SATU
SESAAT Iblis Rangkap jiwa pentangkan mata mengawasi Dewa Orok di seberang sana. Saat lain laki-laki berkepala gundul itu melayang turun dari puncak batu lalu berkelebat melintasi hamparan pasir yang membelah dua kawasan berbatu. Seperti diceritakan dalam episode Kidung Maut Malam Purnama, begitu Malaikat Penggali Kubur tahu kalau Dewa Orok ternyata masih hidup, dirinya sangat berang. Lantas diperintahkannya Iblis Rangkap Jiwa untuk menghabisi Dewa Orok.

Sementara itu melihat Iblis Rangkap Jiwa berkelebat turun dari puncak batu, Ni Luh Padmi pelototkan sepasang matanya. Dada si nenek berdegup keras. Bukan karena melihat apa yang hendak dilakukan laki-laki berkepala gundul itu, melainkan dia merasa Malaikat Penggali Kubur pasti tak akan tinggal diam mengetahui dia tidak muncul di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu seperti yang telah disepakatinya bersama Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa.

Dari pertanyaan Ratu Pemikat sewaktu menghadang kemunculannya di kawasan sebelah kanan kedung, Ni Luh Padmi sudah dapat menebak kalau Malaikat Penggali Kubur sempat muncul di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. Kemunculan Malaikat Penggali Kubur sebenarnya di luar dugaannya. 

Karena dia yakin pertemuan di puncak bukit itu hanya diketahui olehnya serta Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Dia tidak tahu kalau Ratu Pemikat sempat mengatakan rencana pertemuan di bukit itu pada Malaikat Penggali Kubur saat perempuan cantik bertubuh bahenol ini menjumpai si pemuda.

Dada Ni Luh Padmi bukan saja dilanda gelisah dengan persoalan munculnya Malaikat Penggali Kubur di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. Tapi yang lebih membuatnya gundah dan gelisah adalah siapa yang dicari dan ditunggunya belum juga ada tanda-tanda muncul di Kedung Ombo. Padahal seperti alasan yang dikatakannya pada Ratu Pemikat, si nenek telah berhasil mengetahui di mana tempat tinggal Pendeta Sinting yang selama ini dicari dan tidak menemukan orangnya.

Ni Luh Padmi sebenarnya merasa sedikit lega meski dia tidak menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak. Karena kepergian orang yang dicarinya masih belum lama dan saat itu adalah menjelang purnama. Hal itu membuat si nenek yakin kalau kepergian Pendeta Sinting ada hubungannya dengan pertemuan di Kedung Ombo. Apalagi urusan di Kedung Ombo berkaitan dengan murid tunggalnya Pendekar 131.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?!" diam-diam Ni Luh Padmi bertanya pada diri sendiri. "Menemui Malaikat Penggali Kubur di puncak batu itu dan mengatakan mengapa aku tidak muncul di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu?!"

Si nenek tengadahkan kepala ke puncak batu di sebelahnya di mana Malaikat Penggali Kubur sekarang telah tegak. Nenek ini jadi terkesiap. Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya dengan sorot mata menusuk tajam!

"Hem... Aku masih punya dugaan kalau jahanam Pendeta Sinting itu akan muncul di sini! Jadi aku tak mau buat masalah dengan Malaikat Penggali Kubur sebelum bisa membereskan jahanam itu! Kalau tidak, perjalananku ini hanya akan menghasilkan kesia-siaan!"

Berpikir begitu, akhirnya perlahan-lahan Ni Luh Padmi turun dari batu di mana dia tegak. Lalu melangkah ke bagian belakang batu yang membentuk bukit, di mana tegak gubuk hitam yang di bawahnya Malaikat Penggali Kubur berdiri. Di lain pihak, melihat si nenek akan menuju ke tempatnya, Malaikat Penggali Kubur tersenyum dingin. Lalu dongakkan kepala seolah menunggu. Dan begitu si nenek sudah sejarak lima langkah di belakangnya, dia putar tubuh. Mulutnya keluarkan bentakan.

"Jangan lancang buka mulut kalau tidak ku tanya!"

Ni Luh Padmi tersentak. Dia angkat tangannya memandang sejurus pada Malaikat Penggali Kubur. Hatinya sudah tambah tidak enak. Namun dia diam-diam membatin. "Tak mungkin dia mau bikin urusan denganku dalam situasi begini! Masalah Iblis Rangkap Jiwa kurasa lebih besar. Tapi dia hanya memerintahkan laki-laki gundul itu selesaikan urusannya di sini! Hem..."

Tapi walau Ni Luh Padmi sudah membatin begitu, si nenek tidak mau berbuat lengah. Bisa saja Malaikat Penggali Kubur berbuat lain dengan dugaannya. Maka secara diam-diam diakerahkan juga tenaga dalam pada kedua tangannya. Tusuk konde besar di tangan kanannya digenggam rapat.

"Apa yang kau lakukan hingga kau tidak muncul dibukit?!" Malaikat Penggali Kubur membentak. Pandangannya menyengat dingin.

Si nenek balas memandang pada pemuda di hadapannya. Saat itu tiba-tiba si nenek teringat akan ucapan-ucapan Gendeng Panuntun. "Hem... Ucapan manusia buta itu benar-benar terjadi! Aku betul-betul berurusan dengan orang yang selama ini tidak terduga sama sekali! Hem...!" Ni Luh Padmi menghela napas. "Tapi semua sudah terjadi! Tak mungkin aku melangkah mundur. Bahkan sekalipun harus menghadapi pemuda ini!"

Dada si nenek berubah agak tenteram. Malah perlahan-lahan tekadnya muncul. "Kalau dia tidak mau mengerti urusanku hingga aku tidak muncul di bukit dua hari yang lalu, aku siap menghadapinya saat ini!"

Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi buka mulut. "Aku jumpa seseorang yang menunjukkan tempat Pendeta Sinting! Sayang setelah aku sampai di tempat jahanam itu, bangsatnya tidak kutemukan! Aku menunggunya sampai satu hari menjelang purnama! Ketika bangsat itu tidak muncul juga, aku akhirnya langsung kemari!"

"Apa tugasmu mencari manusia sinting itu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur masih dengan suara meradang.

"Tidak!" jawab si nenek dengan suara agak tinggi. "Tapi bagaimanapun juga itu salah satu tujuanku selama ini!"

Mendengar nada suara si nenek, Malaikat Penggali Kubur sipitkan sepasang matanya. Lalu enteng saja dia angkat bicara. "Kau lupa apa yang harus kau lakukan jika menghadapiku?!"

Karena Ni Luh Padmi sudah tahu bagaimana tadi Iblis Rangkap Jiwa bersikap, maka dengan menindih rasa geram, si nenek perlahan-lahan jatuhkan diri berlutut di atas puncak batu.

"Kalau saja urusanku dengan tua bangka jahanam sinting itu usai, tak sudi aku diperlakukan orang begini rupa! Hem... Ini gara-gara jahanam sinting itu!" kata si nenek dalam hati. Perlakuan Malaikat Penggali Kubur membuat kegeraman Ni Luh Padmi pada Pendeta Sinting makin berkobar dan makin dalam.

"Kau dapat menduga ke mana kira-kira orang yang kau cari itu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur. Karena diam-diam pemuda ini ingin juga menghabisi nyawa Pendeta Sinting, sebab Pendeta Sinting adalah guru Pendekar 131, orang yang harus dimusnahkan!

"Kalau aku tahu ke mana perginya, aku tak akan tinggal diam! Saat ini dia boleh berlari, tapi tak ada tempat baginya untuk sembunyi!"

"Apa kau menganggap murid orang yang kau cari termasuk orang yang harus kau musnahkan juga?!"

"Hem... Orang ini rupanya hendak menyuruhku menghabisi pemuda murid Pendeta Sinting itu!" simpul Ni Luh Padmi sambil lirikkan matanya ke seberang sana, di mana murid Pendeta Sinting tegak berada.

"Kau takut menghadapi murid jahanam sinting itu?!" Ni Luh Padmi balik bertanya.

Mata Malaikat Penggali Kubur membesar angker. Pelipisnya bergerak-gerak. Namun kejap lain, pemuda murid Bayu Bajra ini perdengarkan tawa pendek. Lalu berkata dengan dada dibusungkan. "Dengar, Nenek Tua! Saat ini tak ada yang kutakuti di atas bumi ini! Sejak malam ini, kekuasaan rimba persilatan ada dalam genggamanku!" Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kanannya. Lalu perlahan-lahan membuat gerakan mengepal hingga terdengar suara berkeretekan.

"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?!" tanya Ni Luh Padmi.

"Kau adalah salah seorang yang harus tunduk pada perintahku. Jadi jangan kau anggap aku takut hadapi orang kalau aku memerintahmu menghadapi orang itu! Kau paham maksudku?!"

Ni Luh Padmi tidak segera menjawab atau anggukkan kepala walau dia sudah bisa menebak ke arah mana ucapan Malaikat Penggali Kubur.

"Aku ingin tahu sampai di mana ilmu yang kau miliki! Hadapi manusia bangsat bergelar Pendekar 131 itu! Tapi ingat, nyawanya untukku! Kau hanya perlu membuatnya meregang nyawa!" ucap Malaikat Penggali Kubur lalu balikkan tubuh.

Sesungguhnya, di balik perintah Malaikat Penggali Kubur agar Ni Luh Padmi hadapi murid Pendeta Sinting, ada satu maksud tertentu. Malaikat Penggali Kubur telah mendengar kalau Pendekar 131 membekal dua kitab sakti. Namun selama ini dia belum sempat bertemu dengan murid Pendeta Sinting hingga dia tak dapat mengukur sampai di mana kehebatan murid Pendeta Sinting setelah di tangannya tergenggam dua kitab sakti itu.

Dalam diri Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah tertanam keyakinan kalau Kitab Hitam di tangannya lebih hebat. Tapi dia akan lebih yakin lagi kalau dia sudah melihat bagaimana ilmu murid Pendeta Sinting saat ini. Untuk itulah dia sengaja memerintahkan Ni Luh Padmi untuk menghadapi Pendekar 131.

Di lain pihak, Ni Luh Padmi sebenarnya enggan untuk menghadapi murid Pendeta Sinting meski dia masih merasa geram dengan Joko karena saat bertemu pada beberapa hari yang lalu, Joko tidak mau mengatakan di mana Pendeta Sinting berada. Lebih dari itu, karena dia sesungguhnya tidak mau buang tenaga sia-sia sebelum menemukan orang yang selama ini dicarinya. 

Tapi karena Ni Luh Padmi tidak mau bikin urusan dengan Malaikat Penggali Kubur, apalagi setelah maklum kalau si pemuda sukar ditaklukkan, maka dengan langkah enggan, si nenek turun dari puncak batu dan memutuskan menghadapi murid Pendeta Sinting.

Sementara itu, di sebelah kiri batu yang membukit di mana Malaikat Penggali Kubur berada, Putri Sableng tampak membuat gerakan begitu melihat iblis Rangkap Jiwa melayang turun dari puncak bukit. Gadis berjubah merah ini seolah hendak berkelebat, namun entah karena apa tiba- tiba dia urungkan niat. Dia kini hanya melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa yang mulai berlari melintasi hamparan pasir.

Tidak jauh dari Putri Sableng, Dewi Siluman tampak pentangkan mata melihat gerakan iblis Rangkap Jiwa. Tapi perempuan bercadar hitam ini tidak membuat gerakan apa-apa. Sedangkan kedua orang berwajah hitam yang ada di puncak batu cadas putih sama-sama kancingkan mulut dengan mata masing-masing orang memejam rapat! Namun begitu, tampak sekali kepalanya bergerak mengikuti arah berlarinya Iblis Rangkap Jiwa!

Sementara di seberang, Ratu Pemikat yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok segera melompat kesamping kiri, seolah memberi jalan Iblis Rangkap Jiwa. Dari bentakan Malaikat Penggali Kubur dan sikap Iblis Rangkap Jiwa, rupanya perempuan bertubuh bahenol itu sudah dapat menangkap apa yang akan dilakukan Iblis Rangkap Jiwa.

Tidak jauh dari Ratu Pemikat, Dewa Orok dongakkan kepala dengan tubuh bergetar! Dia juga sudah tahu ke mana arah yang dituju Iblis Rangkap Jiwa. Pemuda bertangan buntung ini sadar kalau jiwanya berada di ujung tanduk! Karena selain paham kalau Iblis Rangkap Jiwa berilmu tinggi dan tidak mempan pukulan, dia juga maklum, tanpa bundaran karet miliknya, dia tidak bisa kerahkan tenaga dalam apalagi lepaskan pukulan.

Dia memang masih bisa kerahkan ilmu peringan tubuh untuk berkelit menghindar. Tapi apa gunanya kalau menghadapi Iblis Rangkap Jiwa? Dan sampai kapan dia mampu menghindar menghadapi Iblis Rangkap Jiwa yang berilmu tinggi?

Namun melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa, yang tidak kalah terkejutnya adalah murid Pendeta Sinting. Dia saat itu masih tegak di hamparan pasir yang membelah dua kawasan berbatu di kanan kiri kedung. Padahal untuk sampai pada Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa harus melewati tempat di mana dia saat itu tegak. iblis Rangkap Jiwa pasti tidak akan begitu saja lewat, karena Iblis Rangkap Jiwa sendiri punya ganjalan dengan murid Pendeta Sinting.

Berpikir sampai ke sana, akhirnya begitu Iblis Rangkap Jiwa mulai berlari melintasi hamparan pasir di depan kedung, murid Pendeta Sinting cepat menghadang. Gerakan Pendekar 131 membuat Dewa Orok sedikit bernapas lega, sementara di seberang sana, Ni Luh Padmi urungkan niatnya yang hendak berlari ke arah murid Pendeta Sinting. Dan menunggu apa yang akan terjadi. Di lain pihak, melihat dirinya dihadang, Iblis Rangkap Jiwa segera hentikan larinya sejarak tujuh langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.

"Hem... Akhirnya kau yang harus mengubah warna air kedung terlebih dahulu!" ujar Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya sudah terangkat di atas kepala.

Murid Pendeta Sinting pandangi orang sesaat. Lalu bertanya. "Imbalan apa yang kau peroleh hingga kau rela mengabdi pada pemuda di gubuk hitam itu?! Perempuan cantik?!"

Sesaat Joko hentikan ucapannya. Lalu tanpa memberi kesempatan Iblis Rangkap Jiwa untuk angkat bicara, dia telah lanjutkan ucapan.

"Kalau imbalan itu yang kau inginkan, aku bisa memberimu lebih! Aku punya banyak simpanan perempuan cantik! Kau tinggal sebut bagaimana seleramu! Putih mulus, hitam manis, kuning langsat?! Berambut panjang, berambut pendek, atau keriting...? Bertubuh montok, kurus, atau gembrot?! Bahkan aku punya simpanan nenek-nenek yang penampilannya tidak kalah dibanding gadis- gadis muda!"

Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata dengan hidung mendengus. Tapi sebelum laki-laki ini sempat buka mulut, dari arah puncak batu cadas putih terdengar teriakan.

"Hai, Teman Baru! Tidak dinyana kalau kau punya simpanan perempuan begitu lengkap! Kenapa kau tadi tidak memberi tawaran pada kami berdua?! Apa penampilan kami berdua kurang keren?! Padahal kalau diukur dengan orang di hadapanmu, siapa pun juga pasti mengatakan kami lebih cakep!"

"Betul! Lihat, rambut di kepalanya saja dia tidak punya. Apalagi rambut di dalamnya! Hik Hik Hik...! Raut wajahnya hanya tinggal tulang-belulang. Bagaimana bentuk senjata saktinya?! Jangan-jangan hanya tinggal kerangka tanpa daging! Waduh... Mungkin bentuknya akan lucu!"

"Lucu memang lucu!" sahut satunya. "Yang kubayangkan bagaimana cara bekerjanya?!"

"Husyy! Jangan bicara jauh-jauh sampai ke situ! Di sini ada telinga seorang gadis yang ikut mendengarkan!"

“Ah... Aku tidak bicara terlalu jauh! Aku hanya membayangkan! Dan kalaupun ada telinga gadis yang mendengarkan dan ikut membayangkan, itu salahnya sendiri!"

Lalu terdengar suara tawa bergelak bersahut-sahutan. Malah semua orang lamat-lamat juga mendengar suara tawa perempuan cekikikan yang berasal dari kawasan berbatu di sebelah kiri kedung di atas mana Malaikat Penggali Kubur tegak.

Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki kanannya. Kepalanya berpaling mendongak ke arah puncak batu cadas putih. Namun gerakan laki-laki berkepala gundul ini terlambat. Karena matanya sudah tidak melihat dua kepala berambut awut-awutan yang tadi nongol di bibir puncak batu.

"Aku telah menawarkan imbalan padamu! Bagaimana?! Kau pilih yang mana?! Atau kau ingin borong semuanya?!" ujar murid Pendeta Sinting.

"Tak ada imbalan yang kuminta selain selembar jiwamu!" hardik Iblis Rangkap Jiwa dengan kepala masih berpaling ke puncak batu cadas.

"Ah... Aku tahu sekarang!" kata Joko. "Mungkin kau orang yang tidak suka dengan perempuan! Kalau kau lebih suka laki-laki, aku juga punya banyak simpanan! Kau tinggal katakan bagaimana yang kau inginkan. Hitam legam berbulu, putih mulus, atau setengah putih berbintik-bintik hitam? Ah, aku lupa! Mereka yang kutawarkan padamu tadi, punya keistimewaan! Mereka bisa bersuara merdu, meringkih, malah mendesah-desah juga ada...!"

Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya menghadap Joko. Namun lagi-lagi sebelum dia sempat buka mulut, dari puncak batu cadas putih terdengar seruan.

"Raden Mas Antar Bumi! Kita tertipu!" Seruan itu jelas menunjukkan kalau yang berseru adalah Raden Mas Antar Langit.

"Tertipu apa?" kata seruan yang menyahut.

"Mendengar ucapan Teman Baru tadi, kurasa yang ditawarkan bukan sebangsa manusia! Tapi bangsanya binatang! Sialan betul Teman Baru itu! Tega-teganya ajukan tawaran bangsa binatang pada orang!"

"Mungkin Teman Baru itu tahu kalau orang yang ditawari suka bangsa binatang! Kalau tidak, mana mungkin dia tawarkan itu?!"

"Ah... Kasihan juga ya...? Penampilan keren dan angker, tak tahunya berselera menyimpang!"

Untuk kesekian kalinya kembali terdengar suara tawa bersahut-sahutan. Malah suara tawa perempuan yang cekikikan sudah meledak mendahului suara tawa dari puncak batu cadas putih.

Mendengar suara-suara yang memojokkan dirinya, Iblis Rangkap Jiwa jadi kalap. Sambil putar tubuh laksana hendak terbang, laki-laki berkepala gundul ini berkelebat menghadap batu cadas putih. Kedua tangannya bergerak.

Wuuttt! Wuuutt!

Dua gelombang hitam menggebrak ganas ke arah puncak batu cadas putih. Dua kepala yang baru saja hendak nongol serta-merta lenyap. Suara tawa bersahut-sahutan laksana dirobek setan!

Brakkk! Brakkk!

Bibir julangan batu cadas putih longsor di dua tempat membentuk sempalan besar. Batu cadas putih tampak bertabur di atas hamparan pasir. Meski tempat yang terkena hantaman pukulan iblis Rangkap Jiwa adalah kawasan batu cadas putih di depan kedung, tapi semua orang yang ada di tempat itu rasakan tempat pijakan masing-masing bergetar keras. Malah gaung suara berderaknya julangan batu cadas putih sempat membuat dada berdebam! Jelas pertanda kalau Iblis Rangkap Jiwa lepaskan pukulan dengan tenaga dalam sangat kuat!

Semua kepala kini terarah pada puncak batu cadas putih. Sementara Iblis Rangkap Jiwa sudah tegak di tempatnya semula di hadapan murid Pendeta Sinting dengan mata mendelik ke puncak batu cadas. Bahkan kedua tangannya masih terangkat di atas kepalanya seolah siap hendak lepaskan pukulan kedua kalinya.

Semua orang sesaat jadi terdiam dan menung- gu-nunggu dengan dada berdebar. Karena dari puncak batu cadas putih tidak terlihat lagi adanya gerakan atau terdengarnya suara orang!

"Ke mana mereka? Apa mereka terluka kena bias hantaman orang ini?! Hem... Bagaimana cara menghadapi orang ini?! Kulihat gadis sialan itu berada di seberang dan bergabung dengan Malaikat Penggali Kubur! Sementara tak mungkin Ratu Pemikat melakukannya. Karena meski dia tegak berseberangan dengan Malaikat Penggali Kubur, tapi kuyakin dia berpihak ke pemuda itu!" Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.

Karena ditunggu agak lama dari puncak batu cadas putih tidak juga terlihat adanya gerakan atau suara yang terdengar, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala ke arah murid Pendeta Sinting.

"Kau berani bicara kurang ajar padaku! Nyawamu akan kubelah dua kali!" bentak Iblis Rangkap Jiwa saking geramnya.

"Kau jangan termakan ucapan orang-orang tadi! Yang kutawarkan padamu manusia asli! Bukan bangsa binatang!" ujar murid Pendeta Sinting.

Joko sengaja mengulur waktu sambil berpikir bagaimana cara melumpuhkan orang di hadapannya. Karena seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa memiliki kepandaian sangat tinggi dan tidak mempan pukulan. Sementara kekuatan yang dimilikinya itu baru bisa musnah kalau laki-laki berkepala gundul itu melihat pantat seorang laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Padahal untuk itu tidak mudah mendapatkannya sekarang dan dalam keadaan seperti ini.

"Dengar, Keparat!" sentak Iblis Rangkap Jiwa. "Aku tidak akan terima imbalan apa pun! Nyawamu sudah lebih daripada semuanya!"

"Ah, kebetulan sekali! Sejak jumpa pertama kali dahulu, aku memang ingin tanyakan apa sebab- nya kau inginkan nyawaku! Sekarang bisa jelaskan!" kata Joko dengan dada berdebar, karena sampai saat ini dia belum menemukan jalan keluar bagaimana cara menghadapi Iblis Rangkap Jiwa.

"Kau tak akan peroleh penjelasan apa-apa!" hardik Iblis Rangkap Jiwa.

"Iblis Rangkap Jiwa! Jangan terlalu banyak mulut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari puncak batu bergubuk hitam. "Kau selesaikan tugasmu! Keparat dihadapanmu ada yang akan menghadapinya sendiri!"

Tanpa berpaling pada orang yang buka teriakan, Iblis Rangkap Jiwa sudah tahu siapa adanya orang yang baru saja berteriak. "Kau masih bernasib baik, Jahanam!" desis Iblis Rangkap Jiwa. "Tapi jangan harap kau nanti bisa tewas sebelum mencicipi kedua tanganku!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandangannya pada Dewa Orok. Laki-laki berkepala gundul ini cepat berkelebat. Namun belum sampai sosoknya bergerak, tiba-tiba dari puncak batu cadas putih terdengar teriakan.

"Hai, Teman Baru! Siapa akhirnya yang dipilih orang di hadapanmu itu?!"

Semua kepala kini kembali tertuju pada puncak batu cadas putih kecuali kepala Iblis Rangkap Jiwa. Satu kepala berwajah hitam tampak nongol di bibir batu yang sebagian hancur akibat pukulan Iblis Rangkap Jiwa.

"Dia tidak memilih salah satu dari tawaranku! Aku jadi tak habis pikir, apa sebenarnya imbalan yang diiming-imingkan pemuda di bawah gubuk itu hingga dia mau-maunya saja lakukan apa yang diperintahkan orang!" kata Joko sambil melirik ke arah Iblis Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa tambah panas mendapati orang di atas puncak batu cadas masih bisa keluarkan suara. Dia sebenarnya ingin lepaskan pukulan sekali lagi, bahkan ingin berkelebat naik ke puncak batu cadas putih. Namun karena baru sa-ja mendengar perintah Malaikat Penggali Kubur, mau tak mau dia harus tindih dahulu kemarahannya dan segera selesaikan tugasnya menghabisi Dewa Orok. Dengan membawa kemarahan menggejolak, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat ke arah Dewa Orok. Tapi satu suara tiba-tiba menyeruak. Jelas suara ini mirip sekali dengan suara Malaikat Penggali Kubur tadi.

"Iblis Rangkap Jiwa! Tahan gerakanmu! Kau kembali dahulu ke puncak batu di mana kau tadi berada!"

Iblis Rangkap Jiwa tahan gerakannya. Lalu putar tubuh dengan tulang dahi bergerak. Kepalanya tengadah memandang ke jurusan puncak batu bergubuk hitam di seberang sana. Saat itulah dari puncak batu bergubuk hitam terdengar teriakan dahsyat.

"Keparat! Bukan aku yang berteriak barusan! Cepat lakukan tugasmu!"

Ucapan Malaikat Penggali Kubur tentu saja membuat Iblis Rangkap Jiwa bingung. Saat itulah dari puncak batu cadas putih terdengar orang bergumam.

"Suaramu mirip! Sayang Teman Baru kita tak bisa gunakan kesempatan! Lihat, ia tetap diam di tempatnya tanpa berbuat apa-apa!"

"Dasar sontoloyo sedeng! Tidak tahu kalau dia di beri kesempatan untuk berbuat sesuatu!" terdengar sahutan.

Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan kaki bergetar. Kini dia maklum kalau suara yang menahan gerakannya tadi adalah suara salah seorang yang berada di puncak batu cadas putih! Bukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Iblis Rangkap Jiwa cepat balikkan tubuh hendak langsung berkelebat ke arah Dewa Orok, namun laki-laki ini terkesiap kaget. 

Bersamaan dengan gerakannya memutar, dua buah benda hitam menghantam tengkuk serta lambungnya! Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Karena saat itu juga dia rasakan sekujur tubuhnya kejang tak bisa digerakkan!

***

DUA

BANGSAT! Berani kau berlaku pengecut menotokku dari belakang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa dengan suara keras bergetar.

Karena sewaktu totokan yang ternyata dilakukan murid Pendeta Sinting bersarang di tengkuk dan lambungnya, laki-laki berkepala gundul ini sedang putar tubuh hendak menghadap ke tempat Dewa Orok. Maka kini sosoknya tepat menghadap ke julangan batu cadas putih.

Joko melangkah mundur dua tindak. Mungkin karena tadi terlalu tenggelam mencari jalan keluar untuk lumpuhkan Iblis Rangkap Jiwa, di benaknya tidak terpikir sama sekali kalau gerakan dan ulah Iblis Rangkap Jiwa bisa ditahan dengan totokan. Dia baru tersadar setelah mendengar gumaman kedua orang di atas puncak batu cadas putih. Hingga begitu Iblis Rangkap Jiwa hendak balikkan tubuh, cepat dia sarangkan totokan pada laki-laki berkepala gundul itu.

"Kau akan menyesal, Jahanam!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.

"Penyesalan hanya akan datang di kemudian hari! Jadi untuk saat ini jangan bicara soal sesal menyesal! Kalau boleh dibilang menyesal, sebenarnya kau yang harus merasa menyesal! Aku telah tawarkan kenikmatan padamu, tapi kau menolak!" kata Joko sambil arahkan pandangan ke puncak batu cadas putih. 

Dua wajah hitam dan rambut awut-awutan tampak nongol di bibir batu cadas yang sebagian telah hancur. Sesaat kedua wajah ini saling berhadapan dengan mata saling pandang. Lalu sama-sama arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa.

"Lihat Iblis Rangkapan itu! Apa yang dilakukan?! Menghadap ke arah kita terus menerus! Jangan-jangan dia naksir kita!"

"Hussyy! Dia itu tengah bersemadi! Dan mumpung dia bersemadi, bagaimana kalau kita buktikan?!"

"Buktikan apanya?!" tanya satunya.

"Wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut! Aku ingin tahu, apakah senjata saktinya juga tidak berdaging dan gundul pula?! Lagi pula bukankah kau butuh celana?! Kalau orang lagi semadi begitu, apa pun yang dilakukan orang terhadapnya, dia tak akan peduli!"

"Ah... Tentu satu pemandangan menarik dibulan yang tengah purnama begini! Aku pun juga perlu celananya!"

"Keparat! Berani kalian teruskan maksud, kukuliti daging kalian!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.

"Bagaimana ini? Apa ada orang bersemadi bisa mengancam?!"

"Itulah semadi bangsanya iblis! Dia masih bisa berbicara bahkan mengancam! Tapi percayalah. Dia tak akan peduli meski apa pun yang akan kau lakukan terhadapnya! Kita buktikan sekarang..."

Dua kepala ini lantas beringsut mundur. Karena puncak batu cadas letaknya paling tinggi, maka semua orang tak tahu apa yang diperbuat kedua orang itu. Namun sebelum dua kepala milik dua laki-laki berwajah hitam ini benar-benar beringsut, satu teriakan keras membelah mengumandang di tempat itu.

"Jangan ada yang berani bergerak! Atau kalian akan mengalami nasib seperti ini!"

