakit hatimu akan makin dalam kalau kau terus menerus tenggelam pada pikiranmu tanpa melakukan apa-apa untuk menghapuskannya! Dan aku berkali-kali telah mengatakan padamu, aku bersedia bahkan rela mati untuk membantumu membalaskan rasa kecewa dan sakit hatimu! Karena kecewamu adalah kecewa ku! Kau merasakan sakit hati, aku pun merasakannya! Tapi bagiku lebih menyakitkan lagi kalau kau tidak berbuat apa-apa padahal aku telah berusaha memulainya..."
Untuk pertama kalinya Lasmini sunggingkan senyum. "Terima kasih kau selalu perhatikan diriku, Kiai... Tapi rasanya saat ini masih sulit bagiku menentukan langkah apa sebaiknya yang harus kulakukan! Aku minta maaf kalau selama ini tidak acuhkan kedatangan mu. Kau jangan salah duga... Terus terang aku berada di persimpangan jalan yang sukar menentukan arah mana sebaiknya yang harus kutempuh..."
Paras wajah Kiai Lidah Wetan tampak bersinar mendengar Lasmini sudah mulai buka suara. Padahal saat kehadirannya hingga sekarang, perempuan itu tidak mudah untuk diajak bicara. Kalaupun mau angkat suara, itu hanya seperlunya saja dan sepertinya enggan. Dia seakan senang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Lasmini... Kau sulit menentukan jalan mana yang harus kau tempuh, karena selama ini kau hanya diam. Seandainya sejak semula kau mau diajak bicara, pasti saat ini kau telah mendapatkan jalan itu! Tapi semuanya belum terlambat... Demi kasih sayang ku padamu, aku dengan senang hati akan membantumu..."
Lasmini arahkan pandangannya pada Kiai Lidah Wetan. Kedua orang ini untuk beberapa lama saling berpandangan. "Kau bersungguh-sungguh, Kiai...?!"
Kiai Lidah Wetan tertawa perlahan. "Jadi selama ini kau diam saja karena belum percaya padaku?!"
"Kau tahu, Kiai... Semua rencana hidupku hancur gara-gara ulah seorang laki-laki! Harap kau maklum kalau aku sekarang tidak mudah untuk percaya pada ucapan laki-laki..."
Kembali Kiai Lidah Wetan tertawa mendengar ucapan Lasmini. Sambil alihkan pandangan, orang tua ini berkata. "Ucapanmu menandakan kau masih saja menganggapku sama dengan Panjer Wengi!"
"Harap kau jangan sebut-sebut nama itu lagi!" Lasmini cepat menyahut.
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Aku harus menyebutnya meski aku tahu sekarang kau tak suka! Karena aku bukanlah Panjer Wengi! Manusia yang telah menyakiti dan mengecewakan mu! Bahkan aku rela menerimamu kembali meski aku tahu kau telah membuatku kecewa dan sakit hati! Apakah hal itu masih juga membuatmu tak percaya?! Bagi laki-laki lain mungkin mereka menganggapku bodoh, karena masih mau menerima orang yang menyakiti. Tapi itu bukan ukuran bagiku, Lasmini..."
Ucapan Kiai Lidah Wetan membuat Lasmini terdiam. Dia sadar, apa yang baru saja dikatakan Kiai Lidah Wetan benar adanya. Mereka berdua pernah menjalin cinta pada masa dahulu. Namun pada satu saat, muncullah seorang pemuda bernama Panjer Wengi. Pemuda mana yang pada akhirnya membuat hati Lasmini berpaling dari Kiai Lidah Wetan. Tapi akhirnya Lasmini harus menelan kecewa. Karena ternyata sebelum ini Panjer Wengi telah punya seorang kekasih. Dan rupanya Panjer Wengi tidak bisa melupakan kekasihnya itu. Hingga meski antara Lasmini dan Panjer Wengi telah dikaruniai seorang anak perempuan, Panjer Wengi tak bisa melupakan kekasihnya.
Sebagai seorang perempuan, Lasmini tak mau di duakan. Sebagai pelarian, dia pergi begitu saja dengan harapan Panjer Wengi akan sadar. Namun hal ini malah menjadi bumerang. Hubungan Panjer Wengi dengan kekasihnya makin akrab. Dan pada puncaknya, akhirnya Lasmini mendengar Panjer Wengi telah mempunyai anak perempuan dengan kekasihnya itu. Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata perkawinan dirinya dengan Panjer Wengi hanya karena Panjer Wengi sungkan terhadap ayahnya yang bukan lain adalah guru Panjer Wengi sendiri.
Sakit hati Lasmini membuat perempuan ini menaruh dendam berkarat. Dia berusaha mencari jalan untuk membalas sakit hatinya. Terakhir kali Lasmini menyamar sebagai Tengkorak Berdarah yang saat itu rimba persilatan digemparkan dengan terbukanya Istana Hantu. (Baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)
Namun usaha Lasmini yang menyamar sebagai Tengkorak Berdarah akhirnya juga harus menemui kegagalan. Lebih menyakitkan lagi, ternyata penghuni Istana Hantu itu sendiri adalah Panjer Wengi. Dan orang yang membuka penyamarannya adalah bekas kekasih Panjer Wengi. Hanya saja Lasmini sedikit merasa lega, karena saat terjadi kegegeran di depan Istana Hantu, dia berhasil mengetahui siapa anaknya yang selama ini ditinggalkan. Namun ada pula yang membuat hatinya geram. Kitab Sundrik Cakra yang telah berhasil di- genggam akhirnya harus jatuh lagi ke tangan pemuda yang akhirnya diketahui bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!
Pada puncak kecewa dan geramnya, akhirnya Lasmini pergi menemui Kiai Lidah Wetan. Entah apa tujuan perempuan ini menemui Kiai Lidah Wetan, yang jelas dengan senang hati Kiai Lidah Wetan menerimanya meski Lasmini datang dengan keadaan masih tenggelam dalam pikirannya sendiri akibat beberapa kejadian beruntun yang membuat hatinya makin ke- cewa dan sakit hati.
(Untuk lebih jelasnya mengenai perjalanan hidup Lasmini, baca serial Joko Sableng dari episode Gerbang Istana Hantu sampai dengan episode Misteri Tengkorak Berdarah)
Lasmini perlahan-lahan bergerak bangkit. "Kiai... Maafkan kalau selama ini aku selalu menyakitimu..."
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Lasmini. Dengan kedatangan mu kembali, sudah cukup rasanya sebagai obat hati ini! Hanya yang kuminta darimu, kau harus dapat melupakan semua yang telah terjadi. Kita mulai hari baru..."
"Kiai... Rasanya sulit bagiku melupakan kejadian yang telah berlalu sebelum..."
"Aku tahu!" Kiai Lidah Wetan sudah menukas sebelum Lasmini teruskan ucapannya. "Dan kau telah dengar sendiri dari mulutku. Aku akan membantumu! Bahkan sekarang aku sudah mulai..."
"Apa yang sudah kau mulai, Kiai..."
"Beberapa waktu yang lalu, saat penantian Maladewa telah berakhir! Dia berhasil dikeluarkan dari Kampung Setan tanpa Kembang Darah Setan, senjata dahsyat pusakanya! Saat ini Maladewa sudah mulai melangkah dengan gelaran baru Setan Liang Makam! Dan tujuan pastinya adalah membunuh Pendekar 131 beserta gurunya si Pendeta Sinting!"
Lasmini kerutkan dahi. "Bagaimana bisa begitu, Kiai?!"
"Dengan satu muslihat yang ku atur, kini tersebar kalau pemegang Kembang Darah Setan adalah Pendekar 131!"
"Tapi aku telah bertekad untuk membunuh pemuda itu dengan tanganku sendiri!"
Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Itu nanti mudah diatur. Dan pada puncaknya selain kita dapat memiliki senjata dahsyat itu, kau akan dapat membalas sakit hatimu pada orang yang kau kehendaki!"
"Tapi bukankah kau pernah menyinggung kalau Kembang Darah Setan masih memiliki rahasia lagi dibaliknya?!"
"Betul! Dan hal itu sudah ku atur juga! Kita tinggal menunggu waktu! Kau diam-diamlah di sini sambil menunggu saat yang tepat!"
Mendengar ucapan Kiai Lidah Wetan, kini ganti Lasmini yang perdengarkan suara tawa. "Kau ini bagaimana, Kiai. Tadi kau bilang aku harus lakukan sesuatu. Sekarang kau mengatakan aku tinggal menunggu saja!"
"Lasmini... Sejak kedatanganmu kembali, terus terang saja aku takut kehilangan dirimu lagi. Jadi biarlah urusan ini aku yang mengaturnya! Kau tinggal menunggu waktu yang tepat..."
"Tidak, Kiai... Bagaimana mungkin aku bisa berpangku tangan kalau kau menghadapi sesuatu yang berbahaya? Kerelaan hatimu yang mau menerima kehadiranku kembali tidak layak kalau harus kubalas dengan berdiam diri menunggu! Apalagi urusannya masih berkaitan dengan dendam ku! Aku harus ikut terlibat! Kau tahu, tanganku sendiri kelak yang harus mencabut nyawa manusia-manusia yang sakiti hatiku!"
"Kesediaanmu kuhargai, Lasmini. Tapi terus terang saja aku khawatir..."
"Apa yang kau khawatirkan? Aku masih punya kekuatan! Atau kau takut hubungan kita ini diketahui orang lain?!"
"Aku tidak takut meski seluruh dataran tanah Jawa tahu hubungan kita! Namun, perlu kau ketahui, apa yang sedang kulakukan adalah benar-benar rahasia! Bahkan orang harus tidak tahu bahwa akulah di belakang semua ini! Untuk itu sementara ini aku harus tidak menjadi buah bibir orang!"
"Jadi, kau bermaksud hubungan kita ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi?!"
"Itu bukan maksud ku, Lasmini. Ini hanya salah satu jalan. Semua orang saat ini mungkin masih ingat akan kejadian di Istana Hantu. Kalau saat ini kita muncul bersama-sama, sedikit banyak orang akan menaruh curiga. Dan hal itu akan menghambat rencana yang telah kuatur!"
"Hem... Lalu apa yang harus kulakukan?! Aku tidak bisa berpangku tangan hanya menunggu!"
"Kalau kau ingin terlibat, itu pun harus secara diam-diam. Dan jangan sampai hubungan kita ini tercium orang lain! Lagi pula kita harus bertindak sangat hati-hati. Orang yang kita hadapi saat ini bukan tokoh-tokoh sembarangan! Dan aku yakin tak berapa lama lagi akan muncul beberapa tokoh yang selama ini tidak terdengar kabar beritanya!" Kiai Lidah Wetan memandang pada Lasmini.
"Lasmini... Sebenarnya aku mengharap kau tidak ikut terlibat dalam urusan ini. Aku takut kita akan berpisah lagi. Kau tahu, sejak kehadiranmu, aku ingin putaran hari-hari ini segera berlalu dengan cepat dan urusan selesai. Setelah itu kita akan hidup bahagia berdua..."
Ucapan Kiai Lidah Wetan seakan merupakan hujan di waktu kemarau panjang di hati Lasmini. Tanpa sadar, perempuan ini menubruk sosok Kiai Lidah Wetan seraya lingkarkan kedua tangannya. Mungkin tenggelam dalam perasaan suka dan duka, hingga untuk beberapa lama Lasmini tak kuasa untuk angkat bicara.
Kiai Lidah Wetan mengelus punggung Lasmini. "Kau tahu, Lasmini... Aku seakan belum percaya dengan semua ini! Dan aku takut semua ini akan berlalu begitu saja..."
"Kiai... Tahu begini besar rasa cinta mu padaku, menyesal aku dahulu meninggalkanmu! Dan sebagai tebusan atas penyesalan ini, aku akan lakukan apa saja untukmu, untuk kebahagiaan kita..."
"Tapi itu butuh pengorbanan, Lasmini..."
"Pengorbanan apa pun akan kulakukan, Kiai..." bisik Lasmini sambil rebahkan kepala dan eratkan pelukannya. "Tapi itu kita bicarakan nanti. Aku sekarang ingin meyakinkanmu bahwa semua ini benar-benar nyata dan..."
Ucapan Lasmini tidak berlanjut, karena saat itu Kiai Lidah Wetan telah tarik kedua bahu si perempuan hingga kepalanya menjauh dari dadanya. Sesaat kedua orang ini saling berpandangan. Saat lain wajah Kiai Lidah Wetan telah bergerak merapat, dan tidak lama kemudian keduanya sudah tenggelam dalam ciuman-ciuman dan pelukan erat.
***
TUJUH
DEWI Seribu Bunga hentikan langkahnya tatkala telinganya mendengar suara dengkuran. Gadis berwajah cantik ini sejenak terlihat bimbang. Hingga meski telah hentikan langkah, tapi belum juga kepalanya bergerak berpaling untuk mengetahui siapa adanya orang yang tidur mendengkur di siang bolong itu.