Begitu suara teriakan lenyap, yang ternyata diperdengarkan oleh Malaikat Penggali Kubur, terdengar suara deru perlahan. Tidak ada gelombang atau sapuan angin. Namun di kejap lain semua mata di tempat itu membeliak. Julangan batu cadas bergetar dahsyat. Lalu laksana disapu gelombang hebat yang berkekuatan kuat, julangan batu cadas putih hancur berkeping-keping. 

Hamburan batu cadas tampak memenuhi pemandangan di atas Kedung Ombo. Dan di antara kepingan batu cadas, tampak dua sosok hitam membubung keudara, lalu melayang-layang dan lenyap di balik julangan batu cadas putih yang kini tinggal separoh.

"Hem... Daya kekuatan Kitab Hitam itu ternyata luar biasa! Apa isi Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra mampu membendungnya?!"

Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin. Lalu arahkan pandangannya ke tempat mana tadi dua sosok hitam melayang jatuh. Namun meski julangan batu cadas putih telah terpenggal separo, batu cadas itu masih kira-kira setinggi tujuh tombak, hingga pandangan Joko masih terhalang.

Sementara itu di seberang sana, Malaikat Penggali Kubur cepat berpaling pada Ni Luh Padmi. "Nenek keparat! Apa lagi yang kau tunggu?! Atau kepalamu ingin kubuat seperti batu cadas itu?!"

Tanpa berpikir lagi, Ni Luh Padmi segera berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tujuh langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.

"Nek! Bebaskan aku dahulu!" kata Iblis Rangkap Jiwa begitu menyadari kalau si nenek tegak tidak jauh dari tempatnya.

Ni Luh Padmi tidak hiraukan ucapan Iblis Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting dan perhatikan si pemuda dengan seksama. "Murid dan gurunya hampir tidak ada bedanya! Dalam situasi begini masih bisa-bisanya bercanda dan main-main! Sebenarnya aku tidak punya silang sengketa besar dengan pemuda ini! Kalaupun ada itu hanya karena dia dulu tidak mau mengatakan di mana bangsat gurunya mendekam! Hem... Tapi saat ini lain urusannya!"

"Nek! Kenapa kau tak segera membebaskanku?!" seru Iblis Rangkap Jiwa ketika menyadari Ni Luh Padmi tidak segera lakukan keinginannya.

"Aku tidak diperintah untuk membebaskanmu! Aku punya tugas menghabisi pemuda sinting ini!"

"Tapi tak ada salahnya kau membebaskanku!"

"Pemuda sinting ini yang menotokmu! Minta tolong padanya! Aku tak mau bertindak selain yang diperintah! Itu pun karena aku sudah telanjur!"

"Nek! Meski bukan perintah, tapi..."

"Dengar! Sekali aku bilang tidak, tidak!" potong Ni Luh Padmi dengan suara agak keras.

"Bangsat! Menyesal aku membiarkanmu hidup sampai malam ini! Tahu kau memendam niat busuk, sejak pertama di bukit itu kau kuhabisi!" ucap Iblis Rangkap Jiwa.

Si nenek tertawa pendek. "Percuma kau sesali apa yang telah terjadi! Bukan hanya kau, tahu begini keadaannya, aku juga menyesal ikut berkomplot denganmu! Bukannya dapat menemukan orang yang kucari, malah jadi budak orang!"

"Eh, jadi kau masih rindu sama guruku?!" Joko menyahut.

Ni Luh Padmi mendelik. Joko tidak peduli. Dia lanjutkan ucapannya. "Nek... Tinggalkan tempat ini! Aku akan tunjukkan di mana orang yang kau cari..."

"Terlambat, Anak Sinting! Aku telah tahu di mana sarang gurumu! Sayang, bangsatnya sudah minggat saat aku sampai di sana!"

"Hem... Pasti kau datang ke Jurang Tlatah Perak! Kalau kau ke sana, sampai kiamat pun kau tak akan temukan guruku!"

Dahi Ni Luh Padmi berkerut. "Apa benar ucapan pemuda sinting itu?! Apa jahanam sinting itu punya dua sarang?!"

Sebenarnya murid Pendeta Sinting tadi hanya memancing. Dia tadi lamat-lamat masih mendengar pembicaraan si nenek dengan Malaikat Penggali Kubur. Dan begitu melihat perubahan pada paras muka si nenek, Joko cepat lanjutkan ucapannya.

"Kau jangan heran, Nek! Selama ini orang memang mengetahui kalau Pendeta Sinting berada di Jurang Tlatah Perak. Tapi yang benar, tempat itu sudah ditinggalkan sepuluh purnama yang lalu!"

Tanpa sadar, Ni Luh Padmi segera buka mulut bertanya. "Sekarang di mana?!"

"Sepuluh purnama yang lalu, guruku berkenalan dengan seorang gadis muda cantik jelita. Entah apanya yang menarik dari guruku, gadis muda itu jatuh cinta. Singkatnya mereka lantas kawin! Pesta perkawinan mereka diadakan besar-besaran..."

"Cukup!" tukas si nenek. Paras wajahnya merah membara laksana dipanggang. Pandangan matanya berkilat-kilat. "Aku tak tanya segala macam perkawinan dan pesta! Aku tanya sekarang di mana! Kau dengar? Sekarang di mana!"

"Jangan percaya ucapan dusta pemuda itu!" Iblis Rangkap Jiwa menyahut.

Mungkin karena jengkel, dan mendengar Iblis Rangkap Jiwa ikut-ikutan buka suara, Ni Luh Padmi segera menghardik. "Kuperingatkan kau, Iblis Rangkap Jiwa! Jangan ikut-ikutan bicara! Atau kau ingin kubuat tak bisa buka mulut, hah?!"

Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah dalam hati. Sementara melihat gelagat, Joko sedikit banyak sudah dapat menebak apa urusan si nenek dengan Pendeta Sinting gurunya.

"Nek!" kata Joko. "Nada bicaramu sepertinya kau merasa cemburu mendengar guruku kawin dengan gadis muda berwajah cantik..."

Ni Luh Padmi genggam tusuk kondenya erat-erat dengan tangan bergetar. Jelas kalau si nenek sedang menindih rasa geram. "Dengar, Anak Sinting! Aku tak peduli bangsat gurumu itu kawin dengan gadis cantik atau tidak! Aku juga tak peduli jahanam gurumu itu pesta sampai beberapa purnama! Jadi jangan lancang bicara menuduh cemburu!"

"Ah... Bagaimana kau ini?! Padahal menurut cerita guruku, kalian berdua dahulu adalah pasangan serasi! Ke mana-mana selalu berdua bahkan saling bergandengan tangan! Di mana ada kau pasti di situ ada guruku! Kau tahu, Nek! Guruku sebenarnya masih sering mengingatmu! Dia sering menceritakanmu! Hanya saja dia tidak mau berterus terang..."

"Terus terang apa?!" sentak si nenek.

Namun murid Pendeta Sinting masih bisa menangkap nada kegembiraan disentakkan suara si nenek. "Dia tak mau mengatakan mengapa akhirnya berpisah denganmu! Meski begitu, sedikit banyak aku bisa menebak apa yang memisahkan kalian berdua..."

Ni Luh Padmi tidak segera menyahut. Wajahnya yang sejenak tadi tampak berseri kini merah mengelam. Dadanya naik turun dengan keras.

"Dari pembicaraan guruku, aku bisa menduga kalau kau yang terlebih dahulu terpikat dengan orang lain! Betul bukan?!" ujar Joko dengan sunggingkan senyum.

Lagi-lagi Ni Luh Padmi tidak menyahut. Hanya wajahnya yang makin merah mengelam. Malah saat itu juga si nenek angkat kepalanya pandangi bentangan langit Kedung Ombo yang makin tampak terang benderang.

"Aku telah lama hidup dengan Pendeta Sinting. Dia orangnya setia dan penuh pengertian! Jadi mustahil dia berbuat yang tidak-tidak padamu, apalagi sampai terpikat dengan gadis lain! Kalaupun sampai dia kawin lagi dengan gadis muda cantik, itu karena dia sudah terlalu lama menunggumu dan tak ada kabar beritanya! Aku..."

"Diam!" teriak si nenek setengah menjerit. "Kau tak ada bedanya dengan tua bangka jahanam itu! Pandai bicara dan pintar memutar balik kenyataan! Anak sinting sepertimu layak mampus selagi muda, agar nantinya tidak meminta korban!"

Keengganan si nenek untuk berhadapan dengan murid Pendeta Sinting karena dirasa urusannya hanya sepele jadi berubah. Kini si nenek jadi bernafsu untuk membunuh Joko. Di lain pihak, Pendekar 131 jadi makin yakin apa sebenarnya urusan yang mengganjal antara si nenek dengan gurunya.

"Nek! Urusan asmara tidak akan ada ujungnya kalau diselesaikan dengan hati dibungkus rasa cemburu dan kebencian! Justru mungkin kau akan mendapatkan penyesalan yang lebih dalam! Kau memang akan mendapat kepuasan jika telah membunuh Pendeta Sinting. Tapi apalah artinya kepuasan kalau cuma sekejap?! Dan setelah itu didera rasa sesal berkepanjangan?!"

"Dengar, Anak Sinting! Kau masih bau kencing! Tak patut memberi nasihat! Lagi pula tua bangka jahanam itu sengaja mengatakan yang baik-baik padamu! Sementara apa yang jelek disimpan untuk dirinya sendiri! Aku masih beri kesempatan padamu! Katakan di mana tua bangka jahanam itu sekarang!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku akan mengatakan padamu kalau kau mau selesaikan urusan dengan tanpa cemburu dan kebencian! Dan tinggalkan tempat ini sekarang juga!"

"Buang keinginanmu itu, Anak Sinting! Kebencianku sudah setinggi langit sedalam lautan! Tak ada yang dapat sirnakan kebencian itu selain lumuran darah gurumu di tanganku!"

"Nek! Kau masih ingat akan ucapan orang bermata buta berjuluk Gendeng Panuntun?!" tanya Joko masih coba menyadarkan si nenek.

"Tak kan ada yang bisa halangi langkahku, Anak Sinting! Apalagi hanya sebuah ramalan seorang manusia buta dan gendeng!" ujar Ni Luh Padmi. Mungkin karena telah dibuncah rasa marah, si nenek sampai lupa berpikir dari mana murid Pendeta Sinting mengetahui kalau Gendeng Panuntun pernah berkata pada si nenek.

"Hem... Kalau begini keras kepalanya, rasanya tak bisa aku membuatnya sadar! Sayang Eyang Guru tidak muncul di tempat ini! Seandainya saja..."

Pendekar 131 tidak lanjutkan kata hatinya karena saat itu dari arah puncak batu bergubuk hitam terdengar Malaikat Penggali Kubur berteriak.

"Nenek keparat! Lekas kau regangkan nyawa pemuda jahanam di hadapanmu itu!"

"Kau dengar itu, Anak Sinting?!" ucap Ni Luh Padmi sedikit menahan suaranya. "Kau masih punya kesempatan untuk jawab pertanyaanku tadi! Jika tidak..." Si nenek tidak lanjutkan ucapannya. Hanya sepasang tangannya membuat gerakan. Tangan kanan yang menggenggam tusuk konde besar berwarna hitam ditarik sedikit ke belakang. Sementara tangan kiri diangkat.

"Aku akan mengatakan kalau kau sudah tinggalkan tempat ini!" ujar Joko sambil diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. "Mumpung masih ada kesempatan, cepat tinggalkan tempat ini!" sambung Joko ketika melihat si nenek terdiam.

"Kau boleh berlaku licik hendak menipuku! Tapi aku tidak sebodoh yang kau kira! Jangan harap aku percaya pada murid tua bangka jahanam itu!"

Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi merangsek ke depan. Tangan kirinya berkelebat lepaskan pukulan ke arah kepala Joko. Satu gelombang mencuat sebelum tangan itu sendiri menghantam sasaran pertanda jelas kalau kelebatan tangan itu mengandung tenaga dalam kuat.

Melihat si nenek telah lepaskan pukulan, murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Tangan kanannya diangkat menghadang kelebatan tangan kiri si nenek.

Bukkk!

Baik tangan kiri si nenek mau pun tangan kanan Joko tampak sama terpental balik ke belakang. Tubuh Ni Luh Padmi sedikit bergetar dengan mata mendelik. Meski si nenek sudah pernah jumpa dengan Joko dan terlibat baku hantam, namun sebenarnya si nenek ini belum yakin benar akan kekuatan lawan. Hingga untuk meyakinkan dirinya, si nenek coba mengadu tenaga. 

Dilain pihak, sesungguhnya murid Pendeta Sinting tidak mau melayani Ni Luh Padmi, apalagi mengingat pesan eyang gurunya. Tapi kalau dia berdiam diri, niscaya si nenek akan membunuhnya. Hingga meski Joko tidak tinggal diam, dia sejauh mungkin coba menghindari bentrok yang bisa membuat cedera dalam. Malah murid Pendeta Sinting masih coba menyadarkan si nenek dengan angkat bicara lagi.

"Nek! Percuma saja..."

Ucapan Joko belum usai, Ni Luh Padmi telah menukasnya dengan berkelebat ke depan. Kalau tadi tangan kirinya yang lepaskan pukulan, kini kedua tangannya sekaligus bergerak menghantam. Tangan kiri mengarah pada leher sementara tangan kanan yang memegang tusuk konde berkelebat ke arah lambung.

Joko sempat terkesiap. Gerakan si nenek telah membuat murid Pendeta Sinting maklum kalau si nenek benar-benar hendak membunuhnya. Maka Joko pun tak mau berlaku ayal. Dia pun tidak menunggu pukulan si nenek sampai. Begitu Ni Luh Padmi berkelebat, Joko segera menghadang dengan kedua tangan memangkas gerakan kedua tangan si nenek. Hingga tak ampun lagi untuk kedua kalinya kedua orang ini saling beradu pukulan.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Tubuh Ni Luh Padmi terhuyung-huyung lalu tersurut sampai empat langkah. Paras wajahnya pucat dengan dahi dibanjiri keringat. Kedua tangannya jelas tampak bergetar. Malah kalau saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam untuk menahan huyungan tubuhnya, niscaya sosoknya akan terjerembab!

Di depan sana, murid Pendeta Sinting surutkan langkah satu tindak. Meski wajahnya berubah, namun jelas dia masih dapat kuasai diri. Malah begitu si nenek lipat gandakan tenaga dalamnya, murid Pendeta Sinting sudah lama tegak dengan kedua, kaki laksana dipacak dan bibir sunggingkan senyum.

Mendapati hal demikian, bukannya membuat Ni Luh Padmi segera memaklumi diri, sebaliknya si nenek hentakkan kedua kakinya. Laksana terbang sosoknya berkelebat. Dari jarak tiga langkah, kedua tangannya membuka lalu lepaskan pukulan jarak jauh dengan tenaga dalam luar biasa dahsyat. Satu gelombang angin menderu deras ke arah Joko. Karena tidak mungkin lagi menghadang pukulan si nenek dengan tenaga asal-asalan, pada akhirnya murid Pendeta Sinting siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Hal ini sebenarnya terlalu berisiko. Namun bagi Joko tidak ada jalan lain.

Begitu gelombang telah menderu, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi kuning. Saat kedua tangannya mendorong, tampaklah sinar kuning melesat. Lalu satu sapuan gelombang dahsyat membawa hawa panas menggebrak.

"Pukulan 'Lembur Kuning'!" satu seruan terdengar dari julangan batu cadas putih yang telah terpenggal setengahnya.

"Nenek cantik! Lekas menyingkir!" Lagi-lagi terdengar seruan dari puncak batu cadas putih yang sudah terpenggal.

Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan, dua tangan tampak bergerak dari julangan batu cadas putih yang tinggal separo tingginya. Satu mendorong ke arah si nenek hingga nenek ini langsung terpental satu setengah tombak, sedang tangan satunya lagi mendorong ke arah cahaya kuning yang kini memangkas gelombang pukulan si nenek.

Satu ledakan keras segera mengguncang Ke- dung Ombo tatkala gelombang angin si nenek dibarengi gelombang dahsyat yang tiba-tiba melesat dari dorongan tangan orang di batu cadas putih bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas murid Pendeta Sinting.

Di seberang sana, terlihat murid Pendeta Sinting terhuyung dengan mulut megap-megap dan wajah pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Tangan satu tampak dikibas-kibaskan untuk lenyapkan rasa kesemutan dan kekakuan, tangan satunya lagi pegangi dadanya yang terasa sesak.

Di hadapan murid Pendeta Sinting, meski dorongan tangan orang dari batu cadas putih selamatkan Ni Luh Padmi dari cedera parah, namun tak urung juga tubuhnya masih bergetar akibat pukulannya terhadang pukulan 'Lembur Kuning'. Malah ketika si nenek hendak berkelebat lagi, dia rasakan kedua kakinya goyah. Hingga untuk sesaat dia urungkan niat berkelebat. Lalu berpaling ke arah batu cadas putih yang telah terpapas akibat pukulan Malaikat Penggali Kubur.

"Siapa orang-orang itu sebenarnya? Mengapa mereka menolongku?! Apa mereka itu kaki tangan Malaikat Penggali Kubur?!" Si nenek membatin dengan kening berkerut. Karena sepasang matanya tidak melihat adanya orang yang muncul di batu cadas. Dia hanya melihat dua buah tangan yang membuat gerakan melambai-lambai!

Bukan hanya Ni Luh Padmi yang dibuncah berbagai tanya. Murid Pendeta Sinting tampak sipitkan sepasang matanya dan membatin. "Belum dapat kupastikan siapa gerangan mereka adanya! Yang pasti, mereka punya kekuatan tenaga dalam luar biasa! Buktinya dia mampu terus melambai-lambai setelah menghadang pukulan 'Lembur Kuning'!

Joko berpaling pada Ni Luh Padmi. Saat bersamaan si nenek juga menoleh. Kedua orang ini sesaat sama saling pandang. Tiba-tiba terdengar suara orang mengeluh. Joko dan Ni Luh Padmi gerakkan kepala mas- ing-masing ke arah lamping batu cadas putih asal suara keluhan terdengar. Di lamping batu cadas putih yang telah terpenggal tampak sosok Iblis Rangkap Jiwa duduk bersandar dengan tubuh masih kejang kaku.

Ketika Joko dan Ni Luh Padmi berpaling, Iblis Rangkap Jiwa tampak gerakkan bola matanya, mendelik angker ke arah si nenek. Mulutnya yang merupakan satu-satunya anggota tubuh yang bisa bergerak terlihat membuka, lalu terdengarlah ucapannya.

"Nek! Aku akan ampuni selembar nyawamu kalau kau bebaskan aku sekarang juga! Kalau tidak, nyawamu nanti akan kucabut sendiri!"


Ni Luh Padmi hanya pandangi Iblis Rangkap Jiwa dengan seringai dingin. Lantas berpaling lagi pada murid Pendeta Sinting. Iblis Rangkap Jiwa memaki habis-habisan. Namun karena tubuhnya masih tertotok, laki-laki berkepala gundul ini hanya dapat berteriak tanpa dapat gerakkan anggota tubuhnya. Malah dia tadi ikut tersapu akibat bentroknya pukulan Joko dengan pukulan si nenek dan dorongan tangan dari atas batu cadas putih. Hingga tubuhnya terpental dan akhirnya menghantam lamping batu cadas putih. 

Sebenarnya secara diam-diam Iblis Rangkap Jiwa telah kerahkan tenaga dalam untuk bebaskan diri dari totokan yang disarangkan murid Pendeta Sinting. Namun baru saja kedua tangannya bergeletar pertanda urat-uratnya telah dapat tersaluri tenaga, terdengar ledakan dahsyat akibat bentroknya pukulan Joko dan si nenek. Hal ini membuat konsentrasi Iblis Rangkap Jiwa pecah. Dan belum sempat dia konsentrasi kembali, sosoknya telah tersapu gelombang bias bentroknya pukulan. Bukan saja membuat sosoknya menghantam lamping batu cadas putih, namun juga sosoknya tegang kaku kembali!

Namun Iblis Rangkap Jiwa masih bernapas lega, karena dengan tersapunya tubuhnya ke lamping batu cadas putih, maka dengan leluasa dia dapat konsentrasi kembali untuk bebaskan diri dari totokan tanpa takut tersapu bias bentroknya pukulan lagi. Hingga begitu permintaannya tidak digubris Ni Luh Padmi, Iblis Rangkap Jiwa segera pejamkan sepasang matanya lalu kerahkan tenaga sedapat mungkin.

Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting bukan lawan yang begitu mudah ditaklukkan, nafsu membunuh Ni Luh Padmi makin berkobar. Hingga begitu berpaling, tangan kirinya langsung bergerak lepaskan pukulan. Sementara tangannya sentakkan tusuk konde hitam!

Wuttt! Wuutt!

Dua suara deruan terdengar. Satu berupa ge- lombang angin dahsyat, satunya lagi melesatnya tusuk konde hitam si nenek. Ini adalah sebuah serangan yang mematikan. Karena orang yang diserang sekaligus harus hadang dengan dua pukulan. Jika tidak, salah satu dari gelombang angin atau lesatan tusuk konde akan menghantam!

Apalagi tusuk konde hitam si nenek sulit diterka dari arah mana akan datang menghantam, karena begitu tusuk konde melesat dan si nenek gerak-gerakkan tangan kanannya, tusuk konde hitam yang sedang melesat membuat gerakan meliuk-liuk di udara laksana dikendalikan tangan kanan si nenek!

"Hem... Senjata andalannya harus kulumpuhkan dahulu!" gumam Joko. Secepat kilat kedua tangannya didorong lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Kejap lain Joko cepat melompat ke samping seraya bergulingan. Lalu tangan kirinya bergerak menyentak ke depan.

Wuuuttt!

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Inilah tanda kalau Pendekar 131 telah lepaskan pukulan 'Serat Biru'!

Di atas hamparan pasir tampak sinar kuning menyungkup, lalu menghantam gelombang angin yang keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi. Ledakan keras terdengar. Pasir tampak bertaburan. Hebatnya, tusuk konde hitam si nenek tetap melelsat di tengah taburan pasir dan kini berbelok arah menuju tempat Joko bergulingan. Namun begitu serat-serat biru laksana benang menghampar, lesatan tusuk konde tertahan di udara. Malah saat itu juga serat-serat biru telah membungkus tusuk konde hitam si nenek.

Ni Luh Padmi yang sejenak tadi tampak terhuyung akibat pukulan tangan kirinya bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning' cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Hingga kejap itu juga kedua kakinya melesak masuk ke hamparan pasir! Ini dilakukan si nenek untuk menjaga tubuhnya agar tidak goyah, karena tangannya akan bergerak kendalikan tusuk konde yang kini telah terbungkus serat-serat biru.

Melihat Ni Luh Padmi coba pacakkan kaki, Joko tak sia-siakan kesempatan. Belum sampai tangan si nenek bergerak kendalikan tusuk kondenya, tangan murid Pendeta Sinting telah menyentak. Tusuk konde yang terbungkus serat-serat biru tersapu deras. Ni Luh Padmi menjerit tinggi. Si nenek memang masih sempat gerakkan tangan untuk kendalikan tusuk kondenya. Namun gerakannya sudah terlambat.

Tusuk konde melesat laksana kilat dan hampir saja melabrak kepala si nenek kalau nenek ini tidak cepat-cepat rebahkan diri ke belakang. Si nenek lupa kalau dia telah pacakkan kedua kakinya ke hamparan pasir, hingga begitu tubuhnya rebah ke belakang, dia terkesiap sendiri karena kakinya terpacak! Namun karena dia tak mau tusuk kondenya melabrak kepalanya sendiri, dia paksakan juga tubuhnya rebah ke belakang.

Krakkk! Krakkk!

Ni Luh Padmi berseru tertahan. Dia berniat untuk angkat tubuhnya ke atas. Namun pergelangan kakinya tak bisa digerakkan dan juga sangat lemah untuk menopang tubuh. Hingga mau tak mau akhirnya si nenek jatuhkan diri duduk dengan lutut menekuk!

Tusuk konde terus melesat ke belakang. Lalu terdengar ledakan keras di belakang sana. Disusul kemudian dengan terdengarnya dua orang bergumam. Kejap lain terdengar suara keluhan keras dan makian panjang pendek. Meski merasa tulang kedua kakinya tak bisa digerakkan, Ni Luh Padmi tak kuat menahan untuk mengetahui apa yang terjadi dibelakang. Berpaling ke belakang, sepasang mata si nenek membeliak besar.

Julangan batu cadas putih yang terpenggal setengah tampak rengkah dan di satu tempat tampak lobang menganga besar. Lobang menganga yang ternyata akibat melesak masuknya tusuk konde si nenek hanya beberapa jengkal dari kepala Iblis Rangkap Jiwa! Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa memaki habis-habisan karena kembali konsentrasinya buyar!

Sementara kedua orang di batu cadas putih terdengar bergumam tak jelas karena tempat di mana mereka berada bergetar keras dan sebagian batu cadas putih berhamburan! Sementara itu melihat Ni Luh Padmi jatuh terduduk, dari puncak batu bergubuk hitam Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai.


"Ilmu masih sedangkal mata kaki sudah berani menyeberang laut!" desisnya lalu berpaling ke arah Dewi Siluman yang sejak tadi perhatikan Joko dan Ni Luh Padmi.

Belum sempat Malaikat Penggali Kubur buka mulut, Dewi Siluman yang sebenarnya sudah tidak sabar segera saja berkelebat melintasi hamparan pasir. Namun baru saja sosok perempuan berjubah dan bercadar hitam ini bergerak, satu bayangan merah bergerak mendahului dan memotong larinya Dewi Siluman, membuat perempuan ini hentikan larinya. Memandang ke depan, kontan sepasang mata Dewi Siluman membelalak berkilat.

"Sudah kuduga kalau kau adalah musuh dalam selimut!" bentak Dewi Siluman ketika mengetahui kalau yang menghadang adalah gadis berjubah merah Putri Sableng!

"Kau hendak ke mana anak Daeng Upas?!" kata Putri Sableng, membuat Dewi Siluman surutkan kaki satu tindak.

"Siapa kau sebenarnya?!" hardik Dewi Siluman dengan suara bergetar. Dia terkejut besar mendapati orang sebut nama almarhum ibunya!

Yang dibentak cekikikan sebentar, lalu buka mulut. "Menurutmu, siapa aku sebenarnya?!" Putri Sableng balik bertanya.

Dewi Siluman terdiam. Sepasang matanya per- hatikan lebih seksama gadis berparas cantik yang tegak di hadapannya. "Selama ini Ibu jarang sekali keluar, kalaupun keluar, itu saat terjadi peristiwa Tengkorak Berdarah! Adalah hal aneh kalau gadis semuda ini telah mengenali ibuku yang meninggal dalam peristiwa Tengkorak Berdarah!"

"Kudengar seorang buta pernah menasihati mu untuk tinggalkan dunia persilatan dan kawin! Mumpung belum terlambat, kurasa itulah jalan satu-satunya yang harus kau lakukan saat ini, Durga Ratih!"

Dewi Siluman tegak laksana dipaku. Mulutnya terkancing rapat. Matanya makin mendelik. "Jahanam! Gadis ini rupanya tahu banyak tentang diriku! Bagaimana hal ini bisa terjadi?!"

Dewi Siluman dibuncah berbagai hal yang menurutnya tidak mungkin. Karena gadis dihadapannya usianya masih dibawahnya. Sementara dia sendiri selama ini tidak pernah memperkenalkan diri dengan nama asli yakni Durga Ratih! Lebih-lebih dia tak pernah cerita tentang nasihat orang buta yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun yang memang pernah menasihati dirinya agar tinggalkan dunia persilatan dan kawin!

***
TIGA
KARENA tak mau terus bertanya-tanya dengan diri sendiri yang jawabannya tidak mungkin didapat, sementara dia sudah tidak sabar ingin menghadapi murid Pendeta Sinting, Dewi Siluman alihkan pandangannya seraya mendesis garang.

"Siapa pun kau adanya, menyingkirlah dari hadapanku!" Habis berkata begitu, Dewi Siluman melangkah maju.

Putri Sableng tetap tidak bergeming dari tempatnya. Kemarahan Dewi Siluman tak dapat dibendung lagi, hingga seraya hentikan langkah sejarak empat tindak dari hadapan Putri Sableng, perempuan berjubah dan bercadar hitam ini angkat kedua tangannya.

"Tunggu!" tahan Putri Sableng. "Apa hubunganmu dengan Malaikat di gubuk hitam itu sama seperti saat kalian berada di Pulau Biru?!"

"Keparat! Dia tahu peristiwa di Pulau Biru! Padahal waktu itu jelas kalau setan ini tidak ada di sana!" batin Dewi Siluman. Lalu berkata.

"Apa hubunganku, itu urusanku! Menyingkirlah!" Dewi Siluman sudah melompat ke depan sebelum terdengar suara sahutan dari Putri Sableng. Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman.