Saat itu suasana memang sangat panas. Sementara tempat di mana Dewi Seribu Bunga berada banyak ditumbuhi kerapatan pohon berdaun rindang, hingga tempat itu terasa sejuk dan tak heran orang akan segera terlelap jika istirahat di sekitar tempat itu. Namun suasana sejuk itu tidak membuat Dewi Seribu Bunga ingin istirahat apalagi tidur. Dia masih tidak bisa melupakan peristiwa yang dialaminya.
"Orang yang selama ini ku rindukan telah kecewakan hatiku! Lebih baik aku pulang menemui Guru... Tapi, apakah hal itu tidak akan menambah kekalutan hatiku...? Ah...."
Tanpa sengaja Dewi Seribu Bunga berpaling ke arah suara dengkuran. Sesaat sepasang mata si gadis yang masih tampak agak sembab ini menyipit. Dahinya berkerut. Lalu saat lain sepasang matanya membesar. Saat bersa- maan dia bergerak, dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dua belas langkah dari orang yang mendengkur tidak jauh dari sebuah pohon besar. Mendadak sepasang bola mata Dewi Seribu Bunga mendelik. Sosoknya bergetar keras dengan kedua kaki tegak laksana di pacak!
"Pendekar 131!" desis Dewi Seribu Bunga tatkala matanya mengenali siapa adanya orang yang tidur mendengkur.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?! Membunuhnya?! Atau membiarkan dia hidup dengan mengambil korban-korban lain?!" Dewi Seribu Bunga dilanda kebimbangan karena dia sama sekali tidak menduga.
Sementara orang yang perdengarkan suara dengkuran dan bukan lain memang murid Pendeta Sinting sesaat tampak menggeliat. Tapi kejap lain sudah diam kembali dengan dengkuran makin keras. Dewi Seribu Bunga melangkah maju dengan sosok makin bergetar. Sepasang matanya memandang tak berkesip. Gadis ini hentikan gerakan kakinya sejarak lima langkah dari Pendeta Sinting. Dadanya tampak turun naik.
"Aku menyayanginya. Tapi kalau dia mau merusak ku apa artinya?! Laki-laki macam dia memang pantas mampus!"
Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Tapi begitu kedua tangannya berada di atas kepala dan slap lepaskan pukulan, gadis ini kembali di landa kebimbangan. "Apa dengan mampusnya dia hatiku jadi tenteram?! Apa dengan matinya dia di tanganku, aku akan merasa puas?! Tapi... Ah, aku tak bisa melakukannya...! Aku tak bisa dustai diriku sendiri kalau aku masih mendambakannya!"
Dewi Seribu Bunga gigit bibirnya sendiri. Setelah berlama-lama memandang, entah karena tak kuasa menahan diri, Dewi Seribu Bunga turunkan kedua tangannya lalu balikkan tubuh dan berlari tinggalkan tempat itu dengan mata menitikkan airmata. Saat itulah murid Pendeta Sinting buka kelopak matanya karena lamat-lamat telinganya mendengar suara isakan tangis. Dan saat dia memandang ke depan, matanya langsung membesar. Dahinya mengernyit.
Karena saat itu Dewi Seribu Bunga sudah melangkah agak jauh, Joko tidak bisa mengenali raut muka si gadis. Namun ketika teringat akan keterangan Kiai Laras, yang mengatakan pernah melihat dirinya dengan seorang gadis berpakaian warna merah dan rambut dikuncir tinggi, Joko segera bangkit.
"Ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu ada pada gadis itu! Sikapnya mencurigakan..." Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berteriak.
"Hai. Tunggu!"
Mendengar teriakan orang, Dewi Seribu Bunga bukannya hentikan langkahnya, sebaliknya berkelebat makin cepat.
"Aneh... Dari gerakan bahu dan suaranya, jelas kalau dia sedang menangis. Apa yang ditangisi?!" Joko palingkan kepala ke kanan kiri. Dia tidak melihat siapa-siapa.
"Beberapa hari ini aku selalu bertemu dengan orang tua-tua. Kali ini ada seorang gadis. Tentu lebih asyik dengannya meski belum kuketahui wajahnya!"
Pendekar 131 cepat berkelebat mengejar. Dan tahu kalau dirinya dikejar, Dewi Seribu Bunga makin percepat larinya. Namun setelah agak lama saling kejar-kejaran, akhirnya Dewi Seribu Bunga hentikan larinya dengan menggumam sendiri dalam hati.
"Kalau dia hendak lakukan apa yang pernah diperbuatnya tempo hari, aku tak segan membunuhnya!"
Dewi Seribu Bunga berhenti dengan kedua tangan diangkat ke atas. Dan saat merasakan orang sudah tegak di belakangnya, dia segera buka mulut membentak. "Jangan coba-coba mendekat! Dan jangan kira aku tak tega membunuhmu!"
Joko celingukan memandang ke kanan kiri. "Dia bicara dengan siapa?!" katanya dalam hati. Lalu dengan bibir sunggingkan senyum dan seolah tak hiraukan ancaman orang, murid Pendeta Sinting melangkah mendekat.
"Jangan bergerak dari tempatmu! Atau kau ingin buktikan bahwa aku tega membunuhmu?!"
"Ah... Kau rupanya suka bercanda..." ujar Joko dengan hentikan langkah.
Dewi Seribu Bunga perdengarkan dengusan keras. "Siapa bercanda?! Majulah kalau kau ingin buktikan!"
"Hai... Ada apa ini?! Kau mengancamku. Padahal aku belum..."
"Belum apa?! Belum puas dan hendak lakukan sekali lagi?! Kau memang pantas dibunuh!" Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga balikkan tubuh.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting terpentang besar. "Dewi Seribu Bunga..." Joko sunggingkan senyum lebar lalu laksana terbang dia meloncat.
Tapi Dewi Seribu Bunga sudah hantamkan kedua tangannya. Hingga bukan saja membuat gerakan murid Pendeta Sinting tertahan, namun dengan pontang-panting dia harus melompat selamatkan diri dari gelombang dahsyat yang melesat keluar dari hantaman kedua tangan Dewi Seribu Bunga.
"Dewi... Ini aku, Joko! Joko Sableng!" kata Joko dengan arahkan telunjuk pada dirinya sendiri.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak menyahut. Hanya sepasang matanya yang menyengat tajam. Sementara di sebarang sana, murid Pendeta Sinting sudah tersenyum lalu buka mulut sambil melangkah hendak mendekat.
"Bagaimana kabarmu, Dewi... Tidak disangka- sangka kalau di tempat ini kita bisa berjumpa..."
Dewi Seribu Bunga masih kancingkan mulut. Kalaupun sesaat kemudian dia angkat bicara, dia langsung membentak. "Aku tahu kau Joko Sableng, pemuda murid Pendeta Sinting bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Tapi kalau kau teruskan langkah, aku akan tetap membunuhmu!"
"Dewi... Ada apa ini?! Apa sebenarnya yang terjadi?! Kau jangan membuat hatiku deg-degan tak karuan...! Dan kalau bercanda jangan yang aneh-aneh..."
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Dewi Seribu Bunga tertawa pendek. Seraya menatap dingin dia berkata. "Jangan banyak basa-basi, Pendekar 131! Katakan saja sekarang apa maumu!"
"Nada ucapannya seperti tidak main-main! Ada apa sebenarnya ini?! Apa aku memang sudah ditakdirkan harus menemui yang aneh-aneh selalu?! Kalau beberapa orang yang lalu aku masih sedikit maklum meski tetap bingung. Tapi yang ini aku benar-benar tak bisa mengerti sama sekali! Atau barangkali gadis ini bukan Dewi Seribu Bunga...?!"
Berpikir sampai ke sana, meski dengan dada bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting enak saja bertanya. "Kau Dewi Seribu Bunga, bukan?!"
Yang ditanya tidak menjawab. Malah sepasang matanya makin mendelik, membuat Joko mulai yakin kalau gadis di hadapannya tidak sedang bercanda.
"Baik! Meski kau bukan Dewi Seribu Bunga, tapi dihadapanku kau tetap Dewi Seribu Bunga. Sekarang tolong katakan padaku, apa arti semua ini!"
Merasa Joko bercanda dan seolah tidak menyesali apa yang telah dilakukannya, Dewi Seribu Bunga tidak dapat menahan gejolak amarahnya. Dengan angkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dia membentak garang.
"Aku memberimu waktu untuk segera tinggalkan tempat ini!"
"Dewi! Kau bersungguh-sungguh?!" Murid Pendeta Sinting seakan masih tidak percaya dengan ucapan si gadis.
"Kau akan saksikan sendiri kalau tidak segera angkat kaki!"
"Dewi... Aku tak mengerti permainan apa yang sedang kau lakukan?! Sudah beberapa lama kita tidak saling jumpa! Kau tahu... Selama ini aku selalu ingin bertemu denganmu! Malah seandainya aku tahu di mana kau berada, aku sudah datang mengunjungimu..."
"Jangan teruskan ucapan usang itu, Pendekar 131! Dan jangan mimpi aku percaya setiap kata yang kau ucapkan! Jadi bukankah lebih baik kau segera angkat kaki?!"
"Kau boleh saja tidak percaya pada setiap kata ucapanku! Tapi kau harus tahu, saat ini aku bicara sungguh-sungguh!"
"Percuma, Pendekar 131! Tindakanmu telah membuatku sangat kecewa!"
"Benar-benar ada yang tak beres! Kiai Laras mengatakan pernah melihatku bersama seorang gadis cantik berpakaian merah dengan rambut dikuncir tinggi. Meski aku tak yakin benar, yang dimaksud orang tua itu pasti gadis ini. Yang aneh, mengapa tiba-tiba gadis ini mengatakan kecewa dengan tindakanku?! Apa yang telah kulakukan? Padahal, sejak keluar dari kediaman Eyang Guru, baru kali ini aku berjumpa dengannya! Dan aku yakin tak pernah bertindak apa-apa! Hem..." Dada murid Pendeta Sinting disarati berbagai hal yang membuatnya seakan hilang akal.
"Dewi..." kata Joko setelah agak lama diam. "Kau boleh percaya boleh tidak! Sejak dari Jurang Tlatah Perak sampai saat ini, aku baru sekali ini jumpa dengan seorang gadis! Dan itu kau adanya! Adalah aneh kalau kau mengatakan sangat kecewa dengan tindakanku!Apa..."
Belum sampai Pendekar 131 lanjutkan ucapannya, Dewi Seribu Bunga telah memotong. "Bicaralah sepuas hatimu! Tapi jangan harap aku percaya!"
Ucapan Dewi Seribu Bunga membuat hati murid Pendeta Sinting agak panas. Dengan suara agak keras dia akhirnya berkata. "Baik! Apa pun yang akan kukatakan kau tak akan percaya! Sekarang katakan apa yang telah kulakukan hingga membuatmu kecewa setinggi langit!"
"Hem... Jadi semudah itukah dia melupakan perbuatannya?! Apakah dia anggap tindakannya itu sebagai hal lumrah yang begitu saja mudah lenyap tanpa bekas?! Benar-benar bajingan laki-laki ini!" Diam-diam Dewi Seribu Bunga membatin dengan dada makin menggelegak.
Melihat Dewi Seribu Bunga tidak segera buka suara, Joko segera angkat bicara. "Mengapa kau diam?! Mengapa tidak kau katakan tindakan apa yang telah kulakukan?!"
"Pendekar 131! Mungkin menurutmu tindakan yang kau lakukan begitu mudah dilupakan! Tapi ketahuilah! Tindakanmu itu bukan saja membuatku sakit hati, tapi rasanya aku tega membunuhmu seandainya..." Dewi Seribu Bunga tidak kuasa lanjutkan ucapannya. Sebaliknya perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan dan matanya berkaca-kaca.
Melihat Dewi Seribu Bunga menitikkan air mata, Joko menghela napas panjang. Perlahan-lahan dia melangkah hendak mendekat. Tapi tiba-tiba Dewi Seribu Bunga telah membentak dengan suara bergetar dan serak.
"Jangan mendekat, Joko!"
Murid Pendeta Sinting urungkan langkah. "Dewi! Kau belum mengatakan tindakan apa yang telah ku lakukan!"
"Rasanya aku tak percaya kau masih bertanya! Belum cukupkah caramu menyakiti ku?! Belum cukup?!" Kali ini Dewi Seribu Bunga tidak dapat menindih perasaannya. Hingga bahunya tampak berguncang-guncang. "Terus terang, aku selama ini memang merindukan mu! Tapi aku bukan perempuan yang bisa seenaknya kau perlakukan menjijikkan! Kau... Kau telah memadamkan kerinduan ku... Seandainya aku tahu siapa dirimu dari dulu-dulu, tak mungkin aku jauh-jauh mencarimu! Kau... Kau..." Ucapan Dewi Seribu Bunga tenggelam dengan suara isakan tangisnya.