Putri Sableng ikut angkat kedua tangannya. Lututnya ditekuk hingga tubuhnya sedikit melorot.

Bukkk!Bukkk!

Kedua tangan Dewi Siluman beradu keras dengan kedua tangan Putri Sableng yang dipalangkan di atas kepalanya. Dewi Siluman tersentak. Dia cepat mundur tiga langkah. Sepasang matanya membeliak perhatikan kedua tangannya yang tampak bergetar keras. 

Dari bentrok tangan tadi, Dewi Siluman sudah maklum kalau gadis berjubah merah memiliki tenaga dalam kuat. Namun karena sudah dibungkus hawa kemarahan, dia tak mau pikir panjang lagi. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke depan.

Wuutt!Wuuutt!

Dari kedua tangan Dewi Siluman melesat kabut hitam keluarkan gema dahsyat serta gelombang angin dan hawa panas! Inilah tanda kalau Dewi Siluman telah lepaskan pukulan andalannya yang dikenal dengan pukulan 'Kabut Neraka'.

Seakan sudah tahu pukulan andalan perempuan berjubah hitam, Putri Sableng sudah jejakkan kedua kakinya terlebih dahulu. Hingga saat kabut hitam melanggar, sosoknya telah loncat di udara. Dari atas udara, gadis cantik berjubah merah ini cepat sentakkan kedua tangannya ke bawah.

Blammm!

Lesatan kabut hitam tertahan sejenak di udara. Lalu begitu terhantam gelombang yang keluar dari sentakan kedua tangan Putri Sableng, kabut hitam laksana ditekan tenaga luar biasa, hingga saat itu juga kabut hitam menukik deras ke hamparan pasir. Terdengar ledakan keras. Hamparan pasir muncrat sampai beberapa tombak ke udara. Begitu semburatan pasir lenyap, tampak lobang menganga besar!

Meski pukulannya dipangkas orang dari atas udara, namun bias bentroknya pukulan masih juga menghantam Dewi Siluman. Hingga begitu terdengar ledakan, sosok perempuan berjubah hitam itu terhuyung-huyung. Sementara di atas udara Putri Sableng membuat gerakan jungkir balik, lalu mendarat tujuh langkah di hadapan Dewi Siluman dengan tangan berkacak pinggang. Namun kali ini sikap gadis berjubah merah lain. Pandangannya menyengat tajam. Mulutnya bergerak-gerak meski tidak perdengarkan suara. Paras wajahnya jelas menunjukkan kalau dadanya dilanda kemarahan.

Di hadapan Putri Sableng, Dewi Siluman tak mau lagi sembunyikan rasa kejut. Belum dapat menduga siapa adanya si gadis, kini ditambah dengan pertanyaan yang makin pelik. Karena gadis berjubah merah rasanya mengerti benar akan pukulan yang akan dilepas! Hingga bukan saja pukulannya tidak menghantam sasaran tapi mampu ditebas masuk ke hamparan pasir sampai lenyap!

"Durga Ratih! Aku hanya peringatkan kau sekali lagi! Pergi dari sini!"

Meski hatinya mulai kecut, namun rasa penasaran membuat Dewi Siluman lupakan kekuatan diri. Hingga saat itu juga dia perdengarkan tawa pendek. Lalu berucap. "Jangankan hanya sekali, seratus kali kau ucapkan peringatan, aku tak akan pergi dari sini! Justru aku yang peringatkan padamu! Menyingkirlah dari hadapanku! Kalau kau ingin berhadapan denganku, tunggulah sampai aku selesaikan pemuda keparat itu!" Tangan kiri Dewi Siluman bergerak menunjuk pada murid Pendeta Sinting di seberang.

"Hem... Jadi kau ingin mengalami nasib lebih buruk daripada yang pernah kau alami di Pulau Biru?!" tanya Putri Sableng.

"Apa yang kau tahu tentang nasibku di Pulau Biru, hah?? Kau hanya dengar dari mulut orang lancang!" sahut Dewi Siluman.

Putri Sableng sudah buka mulut, tapi sebelum suaranya terdengar, satu teriakan membahana terdengar dari puncak batu bergubuk hitam.

"Dewi Siluman! Kau terlalu banyak umbar suara! Lekas selesaikan gadis pengkhianat itu!"

Walau sudah tahu kalau Malaikat Penggali Kubur malam ini bukan Malaikat Penggali Kubur pada beberapa waktu yang lalu, namun Dewi Siluman bukanlah orang yang begitu saja mau diperintah. Perempuan bercadar hitam ini dongakkan sedikit kepalanya. Lalu berkata lantang.

"Aku memang akan selesaikan gadis bermulut lancang ini! Tapi bukan karena turut perintahmu!"

"Hem... Enak benar suaramu! Apakah kau tak tahu kalau malam ini Malaikat Penggali Kubur akan mentasbihkan diri sebagai raja diraja rimba persilatan?! Dan itu berarti semua orang harus tunduk di bawah telapak kakiku! Termasuk kau!"

"Persetan mau jadi apa kau malam ini! Yang jelas kau tak bisa seenakmu memberi perintah padaku!"

Tampang Malaikat Penggali Kubur terlihat berubah. Namun kejap lain pemuda ini telah perdengarkan tawa bergelak sambil berujar. "Kau ternyata datang ke tempat yang salah! Ha Ha Ha...! Dan ternyata otakmu juga tolol karena tak mau melihat kenyataan! Aku tahu... Kau memang bisa lolos dari Pulau Biru. Tapi apa kau pikir Kedung Ombo sama dengan Pulau Biru?! Apa kau kira manusia yang berkata ini sama dengan Malaikat Penggali Kubur waktu berada di Pulau Biru dulu?!"

Dewi Siluman tidak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia palingkan muka menghadap Putri Sableng. Saat itulah mendadak terlihat berkiblatnya cahaya terang yang cuma sekejap. Saat bersamaan terdengar suara deruan keras. Lalu satu gelombang dahsyat melanggar dari puncak batu di mana Malaikat Penggali Kubur berada.

Ternyata Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya' yang dulu pernah menjadi pukulan andalannya sebelum mendapatkan Kitab Hitam. Karena terus dilatih apalagi dengan Kitab Hitam di balik pakaiannya, maka pukulan 'Telaga Surya' yang kali ini dilepas Malaikat Penggali Kubur tiga kali lebih dahsyat daripada beberapa waktu yang lalu.

Di bawah sana, Dewi Siluman tampak terkesiap. Dia tidak menduga sama sekali kalau Malaikat Penggali Kubur akan kirimkan pukulan. Apalagi dia sedang dilanda penasaran dengan Putri Sableng. Hingga meski Dewi Siluman sempat membuat gerakan angkat kedua tangannya untuk memangkas pukulan 'Telaga Surya', namun dia tidak punya kesempatan lagi untuk sentakkan kedua tangannya. Dewi Siluman rasakan nyawanya terbang. Kedua tangannya di atas kepala namun tak lagi membuat gerakan apa-apa. Perempuan ini hanya bisa perdengarkan seruan pelan dengan lutut goyah!

"Setan! Mengapa kau diam saja?!" bentak Putri Sableng. Gadis berjubah merah ini dorong tangan kanannya ke arah Dewi Siluman. Lalu melompat mundur.

Dewi Siluman terpekik. Sosoknya mencelat mental sampai beberapa tombak lalu terkapar di atas hamparan pasir. Namun hal ini menyelamatkan nyawanya dari pukulan Malaikat Penggali Kubur. Karena bersamaan dengan mencelatnya tubuh, tempat di mana tadi dia berada terbuncah ledakan dahsyat!

Terhuyung-huyung Dewi Siluman bergerak bangkit. Memandang sejenak pada Putri Sableng yang sama-sama terlihat karena udara masih ditaburi muncratan pasir. Entah apa yang terpikir dalam benak perempuan bercadar hitam ini, yang jelas dia segera kerahkan tenaga dalam, lalu berkelebat ke arah murid Pendeta Sinting yang masih tegak di seberang sana.

Sementara itu, tidak jauh dari tempat tegaknya Pendekar 131, si nenek Ni Luh Padmi cepat tarik kedua kakinya yang terpacak di dalam pasir. Walau si nenek tahu kalau tulang kakinya patah, namun sekuat tenaga dia coba bangkit. Sosok Ni Luh Padmi sejenak tampak terhuyung-huyung lalu limbung dan jatuh kembali ke hamparan pasir!

"Keparat!" Si nenek memaki-maki sendiri karena kedua kakinya yang patah tidak kuasa lagi menopang tubuhnya. Tapi si nenek rupanya tidak mau begitu saja menyerah. Dengan duduk diatas hamparan pasir, dia cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu diangkat dan disentakkan ke arah murid Pendeta Sinting yang tegak hanya sejarak sembilan langkah dari tempatnya berada. Namun Ni Luh Padmi mendadak urungkan niat. Kepala si nenek berpaling. Memandang ke depan, matanya mendelik merah. Rahangnya terangkat. Mulutnya membentak.

"Jangan kau campur tangan urusan ini!"

Dewi Siluman yang ternyata sudah tegak di situ perdengarkan dengusan marah. Tapi perempuan berjubah dan bercadar hitam ini tidak arahkan pandangannya pada si nenek, melainkan ke arah murid Pendeta Sinting yang kini juga tengah memandangnya.

"Tua bangka! Aku tidak campur tangan urusanmu! Aku punya urusan yang belum selesai dengan keparat itu!" kata Dewi Siluman.

"Ah... Kurasa di antara kita sudah tidak ada urusan lagi!" ujar Joko seraya sunggingkan senyum.

Dewi Siluman untuk beberapa saat pandangi murid Pendeta Sinting. Perempuan ini rasakan debaran dadanya agak keras. Dia tak tahu perasaan apa yang kini menjalari dadanya. Namun Dewi Siluman cepat tepiskan perasaan. Lalu alihkan pandangan sambil berkata.

"Kau boleh anggap urusan selesai. Tapi aku tidak! Dan aku akan anggap urusan kita selesai kalau kau serahkan apa yang kuminta tempo hari sekarang juga!" Dewi Siluman ulurkan tangan kanannya ke depan.

Ni Luh Padmi pandangi murid Pendeta Sinting dan Dewi Siluman silih berganti. Nenek ini sebenarnya hendak buka mulut, namun Dewi Siluman sudah membentak.

"Nek! Kau saat ini sudah tak berdaya! Jadi jangan berani buka suara sebelum aku selesaikan urusanku!"

Ni Luh Padmi untuk kesekian kalinya menyumpah habis-habisan. Dia menyesal mengetahui keadaannya saat ini. Kedua tangannya memang masih mampu lepaskan pukulan. Namun tanpa tusuk konde hitamnya serta ditambah kedua kakinya yang tidak mampu lagi menopang tubuh, bagaimanapun juga membuat si nenek akan kesulitan untuk bergerak selamatkan diri kalau diserang lawan. 

Tapi si nenek rupanya sudah bulatkan tekad. Bahkan dia sudah memutuskan, tidak dapat membunuh gurunya, muridnya pun tidak jadi apa! Hingga begitu mendengar ucapan Dewi Siluman, Ni Luh Padmi segera angkat bicara.

"Aku memang sudah tak berdaya! Tapi bukan berarti aku tidak sanggup untuk membunuh! Menyingkirlah dahulu!"

Dewi Siluman tertawa pendek bernada mengejek. "Jangankan kau, perintah junjunganmu Malaikat Penggali Kubur pun tidak ada apa-apanya bagiku!" Dewi Siluman kembali gerak-gerakkan tangan kanannya yang masih menjulur membuat gerakan meminta.

"Kau masih punya kesempatan! Serahkan!" bentak Dewi Siluman pada Joko.

Belum sampai Joko buka mulut, kedua tangan Ni Luh Padmi sudah bergerak lepaskan pukulan pada Dewi Siluman.

"Bangsat! Tua bangka tak tahu diuntung!" maki Dewi Siluman. Tangan kanannya cepat ditarik pulang dan serta-merta didorong ke depan menyongsong pukulan si nenek. Karena ingin cepat selesaikan urusan, tak tanggung-tanggung, Dewi Siluman langsung songsong pukulan Ni Luh Padmi dengan lepas pukulan 'Kabut Neraka'!

Meski pukulan Ni Luh Padmi mampu membendung pukulan 'Kabut Neraka', namun bagaimanapun juga si nenek tak akan dapat hindarkan diri dari bias bentroknya pukulan. Hingga hal itu pasti akan membuat si nenek cedera berat. Berpikir sampai ke sana, dan ingat akan pesan eyang gurunya, sebelum pukulan Kabut Neraka' sempat bertemu dengan pukulan Ni Luh Padmi, murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan. Tangan kanannya segera menyambar bahu si nenek yang baru saja lepaskan pukulan dengan duduk di atas hamparan pasir.

Mungkin menduga kalau murid Pendeta Sinting hendak menghantamnya, si nenek keluarkan seruan karena dia sudah terlambat sekali untuk membuat gerakan jika murid Pendeta Sinting benar-benar hendak menghantamnya. Ni Luh Padmi rasakan tubuhnya terseret di atas pasir sampai beberapa tombak. Bersamaan dengan itu Kedung Ombo diguncang ledakan. Hamparan berpasir untuk kesekian kalinya pula bertaburan keudara. Ni Luh Padmi buka kelopak matanya saat tubuhnya merasakan ditaburi pasir. Belum sampai dia dapat jelas memandang, satu suara dekat sekali dengan dirinya terdengar.

"Nek...! Percuma kau berada di sini! Orang yang kau cari tidak ada! Kau hanya akan sia-siakan nyawa kalau terus bersikap keras kepala! Cepat tinggalkan tempat ini!"

"Jahanam! Suara Anak Sinting itu!" desis Ni Luh Padmi tanpa perlu melihat lagi siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan suara. Dengan kemarahan makin menggelegak, Ni Luh Padmi berteriak.

"Orang yang kucari memang tidak ada! Tapi dengan kematianmu, rasanya hatiku bisa sedikit lega!"

Tanpa peduli kalau dirinya baru saja diselamatkan orang, si nenek putar tangannya lalu serta-merta dihantamkan ke arah mana dia yakin murid Pendeta Sinting berada karena saat itu pemandangan masih tertutup hamburan pasir.

Tapi si nenek tiba-tiba menjerit. Kedua tangannya yang hendak menghantam belum bergerak, Joko berkelebat dari arah samping kanan. Ni Luh Padmi putar kedua tangannya hendak menghantam ke samping kanan. Namun terlambat. Dua totokan dahsyat sudah bersarang di pangkal kedua tangannya. Hingga bukan saja tubuhnya langsung kaku namun kedua tangannya tetap terapung di atas udara dengan tegang!

Belum habis rasa kaget si nenek, dia merasakan tubuhnya bergerak di hamparan pasir. Gerakan tubuhnya baru terhenti saat dia merasa di belakangnya ada sesuatu yang menghadang. Dan tak jauh dari tempatnya terdengar suara dengusan napas orang. Ni Luh Padmi segera lirikkan matanya, karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Si nenek tersentak. Dia saat itu ternyata duduk bersandar pada batu dan hanya sejarak tiga langkah dari Iblis Rangkap Jiwa!

***

EMPAT

SEMENTARA itu, begitu terdengar ledakan, Dewi Siluman cepat jatuhkan diri bergulingan di atas pasir. Sambil bergulingan sepasang matanya memandang liar. Hingga begitu hamburan pasir lenyap, perempuan ini cepat bangkit dan serta merta sentakkan kedua tangannya ke arah murid Pendeta Sinting yang ternyata tegak tidak jauh dari tempat Ni Luh Padmi yang bersandar duduk pada lamping batu cadas putih yang terpenggal.

Kabut hitam melintas di atas hamparan pasir dengan suara menggemuruh. Hamburan pasir yang baru saja sirap terlihat bertaburan lagi terkena sambaran gelombang yang menyertai hamparan kabut hitam pukulan 'Kabut Neraka' Dewi Siluman.

Mendapati Dewi Siluman sudah lepas pukulan ke arahnya, kejengkelan murid Pendeta Sinting naik ke ubun-ubun. Sambil membentak garang, Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Kini di atas hamparan pasir yang membentang membelah kawasan berbatu tampak dihiasi kabut hitam dan semburatan warna kuning. Suara gemuruh makin memekak. Lalu Kedung Ombo berguncang dahsyat tatkala kabut hitam bentrok dengan sinar kuning.

Sosok Dewi Siluman terseret beberapa langkah ke belakang dengan dada bergetar keras naik turun. Meski wajah perempuan ini tertutup cadar, tapi jelas kalau perempuan ini berubah paras. Sementara di seberang depan sana, murid Pendeta Sinting cepat hentikan gerakan kakinya yang mundur. Bentroknya pukulan mau tak mau masih membuat perubahan pada wajah Joko yang getaran dadanya tidak sekeras yang terlihat pada Dewi Siluman.

Dewi Siluman segera lirikkan mata meneliti. Sadar kalau tidak mengalami cedera yang parah, perempuan ini cepat melompat ke depan. Dari jarak tujuh langkah, sepasang kakinya bergerak menghentak pasir. Dari sepasang mata di wajah bercadar hitam milik Dewi Siluman melesat dua sinar hitam menggidikkan. Bersamaan itu hamparan pasir di bawah sinar hitam yang melesat terlihat membelah rengkah membentuk jalur lurus ke arah Pendekar 131!

"Sinar Setan!" terdengar seruan dari puncak batu cadas putih yang terpenggal mengenali dua sinar hitam yang melesat dari sepasang mata Dewi Siluman.

Joko tak mau bertindak ayal. Dia telah tahu bagaimana ganasnya 'Sinar Setan' milik Dewi Siluman jika benar-benar menghantam. Maka serta- merta dikerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya.

Wuuttt!

Tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak memukul ke depan. Tampak serat-serat biru laksana benang terang melesat ke depan menyongsong dua sinar hitam. Serat-serat biru cepat membungkus dua sinar hitam. Kejap lain serat-serat biru ambyar dan sinar hitam bertabur ke udara. Pada saat yang sama terdengar dentuman keras.

Tubuh Pendekar 131 terpental satu tombak. Untung di belakangnya menghadang batu cadas putih, hingga sosoknya tertahan. Paras mukanya kali ini pucat pasi. Mulutnya terbuka megap-megap atur napasnya yang seolah tersumbat. Sekujur tubuhnya laksana dipanggang, hingga pakaiannya tampak basah kuyup. Sosoknya bergetar keras.

Jauh di depan sana, sosok Dewi Siluman tampak terduduk hanya empat langkah dari bibir kedung. Dari bagian bawah cadar hitamnya tampak menetes cairan merah. Jelas menunjukkan kalau Dewi Siluman telah terluka dalam cukup parah.

***

Di lain tempat, tepatnya di kawasan berbatu sebelah kanan kedung di mana tegak Ratu Pemikat dan Dewa Orok, tiba-tiba terjadi kegegeran. Begitu terjadi bentrok pukulan antara Dewi Siluman dan murid Pendeta Sinting, Ratu Pemikat yang sedari tadi tegak mematung melihat apa yang terjadi di depan sana, mendadak membuat gerakan memutar tubuh menghadang Dewa Orok.

"Iblis Rangkap Jiwa tak bisa selesaikan tugasnya menyelesaikan pemuda buntung ini. Pasti Malaikat Penggali Kubur akan membebankan tugas padaku! Mumpung di sana masih terjadi bentrok, lebih baik kuselesaikan pemuda ini dahulu!" membatin Ratu Pemikat.

Sedari tadi Ratu Pemikat memang menunggu waktu yang tepat. Menurut keterangan yang sempat didengar dari Iblis Rangkap Jiwa, dia dapat menduga kalau Pendekar 131 tidak akan tinggal diam kalau Dewa Orok diserang lawan, karena Iblis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau dirinya sempat dikeroyok murid Pendeta Sinting bersama Dewa Orok. Melihat gerakan Ratu Pemikat, Dewa Orok tampak terkejut meski dia sendiri sejak tadi sudah waspada. Namun Dewa Orok cepat tutupi perasaan kaget dengan buka mulut.

"Kurasa tak ada gunanya kita berada di sini! Aku ngeri melihat orang berkelahi! Bagaimana kalau kita pergi sama-sama?! Kau tak merasa malu bukan jalan bersama pemuda sepertiku?!"

Ratu Pemikat tampaknya sudah dapat membaca jalan pikiran Dewa Orok. Namun sejauh ini dia masih bimbang. "Parasnya jelas kalau dia merasa ketakutan! Tapi apa sebenarnya yang membuat dia takut?! Dari pertemuannya denganku beberapa waktu yang lalu, jelas kalau dia membekal ilmu tidak rendah! Atau jangan-jangan ini hanya muslihatnya saja..."

Ratu Pemikat tidak tahu kalau tanpa bundaran karet yang diambilnya dan diserahkan pada Malaikat Penggali Kubur, Dewa Orok tidak akan mampu berbuat banyak. Dia hanya dapat kerahkan ilmu peringan tubuh tanpa dapat kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan pukulan.

"Hem... Apakah aku harus bebaskan Iblis Rangkap Jiwa dahulu?! Tapi... itu akan membuat suasana makin tidak karuan! Lagi pula manusia iblis itu pasti punya rencana kotor di balik pekerjaannya ini!" Ratu Pemikat masih menimbang-nimbang hingga untuk beberapa saat dia tidak sambuti ucapan Dewa Orok, membuat pemuda bertangan buntung ini tidak enak. Dia segera buka mulut lagi.

"Kau tak usah khawatir. Aku telah melupakan urusan dulu itu!"

"Apa yang membuat pemuda ini berkata begitu?! Padahal siapa pun adanya orang yang diperlakukan seperti dia waktu itu, pasti akan memendam dendam! Hem... Ada yang tak beres dengan pemuda ini!" Ratu Pemikat diam-diam mencium gelagat kalau Dewa Orok sembunyikan sesuatu.

Dengan sunggingkan senyum, Ratu Pemikat melompat dan tegak hanya tiga langkah dari hadapan Dewa Orok. Dewa Orok sendiri tampak lirikkan mata ke samping kanan kiri. Dia coba menindih rasa kaget dan rasa gelisah.

"Kau hendak mengajakku pergi ke mana?!" tanya Ratu Pemikat. Suara tawanya terdengar perlahan.

"Ke mana kau suka aku akan turuti! Asalkan kau tidak merasa malu!" kata Dewa Orok dengan suara sedikit bergetar.

"Aku mau saja dan tak merasa malu! Hanya aku masih merasa sangsi!"

Ketegangan Dewa Orok sedikit mereda. "Apa yang kau sangsikan?!"

Ratu Pemikat pandangi sekujur tubuh pemuda bertangan buntung di hadapannya dengan tertawa pelan. "Apa nanti yang dapat kau berikan padaku?!" tanya Ratu Pemikat.

"Apa yang kau minta aku berusaha mendapatkannya!" jawab Dewa Orok meski belum tahu benar arah ucapan Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat dongakkan kepala. "Seorang perempuan membutuhkan belaian. Apa kau sanggup lakukan belaian-belaian mesra?!"

Dewa Orok kancingkan mulut. Ratu Pemikat luruskan kepalanya. "Kalau kau merasa sanggup lakukan belaian, aku akan pergi saat ini juga bersamamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan bisa mengajakku pergi, namun nyawamu harus tertinggal disini!"

"Aduh... Mengapa pembicaraan ini kau kait- kaitkan dengan nyawa?!"

"Biarlah itu menjadi pertanyaan yang harus kau cari sendiri jawabannya!" Ratu Pemikat tertawa panjang.

Tapi tiba-tiba sosoknya melompat kedepan. Kedua tangannya lakukan hantaman dengan tenaga dalam. Karena sejak tadi sudah waspada, begitu sosok Ratu Pemikat melompat, Dewa Orok segera berkelebat selamatkan diri. Namun entah karena tak mau orang mengetahui apa yang kini menimpa dirinya, sambil berkelebat sepasang kakinya bergerak seolah hendak lepaskan pukulan!

Ratu Pemikat rupanya tak mau beri kesempatan. Begitu sergapannya lolos, perempuan bertubuh bahenol ini segera mengejar. Tapi lagi-lagi Dewa Orok sudah berkelebat selamatkan diri. Jengkel sergapannya gagal lagi, Ratu Pemikat lepaskan pukulan jarak jauh dengan sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu juga tampak satu hembusan angin keras menghampar ke arah Dewa Orok.

Karena saat itu Dewa Orok tegak di atas batu, dan berpikir Ratu Pemikat pasti akan mengejar kalau dia berkelebat lagi, maka tanpa pikir panjang lagi, Dewa Orok melompat turun dari batu dan meringkuk dibaliknya!

Hembusan angin yang keluar dari kedua tangan Ratu Pemikat lewat di atas kepala Dewa Orok dan menyapu pasir jauh ke depan sana. Namun tak urung membuat kepala Dewa Orok tersentak, karena dia hanya bertahan dengan tenaga luar, sementara hembusan angin itu melesat dengan pengerahan tenaga dalam.

Begitu hembusan angin lewat, Dewa Orok cepat bangkit hendak berkelebat. Namun satu sapuan telah melanggar dari atas batu di mana Dewa Orok meringkuk selamatkan diri, membuat pemuda bertangan buntung ini bukan saja urungkan niat berkelebat melainkan harus cepat rebahkan kepala hingga mengantuk pasir yang ada disela-sela batu.

Ratu Pemikat yang ternyata baru saja sapukan kaki kanannya dari atas batu lebih bernafsu menghabisi Dewa Orok apalagi melihat si pemuda tidak lakukan pukulan balik yang membuat Ratu Pemikat seakan dipermainkan! Begitu sapuan kaki kanannya masih mampu dihindari Dewa Orok, Ratu Pemikat melompat turun. Kaki kirinya kini membuat gerakan menendang. Karena tidak ada ruang untuk menghindar, sementara sapuan kaki kiri telah bergerak, mau tak mau membuat Dewa Orok harus angkat kakinya untuk lindungi kepalanya.

Bukkk!
Kaki kanan Dewa Orok yang menangkis tendangan kaki Ratu Pemikat tampak mencelat dan menghantam batu di belakangnya. Hal ini membuat tubuh bagian atasnya berputar. Karena tegaknya Ratu Pemikat tidak jauh dari tempat Dewa Orok, kepala Dewa Orok yang berputar menghantam kaki kanan Ratu Pemikat yang dibuat tumpuan tubuh saat lakukan tendangan.

Dessss!

Ratu Pemikat berseru tertahan. Sosoknya terhuyung hampir roboh kalau saja kaki kiri Ratu Pemikat tidak segera menjejak pasir. Meski Dewa Orok tidak dapat kerahkan tenaga dalam, namun karena tendangan kaki Ratu Pemikat bertenaga dalam, maka tak urung akibat yang dihasilkan juga masih mengandung tenaga dalam. Hingga benturan kepala Dewa Orok mampu membuat sosok Ratu Pemikat terhuyung.

Di lain pihak, karena tak bisa kerahkan tenaga dalam dan harus menangkis tendangan bertenaga dalam, maka Dewa Orok rasakan kakinya mau tanggal dan kepalanya yang baru saja membentur kaki kanan Ratu Pemikat seakan pecah! Namun sejauh ini Dewa Orok coba tahan agar suara keluhannya tidak terdengar. Malah pemuda bertangan buntung ini coba tersenyum meski dengan sekujur tubuh sakit bukan alang kepalang!

Ratu Pemikat tegak dengan dahi berkerut. Bukan perhatikan Dewa Orok yang kini tersenyum setengah meringis, melainkan merasa heran. Dari bertemunya kaki tadi, perempuan ini merasa maklum kalau tangkisan kaki orang tidak dialiri tenaga dalam.

"Hem... Mungkin dia memandangku remeh! Hingga tak perlu kerahkan tenaga dalam! Keparat betul!" gumam Ratu Pemikat dalam hati.

Lalu perempuan ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Saat lain sosok Ratu Pemikat tampak bergetar, membuat Dewa Orok merasa kecut. Karena getaran tubuh si perempuan jelas menandakan kalau sang Ratu tengah kerahkan segenap tenaga dalamnya!

Sadar akan gelagat yang mengancam nyawanya, Dewa Orok berpikir cepat. Dengan andalkan tenaga luar, kedua kakinya digerakkan bersamaan menendang ke pinggul sang Ratu. Tahu gerakan orang, Ratu Pemikat tak mau bertindak lengah. Dengan cepat dia putar diri setengah lingkaran. Seraya melompat setengah tombak, kedua kakinya disentakkan ke arah kedua kaki Dewa Orok.

Sepasang kaki Dewa Orok mental balik dan untuk kedua kalinya menghantam batu di belakangnya! Bukan hanya sampai di situ, karena tendangan kaki Ratu Pemikat dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, maka begitu kakinya mental, kepala Dewa Orok berputar cepat pulang balik ke depan ke belakang karena kakinya kembali mental setelah menghantam batu di belakangnya.