Panas hati murid Pendeta Sinting perlahan- lahan mereda begitu mengetahui ungkapan hati Dewi Seribu Bunga. Setelah isakan tangis si gadis terhenti, Joko segera buka mulut dengan suara perlahan. "Dewi... Kalau saja kau masih percaya dengan ucapanku..." Joko sengaja hentikan kata-katanya. Dia menunggu sejenak. Ketika Dewi Seribu Bunga tidak menyahut, Joko lanjutkan ucapannya.
"Rasanya semua yang baru kau katakan adalah aneh di telingaku. Aku baru pertama kali ini jumpa denganmu setelah peristiwa Pulau Biru! Jadi bagaimana mungkin aku melakukan hal menjijikkan padamu?!"
Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Matanya yang basah memandang tajam. "Kau masih saja membual, Joko!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Baik. Rasanya aku sudah tidak bisa lagi meyakinkan dirimu! Sekarang harap kau katakan di mana kita pernah jumpa sebelum ini!"
"Meski aku tahu kau hanya berpura-pura, tapi agar ingatanmu baik, aku akan jawab pertanyaanmu! Kau ingat kedai itu?!"
"Selama ini aku banyak mengunjungi kedai kalau sedang lapar! yang kau maksud kedai yang mana?!"
"Apa kau masih ingat tentang seorang nenek berdandan mencolok yang berhasil kau bawa pergi dan kau mendapat imbalan dari pemilik kedai?!"
"Ah... Yang itu aku ingat!"
"Bagus! Berarti kau tahu bagaimana kelanjutannya!"
"Kelanjutannya? Kelanjutannya apa?!"
Meski dengan dada makin menggelegak, akhirnya Dewi Seribu Bunga menjawab juga. "Kau berhasil membawa pergi nenek itu! Lalu kau kembali ke kedai untuk mengambil imbalan yang dijanjikan pemilik kedai. Lalu kita bertemu. Dan kau mengajakku pergi dari kedai. Kau sengaja mengajakku ke tempat yang sepi. Kau rupanya memanfaatkan ku yang selama ini mencarimu. Dan kau lakukan perbuatan terkutuk itu!"
"Perbuatan terkutuk apa?!" tanya Joko meski dadanya sudah ingin meledak.
"Hem... Jadi perbuatanmu yang ingin memperkosa ku bukan kau anggap perbuatan terkutuk?! itu kau anggap tindakan lumrah?!"
Mendadak murid Pendeta Sinting tertawa gelak-gelak. Dewi Seribu Bunga pandangi Joko dengan geram. Namun gadis ini merasa heran dengan dirinya sendiri. Sekuat tenaga dia coba tanamkan kebencian, tapi tak juga berhasil. Dia sudah tegarkan hati untuk turunkan tangan maut, namun kedua tangannya tidak juga kuasa dia gerakkan!
"Dewi..." ujar Joko setelah suara gelakan ta- wanya lenyap. "Sekarang aku yang menyangsikan mu! Jangan-jangan kau sedang mencari gara-gara!"
"Tutup mulutmu, Pendekar 131!"
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Sekarang saatnya aku buka mulut agar kau tahu bahwa tidak ada gunanya semua kekonyolan yang sedang kau lakukan ini! Aku memang ke kedai itu dan jumpa dengan nenek berdandan seronok. Ucapanmu juga benar yang mengatakan, aku lantas pergi dengan nenek itu. Tapi keterangan setelah itu adalah salah! Aku tidak pernah kembali ke kedai itu, apalagi mengambil imbalan yang memang dijanjikan pemilik kedai! Jadi bagaimana mungkin aku mengatakan kita bertemu?! Anehnya lagi, bagaimana mungkin aku akan memperkosa mu kalau aku tidak pernah jumpa apalagi pergi bersamamu?!"
Dewi Seribu Bunga tegak dengan tubuh bergetar. Gadis ini tampak buka mulut akan bicara. Namun Joko seakan tidak memberi kesempatan. Belum sampai ucapan Dewi Seribu Bunga terdengar, Joko telah berkata lagi.
"Aku memang berniat balik lagi ke kedai. Tapi nenek itu bersikeras ikut, hingga aku urungkan niat untuk balik. Setelah aku berpisah dengan nenek itu, aku sempat jumpa dengan seorang kakek yang katanya melihat ku bersama dengan seorang gadis berbaju merah di kedai! Aku sekarang merasa yakin kalau yang dimaksud kakek itu adalah dirimu! Yang sekarang jadi pertanyaan, mengapa kau mengambil orang yang mirip denganku lalu menuduhku yang bukan-bukan?! Apa maksud di balik tindakanmu ini?! Kau disuruh orang...?!"
"Hem... Kau enak saja balik menuduh setelah kau gagal melakukan perbuatan terkutuk itu! Apa kau kira ini bisa mengembalikan kepercayaan ku padamu?!"
"Aku tak memaksamu untuk percaya kembali padaku! Tidak ada gunanya semua itu kalau kau punya niat yang tidak baik padaku?!"
Dada Dewi Seribu Bunga laksana dipanggang bara. Dengan suara keras setengah menjerit dia berkata. "Kau pintar memutar balik urusan!"
"Kau yang bikin urusan, bukan aku! Saat ini aku banyak mendapat tuduhan macam-macam yang tak ku mengerti sama sekali duduk masalahnya! Kini kau tahu-tahu juga menuduhku! Jika dihubung-hubungkan, aku merasa ada kaitannya antara tuduhanmu dengan orang-orang yang selama ini juga menuduhku! Dewi! Katakan siapa orangnya di balik semua ini?"
"Kau ternyata bukan pandai memutar balik urusan saja! Tapi kau juga pandai menuduh untuk menutup kelakuan mu!" teriak Dewi Seribu Bunga. Seakan tak sabar lagi, belum sampai ucapannya selesai, kedua tangannya sudah bergerak lepaskan pukulan!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin dahsyat menggebrak ganas ke arah murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tak tinggal diam, apalagi tatkala yakin bahwa tuduhan Dewi Seribu Bunga hanyalah akal-akalan saja. Maka begitu Dewi Seribu Bunga lepaskan pukulan, Joko angkat kedua tangannya lain didorong kedepan.
Blamm! Blamm!
Dua ledakan keras segera saja terdengar tatkala angin pukulan Dewi Seribu Bunga bentrok dengan pukulan jarak jauh yang dilepas murid Pendeta Sinting. Sosok Dewi Seribu Bunga tampak tersurut satu langkah dengan kedua tangan bergetar keras. Di seberang depan, Joko tampak kibas-kibaskan kedua tangannya. Walau kakinya tidak bergeming, namun bentroknya pukulan tadi mau tak mau membuat kedua tangannya kesemutan.
Mendapati Joko tidak main-main, Dewi Seribu Bunga cepat kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Di lain pihak, menduga bahwa si gadis hendak lepaskan pukulan andalannya, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Kedua orang ini rupanya sudah sama-sama kalap dan tak bisa menahan diri.
Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Di seberang, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangannya kebelakang. Mata masing-masing sama memandang tajam. Kejap lain hampir bersamaan, keduanya gerakkan tangan lepaskan pukulan.
"Brusss! Brusss! Brusss! Brusss!"
Terdengar suara orang bersin beberapa kali. Lalu terdengar suara. "Heran... Heran... Apakah kalian pikir tindakan kalian ini dapat selesaikan urusan yang mengherankan ini?! Bruss! Brusss!"
***
DELAPAN
PENDEKAR 131 terkesiap. Dia sudah dapat menduga siapa adanya orang yang baru saja bersin dan perdengarkan suara. Dia sudah hendak urungkan niat untuk lepaskan pukulan. Tapi begitu melihat Dewi Seribu Bunga tidak acuhkan suara bersinan dan suara orang dan tetap gerakkan kedua tangan lepaskan pukulan, Joko buru-buru dorong kedua tangannya.
Tempat itu seketika di semaraki pijaran-pijaran api yang melesat dari kedua tangan Dewi Seribu Bunga, pertanda kalau gadis ini telah lepas pukulan 'Api Seribu Bunga'. Sementara dari seberang, tampak sinar kuning disertai gelombang dahsyat yang membawa serta hawa panas luar biasa. Bersamaan dengan melesatnya pukulan dari kedua tangan Dewi Seribu Bunga dan Joko Sableng, tiba-tiba terdengar suara bersinan beruntun tak putus-putus.
Anehnya bersamaan dengan terdengarnya suara bersinan, melesat angin luar biasa dahsyat dari delapan penjuru mata angin! Hebatnya gelombang angin itu saling pantul memantul ke delapan penjuru arah tak henti-hentinya. Sinar kuning pukulan sakti 'Lembur Kuning' serta pijaran-pijaran api pukulan 'Api Seribu Bunga' tersapu gelombang angin yang datang pantul memantul. Hingga bukan saja kedua pukulan sakti ini tidak saling bentrok melainkan kini terus melesat melayang-layang dari satu sudut ke sudut lain ke delapan penjuru arah diudara!
Baik Pendekar 131 maupun Dewi Seribu Bunga tampak tersentak-sentak ketika pukulannya memantul-mantul. Murid Pendeta Sinting yang telah tahu siapa adanya orang usil yang ikut campur cepat kerahkan tenaga dalam lagi. Tapi belum sampai dia sempat bergerak, terdengar suara ledakan hebat. Sinar kuning ambyar ke udara. Suara ledakan belum sirap, terdengar suara letupan beberapa kali. Pijaran-pijaran api yang sesaat tadi melayang-layang dari satu arah ke arah lain tiba-tiba redup!
Saat lain, gelombang angin yang datang dari delapan penjuru arah melesat tinggi ke udara. Di atas sana, delapan gelombang angin menyatu lalu membubung tinggi dan lenyap! Sosok murid Pendeta Sinting tergontai-gontai ke belakang dengan paras berubah pucat pasi. Joko rasakan dadanya laksana dihantam kekuatan berkali-kali hingga nafasnya sesak dan aliran darahnya laksana terbalik-balik. Kalau saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dan hawa murni, niscaya sosoknya akan terjengkang roboh!
Di seberang depan, sosok Dewi Seribu Bunga terseret sampai satu tombak sebelum akhirnya terkapar dengan tubuh bergetar keras. Kedua tangannya tampak lunglai ke tanah. Sepasang matanya terpejam rapat. Mukanya putih laksana tidak dialiri darah. Meski dari mulutnya tidak kucurkan darah, jelas kalau gadis ini terluka dalam walau tidak seberapa parah. Dewi Seribu Bunga lipat gandakan tenaga. Lalu dengan tegarkan hati, perlahan-lahan dia bergerak bangkit. Memandang ke depan, terlihat murid Pendeta Sinting gerakkan kepala ke samping kanan. Dewi Seribu Bunga ikut arahkan pandangannya ke kanan.
Satu sosok tubuh tampak melangkah perlahan-lahan dengan tongkat kayu dl tangan kanan. Dia adalah seorang kakek mengenakan pakaian lusuh warna putih kusam. Kepalanya berambut tipis putih. Sepasang matanya sipit. Hidung bagian depannya tampak mengembung besar. Seraya melangkah, kepala kakek ini tampak bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis. Siapa pun yang melihat sudah dapat menduga kalau gerakan kepala dan paras wajah si kakek menunjukkan kalau dia hendak bersin!
"Siapa kakek itu...?!" gumam Dewi Seribu Bunga. "Mengapa dia..."
"Bruss! Bruss! Brusss!"
Si kakek yang baru muncul dan bukan lain adalah Datuk Wahing bersin beberapa kali membuat gumaman Dewi Seribu Bunga terputus. Di lain pihak, Joko terpaksa pula urungkan niat yang hendak buka suara tatkala mendengar si kakek telah perdengarkan bersinan.
"Kek!" kata murid Pendeta Sinting dengan suara agak keras begitu suara bersinan sirna. "Harap kau tidak ikut-ikutan urusan ini! Lebih dari itu, kuharap kau lekas tinggalkan tempat ini!"
Datuk Wahing seolah tidak hiraukan ucapan orang. Enak saja dia duduk berlutut dengan tangan kanan memegang tongkat, sementara tangan kiri diletakkan di atas pahanya. Kepalanya terus bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis seakan hendak bersin.
"Kek! Aku telah memperingatkanmu! Harap segera pergi!" kata Joko setelah ditunggu agak lama ternyata Datuk Wahing tidak perdengarkan bersinan.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu berpaling. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan menghadap Dewi Seribu Bunga. Sepasang matanya dibeliakkan. Bibirnya sunggingkan senyum. Dewi Seribu Bunga hanya memandang sekilas. Lalu alihkan pandangannya. Datuk Wahing gerakkan kepala. Kini berpaling menghadap murid Pendeta Sinting. Kembali sepasang matanya dipentang. Lalu bibirnya sunggingkan senyum. Joko balas menatap dengan pandangan dingin dan acuh. Tapi diam-diam Joko mengakui bahwa kakek yang sempat ditemuinya itu benar-benar memiliki ilmu langka.