Mungkin karena begitu kerasnya tendangan dan benturan dengan batu, maka meski Dewa Orok coba menahan suara, akhirnya terdengar juga seruan dari mulutnya. Malah kedua kakinya yang baru saja menangkis kaki Ratu Pemikat tampak mengembung besar! Dewa Orok kerjapkan matanya. Namun secepat kilat pemuda bertangan buntung ini katupkan kembali sepasang matanya karena kaki kanan Ratu Pemikat telah berada di atas kepalanya!

"Celaka! Mati aku..." gumam Dewa Orok dengan tengkuk dingin. Dia sudah menduga kalau kaki kanan sang Ratu akan menyapu kepalanya.

Namun dugaan Dewa Orok meleset. Karena ditunggu sampai agak lama, tidak ada kaki yang menyapu kepalanya! Bahkan tidak terdengar suara berkelebatnya angin! Perlahan-lahan Dewa Orok buka kelopak matanya. Saat itulah tiba-tiba satu telapak kaki sudah menempel dikeningnya!

"Kau berlaku bodoh jika coba-coba menghadapiku tanpa tenaga dalam! Aku pun juga ingin tahu apakah kau mampu selamatkan nyawamu saat ini!" ujar Ratu Pemikat lalu tekankan kaki kanannya yang menginjak kening Dewa Orok.

Dewa Orok meringis kesakitan namun anehnya sepasang matanya bukannya menyipit, melainkan terpentang besar, karena dengan satu telapak kaki di atas kening Dewa Orok sementara satunya lagi menginjak pasir, membuat Dewa Orok dengan jelas melihat bagian dalam anggota tubuh sang Ratu mulai dari kaki sampai pangkal paha! Tapi pandangan Dewa Orok tidak dapat berlanjut karena saat itu juga Ratu Pemikat makin tekankan kakinya hingga kepala Dewa Orok melesak masuk ke dalam pasir!

"Ratu... Apa sebenarnya yang membuatmu inginkan nyawaku...?" tanya Dewa Orok dengan suara tersendat.

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Aku akan jawab pertanyaanmu, karena inilah jawaban terakhir yang kau dengar!" Ratu Pemikat memandang tajam pada pemuda di bawahnya. "Kau masih ingat saat menipuku tentang keberadaan Pendekar 131 beberapa waktu yang lalu?!"

"Ah... Jadi itu masalahnya. Padahal sungguh, aku telah mengatakan yang sebenarnya! Apa kau tidak ke tempat yang kukatakan?!" Dewa Orok balik bertanya.

Ratu Pemikat jawab pertanyaan Dewa Orok dengan tersenyum dingin. Lalu buka mulut lagi. "Dengar! Aku mungkin masih memperpanjang nyawamu, tapi katakan dahulu siapa yang menyelamatkanmu!"

"Aku berusaha sendiri..."

Ratu Pemikat makin keraskan pijakannya pada kening Dewa Orok hingga kepala pemuda bertangan buntung ini hampir seluruhnya terbenam masuk ke dalam pasir. Kini wajah Dewa Orok tampak sudah sejajar dengan hamparan pasir!

"Baik. Akan kukatakan siapa yang menolongku! Tapi angkat dahulu kakimu!" ujar Dewa Orok sambil meringis, tapi tak urung sepasang matanya masih melirik pada pangkal paha Ratu Pemikat yang tepat di atas kepalanya.

"Kau hanya buang-buang waktu!" sentak Ratu Pemikat. Tangan kanan perempuan cantik ini telah terangkat. Lalu serta-merta dihantamkan sambil bungkukkan tubuh.

Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, akhirnya Dewa Orok hanya bisa memandang hantaman tangan sang Ratu yang pasti sekali hantam akan membuat nyawanya melayang. Sejengkal lagi tangan kanan Ratu Pemikat men- jebol dada Dewa Orok, satu bayangan berkelebat lalu lenyap di balik salah satu batu tidak jauh dari tempat Ratu Pemikat. Pada saat yang sama, dua benda hitam melesat lurus. Satu mengarah pada paha kanan Ratu Pemikat satunya lagi ke arah tangan kanannya yang sedang menghantam.

Ratu Pemikat tersentak. Tangan dan kakinya laksana dihantam kekuatan dahsyat. Hingga tangan kanannya mental ke belakang, sementara kaki kanannya tersapu deras ke belakang. Sosoknya terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke belakang. Anehnya, dua benda hitam yang baru saja membuatnya tersentak mundur dan ternyata dua buah batu hitam sebesar ibu jari, mental balik dengan cepat sebelum akhirnya lenyap di balik batu.

"Jahanam! Siapa berbuat bodoh ikut campur urusan ini, hah?!" bentak Ratu Pemikat.

Sepasang matanya memandang ke hamparan pasir yang membentang di depan sana. Lalu terus lurus ke seberang. Terakhir kali ke arah puncak batu cadas putih. "Hem... Berarti ada orang lain yang muncul di tempat ini!" kata Ratu Pemikat dalam hati setelah memperhatikan sekeliling. "Apa bangsat ini yang menolong pemuda buntung ini beberapa waktu yang lalu?!"

Ratu Pemikat arahkan pandangan pada batu di mana tadi dia masih bisa menangkap lenyapnya satu bayangan serta lenyapnya dua batu hitam yang mampu membuat sosoknya mundur. Mungkin karena geram, Ratu Pemikat lupakan urusannya dengan Dewa Orok. Dia cepat berkelebat ke arah batu di mana tadi bayangan lenyap. Tapi Ratu Pemikat jadi terkesiap sendiri. Karena tanpa diduga sama sekali satu bayangan telah muncul berkelebat dari balik batu dan langsung menyongsong sosok Ratu Pemikat!

Ratu Pemikat berseru kaget. Kedua tangannya cepat bergerak lakukan hantaman ke arah sosok yang menyongsongnya. Namun belum sampai tan- gannya menghantam, sosok orang yang berkelebat dari balik batu telah menubruk tubuhnya! Hingga kedua orang ini melayang deras lalu sama terkapar di atas sela pasir di antara batu. Tubuh orang yang menubruk tampak berada di atas tubuh Ratu Pemikat!

Ratu Pemikat memaki habis-habisan. Dia geliatkan tubuh lalu kakinya diangkat dengan lutut menyodok. Tapi Ratu Pemikat terkejut. Bukan saja dia tidak mampu gerakkan kaki, dia juga tidak bisa geliatkan tubuh! 

"Bangsat!" teriak Ratu Pemikat. Tangan kanan kirinya bergerak menghantam ke arah sosok yang masih meringkuk telungkup di atas tubuhnya.

Orang yang berada di atas tubuh Ratu Pemikat gerakkan kepalanya pada dada Ratu Pemikat. Saat itu juga sosoknya melesat memberosot ke bawah. Ratu Pemikat teruskan hantaman tangannya. Namun perempuan bertubuh sintal ini terperangah. Kedua kakinya terasa dipegang tangan orang. Belum habis rasa kaget dan juga belum tahu apa yang akan diperbuat orang, Ratu Pemikat rasakan kedua kakinya diangkat orang hingga mau tak mau hantaman kedua tangannya tak bisa diteruskan.

"Kurang ajar!" hardik Ratu Pemikat. Dia cepat sentakkan kedua kakinya yang masih terasa dipegang tangan orang.

Bukkk! Bukkk!

Kedua kaki Ratu Pemikat menghantam deras. Bukan pada sosok orang melainkan ke atas pasir. Karena begitu kedua kaki sang Ratu menyentak, orang di bawahnya serta-merta lepaskan pegangannya. Ratu Pemikat cepat bergerak bangkit. Memandang ke depan, dia melihat seorang laki-laki berambut panjang hitam lebat di kelabang dua. Wajahnya bundar dengan hidung agak besar. Orang ini duduk bersandar pada batu. Melihat sekilas tubuhnya, Ratu Pemikat cepat bisa menebak kalau orang di depannya bertubuh pendek!

"Cebol kurang ajar! Siapa kau?!" bentak Ratu Pemikat.

Orang yang dibentak sekilas memandang pada Ratu Pemikat. Tanpa buka mulut dia perlahan-lahan bangkit. Ternyata tubuh orang ini memangpendek. Laki-laki ini tidak lain adalah Cucu Dewa.

"Aku mencari seseorang. Harap kau tidak bertanya dahulu siapa aku!" kata Cucu Dewa lalu melangkah ke arah tempatnya Dewa Orok.

Ratu Pemikat naik pitam. Tanpa buka mulut lagi, kedua tangannya lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah Cucu Dewa. Cucu Dewa arahkan wajahnya menghadap Ratu Pemikat. Mulutnya dibuka menganga. Sekali hembuskan napas, dari mulutnya melesat dua batu hitam sebesar ibu jari.

Desss! Desss!

Kedua tangan Ratu Pemikat laksana disapu gelombang besar. Hingga meski dari kedua tangannya melesat dua gelombang angin deras, namun arahnya sudah jauh melenceng. Cucu Dewa menyedot. Dua buah batu hitam mental dari kedua tangan Ratu Pemikat lalu lurus masuk kembali ke mulut Cucu Dewa. Lalu orang bertubuh pendek ini teruskan langkah. Melihat bagaimana dengan mudahnya orang dapat lencengkan pukulannya, Ratu Pemikat menggembor marah. Kedua tangannya cepat disentakkan.

Wuutt! Wuuttt!

Tampak dua sinar biru terang melesat lalu menyungkup tempat ini. Saat bersamaan gelombang angin deras berkiblat! Inilah tanda kalau Ratu Pemikat telah lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'.

***
LIMA
BERSAMAAN dengan menyungkupnya sinar biru terang pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang dilepas Ratu Pemikat, dari arah seberang sana, tampak cahaya terang berkiblat dari puncak batu bergubuk hitam. Cahaya terang itu cuma sekejap lalu lenyap. Namun bersamaan lenyapnya cahaya terang, satu suara menggemuruh terdengar. Kejap lain gelombang dahsyat menggebrak ke bawah di mana saat itu Putri Sableng tegak.

Gadis berjubah merah cepat dongakkan kepala. Lalu serta-merta kedua tangannya didorong ke atas dengan tekuk lututnya. Gelombang yang menggebrak ke bawah yang baru saja dilancarkan Malaikat Penggali Kubur tertahan sejenak di atas udara. Lalu begitu tangan Putri Sableng menyentak untuk kedua kalinya, gelombang dahsyat tadi membalik ke atas! Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Pemuda ini tidak gerakkan kaki untuk menghindar. Dia hanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.

Wuusss!

Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas, gubuk.

Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!

Terdengar suara benda pecah empat kali berturut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain robek. Gubuk hitam beratap dan berdinding kain hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa dengan kain kepulkan asap! Ketika tiang gubuk dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!

Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sunggingkan senyumaneh. Dari puncak batu terdengar suara menderu sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang atau sapuan angin yang melesat. Namun hamparan pasir di sana sudah terlihat bertaburan.

Putri Sableng yang sudah mencium gelagat bahaya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disentakkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu cadas putih tampak empat gelombang angin menghampar melintasi hamparan pasir dan mengarah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri Sableng menyentak.

Satu dentuman laksana hendak membongkar Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan gelombang tidak terlihat yang keluar dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Batu membukit di mana Malaikat Penggali Kubur berada laksana diguncang gempa. Lalu terdengar suara berkeretekan. Kejap lain batu membentuk bukit itu merengkah! Malaikat Penggali Kubur tersurut satu tindak. Sepasang matanya liar memandang ke arah batu cadas putih. Lalu kedua kakinya dihentakkan kepuncak batu.

Byaarr!

Puncak batu yang sudah rengkah dan masih berguncang akibat bentroknya pukulan, langsung pecah berkeping-keping dan longsor hampir setengahnya! Malaikat Penggali Kubur sudah berkelebat melayang turun sebelum batu pijakannya ambyar.

Sementara begitu terdengar dentuman, sosok Putri Sableng tampak mencelat sampai satu tombak dan jatuh terduduk dengan paras pucat pasi. Kedua tangannya terasa tegang dan aliran darahnya tersumbat. Namun gadis ini tak bisa berlama-lama duduk, karena puncak batu di mana tadi Malaikat Penggali Kubur berada telah longsor. Putri Sableng cepat berkelebat lalu mencari tempat agak aman dari hamburan pasir dan batu.

Sementara itu, bersamaan terdengarnya suara dentuman, dari puncak batu cadas putih terdengar suara orang bergumam. Kejap lain terlihat dua sosok tubuh terpelanting dari puncak batu cadas putih. Lalu semua orang yang ada di depan kedung melihat dua orang berwajah hitam melangkah tertatih-tatih dari arah samping batu cadas putih ke hamparan pasir di depan kedung.

Kedua orang berwajah hitam sejenak arahkan pandangan pada Dewi Siluman yang terduduk tidak jauh dari batu membukit yang sudah longsor. Yang sebelah kanan yang bertelanjang dada dan bukan lain adalah Raden Mas Antar Bumi geleng-gelengkan kepala. Orang ini sejenak rapikan baju yang kini dipakai untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Raden Mas Antar Langit. Tahu begini yang terjadi di sini, seharusnya kita ikuti saran iblis Rangkapan itu..." ujar Raden Mas Antar Bumi sambil arahkan pandangan pada iblis Rangkap Jiwa yang masih terpekur kerahkan tenaga dalam untuk bebaskan diri dari totokan Joko. Orang ini lantas berpaling pada Dewi Siluman.

"Gara-gara kau penasaran dengan si Jubah Hitam yang tak mengenakan apa-apa lagi, kepergian kita tertunda! Kalau sudah begini, apa artinya gadis cantik meski di balik jubahnya tidak mengenakan apa-apa lagi?! Pada akhirnya kita bukannya menghilangkan kutuk, sebaliknya harus rela dibuat main-main orang berjubah putih itu!"

Terakhir kali Raden Mas Antar Bumi arahkan pandangan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun cuma sekejap, tanpa buka mulut lagi orang ini melangkah perlahan-lahan ke arah lamping batu cadas putih di mana Ni Luh Padmi duduk bersandar tidak jauh dari Iblis Rangkap Jiwa dengan tubuh masih kaku dan kedua tangan terangkat ke atas.

"Nek...!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kau tak keberatan bukan aku duduk disampingmu?!"

Tanpa menunggu sahutan dari Ni Luh Padmi, Raden Mas Antar Bumi duduk di samping si nenek lalu tertawa-tawa pada Raden Mas Antar Langit yang memperhatikan sikapnya.

"Dasar! Mau dekati nenek saja masih bicara yang bukan-bukan!" gumam Raden Mas Antar Langit. Dia edarkan pandangannya berkeliling. "Hem... Enaknya aku duduk di samping siapa?! Apa si Jubah Hitam mau duduk berdampingan denganku?!" ujar Raden Mas Antar Langit.

"Kau terlalu banyak pertimbangan! Coba saja langsung ke sana!" sahut Raden Mas Antar Bumi.

Raden Mas Antar Langit anggukkan kepalanya. Memandang sekilas pada murid Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan sikap waspada. Lalu mulai melangkah ke arah Dewi Siluman. Baru melangkah tiga tindak, dari seberang depan terdengar Dewi Siluman sudah membentak garang.

"Sekali lagi kau angkat kakimu, aku tak keberatan mencabut nyawamu!" Dewi Siluman bangkit. Meski masih tampak sedikit terhuyung namun perempuan ini cepat kuasai diri. Kedua tangannya siap lepaskan pukulan.

Raden Mas Antar Langit tutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Lalu berpaling pada Raden Mas Antar Bumi. "Tadi suaranya terdengar merdu mendayu. Kenapa sekarang begitu galak? Apa ini karena setelah melihat wajah kita yang terkena kutuk ini?"

"Ah... Kau selalu saja kurang percaya diri!" kata Raden Mas Antar Bumi.

"Hem... Bukan begitu! Terus terang saja aku ngeri! Kau lihat sendiri bagaimana si Jubah Hitam tadi bisa main-main dengan kabut hitam dan sinar hitam! Aku takut kalau wajah yang hitam ini nantinya semakin hitam saja. Lebih baik aku ikut duduk disampingmu saja..."

Raden Mas Antar Langit akhirnya melangkah perlahan darn duduk bersandar di samping Raden Mas Antar Bumi. Baru saja Raden Mas Antar langit duduk, tiba-tiba di depan sana Dewi Siluman sudah sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Begitu kabut hitam melesat, perempuan berjubah dan bercadar hitam ini hentakkan kaki. Saat itu juga dari sepasang matanya mencuat sinar hitam.

Joko tak mau tinggal diam. Karena jelas pukulan Dewi Siluman kali ini tidak bisa dipandang sembarangan. Perempuan itu telah lepaskan dua pukulan sakti saling berbarengan. Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan pukulan 'Lembur Kuning'. Kejap lain tangan kirinya mendorong lepas pukulan 'Serat Biru'.

Blammm!

Hamparan pasir di depan Kedung Ombo bergetar hebat tatkala pukulan 'Kabut Neraka' bertemu dengan pukulan 'Lembur Kuning'. Kabut hitam serta sinar bersemburatan warna kuning membubung ke udara pecah berantakan. Belum lenyap suara ledakan pertama, tiba-tiba dua sinar hitam yang mencuat dari sepasang mata Dewi Siluman tertahan di udara lalu terbungkus serat-serat biru terang yang keluar dari tangan kiri murid Pendeta Sinting. Saat lain sinar hitam yang terbungkus serat-serat biru muncrat ke udara keluarkan ledakan dahsyat!

Kedung Ombo laksana disapu gelombang gempa. Kedua orang berwajah hitam sama angkat tangan masing-masing di atas kepala untuk tutupi diri dari hamburan pasir. Sosok mereka berdua tidak bergeming sedikit pun! Sementara di samping kedua orang berwajah hitam ini, sosok Ni Luh Padmi tampak terhempas ke lamping batu cadas putih di belakangnya. Hingga si nenek perdengarkan makian.

Di samping si nenek, Iblis Rangkap Jiwa tampak rapatkan mata. Laki-laki ini coba menindih guncangan tubuhnya agar konsentrasinya tidak pecah. Hingga meski tubuhnya tampak pulang balik terhempas ke lamping batu di belakangnya, dia tak hendak buka kelopak matanya!

Sementara itu begitu ledakan kedua terdengar, sosok murid Pendeta Sinting terlempar beberapa langkah ke belakang. Terhuyung sejenak lalu tegak dengan sekujur tubuh bergetar keras. Wajahnya laksana tak berdarah. Mulutnya terbuka tanpa keluarkan suara.

Di seberang depan, sosok Dewi Siluman tersapu deras ke belakang. Perempuan ini perdengarkan seruan tertahan. Karena kedua kakinya sudah masuk di pinggir kedung. Dari cadar hitamnya makin banyak kucurkan darah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Dewi Siluman gapaikan kedua tangannya agar tubuhnya tidak terus merosot masuk ke dalam kedung.

Namun karena di hadapannya hanya ada hamparan pasir, akhirnya perempuan ini tekankan kedua tangannya ke bibir kedung. Bertumpu pada kedua tangannya yang masuk ke dalam pasir, perempuan ini pelan-pelan merangkak naik. Begitu kedua kakinya keluar dari bibir kedung, kepala Dewi Siluman tampak terkulai di atas pasir.

Raden Mas Antar Langit bergerak bangkit. Namun tangan kanan Raden Mas Antar Bumi menghadang di depan tubuhnya. "Jangan bertindak bodoh! Lihat ke samping!"

Raden Mas Antar Langit berpaling ke samping. Saat itu tampak sosok Malaikat Penggali Kubur sudah melesat. Dan tahu-tahu si pemuda murid Bayu Bajra ini telah tegak sepuluh langkah dihadapan Pendekar 131!

Malaikat Penggali Kubur sapukan pandangannya ke depan. Memandang sinis pada murid Pendeta Sinting, lalu pada Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi. Terus ke arah Ni Luh Padmi dan Iblis Rangkap Jiwa. Masih tanpa buka suara, Malaikat Penggali Kubur berpaling ke kawasan berbatu sebelah kanan kedung di mana tadi Ratu Pemikat dan Dewa Orok serta Cucu Dewa berada. Terakhir kali pemuda murid Bayu Bajra ini menoleh ke arah Dewi Siluman yang perlahan-lahan angkat tubuhnya berusaha bangkit duduk.

"Dengar!" Malaikat Penggali Kubur buka mulut dengan suara keras membahana. "Membunuh kalian semua tidak sulit bagiku! Tapi aku masih ampuni nyawa kalian masing-masing! Aku memberi kesempatan pada kalian semua untuk maju satu persatu berlutut di hadapanku!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arah Dewi Siluman yang telah bangkit duduk. Lalu putar tubuh tepat menghadap perempuan bercadar hitam dengan seringai dingin. Tangan kirinya terangkat menunjuk.

"Kau!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan kepala. "Merangkak kehadapanku dan berlutut!"

Dewi Siluman angkat kepalanya memandang marah pada Malaikat Penggali Kubur. Meski perempuan bercadar hitam anak Daeng Upas ini merasakan tengkuknya dingin namun dia belum juga turuti ucapan Malaikat Penggali Kubur. Malah sekuat tenaga diam-diam dia himpun sisa tenaga dalamnya dan disalurkan pada matanya.

"Malaikat Penggali Kubur hanya ucapkan perintah satu kali!" Tangan kiri Malaikat Penggali Kubur ditarik pulang ke belakang. Namun kejap lain justru kedua tangannya sudah bergerak memukul ke depan dengan telapak mengepal.

Wuutt! Wuutt!

Tampak dua cahaya mencuat sekejap lalu sirna. Saat yang sama satu gelombang dahsyat sudah melanda ke arah Dewi Siluman. Dewi Siluman cepat sentakkan bahunya ke bawah. Dari sepasang matanya melarik dua sinar hitam. Namun karena saat lepaskan pukulan 'Sinar Setan' tenaga dalamnya sudah jauh berkurang dan dalam keadaan terluka dalam, maka larikan sinar hitam itu langsung tersapu gelombang yang mencuat dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur.

Hingga yang melesat ke arah Dewi Siluman kali ini gelombang dari tangan Malaikat Penggali Kubur serta pukulan Dewi Siluman sendiri yang membalik. Dewi Siluman hanya sempat perdengarkan suara jeritan. Saat lain sosoknya mencelat ke belakang. Karena di belakangnya adalah kedung, untuk beberapa saat sosok Dewi Siluman tampak melayang di atas kedung dan tampak terbanting sebelum akhirnya meluncur ke bawah!

Byuuurrr!

Air kedung muncrat ke udara. Saat muncratan air luruh, tampak air kedung telah disemburati warna merah kehitam-hitaman. Sesaat kemudian, air kedung terlihat bergelombang, lalu muncullah sosok Dewi Siluman mengambang telungkup di atas permukaan air!

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi tampak saling pandang. Sebenarnya Raden Mas Antar Langit sudah hendak bergerak tatkala Malaikat Penggali Kubur lepaskan pukulan 'Telaga Surya'. Namun tangan kanan Raden Mas Antar Bumi kembali merentang di depannya, hingga gerakannya tertahan.

Di lain pihak, murid Pendeta Sinting tadi juga hendak bergerak, namun diurungkan karena posisi dirinya yang menghadap Dewi Siluman membuatnya sulit untuk membendung pukulan Malaikat Penggali Kubur, malah tak urung pukulannya nanti akan melabrak Dewi Siluman. Sesaat Kedung Ombo dicekam kesepian yang mengandung hawa kematian. Tapi tidak lama kemudian, kesepian telah dipecah dengan suara Malaikat Penggali Kubur.

"Itu adalah contoh! Dan kalian akan mengalami nasib yang sama jika tidak lakukan perintahku!"

Malaikat Penggali Kubur putar tubuhnya kembali menghadap Pendekar 131 dan beberapa orang yang duduk dilamping batu cadas putih. Malaikat Penggali Kubur memandang beringas pada murid Pendeta Sinting. Tangan kirinya terangkat. Bukan menunjuk pada Pendekar 131 melainkan pada Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi yang duduk bersandar berdampingan.

"Kau berdua!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan mata memandang ke arah Pendekar 131. "Merangkak dan berlutut di hadapanku!"

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi saling berpandangan. Sosok keduanya menggigil dengan mata saling mendelik.

"Bagaimana?!" gumam Raden Mas Antar Langit. "Aku tak mau mengalami nasib sama seperti si Jubah Hitam itu. Aku ingin hidup seribu tahun lagi meski harus tetap mengemban kutuk ini..."

Raden Mas Antar Bumi berpaling pada Ni Luh Padmi. "Menurutmu bagaimana, Nek...? Harus merangkak dan berlutut di depan orang gagah itu?!"

Ni Luh Padmi melirik dengan bola mata mendelik. "itu urusanmu!"

Mendapati jawaban si nenek, Raden Mas Antar Bumi memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Karena laki-laki berkepala gundul itu masih juga pejamkan matanya, tangan Raden Mas Antar Bumi menjulur melewati dada Ni Luh Padmi lalu menggoyang-goyangkan sosok Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai, Teman! Kalau menurutmu bagaimana?!"

Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Bahkan laki-laki ini tidak buka kelopak matanya. Hanya napasnya yang tampak makin menderu keras. Raden Mas Antar Bumi tarik pulang tangannya, lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan berkata.

"Hai, Teman Baru! Kau bisa memberi saran?!"

"Meski belum yakin benar, tapi rupanya mereka berdua tidak berada di pihak Malaikat Penggali Kubur! Hem..." Murid Pendeta Sinting membatin dalam hati. Lalu berkata.

"Kudengar di antara kalian tadi ingin hidup seribu tahun lagi! Jika begitu tidak ada salahnya kalian berdua turuti perintah orang itu!" sambil berkata sepasang mata Joko tampak berkedip beberapa kali. Dalam hati Joko membatin. "Mudah-mudahan mereka tahu isyaratku..."

Raden Mas Antar Bumi kembali arahkan pandangannya pada Raden Mas Antar Langit. "Kita turuti perintahnya. Tapi tanyakan dahulu apa imbalan yang kelak diberikan pada kita! Percuma kalau kita harus berlutut di kaki orang tanpa mendapat imbalan apa-apa..."

"Hem... Kalau nanti orang itu tanya, kira-kira imbalan apa yang kau minta?!"

Raden Mas Antar Bumi sorongkan kepalanya ke telinga Raden Mas Antar Langit. "Aku naksir nenek di sampingku..."

"Wah, celaka!" desis Raden Mas Antar Langit. Lalu orang ini ganti sorongkan wajahnya ke telinga Raden Mas Antar Bumi. "Terus terang saja... Aku juga naksir nenek cantik itu..."

Raden Mas Antar Bumi terlonjak. Lalu buka mulut dengan suara agak keras. "Kuharap kau mau mengerti! Tak mungkin satu nenek harus kita bagi dua! Kau nanti minta imbalan yang lain saja!"

Merasa dirinya yang dibicarakan, Ni Luh Padmi jadi naik pitam. "Bangsat kurang ajar! Kalian kira aku ini apa, hah?!"

"Nek... Seharusnya kau berterima kasih!" Joko menyahut. "Mereka berdua naksir padamu..."

"Keparat! Kau akan menyesal, Anak Sinting!" maki Ni Luh Padmi lalu lirikkan matanya dengan bola mata membelalak.

"Harap kalian berdua bersabar! Seorang nenek akan berlaku begitu bila merasa dirinya ditaksir orang..." kata Joko sambil jerengkan kedua matanya.

"Aduh... Aku jadi malu! Semua orang sekarang tahu kalau aku naksir..." ujar Raden Mas Antar Bumi. Lalu berpaling lagi pada temannya. "Bagaimana? Kau mau mengerti bukan?! Kau minta imbalan yang lain saja!"

"Kalian berdua!" mendadak terdengar kembali bentakan Malaikat Penggali Kubur. Kedua tangannya kini telah terangkat mengepal. "Kalian ingin mengalami nasib sama dengan perempuan yang terapung itu?!" Tanpa menunggu sahutan orang, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur bergerak.

"Tahan! Tahan!"

Kedua orang berwajah hitam berseru hampir berbarengan. Saat yang sama keduanya tekuk tubuh masing-masing ke depan dengan kedua tangan di atas pasir. Lalu perlahan-lahan keduanya merangkak ke arah Malaikat Penggali Kubur.

"Hai, kalian mainan apa?! Lihat! Aku juga punya mainan!" Tiba-tiba dari arah kawasan berbatu di sebelah kanan kedung terdengar orang berteriak.

Murid Pendeta Sinting berpaling. Ni Luh Padmi lirikkan matanya. Kedua orang berwajah hitam hentikan rangkakannya, lalu gerakkan kepala. Malaikat Penggali Kubur mendengus namun cepat sentakkan kepalanya menoleh. Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tetap terpejam. Dan tiba-tiba dari arah kawasan berbatu sebelah kiri kedung terdengar orang tertawa cekikikan!

***

ENAM

MALAIKAT Penggali Kubur tegak dengan rahang mengembung besar dan pelipis bergerak-gerak. Sepasang matanya terpentang besar memperhatikan tak berkesip pada kawasan berbatu di sebelah kanan kedung, di mana baru saja terdengar teriakan orang. Di sebelah batu paling depan yang berbatasan dengan hamparan pasir, terlihat dua orang laki-laki duduk di atas batu saling berdampingan.