Karena yang dipandang tidak acuh, kembali Datuk Wahing berpaling ke arah Dewi Seribu Bunga. Saat yang sama, kebetulan si gadis tengah memandang ke arah si kakek. Hingga keduanya sesaat saling berpandangan meski buru-buru Dewi Seribu Bunga alihkan pandangannya lagi. Melihat tingkah Datuk Wahing, rupanya murid Pendeta Sinting tidak sabar. Dia kembali angkat bicara.
"Kek! Di antara kita tidak ada silang permusuhan! Harap kau tidak membuka sengketa dengan ikut campur urusan ini!"
"Mengherankan sekali kalau kau menuduhku ikut campur urusanmu! Urusanmu yang mana yang ku campuri, Anak Muda?!"
"Bukankah kau tadi sengaja pamer kekuatan dengan memporak-porandakan pukulanku?! Silakan kau pamer kekuatan, tapi bukan di sini tempatnya!"
"Mengherankan. Dua kali kau membuat tuduhan padaku, Anak Muda! Apa masih ada tuduhan lagi?!"
"Aku memang perlu bicara denganmu! Tapi bukan sekarang saatnya!"
"Aku akan sabar menunggu, meski aku heran gerangan apa yang akan kau bicarakan! Karena menurut ku, tak satu pun ada yang perlu dibicarakan di antara kita!"
Karena merasa tak ada gunanya lagi melayani Datuk Wahing, akhirnya Joko palingkan kepala ke arah Dewi Seribu Bunga sambil berucap. "Tunggulah! Aku akan selesaikan urusan dengan gadis itu! Tapi jangan coba-coba ikut campur dengan pamer kekuatan!"
Datuk Wahing tertawa. "Dari tadi kau mengatakan aku pamer kekuatan. Aku jadi bertanya-tanya dan heran. Kekuatan mana yang ku pamerkan?! Orang tua macam aku begini akan mengherankan orang kalaubberani pamer kekuatan di depan orang gagah sepertimu, Anak Muda. Orang kadangkala memang sering jadi salah sangka pada orang lain saat dirinya dalam keadaan marah. Tapi adalah mengherankan kalau orang muda sepertimu harus dikuasai hawa amarah dan tak bisa mengendalikannya!"
Ucapan Datuk Wahing membuat murid Pendeta Sinting palingkan kepala lagi pada si kakek. Lalu berkata. "Bagaimana orang tidak akan marah, kalau tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba dia menuduhku hendak memperkosanya?!"
"Siapa menuduh?! Kau memang melakukannya!" Dewi Seribu Bunga sudah menyahut.
"Kau dengar, Kek?!" tanya Joko dengan tertawa pendek. "Kau akan heran berlipat-lipat, Kek! Karena aku yakin benar jika baru kali ini bertemu dengannya. Tapi dia mengatakan aku..."
"Mataku tidak buta!" tukas Dewi Seribu Bunga. "Aku tak mungkin salah menyangka orang lain sebagai dirimu! Lagi pula apa untungnya bagiku mengada-ada kalau kau sudah tahu bahwa kepergianku semata-mata mencarimu?!"
Mungkin karena tidak tahan, kembali Dewi Seribu Bunga perdengarkan isakan. Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar ucapan Dewi Seribu Bunga. Sementara Datuk Wahing tampak mendengarkan dengan seksama.
"Mendengar ucapan-ucapan kalian, meski urusan ini tampak pelik, tapi aku tidak merasa heran sama sekali..." ujar Datuk Wahing. "Dalam hal ini yang pasti ada satu kemungkinan. Yaitu, ada orang yang melakonkan sebagai dirimu tapi bukan kau, Anak Muda!Dan yang lebih pasti lagi, orang itu punya maksud tertentu yang justru disini aku mulai heran. Apa maksudnya...?!"
Mendengar ucapan Datuk Wahing membuat murid Pendeta Sinting teringat kembali akan keterangan Kiai Laras yang mengatakan pernah melihatnya bersama seorang gadis cantik di kedai. Padahal dia tidak pernah bertemu dengan gadis di kedai.
"Ah... Rasanya ucapanmu ada benarnya, Kek...!" kata Joko pada akhirnya.
Sementara itu mendengar kata-kata Datuk Wahing dan murid Pendeta Sinting, Dewi Seribu Bunga menyahut. "Kek! Aku tidak sekali dua kali bertemu dengannya! Aku mengenal betul siapa dia! Dan yang kutemui di kedai serta hendak melakukan perbuatan terkutuk itu memang dia orangnya!"
"Aku tidak mengatakan kau salah, Anak Cantik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan kau benar!" Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda, kudengar kau tadi sebut-sebut seorang nenek begitu keluar dari kedai! Urusan ini akan jadi terang kalau kau bisa menemukan nenek itu dan membawanya pada gadis cantik itu!"
"Orang bisa saja bersekongkol!" Dewi Seribu Bunga menimpali. "Karana siapa tahu nenek itu adalah sahabatnya yang ingin melindungi?! Kalau memang ingin sekali, dan orang itu pasti tidak bisa diajak bersekongkol aku tahu orangnya!"
"Siapa?!" tanya Pendekar 131 dengan suara agak keras karena jengkel melihat Dewi Seribu Bunga masih juga tidak mau menerima apa yang dikatakan Datuk Wahing.
"Si orang tua pemilik kedai!" jawab Dewi Seribu Bunga tak kalah kerasnya. "Sekarang katakanlah aku memang salah melihat orang, tapi apa mungkin orang tua pemilik kedai itu juga salah melihat orang?! Dia tahu bahwa kaulah orang yang balik lagi setelah membawa pergi si nenek! Kau datang lagi untuk mengambil imbalan yang dijanjikannya! Apa mungkin orang itu mau memberikan imbalan pada orang lain?!"
Mendengar ucapan Dewi Seribu Bunga, murid Pendeta Sinting jadi terdiam. Sementara melihat orang seperti terpojok, Dewi Seribu Bunga lanjutkan ucapannya.
"Bagi orang tua pemilik kedai, memberi imbalan bukanlah sesuatu yang enak. Jadi tak mungkin orang tua itu gegabah memberikan imbalan pada orang yang tidak pantas diberi! Bukankah begitu,Kek...?!"
"Orang akan heran kalau aku mengatakan kau salah, Anak Cantik! Tapi orang akan lebih heran jika aku mengatakan kau benar!"
"Kau bisa katakan di mana salah dan benarnya?!" tanya Dewi Seribu Bunga.
"Aku bisa mengatakannya!" Tiba-tiba satu suara menyeruak. Bukan dari mulut Joko atau Datuk Wahing.
Pendekar 131 cepat berpaling ke arah sumber suara yang baru terdengar. Sementara Datuk Wahing tarik kepalanya ke belakang. Di lain saat orang tua ini telah perdengarkan bersin tiga kali berturut-turut. Di seberang depan, Dewi Seribu Bunga kernyitkan dahi lalu perlahan-lahan gerakkan kepala dengan mata mementang.
***
SEMBILAN
MEMANDANG ke samping kanan, Dewi Seribu Bunga melihat seorang nenek berambut putih dikepang dua yang pada ujungnya diberi pita. Rambut depannya diponi dan digersikan menutup keningnya. Pipi dan bibirnya dipoles merah. Nenek ini mengenakan baju warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang, hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Nenek ini berkulit gelap, hingga polesan merah di pipi dan bibirnya membuat wajahnya tidak bertambah cantik, melainkan terlihat makin angker! Dia adalah Dayang Sepuh!
Kalau semula murid Pendeta Sinting berusaha pisahkan diri dan berlari jauh-jauh dari Dayang Sepuh, apalagi setelah mendengar keterangan dari Kiai Laras tentang siapa adanya Dayang Sepuh, kini keinginan semula murid Pendeta Sinting seakan lenyap. Bahkan dia merasa lega melihat kemunculan si nenek di tempat itu. Di lain pihak, meski belum pernah bertemu, namun Dewi Seribu Bunga sepertinya sudah bisa menduga siapa adanya nenek yang tiba-tiba muncul.
"Nek...! Kebetulan kau datang. Harap kau mau jelaskan semuanya pada gadis itu!" kata Joko lalu melangkah hendak mendekat.
Tapi gerakan langkah murid Pendeta Sinting tertahan tatkala mendadak si nenek pentangkan mata dengan kedua tangan berkacak pinggang. Walau mulutnya terkancing rapat, dari sikapnya jelas kalau orang ini sedang marah.
"Ada apa dengan nenek ini?! Apa dia marah karena ku tinggalkan?!" Joko membatin. Lalu berkata. "Nek... Bukan maksudku meninggalkanmu. Aku..."
"Jangan banyak mulut!" hardik Dayang Sepuh. "Kau lupa apa yang pernah kukatakan, hah?!"
"Nek! Aku selalu ingat apa yang pernah kau katakan! Tapi yang kau maksud yang mana?!"
Dayang Sepuh tidak segera menjawab. Dia pandang sejenak Datuk Wahing yang gerak-gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang. Lalu melirik pada Dewi Seribu Bunga. Saat lain nenek ini telah arahkan pandang matanya pada Joko. Lalu berkata dengan suara tetap keras.
"Kau mengatakan selalu ingat. Tapi kau tanya yang mana!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
"Harap tidak heran, sahabatku Dayang Sepuh!" Datuk Wahing buka suara. "Anak muda ini sedang kalut! Hingga tak heran jika dia mengatakan ingat tapi masih bertanya..."
"Itu berarti tak ada bedanya dengan lupa!" sahut Dayang Sepuh.
"Nek..."
"Diam!" bentak Dayang Sepuh sebelum Joko lanjutkan ucapannya. Tapi Joko tidak hiraukan bentakan si nenek, dia kembali buka suara.
"Nek...!"
"Kau buka suara lagi, berarti urusanmu ini tidak akan selesai!" Dayang Sepuh sudah menukas kembali sebelum murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya.
Pendekar 131 tegak dengan mulut terkancing. "Apa kemauan orang tua menor ini sebenarnya?! Dia seolah tidak memberi ku kesempatan untuk bicara..." Joko tengadahkan kepala. Sekonyong-konyong murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu tepuk jidatnya sendiri.
"Aku tahu... Aku tahu sekarang..." gumamnya seraya senyum-senyum.
"Apa yang lucu?! Kau kira aku tertarik dengan senyum itu, hah?!" Dayang Sepuh membentak.
"Bibi Cantik..." ujar Joko dengan sikap menjura hormat. "Sekarang aku ingat apa yang pernah kau katakan! Harap maafkan kealpaanku tadi..."
Mendengar murid Pendeta Sinting memanggil dengan Bibi Cantik, mendadak sikap Dayang Sepuh berubah. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan dari pinggang. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepasang matanya melirik pada Dewi Seribu Bunga yang masih terheran-heran dengan sikap si nenek. Rona wajah si nenek yang tadinya angker perlahan-lahan merona merah, meski hal itu membuat paras kulit wajahnya makin gelap!
"Brusss! Brusss!"
"Heran. Bagaimana bisa begini?!" gumam Datuk Wahing dengan mata setengah terpejam pandangi Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh ambil kepangan rambutnya. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata dengan wajah dihadapkan pada Datuk Wahing. "Sahabatku, Datuk Wahing. Harap tidak terlalu heran dengan apa yang baru saja terjadi! Itu hanya sebuah hal yang tak perlu banyak dipersoalkan..."
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh hadapkan wajahnya pada Dewi Seribu Bunga. "Anak gadis! Kau hanya akan memperoleh jawaban membingungkan kalau ajukan tanya pada sahabatku kakek yang suka bersin itu! Sebagai wakilnya, aku akan jawab semua pertanyaanmu..."
"Aku tak akan bertanya pada orang yang belum ku kenal!" Dewi Seribu Bunga berkata dengan suara agak ketus.
"Aku... Hem... Yang Ingin kau ketahui gelar atau namaku?!" tanya Dayang Sepuh.
"Keduanya!" jawab Dewi Seribu Bunga.
Murid Pendeta Sinting sudah jengkel melihat sikap dan jawaban ketus Dewi Seribu Bunga. Namun melihat isyarat yang diberikan si nenek, murid Pendeta Sinting jadi urungkan niat untuk buka suara menegur.
"Anak gadis... Gelaranku Dayang Sepuh. Nama
ku Dayang Sepuh!" kata Dayang Sepuh. "Ingin tahu juga tempat tinggalku?"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini coba menahan geram dan rasa geli ingin tertawa. Setelah dapat kuasai diri, dia bertanya. "Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di kedai?!"
Dayang Sepuh tertawa dahulu sebelum berkata. "Kau tadi mengatakan tak akan bertanya pada orang yang belum kau kenal. Sekarang bagaimana mungkin aku akan jawab pertanyaan orang yang belum ku tahu siapa namanya dan dimana alamatnya?!"
"Aku Dewi Seribu Bunga!" Dewi Seribu Bunga
langsung berkata.
"Itu gelar atau nama asli?!" tanya Dayang Sepuh. Bunga.
"Kau bisa tebak sendiri!" jawab Dewi Seribu Bunga.
"Aku menebak itu tadi nama aslimu! Sekarang boleh tahu gelarmu?!"
Dewi Seribu Bunga tidak menyahut. Hanya wajahnya mulai berubah merah padam. Dayang Sepuh gelengkan kepala. Lalu buka suara lagi. "Tak apa kau tak mau sebutkan gelarmu. Sekarang boleh tahu di mana alamatmu?!"
"Nek! Kalau kau terus bercanda, kusarankan untuk segera angkat kaki dari sini!" bentak Dewi Seribu Bunga sudah tidak kuasa lagi menahan rasa jengkel.
Dayang Sepuh tidak tunjukkan wajah marah. Malah nenek itu tersenyum-senyum. Bahkan sesekali matanya mengerling pada murid Pendeta Sinting yang melihat dengan kepala menggeleng-geleng. "Baik. Tak apa kau tidak mau sebutkan alamat. Sekarang apa yang perlu kau tanyakan...?!"
Meski makin jengkel, namun akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata juga. "Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di kedai?!"
"Menurut pengakuannya bagaimana?!" Dayang Sepuh bukannya menjawab melainkan balik bertanya.
"Dia mengatakan bertemu kau di kedai itu!" kata Dewi Seribu Bunga.
"Betul!" sahut Dayang Sepuh sambil mainkan kepangan rambutnya, sementara tangan satunya menata poni di depan keningnya.
Dewi Seribu Bunga pandangi si nenek dengan seksama. Lalu bertanya lagi. "Apa benar setelah keluar dari kedai pemuda itu tidak balik lagi?!"
Dayang Sepuh berpaling dahulu pada murid Pendeta Sinting. Dada Pendekar 131 jadi waswas. "Urusan ini akan makin runyam kalau nenek menor ini menjawab dengan bercanda. Apalagi sampai memutar balik kenyataan..."
Dayang Sepuh tidak berkata apa-apa pada murid Pendeta Sinting. Dia hanya memandang sekilas lalu palingkan kepala lagi menghadap Dewi Seribu Bunga dengan buka suara. "Bagaimana yang dikatakan pemuda itu padamu?!"
"Dia mengatakan tidak kembali lagi ke kedai!" jawab Dewi Seribu Bunga.
"Hem... itu juga betul!"
Dewi Seribu Bunga kerutkan dahi. Sementara Joko mengambil napas lega. Malah saat itu juga dia menyahut ucapan Dayang Sepuh.
"Setelah itu kita pergi ke sendang. Bukankah begitu, Bibi...?!"
"Aku belum memberimu kesempatan untuk bertanya!" kata Dayang Sepuh dengan mata mendelik ke arah murid Pendeta Sinting.
Karena tidak habis pikir dengan jawaban Dayang Sepuh yang dikiranya mustahil, Dewi Seribu Bunga akhirnya bertanya. "Nek! Kau tidak berdusta?!"
"Menurutmu bagaimana?!" Dayang Sepuh balik bertanya.
"Kau bersekongkol dengannya untuk menutupi perbuatannya!"
"Hem... itu baru tidak betul!"
"Bagaimana ini?!" gumam Dewi Seribu Bunga tampak bingung.
"Kau bertanya padaku?!" tanya Dayang Sepuh.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak menjawab. Dayang Sepuh seolah tidak pedulikan kebingungan orang, dia kembali buka suara bertanya.
"Masih ada lagi yang hendak kau tanyakan, Anak Gadis?!"
"Bruss! Bruss!" Terdengar bersinan. Lalu Datuk Wahing sudah berkata. "Dia tidak bertanya lagi. Tapi aku sekarang yang heran. Herannya, lalu siapa pemuda yang menurut gadis itu adalah Anak Muda itu?!"
"Sahabatku! Kali ini rasanya bukan kau saja yang harus heran. Aku pun jadi merasa aneh dan yakin ada yang tak betul dalam urusan ini!" ujar Dayang Sepuh. Lalu berpaling pada Dewi Seribu Bunga sambil bertanya.
"Apa kau juga merasakan demikian, Anak Gadis?!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Dia memandang pada Dayang Sepuh, lalu beralih pada Datuk Wahing. Terakhir dia arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting. Agak lama Dewi Seribu Bunga pandangi sosok Pendekar 131. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis berparas cantik ini balikkan tubuh lalu tinggalkan tempat itu.
"Dewi! Tunggu!" seru Joko seraya berkelebat mengejar. Namun Dayang Sepuh telah melompat dan memotong gerakan murid Pendeta Sinting sambil berkata.
"Urusanmu dengan gadis itu telah selesai. Sekarang kita selesaikan urusan kita, Cucu!"
"Kita tidak punya urusan, Nek! Eh... Bibi!"
"Hem... Setelah urusan dengan gadis cantik selesai, kau mengatakan tidak ada urusan denganku! Enak betul bicaramu!"
"Bibi... Setelah berpisah denganmu, aku berhasil menemukan kakekku yang kuceritakan tidak pulang itu! Kini kakekku sudah pulang. Bukankah dengan demikian urusan kita selesai?!" kata Joko berbohong karena sebenarnya dia ingin segera mengejar Dewi Seribu Bunga.
"Hem... Begitu? Jadi kau benar-benar sudah merasa tidak punya urusan lagi denganku?!"
"Begitulah, Bibi... Dan aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas keteranganmu tadi! Sekarang aku harus segera pergi..."
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting berkelebat tinggalkan tempat itu. Dayang Sepuh pandangi kelebatan sosok Pendekar 131 dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu sekali gerakkan kaki, sosok si nenek pun melesat pergi.
"Bruss! Bruss! Brusss!"
"Heran. Tidak seorang pun dari mereka yang berpamitan padaku! Apa dikira aku ini orang tua yang mengherankan?!" gumam Datuk Wahing. Lalu tertawa gelak-gelak! Namun laksana direnggut setan, gelakan tawanya terputus. Yang terdengar kini adalah suara bersinan tak putus-putus. Hebatnya, suara bersinan itu laksana pantul memantul dari satu sudut ke sudut lain di delapan penjuru mata angin, padahal sosok Datuk Wahing sudah melangkah jauh dari tempat itu! Bahkan dia sendiri sudah tidak perdengarkan bersinan!
***
SEPULUH
KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 yang berkelebat mengejar Dewi Seribu Bunga. Juga Dayang Sepuh serta Datuk Wahing. Kita kembali sejenak pada Setan Liang Makam. Seperti diketahui, pada waktu yang ditentukan, Maladewa yang terpendam dalam makam batu berhasil keluar dengan bantuan seorang pemuda. Namun keluarnya Maladewa harus ditebus dengan beralihnya senjata dahsyat yang dikenal dengan nama Kembang Darah Setan ke tangan si pemuda.
Maladewa yang begitu keluar dari makam batu menggelari dirinya dengan Setan Liang Makam berusaha mencari jejak si pemuda. Dia sempat bertemu dengan Kiai Laras. Dari orang tua ini pula Setan Liang Makam tahu banyak tentang siapa adanya Pendekar 131 serta Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Kembang Darah Setan).
Setan Liang Makam berkelebat laksana angin. Dalam beberapa saat saja sosoknya yang hanya tinggal kerangka tanpa daging itu sudah mencapai sebuah kawasan hutan belantara. Begitu memasuki kawasan hutan, Setan Liang Makam hentikan kelebatannya. Lalu tegak dengan kepala berpaling ke samping kanan kiri. Saat lain kembali dia melesat dan tahu-tahu sosoknya telah bergerak diantara jajaran pohon dan semak didalam hutan.
Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan langkah. Memandang ke depan tampak tanah yang tidak ditumbuhi pohon maupun semak. Tanah itu hanya lima tombak berkeliling. Di tengah tanah itu tampak berdiri sebuah gubuk reot yang pintunya tertutup. Tidak terdengar suara. Tidak pula terlihat adanya gerakan orang di dalam gubuk. Setan Liang Makam pentangkan mata memandang pada gubuk. Cuma sesaat. Kejap lain tulang mulutnya bergerak membuka.
"Dadaka! Aku tahu kau ada di dalam! Kau pun tahu aku datang! Mengapa tidak cepat keluar menyambut ku?!"
Belum habis seruan Setan Liang Makam, pintu gubuk berderit membuka. Saat yang sama satu bayangan putih melesat keluar. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak hanya sejarak lima langkah di hadapan Setan Liang Makam. Orang ini ternyata seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih sepinggang dan tampak kumal awut-awutan. Sepasang matanya besar terpuruk masuk dalam rongga yang amat dalam. Kumis dan jambangnya juga putih lebat dan merangas tak terawat. Meski orang yang baru muncul bertampang angker, namun orang ini sempat unjukkan rasa kaget saat melihat sosok orang di hadapannya.
"Selama malang melintang, baru hari ini aku melihat manusia yang tampangnya begini rupa! Setan dari mana ini?! Anehnya dia tahu siapa aku! Berarti aku pernah mengenalnya! Tapi rasanya aku tak pernah bertemu dengan setan ini!" Diam-diam orang yang tadi di panggil Dadaka oleh Setan Liang Makam membatin. Namun karena tak mau orang tahu rasa kagetnya, Dadaka cepat alihkan pandangan. Lalu berkata.
"Kau sebut namaku dengan benar! Berarti kau memang datang untuk menemuiku! Katakan siapa kau dan apa perlumu!"
Sambil berkata sepasang mata Dadaka memandang dan melirik berkeliling. "Dia datang sendirian..." bisik Dadaka dalam hati.
Setan Liang Makam dongakkan kepala. "Tak usah khawatir, Dadaka! Aku datang tanpa pasukan!" kata Setan Liang Makam seakan bisa menangkap apa yang ada dalam benak orang. "Dan kau tak usah heran bila aku tahu siapa kau!" Setan Liang Makam tertawa bergelak.
"Lihat baik-baik, Dadaka! Siapa yang saat ini berdiri di hadapanmu!" Setan Liang Makam telah berucap kembali setelah sejenak puaskan tertawa.
Dadaka tidak gerakkan kepala memandang pada Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai. Lalu berkata. "Aku tak biasa lihat tampang orang yang datang untuk cari mampus!"
"Hem... Begitu?! Bagaimana kau bisa mengatakan begitu jika tidak dapat membuatku mampus pada tiga puluh enam tahun yang lalu?!"
"Aku tak pernah meninggalkan urusan dengan masih sisakan nyawa pada orang! Jadi Jangan mengada-ada!" ujar Dadaka sambil tertawa pendek.
"Kau terlalu membual, Dadaka! Buktinya kau lihat sendiri! Aku masih bernyawa! Bahkan akan ganti mengambil selembar nyawamu!"
Sesaat Dadaka terdiam seolah berpikir. Setan Liang Makam tertawa bergelak-gelak. Lalu berkatalagi."Agar kau tak penasaran, aku akan membuat ingatanmu segar! Kau masih ingat dengan manusia bernama Kigali?!"
Dadaka tidak menyahut. Setan Liang Makam tak peduli karena dia tahu, Dadaka pasti ingat siapa adanya Kigali. "Buka telingamu lebar-lebar, Dadaka! Kau masih ingat persekongkolan dengan Kigali untuk membunuh seorang di Kampung Setan?!"
"Maladewa!" desis Dadaka. Laksana disentak setan kepalanya langsung berpaling ke arah Setan Liang Makam.
"Salah! Aku Setan Liang Makam!" ujar Setan Liang Makam. "Maladewa telah terkubur tiga puluh enam tahun silam di Kampung Setan! Yang muncul dan sekarang dihadapanmu adalah Setan Liang Makam!"
"Apakah manusia setan ini benar-benar perwujudan dari Maladewa?! Bagaimana bisa dia keluar dan masih hidup?! Aku tidak percaya!"
Dadaka tersenyum dingin. "Kalau kau benar- benar manusia di Kampung Setan, keluarkan tanda yang kau miliki!"
"Setan Liang Makam tidak usah tunjukkan tanda kalau hanya ingin cabut nyawamu!"
"Berarti kau bukan manusia dari Kampung Setan!"
"Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas aku muncul dari Kampung Setan dan datang untuk menjemput nyawamu!"
"Hem... Kalau kau benar-benar Maladewa, apa kau kira bisa cabut nyawaku tanpa Kembang Darah Setan?!"
"Kembang Darah Setan memang lolos dari tanganku, Dadaka! Tapi jangan lupa... Aku bisa bertahan selama tiga puluh enam tahun di ruangan celaka itu! Apakah hal itu tidak membuatmu yakin kalau aku mampu membedol nyawamu tanpa Kembang Darah Setan?!"