Sebelah kanan adalah seorang pemuda bertangan buntung dan tidak lain adalah Dewa Orok. Di sebelahnya adalah seorang laki-laki berambut panjang hitam lebat dikelabang dua bertubuh pendek. Dia adalah Cucu Dewa.

Di bawah kedua orang ini tampak sosok perempuan berpakaian biru tipis dan tidak lain adalah Ratu Pemikat. Ratu Pemikat duduk bersimpuh di hamparan pasir dengan wajah pucat pasi. Malah dari sudut bibirnya tampak mengalirkan darah. Kedua tangannya disatukan ke belakang dan terikat kain hitam.

"Cucu Pangeran..." teriak Cucu Dewa pada Malaikat Penggali Kubur. Cucu Dewa memanggil Malaikat Penggali Kubur dengan Cucu Pangeran karena pada waktu Malaikat Penggali Kubur menyelidik ke tempatnya di pesisir pantai timur, Malaikat Penggali Kubur mengaku sebagai salah satu Cucu Pangeran. (Lebih jelasnya tentang pertemuan Malaikat Penggali Kubur dengan Cucu Dewa, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Titah dari Liang Lahat)

"Senang bisa bertemu kembali denganmu, Cucu Pangeran! Kedatanganku tidak akan lama. Aku hanya mengantarkan keponakanku ini!" Cucu Dewa arahkan pandangannya pada Dewa Orok yang berada di sampingnya. "Dia hendak bicara denganmu!"

Malaikat Penggali Kubur busungkan dadanya menarik napas panjang. Dia sebenarnya sudah tidak sabar melihat kemunculan Dewa Orok dan disusul kemunculannya Cucu Dewa. Dua orang yang harus dihabisi sesuai perintah dari liang lahat di mana dia mendapatkan Kitab Hitam. Namun melihat Pendekar 131 sudah di hadapannya serta melihat bagaimana Ratu Pemikat bersimpuh dengan kedua tangan bersatu ke belakang, Malaikat Penggali Kubur tahan keinginan. Namun sejauh ini dia belum sahuti ucapan Cucu Dewa.

Seperti diketahui, karena merasa jengkel dengan Cucu Dewa yang melangkah ke arah Dewa Orok, Ratu Pemikat segera lepaskan pukulan andalan 'Hamparan Langit'. Hingga saat itu juga kawasan berbatu sebelah kanan kedung dibungkus sinar biru terang. Cucu Dewa hentikan langkah. Putar tubuhnya sejenak lalu tekuk lututnya hingga tubuhnya yang pendek makin melorot. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak mendorong ke depan.

Dari kedua tangan Cucu Dewa melesat beberapa bundaran asap putih. Datang bergelombang saling susul menyusul. Bundaran asap terdepan tiba-tiba pecah ketika disapu sinar biru terang. Namun sinar biru mendadak tertahan setelah berhasil membuat pecah bundaran paling depan. Saat itu bundaran kedua melesat lalu membentur sinar biru. Namun lagi-lagi bundaran asap putih pecah. Tapi bersamaan itu sinar biru tersebut mulai ambyar.

Ketika bundaran ketiga melesat, sinar biru terang sudah membubung ke angkasa setelah sebelumnya keluarkan letusan keras. Sosok Ratu Pemikat tampak tersentak sentak saat sinar biru yang keluar dari kedua tangan. berbenturan dengan bundaran-bundaran asap putih. Dan begitu sinar biru terang perdengarkan letusan lalu ambyar, sosok Ratu Pemikat terjengkang. Saat itulah bundaran asap putih keempat dan yang terakhir mencuat dari telapak tangan Cucu Dewa.

Ratu Pemikat memang masih bisa segera bangkit duduk dan angkat kedua tangannya siap lepaskan kembali pukulan sakti 'Hamparan Langit'. Namun gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga jalan satu-satunya selamatkan diri adalah cepat berkelebat menghindar.

Wuusss!

Bundaran asap putih keempat yang ternyata membawa gelombang dahsyat berderak ganas. Ratu Pemikat memang masih bergerak selamatkan diri. Tapi kecepatan bundaran asap putih masih menyambar kakinya, hingga sosok perempuan bertubuh sintal itu terbanting!

Ratu Pemikat segera himpun sisa tenaganya. Lalu dengan tubuh bergetar keras dan wajah pias serta dada turun naik, dia bangkit. Tapi Ratu Pemikat terkesiap sendiri. Belum sampai sosoknya tegak, dua buah benda hitam yang tidak lain adalah dua batu hitam melesat kencang laksana anak panah. Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangannya untuk menangkis dua batu hitam. Namun mungkin karena terlalu bernafsu, kedua tangannya sudah menyentak sebelum dua batu hitam sampai. Hingga begitu kedua tangannya telah merentang ke atas, dua batu hitam melanggar bahu kanan kirinya!

Desss! Desss!

Ratu Pemikat berseru keras. Sosoknya yang belum sempat tegak terhuyung-huyung lalu roboh di atas pasir. Dua buah batu hitam mental balik dan masuk kembali ke dalam mulut Cucu Dewa. Ratu Pemikat rasakan dua bahunya tanggal. Pada bahu kanan kiri pakaiannya tampak lobang sebesar batu hitam yang tadi menghantamnya. 

Kulit di balik lobang telah berubah menjadi hitam. Menangkap gelagat bahaya pada kedua bahunya, Ratu Pemikat cepat totok tempat sekitar kulit yang berwarna hitam. Lalu perlahan lahan himpun tenaga dalamnya lagi. Tapi Ratu Pemikat sempat tersentak tatkala mendapati dari mulutnya mengeluarkan darah!


"Tidak! Aku harus bertahan!" desis Ratu Pemikat sambil usap mulutnya. Lalu masih dalam keadaan terkapar di atas pasir matanya melirik ke arah Cucu Dewa. Saat dilihatnya Cucu Dewa hendak teruskan langkah, Ratu Pemikat cepat bangkit duduk. Namun bersamaan dengan bergeraknya sang Ratu, satu bayangan telah berkelebat dan tahu-tahu Cucu Dewa sudah jongkok di samping Ratu Pemikat Tanpa pikir panjang lagi Ratu Pemikat hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Cucu Dewa yang jongkok di samping kirinya. Cucu Dewa luruskan tangan kirinya ke atas.

Bukkk!

Tangan kanan Ratu Pemikat mental balik. Karena begitu kerasnya hantaman Ratu Pemikat, saat mental balik dia tak dapat menguasai diri, hingga tubuhnya terputar lalu jatuh telungkup!

Cucu Dewa bergerak cepat. Sosoknya segera mengangkang di atas tubuh Ratu Pemikat. Celana hitam milik Raden Mas Antar Bumi yang tadi dibuang begitu saja oleh Ratu Pemikat ternyata sudah berada di tangannya. Cucu Dewa segera ambil kedua tangan Ratu Pemikat lalu disatukan ke belakang dan diikat dengan celana hitam.nRatu Pemikat berusaha meronta, namun Cucu Dewa segera henyakkan pantatnya di punggung sang Ratu hingga pada akhirnya Ratu Pemikat hanya bisa berteriak teriak tanpa bisa berbuat apa-apa.

Cucu Dewa bergerak bangkit dari tubuh Ratu Pemikat yang telungkup dengan tangan terikat. Lalu perlahan-lahan laki-laki bertubuh pendek ini melangkah ke arah Dewa Orok yang masih menggeliat-geliat coba tarik kepalanya dari dalam pasir.

"Guru..!" seru Dewa Orok meski tadi sudah dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya.

Cucu Dewa lintangkan jari telunjuk pada mulutnya. Lalu tangan kanannya mengangkat kepala Dewa Orok dari dalam pasir. "Aku hanya menduga! Tapi kalau tak salah bukankah perempuan cantik itu yang ambil dotmu?!" tanya Cucu Dewa setelah Dewa Orok duduk.

"Benar!" sahut Dewa Orok sambil arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat.

"Dia sudah kuikat! Karena ini urusanmu, kau tanyakan sendiri padanya!"

Dewa Orok menjura sejurus lalu melangkah ke arah Ratu Pemikat yang ternyata telah duduk bersandar pada batu. "Ratu..." kata Dewa Orok sambil tersenyum. "Jangan salah sangka. Aku tetap melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu..."

Dewa Orok jongkok di samping Ratu Pemikat lalu tatapi perempuan berwajah cantik ini berlama-lama. Ratu Pemikat arahkan pandangannya pada Cucu Dewa yang kini duduk di atas batu sambil memandang jauh ke hamparan pasir di depan kedung.

"Ratu... Aku hanya ingin minta dotku kembali!"

Ratu Pemikat berpaling. "Aku tidak membawanya!" suara Ratu Pemikat masih galak.

"Kau yang mengambil dotku, berarti kau tahu di mana tempatnya kalau saat ini tidak kau bawa! Kuharap kau mau bersamaku mengambil dot itu di tempat kau sembunyikan...!"

"Barang itu tidak kusimpan!" sahut Ratu Pemikat. Dan diam-diam perempuan ini dapat menebak kenapa begitu berartinya dot itu bagi Dewa Orok.

"Hem... Mungkin dia tak dapat kerahkan tenaga dalam tanpa bundaran butut itu! Tahu begitu, sudah sejak tadi dia kuselesaikan...!"

"Barang itu tidak kau bawa, barang itu tidak kau simpan. Lalu...?!" tanya Dewa Orok.

"Kau terlambat untuk memintanya! Barang itu sudah kuberikan pada seseorang!"

Wajah Dewa Orok seketika berubah. Kalau saja perturutkan hati, ingin rasanya dia memaki. Namun pemuda bertangan buntung ini masih ingin menahan diri. "Kalau betul ucapanmu, harap kau katakan siapa orang yang kau beri?!"

Dewa Orok sengaja tidak mau bertindak kasar, karena sekali dia kehilangan jejak urusan dotnya, maka dia akan menyesal seumur-umur. Di lain pihak, Ratu Pemikat memang akan mengatakan terus terang siapa adanya orang yang diberi. karena dia tahu, Dewa Orok atau Cucu Dewa tak mungkin sanggup mengambil dot itu. Seperti diketahui, dot itu telah diberikan pada Malaikat Penggali Kubur. Ratu Pemikat alihkan pandangannya lalu berkata menjawab.

"Dotmu telah kuberikan pada Malaikat Penggali Kubur!"

Dewa Orok rasakan tengkuknya merinding. Pemuda bertangan buntung ini cepat arahkan pandangannya pada Malaikat Penggali Kubur yang kini telah tegak di hamparan pasir di depan kedung. "Celaka kalau ucapan perempuan cantik ini betul! Bagaimana aku bisa mengambil dari tangan pemuda itu?! Bagaimana kalau pemuda itu telah melumat lalu membuangnya? Jelek benar nasibku..."

Dewa Orok mengeluh dalam hati. Namun pemuda bertangan buntung ini tidak begitu saja percaya. "Kau tidak berdusta...?!"

"Apa untungnya berdusta kalau hanya urusan dot butut begitu?!"

"Hem... Baik. Aku ingin tahu kebenaran ucapanmu!" kata Dewa Orok lalu sambil tersenyum-senyum pemuda ini pandangi sekujur tubuh Ratu Pemikat berlama-lama hingga Ratu Pemikat merasa jengah. Apalagi mata Dewa Orok akhirnya terhenti pada dadanya!

"Apa yang hendak kau lakukan?!" sentak Ratu Pemikat.

"Kau harus mengambilnya dari tangan Malaikat Penggali Kubur sekarang juga!" kata Dewa Orok masih dengan menatap dada Ratu Pemikat. "Jika tidak, kau punya dot bukan?!"

Dahi Ratu Pemikat berkerut. "Apa maksudmu...?!"

"Kalau kau tidak berhasil mengambil kembali dotku, atau kau berani mendustaiku, terpaksa aku minta ganti rugi kedua dotmu!"

"Aku tak punya dot! Dan aku tidak berkata dusta!"

"Kau punya dot! Dan mungkin itu lebih nikmat rasanya! Hik Hik Hik...! Karena kau punya dua, aku tidak akan repot-repot lagi kalau satunya diambil orang!"

"Keparat!" maki Ratu Pemikat sambil sedikit lipat tubuh atasnya seakan hendak tutupi dadanya yang membusung kencang.

"Bagaimana Ratu?! Kau berjanji mau ambilkan dotku, atau kau ganti saja dengan kedua dotmu?! Hik Hik Hik...!"

Tampang Ratu Pemikat merah padam. Pilihan yang ditawarkan Dewa Orak adalah satu hal yang tak mungkin bisa dilakukannya. Karena dia maklum kalau Malaikat Penggali Kubur tidak akan memberikan kembali dot itu. Namun kalau dia tidak berhasil mengambil dot itu. Ancaman Dewa Orok mungkin tidak main-main. Berpikir sampai ke situ, Ratu Pemikat tampak menggigil.

Rupanya Dewa Orok dapat menangkap apa yang terpikir dalam benak Ratu Pemikat. "Ratu... Kau tahu bagaimana cara memberikan, pasti kau juga tahu bagaimana cara mengambil kembali..."

"Itu dua hal yang berbeda!" sahut Ratu Pemikat.

"Ah... Betul! Tapi itu urusanmu! Atau kau lebih suka memberikan kedua dotmu?!"

Karena merasa tidak berdaya, dan menduga masih punya kesempatan seandainya dirinya dibebaskan, Ratu Pemikat segera angkat bicara. "Baik! Aku akan ambilkan dotmu! Tapi lepaskan dahulu ikatan jahanam ini!" 

Dewa Orok gelengkan kepala. "Kau dan aku punya urusan dot! Sedangkan urusan ikat mengikat ini adalah urusanmu dengan orang itu!" Dewa Orok arahkan pandangannya pada Cucu Dewa. "Silakan kau berurusan dengannya!"

Habis berkata begitu, Dewa Orok bangkit lalu melangkah ke arah Cucu Dewa yang sedang duduk di atas batu paling depan dari kawasan berbatu sebelah kanan kedung yang menghadap hamparan pasir. Dewa Orok hampiri Cucu Dewa lalu duduk berdampingan. Saat itulah Cucu Dewa buka mulut.

"Ratu... Kau hendak berurusan denganku. Mengapa masih diam di situ?!"

Ratu Pemikat memaki dalam hati lalu perlahan-lahan bangkit dan melangkah ke tempat Dewa Orok dan Cucu Dewa duduk berdampingan.

"Kuharap kau duduk di depanku..." ujar Cucu Dewa. "Duduk bersimpuh dan menghadap ke depan sana..." Cucu Dewa lanjutkan ucapannya begitu Ratu Pemikat tegak dibelakangnya.

Sejenak Ratu Pemikat pandangi punggung kedua orang dihadapannya dengan mata terpentang besar. Sekilas terbersit dalam hati untuk menendang Cucu Dewa dari belakang. Namun begitu kaki kanannya terangkat, Cucu Dewa telah buka mulut.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Ratu... Urusan kita hanya urusan sepele. Tidak pantas kalau harus ditebus dengan darah..."

Ratu Pemikat urungkan gerakan kakinya. Lalu perlahan-lahan melangkah ke hadapan Dewa Orok dan Cucu Dewa. Dengan tampang merah padam dan pucat, perempuan bertubuh bahenol itu duduk bersimpuh di bawah Dewa Orok dan Cucu Dewa menghadap hamparan pasir. Saat itulah kemudian Cucu Dewa berteriak hingga semua orang yang berada di tengah hamparan pasir berpaling, kecuali Iblis Rangkap Jiwa yang pejamkan mata karena berusaha buyarkan totokan yang bersarang ditubuhnya.

***
TUJUH
“CUCU Pangeran!" teriak Dewa Orok pada Malaikat Penggali Kubur. Karena urusanku sepele, aku sungkan mengatakannya dengan berteriak. Jadi biarlah gadisku ini saja yang mengatakannya padamu!" Habis berkata begitu, Dewa Orok berkata pada Ratu Pemikat.

"Ratu... Katakan padanya apa yang kuinginkan! Jangan keras-keras kalau bicara! Jadi mendekatlah kesana!"

Ratu Pemikat merasa lega, karena dengan mendekat ke Malaikat Penggali Kubur setidaknya kesempatan untuk bisa lepas dari cengkeraman dan ancaman Dewa Orok lebih besar. Namun perasaan lega Ratu Pemikat jadi pupus tatkala begitu dia beranjak bangkit, Cucu Dewa telah berujar.

"Ratu... Ini adalah kesempatan baik bagimu! Harap jangan kau balas kebaikan ini dengan tipu muslihat! Kalaupun kau berbuat curang, kau tak akan bisa berbuat banyak! Setinggi apa pun ilmu pemuda di depan sana itu, tapi aku masih sangsi apakah ia mampu melepas ikatan pada kedua tanganmu!"

Ratu Pemikat kerutkan dahi. Apa yang baru saja dikatakan Cucu Dewa memang benar jadi kenyataan. Tapi setidaknya dia sudah bisa meraba-raba. Karena sebenarnya dia tadi sudah kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan ikatan pada kedua tangannya. Kalau hanya ikatan biasa, sekali sentak tentu sudah lepas bahkan kain pengikatnya akan putus. Namun yang dirasakannya tadi adalah aneh. Semakin dia kerahkan tenaga dalam untuk melepas ikatan, ikatan pada kedua tangannya semakin kencang!

"Ratu... Harap kau segera menghadap pemuda itu. Kulihat dia menunggu!" ujar Dewa Orok tatkala dilihatnya Ratu Pemikat belum mulai melangkah.

Ratu Pemikat sentakkan kaki kanannya lalu melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Begitu lima langkah di hadapan si pemuda, Ratu Pemikat hentikan langkah. Tapi belum sampai perempuan ini buka mulut, tiba-tiba Raden Mas Antar Bumi sudah angkat bicara.

"Celanaku... Celanaku! Aduh, permainan apa yang diperlihatkan temannya Teman Lama kita itu?!" Tanpa menunggu sahutan, orang ini lantas arahkan pandangannya pada Dewa Orok.

"Hai, Teman Lama! Apa yang diperbuat temanmu itu?! Bagaimana kalau celanaku rusak?"

"Teman Lama!" sahut Dewa Orok, "Apa yang diperbuat temanku ini hanyalah satu permainan tali-temali! Kau tak usah khawatir. Celanamu tidak akan rusak!"

Raden Mas Antar Bumi menoleh pada Raden Mas Antar Langit yang masih sama-sama membuat sikap merangkak. "Kau bisa jamin kalau celanaku tidak rusak?!"

"Jangan kau pikirkan celana butut bau itu! Ingat. nyawa kita berdua di ujung kepala! Ayo kita maju!"

Kedua orang berwajah hitam akhirnya bergerak kembali merangkak ke arah Malaikat Penggali Kubur. Namun Malaikat Penggali Kubur segera membentak.

"Diam di tempat kalian dahulu!"

Kedua orang berwajah hitam sama hentikan rangkakannya. Saling pandang sejenak lalu hampir bersamaan keduanya angkat tubuh atas masing-masing lalu duduk bersila sejarak dua belas langkah dari Malaikat Penggali Kubur. Tidak jauh dari kedua orang berwajah hitam, murid Pendeta Sinting berpaling pada Putri Sableng yang masih tegak sendirian di kawasan berbatu sebelah kiri kedung.

"Sulit menduga apa maksud sebenarnya gadis sableng itu! Hem... Sebenarnya dia gadis cantik. Dan terus terang aku selalu teringat padanya! Hanya sikapnya terlalu usil malah terkadang menjengkelkan! Hem..."

Sementara merasa dirinya dipandang murid Pendeta Sinting, Putri Sableng angkat kedua tangannya lalu diletakkan di pinggang kiri kanan. Sepasang matanya menyorot tajam balas memandang. Namun saat lain tiba-tiba gadis berjubah merah ini tertawa cekikikan! Membuat Joko segera palingkan kepala. Suara tawa cekikikan membuat kedua orang berwajah hitam segera menoleh pada Putri Sableng. Salah seorang dari keduanya tampak buka mulut, namun suaranya sudah terbenam dalam suara Malaikat Penggali Kubur yang saat itu tiba-tiba sudah membentak.

"Perempuan binal! Kau bukan saja telah menipuku, tapi juga membuatku malu!"

"Jangan salah sangka. Aku tidak menipu! Hanya dugaanku salah..."

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh lalu melangkah mendekati Ratu Pemikat. Tengkuk perempuan ini sudah dingin. Kedua lutut kakinya tampak bergetar.

"Kalau dugaanmu salah, lalu apa, hah?!"

"Hem... Ternyata perempuan itu memang kaki tangannya Malaikat Penggali Kubur. Dan mungkin dia yang mengatur pertemuan ini! Tapi apa maksudnya...?!" Murid Pendeta Sinting diam-diam membatin.

"Aku tanya! Setelah dugaanmu salah, lalu apa, hah?!" Malaikat Penggali Kubur membentak lagi. Tangan kanannya sudah terangkat mengepal. Tanda kalau pemuda ini siap lepaskan pukulan Telaga Surya'.

Ratu Pemikat rasakan nyawanya sudah putus. Dia cepat jatuhkan diri. Lalu berkata. "Aku sudah berusaha, tapi aku gagal! Kini dia inginkan kembali dotnya yang pernah kuberikan padamu..."

Malaikat Penggali Kubur selinapkan tangan kirinya ke balik jubah putih yang dikenakan. Lalu ditarik lagi dengan telapak mengepal seolah di dalam kepalan tangannya berisi sesuatu. Tangan kiri yang mengelap diangsurkan ke depan membuat gerakan seperti orang memberi. Ratu Pemikat angkat kepalanya dengan bibir tersenyum. Namun senyum Ratu Pemikat terputus. Bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri ke depan, tangan kanan yang berada di atas udara bergerak memukul!

Wuuttt!

Satu cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu satu sapuan gelombang melanda ganas ke arah Ratu Pemikat. Malaikat Penggali Kubur benar-benar telah lepas pukulan sakti Telaga Surya'.

Dalam keadaan biasa saja mungkin Ratu Pemikat sudah tidak mampu menghadapi sapuan gelombang yang kini melandanya walau dia menghadang pukulan orang dengan pukulan andalannya 'Hamparan Langit'. Apalagi kini pukulan orang itu menyapunya sementara dia dalam keadaan terikat dan tenaga dalamnya sudah terkuras saat menghadapi Cucu Dewa. Hingga yang dapat dilakukan perempuan cantik bertubuh sintal ini pentangkan mata menjemput ajal!

Semua orang di sekitar kedung tampak sama kancingkan mulut dengan mata membelalak. Mereka sama sekali tidak menduga apa yang akan dilakukan Malaikat Penggali Kubur. Namun tiba-tiba kedua orang berwajah hitam membuat gerakan. Bersamaan waktunya, murid Pendeta Sinting juga gerakkan kedua tangannya.

Begitu sejengkal lagi sosok Ratu Pemikat tersapu gelombang yang datang dari kepalan tangan Malaikat Penggali Kubur, mendadak satu sinar kuning menyambar. Saat yang sama, dua gelombang dahsyat juga menyambar dari arah depan Malaikat Penggali Kubur. Sinar kuning bergerak menyapu ke arah pukulan 'Telaga Surya' yang dilepaskan Malaikat Penggali Kubur, sementara dua gelombang yang datang bersamaan langsung menyapu ke arah sosok Malaikat Penggali Kubur dan satunya ke arah Ratu Pemikat.

Bummm! Wuusss! Wuuuss!

Terdengar ledakan tatkala pukulan 'Telaga Surya' Malaikat Penggali Kubur terpangkas sinar kuning. Saat bersamaan Malaikat Penggali Kubur cepat melompat ke samping kanan selamatkan diri dari gelombang yang menggebrak.

Di depan sana, sosok Ratu Pemikat mencelat mental lalu terkapar di atas pasir karena terhantam bias bentroknya pukulan dan tersambar gelombang yang rupanya sengaja diarahkan tidak mengenai tubuhnya. Meski Ratu Pemikat selamat, namun karena dia sudah terluka dalam dan waktu terjadinya bentrok pukulan dia sama sekali tidak kerahkan tenaga dalam untuk lindungi diri, maka menghantamnya bias pukulan membuat Ratu Pemikat muntahkan darah segar.

Kepala Malaikat Penggali Kubur laksana disentak setan berpaling ke depan. Dia tampaknya sudah tahu siapa saja yang baru memangkas pukulan dan menghantam tubuhnya. Bersamaan dengan bergeraknya kepala si pemuda, Raden Mas Antar Bumi berkelebat. Bukan ke arah Malaikat Penggali Kubur, melainkan ke arah Ratu Pemikat.

"Maaf..." ujar Raden Mas Antar Bumi pada Malaikat Penggali Kubur meski saat itu Malaikat Penggali Kubur tidak mengacuhkannya. Si pemuda tengah memandang ke arah murid Pendeta Sinting! Namun Raden Mas Antar Bumi lanjutkan ucapannya.

"Cucu Pangeran!" kata Raden Mas Antar Bumi ikut-ikutan memanggil seperti Cucu Dewa. "Kau tadi telah melihat aku hendak lakukan apa yang kau ucapkan. Kalau aku tiba-tiba lancang tangan tadi, semata-mata karena aku tak mau celanaku ikut rusak! Aku tahu, pukulanmu hebat..."

Lalu enak saja orang ini lepas ikatan pada kedua tangan Ratu Pemikat yang saat itu terkapar di atas pasir dengan mulut kucurkan darah. Namun rupanya Raden Mas Antar Bumi gagal lepaskan ikatan celananya pada kedua tangan Ratu Pemikat. Hingga dia cepat menoleh pada Dewa Orok dan Cucu Dewa.

"Hai...! Salah satu kalian yang mengikat. Kuharap salah satu dari kalian mau lepaskan ikatan ini!"

Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya. Lalu lepas ikatan pada ujung bajunya yang ternyata tidak terikat satu sama lain. Begitu ikatan pada ujung bajunya lepas, secara aneh tiba-tiba ikatan celana pada kedua tangan Ratu Pemikat mengendur.

Raden Mas Antar Bumi tak menunggu. Dia cepat buka ikatan celana hitamnya pada kedua tangan Ratu Pemikat. Dia sejenak tampak bimbang. "Apa harus kukenakan di sini...?!"

Tapi orang ini tidak bisa berpikir panjang. Karena dilihatnya Malaikat Penggali Kubur sudah angkat kedua tangannya. Hingga celana hitamnya segera dikalungkan pada lehernya lalu dia melompat dan duduk di samping Raden Mas Antar Langit. Saat itulah, Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya yang mengepal ke arah Pendekar 131!

Wuutt! Wuuutt!

Dua cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu dua gelombang dahsyat melabrak. Tidak hanya sampai di situ. Begitu lepas pukulan 'Telaga Surya' ke arah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur kembali angkat kedua tangannya lalu serta-merta melabrak kedua orang berwajah hitam dengan pukulan 'Telaga Surya'!

Kedua orang berwajah hitam terkesiap. Keduanya cepat berseru lalu rebahkan tubuh masing-masing sejajar pasir. Tangan masing-masing orang bergerak mendorong. Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tak mau berlaku ayal. Sapuan gelombang yang mencuat dari kepalan kedua tangan Malaikat Penggali Kubur bukan lagi seperti sapuan gelombang yang melesat dari tangan Malaikat Penggali Kubur beberapa waktu yang lalu meski pukulan yang dilepas tidak beda.

Pendekar 131 segera sentakkan kedua tangannya kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'. Sementara dari tangan masing-masing orang berwajah hitam tampak menderu sapuan angin deras menyusur pasir menyongsong sapuan gelombang dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur. Di atas hamparan pasir depan kedung tampak beberapa gelombang saling melesat. Lalu tampak semburatan sinar kuning. Saat lain terdengar dentuman tiga kali berturut-turut.

Air kedung bergelombang. Pada salah satu bibir kedung tanahnya tampak langsung longsor. Hamparan pasir di depan kedung pekat tertutup hamburan pasir. Sosok murid Pendeta Sinting terseret empat langkah. Wajahnya langsung berubah pucat. Tubuhnya bergetar. Kedua orang berwajah hitam bergulingan di atas pasir lalu sama telentang dengan napas megap-megap. Di sebelah depan, sosok Malaikat Penggali Kubur terhuyung namun pemuda ini cepat dapat kuasai diri.

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan seringai dingin. Memandang satu persatu pada murid Pendeta Sinting dan dua orang berwajah hitam. Mendadak pemuda ini perdengarkan tawa bergelak, lalu berucap lantang.

"Pendekar 131! Purnama ini akan jadi saksi bahwa Malaikat Penggali Kubur layak jadi raja di raja rimba persilatan! Tapi aku adalah raja rimba persilatan yang masih bisa diajak berdamai! Nyawamu kuampuni!"

Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Tapi serahkan dahulu kedua kitab dan pedang bututmu!"