Sosok Dadaka tampak bergetar. Bukan karena ucapan Setan Liang Makam, melainkan diam-diam orang ini telah kerahkan segenap tenaga dalamnya. Meski dia masih belum percaya penuh dengan ucapan Setan Liang Makam, namun dia sudah merasa maklum, siapa pun adanya orang yang dihadapi saat ini bukan orang berilmu rendah. Dalam keadaan yang tinggal tulang-belulang tanpa daging, bukan saja mampu dan dapat menemuinya, namun juga berani keluarkan ancaman! Padahal kalangan dunia persilatan telah mengenal siapa adanya Dadaka!
"Dadaka!" kata Setan Liang Makam. "Membetot selembar nyawamu bukan pekerjaan sulit bagiku! Tapi aku masih mau berbaik hati! Katakan padaku di mana si jahanam Kigali! Maka nyawamu akan selamat!"
"Hem... Apa dikira aku manusia bodoh? Apa pikirnya aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya?!" Dadaka membatin dan tertawa sendiri dalam hati mendengar ucapan Setan Liang Makam. Lalu berujar.
"Aku akan tunjukkan padamu dl mana Kigali! Tapi setelah kerangka tubuhmu tidak dihinggapi nyawa! Ha Ha Ha...! Kalau tiga puluh enam tahun silam tanganku mampu membuatmu menghuni kamar gelap serta meratakan Kampung Setan, masakan sekarang tanganku tidak bisa mencabut nyawa dari kerangka tubuhmu?!"
"Kau lupa, Dadaka! Tanpa berlaku licik, mana bisa kau ratakan Kampung Setan?!"
Dadaka tertawa bergelak-gelak. "Dalam menghadapi hidup, pergunakan akal, pergunakan kelicikan! Jika tidak, akibatnya telah kau rasakan!"
Sekujur kerangka Setan Liang Makam bergerak-gerak. Jelas kalau orang ini telah dibungkus hawa amarah menggelegak. "Dadaka! Aku masih memberimu kesempatan!"
"Aku telah punya kesempatan hidup hampir tujuh puluh tahun lebih! Adalah aneh kalau kau saat ini memberi ku kesempatan! Tanpa kau beri kesempatan, aku percaya akan hidup lebih lama lagi tanpa harus memberimu keterangan apa pun!"
Belum sampai ucapan Dadaka selesai, Setan Liang Makam telah melompat ke depan. Kedua tangannya yang hanya berupa kerangka berkelebat. Dadaka yang sudah waspada cepat tekuk sedikit lutut. Saat yang sama kedua tangannya dihantamkan membendung kelebatan tangan Setan Liang Makam.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Dadaka sedikit tersentak. Dia sama sekali tidak menyangka kalau kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kerangka tangan Setan Liang Makam mental balik dan bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak segera lipat gandakan tenaga dalam, niscaya kedua kakinya akan bergerak mundur!
Di depannya, Setan Liang Makam cepat tarik pulang kedua tangannya yang sejenak tadi juga mental balik. Meski sosoknya tinggal kerangka, namun bentrokan begitu dahsyat yang telah dialiri tenaga dalam kuat tidak membuat kakinya goyah! Malah begitu tangannya mental, orang ini cepat himpun tenaga dalam tambahan. Di lain saat, sosoknya merangsek ke depan. Sejarak dua langkah tubuhnya melenting setengah tombak ke udara. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar. Kedua kakinya membuat gerakan menendang beruntun!
Dadaka tidak tinggal diam. Begitu sosok Setan Liang Makam melenting ke udara, dia jejakkan kaki. Sosoknya melesat pula ke udara sejajar dengan Setan Liang Makam. Tatkala Setan Liang Makam putar tubuh untuk kemudian membuat tendangan beruntun, Dadaka cepat pula putar tubuh. Lalu seperti halnya Setan Liang Makam, dia lakukan tendangan benturan di atas udara menghadang tendangan beruntun Setan Liang Makam. Terdengar suara beradunya kaki tak putus-putusnya. Suara itu baru mereda ketika sosok Setan Liang Makam dan Dadaka sama terpental dan masing-masing orang jatuh terduduk dengan kaki melipat!
Namun Setan Liang Makam tampaknya tidak mau beri kesempatan. Begitu tubuhnya terduduk, keduatangannya bergerak lepas pukulanj arak jauh. Di seberang depan, Dadaka cepat pula angkat kedua tangannya. Lalu didorong ke depan. Dua gelombang angin dahsyat segera melesat menghadang gelombang yang mencuat dari gerakan kedua tangan Setan Liang Makam.
Blammm!
Satu ledakan membuncah dl tempat itu. Tanah di sekitar tempat itu bergetar keras. Sosok keduanya mental terseret. Beruntung Setan Liang Makam terseret agak jauh baru menghantam pohon. Hingga meski tidak dapat selamatkan tubuhnya dari menubruk batangan pohon, namun karena daya lesatnya sudah agak berkurang, maka hantaman tubuhnya ke batangan pohon tidak begitu keras. Lain halnya dengan Dadaka. Hanya sejarak tiga langkah di belakangnya menghadang batangan pohon besar. Hingga begitu tubuhnya mental langsung menyambut batangan pohon di belakangnya. Saat lain sosoknya mencelat lagi ke depan setelah menghantam batangan pohon!
Dari mulut Dadaka tampak mengalir darah segar. Sementara kedua tangannya menggapai-gapai. Jelas pertanda kalau orang ini sedang atur aliran darah pada kedua tangannya yang laksana tersentak-sentak. Sepasang matanya memejam terbuka. Orang ini coba menahan agar seruannya tidak terdengar. Di seberang sana, meski dari tulang mulutnya tidak alirkan darah, namun dari sikapnya jelas jika Setan Liang Makam juga mengalami cedera dalam.
Begitu sama-sama dapat kuasai diri, hampir berbarengan kedua orang ini bangkit berdiri. Dadaka sudah angkat kedua tangannya. Sepasang matanya memejam rapat. Perlahan-lahan tampak kedua kaki orang ini bergerak-gerak masuk amblas ke dalam tanah yang dipijak. Pertanda kalau Dadaka berusaha agar sosoknya tidak lagi mental apalagi terjadi bentrok pukulan. Di sebelah depan, Setan Liang Makam memperhatikan sejurus. Saat lain mendadak orang ini gerakkan kedua tangannya diputar-putar ke belakang ke depan.
Wusss! Wusss!
Dari putaran kedua tangan Setan Liang Makam tampak berkiblat gelombang angin bergulung-gulung. Dadaka segera turunkan tangan diletakkan di depan dada dengan telapak terbuka. Begitu gulungan gelombang datang, kedua tangannya segera menggebrak. Begitu gelombang telah melesat ke depan, kembali kedua tangannya ditarik ke depan dada lalu didorong lagi. Begitu terus menerus hingga dari kedua tangannya tak henti-hentinya melesat gelombang angin. Hal ini sengaja dilakukan oleh Dadaka untuk menghadang gelombang bergulung-gulung yang datang susul menyusul seiring putaran kedua tangan Setan Liang Makam.
Tempat itu berubah menjadi pekat dan dibuncah ledakan dahsyat beruntun. Batangan pohon yang berderak tumbang menambah hingar bingarnya keadaan. Dan semua itu baru sirna tatkala sosok Dadaka dan Setan Liang Makam sama terkapar. Pukulan yang dilepas Dadaka dan Setan Liang Makam adalah pukulan bertenaga dalam tinggi. Dan karena keduanya sama lepaskan pukulan beruntun, yang tentu sangat menguras tenaga, maka akibat yang ditimbulkannya pun fatal.
Sekujur tubuh Dadaka basah kuyup oleh keringat bercampur darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Sepasang matanya mendelik besar. Wajahnya putih kehabisan darah. Meski orang ini masih bisa bernapas, namun sulit untuk bertahan lama. Malah meski tangannya tampak bergerak-gerak, namun di saat lain telah terkulai lagi, jelas tenaga luar dan dalamnya telah habis.
Sementara di pihak Setan Liang Makam, ternyata orang ini memiliki ketahanan luar biasa. Terpendam dalam makam batu membuat tubuhnya masih mampu bertahan dari gempuran bentroknya pukulan. Hingga walau sosoknya terkapar, tapi dia seakan tidak mengalami cedera terlalu parah. Hingga dalam beberapa saat dia bisa bergerak bangkit. Dan begitu melihat Dadaka tak berdaya, dia cepat membuat satu lompatan yang serta-merta membawa tubuhnya tahu-tahu telah tegak hanya dua langkah di samping terkaparnya tubuh Dadaka.
"Kau sekarang tahu, Dadaka! Tanpa Kembang Darah Setan, tanganku mampu kalau hanya membedol selembar nyawa anjingmu!"
Tahu gelagat mengancam jiwanya, meski sudah dalam keadaan kehabisan tenaga luar dan dalam, tapi Dadaka coba menghimpunnya. Namun orang ini harus pasrah. Karena dia gagal.
"Percuma, Dadaka! Nyawa anjingmu sudah berada di ujung jariku! Tapi, aku masih akan tinggalkan nyawamu kalau kau katakan di mana jahanam Kigali berada!"
Walau nyawanya sudah di ujung tanduk, na- mun bukan berarti nyali Dadaka menjadi leleh. Mendengar ucapan Setan Liang Makam, masih terkapar di atas tanah dan tanpa buka kelopak matanya, dia berujar.n"Kalau kukatakan di mana beradanya, percuma saja! Kau tidak mungkin dapat menghadapinya tanpa Kembang Darah Setan!"
"Kembang Darah Setan akan segera kembali ke tanganku!"
"Itu belum cukup! Karena aku tak akan berkhianat untuk mengatakannya padamu!"
"Hem... Ternyata kau seorang yang teguh pegang janji, Dadaka! Tapi apakah itu ada artinya kalau harus kau tebus dengan nyawamu?!" Setan Liang Makam masih coba melunakkan keteguhan Dadaka.
"Aku bukan orang yang seperti kau sangka, Maladewa! Kalaupun aku punya kesempatan, aku pun tak segan membunuh Kigali!"
"Begitu?! Lalu apa yang membuatmu tak mau mengatakan padaku?! Padahal dengan keteranganmu, nyawamu akan selamat!"
Dadaka masih sempat perdengarkan suara tawa perlahan sebelum akhirnya berkata. "Aku tahu apa yang ada dalam benakmu, Maladewa! Kukatakan atau tidak di mana beradanya Kigali, nyawaku tidak akan bertahan lama! Dan perlu kau tahu, sebenarnya bukan hanya kau, aku pun terkecoh dengan Kigali!"
"Hem... Terkecoh bagaimana maksudmu?!"
"Kigali bukanlah tokoh golongan hitam seperti yang beredar di kalangan dunia persilatan! Kalau selama ini dia berpihak pada golongan hitam, dia punya tujuan tertentu!"
"Hem... Kau tahu, Dadaka! Bagiku tak ada bedanya dia dari golongan hitam apa putih! Orang golon- gan hitam atau putih bagiku musuh besar kalau berani merambah Kampung Setan!"
"Kau masih juga mengagulkan Kampung Setan! Apa saat ini dunia persilatan memandang sebelah mata pada kampung mu itu?! Cerita Kampung Setan sudah hilang, Maladewa! Apalagi kini Kembang Darah Setan sudah pindah ke tangan orang!"
"Kau salah, Dadaka! Dengan masih hidupnya Setan Liang Makam setelah terpendam berpuluh tahun satu tanda bahwa Kampung Setan masih ada! Sayang sekali nyawamu sudah tinggal menunggu waktu. Kalau tidak matamu akan lihat bagaimana Kampung Setan akan kembali berdiri!"
"Itu hanya impian besar, Maladewa! Dan kau akan terkubur dalam impian besarmu!"
Setan Liang Makam tidak lagi menyambut ucapan Dadaka. Dia maju dua tindak. Sosoknya kini cepat tegak di samping tubuh Dadaka. "Aku masih tawarkan keselamatan nyawamu. Bahkan aku masih bersedia memberi obat padamu, Dadaka!" ujar Setan Liang Makam.
"Kalau aku tahu di mana Kigali berada, aku tidak berada di sini, Maladewa! Dan tanpa menunggumu, akan kuselesaikan sendiri jahanam Kigali itu!"
"Kalau begitu, hidup pun kau tidak ada gunanya lagi!"
Belum sampai ucapan Setan Liang Makam selesai, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan sambil bungkukkan tubuh. Rupanya Dadaka sudah maklum. Dalam keadaan begitu rupa, dengan luar biasa sekali Dadaka masih sempat sentakkan tangan kanannya meski gerakan tangan itu hanya mengandalkan tenaga luar. Hebatnya lagi, sentakan tangan kanannya mendahului gerakan kedua tangan Setan Liang Makam yang hendak menghantam batok kepalanya!
Bukkk!
Kaki kiri Setan Liang Makam bergetar dan bergerak. Hal ini membuat hantaman kedua tangannya melenceng dari kepala Dadaka. Dadaka tidak menunggu, dia cepat bergulingan. Lalu kaki kanannya bergerak hendak susuli sentakan tangan kanannya. Dia masih arahkan tendangan pada kaki kanan Setan Liang Makam, karena dia tahu, dalam keadaan berada di atas angin melihat lawan sudah tak berdaya, seorang akan lupa pada pertahanan bawahnya.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak mau mengulangi kelengahan. Begitu kaki Dadaka bergerak lakukan tendangan, Setan Liang Makam cepat sambuti dengan putar tubuh setengah lingkaran lalu ayunkan kakinya.
Prakkk!
Dadaka menjerit tinggi. Karena tendangan kakinya hanya mengandalkan tenaga luar maka tak ampun lagi bukan hanya kakinya yang mencelat mental, namun sosoknya pun melayang sampai satu setengah tombak!
Setan Liang Makam tidak memberi kesempatan lagi. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Dadaka, sosoknya melesat. Begitu berada di udara dan hanya sejarak lima jengkal, kedua tangannya dihantamkan ke dada Dadaka!
Bukkk! Bukkk!
Dadaka tidak kuasa lagi perdengarkan suara. Sosoknya langsung terbanting di atas tanah dengan dada rengkah!
Setan Liang Makam sesaat pandangi sosok tubuh Dadaka yang sudah tak bernyawa lagi. Lalu kepalanya mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkan manusia ini. Karena dia mendongak dalam waktu lama. Kalaupun dia gerakkan kembali kepalanya, itu bersamaan dengan gerakan kakinya yang menghentak hingga sosoknya pun melesat tinggalkan tempat itu.
***
SEBELAS
DALAM ketemaraman suasana dan dinginnya udara menjelang penghujung malam itu, penunggang kuda yang berlari laksana dikejar setan itu tarik tali kekang kuda tunggangannya ketika sepasang matanya menangkap lobang menganga hitam sepuluh tombak di depan sana. Binatang tunggangan itu angkat kaki depannya tinggi dengan moncong perdengarkan ringkihan keras. Saat kaki depannya menghentak kembali ke atas tanah, si penunggang sudah tidak tampak lagi di atas pelananya!
Dan tahu-tahu di dekat lobang menganga hitam yang ternyata adalah sebuah jurang yang sangat curam, telah tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang perempuan. Meski wajahnya sudah tidak muda lagi, tapi paras mukanya masih membayangkan kecantikan. Bahkan sepasang matanya tampak tajam. Orang ini sejenak arahkan pandangan matanya ke seberang jurang. Karena suasana masih agak gelap, dia hanya melihat rimbun kehitaman dan batu-batu yang juga berwarna hitam.
Memandang sekeliling pun orang ini masih melihat bayangan hitam. Namun bukan untuk melihat warna-warna hitam orang ini memandang berkeliling. Dia ingin yakinkan diri bahwa di tempat itu tidak ada orang lain! Jelas pertanda kalau kedatangannya tidak ingin diketahui orang dan pasti punya maksud tertentu. Setelah yakin dia berada sendirian, dia arahkan pandangannya ke jurang di depannya.
"Hem... Aku harus menunggu sampai suasana terang! Aku baru pertama kali ini datang kemari! Aku tidak boleh bertindak gegabah!" bisiknya lalu setelah memandang berkeliling sekali lagi, dia perlahan-lahan melangkah dan dudukkan diri pada sebuah lamping batu. Sepasang matanya sudah memejam. Namun bukan berarti perempuan ini tertidur. Karena meski sepasang matanya terpejam rapat, sesekali kepalanya bergerak.
Tidak berapa lama, dari arah timur perlahan-lahan sinar terang menebar, pertanda tak lama lagi sang surya akan muncul. Si perempuan masih belum beranjak. Dia baru bangkit setelah cahaya sang surya mampu menerangi tempat di mana diaberada. Perlahan-lahan si perempuan melangkah ke arah pinggir jurang. Matanya memandang ke bawah. Meski masih agak gelap, tapi dia kini dapat melihat keadaan di bagian lamping jurang.
"Hem... Aku tidak bisa langsung melihat ke dasar jurang. Pertanda jurang ini sangat dalam. Bagaimana bisa betah Pendeta Sinting hidup bertahun-tahun di dalamnya?!" gumam si perempuan. Dari gumaman si perempuan jelas menunjukkan kalau jurang dihadapannya adalah Jurang Tlatah Perak, tempat kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
Si perempuan pandangi lebih seksama bagian samping jurang. "Hem... Tumbuhan yang banyak dibagian samping itu kiranya dapat kubuat sebagai jembatan untuk sampai ke dasar jurang. Dan dengan jalan turun sedikit demi sedikit, aku akan lebih leluasa melihat keadaan dibawah!"
Memikir sampai di situ, akhirnya si perempuan kerahkan tenaga dalam. Dalam beberapa saat, sosoknya telah melesat turun ke dalam jurang. Mula-mula dia hentikan layangan tubuhnya pada sebuah pohon yang merambat dilamping jurang. Lalu melesat turun lagi dan berhenti pada pohon di bawahnya sambil melihat keadaan di bawah. Hal itu dilakukan si perempuan sampai pada akhirnya dia dapat melihat dasar jurang. Si perempuan agak lama menunggu. Sepasang matanya terus mengawasi bagian bawah jurang yang hanya sejarak delapan tombak di bawahnya. Namun hingga lama memperhatikan, dia tidak menangkap gerakan orang.
"Apa tempat ini telah ditinggal penghuninya?! Tapi Kiai Lidah Wetan tak mungkin menunjukkan tempat yang sudah tidak berpenghuni. Atau barangkali dia tahu kedatanganku...? Hem... Persetan! Dia tahu atau tidak, yang pasti aku harus bertemu dengannya!"
Si perempuan gerakkan kedua tangannya. Tubuhnya meluncur lalu tegak di dasar jurang. Kepala si perempuan cepat bergerak berputar. Sepasang matanya liar memperhatikan. Namun sejauh ini tidak melihat siapa-siapa! Si perempuan mulai melangkah dengan sikap waspada. Namun hingga dia mondar-mandir beberapa kali, tetap saja tidak melihat orang. Si perempuan mulai khawatir.
"Hem... Jangan-jangan tempat ini memang sudah kosong! Dan melihat keadaannya, ada orang lain yang datang ke tempat ini sebelum aku!"
Si perempuan meneliti tempat di mana dia berada. "Apa yang harus kulakukan sekarang?! Mencarinya diluar sana?! Hem... Itu mungkin satu-satunya jalan terbaik. Sambil mencari Pendeta Sinting, aku akan menemui Saraswati..."
Habis menggumam begitu, mendadak wajah si perempuan berubah. Tanpa sadar mulutnya berkata. "Anakku... Dalam masa tuaku ini, sebenarnya aku ingin habiskan untuk hidup bersamamu. Tapi, nyatanya hatiku masih belum bisa tenang sebelum semua kekecewaan hati ini terbalaskan! Kuharap nantinya kau bisa mengerti perasaan ibumu ini. Ini semua kulakukan demi ketenangan hidup kita berdua! Kalaupun saat ini aku harus kembali pada Kiai Lidah Wetan, itu hanya untuk sementara. Begitu semuanya selesai..."
Si perempuan tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia mendongak. Beberapa pohon yang merambat di samping jurang tampak bergerak-gerak.
"Ada orang..." desisnya lalu berkelebat dan menyelinap sembunyi.
Baru saja si perempuan mendekam sembunyi, satu sosok tubuh melesat turun dan tegak di dasar jurang. Dari gerakan orang, siapa pun dia adanya pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Mungkinkah dia?!" kata si perempuan dari tempat persembunyiannya. Lalu perlahan-lahan dia arahkan pandang matanya pada sosok yang baru muncul. Si perempuan seketika pentang matanya besar-besar. Malah kalau saja dia tidak tekap mulut, niscaya akan terdengar seruan.
"Menuruti keterangan Kiai Lidah Wetan, aku yakin bukan ini manusianya yang kucari! Tapi bagaimana manusia ini bisa muncul di sini?! Apa dia juga mencari Pendeta Sinting?! Apa aku harus menemuinya...?!"
Selagi si perempuan membatin, tiba-tiba orang yang baru muncul sudah perdengarkan ucapan. "Pendeta Sinting! Keluarlah! Kita perlu bicara!"
"Hem... Dari ucapannya, dugaanku tidak meleset! Aku akan menunggu dahulu. Siapa tahu Pendeta Sinting masih sembunyikan diri!" kata si perempuan seraya memperhatikan orang dl depan sana.
Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki. Namun paras dan sekujur tubuhnya tidak saja mengerikan, namun juga angker! Karena orang ini hanya merupakan susunan dari kerangka tanpa daging! Mendapati teriakannya tidak mendapat sambutan, atau tidak ada tanda-tanda akan munculnya orang, orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Setan Liang Makam berteriak lagi.
"Pendeta Sinting! Aku hanya akan ulangi sekali lagi ucapanku! Keluarlah!"
Setan Liang Makam menunggu. Maklum tidak ada suara sahutan atau tanda-tanda gerakan, Setan Liang Makam putar kepala dengan mata dibelalakkan. Di balik tempat persembunyiannya, dada si perempuan berdebar. Karena mendadak kepala Setan Liang Makam berhenti tepat menghadap ke tempat mana dia sembunyikan diri.
"Apakah dia tahu keberadaanku di sini?!"
Baru saja si perempuan membatin begitu, Setan Liang Makam telah buka suara. "Keluarlah! Atau kuhancurkan tempat persembunyianmu itu!"
"Dia sudah tahu, tak ada gunanya sembunyikan diri!" Berpikir begitu akhirnya si perempuan berkelebat keluar dan tegak sepuluh langkah di hadapan Setan Liang Makam.
Sesaat Setan Liang Makam memperhatikan sosok yang tegak di depan sana. "Dari yang kudengar, Pendeta Sinting adalah seorang laki-laki! Mengapa yang muncul makhluk lain?!" Namun Setan Liang Makam tak mau berpikir terlalu lama. Begitu tahu yang muncul seorang perempuan, dia cepat membentak.
"Di mana Pendeta Sinting?!"
Si perempuan tidak segera menjawab. Diam- diam dia membatin. "Apakah Kiai Lidah Wetan sengaja menyuruhku ke tempat ini untuk bertemu dengan manusia ini?! Apakah dia masih memendam dendam akibat sakit hati di masa lalu itu?! Kalau betul... Mengapa dia melakukan dengan cara ini?! Tapi dari ucapan-ucapannya, kurasa tidak mungkin! Tapi hati orang siapa tahu?! Bukankah saat ini dia juga sedang melakukan sesuatu dengan jalan licik..."
Dari cara membatin si perempuan menunjuk- kan kalau si perempuan bukan lain adalah Lasmini. Kekasih Kiai Lidah Wetan waktu masih muda. "Perempuan! Di mana Pendeta Sinting?!" Setan Liang Makam membentak lagi.
"Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa dariku, karena aku pun datang perlu mencari orang yang kau tanyakan!"
"Hem... Sebutkan siapa dirimu, Perempuan!"
"Namaku tidak ada artinya bagi orang lain!"
Tulang wajah Setan Liang Makam tampak bergerak-gerak. Namun sebelum orang ini buka mulut lagi, Lasmini telah mendahului. "Orang yang sama kita cari tidak ada! Bukankah lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini?!"
Sambil berkata, Lasmini tampak sunggingkan senyum. Perempuan ini rupanya berpikir panjang. Dia merasa yakin, orang dihadapannya bukan orang sembarangan. Sementara dirinya saat ini tengah berusaha membalaskan sakit hatinya. Dia sudah paham siapa-siapa saja yang mungkin akan dihadapi. Kalau saja dia bisa bersahabat setidaknya tidak membuka perselisihan dengan orang, tentu apa yang tengah dilakukan akan berjalan dengan sesuai rencana. Bahkan kalau bisa bersahabat, maka hal itu akan membuatnya punya kekuatan tambahan. Untuk itulah, Lasmini berusaha mengubah sikap terhadap Setan Liang Makam. Mendapati orang yang diajak bicara belum juga menyahut, Lasmini kembali buka mulut.
"Harap kau tidak berprasangka buruk padaku! Aku bukan teman Pendeta Sinting! Dan saat aku datang, tempat ini sudah kosong!"
"Apa tujuanmu mencari manusia sinting itu?!" bertanya Setan Liang Makam.
"Seperti halnya dirimu, aku ingin bicara dengannya!"
"Urusannya?!"
"Nyawa...!"
"Dengar, Perempuan! Jangan berani menyentuh manusia itu kalau kau tidak ingin berurusan dengan Setan Liang Makam! Kau dengar itu?!"
Lasmini tersentak mendengar Setan Liang Makam sebutkan siapa dirinya. "Jadi inikah manusia yang pernah diceritakan Kiai Lidah Wetan?! Manusia yang katanya sebagai pemegang senjata dahsyat Kembang Darah Setan itu?! Hem... Tak disangka kalau aku bertemu dengannya di sini! Berarti keterangan Kiai Lidah Wetan benar. Dia telah termakan berita kalau si pemegang Kembang Darah Setan sekarang adalah Pendekar 131 murid Pendeta Sinting! Hem... Aku sekarang bisa menduga mengapa dia mencari Pendeta Sinting..."
Berpikir begitu, akhirnya Lasmini berkata. "Kalau tidak salah, bukankah kedatanganmu masih ada hubungannya dengan Kembang Darah Setan?!"
"Aku tidak akan jawab pertanyaanmu!"
Lasmini tersenyum. "Aku tahu siapa dirimu, Sahabat! Kau telah lama menghilang dari rimba persilatan! Saat ini kau butuh seseorang yang tahu banyak tentang seluk beluk dunia persilatan! Kalau tidak, ilmu tinggi yang kau miliki tidak akan ada artinya apa-apa!"
"Kau jangan mengguruiku!"
"Aku menawarkan diri sebagai sahabat! Kita saling membantu tanpa mencampuri urusan masing-masing!"
"Bantuan apa yang bisa kau berikan padaku, hah?!"
"Aku memang tidak memiliki ilmu setinggi yang kau miliki! Tapi aku tahu banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan! Saat ini tentu kau butuh keterangan banyak, karena kau harus mencari orang-orang yang belum kau kenal betul! Tanpa adanya orang yang memberi keterangan, tidak tertutup kemungkinan kau salah sasaran! Bahkan mungkin saja kau menduga musuhmu telah mampus, padahal dia masih enak-enakan!"
"Hem... Ada benarnya juga ucapan perempuan ini!" kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu berkata. "Kita bersahabat! Tapi kalau kau berani berkhianat, taruhanmu adalah nyawa!"
Lasmini lagi-lagi sunggingkan senyum. "Persahabatan di antara kita hanya untuk saling membantu. Jadi bukankah tidak ada untungnya kalau diantara kita berkhianat?"
"Bagus! Sekarang kau bisa menduga ke mana kira-kira Pendeta Sinting?!"
"Ada beberapa tempat! Itu kita bicarakan sambil jalan!" Habis berkata begitu, Lasmini melangkah dengan kepala mendongak. Tempat di mana mereka berdua berada telah terang benderang meski udaranya lembab. "Kita sekarang keluar dari sini!"
"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam tatkala melihat Lasmini hendak melesat ke atas. "Kau belum katakan siapa dirimu!"
Tanpa menoleh pada Setan Liang Makam, Lasmini menyahut. "Namaku Lasmini!"
"Apa sebenarnya urusanmu dengan Pendeta Sinting?!"
"Kita masih punya banyak waktu untuk bicara. Lagi pula udara di tempat ini membuat perutku mual!"
"Lasmini..." Setan Liang Makam sebut nama itu berulang-ulang. "Setan! Mendekam di tempat celaka itu membuatku lupa dengan manusia-manusia yang pernah kukenal!"
Akhirnya Setan Liang Makam memaki sendiri begitu tidak bisa menginga torang. Sementara mendengar umpatan Setan Liang Makam, Lasmini tampak tersenyum. Lalu berujar.
"Itulah mengapa kukatakan kau butuh seorang sahabat! Sambil jalan, nanti akan ku jelaskan siapa diriku dan orang-orang yang kini dikenal dalam rimba persilatan!"
Habis berkata begitu, Lasmini jejakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat ke atas. Seperti halnya waktu turun, dia naik ke atas dengan jalan menapak dari satu pohon kepohon lain disamping jurang.
Setan Liang Makam pandangi sejenak sosok Lasmini yang sudah berada di atas sana. Lalu memandang berkeliling seolah belum percaya kalau tempat di mana dia berada sudah ditinggal penghuninya. Saat lain manusia dari Kampung Setan ini telah ikuti jejak Lasmini melesat ke atas dengan jalan menapak dari pohon ke pohon lain yang banyak merambat di lamping Jurang Tlatah Perak.
***
DUA BELAS
BARU saja Lasmini dan Setan Liang Makam jejakkan kaki masing-masing di bagian atas Jurang Tlatah Perak, gerakan mereka berdua tertahan. Memandang ke depan, kedua orang ini sama kerutkan dahi masing-masing.
"Kalau memang sembunyi mengapa kepalanya masih digerak-gerakkan sepertinya seolah menunjukkan, kalau tidak sembunyi mengapa berada di belakang pohon?!" Lasmini membatin.
Dari tempat masing-masing, kedua orang ini melihat sebuah kepala milik seorang laki-laki yang bergerak-gerak di balik sebatang pohon. Karena ditunggu agak lama tak juga ada tanda-tanda orang di balik pohon akan muncul, Lasmini dan Setan Liang Makam segera berkelebat dan tahu-tahu keduanya telah berada dibalik pohon mana terlihat gerakan-gerakan kepala orang.
Sesaat Lasmini dan Setan Liang Makam sama saling pandang. Lalu memandang lagi ke depan. Ternyata di balik pohon itu duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih tipis. Mengenakan pakaian lusuh berwarna putih. Tangan kanannya memegang tongkat kayu butut. Tangan kiri diletakkan di atas paha. Dan ternyata gerakan kepala orang ini semata-mata karena orang ini ingin bersin.
"Siapa orang tua ini?!" kata Lasmini dalam hati karena setelah agak lama memperhatikan, dia tidak bisa mengenali siapa adanya orang. Belum sampai dia membatin lebih lama, Setan Liang Makam telah mendekat dan berbisik.
"Siapa gerangan manusia itu?!"
"Terus terang, yang satu ini baru kuketahui saat ini! Tapi apa peduli kita...? Dia tampaknya bukan orang yang dikenal dalam rimba persilatan! Kita segera tinggalkan tempat ini!"
"Jangan tolol, Perempuan! Justru orang yang tidak begitu dikenal namanya dalam dunia persilatan biasanya yang sangat membahayakan! Kau lihat, dia seolah acuh dengan kehadiran kita! Dan kalau dia berada di dekat sini, pasti masih ada sangkut pautnya dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini memandang sejenak pada orang yang duduk berlutut. Lalu melangkah maju.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Orang di depan sana tiba-tiba sudah perdengarkan bersinan. Lasmini tersentak kaget. Karena merasakan dirinya dilanggar gelombang angin luar biasa dahsyat, hingga kalau dia tidak buru-buru lipat gandakan tenaga dalam, niscaya bukan saja langkahnya akan tertahan, namun tidak mustahil tubuhnya akan tersapu ke belakang! Lasmini cepat maklum akan keadaan. Kalau tadi dia mendekat dengan melangkah, kini dia langsung melompat dan tahu-tahu tegak di depan orang yang baru perdengarkan bersinan dan bukan lain adalah Datuk Wahing.
"Orang asing! Siapa kau?!" Lasmini sudah membentak garang.
"Heran. Mengapa setiap orang yang kutemui tanya siapa diriku?! Apa yang mengherankan pada diriku?!"
Pengalaman selama bertahun-tahun dalam kancah rimba persilatan membuat Lasmini sadar, kalau orang yang dihadapinya saat ini tidak mungkin mau katakan siapa dirinya. Maka masih dengan membentak, dia lanjutkan ucapan.
"Orang tua! Apa hubunganmu dengan Pendeta Sinting?!"
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik meringis persis dengan orang yang ingin bersin. "Heran. Baru sekali ini dengar nama Pendeta Sinting. Adalah mengherankan kalau orang sudah menanyakan apa hubungan ku dengannya!" Datuk Wahing seolah bicara sendiri lalu luruskan kepala dengan mata memandang ke arah Lasmini. Lalu saat lain beralih pada Satan Liang Makam yang tegak agak jauh.
"Maaf... Bukankah terlalu mengherankan kalau kau tanya hubungan ku dengan orang yang belum kukenal?! Yang tidak mengherankan justru bila aku tanya, dari mana kalian berdua?! Dan apa saja yang baru kalian kerjakan di dalam jurang sana?! Adalah aneh dan mengherankan kalau dua orang keluar dari dalam jurang tanpa mengerjakan apa-apa di bawah sana. Bruss!Brusss!"
"Itu urusan kami berdua!" hardik Lasmini. Lalu perempuan ini memberi isyarat pada Setan Liang Makam untuk segera tinggalkan tempat itu dan tidak melayani orang. Namun Setan Liang Makam tidak tanggapi isyarat Lasmini. Dia melompat dan tegak di samping Lasmini sambil berkata.
"Aku yakin, manusia ini pasti ada kaitannya dengan Pendeta Sinting!"
"Tapi apa peduli kita! Kita tak butuh orang ini! Kita mencari Pendeta Sinting!" ujar Lasmini dengan suara pelan.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak acuhkan ucapan Lasmini. Dia segera maju dua tindak. "Manusia! Kalau kau tidak ada hubungan dengan Pendeta Sinting, lekas enyah dari tempat ini!" Setan Liang Makam sengaja membuat orang panas.
"Bruss! Brusss!"
"Heran... Apa dikira ini tanah milik moyangnya?!" gumam Datuk Wahing. Lalu perlahan-lahan orang tua ini bergerak bangkit. Memandang satu persatu pada orang di hadapannya. Saat lain dia bersin tiga kali. Lalu balikkan tubuh sambil berkata.
"Padahal aku tahu dan tidak heran, kalau tanah ini milik sahabatku!"
"Kau dengar?" tanya Setan Liang Makam pada Lasmini. "Ucapannya menunjukkan kalau manusia itu ada hubungannya dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini tidak menyahut ucapan Setan Liang Makam. Sebaliknya dia segera melompat dan menghadang di depan Datuk Wahing. "Siapa pun kau adanya, kau harus memberi keterangan!"
"Heran. Keterangan apa yang bisa kuberikan padamu?! Mengherankan sekali! Aku datang jauh-jauh perlu keterangan, malah di sini diminta keterangan! Mengapa aku selalu menemui hal-hal yang membuatku terus terheran-heran..."
"Hem... Kau cari keterangan Pendeta Sinting?!" "Brusss! Brusss!"
"Kau pintar menebak! Tapi aku tak heran kalau tebakanmu kali ini salah!"
"Hem... Lalu keterangan apa yang kau butuhkan?" Lasmini coba mengorek keterangan dari Datuk Wahing.
"Kalau kukatakan, apa kau nanti tidak heran?!"
Lasmini agak jengkel. Namun dia masih bisa menindih perasaan. Dia segera menyahut. "Katakan saja!"
"Aku heran ketika melihat kau bersama temanmu itu keluar dari jurang. Itulah keterangan yang kubutuhkan. Bisa hilangkan keherananku ini?!"
"Jahanam! Kau rupanya tidak mau dibuat sungguh-sungguh!" Lasmini tak sabar. Dia cepat melompat ke depan dengan kedua tangan berkelebat lakukan gebukan pada Datuk Wahing.
"Tunggul" tahan Datuk Wahing sambil angkat tongkat kayu bututnya dilintangkan di depan dada. "Aku heran kau marah-marah begitu rupa mengetahui apa yang kukatakan! Aku datang bukan cari musuh. Kalau kalian tidak suka kehadiranku di sini, apa bagiku mengherankan kalau lebih baik pergi dari sini?" Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tubuh lalu perlahan-lahan melangkah.
Lasmini hendak mengejar, namun tahu-tahu Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya dengan lintangkan tangan memberi isyarat agar Lasmini tahan niat. Sejarak kira-kira dua belas langkah, Datuk Wahing berhenti. Kepalanya ditengadahkan. Saat lain tiba-tiba orang ini perdengarkan bersin beberapa kali.
Lasmini dan Setan Liang Makam terkesiap. Suara bersinan orang kali ini mampu membuat gendang telinga masing-masing orang laksana ditusuk! Bukan hanya itu saja. Suara bersinan itu terus tak henti-hentinya dan memantul ke delapan penjuru mata angin. Begitu suara bersinan lenyap, sosok Datuk Wahing sudah tidak kelihatan lagi. Setan Liang Makam dan Lasmini saling pandang. Tiba-tiba Setan Liang Makam pentangkan mata memandang berkeliling.
"Jahanam! Dia orang yang kucari!"
"Hai! Dia bukan Pendeta Sinting!" ujar Lasmini.
"Benar! Tapi dia orang yang kucari! Pantulan suara yang dimilikinya..."
Setan Liang Makam tidak lanjutkan ucapannya. Dia cepat berkelebat. Lasmini sejenak tampak bingung. Namun saat lain dia mengejar Setan Liang Makam meski tidak mengerti apa maksud ucapan kawan barunya itu...
S E L E S A I