Pendekar 131 tertawa pendek. "Purnama Kedung Ombo juga akan jadi saksi, bahwa kau hanya seorang pemimpi besar! Kusarankan padamu, letakkan Kitab Hitam yang ada di balik pakaianmu! Lalu kau boleh pergi!"

Malaikat Penggali Kubur perkeras gelakan tawanya. "Ternyata kau manusia serakah! Dua kitab sudah di tangan tapi masih inginkan kitab di tangan orang lain! Aku telah tawarkan pengampunan nyawamu. Tapi manusia serakah sepertimu memang tidak pantas dapat ampunan! Pengampunan kuubah jadi perintah sesuai titah dari liang lahat!"

kembali Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya. Memandang tajam pada murid Pendeta Sinting lalu lanjutkan ucapan. "Sesuai perintah dari Liang lahat, sebenarnya tanganku tidak sulit mencabut selembar nyawamu, tapi aku ingin kau cabut nyawamu dengan tanganmu sendiri! Lakukan!!"

"Kau telah memaklumkan sebagai raja di raja rimba persilatan. Adalah hal aneh kalau kau takut cabut nyawaku! Aku khawatir kalau ucapanmu hanya karena untuk menutupi ketakutanmu!"

"Kitab Hitam adalah kitab di atas segala kitab! Bagi Malaikat Penggali Kubur, tidak ada yang perlu ditakutkan! Tanganku punya kekuatan!"

"Aku ingin tahu sampai di mana kekuatan tanganmu!"

Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Kaki kanannya bergerak menghentak. Bersamaan itu dari mulutnya terdengar bentakan keras. Sosoknya melesat ke depan. Sejarak lima langkah dari murid Pendeta Sinting, dia lepaskan pukulan 'Telaga Surya'. Begitu kedua tangannya luruh, tangan kirinya segera mengusap perutnya di mana tersimpan Kitab Hitam.

Semua orang yang ada di Kedung Ombo seakan terkesima dengan apa yang dilakukan Malaikat Penggali Kubur, hingga tak ada satu pun yang membuat gerakan. Mereka semua hanya memandang dengan mulut terkancing. Sementara dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah menderu gelombang angin dahsyat begitu dua cahaya terang yang sekejap berkiblat telah lenyap. Belum sampai gelombang menyapu sasaran, terdengar suara deruan perlahan. Anehnya gelombang yang melesat pertama laksana didorong kekuatan luar biasa dahsyat, hingga daya lesatnya dua kali lipat!

Pendekar 131 yang sedari tadi sudah siapkan pukulan segera lepaskan 'Lembur Kuning'. Sadar kalau gelombang yang menyapu ke arahnya bukan hanya satu tenaga dalam, murid Pendeta Sinting cepat mundur dua langkah lalu kembali sentakkan kedua tangannya lepaskan lagi pukulan sakti 'Lembur Kuning'. 

Gelombang yang menyapu dari tangan Malaikat Penggali Kubur semburat bertaburan ke udara. Namun mendadak sinar kuning yang tadi mencuat dari kedua tangan murid Pendeta Sinting laksana dihantam kekuatan dahsyat, padahal tidak ada gelombang yang menyapu dan tidak ada sinar yang terlihat! Sinar kuning pukulan 'Lembur Kuning' melesat balik ke arah Pendekar 131 disertai sapuan dahsyat yang tidak terlihat.

Sosok murid Pendeta Sinting tampak tergontai-gontai. Saat lain tubuhnya mental satu tombak dan jatuh terduduk di hamparan pasir dengan dada laksana pecah dan perut seperti dibuncah.

Malaikat Penggali Kubur melompat lalu tegak sepuluh langkah di hadapan Pendekar 131 dengan mulut gemborkan tawa terbahak. "Kau tolol kalau melihat siapa yang kau hadapi saat ini masih sama dengan orang yang kau hadapi di Pulau Biru! Ha Ha Ha...! Pengampunan nyawamu telah habis waktunya! Saat ini tiba waktunya nyawamu melayang!"

Seakan tidak sabar, saat itu juga tangan kanan Malaikat Penggali Kubur usap-usap perutnya. Mulutnya masih perdengarkan tawa bergelak. Terdengar lagi suara deruan pelan tanpa terlihatnya gelombang yang menyapu begitu tangan kanan Malaikat Penggali Kubur usap perutnya. Karena tak ada waktu untuk bangkit berdiri, murid Pendeta Sinting cepat dorong tangan kirinya. Sementara tangan kanannya disentakkan.

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat serat-serat biru terang laksana benang, sedang dari tangan kanannya mencuat sinar kuning mem- bawa hawa panas. Melihat dua pukulan sekaligus dilepas murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur makin keraskan gemboran tawanya. Dia memandang dengan senyum aneh.

Blammm! Blammm!

Serat-serat biru dan sinar kuning pecah berkeping-keping muncratkan pijaran api lalu jatuh dan padam di atas pasir. Murid Pendeta Sinting merasakan tubuhnya disentak kekuatan dahsyat. Hingga meski dia kerahkan tenaga dalam, tak urung tubuhnya tersapu lalu jatuh terkapar dengan hidung dan mulut kucurkan darah!

Di seberang, Malaikat Penggali Kubur terhuyung-huyung tapi dia cepat melompat lalu tegak dengan kedua kaki terpacak di atas pasir. Wajahnya berubah mengelam, tapi dia tidak mengalami cedera. "Pendekar 131! Kitab di tanganmu sudah usang! Percuma kau perlihatkan di hadapan Malaikat Penggali Kubur!" Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur melompat ke depan.

Sadar bahaya mengancam, murid Pendeta Sinting cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan. Lalu bergulingan tiga kali. Pada gulingan keempat, tubuhnya serentak bangkit. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan. Tangan kiri mendorong dengan telapak terbuka, tangan kanan mendorong dengan tiga jari tegak sementara jari kelingking dan ibu jari menekuk bertemu.

Dari tangan kiri mencuat serat-serat biru terang, sedang dari tangan kanan melesat cahaya kuning membentuk tiga larikan mirip jari tangan kanan murid Pendeta Sinting yang tadi mendorong. Saat itu juga terdengar suara gemuruh dahsyat. Gelombang angin menderu angker. Pendekar 131 telah lepas pukulan 'Serat Biru' serta 'Sundrik Cakra'!

Malaikat Penggali Kubur hadapi pukulan lawan dengan senyuman aneh. Kejap lain kedua tangannya bergerak mengusap-usap perutnya berulang kali. Terdengar deruan pelan susul menyusul. Tapi lagi-lagi hanya terdengar deruan tanpa terlihat gelombang atau cahaya.

Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung di mana Putri Sableng tegak terdengar teriakan keras. "Hai tua-tua bangka berwajah hitam! Mengapa kalian diam saja?!" Bersamaan terdengarnya teriakan, satu gelombang dahsyat melesat dari samping kanan kedung melintasi hamparan pasir.

Dua orang berwajah hitam saling pandang sejenak, lalu hampir berbarengan mereka sentakkan tangan masing-masing. Dari kedua tangan Raden Mas Antar Bumi yang kini berkalung celana hitam tampak melesat sinar kuning perdengarkan suara gemuruh dahsyat dengan membawa gelombang hawa panas. Sementara dari tangan Raden Mas Antar Langit melesat dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan suara berderak-derak laksana roda kereta yang melaju di atas pasir.

***

DELAPAN

CAHAYA bulan purnama sejenak tampak tertutup oleh kilatan warna kuning dan biru. Lalu tampak beberapa sapuan gelombang menuju ke satu titik arah tidak jauh di depan Malaikat Penggali Kubur. Tiba-tiba satu ledakan laksana hendak merobek langit mengguncang Kedung Ombo tatkala beberapa sapuan gelombang dan beberapa sinar yang teraliri tenaga dalam sangat tinggi itu bentrok dengan kekuatan tidak terlihat yang menyambar keluar susul menyusul dari usapan tangan Malaikat Penggali Kubur pada Kitab Hitam di balik pakaiannya.

Tubuh Pendekar 131 terpelanting lalu roboh setelah menghantam satu batu cadas putih. Darah makin banyak mengucur dari mulut dan hidungnya. Pakaiannya tampak hangus di beberapa tempat. Di sebelah kiri kedung, sosok Putri Sableng terhantar di atas pasir. Mulut gadis ini tampak bergerak-gerak dan semburkan darah.

Dua orang berwajah hitam tersapu deras. Raden Mas Antar Bumi jatuh berlutut setelah menghantam julangan batu cadas dua langkah di samping Ni Luh Padmi yang masih tertotok tidak bisa bergerak. Sedang Raden Mas Antar Langit tumbang membentur sosok Iblis Rangkap Jiwa. Orang ini mengaduh sebentar. Lalu angkat kepalanya. Saat itulah dari mulutnya jatuh dua benda hitam. Raden Mas Antar Langit mengambil benda yang baru jatuh dari mulutnya. Mengawasinya sebentar dengan meringis kesakitan. Ternyata benda hitam itu adalah dua kayu agak bengkok yang tengahnya dilobangi memanjang.

"Uh... Tak bisa dipakai lagi!" gumam Raden Mas Antar Langit lalu campakkan dua kayu hitam berlobang memanjang. Dia lantas memandang Iblis Rangkap Jiwa dengan kepala didongakkan. Meski mulutnya tidak perdengarkan suara, anehnya Raden Mas Antar Langit tidak tutup mulutnya yang terbuka menganga! Dan kini tampak jelas kalau orang ini tidak punya gigi alias ompong!

Sementara di seberang depan, dipangkas dari tiga jurusan membuat sosok Malaikat Penggali Kubur langsung terjengkang roboh di atas pasir dengan mulut keluarkan darah. Untuk beberapa saat pemuda pemilik Kitab Hitam ini tidak bergerak-gerak. Hal ini tampaknya tidak luput dari pandangan Ratu Pemikat yang sedari tadi coba himpun tenaga dalamnya. Perempuan ini sekilas lirikkan matanya berkeliling. Lalu tanpa diduga sama sekali, sosoknya bergerak bangkit lalu menghambur ke arah terjengkangnya Malaikat Penggali Kubur.

Perempuan ini tampaknya sudah memperhitungkan segala sesuatunya. Hingga begitu sosoknya tepat dekat dengan sosok Malaikat Penggali Kubur, kedua tangannya bergerak ke arah perut si pemuda. Malaikat Penggali Kubur yang tengah himpun tenaga dalamnya tersentak kaget. Namun sudah terlambat baginya selamatkan Kitab Hitam yang kini hendak disambar tangan Ratu Pemikat.

Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hitam melesat. Satu tendangan menyapu ke arah Ratu Pemikat. Ratu Pemikat menjerit. Tubuhnya mencelat ke udara dengan darah tampak mengucur deras. Saat lain laksana direnggut setan, jeritan Ratu Pemikat terputus. Sosok perempuan ini langsung menukik dan amblas masuk ke dalam kedung.

Byurrr!

Gelombang air kedung yang masih bergolak tampak berubah warna merah. Kejap lain sosok Ratu Pemikat telah telentang mengambang di kedung dengan leher patah!

Tendangan orang ke leher Ratu Pemikat membuka kesempatan bagi Malaikat Penggali Kubur untuk bergerak. Dia dapat menangkap kalau orang yang baru saja menghantam Ratu Pemikat bukan untuk menyelamatkannya, melainkan punya maksud sama dengan si perempuan. Karena bersamaan dengan terlemparnya tubuh Ratu Pemikat, tangan kiri kanan orang ini berkelebat cepat ke arah perut Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tidak mau berlaku ayal. Dia cepat gulingkan tubuhnya. Lalu kedua tangannya serta-merta dipukulkan guna lepaskan pukulan sakti Telaga Surya'.

Namun orang yang baru saja menendang Ratu Pemikat seakan tidak peduli dengan pukulan yang kini mengarah padanya. Dia tidak membuat gerakan untuk menangkis atau balik memukul. Sebaliknya dia mengejar sosok Malaikat Penggali Kubur dengan kedua tangan berkelebat ke arah perut. Dia sudah tahu kalau Kitab Hitam tersimpan di balik pakaian Malaikat Penggali Kubur.

Brettt!

Pakaian hitam di balik jubah putih Malaikat Penggali Kubur robek menganga. Namun orang yang telah berhasil merobek pakaian hitam Malaikat Penggali Kubur tidak dapat lanjutkan ambil Kitab Hitam yang kini sudah terlihat, karena saat itu juga tubuhnya tersapu pukulan Telaga Surya' Malaikat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur cepat bangkit. Memandang ke depan, pemuda ini tersentak. Sejarak delapan langkah dari tempatnya tegak, satu sosok yang baru saja mencelat terkena pukulannya tiba-tiba bangkit tanpa menderita cedera sama sekali! Malah orang ini kacak pinggang dan mengumbar tawa bergelak!

"Bangsat jahanam! Seharusnya kau sudah kubunuh waktu di bukit itu!" bentak Malaikat Penggali Kubur dengan suara bergetar dan rahang mengembang.

"Kau memang terlalu bodoh membiarkan aku hidup! Tapi kau sudah terlambat! Dan aku tidak akan berbuat bodoh sepertimu!" sahut orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur yang ternyata adalah Iblis Rangkap
Jiwa.

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah bisa bebaskan diri dari totokan murid Pendeta Sinting begitu Malaikat Penggali Kubur lancarkan serangan pada Pendekar 131. Namun laki-laki berkepala gundul ini menunggu saat yang tepat dan pura-pura masih tertotok. Begitu Malaikat Penggali Kubur terjengkang dan Raden Mas Antar Langit menubruk tubuhnya yang bersandar di lamping batu cadas putih, Iblis Rangkap Jiwa buka kelopak matanya. Dia pikir inilah saat yang ditunggu, karena bagaimanapun juga Malaikat Penggali Kubur akan mengalami cedera karena dihantam dari tiga jurusan.

Raden Mas Antar Langit sejurus tampak terkesiap melihat kelopak mata Iblis Rangkap Jiwa membelalak. Belum sampai orang ini bergerak, Iblis Rangkap Jiwa telah gerakkan tangan kanannya.

Plakkk!

Sosok Raden Mas Antar Langit terpelanting dan kembali jatuh menyusur pasir. Saat lain Iblis Rangkap Jiwa berkelebat. Tapi gerakannya didahului Ratu Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa tak mau didahului orang. Dia teruskan kelebatannya lalu begitu tangan kiri kanan Ratu Pemikat bergerak ke arah perut Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa sapukan kaki kanannya ke arah Ratu Pemikat.

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Iblis Rangkap Jiwa! Kau adalah sahabatku. Aku telah janjikan tempat enak buatmu saat matahari terbit esok hari! Lagi pula tak ada gunanya kau berkhianat padaku! Kau telah alami sendiri bagaimana rasanya menghadapiku!"

Iblis Rangkap Jiwa ganti tertawa pendek. "Aku bukan manusia yang bisa kau tidurkan dengan ucapan-ucapan usang itu! Kau telah terluka, Jahanam! Dan tiba saatnya kau serahkan kitab itu padaku!"

"Kitab ini akan kuserahkan padamu...! Tapi serahkan dulu nyawamu!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur berkelebat ke depan. Rupanya Malaikat Penggali Kubur sadar siapa adanya orang yang dihadapi. Hingga pemuda ini sengaja tidak lepaskan pukulan dari jarak jauh. Tangan kiri kanannya baru bergerak mengusap perutnya tatkala dia berada lima langkah dari Iblis Rangkap Jiwa.

Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa sendiri maklum akan kehebatan kitab di balik pakaian Malaikat Penggali Kubur, hingga meski dia tidak mempan terhadap pukulan namun dia tidak mau bertindak ceroboh. Karena walau dia tidak mempan pukulan tapi kalau terus-terusan dihajar, tak urung juga tenaga luarnya akan habis. Padahal kekuatan dalam dirinya tidak akan dapat tersalur tanpa adanya tenaga luar.

Memikir sampai di situ, begitu terdengar suara deruan, Iblis Rangkap Jiwa segera angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyongsong gelombang yang tidak terlihat pandangan mata. Gelombang hitam yang melesat dari kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa tiba-tiba semburat ke samping kanan kiri laksana dihantam kekuatan luar biasa dahsyat. Saat bersamaan sosok Iblis Rangkap Jiwa terjajar dan jatuh terjengkang! Namun seperti tidak merasakan apa-apa, laki-laki berkepala gundul ini cepat bangkit.

Malaikat Penggali Kubur melesat ke samping kanan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tangan kiri kanannya mengusap perut. Begitu cepatnya gerakan Malaikat Penggali Kubur, hingga baru saja Iblis Rangkap Jiwa bangkit, sosok laki-laki ini telah tersapu gelombang tidak terlihat. Karena Malaikat Penggali Kubur berada di samping kanan Iblis Rangkap Jiwa maka tak ampun lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu melayang lurus ke arah kedung.

Byuurr!

Tubuh Iblis Rangkap Jiwa amblas masuk ke dalam kedung. Malaikat Penggali Kubur cepat melompat dan tegak di bibir kedung dengan kedua tangan terangkat mengepal. Sepasang matanya menatap tajam ke arah air kedung yang bergolak. Namun untuk beberapa saat Malaikat Penggali Kubur tidak menangkap tanda-tanda munculnya Iblis Rangkap Jiwa.

"Jahanam! Apa manusia iblis itu sudah mampus?! Tapi... mana bangkai iblisnya?"

Karena masih merasa yakin kalau laki-laki berkepala gundul itu belum tewas, Malaikat Penggali Kubur belum juga beranjak. Dia tetap pandangi air kedung di mana dua mayat Dewi Siluman dan Ratu Pemikat tampak masih terombang-ambing gelombang air yang bergolak karena tekanan masuknya tubuh Iblis Rangkap Jiwa.

Tiba-tiba sosok mayat Ratu Pemikat laksana disentak setan dan melesat deras ke arah Malaikat Penggali Kubur! Menduga sosok itu adalah Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur cepat pukulkan kedua tangannya lepas pukulan sakti Telaga Surya'. Namun pemuda murid Bayu Bajra ini terkesiap tatkala mengetahui siapa adanya sosok yang kini tengah melayang ke arahnya. Tapi kesadarannya telah terlambat karena dia telah lepaskan pukulan. Dan saat itulah dari bawah melesatnya sosok Ratu Pemikat, dua tangan Iblis Rangkap Jiwa berkelebat lepaskan pukulan!

Malaikat Penggali Kubur memang masih sempat usapkan tangannya pada perut. Tapi dia tak bisa hindarkan diri dari gelombang yang datang dari sentakan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Hingga bersamaan dengan menderunya suara pelan, sosok Malaikat Penggali Kubur tersapu dan jatuh terduduk dengan mulut tambah kucurkan darah.

Di atas kedung, sosok Ratu Pemikat yang telah tak bernyawa mental balik lalu menghantam bibir kedung di seberang hingga longsor sebelum akhirnya jatuh kembali ke dalam kedung dengan kulit hangus! Baru saja sosok mayat Ratu Pemikat ambyar lagi ke dalam kedung, hantaman yang keluar dari kitab Malaikat Penggali Kubur telah sampai.

Byuurr! Byuurr! Byuurr!

Air kedung muncrat sampai beberapa tombak ke udara. Bibir kedung di sebelah kiri kanan tampak ambrol. Sosok mayat Ratu Pemikat dan Dewi Siluman tampak terlempar keluar kedung lalu terhampar di pasir di bagian seberang!

Dengan kemarahan menggelora, Malaikat Penggali Kubur melompat lagi ke bibir kedung. Namun baru saja kakinya menginjak pasir, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah melesat keluar dari dalam air kedung. Kedua tangannya langsung lakukan pukulan ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Wuuttt! Wuuttt!

Karena percuma menghantam lawan dengan sapuan gelombang tidak terlihat sebab lawan berada terlalu dekat, sementara dia harus selamatkan kepalanya dari hantaman tangan Iblis Rangkap Jiwa, mau tak mau Malaikat Penggali Kubur harus memangkas pukulan lawan dengan angkat kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Malaikat Penggali Kubur terjajar dua langkah dengan lutut goyah. Iblis Rangkap Jiwa surutkan langkah tiga tindak. Terhuyung-huyung sejenak namun cepat dapat tegak kembali. Dari kepala dan pakaian yang dikenakannya mengucur air deras. Meski dari mulutnya telah alirkan darah, namun jelas wajahnya tidak tunjukkan rasa kesakitan atau ketakutan! Malah seraya angkat tangan kanan kirinya mengusap air serta darah di mulutnya, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak!

"Setan alas! Manusia ini benar-benar luar biasa! Dia harus segera kuhabisi! Jika tidak tenagaku akan terus terkuras, sementara di sana masih banyak yang menunggu! Sedapat mungkin aku harus menjaga jarak. Dengan begitu aku bisa lepaskan pukulan tanpa keluarkan tenaga!" Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur langsung balikkan tubuh lalu berkelebat untuk menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.

"Kau akan lari ke mana, Bangsat?! Apa kau kira dengan Kitab Hitam di tanganmu langkahmu akan jadi lebar?!"

Iblis Rangkap Jiwa cepat berkelebat mengejar. Malaikat Penggali Kubur cepat balikkan tubuh sambil usapkan tangannya pada perut. Lagi-lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu dan terjengkang di atas pasir, namun saat lain dia telah bangkit kembali.

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Meski dia kebal pukulan, dia tak akan kuat bertahan terus-terusan!" Malaikat Penggali Kubur kembali usapkan tangannya pada perut.

Untuk kesekian kalinya sosok Iblis Rangkap Jiwa terkapar di atas pasir dengan mulut makin banyak kucurkan darah. Malaikat Penggali Kubur melompat namun tetap dengan menjaga jarak. Dia menunggu sampai Iblis Rangkap Jiwa bangkit.

Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa mulai sadar. "Jahanam! Dia akan terus menghantamku kalau kuberi jarak. Dan aku rasanya tidak akan tahan terus-terusan dihantam!" Iblis Rangkap Jiwa lirikkan matanya ke bawah. Malaikat Penggali Kubur terlihat tegak dan tangannya siap di atas perut.

"Hai, pantatmu mengapa kau buka?!" Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung terdengar suara teriakan seorang perempuan.

Suara teriakan yang ternyata diperdengarkan Putri Sableng membuat Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Dadanya berdebar. Dia lupa kalau Malaikat Penggali Kubur tengah menunggu dia bangkit. Hingga tanpa sadar, Iblis Rangkap Jiwa segera angkat tubuhnya. Belum sampai benar-benar bangkit, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah dilanda sapuan gelombang tak terlihat.

Sosok Iblis Rangkap Jiwa terpelanting dan menghantam salah satu batu di kawasan sebelah kanan kedung tidak jauh dari batu yang menjulang. Malaikat Penggali Kubur kali ini berkelebat agak mendekat. Namun dia bukannya segera usapkan tangan pada perutnya, namun mengangkat sebuah batu besar. Kejap lain sosoknya yang telah mengangkat batu berkelebat ke arah Iblis Rangkap Jiwa yang masih terkapar. Dari jarak tiga langkah, batu besar dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi.

Prakkk!

Batu besar tepat menghantam muka Iblis Rangkap Jiwa. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya! Karena wajah laki-laki berkepala gundul ini hampir tidak tertutup daging, maka tampak jelas jika tulang kening dan rahangnya patah melesak!

Malaikat Penggali Kubur tidak sia-siakan kesempatan. Dia sekali lagi berkelebat. Lalu menyergap dengan lakukan totokan. Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan seruan tertahan. Dia sebenarnya masih menangkap kelebatan orang dan angkat kedua tangannya. Tapi gerakannya kalah cepat dengan sergapan Malaikat Penggali Kubur. Hingga totokan si pemuda bersarang telak di kedua bahunya dan menghentikan gerakan tangan Iblis Rangkap Jiwa.

"Jahanam! Apa kau kira dapat membunuhku dengan cara ini, hah?!" teriak Iblis Rangkap Jiwa gusar.

"Aku tahu bagaimana cara mencabut nyawamu! Tapi untukmu nanti akan kupilihkan cara yang lebih enak! Tunggulah! Aku masih punya urusan lain!"

Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh lalu pandangi murid Pendeta Sinting, Putri Sableng serta kedua laki-laki berwajah hitam.

***

SEMBILAN

DI LAIN pihak, murid Pendeta Sinting yang telah tegak bukannya memandang pada Malaikat Penggali Kubur, tapi memandang lekat-lekat pada kedua orang berwajah hitam. "Hem... Aku yakin sekarang siapa mereka sebenarnya..." Tanpa pedulikan pada tatapan Malaikat Penggali Kubur, Joko melangkah hendak mendekati kedua orang berwajah hitam.

"Sontoloyo! Mau apa kau?!" mendadak yang bertelanjang dada dan kalungkan celana hitam pada lehernya yakni Raden Mas Antar Bumi membentak.

"Rupanya si sontoloyo muridmu itu telah tahu. Hik Hik Hik...! Ternyata dandanan kita kurang mahir! Tapi menurutmu, apakah nenek cantik bekas pacarmu itu juga sudah tahu?!" bisik Raden Mas Antar Langit. Meski ucapan orang ini telah selesai, tapi orang ini terus buka lebar-lebar mulutnya yang bergigi ompong.

"Sialan! Jangan bicara terlalu keras!" bisik Raden Mas Antar Bumi dengan nada keras.

"Hem.. Aku tahu apa yang ada di balik benakmu! Kau nanti pura-pura menanam budi pada nenek itu. Biar nanti hatinya luruh dan jatuh cinta padamu lagi! Begitu bukan...?! Laki-laki di mana-mana memang suka memuslihati perempuan! Tololnya si namanya perempuan. Dia akan percaya kalau dimuslihati laki-laki dan tidak percaya kalau dikasih keterangan jujur! Hik Hik Hik...!"

"Sialan! Tutup mulutmu dulu! Di sini bukan tempatnya berhik Hik Hik...!"

Melihat orang tertawa-tawa, Malaikat Penggali Kubur kepalkan kedua tangannya. Tapi kejap Iain kedua tangannya dibuka kembali dan kini diangkat ke depan perutnya.

"Terlalu berisiko kalau aku menghantam hanya pada satu orang! Mereka pasti akan ramai-ramai membendung! Hem..." Malaikat Penggali Kubur melirik.

Di lain pihak, sebenarnya Joko juga sedang berpikir. "Kitab ditangannya punya kekuatan luar biasa! Pukulan 'Serat Biru' dan 'Sundrik Cakra' belum mampu membuatnya roboh tak berkutik! Tapi... Pasti segala sesuatu ada kelemahannya! Yang jadi pertanyaan, di mana letak kelemahan kitab itu...?! Bisa saja aku mengajaknya bertarung jarak dekat, tapi sekali dia punya kesempatan, aku akan celaka sendiri. Namun apa boleh buat. Kukira hanya itu satu-satunya jalan. Dia tidak diberi kesempatan untuk mengusap kitab di balik pakaiannya..."

Akhirnya Joko memutuskan. Dia melirik sekilas pada Malaikat Penggali Kubur. Kejap lain tiba-tiba Joko tepuk keningnya sendiri. "Bodoh!Dia boleh punya kitab luar biasa sakti! Tapi kalau dia tidak bisa melihat di mana lawan, kitab sakti tidak akan ada gunanya! Ah... Berarti senjata utamanya bukan pada kitab itu! Tapi pada matanya!"

Berpikir sampai ke sana tiba-tiba Joko berkelebat ke samping kanan dengan kedua tangan terangkat seolah hendak lepaskan pukulan. Malaikat Penggali Kubur segera putar tubuh. Menduga Joko lepaskan pukulan, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur segera mengusap perutnya. Namun sebelum deruan terdengar, Joko sudah berkelebat ke samping kiri. 

Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping kiri sambil usap perutnya. Joko kembali telah berkelebat sebelum suara deruan terdengar Dia sengaja berkelebat berputar. Dengan begitu dia akan terhindar dari deruan dan gelombang tak terlihat yang telah menghajar. Melihat gerakan-gerakan Joko, kedua orang berwajah hitam saling pandang.

"Sontoloyo! Mengapa dia berputar-putar mirip anak mainan saja?!" bisik Raden Mas Antar Bumi.

"Ah... Ternyata kita bukan hanya kurang mahir dandan! Tapi juga kurang panjang akal! Kita ikuti saja gerakannya!" bisik Raden Mas Antar Langit.

"Gila! Apa kita harus ikut-ikutan anak ingusan itu berputar-putar tak karuan? Kita hantam saja ramai-ramai!"

"Sontoloyo!" bisik Raden Mas Antar Langit. "Jangan tanya jawab di sini! Tapi dengar, meski dia ingusan, namun dia lebih panjang akal daripada kita!"

"Sialan! Bagaimana bisa begitu, hah?!"

"Sudah kubilang, jangan tanya jawab disini! Sekarang aku akan ikut mainan putar-putar itu! Kalau kau tidak, kau akan menyesal sendiri!"

Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit segera berkelebat dan tahu-tahu telah berada di belakang Joko yang terus berkelebat memutar namun sedikit demi sedikit mempersempit jarak dengan Malaikat Penggali Kubur.

"Kek..."

"Jangan bicara Kak, Kek! Ayo terus berputar! Aku tahu apa yang kau rencanakan! Tapi jangan lengah!" bentak Raden Mas Antar Langit. Orang ini lantas pegangi pinggang Joko dari belakang dengan kepala merunduk dan ikut berkelebat ke mana Joko bergerak.

"Ah... Aku tahu sekarang! Sontoloyo itu benar!" ujar Raden Mas Antar Bumi pada akhirnya setelah agak lama berpikir. Orang ini lantas berkelebat. Dan tahu-tahu telah tegak di belakang Malaikat Penggali Kubur. Saat bersamaan, dari arah seberang tiba-tiba Putri Sableng berkelebat sambil berteriak.

"Aku ikut mainan!"

Raden Mas Antar Bumi hendak mencegah, namun terlambat. Putri Sableng telah tegak di belakangnya lalu seperti Raden Mas Antar Langit, gadis cantik berjubah merah ini pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi.

"Kita harus terus berada di belakangnya! Biar mereka berdua yang memancing dari arah depan!" bisik Putri Sableng.

"Ah... Bagaimana ini?!" gumam Raden Mas Antar Bumi dalam hati. Hatinya gelisah. "Ini alamat urusan dengan nenek itu akan tambah tak karuan!" dia melirik pada Ni Luh Padmi yang masih duduk bersandar pada lamping batu cadas putih dengan mata terus memperhatikan apa yang terjadi.

"Hai... Bergerak! Awas serangan!" teriak Putri Sableng sambil menarik pinggang Raden Mas Antar Bumi.

Buru-buru Raden Mas Antar Bumi berkelebat karena saat itu tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh dan mengusap perutnya.

"Sialan! Apa yang kau pikirkan?!" gerutu Putri Sableng. "Terlambat sedikit, kita akan mampus!"

"Mampus ya mampus! Tapi jangan kau pegang terus pinggangku!" Raden Mas Antar Bumi balas membentak.

"Sialan! Kau takut nenek itu cemburu?! Aku jadi ingin tahu bagaimana kalau nenek-nenek cemburu! Hik Hik Hik...!" Putri Sableng kini bukan lagi pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi, sebaliknya gadis berjubah merah ini rangkulkan kedua tangannya erat-erat pada pinggang Raden Mas Antar Bumi!

Raden Mas Antar Bumi menyumpah-nyumpah. Namun dia tak bisa berbuat banyak, karena Malaikat Penggali Kubur kini memutar-mutar tubuhnya seraya terus menerus mengusap kitab di balik pakaiannya. Hingga mau tak mau Raden Mas Antar Bumi harus mengikuti gerakan Malaikat Penggali Kubur, karena sedikit lengah, gelombang tak terlihat akan menghantamnya.

Di bawah siraman cahaya purnama, kini tampak orang terus berputar-putar disertai suara menderu-deru yang keluar dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Sementara itu pasir dan batu-batu tampak bertabur dan berpelantingan lalu pecah karena tersapu dan terhantam gelombang tak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Kedung Ombo bergetar terus menerus laksana dihantam gelombang saling susul menyusul. Air kedung bergolak liar dan muncrat ke sana kemari.

Ni Luh Padmi terdengar memaki-maki karena sekujur tubuhnya hampir tidak tampak lagi tertutup hamburan pasir. Sementara tubuhnya terus-menerus disentak-sentak menghantam lamping batu di belakangnya. Malah di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah terbang sejauh sepuluh tombak!

Malaikat Penggali Kubur sendiri mulai tampak jerih. Dia bingung. Di satu pihak dia harus waspada pada murid Pendeta Sinting dan Raden Mas Antar Langit yang berada di depannya dan terus mempersempit jarak. Sementara di lain sisi, dia harus perhatikan Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang berada menguntit dibelakangnya. Dan pemuda murid Bayu Bajra ini makin gelisah tatkala Putri Sableng mulai usil taburkan pasir ke arahnya!

"Keparat! Aku harus menghentikan salah satu dari mereka!" putus Malaikat Penggali Kubur pada akhirnya. Lalu dia melirik sambil terus berputar. Pada satu saat tiba-tiba dia balik arah putarannya.

Joko dan Raden Mas Antar Langit terkesiap. Namun dia cepat bisa atur kelebatannya kembali. Namun tidak demikian halnya dengan Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng. Kedua orang ini terlambat atur kelebatannya. Hingga saat Malaikat Penggali Kubur balik arah putarannya, kedua orang ini terus. Mau tak mau keduanya tepat berada dihadapan Malaikat Penggali Kubur. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur usap kitab di balik pakaiannya.

Walau Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng sempat lepaskan pukulan, namun saat yang sama tubuh keduanya sudah terpelanting lalu terseret menyusur hamparan pasir sampai lima tombak dengan masing-masing orang terkapar. Dari mulut mereka berdua tampak alirkan darah. Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur yang sekejap tadi arahkan tubuhnya pada Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng tak disia-siakan Joko.

Murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah kepala. Raden Mas Antar Langit tak tinggal diam. Dia pun cepat rebahkan diri sejajar pasir lalu menyusur ke depan. Kedua tangannya bergerak menggaet kaki Malaikat Penggali Kubur. Sergapan Joko dan Raden Mas Antar Langit membuat Malaikat Penggali Kubur tidak punya kesempatan lagi untuk mengusap kitabnya karena dia harus cepat lindungi kepala serta kakinya.

"Pengecut busuk! Kalian ternyata manusia-manusia yang hanya berani main keroyok!" bentak Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kedua tangannya menghadang pukulan murid Pendeta Sinting. Saat yang sama, kaki kanannya terangkat lalu menyapu ke arah Raden Mas Antar Langit.

"Bukan maksud hati mengeroyokmu, kami hanya menghindar untuk tidak jadi korbanmu!" kata Raden Mas Antar Langit. Tangan kanan orang ini diangkat lindungi diri dari sapuan kaki Malaikat Penggali Kubur. Sementara tangan satunya terus menjulur.

"Betul! Aku hanya ingin kitab yang ada padamu! Tidak inginkan nyawamu!" sahut Joko seraya teruskan kelebatan kedua tangannya. "Tapi kalau kau keras kepala, aku juga tak segan bertindak kasar untuk hentikan perbuatanmu!"

Bukkk! Bukkk! Bukkk!

Terdengar tiga kali benturan keras. Sosok murid Pendeta Sinting terjajar dua tindak. Sementara tangan kanan Raden Mas Antar Langit terpental lalu menghantam pasir dengan tubuh terguling. Namun tangan kirinya masih sempat menggaet kaki kiri Malaikat Penggali Kubur hingga mau tak mau pemuda murid Bayu Bajra ini terhuyung ke depan.

"Bangsat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Kaki kanannya yang baru saja bentrok dengan tangan kanan Raden Mas Antar Langit kembali disapukan ke arah tubuh orang di bawahnya.

Namun gerakan tangan kiri Raden Mas Antar Langit yang menggaet kaki kirinya lebih cepat, hingga bukan saja tendangannya melenceng ke atas, namun tubuhnya tertarik deras ke belakang lalu jatuh terduduk!

Dalam puncak kemarahannya, Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya begitu pantatnya menghantam pasir. Karena tangan kanannya masih berada di belakang sementara tangan kiri memegang kaki kiri Malaikat Penggali Kubur, Raden Mas Antar Langit tak mampu lagi menghadang pukulan yang menghajarnya.

Bukkk! Bukkk!

Pegangan tangan kiri Raden Mas Antar Langit pada kaki kiri Malaikat Penggali Kubur terlepas. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dan terkapar. Dari mulutnya mengalir darah.

Karena sadar di sampingnya masih ada orang, begitu sentakkan tangan, Malaikat Penggali Kubur putar tubuh ke samping. Tangan kanan menyentak ke depan, tangan kiri usap kitab di balik pakaiannya.

Pendekar 131 tersentak. Karena jaraknya terlalu dekat maka tidak ada kesempatan baginya untuk menghadang pukulan dahsyat Malaikat Penggali Kubur. Apalagi Malaikat Penggali Kubur sekaligus lepaskan pukulan 'Telaga Surya' serta usapan pada kitabnya! Dalam keadaan terjepit begitu rupa, murid Pendeta Sinting berlaku nekat. Dengan satu sentakan, sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat ke depan bukan untuk lepaskan pukulan, namun langsung ke arah sepasang mata Malaikat Penggali Kubur!

Malaikat Penggali Kubur terlengak. Dia tidak menduga sama sekali kalau lawan berani merangsek maju. Dia sejurus berpikir. Teruskan pukulan dan usapan pada perutnya atau angkat kedua tangannya memangkas kedua tangan lawan yang kini berada sejengkal di depan matanya. Entah karena menduga lawan tidak akan mampu Lindungi diri dari kedua pukulannya yang hendak dilepas, akhirnya Malaikat Penggali Kubur teruskan pukulan serta usapan pada perutnya.

Wuuss! Weeerr! Bless! Blesss!

Dari mulut murid Pendeta Sinting dan Malaikat Penggali Kubur terdengar seruan keras. Sosok Pendekar 131 mencelat dan terbanting-banting di udara sebelum akhirnya jatuh telentang di atas pasir dengan pakaian hangus dan mulut serta hidung keluarkan darah!

Pedang Tumpul 131 jatuh dari balik pakaiannya dan keluar dari sarungnya. Sosok tubuhnya bergetar keras. Wajah dan sekujur tubuhnya merah membara laksana dipanggang. Mulutnya yang berdarah tampak membuka namun tidak perdengarkan suara. Dadanya bergerak turun naik tak karuan. Sepasang matanya membelalak besar.

Sejenak murid Pendeta Sinting coba bergerak hendak bangkit. Namun dia urungkan karena begitu dia hendak bangun, darah segar menyembur dari mulutnya. Jelas kalau dia terluka cukup parah. Hingga Joko coba himpun tenaga dengan telentang.

Di seberang depan, begitu pukulan 'Telaga Surya' dan gelombang yang keluar tak terlihat dari balik pakaiannya menyambar murid Pendeta Sinting, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur terangkat mendekap sepasang matanya yang tiba-tiba terasa panas dan kabur. Ketika mendapati ada aliran hangat dan berbau di kedua tangannya yang mendekap mata, Malaikat Penggali Kubur menggembor seakan hendak merobek langit. Dia serentak bergerak bangkit. Seolah tidak sadar apa yang terjadi pada dirinya, dia buka tangannya dan akan melihat di mana lawan berada.

"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mataku kabur tak bisa melihat!" Masih menduga itu karena tertutup darah, Malaikat Penggali Kubur usap-usap sepasang matanya lalu memandang ke depan meski dia sudah merasakan bukan alang kepalang pada sepasang matanya. Ketika menyadari kalau pandangannya kabur, Malaikat Penggali Kubur hentakkan kaki kanan kirinya.

"Mataku...! Mataku kabur!"

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan tubuh bergetar keras. Urat-urat pada sekujur tubuhnya tampak menggurat jelas. Rambutnya yang lebat tampak seolah berdiri. "Pendekar 131! Kau telah membuat mataku kabur! Kini matamu harus kucongkel sebagai imbalannya sebelum nyawamu kulepas!" teriak Malaikat Penggali Kubur dengan kepala mendongak dan kedua tangan mengepal di atas udara. "Bulan purnama akan jadi saksi bagaimana satu persatu mata kalian semua yang ada di sini akan kucongkel sebelum darah kalian semua kulebur di air Kedung Ombo!"

Malaikat Penggali Kubur luruskan wajahnya. Dengan susah payah dia akhirnya dapat melihat di mana murid Pendeta Sinting meski hal itu lebih banyak didasarkan pada firasat dan perhitungan arah. Begitu merasa hampir yakin, Malaikat Penggali Kubur melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dua langkah di samping murid Pendeta Sinting yang telentang. Sejurus Malaikat Penggali Kubur memperhatikan sebab pandangannya samar-samar. Saat itulah kakinya mengantuk sesuatu. Kepalanya bergerak. Pandangannya yang samar-samar masih dapat menangkap kilatan benda di bawahnya.

Tanpa pikir panjang lagi Malaikat Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Tangan kanannya menyahut ke bawah. Lalu benda kuning berkilat itu didekatkan pada matanya yang masih alirkan darah. Tangan kirinya meraba.

"Pedang Tumpul 131!" desis Malaikat Penggali Kubur dengan seringai angker. Secepat kilat dia melompat. 

Pendekar 131 tersentak. Baru saja dia akan bangkit, satu kaki telah menghantam dadanya hingga tubuhnya telentang kembali. Memandang ke atas, darah murid Pendeta Sinting laksana sirap. Malaikat Penggali Kubur sudah tegak di atasnya dengan kaki kiri menginjak dadanya serta tangan kanan angkat Pedang Tumpul 131 tinggi ke udara!

Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang sudah bangkit terkesima. Keduanya hanya bisa tegak mematung tanpa ada yang buka mulut atau membuat gerakan. Tidak jauh di sampingnya Raden Mas Antar Langit belalakkan mata dengan mulut terbuka lebar-lebar! Di belakang sana Cucu Dewa dan Dewa Orok hanya saling pandang.

"Kita hantam bersama-sama!" ujar Raden Mas Antar Bumi berbisik, lalu memberi isyarat pada Raden Mas Antar Langit untuk mendekat. Raden Mas Antar Langit segera melangkah mendekat. Raden Mas Antar Bumi kembali katakan usulnya.

"Jarak kita terlalu jauh! Belum sampai pukulan kita sampai, Setan Jelek muridmu itu pasti sudah mampus!" sahut Putri Sableng.

"Betul!" timpal Raden Mas Antar Langit. "Apalagi kita sudah terluka! Sementara dia tinggal tusukkan pedang di tangannya!"

"Lalu apa kita cuma berdiri menyaksikan muridku mampus, hah?!" Raden Mas Antar Bumi membentak meski masih coba menahan suara.

"Hem... Rupanya kau masih sayang pada nyawa muridmu, Setan Jelek itu!" ujar Putri Sableng. Meski darah masih tampak pada mulutnya, gadis berjubah merah ini coba tertawa cekikikan.

"Sialan! Kau kira aku tega padanya meski dia sableng dan aku sinting, hah?! Kalau kalian tak setuju, menyingkirlah! Aku akan menghantamnya sendiri!"

Tanpa menunggu sahutan dari Putri Sableng atau Raden Mas Antar Langit, kedua tangan Raden Mas Antar Bumi sudah terangkat. Tangannya yang bergetar tampak berubah warna menjadi kekuningan. Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kanan yang menggenggam Pedang Tumpul 131 ke bawah. Sejengkal lagi ujung pedang yang tumpul berada di atas wajah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan tangannya. Tanpa berpaling mulutnya angkat bicara.

"Senjata ini akan lebih dahulu mencabut nyawa keparat ini! Jadi jangan berani bertindak bodoh! Jangan ada yang coba membuat gerakan! Tetap di tempat kalian masing-masing!"

Raden Mas Antar Bumi gantungkan kedua tangannya di atas kepala mendengar ancaman Malai- kat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur palingkan kepala menghadap Putri Sableng, Raden Mas Antar Bumi, dan Raden Mas Antar Langit. Mulutnya menyeringai angker.

"Kalian akan menyusul satu persatu! Sekarang kalian kuperintahkan untuk menunggu dan melangkah mundur!" teriak Malaikat Penggali Kubur.

Ketiga orang yang diperintah sama saling pandang. Belum ada yang buka mulut, dari arah depan, terdengar lagi teriakan Malaikat Penggali Kubur.

"Lihat!" Malaikat Penggali Kubur gerakkan lagi ujung pedang pada mata murid Pendeta Sinting yang hanya diam, karena selain dadanya diinjak, tangan kirinya juga ditindih kaki kiri Malaikat Penggali Kubur. Tangan kanannya memang masih leluasa bergerak. Tapi secepat apa pun gerakan tangan kanannya, tak bisa lagi menghadang jika pedang itu menghantam! Ketika samar-samar dan diyakininya ketiga orang di depan sana memandang ke arahnya, Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapan.

"Kuperintahkan kalian mundur! Mundur! Mundur!"

Ujung Pedang Tumpul sudah menempel pada mata kiri murid Pendeta Sinting, hingga Joko cepat pejamkan matanya. Kuduknya meremang. Sementara di seberang sana perlahan-lahan ketiga orang yang dibentak gerakkan kaki mundur. Malaikat Penggali Kubur terus hadapkan wajahnya ke arah tiga orang yang surutkan kaki mundur.

"Bagus! Sekarang berbalik! Cepat! Jika tidak, mata kiri keparat ini sudah kukeluarkan!"

Dengan saling pandang dan menggumam tak jelas akhirnya ketiga orang itu turuti bentakan perintah Malaikat Penggali Kubur.

"Celaka! Celaka! Seharusnya kita tadi langsung saja menghantam ramai-ramai! Bagaimanapun juga dia akan laksanakan ancamannya!" gumam Raden Mas Antar Bumi dengan tubuh menggigil. Malah kini dia ambil celana hitam yang masih mengalung di lehernya dan dicampakkan saja di atas pasir.

Putri Sableng dan Raden Mas Antar Langit tidak ada yang buka mulut menyahut. Tubuh mereka bergetar bahkan lutut Raden Mas Antar Langit tampak goyah dan hampir saja dia limbung kalau tidak segera ditahan tangan Putri Sableng.

"Rupanya kali ini kita tak bakal bisa selamatkan nyawa Anak Sableng itu..." gumam Raden Mas Antar Langit lalu buka mulutnya lebar-lebar.

Setelah menghitung jarak dan percaya mereka tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya dia masih bisa selamatkan diri dan sekaligus cabut nyawa Pendekar 131 jika sewaktu-waktu orang menyerangnya, Malaikat Penggali Kubur hadapkan wajahnya pada Pendekar 131 yang terinjak di bawahnya. Tampangnya ganas apalagi dari sepasang matanya terus kucurkan darah.

"Sepasang matamu akan kucabut dahulu, Pendekar Keparat! Biar kau tahu bagaimana rasanya orang tak bermata!"

Malaikat Penggali Kubur berteriak sambil arahkan ujung pedang pada mata kiri kanan murid Pendeta Sinting. Joko diam-diam kerahkan tenaga dalam. Namun Malaikat Penggali Kubur segera keraskan injakannya.

"Kau teruskan salurkan tenaga dalam, anggota tubuhmu akan kuputus satu persatu!"

Malaikat Penggali Kubur rupanya dapat menangkap apa yang dilakukan Joko begitu merasa kakinya yang menginjak terasa hangat dan bergetar pertanda orang di bawahnya tengah himpun tenagadalam. Murid Pendeta Sinting mau tak mau tidak lanjutkan himpun tenaga dalam. Namun dia masih berpikir keras. Tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sabetkan ujung pedang pada dada, lalu berhenti pada perut murid Pendeta Sinting.

Brettt!

Murid Pendeta Sinting berseru. Nyawanya laksana melayang. Ketiga orang di depan sana sama menggigil dan tak berani berpaling tak tega melihat. Namun Joko bernapas agak lega merasakan kalau cuma pakaiannya yang robek menganga di bagian perut. Malaikat Penggali Kubur putar-putar ujung pedang yang tumpul menyusuri perut Joko.

"Hem... Kedua kitab itu tidak dibawa! Tapi apa peduliku?! Kitab Hitam sudah terbukti tidak ada tandingannya!"

Meski membatin begitu, namun Malaikat Penggali Kubur masih juga ajukan tanya. "Katakan di mana kedua kitab itu!"

"Hem... Jadi kau masih inginkan kitab itu?!" Joko balik bertanya meski suaranya terdengar bergetar dan tersendat.

"Tanganku menggenggam nyawamu! Jangan berani balik bertanya!" sentak Malaikat Penggali Kubur. Kembali ujung pedang diarahkan pada mata kiri murid Pendeta Sinting hingga buru-buru Joko katupkan kembali matanya yang sejenak tadi hendak membuka. Sementara mendengar ucapan Joko, ketiga orang di seberang sana sama menghela napas.

"Belum... Sontoloyo itu masih bernapas..." gumam Raden Mas Antar Bumi.

"Aku tak pernah bertanya ketiga kali!" ujar Malaikat Penggali Kubur. Lalu angkat ujung pedang sejengkal dari mata Joko. Dengan begitu dia lebih mendapat ruang.

"Kitab itu kusimpan di satu tempat! Aku bisa tunjukkan padamu..." Akhirnya Joko menjawab.

"Katakan di mana!"

"Aku tak bisa mengatakan, tapi aku mau mengantarmu ke tempat penyimpanan itu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Dalam urusan muslihat, kau harus belajar dariku, Jahanam! Ha Ha Ha...! Baik. Aku minta kau mengantarku. Tapi aku ingin lihat dahulu bagaimana bentuk bola matamu! Kukira kau masih ingat di mana tempat itu meski rongga kedua matamu tanpa mata!"

Malaikat Penggali Kubur angkat sejengkal lagi ujung pedang. Joko lamat-lamat buka kelopak matanya. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur hujamkan pedang di tangan kanannya tepat ke arah mata kiri murid Pendeta Sinting. Joko hanya bisa pejamkan matanya lagi. Tangan kanannya yang leluasa bergerak masih berkelebat. Namun tidak ada artinya karena hujaman pedang di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur lebih cepat!

Setengah jengkal lagi ujung Pedang Tumpul 131 menghujam pada mata kiri pemiliknya, tiba-tiba dari arah lamping batu cadas putih terlihat satu cahaya putih berkiblat. Saat bersamaan satu sosok bayangan putih melayang dari batu cadas putih. Cahaya putih sejenak mampu menahan gerakan pedang Malaikat Penggali Kubur meski masih tepat di atas mata kiri Joko. Belum lagi Malaikat Penggali Kubur gerakkan pedangnya, satu tendangan telah berkelebat. Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kirinya.

Bukkk!

Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya bergoyang-goyang tanpa bergerak dari tempatnya. Belum sampai Malaikat Penggali Kubur berpaling, kembali dari lamping batu cadas putih satu cahaya berkiblat. Saat yang sama dari arah sampingnya menderu gelombang dahsyat. Malaikat Penggali Kubur angkat tangannya yang memegang Pedang Tumpul 131 untuk menangkis cahaya. Sementara tangan kiri mengusap perutnya dengan hadapkan tubuh ke arah mana serangan gelombang datang.

***

SEPULUH

CAHAYA terang bulan purnama tampak berpijar di hamparan pasir Kedung Ombo ketika cahaya yang berkiblat dari sisi lamping batu cadas putih berbenturan dengan pedang berwarna kuning di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur. Lalu disusul dengan terdengarnya ledakan keras saat sapuan gelombang yang tidak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur memporak-porandakan gelombang yang datang menghajarnya dari sisi samping.

Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak bergetar keras lalu terpental ke belakang. Sepasang kakinya yang menginjak dada dan tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak terangkat lalu mundur beberapa langkah dengan sosok limbung. Dan tubuh Malaikat Penggali Kubur tampak terhuyung lalu mundur lagi tatkala suara ledakan terdengar.

Sejarak sepuluh tombak dari tempat Malaikat Penggali Kubur tampak terkapar satu sosok perempuan mengenakan baju putih panjang. Orang ini tidak bisa dikenali wajahnya karena mengenakan cadar putih. Melihat kesempatan, murid Pendeta Sinting cepat gulingkan tubuh. Lalu secepat kilat keduatangannya didorong dan disentakkan ke arah Malaikat Penggali Kubur yang masih coba kuasai diri. Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat serat-serat biru terang laksana benang, sedang dari tangan kanannya mencuat sinar kuning membawa suara gemuruh dahsyat.

Begitu lepaskan pukulan 'Serat Biru' dan 'Sundrik Cakra', Pendekar 131 cepat bergulingan kembali. Dia maklum bahwa Malaikat Penggali Kubur akan menghadang pukulannya. Dugaan Joko tidak meleset. Saat matanya samar-samar melihat sinar kuning dan serat-serat biru, Malaikat Penggali Kubur usapkan tangan kirinya meski tubuhnya terhuyung.

Blammm! Blammm!

Guncangan keras kembali melanda Kedung Ombo tatkala pukulan Pendekar 131 terhadang oleh deruan perlahan yang mencuat dari balik pakaian Malaikat Penggali Kubur. Karena Joko sudah gulingkan diri menghindar, maka dia selamat dari bias bentroknya pukulan. Dia tak tunggu lama. Begitu suara ledakan terdengar kedua tangannya segera menyentak kembali.

Malaikat Penggali Kubur tegak kebingungan. Pandangannya yang kabur serta hamburan pasir yang membubung membuatnya tidak tahu di mana lawan berada. Hingga begitu terdengar deruan dahsyat menuju ke arahnya, dia hanya putar tubuh mengikuti firasat. Lalu usap perutnya.

Kali ini firasat dan dugaan Malaikat Penggali Kubur meleset. Dia menghadap ke kanan sementara Joko berada di samping kirinya, hingga meski dari balik pakaiannya melesat sapuan dahsyat yang tidak terlihat, namun sapuan itu hanya melabrak tempat kosong, sementara serangan pukulan murid Pendeta Sinting tak ampun lagi menghantam tubuhnya!

Desss! Deesss!

Malaikat Penggali Kubur tersapu sampai beberapa tombak sebelum akhirnya terkapar dengan jubah hangus dan mulut serta hidung kucurkan darah! Pedang Tumpul 131 di tangannya lepas mencelat. Meski telah terluka dalam cukup parah, tapi Malaikat Penggali Kubur tidak mau menyerah begitu saja. Dia cepat himpun sisa tenaganya.

Di seberang sana, Pendekar 131 memandang sejenak pada perempuan berbaju dan bercadar putih yang masih terkapar di atas pasir. Lalu menoleh ke arah bagian samping lamping batu cadas putih.

"Kakek Gendeng Panuntun..." gumam Joko mengenali siapa adanya orang yang duduk di samping batu cadas putih dengan tubuh sedikit bergetar. Dia sebenarnya hendak beranjak ke arah perempuan bercadar putih yang terkapar, namun satu suara segera terdengar.

"Urusanmu belum selesai, Anak Muda..."

Tahu suara siapa yang baru terdengar, Joko cepat arahkan pandangannya pada sosok Malaikat Penggali Kubur yang masih terkapar diam. "Kitab Hitam... Kitab itu harus segera kuambil. Dia masih bisa lakukan tindakan berbahaya jika kitab itu masih berada di balik pakaiannya!"

Joko segera berkelebat ke arah Malaikat Penggali Kubur. Namun satu sosok tubuh mendahului gerakannya. Dan tahu-tahu di samping Malaikat Penggali Kubur telah tegak laki-laki berkepala gundul yang wajahnya hampir saja hancur. Di tangan kanan orang ini menggenggam Pedang Tumpul 131!

"Iblis Rangkap Jiwa!" seru murid Pendeta Sinting lalu hentikan kelebatannya sejarak sepuluh langkah dari orang di samping Malaikat Penggali Kubur yang tidak lain memang Iblis Rangkap Jiwa adanya.

Waktu tersapu pukulan tidak terlihat dari Malaikat Penggali Kubur saat si pemuda berputar-putar dikurung beberapa lawan, Iblis Rangkap Jiwa kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya untuk buyarkan totokan dahsyat yang disarangkan Malaikat Penggali Kubur. Dan akhirnya laki-laki berkepala gundul yang wajahnya sudah hancur karena terhantam batu besar yang dilempar Malaikat Penggali Kubur ini berhasil.

Saat itulah Pedang Tumpul 131 yang terlepas dari genggaman Malaikat Penggali Kubur jatuh tidak jauh dari tempatnya. Iblis Rangkap Jiwa segera menyambar lalu berkelebat ke arah terkaparnya Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Dia hendak gerakkan tangan usap perutnya. Namun Iblis Rangkap Jiwa cepat memangkas gerakan tangan Malaikat Penggali Kubur dengan sapuan kaki kanannya.

Dess!

Tangan Malaikat Penggali Kubur mental menghajar pasir di sampingnya. Namun tubuhnya yang ikut terputar segera terhenti tatkala kaki kiri Iblis Rangkap Jiwa menghadang. Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa sudah babatkan pedang pada bagian perut Malaikat Penggali Kubur.

Brettt!

Pakaian Malaikat Penggali Kubur yang sudah robek, tercabik menganga lebih besar lagi. Namun Kitab Hitam yang sudah terlihat jelas tidak juga jatuh karena kitab itu diikat begitu rupa. Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu lama. Tangan kirinya segera menyambar Kitab Hitam di atas perut Malaikat Penggali Kubur. Di bawahnya, Malaikat Penggali Kubur masih berusaha bertahan dengan kelebatan tangan kanan, namun gerakan tangannya segera tertahan tatkala serta-merta Iblis Rangkap Jiwa babatkan Pedang Tumpul pada tangan Malaikat Penggali Kubur.

Crasss!

Malaikat Penggali Kubur melolong tinggi. Tangan kanannya putus sebatas siku! Darah muncrat membasahi wajah dan pakaiannya yang telah hangus. Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakan tangan kirinya mengambil kitab. Satu jengkal lagi Kitab Hitam tersambar tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa, terdengar deruan menggemuruh dahsyat. Untuk kesekian kalinya kawasan Kedung Ombo disemburati warna kuning dan serat-serat biru terang.

Karena begitu bernafsu dan yakin dirinya tidak akan mengalami apa-apa lagi, Iblis Rangkap Jiwa tidak pedulikan pukulan yang kini datang menghajarnya. Laki-laki ini teruskan gerakan tangannya. Ketika jari-jari tangan Iblis Rangkap Jiwa menyentuh Kitab Hitam, dia rasakan satu gelombang luar biasa menggebrak. Lalu sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!

Iblis Rangkap Jiwa memaki sambil membeliakkan mata meneliti. Dia terlengak. Pada sekujur tubuhnya tampak serat-serat biru laksana mengikat tubuhnya. Sekuat tenaga dia berontak, serat-serat biru tetap tak bisa dibuyarkan. Malah tak lama kemudian sosoknya tersapu sampai satu tombak!

Memandang ke depan, tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa yang telah patah melesak bergerak-gerak. Sepasang matanya yang besar dan hampir-hampir tertutup kucuran darah mendelik angker. Di depan sana, hanya tiga langkah dari tempat terkaparnya Malaikat Penggali Kubur, murid Pendeta Sinting tampak tegak dengan kedua tangan diangkat siap lepaskan pukulan.

"Jangan berani sentuh kitab itu jika tak ingin kepalamu putus dengan pedangmu sendiri!" Iblis Rangkap Jiwa mengancam sambil diam-diam berusaha buyarkan serat-serat biru yang seakan membelenggu hingga sekujur tubuhnya laksana diikat.

"Aku tahu di mana kelemahanmu! Jadi jangan berani bicara mengancam! Aku tidak inginkan kitab itu untuk kumiliki!" Joko maju dua langkah lalu melirik pada Malaikat Penggali Kubur.

Tesss! Tesss!

Terdengar beberapa kali suara seperti tali putus, Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa telah maju sambil angkat pedang tinggi-tinggi keudara. Saat itulah tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur bangkit. Berpegang pada suara yang baru terdengar kakinya langsung bergerak menendang, tangan kirinya mengusap pada perut. Joko yang berada di sampingnya cepat putar tubuh sambil angkat kaki kanannya memangkas kaki kanan Malaikat Penggali Kubur.

Bukkk!

Sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah terluka luar dan dalam terhuyung-huyung dan limbung. Tapi dari perutnya masih terdengar suara deruan perlahan. Saat yang sama Iblis Rangkap Jiwa merangsek maju. Pedang di tangan kanannya dibabatkan.

Crasss!

Tangan kiri Malaikat Penggali Kubur terbabat dan langsung putus! Namun bersamaan dengan itu sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu gelombang tidak terlihat hingga tangannya yang terus bergerak hendak babatkan pedang ke arah murid Pendeta Sinting terpental.

Malaikat Penggali Kubur menggembor tinggi. Sosoknya langsung roboh. Murid Pendeta Sinting melompat. Tangan kiri kanannya segera berkelebat hendak menyahut Kitab Hitam yang ada di balik pakaian Malaikat Penggali Kubur dan kini tampak jelas.

"Harap jangan sentuh kitab itu!" Satu suara teguran bernada kalem terdengar.

Murid Pendeta Sinting rasakan hembusan angin di sampingnya. Kejap lain satu tangan telah memegang tangan kiri kanan Joko menahan gerakannya. Joko angkat kepalanya. Di hadapannya tampak seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih. Rambutnya panjang digeraikan. Jenggotnya panjang teratur rapi menjuntai sampai dada. Laki-laki ini sunggingkan senyum lalu ang- gukkan kepala.

"Siapa kau?! Harap tidak ikut campur urusan ini! Atau kau juga inginkan kitab itu?!" Joko buka mulut namun tidak coba tarik pulang kedua tangannya yang masih tertahan oleh pegangan kedua tangan si kakek.

"Maaf... Terpaksa aku harus ikut campur. Tapi jangan sangka aku menginginkan kitab itu!"

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Saat itulah beberapa sosok tubuh terlihat berkelebat dan tegak tidak jauh dari tempat Joko. Joko melirik. Ternyata mereka adalah Putri Sableng, Raden Mas Antar Langit, Cucu Dewa, serta Dewa Orok.

"Bayu Bajra!" Putri Sableng angkat bicara. "Malam ini kau tahu siapa sebenarnya muridmu! Jadi jangan memperpanjang urusan!"

Kakek berpakaian putih yang ternyata adalah Bayu Bajra dan bukan lain adalah guru Malaikat Penggali Kubur gerakkan kedua tangannya ke atas. Tangan Joko ikut terangkat. Masih dengan memegang tangan Joko, si kakek gelengkan kepala. Lalu berucap.

"Aku tidak memperpanjang urusan, sahabat- sahabat sekalian! Dan aku kini tahu siapa muridku! Tapi adalah tidak layak bagi diriku membiarkan seorang murid harus menanggung sengsara..."

"Hemmm... Baik! Sekarang apa maumu?! Kalau kau inginkan muridmu, lekas bawa dia pergi. Tapi tinggalkan dahulu kitabnya!" Putri Sableng yang tidak sabaran kembali buka suara.

Bayu Bajra kembali gelengkan kepala. "Aku inginkan muridku seutuhnya..."

"Maksudmu?!" tanya murid Pendeta Sinting.

"Aku tahu... Muridku datang ke sini dengan membawa kitab itu. Jadi dia pergi dari sini juga harus tanpa tinggalkan kitab itu!"

"Hem... Kau tahu apa yang dilakukan muridmu dengan kitab itu?!" tanya Joko. Kedua tangannya ditarik pulang.

Bayu Bajra anggukkan kepala. Lalu buru-buru berkata ketika dilihatnya Joko akan buka mulut lagi. "Pendekar 131... Muridku memang berjalan di luar garis yang pernah kukatakan. Namanya sudah menjadi sejarah hitam dalam dunia persilatan. Sekaligus dia telah mencoreng mukaku di mata kalangan orang-orang persilatan..."

Bayu Bajra berpaling sejenak pada Raden Mas Antar Langit dan Putri Sableng, lalu lanjutkan ucapannya. "Namun, apakah seorang yang sudah tersesat jalan, tertutup baginya jalan terang?! Apakah sebuah kesalahan tidak bisa ditebus?! Muridku memang berbuat kesalahan besar dan terjerumus dalam kesesatan yang teramat dalam. Walau itu tidak ku kehendaki, tapi setidaknya aku ikut bertanggung jawab! 

Untuk itulah aku menginginkan dia pergi dengan utuh. Aku ingin buktikan pada kalian, bahwa dengan masih membawa kitab itu, dia bisa berubah! Sebagai wakil dari muridku, aku minta maaf pada kalian semua..." Bayu Bajra bungkukkan tubuh menjura hormat. Lalu perlahan-lahan hendak mengangkat tubuh Malaikat Penggali Kubur.

Putri Sableng melompat dan tegak di samping Joko, "Aku tidak yakin kalau kau dapat merubah muridmu, Bayu Bajra! Kau hanya boleh pergi dengan muridmu tanpa kitab itu!"

"Hem... Gadis ini layaknya kenal betul dengan kakek itu. Sialan! Siapa sebenarnya gadis ini?! Aku makin jadi bingung dibuatnya!" Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.

"Bukti memerlukan waktu. Harap kau tidak mengambil keputusan sebelum berlalunya waktu! Kelak jika muridku melakukan hal yang di luar garis, aku akan serahkan diri sebagai tebusan!"

Sesaat hening. Bayu Bajra pandangi satu persatu pada semua orang di situ. Sementara yang dipandang sating pandang satu sama lain. Saat itulah tiba-tiba satu sosok berkelebat seraya keluarkan gemboran suara keras. Bersamaan itu menghampar gelombang hitam pekat disertai berkilat-kilatnya cahaya kekuningan.

"Menyingkir!" teriak Putri Sableng. Lalu melompat mundur. Saat yang sama semua orang juga melompat mundur dengan tangan masing-masing orang berkelebat.

Terdengar ledakan luar biasa dahsyat. Beberapa orang tampak bermentalan. Karena gelombang hitam dihadang beberapa pukulan, tak ampun lagi gelombang hitam langsung semburat. Namun hal ini membuat sosok Malaikat Penggali Kubur yang terkapar tersapu deras ke depan dan jatuh bergedebukan.

Begitu gelombang hitam buyar, tampak Joko jatuh terduduk. Putri Sableng dan Raden Mas Antar Langit berlutut di atas pasir. Cucu Dewa tergontai-gontai karena pegangi Dewa Orok yang tersentak-sentak. Hanya Bayu Bajra yang tetap tegak walau mundur beberapa langkah. Hal ini terjadi karena Joko, Putri Sableng, dan Raden Mas Antar Langit sudah terluka dalam.

Diseberang depan, tampak sosok Iblis Rangkap Jiwa yang masih pegang erat-erat Pedang Tumpul 131 tergolek diatas pasir. Lima langkah disebelah Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur mengerang terputus-putus. Namun semua orang tiba-tiba sama beliakkan mata. Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Mendadak salah satu kakinya bergerak menghantam batu di belakangnya. Batu itu langsung hancur.

Tapi bersamaan dengan itu sosoknya meluncur menyusur pasir dan berhenti tepat di samping sosok Malaikat Penggali Kubur. Meski sudah terluka teramat parah, namun Malaikat Penggali Kubur bisa menduga gerakan orang. Hingga sambil mengerang tinggi, kedua kakinya dilipat ke atas lalu bergulingan ke kanan menghadap sosok Iblis Rangkap Jiwa yang menyusur datang. Lututnya segera disentakkan pada kitab di perutnya. Terdengar deruan pelan.

Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Dalam keterkejutannya, dia putar diri di atas pasir hingga kakinya kini menghadap lurus ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dengan kerahkan segenap sisa-sisa tenaga dalamnya, kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa menghantam perut Malaikat Penggali Kubur di mana tersimpan kitab.

Dess! Desss!

Malaikat Penggali Kubur tak mampu lagi perdengarkan seruan. Sosoknya mencelat jauh ke udara lalu melayang-layang sebelum akhirnya menukik deras ke atas air kedung. Bersamaan itu karena kaki Iblis Rangkap Jiwa juga menghantam kitab di perut Malaikat Penggali Kubur, tak ampun lagi tiga deruan terdengar susul menyusul.

Saat lain tubuh Iblis Rangkap Jiwa sudah terlempar. Karena tadi Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki ke kitab dengan tenaga dalam, tak ampun lagi gelombang yang menghajarnya begitu dahsyat. Hingga Pedang Tumpul di tangannya terlepas. Sosoknya terlempar menghantam beberapa batu sampai porak-poranda sebelum akhirnya terhenti setelah tertahan batu besar.

Byuurrr!

Air Kedung Ombo bergolak untuk kesekian kalinya. Bayu Bajra sudah berkelebat mengejar, begitu pula Cucu Dewa dan Dewa Orok. Murid Pendeta Sinting berkelebat mengambil pedangnya. Lalu melompat ke arah pinggiran kedung. Putri Sableng dan Raden Mas Antar Langit menyusul di belakang. Begitu semua orang berada di pinggir kedung, suasana jadi sirap. Joko melirik ke samping kanan kiri. Saat lain dia telah melesat ceburkan diri ke dalam kedung.

Byuuur!

Air kedung kembali muncrat. Raden Mas Antar Langit terdengar bergumam karena wajahnya yang hitam bedakan arang jadi coreng moreng tak karuan terkena muncratan air. Di sebelahnya, Putri Sableng sudah cekikikan. Sementara di dalam kedung, begitu matanya menangkap sosok Malaikat Penggali Kubur yang hendak balik ke atas, Joko cepat menghadang. Tangan kiri kanannya bergerak ke arah perut Malaikat Penggali Kubur di mana terikat Kitab Hitam. Dengan sekali sentak, tali pengikat Kitab Hitam putus.

Namun baru saja tangan Joko memegang Kitab Hitam, dari arah dasar kedung terdengar suara dengungan dahsyat. Memandang ke bawah, murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Air di bawahnya tampak membentuk jalur gelombang lurus ke arahnya disertai cahaya terang!

Menangkap isyarat bahaya, Joko tak mau bertindak ayal. Dia segera kerahkan tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu disentakkan guna lepaskan pukulan 'Sundrik Cakra'.

Blummm!!!

Air Kedung Ombo bergolak liar. Masing-masing orang yang berada di luar kedung rasakan pijakannya bergetar keras. Sosok Malaikat Penggali Kubur melesat dari dalam air setinggi tiga tombak lalu menukik kembali ke dalam kedung. Bersamaan itu satu sosok tubuh berkelebat muncul dari dalam kedung dan tegak tergontai-gontai di pinggir kedung.

Orang ini ternyata seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya yang dipotong pendek hingga terlihat jabrik. Raut wajahnya penuh keriputan. Sepasang matanya terpuruk masuk ke dalam rongga yang dalam. Kumisnya panjang dan putih dibiarkan panjang sampai hampir menutupi janggutnya. Pada sepasang cuping hidungnya melingkar anting-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini mengenakan pakaian warna biru gelap. Anehnya, meski baru saja muncul dari dasar kedung, rambut dan pakaian si kakek tetap kering!

Kakek ini memandang pada satu persatu orang yang tegak di pinggir kedung. Seperti pada saat pertama kemunculannya di Kedung Ombo, si kakek hanya memandang tanpa buka mulut. Sesat kemudian si kakek arahkan pandangannya ke air kedung, lalu masih kancingkan mulut, dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Dari gerakan si kakek semua orang dapat menebak kalau dia terluka dalam. Karena begitu berkelebat, terdengar batuk-batuk beberapa kali. Ketika semua orang menoleh, si kakek yang sudah berada di depan sana tampak buka mulut sambil semburkan darah!

Joko sendiri tampak limbung, namun dia kuatkan diri dan segera mencari-cari, karena Kitab Hitam yang tadi sudah berada di tangannya terlepas begitu terjadi bentrok pukulan. Karena matanya tidak menangkap Kitab Hitam, sementara napasnya sudah megap-megap karena berada agak lama di dalam air, murid Pendeta Sinting segera melesat keluar dan duduk di bibir kedung. Saat itulah matanya menangkap hamburan kertas hitam yang porak-poranda di atas permukaan air kedung.

"Hem... Syukur! Kitab Hitam telah hancur!" gumamnya.

Sementara orang di sekitar kedung sama kancingkan mulut begitu melihat dari dasar kedung semburat serpihan-serpihan kertas hitam hancur dari Kitab Hitam. Beberapa saat berlalu. Putri Sableng tiba-tiba berpaling pada Raden Mas Antar Langit.

"Kitab Hitam sudah hancur. Dan..."

"Kitab Hitam memang sudah hancur, tapi angkara murka manusia-manusia hitam tidak akan terhenti dengan hancurnya Kitab Hitam," potong Raden Mas Antar Langit.

Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit melangkah ke arah Raden Mas Antar Bumi yang kini terlihat duduk berdampingan dengan Ni Luh Padmi di kawasan berbatu di sebelah kanan kedung. Tidak jauh dari kedua orang ini, tampak berdiri Gendeng Panuntun dan perempuan bercadar putih. Begitu baru saja Raden Mas Antar Langit melangkah, tiba-tiba satu sosok berkelebat lalu meluncur deras masuk ke air kedung.

Byuurrr!

"Apa yang akan dilakukan pemuda itu?!" gumam Bayu Bajra.

Yang mencebur ternyata Dewa Orok. Pemuda bertangan buntung ini tampak gerak-gerakkan kakinya ke sosok Malaikat Penggali Kubur. Tak lama kemudian sosoknya telah melesat kembali lalu tegak disamping Bayu Bajra.

"Kek... Aku hanya mengambil barang ini!" Dewa Orok dongakkan kepala. Lalu mulutnya mengembung dan meniup. Tatkala mulutnya dibuka nampak mencuat bundaran karet mirip dot bayi yang melayang-layang di udara sebelum akhirnya melesat dan menempel di mulutnya. Terdengar suara duutt! Duuutt! Duutt! Beberapa kali.

Bayu Bajra memandang sayu tanpa buka mulut. Saat lain orang tua ini melesat ke atas air kedung. Tangan kiri kanannya bergerak. ketika dia kembali injakkan kaki dihamparan pasir di bibir kedung, pada kedua tangannya telah menelentang sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah tidak bernyawa lagi. Masih dengan kancingkan mulut dan tidak memandang pada semua orang yang berada di situ, Bayu Bajra melangkah perlahan-lahan tinggalkan Kedung Ombo. Saat itu lintasan langit sebelah timur sudah nampak merah kekuningan.

Murid Pendeta Sinting pandangi kepergian Bayu Bajra dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia bergerak bangkit lalu arahkan pandangan pada tempat di mana tadi laki-laki berkepala gundul itu berada. Namun meski telah nyalangkan mata, dia tidak melihat lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa.

"Dia sudah pergi... mungkin takut melihat pantatmu dan pantat temanmu ini!"

Yang buka suara ternyata Cucu Dewa. Laki-laki bertubuh pendek ini arahkan pandangannya pada Putri Sableng yang berpaling dengan mata mendelik. Sebelum Putri Sableng buka mulut, Cucu Dewa lambaikan tangan pada muridnya Dewa Orok.

"Dot mu telah kau dapatkan kembali! Kita ditunggu seseorang!"

"Siapa...?!" tanya Dewa Orok.

"Kau lupa dengan Bidadari Cadar Putih...?! Dia berada di sana bersama kakek buta itu..."

Cucu Dewa arahkan telunjuk jarinya pada kawasan berbatu sebelah kanan kedung. Tanpa tunggu sahutan Cucu Dewa berkelebat. Dewa Orok langsung menyusul.

Joko arahkan pandangannya sejurus pada kawasan sebelah kanan kedung. "Bidadari Cadar Putih. Hem... Aku harus mengucapkan terima kasih padanya! Tapi... Siapa dia sebenarnya? Kedatangannya hampir bersamaan dengan Kakek Gendeng Panuntun. Dan kulihat mereka akrab sekali. Jangan-jangan..."

Joko hendak berkelebat namun diurungkan tatkala tiba-tiba Putri Sableng yang masih tegak tidak jauh dari tempatnya mengeluh tinggi lalu limbung. Murid Pendeta Sinting buru-buru melompat lalu menahan tubuh Putri Sableng.

"Bagaimana bisa begini?! Baru saja dia membentak-bentak. Sekarang. Hem... Mungkin dia masih terluka dalam. Aku pun sebenarnya merasakan sekujur tubuh seperti mau tanggal..."

"Jangan bicara dahulu..." gumam Joko ketika dilihatnya Putri Sableng hendak buka mulut. "Kau mungkin masih terluka dalam. Aku akan memapahmu!"

Joko lingkarkan tangan kanan pada pinggang Putri Sableng lalu ambil tangan si gadis dan diletakkan pada tengkuknya. Sebenarnya Joko hendak ajukan tanya selagi mereka berdua melangkah ke arah kawasan berbatu sebelah kanan kedung di mana semua orang berkumpul. Tapi niatnya diurungkan ketika dilihatnya Putri Sableng pejamkan mata.

"Gadis cantik... Ilmunya juga sangat tinggi. Pengetahuannya tentang orang-orang persilatan juga banyak! Hem..."

Begitu Joko dan Putri Sableng berada di kawasan berbatu sebelah kanan kedung. Tiba-tiba Raden Mas Antar Langit perdengarkan tawa bergelak. Disusul kemudian oleh Raden Mas Antar Bumi. Gendeng Panuntun tersenyum-senyum. Dewa Orok dan Cucu Dewa saling pandang tak mengerti. Ni Luh Padmi mendelik. Hanya perempuan bercadar putih yang tampak alihkan pandangan dengan menarik napas dalam. 

"Sitoresmi... Ada apa hingga orang-orang ini berlaku seperti melihat sesuatu yang lucu?!" Gendeng Panuntun buka mulut sambil arahkan pandangannya pada perempuan bercadar putih.

"Sitoresmi!" Mendadak Joko berseru. Dia seakan ingin melompat. Namun karena Putri Sableng berada dalam papahannya, akhirnya dia hanya bisa dorongkan sedikit wajahnya.

Di depannya, perempuan bercadar putih yang dipanggil Sitoresmi tampak salah tingkah. Dia memandang pada murid Pendeta Sinting. "Dia tidak lupa namaku. Tapi apa dia masih sering mengingatku...?! Tapi... Ah, disampingnya ada gadis cantik. Tentu dia sudah melupakanku kalau Guru tidak sebut namaku tadi. Mengapa harus begini nasibku?! Masih pantaskah aku mengingat dan selalu merindukannya? 

Padahal aku yakin di hatinya tidak ada namaku apalagi sampai mengingatku. Aku... Aku tidak bisa berlama-lama di sini! Orang yang tidak bisa kulupakan ada di depanku dengan seorang gadis cantik. Aku tak mau perasaanku berubah! Biarlah dia bersama gadis siapa saja asal tidak di depan mataku, agar perasaan ini tidak berubah dan perlahan-lahan lenyap..."

"Guru..." ujar Sitoresmi. "Kalau sudah tidak ada hal lagi yang perlu dilakukan, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini..."

"Tunggu!" Joko menahan. Lalu menatap satu persatu pada semua orang di hadapannya. "Kuucapkan terima kasih atas jasa kalian semua. Dewa Orok, Cucu Dewa, Sitoresmi, Kakek Gendeng Panuntun, Kakek iblis Ompong, Eyang Guru, dan Nenek Ni Luh Padmi!" Joko bungkukkan sedikit tubuhnya menjura ke arah satu persatu orang di hadapannya.

"Jahanam! Jadi kau..." Tiba-tiba terdengar makian. Ternyata yang bersuara memaki adalah Ni Luh Padmi. Nenek ini cepat maju lalu balikkan tubuh tepat menghadap Raden Mas Antar Bumi. Tangan kiri kanannya terangkat.

"Bertahun-tahun kucari. Ternyata kau di sampingku! Tahu siapa kau sebenarnya, tidak sudi aku tadi kau tolong! Tapi pertolonganmu tidak akan dapat mengikis dendamku! Saat ini juga kau harus mampus!"

NiLuh Padmi kelebatkan tangan kirikanannya. "Tunggu Sabar... Sabar, Nini..." kata Raden Mas Antar Bumi yang ternyata bukan lain adalah Pendeta Sinting, guru Joko Sableng, sambil angkat kedua tangannya menahan gerakan kedua tangan si nenek. "Semua akan kita selesaikan. Tapi tidak di sini!"

Si nenek sentakkan kedua tangannya dan ditarik pulang. "Urusan kita bisa diselesaikan di mana saja! Karena akhir urusan itu hanya perlu lobang tanah untuk mengubur mayatmu!"

"Betul! Betul! Tapi..."

"Nek... Jangan terbakar perasaan. Semua urusan bisa diselesaikan tanpa harus membuka lobang tanah untuk penguburan. Aku tidak tahu apa urusanmu dengan sahabatku Pendeta Sinting, tapi tidak ada salahnya aku ikut bicara. Selesaikan semua urusan dengan dada lapang. Hilangkan dahulu prasangka buruk sebelum buka urusan. Dengan begitu hasilnya akan baik..." Yang bicara Gendeng Panuntun.

"Betul!" sahut Raden Mas Antar Langit yang ternyata adalah Iblis Ompong. "Malah kami semua berharap urusanmu berakhir dengan damai. Pokoknya yang tadinya dendam berubah jadi rindu. Benci berbalik jadi kangen. Ucapan kasar jadi rayu-merayu. Makian jadi cekikikan..."

"Baik! Sekali ini aku mengalah! Sekarang kau tunjuk tempat di mana ingin kau selesaikan uru-msan kita!" Pada akhirnya Ni Luh Padmi mengalah setelah berpikir agak panjang.

"Nah, Joko..." ujar Iblis Ompong. "Eyang gurumu hendak selesaikan tugas penting. Kuharap kau mengerti dan tidak coba-coba pasang telinga apalagi mengintip! Ini urusan orang-orang tua! Kau paham...?!"

Semua orang tertawa tertahan. Hanya Ni Luh Padmi yang pasang tampang cemberut. Di depannya, Pendeta Sinting mengelus dada seraya pasang tampang angker pada muridnya.

"Gara-gara ucapan Sontoloyo itu rencana jadi berantakan tak karuan!"

Melihat tampang gurunya, buru-buru Joko buka mulut. Namun Pendeta Sinting cepat memotong.

"Sontoloyo! Jangan buka mulut lagi di sini! Kutunggu kau tiga hari mendatang!"

Joko kancingkan mulut lagi. Semua orang kembali tertawa tertahan-tahan. Lalu Cucu Dewa angkat bicara.

"Matahari mulai muncul. Kita harus tinggalkan tempat ini!"

Laki-laki bertubuh cebol ini tarik tangan Dewa Orok lalu melangkah pergi. Bersamaan dengan itu Sitoresmi menggandeng tangan gurunya Gendeng Panuntun dan berlalu dari situ. Namun gadis ini sejurus masih tatap bola mata Joko yang saat itu tengah memandangnya. Perempuan bercadar putih ini seperti hendak bicara, namun diurungkan dan cepat-cepat alihkan pandangan seraya melangkah. Pendeta Sinting ulurkan tangan hendak mengajak Ni Luh Padmi. Tapi si nenek cepat tepiskan tangan Pendeta Sinting.

"Jangan berani jamah tubuhku!" sentak si nenek.

"Ah... Kau harus bisa tabahkan hati, Nek..." berucap Iblis Ompong sambil ambil tangan si nenek.

Herannya, Ni Luh Padmi tidak menolak. Entah karena masih menindih hawa amarah hingga dia tak sadar kalau perlahan-lahan Iblis Ompong menggandeng tangannya lalu mengajaknya berlalu menyusul orang-orang di depan sana. Iblis Ompong masih sempat leletkan lidah lalu buka mulut lebar-lebar pada Pendeta Sinting begitu tangannya menggandeng tangan si nenek dan melangkah saling berjajar.

Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Dia tatapi tampang muridnya lalu tanpa buka mulut melangkah menyusul dan berjalan pelan-pelan di belakang Iblis Ompong dan Ni Luh Padmi yang masih bergandengan tangan.

"Mengapa kau masih tegak...?!"

Joko tersentak mendengar ucapan Putri Sableng yang masih ada dalam dukungannya. Joko berpaling. Putri Sableng masih pejamkan mata. Pada bibirnya masih tampak tetesan darah. Pendekar 131 menarik napas. Perlahan-lahan tangan kirinya terangkat mengusap bibir Putri Sableng. Mulut Putri Sableng terlihat bergerak-gerak. Namun Joko buru-buru berkata.

"Aku membersihkan tetesan darah pada sekitar bibirmu..." Namun diam-diam Joko membatin. "Ah... Bibir gadis ini begitu mempesona... Seandainya kau..."

Joko tak lanjutkan ucapannya, karena bibir Putri Sableng membuka setengah. Dada murid Pendeta Sinting berdebar. Entah karena apa, tiba-tiba Joko dekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Merasakan Putri Sableng tidak menolak, Joko makin berani. Dia lebih dekatkan lagi wajahnya hingga hidung keduanya saling bersentuhan. Bibir Joko lalu bergerak ke bibir Putri Sableng. Masih tak ada penolakan, Joko makin berani. 

Dia mulai mengulum bibir si gadis. Mula-mula hangat, namun kejap lain ada sesuatu yang mengganjal, bersamaan itu murid Pendeta Sinting merasakan lidahnya getir dan pahit. Pendekar 131 Joko Sableng tarik pulang wajahnya. Saat itu suasana sudah terang benderang karena matahari sudah muncul. Mendadak sepasang mata Joko terpentang besar. Tangan kanannya yang melingkar pada pinggang si gadis luruh ke bawah. Kedua lututnya goyah.

Gadis di samping Joko buka sepasang matanya. Lalu mulutnya bergerak-gerak. Kini di mulutnya tampak menggumpal tembakau hitam! Rambutnya yang tadi hitam lebat ternyata telah berubah putih dan cepak hanya sebatas tengkuk! Wajahnya pun berubah menjadi seorang nenek-nenek yang berkulit keriput. Sepasang matanya menjorok ke dalam dan tampak sipit. Saat yang sama dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan!

"Ratu Malam...!" Teriak Joko dengan tampang merah padam dan tubuh jatuh terduduk.

Putri Sableng yang ternyata adalah Ratu Malam perkeras cekikikannya. Lalu disambut dengan suara tawa bergelak-gelak dari depan sana! Suara tawa cekikikan dan terbahak-bahak menggaung menyungkup kawasan kedung, seakan menghapus hawa kematian yang baru saja menggantung diatas langit Kedung Ombo...! 


S E L E S A I

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar